HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN
PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN
SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA
PENGADEGAN JAKARTA SELATAN
SKRIPSI
NUR HAFIZAH TRISTY
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
Nur Hafizah Tristy. 2009. Hubungan antara Kecepatan Pemerahan dengan Produksi Susu Sapi Perah Di Peternakan Rahmawati Jaya Pengadegan Jakarta Selatan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr Pembimbing Anggota : Ir. Andi Murfi, M.Si
Tingkat produksi susu nasional saat ini masih terbilang rendah bila dibandingkan dengan konsumsi susu nasional, walaupun konsumsi nasional kita merupakan yang paling rendah di Asia Tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa harus dilakukan suatu upaya peningkatan produksi susu. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi produksi susu, salah satunya adalah manajemen pemerahan. Manajemen pemerahan yang mudah untuk dinilai adalah kecepatan pemerahan untuk kemudian dihubungkan dengan produksi susu yang dihasilkan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecepatan pemerahan dengan produksi susu. Penelitian ini dilaksanakan di peternakan sapi perah rakyat Rahmawati Jaya, Pengadegan, Jakarta Selatan pada bulan Desember 2008 sampai bulan Februari 2009.
Penelitian ini menggunakan 52 ekor sapi laktasi di peternakan Rahmawati Jaya dengan jumlah pemerah sebanyak empat orang. Waktu pemerahan yaitu pagi hari pada pukul 05.00 WIB dan sore hari pada pukul 14.00 WIB. Peralatan penunjang penelitian adalah stopwatch, timbangan dengan kapasitas 125 Kg, pita ukur, tabel pengisian data, dan alat tulis.
Metode yang diterapkan pada penelitian ini adalah dengan mencatat data primer yang terdiri dari lama pemerahan, produksi susu (Kg), dan jumlah sapi yang diperah. Dari data lama pemerahan dan produksi susu akan diperoleh data kecepatan pemerahan, dan dari data produksi susu dan jumlah sapi yang diperah akan diperoleh data rata-rata produksi susu, yang kemudian dihubungkan kecepatan pemerahan dengan produksi susu. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan persamaan linier dan ditentukan nilai korelasinya dengan menggunakan program Minitab 14 dan Microsoft Excel.
produksi susu akan semakin tinggi dan sebaliknya semakin lambat kecepatan pemerahan maka produksi susu akan semakin rendah.
ABSTRACT
Corelation Between Milking Speed with Milk Yield Dairy Cows in Rahmawati Jaya Daily Farm in Pengadegan South jakarta
Tristy, N. H., B. P. Purwanto and A. Murfi
The purpose of this research was to find out the correlation between milking speed and average milk yield. This research were conducted at Rahmawati Jaya dairy farm in Pengadegan, South Jakarta. The data consisted of primary and secondary data. Primary data consisted of total milking time, total milk yield, milking speed and average milk yield. Milking speed calculated as total milk yield divided by total milk time. Milk yield were measure using balance for 80 times of morning and afternoon milking. Data was analyzed using linear regression and correlation value. Linear regression of milk yield (Y) (Kg) on milking speed (X) (Kg/minute) for morning and and afternoon milkings were Y = 1.37. X0.586 (r = 0.99) and Y = 1.02.X0.574 (r = 0.99), respectively. It shows that there is a positive correlation between milking speed and milk yield. Increasing in milking speed will be followed by increasing milk yield.
HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN
PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN
SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA
PENGADEGAN JAKARTA SELATAN
NUR HAFIZAH TRISTY D14050465
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN
PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN
SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA
PENGADEGAN JAKARTA SELATAN
Oleh
NUR HAFIZAH TRISTY D14050465
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 5 Agustus 2009
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. Ir. Andi Murfi, M.Si.
Dekan Ketua Departemen
Fakultas Peternakan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 13 September 1987 di Jakarta. Penulis adalah
anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Sauki Mugeni dan Teten Partini.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SD 012 pagi, Grogol Utara,
Jakarta Selatan. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2002 di
SLTP Negeri 161 Jakarta dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada
tahun 2005 di SMA Negeri 78 Jakarta. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada
departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada
tahun 2005.
Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di beberapa organisasi
kemahasiswaan di antaranya Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan
(2007-2008) dan Himpunan Mahasiswa Produksi Peternakan (HIMAPROTER)
Fakultas Peternakan (2006-2007). Skripsi dengan judul Hubungan KecepatanPemerahan dengan Produksi Susu Sapi Perah Di Peternakan Sapi Perah Rakyat Rahmawati Jaya Pengadegan Jakarta Selatan diselesaikan penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Peternakan Institut
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya
dengan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian,
dan penulisan skripsi dengan judul Hubungan KecepatanPemerahan dengan Produksi Susu Sapi Perah Di Peternakan Sapi Perah Rakyat Rahmawati Jaya Pengadegan Jakarta Selatan.
Beberapa alasan yang melatar belakangi dilakukannya penelitian ini di
antaranya adalah 1) produksi susu nasional yang masih rendah khususnya di DKI
Jakarta yang masih belum mengimbangi tingkat konsumsi susu nasional 2) perlu
dilakukan evaluasi pemerahan agar dapat diketahui penyebab rendahnya produksi
susu , serta 3) informasi untuk menilai produksi susu dari proses pemerahan salah
satunya adalah dengan mengukur kecepatan pemerahan di salah satu peternakan sapi
perah rakyat di Jakarta yaitu Peternakan Rahmawati Jaya, Pengadegan, Jakarta
Selatan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
kecepatan pemerahan dengan produksi susu sapi perah di peternakan sapi perah
rakyat Rahmawati Jaya, Pengadegan, Jakarta Selatan untuk menilai tingkat produksi
di peternakan tersebut. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan
memberikan sumbangan yang berarti bagi peternakan yang bersangkutan dan
kemajuan peternakan Indonesia. Amin
Bogor, Agustus 2009
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
PENDAHULUAN ... 1
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu ... 6
Hubungan Lama Pemerahan dan Produksi Susu ... 7
METODE ... 9
Lokasi dan Waktu ... 9
Materi ... 9
Rancangan ... 9
Prosedur ... 10
Lama Pemerahan ... 10
Produksi Susu ... 10
Profil Lokasi Penelitian ... 12
Pemberian Pakan ... 13
Tata Laksana Pemerahan ... 15
Hubungan Kecepatan Pemerahan dengan Produksi Susu ... 21
Pemerahan Pagi Hari ... 22
Pemerahan Sore Hari ... 22
Gabungan Pemerahan Pagi hari dan Sore Hari ... 23
Faktor yang Mempengaruhi Hubungan Kecepatan Pemerahan dengan Produksi Susu ... 24
KESIMPULAN DAN SARAN ... 27
Kesimpulan ... 27
Saran ... 27
UCAPAN TERIMAKASIH ... 28
DAFTAR PUSTAKA ... 29
HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN
PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN
SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA
PENGADEGAN JAKARTA SELATAN
SKRIPSI
NUR HAFIZAH TRISTY
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
Nur Hafizah Tristy. 2009. Hubungan antara Kecepatan Pemerahan dengan Produksi Susu Sapi Perah Di Peternakan Rahmawati Jaya Pengadegan Jakarta Selatan. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan. Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr Pembimbing Anggota : Ir. Andi Murfi, M.Si
Tingkat produksi susu nasional saat ini masih terbilang rendah bila dibandingkan dengan konsumsi susu nasional, walaupun konsumsi nasional kita merupakan yang paling rendah di Asia Tenggara. Hal ini menunjukkan bahwa harus dilakukan suatu upaya peningkatan produksi susu. Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi produksi susu, salah satunya adalah manajemen pemerahan. Manajemen pemerahan yang mudah untuk dinilai adalah kecepatan pemerahan untuk kemudian dihubungkan dengan produksi susu yang dihasilkan.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara kecepatan pemerahan dengan produksi susu. Penelitian ini dilaksanakan di peternakan sapi perah rakyat Rahmawati Jaya, Pengadegan, Jakarta Selatan pada bulan Desember 2008 sampai bulan Februari 2009.
Penelitian ini menggunakan 52 ekor sapi laktasi di peternakan Rahmawati Jaya dengan jumlah pemerah sebanyak empat orang. Waktu pemerahan yaitu pagi hari pada pukul 05.00 WIB dan sore hari pada pukul 14.00 WIB. Peralatan penunjang penelitian adalah stopwatch, timbangan dengan kapasitas 125 Kg, pita ukur, tabel pengisian data, dan alat tulis.
Metode yang diterapkan pada penelitian ini adalah dengan mencatat data primer yang terdiri dari lama pemerahan, produksi susu (Kg), dan jumlah sapi yang diperah. Dari data lama pemerahan dan produksi susu akan diperoleh data kecepatan pemerahan, dan dari data produksi susu dan jumlah sapi yang diperah akan diperoleh data rata-rata produksi susu, yang kemudian dihubungkan kecepatan pemerahan dengan produksi susu. Data tersebut dianalisis dengan menggunakan persamaan linier dan ditentukan nilai korelasinya dengan menggunakan program Minitab 14 dan Microsoft Excel.
produksi susu akan semakin tinggi dan sebaliknya semakin lambat kecepatan pemerahan maka produksi susu akan semakin rendah.
