• Tidak ada hasil yang ditemukan

Semiotika Jihad Fi Sabilillah ‘Ibnu Battutah’ Dalam Film Journey To Mecca

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Semiotika Jihad Fi Sabilillah ‘Ibnu Battutah’ Dalam Film Journey To Mecca"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)

Oleh

Nurmalisa Nazaroni

NIM: 1110051000114

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya, yang diajukan untuk memenuhi

salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar strata satu (S. 1) di

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang digunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan tiruan hasil karya orang lain, maka saya bersedia

menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 19 Desember 2014

(5)

i

Semiotika Jihad fi Sabilillah „Ibnu Battutah’ dalam Film Journey to Mecca.

Film Journey to Mecca merupakan film yang menceritakan tentang sosok

yang bernama Ibnu Battutah dalam melakukan perjalanan sucinya ke tanah suci Mekah. Ibnu Battutah dinobatkan sebagai seorang petualang muslim terbesar abad ke-14. Prestasi perjalanan yang telah ditempuhnya yaitu sejauh 73.000 mil dan melampaui 44 negara jika dilihat pada peta dunia saat ini. Perjalanan ke Mekah merupakan rute pertama petualangannya dengan misi menunaikan ibadah haji. Pemuda asal Maroko ini melakukan perjalanan ke Mekah seorang diri yang ketika itu usianya 21 tahun. Banyak penolakan ketika ia meminta izin dari berbagai pihak, terutama orang tua, saat ia berpamitan ingin melaksanakan perjalanan suci tersebut. Namun berkat tekad dan harapan yang kuat untuk bisa melihat Masjidil Haram akhirnya ia memutuskan untuk berangkat pada saat itu. Di tengah perjalanannya ia banyak sekali menghadapi berbagai hambatan, seperti fatamorgana, tidak sadarkan diri, badai gurun, bahkan ia nyaris mati akibat serangan bandit di gurun.

Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut:

Pertama, bagaimana sign dan code Jihad fi Sabilillah Ibnu Battutah dalam film

Journey to Mecca? Kedua, bagaimana elemen Jihad fi Sabilillah Ibnu Battutah

dalam film Journey to Mecca? Dan ketiga, bagaimana convetion Jihad fi

Sabilillah Ibnu Battutah dalam film Journey to Mecca?

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menggunakan metode semiotika Roland Barhtes yaitu dengan cara mencari makna denotasi, konotasi

dan mitos yang dikemas melalui pemaknaan sign dan code, elemen dan convetion

yang menjelaskan semiotika pada dasarnya hendak memperlajari bagaimana

kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Artinya, semua yang hadir

dalam kehidupan manusia dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna.

Film Journey to Mecca menampilkan perjuangan Jihad fi sabilillah Ibnu Battutah, terutama dalam adegan ketika Ibnu Battutah sedang melakukan perjalanan dari Kairo menuju Mekah. Di sana banyak divisualisasikan perjuangan keras Ibnu Battutah dalam menghadapi kerasnya sebuah perjuangan menuju ridha Allah. Karena, banyak sekali simbol-simbol dan kode-kode yang menurut peneliti memunculkan interpretasi dan pesan simbolik. Karena hal itulah, menurut peneliti

film Journey to Mecca perlu ditelisik menggunakan kajian semiotika.

Jadi, film ini berhasil menampilkan perjuangan Jihad fi Sabilillah yang dilakukan oleh Ibnu Battutah dalam memperjuangkan rukun Islam yang kelima. Kode yang muncul terdapat ketika perjalanan dari Kairo menuju Mekah. Melalui unsur sinematik film, peneliti menemukan ada 13 elemen penting yang dapat membangun makna di dalam film sebagai representasi makna Jihad fi Sabilillah. Konvensi terdapat dalam beberapa sekuen dan adegan dalam durasi-durasi tertentu.

(6)

ii

Segala puji dan syukur bagi Allah SWT karena sampai pada saat ini telah

diberikan nikmat sehat oleh-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi

ini dengan baik. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah dalam rangka

mendapatkan gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I) pada program studi

Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi,

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam proses penulisan skripsi ini, penulis banyak melibatkan bantuan

dan bimbingan dari berbagai pihak. Tanpa bantuan dari semua pihak tersebut

mustahil penulis dapat menyelasaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan hormat

tidak lupa penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Dr. H. Arif Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, Dr. Suparto, M. Ed, Ph. D, selaku Wakil Dekan I bidang

Akademik, Drs. Jumroni, M. Si, selaku Wakil Dekan II bidang

Administrasi Umum, dan Dr. H. Sunandar Ibnu Noor, M.A, selaku Wakil

Dekan III bidang Kemahasiswaan.

2. Dr. Rulli Nasrullah, M.Si, Dosen pembimbing skripsi yang telah berkenan

meluangkan waktu untuk memberikan pengarahan dan inspirasinya yang

sangat berharga.

3. Rachmat Baihaky, M.A, selaku Ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran

(7)

iii

5. Prof. Dr. Murodi, MA, Dosen Penasihat Akademik Jurusan Komunikasi

dan Penyiaran Islam (KPI D).

6. H. Zakaria, MA. Selaku dewan penguji yang memberikan arahan dan

masukan untuk perbaikan kualitas skripsi ini.

7. Dr. Sihabudin Noor, MA. Selaku dewan penguji yang mengarahkan

peneliti untuk memperbaiki skripsi ini.

8. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan banyak

ilmu kepada saya.

9. Segenap jajaran pegawai tata usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu

Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

10.Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Dedyk Haryono dan Ibunda Maysah

yang telah menjadi orang tua hebat yang tak henti-hentinya memberikan

kasih sayang, doa, dan motivasinya untuk penulis. Kasih sayangmu begitu

berarti bagiku.

11.Kakakku tersayang Ayi Saepudin, Jojo Septianto, Mahlin, dan adikku

Bayu Prasetyo, selalu memberikan motivasi, dukungan moril maupun

materil, serta kasih sayang yang tak terhingga.

12.Mas Danang Budi Utomo, kamu hadir di waktu yang tepat, terimakasih

untukmu yang memberiku semangat setiap hari, motivasi, doa, canda dan

tawa di saat penulis merasa jenuh. “Selalu ada jalan kalau kita mau

(8)

iv

KKN MOZAIK, kebersamaan dengan kalian memahamiku tentang banyak

hal berharga.

14.Kepada Muhammad Dhiya Ulhaq, yang telah bersedia memberikan

banyak referensi kepada penulis.

Semoga segala partisipasi, dukungan dan motivasi serta doa kepada

penulis dibalas oleh Allah SWT dengan balasan yang berlipat ganda. Harapan

penulis semoga skripsi ini bermanfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan

selanjutnya.

Jakarta, 19 Desember 2014

(9)

v LEMBAR PENGESAHAN

PENGESAHAN PANITIA PENGUJI LEMBAR PENYATAAN

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... v

DAFTAR TABEL ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 5

C. Tujuan dan Manfaat penelitian... 6

D. Metodologi Penelitian ... 7

E. Tinjauan Pustaka ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II KERANGKA TEORITIS ... 13

A. Tinjauan Umum Film ... 13

B. Semiotika ... 33

C. Representasi Jihad fi sabilillah ... 41

BAB III GAMBARAN UMUM FILM JOURNEY TO MECCA ... 48

A. Profile Bruce Neibaur sebagai Sutradara Film Journey to Mecca . 48 B. Sinopsis Film Journey to Mecca ... 50

(10)

vi

B. Narasi Adegan yang diteliti ... 75

C. Semiotik dalam Adegan “Perjalanan dari Kairo ... 81

D. Interpretasi... 98

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 102

A. Kesimpulan ... 102

B. Saran ... 103

(11)

vii

Tabel 1.2 Skema Gende Film Induk Primer dan Induk Sekunder ... 25

Tabel 2.2 Tabulasi Analisis Film ... 39

Tabel 1.4 Adegan Awal mula Perjalanan Ibnu Battutah ... 56

Tabel 2.4 Ikon, Indeks, dan Simbol dalam Adegan Awal Mula Perjalanan

Ibnu Battutah ... 58

Tabel 3.4 Adegan Perampokan ... 63

Tabel 4.4 Ikon, Indeks, dan Simbol dalam Adegan Ketika Ibnu Battutah

Menghadapi Bahaya yang Mengancam ... 65

Tabel 5.4 Adegan Keteguhan Hati Mempertahankan Prinsip ... 70

Tabel 6.4 Ikon, Indeks, dan Simbol dalam Adegan Keteguhan Hati

Mempertahankan Prinsip ... 72

Tabel 7.4 Analisis Tanda Denotasi dan Konotasi dalam Skenario ... 82

Tabel 8.4 Ikon, Indeks, dan Simbol dalam Adegan Perjalanan Ibnu Battutah

dari Kairo Menuju Mekah ... 83

Tabel 9.4 Visualisasi shot dari Adegan Perjalanan dari Kairo ... 84

Tabel 10.4 Analisis Adegan Utama Melalui Tabulasi Analisis Film Stave

Campsall ... 94

(12)

