• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus - Efektifitas Edukasi Diabetes Terpadu untuk Meningkatkan Efikasi Diri Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Mellitus - Efektifitas Edukasi Diabetes Terpadu untuk Meningkatkan Efikasi Diri Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

2.1.Diabetes Mellitus

2.1.1. Definisi

Menurut American Diabetes Association (2010), DM merupakan suatu

kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terkadi

karena kelalaian sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2011)

DM adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang

disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan

sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin (Suyono S,

dkk, 2011)

2.1.2.Faktor Resiko DM

PERKENI (2011) mengatakan bahwa faktor resiko dari DM adalah:

a. Faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi

1) Ras dan Etnik

Ras African American, Mexican Americans, American Indians, Hawaiians

dan beberapa Asian American memiliki resiko tinggi mengalami DM dan

penyakit jantungdikarenakan tingginya kadar glukosa darah, obesitas, dan jumlah

(2)

2) Jenis Kelamin

Kemungkinan laki-laki menderita penyakit DM lebih beresiko dari pada

perempuan. Namun, jika perempuan telah menopause maka kemungkinan

menderita penyakit jantung pun ikut meningkat meskipun prevalensinya tidak

setinggi laki-laki (Nabyl, 2012).

3) Riwayat Keluarga DM (anak penyandang diabetes)

Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang diabetes

maka kemungkinan anda untuk menyandang diabetes pun meningkat (Nabyl,

2012)

4) Usia

Resiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan

meningkatnya usia. Usia

5) Riwayat Melahirkan Bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau riwayat

pernah menderita DM gestasional (DMG)

6) Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.

Bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai resiko yang lebih

tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan Berat badan normal.

b. Faktor resiko yang bisa dimodifikasi

1) Obesitas

Menurut Shai et.al (2006) dalam Yuanita (2013), orang yang mengalami

obesitas akan mengalami resiko DM lebih tinggi dari orang yang tidak obesitas.

Hal tersebut dikarenakan kandungan lemak yang lebih banyak dapat menurunkan

(3)

2) Kurang aktivitas fisik

Aktivitas fisik merupakan faktor risiko yang dapat diubah pada

penyandang DMtipe 2, sebagian melalui kerjanya terhadap sensitivitas insulin.

Akumulasi aktivitas fisik sehari-hari merupakan faktor utama yang menentukan

sensitivitas insulin. Sedangkan waktu yang dihabiskan untuk bermalas-malasan,

waktu yang dihabiskan untuk aktivitas ringan, serta aktivitas sedang atau berat

tidak mempengaruhi sensitivitas insulin jika disesuaikan dengan aktivitas total

(Balkau et.al, 2008)

3) Hipertensi

Hipertensi menyebabkan resistensi insulin, dislipidemia, meningkatnya

albuminuria dan pencatatan tekanan darah selama 24 jam dengan orang yang

menderita DM

4) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl)

5) Diet yang Tidak sehat (Unhealthy diet).

Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan resiko

menderita prediabetes/intoleransi glukosa pada DM tipe 2 (PERKENI, 2011)

c. Faktor lain terkait dengan resiko diabetes

1) Pasien polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang

terkait dengan resistensi insulin. PCOS merupakan kelainan endokrinopati

pada wanita usia reproduksi. PCOS sering dikaitkan dengan adanya

2) Pasien Sindrom Metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu

(4)

riwayat penyakit Kardiovaskuler, seperti stroke, PJK, atau PAD (peripheral

arterial diseases)

2.1.3. Klasifikasi

PERKENI (2008) mengatakan bahwa DM terbagi dalam empat klasifikasi,

yaitu:

a. DM Tipe 1

DM tipe 1 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh

kenaikan kadar gula darah akibat destruksi (kerusakan) sel beta pankreas atau

kelenjar ludah perut karena suatu sebab tertentu yang menyebabkan produksi

insulin tidak ada sama sekali sehingga penderita sangat memerlukan tambahan

insulin dari luar.

b. DM Tipe 2

DM Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh

kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas

dan atau fungsi insulin (resistensi insulin)

c. DM Tipe Lain

DM tipe lain adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh

kenaikan kadar gula darah akibat defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja

(5)

infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan

DM

d. DM Tipe Gestasional

DM tipe gestasional adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai

oleh kanaikan kadar gula darah yang terjadi pada wanita hamil, biasanya terjadi

pada usia 24 minggu masa kehamilan, dan setelah melahirkan kadar gula darah

kembali normal

2.1.4. Diagnosis

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan

adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM berupa poliuria,

polidipsia, polifagia, dan penurunan BB yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya.

Keluhan lain dapat berupa keluhan lemas badan, kesemutan, gatal, mata kabur,

dan disfungsu ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.

Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Yang pertama jika

keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl

sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DM. yang kedua yaitu pemeriksaan

glukosa plasma puasa > 126 mg/dl dengan adanya keluhan klasik. Yang ketiga

yaitu tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g

glukosa lebih sensitive dan spesifik disbanding dengan pemeriksaan glukosa

plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO

sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan

(6)

Hasil pemerisaan diagnostik yang tidak memenuhi criteria normal atau

DM tipe 2 dapat digolongkan kelompok toleransi glukosa tergangu (TGT)

glukosa darah puasa terganggu (GDPT).kelompok toleransi glukosa terganggu

(TGT) yang bila setelah pemeriksaan TTGO diperoleh glukosa plasma 2 jam

setelah beban antara 140 – 199 mg/dl. Kelompok glukosa darah puasa terganggu

(GDPT) yaitu bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa diperoleh antara 100

– 125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dl (PERKENI,

2011)

2.1.5. Manifestasi Klinis

Menurut Tarwoto (2012) dan Smeltzer & Bare (2009), manifestasi klinis

dari DM adalah:

a. sering kencing/miksi atau meningkatnya frekuensi buang air kecil (poliuria)

Adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa dikeluarkan oleh ginjal

bersama urin karena keterbatasan kemampuan filtrasi ginjal dan kemampuan

reabsorbsi dari tubulus ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa

maka diperlukan banyak air, sehingga frekuensi miksi menjadi meningkat

b. Meningkatnya rasa haus (polidipsia)

Banyaknya miksi menyebabkan tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), hal ini

merangsang pusat haus yang mengakibatkan peningkatan rasa haus.

c. Peningkatan rasa lapar (polipagia)

Meningkatnya katabolisme, pemecahan glikogen untuk energi menyebabkan

(7)

d. Penurunan berat badan

Penurunan berat badan disebabkan karena banyaknya kehilangan cairan,

glikogen dan cadangan trigleserida serta massa otot

e. Kelainan pada mata, penglihatan kabur

Pada kondisi kronis, keadaan hiperglikemia menyebabkan aliran darah

menjadi lambat, sirkulasi ke vaskuler tidak lancar, termasuk pada mata yang

dapat merusak retina serta kekeruhan pada lensa.

