• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengolahan Limbah Cair Tapioka Menggunakan Kotoran Sapi Perah Dengan Sistem Anaerobik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengolahan Limbah Cair Tapioka Menggunakan Kotoran Sapi Perah Dengan Sistem Anaerobik"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN

KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK

SKRIPSI

DIPA ALAM VEGANTARA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(2)

ii

RINGKASAN

DIPA ALAM VEGANTARA. D14051853. 2009. Pengolahan Limbah Cair Tapioka Menggunakan Kotoran Sapi Perah dengan Sistem Anaerobik. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Salundik, Msi

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Yuli Retnani, MSc

Industri pengolahan singkong menjadi tepung tapioka dalam proses produksinya akan menghasilkan limbah, baik berupa cair, padat maupun gas. Limbah-limbah ini apabila tidak dilakukan penanganan secara khusus berpotensi untuk mencemari lingkungan terutama masih adanya kandungan bahan organik dalam bahan. Limbah cair tapioka terutama berasal dari proses pencucian serta pengendapan sehingga masih banyak mengandung bahan-bahan organik yang cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi perbandingan yang optimal antara kotoran sapi perah dengan limbah cair tapioka dalam menurunkan beban pencemaran limbah cair tapioka.

Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan bulan April 2009 di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB. Penelitian ini dilakukan dengan menambahkan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka dengan persentase yang berbeda yaitu 100% limbah tapioka (T100S0), 90 % limbah cair

tapioka : 10% kotoran sapi (T90S10), 80% limbah cair tapioka : 20% kotoran sapi

(T80S20), 70% limbah cair tapioka : 30% kotoran sapi (T70S30) dan 60 % limbah cair

tapioka : 40% kotoran sapi (T60S40) yang difermentasikan secara anaerob selama 30

hari. Perlakuan diulang sebanyak empat kali dan peubah diamati setiap hari untuk nilai pH dan pada H0, H17 dan H30 untuk peubah Chemical Oxygen Demand (COD), Total Solid (TS) dan Sianida. Perbedaan data sampel setiap peubah antar perlakuan akan dibandingkan menggunakan analisis keragaman rancangan acak kelompok pada tingkat signifikansi 95% menggunakan MINITAB 14.

Penambahan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka mempengaruhi beberapa peubah seperti pH, COD dan TS, akan tetapi penambahan tersebut tidak mempengaruhi kadar sianida pada limbah cair tapioka. Semakin besar persentasi pemberian kotoran sapi perah maka semakin besar pula nilai TS yang dihasilkan dan penambahan kotoran sapi perah kurang dari taraf 20% tidak mempengaruhi nilai COD. Penambahan kotoran sapi perah dapat mengubah pH limbah menjadi lebih mendekati netral. Tanpa penambahan kotoran sapi perah, limbah cair tapioka dapat terdegradasi dengan baik. Hal ini ditandai dengan besarnya persentase penurunan nilai COD dan TS limbah cair tapioka tanpa penambahan kotoran sapi perah selama 30 hari difermentasi anaerob. Akan tetapi penurunan ini tidak diikuti dengan penurunan kadar sianida dalam limbah serta pH yang masih rendah. Hasil penelitian menunjukkan penambahan dengan perbandingan 30% kotoran sapi perah dan 70% limbah cair tapioka merupakan perlakuan terbaik dalam penelitian ini dalam mengolah limbah cair tapioka.

(3)

iii

ABSTRACT

Processing Tapioca Wastewater Using Dairy Manure by Anaerobic System

Vegantara, D. A., Salundik, and Y. Retnani

The objective of this research was to study the effect of dairy manure on tapioca wastewater characteristics such as total solid (TS), pH, chemical oxygen demand (COD) and cyanide prepared using anaerobic digester system for 30 days. The waste and dairy manure were combined in the ratios 100%:0%, 90%:10%, 80%:20%, 70%:30% and 60%:40%. The result showed that dairy manure addition in cassava wastewater influenced pH, COD and TS but did not Cyanide. When inoculated with dairy manure, tapioca wastewater obtained indicated increasing on TS and COD. Overall results indicated that the best treatment in this research is combination between waste and dairy manure in the ratio 70% tapioca wastewater and 30% dairy manure to process tapioca wastewater before release at water area.

(4)

iv

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN

KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK

DIPA ALAM VEGANTARA D14051853

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(5)

v

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN

KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK

Oleh

DIPA ALAM VEGANTARA D14051853

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 02 September 2009

Pembimbing Utama

Ir. Salundik, M.Si

Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc

Dekan

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr

Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

(6)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1986 di Ujung Pandang, Sulawesi

Selatan. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak

Rifai Suardi dan Ibu Noneng Kartini.

Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Mangasa,

Ujung Pandang pada tahun 1992. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di

SDN Gading Mangu 2 Perak, Jombang yang sebelumnya sampai kelas 4 berada di

SDN Gunung Sari II, Ujung Pandang. Pendidikan lanjutan menengah pertama

diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 1 Perak, Jombang dan pendidikan menengah

atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMAN 10 Bandar Lampung.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui

jalur Ujian Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) pada tahun 2005).

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan

Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi Ternak (Himaproter) Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor sebagai staf divisi Animal Breeding Club (ABC) periode

2006/2007 dan sebagai staf Informasi dan Komunikasi (Infokom) periode

2007/2009. Selain itu penulis juga aktif dalam organisasi luar kampus yaitu HPMB

(Himpunan Pelajar Mahasiswa Bogor) sebagai anggota divisi Kewirausahaan pada

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT atas

segala nikmat, rohmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Pengolahan Limbah Cair Tapioka Menggunakan Kotoran Sapi Perah dengan Sistem Anaerobik”.

Penelitian ini mengetengahkan pembahasan mengenai pengolahan limbah

cair tapioka menggunakan kotoran sapi perah sehingga dapat menurunkan beban

pencemaran yang dihasilkan oleh limbah cair. Hasil penelitian ini juga diharapkan

dapat bermanfaat bagi seluruh pengguna hasil penelitian baik mahasiswa peneliti

maupun industri pengolahan tepung tapioka.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan dan dunia

peternakan khususnya pada bidang pengolahan limbah ternak.

Bogor, September 2009

(8)

viii

Baku Mutu Limbah Industri Tapioka ... 8

(9)

ix Halaman

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai pH ... 17

Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai Chemical Oxygen Demand (COD) ... 19

Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Total Solid (TS) ... 20

Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Sianida (HCN) ... 22

KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

Kesimpulan ... 25

Saran... 25

UCAPAN TERIMA KASIH ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27

(10)

x

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Tapioka ... 8

2. Rataan Perubahan Nilai pH Selama Proses Fermentasi Anaerob .. 18

3. Rataan Penurunan Kandungan COD Selama Proses Fermentasi

Anaerob ... 20

4. Rataan Penurunan Kandungan TS Selama Proses Fermentasi

Anaerob ... 21

5. Rataan Penurunan Kandungan CN Selama Proses Fermentasi

(11)

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN

KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK

SKRIPSI

DIPA ALAM VEGANTARA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(12)

ii

RINGKASAN

DIPA ALAM VEGANTARA. D14051853. 2009. Pengolahan Limbah Cair Tapioka Menggunakan Kotoran Sapi Perah dengan Sistem Anaerobik. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Salundik, Msi

Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Yuli Retnani, MSc

Industri pengolahan singkong menjadi tepung tapioka dalam proses produksinya akan menghasilkan limbah, baik berupa cair, padat maupun gas. Limbah-limbah ini apabila tidak dilakukan penanganan secara khusus berpotensi untuk mencemari lingkungan terutama masih adanya kandungan bahan organik dalam bahan. Limbah cair tapioka terutama berasal dari proses pencucian serta pengendapan sehingga masih banyak mengandung bahan-bahan organik yang cukup tinggi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui komposisi perbandingan yang optimal antara kotoran sapi perah dengan limbah cair tapioka dalam menurunkan beban pencemaran limbah cair tapioka.

Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan Februari sampai dengan bulan April 2009 di Laboratorium Pengolahan Limbah Peternakan, Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan IPB. Penelitian ini dilakukan dengan menambahkan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka dengan persentase yang berbeda yaitu 100% limbah tapioka (T100S0), 90 % limbah cair

tapioka : 10% kotoran sapi (T90S10), 80% limbah cair tapioka : 20% kotoran sapi

(T80S20), 70% limbah cair tapioka : 30% kotoran sapi (T70S30) dan 60 % limbah cair

tapioka : 40% kotoran sapi (T60S40) yang difermentasikan secara anaerob selama 30

hari. Perlakuan diulang sebanyak empat kali dan peubah diamati setiap hari untuk nilai pH dan pada H0, H17 dan H30 untuk peubah Chemical Oxygen Demand (COD), Total Solid (TS) dan Sianida. Perbedaan data sampel setiap peubah antar perlakuan akan dibandingkan menggunakan analisis keragaman rancangan acak kelompok pada tingkat signifikansi 95% menggunakan MINITAB 14.

Penambahan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka mempengaruhi beberapa peubah seperti pH, COD dan TS, akan tetapi penambahan tersebut tidak mempengaruhi kadar sianida pada limbah cair tapioka. Semakin besar persentasi pemberian kotoran sapi perah maka semakin besar pula nilai TS yang dihasilkan dan penambahan kotoran sapi perah kurang dari taraf 20% tidak mempengaruhi nilai COD. Penambahan kotoran sapi perah dapat mengubah pH limbah menjadi lebih mendekati netral. Tanpa penambahan kotoran sapi perah, limbah cair tapioka dapat terdegradasi dengan baik. Hal ini ditandai dengan besarnya persentase penurunan nilai COD dan TS limbah cair tapioka tanpa penambahan kotoran sapi perah selama 30 hari difermentasi anaerob. Akan tetapi penurunan ini tidak diikuti dengan penurunan kadar sianida dalam limbah serta pH yang masih rendah. Hasil penelitian menunjukkan penambahan dengan perbandingan 30% kotoran sapi perah dan 70% limbah cair tapioka merupakan perlakuan terbaik dalam penelitian ini dalam mengolah limbah cair tapioka.

(13)

iii

ABSTRACT

Processing Tapioca Wastewater Using Dairy Manure by Anaerobic System

Vegantara, D. A., Salundik, and Y. Retnani

The objective of this research was to study the effect of dairy manure on tapioca wastewater characteristics such as total solid (TS), pH, chemical oxygen demand (COD) and cyanide prepared using anaerobic digester system for 30 days. The waste and dairy manure were combined in the ratios 100%:0%, 90%:10%, 80%:20%, 70%:30% and 60%:40%. The result showed that dairy manure addition in cassava wastewater influenced pH, COD and TS but did not Cyanide. When inoculated with dairy manure, tapioca wastewater obtained indicated increasing on TS and COD. Overall results indicated that the best treatment in this research is combination between waste and dairy manure in the ratio 70% tapioca wastewater and 30% dairy manure to process tapioca wastewater before release at water area.

(14)

iv

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN

KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK

DIPA ALAM VEGANTARA D14051853

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN

(15)

v

PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAPIOKA MENGGUNAKAN

KOTORAN SAPI PERAH DENGAN SISTEM ANAEROBIK

Oleh

DIPA ALAM VEGANTARA D14051853

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 02 September 2009

Pembimbing Utama

Ir. Salundik, M.Si

Pembimbing Anggota

Dr. Ir. Yuli Retnani, M.Sc

Dekan

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Luki Abdullah, M.Sc.Agr

Ketua Departemen

Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan

Institut Pertanian Bogor

(16)

vi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Juli 1986 di Ujung Pandang, Sulawesi

Selatan. Penulis merupakan anak keempat dari lima bersaudara dari pasangan Bapak

Rifai Suardi dan Ibu Noneng Kartini.

Penulis menyelesaikan pendidikan taman kanak-kanak di TK Mangasa,

Ujung Pandang pada tahun 1992. Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1998 di

SDN Gading Mangu 2 Perak, Jombang yang sebelumnya sampai kelas 4 berada di

SDN Gunung Sari II, Ujung Pandang. Pendidikan lanjutan menengah pertama

diselesaikan pada tahun 2001 di SLTPN 1 Perak, Jombang dan pendidikan menengah

atas diselesaikan pada tahun 2005 di SMAN 10 Bandar Lampung.

Penulis diterima sebagai mahasiswa Departemen Ilmu Produksi dan

Teknologi Peternakan (IPTP), Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui

jalur Ujian Seleksi Mahasiswa IPB (USMI) pada tahun 2005).

Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif dalam organisasi kemahasiswaan

Himpunan Mahasiswa Ilmu Produksi Ternak (Himaproter) Fakultas Peternakan,

Institut Pertanian Bogor sebagai staf divisi Animal Breeding Club (ABC) periode

2006/2007 dan sebagai staf Informasi dan Komunikasi (Infokom) periode

2007/2009. Selain itu penulis juga aktif dalam organisasi luar kampus yaitu HPMB

(Himpunan Pelajar Mahasiswa Bogor) sebagai anggota divisi Kewirausahaan pada

(17)

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT atas

segala nikmat, rohmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan

skripsi yang berjudul “Pengolahan Limbah Cair Tapioka Menggunakan Kotoran Sapi Perah dengan Sistem Anaerobik”.

Penelitian ini mengetengahkan pembahasan mengenai pengolahan limbah

cair tapioka menggunakan kotoran sapi perah sehingga dapat menurunkan beban

pencemaran yang dihasilkan oleh limbah cair. Hasil penelitian ini juga diharapkan

dapat bermanfaat bagi seluruh pengguna hasil penelitian baik mahasiswa peneliti

maupun industri pengolahan tepung tapioka.

Penulis sangat menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi khasanah ilmu pengetahuan dan dunia

peternakan khususnya pada bidang pengolahan limbah ternak.

Bogor, September 2009

(18)

viii

Baku Mutu Limbah Industri Tapioka ... 8

(19)

ix Halaman

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 17

Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai pH ... 17

Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai Chemical Oxygen Demand (COD) ... 19

Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Total Solid (TS) ... 20

Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Sianida (HCN) ... 22

KESIMPULAN DAN SARAN ... 25

Kesimpulan ... 25

Saran... 25

UCAPAN TERIMA KASIH ... 26

DAFTAR PUSTAKA ... 27

(20)

x

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Baku Mutu Limbah Cair Untuk Industri Tapioka ... 8

2. Rataan Perubahan Nilai pH Selama Proses Fermentasi Anaerob .. 18

3. Rataan Penurunan Kandungan COD Selama Proses Fermentasi

Anaerob ... 20

4. Rataan Penurunan Kandungan TS Selama Proses Fermentasi

Anaerob ... 21

5. Rataan Penurunan Kandungan CN Selama Proses Fermentasi

(21)

xi

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Skema Proses Produksi Industri Tapioka... 5

2. Tahapan Pembentukan Gas Bio... 7

3. Desain Rangkaian Unit Bioreaktor Sistem Batch... 13

4. Nilai pH Selama Proses Fermentasi ... 17

5. Nilai COD Selama Proses Fermentasi ... 19

(22)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Hasil Analisis Sidik Ragam pH Selama Masa Fermentasi ... 31

2. Hasil Analisis Sidik Ragam COD Selama Masa Fermentasi ... 31

3. Hasil Analisis Sidik Ragam TS Selama Masa Fermentasi ... 31

(23)

1

PENDAHULUAN Latar Belakang

Air limbah industri mengandung zat-zat atau kontaminan yang dihasilkan dari

sisa bahan baku, sisa pelarut atau bahan aditif, produk terbuang atau gagal, pencucian

dan pembilasan peralatan dan lain sebagainya. Hal inilah yang menyebabkan perlu

adanya suatu pengolahan lebih lanjut secara cermat dan terpadu agar dapat

meminimalkan volume limbah dan juga konsentrasi kontaminannya sehingga limbah

tersebut dapat memenuhi standar baku mutu air yang telah ditetapkan karena apabila

tidak ditangani lebih lanjut akan berdampak negatif terhadap lingkungan terutama

bagi kesehatan manusia.

Industri tapioka menghasilkan limbah cair dalam jumlah yang sangat banyak

yang berasal dari proses pencucian dan pengendapan yang mengandung bahan

organik yang berpotensi sebagai sumber pencemaran lingkungan apabila tidak

diolah. Kualitas tepung tapioka yang dihasilkan suatu industri tapioka selain

ditentukan oleh kualitas bahan bakunya juga ditentukan oleh banyak atau tidaknya

volume air yang digunakan dalam proses pembuatan tepung tapioka, semakin banyak

air yang digunakan maka semakin tinggi pula kualitas tepung tapioka yang

dihasilkan.

