• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nasionalisme religius partai demokrat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Nasionalisme religius partai demokrat"

Copied!
55
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Masalah

Permasalahan ideologi dalam perpolitikan nasional sebenarnya sudah lama terjadi, bahkan dimulai sejak awal perumusan undang-undang dasar pada masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Tarik menarik ideologi dan perdebatan yang sering menguras tenaga dan pikiran tersebut selalu dilakukan oleh dua kelompok besar yang ingin menerapkan ideologinya masing masing. Kedua kelompok tersebut adalah kelompok nasionalis dan kelompok Islam politik. Namun harus di tekankan sejak awal bahwa kelompok nasionalis tidaklah secara langsung anti dan mengabaikan sisi religiusitas dalam sebuah negara, dan demikian sebaliknya, kelompok Islam politik tidaklah juga mengabaikan tentang semangat nasionalisme dalam bernegara. Meski punya titik persamaan dalam kandungan visi mereka, Tapi pada tataran politik praktis keberadaan kedua kelompok tersebut masih sangat sulit untuk dipertemukan.

(2)

dan 2004 Partai Islam terjebak pada Partai politik aliran, maka keberadaannya menjadi mencair.

Pada perjalanan pemilu di Indonesia, telah terjadi perubahan pada sistem pemilihan presiden. Kalau dulunya presiden dipilih oleh kalangan legislatif maka pada pemilu 2004 dipakai sistem pemilihan presiden secara langsung. Sistem pemilihan presiden secara langsung ini adalah sistem pemilihan yang pertama kali diterapkan di negara Indonesia sejak dimulainya pemilu pada tahun 1955.

Polling Sugeng Sarjadi Syndicated dan Dr Arief Budiman Maret 2003 mengeluarkan sejumlah kalkulasi pemilihan capres dan cawapres 20041. Keduanya mencantumkan kriteria nasionalis-religius sebagai tolok ukur, baik di tingkat elite parpol maupun dari kehendak publik yang tercermin dalam hasil polling. Sebagaimana diketahui pencalonan Wiranto sebagai presiden dengan menggandeng Shalahuddin Wahid sebagai wakilnya, atau Megawati Sukarno Putri dengan Hasyim Muzadi, begitu juga dengan calon-calon lainnya (Susilo bambang yudhoyono dengan M. Yusuf Kalla, Hamzah Haz dengan Agum Gumelar, dan Amin Rais dengan Siswono Yudo Husodo) kesemuanya merupakan representasi dari dua kekuatan elemen bangsa yang didasarkan pada kekuatan ideologi nasionalis dan kekuatan ideologi religius. Dari fakta tersebut, elite dan masyarakat seolah masih larut dalam paradigma lama bahwa ukuran kemenangan politik sipil ditentukan oleh gabungan dua aliran besar di Indonesia itu.

1

(3)

Paket capres-cawapres nasionalis religius tadi seakan mengasumsikan yang nasionalis bukan religius, sedangkan yang religius bukan nasionalis. Keduanya diposisikan seolah-olah bertolak belakang. Apakah pakem ini merupakan tipikal signifikan dalam proses modernisasi sistem politik Indonesia, mengingat kalangan nasionalis-religius jauh dari kebijakan yang seharusnya diambil saat memerintah?

Di banyak negara luar, kalau ideologi itu mendikotomikan antara liberal dan sosialis, kelompok liberal dengan Partai buruh, atau antara demokrat dan konservatif, pengaruhnya langsung tampak pada pengambilan kebijaksanaan. Di negara kita, berbagai kebijakan yang diambil juga bersentuhan dengan paham atau ideologi yang dianut, meski pada kenyataannya yang nampak adalah menonjolkan sisi personal, bukan basis ideologi parpol pendukungnya.

Ideologi adalah landasan yang menjadi dasar untuk melangkah dan menjadi dasar maksud dan tujuan dalam berpolitik dan bernegara. Keberadaan ideologi ini menjadi sangat vital dalam sebuah Partai, mengingat masyarakat pemilih selalu mempertimbangkan dari awal untuk mengetahui ideologi Partai serta visi misinya sebelum memilih.

(4)

milik salah satu elemen bangsa. Dalam hal ini sebagai contoh Partai di Negara Indonesia adalah Partai Demokrat. Partai Demokrat dengan tegas menyatakan diri sebagai partai nasionalis religius. Penegasan ungkapan tersebut tentunya mengandung dua sisi ideologi, yakni ideologi nasionalis dan ideologi religius.

Sebagai sebuah Partai, yang salah satu tujuan utamanya adalah untuk memperoleh simpati dari para pemilih, sebenarnya kehadiran dan performance Partai Demokrat tidaklah berbeda jauh dengan partai nasionalis yang sudah ada lebih dulu, seperti Partai GOLKAR, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), maupun dengan Partai-Partai kecil lainnya. Namun ada penonjolan perbedaan ketika Partai Demokrat secara tertulis menyatakan diri sebagai partai nasionalis religius.

B. Tujuan Penelitian

Sebagai sebuah penelitian diskursus (wacana) yang didasarkan pada penelitian lapangan dan kepustakaan, karya ini sesungguhnya tidak terlepas dari maksud dan tujuan yang secara disadari atau tidak telah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari subtansi penelitian tersebut. Secara umum penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui lebih jelas tentang ideologi nasionalis religius yang dijadikan platform Partai Demokrat di kancah perpolitikan nasional. Yang mana ideologi tersebut mengandung sisi nasionalisme dan semangat religiusitas.

(5)

keberadaannya dan Partai tersebut belum menjadi sebuah Partai yang mayoritas. Meskipun pada kenyataannya sebagai Partai baru, Partai tersebut cukup mendapatkan suara yang signifikan pada pemilu 2004, dan meloloskan tokoh Partainya, yaitu susilo bambang yudhoyono sebagai presiden RI..

Melihat adanya kenyataan hal tersebut penulis ingin mengangkat tema tersebut sebagai bagian dari upaya pendiskusian wacana nasionalis religius di tataran akademis. Dan sebagai harapannya adalah tulisan ini bisa memberikan khasanah kepustakaan tentang diskursus ideologi bernegara di Indonesia. Tulisan ini pada dasarnya juga menuntut standar-standar keilmiahan untuk memenuhi persyaratan meraih gelar S-1 (strata satu).

C. Pembatasan Masalah

Dengan menitik-fokuskan pengkajian pada wacana ideologi, penulisan skripsi NASIONALIS RELIGIUS SEBAGAI ALTERNATIF IDEOLOGI: ”Menyoal Prinsip Prinsip Religiusitas Ideologi Politik Partai Demokrat ini Penulis batasi pada

(6)

D. Perumusan Masalah

Berangkat dari latar belakang masalah dan tujuan penelitian diatas, maka penulis mencoba merumuskan masalah dengan berdasar kepada pernyataan umum atas asumsi bahwa Partai Demokrat adalah Partai yang berideologi nasionalis religius, Partai Demokrat ingin mengusung wacana nasionalisme ditengah-tengah keberagaman bangsa Indonesia, yang mana harus diakui pula bahwa nilai-nilai religiusitas (Islam) masih sangat kental melapisi pola pikir bangsa indoneisa

Dari asumsi tersebut, diperoleh turunan pertanyaan yang kemudian penulis mencoba untuk mendiskusikannnya, yaitu::

- Bagaimanakah Partai Demokrat mengartikan ideologi nasionalis religius? - Prinsip-prinsip apa saja yang terkandung dalam ideologi nasionalis religius? - Apakah Ideologi nasionalis religius Partai Demokrat sebagai salah satu strategi

politik dalam pemilu?

- Dalam parakteknya, adakah nilai-nilai religiusitas yang telah diimplementasikan oleh Partai Demokrat?

E. Metodologi Penelitian

(7)

Sebagai penunjang langkah awal dari metode diatas, maka kemudian dilengkapi dengan metodologi yang secara umum dikenal dengan penelitian kepustakaan (library research). Untuk penelitian kepustakaan ini, penulis menggunakan literature-literatur yang mengkaji tentang wacana ideologi dan sistem kenegaraan dan sebagai sumber utama kajian kepustakaan adalah buku dengan judul NASIONALIS RELIGIUS: Jati Diri Bangsa Indonesia, karya Prof. Dr. A. Mubarok dengan pengantar Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Pertama, menganalisa sebuah wacana yang diusung oleh sebuah Partai membutuhkan landasan teoritis yang kuat untuk mencapai hasil yang optimal. kedua, untuk mendukung upaya optimal tersebut maka salah satu diantaranya adalah terpenuhinya data-data yang orisinil melalui penelitian kepustakaan yang juga menjanjikan obyektifitas terhadap obyek kajian yang akan dianalisa; ketiga, kajian kepustakaan dilakukan sebagai langkah awal dari upaya pengumpulan data, dan kemudian sebagai langkah praktisnya dibarengi dengan riset lapangan, yang mana menggali wacana tersebut langsung dari sumbernya

Metodologi penelitian ini didukung dengan teknis penulisan, yang mana dalam hal ini mengacu pada buku petunjuk; Pedoman Penulisan Skripsi, Tesis, Dan Disertasi" yang diterbitkan oleh UIN Jakarta Press.