f. Gatal pada kulit

Kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal disekitar penis dan vagina. Peningkatan

glukosa darah mengakibatkan penumpukan pula pada kulit sehingga menjadi

gatal, jamur dan bakteri mudah menyerang kulit.

g. Ketonuria

Ketika glukosa tidak lagi digunakan untuk energi, asam lemak akan dipecah

menjadi keton yang kemudian berada pada darah dan dikeluarkan melalui

ginjal

h. Kelemahan/keletihan

Kurangnya cadangan energi, adanya kelaparan sel, kehilangan potassium

akan membuat pasien mudah lelah dan letih

i. Terkadang tanpa gejala

Pada keadaan tertentu, tubuh sudah dapat beradaptasi dengan peningkatan

glukosa darah

(8)

Komplikasi DM diklasifikasikan menjadi dua yaitu komplikasi akut dan

komplikasi kronis:

a. Komplikasi Akut

Ada tiga komplikasi akut pada DMyang penting dan berhubungan dengan

gangguan keseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka waktu pendek. Ketiga

komplikasi tersebut adalah hipoglikemia, ketoasidosis diabetik dan sindrom koma

hiperglikemik hiperosmolar non ketotik (HHNK) (Smeltzer & Bare, 2009)

b. Komplikasi Kronis

Komplikasi ini adalah akibat lama dan beratnya hiperglikemia (Bandero ,

Dayrit, Siswadi, 2009). Komplikasi jangka panjang atau komplikasi kronis

semakin terlihat pada penderita DM yang berumur panjang, komplikasi ini dapat

menyerang semua sistem organ ditubuh. Kategori komplikasi kronis adalah

penyakit makrovaskuler, mikrovaskular dan neoropati (Smeltzer & Bare, 2009)

2.1.8. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan DM tipe 2 secara umum bertujuan untuk

meningkatkankualitas hidup pasien. Penatalaksanaan DM tipe 2 terdiri dari

penatalaksanaan jangka pendek dan penatalaksanaan jangka panjang. Tujuan

penatalaksanaan jangka pendek adalah menghilangkan tanda dan gejala DM tipe

2, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa

(9)

Tujuan penatalaksanaan jangka panjang adalah mencegah dan

menghambat progresivitas komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler, dan

neuropati diabetik. Tujuan akhir dari penatalaksanaan DM tipe 2 adalah turunnya

morbiditas dan mortalitas DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2009; PERKENI, 2011).

Pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid perlu

dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, melalui pengelolaan pasien secara

holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku

(Mansjoer dkk., 2005).

Menurut PERKENI (2011), ada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu

edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.

a. Edukasi

Edukasi memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan

DM tipe 2 karena pemberian edukasi kepada pasien dapat merubah perilaku

pasien dalam melakukan pengelolaan DM secara mandiri. Pemberian edukasi

kepada pasien harus dilakukan dengan melihat latar belakang pasien, ras, etnis,

budaya, psikologis, dan kemampuan pasien dalam menerima edukasi. Edukasi

mengenai pengelolaan DM secara mandiri harus diberikan secara bertahap yang

meliputi konsep dasar DM, pencegahan DM, pengobatan DM, dan selfcare (IDF,

2005; Funnell et.al., 2008).

Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan tingkat lanjut.

Materi edukasi tingkat awal meliputi perjalanan penyakit DM, perlunya

(10)

nonfarmakologis, interaksi makanan, aktivitas, dan obat-obatan, cara pemantauan

glukosa darah mandiri, pentingnya latihan jasmani, perawatan kaki dan cara

mengatasi hipoglikemi. Sedangkan materi edukasi lanjut meliputi mengenal dan

mencegah penyulit akut DM, penatalaksanaan DM selama menderita penyakit

lain, makan di luar rumah, rencana untuk kegiatan khusus dan hasil penelitian

terkini dan teknologi mutakhir (PERKENI, 2011)

b. Terapi Nutrisi Medis

Terapi Nutrisi Medis (TNM) atau diet merupakan bagian dari

penatalaksanaan DM tipe 2. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara

menyeluruh dari tenaga kesehatan (dokter, ahli gizi, tenaga kesehatan yang lain

serta pasien dan keluarganya). Prinsip pengaturan nutrisi pada pasien DM tipe 2

yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi

masing-masing individu. Pengaturan jadwal, jenis, dan jumlah makanan

merupakan aspek yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada pasien

dengan terapi insulin (PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2009).

Bagi pasien yang obesitas, penurunan berat badan merupakan kunci dalam

penanganan DM. Secara umum penurunan berat badan bagi individu obesitas

merupakan faktor utama untuk mencegah timbulnya penyakit DM. Obesitas akan

disertai peningkatan terhadap insulin dan merupakan salah satu faktor etiologi

yang menyertai DM tipe 2.

Perhitungan kebutuhan kalori menggunakan rumus Brocca yaitu :

(11)

Status gizi: BB kurang (BB < 90% BBI), BB normal (BB = 90-110% BBI),

BB lebih (BB = 110-120% BBI), BB gemuk (BB >120% BBI)

Makanan dibagi atas 3 porsi besar: pagi (20%), siang (30%), sore (25%)

dan sisa untuk snack diantara makan pagi-siang dan siang sore. Selanjutnya

perubahan disesuaikan dengan pola makan pasien. Standar yang dianjurkan untuk

komposisi makanan adalah: Karbohidrat (KH) 45-65%, Protein 10-20%, Lemak

20-25% total asupan energi, Natrium 6-7 gr (1 sendok teh), serat ± 25g/1000

kkal/hari dan pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman

(PERKENI, 2008).

c. Latihan jasmani

Latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-4 kali seminggu

selama kurang lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continous, Rhytmical,

Interval, Progressive, Endurance training). Prinsip CRIPE tersebut menjadi dasar

dalam pembuatan materi DSME yang memiliki arti latihan jasmani dilakukan

secara terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara

teratur, gerak cepat dan lambat secara bergantian, berangsur-angsur dari latihan

ringan ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu

tertentu. Latihan jasmani bertujuan untuk menjaga kebugaran tubuh, menurunkan

berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan jasmani yang

dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,

bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan

(12)

dapat meningkatkan intensitas latihan jasmani, sedangkan pasien DM tipe 2 yang

mengalami komplikasi dapat mengurangi intensitas latihan jasmani (PERKENI,

2011.).

d. Intervensi farmakologis

Intervensi farmakologis meliputi pemberian obat-obatan kepada pasien DM tipe 2.

