• Tidak ada hasil yang ditemukan

hubungan pembelajaran sejarah kebudayaan islam (SKI) dengan kecerdasan kognitif siswa kelas XII MA.Al-Falah Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "hubungan pembelajaran sejarah kebudayaan islam (SKI) dengan kecerdasan kognitif siswa kelas XII MA.Al-Falah Jakarta"

Copied!
128
0
0

Teks penuh

(1)

KELAS XII MA. AL-FALAH JAKARTA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk memenuhi syarat

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam

OLEH

SITI MARQIYAH

NIM : 106011000178

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)

i

(FITK) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Pada dunia pendidikan, masalah kecerdasan kognitif siswa khususnya dalam tingkat Aliyah/sederajat merupakan permasalahan yang sering menjadi sorotan mengingat kognitif ini menjadi salah satu aspek kemampuan yang mesti dimiliki siswa selain kemampuan afektif dan psikomotorik. Beragam persoalan yang menyangkut kecerdasan kognitif akibat dari proses pembelajaran yang bersifat monoton dan cenderung membosankan sehingga mematikan daya kognitif siswa. Hal inilah yang terjadi dalam pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam. Tinggi rendahnya pemahaman siswa dalam pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam tentunya akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan kognitif siswa. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat hubungan yang signifikan antara pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dengan kecerdasan kognitif siswa kelas XII MA. Al-Falah Jakarta, maka masalah yang dibahas dalam skripsi ini yaitu apakah terdapat hubungan antara pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dengan kecerdasan kognitif siswa kelas XII MA. Al-Falah Jakarta. Penelitian ini dilaksanakan di MA. Al-Falah Jakarta pada semester ganjil tahun ajaran 2009/2010. Teknik yang digunakan sebagai alat pengumpul data dalam penelitian ini adalah teknik angket, test uji kecerdasan kognitif, observasi dan wawancara. Penelitian ini dilakukan terhadap responden yang terdiri dari siswa kelas XII. Instrumen penelitian ini terdiri dari 2 kategori yaitu instrument pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dan test uji kecerdasan kognitif. Data penelitian pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam diperoleh dengan menggunakan alat ukur pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam terdiri dari 30 item yang koefisien reliabilitasnya sebesar 0,88 dan alat ukur kecerdasan kognitif terdiri dari 24 butir pertanyaan. Data yang diperoleh kemudian dianalisa menggunakan formula Product Moment Karl Pearson. Hasil penelitian ini menunjukkan adanya hubungan yang cukup signifikan antara pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dengan kecerdasan kognitif siswa kelas XII MA. Al-Falah Jakarta. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang aktif, transformatif dan menyenangkan dapat meningkatkan kecerdasan kognitif siswa.

(4)

ii

Tiada kata yang lebih pantas untuk diucapkan selain Alhamdulillah,

segala puji bagi Allah SWT sebagai manifestasi rasa syukur ke hadirat Illahi

Rabbi yang telah menghadiahkan anugerah yang begitu mahal harganya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul ”Hubungan Pembelajaran

Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dengan Kecerdasan Kognitif Siswa Kelas XII

MA. Al-Falah Jakarta”. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah pada

Nabi Muhammad SAW yang dengan kecerdasan dan kesabarannya mampu

mendobrak kejahiliyahan manusia.

Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk

memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Islam pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan

Keguruan (FITK), Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis sangat berterima kasih dan memberikan penghargaan yang

setinggi-tingginya atas bantuan, dorongan dan bimbingan dari beberapa pihak. Ucapan

terima kasih dan penghargaan tersebut diajukan kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku Dekan FITK UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Bahrissalim, M. Ag selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama

Islam dan Bapak Drs. Sapiuddin Shiddiq, M. Ag selaku Sekretaris

Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Ibu Dra. Hj. Eri Rossatria, M. Ag selaku dosen pembimbing skripsi.

Terima kasih tidak terkira untuk kesediaannya berbagi ilmu, waktu dan

berbagi pengalaman hidup sehingga penulis dapat mengambil hikmah

dari semuanya.

4. Para dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta yang telah banyak memberikan ilmunya kepada penulis selama

(5)

iii

6. Kepala sekolah, guru dan semua staf di MA. Al-Falah Jakarta,

khususnya Bapak Bahroin HN. S.Pd.i seorang guru agama yang

memberikan arahan dan bimbingan hidup kepada penulis.

7. Ayahanda Mar’ali HM dan Ibunda Almh. Hj. Nusroh Sumayah yang

selalu memberikan kasih sayang dan motivasi bagi penulis untuk dapat

menghadapi segala cobaan dengan hati yang lapang. Terima kasih atas

pengorbanan untuk anakmu ini.

8. H. Matsani (Pak Haji) dan Hj. Chaeriyah (Mak Haji) yang selama ini

telah banyak memberikan doa dan perhatian kepada penulis.

9. Ibu Yuli Trisnawati yang selalu menemani penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

10.Keluarga besar Alm. KH. Muhammad Chaer Djaza. Terima kasih atas

doa dan kebahagiaan yang telah diberikan kepada penulis.

11.H. Abdul Gofur S.Sos.i. Terima kasih atas doa, dukungan dan kasih

sayang yang telah diberikan untuk penulis sampai saat ini.

12.Siti Arfah, S. Kom dan Hadi Nugroho, SE yang selalu memberikan

semangat dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

13.Sahabat-sahabat penulis Emi “MiQiSyaWa”, Syaidah “MiQiSyaWa”, Wati “MiQiSyaWa” dan teman-teman kelas E angkatan 2006 Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Jurusan PAI yang tidak dapat disebutkan

satu persatu.

Pada akhirnya, tiada yang lebih berarti selain menjadi pribadi yang berguna bagi orang lain. ”Khoirunnas Anfa’uhum linnas”.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Jakarta, 24 Februari 2011

(6)

iv

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vi

BAB I : PENDAHULUAN A. . Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 7

C. Pembatasan Masalah ... 7

D. Perumusan Masalah ... 7

E. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

BAB II : KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL A. Kecerdasan Kognitif ... 9

1. Pengertian Kecerdasan Kognitif ... 9

2. Fungsi Kecerdasan Kognitif ... 10

3. Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Kognitif ... 12

4. Perkembangan Kecerdasan Kognitif ... 13

5. Tahap-tahap Perkembangan Kecerdasan Kognitif ... 16

6. Aspek-aspek Kompetensi Kognitif ... 17

7. Macam-macam Gaya Kognitif ... 20

8. Pengembangan Alat Ukur Kecerdasan Kognitif ... 22

B. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam ... 24

1. Pengertian Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam ... 24

2. Prinsip Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam ... 27

3. Fungsi Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam ... 30

4. Tujuan Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam ... 32

(7)

v

BAB III : METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 48

B. Variabel Penelitian ... 48

C. Metode Penelitian ... 48

D. Populasi dan Sampel ... 49

E. Teknik Pengumpulan Data ... 49

F. Validitas dan Reliabilitas ... 50

G. Teknik Pengolahan Data ... 52

H. Teknik Analisis Data ... 52

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum MA. Al-Falah ... 63

B. Deskripsi Data ... 66

C. Analisis Data ...72

D. Interpretasi Data ...73

BAB V : PENUTUP A. Kesimpulan ... 76

B. Saran ... 77

(8)

vi

3. Kisi-kisi Angket Penelitian Hubungan Pembelajaran Sejarah

Kebudayaan Islam (SKI) dengan Kecerdasan Kognitif Siswa Kelas XII

MA. Al-Falah Jakarta ... 55

4. Kisi-kisi Test Kecerdasan Kognitif Hubungan Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dengan Kecerdasan Kognitif Siswa Kelas XII MA. Al-Falah Jakarta ... 59

5. Penyampaian Materi Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) .. 66

6. Penggunaan Media Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) .... 67

7. Sikap Mengajar Guru Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) ... 68

8. Isi Materi Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) ... 68

9. Penyajian Inti Materi Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) . 69 10.Penerapan Metode Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) ... 70

11.Evaluasi Test Formatif Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) ... 71

12.Evaluasi Test Sumatif Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) ... 72

(9)

vii

b. Angket Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam Penelitian ...

Lampiran 2. Validitas

a. Uji Validitas Angket Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)

...

Lampiran 3. Reliabilitas

a. Perhitungan Varian Total Instrumen Pembelajaran Sejarah

Kebudayaan Islam (SKI) ...

b. Perhitungan Reliabilitas Angket Pembelajaran Sejarah Kebudayaan

Islam (SKI) ...

Lampiran 4. Analisa Data Hasil Angket Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam

(SKI) ...

Lampiran 5. Analisa Data Hasil Test Uji Kognitif Siswa ...

Lampiran 6. Persiapan Perhitungan Koefisien Korelasi ...

