Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S).
Oleh
Asep Saipulloh
NIM:105024000863JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sastra (S.S.)
Oleh
Asep Saipulloh
NIM:105024000863Pembimbing
Drs. Ikhwan Azizi, MA. NIP : 150 268 589
JURUSAN TARJAMAH
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk
memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu di UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli
saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya
bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, berupa pencabutan gelar.
Jakarta, 03 Mei 2010
Asep Saipulloh NIM: 105024000863
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “Ketepatan Diksi Dalam Terjemahan Kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada Kamis, 20
Mei 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar
Sarjana Sastra (S.S.) pada Program Studi Tarjamah.
Jakarta, 20 mei 2010
Sidang Munaqasyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota,
Drs. Ikhwan Azizi, MA. Ahmad Saekhuddin, M.Ag.
NIP: 150 268 589 NIP: 150 303 001
Anggota,
Dr. H. A. Ismakun Ilyas, MA. NIP: 150 254 962
Rasa syukur yang tidak terhingga atas kenikmatan yang ALLAH SWT
berikan kepada penulis, sehingga bisa melunasi perjalanan kuliah sampai
tersusunnya skripsi ini. Bersalawat kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW
yang menuntun penulis secara tidak langsung untuk selalu semangat dalam
menuntut ilmu, mudah-mudahan di hari akhir nanti penulis mendapatkan
syafa’atnya. Amin
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada civitas academica UIN Syarif HIdayatullah Jakarta, terutama kepada Prof. Dr. Komaruddin Hidayat, MA., Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Dr. Abdul
Wahid Hasyim, MA., Dekan Fakultas Adab dan Humaniora; Drs. Ikhwan Azizi,
MA., Ketua Jurusan Tarjamah serta Sekretaris Jurusan Tarjamah, Ahmad
Saekhuddin, M.Ag.
Terima Kasih yang tak terhingga pula kepada Drs. Ikhwan Azizi, MA
yang telah meluangkan waktunya untuk membaca, mengoreksi, memberikan
referensi serta memotivasi Penulis dalam proses penyusunan skripsi ini. Semoga
Allah SWT senantiasa membalas segala kebaikan Bapak.
Kepada seluruh Dosen Tarjamah yang telah memberikan waktu untuk
berbagi ilmu dan pengalaman kepada penulis. Penulis hanya bisa mengucapkan
hatur nuhun yang tak terhingga. Semoga ilmu dan pengalaman bapak/ibu berikan dapat diamalkan dalam kehidupan penulis.
Penghormatan serta salam cinta Penulis haturkan kepada Kedua Orang
Tua Penulis, H. Hayatami dan Hj. Siti Sawanah. Kepada Kakak dan Adik Penulis yaitu Dian Efendi, Imran Rasyadi, Iis Supriati, Nurftriayanah,
Nurhikmawati, dan Della Ayu Fauziah yang telah memberikan bantuan dan
motivasi kepada Penulis, sehingga Penulis bisa menyelesaikan kuliah ini..
Penulis mengucapkan terima kasih kepada kawan-kawan seperjuangan di
Tarjamah Angkatan 2005, kepada Aida, Hairiyah, Dwi Mulyani, Hasbullah, Lina,
Yudi, Fina, Hilman, Agus, Yusa, laeli, Deni, Rachmad, Doli, Musa, Dewi Utami,
Zainab, Yupi, dewi, musa dan Fauzi yang telah memberikan bantuan yang tidak
habis-habisnya kepada penulis. Buat seseorang yang melebihi dari sekedar teman,
penulis.
Akhir kata. Penulis menyadari bahwa Skripsi yang masih jauh dari
kesempurnaan dan kelengkapan ini bisa menjadikan kawan-kawan untuk mengisi
kekosongan dalam skripsi ini. Saran serta kritik konstruktif sangat Penulis
butuhkan untuk interpretasi yang lebih baik lagi.
Jakarta, 03 Mei 2010
Penulis
ABSTRAK
“Ketepatan Diksi dalam Terjemahan Kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin Karya Imam Al-Ghazali”. Di bawah bimbingan Drs. Ikhwan Azizi, MA.
Menerjemahkan terdiri atas reproduksi pesan ke dalam bahasa penerima melalui gaya bahasa alamiah yang paling mendekati kesetaraan dengan naskah bahasa sumber, pertama dalam hal makna dan kedua dalam hal gaya bahasa.
Dalam penerjemahan permasalahan diksi sangat berpengaruh dalam hasil terjemahan. Diksi adalah pemilihan kata secara tepat dan lugas untuk menyampaikan gagasan. Pemilihan kata dalam terjemahan menjadi pokok utama dalam penerjemahan. Seorang penerjemah harus mencari padanan kata yang tepat dalam bahasa sasaran, diutamakan harus mencari terjemahan yang ringan atau yang terdekat, sehingga pembaca mudah mengerti akan pesan dan gagasan yang dimaksud. Tidak hanya sampai disini saja, ternyata penerjemah harus menggunakan kamus untuk menerjemahkan, karena kamus sebagai sumber diksi.
Dalam kegiatan penelitian ini, penyusun mencoba meniliti terjemahan kitab Ikhtisar Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali dalam pemilihan kata.dalam terjemahan ini masih terdapat kata-kata yang belum tepat dan tidak umum digunakan oleh masyarakat Indonesia. Penyusun menemukan beberapa masalah yang terdapat dalam terjemahan, misalnya terjemahan masih terikat dengan bahasa sumbernya, sehingga ide dan gagasannya tidak tersampaikan. Terjemahan yang baik dan benar adalah tersampaikannya pesan, ide, dan gagasan secara tepat dan lugas. Penulis mengusulkan terjemahan alternatif yang lebih baik dan lebih dekat dengan merujuk kamus, seperti yang sudah disebutkan, bahwa kamus adalah sebagai sumber diksi.
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
dalam huruf latin. Transliterasi ini berdasarkan Pedoman Transliterasi Arab-Latin
dalam Buku “Pedoman Penulisan Karya Ilmiah” CeQDA UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
1. Padanan Aksara
Huruf Arab Huruf Latin Huruf Arab Huruf Latin
ا ط T
ب B ظ Z
ت T ع ‘
ث Ts غ Gh
ج J ف F
ح H ق Q
خ kh ك K
د D ل L
ذ dz م M
ر R ن N
ز Z و W
س S ة H
ش sy ء `
ص S ي Y
ض D
2. Vokal
Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal bahasa Indonesia, terdiri dari
vokal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau diftong.
A. Vokal tunggal
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
----
a Fathah----
i Kasrah---
u Dammah
B. Vokal rangkap
---و au a dan u
C. Vokal Panjang
Ketentuan alih aksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu :
Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan
ي/ا---- â a dengan topi di atas
----ي î i dengan topi di atas
---و û u dengan topi di atas
3. Kata Sandang
Kata sandang, yang dalam sistem aksara Arab dilambangkan dengan
huruf, yaitu لا , dialihaksarakan menjadi huruf /l/, baik diikuti huruf
syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh : al-rijâl bukan ar- rijâl, al-dîwân bukan ad- dîwân.
4. Syaddah (Tasydîd)
Syaddah atau Tasydîd yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda--- dalam alih aksara ini dilambangkan dengan
huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang menerima tanda
syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata ةروﺮﻀﻟا tidak ditulis ad-darûrah melainkan al- darûrah, demikian seterusnya.
5. Ta Marbûtah
Jika huruf Ta Marbûtah terdapat pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan menjadi huruf /h/ (contoh no.1). hal yang
sama juga berlaku, jika Ta Marbûtah tersebut diikuti oleh (na’t) atau kata sifat (contoh no.2). namun jika huruf Ta Marbûtah tersebut diikuti kata
No. Kata Arab Alih Aksara
1 ﺔﻘ ﺮﻃ Tarîqah
2 ﺔ ﻣﻼﺳﻹاﺔﻌﻣﺎﺠﻟا al-jâmi’ah al-islâmiyah
3 دﻮ ﻮﻟاةﺪﺣو wihdat al-wujûd
6. Huruf kapital
Mengikuti EYD bahasa Indonesia. Untuk proper name (nama diri, nama tempat, dan sebagainya), seperti al-Kindi bukan Al-Kindi (untuk huruf
“al” a tidak boleh kapital.
