2.1.Diabetes Mellitus
2.1.1. Definisi
Menurut American Diabetes Association (2010), DM merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemi yang terkadi
karena kelalaian sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya (Perkeni, 2011)
DM adalah suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang yang
disebabkan oleh karena adanya peningkatan kadar glukosa darah akibat penurunan
sekresi insulin yang progresif dilatar belakangi oleh resistensi insulin (Suyono S,
dkk, 2011)
2.1.2.Faktor Resiko DM
PERKENI (2011) mengatakan bahwa faktor resiko dari DM adalah:
a. Faktor resiko yang tidak bisa dimodifikasi
1) Ras dan Etnik
Ras African American, Mexican Americans, American Indians, Hawaiians
dan beberapa Asian American memiliki resiko tinggi mengalami DM dan
penyakit jantungdikarenakan tingginya kadar glukosa darah, obesitas, dan jumlah
2) Jenis Kelamin
Kemungkinan laki-laki menderita penyakit DM lebih beresiko dari pada
perempuan. Namun, jika perempuan telah menopause maka kemungkinan
menderita penyakit jantung pun ikut meningkat meskipun prevalensinya tidak
setinggi laki-laki (Nabyl, 2012).
3) Riwayat Keluarga DM (anak penyandang diabetes)
Jika terdapat salah seorang anggota keluarga yang menyandang diabetes
maka kemungkinan anda untuk menyandang diabetes pun meningkat (Nabyl,
2012)
4) Usia
Resiko untuk menderita intoleransi glukosa meningkat seiring dengan
meningkatnya usia. Usia
5) Riwayat Melahirkan Bayi dengan BB lahir bayi > 4000 gram, atau riwayat
pernah menderita DM gestasional (DMG)
6) Riwayat lahir dengan berat badan rendah, kurang dari 2,5 kg.
Bayi yang lahir dengan berat badan rendah mempunyai resiko yang lebih
tinggi dibanding dengan bayi lahir dengan Berat badan normal.
b. Faktor resiko yang bisa dimodifikasi
1) Obesitas
Menurut Shai et.al (2006) dalam Yuanita (2013), orang yang mengalami
obesitas akan mengalami resiko DM lebih tinggi dari orang yang tidak obesitas.
Hal tersebut dikarenakan kandungan lemak yang lebih banyak dapat menurunkan
2) Kurang aktivitas fisik
Aktivitas fisik merupakan faktor risiko yang dapat diubah pada
penyandang DMtipe 2, sebagian melalui kerjanya terhadap sensitivitas insulin.
Akumulasi aktivitas fisik sehari-hari merupakan faktor utama yang menentukan
sensitivitas insulin. Sedangkan waktu yang dihabiskan untuk bermalas-malasan,
waktu yang dihabiskan untuk aktivitas ringan, serta aktivitas sedang atau berat
tidak mempengaruhi sensitivitas insulin jika disesuaikan dengan aktivitas total
(Balkau et.al, 2008)
3) Hipertensi
Hipertensi menyebabkan resistensi insulin, dislipidemia, meningkatnya
albuminuria dan pencatatan tekanan darah selama 24 jam dengan orang yang
menderita DM
4) Dislipidemia (HDL < 35 mg/dl dan atau trigliserida > 250 mg/dl)
5) Diet yang Tidak sehat (Unhealthy diet).
Diet dengan tinggi gula dan rendah serat akan meningkatkan resiko
menderita prediabetes/intoleransi glukosa pada DM tipe 2 (PERKENI, 2011)
c. Faktor lain terkait dengan resiko diabetes
1) Pasien polycystic Ovary Syndrome (PCOS) atau keadaan klinis lain yang
terkait dengan resistensi insulin. PCOS merupakan kelainan endokrinopati
pada wanita usia reproduksi. PCOS sering dikaitkan dengan adanya
2) Pasien Sindrom Metabolik memiliki riwayat toleransi glukosa terganggu
riwayat penyakit Kardiovaskuler, seperti stroke, PJK, atau PAD (peripheral
arterial diseases)
2.1.3. Klasifikasi
PERKENI (2008) mengatakan bahwa DM terbagi dalam empat klasifikasi,
yaitu:
a. DM Tipe 1
DM tipe 1 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kenaikan kadar gula darah akibat destruksi (kerusakan) sel beta pankreas atau
kelenjar ludah perut karena suatu sebab tertentu yang menyebabkan produksi
insulin tidak ada sama sekali sehingga penderita sangat memerlukan tambahan
insulin dari luar.
b. DM Tipe 2
DM Tipe 2 adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kenaikan kadar gula darah akibat penurunan sekresi insulin oleh sel beta pankreas
dan atau fungsi insulin (resistensi insulin)
c. DM Tipe Lain
DM tipe lain adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai oleh
kenaikan kadar gula darah akibat defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja
infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang berkaitan dengan
DM
d. DM Tipe Gestasional
DM tipe gestasional adalah penyakit gangguan metabolik yang ditandai
oleh kanaikan kadar gula darah yang terjadi pada wanita hamil, biasanya terjadi
pada usia 24 minggu masa kehamilan, dan setelah melahirkan kadar gula darah
kembali normal
2.1.4. Diagnosis
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM berupa poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan BB yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya.
Keluhan lain dapat berupa keluhan lemas badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsu ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita.
Diagnosis DM dapat ditegakkan melalui tiga cara. Yang pertama jika
keluhan klasik ditemukan, maka pemeriksaan glukosa plasma sewaktu 200 mg/dl
sudah cukup untuk menegakkan diagnosa DM. yang kedua yaitu pemeriksaan
glukosa plasma puasa > 126 mg/dl dengan adanya keluhan klasik. Yang ketiga
yaitu tes toleransi glukosa oral (TTGO). Meskipun TTGO dengan beban 75 g
glukosa lebih sensitive dan spesifik disbanding dengan pemeriksaan glukosa
plasma puasa, namun pemeriksaan ini memiliki keterbatasan tersendiri. TTGO
sulit untuk dilakukan berulang-ulang dan dalam praktek sangat jarang dilakukan
Hasil pemerisaan diagnostik yang tidak memenuhi criteria normal atau
DM tipe 2 dapat digolongkan kelompok toleransi glukosa tergangu (TGT)
glukosa darah puasa terganggu (GDPT).kelompok toleransi glukosa terganggu
(TGT) yang bila setelah pemeriksaan TTGO diperoleh glukosa plasma 2 jam
setelah beban antara 140 – 199 mg/dl. Kelompok glukosa darah puasa terganggu
(GDPT) yaitu bila setelah pemeriksaan glukosa plasma puasa diperoleh antara 100
– 125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO gula darah 2 jam < 140 mg/dl (PERKENI,
2011)
2.1.5. Manifestasi Klinis
Menurut Tarwoto (2012) dan Smeltzer & Bare (2009), manifestasi klinis
dari DM adalah:
a. sering kencing/miksi atau meningkatnya frekuensi buang air kecil (poliuria)
Adanya hiperglikemia menyebabkan sebagian glukosa dikeluarkan oleh ginjal
bersama urin karena keterbatasan kemampuan filtrasi ginjal dan kemampuan
reabsorbsi dari tubulus ginjal. Untuk mempermudah pengeluaran glukosa
maka diperlukan banyak air, sehingga frekuensi miksi menjadi meningkat
b. Meningkatnya rasa haus (polidipsia)
Banyaknya miksi menyebabkan tubuh kekurangan cairan (dehidrasi), hal ini
merangsang pusat haus yang mengakibatkan peningkatan rasa haus.
