• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Kebutuhan Pupuk Fosfor dan Kalium Berdasarkan Uji Tanah untuk Tanaman Cabai Merah Besar (Capsicum annuum L) di Lahan Inceptisol Papua Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan Kebutuhan Pupuk Fosfor dan Kalium Berdasarkan Uji Tanah untuk Tanaman Cabai Merah Besar (Capsicum annuum L) di Lahan Inceptisol Papua Barat"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

PENENTUAN KEBUTUHAN PUPUK FOSFOR DAN

KALIUM BERDASARKAN UJI TANAH UNTUK TANAMAN

CABAI MERAH BESAR (

Capsicum annuum

L.) DI LAHAN

INCEPTISOL PAPUA BARAT

AMISNAIPA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul “Penentuan Kebutuhan Pupuk Fosfor dan Kalium Berdasarkan Uji Tanah untuk Tanaman Cabai Merah Besar (Capsicum annuum L.) di Lahan Inceptisol Papua Barat” adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Agustus 2014

(4)
(5)

RINGKASAN

AMISNAIPA. Penentuan Kebutuhan Pupuk Fosfor dan Kalium Berdasarkan Uji Tanah untuk Tanaman Cabai Merah Besar (Capsicum annuum L.) di Lahan Inceptisol Papua Barat. Dibimbing oleh ANAS DINUROHMAN SUSILA, SLAMET SUSANTO, DEDI NURSYAMSI.

Areal pertanaman cabai masih berpotensi besar untuk diperluas, karena luas lahan kering di Indonesia mencapai 148 juta ha. Seluas 9.665.669 ha terdapat di Papua dan merupakan lahan kering masam yang didominasi ordo Inceptisol. Pemanfaatan tanah Inceptisol sebagai lahan pertanian memerlukan masukan teknologi budidaya berupa pemupukan, karena tingkat kesuburan alaminya relatif rendah dengan faktor pembatas rendahnya ketersediaan P dan K. Kondisi demikian, menyebabkan pengelolaan kesuburan tanah melalui pemupukan P dan K menjadi faktor yang sangat penting untuk meningkatkan produksi cabai di tanah Inceptisol. Penentuan kebutuhan pupuk perlu dilakukan berdasarkan uji hara tanah. Uji tanah akan menjadi sarana manajemen pemupukan agar pemberian pupuk dapat dilakukan dengan tepat. Penelitian ini menjadi penting karena sampai saat ini belum ada rekomendasi pemupukan P dan K berdasarkan uji tanah untuk tanaman cabai khususnya untuk Papua Barat. Penelitian bertujuan untuk : 1. mendapatkan metode pengekstrak terbaik untuk hara P dan K tanah; 2. menetapkan kelas ketersediaan hara P dan K tanah ; serta 3. menetapkan dosis maksimum pupuk P dan K untuk tanaman cabai pada tanah Inceptisol.

Penelitian menggunakan pendekatan lokasi tunggal (single location) pada lahan milik petani dengan luas lahan 1800 m2 yang telah diberakan selama ± 4 tahun. Penelitian terdiri atas empat tahap, yaitu: 1. Pembuatan status hara tanah; 2. Korelasi hara tanah; 3. Kalibrasi hara tanah ; dan 4. Rekomendasi pemupukan. Masing-masing tahapan dilakukan untuk hara P dan K secara terpisah, dan dilaksanakan dari bulan Agustus 2012 sampai Agustus 2013.

(6)

Tanah yang telah diinkubasi pada tahap 1, diambil setiap petaknya untuk dikeringanginkan dan selanjutnya digunakan untuk penelitian tahap 2, yaitu korelasi uji tanah terhadap respon pertumbuhan dan hasil cabai yang dilakukan di dalam greenhouse. Tanah ditimbang seberat 10 kg dan dimasukan ke dalam polibag, kemudian ditanami 1 bibit cabai per polibag. Penelitian tahap 2 bertujuan untuk menentukan metode ekstraksi hara tanah yang terbaik bagi tanaman cabai di Inceptisol. Nilai hara terekstrak dari delapan metode pengekstrak di atas dikorelasikan dengan bobot biomas tanaman cabai. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa metode ekstraksi P tanah Inceptisol yang terbaik untuk cabai adalah : Bray I dengan nilai koefisien korelasi : 0.631. Sedangkan metode terbaik untuk ekstraksi K tanah adalah Morgan Vanema dengan nilai koefisien korelasi 0.865.

Percobaan tahap 3, yaitu kalibrasi uji hara tanah dilakukan melalui percobaan lapangan tentang respon tanaman terhadap pemupukan pada berbagai status hara tanah mulai dari terendah sampai tertinggi. Penelitian menggunakan rancangan petak terpisah (Split-plot design) dengan tiga ulangan. Petak utama pada perlakuan kalibrasi uji P tanah adalah status hara P tanah (hasil inkubasi P tanah pada penelitian tahap 1), sedangkan pada anak petak adalah dosis pemupukan P, yaitu: 0, 40, 80, 160 dan 320 kg P2O5 ha-1. Kalibrasi uji K tanah pada petak utama adalah perlakuan status hara K tanah (hasil inkubasi K tanah pada penelitian tahap 1), sedangkan pada anak petak adalah dosis pemupukan K, yaitu: 0, 40, 80, 160 dan 320 kg K2O ha-1. Penentuan kelas ketersediaan hara tanah didasarkan pada persamaan regresi dari kurva kalibrasi yang menghubungkan antara nilai hara terekstrak (X) dengan hasil relatif (Y). Kelas ketersediaan hara P tanah berdasarkan pengekstrak terbaik Bray I untuk klasifikasi sangat rendah, rendah, sedang, serta tinggi dan sangat tinggi adalah: < 41; 41 - < 102; 102 - < 230; dan ≥ 230 ppm P. Kelas ketersediaan hara K tanah berdasarkan pengekstrak terbaik Morgan Vanema dengan klasifikasi sangat rendah, rendah, sedang, serta tinggi dan sangat tinggi, adalah: < 114; 114 - < 228; 228 - < 460; dan ≥ 460 ppm K.

Percobaan tahap 4, yaitu rekomendasi pemupukan. Dosis pupuk yang direkomendasikan adalah dosis pupuk maksimum yang dibutuhkan untuk mencapai hasil relative 100%. Perhitungan kebutuhan pupuk menggunakan analisis regresi dari kurva respon hasil untuk setiap kelas ketersediaan hara tanah. Dosis maksimum pupuk P untuk kelas ketersediaan hara P sangat rendah, rendah dan sedang masing-masing adalah : 182, 150 dan 125 kg P2O5ha-1. Sedangkan dosis maksimum pupuk K adalah : 165, 148, dan 127 kg K2O ha-1, masing-masing untuk kelas ketersediaan hara K sangat rendah, rendah dan sedang. Kelas ketersediaan hara tinggi dan sangat tinggi tidak perlu pemberian pupuk P maupun K.

(7)

SUMMARY

AMISNAIPA. Determination of Phosphorus and Potassium Fertilizer Needs Based on Soil Test for Big Red Chili (Capsicum annuum L.) on Inceptisols Soil, West Papua. Supervisore By ANAS DINUROHMAN SUSILA, SLAMET SUSANTO, and DEDI NURSYAMSI

Chili planting area still has great potency to expand, because the dry land area in Indonesia reached 148 million ha. Of the area, around 9,665,669 ha are found in Papua and predominantly by dry land acidic soil, Inceptisols soil group. Inceptisols utilization as agricultural cultivation area need technologies such as fertilizer, because their natural fertility rate is relatively low by limiting factor low availability of P and K. In such conditions, the management of soil fertility through fertilizer P and K become a very important factor to increase the production of chili in Inceptisol soil . Determination of fertilizer requirements should be based on soil nutrient testing. Soil test will support fertilization management that make fertilizer application can be done properly. This study is important because until now there is no P and K fertilizer recommendations based on soil tests for chili plants, especially for West Papua. The research’s objective are : 1. To obtain the best extraction method for P and K soil nutrients; 2. Determine the nutrient availability class of P and K soil ; and 3. establish the maximum rate of P and K fertilizer for chili plants in Inceptisols .

This research use single location approach on 1800 m2 of farmers side which has been fallowed for ± 4 years. The study consists of four stages, namely: 1. Determine soil nutrient status; 2. Correlation of soil nutrients; 3. Calibration of soil nutrients; and 4. fertilizer recommendation. Each stage is performed for P and K nutrient separately, and carried out from August 2012 to August 2013.

In stage 1, the treatment use randomized block design with three months, then analyzed for the content of P and K using eight extraction methods, namely: 25 % HCl, Olsen, Bray I (HCl 0.025 N + NH4F 0.03 N), Morgan Wolf (NaC2H2H3O2.3H2O 1 M; pH 4.8), Mechlich, NH4OAc pH 7.0, Morgan Vanema (NH4OAc 1 M; pH 4.8), dan EDTA (Ethylene Diamine Tetra-Acetic Acid). The results of the soil analysis showed that the value of P extracted increased with the addition of H3PO4 solution into the soil. Similarly, the value of K extracted showed an increase with the addition of KCl fertilizer into the soil.

(8)

value from eight extracting methods correlated with the relative yield of chili. Results of correlation test showed that the best soil P extraction methods for chili in Inceptisol are: Bray I with correlation coefficient is 0.631. While the best method for soil K extraction is Morgan Vanema with correlation coefficient is 0.865.

