• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Fenomena dan Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Fenomena dan Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN

RETROGRADASI BIKA AMBON

ANNI FARIDAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Kajian Fenomena Dan Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2005

(3)

ABSTRAK

ANNI FARIDAH. Kajian Fenomena dan Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon. Dibimbing oleh SUGIYONO, SOEWARNO T SOEKARTO dan BAMBANG HARYANTO.

Bika ambon merupakan produk unggulan kota Medan yang diolah secara tradisional dengan bahan baku campuran tapioka-santan-gula-telur, dan ragi. Kerusakan yang sering dijumpai pada bika ambon yang disimpan adalah keras, kering dan kasar akibat proses retrogradasi, bau tengik, serta tumbuhnya khamir dan kapang.

Penelitian ini bertujuan untuk 1). mendapatkan data lapangan mengenai formulasi, pengolahan, mutu, dan produksi/pemasaran dari bika ambon, 2). mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses retrogradasi dan, 3). melakukan usaha penghambatan proses retrogradasi pada bika ambon.

Kegiatan penelitian ini terdiri atas empat tahapan, yaitu: 1). observasi lapangan, 2). pengaruh pati dan lama fermentasi terhadap retrogradasi, 3). pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap retrogradasi serta, 4). pengaruh penambahan gliserol dan sorbitol terhadap penghambatan retrogradasi. Parameter yang diamati meliputi sifat sensori, kadar air, Aw, tekstur, kristalinitas dan sifat birefrinjen.

(4)

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN

RETROGRADASI BIKA AMBON

ANNI FARIDAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena hanya dengan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2004 ini adalah retrogradasi, dengan judul Kajian Fenomena dan Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon. Kegiatan ini merupakan suatu rangkaian dari proses studi selama penulis memperoleh kesempatan mengikuti program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada kekasih kita

semua yakni Nabiyana Muhammad S.A.W.

Menyadari bahwa kesempatan dan keberhasilan yang diperoleh tidak lepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu penulis menghaturkan terima kasih atas bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr Soewarno T. Soekarto, MSc dan Dr. Ir. Bambang Haryanto MSi sebagai

anggota komisi pembimbing yang telah dengan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis untuk menjadi lebih baik dalam penyelesaian tesis ini. Semoga segala amal dan pengorbanannya menjadikan amal ibadah bagi beliau. Terima kasih juga kepada Dr. Ir. Yadi Haryadi, MSc atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi dan masukan yang sangat berguna untuk penyempurnaan tesis

ini.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta yang telah membantu mendanai penelitian ini. Disamping itu terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Sulistiyoso beserta staf unit pelaksana analisa diffraksi sinar-X BATAN Serpong, Ibu Rubiah, Ibu

Sri, Mbak Ari dan Pak Karna, yang telah membantu analisis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan khususnya pada suami tercinta, ayah, ibu, dan anakku tersayang, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang ilmu pangan.

Bogor, Juni 2005

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tapanuli Selatan pada tanggal 30 Maret 1968 dari ayah Drs. A. Sulaiman Lubis dan ibu Almarhumah Mariah Batubara. Penulis merupakan putri kedua dari tujuh bersaudara.

Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Padangsidempuan dan pada tahun yang sama lulus seleksi di Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik,

Universitas Sumatera Utara Medan dan selesai pada tahun 1992. Kemudian pada tahun 2002 penulis melanjutkan ke Program Magister pada Program Studi Ilmu Pangan, dengan program khusus Rekayasa Proses Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di FMIPA UNIMED Medan sejak

tahun 1994-1998. Tahun 1998 sampai sekarang penulis sebagai staf pengajar di FT UNP Padang.

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………..………... vi

DAFTAR GAMBAR………... viii

DAFTAR LAMPIRAN………..………... ix

PENDAHULUAN………...…...…... 1

Latar Belakang………...…... 1

Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 3

TINJAUAN PUSTAKA.………... 4

Bika Ambon ………...…… 4

Pangan Semi Basah………...………...……… 6

Pati………...…... 12

Retrogradasi………. 17

Penyimpanan dan Umur Simpan ………..……...…. 21

METODOLOGI PENELITIAN……….…... 24

Tempat dan Waktu………..…... 24

Bahan dan Alat ……….…... 24

Metode Percobaan……….…... 24

Prosedur Analisis………....………... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN……….……... 30

Observasi Lapangan………...… 30

Pengaruh Jenis Pati dan Lama Fermentasi………... 36

Pengaruh Konsentrasi Santan dan Suhu Penyimpanan…... 46

Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon………... 57

SIMPULAN DAN SARAN…..………... 63

Simpulan ………. 63

Saran ……….……….. 64

DAFTAR PUSTAKA………... 65

(8)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Klasifikasi pangan semi basah berdasarkan bahan dasar,

cara pengolahan dan daya awet……… ……….. …………. …….. 8

2. Nilai Aw minimal bagi pertumbuhan mikroorganisme dalam PSB…… 9

3. Kadar air dari beberapa bahan pada suhu kamar ……… ... 11

4. Sifat fisiko kimia tapioka dan sagu……… ....………..……… 13

5. Komposisi kimia tapioka dan pati sagu………..……….. 13

6. Formulasi bika ambon ... 25

7. Komposisi bika ambon dengan jumlah adonan 1000 gram ... 27

8. Setting pengukuran tekstur bika ambon dengan tekstur analiser ... 30

9. Komposisi bahan bika ambon pada adonan pengembang tuak dan biang 32

10.Hasil uji lanjut firmness dan spiringiness akibat pengaruh jenis pati dan lama fermentasi ... 39

11. Hasil uji lanjut hardness dan kelengketan pengaruh jenis pati dan lama fermentasi... 40

12. Hasil uji lanjut Aw dan kadar air pengaruh jenis pati dan lama fermentasi 41 13. Rata-rata hasil uji organoleptik pengaruh jenis pati dan lama fermentasi penyimpanan hari pertama... 42

14. Rata-rata uji organoleptik akibat pengaruh jenis pati dan lama fermentasi penyimpanan hari ketiga... 42

15.Hasil uji lanjut uji organoleptik pengaruh jenis pati dan lama fermentasi 44

16. Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap nilai laju peningkatan firmness ... 49

17.Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap nilai spiringiness bika ambon ... 50

(9)

19. Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai firmness selama penyimpanan... 58

20. Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai hardness bika ambon selama penyimpanan... 59

(10)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema perbedaan tingkat struktur dari suatu granula pati... 14

2. Skema perubahan yang terjadi pada pati yang ditambahkan air saat pemanasan pendinginnan dan penyimpanan... 20

3. Pembuatan bika ambon……… .……….... .. 26

4. Contoh grafik firmness (2) dan spiringiness (1)... 37

5. Contoh grafik hardness (1) dan kelengketan (2)... 38

6. Pengaruh jenis pati dan lama fermentasi terhadap pola diffraksi sinar-X bika ambon... 45

7. Pengaruh konsentrasi santan terhadap nilai firmness dan hardness bika ambon hari kenol (sebelum penyimpanan)... 46

8. Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap nilai firmness bika ambon... 47

9. Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap nilai hardness bika ambon ... 48

10.Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap kadar air dan Aw bika ambon ... 51

11.Pengaruh konsentrasi santan dan lama penyimpanan terhadap pola diffraksi sinar-X bika ambon... 52

12.Sifat birefrinjen granula adonan bika ambon sebelum dan sesudah Fermentasi... 53

13. Sifat birefrinjen bika ambon hari ke-nol pada tiga titik pengambilan.... 54

14.Mikrostruktur bika ambon selama penyimpanan... 55

15.Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai firmness bika ambon selama penyimpanan... 57

(11)

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN

RETROGRADASI BIKA AMBON

ANNI FARIDAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul: Kajian Fenomena Dan Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juni 2005

(13)

ABSTRAK

ANNI FARIDAH. Kajian Fenomena dan Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon. Dibimbing oleh SUGIYONO, SOEWARNO T SOEKARTO dan BAMBANG HARYANTO.

Bika ambon merupakan produk unggulan kota Medan yang diolah secara tradisional dengan bahan baku campuran tapioka-santan-gula-telur, dan ragi. Kerusakan yang sering dijumpai pada bika ambon yang disimpan adalah keras, kering dan kasar akibat proses retrogradasi, bau tengik, serta tumbuhnya khamir dan kapang.

Penelitian ini bertujuan untuk 1). mendapatkan data lapangan mengenai formulasi, pengolahan, mutu, dan produksi/pemasaran dari bika ambon, 2). mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses retrogradasi dan, 3). melakukan usaha penghambatan proses retrogradasi pada bika ambon.

Kegiatan penelitian ini terdiri atas empat tahapan, yaitu: 1). observasi lapangan, 2). pengaruh pati dan lama fermentasi terhadap retrogradasi, 3). pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap retrogradasi serta, 4). pengaruh penambahan gliserol dan sorbitol terhadap penghambatan retrogradasi. Parameter yang diamati meliputi sifat sensori, kadar air, Aw, tekstur, kristalinitas dan sifat birefrinjen.

(14)

KAJIAN FENOMENA DAN PENGHAMBATAN

RETROGRADASI BIKA AMBON

ANNI FARIDAH

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, karena hanya dengan rahmat-Nyalah penulis dapat menyelesaikan tesis ini. Tema yang

dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juli 2004 ini adalah retrogradasi, dengan judul Kajian Fenomena dan Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon. Kegiatan ini merupakan suatu rangkaian dari proses studi selama penulis memperoleh kesempatan mengikuti program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor. Shalawat dan salam semoga tetap tercurah kepada kekasih kita

semua yakni Nabiyana Muhammad S.A.W.