Lampiran 7. Perhitungan Koefisien Korelasi Pembelajaran Sejarah Kebudayaan

Islam dengan Kecerdasan Kognitif Siswa...

Lampiran 8. Perhitungan Koefisien Determinasi ...

Lampiran 9. Berita Wawancara...

Lampiran 10. Keadaan Guru dan Tenaga Kependidikan MA. Al-Falah Jakarta ..

Lampiran 11. Keadaan Siswa dan Siswi MA. Al-Falah Jakarta ...

(10)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk hidup yang diciptakan Allah SWT dengan

segala bentuk rupa, kelebihan dan kekurangan yang pastinya berbeda satu sama

lain. Allah SWT menciptakan manusia tidak lain untuk menjadi khalifah di muka bumi. Hal ini secara jelas telah Allah SWT kemukakan dalam al-Qur’an Surah A

l-Baqarah ayat 30:





….

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ”Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi....” (Qs. Al-Baqarah: 30)

Terkait dengan tujuan penciptaannya itu, manusia diberikan beberapa

kelebihan oleh Allah SWT yang dengan kelebihannya manusia diharapkan

mampu menjadi khalifah (pemimpin) untuk mengolah dan memelihara apa yang sudah terdapat di alam raya ini. Salah satu kelebihan yang Allah berikan kepada

manusia yaitu kecerdasan. Kecerdasan merupakan salah satu anugerah besar dari

Allah kepada manusia dan kecerdasan inilah yang membedakan manusia dengan

makhluk hidup lainnya. Dengan kecerdasannya, manusia dapat terus

mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidupnya yang semakin kompleks,

melalui proses berpikir dan belajar secara berkesinambungan. Dari kecerdasan

(11)
(12)

paling sempurna dibandingkan dengan makhluk lain. Allah SWT menegaskan

dalam al-Qur’an Surah At-Tin ayat 4:







Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. (Qs. At-Tin: 4).

Steven J. Stein dan Howard E. Book menjelaskan “kecerdasan pada hakikatnya merupakan sebuah proses terpadu yang melibatkan pertimbangan, pemecahan masalah dan penalaran”.1

Hal ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Alisuf Sabri bahwa “kecerdasan secara umum dapat dipahami sebagai suatu kemampuan tertinggi dari jiwa makhluk hidup yang hanya dimiliki oleh manusia”.2

Membahas pengertian kecerdasan dalam berbagai perspektif memang

cukup kompleks, lebih-lebih dewasa ini bermunculan beragam kecerdasan.

Pemahaman teoritik di atas bertujuan sebagai informasi, khususnya bagi

masyarakat yang belum paham tentang intelligensi selain yang selama ini dipahami secara umum.

Pada umumnya kecerdasan itu akan bermanfaat apabila dipraktekkan

secara optimal dengan penuh penguasaan diri dan rasa syukur, nyata di dalam

masyarakat, berlangsung bagi hajat hidup orang banyak tanpa terikat pada

batasan-batasan tidak logis yang justru membuat seseorang tampak tidak cerdas.

Semakin tinggi kecerdasan seseorang, maka ia akan semakin cepat, tepat dan

berhasil penuh dalam memecahkan masalah. Namun sebaliknya, semakin rendah

kecerdasan seseorang, maka ia akan semakin tidak dapat berbuat apa-apa apalagi

untuk memecahkan masalah, mengurus kebutuhan diri yang rutin sehari-hari pun

tidak mampu.

Sejalan dengan hal di atas, ilmu Psikologi sebagai ilmu pengetahuan

yang mempelajari tingkah laku psikis individu dalam hubungannya dengan

1Steven J. Stein dan Howard E. Book, Learning EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan

Emosional Meraih Sukses, Terj. dari The EQ Edge: Emotional Intelligence and You’r Success oleh Trinanda Rainy Januarsari dan Yudhi Murtanto, (Bandung: Kaifa, 2002), Cet. I, h. 33.

2Alisuf Sabri, Psikologi Umum dan Perkembangan, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya,

(13)

lingkungan telah mengklasifikasikan kecerdasan itu menjadi beberapa macam dan

diantara banyak kecerdasan itu adalah kecerdasan kognitif, kecerdasan emosional

dan kecerdasan spiritual. Kecerdasan kognitif memiliki peran penting dalam

rangka meningkatkan mutu pendidikan mengingat konsep pendidikan khususnya

di negara Indonesia lebih banyak mengedepankan serta mengukur tingkat kognitif

siswa daripada mengukur tingkat emosional siswa dalam menentukan

keberhasilan mereka.

Hamzah B. Uno menjelaskan bahwa “kecerdasan kognitif merupakan kecerdasan yang mengembangkan program-program pembelajaran yang dapat

mengoptimalkan keterlibatan mental intelektual seseorang pada setiap jenjang belajar”.3

Tanpa adanya kecerdasan kognitif siswa tidak akan dapat memahami,

mengingat dan menguasai suatu materi pelajaran dalam kegiatan belajar mengajar.

Dari keterangan di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam bidang pendidikan

kecerdasan kognitif menjadi ciri khas tersendiri yang tidak bisa dilepaskan dari

siswa.

Begitu pula dalam proses pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam

(SKI), tinggi rendahnya pemahaman siswa dalam pembelajaran Sejarah

Kebudayaan Islam tentunya akan memberikan pengaruh terhadap kemampuan

kognitif mereka. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam sendiri adalah proses

interaksi siswa dengan guru pada suatu lingkungan belajar yang didalamnya

terdapat materi berisikan persitiwa sejarah masa lalu. Dalam pembelajaran sejarah

terdapat beberapa aspek yang mesti diperhatikan oleh guru yakni menguasai fakta,

konsep, struktur komponen pendidikan dan mengembangkan kebiasaan berpikir kesejarahan. “Melalui kajian sejarah siswa dapat memperoleh gambaran mengenai latar belakang kehidupannya yang sekarang, sehingga belajar tentang peristiwa

masa lampau memberikan pemahaman bahwa terdapat kontinuitas dengan

3Hamzah B. Uno, Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran, (Jakarta: PT. Bumi

(14)

kehidupan masa kini”.4

Terkait dengan pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam

ini, Hariyono menjelaskan bahwa

Pembelajaran mengenai materi Sejarah Kebudayaan Islam bukanlah pembelajaran yang dapat diajarkan atau dipelajari dalam tata cara matematika atau bahasa asing tingkat dasar, seperti memotong dan memisahkan urutan informasi serta pelbagai prinsip untuk di ingat langkah demi langkah. Akan tetapi, pembelajaran sejarah merupakan materi pembelajaran yang di dalamnya terdapat usaha untuk bagaimana menguasai kemampuan berfikir secara imaginatif, mengorganisir informasi dan menggunakan pelbagai fakta dalam rangka menemukan dan memahami ide yang signifikan.5

Secara materi, Sejarah Kebudayaan Islam yaitu cerita masa lalu, namun

ruang lingkupnya tidak sesempit apa yang diwacanakan. Di dalamnya termaktub

kebudayaan yang banyak direfleksikan dalam seni, sastra, religi, dan moral.

Termaktub juga peradaban manusia yang direfleksikan dalam politik, ekonomi

dan teknologi, yang tentu bisa dikaji guna kemajuan peradaban Islam masa kini.

Manifestasi kemajuan mekanis dan teknologis menjadi wujud dari peradaban

dimaksud. Hal ini mengandung pemahaman bahwa

Sejarah Kebudayaan Islam bukan sekedar cerita masa lalu. Ia kental dengan budaya dan peradaban Islam sebagai komparasi dan ruh semangat peradaban masa kini dan mendatang. Siswa harus bisa memahami dan menghargai prestasi budaya serta peradaban dari pelaku sejarah masa lalu. Sebab di setiap zamannya terkandung nilai dan semangat yang bermanfaat untuk siswa, sekarang dan mendatang.6

Pada dasarnya, substansi materi Sejarah Kebudayaan Islam sangat

kompleks dan membutuhkan daya nalar, analisis dan sintesis yang baik dalam

proses pembelajaran. Hal ini tentu dipengaruhi juga oleh bagaimana guru

menyampaikan materi tersebut sehingga tujuan pembelajaran Sejarah Kebudayaan

Islam akan tercapai dengan baik dan kompleksitas materi pelajaran tersebut dapat

dikuasai siswa sebagai akibat dari proses pembelajaran yang efektif dan efisien.

4Amru Sahmono, “Pembelajaran Sejarah Berbasis Realitas Sosial Kontemporer Untuk

Meningkatkan Minat Belajar Siswa”, dalam http://hanckey.pbworks.com/Pembelajaran-Sejarah,

14 Februari 2010.

5Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya,

1995), Cet. I, h. 196.

