DAFTAR PUSTAKA
Buku
Abdurrahman, Ensiklopedia Ekonomi, Keuangan, Perdagangan, (Jakarta: Pradya Paramita, 1995).
Chamim, Asyakuri ibn, Pendidikan Kewarganegaraan, (Yogyakarta: Diktilitbang Pimpinan Pusat Muhammadiyah, 2004).
Dimyati, Khudzaifah, & Kelik Wardiono, Metode Penelitian Hukum, (Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta, 2004).
Djumhana, Muhammad, Hukum Perbankan di Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000).
Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: UMM Press, 2007).
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005).
Mahmoeddin, H.A. S, 100 Penyebab Kredit Macet, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995).
__________________, Melacak Kredit Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004).
Mertokusumo, Soedikno, Mengenal Hukum (Suatu Pengantar), Yogyakarta: Liberty, 1988).
Muhammad, Abdulkadir, Rilda Murniaty, Segi Hukum Lembaga Keuangan Dan Pembiayaan, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000).
Nasution, Anwar, Pokok-pokok Pikiran tentang Pembinaan dan Pengawasan Perbankan dalam rangka Pemantapan Kepercayaan kepada Masyarakat terhadap Industri Perbankan, Makalah disampaikan pada Seminar tentang “Pertanggungjawaban Bank Terhadap Nasabah”, Departemen Kehakiman, BPHN, Hotel Indonesia Jakarta, tanggal 24-25 Juni 1997.
Nasution, Bismar, Rejim Anti Money Laundering di Indonesia, (Bandung: Books Terrace & Library).
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: P.T Gramedia Pustaka Utama, 2003).
Sinungan, Muchdarsyah, Dasar-dasar Teknik Manajemen Kredit, (Jakarta: Bina Aksara, 1987).
Subekti, R, & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, (Jakarta: Pranya Paramita, 1975).
Sitompul, Zulkarnain, Problematika Perbankan, (Bandung: Books Terrace & Library, 2005).
Sjahdeini, St. Remy, BI Sebagai Penggerak Utama Reformasi Peraturan Perundang-undangan, Pidato Ilmiah dalam rangka Penerimaan Jabatan Guru Besarb Ilmu Hukum pada Faakultas Hukum UNAIR Suarabaya tanggal 16 Desember 1996, Tulisan yang sama dapat dibaca dalam Majalah Bank dan Manajemen, Edisi November/Desember 1996.
Supriyanto, Eko B, Sepuluh Tahun Krisis Moneter: Kesiapan Menghadapi Krisis Kedua, (Jakarta: InfoKreditur Publishing, 2007).
Widjanarto, Hukum & Ketentuan Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Grafiti, 2002).
Internet
Deregulasi Perbankan: Sejumlah Aturan Tambal Sulam, dalam http://www.Tempo. co.id/ ang/min/01/52/utama3.htm. Diakses tanggal 10 Juni 2010.
Titis Nurdiana dan Ahmad Febrian, Memenuhi Janji dan Membuat Koreksi, dalam http://www.kontan_oonline.com/05/31/aktual/akt1.htm. Diakses tanggal 10 Juni 2010.
Elvyn G.Masassya, Indepedensi Bank Indonesia, dalam http://www.cides.or.id/ ekonomi/ek0001040.asp. Diakses tanggal 10 Juni 2010.
http://www.smecda.com/kajian/files/Lap_Akhir_Kajian_Damp_KUR/2_Bab_I.pd f
Kreditur BUMN Seperti Keong, http://www.majalahtrust.com/subscribe.html. Diakses tanggal 10 Juni 2008.
Kredit UKM Tidak Dihapusbukukan Total, http://KREDIT UKM TIDAK DIHAPUSBUKUKAN TOTAL.html. Diakses tanggal 10 Juni 2010.
BAB III
PENGATURAN PROGRAM KREDIT USAHA RAKYAT DI INDONESIA
A. Latar belakang Kredit Usaha Rakyat
Sampai dengan akhir tahun 2006, jumlah unit UMKM (Usaha Mikro Kecil
dan Menengah) di Indonesia mencapai angka 48,8 juta unit usaha. Namun
demikian, dari jumlah tersebut, yang telah memperoleh kredit dari perbankan
hanya sekitar 39,06% atau 19,1 juta, sehingga sisanya sejumlah 29,7 juta sama
sekali belum tersentuh perbankan. Dari sejumlah 48,8 juta UMKM tersebut
ternyata 90 persennya adalah Usaha Mikro yang berbentuk usaha rumah tangga,
pedagang kaki lima, dan berbagai jenis usaha mikro lain yang bersifat informal, di
mana pada skala inilah paling banyak menyerap tenaga kerja (pro job) dan
mampu menopang peningkatan taraf hidup masyarakat (pro poor).
Apabila tidak ada upaya khusus dari pemerintah, dikhawatirkan perbankan
masih akan menghadapi kesulitan untuk dapat memberikan kredit kepada UMKM
karena pada umumnya walaupun UMKM telah feasible namun belum bankable.
Perbankan dituntut menerapkan manajemen risiko secara international best
practices (Basel 2) yang tidak cocok dengan kondisi UMKM khususnya dan
kondisi makro ekonomi Indonesia. Meskipun sebelum tahun 2007, cukup banyak
program pemerintah yang ditujukan untuk mempercepat perkembangan UMKM
melalui berbagai jenis kredit perbankan, namun perkembangan berbagai program
dirasakan secara signifikan oleh para pelaku UMKM di tingkat akar rumput (grass
root).
Mempertimbangkan kondisi tersebut, akhirnya Pemerintah Republik
Indonesia mengeluarkan Inpres No. 6 tanggal 8 Juni 2007 tentang Kebijakan
Percepatan Pengembangan Sektor Riil dan Pemberdayaan UMKM yang diikuti
dengan adanya Nota Kesepahaman Bersama antara Departemen Teknis,
Perbankan, dan Perusahaan Penjaminan yang ditandatangani pada tanggal 9
Oktober 2007 dengan ditandai peluncuran Penjaminan Kredit/Pembiayaan kepada
UMKM. Akhirnya pada tanggal 5 November 2007, Presiden R.I Susilo Bambang
Yudhoyono meresmikan kredit bagi UMKM dengan pola penjaminan tersebut
dengan nama Kredit Usaha Rakyat (KUR). Kebijakan penjaminan kredit ini
diharapkan akan dapat memberikan kemudahan akses yang lebih besar bagi para
pelaku UMKM dan Koperasi yang telah feasible namun belum bankable.
B. Pengertian dan Dasar Hukum Kredit Usaha Rakyat
Kredit Usaha Rakyat, yang selanjutnya disingkat KUR, adalah kredit/
pembiayaan kepada Usaha Mikro Kecil Menengah Koperasi (UMKM-K) dalam
bentuk pemberian modal kerja dan investasi yang didukung fasilitas penjaminan
untuk usaha produktif. KUR adalah program yang dicanangkan oleh pemerintah
namun sumber dananya berasal sepenuhnya dari dana bank.
Pemerintah memberikan penjaminan terhadap resiko KUR sebesar 70%
sementara sisanya sebesar 30% ditanggung oleh bank pelaksana. Penjaminan
pembiayaan dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. KUR
disalurkan oleh 6 bank pelaksana yaitu Mandiri, BRI, BNI, Bukopin, BTN, dan
Bank Syariah Mandiri (BSM)
Penyaluran KUR diatur oleh pemerintah melalui Peraturan Menteri
Keuangan No. 135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit Usaha
Rakyat yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
10/PMK.05/2009. -Beberapa ketentuan yang dipersyaratkan oleh pemerintah
dalam penyaluran KUR adalah sebagai berikut :
1. UMKM-K yang dapat menerima fasilitas penjaminan adalah usaha
produktif yang feasible namun belum bankable dengan ketentuan:
a. merupakan debitur baru yang belum pernah mendapat kredit/
pembiayaan dari perbankan yang dibuktikan dengan melalui Sistem
Informasi Debitur (SID) pada saat Permohonan Kredit/Pembiayaan
diajukan dan/ atau belum pernah memperoleh fasilitas Kredit Program
dari Pemerintah;
b. khusus untuk penutupan pembiayaan KUR antara tanggal Nota
Kesepakatan Bersama (MoU) Penjaminan KUR dan sebelum
addendum I (tanggal 9 Oktober 2007 s.d. 14 Mei 2008), maka fasilitas
penjaminan dapat diberikan kepada debitur yang belum pernah
mendapatkan pembiayaan kredit program lainnya;
c. KUR yang diperjanjikan antara Bank Pelaksana dengan UMKM-K
2. KUR disalurkan kepada UMKM-K untuk modal kerja dan investasi
dengan ketentuan :
a. Untuk kredit sampai dengan Rp 5.000.0000 (lima juta rupiah), tingkat
bungga kredit/ margin pembiayaan yang dikenakan maksimal
sebesar/setara 24% (dua puluuh empat persen) efektif per tahun
b. Untuk kredit di atas Rp. 5.000.000 (lima juta rupiah) sampai dengan
Rp 500.000.000 (lima ratus juta ruppiah), tingkat bunga kredit/margin
pembiayaan yang dikenakan maksimal sebesar/ setara 16% (enam
belas persen) efektif per tahun.
3. Bank Pelaksana memutuskan pemberian KUR berdasarkan penilaian
terhadaap kelayakan usaha sesuai dengan asas-asas perkreditan yang sehat,
serta dengan memperhatikan ketentuan yang berlaku.