c. Peningkatan rasa lapar (polipagia)
Meningkatnya katabolisme, pemecahan glikogen untuk energi menyebabkan
d. Penurunan berat badan
Penurunan berat badan disebabkan karena banyaknya kehilangan cairan,
glikogen dan cadangan trigleserida serta massa otot
e. Kelainan pada mata, penglihatan kabur
Pada kondisi kronis, keadaan hiperglikemia menyebabkan aliran darah
menjadi lambat, sirkulasi ke vaskuler tidak lancar, termasuk pada mata yang
dapat merusak retina serta kekeruhan pada lensa.
f. Gatal pada kulit
Kulit gatal, infeksi kulit, gatal-gatal disekitar penis dan vagina. Peningkatan
glukosa darah mengakibatkan penumpukan pula pada kulit sehingga menjadi
gatal, jamur dan bakteri mudah menyerang kulit.
g. Ketonuria
Ketika glukosa tidak lagi digunakan untuk energi, asam lemak akan dipecah
menjadi keton yang kemudian berada pada darah dan dikeluarkan melalui
ginjal
h. Kelemahan/keletihan
Kurangnya cadangan energi, adanya kelaparan sel, kehilangan potassium
akan membuat pasien mudah lelah dan letih
i. Terkadang tanpa gejala
Pada keadaan tertentu, tubuh sudah dapat beradaptasi dengan peningkatan
glukosa darah
Komplikasi DM diklasifikasikan menjadi dua yaitu komplikasi akut dan
komplikasi kronis:
a. Komplikasi Akut
Ada tiga komplikasi akut pada DMyang penting dan berhubungan dengan
gangguan keseimbangan kadar glukosa darah dalam jangka waktu pendek. Ketiga
komplikasi tersebut adalah hipoglikemia, ketoasidosis diabetik dan sindrom koma
hiperglikemik hiperosmolar non ketotik (HHNK) (Smeltzer & Bare, 2009)
b. Komplikasi Kronis
Komplikasi ini adalah akibat lama dan beratnya hiperglikemia (Bandero ,
Dayrit, Siswadi, 2009). Komplikasi jangka panjang atau komplikasi kronis
semakin terlihat pada penderita DM yang berumur panjang, komplikasi ini dapat
menyerang semua sistem organ ditubuh. Kategori komplikasi kronis adalah
penyakit makrovaskuler, mikrovaskular dan neoropati (Smeltzer & Bare, 2009)
2.1.8. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan DM tipe 2 secara umum bertujuan untuk
meningkatkankualitas hidup pasien. Penatalaksanaan DM tipe 2 terdiri dari
penatalaksanaan jangka pendek dan penatalaksanaan jangka panjang. Tujuan
penatalaksanaan jangka pendek adalah menghilangkan tanda dan gejala DM tipe
2, mempertahankan rasa nyaman, dan mencapai target pengendalian glukosa
Tujuan penatalaksanaan jangka panjang adalah mencegah dan
menghambat progresivitas komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler, dan
neuropati diabetik. Tujuan akhir dari penatalaksanaan DM tipe 2 adalah turunnya
morbiditas dan mortalitas DM tipe 2 (Smeltzer & Bare, 2009; PERKENI, 2011).
Pengendalian glukosa darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid perlu
dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut, melalui pengelolaan pasien secara
holistik dengan mengajarkan perawatan mandiri dan perubahan perilaku
(Mansjoer dkk., 2005).
Menurut PERKENI (2011), ada 4 pilar penatalaksanaan DM, yaitu
edukasi, terapi nutrisi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis.
a. Edukasi
Edukasi memegang peranan yang sangat penting dalam penatalaksanaan
DM tipe 2 karena pemberian edukasi kepada pasien dapat merubah perilaku
pasien dalam melakukan pengelolaan DM secara mandiri. Pemberian edukasi
kepada pasien harus dilakukan dengan melihat latar belakang pasien, ras, etnis,
budaya, psikologis, dan kemampuan pasien dalam menerima edukasi. Edukasi
mengenai pengelolaan DM secara mandiri harus diberikan secara bertahap yang
meliputi konsep dasar DM, pencegahan DM, pengobatan DM, dan selfcare (IDF,
2005; Funnell et.al., 2008).
Materi edukasi terdiri dari materi edukasi tingkat awal dan tingkat lanjut.
Materi edukasi tingkat awal meliputi perjalanan penyakit DM, perlunya
nonfarmakologis, interaksi makanan, aktivitas, dan obat-obatan, cara pemantauan
glukosa darah mandiri, pentingnya latihan jasmani, perawatan kaki dan cara
mengatasi hipoglikemi. Sedangkan materi edukasi lanjut meliputi mengenal dan
mencegah penyulit akut DM, penatalaksanaan DM selama menderita penyakit
lain, makan di luar rumah, rencana untuk kegiatan khusus dan hasil penelitian
terkini dan teknologi mutakhir (PERKENI, 2011)
b. Terapi Nutrisi Medis
Terapi Nutrisi Medis (TNM) atau diet merupakan bagian dari
penatalaksanaan DM tipe 2. Kunci keberhasilan TNM adalah keterlibatan secara
menyeluruh dari tenaga kesehatan (dokter, ahli gizi, tenaga kesehatan yang lain
serta pasien dan keluarganya). Prinsip pengaturan nutrisi pada pasien DM tipe 2
yaitu makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori dan zat gizi
masing-masing individu. Pengaturan jadwal, jenis, dan jumlah makanan
merupakan aspek yang sangat penting untuk diperhatikan, terutama pada pasien
dengan terapi insulin (PERKENI, 2011; Smeltzer & Bare, 2009).
Bagi pasien yang obesitas, penurunan berat badan merupakan kunci dalam
penanganan DM. Secara umum penurunan berat badan bagi individu obesitas
merupakan faktor utama untuk mencegah timbulnya penyakit DM. Obesitas akan
disertai peningkatan terhadap insulin dan merupakan salah satu faktor etiologi
yang menyertai DM tipe 2.