Pengusaha industri tapioka terutama industri kecil dan menengah jarang

melakukan pengolahan terhadap limbah yang dihasilkan. Selama ini limbah cair

tapioka yang dihasilkan langsung dibuang ke perairan tanpa adanya pengolahan

terlebih dahulu sehingga berpotensi untuk mencemari lingkungan terutama di sekitar

industri. Kurangnya informasi serta besarnya biaya investasi dalam pembuatan

fasilitas instalasi pengolahan limbah (IPAL) atau unit pengolahan limbah (UPL)

menjadi masalah utama bagi industri kecil dan menengah dalam mengolah

limbahnya.

Salah satu cara pengolahan limbah cair adalah dengan menggunakan IPAL

atau UPL sistem pencerna anaerob (anaerob digester). Sistem pengolahan ini tidak

memerlukan tempat yang luas serta memiliki biaya investasi yang lebih rendah,

selain itu gas metan yang terbentuk selama proses fermentasi dapat dimanfaatkan

sebagai sumber energi baik sebagai bahan bakar ataupun dikonversi ke energi listrik.

(24)

2 menghambat proses perombakan bahan organik oleh bakteri, sehingga perlu

dilakukan penetralan dengan penambahan bakteri yang dapat mendegradasi sianida

sebelum limbah cair diolah. Kotoran sapi perah merupakan salah satu bahan yang

dapat ditambahkan pada limbah cair tapioka sebelum diolah secara anaerobik.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh penambahan kotoran

sapi perah pada limbah cair tapioka serta untuk mengetahui komposisi perbandingan

yang optimal antara kotoran sapi perah dengan limbah cair tapioka dalam

(25)

3

TINJAUAN PUSTAKA Limbah

Limbah pada dasarnya suatu bahan yang terbuang atau dibuang dari suatu

sumber hasil aktivitas manusia, maupun proses-proses alam dan tidak atau belum

mempunyai nilai ekonomis. Limbah umumnya dibagi menjadi tiga, yaitu limbah

yang berbentuk cair (limbah cair), limbah yang berbentuk padat (limbah padat) dan

limbah yang berbentuk gas (limbah gas). Limbah dapat terbuang di tanah, di perairan

atau di udara. Besar tidaknya dampak limbah yang terbuang terhadap lingkungan

tergantung dari sifat dan jumlah limbah serta daya dukung atau kepekaan lingkungan

yang menerimanya (Murtadho dan Said, 1988).

Air limbah dapat berasal dari berbagai sumber, antara lain rumah tangga,

kota, industri, pertanian dan sebagainya. Air limbah dapat menyebabkan kematian

organisme air. Bahan buangan yang beracun menyebabkan kematian semua spesies

atau perubahan kemampuan reproduksi, pertumbuhan dan resistensi terhadap

penyakit (Sutrisno dan Suciastuti, 1991).

Limbah Peternakan

Menurut Sahidu (1983) Kotoran ternak adalah hasil buangan metabolisme

atau kotoran ternak yang kadang-kadang bercampur dengan urine. Limbah

peternakan dapat merupakan pencemaran lingkungan baik yang berupa bau busuk

atau pencemaran air terbuka oleh kotoran ternak. Selain itu limbah peternakan dapat

mennyebabkan gangguan lainnya seperti gangguan estetika yang terjadi akibat

limbah merusak pemandangan, mengundang lalat dan berbau tidak sedap (Azevedo

and Strout, 1974). Produksi kotoran setiap spesies ternak merupakan fungsi dari

bobot badannya, dimana ternak yang lebih besar memproduksi kotoran lebih banyak.

Beberapa gas berbau seperti hidrogen sulfida (H2S) dan ammonia (NH4) yang

dihasilkan mikroba dalam kotoran ternak dapat membahayakan manusia dan ternak

jika terakumulasi dalam konsentrasi tinggi, karena keduanya termasuk gas beracun.

Gas beracun memiliki nilai ambang batas tertentu terhadap manusia dan ternak, yang

jika dilampaui akan mengakibatkan kematian (Curtis, 1972 dalam Fontenot et al.,

(26)

4

Limbah Tapioka

Ubi kayu (Manihot utilissima Pohl) merupakan tanaman pangan berupa perdu

dengan nama lain ketela pohon, singkong atau kasape. Ubi kayu berasal dari negara

Brazil. Penyebarannya hampir ke seluruh dunia, antara lain Afrika, Madagaskar,

India dan Tiongkok. Ketela pohon diperkirakan masuk ke Indonesia pada tahun

1852. Klasifikasi tanaman ketela pohon adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Tjokroadikoesoemo (1986), menyebutkan kegunaan ubi kayu sebagai bahan

pokok pangan sudah dikenal orang sejak zaman bangsa Maya di Amerika Selatan

sekitar 2000 tahun yang lalu, atau bahkan zaman sebelumnya. Ubi kayu dapat

dimakan dalam berbagai bentuk masakan. Di Indonesia ubi kayu dimakan setelah

dikukus, dibakar, digoreng, diolah menjadi berbagai macam penganan, atau

diragikan menjadi tapai.

Industri pengolahan tapioka menghasilkan limbah cair dari proses pencucian,

ekstraksi dan pengendapan. Limbah cair industri tapioka yang masih baru berwarna

putih kekuningan, sedangkan limbah yang sudah busuk berwarna abu-abu gelap.

Kekeruhan yang terjadi pada limbah disebabkan oleh adanya bahan organik, seperti

pati yang terlarut, jasad renik dan koloid lainnya yang tidak dapat mengendap dengan

cepat. Limbah cair tapioka dari hasil pengendapan memiliki nilai BOD sebesar

1450,8–3030,3 mg L-1 dengan rata-rata 2313,54 mg L-1, COD sebesar 3200 mg L-1 dan padatan terlarut 638,0–2836,0 mg L-1 serta kandungan sianida (CN) sebesar 19,58–33,75 mg L-1. Sebanyak 1000 kg ubi kayu yang telah bersih dan terkupas kulitnya (kandungan bahan kering 35%) dapat menghasilkan limbah cair sebesar 514

kg (Tjokroadikoesoemo, 1986). Secara garis besar proses pengolahan ubi kayu

(27)

5

SINGKONG

Pengupasan

Pencucian

Pemarutan

Ekstraksi

Pengendapan

Penjemuran

Penggilingan

Pengayakan

TEPUNG TAPIOKA

(28)

6

Fermentasi Anaerob

Kondisi anaerob adalah kondisi dalam ruangan tertutup (kedap udara) dan

tidak memerlukan oksigen (Stafford et al., 1980). Menurut Barnett et al. (1978),

fermentasi anaerob adalah proses perombakan bahan organik secara mikrobiologis

dalam keadaaan anaerob, dimana dihasilkan gas bio berupa campuran gas dimana

CH4 dan CO2 merupakan gas yang dominan. Secara sederhana reaksi fermentasi

anaerobik tersebut dapat dilukiskan sebagai berikut (Buswell and Mueller, 1952

dalam Tjokroadikoesoemo, 1986) :

Banyaknya gas yang dihasilkan secara teoritis dapat dihitung berdasarkan kenyataan

bahwa tiap 1 kg karbon yang terkandung di dalam substrat akan menghasilkan 1/12

kmol gas atau 1,867 m3 gas pada suhu dan tekanan standar. Fermentasi anaerob terjadi dalam tiga tahap, yaitu tahap hidrolisis, tahap asetogenik (pembentukan asam)

dan tahap metanogenik (Gambar 2).