6Anang Sumarna, “Aktualisasi Multiple Intelligence dalam Pembelajaran Sejarah

(15)

Pembelajaran yang harusnya dikembangkan dalam Sejarah Kebudayaan

Islam bukanlah pembelajaran yang membosankan, tetapi pembelajaran aktif dan

transformatif. ”Pembelajaran aktif merupakan pembelajaran yang mengajak siswa

untuk belajar secara aktif. Ketika siswa belajar dengan aktif, berarti mereka yang

mendominasi aktivitas pembelajaran”.7 Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam

mencakup pengelolaan informasi dan transformasi.

Umumnya, dalam proses pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam

kerapkali guru terjebak dalam metode pengajaran yang justru jauh dari

pembelajaran aktif dan transformatif serta cenderung membosankan siswa, seperti

penerapan metode ceramah. Metode ini jelas mendatangkan kebosanan bila guru

yang memberikan materi tersebut tidak bisa menyesuaikan dengan kondisi siswa.

Oleh karena itu, apabila terjadi kebosanan pada siswa maka akan berpengaruh

pula pada kecerdasan kognitif mereka dalam menyerap informasi Sejarah

Kebudayaan Islam.

Dalam kegiatan belajar mengajar Sejarah Kebudayaan Islam siswa

diharapkan tidak hanya dapat mengambil suatu kesan aktivitas edukatif yang

diterapkan guru dalam bentuk life skill sesuai minat dan bakatnya, tetapi juga dapat menguasai materi pembelajaran secara teoritis. Bila mereka dapat

menguasainya maka, materi itu pun bisa tersimpan dengan baik di memori otak

mereka yang dapat terus di ingat dan inilah yang termasuk proses kognitif dalam

pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam.

Dalam pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam sering kali guru tidak

menghubungkan materi dengan tujuan pembelajaran. Guru masuk kelas dan

langsung bercerita atau mendikte kisah sejarah. Guru lupa bahwa kegiatan yang

dilakukan di dalam kelas adalah bertujuan. ”Tujuannya bukan hanya

menghabiskan jam mata pelajaran saja namun, mengajak siswa untuk belajar dan

menumbuh kembangkan kecerdasan yang dimiliki dalam hal ini kecerdasan

7Tarmizi Ramadhan, ”Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif dan Menyenangkan”, dalam

(16)

kognitif yang meliputi proses belajar, persepsi, ingatan, berpikir dan memecahkan masalah”.8

Sejarah Kebudayaan Islam seyogyanya dapat digunakan untuk

menanamkan kekuatan mental dan daya ingat seseorang. Melalui proses belajar

mengajar Sejarah Kebudayaan Islam yang menarik dan memberikan peran aktif

pada siswa akan dapat mempertajam kesenangan pencarian dan penemuan

(inquiry and discovery). “Dari pencarian dan penemuan inilah yang nantinya akan

membangun proses penyesuaian pikiran siswa dengan objek-objek sejarah yang

mereka temukan. Proses yang demikian merupakan konsep perkembangan kognitif menurut Piaget”.9

Pada realita sekarang, materi Sejarah Kebudayaan Islam selalu disajikan

dalam bentuk narasi kurang menarik. Kisah sejarah yang sering tampil dan

menjadi bahan dialog adalah kisah sepotong-potong (atomic narrative) yang mematikan daya kognitif dan keaktifan siswa. Inilah sebabnya mengapa hasil

belajar Sejarah Kebudayaan Islam kerap kali tidak memberikan perkembangan

berarti bagi kecerdasan kognitif siswa dan hanya kebosanan yang membodohkan

mereka (the numbing dullness).

Salah satu lembaga pendidikan formal yang di dalamnya terdapat proses

belajar mengajar Sejarah Kebudayaan Islam ini yaitu Madrasah Aliyah (MA)

Al-Falah Jakarta. Tingkat pengetahuan dan pemahaman siswa terhadap Sejarah

Kebudayaan Islam masih relatif kurang. Hal ini dikarenakan pembelajaran Sejarah

Kebudayaan Islam yang cenderung berkesan membosankan dan monoton. Selain

itu minat siswa untuk membaca literatur tentang Sejarah Kebudayaan Islam juga

masih kurang sehingga pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam kerap kali

mematikan keaktifan dan kemampuan kognitif siswa.

Sehubungan dengan masalah tersebut dalam kesempatan ini penulis

bermaksud mengkajinya dalam skripsi dengan judul yaitu:

8Hariyono, Mempelajari Sejarah Secara Efektif, (Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya,

1995), Cet. I, h. 185.

9Zahrotun Nihayah, dkk., Psikologi Perkembangan: Tinjauan Psikologi Barat dan

(17)

“Hubungan Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) dengan Kecerdasan Kognitif Siswa Kelas XII Madrasah Aliyah Al-Falah Jakarta”.

B. Identifikasi Masalah

Kajian tentang pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dan kecerdasan

kognitif siswa terkait dengan aspek atau variabel yang akan diteliti sebagai

berikut:

1. Kurang bervariasinya penerapan metode pembelajaran Sejarah

Kebudayaan Islam.

2. Kurang berkembangnya kecerdasan kognitif siswa dalam memahami dan

menguasai materi pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam.

3. Rendahnya kualitas pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dalam

menumbuh kembangkan kecerdasan kognitif siswa.

4. Berbeda-bedanya kemampuan kognitif siswa dalam proses pembelajaran

Sejarah Kebudayaan Islam.

5. Kurang menariknya penyajian materi pembelajaran Sejarah Kebudayaan

Islam di sekolah.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah dalam skripsi ini, melihat luasnya

ruang lingkup permasalahan yang akan dibahas membutuhkan spesifikasi kajian

hal-hal yang dilakukan agar pembahasan lebih terfokus, penulis membatasi

permasalahan sebagai berikut:

1. Berbeda-bedanya kemampuan kognitif siswa dalam proses pembelajaran

Sejarah Kebudayaan Islam.

2. Kurang berkembangnya kecerdasan kognitif siswa dalam memahami dan

menguasai materi pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam.

D. Perumusan Masalah

Dari pembatasan masalah di atas, maka penulis merumuskan

(18)

pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dengan kecerdasan kognitif siswa kelas

XII Madrasah Aliyah Al-Falah Jakarta?

E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran empiris mengenai

hubungan pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dengan kecerdasan kognitif

siswa kelas XII Madrasah Aliyah Al-Falah Jakarta.

2. Manfaat penelitian

Secara teoritis dan praktis penelitian ini diharapkan dapat menjadi

masukan untuk pengembangan penelitian serupa di masa yang akan datang, selain

itu, sebagai bahan pengembangan ilmu dan menambah wawasan tentang

pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam dan kecerdasan kognitif di Madrasah

(19)

9

BAB II

KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kecerdasan Kognitif

1. Pengertian Kecerdasan Kognitif

Agar lebih jelas dalam membahas pengertian kecerdasan kognitif, maka

penulis akan menguraikan tentang pengertian kecerdasan terlebih dahulu. Menurut

Howard Gardner seperti yang dikutip oleh Agus Efendi kecerdasan adalah “kemampuan untuk memecahkan atau menciptakan sesuatu yang bernilai bagi budaya tertentu”.1

Terkait dengan hal ini, Danah Zohar dan Ian Marshall menegaskan bahwa “pada dasarnya kecerdasan itu beragam. Menurutnya, ada tiga ragam kecerdasan yaitu intelligence quotient atau kecerdasan intelektual, spiritual quotient atau kecerdasan spiritual dan emotional quotient atau kecerdasan emosi”.2

Mengenai kecerdasan kognitif ini, berarti membicarakan adanya

pengorganisasian saraf yang memungkinkan manusia berpikir secara rasional.

Agar lengkap pengertian dan pemahaman tentang kecerdasan kognitif, maka

berikut ini penulis mengemukakan pendapat para ahli mengenai kecerdasan

kognitif itu. Siti Rahayu Haditono dan kawan-kawan menjelaskan bahwa kecerdasan kognitif adalah “pengertian yang luas mengenai berpikir dan mengamati, artinya tingkah laku yang mengakibatkan seseorang mendapatkan

1Agus Efendi, Revolusi Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ dan Successful Intelligence Atas

IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), Cet. I, h. 81.