Perhitungan kebutuhan kalori menggunakan rumus Brocca yaitu :
Status gizi: BB kurang (BB < 90% BBI), BB normal (BB = 90-110% BBI),
BB lebih (BB = 110-120% BBI), BB gemuk (BB >120% BBI)
Makanan dibagi atas 3 porsi besar: pagi (20%), siang (30%), sore (25%)
dan sisa untuk snack diantara makan pagi-siang dan siang sore. Selanjutnya
perubahan disesuaikan dengan pola makan pasien. Standar yang dianjurkan untuk
komposisi makanan adalah: Karbohidrat (KH) 45-65%, Protein 10-20%, Lemak
20-25% total asupan energi, Natrium 6-7 gr (1 sendok teh), serat ± 25g/1000
kkal/hari dan pemanis aman digunakan sepanjang tidak melebihi batas aman
(PERKENI, 2008).
c. Latihan jasmani
Latihan jasmani dilakukan secara teratur sebanyak 3-4 kali seminggu
selama kurang lebih 30 menit yang sifatnya CRIPE (Continous, Rhytmical,
Interval, Progressive, Endurance training). Prinsip CRIPE tersebut menjadi dasar
dalam pembuatan materi DSME yang memiliki arti latihan jasmani dilakukan
secara terus menerus tanpa berhenti, otot-otot berkontraksi dan relaksasi secara
teratur, gerak cepat dan lambat secara bergantian, berangsur-angsur dari latihan
ringan ke latihan yang lebih berat secara bertahap dan bertahan dalam waktu
tertentu. Latihan jasmani bertujuan untuk menjaga kebugaran tubuh, menurunkan
berat badan, dan memperbaiki sensitivitas insulin. Latihan jasmani yang
dianjurkan berupa latihan jasmani yang bersifat aerobik seperti jalan kaki,
bersepeda santai, jogging, dan berenang. Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan
dapat meningkatkan intensitas latihan jasmani, sedangkan pasien DM tipe 2 yang
mengalami komplikasi dapat mengurangi intensitas latihan jasmani (PERKENI,
2011.).
d. Intervensi farmakologis
Intervensi farmakologis meliputi pemberian obat-obatan kepada pasien DM tipe 2.
Obat-obatan yang diberikan dapat berupa obat oral dan bentuk suntikan. Obat
dalam bentuk suntikan meliputi pemberian insulin dan agonis GLP-1/incretin
mimetic (PERKENI, 2011). Berdasarkan cara kerjanya, obat hiperglikemik oral
(OHO) dibagi menjadi 5 golongan, yaitu pemicu sekresi insulin (misalnya
sulfonilurea dan glinid), peningkat sensitivitas terhadap insulin (misalnya
metformin dan tiazolidindion), penghambat glukoneogenesis (misalnya
metformin), penghambat absorpsi glukosa (misalnya penghambat glukosidase
alfa), dan DPP-IV inhibitor (Mansjoer dkk., 2005; PERKENI, 2011).
2.2. Edukasi
Edukasi adalah penambahan pengetahuan dan kemampuan seseorang
melalui teknik praktik belajar atau instruksi, dengan tujuan untuk mengingat fakta
atau kondisi nyata, dengan cara memberi dorongan terhadap pengarahan diri (self
direction), aktif memberikan informasi-informasi atau ide baru. Edukasi
merupakan serangkaian upaya yang ditujukan untuk mempengaruhi orang lain,
mulai dari individu, kelompok, keluarga dan masyarakat agar terlaksananya
Edukasi merupakan proses interaktif yang mendorong terjadinya
pembelajaran, dan pembelajaran merupakan upaya menambah pengetahuan baru,
sikap serta keterampilan melalui penguatan praktik dan pengalaman tertentu
(Potter & Perry, 2008). Notoatmodjo (2007) mengatakan bahwa pendidikan
(education) secara umum adalah sebagai upaya yang direncanakan untuk
mempengaruhi orang lain baik individu, kelompok atau masyarakat, sehingga
dapat melakukan apa yang diharapkan oleh pendidik. Dalam konteks kesehatan,
maka edukasi diberikan kepada pasien dan keluarganya sehingga dapat
mengambil keputusan yang tepat untuk meningkatkan kesehatannya.
2.3. Diabetes Self-Management Education (DSME)
2.3.1. Definisi DSME
Diabetes Self Management Education (DSME) adalah suatu proses
berkelanjutan yang dilakukan untuk memfasilitasi pengetahuan, keterampilan dan
kemampuan pasien DM untuk melakukan perawatan mandiri (Funnel et.al, 2008),
Menurut Jack et all (2004) DSME dilakukan dengan menggunakan metode
pedoman, konseling dan intervensi prilaku untuk meningkatkan pengetahuan
mengenai DM dan meningkatkan keterampilan individu dan keluarga dalam
pengelolaan DM.
DSME dapat dilakukan di berbagai metode, bisa dilakukan secara individu
maupun berkelompok. Metode individu biasanya dilakukan dalam setting rumah
komunitas, group diabetes, klas atau organisasi diabetes (Rickheim P.L, Weaver
T.W, Flader J, Kendall D.M, 2002).
2.3.2. Tujuan DSME
Tujuan DSME adalah mengoptimalkan kontrol metabolik dan kualitas
hidup pasien dalam upaya mencegah komplikasi akut dan kronis, sekaligus
mengurangi penggunaan biaya perawatan klinis (Norris et.al., 2002). Menurut
Funnell et.al. (2008) tujuan umum DSME adalah mendukung pengambilan
keputusan, perawatan diri, pemecahan masalah, dan kolaborasi aktif dengan tim
kesehatan untuk meningkatkan hasil klinis, status kesehatan, dan kualitas hidup
2.3.3. Prinsip DSME
Prinsip utama DSME menurut Funnell et.al. (2008) adalah pendidikan DM
efektif dalam memperbaiki hasil klinis dan kualitas hidup pasien meskipun dalam
jangka pendek, DSME telah berkembang dari model pengajaran primer menjadi
lebih teoritis yang berdasarkan pada model pemberdayaan pasien, tidak ada
program edukasi yang terbaik namun program edukasi yang menggabungkan
strategi perilaku dan psikososial terbukti dapat memperbaiki hasil klinis,
dukungan yang berkelanjutan merupakan aspek yang sangat penting untuk
mempertahankan kemajuan yang diperoleh pasien selama program DSME, dan
2.3.4. Komponen DSME
Menurut Schumacher dan Jancksonville (2005 dalam Rondhianto, 2012)
komponen dalam DSME yaitu:
a. Pengetahuan dasar tentang diabetes, meliputi definisi, patofisiologi dasar,
alasan pengobatan, dan komplikasi diabetes;
b. Pengobatan, meliputi definisi, tipe, dosis, dan cara menyimpan. Penggunaan
insulin meliputi dosis, jenis insulin, cara penyuntikan, dan lainnya.
