• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identifikasi Parasetamol Dalam Jamu Sari Akar Dewa Secara Kromatografi Lapis Tipis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Identifikasi Parasetamol Dalam Jamu Sari Akar Dewa Secara Kromatografi Lapis Tipis"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI PARASETAMOL DALAM JAMU SARI AKAR DEWA SECARA KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

TUGAS AKHIR

Oleh: FAUZI NIM 092410005

PROGRAM STUDI DIPLOMA III ANALIS FARMASI DAN MAKANAN FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas Akhir ini dengan baik.

Pada dasarnya Tugas Akhir ini merupakan salah satu persyaratan untuk

menyelesaikan pendidikan Program Diploma III Analis Farmasi dan Makanan

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara. Tugas Akhir ini disusun

berdasarkan apa yang penulis lakukan pada praktek kerja lapangan di Balai Besar

Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

Selama menyusun Tugas Akhir ini, penulis banyak mendapat bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar – besarnya kepada :

1. Ayahanda Zakwan Yusuf dan Ibunda Nur Aidar dan seluruh keluarga yang

telah memberikan dorongan baik moril maupun materil sehingga Tugas

Akhir ini dapat diselesaikan.

2. Bapak Drs. Ismail, M.Si., Apt., yang telah membimbing dan mengarahkan

penulis dalam penyusunan Tugas Akhir ini.

3. Bapak Prof. Dr. Sumadio Hadisahputra., Apt., selaku Dekan Fakultas

Farmasi USU.

4. Bapak Prof. Dr. Jansen Silalahi, M.App.Sc., Apt., selaku Ketua Program

Studi Diploma III Analis Farmasi dan Makanan Fakultas Farmasi USU.

5. Bapak Drs. Agus Prabowo, MS., Apt., selaku Kepala Balai Besar

Pengawas Obat dan Makanan di Medan.

6. Ibu Dra. Nina Refida, Apt., selaku Kepala Sub Bagian Tata Usaha di Balai

(4)

7. Ibu Zakiah Kurniati, S.Farm, Apt., selaku Koordinator Pembimbing PKL

(Praktek Kerja Lapangan) di Balai Besar POM di Medan.

8. Seluruh staf dan karyawan Balai Besar POM di Medan yang telah

membantu kami selama melaksanakan PKL (Praktek Kerja Lapangan).

9. Bang Denny Satria terima kasih atas kritik dan sarannya serta dorongan

dan doa – doanya.

10.Zizi, Kiki dan Yuli selaku teman sekelompok selama PKL di BBPOM

Medan.

11. Seluruh teman-teman mahasiswa dan mahasiswi Analis Farmasi dan

Makanan angkatan 2009 yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu,

namun tidak mengurangi arti keberadaan mereka.

Dalam menulis Tugas Akhir ini penulis menyadari bahwa tulisan ini tidak

luput dari kekurangan dan kelemahan. Harapan kritik dan saran yang bersifat

membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tulisan ini. Akhirnya

penulis berharap semoga Tugas Akhir ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Juli 2012

Penulis

Fauzi

(5)
(6)

DAFTAR ISI

Halaman

LEMBAR JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR ISI ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan dan Manfaat ... 2

1.2.1 Tujuan ... 2

1.2.2 Manfaat ... 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 3

2.1 Obat Tradisional ... 3

2.1.1 Jamu ... 4

2.2 Serbuk ... 4

2.2.1 Serbuk Obat Tradisional ... 4

2.3 Tanaman Obat ... 5

2.4 Simplisia Yang Terdapat Dalam Jamu ... 6

2.5 Demam dan Nyeri... 8

2.5.1 Demam ... 8

2.5.2 Nyeri ... 8

2.6 Obat Analgetika ... 9

2.6.1 Parasetamol ... 9

2.6.1.1 Struktur Parasetamol ... 10

2.6.1.2 Sifat Farmakologis ... 10

2.6.1.3 Farmakokinetik dan Metabolisme... 10

2.6.1.4 Efek Toksik ... 11

2.7 Kromatografi ... 12

2.7.1 Kromatografi Lapis Tipis ... 12

2.7.2 Fase Diam KLT ... 15

(7)

2.7.4 Deteksi Bercak ... 16

BAB III METODOLOGI ... 18

3.1 Tempat Pengujian ... 18

3.2 Sampel ... 18

3.2 Identifikasi Parasetamol Dalam Jamu Sari Mahkota Dewa Secara Kromatografi Lapis Tipis ... 19

3.3.1 Alat ... 19

3.3.2 Bahan ... 19

3.3.3 Pereaksi Khusus ... 19

3.3.4 Prosedur ... 19

3.3.5 Identifikasi ... 20

3.3.6 Persyaratan ... 20

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 21

4.1 Hasil Kromatografi Lapis Tipis... 21

4.1.1 Dengan fase gerak Kloroform-aseton (4:1) ... 21

4.2 Pembahasan ... 21

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN... 23

5.1 Kesimpulan ... 23

5.2 Saran ... 23

DAFTAR PUSTAKA ... 24

LAMPIRAN ... 25

LAMPIRAN PERHITUNGAN ... LA-1

(8)
(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Obat tradisional adalah obat-obatan yang diolah secara tradisional,

turun-temurun, berdasarkan resep nenek moyang, adat-istiadat, kepercayaan, atau

kebiasaan setempat, baik bersifat magik maupun pengetahuan tradisional (Dirjen

POM, 1994).