Obat-obatan yang diberikan dapat berupa obat oral dan bentuk suntikan. Obat

dalam bentuk suntikan meliputi pemberian insulin dan agonis GLP-1/incretin

mimetic (PERKENI, 2011). Berdasarkan cara kerjanya, obat hiperglikemik oral

(OHO) dibagi menjadi 5 golongan, yaitu pemicu sekresi insulin (misalnya

sulfonilurea dan glinid), peningkat sensitivitas terhadap insulin (misalnya

metformin dan tiazolidindion), penghambat glukoneogenesis (misalnya

metformin), penghambat absorpsi glukosa (misalnya penghambat glukosidase

alfa), dan DPP-IV inhibitor (Mansjoer dkk., 2005; PERKENI, 2011).

2.2. Edukasi

Edukasi adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang

melalui teknik praktik belajar atau instruksi, dengan tujuan untuk mengingat fakta

atau kondisi nyata, dengan cara memberi dorongan terhadap pengarahan diri (self

direction), aktif memberikan informasi-informasi atau ide baru. Edukasi

merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain,

mulai dari individu, kelompok, keluarga dan masyarakat agar terlaksananya

(13)

Edukasi merupakan proses interaktif yang mendorong terjadinya

pembelajaran, dan pembelajaran merupakan upaya menambah pengetahuan baru,

sikap serta keterampilan melalui penguatan praktik dan pengalaman tertentu

(Potter & Perry, 2008). Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa pendidikan

(education) secara umum adalah sebagai upaya yang direncanakan untuk

mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga

dapat melakukan apa yang diharapkan oleh pendidik. Dalam konteks kesehatan,

maka edukasi diberikan kepada pasien dan keluarganya sehingga dapat

mengambil keputusan yang tepat untuk meningkatkan kesehatannya.

2.3. Diabetes Self-Management Education (DSME)

2.3.1. Definisi DSME

Diabetes Self Management Education (DSME) adalah suatu proses

berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi pengetahuan, keterampilan dan

kemampuan pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri (Funnel et.al, 2008),

Menurut Jack et all (2004) DSME dilakukan dengan menggunakan metode

pedoman, konseling dan intervensi prilaku untuk meningkatkan pengetahuan

mengenai DM dan meningkatkan keterampilan individu dan keluarga dalam

pengelolaan DM.

DSME dapat dilakukan di berbagai metode, bisa dilakukan secara individu

maupun berkelompok. Metode individu biasanya dilakukan dalam setting rumah

(14)

komunitas, group diabetes, klas atau organisasi diabetes (Rickheim P.L, Weaver

T.W, Flader J, Kendall D.M, 2002).

2.3.2. Tujuan DSME

Tujuan DSME adalah mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas

hidup pasien dalam upaya mencegah komplikasi akut dan kronis, sekaligus

mengurangi penggunaan biaya perawatan klinis (Norris et.al., 2002). Menurut

Funnell et.al. (2008) tujuan umum DSME adalah mendukung pengambilan

keputusan, perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim

kesehatan untuk meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup

2.3.3. Prinsip DSME

Prinsip utama DSME menurut Funnell et.al. (2008) adalah pendidikan DM

efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien meskipun dalam

jangka pendek, DSME telah berkembang dari model pengajaran primer menjadi

lebih teoritis yang berdasarkan pada model pemberdayaan pasien, tidak ada

program edukasi yang terbaik namun program edukasi yang menggabungkan

strategi perilaku dan psikososial terbukti dapat memperbaiki hasil klinis,

dukungan yang berkelanjutan merupakan aspek yang sangat penting untuk

mempertahankan kemajuan yang diperoleh pasien selama program DSME, dan

(15)

2.3.4. Komponen DSME

Menurut Schumacher dan Jancksonville (2005 dalam Rondhianto, 2012)

komponen dalam DSME yaitu:

a. Pengetahuan dasar tentang diabetes, meliputi definisi, patofisiologi dasar,

alasan pengobatan, dan komplikasi diabetes;

b. Pengobatan, meliputi definisi, tipe, dosis, dan cara menyimpan. Penggunaan

insulin meliputi dosis, jenis insulin, cara penyuntikan, dan lainnya.

Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) meliputi dosis, waktu minum

dan lainnya;

c. Monitoring, meliputi penjelasan monitoring yang perlu dilakukan, pengertian

tujuan, dan hasil dari monitoring, dampak hasil dan strategi lanjutan,

peralatan yang digunakan dalam monitoring, frekuensi, dan waktu

pemeriksaan;

d. Nutrisi, meliputi fungsi nutrisi bagi tubuh, pengaturan diet, kebutuhan kalori

jadwal makan, manjemen nutrisi saat sakit, kontrol berat badan, gangguan

makan dan lainnya;

e. Olahraga dan aktivitas, meliputi kebutuhan evaluasi kondisi medis sebelum

melakukan olahraga, penggunaan alas kaki dan alat pelindung dalam

berolahraga, pemeriksaan kaki dan alas kaki yang digunakan, dan pengaturan

kegiatan saat kondisi metabolisme tubuh sedang buruk;

f. Stres dan psikososial, meliputi identifikasi faktor yang menyebabkan

(16)

g. Perawatan kaki, meliputi insidensi gangguan pada kaki, penyebab, tanda dan

gejala, cara mencegah, komplikasi, pengobatan, rekomendasi pada pasien

jadwal pemeriksaan berkala;

h. Sistem pelayanan kesehatan dan sumber daya, meliputi pemberian informasi

tentang tenaga kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan yang ada di

lingkungan pasien yang dapat membantu pasien

2.3.5. Tingkat Pembelajaran DSME

Menurut Jones et.al. (2008) tingkat pembelajaran DSME terbagi menjadi

tiga tingkatan, yaitu:

a. Survival/basic level

Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi

pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam

upaya mencegah, mengidentifikasi dan mengobati komplikasi jangka pendek.

b. Intermediate level

Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi

pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam

upaya mencapai kontrol metabolik yang direkomendasikan, mengurangi resiko

komplikasi jangka panjang dan memfasilitasi penyesuaian hidup pasien.

c. Advanced level

Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi

(17)

upaya mendukung manajemen DM secara intensif untuk kontrol metabolik yang

optimal, dan integrasi penuh ke dalam kegiatan perawatan kehidupan pasien.