Penggunaan Obat Hipoglikemik Oral (OHO) meliputi dosis, waktu minum
dan lainnya;
c. Monitoring, meliputi penjelasan monitoring yang perlu dilakukan, pengertian
tujuan, dan hasil dari monitoring, dampak hasil dan strategi lanjutan,
peralatan yang digunakan dalam monitoring, frekuensi, dan waktu
pemeriksaan;
d. Nutrisi, meliputi fungsi nutrisi bagi tubuh, pengaturan diet, kebutuhan kalori
jadwal makan, manjemen nutrisi saat sakit, kontrol berat badan, gangguan
makan dan lainnya;
e. Olahraga dan aktivitas, meliputi kebutuhan evaluasi kondisi medis sebelum
melakukan olahraga, penggunaan alas kaki dan alat pelindung dalam
berolahraga, pemeriksaan kaki dan alas kaki yang digunakan, dan pengaturan
kegiatan saat kondisi metabolisme tubuh sedang buruk;
f. Stres dan psikososial, meliputi identifikasi faktor yang menyebabkan
g. Perawatan kaki, meliputi insidensi gangguan pada kaki, penyebab, tanda dan
gejala, cara mencegah, komplikasi, pengobatan, rekomendasi pada pasien
jadwal pemeriksaan berkala;
h. Sistem pelayanan kesehatan dan sumber daya, meliputi pemberian informasi
tentang tenaga kesehatan dan sistem pelayanan kesehatan yang ada di
lingkungan pasien yang dapat membantu pasien
2.3.5. Tingkat Pembelajaran DSME
Menurut Jones et.al. (2008) tingkat pembelajaran DSME terbagi menjadi
tiga tingkatan, yaitu:
a. Survival/basic level
Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi
pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam
upaya mencegah, mengidentifikasi dan mengobati komplikasi jangka pendek.
b. Intermediate level
Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi
pengetahuan, keterampilan dan motivasi untuk melakukan perawatan diri dalam
upaya mencapai kontrol metabolik yang direkomendasikan, mengurangi resiko
komplikasi jangka panjang dan memfasilitasi penyesuaian hidup pasien.
c. Advanced level
Edukasi yang diberikan kepada pasien pada tingkat ini meliputi
upaya mendukung manajemen DM secara intensif untuk kontrol metabolik yang
optimal, dan integrasi penuh ke dalam kegiatan perawatan kehidupan pasien.
2.3.6. Pelaksanaan DSME
DSME dapat dilakukan secara individu maupun kelompok, baik di klinik
maupun komunitas (Norris et.al., 2002). Pelaksanaan DSME dapat dilakukan
sebanyak 4 sesi dengan durasi waktu antara 1-2 jam untuk tiap sesi (Central
Dupage Hospital, 2011), yaitu:
a. Sesi 1 membahas pengetahuan dasar tentang DM (definisi, etiologi,
klasifikasi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, diagnosis, pencegahan,
pengobatan, komplikasi);
b. Sesi 2 membahas pengaturan nutrisi/diet dan aktivitas/latihan fisik yang dapat
dilakukan;
c. Sesi 3 membahas perawatan kaki dan monitoring yang perlu dilakukan; dan
d. Sesi 4 membahas manajemen stress dan dukungan psikososial, dan akses
pasien terhadap fasilitas pelayanan kesehatan.
2.4. Efikasi Diri
2.4.1. Definisi Efikasi diri
Menurut Bandura (1977) efikasi diri adalah keyakinan seorang individu
mengenai kemampuannya dalam mengorganisasi dan menyelesaikan suatu tugas
yangdiperlukan untuk mencapai hasil tertentu. Efikasi diri yakni keyakinan bahwa
(Santrock, 2007) mengatakan bahwa efikasi diri berpengaruh besar terhadap
perilaku.
Efikasi diri pertama dikemukakan oleh Bandura yang merupakan teori
kognitif sosial (social cognitif theory). Teori ini memandang pembelajaran
sebagai penguasaan pengetahuan melalui proses kognitif informasi yang diterima.
Dimana sosial mengandung pengertian bahwa pemikiran dan kegiatan manusia
berawal dari apa yang dipelajari dalam masyarakat. Sedangkan kognitif
mengandung pengertian bahwa terdapat kontribusi influensial proses kognitif
terhadap motivasi, sikap, perilaku manusia. Secara singkat teori ini menyatakan,
sebagian besar pengetahuan dan perilaku anggota organisasi digerakkan dari
lingkungan, dan secara terus menerus mengalami proses berpikir terhadap
informasi yang diterima. Sedang proses kognitif setiap individu berbeda
tergantung keunikan karakteristik personalnya (Chairulmuslimna, 2009)
2.4.2. Proses Pembentukan efikasi diri
Proses efikasi diri mempengaruhi fungsi manusia bukan hanya secara
langsung, tetapi juga mempunyai pengaruh tidak langsung terhadap faktor lain.
Secara langsung, proses efikasi diri mulai sebelum individu memilih pilihan
mereka dan mengawali usaha mereka. Yang penting, langkah awal dari proses
tersebut tidak begitu berhubungan dengan kemampuan dan sumber individu,
tetapi lebih pada bagaimana mereka menilai atau meyakini bahwa mereka dapat
menggunakan kemampuan dan sumber mereka untuk menyelesaikan tugas yang
Menurut Bandura (1994) efikasi diri mengatur manusia melalui empat
proses utama yaitu :
a. Proses Kognitif
Efikasi diri mempengaruhi proses berpikir yang dapat meningkatkan atau
mempengaruhi performance dan bisa muncul dalam berbagai bentuk, antara lain
konstruksi kognitif dan inferential thinking.
Konstruksi Kognitif merupakan Sebagian besar tindakan yang pada
awalnya dibentuk dalam pikiran konstruksi kognitif tersebut kemudian hadir
sebagai penuntun tindakan. Keyakinaan orang akan efikasi diri nya akan
mempengaruhi bagaimana mereka menafsirkannya situasi dan tipe-tipe skenario
pengantisipasi dan menvinsualisasikan masa depan yang mereka gagas. Orang
memiliki efikasi diri yang tinggi akan memandang situasi yang dihadapi sebagai
sesuatu yang menghadirkan kesempatan yang dapat dicapai.
Inferential Thinking dimana sebagai fungsi utama berfikir adalah agar
orang mampu untuk memprediksi hasil dari berbagai tindakan yang berbeda dan
untuk menciptakan kontrol terhadap hal-hal yang mempengaruhi kehidupannya,
ketrampilan-ketrampilan dalam problem solving memerlukan pemrosesan kognitif
dari berbagai informasi yang kompleks, ambigu dan tidak pasti, secara efektif
fakta bahwa faktor-faktor prediktif yang sama mungkin memiliki predictor yang
berbeda menciptakan suatu ketidakpastian efikasi diri yang tinggi diperlukan
b. Proses Motivasional
Kemampuan untuk memotivasi diri dan melakukan tindakan yang
memiliki tujuan berdasarkan pada aktivitas kognitif. Orang memotivasi dirinya
dan membimbing tindakannya melalui pemikirannya. Mereka membentuk
keyakinan bahwa diri mereka bisa dan mengantisipasi berbagai kemungkinan
outcome positif dan negatif, dan mereka menetapkan tujuan dan merencanakan
tindakan yang dibuat untuk merealisasikan nilai-nilai yang diraih dimasa depan
dan menolak hal-hal yang tidak diinginkan.
c. Proses Afektif
Keyakinan seseorang mengenai kemampuannya dipengaruhi seberapa
banyak tekanan yang dialami ketika menghadapi situasi-situasi yang mengancam.