Tahap Hidrolisis

Senyawa-senyawa organik dengan susunan molekul yang amat kompleks itu

mula-mula dihidrolisis oleh jasad renik (bakteri-bakteri) menjadi

monomer-monomernya (glukosa atau selulosa dan selubiosa). Sejumlah bakteri yang berperan

pada tahap ini adalah bakteri selulitik dan amilolitik. Bakteri-bakteri tersebut dapat

digolongkan menjadi :

- Bakteri mesofilik : yang bekerja pada suhu optimum sebesar 35 - 40oC - Bakteri termofilik : yang bekerja pada suhu optimum sebesar 55 - 60oC

Kerjasama dari kedua golongan bakteri ini di dalam proses fermentasi

anaerobik menghasilkan proses hidrolisis lebih cepat dibandingkan bakteri-bakteri

tersebut bekerja sendiri-sendiri. Bakteri selulolitik bekerja secara optimum pada pH

sekitar 5,0–7,0 (Tjokroadikoesoemo, 1986). Hidrolisis selulosa merupakan tahap

yang paling lambat. Produk dari tahap hidrolisis berupa komponen lebih sederhana

yang berfungsi mendukung reduksi limbah total, menstabilkan serta merupakan

sumber energi penting bagi komponen bakteri (Barnett et al., 1978). Pengubahan

(29)

7 karbon dioksida, air dan panas sedangkan pada suasana anaerob akan dihasilkan

karbon dioksida, etanol dan panas (Hadiwiyoto, 1983).

Gambar 2. Tahapan Pembentukan Gas Bio Sumber : FAO, 1962.

Tahap Asetogenik

Karbohidrat sederhana yang dihasilkan tahap hidrolisis akan menjadi substrat

bagi bakteri asetogenik dan difermentasi menjadi H2, CO2, asam format, asam asetat,

asam propionat, asam butirat, asam valerat, asam laktat dan asam lainnya serta

alkohol sederhana. Susunan atau komposisi dari senyawa-senyawa dari produk

proses tahap ini bergantung pada jenis flora di dalam digester, komposisi substrat

dan kondisi-kondisi lingkungan bagi flora yang bersangkutan (Tjokroadikoesoemo,

1986).

Selulosa

Hidrolisis selulosa glukosa

Glukosa

Pengasaman

glukosa asam laktat

Asam butirat

etanol

Asam lemak dan Alkohol

Metanogenik

(30)

8 Golongan bakteri pembentuk asam bersifat fakultatif aerob, artinya pada

suasana aerob pun bakteri ini masih dapat hidup dan aktif mengadakan perombakan

(Hadiwiyoto, 1983). Bakteri ini akan memecah struktur organik kompleks menjadi

asam asam volatil (struktur kecil). Protein dipecah menjadi asam asam amino.

Karbohidrat dipecah menjadi gula dengan struktur yang sederhana. Lemak dipecah

menjadi asam yang berantai panjang. Hasil dari pemecahan ini akan dipecah lebih

jauh menjadi asam asarn volaid. Bakteri asetogenik juga dapat melepaskan gas

hidrogen dan gas karbondioksida (Firdaus, 2003).

Tahap Methanogenik

Menurut Tjokroadikoesoemo (1986), semua bahan organik terlarut pada

tahap methanogenik dikonversikan oleh bakteri-bakteri metanogenik menjadi

metana. Energi hampir-hampir tidak diperlukan dalam proses ini. Demikian juga

perkembangbiakan bakteri metanogenik juga hampir-hampir tidak ada. Sebagian

amonia yang dihasilkan di dalam tahap sebelumnya dimanfaatkan sebagai sumber

nitrogen oleh bakteri-bakteri metanogenik ini.

Bakteri metanogenik membutuhkan kondisi potensial oksidasi-reduksi (Eh)

yang rendah di dalam substrat (di bawah 330 mV). Kondisi semacam ini juga

dihasilkan pada tahap sebelumnya, karena bakteri metanogenik tidak memiliki

kemampuan untuk menurunkan Eh. bakteri metanogenik juga sangat peka terhadap

perubahan pH. Produktivitas bakteri dalam keadaan optimum pada pH sekitar 6,6 –

7,6, di bawah pH 6,6 produksi akan turun dengan cepat, dan di bawah pH 6,2

sebagian bakteri akan mati (Tjokroadikoesoemo, 1986).

Baku Mutu Limbah Industri Tapioka

Mutu Limbah Cair adalah keadaan limbah cair yang dinyatakan dengan debit,

kadar dan beban pencemaran. Debit maksimum adalah debit tertinggi yang masih

diperbolehkan dibuang kelingkungan hidup. Kadar maksimum adalah kadar tertinggi

yang masih diperbolehkan dibuang ke lingkungan hidup. Beban pencemaran

maksimum adalah beban pencemaran tertinggi yang masih diperbolehkan dibuang ke

lingkungan hidup (Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No:

(31)

9 Baku mutu limbah industri tapioka yang dipersyaratkan hanya limbah cairnya

saja (Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.

KEP-1/MenLH/10/1995) dengan karakteristik tersaji pada Tabel 1.

Tabel 1. Baku Mutu Limbah Cair untuk Industri Tapioka

Parameter

Debit Limbah Maksimum 30 m3 per ton produk tapioka Catatan :

1. Kadar maksimum untuk setiap parameter pada tabel di atas dinyatakan dalam miligram parameter per liter air limbah.

2. Beban pencemaran maksimum untuk setiap parameter pada tabel diatas dinyatakan dalam kilogram parameter per ton produk tapioka.

Sumber : Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-1/MenLH/10/1995

Nilai pH

Sutrisno dan Suciastuti (1991) menyebutkan bahwa pH merupakan istilah

yang digunakan untuk menyatakan intensitas keadaan asam atau basa sesuatu larutan.

Nilai pH merupakan salah satu cara untuk menyatakan konsentrasi ion H+. Nilai pH menjadi suatu indikator dalam proses penjernihan air limbah untuk meningkatkan

efisiensi proses penjernihan. Menurut Hardjo et al. (1989), salah satu faktor kritis

bagi pertumbuhan mikroba adalah pH, oleh karena itu pengaturan pH selama

fermentasi perlu dilakukan.

Kecepatan perkembangan organisme merosot sangat pesat pada pH di bawah

enam dan diatas delapan (Mahida, 1984). Konsentrasi ion hidrogen adalah ukuran

kualitas dari air maupun air limbah. Air limbah dengan konsentrasi air limbah yang

tidak netral akan menyulitkan proses biologis, sehingga mengganggu proses

penjernihannya. Nilai pH yang baik bagi air minum dan air limbah adalah netral

(32)

10

Chemical Oxygen Demand (COD)

Chemical Oxygen Demand (COD) adalah kebutuhan oksigen dalam proses

oksidasi secara kimia. Nilai COD selalu lebih besar daripada Biologycal Oxygen

Demand (BOD) karena kebanyakan senyawa lebih mudah teroksidasi secara kimia

daripada secara biologi. Pengukuran COD membutuhkan waktu yang lebih cepat,

yakni dapat dilakukan selama tiga jam (Siregar, 2005). Angka COD adalah jumlah

oksigen (mg) yang dibutuhkan untuk mengoksidasi zat-zat organis yang ada dalam

satu liter sampel air, dimana pengoksidasian K2Cr2O7 digunakan sebagai sumber

oksigen (oxidizing agent).

Angka COD merupakan ukuran bagi pencemaran air oleh zat-zat organis

yang secara ilmiah dapat dioksidasikan melalui proses mikrobiologis dan

mengakibatkan berkurangnya oksigen terlarut di dalam air (Alaerts and Santika,

1984). Parameter COD atau kebutuhan oksigen kimia, merupakan parameter penting

untuk menentukan derajat pencemaran, yakni memberikan ekuivalen oksigen bahan

organik yang dapat dioksidasi oleh oksidator kimia kuat (Hartomo dan Widiatmoko,

1994).

Total Solid (TS)

Total Solid (TS) merupakan bahan yang tertinggal sebagai residu pada

penguapan dan pengeringan pada suhu 103-105oC. Total solid terdiri atas bahan terlarut (dissolved solid) dan tidak terlarut (suspended solid) yang ada di air. Adanya

residu dalam air menyebabkan kualitas air tidak baik, menimbulkan berbagai reaksi

dan mengganggu estetika. Pengukuran total solid dengan cara pengeringan sampel

pada temperatur tertentu kemudian perbedaan berat sampel sebelum dan sesudah

proses pengeringan menunjukkan konsentrasi solid dalam air (Sutrisno dan

Suciastuti, 1991).