2.3.6. Pelaksanaan DSME

DSME dapat dilakukan secara individu maupun kelompok, baik di klinik

maupun komunitas (Norris et.al., 2002). Pelaksanaan DSME dapat dilakukan

sebanyak 4 sesi dengan durasi waktu antara 1-2 jam untuk tiap sesi (Central

Dupage Hospital, 2011), yaitu:

a. Sesi 1 membahas pengetahuan dasar tentang DM (definisi, etiologi,

klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, diagnosis, pencegahan,

pengobatan, komplikasi);

b. Sesi 2 membahas pengaturan nutrisi/diet dan aktivitas/latihan fisik yang dapat

dilakukan;

c. Sesi 3 membahas perawatan kaki dan monitoring yang perlu dilakukan; dan

d. Sesi 4 membahas manajemen stress dan dukungan psikososial, dan akses

pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.

2.4. Efikasi Diri

2.4.1. Definisi Efikasi diri

Menurut Bandura (1977) efikasi diri adalah keyakinan seorang individu

mengenai kemampuannya dalam mengorganisasi dan menyelesaikan suatu tugas

yangdiperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Efikasi diri yakni keyakinan bahwa

(18)

(Santrock, 2007) mengatakan bahwa efikasi diri berpengaruh besar terhadap

perilaku.

Efikasi diri pertama dikemukakan oleh Bandura yang merupakan teori

kognitif sosial (social cognitif theory). Teori ini memandang pembelajaran

sebagai penguasaan pengetahuan melalui proses kognitif informasi yang diterima.

Dimana sosial mengandung pengertian bahwa pemikiran dan kegiatan manusia

berawal dari apa yang dipelajari dalam masyarakat. Sedangkan kognitif

mengandung pengertian bahwa terdapat kontribusi influensial proses kognitif

terhadap motivasi, sikap, perilaku manusia. Secara singkat teori ini menyatakan,

sebagian besar pengetahuan dan perilaku anggota organisasi digerakkan dari

lingkungan, dan secara terus menerus mengalami proses berpikir terhadap

informasi yang diterima. Sedang proses kognitif setiap individu berbeda

tergantung keunikan karakteristik personalnya (Chairulmuslimna, 2009)

2.4.2. Proses Pembentukan efikasi diri

Proses efikasi diri mempengaruhi fungsi manusia bukan hanya secara

langsung, tetapi juga mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap faktor lain.

Secara langsung, proses efikasi diri mulai sebelum individu memilih pilihan

mereka dan mengawali usaha mereka. Yang penting, langkah awal dari proses

tersebut tidak begitu berhubungan dengan kemampuan dan sumber individu,

tetapi lebih pada bagaimana mereka menilai atau meyakini bahwa mereka dapat

menggunakan kemampuan dan sumber mereka untuk menyelesaikan tugas yang

(19)

Menurut Bandura (1994) efikasi diri mengatur manusia melalui empat

proses utama yaitu :

a. Proses Kognitif

Efikasi diri mempengaruhi proses berpikir yang dapat meningkatkan atau

mempengaruhi performance dan bisa muncul dalam berbagai bentuk, antara lain

konstruksi kognitif dan inferential thinking.

Konstruksi Kognitif merupakan Sebagian besar tindakan yang pada

awalnya dibentuk dalam pikiran konstruksi kognitif tersebut kemudian hadir

sebagai penuntun tindakan. Keyakinaan orang akan efikasi diri nya akan

mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkannya situasi dan tipe-tipe skenario

pengantisipasi dan menvinsualisasikan masa depan yang mereka gagas. Orang

memiliki efikasi diri yang tinggi akan memandang situasi yang dihadapi sebagai

sesuatu yang menghadirkan kesempatan yang dapat dicapai.

Inferential Thinking dimana sebagai fungsi utama berfikir adalah agar

orang mampu untuk memprediksi hasil dari berbagai tindakan yang berbeda dan

untuk menciptakan kontrol terhadap hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya,

ketrampilan-ketrampilan dalam problem solving memerlukan pemrosesan kognitif

dari berbagai informasi yang kompleks, ambigu dan tidak pasti, secara efektif

fakta bahwa faktor-faktor prediktif yang sama mungkin memiliki predictor yang

berbeda menciptakan suatu ketidakpastian efikasi diri yang tinggi diperlukan

(20)

b. Proses Motivasional

Kemampuan untuk memotivasi diri dan melakukan tindakan yang

memiliki tujuan berdasarkan pada aktivitas kognitif. Orang memotivasi dirinya

dan membimbing tindakannya melalui pemikirannya. Mereka membentuk

keyakinan bahwa diri mereka bisa dan mengantisipasi berbagai kemungkinan

outcome positif dan negatif, dan mereka menetapkan tujuan dan merencanakan

tindakan yang dibuat untuk merealisasikan nilai-nilai yang diraih dimasa depan

dan menolak hal-hal yang tidak diinginkan.

c. Proses Afektif

Keyakinan seseorang mengenai kemampuannya dipengaruhi seberapa

banyak tekanan yang dialami ketika menghadapi situasi-situasi yang mengancam.

Reaksi-reaksi emosional tersebut dapat mempengaruhi tindakan baik secara

langsung maupun tidak langsung melalui pengubahan jalan pikiran. Orang

percaya bahwa dirinya dapat mengatasi situasi yang mengancam, menunjukkan

kemampuan oleh karena itu tidak merasa cemas atau terganggu oleh

ancaman-ancaman yang dihadapinya, sedangkan orang yang merasa bahwa dirinya tidak

dapat mengontrol situasi yang mengancam akan mengalami kecemasan yang

tinggi.

d. Proses Seleksi

Dengan menyeleksi lingkungan, orang mempunyai kekuasaan akan

menjadi apa mereka. Pilihan–pilihannya dipengaruhi oleh keyakinan kemampuan

personalnya. Orang akan menolak aktivitas-aktivitas dan lingkungan yang mereka

(21)

memilih lingkungan sosial yang mereka nilai dapat mereka atasi semakin tinggi

penerimaan efikasi diri, semakin menantang aktivitas yang mereka pilih.