F. Sistematika Penulisan

(8)

penulisan ini lebih sistematis dan mengikuti sebagaimana standar umum yang berlaku dalam sebuah penulisan, yaitu :

Bab I: pendahuluan yang didalamnya terdiri dari sub bab: latar belakang pembahasan; yang kemudian dilengkapi dengan pembatasan dan perumusan

permasalahan; dan bagian terpenting lain dalam penelitian, yaitu tujuan peneiltian

dan metode penelitian.

Bab II: pembahasan awal, pada pembahasan awal ini mengupas tentang: Pengertian umum tentang ideologi dan kedudukannya dalam negara. Dan di sub bab berikutnya mengupas tentang pengertian umum tentang ideologi nasionalis religius . kemudian pada sub bab berikutnya membahas profil Partai Demokrat sebagai pengusung ideologi nasionalis religius.

Bab III: Pada bab ini akan membahas tentang prinsip-prinsip dasar visi misi nasionalis religius yang diusung oleh Partai Demokrat. Dengan menjelaskan secara rinci satu per satu visi misi nasionalis religius. Prinsip-prinsip ini adalah yang menjadi konsep dasar partai untuk menunjukkan sebagai partai yang nasionalis religius.

(9)

landasan jati diri sebuah partai. Selain itu sejauh manakah religiusitas yang telah berlangsung dalam kehidupan partai.

(10)

BAB II

PENGERTIAN DASAR IDEOLOGI NASIONALIS RELIGIUS

A. Pengertian Dasar Tentang Ideologi.

Secara umum ideologi adalah landasan pokok dimana suatu negara atau dalam suatu bentuk kelembagaan meletakan harapan-harapan atau cita-cita yang disepakati bersama2. Jadi, apa yang telah menjadi kesepakatan bersama, haruslah berjalan di atas roda ideologi, yang mana ideologi itu sendiri merupakan sesuatu yang telah dan harus disepakati secara bersama-sama pula. Ideologi pertama kali dikemukakan oleh D. Tracy, bahwa ideologi adalah sebuah pemahaman atau ide konseptual yang mampu melihat wajah dunia dengan ketertarikannya pada masalah-masalah sosial (Social interest) dan mampu menawarkan “problem solving” atau pemecahan masalah dalam suatu lembaga kemasyarakatan yang bersekala kecil maupun yang

bersekala besar3.

Kalau definisikan secara harfiah, maka ideologi itu sendiri terdiri dari dua suku kata yakni; Ideo yang berarti ide dan logos yang berarti ilmu. Merujuk pada pengertian secara harfiah tersebut, maka bisa jelaskan bahwa ideologi adalah ilmu tentang ide-ide. lebih lengkap lagi tentang pemaknaan ideologi, Ramlan Surbakti menjelaskan bahwa ideologi dapat pula dirumuskan sebagai suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam tentang tujuan tujuan yang hendak dicapai oleh 2

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia 1999 hal 35

(11)

suatu masyarakat dan mengenai cara-cara yang dianggap paling baik untuk mencapai tujuan4. Tujuan dan cara itu secara moral dianggap paling baik dan adil bagi penghayatnya untuk mengatur perilaku sosial warga masyarakat dalam berbagai segi kehidupan di dunia ini. Dengan rumusan itu dapat disimpulkan ada dua fungsi ideologi dalam masyarakat, pertama, menjadi tujuan dan cita-cita yang hendak dicapai bersama oleh suatu masyarakat. Dengan demikian ideologi menjadi tolok ukur untuk menilai keberhasilan pelaksanaan keputusan politik. Kedua, sebagai pemersatu masyarakat, dan karenanya menjadi prosedur penyelesasian konflik yang terjadi dalam masyarakat. definisi tentang ideologi juga dikemukakan oleh Jack C. Plano & Roy Olton, bahwa ideologi merupakan sebuah kekuatan dinamis yang setara dengan kekuasaan karena kepaduan dan vitalitas yang diciptakannya mampu untuk dikendalikan menghadapi negara atau kelompok lain5. Merujuk pada definisi Jack C. Plano dan Roy Olton tersebut, maka jelaslah bahwa ideologi itu merupakan landasan-landasan yang memiliki kekuatan dalam membentuk karakter serta cara berpikir suatu masyarakat. Dalam perspektif lain ideologi juga bisa diartikan sebagai gagasan atau teori menyeluruh tentang makna hidup dan nilai-nilai yang mau menentukan secara mutlak bagaimana manusia harus hidup dan bertindak.

Keberadaan ideologi dalam sebuah kelembagaan atau lebih khusus pada sebuah Partai politik adalah merupakan sebuah keniscayaan, karena Sangat mustahil dalam suatu lembaga kemasyarakatan menolak adanya ideologi. Hal ini disebabkan

4 Surbakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia 1999 hal 35

5

(12)

Karena ideologi merupakan acuan pokok atau kerangka dasar dinamis yang menjadi energi kreatif dalam proses dinamisasi suatu lembaga. Sebuah pemahaman/ide itu bisa dikatakan sebagai sebuah ideologi apabila mampu memuaskan batin, mampu memperbaiki hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan alam dan manusia dengan sang pencipta. Suatu ideologi dianggap berhasil apabila mampu menanamkan nilai pada obyek ideologi dalam hal ini masyarakat. Kadang-kadang ideologi juga dapat menjadi titik acuan dalam memandang suatu realitas atau kondisi yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.

Kalau kembali pada pemahamannya Jack C. Plano dan Roy Olton bahwa sebuah ideologi sangat peka terhadap sifat sistem politik, pelaksanaan menjalankan kekuasaan, peran individu, sifat sistem ekonomi dan sistem sosial, serta tujuan masyarakat. Sebagai sebuah sistem keyakinan yang mendasar, sebuah ideologi tidak hanya menggabungkan nilai-nilai dasar masyarakat tetapi ideologi itu sendiri menjadi nilai utama yang harus dipertahankan dan dalam kasus tertentu ideologi harus disebarluaskan kepada masyarakat lain.

(13)

sudah dikristalisasikan dalam pancasila dan UUD 1945. Negara adalah lembaga kemasyarakatan dalam skala makro, untuk itu tentunya negara juga membutuhkan yang namanya ideologi6. Negara merupakan patokan bagi setiap lembaga kemasyarakatan dalam lingkup mikro. Bila menengok kembali sejarah maka akan dapati bahwa ideologi-ideologi itu tidak selalu dipertahankan, mengingat dalam masyarakat majemuk yang di dalamnya terdiri dari berbagai kelompok budaya, suku, ras, dan agama, yang mana setiap kelompok memiliki sistem nilai sendiri yang kemudian dijadikan landasan masing-masing golongan, Adalah sangat rawan terjadi tarik menarik ideologi dikarenakan ideologi tersebut belum bisa mengcover setiap sistem nilai tiap-tiap golongan, karena mengingat syarat-syarat penerimaan ideologi itu sendiri. Yakni harus mampu memuaskan batin, mampu memperbaiki hubungan manusia dengan manusia, manusia dengan alam, dan manusia dengan sang pencipta7. Ketika syarat itu belum terpenuhi maka sangat mustahil suatu ideologi itu bisa dipertahankan.

B. Pengertian Umum Tentang Ideologi Nasionalis Religius

Secara sederhana ideologi nasionalis religius adalah sebuah penggabungan atau kolaborasi dua ideologi, yakni ideologi nasionalis dan ideologi religius, dan

6 Moh Kusnardi, Ilmu Negara;Edisi Revis tentang konstitusi:Jakarta: Gaya Media Pratama

1998 hal 133

7

Magnis Suseno, Franz, Etika Politik; Prinsip Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,

(14)

sebagai pemaknaan untuk masing masing idologi, dapat dipahami bahwa ideologi nasionalis adalah sebuah ideologi yang berwawasan nasionalisme dengan mengedepankan pada nilai-nilai pluralisme bangsa yang memiliki berbagai ragam suku, budaya, agama dengan tujuan untuk membentuk masyarakat yang berkeadilan sosial. Sedangkan ideologi religius adalah sebuah ideologi yang didasarkan pada norma-norma agama yang bersifat universal untuk mengatur kehidupan bernegara. Norma-norma agama tersebut menjadi dasar dalam setiap lapis berkehidupan bernegara dan berdemokrasi8.