Obat tradisional jamu telah dipergunakan oleh bangsa dan masyarakat

dunia dengan secara luas. Para ahli pengobatan tradisional memberikan defenisi

tentang kehidupan lebih bebas sebagai “kesatuan dari tubuh, perasaan, pikiran dan

jiwa” sehingga dianggap sehat apabila “kesatuan yang positif dari kesejahteraan

fisik, mental, sosial, moral dan spiritual” (Suyono, 1996) .

Faktor pendorong terjadinya peningkatan penggunaan obat tradisional di

negara maju adalah usia harapan hidup yang lebih panjang pada saat penyakit

kronik meningkat, adanya kegagalan penggunaan obat modern untuk penyakit

tertentu diantaranya kanker, serta semakin luas akses informasi mengenai obat

tradisional di seluruh dunia. Khasiat alamiah dan kemurnian obat-obatan

tradisional seringkali “dinodai” oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab

terutama produsen obat tradisional yang hanya mencari keuntungan finansial saja

tanpa memperhatikan kemurnian dan resiko dari kandungan obat tradisional

(10)

1.2 Tujuan dan Manfaat

1.2.1 Tujuan

− Untuk mengetahui hasil pengujian bahan kimia obat dari jamu di

Laboratorium Obat Tradisional BPOM Medan.

− Untuk mengetahui apakah jamu yang telah diuji memenuhi persyaratan

atau tidak memenuhi persyaratan.

1.2.2 Manfaat

Manfaat yang dapat diperoleh dari identifikasi parasetamol dalam jamu

Sari Akar Dewa adalah agar dapat mengetahui apakah jamu Sari Akar Dewa yang

beredar dipasaran dan telah diuji tersebut mengandung bahan kimia obat atau

(11)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Obat Tradisional

Obat tradisional yang diperlukan oleh masyarakat adalah obat tradisional

yang mengandung bahan atau ramuan bahan yang dapat memelihara kesehatan,

mengobati gangguan kesehatan, serta dapat memulihkan kesehatan. Bahan-bahan

ramuan obat tradisional seperti bahan tumbuh-tumbuhan, bahan hewan, sedian

sarian atau galenik yang memiliki fungsi, pengaruh serta khasiat sebagai obat,

dalam pengertian umum kefarmasian bahan yang digunakan sebagai obat disebut

simplisia. Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apapun juga dan kecuali dinyatakan lain berupa

bahan yang telah dikeringkan (Depkes RI, 1995).

Keamanan dan mutu obat tradisional tergantung dari bahan baku,

bangunan, prosedur, dan pelaksanaan pembuatan, peralatan yang digunakan,

pengemasan termasuk bahan serta personalia yang terlibat dalam pembuatan obat

tradisional (Suyono, 1996).

Untuk meningkatkan mutu suatu obat tradisional, maka pembuatan obat

tradisional haruslah dilakukan dengan sebaik-baiknya mengikutkan pengawasan

menyeluruh yang bertujuan untuk menyediakan obat tradisional yang senantiasa

memenuhi persyaratan yang berlaku (Dirjen POM, 1994).

2.1.1 Jamu

Jamu adalah sebutan untuk obat tradisional dari

(12)

berupa bagian dari tumbuhan sepert

batang dan buah. Ada juga menggunakan bahan dari tubuh hewan, seperti

kambing atau tangkur buaya (Suyono, 1996).

2.2 Serbuk

Serbuk adalah campuran homogen dua atau lebih obat yang disebukkan.

Pada pembuatan serbuk kasar, terutama serbuk nabati, digerus terlebih dahulu

sampai derajat halus tertentu setelah itu dikeringkan pada suhu tidak lebih 50oC.

Serbuk obat yang mengandung bagian yang mudah menguap dikeringkan dengan

pertolongan bahan pengering yang cocok, setelah itu diserbuk dengan jalan

digiling, ditumbuk dan digerus sampai diperoleh serbuk yang mempunyai derajat

halus serbuk (Anief, 2000).