2.4.3. Sumber efikasi diri

Efikasi diri seseorang berkembang melalui empat sumber utama yaitu

pengalaman pribadi/ pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, persuasi verbal

serta kondisi fisik dan emosional (Bandura, 1994):

a. Pengalaman langsung dan pencapaian prestasi

Hal ini merupakan cara paling efektif untuk membentuk efikasi diri yang

kuat. Seseorang yang memiliki pengalaman sukses cenderung menginginkan hasil

yang cepat dan lebih mudah jatuh karena kegagalan. Beberapa kesulitan dan

kegagalan diperlukan untuk membentuk individu yang kuat dan mengajarkan

manusia bahwa kesuksesan membutuhkan suatu usaha, seseorang yang memiliki

keyakinan akan sukses mendorongnya untuk bangkit dan berusaha untuk

mewujudkan kesuksesan tersebut.

b. Pengalaman orang lain

Seseorang dapat belajar dari pengalaman orang lain dan meniru

perilakunya untuk mendapatkan seperti apa yang didapatkan oleh orang lain.

c. Persuasi Verbal

Persuasi verbal dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak atau

berperilaku. Dengan persuasi verbal, individu mendapat sugesti bahwa ia mampu

(22)

perilaku untuk mencapai kesuksesan tersebut dan sebaliknya seseorang dapat

menjadi gagal karena pengaruh atau sugesti buruk dari orang lain dan

lingkungannya.

d. Kondisi fisik dan emosional

Hambatan yang dapat mempengaruhi efikasi diri antara lain nyeri,

kelemahan, dan ketidaknyamanan demikian juga dengan kondisi fisik dan

emosional dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan terkait

efikasi dirinya.

2.4.4. Dimensi Efikasi Diri

Bandura (1977) mengajukan tiga dimensi efikasi diri, yakni: 1) Magnitude,

yang berkaitan dengan derajat kesulitan tugas, sejauh mana individu merasa

mampu dalam melakukan berbagai tugas dengan derajat tugas mulai dari yang

sederhana, yang agak sulit, hingga yang sangat sulit; 2) Generality, sejauh mana

individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari

dalam melakukan suatu aktivitas atau situasi tertentu hingga dalam serangkaian

tugas atau situasi yang bervariasi. 3) Strength, kuatnya keyakinan seseorang

mengenai kemampuan yang dimiliki.

2.4.5. Faktor yang mempengaruhi efikasi diri

Perubahan perilaku didasari oleh adanya perubahan efikasi diri. Oleh

karena itu, efikasi diri dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan maupun diturunkan,

tergantung pada sumbernya. Apabila sumber efikasi diri berubah maka perubahan

(23)

Berikut ini adalah sumber-sumber efikasi diri (Alwisol, 2006), antara lain :

a. Pengalaman Performansi (Performance Accomplishment)

Keberhasilan dan prestasi yang pernah dicapai dimasa lalu dapat

meningkatkan efikasi diri seseorang, sebaliknya kegagalan menghadapi sesuatu

mengakibatkan keraguan pada diri sendiri (self doubt). Sumber ini merupakan

sumber efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya untuk mengubah perilaku.

Pencapaian keberhasilan akan memberikan dampak efikasi yang berbeda-beda,

tergantung proses pencapaiannya

Proses pencapaiannya terdiri dari 6 yaitu: Keberhasilan mengatasi tugas

yang sulit bahkan sangat sulit, akan meningkat efikasi diri individu. Bekerja

sendiri, lebih meningkatkan self-efficacy dibandingkan bekerja kelompok atau

dibantu orang lain. Kegagalan menurunkan efikasi diri, meskipun seorang

individu merasa sudah bekerja sebaik mungkin. Kegagalan yang terjadi ketika

kondisi emosi sedang tertekan dapat lebih banyak pengaruhnya menurunkan

efikasi diri, dibandingkan bila kegagalan terjadi ketika individu sedang dalam

kondisi optimal. Kegagalan sesudah individu memiliki efikasi diri yang kuat,

dampaknya tidak akan seburuk ketika kegagalan tersebut terjadi pada individu

yang efikasi diri-nya belum kuat. Individu yang biasanya berhasil, sesekali

mengalami kegagalan, belum tentu akan mempengaruhi efikasi diri-nya.

b. Pengalaman Vikarius (Vicarious Experiences)

Efikasi diri dapat terbentuk melalui pengamatan individu terhadap

(24)

Pengalaman tidak langsung meningkatkan kepercayaan individu bahwa mereka

juga memiliki kemampuan yang sama seperti model yang diamati saat dihadapkan

pada persoalan yang setara. Intensitas efikasi diri dalam diri individu ditentukan

oleh tingkat kesamaan dan kesesuaian kompetensi yang ada dalam model terhadap

diri sendiri. semakin setara kompetensi yang dimaksud maka individu akan

semakin mudah merefleksikan pengalaman model social sebagai takaran

kemampuan yang ia miliki. Dalam proses atensi individu melakukan pengamatan

terhadap model sosial yang dianggap merepresentasikan dirinya. Kegagalan dan

kesuksesan yang dialami model sosial kemudi

c. Persuasi Sosial (Social Persuasion)

Akan lebih mudah untuk yakin dengan kemampuan diri sendiri, ketika

seseorang didukung, dihibur oleh orang-orang terdekat yang ada disekitarnya.

Akibatnya tidak ada atau kurangnya dukungan dari lingkungan sosial juga dapat

melemhkan efikasi diri. Bentuk persuasi sosial bisa bersifat verbal maupun non

verbal, yaitu berupa pujian, dorongan dan sejenisnya. Efek dari sumber ini

sifatnya terbatas, namun pada kondisi yang tepat persuasi dari orang sekitar akan

memperkuat efikasi diri. Kondisi ini adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi

dan dukungan realistis dari apa yang dipersuasikan.

d. Keadaan Emosi (Emotional and Psychological)

Keadaan emosi yang mengikuti suatu perilaku atau tindakan akan

mempengaruhi efikasi diri pada situasi saat itu. Emosi takut, cemas, dan stress

yang kuat dapat mempengaruhi efikasi diri namun, bisa juga terjadi peningkatan

(25)

terlibat dalam aktivitas yang membutuhkan stamina yang kuat, namun tubuh

merasa mudah lelah, nyeri atau pegal dapat melemahkan efikasi diri karena

merasa fisik tidak mendukung lagi. Sehingga peningkatan efikasi diri dapat

dilakukan dengan menjaga dan meningkatkan status kesehatan fisik.

