AZAZ PERLINDUNGAN DALAM PENGANGKATAN ANAK
(Studi Komparatif Antara Hukum Adat, Hukum Perdata dan Hukum Islam)
A. Latar Belakang Masalah
Pasangan seorang pria dan seorang wanita yang telah membentuk suatu hubungan rumah tangga dalam suatu ikatan perkawinan memiliki naluri ataupun fitra sebagai makhluk sosial guna melangsungkan hidupnya. Selain membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warahmah.1 Atau sebagaimana dinyatakan dalam
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, bahwa tujuan perkainan adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Perkawinan memiliki makna tujuan lain yang tidak tertulis yaitu meneruskan keturunan.
Membentuk keluarga yang bahagia sangat serat hubungannya dengan keturunan. Akan tetapi tidak seluruh perkawinan melahirkan keturunan yang kelak akan menerima akibat-akibat hukumnya sebagai anak kandung. Sementara itu jika dipaksakan ingin memiliki anak, maka jalan yang dilakukan adalah dengan melakukan upaya pengangkatan anak, yaitu menjadikan anak orang lain sebagai anaknya. Pengangkatan anak inilah yang kemudian menjadi pendorong bagi pasangan suami istri untuk memiliki anak, sehingga terjadilan perpindahan anak
dari satu kelompok keluarga ke dalam kelompok keluarga yang lain.2 Selanjutnya
istilah ini dikenal dengan istilah pengangkatan anak (adopsi).
Pengangkatan anak merupakan salah satu peristiwa hukum yang terjadi sebagai akibat, meski bukan satu-satunya, karena perkawinan itu sendiri tidak memiliki keturunan atau anak. Tingginya frekuensi pengangkatan anak di dalam masyarakat diduga sebagai akibat perkawinan yang tidak menghasilkan keturunan. Sehingga muncullah stigma, apabila suatu perkawinan tidak memperoleh keturunan, tujuan perkawinan dipandang tidak tercapai. Sebaliknya apabila di dalam suatu perkawinan telah melahirkan keturunan, tujuan perkawinan dianggap telah tercapai dan proses pelanjutan generasi dapat berjalan.3
Sebagai akibat hukum dari peristiwa pengangkatan anak, maka peristiwa ini merupakan bagian hukum kekeluargaan, dengan demikian ia melibatkan persoalan dari setiap yang berkaitan dengan hubungan antara manusia.4
Pengangkatan anak sendiri menurut hukum Islam tidak bisa dijadikan dasar dan sebab mewaris, karena prinsip pokok dalam kewarisa Islam adalah hubungan nasab atau arham.5 Dengan kata lain bahwa peristiwa pengangkatan anak menurut
hukum kewarisan Islam, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status kewarisan anak angkat. Dalam hukum Islam, apabila bukan merupakan anak sendiri, tidak mewarisi dari orang yang telah mengangkat anak tersebut.
Pengangkatan anak juga tidak terlepas dari pengaruh hukum adat. Dalam masyarakat hukum adat, pengangkatan anak dilakukan untuk mengayomi,
2 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum. Sinar Grafika, Jakarta, cet v, 2006, hal. 7-8
3 Soerjono Soekanto, Hukum Adat di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001, hal. 25
4 Muderis Zaini, Op.Cit, hal. 30
membantu dan memberikan perlindungan hukum terhadap anak angkat. Dalam tradisi masyarakat adat, pengangkatan anak melalui sebuah proses adat. Proses pengangkatan anak yang dipimpin oleh petua adat, dimaksudkan agar seseorang yang dijadikan sebagai anak angkat akan mengetahui hak dan kewajibannya sebagai anak angkat dan sebaliknya orang tua angkatpun mengetahui hak dan kewajibannya sebbagai orang tua angkat.6
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW) yang kita warisi dari Pemerintah Hindi Belanda sendiri tidak mengenal peraturan mengenai lembaga pengangkatan anak.7 Hanya bagi golongan Tionghoa saja yang diadakan
pengaturannya secara tertulis dalam Staatsblad tahun 1917 No. 129 bahwa Kitab Undang-Undang Perdata Indonesia (BW) tidak memuat peraturan mengenai adopsi.