ABSTRACT
Corelation Between Milking Speed with Milk Yield Dairy Cows in Rahmawati Jaya Daily Farm in Pengadegan South jakarta
Tristy, N. H., B. P. Purwanto and A. Murfi
The purpose of this research was to find out the correlation between milking speed and average milk yield. This research were conducted at Rahmawati Jaya dairy farm in Pengadegan, South Jakarta. The data consisted of primary and secondary data. Primary data consisted of total milking time, total milk yield, milking speed and average milk yield. Milking speed calculated as total milk yield divided by total milk time. Milk yield were measure using balance for 80 times of morning and afternoon milking. Data was analyzed using linear regression and correlation value. Linear regression of milk yield (Y) (Kg) on milking speed (X) (Kg/minute) for morning and and afternoon milkings were Y = 1.37. X0.586 (r = 0.99) and Y = 1.02.X0.574 (r = 0.99), respectively. It shows that there is a positive correlation between milking speed and milk yield. Increasing in milking speed will be followed by increasing milk yield.
HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN
PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN
SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA
PENGADEGAN JAKARTA SELATAN
NUR HAFIZAH TRISTY D14050465
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
HUBUNGAN ANTARA KECEPATAN PEMERAHAN DENGAN
PRODUKSI SUSU SAPI PERAH DI PETERNAKAN
SAPI PERAH RAKYAT RAHMAWATI JAYA
PENGADEGAN JAKARTA SELATAN
Oleh
NUR HAFIZAH TRISTY D14050465
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 5 Agustus 2009
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr. Ir. Andi Murfi, M.Si.
Dekan Ketua Departemen
Fakultas Peternakan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan Institut Pertanian Bogor Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 13 September 1987 di Jakarta. Penulis adalah
anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Sauki Mugeni dan Teten Partini.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1999 di SD 012 pagi, Grogol Utara,
Jakarta Selatan. Pendidikan lanjutan tingkat pertama diselesaikan pada tahun 2002 di
SLTP Negeri 161 Jakarta dan pendidikan lanjutan menengah atas diselesaikan pada
tahun 2005 di SMA Negeri 78 Jakarta. Penulis diterima sebagai mahasiswa pada
departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan Institut
Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) pada
tahun 2005.
Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di beberapa organisasi
kemahasiswaan di antaranya Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan
(2007-2008) dan Himpunan Mahasiswa Produksi Peternakan (HIMAPROTER)
Fakultas Peternakan (2006-2007). Skripsi dengan judul Hubungan KecepatanPemerahan dengan Produksi Susu Sapi Perah Di Peternakan Sapi Perah Rakyat Rahmawati Jaya Pengadegan Jakarta Selatan diselesaikan penulis sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Peternakan Institut
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena hanya
dengan rahmat dan karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan studi, penelitian,
dan penulisan skripsi dengan judul Hubungan KecepatanPemerahan dengan Produksi Susu Sapi Perah Di Peternakan Sapi Perah Rakyat Rahmawati Jaya Pengadegan Jakarta Selatan.
Beberapa alasan yang melatar belakangi dilakukannya penelitian ini di
antaranya adalah 1) produksi susu nasional yang masih rendah khususnya di DKI
Jakarta yang masih belum mengimbangi tingkat konsumsi susu nasional 2) perlu
dilakukan evaluasi pemerahan agar dapat diketahui penyebab rendahnya produksi
susu , serta 3) informasi untuk menilai produksi susu dari proses pemerahan salah
satunya adalah dengan mengukur kecepatan pemerahan di salah satu peternakan sapi
perah rakyat di Jakarta yaitu Peternakan Rahmawati Jaya, Pengadegan, Jakarta
Selatan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
kecepatan pemerahan dengan produksi susu sapi perah di peternakan sapi perah
rakyat Rahmawati Jaya, Pengadegan, Jakarta Selatan untuk menilai tingkat produksi
di peternakan tersebut. Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat dan
memberikan sumbangan yang berarti bagi peternakan yang bersangkutan dan
kemajuan peternakan Indonesia. Amin
Bogor, Agustus 2009
DAFTAR ISI
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
PENDAHULUAN ... 1
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu ... 6
Hubungan Lama Pemerahan dan Produksi Susu ... 7
METODE ... 9
Lokasi dan Waktu ... 9
Materi ... 9
Rancangan ... 9
Prosedur ... 10
Lama Pemerahan ... 10
Produksi Susu ... 10
Profil Lokasi Penelitian ... 12
Pemberian Pakan ... 13
Tata Laksana Pemerahan ... 15
Hubungan Kecepatan Pemerahan dengan Produksi Susu ... 21
Pemerahan Pagi Hari ... 22
Pemerahan Sore Hari ... 22
Gabungan Pemerahan Pagi hari dan Sore Hari ... 23
Faktor yang Mempengaruhi Hubungan Kecepatan Pemerahan dengan Produksi Susu ... 24
KESIMPULAN DAN SARAN ... 27
Kesimpulan ... 27
Saran ... 27
UCAPAN TERIMAKASIH ... 28
DAFTAR PUSTAKA ... 29
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Produksi dan Kadar Lemak Susu Beberapa Bangsa Sapi Perah .... 3
2. Kandungan BK, PK, dan TDN dalam Pakan ... 4
3. Populasi Sapi di Peternakan Rahmawati Jaya ... 13
4. Kandungan Nutrisi dalam Pakan yang diberikan Pagi Hari ... 14
5. Kandungan Nutrisi dalam Pakan yang diberikan Sore Hari ... 15
6. Rata-rata Produksi Susu Sapi Perah di Peternakan Rahmawati Jaya per Ekor per Hari ... 17
7. Komposisi PK dan TDN dalam Pakan dan Kebutuhan PK dan TDN untuk Hidup Pokok dan Sisa PK dan TDN... ... 18
8. Perbedaan Produksi Susu Berdasarkan Kandungan Pakan dengan Hasil Penelitian ... 18
9. Produksi Susu Sapi Perah di Peternakan Rahmawati Jaya dan Beberapa Daerah di Indonesia ... 20
10. Kecepatan Pemerahan pada Pagi Hari dan Sore Hari ... 22
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Grafik Hubungan antara Kecepatan Pemerahan dengan Rata-rata
Produksi Susu pada Pemerahan Pagi Hari Per Ekor ... 22
2. Grafik Hubungan antara Kecepatan Pemerahan dengan Rata-rata
Produksi Susu pada Pemerahan Sore Hari Per Ekor ... 23
3. Grafik Hubungan Antara Kecepatan Pemerahan dengan Rata-rata
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Analisis Ragam terhadap Hubungan antara Kecepatan Pemerahan
dengan Produksi Susu ... 32
2. Data Lingkar Dada, Bobot Badan dan Body ScoringSapi Perah di
Peternakan Rahmawati Jaya... 33
PENDAHULUAN Latar Belakang
Sapi perah merupakan komoditi peternakan yang memiliki potensi yang besar
untuk dapat dikembangkan. Hal tersebut didasarkan pada tingginya kebutuhan akan
susu di kalangan masyarakat Indonesia. Susu merupakan salah satu bahan makanan
yang memiliki kandungan gizi yang tinggi dan juga lengkap serta dapat dikonsumsi
oleh semua umur, akan tetapi angka konsumsi susu di Indonesia adalah yang
terendah di Asia Tenggara. Berdasarkan data Organisasi Pangan Dunia (FAO, 2008),
besarnya konsumsi susu penduduk Indonesia saat ini di bawah 10 liter atau tepatnya
hanya 9 liter/kapita/ tahun, tertinggal sekalipun dari Vietnam yang tingkat konsumsi
susunya sebanyak 10,7 liter/kapita/tahun. Bahkan, kalah jauh dibandingkan
Singapura 32 liter, Malaysia 25,4 liter, dan Filipina sebanyak 11,3 liter/kapita/tahun.
Tingkat konsumsi ini pun pada dasarnya masih belum dapat diimbangi oleh produksi
susu nasional. Data menunjukkan, bahwa produksi susu nasional pada tahun 2008
hanya mencapai 574.406 ton (Dirjen Peternakan, 2008).Berdasarkan data tersebut
perlu dilakukan upaya peningkatan produksi susu.
Peningkatan produksi susu nasional dapat dilakukan dengan mengembangkan
jumlah peternakan yang ada di Indonesia yang menyebar ke berbagai daerah mulai
dari skala rakyat sampai skala industri, tidak terkecuali di Jakarta. Berdasarkan data
dari Dirjen Peternakan (2008), populasi peternakan sapi perah rakyat di Jakarta tahun
2008 adalah 3.710 ekor.Salah satunya adalah peternakan sapi perah rakyat
Rahmawati Jaya, Pengadegan, Jakarta Selatan
Di bidang peternakan terdapat beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
jumlah produksi susu, seperti lingkungan, kondisi fisiologis dari ternak, umur ternak,
tata laksana pemberian pakan, serta manajemen pemerahan. Manajemen peternakan
yang diterapkan dalam sebuah peternakan sangat berhubungan erat dengan
produktivitasnya.