2.2.1 Serbuk Obat Tradisional

Menurut SK Menkes 1994 pengertian dari serbuk obat tradisonal adalah

sediaan obat tradisonal berupa butiran homogen dengan derajat halus yang cocok;

bahan bakunya berupa simplisia sediaan galenik, atau campurannya. Sediaan

serbuk ini penggunaan nya dengan cara diseduh dalam air mendidih. Air seduhan

diminum sesuai kebutuhan. Karena serbuk berbahankan dari bahan obat

tumbuh-tumbuhan yang di keringkan secara alamiah ataupun merupakan campuran dua

atau lebih unsur kimia murni yang di buat menjadi serbuk dalam perbandingan

tertentu, maka serbuk harus memiliki persyaratan agar layak edar. Adapun

persyaratan serbuk yang akan diedarkan meliputi:

Kadar air : Tidak lebih dari 10%

(13)

Angka kapang dan khamir : Tidak lebih dari 104

Mikroba pathogen : Negatif

Aflatoksin : Tidak lebih dari 30 bpj.

Bahan tambahan: Pengawet, Serbuk dengan bahan baku simplisia

dilarang ditambahkan bahan pengawet. Serbuk

dengan bahan baku sediaan galenik dengan penyari

air atau campuran etanol-air bila diperlukan dapat

ditambahkan bahan pengawet.

Pemanis; Gula tebu (gula pasir), gula aren, gula

kelapa, gula bit dan pemanis alam lainnya yang

belum menjadi zat kimia murni.

Pengisi; Sesuai dengan pengisi yang diperlukan pada

sediaan galenik.

Wadah dan Penyimpanan: Dalam wadah tertutup baik; disimpan pada suhu

kamar, ditempat kering dan terlindung dari sinar

matahari (Depkes RI, 1994).

2.3 Tanaman obat

Para ahli mengelompokkan tanaman obat berkhasiat menjadi tiga

kelompok sebagai berikut:

1. Tumbuhan obat tradisional merupakan spesies tumbuhan yang diketahui

atau dipercayai masyarakat memiliki khasiat obat dan telah digunakan

(14)

2. Tumbuhan obat modern merupakan spesies tumbuhan yang secara ilmiah

telah dibuktikan mengandung atau memiliki senyawa atau bahan bioaktif

berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggung jawabkan secara

klinis.

3. Tumbuhan obat potensial merupakan spesies tumbuhan yang diduga

mengandung atau memiliki senyawa atau bahan bioaktif berkhasiat obat

tetapi belum dibuktikan penggunaannya secara ilmiah medis sebagai bahan

obat.

Menurut para ahli tanaman obat didefenisikan sebagai jenis tanaman yang

sebagian, seluruh tanaman dan atau eksudat tanaman tersebut digunakan sebagai

obat, bahan atau ramuan obat-obatan (Widyastuti, 2004).

Bahan baku obat tradisional sebagian besar berasal dari tanaman, baik

keseluruhan maupun bagian dari tanaman seperti daun, buah, akar, kulit dan

batang. Bahan tersebut dapat dimanfaatkan dalam keadaan segar maupun kering

(Mursito, 2002).

2.4 Simplisia yang terdapat dalam jamu

- Gyunurae Folium

Daun dewa adalah Gynura procumbens, suku Asteraceae

Mengandung : Alkaloid, tannin, polifenol, asam fenolat, asam

klorogenat, asam kafeat, asam vanilat, saponin, dan

flavonoid (Fauziah, 2007).

Penggunaan : Luka terpukul, pendarahan, batuk darah, muntah

darah, mimisan, infeksi kerongkongan, tidak

(15)

darah, tulang patah, pendarahan setelah melahirkan

(Fauziah, 2007).

- Andrographidis Folium

Sambiloto adalah Andrographidis paniculata, suku Acanthaceae

Mengandung : Andrographolid, kalium, natrium, asam kresik,

minyak atsiri dan damar

(Prapanza dan Marianto, 2005).

Penggunaan : Obat sariawan, anti radang, peluruh seni,

antipiretik dan menghancurkan penggumpalan

darah (Prapanza dan Marianto, 2005).

- Curcumae Rhizoma

Temulawak adalah rimpang Curcuma xanthorriza, suku Zingiberaceae.

Mengandung : Minyak atsiri felandren, zat warna kurkumin

berupa kurkuminoid (Permadi, 2008).

Penggunaan : Penambah nafsu makan (Permadi, 2008).

- Plumbaginis Folium

Daun encok adalah Plumbago zeylanica L., suku Plumbaginaceae

Menandung : Plumbagin dan zat penyamak

Penggunaan : Analgesik, antibengkak, antimikroba

(Permadi, 2008).

- Retrofracti Fructus

Cabe jawa adalah Piper retrofractum, suku Piperaceae

Mengandung : Minyak atsiri, alkaloid piperin,pati dan dammar

(16)

2.5 Demam dan Nyeri 2.5.1 Demam

Demam mungkin adalah tanda utama penyakit yang paling tua dan paling

umum diketahui. Demam terjadi tidak saja pada mamalia tetapi juga pada unggas,

reptile, amfibi, dan ikan. Demam yang berarti suhu tubuh diatas normal, dapat

disebabkan oleh kelainan di dalam otak sendiri atau oleh bahan-bahan toksik yang

mempengaruhi pusat pengaturan suhu. Beberapa penyebab demam meliputi

penyakit yang disebabkan oleh bakteri, tumor otak, dan keadaan lingkungan yang

dapat berakhir dengan heatstroke (Ganong, 2003 ; Guyton, 2008).