Selanjutnya bagaimana menyangkut aspek perlindungan anak itu sendiri, karena sejatinya anak merupakan amanah sekaligus sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa, bahkan anak dianggap sebagai harta kekayaan yang paling berharga dibandingkan dengan kekayaan harta benda lainnya. Oleh karena itu, sebagai ammanah Tuhan harus senantiasa dijaga dan dilindungi karena dalam diri anak melekat harkat martabat dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Ini merupakan amanat yang ditegaskan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Anak.8
6 M. Hasballah Thaib, Hukum Keluarga Dalam Syariat Islam, Medan, Fakultas Hukum Universitas Dharmawangsa, 1993, hal. 12.
7 Ali Afandi, Hukum Keluarga Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Yayasan Badan Penerbit Gajah Mada, Yogyakarta, 2002, hal. 57
Sebagai kenyataan sosial yang tidak terbantahkan bahwa keinginan mempunyai anak adalah hal yang manusiawi dan alamiah, namun demikian melihat ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia, akhirnya masyarakat terbentur oleh eksistensi adopsi di Indonesia sendiri, oleh karena banyak ketidakksinkronan apabila kita menelaah tentang eksistensi lembaga adopsi itu sendiri dalam sumber-sumber hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik hukum barat yang bersumber dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (BW), hukum adat yang merupakan “the living law” yang berlaku di Indonesia maupun hukum Islam yang merupakan konsekuensi logis dari masyarakat Indonesia yang mayoritas mutlak beragama Islam.9 Dalam BW
tidak diatur tentang masalah adopsi atau lembaga pengangkatan anak. Dalam beberapa pasal BW hanya menjelaskan masalah pewarisan dengan istilah “anak luar kawin” atau anak yang diakui (erkend kind). 8
Pengangkatan anak untuk kesejahteraan anak yang dilakukan diluar adat dan kebiasaan dilaksanakan berdasarkan Peraturan Per Undang-Undangan yang tercantum dalam Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Sedangkan menurut hukum adat terdapat keanekaragaman hukum yang berbeda, antara daerah yang satu dengan daerah lainnya, sesuai dengan perbedaan lingkaran hukum adat, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Van Vollenhoven. Hukum adat merupakan salah satu sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan unifikasi hukum sehubungan dengan hal itu perlu ditinjau terlebih dahulu hukum adat itu, apa lagi
dalam perkembangannya sekarang. Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1978 mencantumkan peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional dengan antara lain pembaharuan kodifikasi dan unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.10
Dengan demikian tentunya akan terdapat beberapa perbedaan pada masing- masing daerah hukum di Indonesia, tentang masalah status anak angkat itu. Dalam pembagian hukum perdata materil adopsi terletak dalam lapangan hukum keluarga. Hukum keluarga adalah semua kaidah-kaidah yang mengatur dan menentukan syarat-syarat, dan cara mengadakan hubungan abadi serta seluruh akibat hukumnya.10 Dalam hukum Islam lebih tegas dijelaskan, bahwa
pengangkatan seorang anak dengan pengertian menjadikannya sebagai anak kandung didalam segala hal, tidak dibenarkan. Hal ini sesuai dengan pembahasan Al Ustadz Umar Hubies dalam bukunya “Fatawa”. Hanya yang perlu digaris bawahi disini adalah bahwa larangan yang dimaksudkan adalah pada status pengangkatan anak menjadi anak kandung sendiri, dengan menempati status yang persis sama dalam segala hal. Dalam BW tidak dikenal kedudukan anak angkat itu sendiri, tetapi khusus bagi orang-orang yang termasuk golongan Tionghoa, lembaga adopsi ini diatur dalam Staatsblad 1917 nomor 129. Dalam hukum adat masih terdapat ketentuan-ketentuan yang beraneka ragam, namun demikian masih pula terdapat titik tautnya, sesuai dengan keekaan dari keanekaragaman budaya bangsa Indonesia yang tercermin dalam bentuk lambang negara Indonesia. Dalam
hukum Islam ada indikasi tidak menerima lembaga adopsi ini dalam artian persamaan status anak angkat dengan anak kandung.
Adopsi adalah suatu lembaga hukum yang terletak di Bidang Hukum Perdata, khususnya Hukum Perorangan dan Kekeluargaan. Lembaga Adopsi ini berbeda-beda pada negara yang satu dibandingkan negara yang lain dan keanekaragaman ini menimbulkan persoalan Vorfrage (Persoalan Pendahuluan) dan Anpassung (Penyesuaian) dalam negara-negara yang bersangkutan. Sebagai contoh dapat dikemukakan seorang anak adopsi Belgia yang ayah adopsi Belgianya ketabrak mobil dan meninggal dunia. Apakah anak adopsi ini dapat dianggap merupakan “anak” seperti yang dimaksudkan oleh pasal 1370 KUHPerdata dan karenanya akan diperbolehkan atau tidak mengajukan gugatan ganti kerugian karena perbuatan melanggar hukum.
pengangkatan anak yang sah. Sehingga dari thesa ini, penulis tertaris untuk mengkaji lebih dalam mengenai pengangkatan anak dengan membatasi pada perbandingan antara pengangkatan anak menurut perspektif hukum Islam dengan judul tesis: Azaz Perlindungan Dalam Pengangkatan Anak (Studi Komparatif Antara Hukum Adat, Hukum Perdata dan Hukum Islam)
B. Rumusan Masalah
Untuk tidak meluasnya permasalahan yang hendak diteliti, maka penulisan tesis ini membatasi permasalahannya pada beberapa hal yang perlu diidentifikasikan, yaitu:
1. Bagaimana proses pengangkatan anak angkat menurut hukum adat, hukum perdata dan hukum Islam?
2. Bagaimana aspek perlindungan terhadap anak angkat dalam sistem hukum adat, hukum perdata dan hukum Islam?
C. Tujuan Penelitian
Dari penelitian yang hendak dilakukan, penulis mempunyai tujuan sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui proses pengangkatan anak angkat menurut hukum adat, hukum perdata dan hukum Islam.