Menyadari bahwa kesempatan dan keberhasilan yang diperoleh tidak lepas dari dukungan berbagai pihak, untuk itu penulis menghaturkan terima kasih atas bimbingan Dr. Ir. Sugiyono, M.App.Sc. sebagai ketua komisi pembimbing, Prof. Dr Soewarno T. Soekarto, MSc dan Dr. Ir. Bambang Haryanto MSi sebagai

anggota komisi pembimbing yang telah dengan penuh kesabaran membimbing dan mengarahkan penulis untuk menjadi lebih baik dalam penyelesaian tesis ini. Semoga segala amal dan pengorbanannya menjadikan amal ibadah bagi beliau. Terima kasih juga kepada Dr. Ir. Yadi Haryadi, MSc atas kesediaannya sebagai penguji luar komisi dan masukan yang sangat berguna untuk penyempurnaan tesis

ini.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Jakarta yang telah membantu mendanai penelitian ini. Disamping itu terimakasih penulis sampaikan kepada Bapak Sulistiyoso beserta staf unit pelaksana analisa diffraksi sinar-X BATAN Serpong, Ibu Rubiah, Ibu

Sri, Mbak Ari dan Pak Karna, yang telah membantu analisis. Ungkapan terima kasih juga disampaikan khususnya pada suami tercinta, ayah, ibu, dan anakku tersayang, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, khususnya di bidang ilmu pangan.

Bogor, Juni 2005

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tapanuli Selatan pada tanggal 30 Maret 1968 dari ayah Drs. A. Sulaiman Lubis dan ibu Almarhumah Mariah Batubara. Penulis merupakan putri kedua dari tujuh bersaudara.

Tahun 1987 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Padangsidempuan dan pada tahun yang sama lulus seleksi di Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknik,

Universitas Sumatera Utara Medan dan selesai pada tahun 1992. Kemudian pada tahun 2002 penulis melanjutkan ke Program Magister pada Program Studi Ilmu Pangan, dengan program khusus Rekayasa Proses Pangan, Sekolah Pascasarjana IPB. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di FMIPA UNIMED Medan sejak

tahun 1994-1998. Tahun 1998 sampai sekarang penulis sebagai staf pengajar di FT UNP Padang.

(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ………..………... vi

DAFTAR GAMBAR………... viii

DAFTAR LAMPIRAN………..………... ix

PENDAHULUAN………...…...…... 1

Latar Belakang………...…... 1

Tujuan dan Manfaat Penelitian………... 3

TINJAUAN PUSTAKA.………... 4

Bika Ambon ………...…… 4

Pangan Semi Basah………...………...……… 6

Pati………...…... 12

Retrogradasi………. 17

Penyimpanan dan Umur Simpan ………..……...…. 21

METODOLOGI PENELITIAN……….…... 24

Tempat dan Waktu………..…... 24

Bahan dan Alat ……….…... 24

Metode Percobaan……….…... 24

Prosedur Analisis………....………... 29

HASIL DAN PEMBAHASAN……….……... 30

Observasi Lapangan………...… 30

Pengaruh Jenis Pati dan Lama Fermentasi………... 36

Pengaruh Konsentrasi Santan dan Suhu Penyimpanan…... 46

Penghambatan Retrogradasi Bika Ambon………... 57

SIMPULAN DAN SARAN…..………... 63

Simpulan ………. 63

Saran ……….……….. 64

DAFTAR PUSTAKA………... 65

(18)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Klasifikasi pangan semi basah berdasarkan bahan dasar,

cara pengolahan dan daya awet……… ……….. …………. …….. 8

2. Nilai Aw minimal bagi pertumbuhan mikroorganisme dalam PSB…… 9

3. Kadar air dari beberapa bahan pada suhu kamar ……… ... 11

4. Sifat fisiko kimia tapioka dan sagu……… ....………..……… 13

5. Komposisi kimia tapioka dan pati sagu………..……….. 13

6. Formulasi bika ambon ... 25

7. Komposisi bika ambon dengan jumlah adonan 1000 gram ... 27

8. Setting pengukuran tekstur bika ambon dengan tekstur analiser ... 30

9. Komposisi bahan bika ambon pada adonan pengembang tuak dan biang 32

10.Hasil uji lanjut firmness dan spiringiness akibat pengaruh jenis pati dan lama fermentasi ... 39

11. Hasil uji lanjut hardness dan kelengketan pengaruh jenis pati dan lama fermentasi... 40

12. Hasil uji lanjut Aw dan kadar air pengaruh jenis pati dan lama fermentasi 41 13. Rata-rata hasil uji organoleptik pengaruh jenis pati dan lama fermentasi penyimpanan hari pertama... 42

14. Rata-rata uji organoleptik akibat pengaruh jenis pati dan lama fermentasi penyimpanan hari ketiga... 42

15.Hasil uji lanjut uji organoleptik pengaruh jenis pati dan lama fermentasi 44

16. Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap nilai laju peningkatan firmness ... 49

17.Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap nilai spiringiness bika ambon ... 50

(19)

19. Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai firmness selama penyimpanan... 58

20. Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai hardness bika ambon selama penyimpanan... 59

(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Skema perbedaan tingkat struktur dari suatu granula pati... 14

2. Skema perubahan yang terjadi pada pati yang ditambahkan air saat pemanasan pendinginnan dan penyimpanan... 20

3. Pembuatan bika ambon……… .……….... .. 26

4. Contoh grafik firmness (2) dan spiringiness (1)... 37

5. Contoh grafik hardness (1) dan kelengketan (2)... 38

6. Pengaruh jenis pati dan lama fermentasi terhadap pola diffraksi sinar-X bika ambon... 45

7. Pengaruh konsentrasi santan terhadap nilai firmness dan hardness bika ambon hari kenol (sebelum penyimpanan)... 46

8. Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap nilai firmness bika ambon... 47

9. Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap nilai hardness bika ambon ... 48

10.Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap kadar air dan Aw bika ambon ... 51

11.Pengaruh konsentrasi santan dan lama penyimpanan terhadap pola diffraksi sinar-X bika ambon... 52

12.Sifat birefrinjen granula adonan bika ambon sebelum dan sesudah Fermentasi... 53

13. Sifat birefrinjen bika ambon hari ke-nol pada tiga titik pengambilan.... 54

14.Mikrostruktur bika ambon selama penyimpanan... 55

15.Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai firmness bika ambon selama penyimpanan... 57

(21)

17.Nilai kelengketan bika ambon pengaruh penambahan gliserol, sorbitol

dan campurannya selama penyimpanan... 59

18.Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai kadar air bika ambon selama penyimpanan... 60

19.Pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan campurannya terhadap nilai Aw bika ambon selama penyimpanan... 60

20.Perubahan Aw dan kadar air bika ambon dari hasil terbaik dibandingkan kontrol selama penyimpanan... 61

21.Kristalin bika ambon pengaruh penambahan gliserol, sorbitol dan

(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Format uji organoleptik akibat pengaruh jenis pati dan lama fermentasi.. 72

2. Format uji organoleptik akibat pengaruh konsentrasi ... 73

3. Analisa sidik ragam pengaruh jenis pati dan lama fermentasi…...… 75

4. Data-data pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan bika ambon 81

5. Data-data pengaruh penambahan gliserol (G), sorbitol (S) dan campuran gliserol-sorbitol (G-S) pada bika ambon……….. 84

6. Analisa sidik ragam pengaruh penambahan gliserol (G), sorbitol (S) dan

(23)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan pangan merupakan masalah rumit yang menimpa banyak negara, baik negara berkembang maupun negara yang sudah maju, bahkan telah menjadi salah satu masalah internasional. Pertambahan penduduk yang meningkat, yang tidak disertai peningkatan sumber pangan merupakan salah satu sebab.

Masalah pangan tidak saja terjadi karena kesukaran proses penyediaan

bahan baku, tetapi juga karena penurunan mutu pada proses pengolahan dan penyimpanan. Penurunan mutu pangan ini dapat disebabkan oleh faktor fisik, aktivitas mikroba, aktivitas enzim maupun reaksi kimia yang terjadi pada bahan pangan itu sendiri. Kadar air, kadar serat, kadar protein, kadar lemak dan komposisi bahan pangan sangat mempengaruhi sifat bahan pangan tersebut, baik

tekstur maupun daya tahannya ( Labuza 1974) .

Pangan semi basah seperti wingko, jenang, ikan pindang dan lain-lain merupakan salah satu produk yang telah lama dikenal. Pangan semi basah bahkan pernah menjadi makanan pokok bagi astronot dalam penerbangan luar angkasa dan untuk keperluan militer. Keuntungan pangan semi basah bagi militer adalah

makanan tersebut dapat langsung dimakan, awet, ringan, padat gizi, mudah dikemas dan ditransportasikan, serta mudah digunakan dalam suasana genting (Brockman 1970). Pangan semi basah didefinisikan sebagai makanan dengan kadar air berkisar antara 10% – 40%, dan aktifitas air (Aw) antara 0 , 6 – 0,9 (Soekarto 1979).