Manfaat demam bagi organisme masih belum diketahui. Demam mungkin

bermanfaat, karena timbul dan menetap sebagai respons terhadap infeksi dan

penyakit lain. Banyak mikroorganisme tumbuh baik dalam rentang suhu yang

relatif sempit, dan peningkatan suhu akan menghambat pertumbuhannya. Selain

itu, pembentukan antibodi meningkat apabila suhu tubuh meningkat. Hipertermia

berguna bagi orang yang terinfeksi antraks, pneumonia, pneumokokkus, lepra,

dan berbagai penyakit jamur, riketsia, dan virus. Namun, suhu yang sangat tinggi

adalah berbahaya. Apabila suhu rektal melebihi 41oC (106oF) dalam jangka waktu

yang lama, akan terjadi kerusakan otak yang permanen. ( Ganong, 2003).

2.5.2 Nyeri

Nyeri adalah gejala penyakit atau kerusakan yang paling sering. Walaupun

nyeri sering berfungsi untuk mengingatkan dan melindungi dan sering

memudahkan diagnosis, pasien merasakannya sebagai hal yang tak mengenakkan,

kebanyakan menyiksa dan karena itu berusaha untuk bebas darinya. Seluruh kulit

(17)

tubuh peka terhadap rasa nyeri, tetapi ternyata terdapat juga organ yang tidak

mempunyai reseptor nyeri, seperti misalnya otak (Mutschler, 1991).

Nyeri timbul jika rangsangan mekanik, termal, kimia, atau listrik

melampaui suatu nilai ambang tertentu (nilai ambang nyeri) dan karena itu

menyebabkan kerusakan jaringan dengan pembebasan senyawa yang disebut

senyawa nyeri (Mutschler, 1991).

2.6 Obat Analgetika

Analgetika atau obat penghalang nyeri adalah zat-zat yang mengurangi

atau menghalau rasa nyeri tanpa menghilangkan kesadaran. Nyeri merupakan

suatu perasaan pribadi dan ambang toleransi nyeri yang berbeda-beda bagi setiap

orang. Batas nyeri untuk suhu adalah konstan yakni 44-45oC (Tjay, dan Kirana,

2002).

2.6.1 Parasetamol

Asetaminofen (parasetamol) merupakan metabolit dari fenasetin.

Khasiatnya analgetis dan antipiretis, tetapi tidak anti radang. Dewasa ini pada

umumnya dianggap sebagai zat anti nyeri yang paling aman, juga untuk

swamedikasi (pengobatan mandiri) (Gilman, 2008).

Ambang nyeri didefenisikan sebagai tingkat (level) di mana nyeri

dirasakan untuk pertama kali. Jadi, intensitas rangsangan yang terendah saat

seseorang merasakan nyeri. Untuk setiap orang, ambang nyeri adalah konstant

(18)

2.6.1.1 Struktur Paracetamol

Sinonim : 4-Hidroksiasetanilida

Berat Molekul : 151.16

Rumus Empiris : C8H9NO2.

(Ditjen POM, 1995)

2.6.1.2Sifat Farmakologis

Asetaminofen mempunyai efek analgesik dan antipiretik yang tidak

berbeda secara signifikan dengan aspirin. Namun, seperti telah dikemukakan,

senyawa ini hanya mempunyai efek anti radang yang lemah. Metabolit minor ikut

andil secara signifikan dalam efek toksik asetaminofen (Mutschler, 1991).

Ketidakmampuan asetaminofen memberikan efek antiradang mungkin

berkaitan dengan fakta bahwa asetaminofen hanya merupakan inhibitor

siklooksigenase yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang

ditentukan pada lesi radang. Sebaliknya, efek antipiretiknya dapat dijelaskan

dengan kemampuannya menghambat siklooksigenase di otak, yang tonus

peroksidanya rendah. Selain itu, asetaminofen tidak menghambat aktivasi

neutrofil, sedangkan NSAID lain menghambat aktivasi tersebut (Katzung, 2002).

2.6.1.3Farmakokinetika dan Metabolisme

Asetaminofen diabsorbsi dengan cepat dan hampir sempurna dari saluran

cerna. Konsentrasi dalam plasma mencapai puncak dalam 30 sampai 60 menit,

waktu paruh dalam plasma sekitar 2 jam setelah dosis terapeutik. Asetaminofen

terdistribusi relatif seragam hampir diseluruh cairan tubuh. Pengikatan obat ini

(19)

konsentrasi yang ditemukan pada intoksikasi akut. Setelah dosis terapeutik, 90%

sampai 100% obat ini mungkin ditemukan dalam urin selama hari pertama,

terutama setelah konjugasi hepatic dengan asam glukuronat (sekitar 60%), asam

sulfat (sekitar 35%), atau sistein (sekitar 3%); sejumlah kecil metabolit hasil

hidroksilasi dan deasetilasi juga telah terdeteksi (Gilman, 2008).