1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Film Journey to Mecca merupakan film hasil garapan sutradara asal

Amerika, Bruce Neibaur. Film ini merupakan salah satu film bergendre

dramatic adventure yang rilis pada akhir April tahun 2009 lalu. Journey to

Mecca manampilkan catatan sejarah penting mengenai seorang tokoh

petualang muslim terbesar sepanjang masa menyusuri belahan dunia pada

abad 14, Abdullah ibn Muhammad ibn Ibrahim al-Lawati ibn Battutah (Ibnu

Batutah) asal Maroko.

Dalam film ini, Bruce mencoba menampilkan sebuah makna yang

tersirat dari perjuangan pemuda asal Maroko tersebut (yang ketika itu berusia

21 tahun) dalam perjalanannya menuju tanah suci Mekah untuk melaksanakan

ibadah haji. Pesan-pesan yang ingin ditampilkan dalam film ini tergambar

jelas pada beberapa adegan dan sign. Pesan-pesan tersebut banyak

merepresentasikan makna sebuah perjuangan yang tulus di jalan Allah, atau

disebut dengan jihad fi sabilillah.

Mengutip dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), haji ialah

kegiatan melaksanakan rukun Islam kelima (kewajiban ibadah) yang harus

dilakukan oleh orang Islam yang mampu, dengan mengunjungi Baitullah atau

Ka‟bah pada bulan Haji dan mengerjakan amalan haji, seperti ihram, tawaf, sa‟i, dan wukuf.1

1

(13)

Ibadah haji merupakan salah satu kewajiban yang paling sakral di

antara semua kewajiban Islam. Tercatat, ibadah haji dikatakan sebagai simbol

agama teragung dan merupakan ibadah teristimewa di antara keempat ibadah

Islam lainnya dan termasuk salah satu rukun utama di antara kelima rukunnya.

Amalan-amalan haji yang sangat agung ini mampu menyatukan segala

perbedaan seperti, ras, bahasa, asal negara, serta tingkatan sosial, dan lain-lain.

Selain itu, ibadah haji mampu menyatukan semuanya dalam satu kesatuan,

sehingga semuanya merasa sama di mata Allah.

Pesan-pesan inilah yang coba ditanamkan dalam film Journey to

Mecca. Film ini mencoba memvisualisasikan perjuangan Ibnu Battutah

menunaikan rukun Islam kelima, yakni pergi berhaji. Dalam perjalanan

hajinya Ibnu Battutah kerapkali menghadapi kerasnya berbagai tantangan dan

rintangan. Bahkan ia nyaris kehilangan nyawanya ketika datang para

perampok saat menempuh perjalanan di padang pasir. Tantangan dan

rintangan kian hadir silih berganti, tetapi berkat tekat keimanan dan keteguhan

hatinya, ia mampu melewati segala cobaan yang menderanya. Perjalanan ini

merupakan bukti pencapaian ibadah haji yang merupakan perintah langsung

dari Allah.

Journey to Mecca memunculkan kembali sejarah perjuangan keras

pada saat itu. Film ini berhasil memvisualisasikan perjalanan berhaji yang

(14)

Terbukti, Film ini berhasil mendapatkan penghargaan Most Popular Film di

La Geode Film Festifal, Paris pada tahun 2009 lalu dengan durasi 45 menit.2

Di Indonesia, film ini diputar di Teater IMAX Keong Emas, Taman

Mini Indonesia Indah (TMII), Jakarta. Di dalam film ini kemudian muncul

berbagai simbol-simbol dan tanda-tanda yang merepresentasikan perjuangan

jihad di sabilillah‟ yang tercermin melalui tokoh Ibnu Battutah yang

diperankan oleh Chems Eddine Zinoun.

Film memiliki pengaruh yang cukup besar sebagai media penanaman

nilai dan ideologi. Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk

menyebarkan hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta

menyajikan cerita, peristiwa, musik, drama, lawak dan sajian teknis lainnya

kepada masyarakat umum.3

Film merupakan sebuah karya yang mengandung unsur audio visual

sehingga muncul berbagai interpretasi di dalamnya. Inilah yang menarik

perhatian peneliti yaitu ingin mengetahui lebih jauh tanda serta simbol yang

dapat mempengaruhi penontonnya dalam film ini terhadap paradigma jihad.

Untuk menganalisis film ini lebih kritis lagi, pendekatan semiotika

menjadi sangat penting. Karena semiotika merupakan kajian tentang

pemaknaan sebuah tanda. Secara etimologis, istilah semiotika berasal dari

Yunani semeion (tanda). Tanda tersebut kemudian dimaknai sebagai suatu hal

2

http://cakrawala-senja.blogspot.com/2009/05/journey-to-mecca.html, diunduh pada Sabtu, 1 Maret 2014.

3

(15)

yang merujuk adanya hal lain. Contohnya asap menandai adanya api, sirene

mobil yang keras meraung-raung menandai adanya kebakaran di sudut kota.4

Secara terminologis, semiotika dapat diidentifikasikan sebagai ilmu

yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh

kebudayaan sebagai tanda.5

Salah seorang tokoh semiotik yang cukup terkenal dalam

mempraktikkan model linguistik dan semiologi milik Saussure yakni Roland

Barthes. Barthes berpendapat bahwa bahasa ialah sebuah sistem tanda yang

mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam kurun

waktu tertentu.6

Teori Barthes mengenai signifikasi dua tahap (two order of

signification), seperti yang disebut Fiske, Barthes menemukan bahwa di dalam

sebuah tanda mengandung dua unsur pemaknaan yang signifikan. Pemaknaan

ini yang kemudian disebut sebagai denotative dan conotative sign.7

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis memberi judul pada

menjadi sorotan dalam film ini yakni bagaimana pengorbanan serta

4

Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, Analisis Framing, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006).

6

Indiawan Seto Wahyu, Semiotika Komunikasi, (Jakarta: Mitra Wacana Media, 2011).

6

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2009), cet ke-4, h.63.

7

(16)

perjuangan Ibnu Battutah dalam menempuh perjalanan menuju Mekah

dalam rangka menunaikan ibadah haji, maka penulis membatasi penelitian

pada pesan tanda atau simbol dalam rangkaian gambar yang mengandung

aspek jihad fi sabilillah dalam adegan perjalanan Ibnu Battutah dari Kairo

menuju Mekah pada durasi 18:58 sampai durasi 31:50 melalui film

Journey to Mecca karya Bruce Neibaur.

2. Perumusan Masalah

Agar tidak terlalu meluas pembahasan dalam penelitian ini, maka

peneliti memfokuskan pada tiga hal berikut diantaranya:

1. Bagaimana sign dan code jihad fi sabilillah „Ibnu Battutah‟ dalam

film Journey to Mecca?

2. Bagaimana elemen jihad fi sabilillah „Ibnu Battutah‟ dalam film

Journey to Mecca?

3. Bagaimana conventionjihad fi sabilillah„Ibnu Battutah‟ dalam film

Journey to Mecca?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui bagaimana sign dan code jihad fi sabilillah „Ibnu

Battutah‟ dalam film Journey to Mecca.

b. Untuk mengetahui bagaimana elemen jihad fi sabilillah „Ibnu

(17)

c. Untuk mengetahui bagaimana convention jihad fi sabilillah „Ibnu

Battutah‟ dalam film Journey to Mecca.

