• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERBEDAAN EFIKASI DIRI GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DALAM PENDIDIKAN INKLUSI DITINJAU DARI LAMA MENGAJAR DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DI KECAMATAN GRABAG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PERBEDAAN EFIKASI DIRI GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI DALAM PENDIDIKAN INKLUSI DITINJAU DARI LAMA MENGAJAR DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN DI KECAMATAN GRABAG"

Copied!
159
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN EFIKASI DIRI GURU PENDIDIKAN ANAK

USIA DINI DALAM PENDIDIKAN INKLUSI DITINJAU DARI

LAMA MENGAJAR DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN

DI KECAMATAN GRABAG

SKRIPSI

Disusun Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Universitas Negeri Semarang

Oleh

Ririn Masynu’atul Khairiyah NIM 1601409050

JURUSAN PENDIDIKAN GURU PENDIDIKAN ANAK USIA DINI FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN

(2)

ii

PERNYATAAN

Saya menyatakan bahwa yang tertulis di dalam skripsi berjudul “Perbedaan Efikasi Diri Guru Pendidikan Anak Usia Dini Dengan Pendidikan Inklusi Ditinjai Dari Lama Mengajar Dan Latar Belakang Pendidikan Di Kecamatan Grabag“ benar-benar hasil tulisan karya saya sendiri, bukan jiplakan dari karya orang lain, baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip dan dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah

Semarang,

Ririn Masynu’atul Khairiyah

(3)

iii

PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi ini telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke Sidang Panitia ujian skripsi pada:

Hari :

Tanggal :

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Ali Formen, S.Pd, M.Ed Wulan Adiarti, M. Pd

NIP. 197705292003121001 NIP.198106132005012001

Mengetahui,

Ketua Jurusan PG PAUD FIP Unnes

(4)

iv

PENGESAHAN KELULUSAN

Skripsi ini telah dipertahankan dihadapan sidang Panitia Ujian Skripsi Jurusan PG PAUD, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universits Negeri Semarang, pada :

Hari :

Tanggal :

Panitia Ujian Skripsi

Ketua Sekretaris

Prof. Dr. Haryono, M.Psi Diana, S. Pd, M. Pd

NIP 196202221986011001 NIP 19791220 200604 2 001

Penguji I

Diana, S. Pd, M. Pd NIP 19791220 200604 2 001

Penguji II Penguji III

Ali Formen, S. Pd, M. Ed Wulan Adiarti, M. Pd

(5)

v

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

Mimpi-mimpi kamu, cita-cita kamu, keyakinan kamu, apa yang kamu

mau kejar, biarkan ia menggantung, mengambang 5 centimeter di depan kening kamu. Jadi dia nggak akan pernah lepas dari mata kamu. Dan kamu bawa mimpi dan keyakinan kamu itu setiap hari, kamu lihat setiap hari, dan percaya bahwa kamu bisa.(5cm)

PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada:

 Bapak Muhamad Nur Khotim dan Ibu Siti Nurjanah atas do’a, kasih sayang dan dukunngannya.

 Pak War dan adikku Muhamad Reza Ul’ahkam dan seluruh keluarga yang selalu mendukungku.

 Kepada sahabat-sahabatku Ithuk, Santi, Wulan dan Mamah yang selalu memberi dukungan dan semua teman-teman PG PAUD 2009 rombel 2 atas kebersamaanya.

(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur Alhamdulilah penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat hidayah dan karuniaNYA sehingga penulis dapat meyelesaikan penyusunan skripsi ini yang berjudul “Perbedaan Efikasi Diri Guru Pendidikan Anak Usia Dini Dengan Pendidikan Inklusi Ditinjai Dari Lama Mengajar Dan Latar Belakang Pendidikan Di Kecamatan Grabag“. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak akan terwujud tanpa dukungan, bantuan, dan bimbingan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:.

1.

Drs. Hardjono, M.Pd, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis dalam menempuh pembelajaran di Fakultas Ilmu Pendidikan.

2. Edi Waluyo, S. Pd. M. Pd, Ketua Jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini (PG PAUD) Universitas Negeri Semarang.

3. Ali Formen, S. Pd., M. Ed., Dosen pembimbing skripsi I yang membimbing, memberikan arahan, perhatian dan masukan yang sangat berarti selama penyusunan skripsi.

(7)

vii

5. Bapak ibu dosen jurusan Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang yang telah memberikan bekal ilmu dan pengalaman kepada penulis selama menuntut ilmu di bangku kuliah.

6. Dinas UPTD Kecmatan Grabag yang telah memberikan ijin penelitian.

7. Guru pendidikan anak usia dini di kecamatan grabag kabupaten magelang yang telah membantu dan mempermudah dalam melakukan penelitian. 8. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah

membantu penulis selama masa kuliah dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis berharap semoga semoga skripsi ini bermanfaat bagi semuanya.

Semarang, 2014

(8)

viii Abstrak

Masynu’atul Kairiyah, Ririn. 2013. Perbedaan Efikasi Diri Guru Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Pendidikan Inklusi Ditinjau Dari Latar Belakang Pendidikan Dan Lama Mengajar Di Kecamatan Grabag. Skripsi. Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini, Fakultas Ilmu Pendidikan, Univesitas Negeri Semarang. Pembimbing: 1. Ali Formen, S. Pd, M.Ed, 2.Wulan Adiarti, M.Pd Kata kunci: Efikasi Diri Guru, Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi merupakan suatu layanan pendidikan yang dicanangkan pemerintah agar anak berkebutuhan khusus dapat masuk dalam pendidikan reguler. Hal tersebut tidaklah mudah untuk dilakukan. Karena itu efikasi guru pendidikan anak usia dini untuk melakukan program pendidikan inklusi perlu dikaji secara mendalam. Untuk mengetahui level efikasi diri guru dalam pendidikan inklusi penelitian ini mengkaji dua permasalahan: (1) adakah perbedaan efikasi guru pendidikan anak usia dini dalam pendidikan inklusi ditinjau dari latar belakang pendidikan?; (2) adakah perbedaan efikasi guru pendidikan anak usia dini dalam pendidikan inklusi ditinjau dari lama mengajar?

Penellitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan desain penelitian statistik deskriptif ANOVA (one way analysis of variance). Penelitian ini melibatkan 58 orang guru di Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang. Sampel ini dipilih dengan cara teknik simple random sampling dari 133 guru Di Kecamatan Grabag Kabupaten Megelang.

Dari studi yang dilakukan mayoritas guru berada di level sedang dan diperoleh temuan sebagai berikut: (1) terdapat perbedaan yang signifikan efikasi diri guru ditinjau dari latar belakang pendidikan dengan F hitung (10.752) dan signifikan pada p<0.05; (2) efikasi guru ditinjau dari lama mengajar tidak menunjukan adanya perbedaan yang signifikan dengan F hitung (3.254) dan p>0.05. Artinya tingkat pendidikan memberikan kontribusi terhadap tingkat efikasi pendidik, guru memperoleh informasi tentang pendidikan inklusi yang membuat mereka lebih percaya diri (efikasi tinggi). Sementara lama mengajar tidak selalu memperolah informasi tentang pendidikan inklusi.

(9)

ix Abstract

Masynu’atul Kairiyah, Ririn. 2013. Difference of self efficacy teacher early chldhood in inclusive education by graduate degree and teaching experience in Grabag. Final Project. Early Childhood Education Departement. Faculty of Education. Semarang State University. Supervisor I: Ali Formen, S. Pd., M. Ed., Supervisor II: Wulan Ardiarti M.Pd.

Key Word: teacher self efficacy, inclusive education

Inclusive education as a service who was made goverment so that student with disabilities acceptable included reguler education. It is not easy to can be done. Therefore teacher efficacy early childhood education to do inclusive program must investigated exhaustively. To know about levels teachers efficacy in inclusive education this study to examine two problems: (1) is there differences teacher efficacy by graduate degree? (2) is there differences teacher efficacy in inclusive education by teaching experinces?

This study used kuantitave, with statistik descriptive and ANOVA (one way analysis of variance). This study involve 58 teachers in kecamatan Grabag Kabupaten Magelang. This sample selected by simple random sampling technique from 133 teachers in Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang.

Majority teachers there is medium level from study to do and obtained the following findings: (1) there differences self efficacy teacher by graduate degree with F (10.725); (2) no differences self efficacy by teaching experiences with F (3.254) and p>0.05. that mean graduate degree give contribution toward level teachers efficacy, so teachers obtained information about inclusive education who make them more confidence (high efficacy). While teaching experiance not always obtained information about inclusive education.