Anak-anak mempunyai kemampuan lebih kecil untuk glukuronidasi obat

ini daripada orang dewasa. Sebagian kecil asetaminofen mengalami

N-hidroksilasi yang diperantarai sitokrom P450 membentuk

N-asetil-benzokuinoneimin, suatu senyawa antara yang sangat reaktif. Metabolit ini

biasanya bereaksi dengan gugus sulfhidril pada glutation. Namun, setelah ingesti

asetaminofen dosis besar, metabolit ini terbentuk dalam jumlah yang cukup

banyak untuk menghilangkan glutation hepatic. Waktu paruh asetaminofen adalah

2-3 jam dan relatif tidak terpengaruh oleh fungsi ginjal. Dengan kuantitas toksik

dan penyakit hati, waktu paruhnya dapat meningkat dua kali lipat atau lebih

(Katzung, 2002).

2.6.1.4Efek Toksik

Pada dosis terapeutik yang dianjurkan, asetaminofen biasanya ditolerir

dengan baik. Kadang-kadang terjadi ruam kulit dan reaksi alergi lain. Ruam

tersebut biasanya berupa eritema atau urtikaria, tetapi kadang-kadang lebih parah

dan mungkin disertai demam obat dan lesi mukosa. Pasien yang menunjukkan

reaksi hipersensitivitas terhadap asetaminofen. Pada beberapa kasus tertentu,

penggunaan asetaminofen menyebabkan neutropenia, trombositopenia, dan

(20)

akut berupa nekrosis hati yang kemungkinan fatal dan tergantung dosis. Nekrosis

tubulus ginjal dan koma hipoglikemik mungkin juga terjadi (Gilman, 2008).

Kombinasi parasetamol dan kafein dalam dosis besar dapat menyebabkan

resiko kerusakan hati atau hepatotoksik. Beberapa kasus nefrotoksik dan

kardiotoksik juga telah dilaporkan terjadi overdosis parasetamol. Adanya kafein

akan menginduksi enzim pemetabolisme parasetamol (CYP3A4) dihati, sehingga

metabolisme parasetamol meningkat. Dengan demikian, jumlah metabolit toksik

(NAPQI) yang dihasilkan juga meningkat (Lee, et al., 1997).

2.7 Kromatografi

Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fasa yaitu fasa

tetap (stasionary) dan yang lain fasa bergerak (mobile), pemisahan-pemisahan

tergantung pada gerakan relatif dari dua fasa ini . Senyawa pemisahan dengan

kromatografi tergantung pada kenyataan bahwa senyawa-senyawa yang

dipisahkan terdistribusi sendiri diantara fasa-fasa bergerak dan tetap dalam

perbandingan yang sangat berbeda-beda dari satu senyawa yang lain

(Sastrohamidjojo, 1985).

2.7.1 Kromatografi Lapis Tipis

Kromatografi Lapis Tipis (KLT) dikembangkan oleh Izmailoff dan

Schraiber pada tahun 1983. KLT merupakan bentuk kromatografi planar, selain

kromatografi kertas dan elektroforesis. Pada kromatografi lapis tipis, fase

diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar

yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Fase gerak

yang dikenal sebagai pelarut pengembang akan bergerak sepanjang fase diam

(21)

karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending)

(Rohman,2007).

Kromatografi lapis tipis dalam pelaksanaanya lebih mudah dan lebih murah

dibandingkan dengan kromatografi kolom. Demikian juga dengan peralatan yang

digunakan, dalam kromatografi ini peralatan yang digunakan lebih sederhana. Plat

kromatografi dibuat dengan cara penjerap padat yang berbentuk bubukan halus

dibuat menjadi bubur (slury) dengan air (kurang umum dengan zat cair organik

yang mudah menguap) dan dibentang diatas plat glass. Plat yang telah dilapisi

dipanaskan atau diaktifkan dengan jalan memanaskannya pada suhu kira-kira

100oC selama 30 menit (Sastromidjojo, 1985).

Senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis diidentifikasi dengan

melihat flourosensi dalam sinar ultraviolet. Faktor-faktor yang mempengaruhi

gerakan noda dalam kromatografi lapis tipis yang juga mempengaruhi harga Rf,

yaitu:

1. Struktur kimia dari senyawa yang sedang dipisahkan

2. Sifat dari penyerap dan derajat aktivitasnya

Perbedaan penyerap akan memberikan perbedaan yang besar terhadap

harga-harga Rf meskipun mengunakan fase bergerak dalam solut yang

sama, tetapi hasil akan dapat diperoleh jika menggunakan penyerap

yang sama juga ukuran partikel tetap dan jika pengikat (kalau ada)

dicampur hingga homogen.