Namun tidaklah arif untuk meletakkan posisi nasionalis-religius secara hitam-putih dan diametral-oposisional dalam pengertian yang satu berdiri di satu lembah dan yang lain di lembah lainnya sebagaimana pemaknaan terhadap sejarah bangsa Indonesia di masa awal kemerdekaan.

Pada awal kemerdekaan bangsa Indonesia, masyarakat seolah-olah digiring untuk mengikuti dan memilih arus Partai politik dengan pengkotakan dasar ideologi yang berujung pada pengelompokan-pengelompokan tertentu. Apalagi keberadaan Partai politik yang mengusung ideologi yang berbeda tersebut memiliki kekuatan parlemen yang sangat besar, dimana pada waktu itu PNI (Partai Nasionalis Indonesia) dan MASYUMI (Majlis Syuro Muslimin Indonesia) selalu mendominasi dalam perolehan suara. Meskipun demikian, harus pula diakui bahwa dalam lapis

(15)

antropologis, politik aliran adalah sesuatu yang lumrah karena mencerminkan keragaman kultural yang memiliki sumber historis dan sosiologis9.

Bahkan, menurut hasil penelitian Robert Jay dan Clofford Geertz, dua antropolog terkemuka asal Amerika, bahwa artikulasi politik Indonesia tidak bisa dilepaskan dari formulasi kultural santri, priayi, dan abangan, sehingga yang terjadi di masyarakat adalah pengelompokan dengan memandang bahwa kelompok santri akan selalu berdiri di posisi sebagai pemegang ideologi religius, sedangkan kelompok abangan akan selalu berdiri di posisi pemegang ideologi nasionalis10. Pendapat seperti ini tidak bisa dibenarkan dengan mutlak mengingat kelompok santri juga tidak mengabaikan sisi-sisi nasionalisme sebagaimana bisa dilihat dari para tokoh elit Partai yang berjuang di garis tersebut. Sebagai misalnya adalah keberadaan Mohammad Hatta di dalam PNI (Partai Nasionalis Indonesia), meskipun masuk dalam PNI (Partai nasionalis Indonesia), tapi Mohammad Hatta juga sangat diakui sebagai tokoh yang memiliki landasan keagamaan cukup kuat dalam berbangsa dan bernegara. Demikian pula dengan Mohammad Natsir, sebagai tokoh MASYUMI beliau juga mempunyai integritas yang tinggi terhadap bangsa yang plural11.

9

Adnan Buyung Nasution, Politik aliran; tantangan NKRI, WWW.Kompas.com 13 Juni 2001

10

Baca Clifford Geertz, Religion of Java, Chicago and London: Universityof Chicago press 1976. Clifford Geertz dalam membagi entitas keragaman berdasarkan pada penelitian lapangan yang ia lakukan di daerah Jawa Timur, pendapat Geertz ini cukup mendapatkan tanggapan dari berbagai ilmuwan, meskipun untuk sekarang ini wacana tersebut sudah mulai menurun.

11

(16)

Dengan demikian, sebagai fakta budaya, perbedaan ideologi politik tidaklah menjadi soal. Yang menjadi soal, seperti dikatakan Adnan Buyung Nasution, adalah apabila kelembagaan politik diatur berdasarkan pembelahan politik aliran12. Karena apabila hal tersebut terjadi, yang akan terjadi adalah kecenderungan eksklusivisme yang dikawinkan dengan politik. Apalagi kecenderungan keyakinan agama yang eksklusiv. Jadi kategori nasionalis-religius sebenarnya sudah tampil ke permukaan sejak awal pra kemerdekaan dan pasaca kemerdekaan. Dan sebagai faktanya banyak Partai politik yang mempraktekkan ideologi nasionalis religius meskipun dalam platformnya atau AD/ART tidak secara langsung mencantumkannya.

C. Partai Demokrat Sebagai Pengusung Ideologi Nasionalis Religius

Kelahiran Partai Demokrat didirikan atas inisiatif saudara Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang terilhami oleh kekalahan terhormat saudara Susilo Bambang Yudhoyono pada pemilihan Calon wakil Presiden dalam Sidang MPR tahun 2001. Partai Demokrat didirikan oleh 99 (sembilanpuluh sembilan) orang dengan artian berkaitan dengan SBY sebagai penggagas, yakni SBY lahir tanggal 9 bulan 9. Pada tanggal 9 September 2001, bertempat di Gedung Graha Pratama Lantai XI, Jakarta Selatan dihadapan Notaris Aswendi Kamuli, SH., 46 dari 99 orang menyatakan bersedia menjadi Pendiri Partai Demokrat dan hadir menandatangani Akte Pendirian Partai Demokrat. 53 (lima puluh tiga) orang selebihnya tidak hadir tetapi memberikan

lihat BahtiarEffendi, Islam Dan Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di

Indonesia,Jakarta: Paramadina 1998 hal 63

12

(17)

surat kuasa kepada saudara Vence Rumangkang. Selanjutnya pada tanggal 17 Oktober 2002 di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC), Partai Demokrat dideklarasikan dan dilanjutkan dengan Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Pertama pada tanggal 18-19 Oktober 2002 di Hotel Indonesia yang dihadiri Dewan Pimpinan Daerah (DPD) dan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) seluruh Indonesia13.

Sejalan dengan deklarasi berdirinya Partai Demokrat, sebagai perangkat organisasi dibuatlah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) Partai, yang mana sebagai asas Partai adalah pancasila Dan sebagai wujud dari jati diri Partai Demokrat termaktub dalam anggaran dasar Partai, yaitu di pasal 3 (Tiga) yang berbunyi14;

Jati diri Partai adalah nasionalis-religius, yaitu kerja keras untuk kepentingan rakyat dengan landasan moral dan agama serta memperhatikan aspek humanisme, nasionalisme, dan pluralisme dalam rangka mencapai tujuan perdamaian, demokrasi, dan kesejahteraan rakyat.

Dan sebagai penjabaran makna yang terkandung dalam jati diri nasionalis religius yang mempunyai aspek-aspek humanisme, nasionalisme, dan pluralisme, di dalam doktrin Partai Demokrat termaktub uraian sebagai berikut15:

Nasionalisme

Partai Demokrat menempatkan kepentingan nasional sebagai komitmen utama. Semua kepentingan individu, kelompok dan golongan akan dikalahkan jika mengancam kepentingan nasional bangsa Indonesia. nasionalisme yang dianut Partai Demokrat bukanlah nasionalisme chauvinisme yang memungkinkan terjadinya penindasan suatu bangsa oleh bangsa lain, tetapi nasionalisme yang didasari oleh penghayatan keagamaan,

13

Http///:www.demokrat.or.id./sejarah partai, browsing internet 20 Mei 2006

14 DPP Partai Demokrat, Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat, Jakarta: DPP Partai Demokrat hal 28

(18)

menyayangi sesama manusia dan bahkan kepada semua mahluk ciptaan tuhan.

Pluralisme

Sudah menjadi kenyataan sejarah bahwa bangsa Indonesia terdiri dari beragam suku, ras, agama dan budaya, dan dari keberagaman lahir solidaritas nasional menghadapi penjajahan hingga lahirlah Negara republik Indonesia. manajemen keragaman itu dimungkinkan karena adanya semangat bhineka tunggal ika, yakni meski ada identitas yang berbeda-beda tetapi pada hakikatnya adalah satu kesatuan, yaitu kesatuan bangsa Indonesia. tugas memanaged keragaman bukan dengan menyeragamkan yang beragam, tetapi menyatukan visi dari kekuatasn yang beragam.

Humanisme

Sejalan dengan ajaran agama, bahwa manusia adalah mahluk yang dimuliakan oleh tuhan yang oleh karena itu manusia berkewajiban memelihara kemuliaan dirinya, wujud perjuangan pemuliaan diri manusia adalah perlindungan hak-hak azasi manusia. Agama mengajarkan perlindungan manusia untuk memperoleh hak-haknya, yakni perlindungan fisik dari penganiayaan, perlindungan nyawa dari pembunuhan, perlindungan akal dari penindasan intelektual, perlindungan harta dari kepemilikannya, serta perlindungan jati diri dari kesucian nasabnya (keturunannya). Ajaran inilah yang menjelma menjadi HAM dalam budaya modern. Dalam pergaulan antar manusia, Partai Demokrat mengakui dan menghormati adanya berbagai solidaritas, seperti solidaritas keagamaan, solidaritas nasional dan solidaritas kemanusiaan. Bangsa Indonesia sesuai dengan pembukaan UUD 1945, menentang penjajahan di muka bumi yang dilakukan oleh bangsa kuat kepada bangsa yang lemah. Bangsa Indonesia juga harus siap menentang setiap ada penindasan hak azasi manusia yang terjadi di belahan dunia manapun sebagai wujud solidaritas kemanusiaan (humanisme).

