IDENTIFIKASI PARASETAMOL DALAM JAMU SARI AKAR DEWA SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS
TUGAS AKHIR
Oleh: FAUZI NIM 092410005
PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.
Pada dasarnya Tugas Akhir ini merupakan salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan pendidikan Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan
Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Tugas Akhir ini disusun
berdasarkan apa yang penulis lakukan pada praktek kerja lapangan di Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan di Medan.
Selama menyusun Tugas Akhir ini, penulis banyak mendapat bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar – besarnya kepada :
1. Ayahanda Zakwan Yusuf dan Ibunda Nur Aidar dan seluruh keluarga yang
telah memberikan dorongan baik moril maupun materil sehingga Tugas
Akhir ini dapat diselesaikan.
2. Bapak Drs. Ismail, M.Si., Apt., yang telah membimbing dan mengarahkan
penulis dalam penyusunan Tugas Akhir ini.
3. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra., Apt., selaku Dekan Fakultas
Farmasi USU.
4. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku Ketua Program
Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi USU.
5. Bapak Drs. Agus Prabowo, MS., Apt., selaku Kepala Balai Besar
Pengawas Obat dan Makanan di Medan.
6. Ibu Dra. Nina Refida, Apt., selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha di Balai
7. Ibu Zakiah Kurniati, S.Farm, Apt., selaku Koordinator Pembimbing PKL
(Praktek Kerja Lapangan) di Balai Besar POM di Medan.
8. Seluruh staf dan karyawan Balai Besar POM di Medan yang telah
membantu kami selama melaksanakan PKL (Praktek Kerja Lapangan).
9. Bang Denny Satria terima kasih atas kritik dan sarannya serta dorongan
dan doa – doanya.
10.Zizi, Kiki dan Yuli selaku teman sekelompok selama PKL di BBPOM
Medan.
11. Seluruh teman-teman mahasiswa dan mahasiswi Analis Farmasi dan
Makanan angkatan 2009 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,
namun tidak mengurangi arti keberadaan mereka.
Dalam menulis Tugas Akhir ini penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak
luput dari kekurangan dan kelemahan. Harapan kritik dan saran yang bersifat
membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya
penulis berharap semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Juli 2012
Penulis
Fauzi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR JUDUL ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan dan Manfaat ... 2
1.2.1 Tujuan ... 2
1.2.2 Manfaat ... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Obat Tradisional ... 3
2.1.1 Jamu ... 4
2.2 Serbuk ... 4
2.2.1 Serbuk Obat Tradisional ... 4
2.3 Tanaman Obat ... 5
2.4 Simplisia Yang Terdapat Dalam Jamu ... 6
2.5 Demam dan Nyeri... 8
2.5.1 Demam ... 8
2.5.2 Nyeri ... 8
2.6 Obat Analgetika ... 9
2.6.1 Parasetamol ... 9
2.6.1.1 Struktur Parasetamol ... 10
2.6.1.2 Sifat Farmakologis ... 10
2.6.1.3 Farmakokinetik dan Metabolisme... 10
2.6.1.4 Efek Toksik ... 11
2.7 Kromatografi ... 12
2.7.1 Kromatografi Lapis Tipis ... 12
2.7.2 Fase Diam KLT ... 15
2.7.4 Deteksi Bercak ... 16
BAB III METODOLOGI ... 18
3.1 Tempat Pengujian ... 18
3.2 Sampel ... 18
3.2 Identifikasi Parasetamol Dalam Jamu Sari Mahkota Dewa Secara Kromatografi Lapis Tipis ... 19
3.3.1 Alat ... 19
3.3.2 Bahan ... 19
3.3.3 Pereaksi Khusus ... 19
3.3.4 Prosedur ... 19
3.3.5 Identifikasi ... 20
3.3.6 Persyaratan ... 20
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21
4.1 Hasil Kromatografi Lapis Tipis... 21
4.1.1 Dengan fase gerak Kloroform-aseton (4:1) ... 21
4.2 Pembahasan ... 21
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 23
5.1 Kesimpulan ... 23
5.2 Saran ... 23
DAFTAR PUSTAKA ... 24
LAMPIRAN ... 25
LAMPIRAN PERHITUNGAN ... LA-1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional,
turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau
kebiasaan setempat, baik bersifat magik maupun pengetahuan tradisional (Dirjen
POM, 1994).