Reaksi-reaksi emosional tersebut dapat mempengaruhi tindakan baik secara
langsung maupun tidak langsung melalui pengubahan jalan pikiran. Orang
percaya bahwa dirinya dapat mengatasi situasi yang mengancam, menunjukkan
kemampuan oleh karena itu tidak merasa cemas atau terganggu oleh
ancaman-ancaman yang dihadapinya, sedangkan orang yang merasa bahwa dirinya tidak
dapat mengontrol situasi yang mengancam akan mengalami kecemasan yang
tinggi.
d. Proses Seleksi
Dengan menyeleksi lingkungan, orang mempunyai kekuasaan akan
menjadi apa mereka. Pilihan–pilihannya dipengaruhi oleh keyakinan kemampuan
personalnya. Orang akan menolak aktivitas-aktivitas dan lingkungan yang mereka
memilih lingkungan sosial yang mereka nilai dapat mereka atasi semakin tinggi
penerimaan efikasi diri, semakin menantang aktivitas yang mereka pilih.
2.4.3. Sumber efikasi diri
Efikasi diri seseorang berkembang melalui empat sumber utama yaitu
pengalaman pribadi/ pencapaian prestasi, pengalaman orang lain, persuasi verbal
serta kondisi fisik dan emosional (Bandura, 1994):
a. Pengalaman langsung dan pencapaian prestasi
Hal ini merupakan cara paling efektif untuk membentuk efikasi diri yang
kuat. Seseorang yang memiliki pengalaman sukses cenderung menginginkan hasil
yang cepat dan lebih mudah jatuh karena kegagalan. Beberapa kesulitan dan
kegagalan diperlukan untuk membentuk individu yang kuat dan mengajarkan
manusia bahwa kesuksesan membutuhkan suatu usaha, seseorang yang memiliki
keyakinan akan sukses mendorongnya untuk bangkit dan berusaha untuk
mewujudkan kesuksesan tersebut.
b. Pengalaman orang lain
Seseorang dapat belajar dari pengalaman orang lain dan meniru
perilakunya untuk mendapatkan seperti apa yang didapatkan oleh orang lain.
c. Persuasi Verbal
Persuasi verbal dapat mempengaruhi bagaimana seseorang bertindak atau
berperilaku. Dengan persuasi verbal, individu mendapat sugesti bahwa ia mampu
perilaku untuk mencapai kesuksesan tersebut dan sebaliknya seseorang dapat
menjadi gagal karena pengaruh atau sugesti buruk dari orang lain dan
lingkungannya.
d. Kondisi fisik dan emosional
Hambatan yang dapat mempengaruhi efikasi diri antara lain nyeri,
kelemahan, dan ketidaknyamanan demikian juga dengan kondisi fisik dan
emosional dapat mempengaruhi seseorang dalam mengambil keputusan terkait
efikasi dirinya.
2.4.4. Dimensi Efikasi Diri
Bandura (1977) mengajukan tiga dimensi efikasi diri, yakni: 1) Magnitude,
yang berkaitan dengan derajat kesulitan tugas, sejauh mana individu merasa
mampu dalam melakukan berbagai tugas dengan derajat tugas mulai dari yang
sederhana, yang agak sulit, hingga yang sangat sulit; 2) Generality, sejauh mana
individu yakin akan kemampuannya dalam berbagai situasi tugas, mulai dari
dalam melakukan suatu aktivitas atau situasi tertentu hingga dalam serangkaian
tugas atau situasi yang bervariasi. 3) Strength, kuatnya keyakinan seseorang
mengenai kemampuan yang dimiliki.
2.4.5. Faktor yang mempengaruhi efikasi diri
Perubahan perilaku didasari oleh adanya perubahan efikasi diri. Oleh
karena itu, efikasi diri dapat diperoleh, diubah, ditingkatkan maupun diturunkan,
tergantung pada sumbernya. Apabila sumber efikasi diri berubah maka perubahan
Berikut ini adalah sumber-sumber efikasi diri (Alwisol, 2006), antara lain :
a. Pengalaman Performansi (Performance Accomplishment)
Keberhasilan dan prestasi yang pernah dicapai dimasa lalu dapat
meningkatkan efikasi diri seseorang, sebaliknya kegagalan menghadapi sesuatu
mengakibatkan keraguan pada diri sendiri (self doubt). Sumber ini merupakan
sumber efikasi diri yang paling kuat pengaruhnya untuk mengubah perilaku.
Pencapaian keberhasilan akan memberikan dampak efikasi yang berbeda-beda,
tergantung proses pencapaiannya
Proses pencapaiannya terdiri dari 6 yaitu: Keberhasilan mengatasi tugas
yang sulit bahkan sangat sulit, akan meningkat efikasi diri individu. Bekerja
sendiri, lebih meningkatkan self-efficacy dibandingkan bekerja kelompok atau
dibantu orang lain. Kegagalan menurunkan efikasi diri, meskipun seorang
individu merasa sudah bekerja sebaik mungkin. Kegagalan yang terjadi ketika
kondisi emosi sedang tertekan dapat lebih banyak pengaruhnya menurunkan
efikasi diri, dibandingkan bila kegagalan terjadi ketika individu sedang dalam
kondisi optimal. Kegagalan sesudah individu memiliki efikasi diri yang kuat,
dampaknya tidak akan seburuk ketika kegagalan tersebut terjadi pada individu
yang efikasi diri-nya belum kuat. Individu yang biasanya berhasil, sesekali
mengalami kegagalan, belum tentu akan mempengaruhi efikasi diri-nya.
b. Pengalaman Vikarius (Vicarious Experiences)
Efikasi diri dapat terbentuk melalui pengamatan individu terhadap
Pengalaman tidak langsung meningkatkan kepercayaan individu bahwa mereka
juga memiliki kemampuan yang sama seperti model yang diamati saat dihadapkan
pada persoalan yang setara. Intensitas efikasi diri dalam diri individu ditentukan
oleh tingkat kesamaan dan kesesuaian kompetensi yang ada dalam model terhadap
diri sendiri. semakin setara kompetensi yang dimaksud maka individu akan
semakin mudah merefleksikan pengalaman model social sebagai takaran
kemampuan yang ia miliki. Dalam proses atensi individu melakukan pengamatan
terhadap model sosial yang dianggap merepresentasikan dirinya. Kegagalan dan
kesuksesan yang dialami model sosial kemudi
c. Persuasi Sosial (Social Persuasion)
Akan lebih mudah untuk yakin dengan kemampuan diri sendiri, ketika
seseorang didukung, dihibur oleh orang-orang terdekat yang ada disekitarnya.