C. Ruang Lingkup Kredit Usaha Rakyat
Pemberian KUR diperuntukkan bagi sektor usaha dan kondisi tertentu
antara lain sektor budidaya pertanian atau perikanan atau lainnya dimana
UMKMK tidak dapat menyediakan agunan tambahan, maka bank pemberi kredit
dapat membagi resiko yang menjadi tanggungjawabnya kepada pihak lain. Dalam
hal terjadi kondisi seperti ini, maka pembagian resiko dimaksud adalah bukan
sebagai agunan dan/atau tidak berfungsi sebagai agunan dari UMKMK penerima
KUR.
Kajian ini merupakan kajian kebijakan (policy research) untuk
yang akan datang. Mengingat luasnya aspek kajian yang berhubungan dengan
KUR, baik dalam bentuk kebijkan, faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan
serta dampaknya dari sisi perbankan maupun UKMK, maka agar kajian ini lebih
terarah dan fokus perlu kiranya dibatasi dalam ruang lingkup sebagai berikut:41
1. Identifikasi kebijakan dan peraturan-peraturan teknis operasional yang
menimbulkan masalah di lapangan dalam penyaluran KUR sehingga bisa
menghambat penyaluran kredit.
2. Identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan KUR, terkait
dengan: (a) sosialisasi dan evaluasi yang dilakukan bank pelaksana dan
instansi pembina, (b) skim KUR: ketentuan agunan, dan persyaratan
administrasi, dan (c) Agunan tambahan.
3. Identifikasi dan evaluasi dampak pelaksanaan KUR, terhadap nasabah,
bank pelaksana dan lembaga penjaminan.
4. Merumuskan masukan untuk penyempurnaan kebijakan pelaksanaan KUR
dimasa yang akan datang berdasarkan fakta lapangan.
D. Mekanisme Pemberian Kredit dalam Program Kredit Usaha Rakyat
Penyaluran Kredit Usaha Rakyat diharapkan dapat memenuhi persyaratan
dan prosedur yang benar, sehingga nantinya diharapkan dapat lebih mengenal
karakteristik nasabah secara menyeluruh. Secara umum prosedur pencairan KUR
haruslah melewati tahap kelengkapan berkas, pengajuan permohonan, dan
penilaian kredit apakah layak atau tidak untuk mendapatkan KUR. Kelengkapan
41
berkas dilakukan dengan memenuhi persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi
oleh nasabah seperti foto, fotocopi ktp, fotocopi kartu keluarga, surat keterangan
usaha, foto usaha dan jaminan (apabila ada). Tahap pengajuan permohonan kredit
dilakukan oleh nasabah dengan cara mengisi form pengajuan KUR dan mengisi
data nasabah yang dibutuhkan. Kemudian tahap penilaian kredit dilakukan oleh
Mantri (Account Officer) untuk menentukan apakah nasabah layak untuk
menerima KUR atau tidak. akan diteliti data yang sudah dikumpulkan dan
selanjutnya diambil keputusan apakah layak atau tidak untuk dicairkan.
Penyaluran KUR tidak terlepas dari prinsip “5 C” yaitu Character,
Capacity, Capital, dan Condition of Economy. Untuk Collateral sendiri, tidak
dilakukan penilaian, melainkan hanya pada sampai tahap melihat apakah jaminan
tersebut benar milik nasabah yang mengajukan KUR. Untuk proses pencairan
kredit membutuhkan waktu sekitar 2-5 hari kerja. Secara lebih jelas prosedur
penyaluran KUR yang dilakukan adalah sebagai berikut:42
1. Pemenuhan Kelengkapan Berkas
2. Pendaftaran
Setelah seluruh kelengkapan berkas dipenuhi, maka akan dilakukan proses
pendaftaran. Dalam hal ini, customer service bertugas untuk melengkapi
form pengajuan KUR yang dibutuhkan sebelum dilakukan proses
penilaian oleh Mantri. Selain itu, customer service juga akan memeriksa
apakah nasabah pinjaman tersebut memang belum pernah sama sekali
menikmati pinjaman di tempat lagi (baik pinjaman uang ataupun cicilan
42
motor). Setelah itu kemudian berkas diberikan kepada Kepala Unit untuk
diproses lebih lanjut. Kepala Unit akan memeriksa kelengkapan
persyaratan yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh customer service.
Setelah itu barulah Kepala Unit memberikan disposisi kepada Mantri
untuk melakukan proses pemeriksaan kebenaran laporan yang
disampaikan oleh nasabah dengan kondisi usaha yang sebenarnya.
3. Pemeriksaan Terhadap Usaha Calon Nasabah
Pemeriksaan terhadap aspek-aspek usaha calon nasabah juga sangat
diperlukan untuk meminimalkan resiko terjadinya tunggakan apabila
pinjaman dicairkan nantinya. Pemeriksaan langsung dilakukan oleh bank
dengan cara datang langsung ke lokasi usaha maupun ke rumah calon
nasabah untuk dapat melakukan penilaian usaha dan mengetahui aktivitas
nasabah setiap harinya. Pemeriksaan tersebut juga dapat dilakukan melalui
wawancara langsung dengan tetangga ataupun relasi. Prinsip 5 C harus
diperhatikan dalam pemeriksaan ini. Oleh karena itu bank harus dapat
mengamati dan memeriksa secara tepat guna mendapatkan data yang
akurat sehingga tidak terjadi kesalahan dalam menganalisis usaha calon
nasabah. Adapun kriteria yang dilakukan dalam penilaian tersebut adalah:
a. Menilai apakah usaha yang dijalankan sesuai dengan surat keterangan
usaha yang sudah dilengkapi
b. Mengetahui apakah alamat nasabah sudah sesuai dengan alamat pada
KTP
prospek yang baik,
d. Mengetahui karakteristik nasabah baik melalui wawancara langsung
dengan nasabah, wawancara dengan tetangga atau relasi,
e. Kebenaran agunan yang dijaminkan di bank.
Pemeriksaan terhadap usaha nasabah dapat dilihat pada aspek pemasaran,
aspek keuangan, aspek manajemen dan aspek sosial ekonomi. Aspek
pemasaran dianalisis untuk mengetahui prospek usaha dan laba untuk
menjamin bahwa usaha tersebut akan terus berkembang. Aspek ini
meliputi keadaaan pasar, baik permintaan maupun penawaran yang sudah
ada untuk jenis usaha yang direncanakan dan diproduksi untuk dijual.
Penilaian terhadap aspek keuangan dilakukan dengan cara melihat data
keuangan calon nasabah dari kegiatan usaha yang sudah dijalankan.
Dengan adanya data tersebut, maka dapat diperkirakan sejauh mana
keuntungan dari usaha yang dijalankan dimasa yang akan datang. Dengan
mengetahui aspek keuangan ini, maka pihak bank akan dapat mengetahui
seberapa besar tingkat kesehatan usaha dan menjadi pertimbangan
seberapa besar jumlah pinjaman KUR yang akan diberikan. Aspek
manajemen dapat mencerminkan bagaimana hubungan antara kemampuan,
pengalaman, kejujuran, cara mengelola usaha serta hubungan antara
pemilik dengan karyawannya. Hal ini dapat berhubungan dengan karakter
calon nasabah untuk mengetahui kemampuannya dalam mengembalikan
pinjaman kredit. Aspek sosial ekonomi dapat dilihat dari peran usaha calon
atau buruk. Misalnya adalah kasus flu burung, dimana secara tidak
langsung berpengaruh terhadap usaha peternakan ayam maupun unggas
lainnya., dimana masyarakat sekitar cenderung tidak menerima apabila di
sekitar lingkungannya berdiri usaha peternakan tersebut.
4. Pembinaan dan Pengawasan Nasabah KUR
Kelancaran dalam pembayaran pinjaman merupakan hal yang sangat
diinginkan oleh bank terhadap seluruh nasabah pinjaman KUR.
Diharapkan melalui pembinaan dan pengawasan terhadap nasabah dapat
mengurangi resiko terjadinya tunggakan dalam pembayaran angsuran.
Formulir pembinaan akan dibawa pada waktu melakukan pembinaan dan
pengawasan sehingga nantinya akan dapat diketahui apabila nasabah
memiliki masalah dalam usahanya. Adapun sektor-sektor yang dibiayai
oleh kredit Usaha Rakyat (KUR) adalah:
a. Sektor pertanian: sektor yang termasuk dalam bagian ini adalah
seluruh aktivitas pertanian baik usaha kecil dan retail atau pedagang
besar yang bergerak dalam bidang pengadaan input pertanian atau
menjual produk pertanian,
b. Perindustrian: seluruh usaha skala kecil yang bergerak di bidang
pengolahan bahan mentah,
c. Perdagangan: pinjaman digunakan untuk membiayai kegiatan
penjualan yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan pokok,
d. Jasa dan lainnya: usaha yang berhubungan dengan jasa seperti
E. Pengawasan terhadap Kredit Usaha Rakyat
Kepercayaan masyarakat sebagai penitip dana, terasa sangat mahal
harganya. Oleh karena itu, bank perlu menciptakan mekanisme kinerja yang baik
sehingga kepercayaan masyarakat yang menitipkan dananya itu tetap terjaga.
Salah satu cara supaya bank tetap bekerja dengan baik adalah perlunya
pengawasan terhadap bank. Pembinaan dan pengawasan terhadap bank mutlak
diperlukan.