Obat tradisional jamu telah dipergunakan oleh bangsa dan masyarakat
dunia dengan secara luas. Para ahli pengobatan tradisional memberikan defenisi
tentang kehidupan lebih bebas sebagai “kesatuan dari tubuh, perasaan, pikiran dan
jiwa” sehingga dianggap sehat apabila “kesatuan yang positif dari kesejahteraan
fisik, mental, sosial, moral dan spiritual” (Suyono, 1996) .
Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat tradisional di
negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat penyakit
kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit
tertentu diantaranya kanker, serta semakin luas akses informasi mengenai obat
tradisional di seluruh dunia. Khasiat alamiah dan kemurnian obat-obatan
tradisional seringkali “dinodai” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab
terutama produsen obat tradisional yang hanya mencari keuntungan finansial saja
tanpa memperhatikan kemurnian dan resiko dari kandungan obat tradisional
1.2 Tujuan dan Manfaat
1.2.1 Tujuan
− Untuk mengetahui hasil pengujian bahan kimia obat dari jamu di
Laboratorium Obat Tradisional BPOM Medan.
− Untuk mengetahui apakah jamu yang telah diuji memenuhi persyaratan
atau tidak memenuhi persyaratan.
1.2.2 Manfaat
Manfaat yang dapat diperoleh dari identifikasi parasetamol dalam jamu
Sari Akar Dewa adalah agar dapat mengetahui apakah jamu Sari Akar Dewa yang
beredar dipasaran dan telah diuji tersebut mengandung bahan kimia obat atau
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Obat Tradisional
Obat tradisional yang diperlukan oleh masyarakat adalah obat tradisional
yang mengandung bahan atau ramuan bahan yang dapat memelihara kesehatan,
mengobati gangguan kesehatan, serta dapat memulihkan kesehatan. Bahan-bahan
ramuan obat tradisional seperti bahan tumbuh-tumbuhan, bahan hewan, sedian
sarian atau galenik yang memiliki fungsi, pengaruh serta khasiat sebagai obat,
dalam pengertian umum kefarmasian bahan yang digunakan sebagai obat disebut
simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang
belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa
bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).
Keamanan dan mutu obat tradisional tergantung dari bahan baku,
bangunan, prosedur, dan pelaksanaan pembuatan, peralatan yang digunakan,
pengemasan termasuk bahan serta personalia yang terlibat dalam pembuatan obat
tradisional (Suyono, 1996).
Untuk meningkatkan mutu suatu obat tradisional, maka pembuatan obat
tradisional haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya mengikutkan pengawasan
menyeluruh yang bertujuan untuk menyediakan obat tradisional yang senantiasa
memenuhi persyaratan yang berlaku (Dirjen POM, 1994).
2.1.1 Jamu
Jamu adalah sebutan untuk obat tradisional dari
berupa bagian dari tumbuhan sepert
batang dan buah. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti
kambing atau tangkur buaya (Suyono, 1996).
2.2 Serbuk
Serbuk adalah campuran homogen dua atau lebih obat yang disebukkan.
Pada pembuatan serbuk kasar, terutama serbuk nabati, digerus terlebih dahulu
sampai derajat halus tertentu setelah itu dikeringkan pada suhu tidak lebih 50oC.
Serbuk obat yang mengandung bagian yang mudah menguap dikeringkan dengan
pertolongan bahan pengering yang cocok, setelah itu diserbuk dengan jalan
digiling, ditumbuk dan digerus sampai diperoleh serbuk yang mempunyai derajat
halus serbuk (Anief, 2000).