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
PERNYATAAN ... iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iv
PRAKATA... v
ABSTRAK ... vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN ... viii
DAFTAR ISI... xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Tinjauan Pustaka ... 7
E. Landasan Teori ... 8
F. Metodologi Penelitian ... 8
G. Sistematika Penulisan ... 9
BAB II KERANGKA TEORI A. Penerjemahan ... 11
1. Definisi Penerjemahan ... 11
2. Proses Penerjemaham ... 14
3. Metode Penerjemahan ... 16
B. Diksi 1. Definisi Diksi ... 22
2. Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan ... 23
3. Peranti-peranti Diksi ... 24
a. Penggunaan Kata Bersinonim ... 24
b. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi 25 c. Penggunaan Kata Umum dan Khusus ... 26
d. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret ... 28
e. Penggunaan Kata Idiomatis ... 28
xii
b. Persyaratan Ketepatan Pilihan Kata ... 31
5. Kesesuaian Pilihan Kata a. Persoalan Pilihan Kata ... 33
b. Persyaratan Pilihan Kata ... 35
BAB III SEPUTAR MUKHTASAR IHYA ULUMUDDIN, BIOGRAFI SINGKAT DAN SEJUMLAH KARYA PENULIS DAN PENERJEMAH A. Seputar Kitab Muhtasar Ihya Ulumuddin ... 37
B. Biografi singkat dan sejumlah karya penulis ... 38
C. Biografi singkat dan sejumlah karya penerjemah ... 43
BAB IV KETEPATAN DIKSI DALAM TERJEMAHAN KITAB MUKHTASAR IHYA ULUMUDDIN A. Analisis Peranti-peranti Diksi 1. Kata Bersinonim ... 45
2. Kata Khusus dan Kata Umum ... 48
3. Makna Kata Abstrak dan Konkret ... 49
B. Analisis Ketepatan Pilihan Kata ... 50
C. Analisis Kesesuaian Pilihan Kata ... 52
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 57
B. Saran ... 58
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Berkembangnya pola hidup manusia pada zaman sekarang membuat hati
teriris, perubahan secara total yang terjadi di dalam masyarakat baik dalam hal
beragama, kebudayaan, dan berperilaku. Hal ini yang membuat manusia
menjadi lupa akan penciptanya. Dalam masalah agama misalnnya, masyarakat
lebih cenderung beralih kepada hukum adat atau pola pikir (rasional)
ketimbang mangambil sumber hukum pada Al-Quran dan hadits. Para Filosof
kotor oleh Imam Al-Ghazali adalah orang pertama yang dituduh sebagai
penyesat manusia. Oleh karena itu Imam Al Ghazali mengarang kitab Ihya
Ulumuddin yang mengandung isi tentang hikmah-hikmah atau nasihat kepada
penduduk bumi agar selalu berada dalam jalan Tuhan.
Untuk memahami isi kitab yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali butuh
pemahaman yang matang, maksudnya harus ada orang yang mampu
menerjemahkan isi kitab Ihya Ulumuddin secara utuh dan tersampaikan pesan
yang dimaksud. Mengalih bahasa sumber menuju bahasa sasaran adalah
suatu pekerjaan penerjemah yang dituntut untuk mencari kata yang tepat
dalam bahasa sasaran. Kegiatan penerjemahan di suatu lembaga pendidikan
seperti pondok pesantren, sekolah dan majlis taklim tidak terlepas dari
pemilihan kata. Secara umum kegiatan penerjemahan terjebak dengan metode
word to word (kata perkata) sehingga, para siswa atau santri tidak dapat
Pada hakekatnya terjemahan merupakan pengungkapan sebuah makna yang
dikomunikasikan dalam bahasa sumber ke dalam bahasa target sesuai dengan
makna yang dikandung dalam bahasa sumber. Perspektif tersebut menjadikan
penerjemahan suatu fenomena yang tidak sederhana. Penerjemahan muncul tidak
saja sebagai pengalihan kode (transcoding) atau sistem bahasa (struktur luar)
tetapi juga pengalihan makna (apa di balik struktur luar). Fitur-fitur umum yang
dimiliki oleh terjemahan adalah pengertian (a) adanya pengalihan bahasa (dari
bahasa sumber ke bahasa target); (b) adanya pengalihan isi (content); dan (c)
adanya keharusan atau tuntutan untuk menemukan padanan yang
mempertahankan fitur-fitur keasliannya Karena bahasa merupakan bagian dari
kebudayaan maka penerjemahan tidak saja bisa dipahami sebagai pengalihan
bentuk dan makna tetapi juga budaya. Konsekuensinya adalah penerjemahan
sebagai bentuk komunikasi tidak saja dapat mengalami hambatan kebahasaan
tetapi juga segi budaya.
Menerjemahkan berarti melakukan perubahan dari satu bentuk ke bentuk
yang lain. Oleh karena itu, agar pengalihan suatu bahasa terjemahan tersebut
dapat di pahami dan dimengerti, maka harus diperhatikan bentuk bahasa
sasaran (BSa). Kridalaksana (1985), mendefinisikan “ penerjemahan sebagai
pemindahan suatu amanat dari bahasa sumber (BSu) ke bahasa sasaran (BSa)
dengan pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kemudian gaya
bahasanya.
Permasalahan yang akan dijumpai bagi para penerjemah adalah ketika
mereka menemukan teks yang sulit mencari kata yang tepat untuk
Gorays Keraf, “Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara
tepat nuansa-nuansa makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan,
dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan
nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar pilihan kata yang
tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan kosa kata bahasa itu”
Dalam kegiatan penerjemahan bagi seorang penerjemah, ketidakjelasan
arti kata, ide dan makna merupakan kendala yang sering dihadapi ketika
melakukan kegiatan penerjemahan. Ketika menemukan bahasa sumber yang
memiliki arti lebih dari satu, maka akan memberikan pesan yang keliru jika
memilih diksi yang salah. Jika kesalahan itu terjadi maka dampak yang akan
ditimbulkan sangat besar khususnya dalam hal pemahaman. Secara ringkas,
Diksi bisa diartikan sebagai pilihan kata pengarang untuk menggambarkan
cerita mereka. Diksi bukan hanya berarti pilih memilih kata. Istilah ini bukan
saja digunakan untuk menyatakan gagasan atau menceritakan peristiwa tetapi
juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan dan sebagainya.
Agar usaha mendayagunakan teknik penceritaan yang menarik lewat pilihan
kata maka diksi yang baik harus tepat memilih kata untuk mengungkapkan
gagasan atau hal yang diamanatkan untuk memilih tepat seorang pengarang
harus mempunyai kemampuan untuk membedakan secara tepat nuansa-nuansa
makna sesuai dengan gagasan yang ingin disampaikan dan kemampuan untuk
menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa pembacanya.
Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya mungkin kalau ia menguasai
sejumlah besar kosa kata (perbendaharaan kata) yang dimiliki masyarakat
kekayaannya itu menjadi jaring-jaring kalimat yang jelas dan efektif.
Contoh-contoh pengunaan diksi dalam cerita fiktif misalnya penggunaan metafora,
anafora, litotes, simile, personafikasi dan sebagainya. Kita dapat menjumpai
ketidak tepatan penerjemah dalam memilih kata dalam penerjemahnya.
Contoh:
ْﺪﻘ
ﻦﱠ
اﺬﻬﺑ
ﺚْﺪﺤﻟا
ﱠنأ
ْﺻﻻا
ﻮه
ْﻘﻟا
ﻮهو
ﺮْﻣﻷا
ﻄ ﻟا
عﺎ
ﻰﻓ
ﻟﺎ
ﺪ ﺠﻟا
و
ﺔﱠﻘ ﻟا
ﺔﱠ ر
Artinya:
Dan melalui hadits ini menjadi jelaslah bahwa pokok permasalahannya adalah kalbu, dia adalah ratu yang ditaati dalam alam jasad sedang anggota tubuh lainnya adalah rakyatnya.1
Dari terjemahan di atas terdapat kesalahan penerjemah dalam
menerjemahkan kata (
ﺮ ﻣﻷا
) penerjemah menerjemahkan “ratu” sedang dalamkamus al-Munawir kata
ﺮ ﻣﻷا
berarti, pemimpin, raja, atau penguasa. Dengandemikin penerjemah tidak tepat menerjemahkan kata amir dengan kata ratu.
Penggunaan kata dan di awal kalimat tersebut tidak sesuai dengan kaidah
bahasa Indonesia. Kata dan berfungsi sebagai konjungsi yang
menghubungkan dua buah konstituen yang kedudukkannya sederajat. Oleh
karena itu kata dan tidak tepat berada dalam awal kalimat. Akan tepat bila
kata dan dihilangkan. Kalimatnya menjadi: “Dengan hadits ini menjadi jelas bahwa yang pokok adalah hati. Ia adalah pemimpin yang dipatuhi dalam dunia tubuh, dan lainnya adalah rakyat”
1
Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo 2009)
Contoh terjemahan yang kurang sesuai dalam buku ringkasan Ihya
Ulumuddin:
و
لﺎ
ىﺮ ْ ﻟا
ْﻬﺳ
:
ﺎﻀْأ
لﺪ
ﻮهو
ﻰﺳْﺮﻜﻟا
ﻮه
رْﺪ ﻟا
و
شْﺮﻌﻟا
ﻮه
ْﻘﻟا
ﻟا
ﱠنأ
ﻰ
ىﺮﺑﻮ ﻟا
ْﺤ ﻟا
ءارو
ءْ ﺷ
ْﻘﻟا
ﻦﻣ
ﺪْ
داﺮ
2
“Sahl At-Tusturi telah mengatakan bahwa kalbu adalah bagaikan
‘arasy, dada adalah kursinya. Pengertian ini menunjukan pula
bahwa makna kalbu yang dimaksud adalah sesuatu yang ada
dibalik jantung itu.3
Kata
لﺎ
di atas tidak sesuai diterjemahkan ‘mengatakan’, karenakonteks di atas menyatakan bahwa subjek sedang berpendapat masalah
hati. Seharusnya diterjemahkan seperti dalam kalimat:
“Sahl At-Tusturi berpendapat, Hati adalah ‘arsy dan dada adalah Kursi. Ini
pun menunjukan bahwa yang dimaksud dengan hati adalah sesuatu di balik
daging berbentuk seperti pohon cemara”
Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary (bahasa
Inggris yang kata dasarnya diction) berarti perihal pemilihan kata. Dalam
Websters (edisi ketiga, 1996) diction diuraikan sebagai choice of word esp
with regard to correctness, clearness, or effectiveness. Jadi, diksi membahas
penggunaan kata, terutama pada soal kebenaran, kejelasan, dan keefektifan
2
Al-Ghazali, Mukhtasar Ihya Ulumuddin, h. 132
3
Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo 2009)
Gorys Keraf dalam buku Diksi dan Gaya Bahasa menuliskan beberapa
point-point penting tentang diksi:
1. Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang harus
dipakai untuk mencapai suatu gagasan, bagaimana membentuk
pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan
ungkapan-ungkapan, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.
2. Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat
nuansa-nuasa makna dari gagasan yang ingin disampaikan dan
kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan
nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar.
3. Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan
kosa kata atau perbendaharaan kata bahasa itu.
Berdasarkan latar belakang itulah penulis mencoba meniliti hasil terjemahan kitab
ini. Untuk itu penulis memberi judul skripsi ini dengan “KETEPATAN DIKSI
DALAM TERJEMAHAN KITAB MUKHTASAR IHYA ULUMUDDIN
KARYA IMAM AL-GHAZALI”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Pembatasan masalah dalam penelitian bab keajaiban hati terjemahan
Mukhtasar Ihya Ulumudin ini adalah menganalisa dan meneliti kata-kata pada bab
keajaiban hati terjemahan Mukhtasar Ihya Ulumuddin sesuai dengan kajian diksi
Adapun masalah yang dirumuskan dalam penelitian ini :
1. Apakah diksi yang dipilih dalam terjemahan kitab ini sudah sesuai dengan
pesan bahasa sumbernya?
2. Apakah diksi yang dipilih dalam terjemahan kitab ini secara kaidah
bahasa Indonesia sudah tepat?
C. Tujuan dan Manfaat Penilitian
Adapun tujuan dan manfaat penelitian ini adalah:
1. Menganalisa ketepatan diksi dan pengaruhnya terhadap penerjemahan
bahasa sasaran (BSa)
2. Menganalisa ketepatan makna diksi berdasarkan makna yang diinginkan
bahasa sumber (BSu)
D. Tinjauan Pustaka
Sejauh yang penulis temukan, penelitian tentang permasalahan diksi
dilakukan oleh 6 orang, di antaranya: Euis Maemunah (2004) menganalisis
diksi pada bab zakat buku terjemahan Fath al-Qarib, Muhammad Hotib
(2006) menganalisis diksi pada terjemahan buku Bulugh al-Maram bab Riba
“versi A. Hasan”, Rachmad Joeni Akbar (2006) Menganalisis diksi terhadap
Alquran terjemahan Departemen Agama surat al-Waqiah, Elang Satya Nagara
(2007) menganalisis diksi pada bab puasa buku terjemahan Fath al-Qarib.
Dan Anna Saraswati (2008) diksi dalam terjemahan:Studi kritik terjemahan
ar-Risalah al-Qusyairiyyah fi ilmi al-tasawwuf. Dari 6 orang tersebut ada 5
Penelitian tentang karangan imam al-Ghazali belum ada yang membahas.
Oleh karena itu Penulis merasa tertarik untuk meneliti terjemahan Kitab
Mukhtasar Ihya Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali.
E. Landasan Teori
Dalam penelitian ini, penulis akan memakai teori Newmark dalam buku
yang disusun oleh Rochayah Maachali yang berjudul Pedoman bagi
Penerjemah. Penulis juga akan menggunakan teori Eugene A. Nida. Selain itu,
penulis akan menggunakan Gorys Keraf yang terdapat dalam buku Diksi dan
Gaya Bahasa. Selanjutnya, sebagai alat untuk menganalisis, penulis akan
menggunakan teori Kunjana Rahardi dalam bukunya Seni Memilih Kata.
F. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian studi naskah
terjemahan, yaitu dengan cara menginventarisir kata-kata berkaitan dengan
masalah yang diteliti untuk menyingkap fakta yang ada sekaligus menemukan
masalah-masalah baru. Setelah itu, penulis mendeskripsikan masalah tersebut
sesuai dengan data yang ada sehingga dapat mencakup dan tujuan penelitian.
Penulis melakukan pencarian data dengan membaca dan menelaah
berbagai kamus guna mengetahui diksi atau pilihan kata dengan tepat dan
sesuai secara gaya bahasa penulis mengritik pilihan kata atau diksi yang
terdapat dalam buku terjemahan Mukhtasar Ihya Ulumuddin. Di samping itu,
penulis juga terus berkonsultasi dengan para ahli untuk mengetahui lebih jauh
Dalam penulisan ini, penulis juga merujuk pada sumber-sumber sekunder
berupa buku-buku tentang penerjemahan, buku mengenai semantik, kamus
bahasa Arab, bahasa Indonesia, linguistik, ensiklopedi, internet, dan lain-lain.
Selain itu, penulis menggunakan kajian pustaka (Library Research). Secara
teknis, penulisan ini didasarkan pada buku pedoman penulisan karya
ilmiah(skripsi, tesis, dan disertasi) yang berlaku di lingkungan UIN Syarif
hidayatullah Jakarta yang diterbitkan oleh Center of Quality Development
and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
G. Sistematika Penulisan
Penelitian ini disajikan dalam lima bab. Bab I merupakan yang
mewadahkan topik penelitian ini. Bab ini menjelaskan latar belakang masalah
atau alasan pemilihan topik penelitian ini, pembatasan masalah, perumusan
masalah yang berupa pertanyaan, tujuan, manfaat, Tinjauan Pustaka, Landasan
Teori, Metodologi penelitian, dan ketujuh sistematika penulisan. Bab ini
sangat penting karena akan berpengaruh terhadap bab-bab selanjutnya.
BAB II menyajikan teori penerjemahan yang meliputi Teori Terjemah,
Definisi Penerjemahan, Proses penerjemahan, Metode penerjemahan
mengingat penelitian ini berorientasi pada analisis dan penilaian. Karenanya
pada bab ini juga dipaparkan kerangka teori yang akan dipakai, diantaranya,
teori diksi dan perantinya, ketepatan, dan kesesuaian pemilihan kata dan
BAB III menyajikan hal yang terkait objek atau data penelitian ini, yaitu
kajian tentang biografi singkat dan sejumlah karya penulis, dan Biografi
singkat dan sejumlah karya penerjemah
BAB IV meliputi analisis internal atau penilaian dengan menerapkan teori
yang ada pada bab II. Bab ini akan membuktikan hasil penelitian
BAB V merupakan bab yang mengakhiri penelitian ini dengan
memeberikan kesimpulan dari seluruh pembahasan, dengan tidak lupa
BAB II
KERANGKA TEORI
A. Penerjemahan
1. Definisi Penerjemahan
Dalam bahasa Indonesia, istilah terjemah diambil dari bahasa Arab
ﺔ ﺮ
, bahasa Arab sendiri mengambil istilah tersebut dari bahasaArmenia turjuman. Kata turjuman sebentuk dengan tarjaman dan
turjuman yang berarti orang yang mengalihkan tuturan dari satu bahasa ke
bahasa lain. Sedangkan secara terminologis menerjemahkan adalah
mengungkapkan makna tuturan suatu bahasa dengan memenuhi seluruh
makna dan maksud tuturan.1
Penerjemahan bahasa Arab ke dalam bahasa Indonesia “usaha
memindahkan pesan dari teks bahasa Arab (bahasa sumber) dengan
padanannya ke dalam bahasa Indonesia (bahasa sasaran)”.2
Menerjemahkan merupakan kegiatan yang berusaha mengalihkan
bahasa sekaligus pesan yang terdapat dalam teks sumber (TSu) ke dalam
teks sasaran (TSa). Kamus The New International Webster’s (2002: 1.428)
memberikan definisi bahwa to translate (menerjemahkan) berarti to render
into another language (menyusun ke dalam bahasa lain); to express on
their term (mengungkap dalam istilah lain); to explain by using another
word (menjelaskan dengan menggunakan kata-kata lain). Kata ‘translate’
1
Syihabuddin, Penerjemahan Arab-Indonesia (Bandung: Humaniora, 2005) h. 6
2 Ibnu Burdah, Metode dan Wawasan Menerjemah Teks Arab, (Yogyakarta: P. t. Tiara
berasal dari kata-kata bahasa Latin; trans, artinya melintas dan latum,
artinya melaksanakan. Sementara itu, The Oxford Companion to the
English Language (2005: 1329) mendefinisikan translate/terjemahan
sebagai “uraian baru dari satu bentuk bahasa ke dalam bahasa lain”.