At stages 3, namely calibration of soil nutrient testing, field experiments on plant responses to fertilization at different soil nutrient status from lowest to highest was conducted. This experiment uses split plot design with three replications. For the soil P test calibration, the treatment for the main plot is soil P status (results of soil P incubation in stage 1), while the subplot is rate of P fertilizer, namely: 0 , 40 , 80 , 160 and 320 kg of P2O5 ha-1. For the soil K calibration test, the treatment in the main plot is K nutrient status (results of soil K incubation in stage 1) , while the subplot is rate of K fertilizer, namely : 0 , 40 , 80 , 160 and 320 kg of K2O ha-1. Determination of soil nutrient availability classes is based on the regression equation of calibration curve that is relationship between nutrient extracted values (X) with relative yield (Y). Class of soil P nutrient availability is based on the best three extracting methods, each for very low, low, medium, high and very high. The ranges are as follow: Bray I (<41; 41 - <102; 102- <230; and ≥ 230 ppm P). K nutrient availability is the best extractant namely very low, low, medium, high and very high, are : Morgan Vanema (< 114; 114-< 228; 228-< 460; and ≥ 460 ppm K ).

Experiment stage 4 is fertilizer recommendation. The recommended fertilizer rate is maximum fertilizer rate required to achieve 100% of relative yield. Calculation of fertilizer requirement is using regression analysis of response curve for each class of soil nutrient availability. The regression equation is: Y = a + bX + cX2, where: a, b, c = regression coefficient, X = rate of fertilizer (kg ha-1), and Y= relative yield (%). The maximum rate of P fertilizer for P availability class very low, low and medium are: 182, 150 and 125 kg P2O5 ha-1 respectively. While for K fertilizer are: 165, 148, and 127 kg K2O ha-1, respectively for very low, low and medium. Class of high and very high nutrient availability does not need P and K fertilizer.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(10)

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada

Program Studi Agronomi dan Hortikultura

PENENTUAN KEBUTUHAN PUPUK FOSFOR DAN

KALIUM BERDASARKAN UJI TANAH UNTUK TANAMAN

CABAI MERAH BESAR (

Capsicum annuum

L.) DI LAHAN

INCEPTISOL PAPUA BARAT

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(11)

Penguji pada Ujian Tertutup : 1. Prof Dr Ir Sandra Aziz Arifin, MS 2. Dr Ir Ketty Suketi, MSi

Penguji pada Ujian Terbuka : 1. Dr Ir Muhammad Prama Yufdi, MSc (KaPus. Hortikultura Litbang Pertanian).

(12)

Judul Disertasi : Penentuan Kebutuhan Pupuk Fosfor dan Kalium Berdasarkan Uji Tanah untuk Tanaman Cabai Merah Besar (Capsicum annuum L.) di Lahan Inceptisol Papua Barat

Nama : Amisnaipa

NIM : A262090111

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Anas Dinurohman Susila, MSi Ketua

Prof Dr Ir Slamet Susanto, MSc Anggota

Dr Ir Dedi Nursyamsi, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Agronomi dan Hortikultura

Dr Ir Maya Melati, MS, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

Tanggal Ujian Terbuka: 18 Agustus 2014

(13)
(14)

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil‘alamin, Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan disertasi yang berjudul “Penentuan Kebutuhan Pupuk Fosfor dan Kalium Berdasarkan Uji Tanah untuk Tanaman Cabai Merah Besar (Capsicum annuum L.) di Lahan Inceptisol Papua Barat”.

Penelitian ini disusun ke dalam 4 (empat) tahapan yang dilaksanakan paralel P dan K. Keempat tahapan merupakan kesatuan penelitian Land, green house to lab yang bertujuan untuk mendapatkan informasi dari bidang kajian fisiologi, nutrisi tanaman dan hara tanah yang berkaitan dengan penentuan dosis pemupukan yang tepat, rasional dan berimbang berdasarkan uji tanah untuk tanaman cabai pada lahan Inceptisol Papua Barat. Informasi ini dapat dijadikan sebagai acuan dan rekomendasi pemupukan di lahan kering Inceptisol khususnya Papua Barat.

Sebagian hasil penelitian sudah diterbitkan pada Jurnal Hortikultura (terakreditasi A oleh LIPI dan terakreditasi oleh Dikti), pada volume 24 nomor l 2014:(42-48) yang berjudul “Penentuan metode ekstraksi P tanah Inceptisol untuk tanaman cabai (Capsicum annuum L.)” dan pada Journal of Agronomy (Science Alert Journal) yang berjudul “Calibration of soil P test and phosphorus fertilizer requirement for Chili (Capsicum annuum L.) In Inceptisol soil”.

Penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan karena peran dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak. Pertama-tama kepada Prof Dr Ir Anas D. Susila, MSi sebagai ketua komisi pembimbing dalam penyusunan disertasi ini. Bimbingan beliau yang intensif, cermat dan terarah, memberikan tuntunan kepada penulis cara berpikir analitis dan sistematis. Selanjutnya kepada anggota komisi pembimbing, yaitu : Prof Dr Ir Slamet Susanto, MSc, dan Dr Ir Dedi Nursyamsi, MSc penulis sampaikan penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya karena telah memberikan bimbingan intensif, motivasi, informasi dan kritik yang sangat berharga dalam penyelesaian disertasi ini. Selain itu beliau-beliau juga banyak memberikan tuntunan tentang disiplin, tawakal, kesabaran dan semangat sehingga penulis termotivasi dalam menyelesaikan disertasi ini.

(15)

Petani-petani yang membantu selama penelitian serta adik-adikku mahasiswa UNIPA (Nius Aso, Tinus Anouw, Slamet, Paryo, Hari, Minggus, Rudi, Donatus Gobay, Daniel Matuan, Eka), Kepala Laboratorium FAPERTEK UNIPA dan kebun percobaan UNIPA yang telah memberikan izin menggunakan lahan dan oven pengering.

Kepada Kepala Balai Pengkalian Teknologi Pertanian Papua Barat (DR. Ir. Wahid, MS) terima kasih atas izin dan kesempatan untuk melanjutkan studi di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Ucapan serupa juga disampaikan kepada teman-teman angkatan AGH S3/2009 : Gusmaini, Tyas Pratiwi, Alce Ilona Noya, Maisura, Marjani Aliyah, Mohammad Cholid, Amrullah, La Ode Afa, dan Leo Mualim yang telah banyak membantu dan bertukar informasi baik selama perkuliahan maupun penelitian. Terima Kasih untuk sahabat-sahabat seperjuangan Dormitory H-4 Sindang Barang IPB 2 (Meksy-Jabar, Merry-Medan, Wiwi-Gorontalo, Ida-Sulsel, Darni-KalTim) dan terima kasih banyak pada teman-teman yang tidak dapat penulis sebutkan disini yang turut membantu baik langsung maupun tidak langsung selama perkuliahan di IPB.

Akhirnya kepada Mama tercinta Hj. Sundari dan Ayahanda H. Amir Nanza (Alm) kedua orang tuaku, serta Ibu Hj Mudjijatin (Ibu Mertua) terima kasih tak terhingga atas kasih sayang dan doa yang tak pernah putus. Kepada Dr Ir D.Wasgito Purnomo, MSi suamiku tercinta terima kasih atas semua bimbingan, kesabaran, keikhlasan, arahan, dan dorongan semangat, serta doa, Khalaf Dzaky Gaviano Pasca anakku tersayang penyemangat kami. Terima kasih juga kepada semua adik-adikku (Asrul Sani, Mirna Jayanthi beserta suami, Almaidah Asrap, Ery Kurniawanty beserta suami) atas doa dan bantuan kalian dan semua pihak yang telah membantu dalam penelitian dan penulisan disertasi.

Semoga disertasi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan khususnya di bidang pertanian.

Bogor, Agustus 2014

(16)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Hipotesis 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

2 TINJAUAN PUSTAKA

Prospek Peningkatan Cabai Nasional 5

Peran Fosfor untuk Pertumbuhan Tanaman 5

Ketersediaan Fosfor Tanah dan Penyerapannya oleh Tanaman 7

Peran Kalium untuk Pertumbuhan Tanaman 8

Ketersediaan Kalium Tanah dan Penyerapannya oleh Tanaman 9

Manajemen Pemupukan Tanaman 11

Peranan Uji Tanah 11

Korelasi dan Kalibrasi Uji Tanah 12

Rekomendasi Pemupukan 13

3 PEMILIHAN METODE EKSTRAKSI P TANAH INCEPTISOL

UNTUK TANAMAN CABAI (Capsicum annuum L.) 14

Pendahuluan 15

Bahan dan Metode 16

Hasil dan Pembahasan 19

Simpulan 23

4 KALIBRASI UJI P TANAH DAN KEBUTUHAN PUPUK FOSFOR UNTUKTANAMAN CABAI (Capsicum annuum L.) PADA TANAH

INCEPTISOL 24

Pendahuluan 25

Bahan dan Metode 25

Hasil dan Pembahasan 29

(17)

5 PEMILIHAN EKSTRAKTAN KALIUM TERBAIK UNTUK TANAMAN CABAI (Capsicum annuum L.) PADA TANAH

INCEPTISOL 37

Pendahuluan 38

Bahan dan Metode 40

Hasil dan Pembahasan 43

Simpulan 49

6 PENENTUAN KEBUTUHAN PUPUK KALIUM UNTUK

TANAMAN CABAI (Capsicum annuum L.) PADA TANAH

INCEPTISOL 50

Pendahuluan 51

Bahan dan Metode 52

Hasil dan Pembahasan 55

Simpulan 63

7 PEMBAHASAN UMUM 64

8 SIMPULAN DAN SARAN 72

Simpulan 72

Saran 72

DAFTAR PUSTAKA 73

LAMPIRAN 74

(18)