Di Indonesia terdapat beberapa jenis makanan yang dapat dikategorikan sebagai makanan semi basah diolah secara tradisional seperti golongan hasil ikan yang difermentasi, manisan buah, dan hasil olahan kedelai yang difermentasi (Soekarto 1979). Bika ambon yang banyak diproduksi di Medan adalah salah satu jenis makanan tradisional semi basah dengan bahan baku utamanya campuran tapioka-santan-gula-telur, dan tuak/nira terfermentasi atau ragi.

(24)

ketahanan pangan. Pangan tradisional merupakan bagian dari khasanah budaya yang perlu dilestarikan. Keberadaan pangan tradisional semakin terdesak oleh makanan asing yang berpenampilan lebih menarik, tahan disimpan dan bercitra modern. Dalam pengembangan makanan tradisional

penelitian memegang peranan penting agar makanan tradisional memenuhi kebutuhan pasar dan standar teknis (mutu, gizi dan keamanan pangan).

Bika ambon termasuk makanan yang sangat digemari tidak hanya oleh penduduk setempat tetapi juga berbagai kalangan masyarakat. Produksi ini memiliki cita rasa yang khas, tekstur yang lunak dan palatabilitas yang baik. Bika ambon merupakan produk pangan kaya karbohidrat, lemak dan

protein, dalam pembuatannya adonan difermentasi sebelum pemanggangan. Salah satu kendala dalam upaya mengembangkan bika ambon adalah daya simpannya yang relatif pendek, yang berpengaruh terhadap upaya perluasan pemasarannya. Bika ambon mempunyai daya awet sekitar 3-4 hari pada suhu kamar (Murtadlo 2004). Hal ini mengakibatkan pendistribusian produk relatif terbatas, baik dari segi waktu distribusi

maupun jarak. Padahal produk ini sangat digemari dan diinginkan masyarakat di berbagai daerah. Selain hal di atas yang tidak kalah pentingnya adalah masih banyaknya pendapat masyarakat tentang kehalalan (bagi umat Islam) bika ambon, karena dalam pembuatannya ditambahkan tuak atau nira yang telah difermentasikan.

Penurunan mutu yang sering dijumpai pada bika ambon adalah keras, kering, dan kasarnya produk. Penurunan mutu bika ambon ini diduga terjadi karena proses retrogradasi pati. Yang dimaksud retrogradasi pati adalah suatu proses penggabungan kembali komponen pati tergelatinisasi untuk membentuk kristal. Proses retrogradasi pati dipengaruhi oleh jenis pati, jumlah amilosa, suhu penyimpanan dan bahan aditif (Ward et al. 1994).

Selain itu kristalisasi pati juga dipengaruhi oleh jumlah komplek amilosa-lipid yang terbentuk. Menurut Collison (1968), retrogradasi terjadi karena adanya kecenderungan yang kuat dari gugus hidroksil molekul-molekul pati untuk saling membentuk ikatan hidrogen. Eliasson (1985) berpendapat bahwa

(25)

lipid, protein, dan migrasi uap air dari produk. Pomeranz dan Shellenberger (1971) menyatakan bahwa mengerasnya produk disebabkan oleh reaksi fisikokimia namun bukan kerja mikroba, yang mempengaruhi redistribusi uap air dan perubahan karakteristik organoleptik (flavor dan mouthfeel).

Pada bika ambon juga mudah timbul bau tengik dan tidak enak (off odor) serta tumbuhnya khamir dan kapang. Ketengikan ini terjadi karena oksidasi lemak yang mengakibatkan terbentuknya peroksida, aldehid, dan

asam-asam lainnya yang berbau tidak enak. Tumbuhnya khamir dan kapang pada produk disebabkan RH lingkungan, kadar air dan aktivitas air dari produk, serta tersedianya nutrisi yang cocok bagi khamir dan kapang.

Adanya beberapa masalah di atas mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang fenomena terjadinya retrogradasi serta usaha untuk menghambat retrogradasi pada bika ambon.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mendapatkan data lapangan mengenai formulasi, pengolahan, mutu, dan produksi/pemasaran dari bika ambon.

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi proses retrogradasi

bika ambon.

3. Melakukan usaha penghambatan proses retrogradasi bika ambon.

Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah memahami fenomena pada bika ambon sehingga dapat dihasilkan bika ambon dengan

(26)

TINJAUAN PUSTAKA

Bika Ambon

Bika ambon merupakan pangan semi basah yang sudah berkembang menjadi usaha industri kecil di kota Medan. Bika ambon ini memiliki sifat yang khas misalnya tekstur yang lembut dan lentur/elastis, berpori-pori seperti sisir atau bersarang, aromanya cenderung alkoholik, rasanya yang enak dan manis. Produk ini relatif banyak penggemarnya karena selain sifatnya yang khas di atas juga bergizi lengkap yaitu karbohidrat, lemak dan protein.

Sejarah

Bika ambon berasal dari Medan Sumatera Utara. Makanan ini disebut bika ambon karena orang pertama yang membuat bika ini bertempat tinggal di Jalan Ambon Medan (Apriyantono dan Nurbowo 2003). Murtadlo (2004) mengatakan bahwa bika ambon dibuat secara tidak sengaja oleh seorang ibu asal Medan

keturungan Tionghoa. Ibu tersebut memasukkan tuak yang biasa diteguk suaminya ke dalam adonan. Hasilnya menakjubkan, selagi dipanggang tampak lubang-lubang kecil mirip sarang tawon dipermukaan kue. Setelah dipotong-potong kue tersebut bersarang seperti sisir rambut.

Naluri dagang ibu tersebut langsung terusik, dengan mengandalkan resep bika ambon yang sederhana, mulailah ia mengembangkan bisnis bika ambon.

Bermula dari seloyang bika ambon, kini resep bika ambon telah diturunkan dari generasi ke generasi. Penjual bika ambon di Medan rata-rata telah memasuki generasi ketiga (Murtadlo 2004).

Apriyantono dan Nurbowo (2003) mengatakan bahwa awalnya bika ini diproduksi terbatas, hanya untuk perlengkapan Kong Hu Chu, tapi karena rasanya

enak bika ini semakin lama makin berkembang. Tidak hanya orang Cina yang suka, etnis lain seperti Batak, Melayu dan suku pendatang menyukainya. Banyak etnis lain yang membuat dan menjual bika ini di Medan (Apriyantono dan Nurbowo 2003). Kini bika ambon telah populer dan menjadi produk unggulan kota Medan, bahkan sudah mulai diekspor ke beberapa negara tetangga.

(27)

Formulasi dan pembuatan

Bika ambon sebaiknya dibuat dengan menggunakan bahan dasar berkualitas baik agar menghasilkan bika yang lembut, lentur, dan bersarang. Murtadlo (2004) membagi bahan untuk membuat bika ambon dalam tiga bagian yaitu bahan dasar, bahan cair, dan bahan pengembang. Bahan dasar bika ambon adalah tapioka, gula pasir, telur, garam, pandan dan daun jeruk. Bahan cair bika

ambon berupa air, tuak/nira terfermentasi, minyak sayur dan santan. Adonan pengembang ikut menentukan keberhasilan pembuatan bika ambon dengan tujuan agar bika mengembang, berserat dan bersarang/berpori-pori. Adonan pengembang dibuat dari campuran ragi, gula, tepung dan air (Lilyana 2004; Murtadlo 2004) dan dapat juga dengan menggunakan tuak (Lilyana 2004).

Dalam pembuatan bika ambon, Lilyana (2004) melakukan dengan tiga

macam cara. Pertama, pembuatan dengan menggunakan bahan pengembang dari campuran ragi, tepung, gula dan air. Kedua, hanya menambahkan ragi (tanpa membuat adonan pengembang). Ketiga, pembuatan dengan bahan pengembang dari tuak. Murtadlo (2004) membuat bika ambon dengan menggunakan adonan

pengembang dan tanpa menggunakan tuak. Selanjutnya Murtadlo (2004) membuat adonan pengembang dengan mencampur ragi, gula, terigu, dan air

dalam tiga kategori yaitu adonan pengembang cair, semi padat dan padat. Pembuatan adonan pengembang cair dan semi padat sama, hanya komposisi air lebih banyak pada adonan pengembang cair. Pembuatan adonan pengembang cair yaitu menuangkan air ke dalam bahan lainnya lalu diaduk dan difermentasikan 15

menit – 120 menit (Murtadlo 2004). Adonan pengembang padat mirip dengan adonan roti yaitu dengan cara menguleni adonan sambil sesekali dibanting hingga lembut, kalis dan tidak melekat ditangan, lalu difermentasi sekitar 60 – 120 menit.

Lama fermentasi dalam pembuatan bika ambon dengan adonan pengembang campuran ragi, air, gula dan tepung berkitar 2 – 3 jam, dan jika menggunakan tuak 12 jam (Lilyana 2004). Murtadlo (2004) melakukan fermentasi

dengan berbagai variasi mulai dari 2 jam sampai 14 jam tergantung jenis bika ambon yang dibuat.

(28)

dan ditepuk sambil dimasukkan adonan pengembang dan santan, kemudian difermentasi sebelum dipanggang. Kedua yaitu membuat sirup gula lalu dimasukkan ke dalam adonan pengembang sambil ditepuk-tepuk dan diaduk, kemudian telur yang telah dikocok dimasukkan ke dalam adonan, ditambahkan

pati, terakhir memasukkan santan dan difermentasikan.

