• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peningkatan keterampilan berbicara dengan teknik bermain peran pada siswa kelas III MI Ziyadatul Huda Jakarta Timur Tahun pelajaran 2013/2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peningkatan keterampilan berbicara dengan teknik bermain peran pada siswa kelas III MI Ziyadatul Huda Jakarta Timur Tahun pelajaran 2013/2014"

Copied!
129
0
0

Teks penuh

(1)

TAHUN PELAJARAN 2013/2014

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan

Oleh

LILIK KAMALIA NIM 809018300664

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

i

Kata Kunci: keterampilan berbicara, penelitian tindakan kelas, teknik bermain peran

Permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini adalah: (1) Bagaimana penerapan teknik bermain peran dalam meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas III MI Ziyadatul Huda, Jakarta Timur Tahun Pelajaran 2013/2014? (2) Bagaimana hasil penerapan teknik bermain peran dalam meningkatkan keterampilan berbicara pada materi dongeng? Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: (1) Mendeskripsikan penerapan teknik bermain peran dalam meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas III MI Ziyadatul Huda, Jakarta Timur, Tahun Pelajaran 2013/2014, (2) Mengetahui hasil penerapan teknik bermain peran dalam meningkatkan keterampilan berbicara pada materi dongeng siswa kelas III MI Ziyadatul Huda, Jakarta Timur, Tahun Pelajaran 2013/2014. Metode yang digunakan pada penelitian ini adalah metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK). PTK dilaksanakan sebagai upaya untuk mengatasi permasalahan yang muncul di dalam kelas. Upaya pemecahan masalah dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) perencanaan (planning), (2) pelaksanaan (acting), (3) pengamatan (observing), (4) refleksi. Serangkaian kegiatan ini disebut satu siklus. Dalam penelitian ini, peneliti melakukan tindakan sebanyak dua siklus.

(7)

ii

Segala puji hanya milik Allah SWT yang telah menganugerahkan karunia-Nya yang begitu besar kepada kita semua, yaitu berupa iman, kesehatan, dan ilmu, serta curahan rahmat dan inayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan tepat waktu.

Shalawat dan salam, tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabatnya, yang telah mendidik dan membimbing manusia untuk mengenal Tuhannya, serta menunjukkan kepada manusia jalan menuju surga-Nya. Penulis menyadari bahwa sebuah keberhasilan tidak datang begitu saja tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak, baik itu bantuan berupa moral, maupun materil kepada penulis, untuk dapat menyelesaikan jenjang pendidikan S-1 ini dengan menyelesaikan karya tulis ilmiah berupa skripsi. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dra. Nurlena Rifai, MA. Ph.D., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta.

2. Dr. Fauzan, MA., selaku Ketua Jurusan PGMI, yang telah memberikan izin atas terlaksananya penelitian ini.

3. Rosida Erowati, M. Hum., selaku dosen pembimbing, yang telah bersedia meluangkan waktunya untuk memberikan saran dan kritiknya terhadap penulis.

4. Seluruh dosen yang ada di jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta yang telah memberikan ilmunya kepada penulis selama perkuliahan berlangsung.

(8)

iii

kepada penulis agar dapat menyelesaikan program S1 ini.

8. Kedua orangtua penulis yang telah memberikan kasih sayang dan cintanya yang tulus, serta nasihat-nasihatnya kepada penulis.

9. Seluruh teman-teman seperjuangan yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, khususnya kepada Chaeroni, S.Pd., yang telah memberikan

masukan yang baik kepada penulis.

Dalam menyusun skripsi ini penulis menyadari masih ada kekurangan dan kelemahan, karena keterbatasan pengetahuan yang ada dan tentu hasilnya masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun sangat diharapkan. Penulis tetap berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat khususnya bagi penulis sendiri dan pembaca pada umumnya.

Jakarta, 11 Maret 2014

(9)

iv LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI

LEMBAR PERNYATAAN KARYA SENDIRI

ABSTRAK ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

DAFTAR TABEL ... vii

DAFTAR GRAFIK ... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Area dan Fokus Penelitian ... 4

C. Pembatasan Fokus Penelitian ... 5

D. Perumusan Masalah Penelitian... 5

E. Tujuan Penelitian ... 5

F. Manfaat Penelitian ... 6

BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Landasan Teori ……… 7

1. Hakikat Berbicara ……… 7

a.Pengertian Berbicara ………. 7

b.Prinsip-Prinsip Dalam Berbicara ……….. 8

c.Hubungan Berbicara dengan Keterampilan Berbahasa yang Lain ……….. 9

d.Tujuan Berbicara dan Jenis-Jenis Berbicara ……….. 10

e.Pembelajaran Keterampilan Berbicara ……… 11

f. Kriteria Keterampilan Berbicara ……….. 15

(10)

v

3. Dongeng ………... 19

a.Pengertian Dongeng ……….. 19

b.Jenis-Jenis Dongeng ………. 20

c.Ciri-Ciri Dongeng ……… 21

B. Penelitian yang Relevan ………. 22

C. Kerangka Berpikir ……….. 23

D. Hipotesis Penelitian ……… 24

BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ……… 25

B. Metode Penelitian dan Rancangan Siklus Penelitian ……… 25

C. Subjek Penelitian ……… 28

D. Peran dan Posisi Peneliti dalam Penelitian……… 28

E. Tahapan Intervensi Tindakan………. 28

F. Hasil Intervensi Tindakan yang Diharapkan ………... 31

G. Data dan Sumber Data ……….. 32

H. Instrumen Pengumpulan Data ……… 32

1. Instrumen Tes ……….. 32

2. Instrumen Non Tes ……….. 33

I. Teknik Pengumpulan Data ………. 33

1. Observasi ……… 33

2. Wawancara ………. 34

3. Dokumentasi ……… 34

J. Teknik Pemeriksaan Keterpercayaan ……… 35

1. Teknik Triangulasi ……… 35

2. Pemeriksaan Sejawat ……… 35

K. Teknik Analisis Data ……….. 36

(11)

vi

c. Keadaan Siswa ……… 40

d. Sarana dan Prasarana ………. 40

B. Deskripsi Data Hasil Pengamatan ... 41

1. Pratindakan (Pretest) ……….. 41

2. Tindakan Siklus I ……… 48

3. Tindakan Siklus II ……….. 58

C. Pemeriksaan Keabsahan Data ……… 65

D. Analisis Data ……….. 66

1. Analisis Nilai Siswa ……….. 66

2. Analisis Hasil Observasi ……….. 72

E. Interpretasi Hasil Analisis ……….. 74

F. Pembahasan Temuan Penelitian ……… 75

BAB V SIMPULAN DAN SARAN A. Simpulan ... 77

B. Saran ... 78 DAFTAR PUSTAKA

(12)

vii

Tabel 4.1. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan ………. 39

Tabel 4.2. Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan ………. 39

Tabel 4.3. Keadaan Siswa MI Ziyadatul Huda ……….. 40

Tabel 4.4. Sarana dan Prasarana ………. 41

Tabel 4.5. Hasil Observasi Terhadap aktivitas Siswa Pratindakan ……. 42

Tabel 4.6. Hasil Observasi Terhadap Aktivitas Guru Pratindakan ……. 43

Tabel 4.7. Hasil Belajar Keterampilan Berbicara Siswa Pratindakan …. 44

Tabel 4.8. Tingkat Penguasaan Pratindakan ………... 45

Tabel 4.9. Distribusi Frekuensi Hasil Kemampuan Berbicara Siswa Pratindakan ……… 46

Tabel 4.10. Hasil Pengamatan Terhadap Aktivitas Siswa Pada Siklus I .. 51

Tabel 4.11. Hasil Observasi Terhadap Aktivitas Guru Siklus I ………… 52

Tabel 4.12. Hasil Belajar Keterampilan Berbicara Siswa Siklus I ……... 54

Tabel 4.13. Tingkat Penguasaan Siklus I ……….………. 55

Tabel 4.14. Frekuensi Nilai Membaca Permulaan Siswa Pada Siklus I .. 55

Tabel 4.15. Catatan Lapangan Siklus I ……… 57

Tabel 4.16. Hasil Pengamatan Terhadap Aktivitas Siswa Siklus II …… 60

Tabel 4.17. Hasil Observasi Terhadap Aktivitas Guru Siklus II ……… 61

Tabel 4.18. Hasil Belajar Keterampilan Berbicara Siswa Siklus II …… 62

Tabel 4.19. Tingkat Penguasaan Siklus II ……… 63

Tabel 4.20. Frekuensi Nilai Membaca Permulaan Siswa Pada Siklus II 63

Tabel 4.21. Urutan Nilai Pretest Terendah Hingga Tertinggi ………… 66

Tabel 4.22. Urutan Nilai Terendah Hingga Tertinggi Siklus I ………… 66

Tabel 4.23. Urutan Nilai Terendah Hingga Tertinggi Siklus II ……….. 67

Tabel 4.24. Data Perolehan Nilai Kemampuan Berbicara Siswa pada Akhir Siklus ………. 67

(13)

viii

(14)

ix

(15)

