TESIS
Oleh
YULIS HATI
127046037 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Keperawatan (M.Kep) dalam Program Studi Magister IlmuKeperawatan
Minat Studi Keperawatan Medikal Bedah pada Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
Oleh
YULIS HATI
127046037 / KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU KEPERAWATAN
FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Dr. Wiwik Sulistyaningsih, M.Si Anggota : 1. Yesi Ariani, S.Kep., Ns., M.Kep
2. Drs. Heru Santosa., MS., Ph.D
Nama Mahasiswa : Yulis Hati
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah
Tahun : 2014
ABSTRAK
Diabetes Mellitus merupakan kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya yang harus dilakukan pengelolaan sehingga tidak terjadi
komplikasi lebih lanjut. Pengelolaan DM meliputi edukasi, terapi gizi medis,
latihan jasmani dan intervensi farmakologis yang dapat diberikan melalui edukasi
terpadu. Penerapan edukasi dengan metode DSME dengan maksud untuk
mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas hidup pasien. Adapun tujuan
penelitian ini untuk mengetahui efektifitas edukasi diabetes terpadu untuk
meningkatkan efikasi diri pasien DM tipe 2. Jenis penelitian quasi eksperimen
dengan desain pre-test and post-test with control group desain.yang dilakukan di
Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung, dengan sampel menggunakan
tabel power analysis sebanyak 38 orang. Hasil Penelitian ini adalah adanya efek
dengan t=-5,217. Efikasi diri pasien setelah dilakukan edukasi diabetes terpadu
menunjukkan peningkatan.
Name : Yulis Hati
Study Program : Master of Nursing
Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing
Year : 2014
ABSTRACT
Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with characteristic
hyperglycemia that occurs due to abnormal insulin secretion, insulin action or
both should be done so that the management is not in further complications.
Management of diabetes include education, medical nutrition therapy, physical
exercise and pharmacological interventions that can be provided through an
integrated education. Application of the method DSME education with a view to
optimizing metabolic control and quality of life of patients. The purpose of this
study to determine the effectiveness of an integrated diabetes education to
improve self-efficacy of patients with type 2 diabetes type quasi-experimental
research design with pre-test and post-test with control group performed at the
health center desain.yang District of Medan Tembung Often, by using the sample
table power analysis as many as 38 people. The result of this study is the effect of
5.217. Self-efficacy of patients after an integrated diabetes education showed an
increase
“Efektifitas Edukasi Diabetes Terpadu Untuk Meningkatkan Efikasi Diri Pasien
DM Tipe 2 “. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tesis ini tidak lepas
dari bantuan, bimbingan, dorongan serta do’a dari berbagai pihak.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak dr.
Dedi Ardinata., M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan USU beserta
jajarannya yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas untuk melanjutkan
studi ke jenjang Magister Keperawatan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Setiawan, S.Kp., MNs.,
Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas
Keperawatan USU dan Bapak Achmad Fathi, S.Kep, Ns., MNS, selaku Sekretaris
Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Fakultas keperawatan USU yang telah
memfasilitasi penulis dalam menyelesaikan laporan tesis ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Wiwik
Sulistyaningsih., M.Si selaku Pembimbing I dan Ibu Yesi Ariani, S.Kep, Ns.,
M.Kep selaku Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan serta masukan
demi kesempurnaan tesis ini dan mohon maaf apabila ada sikap maupun perilaku
saya yang tidak berkenan di hati selama melakukan bimbingan.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Heru Santosa, MS.,
Ph.D dan Ibu Cholina Trisa Siregar, S.Kep, Ns., M.Kep., Sp. KMB, selaku komisi
Yayasan Pendidikan Haji Sumatera Utara atas kesempatan dan dukungan
yang diberikan kepada saya sehingga dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan
baik.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Papa (Alm). Drs. Yunizar Noor,
M.pd dan Mama Novialisa, S.Pd, Ibunda Saniah yang selalu ikhlas memberikan
dukungan serta do’a. Suami tercinta Muhammad Arsyad, SST dan anakku Qanita
Ilahiyah Arsyad yang sabar dan memberi kekuatan serta kepercayaan disetiap
langkah penulis menyelesaikan studi ini.
Akhirnya penulis mengucapkan terimakasih kepada rekan-rekan Program
Magister Keperawatan Fakultas Keperawatan USU Kekhususan Keperawatan
Medikal Bedah Angkatan 2013/2014, terima kasih atas solidaritas, motivasi dan
kerjasama selama pendidikan di Fakultas Keperawatan USU.
Penulis menyadari tesis ini masih banyak kekurangan. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan kritik dan saran demi kesempurnaan tesis ini dan harapan
penulis semoga tesis ini bermanfaat demi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya
profesi keperawatan.
Medan, 06 September 2014
Penulis
Tempat/Tanggal Lahir : Medan/ 04 Januari 1982
Alamat : Jl. Pimpinan Gg. Suka Rahmat No.10 A
Kelurahan Sei Kera Hilir kecamatan Medan
Perjuangan Kota Medan
No. Hp : 082168556904
Riwayat pendidikan:
Jenjang Pendidikan Nama Institusi Tahun Lulus
SD SD Negeri 020274 Binjai 1994
SMP SMP Negeri 1 Binjai 1997
SMU SMA Negeri 3 Binjai 2000
Sarjana S1 Keperawatan Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
2005
Profesi Ners Program Studi Ilmu Keperawatan
Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara
2005
Magister Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara
2014
Riwayat Pekerjaan:
Staf dan Dosen tetap Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Haji Sumatera Utara
Analisis Data dengan Content Analysis & Weft-QDA”, 31 Januari 2012,
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara.
Peserta Seminar Keperawatan Nursing Leadership menyongsong Asean
Community 2015, 30 Januari 2013 Fakultas Keperawatan, USU.
Peserta pada 2013 MEDAN INTERNATIONAL NURSING CONFERENCE
“The Application of Nursing Education Advanced Research and Clinical
Practice”, 1 – 2 April 2013, Hotel Garuda Plaza, Medan, Sumatera
Utara.