2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu sebagai

bahan informasi dan dokumentasi ilmiah perkembangan ilmu

pengetahuan, serta memberikan pandangan tentang analisis semiotika

sebagai sebuah metode penelitian dalam analisis media.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pencerahan bagi para

praktisi perfilman untuk mengetahui bagaimana membuat film sarat

makna sebagai media dakwah Islam. Sedangkan untuk praktisi

komunikasi, diharapkan penelitian ini dapat menjadi khazanah

keilmuan dan literatur baru untuk mengetahui serta menggali makna

yang terkandung dalam sebuah produk media massa, khususnya

penelitian film menggunakan analisis semiotika.

D. Metodologi Penelitian 1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Menggunakan

metode semiotika Roland Barthes yaitu dengan cara mencari makna

(18)

code, elemen, dan convetion yang menjelaskan semiotika atau semiologi

pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity)

memaknai hal-hal (things).8 Artinya, semua yang hadir dalam kehidupan

manusia dilihat sebagai tanda, yakni sesuatu yang harus diberi makna.

a. Objek Penelitian dan Unit Analisis

Objek penelitian ini adalah film. Sedangkan unit analisisnya

adalah mengkhususkan pada gambaran perjalanan haji abad ke-14

dalam film Journey to Mecca dalam adegan-adegan visual, audio, atau

narasi dalam film Journey to Mecca yang berkaitan dengan rumusan

permasalahan penelitian.

b. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini data-data dikumpulkan melalui observasi,

yaitu mengamati langsung secara mendalam data-data yang sesuai

dengan pertanyaan penelitian. Berikut instrumen penelitiannya:

1. Data Primer

Data primer berupa dokumen elektronik, yaitu berupa DVD film

Journey to Mecca. Penulis mengamati simbol-simbol yang ada dalam

film tersebut serta menganalisis sesuai dengan model penelitian yang

digunakan.

2. Data Sekunder

8

(19)

Data sekunder berupa dokumen tertulis, yakni penulis

mengumpulkan data-data melalui telaah dan mengkaji berbagai

literatur yang sesuai dengan materi penelitian untuk dijadikan

argumentasi.

3. Teknik Analisis Data

Setelah data primer dan sekunder terkumpul, kemudian dikaitkan

dengan rumusan masalah. Selanjutnya dilakukan analisis data

menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Bartes

mengembangkan semiotika menjadi dua, yakni denotasi dan konotasi

yang menghasilkan tanda secara objektif yaitu untuk memahami

makna yang tersirat dalam Film “Journey to Mecca”. Selain itu

menggunakan teknik analisis semiotika film Christian Metz yaitu

dengan cara mencari makna dalam film yang akan diteliti, serta

menggunakan tabulasi analisis film Steve Campsall sebagai pelengkap

dari unsur-unsur film. Berikut indikatornya:

a. Sign

Unit makna terkecil yang dapat kita jumpai di manapun kita

berada, dapat kita dengar, kita rasa, kita hirup, dapat pula kita

tafsirkan dan turut menentukan makna keseluruhan.

b. Code

Sekumpulan tanda yang nampak secara alami dan membentuk

makna keseluruhan.

(20)

Seluruh aspek dan komponen dalam produksi film dan dapat

memunculkan berbagai representasi makna.

d. Denotative Sign

Terdapat pada signifikasi tahap pertama, yaitu kata yang bersifat

umum dan secara langsung menunjukkan makna yang sebenarnya.

e. Conotative Sign

Istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi

tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika

tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari penonton serta

nilai-nilai dari kebudayaannya.

f. Convention Sign

Merupakan rujukan dalam menilai suatu pekerjaan atau kebiasaan

yang sudah umum di dalam masyarakat dan biasanya eksistensinya

muncul dalam sebuah kesepakatan bersama.

E. Tinjauan Pustaka

Pada penelitian ini banyak persamaan dan perbedaan dengan

skripsi-skripsi sebelumnya khususnya yang mengkaji tentang semiotika yang

menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes. Tujuannya sebagai

bahan rujukan bagi penulis dalam merumuskan masalah, tapi tentunya

ditunjang pula dengan literatur lainnya seperti buku, artikel, internet, dll.

Adapun penelitian yang serupa diantaranya yaitu, Semiotika

(21)

oleh Uray Noviandy Taslim, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Model

semiotika yang digunakan Uray sama dengan peneliti yaitu sama-sama

menggunakan model semiotika Roland Barthes. Dalam skripsinya, Uray

mengkaji mengenai interpretasi dakwah bil qalam atau jihad dengan kata-kata

di balik jeruji besi yang dilakukan oleh tokoh penting di Turki yaitu

Bediuzzaman Said Nursi.9

Semiotika Mati Syahid dalam Film Death in Gaza, oleh Muhammad

Dhiyaa Ulhaq tahun 2013, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Tidak jauh

berbeda dari penelitian semiotika terdahulu, Ulhaq menggunakan pisau

analisis semitika Roland Barthes. Wacana yang ingin dibangun pada

penelitian tersebut yaitu menggambarkan fakta-fakta mengenai bagaimana

visualisasi dalam merepresentasikan pandangan Islam terhadap anak-anak

Palestina dalam menyikapi jihad.10

Semiotika Arti Kasih Ibu dalam Film Semesta Mendukung, oleh Ania

Febriani Fasha tahun 2013, Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam. Penelitian

tersebut menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif, wacana yang diangkat

yakni membatasi permasalahan penelitian pada pesan tanda atau simbol yang

mengandung aspek makna kasih ibu pada film tersebut.11

9

Uray Noviandy Taslim, “Semiotika Perjuangan „Said Nursi‟ Menulis Kitab Risalah Nur

dalam Film Hur Adam,” Skripsi S1 (Jakarta: Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2012).

10

Muhammad Dhiyaa Ulhaq, “Semiotika Mati Syahid dalam Film Death in Gaza,”

Skripsi S1 (Jakarta: Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2013).

11Ania Febriani Fasha, “Semiotika Arti Kasih Ibu dalam Film Semesta Mendukung,”

(22)

Persamaan dari skripsi-skripsi terdahulu dengan penelitian ini yaitu

sama-sama menggunakan pisau analisis semiotika Roland Barthes.

Perbedaannya terletak pada wacana yang coba dibangun oleh peneliti yaitu

ketabahan hati perjuangan ibnu Battutah dalam perjalanan ke Mekah untuk

menunaikan ibadah haji serta peneliti mengkaji tentang jihad fi sabilillah yang

dilakukan Ibnu Battutah dalam film Journey to Mecca.

F. Sistematika Penulisan

Untuk mendapatkan gambaran yang jelas dan terarah maka penulis

membagi pembahasannya ke dalam lima bab yang dibagi kedalam sub-sub

bab sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Pendahuluan terdiri dari Latar Belakang Masalah, Pembatasan dan

Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian,

Metodologi Penelitian, Tinjauan Pustaka, dan Sistematika

Penulisan.

BAB II: LANDASAN TEORI

Dalam bab ini menjelaskan tentang tinjauan umum film yang berisi

seputar definisi film, struktur film, jenis dan klasifikasi film,

sejarah perkembangan film, film sebagai media komunikasi dan

sebagai media dakwah. Tinjauan umum semiotika meliputi konsep

dasar semiotika, konsep semiotika Barthes dan Metz, tabel analisis

(23)

jihad, drajat jihad, perintah berjihad dalam Al-qur‟an. Profil Ibnu Battutah.

BAB III: GAMBARAN UMUM FILM

Pada bab ini berisikan tentang profil sutradara dan penghargaan

film Journey to Mecca, gambaran umum film Journey to Mecca,

dan tim produksi film.

BAB IV: ANALISIS SEMIOTIKA FILM JOURNEY TO MECCA

Dalam bab ini menjelaskan tentang temuan penelitian dan hasil

penelitian dari analisis judul film, pengantar adegan yang diteliti

dan narasi yang diteliti dalam film Journey to Mecca.