2.2.1 Serbuk Obat Tradisional
Menurut SK Menkes 1994 pengertian dari serbuk obat tradisonal adalah
sediaan obat tradisonal berupa butiran homogen dengan derajat halus yang cocok;
bahan bakunya berupa simplisia sediaan galenik, atau campurannya. Sediaan
serbuk ini penggunaan nya dengan cara diseduh dalam air mendidih. Air seduhan
diminum sesuai kebutuhan. Karena serbuk berbahankan dari bahan obat
tumbuh-tumbuhan yang di keringkan secara alamiah ataupun merupakan campuran dua
atau lebih unsur kimia murni yang di buat menjadi serbuk dalam perbandingan
tertentu, maka serbuk harus memiliki persyaratan agar layak edar. Adapun
persyaratan serbuk yang akan diedarkan meliputi:
Kadar air : Tidak lebih dari 10%
Angka kapang dan khamir : Tidak lebih dari 104
Mikroba pathogen : Negatif
Aflatoksin : Tidak lebih dari 30 bpj.
Bahan tambahan: Pengawet, Serbuk dengan bahan baku simplisia
dilarang ditambahkan bahan pengawet. Serbuk
dengan bahan baku sediaan galenik dengan penyari
air atau campuran etanol-air bila diperlukan dapat
ditambahkan bahan pengawet.
Pemanis; Gula tebu (gula pasir), gula aren, gula
kelapa, gula bit dan pemanis alam lainnya yang
belum menjadi zat kimia murni.
Pengisi; Sesuai dengan pengisi yang diperlukan pada
sediaan galenik.
Wadah dan Penyimpanan: Dalam wadah tertutup baik; disimpan pada suhu
kamar, ditempat kering dan terlindung dari sinar
matahari (Depkes RI, 1994).
2.3 Tanaman obat
Para ahli mengelompokkan tanaman obat berkhasiat menjadi tiga
kelompok sebagai berikut:
1. Tumbuhan obat tradisional merupakan spesies tumbuhan yang diketahui
atau dipercayai masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan
2. Tumbuhan obat modern merupakan spesies tumbuhan yang secara ilmiah
telah dibuktikan mengandung atau memiliki senyawa atau bahan bioaktif
berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggung jawabkan secara
klinis.
3. Tumbuhan obat potensial merupakan spesies tumbuhan yang diduga
mengandung atau memiliki senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat
tetapi belum dibuktikan penggunaannya secara ilmiah medis sebagai bahan
obat.
Menurut para ahli tanaman obat didefenisikan sebagai jenis tanaman yang
sebagian, seluruh tanaman dan atau eksudat tanaman tersebut digunakan sebagai
obat, bahan atau ramuan obat-obatan (Widyastuti, 2004).
Bahan baku obat tradisional sebagian besar berasal dari tanaman, baik
keseluruhan maupun bagian dari tanaman seperti daun, buah, akar, kulit dan
batang. Bahan tersebut dapat dimanfaatkan dalam keadaan segar maupun kering
(Mursito, 2002).
2.4 Simplisia yang terdapat dalam jamu
- Gyunurae Folium
Daun dewa adalah Gynura procumbens, suku Asteraceae
Mengandung : Alkaloid, tannin, polifenol, asam fenolat, asam
klorogenat, asam kafeat, asam vanilat, saponin, dan
flavonoid (Fauziah, 2007).
Penggunaan : Luka terpukul, pendarahan, batuk darah, muntah
darah, mimisan, infeksi kerongkongan, tidak
darah, tulang patah, pendarahan setelah melahirkan
(Fauziah, 2007).
- Andrographidis Folium
Sambiloto adalah Andrographidis paniculata, suku Acanthaceae
Mengandung : Andrographolid, kalium, natrium, asam kresik,
minyak atsiri dan damar
(Prapanza dan Marianto, 2005).
Penggunaan : Obat sariawan, anti radang, peluruh seni,
antipiretik dan menghancurkan penggumpalan
darah (Prapanza dan Marianto, 2005).
- Curcumae Rhizoma
Temulawak adalah rimpang Curcuma xanthorriza, suku Zingiberaceae.
Mengandung : Minyak atsiri felandren, zat warna kurkumin
berupa kurkuminoid (Permadi, 2008).
Penggunaan : Penambah nafsu makan (Permadi, 2008).