(19)

ini bisa dilihat dari visi misi Partai yang tidak secara jelas atau langsung menggunakan satu agama tertentu sebagai landasan religiusitas sebuah ideologi. Visi misi Partai Demokrat itu adalah sebagai berikut16:

- Visi Partai

Partai Demokrat bersama masyarakat luas berperan mewujudkan keinginan luhur rakyat Indonesia agar mencapai pencerahan dalam kehidupan kebangsaan yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur, menjunjung tinggi semangat Nasionalisme, Humanisme dan Internasionalisme, atas dasar ketakwaan kepada Tuhan yang maha Esa dalam tatanan dunia baru yang damai, demokratis dan sejahtera.

- Misi Partai

1. Memberikan garis yang jelas agar Partai berfungsi secara optimal dengan peranan yang signifikan di dalam seluruh proses pembangunan Indonesia baru yang dijiwai oleh semangat reformasi serta pembaharuan dalam semua bidang kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kedalam formasi semula sebagaimana telah diikrarkan oleh para pejuang, pendiri pencetus Proklamasi kemerdekaan berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan titik berat kepada upaya mewujudkan perdamaian, demokrasi (Kedaulatan rakyat) dan kesejahteraaan.

2. Meneruskan perjuangan bangsa dengan semangat kebangsaan baru dalam melanjutkan dan merevisi strategi pembangunan Nasional sebagai tumpuan 16

(20)

sejarah bahwa kehadiran Partai Demokrat adalah melanjutkan perjuangan generasi-generasi sebelumnya yang telah aktif sepanjang sejarah perjuangan bangsa Indonesia, sejak melawan penjajah merebut Kemerdekaan, merumuskan Pancasila dan UUD 1945, mengisi kemerdekaan secara berkesinambungan hingga memasuki era reformasi.

3. Memperjuangkan tegaknya persamaan hak dan kewajiban Warganegara tanpa membedakan ras, agama, suku dan golongan dalam rangka menciptakan masyarakat sipil (civil society) yang kuat, otonomi daerah yang luas serta terwujudnya representasi kedaulatan rakyat pada struktur lebaga perwakilan dan permusyawaratan.

4. Meningkatkan kewaspadaan terhadap berbagai ideologi, paham dan pola pikir yang bertentangan atau tidak sesuai dengan Pancasila.

Secara umum kader dan simpatisan Partai Demokrat adalah plural, mengingat dasar ideologinya adalah nasionalis. Kader dan simpatisan Partai Demokrat banyak berasal dari berbagai macam kalangan, seperti buruh, kelompok lintas agama, akademisi, kaum muda dan berbagai suku. Selain itu simpatisan Partai Demokrat juga berasal dari silent majority (komunitas diam) yang tidak begitu antusias dengan Partai politik17. Fakta ini bisa dilihat dari perolehan suara Partai Demokrat pada pemilu tahun 2004 yang berhasil masuk dalam urutan sepuluh besar Partai dengan pemilih terbanyak.

17

(21)
(22)

BAB III

PRINSIP-PRINSIP DASAR NASIONALIS RELIGIUS PERSPEKTIF PARTAI DEMOKRAT

A. Visi Kemanusiaan Dan Kebangsaan

1. meyakini bahwa tuhan menciptakan manusia berpasangan laki perempuan, bersuku suku, berbangsa bangsa, beraneka budaya, beraneka potensi, perbedaan mana yang dimaksud agar mereka saling berkenalan, saling menghormati dan saling memberi manfaat satu sama lain (litaarafu) guna mencapai tujuan bersama yakni kesejahteraan lahir batin. Visi ini sebenarnya visi agama, visi wahyu tuhan (Q/49:13) kata litaarafu dari arafa urf maruf marifah, mengandung arti kebaikan yang dikenal secara

common sence. Maknanya, manusia pada fitrahnya secara sosial

mengenali visi kebaikan. Dalam keberagaman sosial, perbedaan tidak dipandang sebagai ancaman, tetapi sebagai potensi yang yang harus dikelola sehingga menjadi sinergi. Fitrah manusia selalu menyukai kesamaan dan juga perbedaan, senang berkumpul dengan kelompok yang memiliki persamaan, sekaligus di kesempatan lain senang mencari yang berbeda dengan yang lain, senang tampil beda.

(23)

tidak akan merendahkan orang lain hanya karena status sosial atau etnik, sebaliknya mengapresiasi kemuliaan budi pekerti dan ahlak atau moralitas (bahasa agamanya Taqwa: Inna akramakum indallahi atqakyum)18

3. pada dasarnya manusia adalah mahluk yang dimuliakan oleh tuhan, oleh karena itu keharusan untuk menghargai dan menghormatyi orang lain sejalan dengan keharusan menghargai dan menghormati diri sendiri. Orang yang dirinya terhormat pasti dihormati orang lain. Dan merendahkan orang lain bermakna sekaligus merendahkan diri sendiri. 4. sejarah telah mentakdirkan masyarakat Indonesia yang berbeda beda suku,

bahasa, budaya dan tradisinya dalam kesatuan kebangsaan, yaitu bangsa Indonesia. Sesama elemen bangsa harus saling mengenal dan mengapresiasi untuk selanjutnya saling membantu dan bekerja sama membangun kejayaan bangsa.

5. perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia telah menorehkan kepahlawanan yang luar bisaa, tetapi sebagai bangsa yang religius mengakui bahwa kemerdekaan bangsa Indonesia tercapai adalah atas berkat rahmat allah SWT, visi ini berasal dari konsep tahmid, ucapan alhamduliilllah segala puji hanya milik allah maknanya bahwa betapapun manusia telah berkarya besar tetapi hakikatnya adalah karena adanya

18

Harus diakui sumbangsih agama Islam dalam Konteks Nasionalis religius banyak didominasi oleh pemikiran islam, hal ini didasarkan pada kenyataan mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim, tetapi konsep-konsep tersebut juga tidak bertentangan dengan ajaran-ajaran agama yang lain.

(24)

perkenan dari Allah, oleh karena itu segala pujian yang terima harus pulangkan kepada tuhan yang paling berhak atas segala pujian.

B. Visi keberagamaan

1. bahwa keyakinan kepada suatu agama adalah merupakan hak asasi dan tidak boleh dipaksakan. Visi ini juga merupakan visi wahyu (la ikraha fiddin), (Q/2:256).

2. agama dalam arti keyakinan dan peribadatan tidak mengenal toleransi, oleh karena itu setiap orang beragama tidak boleh mencampuri urusan agama lain, sebaliknya memberi kemerdekaan sepenuhnya kepada setiap pemeluk agama untuk menjalankan ibadah dan keyakinannnya. Visi ini juga merupakan visi wahyu, yaitu, lakum dinukum waliyadin: agamamu ya agamamu, agamaku ya agamaku, tidak perlu bertoleran kepada agama yang ;lain tetapi orang yang beragama harus memberi kebebasan kepada orang lain menjalankan agamanya. Agama tidak dituntut untuk toleran, tetapi penganut agama secara sosial wajib toleran kepada penganut agama yang lain.

(25)

4. visi keberagamaan (religiuitas) itu menyentuh kepada aspek-aspek kehidupan;

a. Pluralitas etnik (ras, budaya, bahasa dan agama) b. Nasionalitas; yakni kesadaran berbangsa

c. Hak asasi manusia; visi HAM menurut agama menyebut adanya lima aspek kemanusiaan yang dilindungi hak haknya (alkulliyatul khams) yakni perlindungan kepada jiwa atau diri (hifdz annafs), keyakinan agama (hifdz din) harta (hifdzul mal) intelektual (hifdzul aqal) dan kesucian keturunan (Hifdz Nasl).

d. Demokrasi, yakni mengembangkan musyawarah menghormati hal mayoritas dan melindungi hak hak minoritas. Musyawarah bukan untuk mencari kemenangan, tetapi mencari kebenaran dan kebaikan.

e. Kemaslahatan, tujuan semua agama adalah kemaslahatan (kebaikan) baik untuk individu, keluarga maupun masyarakat.

f. Kesetaraan jender secara proporsional setiap, orang dihormati dan diapresiasi bukan karena faktor jender, tetapi karena kehormatan diri dan kapasitas.

C. Visi kebudayaan

(26)

manusia (bentuk kebudayaan) sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam kepalanya (konsepnya).