Bank Indonesia sesuai dengan pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun
1999 mempunyai tugas, menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter,
mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, mengatur dan mengawasi
bank. Khususnya dalam melakukan pengaturan dan pengawasan bank, termasuk
di dalamnya pelaksanaan pembinaan. Mengingat tugas yang diemban tersebut
maka bank Indonesia mempunyai langkah kewenangan tertentu sebagaimana
ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia,
yaitu:
1. Menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip
kehati-hatian (pasal 25 ayat (1))
2. Menyangkut perizinan perbankan, meliputi kewenangan untuk
memberikan izin dan mencabut izin usaha, memberikan izin pembukaan,
penutupan, dan pemindahan kantor bank, memberikan persetujuan atas
kepemilikan dan kepengurusan bank, memberikan izin kepada bank untuk
3. Melakukan pemeriksaan terhadap bank, baik secara berkala setiap waktu
apabila diperlukan juga dapat mencakup pemeriksaan terhadap perusahaan
induk, perusahaan anak, pihak terkait, pihak terafiliasi dan debitur bank
(pasal 29 ayat (1) dan ayat (2))
4. Memerintakan untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh
kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian bank Indonesia
terhadap suatu transaksi patut diduga merupakan tindak pidana perbankan
(pasal 31 ayat (2))
Kewenangan Bank Indonesia selain ditetapkan dalam Undang-undang
Nomor 23 Tahun 1999 juga ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun
1998 di antaranya yaitu:
1. Menetapkan ketentuan tentang kesehatan bank, tata cara pemberian kredit
atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah serta kegiatan lainnya dari
bank, tata cara penyediaan informasi oleh bank untuk para nasabahnya
(pasal 29)
2. Memeriksa buku-buku, dan berkas-berkas pada bank yang dibinanya
(pasal 31)
3. Menugaskan akuntan public untuk dan atas naam bank Indonesia
melaksanakan pemeriksaan (pasal 31 A)
4. Melakukan tindakan tertentu terhadap bank yang mengalami kesulitan
yang membahayakan kelangsungan usahanya, diperkirakan mengalami
5. Mencabut izin dan memerintahkan direksi bank untuk segera
menyelenggarakan RUPS guna membubarkan badan hukum dan
membentuk tim likuidasi terhadap bank yang tidak bisa memperbaiki
kinerjanya sehingga membahayakan sektor perbankan (pasal 37 ayat (2))
6. Meminta pemerintah untuk membentuk badan khusus yang bersifat
sementara dalam rangka penyehatan perbankan nasional (pasal 37 ayat (1))
7. Mengeluarkan perintah tertulis agar bank memberikan keterangan dan
memperlihatkan bukti-bukti tertulis serta surat-surat mengenai keadaan
keuangan nasabah penyimpan tertentu kepada pejabat pajak (pasal 41 ayat
(1))
8. Memberikan izin kepada pejabat BUPLN/ PUPN untuk memperoleh
keterangan dari bank mengenai simpanan nasbah debitur (pasal 41 A)
9. Memberikan izin kepada polisi, jaksa, atau hakim untuk memperoleh
keterangan dari bank mengenai simpanan tersangka atau terdakwa pada
bank (pasal 42 ayat (1))
10.Memberikan sanksi administrative kepada bank yang tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana ditentukan oleh peraturan
perundang-undangan
Secara fundamental terdapat beberapa alasan tentang tujuan dilakukannya
pemeriksaan langsung terhadap industry perbankan, yaitu:43
1. Pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap integritas system
perbankan dan individual bank. Kepercayaan tersebut penting karena
43
sebagai sumber dana, tujuan dasar bank adalah memberikan jasa
keuangan. Kehadiran bank yang tidak sehat dapat mengancam integritas
system perbankan harus ditutup melalui evaluasi pemeriksaan terhadap
kecukupan modal, kualitas aset, manajemen, posisi likuiditas dan
kemampuan pendapatan.
2. Langkah terbaik untuk menentukan ketaatan bank terhadap ketentuan.
Ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan secara tradisional
merupakan prioritas utama bagi pengawas.
a. Mencegah masalah yang tidak dapat diperbaiki dan yang semakin
buruk, sehingga biaya penyelamatan atau pembayaran terhadap
nasabah penyimpan dapat diminimalkan
b. Memberikan masukan kepada pengawas tentang bentuk, tingkat
keseriusan dan akibat dari suatu masalah bagi bank dan memberikan
fakta dasar bagi langkah-langkah perbaikan yang tepat, rekomendasi
dan perintah. Dengan demikian, pemeriksaan memainkan peranan
kunci dalam proses pengawasan itu sendiri.
Tujuan pengawasan bank untuk meningkatkan keyakinan bahwa bank dari
segi keuangan tergolong sehat, bank dikelola secara baik dan profesional serta
tidak terkandung ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan
dananya di bank. Tekanan dan perhatian diberikan pada aspek-aspek di dalam
individual bank yang diharapkan dapat memelihara kepentingan masyarakat
dengan baik dan perbankan yang berkembang secara wajar serta bermanfaat bagi
Pemeliharaan kepentingan masyarakat dapat tercipta dengan
mengupayakan agar secara individual bank beroperasi dengan sehat dan efisien.
Dengan demikian, akan tercipta perbankan yang aman serta mampu memenuhi
kewajibannya kepada para deposan. Perbankan harus berkembagn secara wajar
sehingga pelayanan jasa perbankan dapat menyentuh seluruh lapisan masyarakat.
Perbankan sebagai pusat teknologi dan inovasi mampu secara aktifs mencari dan
mengembangkan potensi ekonomi yang belum tergali di dalam masyarakat. Bank
harus dapat tumbuh, namun pertumbuhan tersebut hendaknya berlangsung secara
wajar. Bank yang sehat dan efisien bermanfaat bagi perkembangan ekonomi dan
dapat menunjang pengendalian moneter.
Ketika kredit diberikan, maka timbullah resiko, dan sejak saat itulah
pengawasan harus dilakukan. Pemeriksaan dan pengawasan kredit sangat berperan
dalam memelihara kelancaran pembayaran kredit. Beberapa aspek penting, selain
aspek kelengkapan dkumen dan pengikatannya, unsur pengawasan dalam
penggunaan dana pinjaman pun mempunyai peranan penting. Pengawasan ini
bertujuan agar dana pinjaman digunakan untuk produktif dan bukan konsumtif.
Ada beberapa prinsip dalam melaksanakn pengawasan terhadap kredit
usaha rakyat, yaitu:
1. Fungsi pengawasan kredit harus diawali dari upaya yang bersifat
pencegahan sedini mungkin terjadinya hal-hal yang dapat merugikan bank
dalam perkreditan atau terjadinya praktek pemberian kredit yang tidak
sehat. Dalam kaitan ini, hal tersebut harus tercermin dalam struktur
2. Pengawasan kredit juga harus meliputi pengawasan sehari-hari oleh
manajemen bak atas setiap pelaksanaan pemberian kredit atau lazim
dikenal dengan istilah pengawasan melekat.
3. Pengawasan kredit juga harus meliputi audit intern terhadap semua aspek
perkreditan yang dilakukan oleh SKAI (Satuan Kerja Audit Intern)
Pengawasan terhadap kredit usaha rakyat harus meliputi semua aspek
perkreditan serta semua objek pengawasan tanpa melakukan pengecualian, yaitu:
1. Pengawasan terhadap semua pejabat bank yang terkait dengan perkreditan
2. Pengawasan terhadap semua jenis kredit, termasuk kredit kepada
pihak-pihak yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu.
Pengawasan terhadap pihak-pihak yang terkait dengan bank dan
debitur-debitur besar tertentu, bahkan harus dilakukan secara intensif.
Cakupan fungsi pengawasan kredit usaha rakyat sekurang-kurangnya
meliuti hal-hal sebagai berikut:
1. Mengawasi apakah pemberian kredit telah dilaksanakan sesuai KPB
(Kebijaksanaan Perkreditan Bank), prosedur pemberian kredit dan
ketentuan intern bank yang berlaku
2. Mengawasi apakah pemberian kredit telah memenuhi ketentuan perbankan
yang berlaku
3. Memantau perkembangan kegiatan debitur termasuk pemantauan melalui
kegiatan kunjungan kepada debitur dan memberikan peringatan dini
mengenai penurunan kualitas kredit-kredit yang diperkirakan mengandung
4. Mengawasi apakah penilaian kolektibilitas kredit telah sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia
5. Melakukan pembinaan kepada debitur untuk mengarahkan agar debitur
dapat memenuhi kewajibannya kepada bank
6. Memantau dan mengawasi secara khusus kebenaran pemberian kredit
kepada pihak yang terkait dengan bank dan debitur-debitur besar tertentu
apakah telah sesuai dengan KPB
7. Memantau pelaksanaan pengadministrasian dokumen perkreditan apakah
telah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
BAB IV
PENERAPAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PROGRAM KREDIT USAHA RAKYAT
A. Penerapan prinsip mengenal nasabah dalam pemberian kredit usaha rakyat
Prinsip mengenal nasabah adalah prinsip yang diterapkan bank untuk
mengetahui identitas nasabah, memantau kegiatan transaksi nasabah termasuk
pelaporan transaksi keuangan mencurigakan. Bank wajib menerapkan prinsip
mengenal nasabah (know your customer principles). Dalam menerapkan prinsip
ini bank wajib:
1. Mendapatkan kebijakan penerimaan nasabah
2. Menetapkan kebijakan dan prosedur dalam mengidentifikasi nasabah
3. Menetapkan kebijaakn dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan
transaksi nasabah.