Penulis melakukan tiga kali fermentasi dalam pembuatan bika ambon. Fermentasi pertama saat pembuatan adonan pengembang 10 menit, kedua saat penambahan pati/tapioka dan air kelapa 20 menit dan yang ketiga setelah semua bahan bercampur 120 menit.

Mutu dan daya simpan

Dari segi penampakan bika ambon merupakan produk pangan yang menarik yaitu tekstur yang lembut dengan pori-pori seperti sisir, warna kuning

telur, aroma harum dan berminyak. Rasanya enak dan produknya bergizi lengkap baik lemak, protein, dan karbohidrat, tetapi bika ambon ini tidak tahan lama (mudah mengeras/retrogradasi, tumbuhnya jamur dan kapang serta timbulnya bau tengik) yang mengakibatkan sempitnya pendistribusian baik dari segi jarak dan

waktu. Murtadlo (2004) mengatakan jika bika ambon disimpan pada suhu ruang dapat bertahan 3-4 hari sedangkan dalam lemari pendingin bisa bertahan selama

seminggu.

Pangan Semi Basah

Bika ambon merupakan makanan padat berbahan dasar tapioka dengan kadar air 33% – 36%, Aw 0,85 – 0,9, tekstur lunak dan plastis. Dari bentuk dan

sifatnya bika ambon digolongkan pada makanan semi basah.

(29)

Jenis pangan semi basah

Menurut Karel (1976) ada beberapa jenis makanan semi basah tradisional, antara lain: produk yang dikeringkan tanpa penambahan humektan (buah plum

kering, kurma, dan buah aprikot), produk dengan penambahan gula (selai dan madu), produk yang dikeringkan dengan penambahan gula dan garam (abon) dan produk roti-rotian.

Pangan semi basah modern dikembangkan dari industri pakan hewan. Menurut Karel (1976) jenis pangan semi basah modern berdasarkan teknik pengolahannya ada tiga. Pertama adalah penyeduhan basah, dimana bagian

padatan dicelupkan dan atau dimasak di dalam cairan untuk menghasilkan produk yang mempunyai Aw tertentu. Kedua penyeduhan kering, dimana bagian padatan dikeringkan terlebih dahulu kemudian baru dicelupkan ke dalam cairan yang mempunyai tekanan osmotik tertentu. Ketiga adalah pencampuran, dimana komponen-komponen pembentukannya ditimbang, dicampur, dimasak dan diekstrusi atau kombinasi lainnya untuk menghasilkan produk akhir dengan nilai

Aw yang diinginkan. Bermacam-macam variasi pengolahan diperlukan untuk memperbaiki produk yang dihasilkan.

Pengertian dan klasifikasi pangan semi basah

Soekarto (1979) mendefinisikan makanan semi basah sebagai makanan dengan kadar air 10% – 40% dengan nilai Aw 0,6 – 0,9, serta mempunyai tekstur yang plastis sehingga memungkinkan untuk dapat

dibentuk dan dapat langsung dimakan. Karel (1976) menggolongkan pangan semi basah menjadi dua tipe, yaitu tradisional dan modern.

Menurut Sudarsono (1981) pangan semi basah digolongkan berdasarkan daya awetnya, yaitu daya awet antara 0 – 1 minggu seperti tape ubi kayu, daya awet antara 1 minggu – 1 bulan seperti ikan pindang, dan daya awet yang lebih dari 1 bulan seperti dodol garut dan kecap. Tabel 1 memperlihatkan klasifikasi

(30)

Tabel 1 Klasifikasi pangan semi basah berdasarkan bahan dasar, cara pengolahan dan daya awet

Jenis Soekarto (1979) Karel (1976) Sudarsono (1981) I Hasil fermentasi

Daya awet dari pangan semi basah sangat dipengaruhi oleh mikroorganisme (Leistner dan Rodel 1976). Prinsip proses pengolahan pangan secara modern untuk pangan semi basah adalah melakukan penurunan Aw sampai pada tingkat dimana mikroorganisme tidak dapat tumbuh tetapi masih tersedia

cukup air dalam bahan pangan tersebut untuk menjaga tingkat keenakannya (Leistner dan Rodel 1976).

Pada umumnya, melihat hubungan antara mikroorganisme dengan makanan, kapang lebih toleran pada Aw rendah bila dibandingkan dengan khamir, sedangkan khamir lebih toleran dari pada bakteri. Tabel 2 memperlihatkan

berbagai mikroorganisme yang toleran pada Aw pangan semi basah yaitu antara 0,6 – 0,9.

Beberapa mikroba dapat menghasilkan toksin, seperti Staphylococcus, Penicillium, Aspergillus, Emericella dan Eurotium, dan sebagian kecil merupakan mikroba patogen seperti Candida. Walaupun demikian pengendalian mikroba

yang tidak diinginkan tidak hanya tergantung pada penurunan Aw saja, juga dipengaruhi oleh pH, suhu, dan bahan tambahan makanan.

(31)

simpan pangan semi basah. Apalagi sudah banyak terjadi kegagalan untuk mempertahankan sifat organoleptik (misalnya palatabilitas) pada penurunan Aw di bawah 0,8. Bahan antimikroba memegang peranan penting pada pangan semi basah dalam Aw 0,80-0,90 untuk mencegah pertumbuhan bakteri seperti

Staphylococcus aureus yang dapat tumbuh pada Aw 0,85 (Alabastr et al. 1988).

Tabel 2 Nilai Aw untuk pertumbuhan mikroorganisme dalam pangan semi basah

Aw Bakteri Khamir Kapang

Menurut Purnomo (1995) kapang merupakan mikroba yang tahan terhadap Aw rendah pada suhu dekat pertumbuhan optimum. Seperti Aspergillus ruber dapat tumbuh pada suhu 5oC dengan Aw 0,85; 10oC pada Aw 0,80; 30oC pada Aw 0,725; 35oC pada Aw 0,75.

(32)

Dalam penambahan bahan pengawet harus dibatasi oleh karena berhubungan erat dengan kesehatan konsumen dan juga penurunan pH

dibawah 4,5 umumnya tidak dikehendaki pada pangan semi basah.

Menurut Karel (1976) penentuan adanya mikroba dalam pangan semi basah dapat dilihat dengan adanya pertumbuhan tiga macam mikroba, yaitu Aspergillus niger, Aspergillus glucus dan Staphylococcus. Hal ini disebabkan tiga macam mikroba tersebut yang paling tahan terhadap kondisi substrat. Vora

et al. (2003) juga melaporkan bahwa Staphylococcus aureus dapat bertahan pada pangan semi basah.

Perubahan mutu pangan semi basah selain disebabkan karena serangan mikroba, terjadi juga karena proses oksidasi seperti oksidasi lemak maupun terjadinya proses pencoklatan non enzimatis. Beberapa jenis pangan semi basah banyak mengandung komponen lemak yang tidak jenuh, sehingga sering

menyebabkan terjadinya reaksi oksidasi. Untuk mencegah terjadinya oksidasi sering digunakan bahan antioksidan Butylated hydroxyanisole (BHA) dan Butylated hydroxytoluene (BHT) atau dilakukan pengepakan yang baik (Karel 1976).

Humektan

Humektan adalah senyawa kimia yang bersifat higroskopis dan mampu

menurunkan Aw dalam bahan pangan (Sloan dan Labuza 1975). Dengan demikian aktifitas air dapat diatur dengan menambahkan bermacam-macam humektan seperti garam, gula, alkohol polyhidrat dan yang lainnya (Burrows dan Barker 1976). Menurut Sinskey (1976) ada tiga jenis mekanisme penggunaan humektan. Pertama kemampuannya menurunkan Aw, kedua kemampuannya

mempertahankan kadar air dan ketiga pengaruhnya terhadap pertumbuhan mikroba selain sifat Awdan kadar air.

Selain kemampuannya mengikat air dan menurunkan Aw, dapat juga berperan dalam memperbaiki tekstur, cita-rasa dan nilai kalori (Sloan dan Labuza 1975). Berbagai humektan mempunyai sifat mengikat air yang berbeda. Tabel 3 menunjukkan tingkat kadar air dari beberapa jenis humektan pada beberapa

(33)

Tabel 3 Kadar air dari beberapa bahan pada suhu kamar

Tabel 3 menunjukkan bahwa senyawa poliol seperti gliserol dan sorbitol yang dikenal sebagai humektan (Labuza, 1980; Oku, 1994) dapat

membantu mencegah terjadinya retrogradasi apabila dicampurkan pada produk semi basah. Penggunaan poliol dengan atau tanpa polifosfat dapat membantu menekan denaturasi protein dan sineresis yang berakibat mengerasnya tekstur surimi yang disimpan beku (Park dan Lanier 1987; Park et al. 1988) membuat adonan menjadi lebih plastis (Suhendro et al. 1995; Barret et al. 1998). Jadi senyawa gliserol dan sorbitol yang dapat mengikat

air dan bersifat sebagai plasticizer jika ditambahkan ke dalam adonan diperkirakan akan membuat tekstur bika ambon menjadi lebih lembut dan mengurangi pengerasan teksturnya selama penyimpanan.

Senyawa gliserol dan sorbitol untuk pembuatan buah nangka setengah kering ternyata dapat menekan terjadinya oksidasi senyawa fenol

yang menyebabkan perubahan warna (Sukarsih et al. 1999). Hal ini menunjukkan bahwa senyawa ini berpotensi untuk menekan reaksi pencoklatan karena oksidasi fenol dengan cukup baik. Selain itu senyawa ini merupakan turunan sakarida yang sudah kehilangan karbonil (Oku, 1994) sehingga kehilangan potensinya untuk mengalami reaksi Maillard.