(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

PERNYATAAN ... ii

PERSETUJUAN BIMBINGAN ... iii

HALAMAN PENGESAHAN ... iv

MOTTO DAN PERSEMBAHAN ... v

KATA PENGANTAR ... vi

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 9

1.3 Tujuan Penelitian ... 9

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

1.4.1 manfaat teoritis ... 9

1.4.2 manfaat praktis ... 10

BAB II KAJIAN TEORI 2.1 Efikasi Diri Guru ... 11

2.1.1 pengertian Efikasi Diri Guru ... 11

(11)

xi

2.1.3 Dimensi Efikasi Diri ... 17

2.1.4 Proses Efikasi Diri ... 19

2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Efikasi Guru ... 21

2.2 Pendidikan Inklusi ... 23

2.2.1 Pengertian Pendidikan Inklusi ... 23

2.2.2 Tujuan Pendidikan Inklusi ... 27

2.2.3 Manfaat Pendidkan inklusi ... 29

2.2.3.1 manfaat bagi siswa ... 29

2.2.3.2 Bagi Pendidik ... 31

2.2.4. Landasan Hukum Pendidikan Inklusi ... 32

2.2.5. Peserta Didik dalam Pendidikan Inklusi ... 34

2.2.6. Kompetensi Guru Dalam Pendidikan Inklusi ... 38

2.3 Penelitian Sebelumnya ... 44

2.4 Kerangka Berpikir ... 45

2.5 Hipotesis ... 46

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Variabel Penelitian ... 48

3.2 Definisi Operasional ... 48

3.3 populasi dan sampel ... 49

3.3.1 Populasi ... 49

3.3.2 Sampel ... 49

(12)

xii

3.5 Uji Validitas dan Reabilitas ... 52

3.5.1 uji validitas ... 52

3.5.2 Uji Reabilitas ... 54

3.6 Analisis Data ... 55

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 57

4.1.1 Gambaran Umum Hasil Penelitian ... 57

4.1.2 Identitas Responden ... 57

4.1.2.1 Jenis Kelamin Responden ... ... 55

4.1.2.2 Latar Belakang Pendidikan ... ... 58

4.1.2.3 Lama Mengajar ... ... 59

4.1.3 Deskripsi Hasil Penelitian ... ... 60

4.1.3.1 Kategori Skor Variabel Efikasi Guru dalam Pendidikan Inklusi .. ... 61

4.1.4 Analisis Data ... 62

4.1.4.1 Uji Asumsi ... ... 62

4.1.4.2 Uji Hipotesis ... 62

4.2 PEMBAHASAN ... ... 70

4.2.1 Efikasi Diri Guru Pendidikan Anak Usia Dini Dalam Pendidikan Inklusi ... 70

4.2.1.1 Efikasi Diri Guru Pendidikan Anak Usia Dini Dengan Pendidikan Inklusi Ditinjau dari Latar Belakang Pendidikan ... ... 73

(13)

xiii

KETERBATASAN PENELITIAN ... ... 83

BAB V SIMPULAN DAN SARAN 5.1 Simpulan ... 84

5.2 Saran ... 85

Daftar Pustaka ... 86

Lampiran 1 (Surat Ijin Penelitian) ... 90

Lampiran 2 (Daftar Lembaga) ... 91

Lampiran 3 (Kisi-Kisi Instrumen) ... 92

Lampiran 4 (Tabulasi Data Hasi Uji Coba Instrumen) ... 93

Lampiran 5 (Uji Validitas Dan Reabilitas) ... 94

Lampiran 6 (Blue Print Efikasi Diri Guru) ... 95

Lampiran 7 (Instrumen Penelitian) ... 96

Lampiran 8 (Data Responden) ... 97

Lampiran 9 (Tabulasi Data Hasil Penelitian) ... 98

Lampiran 10 (hasil uji normaitas dan homogenitas) ... 99

(14)

xiv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 3.1 Skor Jawaban Kuisioner ... 51

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen ... 51

Tabel 3.2 item valid dan gugur ... 53

Tabel 3.3 Hasil Uji Reabilitas Item Pada Uji Coba Instrumen ... 55

Tabel 4.1 Jenis Kelamin ... 58

Tabel 4.3 Latar Belakang Pendidikan Responden ... 59

Tabel 4.4 Lama Mengajar ... 60

Tabel 4.5 Kategori Skor Efikasi Diri Guru Pendidikan Anak Usia Dini ... 61

Tabel 4.6 Deskripsi Statistik Hasil Uji Normalitas ... 63

Tabel 4.7 Deskripsi Statistik Uji Homogenitas ... 63

Tabel 4.8 Deskripsi Hasil Analisis Varian Latar Belakang Guru Pendidikan Anak Usia Dini ... 64

Tabel 4.9 Hasil Post Hoc Test latar belakang pendidikan ... 65

Tabel4.10 Tabel Deskripsi Hasil Analisis Varian Lama Mengajar Guru Pendidikan Anak Usia Dini ... 67

(15)

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Pendidikan inklusi merupakan amanah pemerintah yang sudah tercantum dalam perundang-undangan sebagai wujud kepedulian pemerintah dalam dunia pendidikan. Upaya untuk menjangkau layanan pendidikan pada generasi sekarang dan yang akan datang, mereka berkebutuhan khusus, serta secara geografis, sosial, ekonomi, dan budaya terperangkap dan sulit mendapat akses pendidikan. Mereka semua mempunyai hak-hak yang sama dalam memperoleh pendidikan. Komitmen pemerintah untuk untuk memberikan layanan pendidikan yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial....”. Untuk mencerdaskan kehidupan bangsa inilah diperlukan

layanan pendidikan yang menyeluruh bagi segenap warga Indonesia. Begtu pula bunyi Pasal 31 (1) yang berbunyi bahwa setiap warga berhak mendapat pendidikan. Termasuk untuk anak berkebutuhan khusus dan yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa. Hal ini sejalan dengan seruan international education for all ( EFA) yang dikumandangkan UNESCO sebagai kesepakatan global yaitu World Education Forum di Dakar, Sinegal Tahun 2000 bahwa penuntasan EFA diharapkan tercapai pada tahun 2015. Indonesia termasuk dalam kesepkatan ini (Mudjito,dkk, 2012).

(16)

pendidikan inklusi diharapkan hak anak berkebutuhan khusus untuk mendapatkan pendidikan seperti anak-anak normal seusianya bisa terpenuhi. Meskipun demikian pelaksanaan pendidikan menjadi tanggung jawab semua pihak, tidak hannya pemerintah akan tetapi orang tua, guru dan masyarakat. Di sisi lain melalui pendidikan inklusi diharapkan terjalin interaksi yang positif dan mengenalkan kepada anak-anak normal bahwa mereka yang berkebutuhan khusus mempunyai hak yang sama seperti mereka.

Deklarasi Bandung yang dilaksanakan pada 8 – 14 Agustus 2004 menjadi awal pelaksanaan pendidikan inklusi. Meskipun program ini sudah dicanangkan sejak lama, namun keberadaan dan informasi sekolah inklusi masih terbatas. Pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan, pasal 4 (1) telah mendorong terwujudnya sistem pendidikan inklusif dengan menyatakan bahwa setiap satuan pendidikan yang melaksanakan pendidikan inklusif harus memiliki tenaga kependidikan yang mempunyai kompetensi menyelenggarakan pembelajaran bagi peserta didik dengan berkebutuhan khusus.

(17)

Jateng sudah mencapai 117 unit. Dari jumlah tersebut, untuk tingkat SMP/MTs terdapat 10 unit, SMA/MA 1 unit, sedang selebihnya Sekolah Inklusi untuk tingkat SD.

(18)

Das Asim dalalm Journal Of International Development And Coorporation Volume 18 Nomor 3 Tahun 2012 dalam penelitianya yang berjudul In-sevice Teachers’ Perception Toward Inclusion of Student With Disabilities in

Mainstream Primary Classroom: Case Of Some Selected Primary School in

Shourtern Bangladesh, menyatakan bahwa guru adalah kunci sukses dari program inklusi, jadi kompetensi pendidik menjadi hal utama yang dipertimbangkan dalam proses pembelajaran. Seperti yang tercantum dalam pedoman penyelenggaraan pendidikan inklusi tahun 2007 bahwa untuk mendirikan atau melaksanakan pendidikan inklusi guru harus menguasai beberapa kompetensi, baik itu guru umum ataupun guru pendidik khusus sehingga program pendidikan inklusi akan berjalan dengan baik. Di samping kompetensi guru yang tidak kalah penting adalah self efficacy guru. Self efficacy guru menurut Guskey & passaro dalam Hartman (Summer 2010 AER Journal: Teacher Self Eficacy and Deaf-Blindness) yaitu teachers’ beliefs or conviction that they can influence how well a student learns, even those who may be difficult or unmotivated. Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa guru yang mempunyai keyakinan dan pendirian mereka dapat mempengaruhi siswa dalam belajar bahkan siswa yang mengalami kesulitan maupun yang tanpa motivasi. (diakses pada 13 Maret 2013 tersedia dalam www.aerbvi.org/modules.php?name=avantGo&file=print&sid=1963)

(19)

dengan baik, terlebih pendidikan bagi anak- anak yang berkebutuhan khusus usia dini yang membutuhkan sistem dan perencanaan pembelajaran yang sesuai dengan kebutuhannya. Harapan tersebut yang menjadi dasar pentingnya efikasi guru pendidikan usia dini dalam dunia pendidikan, terlebih dalam pendidikan inklusi.