1 A. Latar Belakang Masalah

Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan oleh manusia dalam kehidupan sehari-sehari. Sebagai alat komunikasi, maka kedudukan bahasa sangat penting dalam kehidupan manusia. Perolehan bahasa pada manusia, tidak datang begitu saja, meskipun sudah ada bakat alamiah dalam dirinya. Kemampuan berbahasa pada manusia terjadi karena adanya pengaruh-pengaruh dari lingkungannya. Tanpa adanya pengaruh di sekitarnya, mustahil bagi seseorang dapat berbahasa dengan baik. Jika lingkungannya baik, maka berbahasanya juga baik. Jika lingkungannya tidak baik, maka berbahasanya pun tidak baik pula. Ada empat keterampilan dalam berbahasa, yakni menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa keterampilan berbahasa ini tidak datang begitu saja dalam diri setiap orang, melainkan harus ada bimbingan dari lingkungannya, maka keterampilan hanya dapat diperoleh dengan banyak latihan dan praktek. Di antara empat keterampilan tersebut yang paling banyak dilakukan oleh setiap orang adalah berbicara. Hampir semua orang berkomunikasi dengan berbicara. Maka, dapat dikatakan bahwa berbicara mempunyai peranan sosial yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Kemampuan berbicara seseorang menunjukkan kecerdasannya dan dapat

menentukan kesuksesannya, contohnya salah satu trainer yang cukup terkenal yaitu Mario Teguh. Dengan gaya bicaranya, beliau dapat menarik perhatian setiap orang yang mendengarnya. Gaya bahasanya yang indah dan enak didengar, menunjukkan keilmuannya yang cukup tinggi. Di pihak lain, berbicara juga dapat menjadi pemecah belah.

Dalam Undang-Undang Pendidikan, pemerintah telah menetapkan tujuan dari pembelajaran bahasa Indonesia. Tujuan ini merupakan standar kelulusan bagi setiap siswa. Berkaitan dengan penelitian yaitu pada aspek berbicara, kemampuan yang harus dicapai siswa adalah dapat “menggunakan wacana lisan untuk

(16)

mengungkapkan pikiran, perasaan, dan informasi dalam kegiatan perkenalan, tegur sapa, percakapan sederhana, wawancara, percakapan telepon, diskusi, pidato, deskripsi peristiwa dan benda di sekitar, memberi petunjuk, deklamasi, cerita, pelaporan hasil pengamatan, pemahaman isi buku dan berbagai karya sastra untuk anak berbentuk dongeng, pantun, drama, dan puisi.”1 SKL yang ditetapkan oleh pemerintah ini, bukan tanpa alasan. Cita-cita bangsa ini adalah membentuk masyarakat yang santun dalam bertutur kata. Alangkah indahnya Indonesia, jika diisi oleh masyarakat yang santun dalam berbicara.

Berbicara merupakan sebuah keterampilan yang memerlukan latihan secara terus menerus. Tanpa dilatih, seorang yang pendiam akan terus-menerus berdiam diri dan tidak akan berani untuk menyuarakan pendapatnya. Menurut Tarigan, “berbicara adalah suatu keterampilan berbahasa yang berkembang pada kehidupan anak, yang hanya didahului oleh keterampilan menyimak, dan pada masa tersebutlah kemampuan berbicara atau berujar dipelajari.”2 Pembelajaran keterampilan berbicara pada jenjang Sekolah Dasar merupakan tantangan untuk peningkatan kompetensi berbicara mereka. Siswa diharapkan dapat menyerap aspek-aspek dasar keterampilan berbicara untuk menjadi bekal ke jenjang yang lebih tinggi atau memiliki keterampilan berbicara yang baik.

Tujuan pembelajaran berbicara yang diharapkan adalah agar siswa mampu mengungkapkan gagasan, pendapat, dan pengetahuan secara lisan, serta memiliki kegemaran berbicara kritis dan kreatif. Secara umum tujuan pembelajaran keterampilan berbicara yaitu siswa mampu mengomunikasikan ide atau gagasan, dan pendapat secara lisan ataupun sebagai kegiatan mengekspresikan ilmu pengetahuan, pengalaman hidup, ide, dan lain sebagainya.

Dalam keterampilan berbicara seseorang harus memperhatikan unsur situasi atau konteks, dan paralinguistik (pesan non-verbal terkait dengan cara

pengucapannya atau intonasi suara) yang nantinya sangat membantu proses komunikasi. Kelancaran proses komunikasi dalam suatu ujaran bergantung pada

1Abd.Rozak, dkk., Kompilasi Undang-Undang dan Peraturan Bidang Pendidikan, (Jakarta: FITK PRESS UIN syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), cet. 1, h. 330.

(17)

bahasa atau lambang-lambang bunyi. Agar siswa dapat berkomunikasi dengan baik, pembicara hendaklah menuangkan gagasannya kedalam bahasa yang tepat dan jelas.

Ada empat unsur yang harus dikuasai oleh seorang pembicara, yaitu unsur psikologis, linguistik, situasi atau konteks, dan pemahaman ide yang akan diujarkan. Unsur psikologis berkaitan dengan kondisi batin pembicara (keberanian). Unsur linguistik berkaitan dengan penguasaan bahasa yang dikuasai pembicara. Unsur situasi atau konteks berkaitan dengan keadaan yang ada di

sekitar pembicara. Unsur pemahaman ide berkaitan dengan penguasaan bahan pembicaraan oleh pemateri

Pada umumnya siswa mengalami hambatan ketika mereka diberikan tugas oleh guru untuk mengemukakan pendapat atau bercerita di depan kelas. Mereka mengalami kesulitan dalam mengungkapkan ide, kurang menguasai materi atau cerita yang diberikan oleh guru, kurang membiasakan diri untuk berbicara di depan umum, kurangnya rasa percaya diri pada siswa, dan kurang mampu mengembangkan keterampilan bernalar dalam berbicara. Kesulitan-kesulitan tersebut membuat mereka tidak mampu mengungkapkan pikiran dan gagasan dengan baik, sehingga siswa menjadi enggan untuk berbicara menuangkan ide kreatifnya.

Permasalahan-permasalahan di atas terjadi juga pada siswa kelas III MI. Ziyadatul Huda, Jakarta Timur. Mereka kurang berani untuk berbicara di depan kelas, karena tidak terbiasa. Mereka pun kesulitan dalam menuangkan ide-ide secara lisan, karena minimnya kosa kata yang dikuasainya. Hal ini dapat dibuktikan dengan rendahnya nilai bahasa Indonesia mereka terutama pada keterampilan berbicara. Nilai rata-rata ulangan harian siswa berada di bawah nilai KKM. Nilai KKM yang ditetapkan oleh guru adalah sebesar 65,00. Ketika penulis

(18)

Teknik pembelajaran tidak luput dari pengamatan penulis. Teknik yang digunakan oleh guru pun terlihat membosankan. Siswa hanya diminta untuk menirukan bacaan guru, setelah itu mereka membaca bersama-sama sesuai barisan kursi. Ketika maju ke depan kelas pun, mereka tidak sendiri melainkan berkelompok. Dengan cara seperti ini, kurang melatih keberanian siswa untuk berani tampil di depan umum secara individu. Guru pun tidak memberikan tugas kepada siswa untuk menceritakan kembali dengan menggunakan bahasa mereka sendiri, tetapi hanya ditugaskan untuk menyalin cerita anak tersebut dan

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada di buku paket bahasa Indonesia. Penekanan pada keterampilan berbicaranya sangat kurang, justru yang terjadi adalah membaca dan menulis.

Dari permasalahan-permasalahan yang telah diuraikan di atas, diperlukan adanya solusi yang efektif untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Dalam hal ini, penulis akan menggunakan teknik bermain peran untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa. Teknik ini dilakukan secara berkelompok, ada yang bertugas membacakan narasi dan ada yang menjadi pemeran tokoh. Skenario sudah dipersiapkan oleh penulis.

Berdasarkan uraian di atas penulis berharap teknik bermain peran ini dapat meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas III MI. Ziyadatul Huda, Jakarta Timur, sehingga berefek pada meningkatnya nilai mata pelajaran bahasa Indonesia mereka, khususnya pada aspek berbicara. Maka penelitian ini berfokus pada “Peningkatan Keterampilan Berbicara dengan Teknik Bermain Peran Pada Siswa Kelas III di MI.Ziyadatul Huda, Jakarta Timur”.

B. Identifikasi Area dan Fokus Penelitian

Berdasarkan uraian yang terdapat pada latar belakang masalah, permasalahan-permasalahan yang teridentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Rendahnya nilai mata pelajaran bahasa Indonesia pada aspek berbicara 2. Siswa kurang berani mengutarakan ide atau gagasan di depan kelas

(19)

4. Kurangnya kemampuan siswa dalam menceritakan kembali isi dongeng yang dibacanya dengan kata-kata sendiri.

5. Pembelajaran yang disajikan guru membuat siswa lekas jenuh

6. Rendahnya pengetahuan guru terhadap metode-metode pembelajaran

C. Pembatasan Fokus Penelitian

Agar pembahasan penelitian lebih terfokus kepada permasalahan utama, maka penelitian dibatasi hanya pada:

1. Penerapan teknik bermain peran dalam meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas III MI Ziyadatul Huda, Jakarta Timur, semester ganjil, tahun pelajaran 2013/2014.