Akibatnya tidak ada atau kurangnya dukungan dari lingkungan sosial juga dapat
melemhkan efikasi diri. Bentuk persuasi sosial bisa bersifat verbal maupun non
verbal, yaitu berupa pujian, dorongan dan sejenisnya. Efek dari sumber ini
sifatnya terbatas, namun pada kondisi yang tepat persuasi dari orang sekitar akan
memperkuat efikasi diri. Kondisi ini adalah rasa percaya kepada pemberi persuasi
dan dukungan realistis dari apa yang dipersuasikan.
d. Keadaan Emosi (Emotional and Psychological)
Keadaan emosi yang mengikuti suatu perilaku atau tindakan akan
mempengaruhi efikasi diri pada situasi saat itu. Emosi takut, cemas, dan stress
yang kuat dapat mempengaruhi efikasi diri namun, bisa juga terjadi peningkatan
terlibat dalam aktivitas yang membutuhkan stamina yang kuat, namun tubuh
merasa mudah lelah, nyeri atau pegal dapat melemahkan efikasi diri karena
merasa fisik tidak mendukung lagi. Sehingga peningkatan efikasi diri dapat
dilakukan dengan menjaga dan meningkatkan status kesehatan fisik.
2.4.6. Perkembangan efikasi diri selama masa kehidupan
a. Bersumber dari diri sendiri (origins of sense of personal agency)
Bayi yang baru dilahirkan akan mengembangkan rasa keberhasilannya
melalui eksplorasi bagaimana pengalaman yang memberikan efek terhadap
lingkungan sekitarnya. Getaran pada box bayi atau tangisan akan membawa orang
dewasa mendekatinya sehingga bayi belajar bahwa tindakan akan menghasilkan
efek. Bayi yang berhasil mengendalikan peristiwa lingkungannya akan menjadi
lebih perhatian terhadap prilakunya sendiri dan merasa berbeda dengan bayi yang
lainnya (Bandura, 1994)
b. Efikasi diri yang bersumber dari keluarga (Familial sources of self-efficacy)
Bayi dan anak-anaknya harus terus belajaruntuk mengembangkan
kemampuan kognitif dan keterampilan fisik untuk mengetahui dan mengelola
berbagai situasi social. Perkembangkan kemampuan sensori motorik akan
memperluas lingkungan kemampuan eksplorasi bayi dan anak-anak dalam
bermain. Tersedianya peluang ini akan memperbesar keterampilan dasar dan rasa
keberhasilan. Pengamalan akan kesuksesan dalam menjalankan control pribadi
adalah pengembangan awal kompetensi social dan kognitif yang berpusat di
c. Memperluas efikasi diri melalui pengaruh kelompok (broading of
self-efficacy trough peer influences)
Seseorang yang masuk dalam sebuah kelompok akan memperluas
kemampuan pengetahuannya. Sebahagian besar pembelajaran sosial akan terjadi
di antara anggota kelompok memberikan pengaruh yang besar pada efikasi diri
anggotanya. Anggota kelompok akaPerbedaan usia juga akan mempengaruhi
efikasi diri seseorang. Pengaruh rasa efikasi diri rendah kepada anggota kelompok
akan mempengaruhi efikasi diri anggota kelompok lainya, begitupun sebaliknya
(Bandura, 1994)
d. Sekolah sebagai pembentukan kognitif efikasi diri (school of an agency
forndura, cultivating cognitive self-efficacy)
Sekolah adalah tempat untuk mengembangkan kompetensi kognitif.
Anak-anak menembangkan kompetensi kognitif dan pengetahuannya dalam
memecahkan masalah dengan berpartisipasi aktif di masyarakat. Kemampuan
kognitif dan pengetahuan yang dimiliki akan menjadi dasar bagi pembentukan
keyakinan akan keberhasilan. Sehingga pengalaman keberhasilan dan kegagalan
yang dialami akan membentuk efikasi diri bagi anak-anak (Banura, 1994).
e. Pertumbuhan efikasi diri melalui pengalaman transisi masa remaja (Growth of
self-efficacy through transitional experience of adolescernce)
Remaja belajar memikul penuh tanggung jawab pribadi disemua dimensi
kehidupan. Kompetensi baru dan keyakinan akan sebuah keberhasilan perlu terus
dikembangkan. Remaja memperluas dan memperkuat rasa keberhasilannya
efikasi diri dibangun melalui penguasaan pengalaman sebelumnya (Bandura,
1994)
f. Efikasi diri masa dewasa (self-efficacy concerns of adulthood)
Dewasa muda adalah masa ketika orang harus belajar memenuhi
kebutuhan baru yang timbul karena kemitraan, hubungan perkawinan, orang tua
ataupun pekerjaan. Pemenuhan kebutuhan baru tersebut dapat terpenuhi dengan
efikasi diri yang tinggi. Mereka yang memasuki usia dewasa muda dengan
keterampilan yang kurang akan merasa tidak yakin dengan diri sendiri dalam
menghadapi berbagai aspek kehidupan yang menimbulkan stress dan tekanan.
Pengalaman kemampuan dan keterampilan dalam mengelola motivasi, emosional
dan proses berfikir akan meningkatkan pengaturan afikasi diri seseorang
(Bandura, 1994)
g. Menilai kembali efikasi diri melalui bertambahnya usia (Reappraisals of
self-efficacy with advancing age)
Dimensi generalisasi berfokus pada kekuatan atau keyakinan dalam
melakukan sebuah usaha. Harapan yang lemah bisa disebabkan oleh pengalaman
yang buruh. Tetapi bila seseorang mempunyai harapan yang kuat mereka akan
tetap berusaha walaupun mengalami sebuah kegagalan (Bandura, 1994)
2.4.7. Cara Meningkatkan Efikasi Diri
Strategi untuk meningkatkan motivasi dan efikasi diri pada pasien
kesehatan melalui pendekatan diabetes self management education (DSME),
empowerment, dan motivational interviewin (Lakhanpal, 2007)
Pendekatan pendidikan kesehatan dengan metode DSME tidak hanya
menggunakan metode ceramah, penyuluhan baik langsung atau tidak langsung
namun telah berkembang dengan mendorong partisipasi dan kerjasama pasien dan
keluarganya. Pada DSME tidak hanya memberikan informasi tentang penyakit
dan ketrampilan teknikal saja, metode ini juga berisi tentang ketrampilan
menyelesaikan masalah (problem solving), koping, dan manejemen diri diabetes.
Tujuan DSME selain meningkatkan pengetahuan tentang diabetes, yang paling
utama adalah meningkatkan efikasi diri dan motivasi pasien untuk menjalankan
perawatan DM. DSME dapat diberikan oleh dokter, perawat, kader kesehatan
yangterlatih atau orang yang hidup dengan penyakit kronis (Bodenheimer, Lorig,
Holmadan Grumbach, 2002 dalam Lakhanpal, 2007).