DAFTAR TABEL

3.1 Respon tinggi tanaman cabai umur 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 MST pada

berbagai status P tanah 22

3.2 Respon bobot kering biomassa tanaman cabai pada berbagai status P

tanah 23

3.3 Respon jumlah buah, bobot per buah, dan bobot buah panen tanaman

cabai pada berbagai status P tanah 24

3.4

4.1

Nilai P tanah terekstrak HCl 25%, Olsen, Bray I, Morgan Wolf, Mechlich, NH4Oac, Morgan Vanema, dan EDTA pada berbagai status P tanah

Kelas ketersediaan hara P untuk tanaman cabai pada tanah Inceptisol 25 30 4.2 Penentuan kebutuhan maksimum pupuk P untuk mencapai hasil

maksimal tanaman cabai pada berbagai kelas ketersediaan P tanah Inceptisol berdasarkan pengekstrak Bray l

32

4.3 Respon tinggi tanaman cabai pada berbagai status P tanah dan dosis pupuk P

33 4.4 Respon bobot kering biomas tanaman cabai pada berbagai status P

tanah daan dosis pupuk P

34 4.5 Respon hasil taanaman cabai pada berbagai status P tanah dan dosis

pupuk P

35 5.1 Hasil analisis contoh tanah komposit lapisan atas (0-20 cm) pada

lahan Inceptisol sebelum penelitian

44 5.2 Tinggi tanaman cabai umur 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 MST pada berbagai

status K tanah

45 5.3 Bobot kering biomassa tanaman cabai pada berbagai status K tanah 45 5.4 Hasil panen tanaman cabai pada berbagai status K tanah 47 5.5 Korelasi nilai K tanah terekstrak (HCl 25%, Olsen, Bray I, Morgan

Wolf, Mechlich, NH4Oac, Morgan Vanema, dan EDTA) dengan hasil cabai

48

6.1 Kelas ketersediaan hara K untuk tanaman cabai pada tanah Inceptisol 57 6.2 Penentuan kebutuhan maksimum pupuk K untuk mencapai hasil

maksimal tanaman cabai pada berbagai kelas ketersediaan K tanah Inceptisol berdasarkan pengekstrak Morgan Vanema

59

6.3 Respon tinggi tanaman cabai pada berbagai status K tanah dan dosis pupuk K

60 6.4 Respon bobot kering biomas tanaman cabai pada berbagai status K

tanah dan dosis pupuk K

61 6.5 Respon hasil tanaman cabai pada berbagai status K tanah dan dosis

pupuk K

(19)

DAFTAR GAMBAR

1.1 Bagan Alur kegiatan penelitian 5

2.1 Siklus P pada sistem tanah – tanaman 9

2.2 Siklus K pada sistem tanah-tanaman 12

3.1 Hubungan antara penambahan P tanah dengan kandungan P tajuk

dan bobot kering tajuk tanaman cabai. 23

4.1 Kurva kalibrasi untuk menentukan batas kritis nilai P terekstrak 32 4.2 Batas kritis nilai P terekstrak Bray I terhadap hasil relatif cabai 33 4.3 Respon hasil relatif cabai terhadap dosis pupuk P pada berbagai

kelas ketersediaan P tanah Inceptisol berdasarkan pengekstrak Bray

I 34

5.1 Hubungan antara penambahan K tanah dengan kandungan K tajuk

dan bobot kering tajuk 50

6.1 Kurva kalibrasi untuk menentukan batas kritis setiap kelas

ketersediaan hara K pada tanaman cabai 58

6.2 Batas kritis nilai K terekstrak Morgan Vanema terhadap hasil relatif

cabai 59

6.3 Respon hasil relatif cabai terhadap dosis pupuk K pada berbagai kelas ketersediaan K tanah Inceptisol berdasarkan pengekstrak

(20)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Deskripsi Cabai Hibrida F1 HORISON (Kepmentan No.

644/Kpts/SR.120/10/2006 74

2 Metode ekstraksi dengan pengekstrak HCl 25% 75

3 Metode ekstraksi dengan pengekstrak Olsen 76

4 Metode Ektraksi dengan Pengekstrak Bray I 77

5 Metode ekstraksi dengan Pengekstrak Morgan-Wolf 78 6 Metode ekstraksi dengan pengekstrak Mehlich 1 81 7 Metode ekstraksi dengan pengekstrak Amonium Asetat Netral

(NH4-OAc 1 M pH 7.0) 82

8 Metode ekstraksi dengan pengekstrak Morgan-Vanema (NH4–

OAc 1 M pH 4.8) 83

9 Ammonium acetat-EDTA pH 4.65 84

10 Nilai kuadrat tengah tinggi tanaman pada percobaan pemilihan metode ekstraksi P tanah Inceptisol untuk tanaman cabai 85 11 Nilai kuadrat tengah bobot kering biomassa, kandungan P tajuk, dan

hasil pada percobaan pemilihan metode ekstraksi P tanah Inceptisol

untuk tanaman cabai 85

12 Nilai kuadrat tengah tinggi tanaman dan bobot kering biomassa, pada percobaan kalibrasi uji P tanah Inceptisol untuk tanaman cabai. 85 13 Nilai kuadrat tengah kandungan P tajuk dan hasil pada percobaan

kalibrasi uji P tanah Inceptisol untuk tanaman cabai. 86 14 Nilai kuadrat tengah tinggi tanaman pada percobaan pemilihan

metode ekstraksi K tanah Inceptisol untuk tanaman cabai. 86 15 Nilai kuadrat tengah bobot kering biomassa, kandungan K tajuk, dan

hasil pada percobaan pemilihan metode ekstraksi K tanah Inceptisol

untuk tanaman cabai. 86

16 Nilai kuadrat tengah tinggi tanaman dan bobot kering biomassa, pada percobaan kalibrasi uji K tanah Inceptisol untuk tanaman cabai.

87 17 Nilai kuadrat tengah kandungan K tajuk dan hasil pada percobaan

kalibrasi uji K tanah Inceptisol untuk tanaman cabai. 87

18 Foto kegiatan pembuatan status hara tanah 88

19 Foto kegiatan penelitian korelasi uji hara tanah 89 20 Foto kegiatan penelitian kalibrasi uji hara tanah 90 21 Denah penelitian pembuatan status hara tanah 91

(21)

Latar Belakang

Tanaman cabai (Capsicum annuum L.) merupakan komoditas hortikultura unggulan dengan pertanaman terluas (19.20 %) dari total luas lahan komoditas sayuran lainnya (Ditjen Hortikultura 2013). Luasnya areal pertanaman cabai tersebut belum diikuti dengan produksi yang maksimal. Produksi rata-rata cabai merah secara nasional selama periode 2009-2013 baru mencapai 890 130.2 ton dengan produktivitas 5.85 ton ha-1, sedangkan potensi produksi cabai berkisar 15 – 20 ton ha-1 (Ditjen Hortikultura 2013).

Kebutuhan cabai terus meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk dan berkembangnya industri makanan, kosmetik, serta farmasi yang menggunakan cabai sebagai bahan baku. Konsumsi cabai rata-rata masyarakat Indonesia periode 5 tahun terakhir (2009-2012) sebesar 1 550 kg per kapita per tahun (BPS 2013). Dengan demikian bila produksi dan luas pertanaman cabai tidak ditingkatkan, maka cabai akan terus diimpor untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Pada tahun 2012 volume impor cabai Indonesia mencapai 22 737 ton dan ekspor 7 575 ton (BPS 2013).

Produksi cabai yang bersifat musiman, dimana harga turun pada musim panen dan harga naik di luar musim panen, maka perlu stabilitas pasokan dan harga cabai dengan perbaikan teknologi dan manajemen produksi. Selain fluktuasi harga, fluktuasi pasokan juga sangat berpengaruh karena distribusi produksi antar wilayah sebagian besar di pulau jawa dan Bali (55%), Sumatera (34%) dan hanya 11% dari produksi total terdistribusi di wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (BPS 2013)..

Pemenuhan kebutuhan cabai dalam negeri tidak bisa sepenuhnya mengandalkan produksi di Pulau Jawa karena lahan produktif banyak dikonversi untuk keperluan lainnya sehingga peningkatan produksi melalui perluasan areal menjadi terbatas. Sumber daya lahan Indonesia cukup besar dengan total daratan sekitar 188.2 juta ha, dimana sekitar 148 juta hektar berada diluar pulau Jawa (Puslittanak 2000). Total luasan lahan tersebut sebagian besar yaitu 102.8 juta ha, didominasi oleh ordo Inceptisol dan Ultisol dengan penyebaran terbesar di Sumatera, Kalimantan dan Papua (Mulyani et al. 2004). Lahan-lahan tersebut cukup potensial dimanfaatkan untuk perluasan areal pertanaman cabai. Perlu diingat bahwa untuk pengembangan pertanian terutama diluar Jawa yang memiliki potensi masih sangat luas, ada persyaratan agronomi yang harus terlebih dulu dipenuhi terutama ketersediaan air dan hara N, P, K dan Ca (Abdurachman et al. 2008).

(22)

untuk memanfaatkan tanah-tanah Inceptisol menjadi lahan produktif. Mulai saat ini dan masa mendatang pengembangan tanaman cabai di Indonesia akan dilakukan pada tanah-tanah tersebut. Di Indonesia, tanah ini banyak ditemukan di Papua (15.49 Juta ha), Kalimantan Timur (6.12 Juta ha), Kalimantan Tengah (4.21 Juta ha) dan Maluku (4 Juta ha) (Puslittanak 2000; Mulyani et al. 2004). Keragaman tanah, bahan induk, fisiografi, elevasi, iklim dan lingkungannya menjadikan sumber daya lahan yang beranekaragam. Variasi iklim dan curah hujan yang relatif tinggi di sebagian besar wilayah Indonesia berakibat tingkat pencucian dalam tanah cukup intensif, sehingga kandungan basa-basa dapat tukar rendah dan KTK rendah, tanah menjadi masam (pH < 5.5) dan miskin unsur hara. Selanjutnya adanya kelarutan aluminium yang tinggi pada tanah Inceptisol merupakan kendala utama yang sering membatasi pertumbuhan tanaman pada tanah tersebut (Matsumoto et al. 2003; Vitorello et al. 2005). Selain itu, kelarutan Al pada pH kurang dari 4.5 didominasi bentuk Al3+ yang dapat menghambat pertumbuhan akar sehingga menurunkan kemampuan akar dalam menyerap hara mineral dan air (Marschner 1995; Rout et al. 2001). Kandungan hara fosfor dan kalium tanah Inceptisol tergolong rendah dan bervariasi, sehingga bila digunakan untuk lahan pertanaman cabai membutuhkan penanganan yang berbeda terutama dalam hal pemupukannya.