3. Tebal dan kerataan dari lapisan penyerap

Meskipun dalam prakteknya tebal dan lapisan tidak dapat dilihat

(22)

Ketidakrataan akan menyebabkan aliran pelarut menjadi tak rata pula

dalam daerah yang kecil dari plat.

4. Pelarut (dan derajat kemurniannya) fase bergerak

Kemurnian dari pelarut yang digunakan sebagai fasa bergerak dalam

kromatografi lapisan tipis adalah sangat penting dan bila campuran

pelarut digunakan maka perbandingan yang dipakai harus betul-betul

diperhatikan.

5. Derajat kejenuhan dari uap dalam bejana pengembangan yang

digunakan.

6. Teknik percobaan

Arah dalam mana pelarut bergerak diatas plat. (metode aliran penaikan

yang hanya diperhatikan, karena cara ini yang paling umum meskipun

teknik aliran penurunan dan mendatar juga digunakan).

7. Jumlah cuplikan yang digunakan

Penetesan cuplikan dalam jumlah yang berlebihan memberikan

tendensi penyebaran noda-noda dengan kemungkinan terbentuknya

ekor dan efek tak kesetimbangan lainnya hingga akan mengakibatkan

kesalahan-kesalahan pada harga-harga Rf.

8. Suhu

Pemisahan-pemisahan sebaiknya dikerjakan pada suhu tetap, hal ini

terutama untuk mencegah perubahan-perubahan dalam komposisi

pelarut yang disebabkan oleh penguapan atau perubahan-perubahan

(23)

9. Kesetimbangan

Ternyata bahwa kesetimbangan dalam lapisan tipis lebih penting dalam

kromatografi kertas, hingga perlu mengusahakan atmosfer dalam

bejana jenuh dengan uap pelarut. Suatu gejala bila atmosfer dalam

bejana tidak jenuh dengan uap pelarut, bila digunakan pelarut

campuran, akan terjadi pengembangan dengan permukaan pelarut yang

terbentuk cekung dan fase bergerak lebih cepat pada bagian tepi-tepi

dari pada bagian tengah, keadaan ini harus dicegah.

Alat kromatografi lapis tipis yaitu lempengan kaca, dengan tebal serba rata

dengan ukuran yang sesuai, umumnya 20 x 20 cm. Bejana kromatografi yang

dapat memuat satu atau lebih lempeng kaca dan dapat ditutup seperti tertera pada

kromatografi menaik (Sastromidjojo, 1985).

2.7.2 Fase Diam KLT

Lapisan dibuat dari salah satu penjerap yang khusus digunakan untuk KLT

yang dihasilkan oleh berbagai perusahaan. Panjang lapisan 200 mm dengan lebar

200 atau 100 mm. Untuk analisis totalnya 0,1-0,3 mm, biasanya 0,2 mm. Sebelum

digunakan, lapisan disimpan dalam lingkungan yang baik lembab dan bebas dari

uap laboratorium (Stahl, 1985).

Penjerap yang umum ialah silika gel, aluminium oksida, kieselgur, selulosa

dan turunannya, poliamida, dan lain-lain. Dapat dipastikan silika gel paling

banyak digunakan. Selain itu harus diingat bahwa penjerap seperti aluminium

oksida dan silika gel mempunyai kadar air yang berpengaruh nyata terhadap daya

(24)

2.7.3 Fase Gerak KLT

. System yang paling sederhana pada pemilihan fase gerak ialah campuran 2

pelarut organik karena daya elusi campuran kedua pelarut ini dapat mudah diatur

sedemikian rupa sehingga pemisahan dapat terjadi secara optimal. Berikut adalah

beberapa petunjuk dalam memilih dan mengoptimasi fase gerak:

1. Fase gerak harus mempunyai kemurnian yang sangat tinggi karena KLT

merupakan teknik yang sensitif

2. Daya elusi fase gerak harus diatur sedemikian rupa sehingga harga Rf

terletak antara 0,2-0,8 untuk memaksimalkan pemisahan

3. Untuk pemisahan dengan menggunakan fase diam polar seperti silika gel,

polaritas fase gerak akan menentukan kecepatan migrasi solute yang

berarti juga menentukan nilai Rf. Penambahan pelarut yang bersifat

sedikit polar seperti dietileter ke dalam pelarut non polar seperti metil

benzen akan meningkatkan harga Rf secara signifikan

4. Solute-solut ionic dan solute-solut polar lebih baik digunakan campuran

pelarut sebagai fase geraknya, seperti campuran air dan metanol dengan

perbandingan tertentu. Penambahan sedikit asam etanoat atau amonia

masing-masing akan meningkatkan solute-solut yang bersifat basa dan

asam (Rohman, 2007).

2.7.4 Deteksi Bercak

Untuk penentuannya dapat dilakukan secara kimia, fisika, maupun biologi.