Hartmann dalam Summer 2010 AER Journal: Teacher Self Eficacy and Deaf-Blindness mengemukakan bahwa guru dengan efikasi yang tinggi berbeda dengan guru dengan efikasi yang rendah. Guru dengan efikasi yang tinggi mempunyai dampak positif dalam pembelajaran siswa, mempunyai perencnaan yang strategis serta mempunyai tanggung jawab yang besar. Sehingga dalam proses pelaksanaan program guru mempunyai keyakinan yang positif dalam dirinya bahwa guru mampu menjalankan dan mengani anak-anak dengan berkebutuhan khusus tanpa ada rasa beban di dalam dirinya. Hasil penelitian tersebut menunjukan bahwa sangat penting guru mempunyai efikasi yang tinggi. Efikasi sebagai sisi lain yang harus dimiliki guru di samping kompetensi. Efikasi dan kompetensi yang tinggi akan menjadi senjata dalam pembangunan pendidikan indonesia.

(20)

memanfaatkan prestasi akademik mereka. Berbanding terbalik dengan guru yang efikasi rendah bahwa mereka lebih banyak menghabiskan waktu untuk liburan, siap menyerah jika siswa tidak berhassil dengan cepat dan mencela kegagalan mereka (siswa).

Pentingnya efikasi jika dilihat dari hasil uraian di atas menjadi begitu penting terhadap perkembangan pendidikan di Indonesia. Efikasi guru yang tinggi akan menjadi awal yang baik dalam peningkatan kompetensi guru dalam rangka perwujudan pendidikan inklusi di Indonesia. Pelaksanaan pendidikan inklusi tidaklah mudah disamping terbatasnya sumber daya yang relevan dan tidak mudahnya mengubah sekolah reguler menjadi sekolah inklusif. Untuk itu disamping kerja keras guru juga harus mempunyai motivasi dan keyakinan yang tinggi.

(21)

usia 0-17 berdasarkan data penyandang masalah kesejahteraan(PMKS) departemen sosial republik indonesia tahun 2008 mencapai 56.711.

Seiring meningkatnya jumlah anak berkebutuhan khusus pendidikan inklusi menjadi titik terang dalam upaya pemerataan pendidikan yang tidak memandang apakah mereka berkebutuhan atau tidak. Pendidikan inklusi sebagai solusi idola bagi orang tua yang mempunyai anak-anak berkebutuhan khusus, sehingga para orang tua tidak harus memasukan anak-anaknya di sekolah luar biasa.

(22)

rasa percaya diri yang tinggi pula dalam menerima dan mengajar anak berkebutuhan khusus.

Alasan penting dalam latar belakang penelitian ini adalah latar belakang pendidikan, dan lama mengajar para guru. Efikasi guru terbukti berkorelasi dengan faktor-faktor pengalaman instruksional yaitu pengalaman mengajar atau lama

mengajar. Seperti yang di ungkapkan Erawati Dalam Jurnal Inferensial Volume 6

Nomor 2 Desember 2012 yang berjudul Profil dan Faktor Yang Mempengaruhi Efikasi Guru Madrasah Ibtida’iyah Peserta Dual Modem System bahwa sikap keterbukaan dan pengalaman menguasai inovasi pembelajaran dan teknologi. Guru

yang lebih lama mengajar, lebih terbuka dengan perkembangan inovasi pembelajaran

dan teknologi dijumpai lebih efikasius.

Alasan lain yang melatar belakangi penelitian ini adalah tidak semua lembaga

memiliki atau pernah menerima anak berkebutuhan khusus. Hal ini tidak menjadi suatu alasan bahwa guru tidak mempunyai keyakinan dan motivasi dalam melaksanakan pendidikan inklusi. Keyakinan, rasa percaya diri serta motivasi yang tinggi dari para guru pendidikan anak usia dini penerimaan terhadap anak berkebutuhan khusus di lembaga pendidikan menjadi awal yang baik dalam dunia pendidikan di Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang.

(23)

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang yang penulis kemukakan di atas, maka dapat dirumuskan masalah-masalah yang timbul agar masalah menjadi jelas, maka rumusan masalahnya adalah

1. Adakah perbedaan efikasi guru pendidikan anak usia dini dalam pendidikan inklusi ditinjau dari latar belakang pendidikan?

2. Adakah perbedaan efikasi guru pendidikan anak uisa dini dalam pendidikan inklusi ditinjau dari lama mengajar?

1.3 TUJUAN PENELITIAN

Dari rumusan masalah di atas tujuan yanng ingin dicapai yaitu

1. Untuk mengetahui perbedaan efikasi guru pendidikan anak usia dini dalam pendidikan inklusi ditinjau dari latar belakang pendidikan.

2. Untuk mengetahui perbedaan efikasi guru pendidikan anak usia dini dalam pendidikan inklusi ditinjau dari lama mengajar.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini adalah 1. Manfaat teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan informasi dan masukan kepada pendidik PAUD

(24)

2. Manfaat Praktis a. Sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi bagi sekolah tentang program pelaksanaan pendidikan inklusi.

b. Guru

Dapat memberikan informasi bagi guru untuk mengetahui pentingnnya mempunyai self efficacy dalam dunia pendidikan anak usia dini.

c. Orang tua

(25)
(26)

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA 2.1 Efikasi Diri Guru

2.1.1 Pengertian Efikasi Diri Guru

Konsep self efficacy guru didasarkan pada Bandura (1997) teori kognitif sosial yang menyatakan bahwa orang-orang melatih kontrol atas apa yang mereka lakukan dan perilaku mereka dipengaruhi oleh faktor-faktor penentu paling bergantung seperti faktor personal internal dan faktor eksternal lingkungan.

Efikasi diri didasarkan pada kerangka teori sosial kogntif Bandura (1997: 3) bahwa Perceived self efficacy refers to Beliefs in ones’s capabilies to organize and execute the courses of action required to produce given attainments.

Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa efikasi diri mengacu pada keyakinan dalam kemampuan seseorang untuk mengatur dan melaksanakan tindakan yang diperlukan untuk membuat pencapaian yang diberikan.

(27)

Menurut Alwisol (2009: 287) efikasi adalah penilaian diri, apakah dapat melakukan tindakan yang baik atau buruk, tepat atau salah, bisa atau tidak bisa mengerjakan sesuai yang dipersyaratkan. Efikasi ini berbeda dengan aspirasi (cita-cita), karena cita-cita menggambarkan sesuatu yang ideal yang seharusnya dapat dicapai, sedang efikasi menggambarkan penilaian kemampuan diri. Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa efikasi diri merupakan penilaian diri terhadap keyakinan dan kemampuan dalam melakukan suatu tindakan yang dapat mengubah lingkungan sekitarnya.

Efikasi diri bukan merupakan ekspektasi dari hasil tindakan kita. Bandura dalam Feist (2010: 212) membedakan antara ekspektasi mengenai efikasi dan ekspektasi mengenai hasil. Efikasi merujuk pada keyakinan diri seseorang bahwa orang tersebut memiliki kemampuan untuk melakukan suatu perilaku, sementara ekspektasi atas hasil merujuk pada prediksi dari kemungkinan mengenai konsekuensi perilaku tersebut.

Efikasi diri berlaku juga pada guru yang mengacu pada keyakinan-keyakinan pribadi tentang kapabilitas-kapabilitas si pengajar untuk untuk membantu siswa belajar. Efikasi diri pengajar akan mempengaruhi aktivitas-aktifitas, usaha dan keuletan guru dalam mendidikk siswa (Schunk,2012: 212). Schunk (2012: 213) efikasi diri guru merupakan sebuah prediktor yang signifikan untuk memprediksi prestasi siswa.

(28)

dalam pembelajaran anak-anak. diakses pada tanggal 13 Maret 2013 dalam www.aerbvi.org/modules.php?name=avantGo&file=print&sid=1963

Bandura dalam Oneyda (2006: 99) mengungkapkan bahwa:

“Teacher efficacy is the teacher’s belief in his or her capability to

organize and execute courses of action to succesfully accompllish specific instructional task or, more simply, his or her capacity to affect student performance.”

Pengertian tersebut dapat diartikan bahwa efikasi guru merupakan keyakinan guru dalam kemampuanya untuk mengatur dan melaksanakan program tindakan untuk berhasil menyelesaikan tugas instruksional tertentu atau kapasitasnya untuk mempengaruhi prestasi siswa.

Berdasarkan uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa efikasi guru adalah keyakinan guru terhadap kemampuannya dalam mengajar, untuk mengatur dan mempengaruhi para siswa saat proses pembelajaran, sehingga guru mampu memprediksi perkembangan prestasi belajar siswa.