Pasien yang diberi edukasi dan pedoman dalam perawatan diri dengan
terstruktur dan bertahap akan mengubah pola hidupnya, sehingga dapat
mengontrol kadar glukosa darah dengan baik. Intervensi DSME yang diberikan
kepada pasien dapat meningkatkan aspek kognisi dan afeksi pasien DM dan
keluarganya secara simultan akan mempengaruhi peninfkatan prilaku sehat
pasien. Prilaku sehat tersebut terdiri dari monitoring kadar glukosa darah secara
mendiri, perencanaan diet, latihan jasmani dan istirahat yang cukup, konsumsi
Atak (2007) mengatakan bahwa Peningkatan efikasi diri sebagai hasil dari
intervensi jangka pendek berupa edukasi karena pasien berpikir mereka bisa
dengan mudah melakukan kegiatan yang diharapkan dari mereka karena
pengetahuan yang didapat dari edukasi tentang mengelola penyakit mereka dapat
mengubah perilaku manajemen diri.
Teaching (pendidikan kesehatan) merupakan intervensi untuk
meningkatkan pengetahuan pasien tentang DM dan perawatannya, yang dapat
meningkatkan motivasi dan efikasi diri pasien. Perawat perlu melakukan
pendidikan kesehatan terstruktur dan berkala dalam waktu tertentu untuk
meningkatkan pengetahuan pasien. Selain itu bisa juga dengan membuat suatu
kelas untuk pendidikan kesehatan yang dapat dievaluasi baik melalui penelitian
atau hasil diagnostik seperti hasil laboratorium (Ariani, 2011)
Hasil penelitian Temple (2003) tentang pengaruh diabetes self-care
management education terhadap efikasi diri, perawatan diri dan penilaian
psikologis pada pasien diabetes menunjukkan hasil bahwa diabetes self-care
management education yang dilakukan memfasilitasi peningkatan prilaku
perawatan diri pasien pada masalah diet, olah raga dan pemeriksaan glukosa
darah, namun tidak terhadap pengobatan
2.5. Landasan Teori
2.5.1. Sejarah Dorothea Orem
yang berisi tentang edisi pertama diperluas pada keluarga, kelompok dan
masyarakat. Tahun 1985 mempublikasikan buku kedua yang berisi tentang tiga
teori, yaitu: Theory self care, theory self care deficit, theory system keperawatan..
Dalam bidang keperawatan dapat dikatakan bahwa ahli Keperawatan dari
Amerika, adalah Dorothea E. Orem, termasuk salah seorang yang terpenting
diantara orang yang mengembangkan pandangan dalam bidang Keperawatan.
2.5.2. Self-Care Ceficit Theory of Nursing
Self-Care Deficit Theory of Nursing yang dikembangkan oleh Dorothea Orem
terdiri dari tiga teori umum yang saling berkaitan, yaitu :
a. The Theory of Self-Care
Untuk memahami tentang teori perawatan diri, perlu dipahami terlebih
dahulu mengenai konsep dasar perawatan diri (self-care), kemampuan perawatan
diri (self-care agency), faktor yang mempengaruhi perawatan diri (basic
conditioning factors), dan terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic self-care
demand).
Perawatan diri (self-care) adalah pelaksanan aktivitas individu yang
berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dalam mempertahankan hidup, kesehatan
dan kesejahteraan. Jika perawatan diri dapat dilakukan dengan efektif, maka dapat
membantu individu dalam mengembangkan potensi dirinya. (Orem, 1991)
Kemampuan perawatan diri (self-care agency) adalah kemampuan
individu untuk terlibat dalam proses perawatan diri. Kemampuan ini berkaitan
Faktor yang mempengaruhi perawatan diri (basic conditioning factor)
yang terdiri dari faktor usia, jenis kelamin, status kesehatan, orientasi sosial
budaya, sistem perawatan kesehatan, kebiasaan keluarga, pola hidup, faktor
lingkungan dan keadaan ekonomi. Terapi kebutuhan perawatan diri (therapeutic
self-care demand), yaitu tindakan yang dilakukan sebagai bantuan untuk
memenuhi syarat perawatan diri.
b. The Theory of Self-Care Deficit
Teori ini merupakan inti dari teori keperawatan Orem. Teori ini
mengambarkan kapan keperawatan dibutuhkan. Keperawatan diperlukan ketika
individu tidak mampu atau mengalami keterbatasan dalam memenuhi syarat
perawatan diri yang efektif. Keperawatan diberikan jika tingkat kemampuan
perawatan diri lebih rendah dibandingkan dengan kebutuhan perawatan diri atau
kemampuan perawatan diri seimbang dengan kebutuhan namun hubungan deficit
dapat terjadi selanjutnya akibat penurunan kemampuan, peningkatan kualitas dan
kuantitas kebutuhan atau keduanya.
Teori self care deficit diterapkan bila anak belum dewasa, kebutuhan
melebihi kemampuan perawatan, kemampuan sebanding dengan kebutuhan tetapi
diprediksi untuk masa yang akan datang, kemungkinan terjadi penurunan
kemampuan dan peningkatan kebutuhan.
Dalam pemenuhan perawatan diri sendiri serta membantu dalam proses
penyelesaian masalah, Orem memiliki metode untuk proses tersebut diantaranya;
support baik secara fisik atau psikologis, meningkatkan pengembangan
lingkungan untuk pengembangan pribadi serta mengajarkan atau memberi
pendidikan pada orang lain.
Inti dari teori ini menggambarkan manusia sebagai penerima perawatan
yang tidak mampu memenuhi kebutuhan perawatan dirinya dan memiliki berbagai
keterbatasan-keterbatasan dalam mencapai taraf kesehatannya. Perawatan yang
diberikan didasarkan kepada tingkat ketergantungan; yaitu ketergantungan total
atau parsial. Defisit perawatan diri menjelaskan hubungan antara kemampuan
seseorang dalam bertindak/beraktivitas dengan tuntutan kebutuhan tentang
perawatan diri. Sehingga bila tuntutan lebih besar dari kemampuan, maka ia akan
mengalami penurunan/defisit perawatan diri.
Self care adalah kemampuan individu untuk melakukan perawatan diri.