Oleh karena itu penggunaan senyawa ini dalam pembuatan pangan semi basah diharapkan dapat mengurangi atau menekan reaksi pencoklatan. Juga Cordl et al. (1994) melaporkan bahwa penggunaan poliol dapat melindungi

(34)

Pati

Pati adalah salah satu jenis polisakarida yang amat luas tersebar di alam, merupakan komponen utama dari banyak bahan pangan dengan fungsi bukan hanya sebagai sumber energi utama, tetapi juga berfungsi penting sebagai pembentuk struktur maupun tekstur serta konsistensi pada formulasi dan

pengolahan pangan. Beberapa sifat native pati adalah mempunyai rasa yang tidak manis, tidak larut di dalam air dingin tetapi dalam air panas dapat membentuk sol atau gel yang bersifat kental. Sifat kekentalan ini dapat di gunakan untuk mengatur tekstur makanan.

Jenis pati

Pati terdiri dari berbagai jenis yang disimpan sebagai cadangan makanan

bagi tumbuh-tumbuhan di dalam biji buah (padi, jagung, gandum, jawa wood, sorgum, dll), di dalam umbi (ubi kayu, ubi jalar, uwi, talas, kentang dll), dan pada batang (aren, sagu, dll). Dalam hal ini pati yang digunakan adalah pati singkong (tapioka) dan pati sagu.

(1). Pati singkong

Pati singkong diperoleh dari hasil ekstraksi akar tanaman singkong

(Manihot utilisima). Dalam perdagangan internasional dikenal dengan nama tapioka. Tapioka berbeda dengan tepung singkong, tepung singkong merupakan hasil olahan singkong segar yang sebagian besar terdiri dari pati (Wurzburg 1989).

Tapioka merupakan granula dari karbohirat, berwarna putih, tidak

mempunyai rasa manis dan tidak berbau. Granulanya sering berbentuk mangkok dan sangat kompak, tetapi selama pengolahan granula tersebut akan pecah menjadi komponen-komponen yang tidak teratur bentuknya. Granula pati tapioka sudah terpecah sempurna dibawah suhu 80oC. Ukurannya bervariasi antara 5-35

µm dan rata-rata 17 µm (Wurzburg, 1989). Sifat fisiko kimia tapioka dapat

dilihat pada Tabel 4.

Komponen intermediet tapioka berupa protein, lemak, mineral dan air.

(35)

Tabel 4 Sifat fisiko kimia tapioka dan sagu

Pati sagu merupakan hasil ekstrasi inti batang sagu (Metroxylon Sp) yang juga hampir seluruh bagiannya mengandung pati. Pati sagu diperoleh dari tepung sagu atau empelur batang sagu dengan cara mengekstrak pati dengan bantuan air sebagai perantara. Bentuk granula pati sagu berbentuk elips dengan ukuran 5µ m – 80µ m dan relatif lebih besar dari pati serealia

(Wirakartakusumah et al. 1986). Rasio amilosa amilopektin pati sagu menurut Wirakartakusumah et al. (1986) 27,4 : 72,6 dengan suhu gelatinisasi 72oC – 90oC. Hilum pati sagu tidak berpusat, berada pada ujung yang bulat dan terdapat cincin yang tidak seragam pada granula pati tersebut. Karakteristik fisiko-kimia pati sagu dapat dilihat pada Tabel 4 sedangkan komposisi gizi pati sagu dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Komposisi kimia tapioka dan pati sagu per 100 gr bahan

Komponen Tapioka Pati sagu

(36)

Granula pati

Dalam bentuk aslinya secara alami pati merupakan butiran-butiran kecil yang sering disebut granula. Granula pati dalam keadaan murni berwarna putih, mengkilat, tidak berbau dan tidak berasa (Brautlecht 1953). Bentuk dan ukuran granula merupakan karakteristik setiap jenis pati, karena itu dapat digunakan untuk identifikasi (Hill dan Kelley 1942). Selain ukuran granula karakteristik lain

adalah bentuk, keseragaman granula, lokasi hilum, serta permukaan granulannya (Hodge dan Osman 1976).

Goesaert et al. (2005) melaporkan bahwa dalam granula, molekul-molekul linier dan bercabang tersusun secara radial dalam sel yang konsentrik dan membentuk cincin atau lamela (Gambar 1). Penampakan cincin atau lamela pada

granula pati diduga sebagai akibat dari adanya pelapisan dari molekul pada granula (Banks 1973).

(37)

Banks dan Greenwood (1975) menyatakan bahwa bentuk butiran pati secara fisik berupa semi kristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Unit kristal lebih tahan terhadap perlakuan asam kuat dan enzim. Bagian amorf dapat menyerap air dingin sampai 30 persen tanpa merusak struktur pati secara

keseluruhan (Hodge dan Osman 1976).

Hingga kini diduga bahwa komponen yang bertanggung jawab terhadap sifat-sifat kristal dari granula pati adalah amilopektin (Banks at al. 1973). Karena pemeriksaan dengan mikroskop polasisasi memperlihatkan bahwa pati dengan kandungan amilopektin tinggi (waxy starch) tetap memperlihatkan sifat birefrinjennya seperti pati normal, sementara pati dengan kandungan amilosa

tinggi sering tidak menampakkan adanya pola tersebut (Baker dan Whelan 1950). Sifat birefrinjen adalah sifat granula pati yang mampu merefleksikan cahaya

terpolarisasi sehingga terlihat kontras gelap terang yang tampak sebagai warna

biru-kuning. Sifat ini akan terlihat jika pati diamati di bawah mikroskop

polarisasi (Hoseney 1998). Warna biru-kuning pada permukaan granula pati

disebabkan adanya perbedaan indeks refraksi dalam granula pati. Indeks

refraksi dipengaruhi oleh struktur amilosa dalam granula pati. Bentuk heliks

dari amilosa dapat menyerap sebagian cahaya yang melewati granula pati. Jika

arah getar dari gelombang cahaya paralel terhadap sumbu heliks amilosa,

terjadi penyerapan cahaya secara intensif. Intensitas birefrinjen sangat

tergantung pada derajat dan orientasi kristal (French 1984).

Menurut Swinkels (1985) gugus hidroksil yang terletak sejajar dari polimer berantai lurus atau bagian lurus dari struktur berbentuk cabang, akan

berasosiasi melalui ikatan hidrogen sehingga mendorong pembentukan kristal pati. Cowd dan Stark (1991) juga menyatakan bahwa daerah kristal dapat terbentuk jika rantai-rantai polimer mampu saling mendekati sampai jarak sedemikian dekat sehingga menyebabkan gaya tarik antar rantai bekerja. Daerah dimana rantai-rantai polimer tersusun secara teratur di dalam molekul pati

(38)

daerah yang tidak teratur dimana rantai-rantai polimer tersusun secara tidak teratur dinyatakan sebagai daerah amorf. Gambar 1 (d) menunjukkan daerah kristal dan amorf.

Sifat kristal pati dapat hilang apabila granula mengalami kerusakan. Hal

ini disebabkan amilopektin dengan rantai pendek dan ukuran tertentu yang seharusnya tersusun secara teratur dalam granula menjadi tidak teratur (Billiaderis 1992).

Amilosa dan amilopektin

Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, yaitu amilosa, amilopektin dan material antara, seperti lipid dan protein (Banks dan Greenwood

1975). Amilosa mempunyai struktur lurus dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa dan

pada setiap rantai terdapat 500-600 unit D-glukosa dengan berat molekul sekitar

100.000. Sementara amilopektin selain α-(1,4) juga mempunyai cabang dengan

ikatan α-(1,6)-D-glukosa sebanyak 4-5 % berat total (Hodge dan Osman 1976).

Komponen penyusun pati yang ketiga bervariasi menurut sumbernya, serta dipengaruhi oleh sifat botani lainnya.

Amilosa dan amilopektin mempunyai sifat fisik yang berbeda (Gambar 1e). Amilosa lebih mudah larut dalam air dan kurang kental dibandingkan

amilopektin. Amilosa mudah membentuk senyawa komplek dengan asam lemak dan molekul organik. Komplek amilosa dengan yodium akan memberikan warna biru, yang dapat dijadikan dasar untuk menentukan kadar amilosa. Amilopektin tidak dapat membentuk senyawa komplek dan dengan senyawa yodium memberikan warna merah.

Perbandingan kandungan amilosa dan amilopektin berbeda menurut sumbernya. Perbedaan ini akan menyebabkan perbedaan sifat-sifat fisiko kimia lainnya. Pada beras, perbedaan kandungan amilosa amilopektin tersebut berpengaruh pada kepulenan nasi. Amilosa akan mempengaruhi sifat pemekaran nasi, semakin tinggi amilosanya akan semakin mekar nasinya atau semakin tinggi

(39)

Gelatinisasi

Winarno (1994) mengatakan bahwa gelatinisasi adalah peristiwa hilangnya sifat birefrinjen granula pati akibat penambahan air secara berlebihan dan pemanasan pada waktu dan suhu tertentu, sehingga granula pati membengkak

dan tidak dapat kembali pada kondisi semula (irreversible).