2. Hasil penerapan teknik bermain peran dalam meningkatkan keterampilan berbicara pada materi dongeng.

D. Perumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan batasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana penerapan teknik bermain peran dalam meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas III MI Ziyadatul Huda, Jakarta Timur Tahun Pelajaran 2013/2014?

2. Bagaimana hasil penerapan teknik bermain peran dalam meningkatkan keterampilan berbicara pada materi dongeng?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian yang penulis lakukan ini adalah sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan penerapan teknik bermain peran dalam meningkatkan

keterampilan berbicara pada siswa kelas III MI Ziyadatul Huda, Jakarta Timur, Tahun Pelajaran 2013/2014.

(20)

F. Manfaat Penelitian

Manfaat dari hasil penelitian yang dilakukan adalah sebagai pengalaman dan pengetahuan untuk mengetahui secara langsung bagaimana upaya peningkatan keterampilan berbicara siswa kelas III MI Ziyadatul Huda, Jakarta Timur dengan teknik bermain peran. Manfaat ini terinci sebagai berikut:

1. Manfaat Teoretis

a. Untuk mengembangkan teori pembelajaran keterampilan berbicara di kelas rendah dengan menerapkan teknik bermain peran.

b. Sebagai bahan acuan dalam proses belajar-mengajar pada mata pelajaran bahasa Indonesia, khususnya pada aspek keterampilan berbicara.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi guru, memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi siswa dan guru dalam pembelajaran keterampilan berbicara.

b. Bagi siswa, membantu mengatasi kesulitan siswa dalam pembelajaran keterampilan berbicara.

c. Bagi sekolah, dapat memberikan kontribusi dalam usaha untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas praktik pembelajaran keterampilan berbicara siswa di sekolah.

d. Bagi peneliti, melakukan kajian-kajian lebih lanjut untuk menyusun suatu rancangan pembelajaran keterampilan berbicara dengan teknik bermain peran yang dapat dilaksanakan sesuai dengan kondisi sekolah.

(21)

1. Hakikat Berbicara a. Pengertian Berbicara

Kemampuan berbicara seorang anak tidak akan berkembang dengan sendirinya, tetapi memerlukan suatu cara yang tepat agar anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya. Dengan adanya interaksi tersebut, maka kemampuan berbicaranya akan bertambah baik. Kemampuan berbicara seseorang sangat berhubungan erat dengan perkembangan kosa kata yang mereka peroleh. Semakin banyak kosa kata yang mereka peroleh, semakin pintar mereka dalam berbicara.

Beberapa ahli berpendapat tentang arti berbicara. Menurut Henry Guntur Tarigan, berbicara adalah “kemampuan mengucapkan bunyi-bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran,

gagasan, dan perasaan.”1

Menurut Powers, berbicara merupakan “ekspresi dari gagasan-gagasan pribadi seseorang, dan menekankan hubungan-hubungan yang bersifat dua arah, memberi dan menerima.”2 Menurut Djago Tarigan dalam

Kundaru Saddhono dan St. Slamet, “berbicara adalah keterampilan

menyampaikan pesan melalui bahasa lisan.”3

Dari beberapa pendapat para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa berbicara adalah kemampuan seseorang dalam menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan, dan menekankan hubungan yang bersifat dua arah. Dalam kegiatan berbicara, pastinya ada pihak yang berbicara dan ada pihak yang mendengarkan pembicaraan. Hendaknya isi pembicaraan dapat dipahami oleh lawan bicaranya. Di sinilah keterampilan berbicara sesorang terlihat. Semakin orang mudah memahami isi pembicaraannya dan dapat menarik

1 Henry Guntur Tarigan, Berbicara Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa, (Bandung:

Angkasa, 2008), edisi revisi, h. 16.

2Ibid., h. 9.

3 Kundharu Saddhono, St. Y. Slamet, Meningkatkan Keterampilan Berbahasa Indonesia,

(Bandung: Karya Putra Darwati, 2012), cet. 1, h. 34.

(22)

perhatian bagi yang mendengarnya, menandakan keterampilan berbicaranya cukup baik.

Dari penjelasan di atas dapat penulis pahami bahwa berbicara merupakan salah satu keterampilan yang harus mendapat perhatian dari berbagai pihak. Kemampuan berbicara anak harus dilatih sejak kecil. Hal ini dilakukan terkait dengan kecerdasan seorang anak. Semakin bagus berbicaranya, maka semakin meningkat daya pikirnya. Anakpun akan mampu mengungkapkan perasaannya kepada orang dewasa di sekitarnya, sehingga terjalin komunikasi yang baik antar

keduanya.

b. Prinsip-Prinsip Dalam Berbicara

Perlu diketahui bahwa dalam berbicara terdapat beberapa prinsip-prinsip umum yang mendasari kegiatan berbicara, antara lain:

1) Membutuhkan paling sedikit dua orang. Tidak menutup kemungkinan ada yang berbicara sendirian, tapi yang paling sering ditemukan dalam kegiatan

berbicara adalah pembicaraan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih. 2) Mempergunakan suatu sandi linguistik yang dipahami bersama.

3) Menerima atau mengakui suatu daerah referensi umum. 4) Merupakan suatu pertukaran antara partisipan.

5) Menghubungkan setiap pembicara dengan yang lainnya dan kepada lingkungannya dengan segera.

6) Berhubungan atau berkaitan dengan masa kini.

7) Hanya melibatkan aparat atau perlengkapan yang berhubungan dengan suara/bunyi bahasa dan pendengaran (vocal and auditory apparatus).

8) Secara tidak pandang bulu menghadapi serta memperlakukan apa yang nyata dan apa yang diterima sebagai dalil.4

Dari prinsip-prinsip yang telah disebutkan di atas, prinsip yang terkait dengan penelitian ini adalah prinsip no. 1, 4, 5, dan 7. Alasannya adalah karena dalam penelitian ini penulis akan mengajak siswa untuk memerankan tokoh-tokoh sebuah dongeng. Dalam bermain peran ini akan terjadi interaksi antar siswa yang

(23)

bermain peran, interaksi dengan siswa yang menonton, dan menggunakan alat sederhana sebagai pelengkap.

c. Hubungan Berbicara dengan Keterampilan Berbahasa yang Lain

Empat keterampilan berbahasa, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis mempunyai hubungan saling keterkaitan. Berikut adalah penjelasannya, yaitu:

1) Hubungan antara berbicara dan menyimak

“Berbicara dan menyimak merupakan kegiatan komunikasi dua arah yang

langsung serta merupakan komunikasi tatap-muka atau face-to-face communication.”5 Berbicara biasanya diperoleh dari kegiatan menyimak. Hal ini terjadi pada seorang anak yang sedang belajar berbicara. Mereka mendengarkan kata atau kalimat yang diucapkan oleh orang dewasa, lalu

menirunya. “Bunyi atau suara merupakan faktor penting dalam meningkatkan cara pemakaian kata-kata sang anak.”6 Oleh karena itu baik atau buruknya bicara seorang anak tergantung lingkungan sekitarnya. Seorang anak akan menjadi baik berbicaranya jika mereka menyimak ujaran-ujaran yang baik pula, contohnya ucapan-ucapan yang baik dari seorang guru, cerita-cerita yang mengandung hikmah, dll.

2) Hubungan antara berbicara dan membaca

“Kemampuan berbicara turut melengkapi suatu latar belakang pengalaman -pengalaman yang menguntungkan keterampilan membaca. Kemampuan ini mencakup ujaran yang jelas dan lancar, kosa kata yang luas dan beraneka ragam, penggunaan kalimat-kalimat yang lengkap kalau diperlukan, dan kemampuan mengikuti perkembangan urusan suatu cerita atau kejadian

dalam urutan yang wajar.”7

3) Hubungan antara ekspresi lisan dan ekspresi tulis

Hubungan antara berbicara dan menulis juga sangat erat. “Sejumlah ahli

memasukkan kedua keterampilan ini ke dalam retorik. Retorik merupakan

5 Henry Guntur Tarigan, op.cit., h. 4. 6 Ibid.

(24)

penggunaan bahasa secara tepat guna untuk untuk mengkomunikasikan perasaan yang sejati dan gagasan-gagasan yang sehat serta masuk akal.8

Henry Guntur Tarigan juga menjelaskan, bahwa “berbicara dan menulis erat

berhubungan dalam hal bahwa keduanya merupakan cara untuk

mengekspresikan makna atau arti.”9

d. Tujuan Berbicara dan Jenis-Jenis Berbicara

Kita lebih banyak berkomunikasi dengan cara berbicara dibandingkan dengan cara yang lainnya. Lebih dari separuh waktu kita digunakan untuk berbicara dan menyimak, selebihnya untuk membaca dan menulis. Seseorang yang sedang melakukan aktivitas berbicara, pastinya memiliki tujuan tertentu. “Tujuan utama berbicara adalah untuk berkomunikasi. Agar dapat menyampaikan pikiran, gagasan, perasaan, dan kemauan secara efektif, seyogyanya pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan dan mampu mengevaluasi efek

komunikasinya terhadap pendengarnya.”10

Secara umum, berbicara memiliki tiga tujuan, yakni “memberitahukan dan melaporkan (to inform), menjamu dan menghibur (to entertain), dan membujuk, mendesak, mengajak, meyakinkan (to persuade). Djago Tarigan menyatakan

bahwa “tujuan berbicara meliputi: menghibur, menginformasikan, menstimulasi, meyakinkan, dan menggerakkan.”11

Berbicara merupakan kemampuan seseorang mengucapkan kata-kata untuk menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan. Sesuai dengan tujuannya,

berbicara terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu “persuasif, instruktif, dan rekreatif.”12

Yang termasuk dalam berbicara yang bersifat persuasif adalah pembicaraan yang bertujuan untuk mendorong, meyakinkan, dan bertindak. Yang termasuk ke dalam jenis instruktif adalah pembicaraan yang bertujuan untuk memberitahukan. Dan yang termasuk ke dalam jenis rekreatif adalah pembicaraan yang bertujuan untuk menyenangkan orang yang mendengarkan.