Cara kimia yang biasa digunakan adalah dengan mereaksikan bercak dengan suatu

pereaksi melalui cara penyemprotan sehingga bercak menjadi jelas. Cara fisika

(25)

radioaktif dan fluoresensi sinar ultraviolet. Fluoresensi sinar ultraviolet terutama

untuk senyawa yang dapat berfluoresensi, membuat bercak akan terlihat jelas. Jika

senyawa tidak dapat berfluoresensi maka bahan penyerapnya akan diberi indikator

yang berfluoresensi, dengan demikian bercak akan kelihatan hitam sedang latar

(26)

BAB III METODOLOGI 3.1 Tempat Pengujian

Pengujian identifikasi parasetamol dalam jamu sari akar dewa secara

kromatografi lapis tipis dilakukan di Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan

(BBPOM) di Medan yang berada di Jalan Willem Iskandar Pasar V Barat I No. 2

Medan.

3.2. Sampel

Nama sampel : Jamu Sari Mahkota Dewa

Wadah/Kemasan : Bungkus Sachet

Waktu Daluarsa : 08 2013

Kode Registrasi : POM. TR. No 033618111

Pabrik : CV. Prima Sentoso

Komposisi : Gyunurae Folium 20%, Andrographidis Herba

15%, Curcumae Rhizomae 15%, Plumbaginis

Folium 10%, Retrofracti Fructus 10% dan bahan

lain lain hingga 100%

Khasiat : Dapat mengobati asam urat, pegal linu, rematik,

kencing manis, tekanan darah tinggi, sesak napas,

membersihkan darah kotor, melancarkan

peredaran darah, nyeri otot, masuk angin,

(27)

3.3 Identifikasi Parasetamol dalam Jamu Sari Akar Dewa Secara Kromatografi Lapis Tipis

3.3.1 Alat

Peralatan yang dipakai adalah lampu UV, labu erlenmeyer, syringe

perfection C670-12554-04 100u1, chamber, corong pisah, kertas saring,

timbangan analitik, pipet tetes, gelas ukur, spatula, kertas perkamen, kertas

aluminium foil, plat KLT silika GF 254 nm, pH universal.

3.3.2 Bahan

Bahan yang digunakan adalah jamu tradisional Sari Akar Dewa.

3.3.3 Pereaksi Khusus

Adapun pereaksi yang digunakan adalah Natrium Hidroksida 1 N, Asam

Klorida 0,1 N, Kloroform, dan Aseton.

3.3.4 Prosedur Larutan Uji

- Sejumlah satu dosis cuplikan yang telah diserbuk halus, dimasukkan

kedalam labu Erlenmeyer 250 ml.

- ditambahkan 50 ml air, dibasakan dengan NaOH 1 N hingga pH 9-10 dan

dikocok selama 30 menit dan disaring.

- Filtrat diasamkan dengan beberapa tetes HCl 0,1 N hingga pH 3-4,

diekstraksi 4 kali, setiap kali dengan 20 ml CHCl3.

- diuapkan dengan penguap rotasi vakum hingga hampir kering, sisa

(28)

Larutan Baku

Sebanyak 15 mg Parasetamol BPFI ditimbang seksama, dimasukkan

kedalam labu tentukur 5 ml, dilarutkan dan diencerkan dengan etanol hingga

tanda (Larutan B).

3.3.5 Identifikasi

Cara Kromatografi Lapis Tipis

Larutan A dan B yakni ditotolkan secara terpisah dan dilakukan

Kromatografi Lapis Tipis sebagai berikut:

Fase diam : Silika gel GF 254

Fase gerak : kloroform : aseton ( 4:1 )

Penjenuhan : kertas saring

Jarak rambat : 15 cm

Vol. penotolan : Larutan A dan B masing-masing 25 µl

Penampak bercak digunakan cahaya UV 254 nm, terjadi fluoresensi.

3.3.6 Persyaratan

(29)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Kromatografi Lapis Tipis

4.1.1 Dengan fase gerak Kloroform-Aseton (4:1) Hasil kromatogram lampiran 1.

Dari hasil pengujian Kromatografi Lapis Tipis, Harga Rf Baku

Parasetamol sama dengan harga Rf Sampel Jamu dengan menggunakan eluen

atau fase gerak yakni dengan fase gerak Kloroform-Aseton (4:1) didapat Harga Rf

baku Parasetamol = 0,30 sedangkan sampel jamu = 0,30.

Harga Rf pada pengamatan secara visual tidak dapat dihitung karena

kromatogram yang dihasilkan tidak dapat diamati secara visual.

4.2 Pembahasan

Dari hasil pengujian Kromatografi Lapis Tipis, Harga Rf menunjukkan

sampel mengandung Parasetamol karena Harga Rf Baku Parasetamol sama

dengan harga Rf Sampel Jamu dengan menggunakan eluen atau fase gerak yakni

dengan fase gerak Kloroform-Aseton (4:1) didapat Harga Rf baku Parasetamol =

0,30 sedangkan sampel jamu = 0,30.