Beberapa ahli juga mengemukakan definisi yang hampir serupa; yakni
sebagai uraian baru dari bentuk bahasa lain.
Larson (1984: 51) menyatakan; dalam penerjemahan, bentuk naskah
dalam bahasa sumber digantikan oleh bentuk naskah dalam bahasa target.
Larson lebih lanjut menjelaskan bahwa bentuk bahasa merujuk ke kata,
frase, kalimat, kalimat, paragraf, dan lainnya, yang diucapkan atau ditulis
dengan sebenarnya. Nida dan Taber (di dalam Widyamartaya, 1989:11),
juga menyatakan bahwa menerjemahkan terdiri atas reproduksi pesan ke
dalam bahasa penerima melalui gaya bahasa alamiah yang paling
mendekati kesetaraan dengan naskah bahasa sumber, pertama dalam hal
makna dan kedua dalam hal gaya bahasa. Bassnett (1991: 2) mengatakan
bahwa apa yang umumnya dipahami sebagai terjemahan melibatkan
proses rujukan teks bahasa sumber (SL = Source Language) ke dalam
bahasa target (TL = Target Language). Catford (1965) dikutip dalam
Machali (2000: 5) menyebutkan bahwa terjemahan adalah penggantian
bahan tekstual dalam satu bahasa (SL) yang setara dengan isi bahan dalam
bahasa lain (TL). Menurut Sapardi Djoko Damono di Kompas (21 Juni
2003), terjemahan adalah transfer ide yang menggunakan beberapa bahasa
Penerjemahan adalah istilah umum yang mengacu pada proses
pengalihan buah pikiran dan gagasan dari satu bahasa (sumber) ke dalam
bahasa lain (sasaran), baik dalam bentuk tulisan maupun lisan, baik kedua
bahasa tersebut telah mempunyai system penulisan yang telah baku
maupun belum, baik salah satu atau keduanya didasarkan pada isyarat
sebagaimana isyarat orang tuna rungu3
Secara lebih sederhana, menerjemahkan dapat didefinisikan sebagai
memindahkan suatu amanat dari bahasa sumber ke bahasa sasaran dengan
pertama-tama mengungkapkan maknanya dan kedua mengungkapkan gaya
bahasanya.4 Widyamartaya menyatakan bahwa terjemahan yang baik
harus nampak tidak seperti terjemahan, melainkan harus dibaca bagai
komposisi asli dan mengekspresikan seluruh makna aslinya. Larson
menyebutkan karakteristik terjemahan yang baik adalah sebagai berikut:
1.Menggunakan gaya bahasa normal dalam bahasa penerima
2.Mengkomunikasikan kepada penutur bahasa penerima makna yang
sama yang juga dipahami oleh pembicara dari bahasa sumber.
3.Menjaga dinamika pada teks asli yang berbahasa sumber.
Berdasarkan pernyataan-pernyataan tersebut, kita bisa menyimpulkan
bahwa terjemahan memproduksi makna SL (makna yang dirancang oleh
penutur asli) di alam bentuk TL.
3
Zuchridin Suryawinata dan Sugeng Hariayanto, Translation: Bahasa Teori dan
Penuntun Praktis Menerjemahkan (Yogyakarta: Kanisius, 2003), h. 12.
4
Menurut Benny Hoendoro Hoed, Penerjemahan dan kebudayaan.
Penerjemahan adalah upaya untuk mengungkapkan (kembali) pesan yang
terkandung dalam teks suatu bahasa atau teks sumber (BSU/TSu) ke dalam
bentuk teks dalam bahasa lain atau teks sasaran (BSa/TSa)5
2. Proses Penerjemahan
Menerjemahkan bukanlah menuliskan pikiran-pikirannya sendiri dan
bukan pula menyadur saja, dengan pengertian menyadur sebagai
pengungkapan kembali amanat dari suatu karya dengan meninggalkan
detail-detailnya tanpa harus mempertahankan gaya bahasanya dan tidak
harus ke dalam bahasa lain. (pengertian menyadur tersebut diberikan oleh
Harimurti Kridalaksana.) Selain memahami apa itu menerjemahkan dan
apa yang harus dihasilkan dalam terjemahannya, seorang penerjemah
hendaknya mengetahui bahwa kegiatan menerjemahkan itu kompleks,
merupakan suatu proses, terdiri dari serangkaian kegiatan-unsur sebagai
unsur integralnya.6
Penerjemahan merupakan kegiatan memproduksi amanat atau pesan
bahasa sumber dengan padanan yang paling dekat dan wajar di dalam
bahasa penerima, baik dilihat dari segi arti maupun gaya. Dalam proses
menerjemahkan seringkali penerjemah mengalami berbagai problematika
dalam rangka menemukan padanan yang sewajarnya dikarenakan
terjemahan harus komunikatif dengan respon pembaca.
5
Benny Hoedoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Dunia Pustaka jaya,
2006), h. 28
6
A. Widyamartaya, Seni Menerjemahkan, (Yogyakarta: Kanisius, 1989) Cet. Ke-1, hal.
Problematika selama proses penerjemahan sering kali dialami oleh
penerjemah. Adapun problematika yang dimaksud berkaitan dengan aspek
kebahasaan, nonkebahasaan, dan kebudayaan. Kesulitan kebahasaan
terfokus pada gejala interferensi antara bahasa Arab dan bahasa Indonesia
berikut faktor-faktor penyebabnya, sedangkan aspek nonkebahasaan
menyangkut lemahnya pengusaan penerjemahan akan bahasa sasaran dan
teori terjemah serta minimnya sarana penunjang. Adapun masalah
kebudayaan bertalian dengan kesulitan mencari padanan antara dua
budaya yang berbeda. Proses penerjemahan di sini adalah suatu model
atau rangkaian tindakan yang dilakukan oleh penerjemah atas
kualifikasinya dalam mengalihkan makna dan maksud teks bahasa sumber
ke dalam teks bahasa sasaran/penerima untuk memperoleh terjemahan
yang berkualitas.
Proses penerjemahan tentunya berlangsung dalam tahapan-tahapan.
Tahapan-tahapan tersebut harus dilalui oleh seorang penerjemah dalam
proses penerjemahannya. Apa yang sebenarnya sedang terjadi dalam
pikiran penerjemah ketika ia sedang menerjemahkan? Dalam penelitian ini
tahapan-tahapan yang dilalui penulis mengacu pada pendapat De Maar,
dalam petunjuk-petunjuknya mengenai cara menerjemahkan, hal ini juga
menunjukkan adanya tiga tahap dalam proses penerjemahan yaitu
membaca dan mengerti karangan itu (memahami bahasa sasaran),
menyerap segenap isinya dan membuatnya menjadi kepunyaan kita
dengan kemungkinan perubahan sekecil-kecilnya akan arti atau nadanya
(pengungkapan kembali ke dalam bahasa sasaran).
Nida dan Taber (1969: 33), dikutip dalam Novianti (2005: 16),
membagi proses penerjemahan ke dalam tiga tahapan:
1) Analisis pesan pada bahasa sumber;
2) Transfer, dan;
3) Rekonstruksi pesan yang ditransfer ke dalam bahasa target
(penyelarasan).
Tahap analisis adalah proses di mana hubungan gramatikal dan makna
atau kombinasi kata dianalisis. Pada tahap transfer, bahan yang telah
dianalisa dalam tahap 1 ditransfer dalam pikiran penerjemah dari bahasa
sumber ke dalam bahasa target. Tahap rekonstruksi adalah tahap di mana
penulis menuliskannya kembali atau mengekspresikan kembali bahan
sedemikian rupa sehingga produk terjemahan dapat diterima dan dibaca
dalam aturan dan gaya bahasa target.
3. Metode Penerjemahan
Newmark mengelompokkan metode penerjemahan mejadi dua metode,
yaitu (1) Communicative translation, dan (2) Semantic translation. Baik
Newmark maupun Larson menjelaskan bahwa pemilihan metode
penrjemahan memainkan peran penting dalam menghasilkan naskah
naskah hasil terjemahan –seolah mereka membaca naskah aslinya yang
alami.
Dilihat dari jauh dekatnya terjemahan dari bahasa sumber dan bahasa
sasaran, terjemah dapat diklasifikasikan ke dalam 8 jenis. Kedelapan jenis
terjemahan tersebut dapat dikategorisasikan dalam dua bagian besar.
Pertama, terjemahan yang lebih berorientasi pada bahasa sumber, dalam
hal ini penerjemah berupaya mewujudkan kembali dengan
setepat-tepatnya makna kontekstual penulis, meskipun dijumpai hambatan
sintaksis dan semantik yakni hambatan bentuk dan makna. Kedua,
terjemahan yang lebih berorientasi pada bahasa sasaran. Dalam hal ini
penerjemah berupaya menghasilkan dampak yang relatif sama dengan
yang diharapkan oleh penulis asli terhadap pembaca versi bahasa sasaran
a. Klasifikasi terjemahan yang berorientasi pada bahasa sumber:
1) Terjemahan kata demi kata (word for word translation).