Adanya padatan dalam air mempengaruhi tingkat kekeruahan air, semakin

tinggi muatan padat tersuspensi yang bervariasi dalam ukuran koloid sampai dispersi

kasar maka akan semakin keruh. Padatan-padatan (total solid, suspended solid dan

disolved solid), serta kondisinya sebagai fraksi volatil dan fixed dapat digunakan

untuk menentukan kepekatan air limbah, efisiensi proses dan beban unit proses

(33)

11

Sianida (HCN)

Sianida dimasukkan dalam standar persyaratan kualitas air minum, oleh

karena sebagai single-dose, 50-60 mg adalah bersifat fatal; intake sebesar 3-5

mg/hari tidak menimbulkan gangguan begitu juga untuk single-dose sebesar 10 mg.

Konsentrasi sebesar 0,2 mg L-1 akan bersifat letal bagi ikan tawar untuk kontak selama 2 hari. Chlorinasi akan mengubah sianida menjadi cyanogen chloride yang

mempunyai oral toxicity yang akut 1/20 dari sianida (Sutrisno dan Suciastuti, 1991).

Ubi kayu mengandung racun glukosida sianogenik (linamarin dan

lotaustralin) yang sewaktu hidrolisis dapat menghasilkan asam sianida dan glukosa.

Racun ubi kayu dalam kadar yang tinggi dapat berakibat fatal atau mengakibatkan

penyakit keracunan yang dinamakan tropical ataxic neuropathy. Kandungan

tiosianat di dalam serum darah bila cukup tinggi dapat mengganggu pekerjaan

kelenjar gondok sehingga penderitanya dapat terserang penyakit gondok (goitre) atau

(34)

12

METODE Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari–April 2009, di Laboratorium

Pengolahan Limbah Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Analisis sampel dilaksanakan di Laboratorium Terpadu Teknologi Industri Pertanian,

Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Materi Kotoran Sapi

Kotoran sapi perah diperoleh dari lokasi kandang blok A, Bagian Perah

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Kotoran sapi perah yang diambil

merupakan kotoran segar.

Limbah Tapioka

Limbah cair tapioka yang dipergunakan dalam penelitian ini merupakan air

limbah yang diperoleh setelah tahap pengendapan pati. Limbah tapioka diperoleh

dari Usaha Kecil Menengah (UKM) pengolahan tepung tapioka di Desa Cikeas

Kecamatan Sukaraja, Bogor.

Instalasi Anaerobik

Instalasi Anaerobik terdiri dari dua komponen yaitu bioreaktor dan tempat

penampungan gas. Bioreaktor terbuat dari jerigen plastik berkapasitas 20 liter yang

dikondisikan anaerob, sedangkan tempat penampungan gas terdiri dari dua buah

wadah plastik yang berbeda ukurannya serta diberi kran. Bioreaktor dan tempat

penampungan gas dihubungkan dengan selang plastik. Tempat penampungan air

yang digunakan untuk menampung air yang keluar akibat tekanan gas, air yang

keluar volumenya sama dengan volume gas yang menekan. Model instalasi

(35)

13 Keterangan :

A : Bioreaktor B : Penampung Gas C : Penampung Air D : Lubang pemasukan

E : Tempat pengambilan sampel dan pengukuran F : Selang penyalur gas

G : Kran

Gambar 3. Desain rangkaian unit bioreaktor sistem batch

Sumber: Sahidu, 1983.

Rancangan

Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), sebagai

perlakuan adalah persentase antara limbah tapioka dan kotoran sapi. Perlakuan terdiri

dari lima taraf, yaitu 100% limbah tapioka (T100S0), 90 % limbah cair tapioka : 10%

kotoran sapi (T90S10), 80 % limbah cair tapioka : 20% kotoran sapi (T80S20), 70 %

limbah cair tapioka : 30% kotoran sapi (T70S30) dan 60 % limbah cair tapioka : 40%

kotoran sapi (T60S40). Setiap perlakuan diulang empat kali dan setiap ulangan terdiri

dari satu instalasi sebagai unit percobaan. Peubah yang diamati dalam penelitian ini

antara lain nilai pH, nilai Chemical Oxygen Demand (COD), Total Solid (TS) dan

kadar sianida (CN).

Sebelum dianalisis, data diuji asumsi yaitu uji kenormalan, keaditifan,

kehomogenan dan kebebasan galat, apabila telah memenuhi semua asumsi tersebut

maka data dianalisis ragam. Apabila hasil sidik ragam berbeda nyata maka

(36)

14 Model rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

Keterangan :

Yij = Nilai Pengamatan

µ = Nilai Rataan

αi = Pengaruh Perlakuan ke-i (T100S0, T90S10, T80S20, T70S30, dan T60S40). βj = Pengaruh Kelompok ke-j (kelompok hari pengambilan sampel)

εij = Galat Perlakuan ke-i, kelompok ke-j i = Perlakuan ke-i

j = Kelompok ke-j

Prosedur Persiapan

Instalasi Anaerobik yang digunakan sebelumnya dibersihkan dan diuji

kebocorannya terlebih dahulu, dengan cara mengisinya dengan air dan didiamkan

selama 24 jam. Instalasi yang mengalami kebocoran ditandai dengan berkurangnya

volume air. Pengujian ini bertujuan untuk menjamin kondisi anaerob dalam instalasi

selama proses fermentasi serta tidak keluarnya gas yang telah terbentuk.

Kotoran sapi perah yang dicampurkan sebelumnya telah dibersihkan dari

bahan-bahan lain seperti potongan rumput, pasir dan sebagainya. Sebelum

dimasukkan ke dalam bioreaktor, campuran kotoran sapi perah dan limbah cair

tapioka dihomogenkan terlebih dahulu. Perbandingannya antara lain 100% limbah

tapioka (T100S0), 90 % limbah cair tapioka : 10% kotoran sapi (T90S10), 80 % limbah

(37)

15

Pengukuran Peubah

1. Nilai pH diperoleh dengan cara mengukur limbah cair dengan menggunakan

kertas lakmus universal.

2. Kadar COD diperoleh dengan cara mengujinya dengan metode APHA ed. 20th 5220 C, 1998 (APHA, AWWA and WPCF, 1998).

a. Bahan-bahan :

Amonium Ferro Sulfat 0,1 N, Amonium Ferro II Sulfat 0,25 N, K2Cr2O7

0,25 N, asam sulfat dan indikator ferroin.

b. Alat yang digunakan :

Alat destilasi, kondensor dan erlemeyer.

c. Prosedur kerja :

Sampel diambil sebanyak 20 ml, dimasukkan ke dalam labu didih 300 ml,

ditambahkan K2Cr2O7 0,25 N; 0,4 gr H2SO4;40 ml asam sulfat yang

mengandung silver sulfat dan batu didih. Selama 10 menit dipanaskan dan

didihkan dengan direflux menggunakan kondensor. Kemudian dinginkan dan

cuci dengan menggunakan 50 ml air suling. Didinginkan kemudian

ditambahkan 2 tetes indikator ferroin dan titrasi dengan amonium ferro sulfat

0,25 N hingga terjadi perubahan warna dari biru kehijauan menjadi merah

kecoklatan. Kemudian mencatat volume yang digunakan. Indikasikan sebagai

(B).

Dengan melakukan prosedur yang sama, dilakukan titrasi terhadap

blangko air suling sebanyak 20 ml dengan menggunakan 0,25 amonium ferro

sulfat. Indikasikan sebagai (A).

(38)

16 a. Alat yang digunakan :

Cawan porselen, silica gel, steam-bath, desikator, oven bersuhu

103-105oC, timbangan analitik, stirrer magnetik dan pipet. b. Prosedur kerja:

Cawan porselen yang bersih dikeringkan di dalam oven bersuhu

103-105oC, lalu dimasukkan ke dalam desikator, setelah beberapa saat ditimbang. Indikasikan sebagai (B).