2.4.6. Perkembangan efikasi diri selama masa kehidupan

a. Bersumber dari diri sendiri (origins of sense of personal agency)

Bayi yang baru dilahirkan akan mengembangkan rasa keberhasilannya

melalui eksplorasi bagaimana pengalaman yang memberikan efek terhadap

lingkungan sekitarnya. Getaran pada box bayi atau tangisan akan membawa orang

dewasa mendekatinya sehingga bayi belajar bahwa tindakan akan menghasilkan

efek. Bayi yang berhasil mengendalikan peristiwa lingkungannya akan menjadi

lebih perhatian terhadap prilakunya sendiri dan merasa berbeda dengan bayi yang

lainnya (Bandura, 1994)

b. Efikasi diri yang bersumber dari keluarga (Familial sources of self-efficacy)

Bayi dan anak-anaknya harus terus belajaruntuk mengembangkan

kemampuan kognitif dan keterampilan fisik untuk mengetahui dan mengelola

berbagai situasi social. Perkembangkan kemampuan sensori motorik akan

memperluas lingkungan kemampuan eksplorasi bayi dan anak-anak dalam

bermain. Tersedianya peluang ini akan memperbesar keterampilan dasar dan rasa

keberhasilan. Pengamalan akan kesuksesan dalam menjalankan control pribadi

adalah pengembangan awal kompetensi social dan kognitif yang berpusat di

(26)

c. Memperluas efikasi diri melalui pengaruh kelompok (broading of

self-efficacy trough peer influences)

Seseorang yang masuk dalam sebuah kelompok akan memperluas

kemampuan pengetahuannya. Sebahagian besar pembelajaran sosial akan terjadi

di antara anggota kelompok memberikan pengaruh yang besar pada efikasi diri

anggotanya. Anggota kelompok akaPerbedaan usia juga akan mempengaruhi

efikasi diri seseorang. Pengaruh rasa efikasi diri rendah kepada anggota kelompok

akan mempengaruhi efikasi diri anggota kelompok lainya, begitupun sebaliknya

(Bandura, 1994)

d. Sekolah sebagai pembentukan kognitif efikasi diri (school of an agency

forndura, cultivating cognitive self-efficacy)

Sekolah adalah tempat untuk mengembangkan kompetensi kognitif.

Anak-anak menembangkan kompetensi kognitif dan pengetahuannya dalam

memecahkan masalah dengan berpartisipasi aktif di masyarakat. Kemampuan

kognitif dan pengetahuan yang dimiliki akan menjadi dasar bagi pembentukan

keyakinan akan keberhasilan. Sehingga pengalaman keberhasilan dan kegagalan

yang dialami akan membentuk efikasi diri bagi anak-anak (Banura, 1994).

e. Pertumbuhan efikasi diri melalui pengalaman transisi masa remaja (Growth of

self-efficacy through transitional experience of adolescernce)

Remaja belajar memikul penuh tanggung jawab pribadi disemua dimensi

kehidupan. Kompetensi baru dan keyakinan akan sebuah keberhasilan perlu terus

dikembangkan. Remaja memperluas dan memperkuat rasa keberhasilannya

(27)

efikasi diri dibangun melalui penguasaan pengalaman sebelumnya (Bandura,

1994)

f. Efikasi diri masa dewasa (self-efficacy concerns of adulthood)

Dewasa muda adalah masa ketika orang harus belajar memenuhi

kebutuhan baru yang timbul karena kemitraan, hubungan perkawinan, orang tua

ataupun pekerjaan. Pemenuhan kebutuhan baru tersebut dapat terpenuhi dengan

efikasi diri yang tinggi. Mereka yang memasuki usia dewasa muda dengan

keterampilan yang kurang akan merasa tidak yakin dengan diri sendiri dalam

menghadapi berbagai aspek kehidupan yang menimbulkan stress dan tekanan.

Pengalaman kemampuan dan keterampilan dalam mengelola motivasi, emosional

dan proses berfikir akan meningkatkan pengaturan afikasi diri seseorang

(Bandura, 1994)

g. Menilai kembali efikasi diri melalui bertambahnya usia (Reappraisals of

self-efficacy with advancing age)

Dimensi generalisasi berfokus pada kekuatan atau keyakinan dalam

melakukan sebuah usaha. Harapan yang lemah bisa disebabkan oleh pengalaman

yang buruh. Tetapi bila seseorang mempunyai harapan yang kuat mereka akan

tetap berusaha walaupun mengalami sebuah kegagalan (Bandura, 1994)

2.4.7. Cara Meningkatkan Efikasi Diri

Strategi untuk meningkatkan motivasi dan efikasi diri pada pasien

(28)

kesehatan melalui pendekatan diabetes self management education (DSME),

empowerment, dan motivational interviewin (Lakhanpal, 2007)

Pendekatan pendidikan kesehatan dengan metode DSME tidak hanya

menggunakan metode ceramah, penyuluhan baik langsung atau tidak langsung

namun telah berkembang dengan mendorong partisipasi dan kerjasama pasien dan

keluarganya. Pada DSME tidak hanya memberikan informasi tentang penyakit

dan ketrampilan teknikal saja, metode ini juga berisi tentang ketrampilan

menyelesaikan masalah (problem solving), koping, dan manejemen diri diabetes.

Tujuan DSME selain meningkatkan pengetahuan tentang diabetes, yang paling

utama adalah meningkatkan efikasi diri dan motivasi pasien untuk menjalankan

perawatan DM. DSME dapat diberikan oleh dokter, perawat, kader kesehatan

yangterlatih atau orang yang hidup dengan penyakit kronis (Bodenheimer, Lorig,

Holmadan Grumbach, 2002 dalam Lakhanpal, 2007).

Pasien yang diberi edukasi dan pedoman dalam perawatan diri dengan

terstruktur dan bertahap akan mengubah pola hidupnya, sehingga dapat

mengontrol kadar glukosa darah dengan baik. Intervensi DSME yang diberikan

kepada pasien dapat meningkatkan aspek kognisi dan afeksi pasien DM dan

keluarganya secara simultan akan mempengaruhi peninfkatan prilaku sehat

pasien. Prilaku sehat tersebut terdiri dari monitoring kadar glukosa darah secara

mendiri, perencanaan diet, latihan jasmani dan istirahat yang cukup, konsumsi

(29)

Atak (2007) mengatakan bahwa Peningkatan efikasi diri sebagai hasil dari

intervensi jangka pendek berupa edukasi karena pasien berpikir mereka bisa

dengan mudah melakukan kegiatan yang diharapkan dari mereka karena

pengetahuan yang didapat dari edukasi tentang mengelola penyakit mereka dapat

mengubah perilaku manajemen diri.

Teaching (pendidikan kesehatan) merupakan intervensi untuk

meningkatkan pengetahuan pasien tentang DM dan perawatannya, yang dapat

meningkatkan motivasi dan efikasi diri pasien. Perawat perlu melakukan

pendidikan kesehatan terstruktur dan berkala dalam waktu tertentu untuk

meningkatkan pengetahuan pasien. Selain itu bisa juga dengan membuat suatu

kelas untuk pendidikan kesehatan yang dapat dievaluasi baik melalui penelitian

atau hasil diagnostik seperti hasil laboratorium (Ariani, 2011)

Hasil penelitian Temple (2003) tentang pengaruh diabetes self-care

management education terhadap efikasi diri, perawatan diri dan penilaian

psikologis pada pasien diabetes menunjukkan hasil bahwa diabetes self-care

management education yang dilakukan memfasilitasi peningkatan prilaku

perawatan diri pasien pada masalah diet, olah raga dan pemeriksaan glukosa

darah, namun tidak terhadap pengobatan

2.5. Landasan Teori

2.5.1. Sejarah Dorothea Orem

(30)

yang berisi tentang edisi pertama diperluas pada keluarga, kelompok dan

masyarakat. Tahun 1985 mempublikasikan buku kedua yang berisi tentang tiga

teori, yaitu: Theory self care, theory self care deficit, theory system keperawatan..