- Plumbaginis Folium
Daun encok adalah Plumbago zeylanica L., suku Plumbaginaceae
Menandung : Plumbagin dan zat penyamak
Penggunaan : Analgesik, antibengkak, antimikroba
(Permadi, 2008).
- Retrofracti Fructus
Cabe jawa adalah Piper retrofractum, suku Piperaceae
Mengandung : Minyak atsiri, alkaloid piperin,pati dan dammar
2.5 Demam dan Nyeri 2.5.1 Demam
Demam mungkin adalah tanda utama penyakit yang paling tua dan paling
umum diketahui. Demam terjadi tidak saja pada mamalia tetapi juga pada unggas,
reptile, amfibi, dan ikan. Demam yang berarti suhu tubuh diatas normal, dapat
disebabkan oleh kelainan di dalam otak sendiri atau oleh bahan-bahan toksik yang
mempengaruhi pusat pengaturan suhu. Beberapa penyebab demam meliputi
penyakit yang disebabkan oleh bakteri, tumor otak, dan keadaan lingkungan yang
dapat berakhir dengan heatstroke (Ganong, 2003 ; Guyton, 2008).
Manfaat demam bagi organisme masih belum diketahui. Demam mungkin
bermanfaat, karena timbul dan menetap sebagai respons terhadap infeksi dan
penyakit lain. Banyak mikroorganisme tumbuh baik dalam rentang suhu yang
relatif sempit, dan peningkatan suhu akan menghambat pertumbuhannya. Selain
itu, pembentukan antibodi meningkat apabila suhu tubuh meningkat. Hipertermia
berguna bagi orang yang terinfeksi antraks, pneumonia, pneumokokkus, lepra,
dan berbagai penyakit jamur, riketsia, dan virus. Namun, suhu yang sangat tinggi
adalah berbahaya. Apabila suhu rektal melebihi 41oC (106oF) dalam jangka waktu
yang lama, akan terjadi kerusakan otak yang permanen. ( Ganong, 2003).
2.5.2 Nyeri
Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun
nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering
memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tak mengenakkan,
kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas darinya. Seluruh kulit
tubuh peka terhadap rasa nyeri, tetapi ternyata terdapat juga organ yang tidak
mempunyai reseptor nyeri, seperti misalnya otak (Mutschler, 1991).
Nyeri timbul jika rangsangan mekanik, termal, kimia, atau listrik
melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu
menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan senyawa yang disebut
senyawa nyeri (Mutschler, 1991).
2.6 Obat Analgetika
Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi
atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri merupakan
suatu perasaan pribadi dan ambang toleransi nyeri yang berbeda-beda bagi setiap
orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan yakni 44-45oC (Tjay, dan Kirana,
2002).
2.6.1 Parasetamol
Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit dari fenasetin.
Khasiatnya analgetis dan antipiretis, tetapi tidak anti radang. Dewasa ini pada
umumnya dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk
swamedikasi (pengobatan mandiri) (Gilman, 2008).
Ambang nyeri didefenisikan sebagai tingkat (level) di mana nyeri
dirasakan untuk pertama kali. Jadi, intensitas rangsangan yang terendah saat
seseorang merasakan nyeri. Untuk setiap orang, ambang nyeri adalah konstant
2.6.1.1 Struktur Paracetamol
Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida
Berat Molekul : 151.16
Rumus Empiris : C8H9NO2.
(Ditjen POM, 1995)
2.6.1.2Sifat Farmakologis
Asetaminofen mempunyai efek analgesik dan antipiretik yang tidak
berbeda secara signifikan dengan aspirin. Namun, seperti telah dikemukakan,
senyawa ini hanya mempunyai efek anti radang yang lemah. Metabolit minor ikut
andil secara signifikan dalam efek toksik asetaminofen (Mutschler, 1991).
Ketidakmampuan asetaminofen memberikan efek antiradang mungkin
berkaitan dengan fakta bahwa asetaminofen hanya merupakan inhibitor
siklooksigenase yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang
ditentukan pada lesi radang. Sebaliknya, efek antipiretiknya dapat dijelaskan
dengan kemampuannya menghambat siklooksigenase di otak, yang tonus
peroksidanya rendah. Selain itu, asetaminofen tidak menghambat aktivasi
neutrofil, sedangkan NSAID lain menghambat aktivasi tersebut (Katzung, 2002).