Pemupukan merupakan salah satu cara yang dikembangkan pemerintah untuk meningkatkan produksi pertanian di Indonesia. Namun dalam pelaksanaannya masih banyak usaha pemupukan yang kurang tepat, baik dari penentuan jenis, dosis, waktu dan cara pemberian pupuk. Hal ini akan memberikan dampak kurang menguntungkan terhadap kondisi fisik, kimia dan biologi tanah, serta seluruh lingkungan tanah. Oleh sebab itu, cara mengatasi permasalahan tersebut adalah dengan program pemupukan yang didasarkan pada hasil uji tanah dan tanaman yang memperhatikan status hara, kebutuhan tanaman serta kondisi lingkungan (Rochayati et al. 1999; Sabiham 1995).

Pemberian pupuk yang berlebihan selain pemborosan dana juga mengganggu keseimbangan hara dalam tanah, menurunkan efisiensi pemupukan dan menimbulkan pencemaran bagi lingkungan, kemudian bila terlalu sedikit pemberian pupuk maka tidak dapat mencapai tingkat produksi optimal. Praktek pemupukan seperti ini, bila masih dipertahankan maka produksi pertanian Indonesia khususnya sayuran seperti cabai akan tetap impor dan sulit bersaing dipasar global.

(23)

Secara umum penelitian ini bertujuan menentukan kebutuhan pupuk P dan K yang direkomendasikan untuk tanaman cabai pada tanah Inceptisol. Adapun penelitian ini menjadi penting karena sampai saat ini belum ada rekomendasi pemupukan P dan K berdasarkan uji tanah untuk tanaman cabai khususnya untuk Papua Barat. Secara khusus penelitian ini bertujuan:

1. Mendapatkan metode pengekstrak hara P dan K tanah yang sesuai untuk tanaman cabai pada tanah Inceptisol.

2. Menetapkan kelas ketersediaan hara P dan K tanah untuk tanaman cabai pada tanah Inceptisol.

3. Menetapkan dosis pupuk maksimum P dan K untuk produksi maksimum tanaman cabai pada tanah Inceptisol.

Hipotesis

1. Setiap metode ekstraksi mempunyai kemampuan yang berbeda untuk mengekstrak hara P dan K dari larutan tanah.

2. Kelas ketersediaan P dan K tanah akan direspon berbeda oleh tanaman cabai. 3. Setiap kelas ketersediaan hara mempunyai dosis maksimum yang berbeda

untuk mendapatkan hasil maksimum pada tanaman cabai di tanah Inceptisol.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini dapat memberikan rekomendasi pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah dan kebutuhan tanaman cabai di tanah Inceptisol. Selain itu juga, dapat sebagai bahan acuan dalam program uji tanah dan penelitian hara P dan K untuk tanaman cabai pada lahan Inceptisol.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini disusun berdasarkan pemikiran bahwa sumberdaya lahan Indonesia cukup besar terutama lahan-lahan marjinal sangat luas penyebarannya. Lahan-lahan tersebut didominasi oleh ordo tanah Entisol, Inceptisol, Ultisol, Oxisol dan Spodosol, terutama yang mempunyai iklim basah dengan tingkat curah hujan yang tinggi (kelembaban udik) (Mulyani et al. 2004).

(24)

tersebut hingga menjadi baik, aman dan siap tanam untuk usahatani mengun-tungkan dan berkelanjutan. Selanjutnya meningkatkan produktifitas tanah Inceptisol dapat dilakukan dengan pemupukan, pengapuran dan pengelolaan bahan organik (Abdurachman et al. 2008). Namun sayangnya sampai saat ini belum tersedia rekomendasi pemupukan yang spesifik lokasi berdasarkan uji tanah yang dapat langsung digunakan petani. Berkaitan dengan permasalahan tersebut maka dilakukan rangkaian penelitian membangun rekomendasi yang meliputi pengujian dilapangan dan rumah plastik serta laboratorium.

(25)

Gambar 1.1 Bagan alur kegiatan penelitian

PENINGKATAN PRODUKSI TANAMAN CABAI PADA TANAH INCEPTISOL

Penelitian I: Penyusunan rekomendasi pemupukan P untuk tanaman cabai

Output: dosis pemupukan P untuk tan. cabai

(26)

Prospek Peningkatan Cabai Nasional

Cabai merah besar (Capsicum annuum L.) merupakan salah satu dari tiga komoditas yaitu kentang dan bawang merah yang ikut mempengaruhi devisa negara. Tingginya harga cabai merah beberapa tahun terakhir yang sampai pada kisaran Rp 20 000 – Rp 60 000 kg-1 menyebabkan tanaman cabai masuk dalam agenda pembicaraan nasional. Hal ini disebabkan harga cabai yang cenderung melambung saat tidak panen terutama pada musim hujan dan merosot di saat panen serempak. Hal ini berarti cabai merah sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari. Selain untuk kebutuhan rumah tangga, permintaan akan cabai oleh industri dari hari kehari terus meningkat, seiring dengan meningkatnya industri makanan dan farmasi yang mengunakan bahan baku cabai.

Tanaman cabai merupakan komoditas sayuran yang banyak dibudidayakan petani di Indonesia karena memiliki harga jual yang tinggi. Budidaya tanaman cabai sangat menjanjikan dalam nilai ekonomi, potensi pasar yang semakin cerah, juga ditunjang dengan budidaya yang semakin mudah, seiring terus dilakukan penelitian-penelitian dalam pengembangan tanaman tersebut menuju peningkatan produksi yang berkualitas, merata dan kontinyu. Pengembangan tanaman cabai melalui ekstensifikasi dan membuka sentra-sentra produksi baru cabai diseluruh wilayah yang mempunyai potensi lahan merupakan cara yang tepat.

Salah satu daerah yang mempunyai potensi lahan dan tepat untuk pengembangan tanaman cabai adalah Papua Barat. Papua Barat memiliki luas wilayah 115 363.50 km2 dengan jumlah penduduk 760 422 jiwa yang tersebar di 10 kabupaten dan 1 kota. Salah satu contoh kabupaten yang dapat menjadi sentra produksi cabai adalah Manokwari dengan luas 14 250 km2 (BPS 2013). Lahan di Papua Barat di dominasi oleh ordo Inceptisol dan Ultisol, masing-masing 7882.195 dan 5753.893 ha (Puslittanak 2000; Mulyani et al. 2004). Lahan-lahan tersebut dapat diusahakan menjadi lahan pertanian produktif dengan terobosan inovasi teknologi. Salah satunya adalah teknologi pemupukan secara lengkap dan berimbang berdasarkan uji tanah.

Teknik budidaya para petani cabai umumnya sudah sesuai dengan standar GAP (good agriculture practises). Mereka menggunakan benih cabai yang berkualitas baik lokal maupun benih impor, serta diikuti dengan penggunaan mulsa plastik hitam perak dan tudung plastik bila musim hujan tiba.

Teknik pemupukan merupakan faktor penentu dalam proses produksi tanaman cabai. Baik itu ditinjau dari segi jenis pupuk, takaran atau dosis pupuk maupun cara pemberiannya.

(27)

sangat berhubungan erat dengan harga, saat produksi berkurang harga akan beranjak naik. Namun bila petani sudah menerapkan anjuran budidaya di musim penghujan, bisa saja produksi mengalami peningkatan. Meskipun musim hujan harga cabai relatif lebih tinggi dibanding musim kemarau, namun pasokan yang berlebihan juga pasti menjatuhkan harga. Oleh sebab itu strategi penanaman perlu diterapkan untuk dapat meningkatkan produksi, menjaga kesinambungan pasokan dan menjaga kestabilan harga dipasaran.

Peran Fosfor untuk Pertumbuhan Tanaman

Fosfor merupakan unsur hara esensial makro yang dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman. Tanaman memperoleh unsur P seluruhnya berasal dari tanah atau dari pemupukan serta hasil dekomposisi dan mineralisasi bahan organik. Jumlah P total dalam tanah cukup banyak, namun yang tersedia bagi tanaman jumlahnya sangat sedikit hanya berkisar antara 0.01 – 0.2 mg P l-1 (Wood 1998).

Fosfor sangat penting untuk pertumbuhan dan reproduksi tanaman, disamping nitrogen dan kalium. Peran fosfor pada tanaman merupakan senyawa nutrisi penting baik sebagai bagian dari struktur senyawa kunci dan katalisis dalam konversi berbagai reaksi biokimia utama dalam tanaman. Fungsi fosfor tidak dapat digantikan oleh nutrisi lain. Suplai P yang tidak cukup, tanaman tidak dapat meningkatkan potensi hasil maksimumnya (Fageria and Gheyi 1999). Demikian dengan kualitas tanaman sayuran meningkat dengan pemupukan fosfor (Fageria 2009). Fosfat merupakan komponen struktur fosfolipid, asam nukleat, nukleotida koenzim dan fosfoprotein. Fosfolipid penting untuk membentuk struktur membran, gen-gen pada asam nukleat dan kromosom membawa material genetik dari sel ke sel. Fosfat inorganik dan organik dalam tanaman berfungsi sebagai penyangga dalam menjaga pH cel. Tanaman menyerap fosfat dalam bentuk H2PO4- atau HPO42-, tergantung pH media pertumbuhan (Sanchez 2007). Penyerapan ini dikontrol oleh kebutuhan tanaman sebab konsentrasi fosfor di sel akar dapat mencapai 100 sampai 1000 kali lebih besar dari yang di larutan tanah (Johnston 2000).