4. Menetapkan kebijakan dan prosedur manajemen resiko yang berkaitan
denganmenerapkan prinsip mengenal nasabah
Sebelum melakukan hubungan usaha dengan nasabah, bank harus terlebih
dahulu meminta informasi mengenai nasabah, yakni antara lain:
1. Identitas calon nasabah
2. Maksud dan tujuan hubungan usaha yang akan dilakukan calon nasabah
dengan bank
3. Informasi yang memungkinkan bank untuk dapat mengetahui profil calon
4. Identitas pihak lain, dalam hal calon nasabah bertindak untuk dan atas
nama nasabah
Prinsip mengenal nasabah ini erat kaitannya dengan prinsip 5 C of credit
yakni character. Bank harus mengenal perilaku nasabahnya. Karena berdasarkan
perilaku nasabah dapat dibaca situasi yang memberikan indikasi bahwa kredit
yang diperoleh nasabah adalah gejala bermasalah.
B. Implikasi tidak dilaksanakannya prinsip kehati-hatian dalam program kredit usaha rakyat
Pemberitaan yang gencar dari berbagai media masa terkait dengan
terkuaknya kasus dugaan kredit macet/ kredit bermasalah di bank-bank milik
pemerintah atau badan usaha milik negara telah menyudutkan posisi bank BUMN
dan para bankirnya pada situasi yang sulit. Apalagi dengan ditahannya beberapa
mantan direksi bank BUMN oleh aparat penegak hukum. Bagi dunia perbankan,
adanya berita kredit bermasalah tentu telah menimbulkan implikasi kurang baik
bagi internal bank. Beberapa debitur berkualitas baik mungkin akan berpindah ke
bank lain dikarenakan adanya kredit bermasalah ini. Disinyalir bahwa debitur
yang pindah khawatir jangan-jangan kredit mereka hanya menunggu giliran untuk
diungkap di media masa oleh pemeriksa.44
Dengan adanya pemberitaan itu secara langsung telah menurunkan citra
dan kredibilitas bank di mata publik dan juga di mata perbankan internasional
karena sebagian bank memiliki jaringan di luar negeri. Selain itu, anjloknya citra
bank telah meningkatkan resiko reputasi pada bank-bank tersebut. Akibat lainnya
44
adalah muncul kekhawatiran bank dalam melakukan pembiayaan sektor riil dan
muncul pula kekhawatiran di sebagian kalangan pelaku usaha untuk berhubungan
dengan pihak bank yang memiliki masalah kredit macet.
Beberapa dampak tersebut di atas merupakan beban tambahan bagi pihak
bank, karena mereka harus segera melakukan berbagai upaya untuk
mengembalikan citra dan kredibiltias di mata masyarakat melalui serangkaian
kegiatan public relations dan mereka juga harus mengembalikan kepercayaan dan
dukungan masyarakat dalam dan luar negeri serta memunculkan kepercayaan diri
agar muncul keberanian dalam melakukan penyaluran kredit, karena sejak
menguaknya kasus kredit macet, tidak sedikit proposal kredit yang ditolak oleh
pihak bank. Jika tidak ditangani secara baik, maka kredit bermasalah ini
merupakan sumber kerugian yang sangat potesianl bagi bank. Oleh karena itu,
diperlukan penanganan yang sistematis dan berkelanjutan. Ha ini dikarenakan
Akibat kredit bermasalah ini akan menimbulkan biaya yang menjadi beban dan
kerugian bagi bank.
Usaha-usaha ini harus dilakukan oleh bank agar nasabahnya tetap setia dan
tidak pindah ke bank lain, karena nasabah khawatir kredit mereka tiba-tiba macet
kemudian diproses secara hukum, sehingga kredibilitas mereka turun di mata
masyarakat dan sesama pelaku dunia usaha. Kekhawatiran di kalangan perbankan
ini dilandasi pemikiran bahwa apabila terjadi kredit bermasalah, maka dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi karena telah terjadi kerugian negara.
Dalam hal munculnya kasus kredit macet dalam penyaluran KUR berpotensi
Setiap kredit macet (bad debt) merupakan kredit bermasalah (problem
loan), tetapi setiap kredit bermasalah belum tentu kredit macet, karena mungkin
saja kredit tersebut bermasalah, tetapi sama sekali belum macet.45 Pada saat
terjadi kredit bermasalah, kerugian itu mungkin baru pada taraf potensi, balum
tentu menjadi realitas. Bak pasti akan melakukan restrukturisasi dalam rangka
menyehatkan kredit tersebut agar menjadi lancer kembali. Banyak factor
penyebab terjadinya kredit bermasalah. Sebagian pemberi pinjaman termasuk
kreditur umum, mengatakan bahwa banyak peminjam yang mempunyai sedikit
sifat maling dalam hati kecilnya. Tetapi kelihatannya alasan utama adanya kredit
bermasalah dan kemungkinan kerugian adalah ketidakmampuan peminjam untuk
mewujudkan pendapatan dari kegiatan bisnis yang normal, kesempatan kerja, atau
penjualan hartanya.46
Sejumlah pinjaman yang diberikan untuk tujuan pembiayaan bisnis dan
keperluan pertanian dapat berkembang menjadi pinjaman bermasalah dan
kerugian karena berbagai faktor. Walaupun beberapa penyebabnya mungkin
timbul di luar dunia usaha, dan beberapa analis telah berusaha untuk menjelaskan
kegagalan dunia usaha dalam bentuk penyebab intern dan ekstern, sebagian besar
kesalahan dapat ditimpakan pada manajemen. Manajemen sebuah perusahaan
mempunyai tanggung jawab yang besar, yang meliputi pemilihan sasaran dan
jenis organisasi untuk menjalankannya, pemilihan kebijaksanaan yang akan
dijalankan sehingga memberikan hasil yang wajar pada pemilik perusahaan,
45
H.A.S Mahmoeddin, Melacak Kredit Bermasalah, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2004), hal. 5
46
pengendalian atas proses produksi barang dan jasa yang dapat dijual, serta
melakukan penyesuaian atas kebijaksanaan dan prosedur yang ada untuk
menjamin kelangsungan operasional yang berhasil.47
Banyak yang menjadi alasan terjadinya kerugian pinjaman, dan semua
alasan yang ada bisa saja tidak berlaku untuk semua perusahaan. Sebagian pejabat
kredit mengatakan bahwa penyebab yang paling utama adalah manajemen yang
buruk.
Jika tanggung jawab ini
tidak dipenuhi, kemampuan untuk menghasilkan pendapatan akan menurun,
akibatnya kemampuan untuk membayar kembali pinjaman kreditur juga akan
semakin berkurang.
48
Faktor penting lainnya adalah yang dinamakan dengan kondisi ekonomi
yang buruk,selain itu digabungkan dengan ketergantungan yang terlalu besar pada
pinjaman.49 Kecurangan juga merupakan penyebab utama kerugian pinjaman.
Walaupun faktor tersebut juga mungkin saja dihadapi jika hubungan antara
kreditur dan peminjam mengalami ketegangan dan adanya kemunduran kerja
sama antara peminjam dan pihak kreditur yang bersangkutan. Hal ini mungkin
terjadi jika likuidasi perusahaan harus dilakukan.50
47
Kreditur BUMN Seperti Keong, http://www.majalahtrust.com/subscribe.html. Diakses tanggal 10 Juni 2008.
48
Ibid 49
Eko B. Supriyanto, Sepuluh Tahun Krisis Moneter: Kesiapan Menghadapi Krisis Kedua, (Jakarta: InfoKreditur Publishing, 2007), hal.11.
50
Kredit UKM Tidak Dihapusbukukan Total, http://KREDIT UKM TIDAK
DIHAPUSBUKUKAN TOTAL.html. Diakses tanggal 10 Juni 2010.
Kredit bermasalah atau kredit macet dapat disebabkan oleh beberapa
faktor, yakni adanya faktor internal dan eksternal.
1. Kebijakan prekreditan yang ekspansif
2. Penyimpangan dalam pelaksanaan prosedur perkreditan
3. Itikad kurang baik dari pemilik, pengurus atau pegawai kreditur
4. Lemahnya sistem administrasi dan pengawasan kredit serta lemahnya
sistem informasi kredit macet.51
Sedangka faktor eksternal penyebab timbulnya kredit bermasalah adalah:
1. Kegagalan usaha debitur
2. Musibah terhadap debitur atau terhadap kegiatan usaha debitur
3. Pemanfaatan iklim persaingan perbankan yang tidak sehat oleh debitur
4. Menurunnya kegiatan ekonomi dan tingginya suku bunga kredit.52
Ada 100 faktor yang menyebabkan terjadinya kredit bermasalah, dimana
menurut Mahmoeddin A.S, faktor-faktor tersebut antara lain53
1. Kreditur memiliki kemampuan teknis yang kurang. :
Kreditur sangat memerlukan tenaga ahli/ konsultan untuk melakukan
penilaian atau analisis sebelum memberikan kredit kepada perusahaan atau
proyek yang melakukan usaha high technology seperti misalnyaindustri
komputer, otomotif, dan industri baja. Secara teknis sudah dapat
dipastikan pengetahuan kreditur jauh ketinggalan, oleh sebab itu
diperlukan tenaga ahli untuk melakukan penilaian terhadap prospek kerja
usaha tersebut agar pihak kreditur tidak dibohongi secara mentah-mentah
oleh nasabahnya.