8 Ibid., h. 55.

9 Henry Guntur Tarigan, op.cit., h. 8.

10 Kundharu Saddhono, St. Y. Slamet, op.cit., h. 37. 11 Ibid.

(25)

Dari beberapa tujuan berbicara yang telah penulis jelaskan di atas, yang berkaitan dengan penelitian adalah tujuan yang bersifat menjamu dan menghibur. Sebab di sini siswa hanya diminta untuk memerankan tokoh dongeng yang dibacanya, dengan tujuan agar siswa dapat menceritakan kembali dongeng yang diperankan.

e. Pembelajaran Keterampilan Berbicara

Kemampuan berbicara adalah kemampuan untuk mengungkapkan gagasan

kepada pihak lain secara lisan. Dalam pembelajaran keterampilan berbicara ini terdapat empat hal yang perlu menjadi perhatian bagi seorang guru sebelum mendesain dan melaksanakan proses pembelajaran, yaitu:

1) Pemberian feedback dalam pembelajaran berbicara.

Feedback (umpan balik) merupakan hal yang penting dan harus terjadi dalam setiap proses pembelajaran. Hal ini dilakukan, karena feedback seorang guru

terhadap siswa memiliki tiga fungsi, yakni “sebagai pemberi reinforcement

(penguatan), information (informasi), dan motivation (motivasi).”13 2) Materi pembelajaran berbicara.

Cakupan kegiatan aspek berbicara cukup luas, yaitu berbicara secara formal dan informal. Adapun cakupan materi berbicara dalam kurikulum meliputi kegiatan sebagai berikut:

(1) berceramah, (2) berdebat, (3) bercakap-cakap, (4) berkhotbah, (5) bertelepon, (6) bercerita, (7) berpidato, (8) bertukar pikiran, (9) bertanya, (10) bermain peran, (11) berwawancara, (12) berdiskusi, (13) berkampanye, (14) menyampaikan sambutan, selamat, pesan, (15) melaporkan, (16) menanggapi, (17) menyanggah pendapat, (18) menolak permintaan, tawaran, ajakan, (19) menjawab pertanyaan, (20) menyatakan sikap, (21) menginformasikan, (22) membahas, (23) melisankan (isi drama, cerpen, puisi, bacaan), (24) menguraikan cara membuat sesuatu, (25) menawarkan sesuatu, (26) meminta maaf, (27) memberi petunjuk, (28) memperkenalkan diri, (29) menyapa, (30) mengajak, (31) mengundang, (32) memperingatkan, (33) mengoreksi, dan (34) tanya-jawab.14

(26)

3) Penilaian dalam pembelajaran berbicara.

Penilaian dilakukan untuk mengetahui keberhasilan sebuah pengajaran. Penilaian dalam keterampilan berbicara bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Memerlukan tingkat pemahaman yang cukup tinggi bagi guru untuk dapat menetapkan kriteria-kriteria dalam penilaian berbicara. Menurut Sri Wahyuni dan Abd. Syukur dalam bukunya yang berjudul Asesmen Pembelajaran

Bahasa, “dalam tes keterampilan berbicara, pembedaan atau tingkatan kognitif tidak perlu dipaksakan. Dalam kegiatan berbicara, berbagai tingkat daya kognitif

itu membentuk satu kebulatan. Wujudnya adalah ketepatan dan kelancaran

berbahasa dengan kualitas gagasan yang memadai.”15

Lee dalam Saddhono dan Slamet mengungkapkan “bahwa alat penilaian (tes) harus dapat menilai kemampuan mengomunikasikan gagasan yang tentu saja mencakup kemampuan dalam menggunakan kata, kalimat, dan wacana, yang sekaligus mencakup kemampuan kognitif dan psikomotorik. Kemampuan berbicara tidak hanya

mencakup intonasi saja, tetapi juga unsur berbahasa lainnya.”16

Di bawah ini merupakan teknik-teknik penilaian yang dapat digunakan dalam mengukur keterampilan berbicara siswa, yaitu:

a) Tes bercerita, dilakukan dengan cara meminta siswa untuk mengungkapkan atau menceritakan kembali, baik pengalaman ataupun

cerita yang dibacanya. “Sasaran utamanya berupa unsur linguistik

(penggunaan bahasa dan cara bercerita), serta hal yang diceritakan, ketepatan, kelancaran, dan kejelasannya.

b) Tes diskusi, dilakukan dengan cara disajikan suatu topik dan pembicara diminta untuk mendiskusikannya. Tes ini dimaksudkan untuk mengetahui kemampuan dalam menyampaikan pendapat, mempertahankan pendapat, serta menanggapi ide dan pikiran yang disampaikan oleh peserta lain

secara kritis. Aspek-aspek yang dinilai yaitu ketepatan penggunaan struktur bahasa, ketepatan penggunaan kosa kata, kefasihan dan

15 Sri Wahyuni, Abd. Syukur Ibrahim, Asesmen Pembelajaran Bahasa, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2012), cet. 1, h. 32.

(27)

kelancaran menyampaikan gagasan dan mempertahankannya, kekritisan menanggapi pikiran yang disampaikan oleh peserta diskusi lainnya.17 Bentuk penilaian keterampilan berbicara yang terdapat pada buku yang berjudul Asesmen Pembelajaran Bahasa yang ditulis oleh Sri Wahyuni dan Abd. Syukur Ibrahim adalah sebagai berikut:

a) Berbicara singkat berdasarkan gambar. Bentuk tagihan pada asesmen ini adalah siswa dapat mengungkapkan keadaan atau peristiwa yang terjadi seperti yang tertera pada suatu gambar. Tes ini dapat dilakukan dengan

cara memberikan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan gambar yang dimaksud, atau dapat juga dilakukan dengan meminta siswa menceritakan secara langsung gambar yang dilihatnya.

b) Wawancara, merupakan asesmen yang dilakukan dengan cara mengajukan beberapa pertanyaan secara lisan kepada siswa. bentuk pertanyaan disesuaikan dengan tingkatan siswa.

c) Menceritakan kembali. Asesmen ini dilakukan dengan cara memberikan sebuah teks cerita kepada siswa, kemudian siswa diminta untuk menceritakan kembali teks cerita yang dibacanya atau didengarnya dengan menggunakan bahasanya sendiri.

d) Pidato/ berbicara bebas. Pada asesmen ini, guru mempersilahkan kepada siswa untuk memilih salah satu topik yang ditawarkan, kemudian siswa membuat pokok pikiran dari topik yang dipilihnya, selanjutnya siswa diminta untuk berbicara dengan bebas atau berpidato berdasarkan pokok pikiran yang telah disusunnya.

e) Percakapan terpimpin. Pada asesmen ini, guru dapat melakukannya dengan cara menceritakan suatu situasi percakapan dengan topik tertentu terlebih dahulu, kemudian meminta dua orang siswa untuk melakukan

percakapan tersebut.

f) Diskusi, yaitu asesmen yang dilakukan dengan cara membentuk siswa menjadi beberapa kelompok, kemudian masing-masing kelompok diberikan topik diskusi yang berbeda-beda, selanjutnya guru mengadakan

(28)

evaluasi pada masing-masing kelompok untuk mengukur kemampuan berbicara siswa, mengungkapkan gagasan, menanggapi gagasan, mempertahankan gagasan, memberi saran, bertanya, dan sebagainya. Dari beberapa teknik penilaian berbicara yang dijelaskan di atas, dalam penelitian ini penulis akan menggunakan teknik penilaian dengan cara menceritakan kembali. Penilaian ini merupakan penilaian secara individu.

4) Model-model pembelajaran berbicara.

Ada beberapa model pembelajaran berbicara yang diterapkan oleh guru dalam proses pembelajaran berbicara pada mata pelajaran bahasa Indonesia, di antaranya yaitu berbicara estetik, berbicara tujuan, dan aktivitas drama.

“Berbicara estetik dapat berupa percakapan tentang sastra, bercerita, dan

teater pembaca.”18

Percakapan tentang sastra dapat dilakukan dengan cara; siswa disuguhkan sebuah karya sastra, dapat dilakukan dengan cara mendengarkan atau membacanya. Setelah itu siswa diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapat

dan komentar mereka tentang karya sastra tersebut. Bercerita atau mendongeng dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut; cara memilih cerita, mempersiapkan diri untuk bercerita, menambah peraga, dan menyampaikan cerita.