Fennema (1985); Greenwood (1979) mengemukakan pati tidak larut dalam air dingin, tetapi secara reversible dapat mengembang dalam air hangat. Namun demikian jumlah air yang terserap dan pembengkakannya terbatas. Pada saat itu granula pati dapat mengembang sampai 30% untuk pati yang kaya amilosa. Pengembangan volume granula ini dimulai dari bagian amorf. Energi yang cukup

akan memutuskan ikatan hidrogen inter-molekul pada bagian ini, yang menyebabkan granula mengembang, tetapi belum cukup untuk merusak susunan kristal pada bagian lain dari granula. Jika suhu yang digunakan meningkat dan telah mencapai suhu tertentu pengembangan granula menjadi irreversibel, maka ikatan molekul pati menjadi pecah sehingga ikatan hidrogennya mengikat lebih banyak molekul air. Penetrasi air ini menyebabkan peningkatan derajat ketidak

teraturan dan meningkatnya molekul pati yang terpisah serta hilangnya sifat birefrinjen. Hodge dan Osman (1976) juga menyatakan hal yang serupa bahwa pemanasan akan lebih meregangkan misella, sehingga air akan lebih banyak terperangkap dalam granula yang mengakibatkan granula semakin membesar sampai pada suatu keadaan dimana pati kehilangan struktur kristalnya sama

sekali.

Menurut Wirakartakusumah (1981), gelatinisasi sangat tergantung kepada jumlah air dan panas yang diberikan. Menurut Osman (1972); Hodge dan Osman (1976); Heckman (1977), penambahan bahan tambahan seperti gula, lemak, garam dan asam dapat mempengaruhi gelatinisasi pati. Penambahan gula lebih dari 16% pada suspensi pati akan menghambat pembengkakan

granula, karena gugus hidroksi gula bersifat hidrofilik sehingga akan bersaing dengan pati untuk mengadakan interaksi dengan air (Heckman 1977). Juga penambahan gula dapat menurunkan laju peningkatan viskositas pasta selama pemanasan atau juga menurunkan kecepatan pembengkaan

(40)

Retrogradasi

Retrogradasi merupakan fenomena umum yang terjadi pada gel pati yang didinginkan/disimpan dan sering terjadi pada makanan yang berbasis pati. Karena itu beberapa prinsip dasar retrogradasi seperti pengertian retrogradasi, fenomena retrogradasi dan penghambatan retrogradasi perlu dipahami dengan baik.

Pengertian retrogradasi

Retrogradasi adalah proses penggabungan kembali rantai linier pati

yang mengalami gelatinisasi (Wurzburg 1989). Winarno (1994) mengatakan bahwa retrogradasi adalah proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi. Demikian juga Miles et al. (1985) berpendapat bahwa retrogradasi adalah perubahan yang terjadi selama pendinginan dan penyimpanan pada pati tergelatinisasi. Eliasson dan Gudmundsson (1996)

melaporkan bahwa retrogradasi adalah perubahan gel amorf menjadi kristalin yang terjadi pada pati tergelatinisasi selama penyimpanan. Perkembangan awal kristalinitis terjadi pada fraksi amilosa dan perubahan jangka panjang ditandai dengan kristalinitis pada fraksi amilopektin (Eliasson 1985). Sifat retrogradasi fraksi amilopektin dipengruhi oleh sumber pati (Orford et al.

1987; Ward et al. 1994) dan konsentrasi (Orford et al. 1987). Faktor lain yang mempengaruhi retrogradasi adalah suhu penyimpanan, struktur amilopektin, keberadaan komponen lain. Sedangkan Fardiaz (1989) mengatakan bahwa penyimpanan pasta pati atau dispersi pati akan menyebabkan terjadinya retrogradasi yaitu fenomena dimana hidrasi hilang

dan rantai pati menjadi lebih sukar untuk dibasahi dibandingkan dengan granula asalnya dan granula pati yang telah mengalami retrogradasi tidak mudah untuk diserang oleh enzim.

Menurut Collison (1968) retrogradasi dapat mengakibatkan perubahan pada sifat gel pati. Perubahan yang terjadi diantaranya peningkatan resistensi pati terhadap hidrolisa oleh enzim amilolitik, penurunan kemampuan transmisi cahaya dan hilangnya reaksi pembentukan komplek berwarna biru

(41)

bahwa perubahan sifat reologi gel akibat retrogradasi adalah peningkatan firmness gel, kehilangan water holding capasity dan munculnya kembali kristalinitas.

Fenomena retrogradasi

Beberapa molekul pati, terutama amilosa yang dapat terdispersi dalam air panas, meningkatkan granula-granula yang membengkak dan masuk ke dalam cairan yang ada disekitarnya. Karena itu gel pati yang telah mengalami

gelatinisasi terdiri dari granula-granula yang membengkak tersuspensi dalam air panas dan molekul-molekul amilosa yang terdispersi dalam air. Molekul-molekul amilosa tersebut akan terus terdispersi, asalkan gel pati tersebut tetap dalam keadaan panas. Maka dalam kondisi panas, gel masih memiliki kemampuan untuk mengalir yang fleksibel dan tidak kaku. Bila gel tersebut

didinginkan, energi kinetik tidak lagi cukup tinggi untuk melawan kecenderungan molekul-molekul amilosa untuk bersatu kembali. Molekul-molekul amilosa berikatan kembali satu sama lain serta berikatan dengan cabang amilopektin pada pinggir-pinggir luar granula. Dengan demikian mereka menggabungkan butir pati yang membengkak itu menjadi semacam

jaring-jaring membentuk mikrokristal dan mengendap. Proses kristalisasi kembali pati yang telah mengalami gelatinisasi inilah terbentuknya retrogradasi (Winarno 1994). Jika gel pati didiamkan beberapa lama, maka akan terjadi perluasan daerah kristal sehingga mengakibatkan pengkerutan struktur gel, yang biasanya diikuti dengan keluarnya air dari gel yang disebut

sineresis (Winarno 1994). Fenomena yang terjadi pada pati selama pemanasan, pendinginan dan penyimpanan dapat dilihat pada Gambar 2.

Menurut Collison (1968), retrogradasi terjadi karena adanya kecenderungan yang kuat dari gugus-gugus hidroksil molekul-molekul pati untuk saling membentuk ikatan hidrogen. Dan pembentukan ikatan ini jauh lebih mudah terjadi pada amilosa dibanding dengan amilopektin. Percabangan amilopektin menghambat gerakan molekul-molekul amilopektin

(42)

dan Osman (1976) bahwa retrogradasi pada molekul amilopektin bersifat reversible bila diberi panas, tetapi tidak demikian dengan retrogradasi yang terjadi pada amilosa.

Pemanasan Pendinginan Penyimpanan

Gambar 2 Skema perubahan yang terjadi pada pati yang ditambahkan air saat pemanasan, pendinginan dan penyimpanan. (I) granula native pati, (II) gelatinisasi (a) pembengkakan granula (b) ikatan molekul pati pecah keluarnya amilosa dari granula (III) retrogradasi (a) pembentukan retrogradasi amilosa selama pendinginan (b) pembentukan kristalin pada amilopektin (retrogradasi amilopektin) selama penyimpanan (Goesaert et al 2005).

Antara molekul-molekul amilosa yang berdekatan atau bagian luar cabang amilopektin dapat mengadakan hubungan paralel melalui ikatan hidrogen membentuk daerah kristal atau misel. Diantara misel-misel terdapat daerah amorf yang mempunyai sifat mudah menyerap air (Hodge dan Osman 1976).

Terbentuknya daerah kristal yang tersusun secara radial menyebabkan granula pati mempunyai sifat birefrinjen (Pomeranz dan Shellenberger 1971). Birefrinjen adalah kemampuan granula merefleksikan sinar terpolarisasi akan terlihat daerah gelap-terang (Winarno 1994)

Penghambatan retrogradasi

(43)

amilosa. Ikatan ini membentuk endapan yang tidak larut dan diduga adanya lemak ini akan menghambat pengeluaran amilosa dari granula pati yang mengakibatkan kadar amilosa menurun dan pembentukan kristalin terhambat (Furia 1968). Collison (1968); Osman (1972) menyebutkan permukaan granula pati dapat

mengabsorbsi lemak sehingga permukaannya terlapisi oleh lemak dan ini dapat menghalangi terjadinya retrogradasi lebih cepat. Eliasson and Gudmundsson (1996) melaporkan bahwa lemak dan fraksi amilopektin dengan rantai unit pendek atau derajat polimerisasi 6-9 telah menunjukkan penghambatan retrogradasi. Sedangkan Russell (1987) melaporkan bahwa pada pati amilosa tinggi, fraksi amilosa mempunyai efek sinergis dalam retrogradasi amilopektin.

Temperatur juga berpengaruh terhadap retrogradasi, dimana retrogradasi dapat dihambat dengan pembekuan (M deMan 1997). Suhu penyimpanan produk pangan berbasis pati berpengaruh nyata dalam stabilitas sifat fungsional bahan; yang berarti juga mempengaruhi umur simpan produk (Fennema 1985).

Metode untuk mempelajari retrogradasi pati dapat diklasifikasikan dengan dua cara yaitu teknik makroskopic dan teknik molekuler. Teknik makroskopik

metode yang memonitor perubahan sifat fisis sebagai manifestasi retrogradasi yang termasuk dalam hal ini teknik reologi, evaluasi organoleptik tekstur, metode differential scanning calorimetry (DSC), light scattering, dan turbidometri. Teknik molekuler metode yang mempelajari perubahan pati dengan mobilitas air didalam gel pati pada level molekuler misalnya diffraksi sinar-X, spekroskopi

resonansi maknetik nuklir (NMR), vibrasi spekroskopi.