51
Sumber: Data dari PT. Kreditur Mandiri RCR 1 Medan, tanggal 25 Januari 2008, hal. 3.
52
Ibid
53
Semakin canggih usaha nasabah, maka semakin telitilah kreditur dalam
melakukan analisisnya. Jika nasabah memiliki usaha sederhana, maka
kreditur tentu lebih mudah memahami dan mempelajari lika-liku bisnis
nasabah tersebut. Sebaliknya jika bisnis tersebut kompleks maka sering
para kreditur tertinggal jauh pengetahuannya dibandingkan para
nasabahnya. Hal demikian dapat menyulitkan pihak kreditur dalam
menganalisis dan memberikan keputusannya
2. Kreditur terlalu mengejar target.
Kreditur sebagai perusahaan yang bergerak di bidang keuangan,
mempunyai prinsip prositability. Semakin besar keuntungan yang
diperoleh maka semakin besar pula kreditur tersebut di mata para pemilik
saham dan para karyawannya. Banyaknya dana yang mengendap dalam
bentuk kas, akan merupakan dana yang harus dibayar sewanya, apakah itu
menganggur atau tidak. Dari segi keuntungan, dana yang menganggur
dapat merugikan, atau mengurangi keuntungan kreditur. Krediturir yang
mempunyai target mengejar keuntungan tidak akan mengambil resiko
dengan membiarkan dana yang banyak mengendap. Untuk mencegah ini,
sebaiknya para krediturir jangan terlalu mengutamakan target tersebut dan
menomorduakan analisis yang tajam atas permohonan
kredit para nasabah.
3. Kreditur terlalu melihat riwayat nasabah.
Memang benar bahwa riwayat pinjaman seorang nasabah kreditur
bahwa suatu waktu seseorang tersebut karakternya tidak teruji pada
masa-masa sulit, dan tidak jarang pengusaha akan maju usahanya, jika ia
berusaha dalam skala kecil, namun begitu usahanya membesar ia menjadi
merasa bahwa ia tidak mampu mengelolanya.
4. Kreditur terlalu melihat agunan atau terlampau mementingkan jaminan.
Kreditur adalah lembaga keuangan yang memberikan kredit kepada
nasabahnya, bukan rumah gadai yang memberikan kredit berdasarkan
cukup atau tidaknya nilai transaksi dari barang agunan yang dijaminkan
nasabahnya. Sebenarnya, hampir tidak ada hubungan sama sekali antara
kredit dengan jaminan, kalau dimulai dari jaminan. Tetapi sebaliknya, jika
analisis telah dilakukan secara cermat, paling akhir baru dibicarakan
pemasalahan jaminan sekedar benteng pengaman dari kredit atau dengan
motif berjaga-jaga. Tugas para analisis kredit adalah menghitung dengan
cermat, berapa kebutuhan kredit dari nasabah. Bukan sebaliknya, dengan
nilai sejumlah agunan tertentu, berapa nasabah diperbolehkan menikmati
kredit. Jika permasalahan ini dilakukan secara terbalik, maka pemberian
kredit sama sekali mengabaikan cash buget, atau tidak memperhitungkan
Repayment capacity dari nasabah.
5. Kreditur terlalu besar memberikan kredit.
Pemberian kredit yang berlebihan dapat menyebabkan nasabah
menggunakan uangnya untuk membeli barang-barang yang tidak yang
kurang bermanfaat atau tidak produktif bagi perusahaannya. Selain itu
menabungnya di kreditur lain, yang tentu saja memperoleh bunga yang
lebih kecil dari bunga yang harus dibayarnya kepada kreditur pemberi
kredit, atau bisa saja nasabah tersebut menanamkan kelebihan kredit uang
dengan membeli barang tetap yang tingkat likuiditasnya rendah, sehingga
tidak mungkin mampu menutupi kewajiban jangka pendeknya kepada
kreditur. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan terjadinya
pemberian kredit yang berlebihan atau yang disebut juga dengan istilah
over lending/ over creditering antara lain karena adanya kelalaian petugas
dalam kreditur dalam menganalisis, atau adanya unsur kesengajaan atau
pun dengan adanya kerja sama antara petugas (pihak) kreditur dengan
nasabahnya
6. Kreditur terlalu sedikit memberikan kredit.
Jika perusahaan dapat dan mampu beroperasi secara optimum maka
perusahaan tersebut juga akan dapat memperoleh laba yang maksimum.
Produksi pada operasi yang optimum diperoleh jika modal kerja yang
digunakan sudah diperhitungkan dengan cermat dan tepat. Berdasarkan
pengamatan kita sehari-hari, kita dapat melihat bahwa setiap perusahaan
umumnya memiliki hutang piutang dengan sesama relasi atau mitra
usahanya. Dengan demikian jika kredit yang diberikan tidak mencukupi
maka bukan tidak mungkin kredit nasabah tersebut akan disedot atau
diminta oleh mitra usahanya tersebut, sehingga mengakibatkan ia
terlihat saat pada ketidakmampuannya dalam memenuhi prestasinya
kepada pihak kreditur yang memberikan kredit tersebut
7. Nasabah melarikan diri
Hal ini merupakan kasus yang ekstrim. Dalam kasus ini, nasabah langsung
meninggalkan alamat tempat tinggal (keberadaannya) secara formal,
sesudah memperoleh kredit. Bahkan, nasabah bisa saja menghilang dari
kota atau negara tempat ia memperoleh kredit. Tujuannya agar pihak
kreditur tidak dapat atau pun kesulitan melacak nasabah tersebut.
8. Nasabah memalsukan catatan dan pembukuan
Pemalsuan catatan dan pembukuan, baik itu pada saat pengajuan kredit
maupun pada selama kredit berjalan, dapat menyebabkan terjadinya kasus
kredit yang boleh dikatakan mendekati fiktif dimana kreditur terjebak
dalam kasus penipuan. Catatan dan pembukuan nasabah merupakan
sumber utama dalam menganalisis perjalanan bisnis nasabah. Adapun isi
dari catatan tersebut adalah menerangkan mengenai prospek perusahaan
dan keadaan usaha nasabah yang bersangkutan. Jika catatan tersebut palsu
maka si pembaca yaitu pihak kreditur akan dibohongi oleh nasabah. Cepat
atau lambat catatan ini akan bermuara pada ketidak beresan kredit
nantinya.
9. Perusahaan nasabah sulit berkembang
Kreditur memberikan kredit kepada perusahaan yang sulit berkembang.
Ukuran suatu kreditur dikatakan sulit berkembang dapat dilihat pada
grafik yang datar, bahkan bisa menurun. Terutama dapat dilihat pada laba
perusahaan yang hampir sama setiap tahun Usaha untuk menangkal hal ini,
kreditur harus mendidik nasabah berbisnis dengan baik dan tepat. Jika
perlu mendidik mereka melakukan pencacatan berdasarkan kebiasaan yang
berlaku.
10.Nasabah dan krediturir melakukan kolusi
Nasabah dan krediturir harus melakukan kerjasama yang baik dalam arti
positif. Hal ini adalah demi kelancaran usaha nasabah, demi kelancaran
pengembalian kredit, demi keberhasilan usaha perbankan dan akhirnya
demi kesuksesan para krediturir dalam membina nasabah dan krediturnya
sendiri. Jika kerjasama antara krediturir dan nasabah dilakukan secara
negatif, maka hal ini disebut kolusi atau persekongkolan. Dimana yang
paling dirugikan adalah kreditur sebagai perusahaan, dan yang
memperoleh keuntungan adalah nasabah dan krediturir secara pribadi
Apabila dilihat dari segi pelaku kredit, maka faktor-faktor kredit macet
dari nasabah adalah:
1. Kelemahan nasabah
a. Manajemen kurang (kurang menguasai manajemen kredit).
b. Tidak memiliki perencanaan yang baik
c. Produk ketinggalan jaman
d. Kalah bersaing
e. Lokasi usaha yang tidak tepat
2. Kenakalan nasabah
a. Tidak jujur dan sukar ingkar janji
b. Melakukan penyimpangan penggunaan
c. Pola hidup yang boros atau mewah
d. Suka berbuat skandal
e. Suka berjudi dan berspekulasi
Secara umum, kredit bermasalah adalah kredit yang dapat menimbulkan
persoalan, bukan hanya terhadap bak selaku lembaga pemberi kredit, tetapi juga
terhadap nasabah penerima kredit, karena itu bagaimanapun juga kredit ini harus
diselesaikan dengan berbagai cara. Jika kredit tersebut menjadi macet, maka
secara tidak langsung akan merugikan masyarakat pemilik dana.