“Teater pembaca adalah presentasi pembacaan naskah drama oleh sekelompok

siswa. Langkah-langkahnya yaitu memilih naskah, latihan, dan presentasi.19 Berbicara tujuan dapat berupa laporan lisan, wawancara, dan debat. Laporan lisan dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut; menentukan suatu topik, lalu siswa diminta untuk menuliskan informasi-informasi penting dari topik yang dibacanya, kemudian mempresentasikannya. Wawancara dapat juga dilakukan oleh siswa sekolah dasar. Langkah-langkahnya yaitu membuat perencanaan yakni membuat pertanyaan-pertanyaan yang akan disampaikan dalam mewawancarai seseorang, melakukan wawancara, dan melaporkan hasil wawancara. Debat dapat dilakukan jika ada isu-isu kontradiktif yang menarik. Langkah-langkahnya yaitu menentukan isu yang akan diperdebatkan,

(29)

mengelompokkan siswa yang setuju dan yang tidak setuju, dan melakukan debat antar kelompok.

Aktivitas drama dapat dilakukan dengan beberapa teknik, di antaranya yaitu teknik bermain peran, bermain boneka, dan pementasan drama. Teknik bermain peran dapat dilakukan dengan cara berkelompok. Agar siswa yang menonton tidak jenuh, sebaiknya tema tiap-tiap kelompok berbeda. Naskah dapat dibuat sendiri oleh siswa atau guru, dapat juga menggunakan naskah yang sudah ada. Bermain boneka yaitu bercerita dengan menggunakan media boneka. Boneka yang

digunakan biasanya boneka tangan. Dengan menggunakan boneka, siswa akan lebih tertarik untuk mendengarkan sebuah cerita. Untuk lebih menarik lagi dapat digunakan panggung boneka. Sementara itu, pementasan drama dapat juga dilakukan di dalam kelas, disesuaikan dengan sarana dan prasarana yang ada di sekolah tersebut, tidak harus memaksakan dengan sarana yang lengkap. Agar drama terlihat lebih menarik, sebaiknya kostum yang digunakan disesuaikan dengan peranan masing-masing. Dengan kostum yang sesuai dengan peranannya, siswa dapat lebih menghayati peran yang dimainkannya.

Dari beberapa model pembelajaran berbicara yang telah diuraikan di atas, penulis memilih teknik bermain peran yang akan digunakan dalam penelitian ini. Dengan harapan, penerapan teknik bermain peran ini dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa.

f. Kriteria Keterampilan Berbicara

Hurlock (1978:176) mengemukakan kriteria untuk mengukur tingkat kemampuan berbicara secara benar atau hanya sekedar “membeo´sebagai berikut: 1) Anak mengetahui arti kata yang digunakan dan mampu menghubungkannya

dengan objek yang diwakilinya. Jadi, anak tidak hanya mengucapkan tetapi juga mengetahui arti kata yang diucapkannya.

(30)

3) Anak memahami kata-kata tersebut bukan karena telah sering mendengar atau menduga-duga.

Berdasaarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk mengukur kemampuan bebicara siswa adalah siswa mengetahui arti kata yang diucapkannya, siswa dapat melafalkan kata-kata yang dapat dipahami orang lain dan memahami kata-kata yang diucapkannya.20

2. Teknik Bermain Peran

Untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa, penulis memilih teknik

bermain peran dengan memperhatikan beberapa hal, di antaranya adalah “(1) anak usia kelas awal sudah meningkat perbendaharaan katanya dan senang berbicara, (2) dapat memahami sebab akibat, (3) berkembangnya pemahaman terhadap

ruang dan waktu.”21

Usia kelas awal menurut Piaget berada pada tahap operasional konkret. Pada tahap ini, sebaiknya pembelajaran yang disajikan berangkat dari hal-hal yang

bersifat konkrit. Konkrit yang dimaksud adalah “dapat dilihat, didengar, dibaui,

diraba, dan dipraktekkan, dengan titik penekanan pada pemanfaatan

lingkungan.”22

Cara belajar anak usia awal SD/MI masih bersifat konkret, maka proses pembelajaran sebaiknya melalui pengalaman langsung. Tepat sekali kiranya, jika penulis memilih teknik bermain peran untuk pembelajaran bahasa Indonesia pada aspek keterampilan berbicara. Dengan pembelajaran yang dirancang seperti ini, pembelajaran menjadi lebih bermakna. Siswa pun tidak merasa jenuh selama proses pembelajaran.

a. Pengertian Teknik Bermain Peran

M.Subana dan Sunarti menjelaskan, “teknik mengandung pengertian berbagai

cara dan alat yang digunakan guru dalam kelas.”23Dengan pengertian ini, dapat

20http://www.academia.edu/4489394/keterampilan berbicara.

21 Masitoh, Laksmi Dewi, Strategi Pembelajaran, (Jakarta: Dir. Jenderal Pendidikan Islam Depag RI, 2009), cet. 1, h. 17

22 Ibid., h. 18

23 M. Subana dan Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia, (Bandung: Pustaka

(31)

dipahami bahwa teknik pembelajaran merupakan langkah-langkah yang digunakan guru pada saat pembelajaran untuk mencapai sasaran. Teknik merupakan bagian dari metode.

Teknik bermain peran merupakan salah satu teknik yang cocok untuk digunakan dalam pembelajaran drama. Bermain peran juga dapat digunakan untuk merangsang kreativitas siswa untuk berekspresi, percaya diri, dan belajar berkomunikasi di depan umum, sehingga dapat mendorong proses belajar-mengajar. Dengan bermain peran diharapkan dapat membangkitkan kreativitas

siswa dan diperoleh pengalaman belajar yang lebih berarti bagi siswa.

Teknik Bermain Peran atau Sosiodrama, yang dikenal juga dengan istilah

Role Playing adalah “teknik dimana siswa bisa berperan atau memainkan peranan dramatisasi masalah sosial/psikologis.”24

Teknik ini merupakan cara belajar dengan mendemonstrasikan setiap peran dalam bentuk drama. Teknik ini

dilakukan apabila guru “ingin menerangkan suatu peristiwa yang di dalamnya

menyangkut orang banyak, sehingga lebih baik didramatisasikan daripada diceritakan karena akan lebih jelas, guru ingin melatih siswa agar mereka dapat menyelesaikan masalah-masalah sosial, dan akan melatih siswa agar dapat bergaul dan memberi pemahaman terhadap orang lain beserta masalahnya.”25 Dengan penyajian pembelajaran seperti ini siswa akan sangat memahami masalah-masalah sosial yang ada dalam cerita dan dapat mencari solusi dalam setiap permasalahan yang ditemukan dalam cerita yang diperankan.

b. Tahapan Teknik Bermain Peran

Agar penggunaan teknik bermain peran ini berhasil dalam pembelajaran, sebaiknya guru memperhatikan langkah-langkah di bawah ini, yaitu:

1) Guru memperkenalkan teknik bermain peran ini kepada siswa, bahwa dengan teknik ini diharapkan siswa dapat memecahkan masalah sosial

(32)

yang aktual di masyarakat, kemudian guru menunjuk beberapa siswa yang akan berperan.

2) Guru harus memilih masalah yang sesuai dengan dunia anak, sehingga menarik minat anak.

3) Agar siswa memahami jalan ceritanya, maka guru harus bisa menceritakan sambil mengatur adegan.

4) Bila ada kesediaan dari siswa untuk berperan, sebaiknya guru menanggapi, tetapi harus dipertimbangkan kesesuaian untuk perannya.

Bila tidak ada siswa yang bersedia, guru menunjuk saja siswa yang sesuai dengan karakter yang akan diperankannya.

5) Jelaskan pada siswa yang mendapatkan peran, sehingga mereka tahu tugas peranannya, menguasai masalahnya, pandai bermimik dan berdialog.

6) Bila siswa belum terbiasa, perlu dibantu guru dalam menimbulkan kalimat pertama dalam dialog.

7) Setelah drama tersebut dalam situasi klimaks, maka harus dihentikan, agar kemungkinan-kemungkinan pemecahan masalah dapat didiskusikan secara umum. Para penonton ada kesempatan untuk berpendapat, menilai permainan dan sebagainya.

8) Sebagai tindak lanjut dari hasil diskusi, maka perlu dibuka tanya jawab, diskusi atau membuat karangan yang berbentuk sandiwara.26

c. Kelebihan dan Kekurangan Teknik Bermain Peran

Setiap teknik pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan. Untuk meminimalisasi kekurangan-kekurangan yang ada, guru dapat menggunakan lebih dari satu teknik. Adapun kelebihan teknik bermain peran, di antaranya yaitu:

1) Melatih anak untuk mendramatisasikan sesuatu serta melatih keberanian. 2) Teknik ini akan menarik perhatian anak sehingga suasana kelas menjadi

hidup.

(33)

3) Anak-anak dapat menghayati suatu peristiwa sehingga mudah mengambil kesimpulan berdasarkan penghayatan sendiri.

4) Anak dilatih untuk menyusun pikirannya dengan teratur.27

Adapun kekurangan dari teknik bermain peran, di antaranya yaitu: 1) Teknik ini memerlukan waktu yang cukup banyak.