Manajemen pemerahan di sebuah peternakan dapat meliputi beberapa hal di
antaranya waktu pemerahan, selang pemerahan, frekuensi pemerahan dan tatalaksana
pemerahan. Secara umum, jadwal pemerahan di peternakan sapi perah di Indonesia
adalah pagi hari dan sore hari. Berarti frekuensi pemerahannya adalah dua kali
pihak untuk tata laksana pemerahan terdapat dua metode yaitu dengan menggunakan
mesin perah dan tenaga manusia. Pemerahan dengan mesin perah biasa digunakan di
peternakan dengan skala produksi yang besar, sedangkan tenaga manusia atau
menggunakan tangan pada umumnya diterapkan pada skala peternakan rakyat.
Peternakan rakyat di Indonesia jumlahnya lebih banyak dibandingkan peternakan
skala industri, demikian pula di Jakarta. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi
dalam tata laksana pemerahannya, agar dapat meningkatkan produktivitas susu
secara nasional.
Produksi susu yang berasal dari metode pemerahan dengan tenaga manusia
tergantung dari beberapa faktor yang berkaitan langsung dengan pemerah.
Faktor-faktor tersebut antara lain keterampilan pemerah, sifat pemerah, dan kecepatan
pemerahan atau waktu yang dibutuhkan untuk memerah. Keterampilan pemerah dan
sifat pemerah secara umum sulit untuk dinilai dan diamati karena bersifat subyektif
dan perlu dilakukan pendekatan yang lebih personal serta membutuhkan waktu yang
cukup lama. Oleh karena itu untuk mengukur efektivitas pemerahan dapat dilihat dari
kecepatan pemerahannya yang merupakan salah satu aspek tata laksana pemerahan.
Sehingga, dapat diketahui hubungan antara kecepatan pemerahan dengan produksi
susu yang dihasilkan pada suatu peternakan sapi perah.
Tujuan
Tujuan dari penelitian ini adalah mengevaluasi tata laksana pemerahan yang
dilakukan di peternakan sapi perah rakyat Rahmawati Jaya, Pengadegan, Jakarta
Selatan, untuk mengetahui tingkat produksi susu dengan melihat hubungan antara
TINJAUAN PUSTAKA Sapi Perah Di Indonesia
Sapi yang paling banyak dipelihara di Indonesia adalah bangsa Fries Holland
(FH) dan peranakannya. Sapi FH berasal dari Belanda yang kemudian menyebar ke
Eropa dan seluruh dunia. Sapi FH murni mempunyai ciri warna bulu hitam-putih
atau merah-putih dengan corak yang jelas (Sudono, 1999). Diketahui bahwa jumlah
populasi sapi perah pada tahun 2008 adalah sekitar 407.767 (Dirjen Peternakan,
2008). Menurut Blakely dan Bade (1998) sapi FH merupakan bangsa sapi perah yang
memilki tingkat produksi air susu tertinggi dengan kadar lemak terendah
dibandingkan sapi perah lainnya.
Tabel 1. Produksi Susu Berbagai Bangsa Sapi
Bangsa
Tahun Beranak
1980 1990 1995 1999 2002
(Pon) ---Ayrshire 13,114 14,799 15,684 17,424 17,880 Brown Swiss 14,172 16,250 17,493 20,148 20,869 Guernsey 11,666 13,297 14,051 15,963 16,398 Holstein 17,566 20,178 21,618 24,380 24,996 Jersey 11,437 13,407 14,812 16,940 17,663
Milking Shorthorn 11,560 14,011 15,341 16,704 17,144 Sumber : Ensminger dan Howard (2006)
Lingkungan panas seperti di Indonesia sangat mempengaruhi produksi susu
sapi perah, terutama sapi FH. Manajemen yang baik menjadi sangat penting
dilakukan untuk mengatasi iklim tersebut. Di Indonesia, daerah yang cocok untuk
sapi FH adalah daerah pegunungan dengan ketinggian sekurang-kurangnya 800
meter di atas permukaan laut dan produksi akan turun rata-rata 4% bila ketinggian
turun 100 meter. Pada suhu lingkungan sekitar 18,3oC dan RH 55%, sapi FH di
kawasan tropika tidak menunjukkan penampilan yang berbeda dengan di negeri
asalnya (Sutardi, 1981).
Suhu lingkungan yang optimum untuk sapi perah dewasa berkisar antara suhu
5 – 21oC, sedangkan kelembaban udara yang baik untuk untuk pemeliharaan sapi
Lokasi yang baik untuk beternak sapi perah adalah yang mempunyai
ketinggian sekurang-kurangnya 800 m di atas permukaan laut dengan suhu rataan
18,3oC dan kelembaban 55% (Sutardi, 1981).
Etgen et al., (1987) menyatakan bahwa rasio untuk hijauan dalam bahan kering ransum harus berkisar 40-70%, jika rasio hijauan kurang dari 40%, maka
kadar lemak susu akan turun atau sebaliknya jika rasionya melebihi 70%, produksi
susu yang tinggi akan tercapai. Siregar (1996) juga sependapat dengan pernyataan di
atas, untuk mencapai produksi yang tinggi dengan tetap memperlakukan kadar lemak
susu dalam batas-batas yang memenuhi persyaratan kualitas, rasio hijauan konsentrat
adalah 60 : 40. Sapi perah yang sedang berproduksi dapat hanya diberikan hijauan,
namun produksi susu akan sangat rendah, sehingga tidak akan ekonomis. Demikian
pula halnya apabila yang diberikan seluruhnya adalah pakan konsentrat akan tercapai
produksi susu yang maksimal, namun kualitas susu yang dihasilkan akan menurun,
dan hal ini juga tidak akan ekonomis (Siregar, 2003).
Tabel 2. Kandungan BK, PK, dan TDN dalam Pakan
Jenis Pakan Komposisi (%) BK PK TDN Rumput Lapang1 24.4 8.2 56.2
Singkong1 32.3 3.3 81.8
Konsentrat1 85.3 11 76
Kulit Kacang Kedele2 91 12 3.48
Ampas Tempe3 20.5 13
-Sumber : 1 Sutardi (1981)
2
Pada umumnya pemerahan dilakukan dua kali sehari, yakni pada pagi dan
sore hari. Namun, jika produksi susu yang dihasilkan lebih dari 25 liter/hari,
Jarak Pemerahan
Jarak pemerahan dapat menentukan jumlah susu yang dihasilkan. Jika
jaraknya sama, yakni 12:12, jumlah susu yang dihasilkan pada pagi hari dan sore
akan sama. Namun, jika jarak pemerahan tidak sama, jumlah susu yang dihasilkan
pada sore hari lebih sedikit daripada susu yang dihasilkan pada pagi hari (Sudono et al., 2003).
Cara Pemerahan
Pemerahan yang baik dilakukan dengan cara yang benar dan alat yang bersih.
Tahapan-tahapan pemerahan harus dilakukan dengan benar agar sapi tetap sehat dan
terhindar dari penyakit yang dapat menurunkan produksinya. Tahapan pemerahan
dengan cara manual atau dengan tangan adalah sebagai berikut:
Membersihkan kandang dari segala kotoran.
Mencuci daerah lipatan paha sapi yang akan diperah.
Memberi konsentrat kepada sapi yang akan diperah, sehingga ketika
dilakukan pemerahan, sapi sedang makan dalam keadaan tenang.
Membersihkan alat-alat pemerahan susu (ember dan alat takar susu) dan cane
susu.
Membersihkan tangan pemerah
Mencuci ambing dengan air bersih, kemudian melapnya dengan lap yang
bersih.
Melakukan uji mastitis setiap sebelum dilakukan pemerahan. (Sudono et al., 2003).
Produksi Susu
Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas dan produksi susu sapi perah
adalah bangsa sapi, lama bunting, masa laktasi, besar sapi, estrus atau birahi, umur
sapi, selang beranak, masa kering, frekuensi pemerahan, dan tata laksana pemberian
pakan. Sapi perah hendaknya diberi pakan yang berkualitas tinggi sehingga dapat
berproduksi sesuai dengan kemampuannya. Penambahan pakan untuk sapi yang
sedang mengalami penurunan produksi tidak akan dapat menigkatkan produksinya
Peluang untuk meningkatkan produksi susu nasional itu dapat dikategorikan
dalam tiga kegiatan utama, yakni: (1) penambahan populasi sapi perah betina; (2)
perbaikan pemberian pakan dan tatalaksana; serta (3) perbaikan intensifikasi
pelaksanaan Inseminasi Buatan (IB) (Siregar, 2003)
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Susu
Sudono (1999) menyatakan bahwa produksi susu dipengaruhi oleh bangsa
sapi, lama bunting, masa laktasi, besarnya sapi, masa birahi, umur, selang beranak,
masa kering, frekuensi pemerahan, makanan, dan tata laksana. Sedangkan Haryati
(2001) menyatakan umur, skor kondisi tubuh (SKT), dan masa kering tidak
berpengaruh tehadap produksi susu rata-rata puncak laktasi namun SKT memiliki
kontribusi terbesar terhadap produksi susu rata-rata puncak laktasi bila dibandingkan
umur dan masa laktasi.