Sampel sebanyak 200 mg, dimasukkan ke dalam cawan porselen, lalu

dipanaskan dan keringkan di dalam oven bersuhu 103-105oC selama 1 jam. Kemudian dimasukkan ke dalam desikator, simpan hingga suhu dan beratnya

seimbang. Indikasikan sebagai (A).

c. Perhitungan :

Dimana : A = berat sampel setelah ditimbang + berat cawan (mg)

B = berat cawan tanpa sampel (mg)

4. Kadar sianida diperoleh dengan cara mengujinya dengan metode APHA ed. 20th 3500 CN-, 1998 (APHA, AWWA and WPCF, 1998).

a. Bahan-bahan:

Buffer CN (138g NaH2PO4.H2O dalam 1 liter air suling), chloramin T 1%,

asam barbiturat-piridin (3 g asam barbiturat ditambah 15 ml piridin dan 3 ml

37% HCL dan ditambahkan aquades hingga volumenya 50 ml).

b. Metode :

Sampel sebanyak 0,1 ml ditambahkan aquades sebanyak 1,9 ml,

ditambahkan 2 ml buffer CN dan 0,5 ml chloramin T 1%. Dihomogenkan

menggunakan vortex dan didiamkan selama 2 menit setelah itu ditambahkan

0,5 ml larutan asam barbiturat-piridin, dihomogenkan dan dibaca pada

spektrofotometer dengan panjang gelombang 578 nm.

(39)

17

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai pH

Salah satu karakteristik limbah cair tapioka diantaranya adalah memiliki nilai

pH yang kecil atau rendah. pH limbah tapioka yang digunakan dalam penelitian ini

berkisar pada angka 5. Setelah ditambahkan dengan kotoran sapi perah, pH limbah

cair tapioka semakin menuju kondisi netral. Semakin besar persentase penambahan

kotoran sapi perah maka nilai pH yang dihasilkan semakin mendekati netral (Gambar

4). Selama masa fermentasi selama 30 hari, pH pada setiap perlakuan mengalami

peningkatan (Tabel 2). Kenaikan terbesar dialami oleh perlakuan T60S40 dan T70S30

yaitu berturut-turut sebesar 16,97% dan 15,52%. Meskipun kecil terdapat

peningkatan nilai pH pada perlakuan T80S20, T90S10 dan T100S0.

Menurut Ginting (2007), air buangan yang memiliki pH tinggi atau rendah

menjadikan air steril dan sebagai akibatnya membunuh mikroorganisme air. pH

limbah cair tapioka yang rendah atau asam mengakibatkan tidak seluruh

mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang di dalamnya, melainkan hanya

beberapa mikroorganisme tertentu saja yang dapat bertahan. Nilai pH yang optimal

bagi sebagian besar mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang adalah antara

6,0 - 8,0. Kotoran sapi merupakan salah satu contoh medium yang baik untuk

pertumbuhan mikroorganisme, hal ini dikarenakan pH-nya yang relatif mendekati

netral.

(40)

18 Data hasil penelitian tersebut diuji menggunakan sidik ragam dan didapat

bahwa terdapat perbedaan yang sangat nyata (P<0,01) antar perlakuan. Uji lanjut

Duncan menunjukkan bahwa penambahan kotoran sapi perah tidak jauh berbeda

mulai taraf T80S20 keatas, sehingga pemberian kontoran sapi perah pada limbah cair

tapioka sebesar 20% keatas (30% dan 40%) mempengaruhi pH limbah cair tapioka

sehingga memenuhi baku mutu limbah cair tapioka yaitu 6,0-9,0. Sedangkan

penambahan kotoran sapi perah sebesar 10% meskipun dapat mempengaruhi nilai

pH akan tetapi tidak dapat mencapai syarat baku mutu (Tabel 2).

Tabel 2. Rataan Perubahan Nilai pH Selama Proses Fermentasi Anaerob

Perlakuan Nilai pH Kenaikan (%)

Hari 1 Hari 17 Hari 30 Rataan

Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata

Derajat keasaman yang rendah akan mempengaruhi karakteristik gas bio yang

dihasilkan. Uzodinma dan Ofoefule (2008) serta Anunputtikul dan Rodtong (2004)

melaporkan bahwa limbah cair tapioka murni tanpa penambahan bahan apapun akan

menghasilkan pH yang rendah. Sehingga dalam mengolah limbah cair tapioka

mereka menambahkan beberapa jenis bahan dan inokulum sebelum limbah diolah.

Beberapa peneliti lain menggunakan berbagai macam jenis inokulum lainnya

sebelum mengolah limbah cair tapioka secara anaerob. Razif et al. (2006)

menggunakan ragi Candida utilis. Anunputtikul dan Rodtong (2004) menggunakan

kotoran sapi dan diinkubasi selama 3 bulan. Hanifah et al. (2001) menggunakan EM

(Effective Microorganisms). Penambahan inokulum ini selain untuk memperbaiki pH

limbah juga untuk memperbaiki rasio C/N, menambah bahan nutrisi serta menambah

jenis dan jumlah mikroorganisme yang akan merombak bahan organik limbah cair

(41)

19

Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Nilai Chemical Oxygen Demand (COD)

Limbah cair tapioka yang dipergunakan dalam penelitian ini tidak memenuhi

persyaratan baku mutu limbah industri tapioka yang sudah beroperasi dalam SK

MENLH KEP-51/MENLH/I0/1995 karena kadar COD limbah cair tapioka lebih

besar dari pada 300 mg L-1 yaitu sebesar 1822 mg L-1. Selama masa fermentasi selama 30 hari nilai COD dalam limbah berkurang menjadi 546 mg L-1, sehingga belum dapat memenuhi persyaratan baku mutu.

Penambahan kotoran sapi perah ke dalam limbah cair tapioka akan

meningkatkan nilai COD, karena di dalam kotoran sapi perah juga mengandung

bahan-bahan organik yang sulit dirombak oleh mokroorganisme sehingga dapat

memperbesar kadar COD dalam limbah cair tapioka. Hasil sidik ragam menunjukkan

adanya perbedaan sangat nyata pada nilai COD setiap perlakuan (P<0,01) dan setelah

di uji lanjut (Uji Duncan) didapatkan bahwa penambahan kotoran sapi perah sampai

pada taraf 20% (T80S20) tidak mempengaruhi nilai COD limbah cair tapioka, akan

tetapi pemberian lebih dari itu (30-40%) akan mempengaruhi nilai COD limbah cair

tapioka (Tabel 3).

Gambar 5. Nilai COD Selama Proses Fermentasi

Aktifitas mikroorganisme selama proses fermentasi secara anaerobik

(42)

20 pada tiap perlakuan memiliki persentase yang tidak jauh berbeda (Tabel 3).

Persentase penurunan terbesar terdapat pada P5 sebesar 70,03%, kemudian

berturut-turut P2 (66,29%), P1 (59,40%), P4 (46,14%) dan P3 (27,89%).

Tabel 3. Rataan Penurunan Kandungan COD Selama Proses Fermentasi Anaerob Keterangan : Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan nyata

Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Total Solid (TS) Total solid atau padatan total merupakan bahan terlarut (dissolved solid) dan

tidak terlarut (suspended solid) yang ada di air. Limbah cair tapioka berwarna putih

dikarenakan adanya partikel-partikel pati yang sangat halus dari proses ekstraksi

(Bapedal, 1996). Penambahan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka akan

menambah kandungan TS, hal ini dikarenakan di dalam kotoran sapi perah juga

terdapat padatan baik yang terlarut maupun yang tidak terlarut.

Tabel 4. Rataan Penurunan Kandungan TS Selama Proses Fermentasi Anaerob

(43)

21 Hasil sidik ragam menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata antar

perlakuan (P<0,01), berarti penambahan kotoran sapi perah mempengaruhi nilai TS

limbah cair tapioka. Uji lanjut menunjukkan perbedaan tersebut pada setiap

perlakuan meskipun antara T90S10 dan T80S20 tidak terdapat perbedaan (Tabel 4).

Semakin besar kotoran sapi perah yang diberikan maka nilai TS akan semakin besar

dibandingkan nilai TS limbah cair tapioka murni tanpa penambahan kotoran sapi

perah.

Total Solid yang dimiliki oleh limbah cair tapioka tanpa penambahan kotoran

sapi perah yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 0.54% yang berarti limbah

tersebut menurut SK MENLH KEP-51/MENLH/I0/1995 belum layak apabila

langsung dilepaskan ke perairan lepas, yaitu lebih besar dari pada 100 mg L-1 atau 0,01%. Proses fermentasi selama 30 hari telah mendegradasi TS yang terdapat dalam

limbah. Perombakan TS oleh mikroorganisme telah mengakibatkan penurunan nilai

TS (Gambar 6). Proses fermentasi selama 30 hari ternyata belum mampu

menurunkan nilai TS hingga memenuhi syarat, meskipun persentasi penurunan pada

perlakuan T100S0 merupakan persentase terbesar dibandingkan perlakuan lainnya.