2) Memerlukan persiapan yang teliti dan matang.

3) Kadang-kadang anak tidak mau mendramatisasikan suatu adegan karena

malu.

4) Kita tidak dapat mengambil kesimpulan apa-apa apabila pelaksanaan dramatisasi itu gagal.28

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pada setiap teknik pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan termasuk teknik bermain peran. Dengan mengetahui terlebih dahulu kekurangan-kekurangan yang ada, maka pelaksana akan dapat mengantisipasi kekurangan tersebut dengan cara mendiskusikannya dengan guru lain dan siswa. Hasil diskusi tersebut diharapkan dapat meminimalisasi kekurangan yang ada.

3. Dongeng

a. Pengertian Dongeng

Dongeng termasuk salah satu bentuk prosa lama. “Prosa lama merupakan

karya sastra yang belum mendapat pengaruh dari sastra atau kebudayaan barat.”29

“Dongeng merupakan suatu kisah yang diangkat dari pemikiran fiktif dan kisah nyata, menjadi suatu alur perjalanan hidup dengan pesan moral yang mengandung makna hidup dan cara berinteraksi dengan makhluk lainnya. Dongeng juga merupakan dunia hayalan dan imajinasi dari pemikiran seseorang yang kemudian diceritakan secara turun-temurun dari generasi ke generasi.”30 Pendapat lain

27 Iskandarwassid, loc.cit., h. 65 28 Ibid.

29 Retno Purwandari, Qoni’ah, Buku Pintar Bahasa Indonesia, (Yogyakarta: Familia, 2012), cet. 1, h. 136.

(34)

mengatakan, bahwa “dongeng adalah suatu cerita yang bersifat khayal.”31 Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa dongeng merupakan cerita yang tidak benar-benar terjadi, karena sifatnya hayalan dan imajinasi dari si pembuatnya. Meskipun sifatnya fiktif, tetapi dongeng berisi nasihat-nasihat yang baik bagi pembaca dan pendengarnya. Sebagian dijumpai orang tua yang sering membacakan dongeng sebagai pengantar tidur bagi anak-anaknya. Hal ini mengandung nilai positif bagi perkembangan kosa kata si anak, karena akan terjadi interaksi yang baik antara orang tua dan anak. Ketika ada bagian cerita yang membuatnya tertarik, akan

muncul keingintahuannya akan kelanjutan dari dongeng tersebut. Anak pun akan bertanya dengan kata apa, mengapa, dimana, kapan, dan sebagainya. Dengan adanya komunikasi tersebut akan terasah keterampilan berbicara anak, dan kosa kata yang dimiliki anak pun akan bertambah.

Dongeng sangat disukai oleh anak-anak, karena masa anak-anak penuh dengan hayalan dan imajinasi. Dengan kondisi seperti ini, maka orang tua atau guru dapat menjadikan dongeng sebagai media untuk menyampaikan nilai-nilai kehidupan bagi anak, misalnya saja dongeng yang cukup terkenal berjudul Malin Kundang. Cerita tersebut mengisahkan tentang anak yang durhaka kepada ibunya. Dongeng ini dapat digunakan jika ingin menyampaikan nasihat agar anak senantiasa berbuat baik kepada orang tua. Jadi, mendongeng kepada anak merupakan kegiatan yang bernilai positif. Daya khayal dan imajinasi anak akan berkembang, kosa kata yang dimiliki anak akan bertambah, dan anak mendapatkan nilai-nilai yang baik bagi kehidupannya kelak.

a. Jenis-Jenis Dongeng

Terdapat beberapa jenis dongeng, yaitu fabel, mite (mitos), legenda, sage, parabel, dan dongeng jenaka. Berikut penjelasan dari masing-masing jenis dongeng yang telah disebutkan, yaitu:

1) Fabel adalah cerita lama yang menokohkan binatang sebagai lambing pengajaran moral (biasa pula disebut sebagai cerita binatang), contoh: Kancil dengan Buaya, Kancil dan Kura-Kura, dan sebagainya.

(35)

2) Mite (mitos) adalah cerita-cerita yang berhubungan dengan kepercayaan terhadap sesuatu benda atau hal-hal yang dipercaya mempunyai kekuatan gaib, contoh: Nyai Roro Kidul, Dewi Sri, dan lain-lain.

3) Legenda adalah cerita lama yang mengisahkan tentang riwayat terjadinya suatu tempat atau wilayah, contoh: Legenda Banyuwangi, Tangkuban Perahu, dan lain-lain.

4) Sage adalah cerita lama yang berhubungan dengan sejarah, yang mengusahkan tentang keberanian, kesaktian, kepahlawanan seseorang,

contoh: Airlangga, Ken Arok, dan lain-lain.

5) Parabel adalah cerita rekaan yang menggambarkan sikap moral atau keagamaan dengan menggunakan ibarat atau perbandingan, contoh: Hikayat Bayan Budiman, Bhagawagita, dan lain-lain.

6) Dongeng jenaka adalah cerita tentang tingkah laku orang bodoh, malas atau cerdik, dan masing-masing dilukiskan secara humor, jalan ceritanya pun membuat orang tertawa karena lucu contoh: Pak Pandir, Lebai Malang, Abu Nawas, dan lain-lain.32

Berdasarkan jenis-jenis dongeng yang penulis sebutkan, penulis memilih dongeng jenis fabel dalam penelitian ini. Alasan memilih jenis fabel, karena anak-anak biasanya suka dengan hewan. Cerita-ceritanya pun sangat dekat dengan dunia anak-anak.

Dalam pembelajaran, dongeng dapat dijadikan sebagai media pembelajaran. Dongeng menjadi media yang efektif untuk menyampaikan pesan moral

kehidupan kepada siswa, “termasuk menimbulkan rasa empati dan simpati anak. Nilai-nilai yang bisa dipetik dari dongeng adalah nilai kejujuran, kerendahhatian, kesetiakawanan, kerja keras, dan lain sebagainya.”33

b. Ciri-ciri Dongeng

Setiap karya sastra memiliki ciri-ciri dalam bentuknya. Adapun ciri-ciri dongeng antara lain adalah:

(36)

1) Menggunakan alur sederhana. 2) Cerita singkat dan bergerak cepat.

3) Karakter tokoh tidak diuraikan secara rinci. 4) Ditulis dengan gaya penceritaan secara lisan. 5) Terkadang pesan atau tema dituliskan dalam cerita. 6) Biasanya, pendahuluan sangat singkat dan langsung.34

B. Penelitian Yang Relevan

Penelitian-penelitian yang relevan dengan penelitian yang dilakukan oleh

penulis adalah sebagai berikut:

1) Supariyah, skripsi berjudul “Peningkatan Keterampilan Berbicara dengan Penerapan Pendekatan Kontekstual Pada Siswa Kelas IV SD Negeri 03 Gunung Jaya Tahun Pelajaran 2009/2010.” Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Jurusan Ilmu Pendidikan, Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan, Universitas Sebelas Maret, 2010. Dari penelitian ini dapat diketahui pada pelaksanaan siklus I angka ketuntasan siswa ada 16 siswa (53,33%) dan siklus II

angka ketuntasan siswa ada 25 siswa (83,33%). Kesimpulan dari penelitian ini

adalah penggunaan pendekatan kontekstual dapat meningkatkan keterampilan

berbicara dan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran Bahasa Indonesia di kelas

IV SD Negeri 03 Gunung jaya Tahun Pelajaran 2009/2010.

2) Indah Ratna Dewi, judul skripsi “Pengembangan Keterampilan Berbicara Melalui Metode Bermain Peran Dalam Mata Pelajaran Bahasa Indonesia Pada SDN Lagoa 09

Pagi Siswa Kelas III Koja Jakarta Utara”. Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Jakarta, 2009. Berdasarkan hasil

penelitian, disimpulkan bahwa metode bermain peran dapat meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas III SDN Lagoa 09 Koja Jakarta Utara tahun pelajaran 2008/2009. Peningkatan keterampilan berbicara dibuktikan dengan adanya peningkatan, pada siklus I nilai rata-rata mencapai 65 dengan ketuntasan klasikal 53,33%. Setelah tindakan pada siklus II nilai rata-rata kelas meningkat menjadi 87 dengan ketuntasan klasikal 73,33%.

(37)

3) Sebuah Skripsi dengan judul Peningkatan Keterampilan Berbicara Dengan Teknik Bermain Peran Bagi Siswa Kelas V SDN 2 Ngali Kecamatan Belo Kabupaten BimaTahun 2010-2011. Sebuah penelitian tindakan kelas yang dilakukan oleh Jenep Hanapiah dan Suwadi. Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa teknik bermain peran dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa kelas V SDN 2 Ngali Kecamatan Belo. Dengan teknik ini siswa menjadi lebih aktif dalam pembelajarannya, dan kualitas hasil belajar mereka dapat ditingkatkan sehingga memperoleh hasil yang maksimal.