Dalam bidang keperawatan dapat dikatakan bahwa ahli Keperawatan dari

Amerika, adalah Dorothea E. Orem, termasuk salah seorang yang terpenting

diantara orang yang mengembangkan pandangan dalam bidang Keperawatan.

2.5.2. Self-Care Ceficit Theory of Nursing

Self-Care Deficit Theory of Nursing yang dikembangkan oleh Dorothea Orem

terdiri dari tiga teori umum yang saling berkaitan, yaitu :

a. The Theory of Self-Care

Untuk memahami tentang teori perawatan diri, perlu dipahami terlebih

dahulu mengenai konsep dasar perawatan diri (self-care), kemampuan perawatan

diri (self-care agency), faktor yang mempengaruhi perawatan diri (basic

conditioning factors), dan terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic self-care

demand).

Perawatan diri (self-care) adalah pelaksanan aktivitas individu yang

berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dalam mempertahankan hidup, kesehatan

dan kesejahteraan. Jika perawatan diri dapat dilakukan dengan efektif, maka dapat

membantu individu dalam mengembangkan potensi dirinya. (Orem, 1991)

Kemampuan perawatan diri (self-care agency) adalah kemampuan

individu untuk terlibat dalam proses perawatan diri. Kemampuan ini berkaitan

(31)

Faktor yang mempengaruhi perawatan diri (basic conditioning factor)

yang terdiri dari faktor usia, jenis kelamin, status kesehatan, orientasi sosial

budaya, sistem perawatan kesehatan, kebiasaan keluarga, pola hidup, faktor

lingkungan dan keadaan ekonomi. Terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic

self-care demand), yaitu tindakan yang dilakukan sebagai bantuan untuk

memenuhi syarat perawatan diri.

b. The Theory of Self-Care Deficit

Teori ini merupakan inti dari teori keperawatan Orem. Teori ini

mengambarkan kapan keperawatan dibutuhkan. Keperawatan diperlukan ketika

individu tidak mampu atau mengalami keterbatasan dalam memenuhi syarat

perawatan diri yang efektif. Keperawatan diberikan jika tingkat kemampuan

perawatan diri lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan perawatan diri atau

kemampuan perawatan diri seimbang dengan kebutuhan namun hubungan deficit

dapat terjadi selanjutnya akibat penurunan kemampuan, peningkatan kualitas dan

kuantitas kebutuhan atau keduanya.

Teori self care deficit diterapkan bila anak belum dewasa, kebutuhan

melebihi kemampuan perawatan, kemampuan sebanding dengan kebutuhan tetapi

diprediksi untuk masa yang akan datang, kemungkinan terjadi penurunan

kemampuan dan peningkatan kebutuhan.

Dalam pemenuhan perawatan diri sendiri serta membantu dalam proses

penyelesaian masalah, Orem memiliki metode untuk proses tersebut diantaranya;

(32)

support baik secara fisik atau psikologis, meningkatkan pengembangan

lingkungan untuk pengembangan pribadi serta mengajarkan atau memberi

pendidikan pada orang lain.

Inti dari teori ini menggambarkan manusia sebagai penerima perawatan

yang tidak mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya dan memiliki berbagai

keterbatasan-keterbatasan dalam mencapai taraf kesehatannya. Perawatan yang

diberikan didasarkan kepada tingkat ketergantungan; yaitu ketergantungan total

atau parsial. Defisit perawatan diri menjelaskan hubungan antara kemampuan

seseorang dalam bertindak/beraktivitas dengan tuntutan kebutuhan tentang

perawatan diri. Sehingga bila tuntutan lebih besar dari kemampuan, maka ia akan

mengalami penurunan/defisit perawatan diri.

Self care adalah kemampuan individu untuk melakukan perawatan diri.

Perawatan diri dapat mengalami gangguan atau hambatan bila seseorang jatuh

pada kondisi sakit atau kondisi yang melelahkan seperti stress fisik dan

psikologis. Self care deficit terjadi bila agen self care atau orang yang

memberikan perawatan diri baik pada diri sendiri maupun pada orang lain tidak

dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri individu dan lebih memberikan self

care theraupetic. Nursing agency menggunakan kegiatan gabungan berarti bahwa

kegiatan perawat perlu dikoordinasi, dilakukan secara serentak atau berhubungan

dengan layanan asuhan keperawatan yang akan diberikan. Seseorang yang

melakukan kegiatan ini harus mempunyai pengetahuan tentang asuhan

keperawatan yang diberikan sehingga dapat mengambil suatu keputusan yang

(33)

c. The Theory of Nursing System

Nursing system adalah bagian dari pertimbangan praktek keperawatan

yang dilakukan oleh perawat berdasarkan koordinasi untuk mencapai kebutuhan

perawatan diri (self-care demand) pasiennya dan untuk melindungi dan

mengontrol latihan/pengembangan dari kemampuan perawatan diri pasien

(self-care agency).

Orem (1991) mengidentifikasi tiga klasifikasi dari sistem keperawatan

berdasarkan kemampuan pasien dalam mencapai syarat pemenuhan perawatan

diri.

1) Wholly Compensatory System

Sistem penyeimbang keperawatan menyeluruh merupakan suatu tindakan

keperawatan dengan memberikan kompensasi penuh kepada pasien disebabkan

karena ketidakmampuan pasien dalam memenuhi tindakan keperawatan secara

mandiri. Sistem penyeimbang keperawatan menyeluruh dibutuhkan ketika

perawat harus menjadi peringan bagi ketidakmampuan total seorang pasien dalam

hubungan kegiatan merawat yang membutuhkan tindakan penyembuhan dan

manipulasi. Perawat mengambil alih pemenuhan kebutuhan self caresecara

menyeluruh kepada pasien yang tidak mampu, misal: pada pasien koma atau

pasien bayi.