BAB V: PENUTUP

Pada bab akhir ini, penutup terdiri dari kesimpulan, saran, daftar

(24)

13 A. Tinjauan Umum Film

1. Definisi Film

Film, menurut Kamus Bahasa Indonesia (KBI) didefinisikan sebagai

selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan

dibuat potret). Di samping itu, film juga merupakan media untuk tempat

gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop), dan film diartikan sebagai

lakon (cerita) gambar hidup.1 Kemudian, menurut UU No. 23 Tahun 2009

tentang perfilman Pasal 1 menyebutkan bahwa film merupakan karya seni

budaya yang merupakan pranata sosial dan media komunikasi massa yang

dibuat berdasarkan kaidah sinematografi dengan atau tanpa suara dan dapat

dipertunjukkan.2

Film merupakan salah satu bagian dari media massa. Film berperan

sebagai sarana komunikasi yang digunakan untuk penyebaran hiburan,

menyajikan cerita, peristiwa, drama, dan sajian teknis lainnya kepada

masyarakat. Secara etimologis, film disebut sebagai Moving Images (gambar

bergerak). Awalnya film lahir sebagai bagian dari perkembangan teknologi.

Film ditemukan dari hasil pengembangan prinsip-prinsip fotografi dan

proyektor. Thomas Edison, untuk kali pertamanya mengembangkan kamera

1

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), h. 414.

2

(25)

citra bergerak pada tahun 1888 ketika itu ia membuat film berdurasi sepanjang

15 detik.3

Menurut Prof. Dr. Azhar Arsyad, M. A, film atau gambar hidup

merupakan gambar-gambar dalam frame dimana frame demi frame

diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada layar

terlihat gambar itu hidup. Film bergerak dengan cepat dan bergantian sehingga

memberikan daya tarik tersendiri.4 Selain itu, film memiliki hubungan yang

sangat erat dengan kebudayaan. Seperti apa yang dikatakan oleh James

Monaco, bahwa memahami film adalah memahami bagaimana setiap unsur,

baik sosial, ekonomi, politik, budaya, psikologi dan estetis film

masing-masing mengubah diri dalam hubungan yang dinamis.5

Dalam pembuatan film diperlukan proses pemikiran dan proses teknik.

Proses pemikiran berupa pencarian ide, gagasan, dan cerita yang akan digarap.

Proses teknik berupa keterampilan artistik untuk mewujudkan ide dan gagasan

menjadi sebuah film yang siap ditonton. Pencarian ide dan gagasan ini dapat

berasal dari mana saja, seperti novel, cerpen, puisi, dongeng, bahkan dari

sejarah masa lampau.6

Sebagai karya seni, film memiliki kemampuan kreatif. Film

mempunyai kesanggupan untuk menciptakan suatu realitas rekaan sebagai

bandingan terhadap realitas. Realitas yang ditampilkan dalam film adalah

realitas yang dibangun oleh pembuat film dengan mengangkat nilai-nilai atau

3

Marcel Danesi, Pengantar Memahami Semiotik Media, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 132.

4

Azhar Arsyad, Media Pengajaran, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), cet. Ke-5, h. 48.

5

Teguh Trianton, Film Sebagai Media Belajar, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2013), h. 49.

6

(26)

unsur-unsur budaya yang terdapat di dalam lapisan masyarakat. Ataupun

sebaliknya, realitas yang ditampilkan dalam film kemudian menjadikan

sebuah bentukan „budaya‟ yang diikuti oleh penonton.

Seperti halnya karya sastra, film adalah karya seni budaya yang

terbentuk dari berbagai unsur. Secara umum struktur film sama dengan

struktur karya sastra yaitu terbentuk oleh unsur-unsur intrinsik dan unsur

ekstrinsik. Oleh karena itu, untuk dapat memahami segala pesan yang

disampaikan dalam film kita harus mampu menganalisis atau mengkaji

berbagai unsur-unsur pembangun film tersebut.

Mengkaji unsur intrinsik artinya kita dapat menganalisis satu demi satu

secara objektif dengan totalitas berbagai unsur yang terkandung di dalam

karya tersebut. Lalu, yang dimaksud dengan totalitas yakni bahwa berbagai

unsur yang dianalisis dan diurai satu persatu tadi tetap saling dihubungkan

dalam rangka mendapatkan makna dan pesan yang utuh dari keseluruhan

karya. Sedangkan mengkaji unsur ekstrinsik artinya kita dapat

menghubungkan makna dan pesan yang telah diperoleh dari unsur intrinsik

dengan berbagai hal yang berada di luar karya yang dinilai memiliki bubungan

erat dengan penciptaan dan penyerapan informasi atau pesan dalam sebuah

film menjadi lebih komprehensif dan lengkap.

Dalam kajian semiotika, film adalah salah satu prodak media massa

yang menciptakan atau mendaur ulang tanda untuk tujuannya sendiri. Caranya

adalah dengan mengetahui apa yang dimaksudkan atau direpresentasikan oleh

sesuatu, bagaimana makna itu digambarkan dan mengapa ia memiliki makna

(27)

Pada tingkat penanda, film adalah teks yang memuat serangkaian citra

fotografi yang mengakibatkan adanya ilusi gerak dan tindakan dalam

kehidupan nyata. Pada tingkat petanda, film merupakan cermin kehidupan

metaforis. Jelas bahwa topik film menjadi sangat pokok dalam semiotika

media karena di dalam genre film terdapat sistem signifikasi yang ditanggapi

orang-orang masa kini dan melalui film mereka mencari reaksi, inspirasi, dan

wawasan pada tingkat interpretasinya.7

Untuk dapat memahami film secara utuh, kita harus memahami

unsur-unsur pembentuk film terlebih dahulu. Secara umum, unsur-unsur pembentukan film

terbagi menjadi dua macam, yakni unsur naratif dan unsur sinematik.

1. Naratif

Unsur naratif film berhubungan dengan aspek cerita atau tema

film. Unsur ini meliputi tokoh, masalah, konflik, lokasi, dan waktu.

a. Tokoh

Dalam film cerita, terdapat dua tokoh penting, yakni tokoh utama dan

tokoh pendukung. Tokoh utama acapkali diistilahkan sebagai

protagonis, sedangkan tokoh pendukung biasa disebut dengan tokoh

antagonis yang biasanya bertintak sebagai pemicu konflik.

b. Masalah dan Konflik

Masalah di dalam film dapat diartikan sebagai penghalang yang

dihadapi oleh tokoh protagonis dalam meraih tujuannya. Permasalahan

ini yang kemudian memicu konflik (konfrontasi) fisik atau batin dari

luar ataupun dari dalam diri tokoh protagonis (konflik batin).

7

(28)

c. Lokasi

Tempat atau lokasi di dalam film biasanya berfungsi sebagai

pendukung narasi di dalam skenario. Pemilihan lokasi dapat

membangun cerita sehingga cerita dapat menjadi lebih realistis.

d. Waktu

Waktu dalam narasi film merupakan salah satu aspek penting dalam

membangun cerita. Pagi, siang, sore, dan malam hari dalam film

memiliki makna sendiri sebagai pembangun suasana narasi film.

2. Sinematik

Adapun unsur sinematik meliputi aspek-aspek teknis dalam

produksi sebuah film. Seperti mise en adegan (scene), sinematografi,

editing, dan suara.

a. Mise en Scene

Segala hal yang berada di depan kamera. Tujuannya untuk

menimbulkan efek dramatis tertentu. Empat elemen pokok Mise en

Scene yaitu, setting atau latar, tata cahaya, kostum dan make-up, serta

acting dan pergerakan pemain.

b. Sinematografi

Sinematografi berasal dari bahasa Yunani “kinema” yang berarti

gerakan dan “graphein” yaitu merekam. Artinya, pengaturan

pencahayaan dan kamera ketika merekam gambar fotografis untuk

suatu sinema. Sinematografi sangat erat hubungannya dengan seni

fotografi tetap. Perlakuan terhadap kamera dan filmnya serta hubungan

kamera dengan objek yang diambil.8

8

(29)

1) Jarak

Dalam sinematografi terdapat beberapa teknis sudut pengambilan

gambar serta ukuran gambar dalam sebuah frame. Salah satu aspek

Framing yang terdapat dalam sinematografi yaitu jarak kamera

terhadap objek (type of shot), diantaranya:

a) Extreme Long Shot

Extreme Long Shot merupakan jarak kamera yang paling jauh

dari objeknya. Wujud fisik manusia nyaris tidak tampak.