Pemeliharaan sapi perah laktasi di daerah dataran rendah umumnya
menunjukkan kemampuan bereproduksi susu yang lebih rendah dibandingkan
dengan dataran tinggi. Produksi susu yang lebih rendah tersebut disebabkan suhu
udara yang relatif panas di dataran rendah sehingga konsumsi ransum menurun dan
terjadinya energi tambahan yang dibutuhkan untuk pengaturan regulasi panas tubuh.
Untuk mencapai produksi susu yang tinggi, pemeliharaan sapi perah laktasi di
dataran rendah harus diperhatikan dengan cara: (a) pemberian ransum dalam
komposisi hijauan dan konsentrat yang sesuai, kuantitas yang memenuhi kebutuhan
zat gizi, kualitas yang lebih tinggi dan frekuensi pemberian yang lebih sering, (b)
pembangunan kandang dengan bahan dan konstruksi kandang yang mampu memberi
kenyamanan terhadap sapi perah laktasi (Siregar, 1996).
Perwito (1987) menyatakan bahwa di dataran tinggi ternak memperbanyak
konsumsi pakannya sebagai upaya untuk mengatasi dinginnya suhu lingkungan.
Dalam lingkungan dingin ternak akan meningkatkan produksi panas untuk mencegah
agar suhu tubuhnya tidak turun sehingga ternak meningkatkan konsumsi pakannya,
sebaliknya produksi panas akan dibuang bila suhu lingkungan meningkat sehingga
ternak mengurangi konsumsi pakan. Hal ini sesuai dengan teori termostatik yang
mengatakan bahwa hewan makan (lapar) untuk mencegah suhu tubuhnya tidak turun
tidak naik terus (hypertermia). Panas yang timbul dari oksidasi makanan berperan
sebagai pembawa berita ke pusat di hypotalamus untuk menyesuaikan konsumsi
makanan.
Hubungan Lama Pemerahan dengan Produksi Susu
Terdapat hubungan yang positif antara produksi susu dengan lama
pemerahan, dimana semakin lama pemerahan maka nilai produksi susu akan semakin
tinggi dan rataan sapi perah membutuhkan waktu 5 menit untuk dapat mengeluarkan
susu (Ali, 1999).
Faktor yang mempengaruhi proses pengeluaran susu adalah proses
perangsangan atau stimulasi, dimana pada handling milking perangsangan terjadi pada saat pencucian ambing dengan menggunakan air hangat (120oF – 130oF atau
48.8oC – 54.4oC). Proses perangsangan ini berlangsung sangata cepat yaitu 10 detik.
Apabila perangsangan tidak dilakukan secara sempurna atau kurang dari 10 detik
maka susu yang keluar akan lebih sedikit. Pemerahan yang diawali dengan
perangsangan yang sempurna akan meningkatkan produksi susu dan lamanya
pemerahan akan meningkat. Umumnya ternak perah akan megeluarkan susu tiga
sampai enam menit, tergantung dari jumlah susu dan karakteristik ternak
(Ensminger dan Howard, 2006).
Pengeluaran susu oleh ambing dipengaruhi oleh hormon oksitosin yang
dilepaskan oleh kelenjar pituitary posterior. Hormon ini merupakan stimulator yang akan memberikan perintah kepada alveolus pada ambing untuk mengeluarkan susu.
Setelah 45 detik perangsangan ambing akan menjadi padat dan penuh oleh susu yang
menandakan bahwa sapi telah siap untuk diperah. Sapi yang mengalami stress akan
mengalami penghambatan laju oksitosin dalam pembuluh darah yang menyempit
akibat peningkatan hormon adrenalin (Ensminger dan Howard, 2006).
Menurut Thompson et al.,(1963), salah satu efek dari suhu panas pada ternak adalah tekanan pada aktivitas kelenjar tiroid yang kemudian menghasilkan laju
metabolisme basal yang tinggi. Perubahan ini menyebabkan ternak mempertahankan
suhu tubuhnya terhadap lingkungan panas dengan jalan mengurangi produksi
panasnya melalui penguapan panas dari tubuh. Ternak terengah-engah dan
aktivitas kelenjar tiroid juga merangsang korteks adrenal, akibatnya ternak
meningkatkan plasma glukokortikoid yang berguna untuk membantu
mempertahankan homeostatis, sehingga laju pertumbuhan dan sekresi susu akan
METODE Lokasi dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di sebuah peternakan sapi perah rakyat di Jakarta
yaitu peternakan sapi perah Rahmawati Jaya di Jalan Pengadegan Utara III No.7,
Jakarta Selatan. Waktu penelitian akan berlangsung dari bulan Desember 2008
sampai Februari 2009.
Materi
Alat-alat yang digunakan pada saat penelitian antara lain timbangan kapasitas
125 kilogram merck MAGAKO, stopwatch,pita ukur, ember, alat dokumentasi, tabel pengisian data, dan alat tulis.
Bahan-bahan yang digunakan pada saat penelitian adalah susu yang
diproduksi oleh ternak sapi perah yang ada di peternakan sapi perah rakyat
Rahmawati Jaya, Pengadegan, Jakarta Selatan, dengan jumlah ternak laktasi
sebnayak 52 ekor dan pemerah sebanyak 4 orang.
Rancangan
Model yang digunakan untuk analisis pengaruh kecepatan pemerahan
terhadap produksi susu sapi perah adalah regresi non-linier. Persamaan regresi antara
kecepatan pemerahan dengan produksi susu dikelompokan berdasarkan waktu
pemerahan yaitu pemerahan pagi hari dan sore hari. Analisis data yang pertama kali
dilakukan adalah analisis korelasi untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
kecepatan pemerahan dengan jumlah produksi susu, apabila terdapat korelasi nyata
maka dilanjutkan dengan mencari persamaan regresinya. Analisis korelasi dan
regresi linier dihitung dengan menggunakan rumus Walpole (1982).
Model Analisis Korelasi:
n Σxiyi –(Σxi)( Σyi)
Model Analisis Regresi:
yi : Peubah prediktor (produksi susu)
xi : Peubah respons (kecepatan pemerahan)
a : Intersep
b : Koefisien prediktor
n : Jumlah sampel yang digunakan
e : galat
Perubahan kecepatan pemerahan dan produksi susu sapi perah dianalisis
dengan menggunakan nilai rata-rata, korelasi, dan persamaan regresi linier
sederhana. Program komputer yang digunakan untuk analisis data adalah Microsoft
Excel dan Minitab 14.
Prosedur
Data penelitian terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer terdiri
aats kecepatan pemerahan, lama pemerahan, produksi susu (Kg), dan jumlah sapi
yang diperah. Pengambilan data primer dilakukan dengan cara sebagai berikut:
Lama Pemerahan
Lamanya waktu pemerahan diukur dengan cara menghitung lamanya
pemerah melakukan pemerahan. Waktu dimulai dari semenjak pemerah memulai
memerah untuk memenuhi satu ember susu dan waktu dihentikan pada saat pemerah
berhenti memerah saat ember susu telah penuh. Lamanya waktu pemerahan dicatat
dalam satuan menit.
Produksi Susu
Banyaknya produksi susu diperoleh dengan cara menimbang satu ember susu
badan dengan kapasitas 125 kilogram merck MAGAKO. Banyaknya susu yang diperoleh dicatat dalam satuan kilogram.
Kecepatan Pemerahan
Data kecepatan pemerahan dihitung dengn menggunakan rumus:
Kecepatan pemerahan = Produksi susu total (Kg) .
Lamanya pemerahan (menit)
Rata-rata Produksi Susu
Rata-rata produksi susu = Produksi susu total (Kg) .
Jumlah sapi yang diperah (ekor)
Bobot Badan
Pengukuran bobot badan digunakan sebagai data pendukung. Pengukuran
bobot badan diukur dengan mengukur lingkar dada sapi perah. Lingkar dada sapi
diukur dengan menggunakan pita ukur penjahit. Lingkar dada diukur pada bidang
yang terbentuk mulai dari pundak sampai dasar dada di belakang siku dan tulang
belikat. Penaksiran bobot badan dihitung dengan menggunakan rumus Schoorl
(Sudono et al., 2003)
Bobot Badan Sapi (Kg) = {Lingkar Dada (cm) + 22}²
100
Data Sekunder
Data sekunder terdiri dari jumlah produksi susu, ketinggian lokasi dan
pemberian pakan dari peternakan sapi perah rakyat lain di Indonesia, data populasi
ternak perah di DKI Jakarta tahun 2008, data produksi susu nasional tahun 2008 dan
data konsumsi susu per kapita nasional tahun 2007 yang diperoleh dari literatur yang
telah ada. Selain data tersebut, data sekunder juga terdiri dari profil peternakan
tempat penelitian berlangsung yang diperoleh dari kantor kelurahan Pengadegan dan
jenis serta asumsi jumlah pakan yang diberikan yang diperoleh dari wawancara
HASIL DAN PEMBAHASAN Profil Lokasi Penelitian
Peternakan Rahmawati Jaya didirikan pada tahun 1970 dan berlokasi di
provinsi DKI Jakarta, tepatnya di Jalan Pengadegan Utara III No.7, Jakarta Selatan.