Perawatan diri dapat mengalami gangguan atau hambatan bila seseorang jatuh
pada kondisi sakit atau kondisi yang melelahkan seperti stress fisik dan
psikologis. Self care deficit terjadi bila agen self care atau orang yang
memberikan perawatan diri baik pada diri sendiri maupun pada orang lain tidak
dapat memenuhi kebutuhan perawatan diri individu dan lebih memberikan self
care theraupetic. Nursing agency menggunakan kegiatan gabungan berarti bahwa
kegiatan perawat perlu dikoordinasi, dilakukan secara serentak atau berhubungan
dengan layanan asuhan keperawatan yang akan diberikan. Seseorang yang
melakukan kegiatan ini harus mempunyai pengetahuan tentang asuhan
keperawatan yang diberikan sehingga dapat mengambil suatu keputusan yang
c. The Theory of Nursing System
Nursing system adalah bagian dari pertimbangan praktek keperawatan
yang dilakukan oleh perawat berdasarkan koordinasi untuk mencapai kebutuhan
perawatan diri (self-care demand) pasiennya dan untuk melindungi dan
mengontrol latihan/pengembangan dari kemampuan perawatan diri pasien
(self-care agency).
Orem (1991) mengidentifikasi tiga klasifikasi dari sistem keperawatan
berdasarkan kemampuan pasien dalam mencapai syarat pemenuhan perawatan
diri.
1) Wholly Compensatory System
Sistem penyeimbang keperawatan menyeluruh merupakan suatu tindakan
keperawatan dengan memberikan kompensasi penuh kepada pasien disebabkan
karena ketidakmampuan pasien dalam memenuhi tindakan keperawatan secara
mandiri. Sistem penyeimbang keperawatan menyeluruh dibutuhkan ketika
perawat harus menjadi peringan bagi ketidakmampuan total seorang pasien dalam
hubungan kegiatan merawat yang membutuhkan tindakan penyembuhan dan
manipulasi. Perawat mengambil alih pemenuhan kebutuhan self caresecara
menyeluruh kepada pasien yang tidak mampu, misal: pada pasien koma atau
pasien bayi.
2) Partly Compensatory System
Sistem penyeimbang sebagian yaitu sistem keperawatan dalam
pasien yang memerlukan bantuan secara minimal. Perawat mengambil alih
beberapa aktifitas yang tidak dapat dilakukan oleh pasien dalam memenuhi
kebutuhan self care-nya, dijalankan pada saat perawat dan pasien menjalankan
intervensi perawatan atau tindakan lain yang melibatkan tugas manipulatif atau
penyembuhan, misal: pasien usia lanjut, pasien stroke dengan kelumpuhan.
3) Supportive-Educative System
Sistem yang mendukung/mendidik yaitu tindakan keperawatan yang
bertujuan untuk memberikan dukungan dan pendidikan agar pasien mampu
melakukan perawatan mandiri. Perawat memberikan pendidikan kesehatan atau
penjelasan untuk memotivasi melakukan self care, tetapi yang melakukan self
care adalah pasien sendiri, misal: mengajarkan pasien merawat lukannya,
mengajarkan bagaimana menyuntik insulin. Diperlukan pada situasi dimana
pasien harus belajar untuk menjalankan ketentuan yang dibutuhkan secara
eksternal atau internal yang ditujukan oleh therapeutic self care, namun tidak
dapat melakukan tanpa bantuan. Metode bantuan diantaranya: tindakan, panduan,
Gambar 2.1 Sistem Dasar Teori Orem
2.5.3. Kaitan Teori Dengan Penelitian
Keperawatan diperlukan ketika individu tidak mampu atau mengalami
keterbatasan dalam memenuhi syarat perawatan diri yang efektif. Keperawatan
diberikan jika tingkat kemampuan perawatan diri lebih rendah dibandingkan
dengan kebutuhan perawatan diri atau kemampuan perawatan diri seimbang
dengan kebutuhan namun hubungan deficit dapat terjadi selanjutnya akibat
penurunan kemampuan, peningkatan kualitas dan kuantitas kebutuhan atau
Dalam pemenuhan perawatan diri sendiri serta membantu dalam proses
penyelesaian masalah, orem memiliki metode untuk proses tersebut diantaranya;
bertindak atau berbuat untuk orang lain, sebagai pembimbing orang lain, memberi
support baik secara fisik atau psikologis, meningkatkan pengembangan
lingkungan untuk pengembangan pribadi serta mengajarkan atau memberi
pendidikan pada orang lain
DM jika tidak dikelola dengan baik akan mengakibatkan terjadinya bagai
penyulit menahun. Jika kadar glukosa darah dapat selalu dikendalikan dengan
baik, diharapkan semua penyulit manahun tersebut dapat dicegah paling tidak
sedikit dihambat (Suyono dkk, 2011). Pengobatan yang dianjurkan di 2012 klinik
panduan dari American Diabetes Association untuk memastikan kontrol glikemik
dan mencegah komplikasi pada pasien DM meliputi pengobatan nutrisi, aktivitas
fisik, insulin pengobatan oral, pemantauan glukosa darah mandiri dan DM
pendidikan pengelolaan diri (ADA, 2012). Jadi pasien DM perlu mengatur
kembali pengobatan nutrisi medis dan aktivitas fisik, jika perlu, menggunakan
pemantauan obat dan glukosa darah untuk mengevaluasi hasil kegiatan perawatan
diri. Pasien DM harus belajar bagaimana untuk mengevaluasi diri, memutuskan
tindakan apa yang perlu diambil untuk mengurus kebutuhan mereka, dan
melakukan tindakan-tindakan, dan tindakan ini akan menjadi mungkin dengan
pendidikan tentang DM . Teori self-care deficit Orem bisa menjadi panduan
yang berguna pada diabetes manajemen diri pendidikan untuk meningkatkan
Dari Supportive-Educative System Orem juga jelas dikatakan bahwa
Sistem yang mendukung/mendidik yaitu tindakan keperawatan yang bertujuan
untuk memberikan dukungan dan pendidikan agar pasien mampu melakukan
perawatan mandiri. Edukasi diperlukan pada situasi dimana pasien harus belajar
untuk menjalankan ketentuan yang dibutuhkan secara eksternal atau internal yang
ditujukan oleh therapeutic self care, namun tidak dapat melakukan tanpa bantuan.
Metode bantuan diantaranya: tindakan, panduan, pelajaran, dukungan dan
memberikan lingkungan yang membangun
DSME merupakan cara edukasi yang diberikan kepada pasien DM yang
merupakan suatu proses yang memfasilitasu pengetahuan, keterampilan dan
kemampuan perawatan mandiri (self care behavior) yang sangat dibutuhkan oleh
pasien DM dimana nantinya melalui edukasi tersebut pasien DM akan dapat
mengubah pola hidupnya, sehingga dapat mengontrol kadar glukosa darah dengan
2.7. Kerangka Konsep
Variabel Independen Variabel Dependen
Gambar 2.3 Kerangka Konsep Penelitian
Edukasi Efikasi Diri
Diabetes Self
Management Education (DSME :
1. Pengetahuan DM 2. Diet
3. Latihan Fisik
4. Senam Kaki dan perawatan kaki 5. Manajemen Stres dan
dukungan psikososial
Perubahan Prilaku :
1. Pengontrolan KGD 2. Pengelolaan Diet 3. Latihan Fisik
teratur
4. Manajemen Stress 5. Pencegahan