Teknik ini umumnya menggambarkan sebuah objek yang

sangat jauh yang memperlihatkan panorama yang luas.

b) Long Shot

Pada teknik long shot tubuh fisik manusia telah tampak jelas

namun latar belakang suatu tempat masih dominan. Teknik ini

seringkali digunakan sebagai establishing shot, yakni shot

pembuka sebelum digunakan shot-shot yang berjarak lebih

dekat.

c) Medium Long Shot

Dengan menggunakan teknik Medium Long Shot, tubuh

manusia terlihat dari bawah lutut sampai ke atas. Tubuh fisik

manusia dan lingkungan relaitif seimbang. Sehingga semua

terlihat netral.

d) Medium Shot

Pada jarak ini kamera memperlihatkan gambar tubuh manusia

dari pinggang ke atas. Gesture serta ekspresi wajah mulai

(30)

e) Medium Close-up

Pada teknik ini, kamera memperlihatkan tubuh manusia dari

dada ke atas. Sosok tubuh manusia mendominasi frame dan

latar belakang tidak lagi menjadi dominan. Seperti yang

digunakan dalam adegan percakapan normal.

f) Close-up

Teknik close-up pada umumnya memperlihatkan wajah, tangan

dan kaki, atau objek kecil lainnya. Teknik ini mampu

memperlihatkan ekspresi wajah dengan jelas serta gesture yang

mendetail.

g) Extreme Close-up

Pada jarak terdekat ini mampu memperlihatkan lebih mendetail

bagian dari wajah, seperti telinga, mata, hidung, dan lainnya,

atau bagian dari sebuah objek.

2) Sudut Kamera (Angle)

Sudut kamera ialah sudut pandang kamera dalam mengambil

gambar terhadap objek yang berada dalam frame. Secara umum, sudut

kamera dibagi menjadi tiga, di antaranya:

a) Low Angle

Pengambilan gambar dengan low angle yaitu, posisi kamera

berada lebih rendah dari objek. Hal ini mengakibatkan objek

berada lebih dominan.

b) High Angle

High angle mengakibatkan dampak sebaliknya dari low angle,

(31)

c) Eye Level

Pada sudut pengambilan gambar ini yakni subjek sejajar

dengan lensa kamera. Ini merupakan sudut pengambilan

normal sehingga posisi subjek terlihat netral, tidak ada

intervensi khusus pada subjek.

c. Editing

Transisi sebuah gambar (shot) ke gambar (shot) lainnya.

d. Suara

Seluruh suara yang keluar dari gambar, yakni dialog, musik, dan efek

suara.

2. Struktur Film

Esensi dari struktur film terletak pada pengaturan berbagai unit

cerita atau ide yang sedemikian rupa sehingga mudah untuk dipahami.

Struktur adalah kerangka desain yang menyatukan berbagai unsur film

dan merepresentasikan jalan pikiran dari si pembuat film. Struktur

terdapat dalam semua bentuk karya seni. Pada film mengikat aksi

(action) dan ide menjadi satu kesatuan yang utuh.9 Adapun struktur

film, di antaranya:

a. Shot

Shot adalah hasil sebuah rekaman secara visual dan audio yang

dimulai dari kamera yang diaktifkan sampai dihentikan aktifitasnya.

Berapapun lamanya kamera dioperasikan jika tidak diinterupsi maka

9

(32)

hasil rekamannya adalah sebuah shot. Sekalipun kamera digerakkan

untuk mengcover subjek dari angle yang berbeda namun tidak disertai

dengan penghentian operasional maka itu berupa satu shot.

Dalam kenyataannya, film memerlukan banyak shot. Berapa

jumlah shot dalam film adalah relatif, yang terpenting adalah dengan

banyaknya shot maka akan bervariasi angle dan ukuran type of shot.

Shot yang variatif akan memberi kemungkinan variasi penglihatan

pada audience sehingga semakin banyak yang bisa dilihat dan diserap.

b. Scene

Scene (adegan) adalah kejadian yang berlangsung di satu

tempat dalam kurun waktu tertentu. Scene bisa terdiri dari beberapa

shot, namun bisa saja hanya satu shot berapa pun panjangnya shot itu.

Skenario telah mengelompokan scene sesuai dengan urutan kejadian

atau cerita, secara jelas dicantumkan scene melalui pergantian tempat

dan waktu dari scene pertama hingga berikutnya.

c. Sequence

Sequence adalah satu segmen besar yang memperlihatkan satu

peristiwa yang utuh. Sebuah sequence umumnya terdiri atas beberapa

adegan yang mengelompokkan kejadian yang berurutan. Misalnya

seorang pemeran berangkat menuju rumah, sampai pemeran tersebut

berada dalam rumah. Jika dua atau lebih adegan tersebut berlangsung

secara berurutan maka adegan-adegan tersebut dikelompokkan dalam

sebuah sequence.10

10

(33)

3. Jenis dan Klasifikasi Film

Seiring berkembangnya dunia perfilman, semakin banyak film

yang diproduksi dengan corak yang berbeda-beda. Secara garis besar, film

dapat diklasifikasikan berdasarkan cerita, orientasi pembuatan, dan

berdasarkan genre.

Namun, secara umum Himawan Pratista membagi film menjadi 3

jenis, yaitu: Dokumenter, Fiksi, dan Eksperimental. Pembagian ini

didasarkan atas cara bertutur film tersebut, yakni naratif dan non-naratif.

Film fiksi memiliki struktur narasi yang jelas, sementara film

dokumenter dan film eksperimental tidak memiliki struktur naratif yang

jelas.11 Adapun definisinya menurut Himawan, sebagai berikut:

a. Film Dokumenter

Jenis film ini biasanya berhubungan dengan orang-orang, tokoh,

peristiwa atau kejadian, dan lokasi yang nyata. Film dokumenter tidak

menciptakan peristiwa, tetapi merekamnya. Film ini juga dibuat

dengan struktur bertutur yang sederhana. Tujuannya agar penonton

lebih mudah memahami dan mempercayai fakta-fakta yang disajikan.

b. Film Fiksi

Film fiksi dibuat dengan menggunakan cerita rekaan dan

adegan yang sudah dirancang sejak awal. Jenis film ini jauh berbeda

dengan jenis film dokumenter dan eksperimental karena cerita pada

jenis film ini terikat oleh plot, serta struktur filmnya pun terikat dengan

hukum kausalitas atau sebab-akibat.

11

(34)

c. Film Eksperimental

Berbeda dengan film dokumenter dan fiksi, jenis film ini tidak

memiliki plot namun tetap memiliki struktur yang dipengaruhi oleh

insting subjektifitas sineas, seperti gagasan, ide, emosi, serta

pengalaman batin. Film eksperimental umumnya tidak bercerita

tentang apapun, bahkan terkadang menentang kausalitas, film

eksperimental umumnya berbentuk abstrak dan tidak mudah dipahami

karena menggunakan simbol-simbol personal yang diciptakan pihak

sineas sendiri.

Kemudian berdasarkan orientasi pembuatannya, film dapat

digolongkan dalam dua kategori yaitu film komersial dan

nonkomersial. Film komersial, orientasi pembuatannya adalah bisnis

dan mengejar keuntungan. Dalam klasifikasi ini, film memang

dijadikan sebagai komoditas industrialisasi. Sehingga film dibuat

sedemikian rupa agar memiliki nilai jual dan menarik untuk disimak

oleh berbagai lapisan khalayak. Film komersial biasanya lebih ringan,

atraktif, dan mudah dimengerti. tujuannya agar lebih banyak orang

yang berminat untuk menyaksikan film.

Berbeda dengan film komersial, jenis film non-komersial

merupakan film yang digolongkan bukan film yang berorientasi

bisnis. Dengan kata lain, film non-komersial ini dibuat bukan dalam

rangka mengejar target keuntungan dan azasnya bukan untuk

menjadikan film sebagai komoditas, melainkan murni sebagai seni

(35)

dibuat atas dasar kepentingan bisnis dan keuntungan, maka biasanya

segmentasi penonton film non-komersial juga terbatas. Contoh film

non-komersial misalnya berupa film propaganda, yang dibuat dengan

tujuan mempengaruhi pola pikir massal agar sesuai dengan pesan yang

berusaha disampaikan.