2.6.1.3Farmakokinetika dan Metabolisme
Asetaminofen diabsorbsi dengan cepat dan hampir sempurna dari saluran
cerna. Konsentrasi dalam plasma mencapai puncak dalam 30 sampai 60 menit,
waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam setelah dosis terapeutik. Asetaminofen
terdistribusi relatif seragam hampir diseluruh cairan tubuh. Pengikatan obat ini
konsentrasi yang ditemukan pada intoksikasi akut. Setelah dosis terapeutik, 90%
sampai 100% obat ini mungkin ditemukan dalam urin selama hari pertama,
terutama setelah konjugasi hepatic dengan asam glukuronat (sekitar 60%), asam
sulfat (sekitar 35%), atau sistein (sekitar 3%); sejumlah kecil metabolit hasil
hidroksilasi dan deasetilasi juga telah terdeteksi (Gilman, 2008).
Anak-anak mempunyai kemampuan lebih kecil untuk glukuronidasi obat
ini daripada orang dewasa. Sebagian kecil asetaminofen mengalami
N-hidroksilasi yang diperantarai sitokrom P450 membentuk
N-asetil-benzokuinoneimin, suatu senyawa antara yang sangat reaktif. Metabolit ini
biasanya bereaksi dengan gugus sulfhidril pada glutation. Namun, setelah ingesti
asetaminofen dosis besar, metabolit ini terbentuk dalam jumlah yang cukup
banyak untuk menghilangkan glutation hepatic. Waktu paruh asetaminofen adalah
2-3 jam dan relatif tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal. Dengan kuantitas toksik
dan penyakit hati, waktu paruhnya dapat meningkat dua kali lipat atau lebih
(Katzung, 2002).
2.6.1.4Efek Toksik
Pada dosis terapeutik yang dianjurkan, asetaminofen biasanya ditolerir
dengan baik. Kadang-kadang terjadi ruam kulit dan reaksi alergi lain. Ruam
tersebut biasanya berupa eritema atau urtikaria, tetapi kadang-kadang lebih parah
dan mungkin disertai demam obat dan lesi mukosa. Pasien yang menunjukkan
reaksi hipersensitivitas terhadap asetaminofen. Pada beberapa kasus tertentu,
penggunaan asetaminofen menyebabkan neutropenia, trombositopenia, dan
akut berupa nekrosis hati yang kemungkinan fatal dan tergantung dosis. Nekrosis
tubulus ginjal dan koma hipoglikemik mungkin juga terjadi (Gilman, 2008).
Kombinasi parasetamol dan kafein dalam dosis besar dapat menyebabkan
resiko kerusakan hati atau hepatotoksik. Beberapa kasus nefrotoksik dan
kardiotoksik juga telah dilaporkan terjadi overdosis parasetamol. Adanya kafein
akan menginduksi enzim pemetabolisme parasetamol (CYP3A4) dihati, sehingga
metabolisme parasetamol meningkat. Dengan demikian, jumlah metabolit toksik
(NAPQI) yang dihasilkan juga meningkat (Lee, et al., 1997).
2.7 Kromatografi
Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fasa yaitu fasa
tetap (stasionary) dan yang lain fasa bergerak (mobile), pemisahan-pemisahan
tergantung pada gerakan relatif dari dua fasa ini . Senyawa pemisahan dengan
kromatografi tergantung pada kenyataan bahwa senyawa-senyawa yang
dipisahkan terdistribusi sendiri diantara fasa-fasa bergerak dan tetap dalam
perbandingan yang sangat berbeda-beda dari satu senyawa yang lain
(Sastrohamidjojo, 1985).
2.7.1 Kromatografi Lapis Tipis
Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan
Schraiber pada tahun 1983. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain
kromatografi kertas dan elektroforesis. Pada kromatografi lapis tipis, fase
diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar
yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Fase gerak
yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam
karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending)
(Rohman,2007).
Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaanya lebih mudah dan lebih murah
dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga dengan peralatan yang
digunakan, dalam kromatografi ini peralatan yang digunakan lebih sederhana. Plat
kromatografi dibuat dengan cara penjerap padat yang berbentuk bubukan halus
dibuat menjadi bubur (slury) dengan air (kurang umum dengan zat cair organik
yang mudah menguap) dan dibentang diatas plat glass. Plat yang telah dilapisi
dipanaskan atau diaktifkan dengan jalan memanaskannya pada suhu kira-kira
100oC selama 30 menit (Sastromidjojo, 1985).
Senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis diidentifikasi dengan
melihat flourosensi dalam sinar ultraviolet. Faktor-faktor yang mempengaruhi
gerakan noda dalam kromatografi lapis tipis yang juga mempengaruhi harga Rf,
yaitu:
1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan
2. Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya
Perbedaan penyerap akan memberikan perbedaan yang besar terhadap
harga-harga Rf meskipun mengunakan fase bergerak dalam solut yang
sama, tetapi hasil akan dapat diperoleh jika menggunakan penyerap
yang sama juga ukuran partikel tetap dan jika pengikat (kalau ada)
dicampur hingga homogen.
3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap
Meskipun dalam prakteknya tebal dan lapisan tidak dapat dilihat
Ketidakrataan akan menyebabkan aliran pelarut menjadi tak rata pula
dalam daerah yang kecil dari plat.
4. Pelarut (dan derajat kemurniannya) fase bergerak
Kemurnian dari pelarut yang digunakan sebagai fasa bergerak dalam
kromatografi lapisan tipis adalah sangat penting dan bila campuran
pelarut digunakan maka perbandingan yang dipakai harus betul-betul
diperhatikan.
5. Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana pengembangan yang
digunakan.
6. Teknik percobaan
Arah dalam mana pelarut bergerak diatas plat. (metode aliran penaikan
yang hanya diperhatikan, karena cara ini yang paling umum meskipun
teknik aliran penurunan dan mendatar juga digunakan).
7. Jumlah cuplikan yang digunakan
Penetesan cuplikan dalam jumlah yang berlebihan memberikan
tendensi penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya
ekor dan efek tak kesetimbangan lainnya hingga akan mengakibatkan
kesalahan-kesalahan pada harga-harga Rf.
8. Suhu
Pemisahan-pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini
terutama untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi
pelarut yang disebabkan oleh penguapan atau perubahan-perubahan
9. Kesetimbangan
Ternyata bahwa kesetimbangan dalam lapisan tipis lebih penting dalam
kromatografi kertas, hingga perlu mengusahakan atmosfer dalam
bejana jenuh dengan uap pelarut. Suatu gejala bila atmosfer dalam
bejana tidak jenuh dengan uap pelarut, bila digunakan pelarut
campuran, akan terjadi pengembangan dengan permukaan pelarut yang
terbentuk cekung dan fase bergerak lebih cepat pada bagian tepi-tepi
dari pada bagian tengah, keadaan ini harus dicegah.
Alat kromatografi lapis tipis yaitu lempengan kaca, dengan tebal serba rata
dengan ukuran yang sesuai, umumnya 20 x 20 cm. Bejana kromatografi yang
dapat memuat satu atau lebih lempeng kaca dan dapat ditutup seperti tertera pada
kromatografi menaik (Sastromidjojo, 1985).
2.7.2 Fase Diam KLT
Lapisan dibuat dari salah satu penjerap yang khusus digunakan untuk KLT
yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan. Panjang lapisan 200 mm dengan lebar
200 atau 100 mm. Untuk analisis totalnya 0,1-0,3 mm, biasanya 0,2 mm. Sebelum
digunakan, lapisan disimpan dalam lingkungan yang baik lembab dan bebas dari
uap laboratorium (Stahl, 1985).