(20)

pengertian atau hal-hal yang dibutuhkan untuk menggunakan pengertian”.3 Sedangkan menurut Margaret E. Bell kecerdasan kognitif yaitu “kelompok ingatan yang tersusun dan saling berhubungan, aksi serta strategi yang dipakai

oleh anak untuk memahami dunia sekitarnya sesuai tahap perkembangannya yang

berjalan secara tersusun, tumbuh dan berkembang melalui interaksi dengan lingkungannya”.4

Selanjutnya Monty P. Satiadarma dan Fidelis E. Waruwu berpendapat bahwa kecerdasan kognitif adalah “kemampuan yang mencakup perkembangan ingatan, perolehan informasi, proses berpikir logis dan perkembangan dalam memecahkan masalah”.5

Selanjutnya Steven J. Stein dan Howard E. Book mengatakan bahwa kecerdasan kognitif merupakan “kecerdasan yang mengacu kepada kemampuan berkonsentrasi dan merencanakan, mengelola

bahan, menggunakan kata-kata dan memahaminya, memahami fakta dan mengartikannya”.6

Dari pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli di atas

mengenai kecerdasan kognitif, dapat disimpulkan bahwa kecerdasan kognitif

merupakan kemampuan individu yang meliputi kemampuan berpikir, mengingat,

menggunakan bahasa dan memecahkan masalah yang kesemuanya ini menjadi

aktivitas mental yang dilakukan individu secara sadar dalam interaksinya dengan

lingkungan. Atau dengan kata lain, kecerdasan kognitif yakni kemampuan

individu dalam melakukan abstraksi serta berpikir secara cepat untuk

menyesuaikan diri dengan situasi baru.

2. Fungsi Kecerdasan Kognitif

Para ahli Psikologi telah sepakat bahwa inti dari fungsi kecerdasan

kognitif manusia terletak pada otak. Otak merupakan organ yang dianggap

mampu untuk mengelola berbagai informasi yang diterima oleh individu.

3Siti Rahayu Haditono, dkk., Psikologi Perkembangan: Pengantar dalam Berbagai

Bagiannya, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1996), Cet. VIII, h. 208.

4Margaret E. Bell, Belajar dan Membelajarkan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,

1994), h. 308.

5Monty P. Satiadarma dan Fidelis E. Waruwu, Mendidik Kecerdasan: Pedoman Bagi

Orang Tua dan Guru dalam Mendidik Anak Cerdas, (Jakarta: Pustaka Populer Obor, 2003), Cet. I, h. 63.

6Steven J. Stein dan Howard E. Book, Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan

(21)

Informasi tersebut dapat berbentuk pelajaran, hal-hal yang spasial dan lain

sebagainya. Inilah yang menyebabkan mengapa fungsi kecerdasan kognitif diukur

pada tingkat kemampuan otak. Sumber yang penulis dapatkan menyebutkan bahwa “pada hakikatnya, fungsi kecerdasan kognitif diukur pada tingkat kemampuan otak dimana otak dipercaya mampu mengelola dan menggunakan

informasi yang tersedia untuk aktivitas kehidupan sehari-hari”.7

Mengenai fungsi kecerdasan kognitif ini, Muhammad Said dan Junimar

Affan menjelaskan dalam bukunya Psikologi dari Zaman ke Zaman: Berfokuskan Psikologi Pedagogis, yaitu “kecerdasan kognitif memiliki fungsi penting bagi individu yaitu membantu memecahkan masalah-masalah yang berkaitan dengan

aktivitas mengingat, berpikir, memahami, menalar, menganalisis, mensintesis,

merencanakan dan sebagainya.”8 Semua aktivitas ini berpusat pada aktivator kerja

otak. Oleh karena itu, tidaklah salah bila para ahli Psikologi bersepakat bahwa

otaklah yang menjadi inti dari berfungsi atau tidaknya kecerdasan kognitif

individu.

Sumber lain yang penulis dapatkan menjelaskan bahwa “fungsi

kecerdasan kognitif yaitu membantu individu mengembangkan daya kreasi dan

inovasi (pembaharuan) terhadap sesuatu yang sedang diamati serta dipikirkan

dalam proses internal mental di tengah-tengah adaptasinya dengan lingkungan”.9

Terkait dengan hal ini, bagi penganut aliran pendekatan kognitif (cognitive approach) salah satu proses yang dapat membentuk dan mengembangkan struktur kognitif individu yaitu proses belajar. Dalam proses belajar inilah individu akan

selalu menemukan segala sesuatu yang baru yang dapat diamati dan dipikirkan

dalam memori otak mereka.

Dari pendapat terdahulu mengenai fungsi kecerdasan kognitif, dapat

disimpulkan bahwa pada hakikatnya kecerdasan kognitif merupakan aktivitas dan

tingkah laku mental yang merupakan sarana yang digunakan manusia untuk

7Muhammad Al-Aziziyah, “Vitamin D Berpengaruh Terhadap Kecerdasan Kognitif”,

dalam http://www.tempointeraktif.com/, 06 April 2010.

8Muhammad Said dan Junifar Affan, Psikologi dari Zaman ke Zaman: Berfokuskan

Psikologi Pedagogis, (Bandung: Jemmars, 1990), h. 62.

(22)

mendapatkan dan memproses segala pengetahuan. Selain itu juga, kecerdasan

kognitif menjadi salah satu dari sekian banyak kecerdasan individu yang

mempunyai keterkaitan erat dengan kinerja otak sebagai pusat segala aktivitas

individu.

3. Faktor yang Mempengaruhi Kecerdasan Kognitif

Kecerdasan kognitif tumbuh dipengaruhi oleh faktor-faktor. Fadilah

Suralaga dan kawan-kawan menyebutkan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi kecerdasan kognitif adalah “faktor biologik, lingkungan faktor pengalaman, faktor sosial dan motivasi”.10

Berikut ini penulis akan menjelaskan

faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan kognitif tersebut.

Faktor biologik merupakan faktor pertama yang mempengaruhi kognitif

seseorang. Menurut Jean Piaget seperti yang dikutip oleh Zahrotun Nihayah dan

kawan-kawan mengatakan bahwa

Pada dasarnya perkembangan kognitif manusia berakar pada kerangka biologik, yakni setiap organisme mempunyai struktur dan organisasi. Agar dapat mempertahankan diri, organisme harus mampu mengadaptasikan struktur yang ada pada tuntutan lingkungan. Adaptasi merupakan suatu fungsi biologik dan oleh sebab itu, inilah yang menyebabkan biologik dianggap sebagai faktor yang dapat mempengaruhi kognitif organisme.11

Faktor kedua yang mempengaruhi kecerdasan kognitif yakni lingkungan

faktor pengalaman. Zahrotun Nihayah dan kawan-kawan dalam bukunya

Psikologi Perkembangan: Tinjauan Psikologi Barat dan Psikologi Islam

menjelaskan bahwa

Lingkungan faktor pengalaman berperan cukup penting dalam perkembangan kecerdasan kognitif manusia, demikian pula interaksi antara keduanya sangat berperan. Potensi yang dimiliki oleh individu dapat dioptimalkan sebaik mungkin apabila lingkungan sekitar dan pengalaman dapat memberikan stimulasi yang sesuai dengan kebutuhan individu.12

10Fadilah Suralaga, dkk., Psikologi Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Jakarta: UIN

Jakarta Press, 2005), Cet. I, h. 41.

11Zahrotun Nihayah, dkk., Psikologi Perkembangan: Tinjauan Psikologi Barat dan

Psikologi Islam, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), Cet. I, h. 25.

(23)

Selain faktor biologik dan lingkungan faktor pengalaman, faktor lain

yang mempengaruhi kemampuan kognitif individu adalah faktor sosial dan motivasi. Sumber yang penulis dapatkan menyebutkan bahwa “peran faktor sosial tidak bisa dilepaskan begitu saja dalam menumbuh kembangkan kemampuan

kognitif manusia mengingat manusia merupakan makhluk sosial yang kerapkali

menggunakan kemampuan kognitifnya dalam menerima segala pengetahuan baru di lingkungan sosial tersebut”.13

Motivasi juga merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi

kecerdasan kognitif. Fadilah Suralaga dan kawan-kawan menjelaskan bahwa

Motivasi (motivation) merupakan sebuah faktor penting yang dapat mendorong dan mempengaruhi fungsi kognitif pada diri individu. Tanpa adanya motivasi, maka individu tidak akan dapat terdorong untuk menggunakan kemampuan kognitif yang dimilikinya dalam berpikir serta mempelajari segala sesuatu seperti abstraksi, pengetahuan dan lain sebagainya.14

Dari penjelasan terdahulu dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya

kecerdasan kognitif yang dimiliki oleh setiap individu tidak terlepas dari

faktor-faktor yang mempengaruhi kecerdasan kognitif itu. Faktor tersebut diantaranya

biologik, lingkungan faktor pengalaman, faktor sosial dan motivasi (motivation). Kesemua faktor ini saling berhubungan satu sama lain dalam menumbuh

kembangkan kemampuan kognitif individu.