(29)

situasi lingkungan yang tidak responsif , orang-orang akan merasa apatis, segan dan tidak berdaya (feist, 2010:213)

Gibson dan Dembo dalam Bandura (1997: 241) menjelaskan bahwa mengukur keyakinan guru dalam efikasi mereka untuk memotivasi dan mendidik kesulitan siswa dalam belajar dan untuk menetralkan permusuhan yang dapat mempengaruhi perkembangan akademik siswa. Efikasi diri mempengarui pengaturan aktivitas dalam kelas. Guru dengan dengan self efikasi yang tinggi dapat menyediakan waktu yang lebih dalam aktivitas akademik, memberikan bimbinga bagi murid yang mengalami kesulitan dan memuji akademik mereka. Berbanding terbalik dengan guru yang memilliki self efficacy rendah. Guru dengan self efficacy rendah akan membutuhkan waktu yang lama dalam aktivitas non akademik, selain itu juga menyerah terhadap siswa dan mencela kegagalan mereka.

(30)

2.1.2 Sumber Efikasi Diri

Alwisol (2009: 288) Perubahan tingkah laku, dalam sistem Bandura kuncinya adalah perubahan ekspektasi efikasi (efikasi diri). Sumber efikasi merupakan faktor self efikasi yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya self efikasi. Sumber dari self efikasi antara lain:

a. Pengalaman Performance

Prestasi yang pernah dicapai pada masa yang telah lalu. Sebagi sumber, performansi masa lalu menjadi pengubah efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya. Prestasi (masa lalu) yanng bagus meningkatkan ekspektasi efkasi, sedangkan kegagalan akan menurunkan efikasi. Mencapai keberhasilan akan memberi dampak efikasi yang berbeda-beda, tergantung proses pencapaianya (Alwisol, 2009:288)

Sedangkan Bandura (1997:79) tidak menyebutkan performance accomplishment dalam sumber efikasi melainkan enactive mastery experience. Enactive mastery experience merupakan sumber yang paling mempengaruhi karena memberikan bukti paling asli dari seseorang apakah bisa mengerahkan apaun yang membawanya pada kesuksesan. Kesuksesan membangun sebuah keyakinan yang kuat dalam personal efikasi. Kekuatan dari enactive untuk menciptakan dan memperkuat keyakinan efikasi.

b. Pengalaman Vikarius

(31)

pengalaman orang lain sebagai proses belajar individu.melalaui model ini efiasi diri individu dpat meningkat, terutama jika merasa lebih baik dari pada orang yang menjadi subyek belajarnya. Ia akan mempunyai kecenderungan merasa mampu melakukan hal yang sama.

c. Persuasi sosial

Efikasi diri juga dapat diperoleh , diperkuat atau dilemahkan oleh melalui persuasi sosial. Dampak dari sumber ini terbatas, tetapi pada kondisi yang tepat persuasi dari orang lain dapat mempengaruhi efikasi diri. Kondisi itu adalah itu adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi, dan sifat realistik dari apa yang dipersuasikan.

Seseorang mendapat sugesti untuk percaya bahwa ia dapat mengatasi masalah-masalah yang akan dihadapi. Persuasi verbal ini dapat menngarah individu untuk berusaha lebih giggih untuk untuk mencapai tujuan dari kesuksessan.

d. Keadaan emosi

Keaaan emosi yang mengikuti suatu kegiatan kan mempenngaruhi efikasi dibidang itu. Emosi yang kuat, takut, cemas, stress, dapat mengurangi efikasi diri. Namun bisa terjadi, peningkaktan emosi (yang tidak berlebihan) dapat meningkatkan efikasi diri

(32)

Pada umumnya, seseorang cenderung akan mengharapkan keberhasilan dalam kondisi yang tidak diwarnai oleh ketegangan dan tidak merasakan adanya keluhan atau gangguan semantik.

Efikasi diri itu dapat diperolah, diubah, dapat ditingkatkan atau diturunkan, melalui salah satu atau kombinasi embat sumber efikasi yang merupakan pngaruh dari self efficacay yaitu menguasai suatu kompetensi (performance accomplishment), pengalaman vikarius (vicarious experience), persuasi sosial (social persuation), pembangkitan emosi (emotionall physiological states).

2.1.3 Dimensi Efikasi Diri

Bandura (1997:42) menyatakan ada tiga dimensi penting dalam efikasi yaitu dimensi tingkatan (level),dimensi keadaan umum( generality), dimensi ketahanan( strenght).

(33)

dalam bentuk tingkat kecerdasan usaha, ketepatan, produktivitas, dan cara mengatasi tantangan. Hasil dari perbandingan antara perbandingan antara tantangan yang timbul ketika individu mencapai performansi dengan kemampuan yang dimiliki individu akan bermacam-macam tergantung aktivitas yang dilakukan.

2. Generality (keluasaan). Berkaitan dengan cakupan luas bidang tingkah laku dimana individu merasa yakin terhadap kemampuanya. Individu mampu menilai keyakinan dirinya dalam menyelasaikan tugas. Mampu tidaknya individu mengerjakan bidang-bidang dan konteks tertentu terungkap gambaran secara umum tentang efikasi diri individu yang berkaitan generalisasi bisa bervariasi dalam beberapa bentuk dimensi berbeda, termasuk tingkat kesamaan aktifitas dan modalitas dimana kemampuan diekspresikan dalam bentuk tingkah laku, kognitif dan afeksi.

3. Strenght (ketahanan).berkaitan dengan kekukatan. Individu pada keyakinan individu atas kemampuanya. Individu memmpunyai keyakinan yang kuat dan ketekunan dalam usaha yang akan dicapai meskipun terdapat kesulitan dan rintangan. melalui efikasi, kekuatan usaha yang lebih besar mampu didapatkan. Semakin kuat perasaaan efikasi diri dan semakin besar ketekunan, maka semakin tinggi kemungkinan kegiatan yang dipilih dan dilak ukan berhasil.

(34)

2.1.4 Proses Efikasi Diri

Efikasi diri yang telah terbentuk akan mempengaruhi dan memberi fungsi pada aktifitas individu. Bandura (1997: 116) menjelaskan tentang pengaruh dan fungsi efikasi diri tersebut adalah sebagai berikut :

1. Proses Kognitif

Bandura mengatakan bahwa pengaruh dari efikasi diri pada proses kognitif seseorang sangat bervariasi. Pertama, efikasi diri yang kuat akan mempengaruhi tujuan pribadinya. Semakin kuat efikasi diri, semakin tinggi tujuan yang ditetapkan oleh individu bagi dirinya sendiri dan akan memperkuat komitmen individu terhadap tujuan tersebut. Individu dengan efikasi diri yang kuat akan mempunyai cita-cita yang tinggi, mengatur rencana dan berkomitmen pada dirinya untuk mencapai tujuan tersebut. Kedua, individu dengan efikasi yang kuat akan memudahkan individu dalam menyiapkan langkah-langkah antisipasi untuk menghadapi kegagalan.

2. Proses Motivasi

(35)

bagian dari tindakan-tindakannya untuk merealisasikan masa depan yang berharga.

Efikasi ini mendukung motivasi dalam berbagai cara untuk menentukan tujuan-tujuan yang diciptakan individu bagi dirinya sendiri dengan seberapa besar ketahanan individu terhadap kegagalan. Ketika menghadapi kesulitan dan kegagalan, individu yang mempunyai keraguan terhadap kemampuan dirinya akan lebih cepat menyerah dan mengurangi usaha-usaha yang dilakukannya. Individu yang memiliki keyakinan yang kuat terhadap kemampuan dirinya akan melakukan usaha yang lebih besar.

Ketekunan yang kuat akan mendukung pencapaian performansi yang maksimal individu dalam menyelesaikan suatu tugas. Efikasi juga akan berpengaruh terhadap aktifitas yang di pilih individu, keras atau tidaknya dan tekun atau tidaknya individu dalam usaha mengatasi masalah yang sedang di hadapi bergantung dengan keyakinan dan kemantapan hati seseorang dalam mencapai tujuan yang diinginkan.

3. Proses Afeksi

(36)

terjadi dan kekhawatiran terhadap hal-hal yang sangat jarang terjadi. Melalui pikiran-pikiran tersebut individu menekan dirinya sendiri dan meremehkan kemampuan dirinya sendiri.

4. Proses Selektif

Fungsi selektif akan mempengaruhi pemilihan aktivitas atau tujuan yang akan di ambil oleh individu. Individu menghindari aktivitas dan situasi yang individu percayai telah melampaui batas kemampuan coping dalam dirinya namun individu tersebut telah siap melakukan aktivitas-aktivitas yang menantang dan memilih situasi yang dinilai mampu untuk di atasi. Perlakuan yang individu buat ini akan memperkuat kemampuan, minat-minat dan jaringan sosial yang mempengaruhi kehidupan dan akhirnya akan mempengaruhi arah perkembangan personal. Hal ini karena pengaruh sosial berperan dalam pemilihan lingkungan, berlanjut untuk meningkatkan kompetensi, nilai-nilai dan minat-minat tersebut dalam waktu yang lama setelah faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan keyakinan telah memberikan pengaruh awal.

Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat empat pokok proses penting dalam efikasi diri yang mengatur fungsi manusia yaitu proses kognitif, proses motivasi, proses afeksi dan proses selektif. Proses efikasi ini yang dapat memberikan efek bagaimana seseorang merasakan, memotivasi dan bertindak. 2.1.5 Faktor yang Mempengaruhi Efikasi Guru

(37)

Bandura (1997: 779-115) dan teman-teman yang relevan dengan faktor yang mempengaruhi efikasi guru, maka diperoleh tiga kelomok faktor yang memengaruhi efikasi guru yaitu

a. Faktor demografi

Menurut bandura (1997) ada beberapa faktor yang mempengaruhi efikasi diri guru, yaitu usia, pendidikan tertinggi dan lama pengalaman mengajar. Kondisi-kondisi yang menguntungkan dalam faktor demografi, memiliki pengalaman

instruksional yang beragam, dan kualitas afektif yang positif akan meningkatkan

efikasi guru. Sebaliknya, guru yang skornya lebih rendah dalam aspek status sosial

ekonomi, usia, pengalaman, religiusitas, etnisitas, persepsi terhadap kompetensi,

persepsi terhadap kesejahteraan, persepsi terhadap sertifikasi guru, dan indeks

prestasinya, maka cenderung kurang efikasinya dalam menjalankan tugas.

b. Pengalaman instruksional

instriksional bersifat pengajaran, jadi pengalaman instruksional merupakan pengalaman mengajar. Bandura (1977) dalam Santrock (2008: 524) menyebutkan pengalaman instruksianal mencakup kemampuan dalam mengelola kelas menjadi tempat yang menyenangkan untuk brelajardan bisa mengajak orang tua ikut dalam proses pembelajaran.

c. Personal

tingkah laku dalam situsi personal tergantung pada lingkungan dan kognitif. Bandura dalam Santrock (2008: 285) faktor person mencakup ekspektassi, keyakinan, setrategi, pemikiran, dan kecerdasan.

(38)

instrusional, personal dan faktor demografi yang terdiri dari usia, pengalaman mengajar, pendidikan tertinggi.

2.2 Pendidikan Inklusi

2.2.1 Pengertian Pendidikan Inklusi

Inklusi dari kata bahasa inggris inclusion merupakan istilah terbaru yang dipergunakan untuk mendeskripsikan penyatuan bagi anak berkelainan dalam program sekolah. Bagi sebagian pendidik istilah ini dillihat sebagai deskripsi yanng lebih positif dalam usaha-usaha menyatukan anak-anak yang memiliki hambatan dengan cara-cara yang realistis dan komperhensif dalam kehidupan pendidikan yang menyeluruh. Inklusi juga dapat diartikan bahwa tujuan pendidikan bagi siswa yang memilliki hambatan adalah, keterlibatan yang dari tiap anak dalam kehidupan sekolah menyeluruh (Smith, 2012:45).

Inklusi dalam pendidikan merupakan proses peningkatan partisipasi siswa dan mengurangi keterpisahanya dari budaya kurikulum dan komunitas sekolah setempat (Sue Stubbs, 2002:39). UNESCO, dalam kajianya terhadap aktivitasnya selama lima tahun setelah konferensi Salamnca menggambarkan inklusi sebagai gerakan, dan mengkaitkanya langsung dengan peningkatan mutu sekolah (sue stubbs, 2002: 40).

Sue Stubbs (2002: 37) pendidikan inklusi dalam arti sempit atau didasarkan pada asumsi “ anak sebagai masalah”. Cartwright dalam Elisa (2013:

(39)

sehingga semua anak memiliki kesempatan yang sama untuk secara aktif mengembangkan potensi pribadinya dalam lingkungan yang sama.

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi merupakan sistem pendidikan yang menyeluruh dalam arti bahwa pendidikan sebagai pemenuhan hak asasi manusia tanpa adanya diskriminasi yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan.

Tanda dari pendidikan inklusi adalah kesediaan guru untuk menerima siswa yang berkebutuhan khusus. Inklusi menunjukkan pada semua siswa dihargai, diterima, dan menghormati tanpa memperhatikan etnik dan latar belakang budaya, kemampuan, jenis kelamin, umur, agama, kepercayaan dan perilaku (Das Asim, 2012:149). Indeks for inclusion dalam sue tubbs (2002: 38) inklusi atau pendidikan inklusi bukan nama lain untuk pendidikan khusus.

Pendidikan inklusi menurut Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindugan Anak Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 tentang kebijakan penanganan anak berkebutuhan khusus adalah pendidikan reguler yang disesuaikan dengan kebuutuhan peserta didik yang memiliki kelainan dan/atau memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa pada sekolah reguler dalam satu kesatuan yang sistematik.

(40)

Sunanto (2004) dalam Hargio (2012:12) pendidikan inklusi merujuk pada kebutuhan belajar bagi semua peserta didik dengan suatu fokus spesifik bagi mereka yanng rentan terhadap marjinalisasi atau pemisahan. Melalui pendidikan inklusi berati sekolah harus menciptakan dan membangun pendidikan yang berkualitas dan mengakomodasi semua anak tanpa memandang kondisi fisik, sosial, intelektual,bahasa, dan kondisi lainya (Hargio, 2012:18)

Pengertian-pengertian di atas jika disimpulkan pendidikan inklusi adalah sistem layanan pendidikan yang melayani semua anak baik itu anak berkebutuhan khusus maupun anak-anak normal tanpa memandang etnik, suku, ras, agama dan latar belakang untuk membangun pendidikan yang berkualitas.

(41)

Buletin education for all tahun 2000, UNESCO menjelaskan dalam Abraham (2004: 25) bahwa

“ inclusive education is not concerned with removing all barriers

to learning, and with the participation of all learners vulnerabel to exclusion and marginalization. It is strategic approach designed to facilitate learning succss for all children it address the common goals of decreasing and overcoming all exclusion from human right to education, at least at the elementary level, and enhancing access, participation and learning success in quality basic education for all

Penjelasan tersebut tidak terkait dengan menghapus semua hambatan untuk belajar dan dengan partisipasi semua peserta didik yang rentan akan pemisahan dan marginalisasi. Itu adalah pendekatan strategis yang dirancang untuk memfasilitasi keberhasilan pembelajaran bagi semua anak untuk mnyampaikan tujuan-tujuan umum dari penurunn dan mengatasi semua pengecualian dari hak manusia untuk pendidikan setidaknya pada tingkat dasar, dan akses pertisipasi serta menungkakan akses pembelajaran pedidikan dasar yang berkulitas bagi semua.

Point penting dalam pendidikan inklusi bahwa mengikutsertakan anak-anak dengan disabilitas. Akan tetapi Sevin (2007: 29) definisi sebuah inklusi jauh melebihi dari anak-anak dengan disabilitas dan melihat berbagai cara pandangan bahwa siswa berbeda antara satu sama lainya, seperti ras, kelas, gender, etnik, latar belakang keluarga, orientasi seksual, bahasa, kemampuan, ukuran, agama,dan seterusnya.

(42)

dalam satu sistem pendidikan yang sama. Oleh karena itu misi pendidikan sangat penting adalah meminimalkan hambatan belajar dan memenuhi kebutuhan belajar anak. Setiap anak dihargai eksisitensinya, ditumbuhkan harga dirinya, dikembangkan motivasinya dan diterima sebagaimana adanya, sehingga setiap anak berkembang opitomal sejalan denga potensi masing-masing. Pendidikan inklusi terkadang terlihat seperti sebuah strategi politik yang didasarkan pada hak asasi manusia dan prinsip demokrasi, bahwa menghadapi semua kondisi dari diskriminasi, seperti bagian dari sebuah perhatian dari berkembangnnya masyarakat inklusif dan untuk memastikan bahwa beberapa siswa menerima tambahan sumber dan tidak di abaikan dan disisa-siakan (Abraham, 2004:25).

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi adalah pendidikan umum yang mampu memberikan pelayanan terhadap setiap anak tanpa adanya diskriminasi dalam sistem pendidikan yang sistematis yang bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan.

2.2.2 Tujuan Pendidikan Inklusi

Pendidikan inklusi yang merupakan program pendidikan dalam upaya pemerataan hak pendidikan bagi semua anak mempuyai tujuan untuk membantu mempercepat program program wajib belajar pendidikan dasar serta membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekankan angka tinggal kelas dan putus sekolah pada seluruh warga negara (pedoman umum penyelenggaraan pendidikan inklusi, 2007)

(43)

jawa tengah, diakses pada 30 April 2013, tersedia dalam www.bpdiksus.org) yaitu:

1. Memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada semua anak ( termasuk anak berkebutuhan khusus sesuai dengan kebutuhanya).