Peserta “Pelatihan Perawatan Luka Dasar Certified Wound Care Clinician
Associate (CWCCA)”, 16 – 19 September 2013, Indonesian Etnep
Peserta “Pelatihan Hipnoterapi”, 20 -21 September 2013, Indonesian Etnep
Peserta “Seminar & Workshop Diagnostic Reasoning NANDA dan ISDA Basic,
ABSTRAK ... i
1.2. Permasalahan Penelitian ... 8
1.3. Tujuan Penelitian ... 9
2.3. Diabetes Self-Management Education (DSME) ... 23
2.3.1. Definisi DSME ... 23
2.3.2. Tujuan DSME ... 24
2.3.3. Prinsip DSME ... 24
2.3.4. Komponen DSME ... 25
2.3.5. Tingkat Pembelajaran DSME... 26
2.3.6. Pelaksanaan DSME ... 27
2.4. Efikasi Diri ... 27
2.4.7. Cara Meningkatkan Efikasi Diri ... 37
3.4.Metode Pengumpulan Data ... 52
3.4.1 Tahap Persiapan ... 52
3.4.2 Prosedur Eksperimen... 54
3.4.3 Prosedur Pengambilan Data ... 56
3.5.Variabel dan Definisi Operasional ... 58
3.6.Metode Pengukuran ... 60
3.7.Validitas dan reabilitas ... 61
3.8.Metode Analisa Data ... 61
3.9.Pertimbangan Etik ... 63
BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 66
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 66
4.2. Deskripsi Subjek Penelitian ... 67
4.3. Hasil Analisa Data Kelompok ... 69
4.3.1 Efikasi Diri Sebelum Perlakuan ... 69
4.3.2 Efikasi Diri Setelah Perlakuan ... 69
4.4. Perbedaan Efikasi Diri Sebelum dan sesudah Pada kelompok control dan kelompok intervensi ... 72
4.5 Hasil Analisa KGD ... 73
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 93
6.1. Kesimpulan ... 93
6.2. Saran ... 94
DAFTAR PUSTAKA ... 96
Tabel 3.1 Rancangan Penelitian ... 48
Tabel 3.2 Blue Print Edukasi Diabetes Terpadu ... 53
Tabel 3.3 Definisi Operasional ... 60
Tabel 3.4 Hasil Uji Normalitas Sebaran ... 62
Tabel 3.5 Hasil Uji Homogenitas Antara Kelompok Intervensi Dan Kelompok Kontrol ... 63
Tabel 4.1 Deskripsi Subjek Penelitian berdasarkan Karakteristik Demografi di Puskesmas Sering Tahun 2014 ... 68
Tabel 4.2 Deskripsi Efikasi Diri Sebelum, Sesudah Perlakuan dan Follow Up di Puskesmas Sering Tahun 2014 ... 69
Tabel 4.3 Data Rerata Efikasi Diri Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Sesudah Perlakuan dan Follow Up di Puskesmas Sering 2014 ... 70
Tabel 4.4 Uji t Efikasi Diri Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Sesudah Perlakuan di Puskesmas Sering Tahun 2014 ... 71
Tabel 4.5 Uji t kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol Sebelum dan Sesudah Diberi Perlakuan Derta Follow Up di Puskesmas Sering Tahun 2014 ... 72
Gambar 2.1. Teori Sistem Dasar Orem ... 44
Gambar 2.2. Kerangka Teori ... 47
Gambar 2.3. Kerangka Konsep ... 48
Gambar 4. 1. Distribusi Skor Efikasi Diri kelompok Intervensi
Sebelum, Sesudah Intervensi dan Follow Up ... 71
Gambar 4.2. Histogram Rerata Efikasi Diri Kelompok Intervensi
Dan Kelompok Kontrol Setelah Perlakuan ... 73
Gambar 4.3. Distribusi Skor, Efikasi Diri kelompok Intervensi
Lampiran 1 Instrumen Penelitian ... 101
a. Lembar Penjelasan tentang Penelitian ... 102
b. Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... 103
c. Kuesioner Penelitian ... 104
d. Catatan AktivitasHarian Responden ... 105
e. Panduan Wawancara ... 106
f. Lembar Observasi ... 107
g. Materi Edukasi ... 108
Lampiran 2 Biodata Translator ... 142
Lampiran 3 Izin Penelitian ... 145
a. Surat Pengambilan Data dari Dekan Fakultas Keperawatan ... 146
b. Surat Persetujuan Etik Peneltian ... 148
Nama Mahasiswa : Yulis Hati
Program Studi : Magister Ilmu Keperawatan Minat Studi : Keperawatan Medikal Bedah
Tahun : 2014
ABSTRAK
Diabetes Mellitus merupakan kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau keduanya yang harus dilakukan pengelolaan sehingga tidak terjadi
komplikasi lebih lanjut. Pengelolaan DM meliputi edukasi, terapi gizi medis,
latihan jasmani dan intervensi farmakologis yang dapat diberikan melalui edukasi
terpadu. Penerapan edukasi dengan metode DSME dengan maksud untuk
mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas hidup pasien. Adapun tujuan
penelitian ini untuk mengetahui efektifitas edukasi diabetes terpadu untuk
meningkatkan efikasi diri pasien DM tipe 2. Jenis penelitian quasi eksperimen
dengan desain pre-test and post-test with control group desain.yang dilakukan di
Puskesmas Sering Kecamatan Medan Tembung, dengan sampel menggunakan
tabel power analysis sebanyak 38 orang. Hasil Penelitian ini adalah adanya efek
dengan t=-5,217. Efikasi diri pasien setelah dilakukan edukasi diabetes terpadu
menunjukkan peningkatan.
Name : Yulis Hati
Study Program : Master of Nursing
Field of Specialization : Medical-Surgical Nursing
Year : 2014
ABSTRACT
Diabetes mellitus is a group of metabolic diseases with characteristic
hyperglycemia that occurs due to abnormal insulin secretion, insulin action or
both should be done so that the management is not in further complications.
Management of diabetes include education, medical nutrition therapy, physical
exercise and pharmacological interventions that can be provided through an
integrated education. Application of the method DSME education with a view to
optimizing metabolic control and quality of life of patients. The purpose of this
study to determine the effectiveness of an integrated diabetes education to
improve self-efficacy of patients with type 2 diabetes type quasi-experimental
research design with pre-test and post-test with control group performed at the
health center desain.yang District of Medan Tembung Often, by using the sample
table power analysis as many as 38 people. The result of this study is the effect of
5.217. Self-efficacy of patients after an integrated diabetes education showed an
increase
1.1. Latar Belakang
Menurut ADA (American Diabetes Association) Tahun 2010, diabetes
mellitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya. DM merupakan penyakit kronis yang memerlukan
pengelolaan untuk mengontrol dan mencegah komplikasi. Insulin, hormon yang
diproduksi oleh pankreas, mengontrol tingkat glukosa dalam darah dengan
mengatur produksi dan penyimpanan glukosa. Sel-sel pada pasien DM mungkin
berhenti merespons insulin atau pankreas berhenti memproduksi insulin mungkin
seluruhnya. Hal ini menyebabkan hiperglikemia, yang dapat mengakibatkan
komplikasi metabolik akut seperti diabetic ketoacidosis (DKA) dan hiperglikemia
hiperosmolar nonketotic syndrome (HHNS) (Smeltzer & Bare, 2009).
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI, 2008) DM Tipe 2
adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh kenaikan kadar gula
darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dan atau fungsi
(retensi) insulin. Dua masalah utama yang berhubungan dengan insulin pada DM
tipe 2 resistensi insulin dan gangguan sekresi insulin. Resistensi insulin mengacu
pada sensitivitas jaringan terhadap insulin menurun, insulin mengikat reseptor
metabolisme glukosa. Reaksi intraseluler juga berkurang, sehingga rendering
insulin kurang efektif merangsang pengambilan glukosa oleh jaringan dan pada
mengatur pelepasan glukosa oleh hati (Smeltzer & Bare, 2009)
World Health Organization (WHO, 2000) dalam PERKENI (2008),
menyatakan bahwa dari statistik kematian dunia, 57 juta jiwa kematian terjadi
setiap tahunnya disebabkan oleh Penyakit Tidak Menular (PTM) dan diperkirakan
sekitar 3,2 juta jiwa per tahun penduduk dunia meninggal akibat DM. Selanjutnya
pada tahun 2003 WHO memperkirakan 194 juta jiwa atau 5,1% dari 3,8 miliar
penduduk dunia yang berusia 20 – 79 tahun menderita DM pada 2025 akan
meningkat menjadi 333 juta jiwa. WHO memprediksi Indonesia, bahwa ada
kenaikan dari 8,4 juta diabetisi pada tahun 2030. Hal ini menjadikan Indonesia
menduduki rangking ke empat setelah Amerika Serikat, China dan India dalam
prevalensi DM
Menurut PERKENI (2011), diperkirakan sekitar 50% penyandang DM
yang belum terdiagnosis di Indonesia. Dua per tiga yang terdiagnosis yang
menjalani pengobatan baik non farmakologis maupun farmakologis, yang
menjalani pengobatan hanya sepertiganya saja KGD dapat terkendali dengan baik.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa komplikasi DM dapat dicegah dengan kontrol
glikemik yang optimal. Namun di Indonesia target pencapaian kontrol glikemik
belum tercapai, rerata HbA1c masih 8%, masih diatas target yaitu 7%. Hasil dari
Pusat data dan informasi Kemenkes RI (2012) mencatat bahwa diabetes mellitus
setelah perdarahan intrakranial, stroke, gagal ginjal, gagal jantung, dan penyakit
jantung lainnya.