2. setiap budaya memiliki nilai plus dan minus. Pergaulan lintas budaya akan melahirkan proses salng mengenal, saling belajar dan saling menghargai, interaksi dengan semangat apresiasi, nilai luhur budaya harus dipelihara dan dijadikan perekat persatuan dan ketahanan budaya (ketahanan nasional). Mengaadopsi nilai nilai budaya asing hanya pada hal hal yang jelas jelas lebih baik dan sudah teruji. Prinsip ini berasal dari kaidah sunni-almuhafadzatu alal qadimisalih, wal akhdzu bil jadidil aslah. Artinya tradisi lama yang baik harus dipelihara dan mengambil yang baru hanya yang suidah teruji lebih baik nilainya.

3. dalam hal kebudayaan, pada dasarnya semua kebudayaan boleh diadopsi (akulturasi budaya) sepanjang tidak ada elemen elemen yang melarang, pakaian, nyanyian, arsitektur, gaya hidup, sistem poleksosbud sepanjang menganut nilai positif dan tidak mengandung elemen yang haram boleh ditiru.

(27)

D. Visi Kemasyarakatan

1. Dalam pergaulan sosial masyarakat religius, yang muda (yunior) menghormati yang tua (senior) yang tua menyayangi (memaklumi, mendorong, memberi kesempatan) kepada yang muda. Nilai ini berasal dari hadis nabi; laisa minna man lam yuwaqir kabirana walam yarham shaghirana ) artinya tidak termasuk golonganku orang yang tidak bisa

menghormati yang lebih tua dan tidak bisa menyayangi yang lebih muda. 2. keluarga merupakan barometer kesuksesan sosial, seorang pemimpin

masayarakat adalah yang juga bisa menjadi pemimpin dan teladan dalam rumah tangganya.

3. solidaritas sosial berlangsung tanpa memandang perbedaan identitas sosial, tetapi berdasar pada nilai kemanusian universal. Siapapun yang memerlukan bantuan kemanusiaan berhak untuk menerima bantuan sosial dari orang lain yang memiliki kemampuan.

E. Visi Etika Sosial Politik.

1. pada dasarnya manusia adalah mahluk politik, setiap ada kelompok masyarakat pasti akan terbangun sistem kepemimpinan dan kekuasaan. 2. pemimpin adalah yang memegang suatu kekuasaan, tetapi fungsinya

(28)

sayyidul qaumi khadimuhum. Artinya pemimpin masyarakat pada

hakikatnya adalah pelayan mereka.

3. yang berhak menjadi pemimpin adalah orang yang memiliki kemampuan untuk memberi kepada yang dipimpin (rasa aman, kemakmuran, perlindungan, contoh teladan dll). Rekruitmen pemimpin selalu memperhatikan faktor kemampuan berkomunikasi, ilmu pengetahuan yang dibutuhkan dan senioritas.

4. masyarakat harus menghormati lembaga kepemimpinan. Mempermalukan pemimpin yang telah dipilih bermakna mempermalukan diri sendiri. Bangsa yang jatuh pemimpinnya dengan cara tidak terhormat dijamin penggantinya tidak lebih baik dari yang dijatuhkan.

5. pemimpin yang tidak mampu mengakomodasi apalagi bertentangan dengan aspirasi yang dipimpin, seyogyanya secara terhormat mengundurkan diri sebelum diturunkan.

(29)

yaitu alkhair, alma’ruf, almunkar dan fakhsiah. (a) alkhair adalah kebaikan universal seperti kejujuran, keadilan, menolong yang lemah dsb. (b) alma’ruf adalah sesuatu secara sosial dipandang baik dan patut, seperti ukuran sopan dan tidak sopan ukuran besar dan kecil, banyak dan sedikit, ukuran penting dan tidak penting. Sedangkan (c) munkar adalah perbuatan jahat yang dibalut dengan argumen sehingga tidak terkesan seperti kejahatan padahal sangat berbahaya, seperti komisi, mark up, sumbangan sukarela tanpa tekanan (susu tante) uang semir, pelicin, dan sebagainya dan (d) fahisiyah adalah sesuatu yang secara universal dipandang sebagai kekejian , misalnya zina. Karena universal, maka pezinapun marah jika istrinya dizinahi orang. Mengingatkan lawan poltik, meski tujuannya baik tetap harus dengan cara yang beretika, jadi nahi munkar pun harus dilakukan dengan cara ma’ruf, amar ma’ruf dengan cara

munkar akan menghasilkan kemunkaaran, apalagi nahi munkar dengan cara munkar.

7. dalam menejemen kerja, harus mendahulukan penghargaan, reward, (basyiran) dan menomorduakan hukuman, punishment (nadziran). Visi ini berasal dari akhlak nabi basyiran wa nadziran, mendahulukan memberikan kegembiraan , baru mengingatkan bahaya.

(30)

karena diam itu lebih baik dari pada menyesal karena terlanjur bicara. Visi ini juga berasal dari hadis nabi.

9. mengembangkan kebajikan, yakni kebajikan yang menakjubkan; seperti memaafkan kesalahan musuh (menghapus dendam politik) menyantuni orang yang pernah didzalimi dan lain sebagainya. Visi ini berasal dari bybel dan hadis nabi.

10.pihak yang kalah secara demokratis hendaknya mengakui kekalahannya dan mendukung secara positif pada lawannya yang menang, sedangkan pihak yang menang hendaknya merendahkan diri dengan ungkapan bahwa kami bukanlah yang terbaik, tetapi beruntung memperoleh kemenangan berkat rahmat Allah.

11.tidak terjebak pada cinta berlebihan dan benci berlebihan. Visi ini berasal dari tasauf al Gazali ahbib habibaka haunan ma ‘asa an yakuna baghidaka yauman ma, wa abghid baghidaka haunan ma’ asa an yakuna

yauman ma. Artinya, cintailah kekasihmu sederhana saja, siapa tahu

dibelakang hari ia menjadi orang yang paling kau benci, bencilah musuhmu sederhana saja, siapa tahu dibelakang hari ia akan menjadi kekasihmu.

(31)

F. Visi Etika Sosial Ekonomi

1. Bahwa dalam setiap produk (misalnya mobil, rumah, dlsb) hingga berujud sempurna prosesnya, telah melibatkan ratusan dan mungkin ribuan tangan manusia ( menurut teori ibnu khaldun produk seribu tangan) oleh karena itu setiap kekayaan yang miliki tidak sepenuhnya milik, tetapi didalamnya ada fungsi sosial.

2. Harta kekayaan adalah anugrah tuhan kepada manusia, dan merupakan alat untuk merncapai keutamaan dalam kehidupan, bukan tujuan hidup, karena harta merupakan alat hidup, maka seberapa banyak orang boleh memiliki kekayaan tergantung sejauh mana ia mencapai keutamaan. Jiak seseorang bercita cita melakukan karya besar dan keutamaan yang tinggi dan banyak maka ia memerlukan banyak kekayaan.

(32)

kesenjangan sosial akan melebar, orang miskin dendam kepada sikaya, dan setiap melakukan anarkhi setiap peluang terbuka.

4. Harta kekayaan itu ibarat air, jika mengalir maka airnya bersih dan indah dilihat. Harta itu ibarat pohon, jika sering digunting secara berkala (beramal) maka pohon itu akan menjadi segar karena tumbuhnya ranting dan daun baru. Pohon yang tidak pernah digunting tumbuhnya tinggi tetapi tidak indah.

(33)

BAB IV

IMPLEMENTASI NILAI-NILAI RELIGIUSITAS DALAM BERPOLITIK DI TENGAH PLURALISME BANGSA

A. Nasionalis Religius Sebagai Jalan Tengah Perdebatan Ideologi di Indonesia : Strategi politik Partai Demokrat ?

Tujuan bernegara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa, meningkatkan kesejahteraan hidup (kemakmuran, keadilan, keamanan dll)19, semua ini akan dicapai melalui demokrasi untuk menuju ke arah sana harus mempunyai kendaraan yang namanya Partai Politik.. Partai politik berfungsi untuk merepresentasikan, mengartikulasikan dan mengagregasikan kebutuhan dan kepentingan publik, juga memegang peranan strategis dan penting dalam upaya mencapai tujuan bernegara. Termasuk juga Partai politik berperan dalam pengelolaan keuangan negara secara lebih transparan, partisipatif dan akuntabel. Sebaliknya jika Partai politik tersebut tidak menempuh pilihan ini, hampir dapat dipastikan akan ditinggalkan masyarakat, Hasil pemilu 2004 telah mengantarkan Partai Demokrat sebagai Partai new comer dengan nomor urut 9 dari 24 peserta pemilu pada pesta demokrasi pemilu 2004

19

(34)

mampu masuk di peringkat 5 besar dengan jumlah pemilih 8.455.225 atau mendapat prosentase pemilih sekitar 7,45% dengan meraih jatah kursi 57 di legislatif.20

Keberhasilan tersebut tentunya juga didasari oleh strategi yang diterapkan dalam sosialisasi Partai dan kampanye dengan menyampaikan visi misi Partai dan janji-janji yang akan direalisasikan apabila Partai Demokrat memegang lembaga eksekutif. Partai Demokrat yang pada pemilu 2004 menuai kesuksesan dengan meraih posisi 5 besar, sebenarnya lebih didasarkan pada keberhasilan penanaman ideologi Partai yang nasionalis religius yang disosialisasikan ke tengah-tengah masyarakat, dari pada janji-janji pada waktu kampanye yang digemborkan. Hal ini lebih diperkuat lagi dengan sosok sentral SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang selalu menampilkan sosok yang nasionalis dengan tanpa mengacuhkan perilaku religius.