Dari hasil ini maka jamu ini mengandung BKO atau Bahan Kimia Obat

yakni Parasetamol. Bahan kimia obat seperti parasetamol sering ditambahkan oleh

produsen-produsen jamu karena sediaan nya sendiri memang murah dan mudah di

dapat. Memang, pada umumnya parasetamol dianggap sebagai zat anti nyeri yang

paling aman, juga untuk pengobatan mandiri. Tetapi faktanya, parasetamol sendiri

tidak ditujukkan sebagai anti radang karena sangat kecil khasiatnya sebagai anti

(30)

non steroid (NSAID) atau obat pereda nyeri opioid, dapat digunakan untuk

(31)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan

Dari percobaan yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa:

− Jamu Sari Akar Dewa mengandung Bahan Kimia Obat (BKO) berupa

Paracetamol.

− Jamu Sari Akar Dewa yang telah diuji tidak memenuhi persyaratan karena

mengandung Bahan Kimia Obat (BKO)

5.2 Saran

Diharapkan agar pada praktek kerja lapangan selanjutnya dilakukan

pengujian kembali terhadap Jamu Sari Akar Dewa dilakukan penarikan apabila

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Anief, M. (1996). Ilmu Meracik Obat Cetakan 6. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Halaman 32.

Anonim. (2008). Obat Tradisional.www.Wikipedia.com. Tanggal akses 10 Mei 2012.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Dirjen POM. (1994). Petunjuk Pelaksanaan Cara Pembuatan Obat Tradisional Yang Baik (CPOTB). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.

Depkes RI. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Halaman 649.

Fauziah, M. (2007). Tanaman Obat Keluarga (TOGA). Edisi Revisi. Jakarta: Penebar Swadaya. Halaman 23-24.

Ganong, WF. (2003). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC. Halaman 136, 245-246.

Guyton, A.C., dan John E Hall. (2008). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 11. Jakarta: EGC. Halaman 649, 945.

Gilman, A. (2008). Dasar Farmakologi Terapi Volume 1. Jakarta: EGC. Halaman 682-684.

Katzung, B.G. (2002). Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Salemba Medika. Halaman 485.

Mutschler, E. (1991). Dinamika Obat. Bandung: ITB Press. Halaman 177-178, 193-194.

Mursito. B. (2002). Ramuan Tradisional. Cetakan I. Jakarta: Swadaya. Halaman 24.

Permadi, A. S,Si. (2008). Ramuan Herbal, Penumpas Hipertensi. Jakarta: Niaga Swadaya. Halaman 35

Prapanza, I.E.P., dan Marianto, A. (2005). Khasiat dan Manfaat Sambiloto, Raja Pahit Penakluk Aneka Penyakit. Jakarta: Agromedia Pustaka. Halaman 9, 13-14.

(33)

Sastrohamidjojo. H. (1985). Kromatografi. Edisi I. Yogyakarta: Liberty. Halaman 1, 29, 34-35.

Stahl, E. (1985). Analisis Obat Secara Kromatografi dan Mikroskopi. Bandung: ITB. Halaman 4,7,11.

Suyono. H. (1996). Obat Tradisional Jamu di Indonesia. Surabaya. Universitas Airlangga. Halaman 25, 53.

Tan, T.H., dan Kirana, R. (2002). Obat-Obat Penting Khasiat Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi V. Cetakan I. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Gramedia. Halaman 295-297.

(34)

Lampiran A1

Rumus Perhitungan

Baku Parasetamol =

= 0,30

Sampel Jamu =

= 0,30

Referensi

Dokumen terkait

Analisa identifikasi Asam Retinoat dalam krim pemutih wajah dapat dilakukan dengan metode kromatografi lapis tipis, dikarenakan analisa dengan KLT penanganannya lebih

Oleh karena itu penulis tertarik untuk melakukan uji identifikasi hidrokinon dalam sediaan krim wajah yang dilakukan secara Kromatografi Lapis

Identifikasi Senyawa Antioksidan dalam Ekstrak Etanol Kulit Buah Manggis ( L.) secara Kromatografi Lapis Tipis Autografi: Yulistiana Dwi Rahmawati, 062210101009;

karuniaNya penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Identifikasi dan Penentuan Kadar Parasetamol dan Fenilbutazon dalam Jamu Pegal Linu yang Beredar di

karya ilmiah saya, dengan judul : Identifikasi Tadalafil dalam Kopi Greng dan Minuman Herbal Penambah Stamina secara Kromatografi Lapis Tipis untuk dipublikasikan atau

Dari hasil penelitian identifikasi deksametason dalam jamu pegal linu yang beredar di Pasar-Pasar Kota Bandar Lampung secara Kromatografi Lapis Tipis dapat

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan metode kromatografi lapis tipis densitometri yang dapat digunakan untuk analisis sildenafil sitrat pada jamu penambah stamina,

Pada penelitian sebelumnya, pengujian identifikasi bahan kimia obat Fenilbutazon dalam jamu linurat secara kromatografi lapis tipis menunjukan hasil bahwa sediaan