4. Perkembangan Kecerdasan Kognitif

Dalam perspektif Psikologi, perkembangan kecerdasan kognitif

didasarkan pada teori belajar kognitivisme dimana menurut teori itu, belajar

adalah perubahan persepsi dan pemahaman. Perubahan persepsi dan

pemahaman tidak selalu berbentuk tingkah laku yang bisa diamati. Asumsi

dasar teori ini adalah

Bahwa setiap orang telah memiliki pengalaman dan pengetahuan di dalam dirinya. Pengalaman dan pengetahuan ini tertata dalam bentuk struktur kognitif. Menurut teori ini, proses belajar akan berjalan dengan baik bila

13Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam: Berbasis Integrasi dan

Kompetensi, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), h. 72.

(24)

materi pelajaran yang baru beradaptasi (bersinambung) secara klop dengan struktur kognitif yang sudah dimiliki siswa.15

Dalam perkembangannya, setidaknya ada tiga teori belajar yang bertitik

tolak dari teori kognitivisme ini, yakni: teori perkembangan Jean Piaget, teori

kognitif Jerome S. Bruner dan teori bermakna David P. Ausubel.

1. Teori perkembangan Jean Piaget

Piaget mengemukakan bahwa “proses belajar sebagai proses pentransferan pengetahuan terjadi menurut pola tahap-tahap perkembangan

tertentu sesuai dengan usia siswa dimana tahap tersebut diantaranya sensory

motor, pra operasional, operasional konkret dan operasional formal”.16 Dalam

konsep perkembangan kognitif Piaget ini dikenal ada dua fungsi dasar, yakni organisasi dan adaptasi. Organisasi ialah “kecenderungan bawaan setiap individu untuk mengintegrasi proses-proses sendiri menjadi sistem-sistem yang koheren”.17 Sedangkan adaptasi ialah “suatu proses penyesuaian pikiran dengan objek tertentu”.18

Dalam teorinya, Piaget membagi proses adaptasi ke dalam tiga proses

dimana ketiga proses tersebut berkaitan satu sama lain. Proses yang dimaksud itu

yakni:

a. Proses asimilasi

Asimilasi merujuk pada kejadian dimana individu bila setiap kali bertemu dengan suatu objek diluar dirinya akan memasukkan pengalaman atau paham baru tentang objek itu dengan membentuk ulang kognisinya sesuai sifat organisasi intelektual yang sudah dimilikinya.

b. Proses akomodasi

Dalam perkembangan kecerdasan kognitif, proses akomodasi ini dapat menyebabkan terbentuknya suatu taraf keseimbangan baru dengan struktur yang lebih jelas, lebih tajam dan lebih luas.

c. Proses equilibrasi

Terdapat proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi. Proses penyesuaian tersebut dalam perkembangan kecerdasan kognitif dikenal dengan istilah equilibrasi.19

15Hamzah B. Uno, Orientasi Baru…, h. 53.

16Tohirin, Psikologi Pembelajaran…, h. 72.

17Siti Rahayu Haditono, dkk., Psikologi Perkembangan…, h. 210.

18Zahrotun Nihayah, dkk., Psikologi Perkembangan…, h. 25.

(25)

Dari uraian di atas mengenai konsep perkembangan kecerdasan kognitif

dapat disimpulkan bahwa di dalam kegiatan berpikir manusia, sebagaimana yang

diutarakan Piaget, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya

akomodasi, asimilasi dan equilibrasi. Antara satu aktivitas mental dengan aktivitas

mental lainnya tersebut saling berkaitan. Sehingga untuk memahami mekanisme

perkembangan kognitif manusia, kita perlu memahami arti dan fungsi dari

masing-masing aktivitas mental tersebut.

2. Teori kognitif Jerome S. Bruner

Bruner merupakan salah satu tokoh ahli Psikologi kognitif yang banyak

memberikan pandangan mengenai perkembangan kognitif manusia, bagaimana

manusia belajar dan mentransformasi pengetahuan. Dalam perkembangan

kognitif, Brunner mengusulkan teori free discovery learning, yakni teori yang beranggapan bahwa “proses belajar manusia akan berjalan baik, kreatif dan

kognitif berkembang optimal bila guru memberikan kesempatan pada siswa untuk

menemukan suatu aturan (konsep, teori, definisi dan sebagainya) melalui contoh

yang mewakili aturan yang menjadi sumbernya”.20 Dengan kata lain, kognitif

akan dapat berkembang baik bila dalam proses belajar siswa dibimbing secara

induktif untuk memahami dan mengingat suatu hal yang telah diterimanya.

Terdapat tiga tahap dalam penerapan proses belajar yang dapat menumbuh

kembangkan perkembangan kognitif manusia, yakni:

a. Tahap enaktif

Pada tahap ini, cara penyajian materi belajar terdiri atas penyajian kejadian-kejadian lampau melalui respons-respons motorik.

b. Tahap ikonik

Pada tahap ini, cara penyajian materi belajar dilakukan melalui sekumpulan gambar-gambar yang mewakili suatu konsep, namun tidak mendefinisikan sepenuhnya konsep itu.

c. Tahap simbolik

Pada tahap ini, siswa dituntut untuk dapat memahami gagasan-gagasan secara abstrak yang banyak dipengaruhi oleh bahasa dan logika.21

20Hamzah B. Uno, Orientasi Baru…, h. 12.

(26)

3. Teori bermakna David P. Ausubel

David P. Ausubel merupakan salah satu tokoh ahli Psikologi kognitif

yang berpendapat bahwa keberhasilan belajar siswa sangat ditentukan oleh

kebermaknaan bahan ajar yang dipelajari. Kebermaknaan belajar ini diartikan sebagai “suatu proses belajar dimana informasi baru dihubungkan dengan struktur pengertian yang sudah dipunyai seseorang yang sedang belajar”.22 Belajar

dikatakan bermakna apabila informasi yang akan dipelajari siswa disusun sesuai

dengan struktur kognitif yang dimiliki siswa sehingga siswa itu mampu

mengaitkan informasi barunya dengan struktur kognitif yang dimilikinya. Bagi

Ausubel, kognitif siswa dapat berkembang baik bila materi yang dipelajari siswa

diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki

sebelumnya.

5. Tahap-tahap Perkembangan Kecerdasan Kognitif

Membahas tentang perkembangan kognitif berarti membahas tentang

perkembangan individu dalam berfikir atau proses kognisi atau proses

mengetahui. Dalam Psikologi, proses mengetahui dipelajari dalam bidang

psikologi kognitif, bidang ini dipelopori oleh Jean Piaget. Dalam pandangan

Piaget, individu memiliki potensi kognitif yang mengalami proses perkembangan

dimana kecerdasan kognitif berkembang secara bertahap. Menurut Piaget tahapan ialah “suatu jangka waktu tertentu, dimana cara berpikir dan tingkah laku anak dalam berbagai situasi merefleksikan suatu struktur mental tertentu”.23 Dengan

kata lain, tahap perkembangan pada setiap periode kehidupan anak adalah

gambaran bagaimana cara-cara seorang individu memperoleh pengetahuan.

Menurut Piaget tahap perkembangan kecerdasan kognitif manusia terdiri dari

empat periode, yaitu:

No. Periode Usia

22Muhammad Said dan Junifar Affan, Psikologi dari Zaman ke Zaman…, h. 199.

(27)

1. Sensory motor 0-2 tahun

2. Pra operasional 2-7 tahun

3. Operasional konkret 7-11 tahun

4. Operasional formal 11-16 tahun

Berdasarkan pembahasan dalam judul skripsi ini yang membahas

kecerdasan kognitif pada siswa tingkat Madrasah Aliyah/sederajat maka, penulis

hanya akan menguraikan tahapan perkembangan kecerdasan kognitif pada periode

operasional formal saja karena pada taraf usia operasional formal inilah siswa

duduk di bangku sekolah tingkat Madrasah Aliyah/sederajat. Periode operasional

formal (usia 11-16 tahun) merupakan tahap tertinggi dari perkembangan kognitif.

Margaret E. Bell menjelaskan

Dalam periode operasional formal, anak mampu melakukan operasi terhadap objek dan kejadian yang tidak hadir secara konkret atau dengan kata lain anak sudah berpikir abstrak dan hipotesis. Pada tahap ini juga anak sudah berpikir rasional dan sistematis serta dapat memikirkan tentang proses pikiran mereka sendiri (metakognitif). Karena periode ini merupakan periode terakhir dalam perkembangan kognitif maka, setelah ini perubahan yang akan terjadi yakni pada aspek kedalaman dan keluasaan pengetahuan.24

Dari penjelasan terdahulu, dapat disimpulkan bahwa tahap operasional

formal yakni periode terakhir perkembangan kognitif dalam teori Piaget. Tahap

ini mulai dialami anak dalam usia sebelas tahun (saat pubertas) dan terus berlanjut

sampai dewasa. Karakteristik tahap ini yakni diperolehnya kemampuan untuk

berpikir secara abstrak, menalar secara logis dan menarik kesimpulan dari

informasi yang tersedia.