Selain keberhasilan Partai Demokrat dalam menampilkan sosok SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) yang nasionalis religius, keberhasilan Partai Demokrat sebagai the best new comer dalam pemilu 2004 juga tidak terlepas dari kekhawatiran sebagian masyarakat Indonesia terhadap munculnya kembali ideologi puritan dan ideologi komunisme-marxisme-leninisme21.

Dalam dataran teoretis, ajaran-ajaran komunisme-marxisme-leninisme semestinya boleh saja dipelajari sebagai sebuah wacana intelektual-ilmiah yang bisa membantu masyarakat memperluas cakrawala pemikiran yang semakin

20

Rudy Alamsyah, Partai Demokrat Menyongsong Pemilu 2009 http;//Demokrat.or.id 08/06/2006

(35)

mencerdaskan dan mendewasakan bangsa Indonesia. komunisme-marxisme-leninisme tentu harus dilarang kalau sudah dijadikan sebagai ideologi dan gerakan, karena ketiganya tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia yang umumnya menganut agama22. Karena itu, politik Indonesia diharapkan menjadi sebuah politik yang tetap diwarnai dengan nilai-nilai spiritual-keagamaan, politik yang tidak sepenuhnya terlepas dari koridor moral dan nilai-nilai ketuhanan yang menjadi landasan dan dasar ideologi negara indonesia. Mereka inilah yang dalam wacana politik biasanya disebut sebagai kaum "nasionalis religius".

Sekalipun mereka menolak ide-ide sekular, kaum nasionalis religius tidak menolak sama sekali politik sekular, termasuk politik negara-bangsa (nation-state) modern, sejauh negara-bangsa dipahami sebagai format modern kebangsaan di mana otoritas negara secara sistematis meliputi dan mengatur bangsa secara keseluruhan, baik melalui jalan demokratis maupun totaliter. Negara-bangsa modern secara moral dijustifikasi konsep nasionalisme. Kaum nasionalis religius begitu kuat menolak nasionalisme sekular yang telah kehilangan nilai-nilai moral dan spiritual. Namun, mengingat Indonesia bukanlah sebuah negara teokrasi, hubungan antara agama dan politik tidak bisa harus bersifat formal-legal, tetapi yang lebih sesuai adalah hubungan yang bersifat substantifistik. Artinya, kaum nasionalis religius tidak lagi menuntut pembentukan sebuah negara berdasarkan agama tertentu. Namun, berdasar pemahaman mereka terhadap baik ajaran agama maupun corak sosiologis masyarakat 22

(36)

Indonesia yang sangat heterogen, mereka berkiprah dalam pembangunan sebuah sistem sosial-politik yang mencerminkan, atau sejalan dengan, prinsip-prinsip umum nilai-nilai agama, termasuk keadilan, musyawarah, egalitarianisme, dan partisipasi. Agama, baik secara teologis maupun sosiologis, sebenarnya sangat mendukung pendemokrasian politik, ekonomi, dan kebudayaan. Semua agama, lebih-lebih yang berasal dari tradisi Ibrahimi (Yahudi, Kristen, dan Islam), muncul dan berkembang dengan misi untuk melindungi dan menjunjung tinggi harkat manusia.23

Pengaktualan dari nilai kemanusiaan yang amat substansial dan universal selalu mengasumsikan terwujudnya keadilan dan kemerdekaan yang diyakini sebagai hak-hak asasinya. Dalam konteks ini, demokrasi dan pendemokrasian merupakan kondisi niscaya bagi terwujudnya keadilan dan hak kemerdekaan manusia. Dengan demikian, meskipun agama tidak secara sistematis mengajarkan praktik demokrasi, agama memberikan etos, spirit, dan muatan doktrinal yang mendorong bagi terwujudnya kehidupan yang demokratis. Karena itu, persoalan agama dan demokrasi tidak bisa hanya dilihat dari tataran teologis-normatif, tetapi juga melibatkan faktor politis-sosiologis. Meski begitu, karena muatan agama selalu bersifat normatif, maka akan jelas, pada dasarnya agama sangat concerned dan committed dengan upaya pendemokrasian. Namun, barangkali perhatian yang lebih mendasar dari agama bukan demokrasi dalam bentuk formal, tetapi tujuan yang hendak diraih dengan pendemokrasian itu sendiri, terutama terwujudnya keadilan dan hak-hak asasi manusia. Dengan demikian, agama selalu muncul sebagai kekuatan revolusioner,

23

(37)

transformatif, dan liberatif24. Sejarah agama dan ideologi besar dunia memberikan data pada kita bahwa agama merupakan sumber nilai dan kekuatan yang tak pernah kering untuk melahirkan gerakan anti kezaliman, anti tirani, anti penindasan, dan sejenisnya. Pendeknya, meski agama sering disalahgunakan penguasa negara maupun organisasi keagamaan, agama tetap merupakan sumber kekuatan bagi upaya pendemokrasian. Pada tataran ini, agama tidak berbicara tentang sistem, melainkan muatan substansial dan spirit serta arah demokrasi, seperti halnya doktrin Islam yang amat menekankan pada prinsip keadilan, musyawarah, pemihakan pada kaum tertindas dan teraniaya.

Upaya untuk menjadikan agama sebagai sumber moral politik dan kekuatan pendemokrasian tidak boleh melenceng menjadi praktik penggunaan agama sebagai sumber perpecahan, dan agama disalahgunakan untuk memperkuat kedudukan penguasa, apalagi untuk menutupi kebenaran. Untuk itu, peningkatan religiusitas, keimanan, dan ketakwaan sebagai esensi dari fenomena manusia religius harus lebih menjadi being religious ketimbang sekadar having religion,25 Karena, religiusitas bersifat inklusif sehingga siapa pun tidak perlu menyangsikan fungsi dan kebaikan religiusitas dalam diri manusia yang merasakan suatu kerinduan kepada segala yang transenden yang akhirnya bermuara pada Tuhan, sumber dari segala sikap baik, suka

24 Semangat spiritual pernah menjadi penyemangat untuk melaksanakan revolusi, sebagaimana yang pernah terjadi di Negara Iran untuk menggulingkan rezim sebelumnya, revolusi ini dipimpin oleh Imam Besar Ayatullah khoemaini pada Bulan Februari 1979

(38)

damai dan saling mengangkat, sambil mencari dengan jujur dengan rasionalitas ilmiah maupun kepercayaan intuitif akan keberadaan diri manusia serta alam raya.

Dari paparan tadi, Partai Demokrat cukup lihai dalam mengemas ideologi. Hal ini terbukti dengan banyaknya konstituen/simpatisan yang bergabung denga Partai Demokrat. Ada yang membedakan ideologi Partai Demokrat dengan Partai yang lain. Meskipun Partai GOLKAR dan PDIP sama-sama tidak mengabaikan semangat keagamaan dalam akar bangsa indonesia, tetapi kedua Partai tersebut tidak secara langsung menyebut dirinya sebagai Partai yang religius. Sebagaimana diketahui, elemen yang memperkuat kedua Partai tersebut juga diisi oleh tokoh-tokoh yang sangat kental dengan semangat keagamaan, seperti Akbar tanjung di tubuh Partai GOLKAR adalah salah satu aktivis HMI (Himpunan Mahasiswa Indonesia) demikian juga dengan Gus Hasib di PDIP (Putera KH. Abdul Wahab Hasbullah) adalah tokoh yang sangat kental dengan NU.

(39)

titisan dari kubu agamis. Poster-poster kampanye Megawati dan Hasyim terpampang kata-kata “Menyatunya Dua Kekuatan Terbesar Bangsa” dengan disertai foto Megawati dan Hasyim dalam edisi close up. Amien Rais secara eksplisit menyebut pendampingnya, Siswono, sebagai the first class nasionalist dan menyebut duet tersebut sebagai kombinasi menarik antara religius-nasionalis yang direpresentasikan Amien dan nasionalis-religius yang diwakili Siswono. Publik seakan tak mau tahu apa makna yang sebenarnya tersirat dan tersurat dari dua istilah tersebut. Perbedaan SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) dengan calon lainnya adalah, SBY (Susilo Bambang Yudhoyono) mampu merepresentasikan nasionalis religius menjadi satu dalam dirinya tanpa harus terbagi dalam dua sosok. Keberhasilan tersebut mengisyaratkan bahwa sudah saatnya untuk tidak lagi mendikotomikan antara nasionalis dan religius.