Propinsi Sumatera Utara menurut Supriadi (2009), berdasarkan data dari
laporan data Surveilens Terpadu Penyakit (STP) tahun 2008 terlihat jumlah kasus
DM merupakan kasus terbanyak dengan jumlah kasus 1.717 pasien rawat jalan
yang dirawat di rumah sakit dan puskesmas Kabupaten/Kota. Pasien DM rawat
jalan mencapai 918 pasien yang dirawat di 123 rumah sakit seluruh Sumatera
Utara dan 998 pasien yang dirawat di 487 puskesmas yang ada di 28
Kabupaten/Kota. Pada tahun 2009 pasien mencapai 108 pasien yang dirawat di
rumah sakit dan 934 pasien dirawat di puskesmas selama Januari hingga Juni
2009.
DM merupakan penyakit menahun yang akan diderita sumur hidup. Selain
itu DM disebut the great imitator karena DM termasuk penyakit yang
menyebabkan komplikasi pada bagian tubuh yang jika penanganannya tidak
dilakukan dapat menyebabkan kematian (Sam, 2007). Pengelolaan pasien DM
memerlukan tenaga ahli di bidang kesehatan, selain dokter, perawat, ahli gizi dan
tenaga kesehatan lain, peran pasien dan keluarganya menjadi sangat penting.
Edukasi kepada pasien dan keluarganya bertujuan untuk memberikan pemahaman
mengenai perjalanan penyakit, pencegahan penyulit dan penatalaksanaan DM,
akan sangat membatu meningkatkan keikutsertaan keluarga dalam usaha
memperbaiki hasil pengelolaan (PERKENI, 2011).
Menurut PERKENI (2008), pilar penatalaksanaan DM meliputi edukasi,
dimulai dengan pengaturan makan dan latihan jasmani selama beberapa waktu
(2-4 minggu), jika kadar glukosa darah belum mencapai sasaran, dilakukan
intervensi farmakologis dengan obat hipoglikemik oral (OHO) dan atau suntikan
insulin. OHO dapat segera diberikan secara tunggal atau langsung kombinasi pada
kondisi tertentu dan sesuai dengan indikasi. Insulin dapat langsung diberikan
dalam keadaan dekompensasi metabolik yang berat, misalnya ketoasidosis, stres
berat, berat badan menurun dengan cepat, adanya ketonuria. Pengetahuan tentang
pemantauan mandiri, tanda dan gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus
diberikan kepada pasien, sedangkan pemantauan kadar glukosa darah dapat
dilakukan secara mandiri, setelah mendapat pelatihan khusus.
Salah satu pilar dalam penatalaksanaan DM adalah pendidikan kesehatan
(PERKENI, 2008), dimana dalam prosesnya memerlukan partisipasi aktif pasien,
keluarga dan masyarakat. Tim kesehatan salah menjadi edukator mendampingi
pasien dalam menuju perubahan perilaku sehat. Edukasi yang komprehensif dan
upaya peningkatan motivasi berguna untuk mencapai keberhasilan perubahan
perilaku. Orem (1995) menyatakan bahwa perawat sebagai seorang edukator dan
konselour bagi pasien dapat memberikan bantuan kepada pasien dalam bentuk
supportive-educative dengan tujuan agar pasien mempu melakukan perawatan
secara mandiri (Tomey & Aligood, 2006).
Edukasi yang merupakan salah satu aspek yang memegang peranan
penting dalam peñatalaksanaan DM Tipe 2 dapat diberikan kepada pasien dengan
memiliki prilakun preventif dalam gaya hidupnya untuk menghindari komplikasi
DM Tipe 2 jangka panjang (Smletzer & Bare, 2009).
Menurut Funnel et, al (2011) Diabetes Self Management Education
(DSME) merupakan komponen penting dalam perawatan Pasien DM dan sangat
dibutuhkan dalam upaya memperbaiki status kesehatan pasien. DSME adalah
suatu proses berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi pengatahuan,
keterampilan dan kemampuan pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri.
DSME merupakan suatu proses yang memfasilitasi pengetahuan, keterampilan
dan kemampuan perawatan mandiri yang sangat dibutuhkan oleh penderita DM,
sebab pendidikan kesehatan tersebut dapat mengubah pola hidupnya, sehingga
dapat mengontrol kadar glukosanya dengan baik.
Tujuan DSME adalah mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas
hidup pasien dalam upaya mencegah komplikasi akut dan kronik. Sekaligus
mengurangi penggunaan biaya perawatan klinis (Norris et.al, 2002), sedangkan
menurut Funnel et.al tujuan DSME adalah mendukung pengambilan keputusan
perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim kesehatan
untuk meningkatkan hasil klinis, status kesehatan dan kualitas hidup. Beberapa
penelitian menyebutkan DSME memiliki dampak positif pada kesehatan dan
psikososial pasien DM, khususnya meningkatkan kemampuan pasien dalam
pengontrolan kadar glukosa darah, diet, olah raga, perawatan kaki, dan
penggunaan obat (Tang T.S, Funnel M.M, Anderson. M, 2006).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh McGowan (2011), bahwa terdapat
perubahan prilaku dan hasil biologis hanya terdapat pada kelompok yang
mendapat intervensi DSME saja. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa
DSME memberikan pengaruh yang signifikan terhadap perilaku dan hasil klinis
pada pasien diabetes mellitus tipe 2. Penelitian Rygg et all (2010) dan Silvia
(2008) menunjukkan hasil bahwa dengan diberikannya DSME partisipan merasa
mendapatkan informasi dan kenyamanan sehingga dua hal tersebut menjadi alasan
bagi para responden untuk menghadiri kelas edukasi setiap sesi nya. Edukasi juga
dapat mengurangi rasa terisolasi ketika berhadapan dengan penyakit diabetes yang
mereka hadapi.
Penelitian yang Dilakukan Ariyanti (2012) tentang “Peningkatan
Self-Empowerment Penderita DM Tipe 2 dengan pendekatan DSME. Penerapan
Edukasi dengan metode DSME dapat menimbulkan kemampuan manajemen diri
yang baik sehingga dapat meningkatkan prilaku kepatuhan diet pada penderita
DM tipe 2
Hasil Penelitian Laili, Dewi dan Widyawati (2012), menyatakan bahwa
terdapat adanya perubahan pengetahuan, sikap dan tindakan sebelum dan sesudah
dilakukan edukasi dengan pendekatan DSME di wilayah kerja Puskesmas
Kebonsari Surabaya. Hasil penelitian lain yang dilakukan oleh Rondhianto (2011)
yang menyatakan bahwa penerapan DSME dalam discharge planning
memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kepercayaan diri dan prilaku
pasien sehingga mampu merubah pola hidup yang baik sehingga efikasi diri dapat
Menurut Bandura (2004) efikasi diri adalah keyakinan seorang individu
mengenai kemampuannya dalam mengorganisasi dan menyelesaikan suatu tugas
yang diperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Efikasi diri yakni keyakinan
bahwa seseorang bisa menguasai situasi dan mendapatkan hasil positif. Efikasi
diri juga merupakan konsep sentral dalam perilaku regulasi diri yang
berkontribusi terhadap perilaku manajemen diri yang baik dan kontrol terhadap
penyakit. Bandura menuliskan bahwa efikasi diri tersebut bersifat dinamis karena
dapat dipengaruhi oleh latihan yang dilakukan terhadap materi yang akan
membentuk pengalaman individu terhadap materi tersebut.