Penerjemahan jenis ini dianggap yang paling dekat dengan bahasa
sumber. Urutan kata dalam teks bahasa sumber tetap
dipertahankan, kata-kata diterjemahkan menurut makna dasarnya
diluar konteks. Kata-kata yang bermuatan budaya diterjemahkan
secara harfiah. Terjemahan kata demi kata berguna untuk
memahami mekanisme bahasa sumber atau untuk menafsirkan teks
yang sulit sebagai proses awal penerjemahan. Contoh:
Apabila kalimat tersebut diterjemahkan kata demi kata ke dalam
bahasa Indonesia, maka hasilnya adalah telah kembali Zuhairah ke
rumahnya kemarin. Terjemahan ini terkesan kaku dan tidak sesuai
dengan sistem kaidah yang berlaku dalam bahasa Indonesia. Hasil
terjemahan yang lebih tepat ialah Zuhairah kembali ke rumahnya
kemarin.
1) Terjemahan Harfiah (literal translation) atau sering juga disebut terjemahan struktural. Dalam terjemahan ini konstruksi gramatikal
bahasa sumber dikonversikan ke dalam padanannya dalam bahasa
sasaran, sedangkan kata-kata diterjemahkan di luar konteks.
Sebagaimana proses penerjemahan awal terjemah harfiah ini dapat
membantu melihat masalah yang perlu diatasi. Contoh :
ْﻮﻃ
دﺎﺠﱢﻟا
ْﻓر
دﺎ ﻌﻟا
ﺮْﺜآ
دﺎﻣﱠﺮﻟا
.
Ia adalah orang yang panjang sarung pedangnya, tiangnya tinggi
dan banyak abu dapurnya.
Metode ini dapat digunakan sebagai metode pada tahap awal
pengalihan, bukan sebagai metode yang lazim. Sebagai proses
penerjemahan awal, metode ini dapat membantu penerjemah
melihat masalah yang harus diatasi7
2) Terjemahan setia (faithful translation). Terjemahan ini mencoba menghasilkan kembali makna kontekstual walaupun masih terikat
7
oleh struktur gramatikal bahasa sumber. Ia berpengang teguh pada
tujuan dan maksud bahasa sumber sehingga terkesan kaku.
Terjemahan ini bermanfaat sebagai proses awal tahap pengalihan.
Sebagai contoh:
ْﻮﻃ
دﺎﺠﱢﻟا
ْﻓر
دﺎ ﻌﻟا
ﺮْﺜآ
دﺎﻣﱠﺮﻟا
.
Apabila pasemon (kinayah) ini diterjemahkan dengan terjemahan
setia, maka hasil terjemahannya "ia adalah orang yang pemberani
karena ia memiliki sarung pedang yang panjang, ia adalah
seorang yang kaya atau berkedudukan yang tinggi karena tiang
rumahnya yang tinggi, ia adalah seorang yang pemurah karena
banyak abunya". Dari terjemahan ini terlihat bahwa penerjemah
berusaha untuk tetap setia pada bahasa sumber, meskipun sudah
tertlihat ada upaya untuk mereproduksi makna kontekstual.
Kesetian tersebut tampak pada adanya upaya untuk tetap
mempertahankan uangkapan metaforis yang tersurat dalam teks
asli misalnya ungkapan sarung padangnya yang panjang, tiang
tertinggi, dan banyak adanya.
4) Terjamahan semantis (semantic teranslation). Berbeda dengan
terjemahan setia. Terjemahan semantis lebih memperhitungkan
unsur estetika teks bahasa sumber dan kreatif dalam batas
kewajaran. Selain itu terjemahan setia sifatnya masih terkait
dengan bahasa sumber, sedangkan penerjemahan semantis lebih
kata kunci, ataupun ungkapan yang harus dihadirkan dalam
terjemahannya.8 Apabila ungkapan pasemon (kinayah) di atas
terjemahan secara semantis, maka hasil terjemahnanya adalah 'dia
laki-laki adalah seorang pemberani, terhormat dalam lingkungan
keluarga dan masyarakatnya, dan seorang dwermawan' (Murtdho,
1999).
b. Klasifikasi terjemahan yang berorientasi pada bahasa sasaran:
1) Terjemahan adaptasi (adaptation). Terjemahan inilah yang
dianggap paling bebas dan palingdekat kebahasaan sasaran.
Terutama untuk jenis terjemahan drama dan puisi, tema, karakter
dan alur biasanya dipertahankan. Dalam karangan ilmiah logikanya
diutamakan, sedangkan contoh dikurangi atau ditiadakan. Contoh:
ﺎ ْﺣ
ﺎ أ
ﺎ ر
ﺎ رْﺪﺑ
Selama bulan purnama bersinar.9
2) Terjemahan bebas (free trantation). Penerjemahan bebas adalah
penulisan kembali tanpa melihat tanpa aslinya. Biasanya
merupakan parafrase yang dapat lebih pendek atau lebih panjang
dari aslinya. Contoh:
ﻪْ ﻮﻟا
ﺪْﺪﺠﻟا
ﺔ ﺻﺎ
ﺎ ﺎ ْﻟأ
8
Benny Hoendoro Hoed, Penerjemahan dan Kebudayaan (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya,
2006), h. 58
9
Syarif Hidayatullah, Diktat Teori danPermasalahan Penerjemahan Arab-Indonesia.
Pembaruan wilayah pemerintah Ibukota baru (lama)
Jerman-Berlin.10
3) Terjemahan idiomatik (idiomatic translation). Dalam terjemahan jenis ini pesan bvahasa sumber disampaikan kembali tetapi ada
penyimpangan nuansa makan karena mengutamakan kosa kata
sehari-hari dan idiom dan tidak ada di dalam bahasa sumber tetapi
bisa dipakai dalam bahasa sasaran. Contoh:
لﺎ ﻟا
ماﺮﺤﻟا
ﻻ
مْوﺪ
Harta haram tak akan bertahan lama11
4) Terjemahan komunikatif (communicative translation). Terjermahan ini berusaha menyampaikan makna kontekstual dari
bahasa sumber sedemikian rupa, sehingga isiu dan bahasanya
berterima dan dapat dipahami oleh dunia pembaca bahasa sasaran.
Terjemahan ini biasanya dianggap terjemahan yang ideal. Contoh:
ﺤﻟا
ىﻮ ﻟا
“Spermatozoon” untuk para ahli biomedik, tetapi untuk khalayak
pemabaca yang lebih umum diterjemahkan dengan “air mani”.12
10
Hidayatullah. h. 69
11
Hidayatullah. h. 69
12
B. Diksi
1. Definisi Diksi
Bahasa terdiri atas beberapa tataran gramatikal antara lain kata, frase,
klausa, dan kalimat. Kata merupakan tataran terendah dan kalimat
merupakan tataran tertinggi. Ketika Anda menulis, kata merupakan kunci
utama dalam upaya membentuk tulisan. Oleh karena itu, sejumlah kata
dalam bahasa Indonesia harus dipahami dengan baik, agar ide dan pesan
seseorang dapat mudah dimengerti. Dengan demikian, kata-kata yang
digunakan untuk berkomunikasi harus dipahami dalam konteksalinea dan
wacana. Kata sebagai unsur bahasa, tidak dapat dipergunakan dengan
sewenang-wenang. Akan tetapi, kata-kata tersebut harus digunakan
dengan mengikuti kaidah-kaidah yang benar.
Dalam bahasa Indonesia, kata diksi berasal dari kata dictionary
(bahasa Inggris yang kata dasarnya diction) berarti perihal pemilihan kata.
Dalam Websters (Edisi ketiga, 1996) diction diuraikan sebagai choice of
words esp with regard to correctness, clearness, or effectiveness. Jadi,
diksi membahas penggunaan kata, terutama pada soal kebenaran,
kejelasan, dan keefektifan.13
Permasalahan diksi adalah berbicara tentang pilihan kata. Gorys Keraf
menyimpulkan tentang diksi: Pertama, pilihan kata atau diksi mencakup
pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu
gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau
menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling
13
Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif,(Diksi, Struktur, dan Logika (Bandung, PT Refika
baik digunakan dalam suatu situasi. Kedua, pilihan kata atau diksi adalah
kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan
yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang
sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok
masyarakat pendengar. Ketiga, pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya
dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau
perbendeharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud
perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata
yang dimiliki oleh sebuah bahasa.14
2. Masalah Pilihan Kata dalam Penerjemahan
Kegiatan menerjemah adalah suatu kegiatan yang sangat sulit, karena
penerjemah harus menyampaikan pesan yang terdapat dalam bahasa
sumber (BSu) secara tepat dan utuh ke dalam bahasa sasaran (BSa),
kegiatan ini juga tidak hanya sebatas itu saja, penerjemah harus menguasai
hal-hal yang berkaitan dengan ilmu kebahasaan.
Menerjemahkan bukan hanya mengalihkan bahasa saja, tetapi yang
terpenting adalah pesan dan amanatnya tersampaikan kepada pembaca.