Realitas politik saat ini tampaknya tidak cukup punya tenaga untuk mengubur skisma lama ihwal perkubuan atau faksionalisasi antara kaukus agama dan nasionalis. Padahal sebenarnya labelisasi semacam ini telah ditempatkan pada konteks yang tidak sepenuhnya tepat26. Orang kemudian akan mudah berasumsi bahwa kalangan agamis tak tentu (bahkan tak mungkin) nasionalis. Demikian pula sebaliknya. Sebagai simbol dari basis massa, mungkin kosa istilah ini cukup bisa dipahami. Namun sebagai perlambang dari citra diri dan identitas secara personal, jelas hal itu perlu dikoreksi. Karena ternyata tak sedikit kaum nasionalis yang cenderung lebih memiliki kesadaran dan pengamalan agama yang benar ketimbang mereka yang 26

(40)

mengklaim diri sebagai agamis. Demikian juga sebaliknya. Bahkan dalam diktum-diktum hampir setiap agama dikenal apa yang disebut cinta tanah air atau nasionalisme (dalam khazanah Islam disebut al-wathaniyyah atau hubb al-wathan) yang dianggap sebagai bagian penting dari iman seorang (agamis). Oleh karenanya, perlu direnungkan kembali pemakaian istilah ini terkait dengan kognisi sosial masyarakat kita. Lain dari itu, butuh pula difikirkan bagaimana efek sosial yang mungkin timbul akibat pemilahan dikotomis tersebut di masa-masa yang bakal menjelang. Agama, kemudian menjadi “komoditas” yang bisa seenaknya ditarik-tarik dalam ranah kepentingan politik praktis. Terasa wajar bila ada sebagian yang risau jika dikotomi serupa ini terus didentumkan secara tak terarah. Kekhawatiran senada ini bermuara dari adanya keinginan supaya tidak ada lagi kesalahkaprahan dalam pemaknaan istilah tersebut. Sehingga kesan bahwa agamis “versus” nasionalis adalah dua entitas yang saling tikai dan sukar diakurkan, dapat perlahan dicairkan. Bagaimanapun memaksa emblem agama untuk dibawa ke kancah politik, dalam wacana demokrasi kebangsaan yang belajar tumbuh seperti di Indonesia, adalah hal yang musykil

(41)

dari rumit. Karenanya ia senantiasa menyodorkan dimensi kelapangan serta kemudahan dengan turut mendamaikan penyekatan antara kubu agamis dan nasionalis ini, setidaknya para elit politik (serta disokong para intelektual dan pemuka agama) telah berusaha menjalankan fungsinya sebagai sentrum pembentukan kesadaran (centers of rational thought) publik yang cerdas dan membebaskan.

B. Implementasi Nilai-nilai Religiusitas Partai Demokrat : sebuah proses agenda jangka panjang.

(42)

dilegalformalkan. Kegiatan yang bersifat kolektif yang telah dilakukan oleh konstituen partai demokrat sebagai contohnya adalah pelaksaan pengajian rutin yang dilakukan setiap minggu bagi kader muslim. Selain hal itu, kegiatan spiritual keagamaan yang dilakukan adalah berupa perayaan hari-hari besar keagamaan. Partai Demokrat beserta kadernya memfasilitasi adanya peringatan tersebut.

Dalam ilmu negara, ketika agama tidak diatur secara legal formal oleh negara, maka urusan agama dengan sendirinya menjadi tanggung jawab individu pemeluknya27. Partai Demokrat memandang Indonesia adalah Negara yang majemuk, tetapi di sisi lain harus diakui indonesia adalah negara yang mempunyai akar budaya spiritual yang kuat, sehingga tidak dimungkinkan Negara indonesia memarjinalkan urusan agama. Maka jika ditarik pada garis agama, maka Partai Demokrat bukanlah sebuah partai yang berdasarkan pada satu agama tertentu, melainkan semangat-semangat keagamaan senantiasa melapisi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai contoh adalah RUU anti kemaksiatan, secara tegas Partai Demokrat mendukung adanya RUU tersebut, tetapi dukungan tersebut bukan dilandaskan pada satu agama, melainkan partai Demokrat memandang bahwa segala kemaksiatan itu bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan manusia. Pada tataran ini, agama tidak berbicara tentang sistem, melainkan muatan substansial dan spirit serta arah demokrasi, seperti halnya doktrin Islam yang amat menekankan pada prinsip keadilan, musyawarah, pemihakan pada kaum tertindas dan teraniaya.

27

(43)
(44)

BAB V

Saran dan Kesimpulan

Ideologi sebuah partai dalam pentas perpolitikan nasional tentunya tidak bisa menggambarkan kondisi realita sosial sebuah bangsa, dalam hal ini Partai Demokrat dengan ideologi nasionalis religiusnya masih akan menjalani perjalanan panjang untuk realisasi ke depannya. Sebuah ideologi yang didasarkan pada kompromistis dua buah ideologi, yakni ideologi nasionalis dan ideologi religius, tentunya akan menjadi bias pemaknaannya ketika kehadiran ideologi tersebut berhadapan pada kelompok masyarakat yang bersifat puritan (Islam politik), kelompok ini secara jelas memaknai bahwa apapun bentuk sebuah ideologi yang mengandung unsur dari luar agama (Islam) adalah sekuler. Jadi unsur religiusitas sebuah ideologi meski jelas induknya. Karena kalau hanya memakai kata religius yang menempel pada kata nasionalis, maknanya masih belum kuat dan jelas. Sehingga pemahaman yang muncul adalah Partai Demokrat adalah sebuah partai yang murni nasionalis.

(45)

tertentu, melainkan pemaknaan religiusitas berpijak pada fungsi agama yang universal, yakni, berbuat baik dan menentang segala perbuatan keji.

Di luar permasalahan Ideologi yang menjadi tarik menarik dalam bernegara, ternyata apa yang dinamakan ideologi tersebut dalam prakteknya masih belum maksimal, mengingat belum nampak kebijakan-kebijakan yang muncul berdasarkan ideologi. Selama ini segala kebijakan yang muncul lebih berdasar pada kepentingan

dan bargain tertentu. Sedangkan ideologi sebagai sebuah garis perjuangan yang

harusnya diletakkan pada posisi dasar menjadi terabaikan. Hal ini bisa diketahui karena keberadaan partai di indonesia belum ada yang mencapai pada tahap single majority pasca orde baru.

(46)

Apa pun latar belakang ideologi sebuah partai, mempertimbangkan kepentingan bersama yang lebih fundamental seperti memberantas KKN dan agenda law enforcement adalah isu yang lebih nyata dan substantif di mata rakyat. Di atas

(47)

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik. Islam dan Politik di Indonesia; Sebuah Tinjauan dari Pengalaman Histories. Jakarta: proyek studi politik dalam negeri.

Arkoun, Mohammed, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, Jakarta INIS 1994

Bell, Daniel, Matinya Ideolog; Penerjemah Nuswantoro, Magelang; Indonesia Tera 1999

Budiarjo, Miriam, Dasar-dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia 1999

Effendi, Bahtiar, Islam dan Negara:Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia,Jakarta: Paramadina 1998

Fatah, Eep Saifullah. Zaman Kesempatan; Agenda-Agenda Besar Demokratisasi Pasca Orde Baru, Bandung: Mizan 2000

Geertz, Clifford, Religion of Java Chicago and London: Universityof Chicago press 1976.