Genre

Salah satu cara kunci di mana film dikembangkan dan dipasarkan adalah

melalui genre.12 Istilah genre memiliki asal usul dalam sejarah seni. Awalnya,

digunakan untuk merujuk pada lukisan-lukisan populer (sebagai lawan dari

lukisan-lukisan berselera tinggi atau berseni tinggi). Sampai sekarang, genre

merupakan istilah yang masih dipakai dalam industri penerbitan untuk

membedakan buku-buku massal dari buku-buku sastra.

Dalam kajian-kajian film, penelitian genre mengkaji film dengan

mengaitkannya pada film-film lain dalam genre yang sama. Film-film kerap

dipelajari menurut genrenya.

Fungsi genre sendiri adalah untuk mempermudah kita dalam

mengklasifikasikan dan memilih beberapa bentuk film yang saat ini mungkin

sudah berjumlah jutaan atau bahkan lebih. Pada era Hollywood klasik, kurang

lebih pada tahun 1930-1960, Bordwell, Thompson, dan Sraiger membuat

film-film untuk masing-masing genre, seperti Western, musikal, dan komedi guna

menjamin jumlah khalayak yang maksimal untuk keseluruhan sinema mereka.

12

(36)

Beberapa studio menspesialisasikan diri pada genre-genre tertentu.13 Jadi, genre

sangat membantu bagi para penikmat film untuk memilih bentuk film yang dicari.

Genre juga merupakan sebuah kategori semiotik karena di dalamnya

terdapat kode-kode dan konvensi-konvensi yang dimiliki oleh film-film dalam

sebuah genre yang sama. Misalnya, unsur-unsur seperti lokasi, gaya, dan mise en

scene seluruhnya merupakan bagian dari sistem terkode yang dapat diidentifikasi

melalui analisis semiotika.

Mengacu pada kategori genre sebagaimana disebutkan di atas yaitu untuk

mempermudah melihat dan mengklasifikasikan film, berikut skema genre film

yang dibagi berdasarkan pengaruh dan sejarah serta perkembangannya.

Tabel 1.2.14

Skema Genre Film Induk Primer dan Induk Sekunder.

Genre Induk Primer Genre Induk Sekunder Aksi

(37)

an. Hanya saja, beberapa yang populer dari bentuk genre ini, di antaranya

seperti genre aksi, drama, komedi, horor, serta fiksi imiah yang populer

hingga kini. Namun, adapula genre yang jauh lebih populer dan sukses di

masa lalu, yakni genre seperti musikal, epik sejarah, perang, serta western.

Di samping itu, satu-satunya genre yang tampaknya tidak pernah tersingkir

dari industri perfilman adalah komedi, mungkin karena genre komedi

begitu fleksibel.

2. Genre Induk Sekunder

Bentuk genre ini merupakan pengembangan dari genre induk

primer yang memiliki karakter dan ciri-ciri khusus dibandingkan dengan

genre induk primer.

4. Sejarah Singkat Perkembangan Perfilman

Film adalah media komunikasi massa yang kedua muncul di dunia

setelah surat kabar, mempunyai masa pertumbuhan pada akhir abad ke-19.

Pada awal perkembangannya, film tidak seperti surat kabar yang mengalami

unsur-unsur teknik, politik, ekonomi, sosial dan demografi yang merintangi

kemajuan surat kabar pada masa pertumbuhannya pada abad ke-18 dan

permulaan abad ke-19.15

Film berperan sebagai sarana baru yang digunakan untuk menyebarkan

hiburan yang sudah menjadi kebiasaan terdahulu, serta menyajikan cerita,

15

(38)

peristiwa, musik, drama, lawak, dan sajian teknis lainnya kepada masyarakat

umum.

Berbicara mengenai sejarah film, berarti tidak bisa lepas dari awal

mula munculnya fotografi. Dan sejarah fotografi tidak bisa lepas dari peralatan

pendukungnya, seperti kamera. Kamera pertama di dunia ditemukan oleh Ibnu

Haitham.16 Seorang ilmuan Islam yang ahli dalam bidang sains, falak

(astronomi), matematika, geometri, pengobatan, dan filsafat. Pertama kali ia

menemukan Kamera Obscura yakni dengan dasar kajian ilmu optik

menggunakan bantuan energi cahaya matahari. Teori beliau telah membawa

pengaruh kepada penemuan film yang kemudian disambung-sambungkan dan

dimainkan kepada para penonton sebagaimana yang dapat kita lihat pada masa

kini.

Kemudian, proses pengembangan selanjutnya diteruskan pada tahun

1877 oleh Eadweard Muybridge dengan membuat film bergerak. Pembuatan

film ini merupakan gambar gerak pertama di dunia, di mana pada masa itu

belum diciptakan kamera yang bisa merekam gerakan dinamis.17 Pembuatan

film dilakukan dengan cara merekam 16 frame gambar kuda yang sedang

berlari. Dari 16 frame gambar kuda yang sedang berlari tersebut, kemudian

dibuat rangkaian gerakan secara urut sehingga gambar kuda terkesan sedang

berlari. Dan terbuktilah bahwa ada satu momen di mana kaki kuda tidak

menyentuh tanah ketika kuda tengah berlari kencang.

16

Biografi Ibnu Haitham, Sang Penemu Kamera Obscura, tersedia di

http://indonesiaindonesia.com/f/90467-ibnu-haitham-penemu-kamera-obscura/, diakses pada, Minggu, 11 Oktober 2014.

17

(39)

Setelah penemuan gambar bergerak oleh Muybridge, inovasi kamera

mulai berkembang ketika Thomas Alfa Edison mengembangkan fungsi

kamera gambar biasa menjadi kamera yang mampu merekam gambar gerak

pada tahun 1888, sehingga kamera mulai bisa merekam objek yang bergerak

secara dinamis. Maka dimulailah era baru sinematografi, yakni sebuah alat

yang secara bersamaan dapat memfoto dan memproyeksikan gambar yang

ditandai dengan diciptakannya sejenis film dokumenter singkat oleh Lumière

Bersaudara.

Film yang diakui sebagai sinema pertama di dunia tersebut diputar di

Boulevard des Capucines, Paris, Prancis dengan judul Workers Leaving the

Lumière's Factory pada tanggal 28 Desember 1895 yang kemudian ditetapkan

sebagai hari lahirnya sinematografi.

Pada awal lahirnya film, memang tampak belum ada tujuan dan alur

cerita yang jelas. Namun ketika ide pembuatan film mulai tersentuh oleh ranah

industri, mulailah film dibuat lebih terkonsep, memiliki alur dan cerita yang

jelas. Meskipun pada era baru dunia film gambarnya masih tidak berwarna

alias hitam-putih, dan belum didukung oleh efek audio. Ketika itu, saat

orang-orang tengah menyaksikan pemutaran sebuah film, akan ada pemain musik

yang mengiringi secara langsung gambar gerak yang ditampilkan di layar

sebagai efek suara.

Kemudian, film bicara yang pertama muncul pada tahun 1927 di

Broadway, Amerika Serikat, meskipun dalam keadaan belum sempurna

sebagaimana dicita-citakan. Baru pada tahun 1935 film bicara boleh dikatakan

(40)

panjang, karena film pada masa itu banyak yang berdasarkan novel dari buku

dan disajikan dengan teknik yang baik.

Diawali pada tahun 1945 film mengalami kemerosotan yang cukup

tajam. Hal ini disebabkan karena munculnya televisi.18 Pada tahun-tahun sejak

rumah-rumah penduduk terdapat pesawat televisi, film telah surut peminatnya.

Amerika Serikat mengalami kemerosotan jumlah pengunjung sampai lebih

dari setengahnya. Demikian pula dengan negara-negara lain.

Lalu, pada tahun 1952 Fred Waller memperkenalkan sistem

Cinerama”. Layarnya yang enam kali lebih besar dari layar yang biasa, tidak

bisa digunakan secara umum karena mahalnya biaya dan karena kesukaran

teknik dalam pemutarannya di gedung-gedung bioskop. Penelitian pun

dilanjutkan. Pada tahun 1953 sistem “tiga dimensi” ditemukan. Penonton tidak

hanya melihat gambar yang rata seperti biasanya, melainkan menonjol ke luar,

seolah-olah apa yang disaksikan itu adalah kenyataan. Akan tetapi, sistem ini

pun mengalami kesukaran teknik sehingga tidak dapat dengan mudah

disajikan kepada publik.