(28)

Fosfor sangat mobile pada tanaman dan saat kekurangan di translokasi dari jaringan tanaman tua ke daerah aktif tumbuh (jaringan muda). Setelah tanaman dewasa, fosfor di translokasi ke daerah buah dalam tanaman di mana kebutuhan energi sangat diperlukan untuk pembentukan biji dan buah. Kekurangan fosfor di akhir musim tanam mempengaruhi perkembangan benih dan kematangan tanaman normal (Sanchez 2007).

Fosfor merupakan komponen penting dari struktur ATP. ATP terbentuk selama fotosintesis, dan proses awal pertumbuhan bibit mulai dari pembentukan gabah sampai proses pematangan. Beberapa faktor pertumbuhan spesifik yang dikaitkan dengan fosfor adalah: merangsang perkembangan akar, peningkatan dan kekuatan tangkai batang, pembentukan bunga meningkat dan produksi benih lebih seragam, perbaikan kualitas tanaman, dan peningkatan ketahanan terhadap penyakit tanaman.

Kekurangan Fosfor lebih sulit didiagnosis dibandingkan kekurangan nitrogen atau kalium. Tanaman biasanya menampilkan gejala yang tidak jelas ada kekurangan fosfor, umumnya tanaman kerdil selama pertumbuhan awal pada tanaman semusin, dan berbeda pada tanaman tahunan prosesnya sangat lambat. Beberapa tanaman, seperti jagung, cenderung menunjukkan perubahan warna ketika kekurangan fosfor. Tanaman bila terjadi kekurangan, daunnya berwarna gelap (hijau-kebiruan) dan batang menjadi keunguan. Tingkat ungu dipengaruhi oleh susunan genetik dari tanaman, beberapa hibrida menunjukkan perubahan warna yang jauh lebih besar daripada yang lain. Warna keunguan ini disebabkan akumulasi gula yang mendukung sintesis antosianin (berwarna keunguan pigmen) yang terjadi pada daun tanaman.

Ketersediaan Fosfor Tanah dan Penyerapannya oleh Tanaman

Fosfor tidak sama seperti nitrogen, yang dapat diperbaharui dengan fiksasi dari udara. Fosfor tidak dapat dipenuhi kecuali dari sumber luar seperti dari sisa bahan tanaman pertanian yang melapuk dan pemupukan. Sumber P dalam tanah berasal dari pupuk organik dan anorganik. Kedua sumber tersebut sangat penting untuk pertumbuhan tanaman. Namun hanya sebagian kecil dari total fosfor yang tersedia bagi tanaman. Fosfor berikatan dengan Kalsium yang mendominasi pada tanah alkalin, dan ikatan P dengan besi dan aluminium mendominasi tanah-tanah masam. Bentuk P organik bervariasi pada setiap jenis tanah-tanah dan terdapat 20 – 80% dari total fosfor pada Horison permukaan tanah (Brady dan Weil 2002). Fosfor organik bersumber dari sisa tanaman, pupuk kandang, dan jaringan mikroba. Tanah yang bahan organiknya rendah hanya mengandung 3% fosfor organik, namun tanah dengan bahan organik tinggi dapat mengandung 50% atau lebih dari total fosfor dalam bentuk organik. Banyak faktor yang mempengaruhi fosfor dalam tanah. Di antaranya adalah: (1) Jenis bahan induk tanah, (2) derajat pelapukan, dan (3) kondisi iklim.

(29)

organik (Daniel et al. 2008). P tanah ditemukan dalam sumber yang berbeda seperti P organik dan bukan P organik (Gambar 2.1).

Tingkat ketersediaan P dengan cepat dapat dihubungkan dengan peningkatan pH tanah dan keberadaan konstituan tanah yang bervariasi. Namun akumulasi P dalam tanah porsinya hanya sedikit dan setiap sisa P yang didapati dengan ikatan energi yang kecil. Selanjutnya peningkatan besar dalam Olsen hanya terjadi pada beberapa tanah yang telah ditanami dan dipupuk serta diberi pupuk kandang untuk beberapa tahun (Jonhston 2000).

Gambar 2.1 Siklus P pada sistem tanah – tanaman (Fageria 2009).

Sistem perakaran dari spesies yang berbeda sangat bervariasi terutama pada berat, panjang dan kedalaman penetrasi. Sebagai contoh akar gandum dengan peningkatan hasil biji 10 t/ha, berat kering akarnya maksimum 1.5 t/ha dengan panjang 100m/tanaman pada 300 tanaman/m2 (Johnston 2000). Menurut Lynch (1995) akar tanaman secara morfologi dan geometri penting untuk memaksimalkan penyerapan P, karena sistem perakaran yang memiliki rasio lebih tinggi luas permukaan terhadap volume akan lebih efektif mengeksplorasi volume yang lebih besar dari tanah.

(30)

setiap hari. Jumlah total P dalam larutan tanah hanya berkisar antara 0.3 – 3.0 kg/ha dan tidak semua P dapat tersedia (Jonhston 2000). Oleh karenanya setiap saat P dalam larutan tanah harus di isi kembali (Marchner 1995).

Banyak metode pendugaan jumlah dan ketersediaan hara dalam tanah. Beberapa metode pengektrak tanah menggunakan regen kimia atau mengunakan resin pertukaran anion (Jonhston 2000). Banyak Negara memilih metode yang cepat dapat mengkarakteristik tanah dalam hubungannya dengan respon untuk mengaplikasikan pemupukan fosfor khususnya. Di Inggris dan Wales, metode

Olsen’s terkenal digunakan untuk mendeteksi ketersediaan P dengan cepat (mg P/kg tanah) (Jonhston 2000). Laboratorium Universitas Arkansass menggunakan metode pengekstrak terbaik untuk analisis tanah adalah Mehlich-3 untuk tanah-tanah masam di U.S yang hasilnya dinyatakan dalam satuan ppm atau lbs/acre.

Indonesia menggunakan beberapa metode termasuk metode Olsen’s yang mana

metode tersebut harus dapat mengektrak lebih banyak hara-hara dari dalam tanah. Metode pengekstrak Truog dan Olsen adalah pengekstrak terbaik pada tanah Andisol untuk kedelai (Nursyamsi dan Fajri 2005). Menurut Izhar et al. 2012 metode terbaik untuk tanaman tomat pada tanah Inceptisols adalah metode Mehlich I.

Menejemen hara P sangat penting dalam konsep pertanian berkelanjutan agar diperoleh hasil optimum yang ekonomis. Penggunaan input yang efisien sesuai rekomendasi untuk tanaman, dapat meminimalkan dampak lingkungan.

Peran Kalium Untuk Pertumbuhan Tanaman

(31)

sclerenchym. Pemberian pupuk K pada tanaman tomat varietas intan mampu mempengaruhi produktivitas dan kualitas buah (Surbakti 1982).

Kalium seperti N dan P mobilitasnya tinggi dalam jaringan tanaman. Konsentrasi K sangat tinggi ditemukan pada jaringan muda yang sedang berkembang dan organ-organ reproduktif.

Ketersediaan Kalium Tanah dan Penyerapannya oleh Tanaman

Kalium seperti N mudah hilang dari sistem tanah-tanaman. Sumber kalium utama untuk pertumbuhan tanaman berasal dari pupuk kimia, sisa bahan tanaman, pupuk kandang, dan mineral-mineral lain. Umumnya penurunan K dalam tanah hilang akibat erosi, aliran permukaan dan diserap oleh tanaman.

Konsentrasi kalium dalam larutan tanah relatif sangat rendah (0.1 – 0.2%), K dapat dipertukarkan berkisar antara 1 – 2% (Fageria 2009). Sedangkan K tidak dapat dipertukarkan adalah 1 – 10% dan 90 – 98% K masih menjadi mineral K (Gambar 2.2). Kemampuan tanah untuk mengisi larutan K tergantung pada perubahan variasi bentuk K-labil dan masing-masing membentuk keseimbangan dengan larutan tanah.

Pada umumnya pergerakan K ke akar tanaman dengan cara difusi. Proses difusi ini tergantung pada beberapa faktor seperti kandungan air tanah, suhu, koefisien difusi K, aliran difusi dan gradien konsentrasi K khususnya jika zone deplesi berada disekitar daerah penyerapan akar (Bertsch dan Thomas 1985). Hundal dan Pasricha (1998) menyatakan bahwa ketersediaan dan pencucian K sangat dipengaruhi oleh reaksi adsorpsi dan desorpsi. Variasi suhu sangat mempengaruhi reaksi pertukaran unsur K. Adsorpsi K kumulatif menurun dengan meningkatnya suhu dari 298oK menjadi 313oK dan menurun pada lapisan tanah yang semakin dalam. Di daerah tropik dan subtropik, variasi suhu musiman sangat besar, sehingga kemungkinan terjadinya proses desorpsi sangat besar. Kondisi ini akan mempercepat hilangnya K melalui proses pencucian.