Penyimpanan dan Umur Simpan

Penyimpanan tidak dapat dipisahkan dari proses dalam industri pangan dan merupakan suatu kesatuan, hal ini menentukan umur simpan dari makanan.

Penyimpanan

(44)

Selama penyimpanan terjadi kenaikan bilangan TBA dan kadar air bahan. Selain itu juga terjadi reaksi kimia yang juga akan mempengaruhi umur simpan. Nilai TBA merupakan indikasi ketengikan yang terjadi (oksidasi lemak). Menurut Syarif dan Halid (1993) bahwa daerah primer oksidasi lemak yang terjadi cukup

tinggi dan akan menurun ketika mendekati batas air terikat primer. Reaksi oksidasi meningkat dengan peningkatan nilai TBA yang disebabkan karena reaksi ketengikan bukan hanya disebabkan oleh kandungan air saja, tetapi oleh berbagai hal diantaranya suhu penyimpanan akan mempengaruhi reaksi oksidasi.

Penyimpanan pangan merupakan proses yang tidak akan terpisahkan dari pengolahan pangan, bahkan penyimpanan mempunyai arti ekonomi. Kondisi

penyimpanan yang kurang baik menyebabkan penurunan mutu produk dan memperpendek umur simpan. Pengawetan, pengemasan dan penyimpanan selalu dilakukan bersamaan (Syarief dan Halid 1993).

Menurut Roberts (1999), berdasarkan sifat bahan pangan sehubungan dengan penyimpanan, maka bahan pangan mempunyai 3 kategori, yaitu sangat mudah rusak, mudah rusak, dan tidak mudah rusak. Pangan semi basah termasuk

pangan yang mudah rusak.

Umur simpan

Bahan pangan baik yang diolah maupun yang belum, makanan ataupun minuman mempunyai jangka waktu tertentu sebelum makanan dan minuman tersebut ditolak. Lama waktu dari produksi makanan dan minuman sampai ditolak disebut umur simpan. Produk pangan berada dalam umur simpannya apabila

kualitas dan mutunya diterima oleh konsumen dan selama wadah yang digunakan dapat memproteksi isinya. Produk berada dalam umur simpannya jika selama waktu antara produksi dan pemasaran produk dinyatakan masih dapat dikondisikan dari segi kualitas (nutrisi, rasa, tekstur, dan penampakan). Beberapa faktor yang mempengaruhi umur simpan, antara lain karakteristik produk (permeabilitas, densitas kamba, konsentrasi), lingkungan, dan sifat kemasan

(transfer terhadap uap air, bau, serta interaksi produk dan kemasan) (Robert 1999; Hine 1987)

(45)

pH, reduksi oksidasi), dan faktor ekstrinsik berupa proses, sanitasi, kemasan, dan penyimpanan.

Adanya protein menyebabkan produk kurang sensitif terhadap air dibandingkan dengan pati atau karbohidrat. Hal ini akan memperpanjang umur

simpannya terhadap kerusakan karena penyerapan air. Penggunaan pengemasan multilayer juga akan memberikan umur simpan yang sangat lama. Mengingat kerusakan bukan hanya disebabkan karena penyerapan uap air, maka dalam kenyataan umur simpannya tidak akan selama itu. Kerusakan juga dapat disebabkan oleh reaksi-reaksi kimiawi.

Terdapat beberapa metode untuk menentukan umur simpan antara lain

(46)

METODOLOGI PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, IPB dan Laboratorium Rekayasa Proses Pangan, Labaratorium Gizi Masyarakat, Laboratorium Mikrobiologi PSPG IPB, Bogor, serta analisa diffraksi sinar-X di BATAN Serpong, Jakarta. Waktu penelitian sekitar 7 bulan pada bulan Juni 2004 – Januari 2005.

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam pembuatan bika ambon adalah tapioka, pati sagu, telur, santan kelapa, gula, ragi, air kelapa, daun jeruk purut, pandan, gliserol, dan sorbitol. Peralatan yang digunakan dalam pembuatan bika ambon adalah

timbangan, wadah stainless steel atau plastik, alat pencampur (mixer), wadah pencetak (loyang), dan oven. Peralatan yang digunakan untuk analisa antara lain Aw meter, texture analyser, difraksi sinar-X, mikroskop polarisasi, gelas objek, desikator, oven dan timbangan.

Metode Percobaan Penelitian ini dilakukan dalam empat tahap yaitu :

Tahap pertama: 1) Observasi lapangan.

Tujuan observasi ini untuk mendapatkan data dasar di lapangan mengenai formulasi, pengolahan, mutu, dan produksi/pemasaran bika ambon. Metode

yang dilakukan dengan pengamatan dan wawancara terhadap pembuat/pengrajin, pedagang dan konsumen bika ambon di Medan.

Klasifikasi pembuat dan pedagang bika ambon yang dilaksanakan dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga kategori; 1) industri kecil komersial yang berada di Jalan Mojopahit yaitu pada pengusaha; Ati, Majestik, Bika Ambon

(47)

Identifikasi dan pengamatan yang dilakukan berkaitan dengan jenis bahan, proses pembuatan dan pemasaran/penyimpanan, serta sifat-sifat mutu, komponen bahan, formulasi, dan harga.

2) Percobaan pembuatan bika ambon

Dalam pembuatan bika ambon dilakukan penelitian pendahuluan untuk mendapatkan formulasi dan pengolahan bika ambon yang tepat. Kriteria bika ambon dengan pengamatan visual antara lain: tekstur seperti sisir/bersarang, warna kuning, aroma alkoholik, berminyak, dan rasanya manis.

Pembuatan bika ambon berdasarkan refrensi yang penulis kumpulkan. Penulis mengumpulkan beberapa refrensi seputar pembuatan bika ambon dengan memilih formulasi bika ambon tidak menggunakan tuak (jumlahnya minim). Penulis mendapatkan beberapa formulasi bika ambon dari internet dengan kata kunci bika ambon (Tabel 6). Ketiga formulasi pada Tabel 6 dicobakan untuk

melatih penulis dan juga melihat yang terbaik.

Tabel 6 Formulasi bika ambon

Bahan Formula I Formula II Formula III

Adonan

Pengolahan bika ambon dari Tabel 6 diatas hampir sama yaitu dengan cara membuat adonan pengembang terlebih dahulu dan memfermentasikannya berkisar 10 – 20 menit. Kemudian menghomogenkan telur dan gula, setelah itu

mencampurkan semua bahan menjadi satu dan memfermentasikannya sekitar 2 – 3 jam. Formulasi diatas juga dicoba dengan memodifikasi lama fermentasi, menggunakan berbagai merek tapioka dan menggantikan air dengan air kelapa.

(48)

penulis terus berlatih untuk mendapatkan formulasi dan pengolahan yang tepat. Dari beberapa formulasi yang telah diperoleh dan dari latihan-latihan yang dilakukan, akhirnya penulis membuat sendiri formulasi bika ambon untuk penelitian ini seperti pada Gambar 3 dengan komposisi pada Tabel 7.

ragi 0,5% Fermentasi (I) 10 menit terigu 4%

gula 1% air kelapa 6%

tapioka 18% Pengadonan air kelapa 18%

Fermentasi (II) 20 menit

gula 19%

kuning telur 9,5% Pencampuran dengan mixer santan 24%

Fermentasi (III) 120 menit

Pemanggangan 150°C - 160°C

Didinginkan pada suhu kamar

Bika ambon

Gambar 3 Prosedur pembuatan bika ambon.

Pembuatan bika ambon dilakukan dengan membuat adonan

(49)

dahulu) dihomogenkan dengan mixer. Semua adonan disatukan dan dihomogenkan kemudian difermentasikan selama 120 menit. Adonan dipanggang dalam oven selama 45 menit dengan suhu 150oC – 160oC (Gambar 3).

Tabel 7 Komposisi bika ambon dengan jumlah adonan 1000 gram

Bahan Persen (%) Gram

Tahap kedua: Pengaruh jenis pati dan lama fermentasi terhadap retrogradasi bika ambon.

Tujuan tahap kedua ini untuk mendapatkan faktor yang mempengaruhi retrogradasi bika ambon dari jenis pati dan lama fermentasi. Percobaan ini menguji perlakuan yang terdiri dari dua faktor. Faktor pertama berupa jenis pati empat tingkat yaitu pati tapioka 100%, substitusi sagu (25%, 50%, dan 75%) dan faktor kedua berupa lama fermentasi yaitu (90, 150, 210 dan 270 menit).

Pembuatan bika ambon sesuai dengan Gambar 3.

Analisis yang dilakukan meliputi: kadar air, Aw, retrogradasi (metode makroskopis dengan texture analyzer dan organoleptik, metode molekuler dengan difraksi sinar-X) dengan ulangan dua kali dan dianalisa pada hari pertama dan hari ke-tiga. Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 2

faktor atau yang disebut Faktorial RAL.

Model linier dari rancangan ini adalah : Yijk = µ + ái + βj + (áβ)ij + •ijk

Dimana :

(50)

µ = komponen aditif dari rataan

ái, = faktor bahan/pati

βj = faktor lama fermentasi

(áβ)ij = komponen interaksi dari kedua faktor

•ijk = pengaruh acak yang menyebar normal

Tahap ketiga: Pengaruh konsentrasi santan dan suhu penyimpanan terhadap retrogradasi bika ambon.