Efikasi diri pasien diabetes mellitus tipe 2 berfokus kepada keyakinan
pasien untuk mampu melakukan prilaku yang dapat mendukung perbaikan
penyakitnya dan meningkatkan pengelolaan perawatan diri seperti makanan,
latihan fisik, obat-obatan, kontrol kadar glukosa dan perawatan diabetes mellitus
secara garis besar (Wu et. Al, 2006).
Pasien diabetes mellitus seringkali kurang mendapatkan informasi tentang
penyakit diabetes dan pengelolaannya membentuk persepsi yang kurang akurat
terhadap diabetes (illness perception buruk). Pasien tidak memahami gejala
diabetes, penyebab, konsekuensi, kontrol/perawatan dan jangka waktu penyakit
diabetes. Ketidakpahaman pasien tentang penyakitnya sebagai akibat dari
kurangnya informasi yang diterima pasien, menyebabkan munculnya emosi
negatif (diabetes distress meningkat) dan tidak yakin mengelola penyakit diabetes
tidak pernah memberikan edukasi kepada pasien DM dengan alasan ketebatasan
waktu, kurangnya SDM dan banyaknya pasien DM Tipe 2 yang kontrol ke RS.
Medan merupakan salah satu daerah di Indonesia yang menunjukkan
prevalensi DM yang meningkat. Ketua PERKENI Cabang Medan, Dharma
Lindarto mengatakan pasien penderita diabetes di Sumatera Utara (Sumut)
meningkat setiap tahunnya (Warta, 2013) prevalensi penderita diabetes di Sumut
sudah hampir mendekati rata-rata nasional. Sumut memiliki prevalensi sebesar
5,3%, atau hanya 0,4% dibawah rata-rata nasional yang mencapai 5,7 persen, dari
prevalensi rata-rata nasional diabetes 5.7%, penderita yang telah mengetahui
memiliki diabetes sebelumnya hanya sebesar 26%. Sedangkan sebagian besar
yang terdiagnosis diabetes atau sekitar 74 % tidak mengetahui menderita diabetes.
Edukasi dapat diberikan di setiap layanan kesehatan, baik di rumah sakit,
puskesmas maupun komunitas. Depkes (2004) pusat kesehatan masyarakat
(Puskesmas) adalah unit fungsional pelayanan kesehatan terdepan sebagai unit
pelaksana teknis Dinas Kesehatan Kota atau Kabupaten yang melaksanakan upaya
penyuluhan, penanganan kasus-kasus penyakit di wilayah kerjanya, secara terpadu
dan terkoordinasi. Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas
pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya. Pelayanan kesehatan
masyarakat yang diberikan puskesmas merupakan pelayanan kesehatan yang
menyeluruh yang meliputi pelayanan kuratif (pengobatan), preventif (upaya
pencegahan) promotif (peningkatan kesehatan), rehabilitatif (pemulihan
Puskesmas Sering merupakan satu-satunya puskesmas di kota Medan yang
memiliki klinik DM. Klinik ini didirikan tanggal 30 Mei 2008 dengan tujuan
memberikan pelayanan DM yang berkualitas dan terjangkau ditingkat puskesmas,
Memberikan edukasi agar pasien DM dapat mengatur diet sendiri, mendidik
pasien agar terhidar dari komplikasi DM, memberikan penyuluhan kepada pasien
dan masyarakat yang mempunyai faktor resiko penyakit DM agar tidak tercetus
penyakit DM (Profil Puskesmas Sering, 2009). Berdasarkan medical record
Puskesmas Sering terdata bahwa pasien DM bulan Juli s/d Desember 2013
rata-rata perbulan mencapai 30 – 40 pasien.
1.2. Permasalahan
DM merupakan penyakit kronis yang tidak bisa disembuhkan tetapi bisa
dikontrol untuk mencegah komplikasi. Pasien DM sering datang dengan masalah
DM sudah dengan komplikasi. Edukasi pada pasien DM diharapkan dapat
menambah pengetahuan pasien dan nantinya dapat merubah prilaku dalam
pengelolaan DM. survei pendahuluan yang dilakukan peneliti pada beberapa
penderita diabetes melitus di lokasi penelitian alasan penderita diabetes tidak
datang lagi berobat pada waktu yang ditentukan adalah karena pada pemeriksaan
terakhir mereka memiliki kadar glukosa darah mendekati nilai normal dan akan
kembali datang lagi berobat apabila merasa kadar glukosa darahnya sudah tidak
normal lagi. Selain itu ada juga yang lupa minum obat karena cara minum obat
diabetes harus sesuai dengan anjuran dokter, sehingga masih banyak obat yang
tersisa dan mereka menunggu sampai obat tersebut habis. Jadi dengan kata lain
efikasi diri adalah melalui edukasi. Dari observasi diatas peneliti merasa perlu
meneliti adakah efektifitas Edukasi Diabetes Terpadu terhadap efikasi diri pada
pasien diabetes melitus tipe 2
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menguji efektifitas edukasi
diabetes terpadu terhadap efikasi diri pasien diabetes mellitus tipe 2
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan Khusus penelitian ini adalah untuk:
a. Mendeskripsikan efikasi diri pasien diabetes mellitus tipe 2 pada
kelompok kontrol dan kelompok intervensi sebelum perlakuan
b. Mendeskripsikan efikasi diri pasien diabetes mellitus tipe 2 pada
kelompok kontrol dan kelompok intervensi setelah perlakuan
c. Membandingkan efikasi diri pasien DM pada kelompok kontrol dan
kelompok intervensi setelah perlakuan
1.4. Hipotesis
Hipotesa penelitian adalah jawaban sementara penelitian yang diajukan
oleh peneliti yang akan diuji kebenarannya yaitu edukasi diabetes terpadu efektif
untuk meningkatkan efikasi diri pada pasien diabetes mellitus tipe 2.
Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai kontribusi dalam memberikan
asuhan keperawatan kepada pasien diabetes melitus tipe 2 yang menitikberatkan
kepada pemberian pendidikan melalui metode Diabetes self-management
education yang manfaatnya akan dapat meningkatkan motivasi, pengetahuan,
efikasi dan pengelolaan diabetes secara mandiri hingga akhirnya pasien dapat
meningkatkan derajat kesehatan dan kualitas hidupnya.
1.5.2. Pendidikan Keperawatan
Hasil dari penelitian ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan
keperawatan khususnya tentang pemberian edukasi diabetes terpadu pada pasien
diabetes mellitus tipe 2 dengan metode Diabetes Self Management Education
(DSME) dan juga tentang efikasi pasien diabetes mellitus.
Penelitian ini juga diharapkan dapat dijadikan sebagai data dasar untuk
penelitian selanjutnya yang berfokus pada edukasi pasien diabetes mellitus dengan
2.1. Diabetes Mellitus
2.1.1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (2010), DM merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terkadi
karena kelalaian sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2011)
DM adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan
sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin (Suyono S,
dkk, 2011)
2.1.2.Faktor Resiko DM
PERKENI (2011) mengatakan bahwa faktor resiko dari DM adalah:
a. Faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi
1) Ras dan Etnik
Ras African American, Mexican Americans, American Indians, Hawaiians
dan beberapa Asian American memiliki resiko tinggi mengalami DM dan
penyakit jantungdikarenakan tingginya kadar glukosa darah, obesitas, dan jumlah
2) Jenis Kelamin
Kemungkinan laki-laki menderita penyakit DM lebih beresiko dari pada
perempuan. Namun, jika perempuan telah menopause maka kemungkinan
menderita penyakit jantung pun ikut meningkat meskipun prevalensinya tidak
setinggi laki-laki (Nabyl, 2012).
3) Riwayat Keluarga DM (anak penyandang diabetes)
Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang diabetes
maka kemungkinan anda untuk menyandang diabetes pun meningkat (Nabyl,
2012)
4) Usia
Resiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia
5) Riwayat Melahirkan Bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau riwayat
pernah menderita DM gestasional (DMG)
6) Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.
Bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai resiko yang lebih
tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan Berat badan normal.
b. Faktor resiko yang bisa dimodifikasi
1) Obesitas
Menurut Shai et.al (2006) dalam Yuanita (2013), orang yang mengalami
obesitas akan mengalami resiko DM lebih tinggi dari orang yang tidak obesitas.
Hal tersebut dikarenakan kandungan lemak yang lebih banyak dapat menurunkan
2) Kurang aktivitas fisik
Aktivitas fisik merupakan faktor risiko yang dapat diubah pada
penyandang DMtipe 2, sebagian melalui kerjanya terhadap sensitivitas insulin.
Akumulasi aktivitas fisik sehari-hari merupakan faktor utama yang menentukan
sensitivitas insulin. Sedangkan waktu yang dihabiskan untuk bermalas-malasan,
waktu yang dihabiskan untuk aktivitas ringan, serta aktivitas sedang atau berat
tidak mempengaruhi sensitivitas insulin jika disesuaikan dengan aktivitas total
(Balkau et.al, 2008)
3) Hipertensi
Hipertensi menyebabkan resistensi insulin, dislipidemia, meningkatnya
albuminuria dan pencatatan tekanan darah selama 24 jam dengan orang yang
menderita DM
4) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl)
5) Diet yang Tidak sehat (Unhealthy diet).
Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan resiko
menderita prediabetes/intoleransi glukosa pada DM tipe 2 (PERKENI, 2011)
c. Faktor lain terkait dengan resiko diabetes
1) Pasien polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin. PCOS merupakan kelainan endokrinopati
pada wanita usia reproduksi. PCOS sering dikaitkan dengan adanya
2) Pasien Sindrom Metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu
riwayat penyakit Kardiovaskuler, seperti stroke, PJK, atau PAD (peripheral
arterial diseases)
2.1.3. Klasifikasi
PERKENI (2008) mengatakan bahwa DM terbagi dalam empat klasifikasi,
yaitu:
a. DM Tipe 1
DM tipe 1 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kenaikan kadar gula darah akibat destruksi (kerusakan) sel beta pankreas atau
kelenjar ludah perut karena suatu sebab tertentu yang menyebabkan produksi
insulin tidak ada sama sekali sehingga penderita sangat memerlukan tambahan
insulin dari luar.
b. DM Tipe 2
DM Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
dan atau fungsi insulin (resistensi insulin)
c. DM Tipe Lain
DM tipe lain adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kenaikan kadar gula darah akibat defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja
infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan
DM
d. DM Tipe Gestasional
DM tipe gestasional adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai
oleh kanaikan kadar gula darah yang terjadi pada wanita hamil, biasanya terjadi
pada usia 24 minggu masa kehamilan, dan setelah melahirkan kadar gula darah
kembali normal
2.1.4. Diagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan BB yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya.
Keluhan lain dapat berupa keluhan lemas badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsu ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Yang pertama jika
keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DM. yang kedua yaitu pemeriksaan
glukosa plasma puasa > 126 mg/dl dengan adanya keluhan klasik. Yang ketiga
yaitu tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitive dan spesifik disbanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO
sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan
Hasil pemerisaan diagnostik yang tidak memenuhi criteria normal atau
DM tipe 2 dapat digolongkan kelompok toleransi glukosa tergangu (TGT)
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).kelompok toleransi glukosa terganggu
(TGT) yang bila setelah pemeriksaan TTGO diperoleh glukosa plasma 2 jam
setelah beban antara 140 – 199 mg/dl. Kelompok glukosa darah puasa terganggu
(GDPT) yaitu bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa diperoleh antara 100
– 125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dl (PERKENI,
2011)
2.1.5. Manifestasi Klinis
Menurut Tarwoto (2012) dan Smeltzer & Bare (2009), manifestasi klinis
dari DM adalah:
a. sering kencing/miksi atau meningkatnya frekuensi buang air kecil (poliuria)
Adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa dikeluarkan oleh ginjal
bersama urin karena keterbatasan kemampuan filtrasi ginjal dan kemampuan
reabsorbsi dari tubulus ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa
maka diperlukan banyak air, sehingga frekuensi miksi menjadi meningkat
b. Meningkatnya rasa haus (polidipsia)
Banyaknya miksi menyebabkan tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), hal ini
merangsang pusat haus yang mengakibatkan peningkatan rasa haus.
c. Peningkatan rasa lapar (polipagia)
Meningkatnya katabolisme, pemecahan glikogen untuk energi menyebabkan
d. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan disebabkan karena banyaknya kehilangan cairan,
glikogen dan cadangan trigleserida serta massa otot
e. Kelainan pada mata, penglihatan kabur
Pada kondisi kronis, keadaan hiperglikemia menyebabkan aliran darah
menjadi lambat, sirkulasi ke vaskuler tidak lancar, termasuk pada mata yang
dapat merusak retina serta kekeruhan pada lensa.
f. Gatal pada kulit
Kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal disekitar penis dan vagina. Peningkatan
glukosa darah mengakibatkan penumpukan pula pada kulit sehingga menjadi
gatal, jamur dan bakteri mudah menyerang kulit.
g. Ketonuria
Ketika glukosa tidak lagi digunakan untuk energi, asam lemak akan dipecah
menjadi keton yang kemudian berada pada darah dan dikeluarkan melalui
ginjal
h. Kelemahan/keletihan
Kurangnya cadangan energi, adanya kelaparan sel, kehilangan potassium
akan membuat pasien mudah lelah dan letih
i. Terkadang tanpa gejala
Pada keadaan tertentu, tubuh sudah dapat beradaptasi dengan peningkatan
glukosa darah
Komplikasi DM diklasifikasikan menjadi dua yaitu komplikasi akut dan
komplikasi kronis:
a. Komplikasi Akut
Ada tiga komplikasi akut pada DMyang penting dan berhubungan dengan
gangguan keseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka waktu pendek. Ketiga
komplikasi tersebut adalah hipoglikemia, ketoasidosis diabetik dan sindrom koma
hiperglikemik hiperosmolar non ketotik (HHNK) (Smeltzer & Bare, 2009)
b. Komplikasi Kronis
Komplikasi ini adalah akibat lama dan beratnya hiperglikemia (Bandero ,
Dayrit, Siswadi, 2009). Komplikasi jangka panjang atau komplikasi kronis
semakin terlihat pada penderita DM yang berumur panjang, komplikasi ini dapat
menyerang semua sistem organ ditubuh. Kategori komplikasi kronis adalah
penyakit makrovaskuler, mikrovaskular dan neoropati (Smeltzer & Bare, 2009)
2.1.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DM tipe 2 secara umum bertujuan untuk
meningkatkankualitas hidup pasien. Penatalaksanaan DM tipe 2 terdiri dari
penatalaksanaan jangka pendek dan penatalaksanaan jangka panjang. Tujuan
penatalaksanaan jangka pendek adalah menghilangkan tanda dan gejala DM tipe
2, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa
Tujuan penatalaksanaan jangka panjang adalah mencegah dan
menghambat progresivitas komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler, dan
neuropati diabetik. Tujuan akhir dari penatalaksanaan DM tipe 2 adalah turunnya
morbiditas dan mortalitas DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2009; PERKENI, 2011).
Pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid perlu
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku
(Mansjoer dkk., 2005).
Menurut PERKENI (2011), ada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu
edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.
a. Edukasi
Edukasi memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan
DM tipe 2 karena pemberian edukasi kepada pasien dapat merubah perilaku
pasien dalam melakukan pengelolaan DM secara mandiri. Pemberian edukasi
kepada pasien harus dilakukan dengan melihat latar belakang pasien, ras, etnis,
budaya, psikologis, dan kemampuan pasien dalam menerima edukasi. Edukasi
mengenai pengelolaan DM secara mandiri harus diberikan secara bertahap yang
meliputi konsep dasar DM, pencegahan DM, pengobatan DM, dan selfcare (IDF,
2005; Funnell et.al., 2008).