Pemilihan diksi atau kata dalam sebuah terjemahan adalah suatu langkah
awal bagi seorang penerjemah. Adalah suatu kekhilafan yang besar untuk
menganggap bahwa persoalan kata adalah persoalan yang sederhana,
14
Gorys keraf, Diksi dan Gaya bahasa (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama 2006) cet.
persoalan yang tidak perlu dibicarakan atau dipelajari Karen akan terjadi
dengan sendirinya secara wajar15.
3. Peranti-peranati Diksi
a. Penggunaan Kata Bersinonim
Kata sinonim berasal dari kata Yunani Kuno Onoma ‘nama’ dan
kata Syn ‘dengan’, jadi kurang lebih arti harfiyahnya ‘nama lain untuk
benda sama’.16 Sinonim ialah dua kata atau lebih yang pada asasnya
mempunyai makna yang sama, tetapi bentuknya berlainan.
Kesinoniman kata tidaklah mutlak, hanya ada kesamaan atau
kemiripan.17
Yang disebut sinonim ialah bentuk bahasa yang maknanya sama
atau hamper sama dengan bentuk lain. Istilah lain ialah muradif.
Mungkin tak ada dua kata dalam perbendahraan suatu bahasa yang
betul-betul sama maknanya sehingga dalam setiap kalimat mana pun
kedua patah kata bersinonim itu selalu dapat bersubsituasi (saling
menggantikan)18. Kata-kata yang bersinonim ada yang dapat
menggantikan ada pula yang tidak. Karen a itu, kita harus memilihnya
secara tepat dan saksama. Misalnya, kata asas bersinonim dengan kata
15
Keraf, hal 23
16
J.W.M Verhssr, Pengantar Linguistik, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
1995) cet. Ke-20, hal. 132
17
E Zaenal Arifin, Cermat Berbahasa Indonesia, ( Jakarta: PT Mediyatama Sarana
Perkasa 1988) cet ke-3, hal 147
18
J.S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia yang Benar III (Jakarta: PT Gramedia 1989) cet
dasar, pokok, dan prinsip. Dalam penggunaan kalimat, keempat kata
tersebu tidaklah semuanya bisa saling menggantikan satu sama lain.19
b. Penggunaan Kata Bermakna Denotasi dan Konotasi
Sebuah kata yang mengacu pada makna konseptual atau makna
[image:37.595.97.516.166.536.2]dasar berfungsi denotatif. Kata lain kecuali denotasi juga merupakan
gambaran tambahan yang mengacu pada nilai dan rasa berfungsi
konotatif. Nilai dan rasa diberikan masyarakat. Oleh karena itu, sebuah
kata akan dinilai tinggi, baik, sopan, lucu, biasa, rendah, kotor, porno,
atau sakral bergantung pada masyarakat pemakaiannya. Dalam
mengarang, hendaknya digunakan kata-kata yang bermakna denotasi
agar terlepas dari tafsiran yang menyimpang dari apa yang kita
maksud.20
Dalam bentuk yang murni, makna denotatif dihubungkan dengan
bahasa ilmiah. Seorang penulis yang hanya ingin menyampaikan
informasi kepada kita, dalam hal ini khususnya bidang ilmiah, akan
berkecenderungan untuk mempergunakan kata-kata yang denotatif.
Sebab pengarahan yang jelas terhadap fakta yang khusus adalah tujuan
utamanya; ia tidak menginginkan interpretasi tambahan dari tiap
pembaca, dan tidak akan membiarkan interpretasi itu dengan memilih
kata-kata yang konotatif. Sebab itu untuk menghindari interpretasi
19
Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika
Aditama, 2007), cet. Ke-1, h. 8
20
Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika
yang mungkin timbul, penulis akan berusaha memilih kata dan konteks
yang relatif bebas interpretasi.21
Konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional,
makna emotif, atau makna eveluatif. Makna konotatif adalah suatu
jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai
emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin
menimbulkan perasaan setuju – tidak setuju, senang – tidak senang dan
sebagainya pada pihak pendengar; di pihak lain, kata yang dipilih itu
memperlihatkan bahwa pembicaranya juga memendam perasaan yang
sama.22
c. Penggunaan Kata Umum dan Khusus
Perbedaan ruang lingkup acuan makna suatu kata terhadap kata
lain menyebabkan lahirnya istilah kata umum dan kata khusus. Makin
luas ruang lingkup acuan makna sebuah kata, makin umum sifatnya.
Makin sempit ruang lingkup acuan maknanya, makin luas khusus
sifatnya. Dengan kata lain, kata umum memberikan gambaran yang
kurang jelas, sedangkan kata khusus memberikan gambaran yang jelas
dan tepat. Karena itu, untuk mengefektifkan penuturan lebih tepat
dipakai kata khusus daripada kata-kata umum. Misalnya:
21
Gorys keraf, Diksi dan Gaya bahasa (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama 2006) cet.
Ke 16, h. 28
22
Umum Khusus
(a) melihat memandang (gunung/sawah/laut)
Menonton (wayang/drama/film)
Menengok (orang sakit)
Menatap (muka/gambar)
Menentang (matahari)
Menoleh (ke kiri/kanan)
Meninjau (daerah-daerah)
Menyaksikan (pertandingan)
(b) jatuh roboh (rumah/gedung)
Rebah(pohon pisang/tebu/badan)
Tumbang (pohon besar)
Rontok (daun-daun/bunga-bunga)
Longsor (tanah)
(c) buah apel, mangga, durian, pisang,
rambutan, nangka, manggis, dsb
(d) bunga melati, mawar, anggrek, kamboja,
dsb.23
23
Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika
d. Penggunaan Kata Abstrak dan Konkret
Kata abstrak adalah kata yang mempunyai referen berupa konsep,
sedangkan kata konkret adalah kata yang mempunyai referen berupa
objek yang dapat diamati (akhadiah, 1999). Kata abstrak lebih sulit
dipahami daripada kata konkret. Dalam hal hal menulis, kata-kata yang
digunakan sangat bergantung pada jenis penulisan dan tujuan
penulisan. Jika yang akan dideskripsikan suatu fakta, tentu saja harus
lebih banyak digunakan kata-kata konkret. Akan tetapi, jika yang
dikemukakan ialah klasifikasi atau generalisasi, maka yang banyak
digunakan ialah kata-kata abstrak. Kerap kali, suatu uraian dimulai
dengan kataa abstrak (konsep tertentu), kemudian dilanjutkan dengan
penjelasan yang menggunakan kata-kata konkret. Contoh:
- Keadaan kesehatan anak-anak di desa sangat buruk
- Banyak yang menderita malaria, radang paru-paru, cacingan,
dan kekurangan gizi.24
e. Penggunaan Bentuk Idiomatis
Idiomatik ialah kata-kata gabungan yang kedua unsurnya itu telah
bersatu sedemikian rupa sehingga salah satu unsurnya itu tidak dapat
dilepaskan dalam melakukan kegiatan berbahasa. Idiomatik adalah
kata-kata yang mempunyai sifat idiom yang tidak terkena kaidah
ekonomi bahasa. Ungkapan yang bersifat idiomatik terdiri atas dua
atau tiga kata yang dapat memperkuat diksi di dalam tulisan. Contoh:
Menteri Dalam Negeri bertemu Wakil Presiden.
24
Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika
Menteri Dalam Negeri bertemu dengan Wakil Presiden. Kata yang
benar ialah bertemu dengan.25
Makna idiom dengan kata pembentuknya sering tidak lagi jelas
atau makna itu bukanlah makna sebenarnya kata itu, idiom tak dapat
dialihbahasakan secara harfiah ke dalam bahasa lain. Misalnya, idiom
duduk perut dalam bahasa Indonesia yang artinya ‘hamil’ (Wanita itu
sedang duduk perut) tak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa lain
dengan mencari dalam kamus kata duduk lalu perut, kemudian
menjajarkan seperti bahasa Indonesia itu. Artinya, tentu akan terasa
sangat aneh dalam bahasa asing itu. Hendaknya diterjemahkan
menurut arti sebenarnya (arti ungkapan itu), atau menggantikannya
dengan ungkapan dalam bahasa itu yang semakna dengan idiom
bahasa Indonesia itu.26
4. Ketepatan Pilihan Kata
a. Persolan Ketepatan Pilihan Kata
Persoalan pendayagunaan kata pada dasarnya berkisar pada dua
persoalan pokok, yaitu pertama, ketepatan memilih kata untuk
mengungkapkan sebuah gagasan, hal atau barang yang akan
25
S. Amran Tasai, Cermat Berbahasa Indonesia (Jakarta: Mediyatama Sarana Perkasa,
1998) cet. Ke 3, hal. 155
26
J.S Badudu, Inilah Bahasa Indonesia Yang Benar III (Jakarta: PT Gramedia 1989) cet.
diamanatkan, dan kedua, kesesuaian atau kecocokan dalam
mempergunakan kata tadi.27
Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata
untuk menimbulkan gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau
pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau
pembicara. Sebab itu, persoalan ketepatan pilihan kata akan
menyangkut pula masalah makna kata dan kosa kata seseorang. Kosa
kata yang kaya raya akan memungkinkan penulis atau pembicara lebih
bebas memilih-milih kata yang dianggapnya paling tepat mewakili
pikirannya. Ketepatan makna kata menuntut pula kesadaran penulis
atau pembicara untuk mengetahui bagaimana hubungan antara bentuk
bahasa (kata) dengan referensinya.