Lokasi penelitian ini berada pada ketinggian tanah 17 m di atas permukaan laut dan
beriklim panas dengan suhu rata-rata per tahun 25-31°C serta tingkat kelembaban
berkisar antara 80-90%. Kondisi tersebut memang kurang sesuai untuk ternak sapi
perah dimana bangsa sapi perah yang dominan di ternakan di peternakan ini adalah
Fries Holand (FH). Menurut Sutardi (1981) lokasi yang baik untuk beternak sapi
perah adalah yang mempunyai ketinggian sekurang-kurangnya 800 m di atas
permukaan laut dengan temperatur rataan 18,3oC dan kelembaban 55%.
Lingkungan sekitar peternakan merupakan lingkungan padat penduduk.
Peternakan Rahmawati Jaya berada di tengah-tengah pemukiman penduduk dan tidak
jauh dari jalan raya dan jalan bebas hambatan, lebih tepatnya berdekatan dengan
jalan M.T. Haryono, Pancoran, dan Cawang yang akrab dengan hiruk pikuk
kehidupan perkotaan yang sarat akan polusi udara dan polusi suara yang disebabkan
oleh tingginya jumlah kendaraan bermotor yang lewat setiap harinya. Selain itu,
lokasi peternakan ini juga dikelilingi oleh gedung-gedung perkantoran dan pusat
perbelanjaan. Kondisi lingkungan yang seperti ini pada dasarnya tidak sesuai untuk
ternak sapi perah yang merupakan ternak yang merasa lebih nyaman dengan
lingkungan yang tenang, selain itu ternak sapi perah relatif lebih mudah stress bila
dibandingkan dengan ternak lainnya.
Populasi ternak sapi perah di peternakan Rahmawati Jaya terbilang besar
untuk skala peternakan rakyat khususnya untuk wilayah DKI Jakarta. Populasi sapi
perah di DKI Jakarta berdasarkan data dari Dirjen Peternakan (2008) adalah 3710
ekor. Namun, sayangnya di peternakan ini tidak dilakukan recording. Persentase laktasi di peternakan sapi perah Rahmawati Jaya adalah 59.77% dengan rata-rata
bobot badan sapi laktasi di peternakan Rahmawati Jaya adalah 373 Kg. Populasi
Tabel 3. Populasi Sapi di Peternakan Rahmawati Jaya
Jenis Sapi Jumlah (ekor) Satuan Ternak (ekor)
Pejantan 16 16
Pakan yang diberikan di peternakan Rahmawati Jaya tidak berbeda dengan
peternakan sapi perah lainnya. Sapi diberi beberapa jenis pakan diantaranya singkong
yang diperoleh dari pasar Kramat Jati, kulit kacang kedele yang diperoleh dari pabrik
di daerah Hutan Kayu, ampas tempe yang diperoleh dari pabrik tempe di sekitar
lokasi penelitian dan konsentrat yang diperoleh dari koperasi sapi perah rakyat
daerah DKI Jakarta (KOPERDA). Jumlah pakan yang diberikan sebanyak 2.5 Kg
singkong, 2.5 Kg konsentrat komersil, 2.5 Kg kulit kacang, dan 10 Kg ampas tempe
untuk tiap ekor ternak dan tidak dibedakan berdasarkan status fisiologis ternak.
Pakan-pakan tersebut dimasukkan dan dicampurkan ke dalam tempat pakan serta
dicampur dengan air minum yang berfungsi sebagai pelarut pakan, sehingga pakan
mudah dikonsumsi oleh ternak. Pemberian pakan konsentrat yang dicampur dengan
air minum memiliki kelebihan dan kelemahan. Pemberian konsentrat dan pakan lain
yang dicampur dengan air akan mengurangi tercecernya pakan, sehingga pakan
tersebut dapat sepenuhnya dikonsumsi oleh ternak. Kelemahan dari pemberian pakan
yang dicampur dengan air adalah dapat menurunkan kecernaan bahan kering dan
bahan organik konsentrat di dalam rumen ( Putra, 2004). Pakan-pakan non hijauan
ini diberikan dua kali sehari yaitu pagi hari pada pukul 08.00 WIB dan siang hari
pada pukul 13.00 WIB.
Pakan hijauan juga diberikan sebanyak dua kali sehari yaitu pagi hari pada
pukul 06.00 WIB dan sore hari pada pukul 18.00 WIB. Sama halnya dengan
pemberian pakan lainnya, pemberian hijauan juga tidak memiliki patokan tertentu
untuk jumlahnya dan tidak dibedakan berdasarkan kondisi fisiologis dari ternak.
Hijauan yang diberikan adalah rumput lapang dengan pemberian kurang lebih 10 Kg
diberikan pada sore hari lebih banyak bila dibandingkan dengan hijauan yang
diberikan pada pagi hari. Hal tersebut disebabkan terbatasnya jumlah hijauan.
Terbatasnya jumlah hijauan disebabkan lahan tumbuh hijauan di Jakarta semakin
berkurang, karena terjadinya alih fungsi lahan menjadi perumahan, gedung-gedung
perkantoran, dan pusat perbelanjaan. Peternakan Rahmawati Jaya berupaya
memenuhi kebutuhan hijauan yang dibutuhkan ternak, dimana hijauan yang
diberikan diperoleh dari berbagai lokasi di Jakarta Barat yang dicari oleh empat
orang pekerja dari pagi hari sampai sore hari. Oleh sebab itu, pemberian pakan
hijauan yang seharusnya diberikan lebih banyak dibanding konsentrat dengan
perbandingan hijauan banding konsentrat 60:40 sulit untuk dipenuhi oleh peternakan
sapi perah di Jakarta. Secara umum, peternak hanya berusaha untuk mengenyangkan
ternak mereka, tidak melihat dari kebutuhan nutrisinya. Menurut Siregar (1996),
untuk mencapai produksi yang tinggi dengan tetap memperlakukan kadar lemak susu
dalam batas-batas yang memenuhi persyaratan kualitas, rasio hijauan konsentrat
adalah 60 : 40. Pakan-pakan yang diberikan di Peternakan Rahmawati Jaya memiliki
komposisi pakan seperti yang tertera pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Nutrien dalam Pakan yang diberikan Pagi Hari
Jenis Pakan Pemberian (Kg) Komposisi (Kg) BK PK TDN Rumput Lapang 5 1.22 0.1 0.69 Singkong 2.5 0.81 0.025 0.66 Konsentrat 2.5 2.13 0.235 1.62 Kulit kacang Kedele 2.5 2.28 0.273 0.08
Ampas Tempe 10 2.05 0.27
-Jumlah 8.49 0.903 3.05
Tabel 5. Kandungan Nutrien dalam Pakan yang diberikan Sore Hari
Jenis Pakan Pemberian (Kg) Komposisi (Kg)
BK PK TDN
Rumput Lapang 10 2.44 0.2 1.37 Singkong 2.5 0.81 0.025 0.66 Konsentrat 2.5 2.13 0.235 1.62 Kulit Kacang Kedele 2.5 2.28 0.273 0.88
Ampas Tempe 10 2.05 0.27
-Jumlah 9.71 1.003 3.73
Persentase 10.33% 38.41%
Tampak pada Tabel 3 dan Tabel 4 perbedaan komposisi kandungan nutrien
dalam bahan pakan yang diberikan pada pagi hari dan sore hari. Kandungan nutrien
pada pakan yang diberikan pada sore hari lebih tinggi dibandingkan kandungan
nutrien pada pakan yang diberikan pada pagi hari. Hal ini disebabkan jumlah hijauan
yang diberikan pada sore hari lebih banyak dua kali lipat dibandingkan hijauan yang
diberikan pada pagi hari. Persentase kandungan PK dan TDN dari bahan kering
dalam pakan yang diberikan masih kurang, karena protein kasar yang dibutuhkan
oleh sapi perah adalah 14% dan kandungan TDN yang dibutuhkan oleh sapi perah
adalah 68%.
Susu yang diproduksi di peternakan sapi perah rakyat Rahmawati Jaya
sebagian besar didistribusikan langsung ke rumah-rumah tangga di wilayah Jakarta
khususnya Jakarta Selatan. Susu yang dipasarkan dapat berupa susu segar dan susu
pasteurisasi. Harga dari susu pasteurisasi adalah Rp. 8000 per liter, sedangkan untuk
susu segar seharga Rp.7000 per liter.