2. Membantu mempercepat program wajib belajar pendidikan dasar.

3. Membantu meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah dengan menekan angka tinggal kelas dan putus sekolah.

4. Menciptakan sistem pendidikan yang menghargai keanekaragaman, tidak diskriminatif serta ramah terhadap pembelajaran.

5. Memenuhi amanat undang-undang dasar 1945 khususnya pasal 32 ayat (1) yang berbunyi ’setiap warga negara negara berhak mendapat pendidikan’, dan

ayat 2 yang berbunyi ’setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar

dan pemerintah wajib membiayainya’. Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, khususnya pasal 5 ayat 1 yang berbunyi ’setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh

pendidikan yang bermutu. Undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, khususnya Pasal 51 yang berbunyi ’anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikana kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa.

(44)

1. Menciptakan dan membangun pendidikan yang berkualitas mencitakan dan menjaga komunitas kelas yang hangat, menerima keanekaragaman, dan menghargai perbedaan.

2. memberikan kesempatan agar memperoleh pendidikan yang sama dan dan terbaik bagi semua anak dan orang dewasa yang memerlukan pendidikan bagi yang memiliki kecerdasan tinggi,bagi yang secara fisik memperoleh hambatan dan kesulitan baik yang permanen maupun sementara.

Dari uraian di atas tujuan dari pendidikan inklusi dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pendidikan inklusi bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan serta memberikan pelayanan pendidikan kepada semua orang tanpa adanya diskriminasi.

2.2.3 Manfaat Pendidkan inklusi

Keberadaan pendidikan inklusi dalam dunia pendidikan bermanfaat untuk mempersiapkan kehidupan yang terjadi di masyarakat bila semua siswa berbeda latarbelakang, kemampuan belajar dan bersosialisasi di dalam kelas dan ditempat lain, sehingga semua mendapat kesempatan berbagai hal. Pendidikan inklusi juga memberikan manfaat bagi banyak pihak diantaranya:

2.2.3.1 bagi siswa

a. Siswa yang tidak berkelainan mendapat manfaat dari dari inklusi sebagai berikut (Smith, 2012:422):

1. Mengurangi ketakutan akan perbedaan manusia seiring denngan munculnya perasaan nyaman dan kesadaran

(45)

3. Meningkatkan aspek konsep diri 4. Perkembangan prinsip-prinsip pribadi

5. Persahabatan yang hangat dan penuh perhatian.

b. Siswa yang berkelainan juga mendapat manfaat dari pendidikan inklusi (Smith, 2012:424) antara lain:

1. Lingkungan inklusif lebih merangsang, memiliki keragaman (variatif), dan respon dibanding lingkungan terpisah.

2. Lingkungan inklusif lebih memungkinkan perkembangan kurikulum dari pada kurikulum baru yang banyak kekurangan

3. Lingkungan inklusif dapat memberikan kesempatan yang lebih besar bagi siswa berkebutuhan khusus untuk berinteraksi dengan siswa lain guna mendapatkan tingkat kemampuan sosial, bahasa, dan kognitif yang lebih tinggi untuk menyamakan kemampuan-kemampuan tersebut.

4. Lingkungan yang lebih inklusif dapat memberikan kesempatan yang lebih besar bagi siswa-siswaberkebutuhan khusus untuk belajar kemampuan akademis yang sebenarnya lebih mudah di pelajari dari teman sebaya ketimbang dari guru.

(46)

2.2.3.2 Bagi Pendidik

Beberapa manfaat pendidikan inklusi bagi pendidik dalam Smith (2012: 426) antara lain:

1. Pengajaran dan pembelajaran mencakup berbagai hambatan (Teahing and learning about disabilities). Guru mendapatkan pelajaran dan pengalaman dari kelas inklusi, sehingga bisa menangani anak-anak dengan berbagai hambatan.

2. Kurikulum dan materi ajar (curriculum and material). Guru menjadi lebih kreatif dalam menyusun materi serta metode yang digunakan saat proses pembelajaran sebab anak-anak berkebutuhan khusus memiliki kemampuan dan kelebihan yang berbeda-beda.

3. Sukses untuk semua (succes for all). Pendidikan inklusi dapat meningkatkan rasa percaya diri guru untuk berkomitmen dalam membantu anak-anak berkebutuhan khusus.

4. Kerja sama pemecahan masalah ( collaborative problem solving). Melalui pendidikan inklusi dapat meningkatkan kerjasama guru dan siswa dan belajar. 5. Harapan atas inklusi (expectation of inclusion). Guru dan murid mempunyai harapan siswa anak berkebutuhan khusus berperan serta dalam kelas umum, sehingga menumbuhkan rasa kekeluargaan yang membuat inklusi semakin besar dan percaya diri untuk mewujudkan suatu lingkungan inklusif.

(47)

tujuan-tujuan mereka, seerta meningkatkan rasa memiliki yang lebih besar terhadap anak-anak yang berkebutuhan khusus.

7. Fleksibilitas (Flexibillity). Guru menjadi lebih fleksibel dalam gaya mengajar, struktur, dan desai kelas serta dalam menciptakan aktivitas yang akan menciptakan aktivitas yang meningkatkan keberhasilan bagi seluruh siswa. 8. Biarkan berjalan (let it go). Melalui pendidikan inklusi guru menjadi lebih

cermat dalam memikirkan kepentingan dan harapan bagi siswa, serta membiarkan siswa mengerjakan sendiri.

9. Akuntabilitas (Accountability). Kelas inklusi dapat menumbuhkan etika dan tanggunng jawab pengajaran guru. Pengaruh memiliki anak-anak berkebutuhan khusus dapat memberi rangsangan peningkatan yang terceermin dalam praktik yang membawa keuntungan kepada semua siswa dan sekolah.

Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa pendidikan inklusi memberikan banyak manfaat bagi siswa maupun guru. Bagi siswa dapat memberikan efek yang positif dalam proses pembelajran maupun sosial anak. sedangkan manfaat pendidikan inklusi bagi guru yaitu guru menjadi lebih kraetif dan bertanggung jawab.

2.2.4. Landasan Hukum Pendidikan Inklusi

(48)

Landasan yuridis memiliki hirarki dari undang-undang dasar, peraturan pemerintah, praturan daerah, kebijakan direktur, hingga peraturan sekolah, juga melibatkan kesepakatan internasiaonal. Hargio (2012: 20) landasan yuridis internasional penerapan pendidikan inklusi adalah deklarasi salamnca (UNESCO, 1994). Deklarasi ini sebenarrnya penegasan kembalil atas deklarasi PBB tentanng HAM tahun 1984 dan berbagi deklarasi lanjutan yang berujung pada peraturan standar PBB tahun 1993 tentang kesempatan yang sama bagi individu berkelainan memperoleh pendidikan sebagi bagian integral dan sistem pendidkan yang ada.

Landasan yuridis nasional pendidikan inklusi tercantum dalam

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat pasal 5 yang berbunyi “setiap penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan

yang sama dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan.”

2. Deklarasi Bandung (Nasional) ”Indonesia Menuju Pendidikan Inklusif” 8-14 Agustus 2004 .

3. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 70 Tahun 2009 tentang pendidikan inklusif bagi peserta didik yang memiliki kelainan dan memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa.

(49)

2.2.5. Peserta Didik dalam Pendidikan Inklusi

Berdasarkan pedoman penyelenggaraan pendidikakan inklusi tahun 2007 definisi dari pendidikan inklusi ada dua kategori sisiwa yaitu siswa yang berkebutuhan khusus dan siswa yang tidak berkebutuhan khusus. Peraturan mentri nomor 22 tahun 2006 yang berbunyi:

“Peserta didik pendidikan inklusi adalah peserta didik berkelainan tanpa disertai dengan kemampuan intelektual di bawah rata-rata yanng berkeinginan untuk melanjutkan pendidikan sampai kejenjang pendidikan tinggi. Berkelainan dalam hal ini adalah tuna netra, tuna rungu, tuna daksa ringan, dan tuna laras.”