Kredit bermasalah bagaimanapun juga akan berdampak negatif, baik
secara mikro (bagi ank itu sendiri dan nasabah) maupun secara makro (sistem
perbankan dan perekonomian negara). Terhadap bank kredit bermasalah akan
mengancam bank tidak likuid. Jika bank tidak likuid maka dapat mengurangi
kepercayaan kepada pemilik dana, selain itu solvabilitas bank juga akan
berkurang, dan juga mengganggu kesehatan bank. Terhadap karyawan bank,
kredit bermasalah akan memberikan dampak negatif antara lain hilangnya rasa
percaya diri, saling menyalahgunakan, cuci tangan bagi sebagian orang dan
mencari kambing hitam, selain itu rusaknya karir pegawai, sehingga merusak
masa depan mereka, turunnya pendapatan dan bonus yang seharusnya diterima
oleh bankir dan karyawan, bertambahnya pekerjaan bagi karyawan dan bankir
Terhadap pemegang saham, dapat kehilangan kesempatan dalam memperoleh
dividennya, data menjatuhkan nilai saham bank yang bersangkutan. Terhadap
nasabah, dapat merusak citra dan nama baik nasabah, hilangnya kepercayaan dari
relasi bisnis, dan terhadap sistem perbankan dapat merusak kredibilitas bank
nasional di mata internasional, yang pada gilirannya merusak sistem keuangan
nasional di mata perdagangan internasional, juga menghambat kelancaran
perkembangan ekonomi.
Kredit bermasalah adalah salah satu dari lima masalah besar yang dihadapi
perbankan nasional. Masalah lain antara lain adalah:
1. Pelanggaran batas maksimum pemberian kredit
2. Kelangkaan sumber daya manusia
3. Pembobolan bank oleh pelaku kejahatan perbankan
4. Perang tariff antar bank yang menimbulkan persaingan tidak sehat.
Ada berbagai bentuk yang dapat dicatat sebagai potensi kredit bermasalah,
yaitu:54
1. Tidak memenuhi pembayaran bunga
2. Tidak memenuhi pengembalian pokok pinjaman
3. Tidak mampu meningkatkan margin deposit
4. Tidak mampu melakukan pengikatan jaminan
5. Tidak mampu meningkatkan barang agunannya
6. Tidak memberikan laporan yang dijanjikan
Menurut Munir Fuady sebelum dilakukan upaya-upaya hukum lainnya
54
dalam penagihan kredit macet, sebaiknya dilakukan terlebih dahulu apa yang
disebut restrukturisasi, reconditioning, atau rescheduling terhadap kredit
bermasalah. Bahkan apabila dimungkinkan bank lebih aktif, misalnya ikut
memiliki saham, membenahi manajemen atau merestrukturisasi bisnis atau
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Prinsip kehati-hatian wajib diterapkan oleh setiap bank dalam pelaksanaan
pemberian kredit karena prinsip inilah yang akan menentukan terpenuhi
atau tidaknya kriteria pencairan kredit serta juga sangat menentukan masa
depan dari perjanjian kredit. Artinya apabila prinsip kehati-hatian ini
diterapkan dengan baik, maka kecil kemungkinan akan terjadi kredit
bermasalah/ macet pada pemenuhan kewajiban debitur.
2. Program kredit usaha rakyat di Indonesia diatur melalui Peraturan Menteri
Keuangan No. 135/PMK.05/2008 tentang Fasilitas Penjaminan Kredit
Usaha Rakyat yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan No.
10/PMK.05/2009. Kredit usaha rakyat ini diperuntukkan bagi UMKM
serta koperasi.
3. Prinsip kehati-hatian diterapkan pada program kredit usaha rakyat melalui
penerapan 5C of Credit pada setiap kredit usaha rakyat yang diajukan
kepada bank yang memperoleh mandat, yakni dengan menerapkan analisa
yang akurat dan mendalam, penyaluran yang tepat, pengawasan, dan
pemantauan yang baik, perjanjian yang sah dan memenuhi syarat hukum,
pengikatan jaminan yang kuat dan dokumentasi perkreditan yang teratur
dan lengkap, semuanya itu bertujuan agar kredit yang disalurkan tersebut
B. Saran
1. Dalam upaya penyaluran kredit, khususnya kredit usaha rakyat, pihak bank
harus mampu menerapkan prinsip kehati-hatian secara efektif agar kredit
yang diberikan tepat sasaran dan jauh dari resiko macet ataupun
bermasalahn.
2. Perlu adanya pengaturan yang jelas tentang peruntukan kredit usaha rakyat
ini, sebab tidak jarang program ini tidak sampai pada objek yang
seharusnya, sehingga tujuan yang ingin dicapai dalam kerangka program
ini juga sulit untuk terwujud.
3. Perlu adanya tindakan tegas, khususnya dari institusi Bank Indonesia
untuk memberikan teguran maupun tindakan bagi bank-bank yang tidak
serius menerapkan prinsip kehati-hatian ini dalam penyaluran kredit,
sebagai khusus bagi kredit usaha rakyat, resiko yang muncul 70% akan
ditanggung oleh pihak pemerintah, sehingga apabila timbul masalah di
BAB II
KEWAJIBAN MENERAPKAN PRINSIP KEHATI-HATIAN DALAM PROGRAM KREDIT USAHA RAKYAT
A. Pengaturan Prinsip Kehati-hatian dalam Undang-undang Perbankan
Prinsip kehati-hatian (prudent banking principle) adalah suatu asas atau
prinsip yang mmenyatakan bahwa bank dalam menjalankan fungsi dan kegiatan
usahanya wajib bersikap hati-hati (prudent) dalam rangka melindungi dana
masyarakat yang dipercayakan padanya.23
1) Bank wajib memelihara tingkat kesehatan bank sesuai dengan ketentuan
kecukupan modal, kualitas aset, kualitas manajemen, likuiditas,
rentabilitas, solvabilitas dan aspek lain yang berhubungan dengan usaha
bank dan wajib melakukan kegiatan usaha sesuai dengan prinsip
kehati-hatian
Hal ini disebutkan dalam pasal 2 UU
Nomor 10 tahun 1998 sebagai perubahan atas UU Nomor 7 tahun 1992 tentang
Perbankan, bahwa perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya berasaskan
demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehatihatian.
Ada satu pasal dalam UU Perbankan yang secara eksplisit mengandung
substansi prinsip kehati-hatian, yakni pasal 29 ayat 2, 3 dan 4 UU Nomor 10 tahun
1998.
Pasal 29:
2) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah
dan melakukan kegiatan usaha lainnya, bank wajib menempuh cara-cara
23
yang tidak mmerugikan bank dan kepentingan nasabah yang
mempercayakan danannnyya kepada bank
3) Untuk kepentingan nasabah, bank wajib menyediakan informasi mengenai
kemungkinan timbulnya resiko kerugian sehubungan dengan transaksi
nasabah yang dilakukan melalui bank.
Jika memperhatikan judul Bab V UU Perbankan (terdiri dari pasal 29 s/d
pasal 37B), maka pasal 29 merupakan pasal yang termasuk dalam ruang lingkup
pembinaan dan pengawasan. Artinya, ketentuan prudent banking sendiri
merupakan bagian dari pembinaan dan pengawasan bank. Lebih khusus lagi
menurut Anwas Nasution, ketentuan prudent banking termasuk dalam ruang
lingkup pembinaan bank dalam arti sempit.24
a. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana dimaksud dalam pasal
7 huruf b dan huruf c;
Sebenarnya pengaturan prinsip kehati-hatian ini ternyata termaktub juga
pada bagian pasal sebelumnya, seperti pasal 8, 10 dan 11 UU Perbankan.
Pasal 8:
“Dalam memberikan kredit, Bank Umum wajiib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan”.
Pasal 10: “Bank Umum dilarang:
b. melakukan usaha perasuransian;
24
c. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam
pasal 6 dan pasal 7.
Pasal 11
1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian
jaminan, penempatan investasi Surat Berharga, atau hal lain yang serupa,
yang dapat dilakukan oleh bank kepada peminjam atau sekelompok
peminjam yang terkait, termasuk kepada perusahaan-perusahaan dalam
elompok yang sama dengan bank yang bersangkutan.
2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak boleh
melebihi 30 % (tiga puluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas maksimum
pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian
jaminan, penempatan investasi Surat Berharga atau hal lain yang serupa,
yang dapat dilakukan oleh bank kepada :
a. Pemegang saham yang memiliki 10 % (sepuluh perseratus) atau lebih
dari modal disetor bank;
b. Anggota dewan komisaris;
c. Anggota direksi;
d. Keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b,
dan huruf c;
f. Perushaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari
pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c,
huruf d, dan huruf e.
4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) tidak boleh
melebihi 10 % (sepuluh perseratus) dari modal bank yang sesuai dengan
ketentuan yang ditetapkan oleh BI.
(4A) Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah,
bank dilarang melampaui batas maksimum pemberian kredit atau
pembiaayaan berdasarkan Prinsip Syariah sebagaimana diatur dalam ayat
(1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4)
Apa yang dimaksud dengan prinsip kehati-hatian, oleh UU Perbankan
sama sekali tidak dijelaskan, baik pada bagian ketentuan maupun dalam
penjelasannya. UU Perbankan hanya menyebutkan istilah dan ruang lingkupnya
saja sebagaimana dijelaskan dalam pasal 29 ayat 2, 3, dan 4 di atas. Dalam bagian
akhir ayat 2 misalnya disebutkan bahwasanya bank wajib menjalankan usaha
sesuai dengan prinsip kehati-hatian. Dalam pengertian, bank wajib untuk tetap
senantiasa memelihara tingkat kesehatan bank, kecukupan modal, kualitas aset,
kualitas manajemen, likuiditas, rentabilitas, dan aspek lain yang berhubungan
dengan usaha bank.25
Dalam pada itu, dalam rangkamendukung atau menjamin terlaksananya
proses pengambilan keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan Apa saja yang dimaksud dengan aspek lain itu tidak
dijelaskan.