C. Kerangka Berpikir

Pada penelitian ini, peneliti akan mencoba menggunakan teknik bermain peran untuk meningkatkan keterampilan berbicara pada siswa kelas III di MI Ziyadatul Huda, Jakarta Timur. Teknik ini digunakan untuk mengatasi permasalahan yang ada, yaitu masih terdapat siswa yang belum lancar dalam mengungkapkan gagasan, malu berbicara di depan kelas, dan penggunaan kosa

kata yang kurang tepat di kelas III MI Ziyadatul Huda, Jakarta Timur.

Sebagian besar siswa pasif dalam proses pembelajaran yang berkaitan dengan proses berbicara terutama pada mata pelajaran bahasa Indonesia dan siswa kurang tertarik dalam pelaksanaan proses pembelajaran. Setelah dilakukan pengamatan, ternyata kondisi ini diakibatkan karena siswa belum terbiasa dalam berbicara. Masih ada siswa yang berbicaranya tidak lancar ketika menceritakan kembali, dan masih ada siswa yang kurang percaya diri untuk berbicara di depan kelas. Inilah yang menyebabkan siswa kurang termotivasi dalam mengikuti pembelajaran berbicara.

(38)

siswa tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Dan menimbulkan kejenuhan setiap kali siswa dihadapkan pada tugas-tugas yang harus diselesaikannya.

Penerapan teknik bermain peran menjadi pilihan bagi peneliti untuk mengatasi kesulitan siswa dalam membaca berbicara. Teknik ini menurut peneliti tidak akan membuat siswa bosan, karena siswa yang lebih aktif.

Setelah dilakukan tindakan, diharapkan siswa menjadi aktif pada setiap mata pelajaran, khususnya pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Kemampuan siswa dalam berbicara meningkat dari sebelum diterapkan teknik bermain peran ini.

Yang sebelumnya masih malu, terbata-bata, dan kurang teratur kosa katanya setelah dilakukan tindakan menjadi lancar berbicaranya. Siswa pun termotivasi dalam pembelajaran. Hasil belajar siswa meningkat dan mencapai nilai yang diharapkan.

D. Hipotesis Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan

penggunaan teknik bermain peran dapat meningkatkan kemampuan berbicara siswa di kelas III MI Ziyadatul Huda, Jakarta Timur. Hipotesis dalam penelitian

(39)

22 A. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kelas III MI Ziyadatul Huda, Jakarta Timur. Adapun waktu pelaksanaannya yaitu pada Oktober 2013 – Maret 2014. Alasan mengambil tempat ini dengan pertimbangan hasil belajar siswa kelas III yang masih rendah, dan lokasi tersebut tempat peneliti bertugas.

B. Metode Penelitian dan Rancangan Siklus Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian tindakan, yaitu penelitian tindakan kelas (PTK). “Penelitian Tindakan Kelas (PTK) adalah penelitian tindakan yang dilakukan dengan tujuan memperbaiki mutu praktik pembelajaran di kelasnya. PTK berfokus pada kelas atau pada proses belajar mengajar yang terjadi di kelas. PTK tertuju pada hal-hal yang terjadi di dalam kelas.”1

PTK yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan PTK model Kemmis and Taggart. Berikut adalah gambar alur langkah-langkah dalam PTK, yaitu:

1Suharsimi Arikunto, dkk., Penelitian Tindakan Kelas, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), cet. 9, h.

58.

(40)

Gambar 1. Model Siklus Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

Tahap 1: Menyusun Rancangan Tindakan (Planning)

“Dalam tahap ini peneliti menjelaskan tentang apa, mengapa, kapan, di

mana, oleh siapa, dan bagaimana tindakan tersebut dilakukan.”2

Peneliti membuat rencana-rencana kegiatan pembelajaran yang akan dilaksanakan pada kelas yang akan dilakukan penelitian. Pada tahap ini peneliti juga merancang instrument-instrument penilaian, baik pretest maupun posttest.

2 Suharsimi Arikunto, Suhardjono, dan Supardi, Penelitian Tindakan Kelas, (Jakarta: PT. Bumi Aksara, 2009), h. 17.

Perencanaan

Pelaksanaan Refleksi

Pengamatan

Permasalahan Baru Hasil Refleksi

Perbaikan Perencanaan

Pelaksanaan Siklus II

Refleksi

Pengamatan

Dilanjutkan Ke Siklus Berikut?

(41)

Tahap 2: Pelaksanaan Tindakan (Acting)

Pada tahap kedua ini peneliti mulai menerapkan isi rancangan yang sudah disusun pada tahap pertama dalam proses pembelajaran. Rencana-rencana yang sudah disusun pada tahap pertama diterapkan pada kelas yang dijadikan penelitian. Pelaksana, dalam hal ini adalah guru, dalam mengimplementasikan rencana-rencana pembelajaran sebaiknya tidak keluar dari apa yang sudah direncanakan, dan dilakukan dengan cara yang wajar, tidak dibuat-buat. Hal ini perlu diperhatikan agar sesuai dengan tujuan semula.

Tahap 3: Pengamatan (Observing)

Tahap ketiga yaitu pengamatan (observing). Menurut Prof. Supardi

“observasi yang dimaksud pada tahap III adalah pengumpulan data.”3

Yakni, pada tahap ini peneliti melakukan pengamatan untuk mengetahui seberapa jauh pengaruh tindakan yang dilakukan kepada siswa, apakah tindakan yang dilakukan

sudah mencapai sasaran ataukah belum. “Pada langkah ini, peneliti harus

menguraikan jenis data yang dikumpulkan, cara mengumpulkan, dan alat atau instrument pengumpulan data (angket/wawancara/observasi dan lain-lain).”4

Tahap 4: Refleksi (Reflecting)

Refleksi dapat dilakukan jika pelaksanaan tindakan telah selesai dilakukan. Pada tahap ini peneliti melakukan refleksi terhadap kegiatan-kegiatan yang telah

dilakukan, yakni “mengemukakan kembali apa yang sudah dilakukan”5 berdasarkan data yang diperoleh pada tahap ketiga atau disebut juga dengan istilah evaluasi diri. Apakah pelaksanaan pembelajaran sudah berjalan dengan baik, ataukah masih ada kekurangan, sehingga perlu dilakukan perbaikan pada siklus berikutnya.

3 Suyadi, Panduan Penelitian Tindakan Kelas, (Jogjakarta: Diva Press, 2011), cet. 4, h. 63. 4 Ibid.

(42)

C. Subjek Penelitian

Subjek penelitian difokuskan pada hasil belajar siswa kelas III MI Ziyadatul Huda, tahun pelajaran 2013/2014 dalam aspek berbicara pada mata pelajaran bahasa Indonesia. Jumlah siswa kelas III sebanyak 17 siswa, terdiri dari 7 siswa laki-laki dan 10 siswa perempuan.

D. Peran dan Posisi Peneliti dalam Penelitian

Pada penelitian ini peran dan posisi peneliti adalah sebagai pengajar/guru di kelas III MI Ziyadatul Huda, Jakarta Timur. Selain sebagai guru kelas juga sebagai pengkaji permasalahan, pendiagnosis masalah, perencana tindakan, dan pelaksana tindakan.

E. Tahapan Intervensi Tindakan

Pada penelitian ini langkah-langkah yang akan dilakukan oleh peneliti adalah sebagai berikut:

Tindakan Siklus I

1. Tahap perencanan tindakan (planning)

Tindakan pertama yang dilakukan dalam siklus ini adalah guru melakukan observasi awal sebagai dasar perencanaan pembelajaran. Lalu membuat skenario pembelajaran yang akan dilakukan dalam pembelajaran berbicara dengan

menggunakan teknik bermain peran.

Dalam siklus I ini, guru sekaligus sebagai peneliti juga mempersiapkan media

pembelajaran berupa dialog yang akan digunakan dalam bermain peran. Hal ini dilakukan untuk memudahkan siswa dalam belajar berbicara, juga bertujuan agar siswa tertarik dan dapat belajar dengan suasana yang lebih menyenangkan dan tidak monoton. Pada tahap ini guru juga menyusun instrument, penilaian yang akan digunakan, baik penilaian proses maupun hasil. Penilaian sangat penting,

(43)

pembelajaran dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan sekaligus berfungsi

sebagai bahan dalam memperbaiki tindakan pembelajaran selanjutnya.”6

2. Tahap pelaksanaan tindakan (acting)

Kegiatan yang dilaksanakan pada tahap ini merupakan pelaksanaan skenario pembelajaran yang sudah disusun pada tahap perencanaan. Guru melaksanakan semua langkah-langkah pembelajaran yang sudah tersusun dalan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Secara garis besar pada penelitian ini adalah melatih keterampilan berbicara dengan memerankan tokoh-tokoh yang ada dalam sebuah cerita dongeng yang sudah ditentukan oleh guru.

Tahap awal pembelajaran yaitu mengkondisikan siswa agar siap melaksanakan pembelajaran membaca. Pada tahap ini berisi beberapa kegiatan yang dilaksanakan guru dengan tujuan mempersiapkan dan mengarahkan siswa agar siap untuk menerima pembelajaran membaca permulaan dengan baik, yaitu: a) Guru mempersiapkan RPP, media pembelajaran, dan lembar kerja

b) Mengatur tempat duduk siswa agar mereka dapat melihat dengan jelas kelompok yang sedang bermain peran.

c) Apersepsi

d) Memberikan motivasi kepada siswa tentang pentingnya meningkatkan keterampilan berbicara

e) Menyampaikan tujuan pembelajaran.