2) Partly Compensatory System

Sistem penyeimbang sebagian yaitu sistem keperawatan dalam

(34)

pasien yang memerlukan bantuan secara minimal. Perawat mengambil alih

beberapa aktifitas yang tidak dapat dilakukan oleh pasien dalam memenuhi

kebutuhan self care-nya, dijalankan pada saat perawat dan pasien menjalankan

intervensi perawatan atau tindakan lain yang melibatkan tugas manipulatif atau

penyembuhan, misal: pasien usia lanjut, pasien stroke dengan kelumpuhan.

3) Supportive-Educative System

Sistem yang mendukung/mendidik yaitu tindakan keperawatan yang

bertujuan untuk memberikan dukungan dan pendidikan agar pasien mampu

melakukan perawatan mandiri. Perawat memberikan pendidikan kesehatan atau

penjelasan untuk memotivasi melakukan self care, tetapi yang melakukan self

care adalah pasien sendiri, misal: mengajarkan pasien merawat lukannya,

mengajarkan bagaimana menyuntik insulin. Diperlukan pada situasi dimana

pasien harus belajar untuk menjalankan ketentuan yang dibutuhkan secara

eksternal atau internal yang ditujukan oleh therapeutic self care, namun tidak

dapat melakukan tanpa bantuan. Metode bantuan diantaranya: tindakan, panduan,

(35)

Gambar 2.1 Sistem Dasar Teori Orem

2.5.3. Kaitan Teori Dengan Penelitian

Keperawatan diperlukan ketika individu tidak mampu atau mengalami

keterbatasan dalam memenuhi syarat perawatan diri yang efektif. Keperawatan

diberikan jika tingkat kemampuan perawatan diri lebih rendah dibandingkan

dengan kebutuhan perawatan diri atau kemampuan perawatan diri seimbang

dengan kebutuhan namun hubungan deficit dapat terjadi selanjutnya akibat

penurunan kemampuan, peningkatan kualitas dan kuantitas kebutuhan atau

(36)

Dalam pemenuhan perawatan diri sendiri serta membantu dalam proses

penyelesaian masalah, orem memiliki metode untuk proses tersebut diantaranya;

bertindak atau berbuat untuk orang lain, sebagai pembimbing orang lain, memberi

support baik secara fisik atau psikologis, meningkatkan pengembangan

lingkungan untuk pengembangan pribadi serta mengajarkan atau memberi

pendidikan pada orang lain

DM jika tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan terjadinya bagai

penyulit menahun. Jika kadar glukosa darah dapat selalu dikendalikan dengan

baik, diharapkan semua penyulit manahun tersebut dapat dicegah paling tidak

sedikit dihambat (Suyono dkk, 2011). Pengobatan yang dianjurkan di 2012 klinik

panduan dari American Diabetes Association untuk memastikan kontrol glikemik

dan mencegah komplikasi pada pasien DM meliputi pengobatan nutrisi, aktivitas

fisik, insulin pengobatan oral, pemantauan glukosa darah mandiri dan DM

pendidikan pengelolaan diri (ADA, 2012). Jadi pasien DM perlu mengatur

kembali pengobatan nutrisi medis dan aktivitas fisik, jika perlu, menggunakan

pemantauan obat dan glukosa darah untuk mengevaluasi hasil kegiatan perawatan

diri. Pasien DM harus belajar bagaimana untuk mengevaluasi diri, memutuskan

tindakan apa yang perlu diambil untuk mengurus kebutuhan mereka, dan

melakukan tindakan-tindakan, dan tindakan ini akan menjadi mungkin dengan

pendidikan tentang DM . Teori self-care deficit Orem bisa menjadi panduan

yang berguna pada diabetes manajemen diri pendidikan untuk meningkatkan

(37)

Dari Supportive-Educative System Orem juga jelas dikatakan bahwa

Sistem yang mendukung/mendidik yaitu tindakan keperawatan yang bertujuan

untuk memberikan dukungan dan pendidikan agar pasien mampu melakukan

perawatan mandiri. Edukasi diperlukan pada situasi dimana pasien harus belajar

untuk menjalankan ketentuan yang dibutuhkan secara eksternal atau internal yang

ditujukan oleh therapeutic self care, namun tidak dapat melakukan tanpa bantuan.

Metode bantuan diantaranya: tindakan, panduan, pelajaran, dukungan dan

memberikan lingkungan yang membangun

DSME merupakan cara edukasi yang diberikan kepada pasien DM yang

merupakan suatu proses yang memfasilitasu pengetahuan, keterampilan dan

kemampuan perawatan mandiri (self care behavior) yang sangat dibutuhkan oleh

pasien DM dimana nantinya melalui edukasi tersebut pasien DM akan dapat

mengubah pola hidupnya, sehingga dapat mengontrol kadar glukosa darah dengan

(38)
(39)

2.7. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian

Edukasi Efikasi Diri

Diabetes Self

Management Education (DSME :

1. Pengetahuan DM 2. Diet

3. Latihan Fisik

4. Senam Kaki dan perawatan kaki 5. Manajemen Stres dan

dukungan psikososial

Perubahan Prilaku :

1. Pengontrolan KGD 2. Pengelolaan Diet 3. Latihan Fisik

teratur

4. Manajemen Stress 5. Pencegahan

Gambar

Gambar 2.1 Sistem Dasar Teori Orem
Gambar 2.2 Kerangka Teori

Referensi

Dokumen terkait

yang mempunyai rasa efikasi diri yang tinggi akan lebih mampu untuk. melakukan berbagai usaha dan latihan serta mengontrol lingkungan sekitarnya. Rasa efikasi diri yang

Instrumen penelitian yang digunakan untuk mengukur efikasi diri pada diabetes tipe 2 dalam review sistematik ini yaitu 4 artikel menggunakan kuesioner Self-Efficacy Scale for

yang berkaitan dengan konsep efikasi diri dan manajemen diri pada diabetes tipe. 2, sehingga dapat mengembangkan dan meningkatkan kualitas

Hubungan antara Motivasi dengan Efikasi Diri Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar (76,4%) responden memiliki motivasi yang kurang dalam perawatan DM.. Hal ini

Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan, antara lain: waktu penelitian yang relatif pendek sehingga tidak diketahui efek perlakuan jangka panjang, banyak variabel yang

Fajriani & Muflihatin, 2021 https://journals.umk t.ac.id/index.php/bs r/article/view/1586 Desain : Cross sectional Sampel : 152 responden Variabel : Efikasi diri dan Manejemen diri

Hubungan efikasi diri dengan Self Care Management pasien DM di Puskesmas Toroh II Variabel r p- value Hubungan efikasi diri dengan self care management 0,575 0,001

Sedangkan untuk mengelompokkan informasi penting dalam artikel untuk lebih jelasnya peneliti menjelaskan menggunakan tabel PICO dibawah ini Data-data yang telah didapatkan dari berbagai