Peserta didik yang berkelainan antara lain: a. Tuna Netra

Tuna netra menurut Koestler dalam Smith (2012: 141) yaitu ketajaman penglihatan pusat 20/200 atau kurang pada bagian mata yang lebih baik dengankaca mata koreksi atau ketajaman penglihatan pusat lebih dari 20/200 jika terjadi penurunan ruang penglihatan dimana terjadi pengerutan suatu bidang penglihatan sampai tingkat tertentu sehingga diameter terlebar dari 20 derajat pada bagian mata yang lebih baik. Dari uraian tersebut, anak tuna netra adalah individu yang indera penglihatanya (kedua-duanya) tidak berfungsi sebagai saluran penerima informasi dalam kegiatan sehari-hari seperti halnya orang-orang awas.

b. Tuna Rungu

(50)

(2012: 278) menjelakan bahwa ada dua faktor penyebab tuna rungu yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan atau pengalaman yang meliputi lahir prematur, campak, virus, ketidaksesuaian RH darah, dan radang telinga tengah.

c. Tuna Daksa dan Cerebal Palsy

Tuna daksa adalah kelainan yang meliputi cacat tubuh atau kerusakan tubuh atau kerusakan tubuh, kelainan atau kerusakan pada fisik dan kesehatan dan kelainan atau kerusakan otak dan saraf tulang belakang (Hargio, 2012: 47). Cerebal palsy merupakan gangguan pada sistem serebai yang disebabkan oleh kelainan yang terletak pada sistem saraf pusat (Hargio, 2012:47). Hargio (2012: 48) juga menjelaskan bahwa faktor penyebab tuna daksa antara lain masa sebelum lahir, pada saat lahir dan setelah proses kelahiran.

d. Anak Berbakat Memiliki Kemampuan dan Kecerdasan Luar Biasa

Renzuli dalam Smith (2012: 308) keberbakatan adalah mencerminkan suatu interaksi diantara tiga kelompok dasar sifat-sifat manusia. Kelompok tersebut diatas rata-rata (namun tidak selalu tinggi )kemampuan umum dan/atau tertentu, tingkat komitmen tugas yang tinggi (motivasi), dan tingkat kreativitas yang tinggi. mereka yang memiliki kemampuan mengembangkan sifat-sifat gabungan tersebut dan menerapkanya terhadap bidang yang bernilai potensial dari prestasi manusia.

(51)

e. Tuna grahita/ Keterbelakangan Mental.

Gorrad dalam Smith (2012: 105) menggambarkan mengenai keterbalkangan mental yaitu suatu kondisi dimana seseorang memiliki otak yang lemah, sehingga perkembangan kecerdasanya mengalami hambatan sehingga tidak mencapai pada tahap perkembangan yang optimal. Penyebab terbelakang mental yang telah teridentifikasi oleh American Sociation On Mental Retardation dalam Smith (2012: 110) yaitu faktor genetik, faktor selama masa kehamilan, trauma kelahiran, penyakit dan cedera selama masa anak-anak dan remaja

f. Anak Dengan Gangguan Belajar

Gangguan belajar meliputi ketidak mampuan untuk memperoleh, menyimpan, atau menggunakan keahlian khusus atau informasi secara luas, dihasilkan dari kekuranngan perhatian, ingatan atau pertimbangan,dan mempengaruhi performa akademik (Hargio, 2012:77). Terdapat tiga macam gangguan belajar yaitu gangguan membaca, menuliskan ekspresi dan gangguan matematik.

g. Anak Tuna Laras

(52)

program-program pembelajaran sangat tidak sesuai dengan usia, budaya, atau norma-norma etnis yang berdampak buruk secara nyata pada pendidikanya (Smith, 2012: 146).

h. Tuna Wicara

Tuna wicara atau kelainan bicara merupakan suatu kesulitan dalam mengungkapkan pesan-pesan yang diucapkan (Smith, 2012: 203). Menurut definisi tersebut merupakan suatu kesullitan dalam menggunakan kata-kata atau pengetahuan kata yang buruk, sehingga akan menciptakan ketidaknyamanan dalam berkomunikasi.

i. Autisme

Autisme adalah suatu kelainan neurologis, yanng seringkali mengakibatkan ketidak mampuan interaksi komunikasi dan sosial (Smith, 2012: 150). Anak-anak autis sering kali menunjukkan sifat kelainan sejak bayi seperti tidak tanggap terhadap orang lain, gerak diulang-ulang, menghindari kontak mata, tetap dalam kebiasaan, aneh dan sikap-sikap yang ritualitas (Smith, 2012: 150)

j. ADHD

(53)

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa adapun peserta didik dalam pendidikan inklusi terdiri dari anak yang berkebutuhan khusus dan anak yang berkebutuhan khusus. Anak-anak berkebutuhan khusus antara lain tuna netra, tuna rungu, tuna daksa, cerebral palsy, anak berbakat, tuna grahita, anak dengan gangguan belajar, tuna laras, tuna wicara, autis dan ADHD.

2.2.6. Kompetensi Guru Dalam Pendidikan Inklusi

Guru dalam undang-undang nomor 14 tahun 2005 adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidika formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah.

Guru sebagai tenaga kependidikan diharapkan mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Karena guru mempunyai peranan sangat penting dalam proses pendidikan. Seperti yang dikemukakan syaodih dalam Mulyasa (2009: 13) bahwa guru memegang peranan yang cukup penting baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. lebih lanjut dikemukakanya bahwa guru adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Karena guru juga merupakan barisan pengembang kurikulum maka guru pulalah yanng melakukan evaluasi. Menyadari hal tersebut betapa pentingnya untuk meningkatkan aktivitas, kreatifitas, kualitas dan profesionalisme guru.

(54)

pembelajaran. Menurut Praptiningsih dalam jurnal pendidikan khusus volume 7 nomor 2 tahun 2010 yang berjudul Fenomena penyelenggaraan pendidikan inklusi kemampuan yang harus dimiliki guru adalah sebagai berikut:

1. Pengetahuan tentang anak berkebutuhan khusus

2. Pemahaman akan pentingnya mendorong rasa penghargaan anak berkaitan dengan perkembangan, motivasi dan belajar melalui suatu interaksi positif dan berorientasi pada sumber belajar.

3. Pemahaman tentang konvensi hak anak dan implikasinya terhadap implementasi pendidikan dan perkembangan semua anak.

4. Pemahaman tentang pentingnyamenciptakan linngkungan yang ramah terhadap pembelajaran yang beraitan dengan isi, hubungan sosial, pendekatan dan bahan pembelajaran.

5. Pemahaman arti pentingnya belajar aktif dan pengembangan pemikiran kkreatif dan logis.

6. Pemahaman pentingnya evaluasi dan asessmen berkesinambungan oleh guru 7. Pemahaman konsep inklusi dan pengayaan serta cara pelaksanaan inklusi dan

pembelajaran yang berdeferensi.

8. Pemahaman terhadap hambatan belajar termasuk yanng disebab oleh kelainan fisik maupun mental.

9. Pemahaman konsep pendidikan berkuallitas dan kebutuhan implementasi pendekatan dan metode baru.

(55)

tugasnya. Kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Berdasarkan Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pedidikan Inklusi (2007: 12-6) terdapat dua kompetensi yaitu:

a. Kompetensi Guru Umum

Seorang guru senantiasa dituntut untuk mengembangkan pribadi dan profesinya secara terus menerus, juga dituntut untuk mampu dan siap berperan secara profesional dalam lingkungan sekolah dan masyarakat. Oleh karena itu, seorang guru harus mampu mengembangkan empat aspek kompetensi bagi diri dan profesinya, yaitu: kompetensi pedagogik kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial. Keempat kompetensi dimaksud masing-masing dimaknai sebagai berikut:

a. Kompetensi Pedagogik

Memiliki kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengoptimalkan dan mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.

b. Kompetensi Kepribadian

(56)

c. Kompetensi Profesional

Memiliki kemampuan sebagai pendidik dalam penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memperoleh kompetensi yang ditetapkan.

d. Kompetensi Sosial

Kemampuan pendidik berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dengan lingkungan sekitarnya, termasuk dengan para peserta didik, orangtua/wali peserta didik, teman sejawat, atasan, dengan pegawai sokolah, dan dengan masyarakat luas.

b. Kompetensi Guru Khusus

Kompetensi guru pendidikan khusus dilandasi oleh empat kompetensi utama yaitu pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial. Secara khusus kompetensi guru diorientasikan pada tiga kemampuan utama seperti yang tercantum dalam Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (2007: 15) yaitu

1. Kemampuan Umum (general ability):

(57)

2. Kemampuan Dasar (basic ability)

Kemampuan dasar guru pendidikan khusus dalam Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (2007: 15) diharapkan guru dapat memiliki beberapa kemampuan diantaranya:

a. memahami dan mampu mengidentifikasi anak berkebutuhan khusus. b. Memahami konsep dan mampu mengembangkan alat asesmen serta c. Melakukan asesmen anak berkebutuhan khusus.

d. Mampu merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi pelajaran bagi anak berkebutuhan khusus.

e. Mampu merancang, melaksanakan, dan mengevaluasi program bimbingan dan konseling anak berkebutuhan khusus.

f. Mampu melaksanakan menajemen pendidikan khusus

g. Mampu mengembangkan kurikulum Pendidikan Khusus sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan anak berkebutuhan khusus serta dinamika masyarakat.

h. Memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek medis dan implikasinya terhadap penyelenggaraan pendidikan khusus

i. Memiliki pengetahuan tentang aspek-aspek psikologis dan implikasi nya terhadap penyelenggaraan pendidikan khusus

j. Mampu melakukan penelitian dan pengembangan di bidang pendidikan khusus.