25
prisnsip kehatihatian, bank wajib memiliki dan menerapkan sistem pengawasan
intern dalam bentuk self regulations.26
Anwar menyebutkan bahwa ruang lingkup aturan prudent banking
(pembinaan dalam arti sempit) meliputi persyaratan modal awal maupun rasio
modal terhadap kemungkinan resiko yang dihadapinya, BMPK (batas
maksimumpemberian kredit), rasio pinjaman terhadap deposito (LDR) maupun
posisi luar negeri (NOP), rasio cadangan minimum, cadangan penghapusan aktiva
produktif (kredit macet), transparansi pembukuan berdasarkan standarisasi
akuntansi serta audit.
\
27
Penyediaan informasi mengenai kemungkinan timbulnya resiko kerugian
nasabah dimaksudkan agar akses untuk memperoleh informasi perihal kegiatan
usaha dan kondisi bank menjadi lebih terbuka yang sekaligus menjamin adanya
transparansi dalam dunia perbankan. Informasi tersebut dapat memuat keadaan Hal menarik dalam ketentuan prinsip kehati-hatian bank ini adalah adanya
kewajiban bagi bank menyediakan informasi mengenai kemungkinan timbulnya
resiko kerugian sehubungan dengan transaksi nasabah yang dilakukan melalui
bank, sebagaimana dijelaskan dalam ayat 4 pasal 29 di atas.
26
Self regulation merupakan peraturan intern bank yang dibuat dalam rangka mendukung pelaksanaan prinsip kehati-hatian. Dalam kebijakan Pemerintah disektor perbankan tahun 1994 disebutkan bahwa perbankan tetap diarahkan untuk mempercepat proses penyelesaian kredit bermasalah dan bank bermasalah, mempercepat proses konsolidasi, mendorong perbankan untuk melaksanakan prinsip pengaturan sendiri (self regulation principple) dan kehati-hatian dalam usahanya serta memantapkan langkah-langkah pembinaan dan pengawasan perbankan guna mengembangkan sistem perbankan yang sehat dan tangguh. Untuk itu BI melakukan penyempurnaan rencana kerja bank dan laporan pelaksanaannya yang kemudian dituangkan dalam SK Direksi BI No.27/117/KEP/DIR, tanggal 25 Januari 1995 termasuk juga salahstunya SK Direksi Bi No. 27/162/KEP/DIR tanggal 31 Maret 1995 tentang ketentuan kewajiban bank umum untuk memiliki dan melaksanakan kebijakan perkreditan dabnk berdasarkan Pedoman Penyususnan Kebijakan Perkreditan Bank (PPKPB) .
27
bank termasuk kecukupan modal, dan kualitas aset. Apabila informasi tersebut
telah tersedia atau disediakan, bank dianggap telah melaksanakan ketentuan ini.
Informasi tersebut perlu diberikan dalam hal bank bertindak sebagai perantara
penempatan danan dari nasabah atau pembelian/’ penjualan Surat Berharga untuk
kepentingan dan atas perintah nasabahnya.28
Walaupun ketentuan ini terkesan berlebihan, tetapi ketentuan ini
menunjukkan bahwa bank benar-benar memiliki tanggungjawab terhadap para
nasabahnya. Hal ini penting bagi bank dalam rangka menjaga hubungan baik dan
berkelanjutan dengan nasabahnya. Sebab, jika sekali nasabah dirugikan akibatnya
nasabah selamanya tidak akan percaya kepada bank bersangkutan. Hal ini juga
relevan dengan konsep hubungan antara bank dan nasabahnya, yang bukan hanya
sekedar hubungan debitur-kreditur semata, melainkan lebih dari itu sebagai
hubungan kepercayaan (fiduaciary relationship).29
Dalam sejarah perbankan Indonesia, ketentuan prudent banking pernah
diatur secara khusus dalam beberapa Paket deregulasi, misalnya Paket deregulasi
25 Maret 1989 dan Paket deregulasi Februari 1991, sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya. Salah tujuan atau tugas yang diemban Paket Februari 1991 misalnya,
berupaya mmengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan perbankan dengan
mengharuskan dipenuhinya persyaratan permodalan minimum 8 % dari kekayaan.
28
Periksa penjelasan ayatb 4 dari pasal 29 UU Perbankan 29
Yang diharapkan dari paket itu adalah adanya peningkatan kualitas perbankan
Indonesia.30
1. SK BI 30/11/KEP/DIR/1997, tentang tata cara penilaian tingkat kesehatan
bank
Kewajiban bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan dalam Paket
deregulasi diatas, tampaknya tidak bisa menghindari kesan sebagai produk aturan
yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus collapsnya beberapa bank umum
nasional, seperti Bank Perbankan Asia, Bank Duta danBank Umum Majapahit.
Pengaturan prudent banking saat ini sudah cukup banyak, bahkan sudah
seringkali dilakukan revisi atau pergantian, baik stelah lahirnya UU No.7 tahun
1992 maupun ketika pemerintah mengundangkan UU No.10 tahun 1998. Regulasi
tersebut sebagian besar diwujudkan dalam bentuk Surat Edaran dan SK Direksi
Bank Indonesia. Aturan-aturan tersebut misalnya :
2. SK BI 30/12/KEP/DIR/1997, tentang tata cara penilaian tingkat kesehatan
Bank Perkreditan Rakyat
3. SK BI 30/46/KEP/DIR/1997, tentang pembatasan pemberian kredit oleh
bank umum untuk pembiayaan pengadaan dan atau pengolahan tanah
4. SE BI 31/16/UPPB/1998 tentang batas maksimum pemberian kredit bank
umum
5. SK BI 31/177/KEP/DIR tentang batas maksimum pemberian kredit bank
umum
6. SE BI 31/17/UPPB/1998 tentang posisi devisa neto bank umum
30
7. SE BI 31/18/UPPB/1998 tentang pemantauan likuiditas bank umum
8. SK BI 31/179/KEP/DIR tentang pemantauan likuiditas bank umum
9. SK BI 31/148/Kep/DIR/1998 tentang pembentukan penyisihan
penghapusan aktiva produktif
10.SK BI 31/147/KEP/DIR/1998 tentang kualitas aktiva produktif
11.SK BI 331/178/KEP/DIR/1998 tentang posisi devisa neto bank umum
12.Peraturan BI 2/16/PBI/2000 tentang perubahan SK Direksi BI
31/177/KEP/DIR/1998 tentang batas maksimum pemberian kredit
13.Peraturan BI 3/21/PBI/2001 tentang kewajiban penyediaan modal
minimum bank
14.Peraturan BI 3/22/PBI/2001 tentang transparansi kondisi keuangan bank
15.Peraturan BI 6/25/PBI/2004 tentang rencana bisnis bank umum
16.Peraturan BI 7/4/PBI/2005 tentang prinsip kehati-hatian dalam aktivitas
sekuritisasi asset bagi bank umum
17.Dll
Sebagaimana halnya bank-bank di negara-negara maju dan berkembang
lainnya, dalam kaitannya dengan pemenuhan standar kesehatan bank, mengikuti
ketentuan Bassel International Standart (BIS). Dalam rangka pemenuhan kondisi
perbankan di Indonesia, BI telah menyepakati 25 aturan BIS . Sampai saat ini baru
%, dan NPL/Non Performing Loan (kredit macet) 5 % yang harus segera dipenuhi
bank-bank sebelum akhir 2001.31
1. Mempunyai wewenang, tanggung jawab dan tujuan yang jelas, bersifat
independent dan memiliki sumber daya yang cukup
Ketentuan BIS tersebut dalam garis besarnya merupakan prinsip dasar
pembinaan dan pengawasan bank yang efektif, yang telah disetujui untuk
diterapkan di Indonesia melalui komitment yang dilakukan oleh BI dengan IMF.
25 butir ketentuan BIS tersebut adalah sebagai berikut:
2. Kegiatan yang diizinkan
3. Kriteria perizinan
4. Otoritas untuk mengkaji dan menolak usul
5. Otoritas untuk menetapkan kriteria ketentuan kehati-hatian (prudential)
6. Kecukupan modal
7. Standar kredit dan monitoring
8. Kebijakan dan prosedur evaluasi terhadap kualitas asset
9. Sistem informasi manajemen bank
10.Ketentuan pinjaman terkait (BMPK)
11.Monitoring terhadap resiko
12.Memiliki sistem yang memadai untuk memantau situasi pasar
13.Mempunyai prosedur penegndalian resiko manajemen yang komprehensip
14.Sistem pengendalian internal
15.Meningkatkan kode etik profesional metode pengawasan bank
31
16.Meliputi off site dan on site
17.Senantiasa melakukan hubungan dengan manajemen bank
18.Mempunyai teknik untuk melakukan analisis data/laporan
19.Mempunyai independensi
20.Mampu melakukan pengawasan secara konsolidasi informasi perbankan
21.Seluruh bank diharuskan memiliki sistem pencatatan yang lengkap dan
akurat
22.Pengawasan diharuskan mempunyai alat ukur yang cukup dan mampu
melakukan perbaikan serta melakukan tindakan aturan dan kerjasama
pengawasan internasional
23.Menerapkan praktik pengawasan konsolidasi
24.Melakukan kerjasama antar pengawas, dan
25.Menerapkan standar yang sama antar bank lokal dengan bank asing32
Pembinaan dan pengawasan yang berlandaskan kepada ketentuan BIS
tersebut, layak diimplementasikan tidak hanya terhadap prbankan, tetapi juga
lembaga keuangan non-bank. Hal ini relevan dipertimbangkan mengingat empiris
historis di Indonesia memperlihatkan cukup banyak kasus perbankan yang
notabene di bawah pengawasn bank sentral sesungguhnya berkaitan dengan
kegiatan lembaga keuangan non-bank.33
32
Elvyn G.Masassya, Indepedensi Bank Indonesia, dalam http://www.cides.or.id/ ekonomi/ek0001040.asp. Diakses tanggal 10 Juni 2010.