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan tingkat lanjut.
Materi edukasi tingkat awal meliputi perjalanan penyakit DM, perlunya
nonfarmakologis, interaksi makanan, aktivitas, dan obat-obatan, cara pemantauan
glukosa darah mandiri, pentingnya latihan jasmani, perawatan kaki dan cara
mengatasi hipoglikemi. Sedangkan materi edukasi lanjut meliputi mengenal dan
mencegah penyulit akut DM, penatalaksanaan DM selama menderita penyakit
lain, makan di luar rumah, rencana untuk kegiatan khusus dan hasil penelitian
terkini dan teknologi mutakhir (PERKENI, 2011)
b. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) atau diet merupakan bagian dari
penatalaksanaan DM tipe 2. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari tenaga kesehatan (dokter, ahli gizi, tenaga kesehatan yang lain
serta pasien dan keluarganya). Prinsip pengaturan nutrisi pada pasien DM tipe 2
yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
masing-masing individu. Pengaturan jadwal, jenis, dan jumlah makanan
merupakan aspek yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada pasien
dengan terapi insulin (PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2009).
Bagi pasien yang obesitas, penurunan berat badan merupakan kunci dalam
penanganan DM. Secara umum penurunan berat badan bagi individu obesitas
merupakan faktor utama untuk mencegah timbulnya penyakit DM. Obesitas akan
disertai peningkatan terhadap insulin dan merupakan salah satu faktor etiologi
yang menyertai DM tipe 2.
Perhitungan kebutuhan kalori menggunakan rumus Brocca yaitu :
Status gizi: BB kurang (BB < 90% BBI), BB normal (BB = 90-110% BBI),
BB lebih (BB = 110-120% BBI), BB gemuk (BB >120% BBI)
Makanan dibagi atas 3 porsi besar: pagi (20%), siang (30%), sore (25%)
dan sisa untuk snack diantara makan pagi-siang dan siang sore. Selanjutnya
perubahan disesuaikan dengan pola makan pasien. Standar yang dianjurkan untuk
komposisi makanan adalah: Karbohidrat (KH) 45-65%, Protein 10-20%, Lemak
20-25% total asupan energi, Natrium 6-7 gr (1 sendok teh), serat ± 25g/1000
kkal/hari dan pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(PERKENI, 2008).
c. Latihan jasmani
Latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continous, Rhytmical,
Interval, Progressive, Endurance training). Prinsip CRIPE tersebut menjadi dasar
dalam pembuatan materi DSME yang memiliki arti latihan jasmani dilakukan
secara terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara
teratur, gerak cepat dan lambat secara bergantian, berangsur-angsur dari latihan
ringan ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu
tertentu. Latihan jasmani bertujuan untuk menjaga kebugaran tubuh, menurunkan
berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dapat meningkatkan intensitas latihan jasmani, sedangkan pasien DM tipe 2 yang
mengalami komplikasi dapat mengurangi intensitas latihan jasmani (PERKENI,
2011.).
d. Intervensi farmakologis
Intervensi farmakologis meliputi pemberian obat-obatan kepada pasien DM tipe 2.
Obat-obatan yang diberikan dapat berupa obat oral dan bentuk suntikan. Obat
dalam bentuk suntikan meliputi pemberian insulin dan agonis GLP-1/incretin
mimetic (PERKENI, 2011). Berdasarkan cara kerjanya, obat hiperglikemik oral
(OHO) dibagi menjadi 5 golongan, yaitu pemicu sekresi insulin (misalnya
sulfonilurea dan glinid), peningkat sensitivitas terhadap insulin (misalnya
metformin dan tiazolidindion), penghambat glukoneogenesis (misalnya
metformin), penghambat absorpsi glukosa (misalnya penghambat glukosidase
alfa), dan DPP-IV inhibitor (Mansjoer dkk., 2005; PERKENI, 2011).
2.2. Edukasi
Edukasi adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang
melalui teknik praktik belajar atau instruksi, dengan tujuan untuk mengingat fakta
atau kondisi nyata, dengan cara memberi dorongan terhadap pengarahan diri (self
direction), aktif memberikan informasi-informasi atau ide baru. Edukasi
merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain,
mulai dari individu, kelompok, keluarga dan masyarakat agar terlaksananya
Edukasi merupakan proses interaktif yang mendorong terjadinya
pembelajaran, dan pembelajaran merupakan upaya menambah pengetahuan baru,
sikap serta keterampilan melalui penguatan praktik dan pengalaman tertentu
(Potter & Perry, 2008). Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa pendidikan
(education) secara umum adalah sebagai upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga
dapat melakukan apa yang diharapkan oleh pendidik. Dalam konteks kesehatan,
maka edukasi diberikan kepada pasien dan keluarganya sehingga dapat
mengambil keputusan yang tepat untuk meningkatkan kesehatannya.
2.3. Diabetes Self-Management Education (DSME)
2.3.1. Definisi DSME
Diabetes Self Management Education (DSME) adalah suatu proses
berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi pengetahuan, keterampilan dan
kemampuan pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri (Funnel et.al, 2008),
Menurut Jack et all (2004) DSME dilakukan dengan menggunakan metode
pedoman, konseling dan intervensi prilaku untuk meningkatkan pengetahuan
mengenai DM dan meningkatkan keterampilan individu dan keluarga dalam
pengelolaan DM.
DSME dapat dilakukan di berbagai metode, bisa dilakukan secara individu
maupun berkelompok. Metode individu biasanya dilakukan dalam setting rumah
komunitas, group diabetes, klas atau organisasi diabetes (Rickheim P.L, Weaver
T.W, Flader J, Kendall D.M, 2002).
2.3.2. Tujuan DSME
Tujuan DSME adalah mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas
hidup pasien dalam upaya mencegah komplikasi akut dan kronis, sekaligus
mengurangi penggunaan biaya perawatan klinis (Norris et.al., 2002). Menurut
Funnell et.al. (2008) tujuan umum DSME adalah mendukung pengambilan
keputusan, perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim
kesehatan untuk meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup
2.3.3. Prinsip DSME
Prinsip utama DSME menurut Funnell et.al. (2008) adalah pendidikan DM
efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien meskipun dalam
jangka pendek, DSME telah berkembang dari model pengajaran primer menjadi
lebih teoritis yang berdasarkan pada model pemberdayaan pasien, tidak ada
program edukasi yang terbaik namun program edukasi yang menggabungkan
strategi perilaku dan psikososial terbukti dapat memperbaiki hasil klinis,
dukungan yang berkelanjutan merupakan aspek yang sangat penting untuk
mempertahankan kemajuan yang diperoleh pasien selama program DSME, dan
2.3.4. Komponen DSME
Menurut Schumacher dan Jancksonville (2005 dalam Rondhianto, 2012)
komponen dalam DSME yaitu:
a. Pengetahuan dasar tentang diabetes, meliputi definisi, patofisiologi dasar,
alasan pengobatan, dan komplikasi diabetes;
b. Pengobatan, meliputi definisi, tipe, dosis, dan cara menyimpan. Penggunaan
insulin meliputi dosis, jenis insulin, cara penyuntikan, dan lainnya.
Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) meliputi dosis, waktu minum
dan lainnya;
c. Monitoring, meliputi penjelasan monitoring yang perlu dilakukan, pengertian
tujuan, dan hasil dari monitoring, dampak hasil dan strategi lanjutan,
peralatan yang digunakan dalam monitoring, frekuensi, dan waktu
pemeriksaan;
d. Nutrisi, meliputi fungsi nutrisi bagi tubuh, pengaturan diet, kebutuhan kalori
jadwal makan, manjemen nutrisi saat sakit, kontrol berat badan, gangguan
makan dan lainnya;
e. Olahraga dan aktivitas, meliputi kebutuhan evaluasi kondisi medis sebelum
melakukan olahraga, penggunaan alas kaki dan alat pelindung dalam
berolahraga, pemeriksaan kaki dan alas kaki yang digunakan, dan pengaturan
kegiatan saat kondisi metabolisme tubuh sedang buruk;
f. Stres dan psikososial, meliputi identifikasi faktor yang menyebabkan
g. Perawatan kaki, meliputi insidensi gangguan pada kaki, penyebab, tanda dan
gejala, cara mencegah, komplikasi, pengobatan, rekomendasi pada pasien
jadwal pemeriksaan berkala;
h. Sistem pelayanan kesehatan dan sumber daya, meliputi pemberian informasi
tentang tenaga kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan yang ada di
lingkungan pasien yang dapat membantu pasien
2.3.5. Tingkat Pembelajaran DSME
Menurut Jones et.al. (2008) tingkat pembelajaran DSME terbagi menjadi
tiga tingkatan, yaitu:
a. Survival/basic level
Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi
pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam
upaya mencegah, mengidentifikasi dan mengobati komplikasi jangka pendek.
b. Intermediate level
Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi
pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam
upaya mencapai kontrol metabolik yang direkomendasikan, mengurangi resiko
komplikasi jangka panjang dan memfasilitasi penyesuaian hidup pasien.
c. Advanced level
Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi
upaya mendukung manajemen DM secara intensif untuk kontrol metabolik yang
optimal, dan integrasi penuh ke dalam kegiatan perawatan kehidupan pasien.
2.3.6. Pelaksanaan DSME
DSME dapat dilakukan secara individu maupun kelompok, baik di klinik
maupun komunitas (Norris et.al., 2002). Pelaksanaan DSME dapat dilakukan
sebanyak 4 sesi dengan durasi waktu antara 1-2 jam untuk tiap sesi (Central
Dupage Hospital, 2011), yaitu:
a. Sesi 1 membahas pengetahuan dasar tentang DM (definisi, etiologi,
klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, diagnosis, pencegahan,
pengobatan, komplikasi);
b. Sesi 2 membahas pengaturan nutrisi/diet dan aktivitas/latihan fisik yang dapat
dilakukan;
c. Sesi 3 membahas perawatan kaki dan monitoring yang perlu dilakukan; dan
d. Sesi 4 membahas manajemen stress dan dukungan psikososial, dan akses
pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.
2.4. Efikasi Diri
2.4.1. Definisi Efikasi diri
Menurut Bandura (1977) efikasi diri adalah keyakinan seorang individu
mengenai kemampuannya dalam mengorganisasi dan menyelesaikan suatu tugas
yangdiperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Efikasi diri yakni keyakinan bahwa
(Santrock, 2007) mengatakan bahwa efikasi diri berpengaruh besar terhadap
perilaku.
Efikasi diri pertama dikemukakan oleh Bandura yang merupakan teori
kognitif sosial (social cognitif theory). Teori ini memandang pembelajaran
sebagai penguasaan pengetahuan melalui proses kognitif informasi yang diterima.
Dimana sosial mengandung pengertian bahwa pemikiran dan kegiatan manusia
berawal dari apa yang dipelajari dalam masyarakat. Sedangkan kognitif
mengandung pengertian bahwa terdapat kontribusi influensial proses kognitif
terhadap motivasi, sikap, perilaku manusia. Secara singkat teori ini menyatakan,
sebagian besar pengetahuan dan perilaku anggota organisasi digerakkan dari
lingkungan, dan secara terus menerus mengalami proses berpikir terhadap
informasi yang diterima. Sedang proses kognitif setiap individu berbeda
tergantung keunikan karakteristik personalnya (Chairulmuslimna, 2009)
2.4.2. Proses Pembentukan efikasi diri
Proses efikasi diri mempengaruhi fungsi manusia bukan hanya secara
langsung, tetapi juga mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap faktor lain.
Secara langsung, proses efikasi diri mulai sebelum individu memilih pilihan
mereka dan mengawali usaha mereka. Yang penting, langkah awal dari proses
tersebut tidak begitu berhubungan dengan kemampuan dan sumber individu,
tetapi lebih pada bagaimana mereka menilai atau meyakini bahwa mereka dapat
menggunakan kemampuan dan sumber mereka untuk menyelesaikan tugas yang
Menurut Bandura (1994) efikasi diri mengatur manusia melalui empat
proses utama yaitu :
a. Proses Kognitif
Efikasi diri mempengaruhi proses berpikir yang dapat meningkatkan atau
mempengaruhi performance dan bisa muncul dalam berbagai bentuk, antara lain
konstruksi kognitif dan inferential thinking.
Konstruksi Kognitif merupakan Sebagian besar tindakan yang pada
awalnya dibentuk dalam pikiran konstruksi kognitif tersebut kemudian hadir
sebagai penuntun tindakan. Keyakinaan orang akan efikasi diri nya akan
mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkannya situasi dan tipe-tipe skenario
pengantisipasi dan menvinsualisasikan masa depan yang mereka gagas. Orang
memiliki efikasi diri yang tinggi akan memandang situasi yang dihadapi sebagai
sesuatu yang menghadirkan kesempatan yang dapat dicapai.
Inferential Thinking dimana sebagai fungsi utama berfikir adalah agar
orang mampu untuk memprediksi hasil dari berbagai tindakan yang berbeda dan
untuk menciptakan kontrol terhadap hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya,
ketrampilan-ketrampilan dalam problem solving memerlukan pemrosesan kognitif
dari berbagai informasi yang kompleks, ambigu dan tidak pasti, secara efektif
fakta bahwa faktor-faktor prediktif yang sama mungkin memiliki predictor yang
berbeda menciptakan suatu ketidakpastian efikasi diri yang tinggi diperlukan
b. Proses Motivasional
Kemampuan untuk memotivasi diri dan melakukan tindakan yang
memiliki tujuan berdasarkan pada aktivitas kognitif. Orang memotivasi dirinya
dan membimbing tindakannya melalui pemikirannya. Mereka membentuk
keyakinan bahwa diri mereka bisa dan mengantisipasi berbagai kemungkinan
outcome positif dan negatif, dan mereka menetapkan tujuan dan merencanakan
tindakan yang dibuat untuk merealisasikan nilai-nilai yang diraih dimasa depan
dan menolak hal-hal yang tidak diinginkan.
c. Proses Afektif
Keyakinan seseorang mengenai kemampuannya dipengaruhi seberapa
banyak tekanan yang dialami ketika menghadapi situasi-situasi yang mengancam.
Reaksi-reaksi emosional tersebut dapat mempengaruhi tindakan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui pengubahan jalan pikiran. Orang
percaya bahwa dirinya dapat mengatasi situasi yang mengancam, menunjukkan
kemampuan oleh karena itu tidak merasa cemas atau terganggu oleh
ancaman-ancaman yang dihadapinya, sedangkan orang yang merasa bahwa dirinya tidak
dapat mengontrol situasi yang mengancam akan mengalami kecemasan yang
tinggi.
d. Proses Seleksi
Dengan menyeleksi lingkungan, orang mempunyai kekuasaan akan
menjadi apa mereka. Pilihan–pilihannya dipengaruhi oleh keyakinan kemampuan
personalnya. Orang akan menolak aktivitas-aktivitas dan lingkungan yang mereka
memilih lingkungan sosial yang mereka nilai dapat mereka atasi semakin tinggi
penerimaan efikasi diri, semakin menantang aktivitas yang mereka pilih.