Kemudian, pada tahun 1953 publik yang sekian lama terpesona oleh

TV berhasil ditarik kembali ke gedung-gedung bioskop. Hal itu disebabkan

penemuan “Cinemascope” oleh perusahaan film 20th Century Fox. Layarnya

yang lebar yang meskipun tidak menandingi Cinerama, tetapi dapat disajikan

kepada publik. Publik menyambut dengan antusias. Hal itu ditandingi

perusahaan film Paramount, dengan memperkenalkan sistem Vista Vision

dengan sukses pula. Layar untuk Vista Vision tidak selebar layar untuk

18

(41)

Cinemascope, tetapi layarnya dapat menampilkan gambar-gambar yang tajam

dan dapat memuaskan penonton.19

5. Film sebagai Media Komunikasi Massa

Komunikasi massa merupakan komunikasi melalui media massa yang

ditujukan kepada sejumlah khalayak yang besar. Proses komunikasi massa

melibatkan aspek komunikasi interpersonal, komunikasi intrapersonal,

komunikasi kelompok dan komunikasi organisasi. Teori komunikasi massa

umumnya memfokuskan pada struktur media, hubungan media dan

masyarakat, hubungan antar media dan khalayak, aspek budaya dan

komunikasi massa, serta dampak atau hasil komunikasi massa terhadap

individu.20

Littlejohn, menyatakan bahwa komunikasi massa merupakan:

“The process whereby media organizations produce and transmit messages to large publics and the process by which those messages are sough, used, understood, and influences.”21

Komunikasi massa, proses di mana organisasi-organisasi media

memproduksi dan menyampaikan pesan-pesan kepada khalayak luas dan

proses di mana pesan-pesan dicari, digunakan, dipahami, dan dipengaruhi oleh

khalayak.

Seperti kita ketahui bersama bahwa media massa seperti surat kabar,

televisi, film, radio, dan juga internet, serta proses komunikasi massa (peran

yang dimainkannya) semakin banyak dijadikan sebagai objek studi. Gejala ini

19

Onong Uchjana Effendi, Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2007), h. 204-205.

20

Eko Harry Susanto, Komunikasi Manusia: Esensi dan Aplikasi dalam Dinamika Sosial Ekonomi Politik, (Jakarta: Mitra Wacana Media penerbit, 2010), h. 9.

21

(42)

seiring dengan meningkatnya peran media massa itu sendiri sebagai suatu

institusi penting dalam masyarakat.

Media sering kali berperan sebagai wahana pengembangan

kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk seni dan

simbol, tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata cara, mode, gaya

hidup dan norma-norma. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja

bagi individu untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga

bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media masa selaku sumber

kekuatan (alat kontrol), manajemen, dan inovasi dalam masyarakat dapat

didayagunakan sebagai pengganti kekuatan atau sumber daya lainnya.

Film dinilai sebagai salah satu media komunikasi masa yang efektif.

Selain membawa pesan persuasi, film sudah melekat dalam kehidupan

masyarakat modern dan dianggap sebagai sumber berita maupun hiburan yang

dibutuhkan oleh masyarakat. Selain itu, pemanfaatan film sering kali dijadikan

sebagai alat propaganda. Hal tersebut berkenaan dengan pandangan yang

menilai bahwa film memiliki jangkauan realisme, pengaruh emosional, dan

popularitas yang hebat.

Upaya membaurkan pengembangan pesan dengan hiburan memang

sudah lama diterapkan dalam kesusastraan dan drama, namun unsur-unsur

baru dalam film memiliki kelebihan dalam segi kemampuannya memanipulasi

kenyataan yang tampak dengan pesan fotografis, tanpa kehilangan kredibilitas.

6. Film sebagai Media Dakwah

Ditinjau dari segi bahasa, dakwah berasal dari bahasa Arab “da‟wah”.

(43)

ini, terbetuk beberapa kata dengan ragam makna. Makna-makna tersebut di

antaranya berarti memanggil, mengundang, minta tolong, meminta, memohon,

menamakan, menyuruh datang, mendorong, menyebabkan, mendatangkan,

mendoakan, menangisi dan meratapi.22

Dari pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa dakwah adalah

kegiatan yang bersifat menyeru, mengajak dan memanggil orang untuk

beriman dan taat kepada Allah sesuai dengan garis aqidah, syariat dan akhlak

Islam.

Menurut M. Natsir dalam pemikirannya mengenai dakwah Islam,

memberikan pengertian bahwa dakwah Islam merupakan ajakan yang berisi

amar ma‟ruf nahi munkar. Menurutnya ajakan tersebut tidak cukup dengan

lisan, melainkan juga dengan bahasa, perbuatan dan kepribadian mulia secara

nyata.23 Seiring perkembangan teknologi komunikasi, komunikasi dakwah

juga memanfaatkan penggunaan media modern. Sebagaimana komunikasi

pada umumnya, berdakwah melalui media memiliki keunggulan utama soal

efisiensi dan efektifitas penyebaran pesan. Dalam artian, komunikasi yang

berhasil mencapai tujuan, mengesankan, dan mampu menghasilkan perubahan

sikap (attitude change) pada komunikan. Sedangkan, pengertian media

dakwah sendiri adalah alat yang menjadi perantara penyampaian pesan

dakwah kepada mitra dakwah.

Aktifitas dakwah niscaya menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari

seorang muslim. Kesadaran akan kewajiban berdakwah harus ada pada diri

22

Moh. Ali Aziz, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2009), cet. Ke-2, h. 6.

23

(44)

setiap muslim. Berdakwah sama wajibnya dengan ibadah ritual seperti shalat,

zakat, puasa dan haji.

Salah satu alternatif dakwah yang cukup efektif adalah melalui media

film, karena dengan kemajuan teknologi di zaman sekarang pemanfaatan

media tersebut cukup efektif, sebagaimana kita ketahui pada saat sekarang ini

dunia perfilman semakin maju dan berkembang disertai dengan sangat

antusiasnya animo masyarakat dalam menikmati produksi film.

Film adalah bagian kehidupan sehari-hari kita dalam banyak hal.

Bahkan, cara kita berbicara pun sangat dipengaruhi oleh metafora film.24

Itulah sebabnya orang terpesona oleh film sejak awal penciptaan film.

Film dapat memengaruhi emosi penonton. Adapun keunikan film

sebagai media dakwah di antaranya yaitu, Pertama, secara psikologis,

penyuguhan secara hidup dan tampak yang dapat berlanjut dengan animation

memiliki keunggulan daya efektifnya terhadap penonton. Sehingga dakwah

dapat disuguhkan kepada khalayak lebih baik dan efisien dengan media ini.

Selanjutnya, media film yang menyuguhkan pesan hidup dapat mengurangi

keraguan yang disuguhkan, lebih mudah diingat dan mengurangi kelupaan.25

B. Semiotika

1. Konsep Dasar Semiotika

Istilah semiotics atau semiotika pertamakali diperkenalkan oleh

Hippocrates (460-377 SM), ia merupakan seorang penemu ilmu medis Barat,

24

John Vivian, Teori Komunikasi Massa, (Jakarta: kencana, 2008), h. 160.

25

(45)

seperti ilmu gejala-gejala. Gejala, menurut Hippocrates dalam bahasa Yunani

merupakan semeon, yang berarti “penunjuk” (mark) atau “tanda” (sign) fisik.26

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji

tanda.27 Semiotika, seperti kata John Lechte dalam Sobur, adalah teori tentang

tanda dan penandaan. Lebih jelasnya lagi, semiotika adalah suatu disiplin yang

menyelidiki semua bentuk komunikasi yang terjadi dengan sarana signs

„tanda-tanda‟ dan berdasarkan pada sign system (code) „sistem tanda‟.

Semiotika menjadi salah satu kajian yang bahkan menjadi tradisi

dalam teori komunikasi. Teori semiotika terdiri atas sekumpulan teori tentang

bagaimana tanda-tanda merepresentasikan benda, ide, keadaan, situasi,

perasaan dan kondisi di luar tanda-tanda itu sendiri.