Tata Laksana Pemerahan
Tata laksana pemerahan di peternakan Rahmawati Jaya diawali dengan
membersihkan kandang terlebih dahulu baik pada pemerahan pagi maupun sore hari,
yang membedakan pemerahan pagi hari dan sore hari adalah pemberian pakan. Pada
pemerahan pagi hari ternak diberi pakan konsentrat dan hijauan setelah pemerahan,
sedangkan pada pemerahan sore hari ternak yang akan diperah diberi pakan terlebih
dahulu yaitu berupa pakan konsentrat, sedangkan pakan hijauan diberikan setelah
pemerahan. Pemberian hijauan setelah pemerahan baik dilakukan, sebab apabila
berkaitan dengan bau khas hijauan. Hijauan yang mempunyai bau khas akan
menyebabkan susu terkontaminasi oleh bau-bauan dari hijauan yang diberikan. Hal
tersebut dapat terjadi karena susu mempunyai sifat dapat mengasorbsi bau-bauan
yang ada di sekitarnya.
Apabila kandang telah bersih, maka ternak siap untuk diperah dengan
terlebih dahulu peralatan untuk memerah yaitu ember untuk menampung susu
dibersihkan terlebih dahulu dan dikeringkan, untuk meminimalisir kontaminasi.
Pemerah sebelum mulai memerah mencuci tangan mereka terlebih dahulu. Ambing
dan puting sapi yang akan diperah dibersihkan terlebih dahulu dengan air bersih,
kemudian diolesi oleh margarin dengan tujuan memudahkan proses pemerahan.
Setiap pemerah umumnya selalu memerah sapi yang sama. Berdasarkan hasil
pengamatan saat penelitian, tahapan pemerahan di peternakan Rahmawati Jaya telah
sesuai dengan pendapat Sudono, et al (2003), tahapan pemerahan adalah sebagai berikut:
Membersihkan kandang dari segala kotoran.
Mencuci daerah lipatan paha sapi yang akan diperah.
Memberi konsentrat kepada sapi yang akan diperah, sehingga ketika
dilakukan pemerahan, sapi sedang makan dalam keadaan tenang.
Membersihkan alat-alat pemerahan susu (ember dan alat takar susu) dan can
susu.
Membersihkan tangan pemerah
Mencuci ambing dengan air bersih, kemudian melapnya dengan lap yang bersih.
Melakukan uji mastitis setiap sebelum dilakukan pemerahan.
Perbedaan tahapan hanya terletak pada pengujian mastitis sebelum pemerahan.
Sapi yang akan diperah di peternakan Rahmawati Jaya tidak diuji mastitis terlebih
dahulu.
Produksi Susu
Peternakan Rahmawati Jaya melakukan pemerahan sebanyak dua kali sehari
yaitu pagi hari pada pukul 05.00 WIB dan sore hari pada pukul 14.00 WIB. Produksi
susu yang dihasilkan dari kedua waktu pemerahan tidaklah sama, hal tersebut dapat
Tabel 6. Rata-rata Produksi Susu Sapi Perah di Peternakan Rahmawati Jaya per Ekor per Hari
Waktu Pemerahan Produksi susu (Kg/pemerahan)
Pagi hari 2.75 ± 0.80
Sore hari 1.63 ± 0.41
Berdasarkan hasil di atas rata-rata produksi susu per ekor pada pagi hari yaitu
2.75 Kg dengan produksi susu tertinggi sebesar 6 Kg, lebih tinggi bila dibandingkan
dengan rata-rata produksi susu per ekor pada sore hari yang hanya 1.63 Kg dan
produksi tertinggi hanya 3 Kg. Perbedaan tersebut dapat disebabkan manajemen
pemerahan yang diterapkan oleh peternakan tersebut, manajemen pemerahan yang
dimaksud adalah selang pemerahan dan jumlah pemberian pakan.
Selang pemerahan yang diterapkan di peternakan Rahmawati Jaya adalah
9:15 jam. Hal ini menunjukkan bahwa selang waktu pemerahan dari pagi ke sore
lebih singkat bila dibandingkan dengan selang pemerahan dari sore ke pagi hari
berikutnya. Hal tersebut menyebabkan produksi susu pada pagi hari lebih tinggi bila
dibandingkan produksi susu pada sore hari. Hasil ini sesuai dengan pernyataan
Sudono et al. (2003) yaitu jarak pemerahan dapat menentukan jumlah susu yang dihasilkan. Jika jaraknya sama, yakni 12 jam, jumlah susu yang dihasilkan pada pagi
hari dan sore akan sama. Namun, jika jarak pemerahan tidak sama (sore lebih singkat
daripada pagi), jumlah susu yang dihasilkan pada sore hari lebih sedikit daripada
susu yang dihasilkan pada pagi hari berikutnya. Ketidaksesuaian selang pemerahan
ini umum terjadi di peternakan rakyat. Berdasarkan keterangan yang diberikan
pemerah, hal tersebut disebabkan waktu yang ditetapkan oleh koperasi untuk
mengumpulkan susu.
Perbedaan produksi susu pagi dan sore hari dapat disebabkan pula oleh
perbedaan tata laksana pemberian pakan pada pagi hari dan sore hari. Jumlah hijauan
yang lebih banyak pada sore hari menyebabkan jumlah produksi susu pagi hari
berikutnya lebih banyak bila dibandingkan dengan produksi susu sore hari. Serat
kasar yang ada dalam hijauan memiliki peran yang penting dalam pembentukan susu.
Pakan yang diberikan untuk sapi laktasi di peternakan Rahmawati Jaya tidak
hijauan menyebabkan peternak mencari alternatif pengganti serat yaitu dengan
menggunakan ampas tempe. Menurut Putra (2004) ampas tempe memiliki presentase
serat kasar yang cukup tinggi yaitu 70.2%, akan tetapi protein kasar hanya sebesar
13%, sehingga tidak menambah protein kasar dalam konsentrat yang diperlukan
untuk memproduksi susu, sehingga pada akhirnya target peternak Rahmawati Jaya
dalam pemberian pakan hanya untuk membuat ternak kenyang.
Tabel 7. Komposisi PK dan TDN dalam Pakan dan Kebutuhan PK dan TDN untuk Hidup Pokok dan Sisa PK dan TDN
waktu
Pagi 0.903 3.05 0.174 1.505 0.729 1.545 Sore 1.003 3.73 0.174 1.505 0.829 2.225 1 hari 1.906 6.78 0.349 3.02 1.557 3.77
Tabel 8. Perbedaan Produksi Susu berdasarkan kandungan Pakan dengan Hasil Penelitian
Produksi Air Susu (Kg)
Berdasarkan Kandungan dalam Pakan Hasil Penelitian
PK TDN
8.37 4.74 1.63
9.53 6.83 2.75
17.9 11.56 4.38
Berdasarkan Tabel 7 dan Tabel 8, komposisi nutrisi pakan yang diberikan
pada pagi hari seharusnya mampu memproduksi susu minimal 4.74 Kg susu,
sedangkan hasil penelitian menunjukkan sapi hanya mampu memproduksi susu
dengan rataan per ekor sebanyak 1.63 Kg. Hal serupa terjadi pada rataan produksi
susu pagi hari berikutnya. Pakan yang diberikan pada sore hari sebelumnya
seharusnya mampu memproduksi susu minimal 6.83 Kg, sedangkan hasil penelitian
menunjukkan produksi rataan susu sapi per ekor hanya mencapai 2.75 Kg. Apabila
dijumlahkan dalam satu hari dengan pakan yang diberikan seharusnya ternak mampu
memproduksi susu mencapai 11.56 Kg. Nilai ini di atas rataan produksi susu sapi
memiliki produksi rata-rata per hari 10 liter/ekor, sedangkan pada kenyataannya
rataan produksi susu per hari hanya mencapai 4.38 Kg/ekor.
Pengaruh pemberian pakan juga dapat dilihat dari penilaian body scoring sapi laktasi yang terdapat di peternakan sapi perah rahmawati jaya. Hasil penilaian body scoringpada sapi di lokasi penelitian menunjukkan hasil bahwa ukuran sapi
tergolong kurang sesuai untuk ukuran sapi perah, dengan rataan nilai body scoring
sebesar 3.27, karena standar body scoring untuk sapi perah adalah 3.5. Berdasarkan hasil tersebut dapat dikatakan bahwa tidak hanya kuantitas dari pakan yang perlu
diperhatikan dalam pemberian pakan untuk meningkatkan produksi, tetapi juga
kualitas dari pakan yang diberikan, seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa
persentase komposisi PK dan TDN dari bahan kering pakan masih kurang untuk
kebutuhan sapi perah.
Selain itu, air merupakan kandungan terbesar dalam susu, sehingga jumlah air
yang diberikan memiliki peran penting dalam pembentukan susu. Berdasarkan
pemaparan sebelumnya, di peternakan Rahmawati Jaya air diberikan pada saat
pemberian pakan dengan cara di campur dengan pakan non hijauan yang dilakukan
sebanyak dua kali sehari. Selain itu sapi tidak diberikan air dalam bentuk utuh atau
tidak dicampur pakan. Air yang diberikan setiap harinya sebanyak 20 liter. Menurut
Sudono et al., (2003) air yang dibutuhkan setiap hari bagi sapi minimal untuk tiap satu liter susu yang dihasilkan dibutuhkan air minum sebanyak 4 liter, sebaiknya sapi
diberikan air secara tidak terbatas. Jadi, dapat dikatakan bahwa air yang minum yang
diberikan di peternakan Rahmawati Jaya masih kurang, sehingga menyebabkan
produksi susu menjadi rendah.