2.4.3. Sumber efikasi diri
Efikasi diri seseorang berkembang melalui empat sumber utama yaitu
pengalaman pribadi/ pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, persuasi verbal
serta kondisi fisik dan emosional (Bandura, 1994):
a. Pengalaman langsung dan pencapaian prestasi
Hal ini merupakan cara paling efektif untuk membentuk efikasi diri yang
kuat. Seseorang yang memiliki pengalaman sukses cenderung menginginkan hasil
yang cepat dan lebih mudah jatuh karena kegagalan. Beberapa kesulitan dan
kegagalan diperlukan untuk membentuk individu yang kuat dan mengajarkan
manusia bahwa kesuksesan membutuhkan suatu usaha, seseorang yang memiliki
keyakinan akan sukses mendorongnya untuk bangkit dan berusaha untuk
mewujudkan kesuksesan tersebut.
b. Pengalaman orang lain
Seseorang dapat belajar dari pengalaman orang lain dan meniru
perilakunya untuk mendapatkan seperti apa yang didapatkan oleh orang lain.
c. Persuasi Verbal
Persuasi verbal dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak atau
berperilaku. Dengan persuasi verbal, individu mendapat sugesti bahwa ia mampu
perilaku untuk mencapai kesuksesan tersebut dan sebaliknya seseorang dapat
menjadi gagal karena pengaruh atau sugesti buruk dari orang lain dan
lingkungannya.
d. Kondisi fisik dan emosional
Hambatan yang dapat mempengaruhi efikasi diri antara lain nyeri,
kelemahan, dan ketidaknyamanan demikian juga dengan kondisi fisik dan
emosional dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan terkait
efikasi dirinya.
2.4.4. Dimensi Efikasi Diri
Bandura (1977) mengajukan tiga dimensi efikasi diri, yakni: 1) Magnitude,
yang berkaitan dengan derajat kesulitan tugas, sejauh mana individu merasa
mampu dalam melakukan berbagai tugas dengan derajat tugas mulai dari yang
sederhana, yang agak sulit, hingga yang sangat sulit; 2) Generality, sejauh mana
individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari
dalam melakukan suatu aktivitas atau situasi tertentu hingga dalam serangkaian
tugas atau situasi yang bervariasi. 3) Strength, kuatnya keyakinan seseorang
mengenai kemampuan yang dimiliki.
2.4.5. Faktor yang mempengaruhi efikasi diri
Perubahan perilaku didasari oleh adanya perubahan efikasi diri. Oleh
karena itu, efikasi diri dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan maupun diturunkan,
tergantung pada sumbernya. Apabila sumber efikasi diri berubah maka perubahan
Berikut ini adalah sumber-sumber efikasi diri (Alwisol, 2006), antara lain :
a. Pengalaman Performansi (Performance Accomplishment)
Keberhasilan dan prestasi yang pernah dicapai dimasa lalu dapat
meningkatkan efikasi diri seseorang, sebaliknya kegagalan menghadapi sesuatu
mengakibatkan keraguan pada diri sendiri (self doubt). Sumber ini merupakan
sumber efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya untuk mengubah perilaku.
Pencapaian keberhasilan akan memberikan dampak efikasi yang berbeda-beda,
tergantung proses pencapaiannya
Proses pencapaiannya terdiri dari 6 yaitu: Keberhasilan mengatasi tugas
yang sulit bahkan sangat sulit, akan meningkat efikasi diri individu. Bekerja
sendiri, lebih meningkatkan self-efficacy dibandingkan bekerja kelompok atau
dibantu orang lain. Kegagalan menurunkan efikasi diri, meskipun seorang
individu merasa sudah bekerja sebaik mungkin. Kegagalan yang terjadi ketika
kondisi emosi sedang tertekan dapat lebih banyak pengaruhnya menurunkan
efikasi diri, dibandingkan bila kegagalan terjadi ketika individu sedang dalam
kondisi optimal. Kegagalan sesudah individu memiliki efikasi diri yang kuat,
dampaknya tidak akan seburuk ketika kegagalan tersebut terjadi pada individu
yang efikasi diri-nya belum kuat. Individu yang biasanya berhasil, sesekali
mengalami kegagalan, belum tentu akan mempengaruhi efikasi diri-nya.
b. Pengalaman Vikarius (Vicarious Experiences)
Efikasi diri dapat terbentuk melalui pengamatan individu terhadap
Pengalaman tidak langsung meningkatkan kepercayaan individu bahwa mereka
juga memiliki kemampuan yang sama seperti model yang diamati saat dihadapkan
pada persoalan yang setara. Intensitas efikasi diri dalam diri individu ditentukan
oleh tingkat kesamaan dan kesesuaian kompetensi yang ada dalam model terhadap
diri sendiri. semakin setara kompetensi yang dimaksud maka individu akan
semakin mudah merefleksikan pengalaman model social sebagai takaran
kemampuan yang ia miliki. Dalam proses atensi individu melakukan pengamatan
terhadap model sosial yang dianggap merepresentasikan dirinya. Kegagalan dan
kesuksesan yang dialami model sosial kemudi
c. Persuasi Sosial (Social Persuasion)
Akan lebih mudah untuk yakin dengan kemampuan diri sendiri, ketika
seseorang didukung, dihibur oleh orang-orang terdekat yang ada disekitarnya.
Akibatnya tidak ada atau kurangnya dukungan dari lingkungan sosial juga dapat
melemhkan efikasi diri. Bentuk persuasi sosial bisa bersifat verbal maupun non
verbal, yaitu berupa pujian, dorongan dan sejenisnya. Efek dari sumber ini
sifatnya terbatas, namun pada kondisi yang tepat persuasi dari orang sekitar akan
memperkuat efikasi diri. Kondisi ini adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi
dan dukungan realistis dari apa yang dipersuasikan.
d. Keadaan Emosi (Emotional and Psychological)
Keadaan emosi yang mengikuti suatu perilaku atau tindakan akan
mempengaruhi efikasi diri pada situasi saat itu. Emosi takut, cemas, dan stress
yang kuat dapat mempengaruhi efikasi diri namun, bisa juga terjadi peningkatan
terlibat dalam aktivitas yang membutuhkan stamina yang kuat, namun tubuh
merasa mudah lelah, nyeri atau pegal dapat melemahkan efikasi diri karena
merasa fisik tidak mendukung lagi. Sehingga peningkatan efikasi diri dapat
dilakukan dengan menjaga dan meningkatkan status kesehatan fisik.
2.4.6. Perkembangan efikasi diri selama masa kehidupan
a. Bersumber dari diri sendiri (origins of sense of personal agency)
Bayi yang baru dilahirkan akan mengembangkan rasa keberhasilannya
melalui eksplorasi bagaimana pengalaman yang memberikan efek terhadap
lingkungan sekitarnya. Getaran pada box bayi atau tangisan akan membawa orang
dewasa mendekatinya sehingga bayi belajar bahwa tindakan akan menghasilkan
efek. Bayi yang berhasil mengendalikan peristiwa lingkungannya akan menjadi
lebih perhatian terhadap prilakunya sendiri dan merasa berbeda dengan bayi yang
lainnya (Bandura, 1994)
b. Efikasi diri yang bersumber dari keluarga (Familial sources of self-efficacy)
Bayi dan anak-anaknya harus terus belajaruntuk mengembangkan
kemampuan kognitif dan keterampilan fisik untuk mengetahui dan mengelola
berbagai situasi social. Perkembangkan kemampuan sensori motorik akan
memperluas lingkungan kemampuan eksplorasi bayi dan anak-anak dalam
bermain. Tersedianya peluang ini akan memperbesar keterampilan dasar dan rasa
keberhasilan. Pengamalan akan kesuksesan dalam menjalankan control pribadi
adalah pengembangan awal kompetensi social dan kognitif yang berpusat di