Banyak faktor yang mempengaruhi penyerapan hara oleh tanaman seperti iklim, tanah dan tanaman itu sendiri beserta interaksinya. Serapan K oleh tanaman tidak hanya tergantung pada konsentrasi K dalam tanah, tapi juga pada komposisi kation. Keberadaan NH4+, Ca2+ atau Mg2+ yang berlebihan dalam tanah akan mengganggu serapan K (Laegreid et al. 1999), sedangkan Marschner (1995) menyatakan bahwa suplai K untuk tanaman lebih terkait dengan mineralogi tanah dibandingkan dengan hara lainnya. Serapan K oleh akar tanaman memegang peranan penting dalam mengontrol keseimbangan pertukaran dan ketersediaan K, karena deplesi K pada rizosfir akan memicu pelepasan K dari permukaan pertukaran (Blake et al. 1999).

(32)

Penjenuhan kalium yang optimum dalam larutan tanah dan efisiensi penggunaan kalium dalam budidaya tanaman sangat penting untuk meningkatkan hasil tanaman. Akumulasi kalium meuh nyata terhadap pengembalian K memberikan respon kuadratik dengan meningkatnya umur tanaman. Hasil penelitian Fageria (2009) membuktikan bahwa penyerapan 98% ion kalium pada padi sawah dan 95% ion kalium pada tanaman kacang disebabkan oleh umur tanaman. Umur tanaman berpengaruh signifikan terhadap akumulasi kalium dalam jariangan tanaman. Jumlah akumulasi ion K pada tanaman padi dan jagung lebih banyak didaerah tajuk dan hanya sebagian kecil yang ditranlokasikan ke biji (Fageria 2009). Oleh sebab itu pengembalian brankasan kedalam tanah mempunyai pengaruh nyata terhadap pengembalian kalium dalm sistem tanah-tanaman (Gambar 2). Hal yang sama juga disarankan oleh Dierolf dan Yost (2000) pentingnya pengelolaah serasah tanaman di lahan kering masam untuk tetap menjaga ketersedian K dalam tanah. Serasah tanaman setelah panen sedapat mungkin dikembalikan agar kebutuhan K untuk pertanaman berikutnya dapat dikurangi. Kalium akan mengalami deplesi bila penanaman terus menerus dan sisa tanaman tidak dikembalikan.

(33)

Manajemen Pemupukan Tanaman

Menejemen nutrisi adalah suatu aspek yang sangat penting guna meningkatkan produktifitas tanaman. Menejemen nutrisi dalam produksi tanaman adalah pemberian nutrisi penting ke tanaman dalam jumlah yang cukup untuk mencapai hasil yang maksimum secara ekonomi dalam ruang lingkup agroekologi (Fageria 2009). Setrategi menejemen hara akan berbeda-beda menurut jenis tanah, kondisi klimat, spesies tanaman, dan perhatian sosioekonomi.

Pentingnya menejemen praktis untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk N, P, K dan menghasilkan produksi yang optimum antara lain: pengapuran pada tanah-tanah masam, penggunaan pupuk N, P, K yang tepat (waktu, jumlah, dan metode aplikasi), efisiensi pemupukan berdasarkan rekomendasi spesies tanaman atau genotype dalam spesies, kelembaban tanah dijaga, meningkatkan kandungan bahan organik tanah dan pengembalian sisa tanaman, mengontrol erosi dan hama, penyakit serta gulma.

Pengapuran pada tanah-tanah masam memperbaiki sifat fisik, kimia dan aktifitas biologi tanah (mikroorganisme yang menguntungkan) dan dapat meningkatkan hasil tanaman serta penggunaan pupuk yang efisien (Fageria dan Baligar 2005). Indeks kemasaman tanah seperti pH yang digunakan sebagai dasar untuk pengapuran pada tanah masam. Meningkatnya pH tanah akibat pengapuran, menyebabkan pelepasan P dan K untuk diserap tanaman dan mempercepat pertumbuhan tanaman (Bolan et al. 2003). Waktu aplikasi sangat penting, dimana pemberian nutrisi saat tanaman membutuhkan dapat meningkatkan efisiensi dan hasil tanaman tersebut.

Penggunaan hara yang seimbang adalah pemberian nutrisi tanaman penting yang lain dalam jumlah yang cukup dan proposional. Terkait dengan hal tersebut maka analisis tanah menjadi sangat penting untuk mengetahui berapa banyak ketersediaan hara dalam tanah untuk digunakan tanaman.

Peranan Uji Tanah

Secara umum uji tanah dapat didefinisikan sebagai pengukuran sifat fisik dan kimia tanah. Namun dalam pengertian yang lebih terbatas diartikan sebagai suatu kegiatan analisis kimia yang sederhana, cepat, murah, tepat dan dapat diulang (reproduceable) untuk menduga ketersediaan hara tertentu dalam tanah (Peck dan Soltanpour 1990; Widjaja-Adhi 1995). Uji tanah bertujuan untuk: (1) menetapkan dengan teliti status ketersediaan hara dalam tanah, (2) menunjukkan dengan jelas adanya defisiensi atau keracunan untuk berbagai tanaman; (3) membentuk suatu dasar penyusunan rekomendasi pemupukan; dan (4) menyajikan hasil uji tanah dalam bentuk yang memungkinkan suatu evaluasi ekonomi dari rekomendasi yang dianjurkan. Sabiham (1995) menyatakan bahwa uji tanah merupakan pendidikan yang baik bagi produsen di bidang pertanian, penyuluh pertanian serta bagi mereka yang bekerja di industri pupuk.

(34)

ke-4 rekomendasi pemupukan (Melsted dan Peck 1973; Widjaya-Adhi 1995; Peck dan Soltanpour 1990; Sabiham 1995). Tahap ke-2 biasanya dilakukan berdasarkan hasil penelitian korelasi, sedangkan tahap ke-3 dan ke-4 berdasarkan hasil penelitian uji kalibrasi di lapang. Nilai uji tanah tidak akan berarti apabila tidak ada hasil penelitian korelasi dan kalibrasi uji tanah.

Korelasi dan Kalibrasi Uji Tanah

Korelasi uji tanah untuk menghasilkan metode ekstraksi terpilih untuk suatu tanaman pada suatu tanah dilokasi yang spesifik. Metode ekstraksi terbaik yang diperoleh dari hasil penelitian korelasi kemudian dikalibrasikan dengan respon tanaman dilapangan. Menurut Evans (1987), kalibrasi uji tanah adalah proses mengidentifikasi tingkat kekurangan atau kecukupan hara dan jumlah hara yang akan ditambahkan jika kekurangan. Oleh karenanya ekstraksi K dengan jenis pengekstrak tertentu haruslah dapat mengekstrak K labil yang berkorelasi nyata dengan serapan K oleh tanaman. Rachim (1995) menyatakan bahwa uji tanah melibatkan bahan-bahan kimia dengan konsentrasi rendah agar jumlah hara yang terekstrak sesuai dengan kemampuan tanaman menyerap hara. Prinsip dari prosedur uji tanah adalah dirancang untuk meminimalkan waktu dan tenaga ekstraksi, namun diperoleh hasil yang cukup teliti. Berbagai metode ekstraksi K telah diperkenalkan, namun yang paling banyak digunakan di berbagai negara adalah 1M NH4OAc netral yang menghasilkan nilai K-dd (Kdapat dipertukarkan). Bohn et al. (1979) mengatakan bahwa K-dd memiliki korelasi yang cukup baik dengan kemampuan penyediaan K tanah selama musim tanam.

Fraksi-fraksi K dalam tanah berada dalam keseimbangan antar satu fraksi dengan fraksi lainnya, termasuk Ktdk dpt dipertukarkan (n-ex). KLarutan dan Kdd akan ditingkatkan oleh Kn-ex bila K mengalami deplesi oleh serapan tanaman dan pencucian. Ekstraksi K dengan metode konvensional 1M NH4OAc untuk me-nentukan K-dd dalam tanah tidak cukup bila K yang tidak dapat dipertukarkan (Kn-ex) berkontribusi nyata terhadap nutrisi tanaman (Cox et al. 1999). Keterse-diaan K dan hasil biomass kering berkorelasi baik dengan K-NH4OAc hanya pada tanah dengan kontribusi Kn-ex rendah, tapi dengan metode NaTPB dimodifikasi berkorelasi baik untuk semua tanah.

(35)

dapat diekstraks dengan HNO3 1M berulang. Step K ini merupakan indeks penyediaan K yang lebih realistis dibandingkan dengan K terekstrak NH4OAc.

Nilai uji tanah dari berbagai metode ekstraksi belum memiliki arti secara agronomis bila nilai uji tanah dari metode-metode ini belum dikalibrasikan dengan produksi tanaman di lapang. Tahap kegiatan ini dalam uji tanah disebut kalibrasi uji tanah. Kalibrasi uji tanah akan menentukan hubungan antara nilai uji tanah dengan respon tanaman di lapang sehingga diperoleh nilai harkat uji tanah rendah, sedang dan tinggi atau cukup dan tidak cukup (Leiwakabessy 1995).

Kalibrasi uji tanah dapat dilakukan dengan pendekatan lokasi banyak (multi lokasi) atau dengan pendekatan lokasi tunggal (Widjaja-Adhi 1995). Pendekatan multi lokasi memiliki banyak kelemahan yaitu mahal dan karakteristik penyediaan hara yang berbeda. Penggunaan pendekatan lokasi tunggal dapat menghindari dua kelemahan tersebut, namun variasi/keragaman status hara tanah yang diperoleh adalah keragaman buatan. Karena status hara dibuat dengan pemberian pupuk, maka harus dipastikan bahwa reaksi pupuk dengan tanah telah mencapai keseimbangan (steady state) sehingga hara pupuk telah berubah menjadi hara tanah.