Penjerap yang umum ialah silika gel, aluminium oksida, kieselgur, selulosa
dan turunannya, poliamida, dan lain-lain. Dapat dipastikan silika gel paling
banyak digunakan. Selain itu harus diingat bahwa penjerap seperti aluminium
oksida dan silika gel mempunyai kadar air yang berpengaruh nyata terhadap daya
2.7.3 Fase Gerak KLT
. System yang paling sederhana pada pemilihan fase gerak ialah campuran 2
pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur
sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah
beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak:
1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT
merupakan teknik yang sensitif
2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf
terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan
3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,
polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solute yang
berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat
sedikit polar seperti dietileter ke dalam pelarut non polar seperti metil
benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan
4. Solute-solut ionic dan solute-solut polar lebih baik digunakan campuran
pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan
perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia
masing-masing akan meningkatkan solute-solut yang bersifat basa dan
asam (Rohman, 2007).
2.7.4 Deteksi Bercak
Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi.
Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu
pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika
radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet. Fluoresensi sinar ultraviolet terutama
untuk senyawa yang dapat berfluoresensi, membuat bercak akan terlihat jelas. Jika
senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan penyerapnya akan diberi indikator
yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar
BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat Pengujian
Pengujian identifikasi parasetamol dalam jamu sari akar dewa secara
kromatografi lapis tipis dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan
(BBPOM) di Medan yang berada di Jalan Willem Iskandar Pasar V Barat I No. 2
Medan.
3.2. Sampel
Nama sampel : Jamu Sari Mahkota Dewa
Wadah/Kemasan : Bungkus Sachet
Waktu Daluarsa : 08 2013
Kode Registrasi : POM. TR. No 033618111
Pabrik : CV. Prima Sentoso
Komposisi : Gyunurae Folium 20%, Andrographidis Herba
15%, Curcumae Rhizomae 15%, Plumbaginis
Folium 10%, Retrofracti Fructus 10% dan bahan
lain lain hingga 100%
Khasiat : Dapat mengobati asam urat, pegal linu, rematik,
kencing manis, tekanan darah tinggi, sesak napas,
membersihkan darah kotor, melancarkan
peredaran darah, nyeri otot, masuk angin,
3.3 Identifikasi Parasetamol dalam Jamu Sari Akar Dewa Secara Kromatografi Lapis Tipis
3.3.1 Alat
Peralatan yang dipakai adalah lampu UV, labu erlenmeyer, syringe
perfection C670-12554-04 100u1, chamber, corong pisah, kertas saring,
timbangan analitik, pipet tetes, gelas ukur, spatula, kertas perkamen, kertas
aluminium foil, plat KLT silika GF 254 nm, pH universal.
3.3.2 Bahan
Bahan yang digunakan adalah jamu tradisional Sari Akar Dewa.
3.3.3 Pereaksi Khusus
Adapun pereaksi yang digunakan adalah Natrium Hidroksida 1 N, Asam
Klorida 0,1 N, Kloroform, dan Aseton.
3.3.4 Prosedur Larutan Uji
- Sejumlah satu dosis cuplikan yang telah diserbuk halus, dimasukkan
kedalam labu Erlenmeyer 250 ml.
- ditambahkan 50 ml air, dibasakan dengan NaOH 1 N hingga pH 9-10 dan
dikocok selama 30 menit dan disaring.
- Filtrat diasamkan dengan beberapa tetes HCl 0,1 N hingga pH 3-4,
diekstraksi 4 kali, setiap kali dengan 20 ml CHCl3.
- diuapkan dengan penguap rotasi vakum hingga hampir kering, sisa
Larutan Baku
Sebanyak 15 mg Parasetamol BPFI ditimbang seksama, dimasukkan
kedalam labu tentukur 5 ml, dilarutkan dan diencerkan dengan etanol hingga
tanda (Larutan B).
3.3.5 Identifikasi
Cara Kromatografi Lapis Tipis
Larutan A dan B yakni ditotolkan secara terpisah dan dilakukan
Kromatografi Lapis Tipis sebagai berikut:
Fase diam : Silika gel GF 254
Fase gerak : kloroform : aseton ( 4:1 )
Penjenuhan : kertas saring
Jarak rambat : 15 cm
Vol. penotolan : Larutan A dan B masing-masing 25 µl
Penampak bercak digunakan cahaya UV 254 nm, terjadi fluoresensi.