Tanda, yakni apapun yang memproduksi makna. Secara umum, tanda

menurut Tony Thwaites ialah, tanda bukan sekadar ulasan tentang dunia,

tetapi dengan sendirinya merupakan ihwal (things) khususnya dalam dunia

sosial. Tanda tidak hanya menyampaikan makna, tetapi memproduksinya.

Tanda memproduksi banyak makna, namun bukan sekadar satu makna

petanda.28

Semiotik bertujuan untuk mengetahui makna-makna yang terkandung

dalam sebuah tanda atau menafsirkan makna tersebut sehingga diketahui

bagaimana komunikator mengkonstruksi pesan. Konsep pemaknaan ini tidak

terlepas dari perspektif atau nilai-nilai ideologis tertentu serta konsep kultural

yang menjadi ranah pemikiran masyarakat di mana simbol tersebut diciptakan.

26

Marcel Danesi, Pesan, Tanda, dan Makna, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), h. 6.

27

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 15.

28

(46)

Kode kultural yang menjadi salah satu faktor konstruksi makna dalam

sebuah simbol menjadi aspek yang penting untuk mengetahui konstruksi

pesan dalam tanda tersebut. Konstruksi makna yang terbentuk inilah yang

kemudian menjadi dasar terbentuknya ideologi dalam sebuah tanda. Sebagai

salah satu kajian pemikiran dalam cultural studies, semiotik tentunya melihat

bagaimana budaya menjadi landasan pemikiran dari pembentukan makna

dalam suatu tanda.

Ketika kita berbicara mengenai sebuah kajian ilmu atau sebuah teori,

maka tidak bisa terlepas dari tokoh-tokoh yang mencetuskan kajian tersebut.

Semiotika tentunya memiliki tokoh-tokoh yang menjadi pemikir terbentuknya

sebuah tradisi semiotik itu sendiri, ada empat tokoh semiotika yang cukup

terkenal dengan teorinya, di antaranya, pertama, Charles Sander Pierce, ia

menemukan tipologi tanda yaitu indeks, ikon, dan simbol. Teori Pierce

dikenal dengan grand theory yang membagi sistem tanda menjadi tiga unsur

yaitu representmen, interpretant, dan objek. Kedua, Ferdinand de Saussure,

tokoh ini lebih berfokus pada semiotika linguistic, setidaknya Saussure telah

menemukan dua komponen dalam studi semiotika yaitu signifier (penanda)

dan signified (petanda).29 Kemudian barulah muncul tokoh-tokoh selanjutnya

seperti Roland Barthes dan Cristian Metz. Semiotika sendiri menurut Sobur

terbagi menjadi dua jenis, di antaranya:

a. Semiotika Komunikasi

Semiotika ini menekankan pada teori tentang tanda, salah satu di

antaranya yaitu mengansumsikan adanya enam faktor dalam komunikasi,

29

(47)

yakni pengirim, penerima kode (sistem tanda), pesan, saluran

komunikasi, dan acuan (hal yang dibicarakan).

b. Semiotika Signifikasi

Semiotika ini lebih memberikan tekanan pada teori tanda dan

pemahamannya dalam suatu konteks tertentu. Pada jenis ini, tidak

dipersoalkan adanya tujuan berkomunikasi. Sebaliknya, yang diutamakan

adalah segi pemahaman suatu tanda sehingga proses kognisinya pada

penerima tanda lebih diperhatikan daripada proses komunikasinya.30

2. Konsep Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes menjadi tokoh yang begitu identik dengan kajian

semiotika. Pemikiran semiotika Barthes banyak digunakan sebagai rujukan

penting dalam penelitian, khususnya di Indonesia. Konsep pemikiran Barthes

terhadap semiotik dikenal dengan konsep mitologi dan semiologi yang

merupakan pendalaman dari teori linguistik dan semiologi milik Saussure.31

Sebagai penerus dari pemikiran Saussure, Roland Barthes menekankan

interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya,

interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan

diharapkan oleh penggunanya. Di mata Barthes, suatu teks merupakan

sebentuk konstruksi belaka. Bila hendak menemukan maknanya, maka perlu

dilakukan rekonstruksi dari teks itu sendiri.

Barthes menjelaskan bahwa kunci dari analisisnya ada pada konotasi

dan denotasi. Ia mendefinisikan sebuah tanda (sign) sebagai sebuah sistem

30

Alex Sobur, Semiotika Komunikasi, h. 15.

31

(48)

yang terdiri dari sebuah ekspresi (E) atau signifier dalam hubungannya (R)

dengan isi (signified) (C).32

Gagasan Barthes ini dikenal dengan “order of signification”,

mencakup denotasi, yaitu makna ganda yang lahir dari pengalaman cultural

dan personal. Hal ini merupakan distingsi antara Saussure dan Barthes,

meskipun Barthes tetap menggunakan istilah signifier (ekspresi) dan signified

(isi) yang diusung oleh Saussure.

3. Konsep Semiotika Christian Metz

Christian Metz adalah seorang teoritikus film yang terkenal sebagai

pelopor penerapan teori semiotika dari Saussure ke dalam film. Tokoh ini lahir

di Beziers, Prancis bagian selatan, pada tahun 1931. Pada periode 1970-an,

pemikirannya mengenai film sangat memengaruhi perkembangan film di

Prancis, Inggris, Amerika Latin, dan Amerika Serikat.33 Bukunya yang

berjudul Languange and Cinema memberikan pemahaman mengenai film

sebagai satuan bahasa yang berbeda dari bahasa tutur. Semua komponen

dalam film merupakan serangkaian kode yang merepresentasikan sebuah

budaya, sejarah dan nilai-nilai. Bagi Metz, teori film adalah teori yang

mengkaji wacana-wacana sejarah film, masalah ekonomi film, estetika film

dan semiotika film.34

Menurut Metz, film merupakan sekumpulan tanda dan bahasa yang

tercipta melalui gerakan gambar serta kode-kode yang ditampilkan di dalam

32

Indiwan Seto, Semiotika Komunikasi, h. 16.

33

http://jurnalfootage.net/v4/artikel/peranan-teori-filem-di-dalam-ilmu-filem, diakses pada Jumat, 10 Oktober 2014.

34

(49)

film. Baginya, sebuah film bagi penontonnya hanyalah “ilusi tentang realitas” yang mungkin lebih tepat disebut “impresi tentang realitas”.

Metz secara khusus tertarik dengan bagaimana penanda film,

dibandingkan dengan media lainnya (penanda-penanda lainnya), ia berhasil

memberikan suatu narasi (diagesis), intrik, deskripsi, drama, dan sebagainya.

Di sinilah faktor kunci penentunya, berkaitan dengan cara bagaimana film

memberikan suatu struktur naratif, bukan dengan cara bagaimana film-film

tertentu berkembang dan ditafsirkan dalam kerangka perkembangan ini.

Menjelang pertengahan tahun 1970-an, Metz mulai menyadari bahwa

pendekatan semiotik terhadap film cenderung mengistimewakan tataran

struktur diskursus film dan mengabaikan kondisi penerimaan film terhadap

aspek pandangan para penonton.35

4. Tabel Analisis Film Steve Campsall

Steve Campsall merupakan salah seorang pengajar studi bahasa Inggris

dan media di The Beauchamp College. Dalam tabel analisis filmnya yang

diadopsi dari pemikiran Metz, Steve campsall melihat film sebagai kesatuan

bahasa dan makna. Ini kemudian dipahami oleh Campsall sebagai Moving

Image Texts: “Film Languange”. Semiotika film dapat direalisasikan dengan

berbagai komponen dan elemen yang dapat menjelaskan teknik semiotika film

secara mendetail melalui tabel berikut:

35

John Lechte, 50 Filsuf Kontemporer: Dari Strukturalisme sampai Posmodernitas,

Gambar

gambar positif (yang akan dimainkan di bioskop), dan film diartikan sebagai
gambar serta ukuran gambar dalam sebuah frame. Salah satu aspek
gambar terhadap objek yang berada dalam frame. Secara umum, sudut
Tabel 1.2.14
+7

Referensi

Dokumen terkait