Haramain, A Malik, Mengawal Transisi; Refleksi Atas Pemantauan Pemilu 1999, Jakarta: Jaringan Masyarakat Pemantau Pemilu Indonesia 2000

Harjanto, Nicholas, Memajukan Demokrasi Mencegah Disintegrasi, Yogyakarta: Tiara wacana 1998

Hikam, Muhammad AS, Demokrasi dan Civil Society, Jakarta: LP3ES 1999 Iskandar, Muhaimin, Pancasila Sebagai Pemersatu Bangsa: Orasi Harlah Garda

Bangsa Jakarta: DPP Garda Bangsa 2006

Kusnardi, Moh, Sh, Ilmu Negara; Edisi Revisi:Jakarta: Gaya Media Pratama 1998 Karim, M Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara

Wacana Yogya 1999

(48)

Magnis Suseno, Franz, Etika Politik; Prinsip Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern, Jakarta; Gramedia Pustaka Utama ,1999

Mas'oed, Mohtar, Negara Kapital dan Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1999

Mubarok, Ahmad,Dr, Nasionalis Religius Jati Diri Bangsa Indonesia, Jakarta: Bina Rena Pariwara, 2004

Mulia, Musdah, Negara Islam; Pemikiran Politik Husain Haikal, Jakarta: Paramadina 2001

Rahman, Abdul; Ideologi, Idealisme, dan Pluralisme Bangsa, ; Jakarta: ISIS nomor VI/Agustus 2002

Rasyidi, H.M. Koreksi Terhadap Drs. Nur Cholis Madjid Tentang Sekularisasi. Jakarta : Bulan Bintang 1972

Soehino,SH. Ilmu Negara, Yogyakarta; Liberty, 1998

Saydan, Ghozali, Dari Bilik Suara Ke Masa Depan Indonesia, Jakarta ; Raja Grafindo Persada 1999

Sjadzali, Munawwir, Islam Dan Tata Negara; Ajaran, Sejarah Dan Pemikiran, Jakarta :UI Press 1993

Sumargono, Ahmad, Menolak Bangkitnya Kembali Komunisme, Jakarta : DPP KNPI 2000

Surbakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: PT. Gramedia 1999

Syamsuddin, Din. Islam dan Poltik Era Orde Baru. Jakarta : Logos wacana ilmu 2001

Syamsuddin, Nazaruddin, Profil Budaya Poltik Indonesia, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti 1997

Wahid, Abdurrahman, Membangun Demokrasi. Bandung: Rosda karya 1999 ---, Mencari pemimpin Umat Bandung: Mizan 1999

(49)

Wawancara dengan DPP Partai Demokrat

Max Sopacua : ketua Pendidikan, Pemuda dan KOMINFO (15 juni 2006)

Ahmad Mubarok : Wakil Ketua DPP Partai Demokrat (22 November 2005 & 19 Juni 2006)

Habib Agus Abu Bakar : Ketua KESRA (Sosial, Agama dan Kepercayaan) (28 juni 2006)

Website ;

http///www.demokrat.or.id http///www.kompas.com Http///:google.com

http///www. Tempointeraktif.com http///www.media.on.line

(50)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……… DAFTAR ISI ……….. BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ………1

B. Tujuan Penelitian ……….……..…4

C. Pembatasan Masalah ……….…….5

D. Perumusan Masalah ………..… 6

E. Metodologi Penelitian ………6

F. Sistematika Penulisan ………7

BAB II PENGERTIAN DASAR IDEOLOGI NASIONALIS RELIGIUS A. Pengertian dasar tentang Ideologi. ………....10

B. Pengertian umum tentang ideologi nasionalis religius…………..13

C. Partai Demokrat sebagai pengusung ideologi nasionalis religius……….……….….16

BAB III PRINSIP-PRINSIP DASAR NASIONALIS RELIGIUS PERSPEKTIF PARTAI DEMOKRAT A. Visi kemanusiaan dan kebangsaan……….…...22

(51)

C. Visi kebudayaan……….…………25

D. Visi kemasyarakatan……….……….27

E. Visi etika sosial politik………..27

F. Visi etika sosial ekonomi………...31

BAB IV IMPLEMENTASI NILAI-NILAI RELIGIUSITAS DALAM BERPOLITIK DI TENGAH PLURALISME BANGSA C. Nasionalis religius sebagai jalan tengah perdebatan ideologi di Indonesia : Strategi politik Partai Demokrat ?...33

D. Implementasi Nilai-nilai religiusitas Partai Demokrat : Sebuah proses agenda jangka panjang ………….…………....….41

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ……….…44

(52)

KATA PENGANTAR BismillahirrahmAanirrahiim

Syukur penulis panjatkan ke hadirat-Nya, Allah azza wa jalla, dzat yang menjadi tumpuan harapan akan kekuatan iman dan islam bagi penulis dhoif untuk dapat menyelesaikan kreasi intelektual ini.

Kepada manusia paling mulia Nabi Muhammad Saw, penulis banyak memetik suri tauladan ahlakul karimah yang senantiasa beliau ajarkan demi menegakkan cita-cita kemanusiaan yang berbudi luhur beriman, serta bertaqwa.

Sejumlah nama nama penting perlu kiranya penulis sebutkan untuk menghaturkan rasa terima kasih setinggi-tingginya seiring terselesaikannya penulisan skripsi ini. Kepada ketua jurusan program studi pemikiran politik islam, Drs Syamsuri M.ag. beserta sekertaris jurusan terkait, Dra. Wiwi Syajaroh.M.ag. khusunya kepada Prof. DR. Ahmad Mubarok M.A. yang berkenan menjadi pembimbing skripsi sekaligus banyak membantu dalam teknis lapangan. Kepada pihak rektorat: Prof.DR. Azyumardi Azra beserta staf jajarannya: Pihak Dekanat Fakultas Ushuluddin: Dr Amsal bahtiarMA. Beserta jajaran staf.

(53)

Secara khusus penulis juga ingin menyampaikan rasa terimakasih Untuk dua orang sahabatku yang telah membangkitkan semangat untuk melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah yakni saudara Abdul Malik dan Mustajib, semoga allah memberikan rahmat serta kesuksesan di masa mendatang.

Untuk seluruh sahabat sahabat yang telah memberikan support dan motivasinya Kepada penulis, yakni teman-teman PPI angkatan 99: Acom, Rafi, M. Yusuf, Ulfi Aki, hadi ambon, Nise, Iqoh, Riki, Iis dan segenap teman teman kelompok KKN di kelurahan pesanggrahan Cisoka 2002 yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu. Rasa terima kasih juga penulis ingin sampaikan kepada komunitas pergerakan forum diskusi dan organisasi primordial yang ada di Ciputat ; Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia Cabang Ciputat Kesatuan Aksi Mahasiswa Jakarta, dan Silaturrahmi Mahasiswa Jepara di Jakarta .

Kepada sahabat di LamYuzard dan Koridor yang telah banyak mewarnai hari-hari penulis dengn banyak warna warni kehidupan: Indjoenk, Elis, Fitri, Sayyid al Mubarok, Windu, Cepot, Nawal, Implunk, Heru, .F 4 Syariah, Abdullah Kamil,. sahabat sahabat Pedal Cihideung dan Litanie. Dan kepada warga yang telah banyak membantu penulis

Jazakumullahu khairan katsira. Semoga kebaikan dibalas oleh allah Swt.

Amin.

Wallahu al-muwaffiq ila aqwami ath thariq

(54)

NASIONALIS RELIGIUS SEBAGAI ALTERNATIF IDEOLOGI ”Menyoal Prinsip Prinsip Religiusitas Ideologi Politik Partai Demokrat

Oleh Mustafid NIM: 9933216591

Fakultas Ushuluddin & Filsafat Jurusan Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

(55)

NASIONALIS RELIGIUS SEBAGAI ALTERNATIF IDEOLOGI ”Menyoal Prinsip Prinsip Religiusitas Ideologi Politik Partai Demokrat

Skripsi

Diajukan kepada fakultas ushuluddin untuk memenuhi syarat syarat mencapai

gelar sarjana program strata 1 (S.Sos)

Oleh

M U S T A F I D NIM: 9933216591

Pembimbing

Prof. DR. Ahmad Mubarok M.A. NIP: 1 500 50 741

Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Jurusan Pemikiran Politik Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan karakter di MIM Unggulan Kota Gorontalo telah diimplementasikan melalui beberapa strategi dan pendekatan yang meliputi: Integrasi nilai dan etika pada

erdasarkan mekanisme keranya# secara umum diuretik dapat dibagi menadi dua golongan besar yaitu diuretik osmotik yaitu yang bekera dengan cara menarik air ke urin#

- Bila pada kehamilan 28-30 minggu masih didapatkan letak sungsang, maka dilakukan ultrasonografi untuk mencari kemungkinan adanya kelainan leta k   plasenta ( plasenta previa ),

Organisme yang digolongkan ke dalam perekayasa kimia meliputi bakteri, jamur dan protozoa yang bertanggung jawab terhadap proses dekomposisi bahan organik menjadi unsur-unsur hara

Telah dilakukan evaluasi terhadap hasil perawatan pada sistem pemantau laju dosis gamma RSG-GAS.. Sebagai pembanding digunakan data saat

Metode pengukuran berdasarkan faktor kemudahan penggunaan aplikasi (Usability) pada Model Kualitas Produk ISO/IEC 25010 digunakan untuk menunjukkan tingkat kemudahan

Standart yang digunakan dalam pembuatan test online ini adalah seperti ujian nasional dalam artian siswa dapat mengerjakan soal dengan pengacakan soal

Pembahasan dapat dilaksanakan apabila temuan dari penelitian sudah dirumuskan, pembahasan penelitian ini berkaitan dengan “ Pengelolaan Bengkel Teknik Mekatronika SMK Negeri