Faktor lain yang mempengaruhi produksi susu adalah lingkungan peternakan.
Berdasarkan rataan produksi susu pagi dan sore hari diperoleh rataan produksi susu
sapi per ekor per hari hanya mencapai 4.38 Kg. Rataan produksi terbilang sangat
rendah bila dibandingkan dengan beberapa hasil penelitian sebelumnya di lokasi
Tabel 9. Produksi Susu di Peternakan Sapi Perah Rahmawati Jaya dan di
Pengadegan, Jakarta 17 4.38* Hasil penelitian penulis
Pondok Rangon, Jakarta
15 8.43* Putra (2004)
Kebon Pedes, Bogor 200 11.54 Prabowo (2002)
Cibeureum, Bogor 1100-1180 13.37 Prabowo (2002)
Desa Mekar Maju, Ciwidey, Bandung
1050 13.12 Aisyah (2004)
Desa Sebaluh, Pujon 1100 13.00* Rizki (2005)
Keterangan : * dihitung dalam Kg/ekor/hari
Tabel 9 menunjukkan produksi susu di peternakan Rahmawati Jaya paling
rendah bila dibandingkan dengan peternakan rakyat lainnya. Perbedaan yang cukup
tinggi terjadi antara produksi susu di lokasi penelitian bila dibandingkan dengan
peternakan Desa Mekar Maju, Bandung, disebabkan oleh perbedaan topografi daerah
lokasi peternakan dimana untuk peternakan Desa Mekar Maju, Bandung berada di
daerah dataran tinggi dengan suhu lingkungan yang rendah yaitu 21-27oC sehingga
ternak lebih nyaman karena hampir mirip dengan suhu di daerah asalnya, berbeda
dengan di Jakarta yang merupakan dataran rendah yang memiliki suhu lebih tinggi.
Di daerah tropis, wilayah yang cocok untuk sapi perah impor seperti FH adalah di
dataran tinggi yang memiliki ketinggian tempat sekurang-kurangnya 800 m di atas
permukaan laut. Di dataran tinggi ternak memperoleh suhu udara yang sejuk dan
nyaman sesuai dengan lingkungan di daerah asalnya, sehingga penampilan
produksinya lebih tinggi daripada di dataran rendah yang panas. Menurut Sutardi
(1981), setiap selisih ketinggian 100 meter berasosiasi erat dengan perbedaan
produksi susu rata-rata 4%.
Perbedaan suhu ini juga berkaitan dengan konsumsi pakan, dimana menurut
Siregar (1996), pemeliharaan sapi perah laktasi di daerah dataran rendah umumnya
menunjukan kemampuan berproduksi susu yang lebih rendah dibandingkan dengan
relatif panas di dataran rendah sehingga konsumsi ransum menurun dan terjadinya
energi tambahan yang dibutuhkan untuk pengaturan regulasi panas tubuh. Perwito
(1987) menyatakan bahwa di dataran tinggi ternak memperbanyak konsumsi
makanannya sebagai upaya untuk mengatasi dinginnya suhu lingkungan. Dalam
lingkungan dingin ternak akan meningkatkan produksi panas untuk mencegah agar
suhu tubuhnya tidak turun sehingga ternak meningkatkan makanannya, sebaliknya
produksi panas akan dibuang bila suhu lingkungan meningkat sehingga ternak
mengurangi konsumsi makanannya. Hal ini sesuai dengan teori termostatik yang
mengatakan bahwa hewan makan (lapar) untuk mencegah suhu tubuhnya tidak turun
(hypotermia) dan berhenti makan (kenyang) untuk mencegah agar suhu tubuhnya
tidak naik terus (hypertermia). Panas yang timbul dari oksidasi makanan berperan
sebagai pembawa berita ke pusat di hypotalamus untuk menyesuaikan konsumsi
makanan.
Perbedaan produksi susu di peternakan yang sama-sama berlokasi di Jakarta
yaitu peternakan di podok rangon juga terbilang tinggi, hal ini dapat disebabkan oleh
perbedaan manajemen yang diterapkan oleh masing-masing peternakan tersebut
seperti manajemen pemberian pakan. Manajemen yang diterapkan di peternakan
Rahmawati Jaya masih sangat tradisional, walaupun memiliki populasi ternak yang
lebih tinggi. Berdasarkan hasi penelitian Putra (2004), pemberian pakan di
peternakan podok Rangon dibedakan berdasarkan kondisi fisiologis, berbeda dengan
di peternakan Rahmwati Jaya yang pemberian pakan untuk semua ternak sama, tidak
berdasarkan kondisi fisiologis. Oleh karena itu, walaupun pemberian pakan di
Pondok Rangon masih belum sesuai komposisinya, namun produksi susunya masih
lebih tinggi bila dibandingkan peternakan Rahmawati Jaya.
Hubungan antara Kecepatan Pemerahan dengan Produksi Susu
Persamaan regresi linier antara pemerahan pagi dan pemerahan sore memiliki
perbedaan, dimana kenaikan produksi susu setiap penambahan 1 satuan kecepatan
pemerahan pada pagi hari lebih kecil dibandingkan pada pemerahan sore hari, yang
menyebabkan perbedaan tersebut adalah produksi susu pada sore hari lebih sedikit,
seperti yang telah dipaparkan sebelumnya produksi susu tergantung dari selang
pemerahan dan pemberian pakan. Nilai kecepatan pemerahan ditampilkan pada
Tabel 10. Kecepatan pemerahan pada pemerahan pagi hari dan sore hari
Waktu pemerahan Kecepatan pemerahan (Kg/menit)
Pagi 0.53 ± 0.15
Sore 0.40 ± 0.13
Pemerahan Pagi Hari
Hasil dari analisis korelasi diketahui bahwa nilai korelasi dari kecepatan
pemerahan dengan produksi susu pada pemerahan pagi hari adalah sebesar 0.99
dengan nilai P-value 0.000 atau kurang dari 0.01, yang berarti terdapat korelasi yang
nyata dan positif antara kecepatan pemerahan dengan produksi susu. Besarnya
pengaruh dari kecepatan pemerahan terhadap produksi susu dapat dilihat pada
persamaan regresi linier sederhana yang digambarkan dalam Gambar 1.
Gambar 1. Grafik Hubungan antara Kecepatan Pemerahan dengan Rata-rata Produksi Susu pada Pemerahan Pagi Hari Per Ekor
Kurva di atas menunjukan semakin tinggi kecepatan pemerahan maka akan semakin
tinggi pula produksi susu yang dihasilkan dari tiap ekor ternak, persamaan regresinya
yaitu Y = 1.37. X0.586, dengan Y adalah rata-rata produksi susu (Kg) dan X adalah
Pemerahan Sore Hari.
Hasil dari analisis korelasi diketahui bahwa nilai korelasi dari kecepatan
pemerahan dengan produksi susu pada pemerahan pagi hari adalah sebesar 0.99
dengan nilai P-value 0.000 atau kurang dari 0.01, yang berarti terdapat korelasi yang
nyata dan positif antara kecepatan pemerahan dengan produksi susu pada pemerahan
siang. Besarnya pengaruh dari kecepatan pemerahan terhadap produksi susu dapat
dilihat pada persamaan regresi linier sederhana yang digambarkan dalam Gambar 2.
Gambar 2. Grafik Hubungan antara Kecepatan Pemerahan dengan Rata-rata Produksi Susu pada Pemerahan Sore Hari Per Ekor.
Kurva regresi linier di atas juga menunjukan semakin tinggi kecepatan pemerahan
maka akan semakin tinggi pula produksi susu yang dihasilkan dari tiap ekor ternak,
persamaan regresi liniernya yaitu Y = 1.02.X0.574, dengan Y adalah rata-rata produksi
susu (Kg) dan X adalah kecepatan pemerahan (Kg/menit).
Gabungan Pemerahan Pagi Hari dan Sore Hari
Analisis korelasi kecepatan pemerahan dengan produksi susu bertujuan untuk
mengetahui tingkat produksi susu dalam satu hari. Berdasarkan analisis tersebut
diketahui nilai korelasi yang didapatkan adalah sebesar 0.99 dengan nilai P-value <
0.01. hal tersebut menunjukan bahwa terdapat korelasi yang nyata dan positif antara
kecepatan pemerahan dengan rata-rata produksi susu/ekor/hari. Persamaan regresi
Gambar 3. Grafik Hubungan Antara Kecepatan Pemerahan dengan Rata-rata Produksi Susu Gabungan.