3.3.6 Persyaratan
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Kromatografi Lapis Tipis
4.1.1 Dengan fase gerak Kloroform-Aseton (4:1) Hasil kromatogram lampiran 1.
Dari hasil pengujian Kromatografi Lapis Tipis, Harga Rf Baku
Parasetamol sama dengan harga Rf Sampel Jamu dengan menggunakan eluen
atau fase gerak yakni dengan fase gerak Kloroform-Aseton (4:1) didapat Harga Rf
baku Parasetamol = 0,30 sedangkan sampel jamu = 0,30.
Harga Rf pada pengamatan secara visual tidak dapat dihitung karena
kromatogram yang dihasilkan tidak dapat diamati secara visual.
4.2 Pembahasan
Dari hasil pengujian Kromatografi Lapis Tipis, Harga Rf menunjukkan
sampel mengandung Parasetamol karena Harga Rf Baku Parasetamol sama
dengan harga Rf Sampel Jamu dengan menggunakan eluen atau fase gerak yakni
dengan fase gerak Kloroform-Aseton (4:1) didapat Harga Rf baku Parasetamol =
0,30 sedangkan sampel jamu = 0,30.
Dari hasil ini maka jamu ini mengandung BKO atau Bahan Kimia Obat
yakni Parasetamol. Bahan kimia obat seperti parasetamol sering ditambahkan oleh
produsen-produsen jamu karena sediaan nya sendiri memang murah dan mudah di
dapat. Memang, pada umumnya parasetamol dianggap sebagai zat anti nyeri yang
paling aman, juga untuk pengobatan mandiri. Tetapi faktanya, parasetamol sendiri
tidak ditujukkan sebagai anti radang karena sangat kecil khasiatnya sebagai anti
non steroid (NSAID) atau obat pereda nyeri opioid, dapat digunakan untuk
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan
Dari percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa:
− Jamu Sari Akar Dewa mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) berupa
Paracetamol.
− Jamu Sari Akar Dewa yang telah diuji tidak memenuhi persyaratan karena
mengandung Bahan Kimia Obat (BKO)
5.2 Saran
Diharapkan agar pada praktek kerja lapangan selanjutnya dilakukan
pengujian kembali terhadap Jamu Sari Akar Dewa dilakukan penarikan apabila
DAFTAR PUSTAKA
Anief, M. (1996). Ilmu Meracik Obat Cetakan 6. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Halaman 32.
Anonim. (2008). Obat Tradisional.www.Wikipedia.com. Tanggal akses 10 Mei 2012.
Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Dirjen POM. (1994). Petunjuk Pelaksanaan Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 649.
Fauziah, M. (2007). Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 23-24.
Ganong, WF. (2003). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Halaman 136, 245-246.
Guyton, A.C., dan John E Hall. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC. Halaman 649, 945.
Gilman, A. (2008). Dasar Farmakologi Terapi Volume 1. Jakarta: EGC. Halaman 682-684.
Katzung, B.G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika. Halaman 485.
Mutschler, E. (1991). Dinamika Obat. Bandung: ITB Press. Halaman 177-178, 193-194.
Mursito. B. (2002). Ramuan Tradisional. Cetakan I. Jakarta: Swadaya. Halaman 24.
Permadi, A. S,Si. (2008). Ramuan Herbal, Penumpas Hipertensi. Jakarta: Niaga Swadaya. Halaman 35
Prapanza, I.E.P., dan Marianto, A. (2005). Khasiat dan Manfaat Sambiloto, Raja Pahit Penakluk Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka. Halaman 9, 13-14.
Sastrohamidjojo. H. (1985). Kromatografi. Edisi I. Yogyakarta: Liberty. Halaman 1, 29, 34-35.
Stahl, E. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung: ITB. Halaman 4,7,11.
Suyono. H. (1996). Obat Tradisional Jamu di Indonesia. Surabaya. Universitas Airlangga. Halaman 25, 53.
Tan, T.H., dan Kirana, R. (2002). Obat-Obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi V. Cetakan I. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Gramedia. Halaman 295-297.
Lampiran A1
Rumus Perhitungan
Baku Parasetamol =
= 0,30
Sampel Jamu =
= 0,30