Gambar 6. Nilai TS Selama Proses Fermentasi

Total Solid dapat berupa karbohidrat, lemak, protein, mineral dan lain

sebagainya baik bahan organik maupun bahan anorganik, sehingga dapat

(44)

22 mengakibatkan perubahan bentuk dari rantai yang kompleks menjadi rantai yang

lebih sederhana serta timbulnya hasil sampingan seperti CO2, H2S dan CH4.

Penambahan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka mengakibatkan perbedaan

persentase penurunan TS. Setiap perlakuan memiliki besaran penurunan yang

berbeda. Persentase terbesar dimiliki perlakuan T100S0 yaitu sebesar 48,15%,

kemudian diikuti secara berturut-turut T70S30 (46,70%), T80S20 (39,70%), T60S40

(28,87%) serta T90S10 (26,74%) yang dapat dilihat pada Tabel 4.

Pengaruh Penambahan Kotoran Sapi Perah Terhadap Sianida (HCN)

Kadar maksimum sianida yang diperbolehkan dalam baku mutu air limbah

industri tapioka yang sudah beroperasi menurut SK MENLH

KEP-51/MENLH/I0/1995 adalah sebesar 0,3 mg L-1 dengan beban pencemaran maksimum 0,009 kg/ton produk. Sutrisno dan Suciastuti (1991) menyebutkan adanya

sianida dalam perairan dapat membunuh biota yang ada di perairan tersebut,

konsentrasi sebesar 0,2 mg L-1 akan bersifat letal bagi ikan tawar untuk kontak

selama 2 hari. Kadar sianida limbah cair tapioka yang digunakan pada penelitian ini

telah memenuhi syarat baku mutu tersebut yaitu sebesar 0,162 mg L-1.

Data hasil penelitian diuji menggunakan uji sidik ragam dan didapatkan

bahwa data tidak berbeda nyata (P>0,05), yang artinya kadar sianida sepenuhnya

berasal dari limbah cair tapioka sehingga penambahan kotoran sapi perah sebesar

apapun pada limbah cair tapioka tidak mempengaruhi kadar sianida pada

masing-masing perlakuan. Selama 30 hari masa fermentasi kadar sianida pada tiap perlakuan

mengalami perubahan (Tabel 5).

Peningkatan nilai sianida terutama pada pertengahan masa fermentasi

dikarenakan sebagian besar bahan organil yang terkandung dalam limbah cair seperti

selulosa, lemak, protein dan lain sebagainya telah terdegradasi oleh mikroorganisme,

akan tetapi sianida belum terombak seluruhnya. Degradasi sianida dapat terjadi

dalam kondisi anaerob dan menghasilkan asam format dan amonia, secara garis besar

reaksinya adalah sebagai berikut :

Proses perombakan sianida tergantung pada kadar sianida yang terkandung dalam

(45)

23 (Abrar, 2001). Sianida merupakan bahan beracun bagi mikroorganisme sehingga

tidak setiap mikroorganisme dapat mendegradasi sianida. Kadar sianida yang tetap

sedangkan kadar bahan organik limbah sebagian besar telah berkurang akan

meningkatkan konsentrasi sianida dalam limbah.

Tabel 5. Rataan Penurunan Kandungan CN Selama Proses Fermentasi Anaerob

Sianida akan terdegradasi oleh mikroorganisme apabila mikroorganisme

perombak sianida yang terkandung dalam limbah telah cukup. Prinsip degradasi

limbah sianida adalah mengubah ion sianida yang merupakan bentuk seyawa

berbahaya menjadi bentuk yang tidak berbahaya. Selain dipengaruhi oleh ada atau

tidaknya bakteri pendegradasi sianida, degradasi dari sianida dipengaruhi juga oleh

faktor lingkungan seperti konsentrasi sianida, pH larutan, suhu dan lain sebagainya.

Beberapa perlakuan seperti T100S0, T90S10 dan T080S20 mengalami peningkatan

nilai sianida sedangkan pada perlakuan T70S30 dan T60S40 mengalami penurunan

meskipun pada pertengahan masa fermentasi (hari ke-17) mengalami peningkatan

nilai (Tabel 5). Peningkatan nilai sianida dikarenakan mikroorganisme dalam limbah

tidak cukup dalam merombak sianida. Selain itu pH yang asam juga ikut berperan

serta dalam peningkatan tersebut. Hal ini terkait dengan besarnya konsentrasi ion H+ pada larutan yang asam sehingga akan mengikat ion CN- yang terurai dari bentuk kompleks. Penurunan kadar sianida terbesar pada T60S40 yaitu 71,52% sedangkan

pada T60S40 sebesar 60,26%. Hal ini menandakan penambahan kotoran sapi perah

lebih dari 30% pada limbah cair tapioka dapat menurunkan kadar sianida dalam

(46)

24 Meskipun memiliki persentase penurunan terbesar baik untuk TS dan COD,

perlakuan T100S0 tidak dapat menurunkan nilai sianida. Selain itu pH yang masih

rendah membuat perlakuan T100S0 tidak dapat secara langsung dilepaskan ke perairan

lepas. Mikroorganisme yang bekerja pada perlakuan T100S0 sebagian besar adalah

bakteri asidogenik. Haryanti (2006) menyebutkan bahwa di dalam digester gas bio

terdapat dua jenis bakteri yang sangat berperan, yaitu bakteri asidogenik dan bakteri

metanogenik. Keberadaan kedua bakteri ini harus berada dalam kondisi berimbang

terutama dalam memproduksi gas bio. Hal ini lah yang mengakibatkan pada

perlakuan T100S0 gas bio yang dihasilkan sangat sedikit dan tidak dapat dibakar

(47)

25

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Penambahan kotoran sapi perah pada limbah cair tapioka berpengaruh pada

pH, COD dan TS, tetapi penambahan tersebut tidak mempengaruhi kadar sianida

pada limbah cair tapioka. Penambahan kotoran sapi perah kurang dari taraf 20%

tidak mempengaruhi nilai COD. Semakin besar persentasi pemberian kotoran sapi

perah maka semakin besar pula nilai TS yang dihasilkan. Penambahan kotoran sapi

perah dapat mengubah pH limbah menjadi lebih mendekati netral.

Tanpa penambahan kotoran sapi perah, limbah cair tapioka dapat terdegradasi

dengan baik. Hal ini ditandai dengan besarnya persentase penurunan nilai COD dan

TS limbah cair tapioka tanpa penambahan kotoran sapi perah selama 30 hari

difermentasi anaerob. Akan tetapi penurunan ini tidak diikuti dengan penurunan

kadar sianida dalam limbah serta pH yang masih rendah. Hasil penelitian

menunjukkan penambahan dengan perbandingan 30% kotoran sapi perah dan 70%

limbah cair tapioka merupakan perlakuan terbaik dalam penelitian ini dalam

mengolah limbah cair tapioka.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan sistem kontinu serta

dengan menggunakan jenis inokulum lainnya. Selain itu perlu dilakukan penelitian

(48)

26

UCAPAN TERIMAKASIH

Alhamdulillah, Puji dan Syukur penulis panjatkan ke kehadirat Alloh SWT

atas segala nikmat, rohmat, limpahan karunia, pertolongan dan hidayah-Nya yang tak

terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Penulis mengucapkan rasa hormat dan syukur yang tidak terhingga kepada

ibu (Noneng Kartini) dan Bapak (Rifai Suardi) yang tanpa henti senantiasa

melimpahkan doa, nasehat, dan kasih sayang kepada penulis. Terima kasih kepada

para kakak dan adik tercinta yang tidak pernah berhenti memberikan motivasi dan

semangat.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada Ir. Salundik, M.Si

dan Dr. Ir. Yuli Retnani, MSc, selaku dosen pembimbing atas segala bimbingan dan

arahannya selama penulis melakukan penelitian dan menyusun skripsi hingga tahap

akhir. Terima kasih kepada Ir. Zulfikar Mooesa, MS selaku pembimbing akademik

atas segala bimbingan, saran dan masukannya selama penulis kuliah di Fakultas

Peternakan IPB.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Mas Fandi, Opa (Om Paul)

dan Ari yang telah banyak membantu dan menemani dalam penelitian, tanpa kalian

penelitian ini tidak akan pernah ada. Seluruh rekan IPTP’42, rekan “Pondok

ASAD”, rekan “Jokam 42” (Alwin, Iwan, Anindra, Opik, Wahyu, Gina dan Laweh),

rekan “Griya” dan rekan HPMB terima kasih atas seluruh motivasi, semangat, dan doa, serta seluruh pihak baik yang tidak dapat disebutkan satu persatu maupun yang

tidak mau disebutkan namanya yang membantu hingga selesainya skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat dan dapat memberikan

sumbangsih bagi dunia peternakan

Bogor, September 2009

(49)

27

DAFTAR PUSTAKA

Abrar, A. 2001. Eksplorasi Mikroba Rumen Pendegradasi Sianida. Tesis. Program Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Alaerts, G. dan S. S. Santika. 1984. Metoda Penelitian Air. Usaha Nasional, Surabaya.