Bila kita mendengar seorang menyebut kata roti, maka tidak ada
seorang pun yang berpikir tentang sesuatu barang yang terdiri dari
unsur-unsur:tepung, air, ragi, dan mentega, yang telah dipanggang.
Semua orang berpikir kepada esensinya yang baru, yaitu sejenis
makanan, entah itu disebut: roti, bread, Brot, brood, pain, pains, atau
apa saja istilahnya. Bunyi yang kita dengar atau bentuk (rangkaian
huruf) yang kit abaca akan langsung mengarahkan perhatian kita pada
jenis makanan itu.
Itulah sebabnya dapat dikatakan bahwa kata adalah sebuah
rangkaian bunyi atau symbol tertulis yang menyebabkan orang berpikir
tentang suatu hal: dan makna sebuah kata pada dasarnya diperoleh
27
Gorys keraf, Diksi dan Gaya bahasa (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama 2006) cet.
karena persetujuan informal (konvensi) antara sekelompok orang
untuk menyatakan hal atau barang tertentu melalui rangkaian bunyi
tertentu. Atau dengan kata lain, arti kata adalah persetujuan atau
konvensi umum tentang interrelasi antara sebuah kata dengan
referensinya (barang atau hal yang diwakilinya)28
b. Persyaratan Ketepatan Kata
Karena ketepatan adalah kemampuan sebuah kata untuk
menimbulkan gagasan yang sama pada imajinasi pembaca atau
pendengar seperti yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau
pembicara, maka setiap penulis atau pembicara harus berusaha
secermat mungkin memilih kata-katanya untuk mencapai maksud
tersebut. Bahwa kata yang dipakai sudah tepat akan tampak dari reaksi
selanjutnya, baik berupa aksi verbal maupun berupa aksi non-verbal
dari pembaca atau pendengar. Ketepatan tidak akan menimbulkan
salah paham29
Gorys Kerap menyuguhkan beberapa butir persoalan mengenai
ketepatan pilihan kata:
1. membedakan secara cermat denotasi dari konotasi. Dari dua kata
yang mempunyai makna yang mirip satu sama lain ia harus
menetapkan mana yang akan dipergunakannya untuk mencapai
maksudnya. Kalau hanya pengertian dasar yang diinginkannnya, ia
harus memilih kata yang denotatif; kalau ia menghendaki reaksi
28
Gorys keraf, Diksi dan Gaya bahasa (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama 2006) cet.
Ke 16, hal. 88
29
emosional tertentu, ia harus memilih kata konotatif sesuai dengan
sasaran yang akan dicapainya itu.
2. Membedakan dengan cermat kata-kata yang hampir bersinonim.
Seperti telah diuraikan di atas, kata-kata yang bersinonim tidak
selalu memiliki distribusi yang saling melengkapi. Sebab itu,
penulis atau pembicara harus berhati-hati memilih kata dari sekian
sinonim yang ada untuk menyampaikan apa yang diinginkannya,
sehingga tidak timbul interpretasi yang berlainan.
3. membedakan kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Bila penulis
sendiri tidak mampu membedakan kata-kata yang mirip ejaannya
itu, maka akan membawa akibat yang tidak diinginkan, yaitu salah
paham. Kata-kata yang mirip dalam tulisannya itu misalnya: bahwa
– bawah – bawa, interferensi – inferensi, karton – kartun, preposisi
– preposisi, korporasi – koperasi, dan sebagainya.
4. Hindarilah kata-kata ciptaan sendiri. Bahasa selain tumbuh dan
berkembang sesuai dengan perkembangan dalam masyarakat.
Perkembangan bahasa pertama-tama tampak dari pertambahan
jumlah kata baru. Namun hal itu tidak berarti bahwa setiap orang
boleh menciptakan kata baru seenaknya.
5. Waspadalah terhadap penggunaan akhiran asing, terutama
kata-kata asing yang mengandung akhiran asing tersebut. Progres –
progresif, kultur – kultural, dan sebagainya.
6. Kata kerja yang menggunakan kata depan harus digunakan secara
akan, mengharapkan bukan mengharap akan; berbahaya,
berbahaya bagi, membahayakan sesuatu bukan membahayakan
bagi sesuatu; takut akan, menakuti sesuati (lokatif)
7. Untuk menjamin ketepatan diksi, penulis atau pembicara harus
membedakan kata umum dan kata khusus. Kata khusus lebih tepat
menggambarkan sesuatu daripada kata umum.
8. Mempergunakan kata-kata indria yang menunjukkan persepsi yang
khusus.
9. Memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang
sudah dikenal.
10.Memperlihatkan kelangsungan pilihan kata.30
5. Kesesuaian Pilihan Kata
a. Persoalan Kesesuaian Pilihan Kata
Persoalan kedua dalam pendayagunaan kata-kata adalah kecocokan
atau kesesuaian. Perbedaan antara ketepatan dan kecocokan
pertama-tama mencakup soal kata mana yang akan digunakan dalam
kesempatan tertentu, walaupun kadang-kadang masih ada perbedaan
tambahan berupa perbedaan tata bahasa, pola kalimat, panjang atau
kompleksnya sebuah alinea, dan beberapa segi yang lain. Perbedaan
yang sangat jelas antara ketepatan dan kesesuaian adalah bahwa dalam
kesesuaian dipersoalkan: apakah kita dapat mengungkapkan pikiran
kita dengan cara yang sama dalam semua kesempatan dan lingkungan
yang kita masuki. Ada suasana yang menuntut para hadirin bertindak
30
Gorys keraf, Diksi dan Gaya bahasa (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama 2006) cet.
lebih formal, ada pula suasana yang tiidak menghendaki
tindakan-tindakan yang formal. Dengan demikian, tingkah laku manusia yang
berwujud bahasa juga akan disesuaikan dengan suasana yang formal
dan nonformal tersebut. Suasana yang formal akan menghendaki
bahasa yang formal. Sedangkan suasana yang nonformal menghendaki
bahasa yang nonformal.31
Jadi secara singkat perbedaan antara persoalan ketepatan dan
kesesuaian adalah: dalam persoalan ketepatan kita bertanya apakah
pilihan kata yang dipakai sudah setepat-tepatnya, sehingga tidak akan
menimbulkan interpretasi yang berlainan antara pembicara dan
pendengar, atau antara penulis dan pembaca; sedangkan dalam
persoalan kecocokan atau kesesuaian kita mempersoalkan apakah
pilihan kata dan gaya bahasa yang dipergunakan tidak merusak
suasana atau menyimpang perasaan orang yang hadir.32
b. Persyaratan Kesesuaian Pilihan Kata
Perubahan bahasa menjadi suatu masalah yang akan terjadi di
semua bahasa yang ada di dunia. Hal ini terjadi karena mengalami
pertumbuhan dan perkembangan zaman. Faktor yang menyebabkan
adanya perubahan bahasa bisa terjadi karena: untuk menyerap
teknologi baru yang belum dimiliki, tingkat kontak dengan
bangsa-bangsa lain di dunia, kekayaan budaya asli yang dimiliki penutur
bahasanya, dan macam-macam faktor yang lain.
31
Gorys keraf, Diksi dan Gaya bahasa (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama 2006) cet.
Ke 16, hal. 102
32
Ada beberapa hal yang perlu diketahui setiap penulis atau
pembicara, agar kata yang dipergunakan tidak akan mengganggu
suasana, dan tidak akan menimbulkan ketegangan antara penulis atau
pembicara dengan para hadirin atau para pembaca. Syarat-syarat
tersebut adalah:
1. Hindarilah sejauh mungkin bahasa atau unsur substandard dalam
suatu situasi yang formal.
2. Gunakanlah kata-kata ilmiah dalam situasi yang khusus saja.
Dalam situasi yang umum hendaknya penulis dan pembicara
mempergunakan kata-kata populer.