33
B. Kehati-hatian sebagai Prinsip Utama Bank dalam Memberikan Kredit
Menurut pasal 1 angka 11, kredit adalah:
Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak penjamin untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.
Pasal 8 Undang-undang Nomor 10 Tahun 1999 tentang Perbankan
menyebutkan bahwa sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian
yang seksama, mengingat sumber dana kredit yang disalurkan adalah bukan dana
dari bank itu sendiri, tetapi dana yang berasal dari masyarakat sehingga perlu
penerapan prinsip kehati-hatian melalui analisa yang akurat dan mendalam,
penyaluran yang tepat, pengawasan dan pemantauan yang baik, perjanjian yang
sah dan memenuhi syarat hukum, pengikatan jaminan yang kuat dan dokumentasi
perkreditan yang teratur dan lengkap. Semuanya itu bertujuan agar kredit yang
disalurkan tersebut dapat kembali tepat pada waktunya sesuai perjanjian kredit
yang meliputi pinjaman pokok dan bunga. Apabila kredit yang telah disalurkan
bank kepada masyarakat dalam jumlah besar tidak dibayar kembali kepada bank
tepat pada waktunya sesuai dengan perjanjian kredit, maka kualitas kredit dapat
digolongkan menjadi non performing lean (NPI). Jumlah kredit yang NPLnya
tinggi akibatnya dapat mengganggu kesehatan bank yang bersangkutan.
Dengan diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit dinilai
akan menurunkan kredit bermasalah (non performing loan/ NPL). Selain itu,
bank-bank yang memiliki NPL besar saat ini terus melakukan restrukturisasi
untuk menurunkan kredit bermasalahnya. Oleh karena itu, dalam memberikan
bermasalah. Terdapat 5C of credit yang meliputi character, capacity, capital,
collateral, condition of economy. 5 C of credit tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut:
1. Character (watak)
Salah satu unsur yang mesti diperhatikan oleh bank sebelum memberikan
kreditnya adalah penilaian atas karakter kepribadian/ watak dari calon
debiturnya. Karna itu sebelum kredit diluncurkan, harus terlebih dahulu
ditinjau apakah calon debitur berkepribadian yang baik, jujur, selalu
menepati janji, memiliki lingkungan yang baik, mepunyai riwayat hidup
yang baik, tidak terlibat tindakan criminal, bukan merupakan penjudi,
pemabuk, atau tindakan tidak terpuji lainnya.34 Namun terkadang ini tidak
bisa dijadikanukuran, karena bank biasanya tidak mengenal nasabahnya
secara mendalam mengingat waktu dari pihak bank yang sangat terbatas.
Oleh karena itu perlu diterapkan oleh bank prinsip mengenal nasabah yang
antara lain mencakup kewajiban bank memiliki kebijakan dan prosedur
penerimaan nasabah, pemeliharaan profil nasabah, pengenaan sanksi
administrasi terhadap pelanggaran peraturan ini, dan lain-lain.35
2. Capacity (kemampuan)
Karakter yang baik belum memenuhi syarat untuk mempeoleh kredit.
Bahwa seseorang yang jujur secara moril bisa dipercaya, teatpi mungkin ia
tidak mampu mengolah kredit. Oleh karena itu, yang perlu juga
34
H.A. S. Mahmoeddin, 100 Penyebab Kredit Macet, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 25.
35
diperhatikan bank adalah apakah ia mampu mengelola perusahaan yang
dapat dilihat dari kemampuan manajemennya, apakah ia mampu
berproduksi dengan baik yang dapat dilihat dari kapasitas produksinya,
apakah ia mampu mengembalikan kredit dilihat berdasarkan perhitungan
penghasilan bersih, perputaran usaha, situasi keuangan, dan modal kerja
yang dimilikinya.36
3. Capital (modal)
Pada umumnya untuk menilai capacity seseorang
didasarkan pada pengalaman dalam dunia bisnis yang dihubungkan
dengan pendidikan dari calon nasabah (pemohon kredit) serta kekuatan
perusahaan dan kemampuan penyesuaian diri dengan perkembangan
teknologi.
Permodalan dari suatu debitur merupakan hal yang penting harus diketahui
oleh calon krediturnya, karena permodalan dan kemampuan keuangan dari
suatu debitur akan mempunyai korelasi langsung dengan tingkat
kemampuan membayar kredit. Bank tidak dapat memberikan kredit
kepada pengusaha tanpa modal sama sekali.37
4. Collateral (agunan)
Kredit senantiasa dibayangi oleh resiko. Untuk berjaga-jaga timbulnya
resiko ini, diperlukan benteng untuk menyelamatkan yaitu berupa
agunan.38
dimana ia merupakan sarana pengaman atas resiko yang mungkin timbul
atas cidera janjinya nasabah di kemudian hari.
5. Condition of economy (keadaan ekonomi)
Kondisi ekonomi secara umum serta kondisi pada sector usaha si pemohon
kredit (calon nasabah) perlu mendapatkan perhatian dari pihak bank untuk
memperkecil resiko yang mungkin timbul akibat kondisi ekonomi.
Kondisi ini dapat terpengaruh oleh keadaan social, politik dan ekonomi,
dari suatu periode waktu tertentu dan perkiraan yang akan terjadi pada
waktu mendatang.39
C. Sanksi bagi Pelanggaran Prinsip Kehati-hatian
Akhir-akhir ini permasalahan yang terjadi pada beberapa bank disebabkan
oleh tidak diterapkannya prinsip kehati-hatian dalam operasional perbankan,
lemahnya law enforcement. Oleh karena itu, diperlukan tindakan yang represif
bagi pihak yang terbukti melakukan penyimpangan, serta langkah preventif untuk
mencegahnya.
Bagi bank yang tidak dapat memenuhi keawjibannya dalam menerapkan
prinsip kehati-hatian dalam menjalankan usahanya, maka terhadap bank ini dapat
dikenakan sanksi berupa:
1. Sanksi administratif
a. Denda
b. Teguran tertulis
39
c. Penurunan tingkat kesehatan bank
d. Larangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring
e. Pembekuan kegiatan usaha tertentu baik untuk kantor cabang tertentu
maupun untuk bank secara keseluruhan
f. Pemberhentian pengurus bank dan selanjutnya menunjuk dan
mengangkat pengganti yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia
g. Pencantuman anggota pengurus, pegawai bank, pemegang saham
dalam daftar orang tercela di bidang perbankan.40
Bank Indonesia tidak mungkin melakukan sendiri upaya penataan system
perbankan dan pemberian sanksi administratifnya, tetapi diperlukan kerja
samayang baik dengan aparat penegak hukum maupun dengan internal perbankan,
antara lain melalui direktur kepatuhan perbankan.
2. Pencabutan izin usaha bank
Selain sanksi administrasi, kepada bank yang tidak memenuhi
kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam Undang-undang Perbankan dapat
dijatuhi sanksi pencabutan izin usaha bank.
Pencabutan izin usaha terhadap beberapa bank yang tidak dikelola secara
professional merupakan upaya melindungi kepentingan masyarakat, agar tidak
mengganggu atau membahayakan atau membahayakan sistem perbankan secara
keseluruhan.
40
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Selama 21 tahun pertama Indonesia merdeka, perekonomian bangsa
menghadapi tantangan dan ujian berat, termasuk adanya rongrongan dari dalam
dan luar negeri, yang nyaris membuat sendi – sendi perekonomian nasional mati.
Pada 1959, trend paham kapitalisme liberalisme secara konstitusional ditolak,
sehingga sistem ekonomi nasional lebih condong ke sistem ekonomi etatistik
(segalanya negara) yang otomatis mematikan segala daya kreasi masyarakat.
Ekonomi Komando yang berlangsung selama tujuh tahun dari tahun 1959 sampai
dengan tahun 1966 dan mencapai titik paling kritis dengan hiperinflasi 650% pada
1966, hampir melumpuhkan seluruh sistem produksi dan distribusi nasional.1
Ekonomi Orde Baru yang dimulai sejak tahun 1966 secara radikal
membalikkan arah sistem ekonomi Indonesia. Pembangunan diarahkan pada
demokrasi ekonomi, dan politik ekonomi diarahkan pada upaya untuk
menggerakkan kembali roda ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan
rakyat. Kegiatan pencetakan uang yang telah berlangsung hampir tanpa kendali
dihentikan, anggaran belanja pemerintah dibuat berimbang, dan produksi dalam
negeri khususnya bidang pangan ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan
konsumsi penduduk yang terus bertambah. Sistem ekonomi pasar bebas mulai
berjalan normal, pembangunan ekonomi dibangun berdasarkan Rencana
1