Kurva regresi linier di atas menunjukan semakin tinggi kecepatan pemerahan maka
akan semakin tinggi pula produksi susu yang dihasilkan dari tiap ekor ternak,
persamaan regresi liniernya yaitu Y = 1.39. X0.809, dengan Y adalah rata-rata
produksi susu (Kg) dan X adalah kecepatan pemerahan (Kg/menit).
Faktor yang Mempengaruhi Hubungan Kecepatan dengan Produksi Susu
Menurut Ensminger dan Howard (2006), waktu atau lamanya pemerahan
yang maksimal untuk menghasilkan susu pada sebagian besar sapi perah betina
adalah 3 – 6 menit, tergantung dari jumlah susu dan karakteristik ternak. Produksi
susu yang optimal dipengaruhi oleh stimulus yang diberikan sebelum dilakukan
proses pemerahan dimana pada kondisi alami ternak perah dapat terstimulasi oleh
isapan dari anak sapi pada puting susu.
Di peternakan Rahmawati Jaya, pemerahan dilakukan dengan menggunakan
tangan. Stimulasi yang terjadi pada proses pemerahan dengan menggunakan tangan
dapat dilakukan dengan cara pembersihan pada puting dengan menggunakan air
hangat. Kemudian, dilanjutkan dengan pemijatan pada puting susu dan pengeringan
puting dengan menggunakan lap bersih yang membutuhkan waktu selama 10 detik
sampai proses stimulasi berlangsung sempurna. Pada stimulasi yang sempurna
fisiologis susu akan keluar dari puting. Akan tetapi, hasil stimulasi yang tidak
sempurna atau kurang dari 10 detik dapat menghasilkan susu yang lebih sedikit.
Waktu pemerahan pada penelitian ini dicatat untuk mengetahui kecepatan
pemerahan, yang sudah termasuk proses stimulasi. Proses ini berlangsung sangat
cepat. Berdasarkan pengamatan selama penelitian berlangsung pemerah yang akan
memerah ternaknya hanya membersihkan ambing dengan air dingin sejenak dan
langsung memerah sapi. Berdasarkan hasil pengamatan tersebut dapat dikatakan
bahwa tidak dilakukan proses stimulasi secara sempurna. Hal ini menyebabkan
produksi susu lebih rendah dan kecepatan pemerahan menjadi menurun. Kecepatan
pemerahan sangat bergantung dari lamanya pemerahan yang berlangsung. Lamanya
pemerahan berkaitan dengan produksi susu dan laju aliran susu. Hal ini didasarkan
pada hasil penelitian Ali (1999) yang menyatakan bahwa semakin tinggi produksi
susu maka pemerahan akan semakin lama, tetapi semakin cepat laju aliran susu maka
pemerahan akan semakin singkat.
Laju aliran susu dan sekresi susu juga dipengaruhi oleh suhu lingkungan
sekitar. Menurut Thompson et al., (1963), salah satu efek dari suhu panas pada ternak adalah tekanan pada aktivitas kelenjar tiroid yang kemudian menghasilkan
laju metabolisme basal yang tinggi. Perubahan ini menyebabkan ternak membela diri
terhadap lingkungan panas dengan jalan mengurangi produksi panasnya melalui
penguapan panas dari tubuh. Ternak terengah-engah dan mengurangi konsumsi
makanannya. Selanjutnya lingkungan panas selain menurunkan aktivitas kelenjar
tiroid juga merangsang korteks adrenal, akibatnya ternak meningkatkan plasma
glukokortikoid yang berguna untuk membantu mempertahankan homeostatis,
sehingga laju pertumbuhan dan sekresi susu akan turun. Tabel 11 menunjukkan laju
sekresi susu pada pemerahan pagi hari dan sore hari.
Tabel 11. Laju Sekresi pada Waktu Pemerahan Pagi Hari dan Sore Hari
Waktu Pemerahan Laju Sekresi (kg/jam)
Pagi hari 0.1833
Sore hari 0.1811
Perangsangan sebelum pemerahan seperti melakukan pencucian pada
adalah hormon oksitosin. Sentuhan pada puting akan memberikan impuls ke saraf
yang diteruskan ke otak kemudian ke kelenjar pituitary posterior yang menyebabkan
terjadinya sekresi oksitosin. Oksitosin yang terdapat di dalam darah meningkat
seiring dengan perangsangan pada ambing. Oksitosin menyebabkan serabut
myoepithel yang merupakan reseptor yang menyelubungi alveoli berkontraksi dan
menyampaikan pesan ke alveoli untuk mengeluarkan susu (Ensminger dan Howard,
2006).
Jumlah sapi yang diperah juga mempengaruhi kecepatan pemerahan.
Perbedaan jumlah sapi yang diperah akan menyebabkan perbedaan nilai kecepatan
pemerahan (Kg/Menit). Hubungan antara jumlah sapi yang diperah dengan
kecepatan pemerahan ditampilakan pada Gambar 4.
Gambar 4. Rataan Kecepatan Pemerahan dengan Jumlah Sapi yang Berbeda.
Berdasarkan gambara di atas, dapat dilihat bahwa semakin banyak sapi yang diperah
makan kecepatan pemerahan akan semakin menurun. Hal tersebut dapat disebabkan
kelelahan yang dialami oleh pemerah, khususnya pada sapi yang diperah dibagian
akhir kekuatan pemerah akan semakin menurun. Adapun kecepatan yang cukup
tinggi pada pemerahan dengan jumlah sapi yang banyak disebabkan oleh produksi
susu yang sedikit yang dihasilkan oleh sapi perah, sehingga tidak dibutuhkan waktu
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan
Peternakan sapi perah rakyat Rahmawati Jaya di Pengadegan, Jakarta selatan
memiliki tingkat produksi yang sangat rendah bila dibandingkan peternakan lainnya
di Indonesia. Kecepatan pemerahan dengan rata-rata produksi susu memiliki
hubungan yang nyata dan positif, baik pada pemerahan pagi hari dan sore hari.
Semakin tinggi kecepatan pemerahan maka akan semakin tinggi pula produksi susu
yang dihasilkan.
Saran
Peningkatan kecepatan pemerahan dapat dicapai dengan sebelum proses
pemerahan dilakukan sebaiknya dilakukan perangsangan pada ambing sapi secara
sempurna untuk memperlancar laju aliran susu, sehingga kecepatan pemerahan
meningkat diikuti dengan peningkatan produksi susu, selain itu sebaiknya
masing-masing pemerah memerah dengan jumlah sapi yang sama agar kecepatan pemerahan
lebih stabil dan produksi susu yang dihasilkan meningkat. Perlu dilakukan perbaikan
pemberian pakan dengan memberikan pakan sesuai dengan kondisi fisiologis sapi
dan menambah jumlah pemberian pakan hijaauan serta pemberian air minum secara
UCAPAN TERIMAKASIH
Syukur Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Dr. Ir. Bagus P. Purwanto, M.Agr.
dan Ir.Andi Murfi, M.Si sebagai pembimbing skripsi atas segala bimbingan, arahan
dan motivasi bagi penulis dalam penelitian dan penyusunan skripsi ini. Semoga
ALLAH SWT memberikan balasan yang terbaik.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Ir.Hj. Komariah, M.Si. selaku
pembimbing akademik atas bimbingan selama menjadi mahasiswi Ilmu produksi dan
Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.Terima kasih
kepada Ir. Afton Atabany, M.Si dan Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Sc yang telah
memberikan banyak masukan. Kepada Ir. Sudjana Natasamita (Alm.) selaku dosen
Fakultas peternakan, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan banyak
pelajaran hidup dan motivasi. Kepada Bapak Mat Husin, SE. selaku pemiliki
peternakan sapi perah Rahmawati Jaya yang telah memberikan izin kepada penulis
melakukan penelitian di peternakan Rahmawati Jaya dan bapak-bapak petugas
kandang.
Terima kasih yang tak terkira kepada Mama dan Papa tercinta, Teten partini
dan Sauki Mugeni atas segala motivasi, dukungan, kasih sayang dan do’a yang tak
pernah terputus bagi penulis, semoga penulisan skripsi ini dapat memberikan
kebanggan untuk Mama dan Papa. Kepada kakak tersayang Sarah Shaufani, S.Pd dan
adik tercinta Tessa Nabila. Terima kesih kepada keluarga besar di Jakarta dan di
Garut.
Terima kasih untuk sahabat-sahabat tercinta Thatha, Mpite, Nenk Mira, Asti
dan Lidi serta Ruri yang selalu hadir dalam suka maupun duka, Yuni Resti (Iyes)
sebagai teman seperjuangan atas segala bantuan dan semangatnya. Terima kasih
penulis ucapkan kepada sahabat terbaik, Ardy Arfiansyah atas kerja sama dan
semangat yang diberikan. Kepada Bapak Gatot Moeslim dan Bhakti Wibowo yang
selalu memberikan motivasi kepada penulis. Terima kasih kepada rekan-rekan IPTP
42 dan berbagai pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu. Semoga skripsi ini
bermanfaat bagi dunia peternakan Indonesia. Amin.
Bogor, Agustus 2009