(58)

l. Memiliki sikap professional di bidang pendidikan khusus

m. Mampu merancang dan melaksanakan program kampanye kepeduliasn PLB di masyarakat.

n. Mampu merancang program advokasi. 3. Kemampuan Khusus (specific ability)

Kemampuan khusus merupakan kemampuan keahlian yang dipilih sesuai dengan minat masing-masing tenaga kependidikan. Pada umumnya masing- masing guru memiliki satu kemampuan khusus (specific ability). Kemampuan khusus yang harus dimiliki guru berdasarkan Pedoman Khusus Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif (2007: 16) antara lain:

a. Mampu melakukan modifikasi perilaku.

b. Menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan penglihatan.

c. Menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan pendengaran/komunikasi.

d. Menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan intelektual.

e. Menguasai konsep dan keterampilan pembelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan anggota tubuh dan gerakan.

f. Menguasai konsep dan keterampilan pemnbelajaran bagi anak yang mengalami gangguan/kelainan perilaku sosial.

(59)

Uraian di atas menunjukan bahwa betapa pentingnya kompetensi guru dalam pendidikan inklusi. Beberapa kompeensi yang harus dimiliki guru dalam pendidikan inklusi antara lain kompetensi guru secara umum yang meliputi kompetensi pedagogik, sosial, pribadi seta kompetensi profesional dan kompetensi guru khusus yang meliputi kemampuan umum, kemampuan dasar dan kemampuan khusus.

2.3 Penelitian Sebelumnya

Hasil penelitian sebelumnya oleh Oneyda M. Paneque, dkk dalam judul “A study of teacher efficacy of special education teachers of engllish language

leaners with disabilities” menunjukkan bahwa Variabel guru yang merupakan prediktor keberhasilan guru dan salah satu yang statistik signifikan berhubungan dengan efikasi guru adalah kemahiran dalam bahasa siswa sasaran.

Hasil penelitian lain dari Elizabeth S Hartmann, PhD yang berjudul “understanding teachers self efficacy to support children with deaf and blindness”

(60)

2.4 Kerangka Berpikir

Efikasi guru murupakan keyakinan guru dalam kemampuannya untuk mengatur dan melaksanakan program tindakan untuk berhasil menyelesaikan tugas instruksi terrtentu kapasitasnya untuk mempengaruhi kinerja siswa. Hal-hal yang mempengaruhi efikasi diri guru yaitu pengalaman instruksional, personal dan faktor demografi.

Dalam penelitian ini yang menjadi titik ukur tinggi rendahnya efikasi terbatas pada faktor demografi yaitu latar belakang pendidikan, dan lama mengajar. Sedangkan faktor personal dan pengalaman instruksional tidak diikutsertakan dalam penelitian ini.

Selanjutnya hubungan ini akan berpengaruh terhadap efikasi guru pendidikan anak usia dini dalam pendidikan inklusi. Guru yang memiliki efikasi tinggi akan merasa yakin dalam melaksanakan dan mengembngkan pendidikan inklusi. Sedangkan guru dengan efikasi rendah akan merasa kesulitan dan menyerah dalam melaksanakan dan merintis pendidikan inklusi.

Lama mengajar Latar belakang

pendidikan

(61)

2.5 Hipotesis

Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian, dimana rumusan masalah telah dinyatakan dalam bentuk pentanyaan. Dikatakan sementara, karena jawaban yang diberikan baru berdasarkan teori yang relevan, belum berdasarkan fakta-fakta yang empiris yang diperoleh melalui pengumpulan data. Jadi hipotesis juga dapat dinyatakan sebagai jawaban teoritis terhadap rumusan masalah penelitian, belum jawaban yang empirik dengan data (Sugiyono, 2010: 96). Hipotesis dalam penelitian ini bersifat komparatif. Hipotesis komparatif merupakan dugaan ada tidaknya perbedaan secara signifikan nilai-nilai dua kelompok atau lebih (Sugiyono, 2010: 212).

Berdasarkan rumusan masalah komparatif tersebut terdapat tiga model hipotesis nol dan alternatif, yaitu:

2.5.1 Hipotesis nol :

1. Tidak terdapat perbedaan signifikan berdasarkan latar belakang pendidikan mengenai pendidikan inklusi di lembaga PAUD Kecamatan Grabag.

2. Tidak terdapat perbedaan signifikan berdasarkan lama mengajar mengenai pendidikan inklusi di lembaga PAUD Kecamatan Grabag.

2.5.2 Hipotesisi alternatif :

(62)

2. Ha : Tidak terdapat perbedaan signifikan berdasarkan lama mengajar mengenai pendidikan inklusi di lembaga PAUD Kecamatan Grabag.

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metode penelitian merupakan usaha untuk menemukan, mengembangkan, dan menguji suatu kebenaran pengetahuan dengan menggunakan cara-cara ilmiah. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan tujuan untuk menguji hipotesis yanng telah ditetapkan. Berdasarkan hipotesis yang telah ditetapkan, jenis penelitian ini adalah penelitian komparasi. Menurut Sudjud dalam Arikunto (2010:310) melalui penelitian komparasi akan dapat menemukan persamaan-persamaan dan perbedaan-perbedaan tentang benda, orang, tentang ide-ide, kritik terhadap orang, kelompok, terhadap suatu ide atau suatu prosedur kerja.

3.1Variabel Penelitian

(63)

3.2 Definisi Operasional

Variabel dalam penelitian ini adalah:

1. Self efficacy guru merupakan keyakinan guru terhadap kemampuanya dalam mengatur, mempengaruhi, dan mendidik siswa.

2. Latar belakang pendidikan adalah pendidikan yang pernah dilakukan oleh guru sesuai dengan ijazah terakhir.

3. Lama mengajar adalah masa kerja guru selama menjalankan tugas menjadi seorang pendidik anak usia dini.

3.3 populasi dan sampel 3.3.1 Populasi

Populasi diartikan sebagai wilayah generalisasi yang terdiri atas tiga elemen yaitu: obyek/subyek yang mempunyai kulaitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh penenliti untuk dipelajari. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pendidik paud, baik itu pendidik taman kanak-kanak, roudhotut adfal, kelompok bermain, maupun tempat penitipan anak. Data tahun 2012 yang diperoleh dari UPT Kecamatan Grabag Kabupaten Magelang dan ketua RA sekecamatan Grabag terdapat 50 lembaga pendidikan anak usia dini, yang terdiri dari 19 taman kanak-kanak, dan 8 kelompok bermain dan 2 tempat penitipan anak serta 21 lemabaga RA. Jumlah pendidik secara keseluruhan yaitu 133 guru. 3.3.2 Sampel

(64)

penelitian ini yaitu random sampling. Cara penentuan jumlah sampel adalah sebagai berikut (Sugiyono, 2010:126):

a. Sample

Keterangan:

Taraf kesalahan bisa 1%, 5%, 10%

P = Q = 0,5

d = 0,05

s = jumlah sampel

s =

s = = 57,33 = 57

Jadi dari 133 populasi terpilih 57 sampel yang terpilih secara acak. 3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu proses pengadaan data untuk keperluan penelitian. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah: 3.5.1 Kuesioner (Angket)

Kuesioner merupakan teknik pengumpulan data yang dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan tertulis kepada responden untuk dijawabnya (sugiyono, 2010:198). kuesioner juga cocok digunakan jika jumlah responden cukup besar.

Gambar

Tabel 3.2 Kisi-Kisi Instrumen Penelitian Yang Diberlakukan Untuk
Tabel 3.2 item valid dan gugur
Tabel 3.3 Hasil Uji Reabilitas Item Pada Uji Coba Instrumen
Tabel 4.1 Jenis Kelamin
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan dengan pemberian rangsangan

Pengujian hipotesis penelitian terkait Analisis stimulasi pendidikan anak usia dini dengan intelegensi quotient pada anak usia prasekolah dilakukan menggunakan uji

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui perbedaan yang positif dan signifikan antara aspek jenis kelamin dengan efikasi diri matematika pada siswa SMA.. Penelitian

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan dengan pemberian

Saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Upaya Meningkatkan Kemampuan Membaca Dini Anak Usia Dini Melalui Model Akuisisi Literasi Di TK.. Cahaya Bangsa

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 ayat 14 menyatakan bahwa: “Pendidikan anak usia dini adalah suatu upaya

Pendidikan Usia Dini yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aspek sosial anak yang mengikuti PAUD dan tidak mengikuti PAUD pada usia 3-6 tahun.Penilaian dilakukan dengan

Pendidikan Usia Dini yang dimaksud dalam penelitian ini adalah aspek sosial anak yang mengikuti PAUD dan tidak mengikuti PAUD pada usia 3-6 tahun.Penilaian dilakukan dengan