3. Tahap pengamatan/observasi (observing)

Observasi dilaksanakan selama proses pembelajaran berlangsung. Kegiatan ini untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pembelajaran aspek berbicara dengan menggunakan teknik bermain peran. Untuk itu, guru yang juga bertindak sebagai peneliti melakukan analisis terhadap kegiatan berbicara siswa. Kemudian memberikan penilaian pada siswa baik proses maupun hasil dan menghitung jumlah siswa yang tuntas dan belum tuntas dalam pembelajaran berbicara. Selama

(44)

pembelajaran berlangsung guru harus melakukan pengamatan terhadap kegiatan siswa agar data-data yang dibutuhkan terpenuhi.

Data pengamatan dapat diperoleh melalui berbagai cara, antara lain dengan tes kinerja (menceritakan kembali), tugas kelompok, dan pengamatan/observasi terhadap perilaku siswa selama pembelajaran berlangsung.

Aspek yang diamati oleh guru terhadap siswa pada lembar observasi adalah

“kedisiplinan siswa, kesiapan perlengkapan belajar, kegesitan dalam mengikuti

tugas, keseriusan dalam belajar, sikap tanggap terhadap pertanyaan guru,

kerjasama sesama siswa, kerja sama dengan guru, ulah siswa dalam kelas,

keaktifan dalam belajar, dan minat dalam belajar.”7

Pada saat observasi guru dibantu oleh satu orang teman sejawat selaku kolaborator untuk melakukan pengamatan terhadap guru dan siswa selama proses pembelajaran. Guru juga mencatat hasil pengamatan dalam lembar observasi secara cermat dan teliti, karena hasil observasi ini menjadi acuan untuk pelaksanaan siklus selanjutnya.

Adapun lembar observasi terhadap kegiatan guru selama proses pembelajaran diarahkan pada aspek-aspek berikut, yaitu:

a) Kejelasan dalam suara

b) Penggunaan metode atau teknik mengajar c) Memberikan dorongan agar siswa aktif d) Pembelajaran berorientasi kepada sasaran e) Pengelolaan kelas

f) Penggunaan waktu

g) Baik dalam mengatur suasana pembelajaran h) Menanggapi pertanyaan/pernyataan siswa i) Adil dalam mendistribusikan pertanyaan

j) Menarik dalam menyajikan bahan pelajaran k) Baik dalam penguasaan materi

l) Bervariasi dalam memberikan pertanyaan dan teknik bertanya m) Dapat mengecek pemahaman siswa

(45)

n) Tepat saat mengakhiri pelajaran.8

4. Tahap refleksi (reflecting)

Pada tahap ini guru melakukan refleksi untuk mengetahui kekurangan, kendala, dan hambatan yang ada pada kegiatan siklus I, mengidentifikasi penyebab kurang berhasilnya pembelajaran pada siklus I. Data-data yang sudah terkumpul dianalisis dan dievaluasi sebagai dasar perlu atau tidaknya melaksanakan siklus kedua. Jika pada siklus pertama belum menunjukkan

keberhasilan yang signifikan dalam berbicara pada siswa kelas III MI Ziyadatul Huda, Jakarta Timur, maka perlu dilanjutkan ke siklus II.

PerencanaanTindakan Pada Siklus II

Proses pelaksanaan pada siklus II merupakan lanjutan proses pelaksanaan siklus I. Proses pada pelaksanaan siklus II ini didasari hasil refleksi pada siklus I. Kekurangan, kejanggalan, dan hambatan yang terjadi pada siklus I diperbaiki pada

siklus II. Adapun tahapannya sama dengan tahapan yang ada pada siklus I, yaitu tahap perencanaan, tindakan, observasi, dan refleksi. Perencanaan yang dilakukan pada siklus II harus lebih baik dari siklus I, karena siklus II merupakan perbaikan dari siklus I.

F. Hasil Intervensi Tindakan yang Diharapkan

Siklus penelitian yang dilakukan ini, diharapkan dapat memberikan

perubahan pada siswa dalam aspek berbicara. Siswa yang sebelumnya masih malu dalam menyampaikan ide atau gagasannya, setelah tindakan dilakukan menjadi berani dan santun dalam berbicara. Dari tindakan yang dilakukan oleh guru yang juga sebagai peneliti diharapkan adanya peningkatan terhadap hasil belajar siswa. Penelitian ini dihentikan ketika ketuntasan klasikal mencapai 85% dan mampu mencapai skor belajar di atas rata-rata kriteria ketuntasan minimal (KKM) pada mata pelajaran bahasa Indonesia (65,00).

(46)

G. Data dan Sumber Data

Data yang diperoleh oleh peneliti yaitu berupa hasil pretest dan posttest, serta data berupa kegiatan siswa yang diperoleh dari hasil pengamatan atau observasi selama kegiatan pembelajaran berlangsung, catatan lapangan, dan dokumentasi. Sumber datanya diperoleh dari siswa, teman sejawat, dan peneliti sendiri

H. Instrumen Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data yang dibutuhkan pada penelitian ini, maka terlebih dahulu peneliti membuat instrument penelitian yang terdiri dari:

1. Instrumen Tes

Tujuan dibuatnya instrumen tes adalah (1) untuk mengetahui tingkat kemampuan siswa, (2) mengukur pertumbuhan dan perkembangan siswa, (3) mendiagnosis kesulitan belajar, (4) mengetahui hasil pengajaran, (5) mengetahui hasil belajar, (6) mengetahui pencapaian kurikulum, (7) memotivasi siswa, (8) dan mendorong guru agar mengajar lebih baik lagi.9 Instrumen tes yang digunakan dalam penelitian ini berupa tes kinerja, yaitu menceritakan kembali dongeng yang diperankan siswa. berikut adalah kisi-kisi dan lembar penilaian tes berbicara terhadap siswa, yaitu:

No Indikator Teknik Bentuk Instrumen Penilaian 1 Menyebutkan

terdapat pada dongeng berjudul Kelinci yang Sombong dan Kura-Kura!

 Ceritakan kembali dongeng

berjudul Kelinci yang Sombong dan Kura-Kura dengan kata-katamu sendiri!

 Apa saran yang akan kamu

berikan terhadap tokoh yang ada

(47)

dari dongeng yang diperankan

pada dongeng berjudul Kelinci yang Sombong dan Kura-Kura?

 Penilaian Tugas Menceritakan Kembali Dongeng yang Diperankan

No. Nama Siswa

1. Kurang sekali, tidak ada unsur yang benar. 2. Kurang, ada sedikit unsur yang benar.

3. Sedang, jumlah unsur benar dan salah kurang lebih seimbang. 4. Baik, ketepatan tinggi dengan sedikit kesalahan.

5. Baik sekali, tepat sekali, tanpa atau hampir tanpa kesalahan.10

Penghitungan : (total skor : skor maksimal) x 100 Skor maksimal : 3x5 = 15

2. Instrumen Non Tes

Penilaian non tes diambil dari pengamatan guru terhadap perilaku siswa dan pengamatan observer (teman sejawat) terhadap kegiatan guru selama proses pembelajaran. Instrumen non tes yang digunakan peneliti adalah lembar observasi terhadap aktivitas guru dan siswa, lembar jurnal siswa, lembar wawancara, dan catatan lapangan, serta dokumentasi berupa foto-foto yang diambil selama penelitian berlangsung. Lembar non tes terlampir.

I. Teknik Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Observasi

10Burhan Nurgiyantoro, Penilaian Otentik dalam Pembelajaran Bahasa, (Yogyakarta: Gadjah

Gambar

Tabel 4.26. Distribusi Frekuensi Nilai Siswa Siklus I ………………..
Grafik 4.1.
Gambar 1. Model Siklus Penelitian Tindakan Kelas (PTK)
Tabel 4.2 Data Pendidik dan Tenaga Kependidikan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jamur tiram varietas grey oyster yang sedang dikembangkan di IKIP PGRI Jember merupakan salah satu jamur tiram hibrida yang diperoleh dari rekayasa kultur

Suatu periode penyakit dimana pada suatu saat didapatkan episode depresi major, manik atau campuran yang terdapat.. bersamaan dengan adanya gejala Skizofrenia seperti Waham;

These three things should be integrated into the museum products, so as to add value to the product for visitors, and provide a comprehensive experience to

Setelah perintah muncul, pasang kabel USB ke porta USB di belakang HP All-in-One, kemudian pasang ujung lain dari kabel tersebut ke.. porta USB pada

(3) Fotokopi SIUP yang telah didaftar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku sebagai Surat Izin Usaha Perdagangan bagi Kantor Cabang atau Perwakilan Perusahaan

Berdasarkan dari hasil pembahasan yang telah dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan dari hasil kegiatan penataan lahan pada lahan bekas penambangan sirtu di Desa

Serta dapat memberi gambaran mengenai selektifitas relay differensial, menganalisa arus pada PMT tegangan tinggi dan tegangan rendah, arus gangguan yang terjadi di

“Untuk menentukan APE yang akan digunakan dalam pembelajran sentra ini ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan dan tidak boleh asal-asalan, yakni mengandung