Tahap ini bertujuan untuk mendapatkan faktor yang mempengaruhi retrogradasi bika ambon akibat pengaruh lemak santan dan suhu penyimpanan. Percobaan ini menguji perlakuan yang terdiri dari dua faktor yaitu faktor konsentrasi santan (0%, 6%, 12%, 18%, 24% dan 30%) dan faktor kedua yaitu suhu penyimpanan (suhu kamar, suhu dingin dan suhu beku). Dalam hal ini pembuatan bika ambon sesuai dengan Gambar 3 dengan menggantikan

konsentrasi santan sebagai perlakuan. Analisa yang dilakukan meliputi: kadar air, Aw, retrogradasi (metode makroskopis dengan texture analyzer dan organoleptik, metode molekuler dengan difraksi sinar-X) dan analisa mikroskopis dengan menggunakan mikroskop polarisasi. Analisa dilakukan secara periodik selama penyimpanan.

Tahap keempat: Kajian penghambatan retrogradasi bika ambon

Percobaan ini bertujuan untuk menghambat terjadinya retrogradasi dan mendapatkan bika ambon dengan mutu dan daya simpan yang lebih baik. Dalam hal ini pembuatan bika ambon sesuai dengan Gambar 3 dengan menambahkan

gliserol 0,5%, sorbitol 1,5% dan campurannya sebagai perlakuan. Pemilihan konsentrasi gliserol 0,5%, dan sorbitol 1,5% berdasarkan hasil penelitian dari Harijono et al. (2001).

Pada tahap ini menguji empat perlakuan yaitu penambahan 0,5% gliserol, 1,5% sorbitol dan campuran gliserol 0,5% sorbitol 1,5%, sebagai pembanding dibuat bika ambon tanpa penambahan gliserol dan sorbitol. Pengamatan pada bika

(51)

metode molekuler dengan difraksi sinar-X). Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan 1 faktor dan ulangan tiga kali.

Model linier dari rancangan ini adalah : Yij = µ + ái + •ij

Dimana :

Yij = nilai pengamatan pada faktor ke-i dan ulangan ke-j

µ = rataan umum

ái = efek perlakuan antiretrogradasi

•ij = galat perlakuan ke i ulangan ke j

Prosedur Analisis

Kadar air (AOAC 1995)

Cawan kosong dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator sampai mencapai suhu ruang, lalu ditimbang (A). Sejumlah sampel ditimbang dalam cawan (B) lalu dimasukkan kedalam oven bersuhu 105oC sampai mencapai

berat konstan. Setelah mencapai berat konstan, wadah berisi sampel diletakkan dalam desikator sampai mencapai suhu ruang, kemudian ditimbang (C)

% Kadar Air = ( ) 100

( )

B C X

B A

− %

Sifat birefrinjen (Wirakartakusumah 1981)

Perubahan sifat birefrinjen granula pati diamati menggunakan mikroskop

polarisasi yang dilengkapi kamera. Pengamatan ini dilakukan terhadap adonan

sebelum dan setelah fermentasi juga terhadap bika ambon selama

penyimpanan. Sampel yang dilihat sifat birefrinjennya dicampur dengan

akuades, kemudian suspensi tersebut diteteskan di atas gelas objek dan ditutup

dengan gelas penutup. Objek diuji dengan meneruskan cahaya melalui alat

polarisator dan selama pengamatan alat analisator diputar sehingga cahaya

terpolarisasi sempurna yang ditunjukkan oleh butir-butir pati yang belum

(52)

tanpa menggunakan polarisator dan alat penganalisa (analisator) maka disebut

mikroskop cahaya. Gambar akan dipotret menggunakan film berwarna (Fuji

Film ASA 200, 35, Japan).

Tekstur (Manual Texture Analyzer TA-XT2i)

Firmness (kekerasan dengan menekan), spiringiness (kelentingan),

hardness (kekerasan dengan memotong) dan adhesiveness (kelengketan) diukur dengan menggunakan alat yang sama yaitu texture analyzer TA-XT2i yang dinyatakan dalam satuan gf (gram force). Alat ini telah dilengkapi dengan sistem komputerisasi, sehingga alat harus disetting sesuai dengan kebutuhan dan jenis produk yang akan diuji. Adapun probe dan setting yang digunakan dalam pengukuran ini ada dua macam, yaitu probe silinder untuk firmness dan

spiringiness dan probe berbentuk pisau (cutting and shearing) untuk hardness dan adhesiveness hal ini dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 8 Setting pengukuran tekstur bika ambon dengan texture analyzer

Setting Parameter

Firmness dan spiringiness Hardness dan adhesiveness

Mode

Diffraksi sinar-X (Manual Siemens D 5005)

(53)

mendeteksi ketidak-teraturan struktur yang padat. Metode analisa dengan diffraksi sinar-X menggunakan Siemens D 5005 (Cu K á radiasi ë = 1,540) dengan kondisi

operasi pada 45 kV dan 40 mA. Alat dihidupkan, sampel diletakkan pada suatu wadah, setelah itu bagian tersebut akan mendapat sinar yang dipancarkan dari alat

yang bergerak. Pola diffraksi sinar-X ini diproses dengan perangkat lunak yang ada dalam recorder dan keluarannya berupa grafik.

Aktivitas air, metode Aw meter (ASTM 1983)

Aktivitas air diukur dengan alat Aw meter Shibura WA-360 dengan cara sebagai berikut: Aw meter dikalibrasi dengan menggunakan larutan NaCl sampai

menunjukkan nilai Aw sebesar 0,750 pada suhu 28oC – 30oC. Sampel dimasukkan ke dalam cawan pengukur Aw, lalu ditutup dan dikunci, Aw meter siap untuk dijalankan. Selama pengukuran berlangsung akan muncul tulisan under test. Pengukuran selesai bila tulisan completed muncul, dan nilai Aw langsung terbaca.

Organoleptik (Soekarto dan Hubeis 1992)

Analisa organoleptik merupakan pernyataan respon yang melambangkan besaran, tingkat intensitas, setelah panelis melakukan pengindraan. Tiap panelis melakukan uji dan penilaian terhadap contoh dan menuliskan responnya. Analisa

organoleptik terhadap rasa dan tekstur dilakukan dengan uji jenjang dengan skor 1-9 untuk tekstur dan 1-7 untuk rasa. Makin tinggi nilai makin baik mutu bika ambonnya. Jumlah yang dilibatkan 20-25 orang. Penilaian terhadap warna, aroma dan hedonik menggunakan uji beda. Setelah 20-25 panelis memberikan penilaiannya, skor dari masing-masing sampel dijumlahkan. Hasil penjumlahan

ini kemudian dirata-ratakan dibandingkan dengan tabel uji beda nyata pada uji pasangan dengan hipotesis berekor dua atau tak berarah untuk parameter warna dan aroma. Untuk tekstur dan rasa dilakukan analisa varian dan jika berbeda nyata diuji lanjut dengan uji Duncan. Pengujian dilakukan pada jam 09.00 – 11.00 atau jam 14.00 – 16.00 WIB dimana panelis dalam keadaan tidak lapar dan tidak

Gambar

Tabel 2  Nilai Aw untuk pertumbuhan mikroorganisme dalam pangan semi basah
Tabel 3 Kadar air dari beberapa bahan pada suhu kamar
Tabel 5 Komposisi kimia tapioka dan pati sagu per 100 gr bahan
Gambar 1 Skema perbedaan tingkat struktur dari suatu granula pati (a) granula dengan amorf dan kristalin yang berselang seling (b) perbesaran struktur 100 nm (c) perbesaran lapisan semi kristalin yang terdiri dari lamela kristalin dan lamela amorf (d) stru
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hipotesis penelitian ini adalah adanya pengaruh pelapisan kitosan terhadap daya simpan buah pisang ambon dan terdapat konsentrasi kitosan yang optimal sebagai

Judul : PENGARUH LAMA PENYIMPANAN DALAM UDARA TERMODIFIKASI DAN KALIUM PERMANGANAT TER-. HADAP KUALITAS BUAH

4.2 Pengaruh Jenis Kemasan Dan Suhu Penyimpanan Terhadap Mutu Jamur Tiram (Pleorotus, sp) Kering Selama

(3) Ada pengaruh interaksi antara konsentrasi dan lama perendaman yang berbeda terhadap kematangan dan kualitas buah pisang ambon kuning (Musa paradisiaca Var

Sedangkan untuk memastikan apakah terdapat Pengaruh Kebiasaan Membaca dan Koleksi Buku Terhadap Prestasi Belajar Mahasiswa STAKPN Ambon di lihat pada nilai Fhitung

Naskah Skripsi yang berjudul Pengaruh Konsentrasi Kluwak (Pangium edufe Reinw.) Dan Lama Penyimpanan Bumbu Rawon Terhadap Total Bakteri, Kapang Dan Khamir, Serta

Tingkat kematangan dan suhu penyimpanan memberikan perbedaan yang nyata terhadap nilai kekerasan buah, tetapi lama penyimpanan tidak memberikan pengaruh yang

Kombinasi perlakuan konsentrasi kitosan dan variasi suhu penyimpanan yang paling lama dalam memperpanjang masa simpan buah srikaya adalah kitosan 3% pada suhu 15°C.. DAFTAR