6. Aspek-aspek Kompetensi Kognitif

Pada umumnya dalam proses pembelajaran terdapat tiga aspek yang

mesti dapat dikuasai oleh siswa. Ketiga aspek tersebut yakni kognitif, afektif dan

psikomotorik. Setiap bidang studi selalu mengandung ketiga aspek tersebut, tetapi

(28)

penekannya selalu berbeda. Bidang studi praktek lebih menekankan pada aspek

psikomotorik, sedangkan bidang studi pemahaman konsep lebih menekankan

pada aspek kognitif. Namun, kedua aspek tersebut mengandung aspek afektif.

Terkait dengan hal ini, Bloom menjelaskan bahwa

Aspek kognitif berhubungan dengan kemampuan berpikir, termasuk didalamnya kemampuan menghafal, memahami, mengaplikasi, menganalisis, mensintesis dan kemampuan mengevaluasi. Aspek afektif berhubungan dengan watak (perilaku) individu seperti sikap, minat, konsep diri, nilai dan moral. Sedangkan aspek psikomotorik berhubungan dengan keterampilan yang melibatkan otot dan kekuatan fisik, misalnya menulis, memukul, melompat dan lain sebagainya.25

Nety Hartati dan kawan-kawan mengemukakan bahwa aspek kognitif merupakan “subtaksonomi yang mengungkapkan mengenai kegiatan mental yang sering berawal dari tingkat pengetahuan rendah sampai ke tingkat yang paling tinggi yakni evaluasi”.26

Nety Hartati dan kawan-kawan menambahkan pula

bahwa

Tujuan aspek kognitif ini berorientasi pada kemampuan berpikir yang mencakup kemampuan intelektual yang lebih sederhana, yakni mengingat, sampai pada kemampuan memecahkan masalah yang menuntut siswa untuk menghubungkan dan menggabungkan beberapa ide, gagasan, metode atau prosedur yang dipelajari untuk memecahkan masalah tersebut.27

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat menyimpulkan pada

dasarnya aspek kognitif ini erat hubungannya dengan kemampuan berpikir

termasuk didalamnya aktivitas kemampuan dalam memahami, menghapal,

mengaplikasi, menganalisis, mensintesis dan mengevaluasi. Terkait dengan hal

tersebut, dalam taksonomi Benjamin S. Bloom dijelaskan bahwa kemampuan kognitif dalam pembelajaran adalah “kemampuan berpikir secara hierarkis yang terdiri dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi”.28

25Ahmad Sofa, “Aspek Penilaian Kecerdasan Kognitif”, dalam

http://massofa.wordpress.com/, 29 September 2010.

26Nety Hartati, dkk., Islam dan Psikologi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2003), Cet. I, h.

65.

27Nety Hartati, dkk., Islam dan Psikologi…, h. 67.

28Ahmad Sofa, “Aspek Penilaian Kecerdasan Kognitif”, dalam

(29)

Berikut ini penulis akan menguraikan keenam aspek kognitif tersebut yang

terdapat dalam taksonomi Bloom.

1. Pengetahuan (knowledge)

Pada tahap ini siswa dituntut untuk mampu mengingat (recall) berbagai informasi yang telah diterima sebelumnya. Dengan kata lain, pada tingkat pengetahuan ini siswa menjawab pertanyaan berdasarkan hapalan saja misalnya fakta, rumus, terminologi strategi problem solving dan lain sebagainya.

2. Pemahaman (comprehension)

Pada tahap ini kategori pemahaman dihubungkan dengan kemampuan untuk menjelaskan pengetahuan, informasi yang telah diketahui dengan kata-kata sendiri. Pada tahap ini juga, siswa diharapkan menerjemahkan atau menyebutkan kembali yang telah didengar dengan kata-kata sendiri.

3. Penerapan (application)

Penerapan merupakan kemampuan untuk menggunakan atau menerapkan informasi yang telah dipelajari ke dalam situasi yang baru, serta memecahkan berbagai masalah yang timbul dalam kehidupan sehari-hari.

4. Analisis (analysis)

Analisis merupakan kemampuan mengidentifikasi, memisahkan dan membedakan komponen-komponen atau elemen suatu fakta, konsep, pendapat, asumsi, hipotesa atau kesimpulan dan memeriksa setiap komponen tersebut untuk melihat ada atau tidaknya kontradiksi. Dalam tingkat ini, siswa diharapkan menunjukkan hubungan di antara berbagai gagasan dengan cara membandingkan gagasan tersebut dengan standar, prinsip atau prosedur yang telah dipelajari.

5. Sintesis (syntesis)

Sintesis merupakan kemampuan individu dalam mengaitkan dan menyatukan berbagai elemen dan unsur pengetahuan yang ada sehingga terbentuk pola baru yang lebih menyeluruh.

6. Evaluasi (evaluation)

Evaluasi merupakan level tertinggi yang mengharapkan siswa mampu membuat penilaian dan keputusan tentang nilai suatu gagasan, metode, produk atau benda dengan menggunakan kriteria tertentu.29

Terlepas dari hal di atas, salah satu bidang studi yang menuntut siswa

memiliki aspek kognitif di atas yakni Sejarah Kebudayaan Islam yang banyak

mengandung unsur-unsur pengetahuan, pemahaman, analisis, sintesis, evaluasi.

Seorang guru Sejarah Kebudayaan Islam sudah semestinya mampu untuk

menerapkan pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam yang sejalan dengan

perkembangan aspek kognitif siswa melalui cara-cara yang variatif sehingga

pembelajaran tersebut memberikan implikasi yang nyata bagi perkembangan

(30)

kognitif siswa. Cara-cara variatif tersebut seperti “guru membuat desain rencana

pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam termasuk didalamnya rencana penilaian

(test) diantaranya membuat soal-soal yang berkaitan dengan Sejarah Kebudayaan

Islam berdasarkan Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar yang telah ditetapkan”.30

Adapun bentuk soal test yang dapat diterapkan guru guna

menumbuh kembangkan kecerdasan kognitif siswa dalam pembelajaran Sejarah

Kebudayaan Islam yakni menjodohkan, pilihan ganda, test atau pertanyaan lisan

di kelas, uraian obyektif, uraian non obyektif atau uraian bebas, jawaban atau

isian singkat dan lain-lain.

Umumnya, taraf perkembangan kognitif pada usia operasional formal

atau usia saat individu duduk dibangku sekolah tingkat Madrasah Aliyah/sederajat

sudah sampai di taraf sintesis (syntesis). Meski taraf tertinggi dari keenam aspek kompetensi kognitif ini adalah evaluasi (evaluation) namun, hanya sebagian siswa saja yang sudah sampai pada taraf ini. Meski begitu, taraf perkembangan kognitif

siswa dapat dikatakan sudah mencapai tingkat optimal yang ditandai dengan

tercapainya taraf pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis serta sintesis.

7. Macam-macam Gaya Kognitif

Pada hakikatnya dalam proses belajar mengajar kemampuan siswa untuk

memahami dan menyerap pelajaran sudah pasti berbeda tingkatnya. Ada yang

cepat, sedang dan ada pula yang sangat lambat. Oleh karena itu, mereka kerapkali

harus menempuh cara berbeda untuk bisa memahami sebuah informasi atau

pelajaran yang sama. Cara berbeda tersebut merupakan indikasi dari adanya gaya

pembelajaran setiap individu dalam memahami dan menyerap pelajaran atau

informasi dari luar dirinya. Dalam hal ini, Dunn menjelaskan bahwa

Gaya pembelajaran adalah cara seorang pelajar memproses serta mempertahankan informasi baru. Gaya pembelajaran tergantung ke fitur biologi dan perkembangan kepribadian seseorang dan ia dipengaruhi oleh lingkungan, emosi, pengaruh sosial serta perasaan individu. Akibatnya, sesuatu pengajaran

30Ahmad Sofa, “Aspek Penilaian Kecerdasan Kognitif”, dalam

(31)

dapat efektif bagi seorang mahasiswa namun tidak efektif bagi siswa yang lain karena gaya pembelajaran mereka berbeda.31

Sedangkan Renzulli dan Smith sendiri mendefinisikan gaya

pembelajaran sebagai “suatu bidang strategi pengajaran yang mana siswa mencoba menuntut pembelajaran”.32Mereka juga bependapat bahwa “siswa dapat

belajar dengan lebih efektif jika pengajaran guru sesuai dengan gaya pembelajaran

pelajar. Dengan ini, penyesuaian dalam pengajaran perlu dilakukan guna melayani gaya pembelajaran pelajar”.33