Widjaja-Adhi (1995) menyatakan bahwa analisis kalibrasi uji tanah dapat dilakukan dengan berbagai metode yaitu (1) metode grafik Cate-Nelson yang menghasilkan nilai batas kritis hara, (2) analis keragaman Cate-Nelson yang memberikan lebih dari 2 kelas ketersediaan hara dan (3) analisa keragaman Nelson-Anderson juga memberikan lebih dari 2 kelas ketersediaan hara. Cara lain untuk menentukan batas kritis dalam uji kalibrasi menurut Dahnke dan Olson (1990) adalah menggunakan kurva kontinyu yang menghubungkan antara hasil relatif dengan nilai uji tanah. Nilai batas kritis yang dihasilkan dari metode tersebut dapat membagi lebih dari 2 kelas ketersediaan hara. Selanjutnya Kidder (1993) membagi kelas ketersediaan hara menjadi 5 kategori berdasarkan respon hasil relatif, yaitu: (1) sangat rendah, jika hasil relatifnya < 50 %, (2) rendah, jika hasil relatifnya 50 - 75 %, (3) sedang, jika hasil relatifnya 75 - 100 %, (4) tinggi, jika hasil relatifnya =100 %, dan (5) sangat tinggi, jika hasil relatifnya < 100 %.

Rekomendasi Pemupukan

Menyusun suatu rekomendasi pemupukan harus berdasarkan uji tanah sebab lebih rasional, sifatnya yang kuantitatif dan lebih ilmiah. Namun kualitas penelitian respon pemupukan sangat ditentukan dengan data yang baik dan banyak, agar hubungan hasil uji tanah dengan dosis pupuk dapat dikembangkan.

Ada enam kriteria yang harus diketahui dalam pembuatan rekomendasi pemupukan menurut Melsted dan Peck (1973) yaitu: (1) status hara tanah, (2) tanaman yang akan ditanam, (3) pola tanam dan luasan yang akan digunakan, (4) kebutuhan maksimum tanaman untuk pertumbuhannya, (5) peningkatan laju pertumbuhan tanaman dengan pemberian pupuk, (6) metode pemupukan.

(36)

pertama yaitu rekomendasi berdasarkan kurva umum. Setiap kelas uji tanah dibuat kurva respon pemupukan. Berdasarkan kurva respon tersebut disusun dosis optimum pemupukan fospor dan kalium untuk setiap kelas uji tanah. Selanjutnya takaran ataupun dosis dan sumber N, P dan K yang tepat merupakan hal yang penting untuk meningkatkan efisiensi penggunaan dalam tanaman, sehingga tidak hanya meningkatkan hasil tapi juga dapat menurunkan ongkos produksi dan polusi terhadap lingkungan.

(37)

ABSTRAK

Penelitian uji korelasi P tanah Inceptisol terhadap respon tanaman cabai dilakukan di lahan petani SP I Prafi dan dilanjutkan di greenhouse BPTP Papua Barat, Manokwari, mulai dari bulan Agustus 2012 sampai April 2013. Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk memilih metode ekstraksi P tanah yang terbaik bagi tanaman cabai pada tanah Inceptisol. Penelitian menggunakan pendekatan lokasi tunggal, dimana penempatan perlakuan diacak menurut rancangan acak kelompok. Pembuatan status hara P tanah dilakukan dengan pemberian larutan asam fosfat (H3PO4), yaitu 0, ¼ X, ½ X, ¾ X, dan X. X adalah jumlah P sebanyak 800 kg P ha-1 yang diberikan untuk mencapai status P sangat tinggi dalam larutan tanah. Larutan H3PO4 disiram merata dipermukaan bedengan dan diinkubasi selama 4 bulan untuk mendapatkan tingkat status hara P tanah yang berbeda. Tanah tersebut digunakan dalam penelitian uji korelasi hara P tanah di rumah plastik. Analisis P tanah menggunakan 8 metode ekstraksi, yaitu : HCl 25% (HCl 25%) , Olsen (NaHCO3 0,5M), Bray I (HCl 5N), Morgan Wolf (NaC2H3O2.3H2O), Mechlich (HCl 0.05N + H2SO4 0.025N), NH4OAc (NH4OAc , pH 7) , Morgan Vanema (NH4OAc 1M, pH 4.8), dan EDTA (NH4OAc 0.5M +EDTA, pH 4.65). Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan respon tinggi tanaman, bobot kering biomas, kandungan P tanaman, jumlah buah, dan bobot buah panen terhadap tingkat status hara P tanah. Pola respon kuadratik ditunjukkan pada tinggi tanaman umur 7 MST, bobot kering biomas, jumlah buah, dan bobot buah panen. Metode ekstraksi P tanah Inceptisol yang terbaik untuk cabai adalah Bray I dengan nilai koefisien korelasi 0.885.

Kata kunci : Fosfor, uji tanah, pemupukan, Inceptisol, cabai

ABSTRACT

(38)

study of correlation test of P soil in the greenhouse. Analysis of soil P using eight extraction methods, namely: HCl 25% (HCl 25%) , Olsen (NaHCO3 0,5M), Bray I (HCl 5N), Morgan Wolf (NaC2H3O2.3H2O), Mechlich (HCl 0.05N + H2SO4 0.025N), NH4OAc (NH4OAc , pH 7) , Morgan Vanema (NH4OAc 1M, pH 4.8), dan EDTA (NH4OAc 0.5M + EDTA, pH 4.65). The results showed differences in the response of plant height, biomass dry weight, P content of plants, fruits number and weight on nutrient status of soil P. Quadratic response pattern shown in plants height at 7 weeks after planting, biomass dry weight, number of fruit, and fruit weight. The best soil P extraction method for Chili in Inceptisol is Bray I with correlation coefficient 0.885.

Keywords: Phosphorus, soil test, fertilizing, Inceptisol, chili

PENDAHULUAN

Jenis tanah Inceptisol merupakan lahan pertanian utama dengan luasan mencapai 70.52 juta ha atau menempati 40% dari luas total daratan Indonesia. Penyebarannya di Indonesia cukup luas, terutama terdapat di Papua 15.49 juta ha, Kalimantan Timur 6.12 juta ha, Kalimantan Tengah 4.21 juta ha, dan Maluku 4.0 juta ha (Puslittanak 2000). Luasan tanah tersebut sangat potensial dimanfaatkan untuk pengembangan produksi cabai.

Pemanfaatan tanah Inceptisol sebagai lahan pertanian memerlukan masukan teknologi budidaya berupa pemupukan, karena tingkat kesuburan alaminya relatif rendah dengan faktor pembatas rendahnya ketersediaan P (Abdurachman et al. 2008; Hilman et al. 2008). Pada kondisi demikian, pengelolaan kesuburan tanah melalui pemupukan P menjadi faktor yang sangat penting untuk meningkatkan produksi cabai di tanah Inceptisol.

Pemupukan dimaksudkan untuk menambah unsur hara yang tidak mampu disediakan oleh tanah sehingga kebutuhan tanaman tercukupi. Namun demikian, dosis pupuk anjuran yang ada selama ini masih bersifat umum untuk semua jenis tanah tanpa mempertimbangkan status hara tanahnya dan kemampuan tanaman menyerap hara. Hal tersebut dapat menyebabkan dosis pupuk yang diberikan tidak tepat karena status hara tanah sangat bervariasi (Suwandi 2009). Dosis pupuk yang tepat dapat ditentukan melalui hasil analisis tanah. Data analisis tanah merupakan indikator kemampuan tanah menyediakan hara yang dapat dimanfaatkan tanaman.

(39)

pemupukan, juga mampu menjaga kelestarian lingkungan bagi keberlanjutan usaha tani tanaman cabai.

Dosis pupuk anjuran untuk cabai yang didasarkan pada status hara P tanah Inceptisol belum tersedia, sehingga upaya untuk meningkatkan hasil cabai belum optimal. Langkah awal dalam penyusunan rekomendasi pemupukan adalah uji hara tanah untuk memperoleh data nilai P tanah yang tersedia bagi tanaman cabai. Metode ektraksi hara P tanah yang cocok digunakan pada beberapa tanaman antara lain: Truogh dan Olsen untuk kedelai (Nursyamsi & Fajri 2005) , Truogh, Colwell dan Bray 1 untuk jagung (Syafruddin 2008), serta Mechlich I untuk tomat (Izhar et al. 2012). Namun demikian, metode tersebut belum tentu efektif untuk cabai sehingga perlu dilakukan uji korelasi hara P tanah terhadap respon tanaman cabai. Metode ekstraksi dengan nilai koefisien korelasi yang nyata terhadap hasil tanaman dapat dipilih karena mempunyai kemampuan terbaik untuk mengekstraksi hara P tanah yang tersedia bagi tanaman cabai pada tanah Inceptisol.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan : (1) membuat status hara P tanah yang berbeda pada tanah Inceptisol, (2) menguji berbagai metode ekstraksi P tanah, (3) menetapkan metode ekstraksi P tanah yang terbaik untuk tanaman cabai pada tanah Inceptisol.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Pembuatan status P tanah dilakukan dari bulan Agustus sampai Desember 2012 di lahan petani SP-1 Prafi Manokwari, Papua Barat. Penelitian korelasi uji P tanah dilaksanakan dari bulan Januari sampai April 2013 di greenhouse BPTP Papua Barat, Manokwari. Analisis tanah dilakukan di Laboratorium Balai Besar Sumberdaya Lahan, Bogor. Sifat kimia tanah Inceptisol yang digunakan sebagai bahan penelitian mempunyai pH 4.68 (air:tanah = 1:5), C/N rasio 8.26 (Kjeldahl), P tersedia 3.02 ppm P (Bray-I), K-dd 0.13 cmol.kg-1 (CH3COONH4 1M pH 7), dan KTK 11.25 cmol.kg-1 (CH3COONH4 1M pH 7).

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang diperlukan adalah: bibit cabai varietas Horison, larutan asam fosfat (H3PO4) 85%, pupuk Urea (46% N), SP-36 (35% P2O5), KCl (60% K2O), dan pupuk organik kotoran ayam. Bahan-bahan metode pengekstrak.