3. Hindarilah jargon dalam tulisan untuk pembaca umum. Istilah
jargon memiliki beberapa pengertian, diantaranya kata-kata teknis
yang digunakan secara terbatas dalam bidang ilmu, profesi, atau
kelompok tertentu. Kata-kata ini kerap kali merupakan kata
sandi/kode rahasia untuk kalangan tertentu (dokter, militer,
perkumpulan rahasia). Contoh: Sikon (situasi dan kondisi), prokon
(pro dan kontra), dan lain-lain.33
4. Penulis atau pembicara sejauh mungkin menghindari pemakaian
kata-kata slang. Pada waktu-waktu tertentu , banyak terdengar
slang, yaitu kata-kata tidak baku yang dibentuk secara khas sebagai
cetusan keinginan terhadap sesuatu yang baru. Kata-kata ini
bersifat sementara: kalau sudah terasa usang, hilang, atau menjadi
33
Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika
kata-kata biasa (asoy, mana tahan, bahenol, selangit, dan
sebagainya), yang mungkin hanya dikenal didaerah tertentu.34
5. Dalam penulisan jangan mempergunakan kata percakapan.
6. Hindarilah ungkapan-ungkapan usang (idiom yang mati)
7. Jauhkan kata-kata atau bahasa yang artifisial.
34
Ida Bagus Putrayasa, Kalimat Efektif (Diksi, Struktur, dan Logika), (Bandung: Refika
BAB III
SEPUTAR MUKHTASAR IHYA ULUMUDDIN, BIOGRAFI SINGKAT DAN SEJUMLAH KARYA PENULIS DAN PENERJEMAH
A. Seputar Kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin
Kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin ini dikarang oleh Imam Al Ghazali untuk
menjawab semua permasalahan agama yang sesuai dengan Al-Quran dan hadits.
karena pada waktu itu para filosof kotor meracuni dan mengalihkan meraka pada
sistem pola pikir yang akan menjadi dasar hukum. Pada abad kelima Hijriyah
Kitab Ihya Ulumuddin mempunyai pengaruh yang besar dalam upaya
membendung serangan pemikiran materialisme yang atheis. Serangan pemikiran
itu bertujuan meruntuhkan bangunan agama dari pondasinya melalui
racun-racunnya yang berkedok pemikiran-pemikiran filosofis kotor yang telah dikemas
sedemikian rupa dan dipersiapkan dengan serapi-rapinya.1
Kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin berisi tentang nasihat, faidah, akhlak, tobat,
dan yang berkaitan dengan masalah keagamaan. Nasihat yang terkandung dalam
kitab ini mencakup masalah ilmu yang harus digiatkan. Dalam kitab ini ilmu
menjadi pembahasan pertama yang ditulis oleh Imam al-Ghazali. Peran ilmu
sangat penting dalam kehidupan manusia, tanpa ilmu manusia tidak bisa berbuat
banyak di bumi ini. Setelah itu beliau membahas masalah Akidah, faidah-faidah
dan adab-adab yang beliau ajarkan kepada penduduk bumi. Kitab ini juga
1
menyingkap rahasia-rahasia. Rahasia mengenai bersuci, shalat, zakat, puasa dan
haji. Kitab ini mengajarkan berakhlak baik dan mencela perbuatan buruk. Tidak
ketinggalan juga, kitab ini membahas luas tentang ketuhanan.Kitab ini menjadi
refensi bagi kalangan ulama.
Kitab Mukhtasar Ihya Ulumuddin termasuk kitab yang sangat tebal, sehingga
orang kurang memiliki banyak waktu untuk membacanya. Oleh karena itu, Imam
Al-Ghazali berinisiatif untuk menyusun ringkasan Ihya Ulumuddin ini. Banyak
yang meringkas isi kitab Ihya Ulumuddin ini oleh beberapa kalangan, namun
akan terasa lebih istimewa bila pengarangnya sendiri yang meringkasnya. Intisari
dari kitab ini mengandung faedah-faedah dan hikmah-hikmah. Beliau meringkas
kitab Ihya Ulumuddin karena menemui kesulitan membawa kitab ini dalam
perjalanan. Dan ternyata ringkasan kitab ini sangat diperlukan di masa sekarang.2
B. Biografi Singkat dan Sejumlah Karya Penulis 1. Biografi
Beliau adalah Imam Zainud Diin, Hujjatul Islam, Abu Hamid, Muhammad
ibnu Muhammad ibnu Muhammad al-Ghazali, Ath-thusi, An-Naisaburi,
seorang ulama fiqih ahli tasawuf, bermazhab fiqih Syafi’I dan beraliran tauhid
Al-Asy’ari.
Ia lahir di kota Thuus, kota terbesar kedua negeri Khurrasan setelah
Naisabur, yaitu pada tahun 450 Hijriyah.3
Ibnu ‘Asakir mengatakan “Imam Al-Ghazali lahir di Thuus pada tahun
450 H. Masa kecilnya dimulai dengan belajar fiqih. Kemudian ia pergi ke
Naysabur dan selalu mengikuti pelajaran-pelajaran Imam Al-Haramain. Ia
2
Bahrun Abu Bakar, Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin (Bandung: Sinar Baru algesindo 2009) cet. Pertama, hal. 3
3
berusaha dengan sungguh-sungguh sehingga dapat menamatkannya dalam
waktu singkat. Ia menjadi orang terpandang pada zamannya. Ia duduk untuk
membacakan dan membimbing murid-murid mewakili gurunya, dan menulis
buku.4
Gurunya membanggakan dan mempercayakan kepadanya kedudukannya.
Kemudian ia meninggalkan Naysabur dan menghadiri majlis Al-Wazir
Nizham Al-Mulk. Ia mendapat sambutan hangat darinya dan kedudukan yang
agung karena ketinggian derajatnya dan pandangan-pandangannya yang
cemerlang. Majlis Al-Wazir Nizham Al-Mulk senantiasa dipadati para ulama
dan didatangi para imam, pada suatu kesempatan Imam Al-Ghazali
mengemukakan pandangannya yang sesuai dengan pandangan-pandangan
para tokoh lain, maka mencuatlah namanya. Lalu Nizham Al-Mulk
memerintahkannya pergi ke Baghdad untuk mengajar di Madrasah
An-Nizhamiyah, maka ia pergi ke kota itu, dan semua orang mengagumi
pengajaran dan pandangan-pandangannya.5 Maka ia menjadi imam penduduk
Irak setelah menjadi imam di Khurasan. Di Baghdad posisi al-ghazali naik
dikalangan para penguasa, para menteri, tokoh-tokoh masyarakat, dan para
pemegang kendali kekhalifahan. Kemudian, di sisi lain, keadaannya terbalik.
Maka ia meninggalkan Baghdad, meninggalkan semua kedudukannya, dan
menyibukkan dirinya dengan ketakwaan.
Pada tahun 489 H, ia pergi ke Damaskus dan tinggal disitu selama
beberapa waktu. Kemudian dari Damaskus ia pergi ke Bait Al-Maqdis dan
4
Irwan Kurniawan, Mutiara Ihya Ulumuddin, (Bandung: Mizan 2008), h. 5
5
mulai menulis bukunya AL-Ihya. Ia memulai berjihad melawan nafsu,
mengubah akhlak, memperbaiki watak dan menempa hidupnya.
Ia melawan setan kebodohan, tuntutan kepemimpinan dan pangkat, serta
kepura-puraan dengan akhlak mulia menuju ketenangan, mengenakan pakaian
orang-orang saleh dan meninggalkan angan-angan yang panjang. Ia banyak
mewakafkan harta bendanya demi memberi petunjuk kepada makhluk,
menyerukan kepada mereka agar mementingkan urusan akhirat, membenci
dunia, membimbing para pesuluk, bersiap-siap untuk berangkat menuju negeri
abadi, taat kepada setiap orang yang melihat tanda atau mencium bau makrifat
atau berjaga untuk memperoleh cahaya Musyahadah hingga terbiasa.
Kemudian ia kembali ke kampungnya, tinggal di rumah, banyak
bertafakur, mengisi waktu dengan sesuatu yang bermanfaat dan menanamkan
ketakutan ke dalam kalbu.
2. Karya-karya penulis
Al-Faqih Muhammad Ibnu Hasan ibnu Abdullah Al-Husaini Al-Wasithi di
dalam kitabnya yang berjudul Ath-Thabanatul Aliyyah Fii Manaqibsy
Syafi’iyyah menyebutkan bahwa Imam Ghazali memiliki Sembilan puluh
delapan karya tulis.6
Doktor Abdur Rahman Badawi di dalam bukunya yang berjudul
Mu’allafaatul ghazali telah menelusuri karya-karya tulis Al-Ghazali yang
ternyata jumlahnya mencapai 457 buah buku, berikut ini disebutkan sebagian
dari karya-karyanya:
6
1. Ihya Ulumuddin
2. Al-Adabu Fid Diin
3. Al-Arba’in Fi Ushuluddin
4. Asasul Qiyas
5. Al-Istidraj
6. Asraru Mu’aamalatid
7. Al-Iqtishad Fil I’tiqaad
8. Iljamul Awaam An Ilmi Kalaam
9. Al-Imla Ala Musykilil Ihya
10.Ayyuhal Walad
11.Al-Babul Muntahil Fi Ilmi Al-Jadal
12.Bidayatul Hidayah
13.Al-Basiith Fil Furu’
14.Ghayatul Ghaur Fi Dirayatid Duur
15.At-Tawilaat
16.At-Tibrul Masbuk Fi Naashaa’ihil Muluuk
17.Tahshiinul Ma-aakhidz
18.Talbisu Iblis
19.At-Tafriqatu Bainal Islam Waz-Zindiqah
20.At-Ta’liiqah Fi Furu’il Mazhab
21.Tafsir Al-Quranul Azhim
22.Tahafutul Falasifah