Anunputtikul, W and S. Rodtong. 2004. Laboratory scale experiment for biogas production from cassava tubers. The Joint International Conference on

“Sustainable Energy and Environment (SEE)”. 3-017 (O).

APHA, AWWA and WPCF. 1998. Standard Methods for The Examination of Water and Wastewater. 18th Ed. American Public Health Association. Washington.

Azevedo, R. S. and P. R. Strout. 1974. Farm Animal Manure : An overview of their role in the agricultural environment. California Agricultural Experiment Station and Extention Service Manual 44, Berkeley.

Bapedal. 1996. Teknologi Pengendalian Dampak Lingkungan Industri Tapioka di Indonesia. Buku Panduan. Jakarta.

Barnett, A., L. Pyle and S. K. Subramanian. 1978. Biogas Technology in The Third Word : A Multidiciplinary Review. International Development Research Center, Ottawa.

FAO. 1986. Processing and Utilization of Animal By-Products. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Italy.

Firdaus, I. U. 2003. Energi Alternatif Biogas. http://www.migas-indone-sia.com/index.php?module=article&sub=article&act=view&id=432. [24 Agustus 2009].

Fontenot, J. P., L. W. Smith and A. L. Sutton. 1983. Alternative utilization of animal waste. J. Anim. Sci. 57:211-233.

Ginting, P. 2007. Sistem Pengolahan Lingkungan dan Limbah Industri. CV. Yrama Widya, Bandung.

Hadiwiyoto, S. 1983. Penanganan dan Pemanfaatan Sampah. Yayasan Idayu, Jakarta.

Hambali, E. S. Mudjalipah, A. H. Tambunan, A. W. Pattiwiri dan R. Hendroko. 2007. Teknologi Bioenergi. PT Agromedia Pustaka, Jakarta.

Hanifah, T. A., C. Jose dan T. T. Nugroho. 2001. Pengolahan limbah cair tapioka dengan teknologi EM (effective microorganisms). J. Natur Indonesia III (2): 95-103.

(50)

28 Hariyadi, S, Suryadiputra dan B. Widigdo. 1992. Limnologi Metoda Penelitian

Kualitas Air. Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Hartomo, A. J. dan M. C. Widiatmoko. 1994. Teknologi Membran Pemurnian Air. Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.

Haryati, T. 2006. Biogas : limbah peternakan yang menjadi sumber energi alternatif. Wartazoa Vol. 16 No.3.

Junus, M. 1987. Teknik Membuat dan Memanfaatkan Unit Gasbio. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Mahida, U. N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. CV Rajawali, Jakarta.

Mercel, J. A. 1981. Managing Livestock Waste. The AVI Publishing Company, Inc, Westport.

Mulyanto, A. and Titiresmi. 2000. Implementation of anaerobic process on wastewater from tapioca starch industries. Puspiptek Serpong, Tangerang.

Murtadho, D dan E. G. Said,. 1988. Penanganan dan Pemanfaatan Limbah Padat. Mediatama Sarana Perkasa, Jakarta.

Petrie, A and P. Watson. 1999. Statistics for Veterinary and Animal Science. Blackwell Science, London.

Price, E. C. and P. N. Cheremisinoff. 1981. Biogas Production and Utilization. Ann Arbor Science Publisher, Inc, Michigan.

Razif, M., V. E. Budiarti and S. Mangkoedihardjo. 2006. Appropriate fermentation

process for tapioca’s wastewater in Indonesia. J. Applied Sci. 6 (13): 2846 -2848.

Saeni, M. S. 1996. Kimia Lingkungan. Departemen P dan K, Dirjen Pendidikan Tinggi. PAU Ilmu Hayat IPB 151p.

Sahidu, S. 1983. Kotoran Ternak Sebagai Sumber Energi. Dewaruci Press, Jakarta.

Siregar, S. A. 2005. Instalasi Pengolahan Air Limbah. Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Surat Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. KEP-51/MENLH/I0/1995.

Soeparman dan Suparmin. 2002. Pembuangan Tinja dan Limbah Cair. Penerbit Buku Kedokteran, Jakarta.

Stafford, D. A., D. L. Hawkes and R. Horton. 1980. Methane Production from Waste Organic Matter. CRC Press Inc, Florida.

(51)

29 Sugiharto. 1987. Dasar-dasar Pengolahan Air Limbah. Penerbit Universitas

Indonesia, Jakarta.

Sutrisno, C. T. dan E. Suciastuti. 1991. Teknologi Penyediaan Air Bersih. Rineka Cipta, Jakarta.

Tjokroadikoesoemo, P. S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. PT Gramedia, Jakarta.

Uzodinma, E. O and A. U. Ofoefule. 2008. Effect of abattoir cow liquor waste on biogas yield of some agro-industrial waste. Sci. Res. Essays Vol.3 (10). pp. 473-476.

(52)

30

(53)

31 Lampiran 1. Hasil Analisis Sidik Ragam pH Selama Masa Fermentasi

Sumber Keragaman db JK KT Fhit F0.05 F0.01

Lampiran 2. Hasil Analisis Sidik Ragam COD Selama Masa Fermentasi

Sumber Keragaman db JK KT Fhit F0.05 F0.01

Lampiran 3. Hasil Analisis Sidik Ragam TS Selama Masa Fermentasi

Sumber Keragaman db JK KT Fhit F0.05 F0.01

Lampiran 4. Hasil Analisis Sidik Ragam Sianida Selama Masa Fermentasi

Gambar

Gambar 1. Skema Proses Produksi Industri Tapioka Sumber : Bapedal, 1996
Gambar 2. Tahapan Pembentukan Gas Bio
Gambar 3. Desain rangkaian unit bioreaktor sistem batch
Gambar 4.  Nilai pH Selama Proses Fermentasi
+6

Referensi

Dokumen terkait

Pengembangan karir dapat didefinisikan sebagai suatu usaha yang terencana, terorganisir, terdiri dari aktivitas atau proses yang terstruktur yang menghasilkan upaya saling

Setelah diketehui bahwa secara keseluruhan variabel bebas dalam model berpengaruh terhadap Kinerja pegawai Kantor Inspektorat Daerah Kabupaten Bone Bolango, maka

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah provinsi yang merupakan kesatuan masyarakat hukum yang bersifat istimewa dan diberi kewenangan khusus untuk mengatur dan mengurus sendiri

pembacaan surah as-Sajdah dalam ṣalat Ṣubuh di pondok pesantren Miftahul Ulum Jakarta selatan yaitu sebuah tradisi atau kerutinan kegiatan yang diadakan di pondok

Menurut Hasan (2013) dalam produk barang, bauran variabel pemasaran yang terkendali yang sering disebut sebagai basis strategi harus dikelola untuk memenuhi kebutuhan dan

Teman-teman seperjuangan penulis ; Desy, Steffie, Bunga, Evelyn, Sandy, Bima, Anda, Alya, Nora, Mitha, Robby, dan teman-teman penulis lainnya yang telah memberikan pendapat,

penelitian. Komparasi ganda pasca anava dengan metode Scheffe` menunjukan bahwa Fobs&lt;Ftabel, ini artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil

İki gün sonra, şair Paul Demeny'ye yazdığı mek­ tupta şiir anlayışını daha geniş biçimde ortaya kor: Şiir öz­ nel değil nesnel olmalı.. Ben