Peralatan yang diperlukan berupa cangkul, sekop, garu, ember, gembor, kantong plastik, tali tanam, dan lain-lain serta peralatan laboratorium.

(40)

dengan membuat tingkat status hara dari rendah hingga sangat tinggi pada satu lokasi penelitian. Pembuatan status P tanah menggunakan larutan asam fosfat (H3PO4) dengan lima takaran P, yaitu : 0 X, ¼ X, ½ X, ¾ X, dan X. Takaran X adalah jumlah P sebanyak 800 kg P ha-1 yang diberikan untuk mencapai konsentrasi dalam larutan tanah 0,2 µg P L-1 menurut metode Fox dan Kamprath (Nursyamsi dan Fadjri 2005; Syarifuddin 2008), atau setara dengan 1739.96 L H3PO4 ha-1. Penempatan perlakuan status P tanah menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) dengan 3 ulangan, sehingga diperoleh 15 satuan percobaan, dimana setiap satuan percobaan terdiri atas 10 polibag.

Model linier aditif dari rancangan percobaan yang digunakan adalah (Mattjik dan Sumertajaya, 2000):

Yij = µ + βj + Ti + Єij Dimana :

Yij = Nilai pengamatan dari status P tanah ke-i pada ulangan ke-j µ = Rataan umum

Βj = Pengaruh ulangan ke-j Ti = Pengaruh status P tanah ke-i

Єij = Pengaruh galat percobaan dari status P tanah ke-i pada ulangan ke-j i = 1, 2, ..., 5

j = 1, 2, 3

Pelaksanaan Penelitian

Penelitian dilaksanakan dalam dua tahap, yaitu: pembuatan status hara P buatan yang dilakukan di lahan petani, dan uji korelasi hara P tanah yang dilakukan di rumah plastik.

Pembuatan Status P Tanah

Lahan dibersihkan kemudian diolah sebanyak dua kali menggunakan handtraktor. Setelah pengolahan tanah ke dua dibuat bedengan dengan ukuran lebar 1.5 m, panjang 25 m, dan tinggi 0.4 m. Selanjutnya, pembuatan status hara P tanah dilakukan dengan penambahan larutan asam fosfat (H3PO4) dengan takaran masing-masing: 0, 434.99, 869.98, 1304.97 dan 1739.96 L H3PO4 hektar-1 atau setara dengan 0, 1.63, 3.26. 4.89, dan 6.52 L H3PO4 petak-1. Masing-masing takaran H3PO4 dilarutkan dalam air hingga mencapai volume 20 liter dan disiram merata keseluruh permukaan bedeng, kemudian diinkubasi selama 4 bulan. Selama masa inkubasi tanah diaduk setiap 2 minggu agar larutan H3PO4 tercampur merata.

Penyiapan Media Tanam

(41)

polibag digunakan untuk pengamatan pertumbuhan, bobot kering biomassa, dan kandungan P tanaman, sementara 5 polibag lainnya untuk pengamatan komponen hasil tanaman.

Penanaman dan Pemeliharaan

Bibit cabai yang sehat ditanam sebanyak 1 tanaman per polibag. Untuk menunjang pertumbuhan, tanaman diberi pupuk N dan K dengan dosis 200 kg N ha-1, dan 150 kg K2O5 ha-1, atau setara dengan 2.22 g urea.polibag-1 dan 1.25 g KCl.polibag-1. Aplikasi pupuk dilakukan dua kali, yaitu 50% pupuk urea+100% pupuk KCl diberikan sehari sebelum tanam, dan 50% pupuk urea sisanya diberikan pada saat umur 4 minggu setelah bibit ditanam. Selama pertumbuhan dilakukan pemeliharaan berupa pemberian air, penyiangan gulma, serta pengendalian hama dan penyakit secara periodik.

Variabel Pengamatan

1. Analisis P tanah. Tanah yang telah diinkubasi dengan larutan H3PO4 diambil dari setiap petak untuk dianalisis kandungan P tanah menggunakan delapan pengekstrak, yaitu : HCl 25%, Olsen, Bray I, Morgan Wolf, Mechlich, dikeringanginkan, kemudian dimasukan dalam oven pada suhu 70oC selama 2-4 hari.

4. Kandungan P tajuk (%). Bagian tajuk yang telah kering oven digiling menggunakan blender hingga berbentuk serbuk, kemudian dianalisis kandungan P di laboratorium. Cara menganalisis yaitu contoh daun ditimbang 0.5 g ke dalam tabung digest, ditambahkan 5 ml asam nitrat p.a dan 0.5 asam perklorat p.a, dan didiamkan selama satu malam. Keesokkan harinya didestruksi. Destruksi selesai ditandai terbentuknya endapan putih atau sisa larutan jernih ± 0.5 ml. Ekstrak jernih didinginkan, kemudian diencerkan dengan air bebas sampai 50 ml, dikocok hingga homogen dan dibiarkan semalam. Selanjutnya dilakukan pengukuran P dari ekstrak jernih tersebut. 5. Jumlah buah panen per tanaman. Pemanenan dilakukan apabila 50% dari

permukaan buah telah mengalami perubahan warna menjadi merah. Jumlah buah panen dihitung secara komulatif hingga panen terakhir.

6. Bobot buah panen per tanaman (g). Penimbangan dilakukan terhadap semua buah yang dipanen, kemudian dihitung secara komulatif hingga panen terakhir

(42)

Pengaruh perlakuan status hara P tanah terhadap respon tanaman diketahui melalui analisis sidik ragam. Apabila perlakuan berpengaruh nyata maka dilanjutkan dengan uji ortogonal polinomial untuk mengetahui pola responnya.

Penentuan metode pengekstrak terbaik didasarkan pada nilai koefisien korelasi (r) yang nyata antara nilai P terekstrak (X) dan hasil relatif (Y). Nilai koefisien korelasi (r) ditentukan dengan rumus (Gomez dan Gomez 1995) :

HASIL DAN PEMBAHASAN

Respon Tanaman Cabai pada Berbagai Status P Tanah

Pertumbuhan Tanaman

Pola respon tinggi tanaman umur 2 sampai 6 MST terlihat meningkat secara linier sejalan dengan peningkatan status P tanah. Sementara itu, tinggi tanaman pada umur 7 MST memperlihatkan pola respon yang kuadratik terhadap peningkatan status P tanah (Tabel 3.1).

Tabel 3.1 Respon tinggi tanaman cabai umur 2, 3, 4, 5, 6, dan 7 MST pada L= pola respon linier, Q= pola respon kuadratik.

Indikator pertumbuhan tanaman juga dapat dilihat dari bobot kering biomassa. Pola respon yang terlihat pada bobot kering tajuk, akar, dan tanaman cabai adalah pola kuadratik (Tabel 3.2). Tanaman memerlukan hara P pada semua tingkat pertumbuhan terutama pada awal pertumbuhan, terutama merangsang pertumbuhan akar. Ketersediaan hara P pada status P tanah sangat rendah diduga belum mencukupi, sehingga pertumbuhan cabai tidak optimal. Tanaman cabai termasuk jenis sayuran yang membutuhkan hara P yang banyak selama pertumbuhan tanaman (Suwandi, 2009). Oleh sebab itu, pada tanah dengan ketersediaan hara yang kurang diperlukan penambahan hara.

ΣXY r =

(43)

dalam jaringan dan bobot kering biomas. Penambahan H3PO4 ke dalam tanah memberikan respon yang kuadratik terhadap kandungan P tajuk maupun bobot kering tajuk (Gambar 3.1). Penambahan H3PO4 sampai dengan 600 kg P ha-1 mampu meningkatkan bobot kering tajuk tanaman cabai, dan terlihat menurun jika penambahan H3PO4 lebih dari 600 kg P ha-1. Hubungan kuadratik tersebut juga konsisten pada kandungan P tajuk. Kandungan P tajuk mencapai maksimum dengan penambahan H3PO4 600 kg P ha-1, dan jika penambahannya melebihi 600 kg P ha-1 justru kandungan P menurun pada tajuk tanaman cabai. Hal ini menunjukkan bahwa tanaman cabai cenderung menyerap P secara tidak berlebihan, tetapi menyesuaikan dengan kebutuhan tanaman. Produksi bahan kering tertinggi sebesar 45.97 g tanaman-1 terjadi ketika kandungan P tajuk mencapai 0.31%. Hasil ini masih dalam selang tingkat kecukupan P untuk tanaman cabai. Menurut Sanchez (2007), tingkat kecukupan P dalam jaringan tanaman cabai berkisar antara 0.25 sampai 0.70 %.

Tabel 3.2 Respon bobot kering biomassa tanaman cabai pada berbagai status P tanah

Status P tanah dengan

penambahan H3PO4 (kg P ha-1)

Bobot kering biomassa (g tanaman-1)

Tajuk Akar Tanaman

0 (0X) 21.82 3.85 25.67

200 (1/4X) 31.61 5.32 36.93

400 (1/2X) 40.22 6.14 46.36

600 (3/4X) 45.97 7.16 53.14

800 (X) 42.18 6.43 48.61

Pola respon Q** Q* Q**

*

(44)

Gambar 3.1 Hubungan antara penambahan P tanah dengan kandungan P tajuk dan bobot kering tajuk tanaman cabai.

Hasil Panen.

Gambar

Gambar 1.1  Bagan alur kegiatan penelitian
Gambar 2.1  Siklus P pada sistem tanah – tanaman (Fageria 2009).
Gambar 2.2  Siklus K pada sistem tanah-tanaman (Fageria  2009)
Gambar 3.1   Hubungan antara penambahan P tanah dengan kandungan P tajuk
+7

Referensi

Dokumen terkait