Keefe seperti yang dikutip oleh Hamzah B. Uno

dalam bukunya menjelaskan bahwa

Gaya pembelajaran mencakup tiga aspek, yaitu gaya kognitif, gaya afektif dan gaya kejiwaan. Gaya kognitif berkaitan erat dengan cara penerimaan dan pengolahan informasi, sikap terhadap informasi serta kebiasaan yang berhubungan dengan lingkungan belajar. Gaya afektif berkaitan erat dengan reaksi yang berdasarkan kepada motivasi dalam belajar sedangkan gaya kejiwaan

bersifat tabiat yang berhubungan erat dengan unsur-unsur seks, kesehatan dan lingkungan.34

Terkait dengan penjelasan di atas, dalam hal ini penulis akan

mengemukakan tentang gaya kognitif itu sendiri dan macam-macamnya. Pada dasarnya kognitif yaitu “karakteristik individu dalam berpikir, merasakan, mengingat, memecahkan masalah dan membuat keputusan”.35

Gaya kognitif juga dipahami sebagai “cara setiap individu dalam menerima, mengorganisasikan, merespons, mengolah informasi dan menyusunnya berdasarkan

pengalaman-pengalaman yang dialaminya berdasarkan kajian psikologis”.36 Setiap individu

tentunya akan memilih cara yang disukai dalam memproses dan mengorganisasi

informasi sebagai respons terhadap stimuli lingkungannya. Dalam proses

pembelajaran, macam-macam gaya kognitif tersebut diantaranya, yaitu:

a. Field Dependence (FD)

31Tohirin, Psikologi Pembelajaran…, h. 152-153.

32Muhammad Arniko, “Gaya Kognitif dalam Pembelajaran”, dalam

http://www.jejakguru.co.cc/, 30 Juli 2010.

33Muhammad Arniko, “Gaya Kognitif dalam Pembelajaran”, dalam

http://www.jejakguru.co.cc/, 01 Agustus 2010.

34Hamzah B. Uno, Orientasi Baru…, h. 186.

35Munandir, Rancangan Sistem Kognitif dalam Pembelajaran, (Yogyakarta: Kanisius,

1992), h. 88.

(32)

Field dependence yakni “persepsi siswa untuk memperoleh informasi yang dipengaruhi oleh lingkungan sekitar”.37

b. Field Independence (FI)

Field independence yakni “persepsi siswa untuk memperoleh informasi yang tidak dipengaruhi oleh lingkungan sekitar”.38

c. Gaya impulsive

Gaya impulsive yakni “gaya belajar yang cenderung bersifat menduga-duga, cepat berbuat atau berbuat yang untung-untungan”.39

d. Gaya reflective

Gaya reflective yakni “gaya kognitif yang lebih banyak memanfaatkan perenungan dan pertimbangan secara matang”.40

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap individu

mempunyai gaya yang berbeda-beda dalam menerima setiap informasi khususnya

dalam proses pembelajaran di sekolah. Gaya-gaya tersebut seperti gaya field

dependence, field independence, impulsive dan reflective baik secara langsung

maupun tidak langsung telah memberikan pengaruh terhadap perkembangan

kognisi individu.

8. Pengembangan Alat Ukur Kecerdasan Kognitif

Menurut Sumadi Suryabrata dalam bukunya Pengembangan Alat Ukur Psikologis dikemukakan bahwa “atribut kecerdasan kognitif dibedakan menjadi

tiga macam, yaitu: 1.) hasil belajar, 2.) inteligensi, dan 3.) potensi intelektual”.41

Dalam pembahasan ini, penulis hanya akan menguraikan tentang hasil belajar

saja. Hal ini didasari karena dalam proses pembelajaran hasil belajarlah yang

menjadi salah satu aspek yang menjadi penentu tercapai tidaknya kompetensi

kognitif, afektif dan psikomotorik siswa sebagai objek pendidikan.

Menurut Dimyathi dan Mudjiono, hasil belajar yakni “hal yang dapat

dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil

belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila

37Muhammad Suchaini, “Analisis Gaya Kognitif Field Dependence”, dalam

http://suchaini.wordpress.com/, 20 Agustus 2010.

38Hamzah B. Uno, Orientasi Baru…, h. 190.

39Yula Miranda, Penerapan Pembelajaran Metakognitif dalam Dunia Pendidikan,

(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), Cet. I, h. 17.

40Yula Miranda, Penerapan Pembelajaran…, h. 25

41Sumadi Suryabrata, Pengembangan Alat Ukur Psikologis, (Yogyakarta: Andi, 2005),

(33)

dibandingkan pada saat sebelum belajar. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar

merupakan saat terselesaikannya bahan pelajaran”.42 Sumber lain yang penulis dapatkan menyebutkan bahwa hasil belajar adalah “bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti”.43

Hasil belajar ini

digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu

tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami belajar

dengan diiringi oleh perubahan tingkah laku yang lebih baik lagi. Berdasarkan

taksonomi Benjamin S. Bloom hasil belajar tersebut dicapai melalui tiga kategori

ranah, antara lain:

1. Ranah kognitif. Ranah ini berkaitan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yaitu pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis dan penilaian.

2. Ranah afektif. Ranah ini berkaitan dengan sikap dan nilai. Ranah afektif meliputi lima jenjang kemampuan yaitu menerima, menjawab atau reaksi, menilai, organisasi dan karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai.

3. Ranah psikomotorik. Ranah ini berkaitan dengan perilaku-perilaku yang menekankan aspek keterampilan motorik, seperti tulisan tangan, mengetik, berenang dan mengoperasikan mesin.44

Dari ketiga ranah di atas, hasil belajar yang berkaitan dengan

kemampuan kognitiflah yang lebih dominan sebab dalam pendidikan di Indonesia,

umumnya lebih banyak mengedepankan serta mengukur tingkat kognitif siswa

daripada mengukur tingkat emosional siswa dalam menentukan keberhasilan

mereka. Pada dasarnya kemampuan kognitif merupakan hasil belajar. Kecerdasan

sangat berpengaruh terhadap kognitif siswa. Semakin cerdas siswa maka, akan

baik pula kognitifnya dan begitu pun sebaliknya.

Dalam proses pembelajaran, hasil belajar kognitif menekankan pada

kemampuan intelektual siswa. Hasil belajar kognitif ini dapat dioptimalkan dan

dikembangkan dengan strategi belajar. Guru dapat mengubah teori-teori kognitif

42Dimyathi dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 1999), h.

250-251.

43Indra Munawar, “Pengertian dan Definisi Hasil Belajar”, dalam

http://indramunawar.blogspot.com/, 30 Agustus 2010.

(34)

dan pemrosesan informasi menjadi strategi-strategi belajar khas. Beberapa strategi

belajar yang dimaksud adalah strategi mengulang, strategi elaborasi, strategi

organisasi, strategi metakognitif. Berikut ini uraian dari keempat strategi tersebut.

a. Strategi mengulang. Merupakan strategi yang dilakukan dengan menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan awal yang sudah dimiliki siswa.

b. Strategi elaborasi. Merupakan strategi yang membantu pemindahan informasi baru dari memori jangka pendek ke memori jangka panjang dengan menciptakan gabungan dan hubungan antara informasi baru dengan apa yang telah diketahui.

c. Strategi organisasi. Merupakan strategi yang bertujuan membantu siswa meningkatkan kebermaknaan bahan-bahan baru, terutama dilakukan dengan mengenakan struktur-struktur pengorganisasian baru pada bahan-bahan tersebut.

d. Strategi metakognitif. Merupakan strategi yang berhubungan dengan pengetahuan siswa tentang cara berpikir mereka sendiri dan kemampuan mereka menggunakan strategi-strategi belajar tertentu dengan tepat.45

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa cakupan kecerdasan

kognitif terdiri dari hasil belajar, inteligensi dan potensi intelektual. Hasil belajar

sendiri yakni suatu penilaian akhir dari proses dan pengenalan yang telah

dilakukan berulang-ulang. Hasil belajar ini dapat dicapai melalui tiga ranah, yakni

kognitif, afektif dan psikomotorik. Hasil belajar dalam ranah kognitiflah yang

lebih dominan dari ketiga ranah ini. Dalam pengembangan hasil belajar kognitif

ini dapat dilakukan dengan menerapkan empat strategi belajar aktif, diantaranya

strategi mengulang, elaborasi, organisasi dan metakognitif.

B. Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI)

1. Pengertian Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam

Supaya lebih jelas dalam membahas pengertian pembelajaran Sejarah

Kebudayaan Islam, maka terlebih dahulu penulis akan menjelaskan satu persatu

dari kata-kata tersebut. Pembelajaran berasal dari kata belajar yang artinya “aktivitas perubahan tingkah laku”.46

Perubahan tingkah laku ini ternyata

45Anwar Kholil, Mengoptimalkan Hasil Belajar Kognitif dengan Strategi Belajar,

(Yogyakarta: Andi Press, 2008), Cet. I, h. 50.

46Muhammad Starawaji, “Pengertian Pembelajaran”, dalam

(35)

mempunyai arti yang sangat luas, yakni perubahan tingkah laku dari tidak tahu

menjadi tahu atau berpengetahuan dan dari yang tidak mengerti menjadi mengerti. Pembelajaran juga dapat diartikan sebagai “proses yang diterapkan untuk membantu siswa agar dapat belajar dengan baik”.47

Abuddin Nata dalam bukunya

yang berjudul Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran menjelaskan bahwa pembelajaran adalah “sebuah usaha mempengaruhi emosi, intelektual dan spiritual seseorang agar mau belajar dengan kehendaknya sendiri”.48

Dengan kata

lain, pembelajaran yakni bantuan yang diberikan oleh pendidik agar dapat terjadi

proses pemerolehan ilmu dan pengetahuan, penguasaan kemahiran dan tabiat serta

pembentukan sikap dan kepercayaan pada peserta didik.

Adapun Sejarah Kebudayaan Islam sendiri didefinisikan sebagai “kemajuan dan tingkat kecerdasan akal yang dihasilkan dalam satu periode kekuasaan Islam mulai dari periode Nabi Muhammad SAW sampai perkembangan kekuasaan Islam sekarang”.49

Sejarah Kebudayaan Islam juga diartikan sebagai “kisah-kisah yang didalamnya terdapat cara-cara hidup yang ditempuh manusia dalam keaneka ragamannya untuk mencapai suatu tujuan”.50

Dalam sumber lain yang penulis peroleh disebutkan bahwa Sejarah Kebudayaan Islam merupakan “kemajuan politik atau kekuasaan Islam yang berperan melindungi pandangan hidup Islam terutama dalam hubungannya dengan ibadah,

penggunaan bahasa dan kebiasaan hidup bermasyarakat”.51

Sidi Gazalba dalam bukunya Sejarah Kebudayaan Islam memberikan definisi tentang Sejarah Kebudayaan Islam sebagai “cara berpikir dan cara merasa Islam yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan dari golongan manusia

yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang dan suatu waktu”.52 Yatimin

47 http://id.wikipedia.org/wiki/pembelajaran, 01 September 2010.

48Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2008), Cet. I, h. 85.

49Muhammad Al-Hafizh, “Pengertian Sejarah Kebudayaan Islam”, dalam

http://alhafizh84.wordpress.com/, 02 September 2010.

50Ustadz Muhammad Khair Abdul Kadir, Konsepsi Sejarah Islam dalam Sorotan, Terj.

dari Tarikhuna Fi Dlau’i al-Islam, oleh Nabhan Husein, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1992), Cet.

II, h. 64.

51Ahmad Hasimy, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), Cet. I, h.

14.

(36)

Abdullah dalam bukunya Studi Islam Kontemporer menegaskan bahwa Sejarah Kebudayaan Islam adalah “keterangan yang telah terjadi pada masa lampau atau pada masa yang masih ada”.53 Sedangkan menurut Abuddin Nata dalam bukunya

yang berjudul Metodologi Studi Islam yang dimaksud dengan Sejarah Kebudayaan Islam adalah

Peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian yang sungguh-sungguh terjadi yang seluruhnya berkaitan dengan agama Islam. Diantara cakupannya itu ada yang berkaitan dengan sejarah proses pertumbuhan, perkembangan dan penyebarannya, tokoh-tokoh yang melakukan pengembangan dan penyebaran agama Islam tersebut, sejarah kemajuan dan kemunduran yang dicapai oleh umat Islam dalam berbagai bidang, seperti dalam bidang ilmu pengetahuan agama dan umum, kebudayaan, arsitektur, politik pemerintahan, peperangan, pendidikan, ekonomi dan lain sebagainya.54

Dari definisi yang telah dijelaskan di atas dapat dikatakan bahwa

pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam adalah ”proses yang diterapkan untuk

membantu peserta didik dalam mengenal, mengetahui dan memahami setiap

kejadian atau peristiwa yang benar-benar terjadi yang berkaitan dengan

pertumbuhan dan perkembangan agama Islam dalam berbagai aspek”.55 Sumber

lain yang penulis dapatkan memaparkan bahwa pembelajaran Sejarah

Kebudayaan Islam ialah

Usaha yang diberikan oleh pendidik agar peserta didik memahami Sejarah Islam lalu mencontoh keteladanan sifat-sifat dari tokoh Islam masa lalu dengan mengambil hikmah dari nilai dan makna sejarah, menanamkan penghayatan dan kemauan yang kuat untuk mengamalkan akhlak yang baik dan menjauhi akhlak yang buruk berdasarkan pengetahuannya atas fakta sejarah yang ada, dan juga untuk menggugah semangat mendalami Islam yang lebih baik.56

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis dapat simpulkan bahwa

pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam pada hakikatnya adalah aktivitas

pentransferan ilmu pengetahuan yang dilakukan oleh guru kepada siswa yang

berhubungan erat dengan peristiwa masa silam, baik itu peristiwa politik, sosial,

53Yatimin Abdullah, Studi Islam Kontemporer, (Jakarta: Amzah, 2006), Cet. I, h. 202.

54Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006),

Cet. IV, h. 314.

55Atang Abdul Hakim dan Jaih Mubarok, Metodologi Studi Islam, (Bandung: PT.

Remaja Rosdakarya, 2007), Cet. VIII, h. 66.

56Departemen Agama RI, Pedoman Khusus Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta:

(37)

maupun ekonomi yang memang benar-benar terjadi dalam suatu negara Islam dan

dialami oleh masyarakat Islam.

2. Prinsip Pembelajaran Sejarah Kebudayaan Islam

Dalam setiap bidang studi terdapat beberapa prinsip yang mesti

diperhatikan dan diterapkan oleh setiap guru guna mengefektifkan proses

pembelajaran di ruang kelas. Salah satu bidang studi yang di dalamnya terdapat

prinsip-prinsip tersebut yakni Sejarah Kebudayaan Islam. Muhaimin dan

kawan-kawan dalam bukunya Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah menjelaskan bahwa prinsip-prinsip pembelajaran yang di maksud antara lain sebagai berikut:

1. Prinsip kesiapan (readliness)

Proses belajar sangat dipengaruhi oleh kesiapan individu sebagai subjek yang melakukan kegiatan belajar. Kesiapan belajar adalah kondisi fisik-psikis (jasmani-mental) individu yang memungkinkan subjek dapat melakukan kegiatan belajar.

2. Prinsip motivasi (motivation)

Motivasi dapat diartikan sebagai “tenaga pendorong atau penarik yang menyebabkan adanya tingkah laku kearah suatu tujuan tertentu”.57

Berdasarkan sumbernya, motivasi dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu

motivasi intrinsik (motivasi yang datang dari dalam diri siswa), dan motivasi ekstrinsik (motivasi yang datang dari lingkungan di luar diri siswa).

3. Prinsip perhatian

Perhatian merupakan strategi kognitif yang mencakup empat keterampilan, antara lain:

a. Berorientasi kepada suatu masalah. b. Meninjau sepintas isi masalah.

c. Memusatkan diri pada aspek-aspek yang relevan, dan d. Mengabaikan stimuli yang tidak relevan.

4. Prinsip persepsi

Persepsi merupakan “suatu proses bersifat kompleks yang menyebabkan orang dapat menerima atau meringkas informasi yang diperoleh dari lingkungannya”.58

Persepsi umumnya bersifat relatif, selektif dan teratur. Oleh karena itu, sejak dini kepada siswa perlu ditanamkan rasa memiliki persepsi yang baik dan akurat mengenai apa yang akan dipelajari.

5. Prinsip retensi

Retensi adalah apa yang tertinggal dan dapat diingat kembali setelah seseorang mempelajari sesuatu. Dengan retensi membuat apa yang

57 http://id.wikipedia.org/wiki/motivasi, 03 September 2010.

(38)

dipelajari dapat bertahan atau tertinggal lebih lama dalam struktur kognitif dan dapat diingat kembali ji

Gambar

gambar serta perhitungan deskriptif, sehingga dapat diketahui ciri-ciri khusus dari
gambar dan latihan
Gambaran umum MA. Al-Falah
Tabel ini menunjukkan bahwa sebagian besar (59,5%) siswa sangat
+4

Referensi

Dokumen terkait