D. Kegunaan Penelitian
Sebuah karya tulis di buat dapat memberikan suatu manfaat, demikian pula yang diharapkan dari penulisan skripsi ini. Adapun manfaat dari penulisan tesis ini adalah:
1. Secara teoritis, penulisan tesis ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian terhadap perkembangan hukum khususnya yang berkaitan dengan
pengangkatan anak. Di samping itu, skripsi ini juga akan dapat memberikan
sumbangan pikiran yuridis terhadap perkembangan hukum agar nantinya
lebih dapat mengikuti atau bahkan mengimbangi perkembangan teknologi
informasi yang semakin cepat. Selain itu juga diharapkan agar dapat
memberikan pemahaman dan wawasan ilmiah baik secara khusus maupun
secara umum berkenaan dengan tata cara pengangkatan anak.
2. Secara praktis, dapat memberikan wawasan mengenai tata cara pengangkatan anak yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,serta
sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah tesis ini dan
bahkan dapat digunakan sebagai pedoman bagi peneliti-peneliti berikutnya.
Dan untuk aparat peradilan dan praktisi hukum serta berbagai pihak lainnya
dapat lebih bersungguh-sungguh memperdalam dan mengkaji tentang aspek
perlindungan dalam lembaga pengangkatan anak.
Adopsi berasal dari kata “adoptie” Bahasa Belanda, atau “adopt” (adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak.
Dalam bahasa Arab disebut “tabanni” yang menurut Prof. Mahmud Yunus diartikan dengan “mengambil anak angkat”. Pengertian dalam bahasa Belanda menurut Kamus Hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak kandungnya sendiri. Jadi disini penekanannya pada persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak sebagai anak kandung. Ini adalah pengertian secara
literlijk, yaitu (adopsi) di masukkan kedalam bahasa Indonesia berarti anak angkat
atau mengangkat anak.
Dalam praktik pengangkatan anak di Indonesia mempunyai beberapa
tujuan antara lain untuk meneruskan keturunan jika dalam suatu perkawinan tidak
memperoleh keturunan. Motivasi ini sangat kuat terhadap orang tua yang hendak
melakukan pengangkatan anak bberdasarkan adat istiadat setempat maupun
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ketentuan ini sangat
memberikan jaminan perlindungan bagi anak angkat terhadap orang tua
angkatnya.
Sebagai sebuah perbuatan hukum yang bertujuan untuk memberi
status/kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama seperti kandung.
Maka adanya anak angkat ialah karena seorang mengambil anak atau di jadikan
anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin seorang anak
laki-laki atau seorang anak perempuan.11 Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia
menyebutkan anak angkat adalah anak orang lain yang diambil dan disamakan
dengan anak sendiri.
Menurut Hilman Hadikusuma, anak angkat adalah anak orang lain yang
dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat
setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau
pemeliharaan atas kekayaan rumah tangganya.12 Pada dasarnya pengangkatan
anak merupakan suatu upaya dalam rangka mensejahterakan anak, khususnya
anak angkat, hal ini tampak dari ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak. dalam Undang-undang ini mengatur secara tegas
motif dan anak yang dikehendaki dalam pengaturan hukum tentang pengangkatan
anak, yaitu untuk kepentingan kesejahteraan anak angkat tersebut seperti yang
tertuang dalam Pasal 12 Undang-undang tersebut. Kemudian pada Tahun 1983
dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun
1983, yang merupakan penyempurnaan dari Surat Edaran Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak. Surat
Edaran tersebut merupakan petunjuk dan pedoman bagi para hakim dalam
mengambil putusan atau penetapan bila ada permohonan pengangkatan anak.
Pada Tahun 1984 dikeluarkan Keputusan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan
Pengangkatan Anak. Maksud dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Sosial ini
adalah sebagai suatu pedoman dalam rangka pemberian izin, pembuatan laporan
sosial serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak, agar terdapat
kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib administrasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengingat banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas
pelaksanaan pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak dilakukan tanpa
melalui prosedur yang benar, pemalsuan data, perdagangan anak, bahkan telah
terjadi jual beli organ tubuh anak. Untuk itu perlu pengaturan tentang pelaksanaan
pengangkatan anak, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh
masyarakat, yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang
merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Pengertian perlindungan anak berdasarkan pasal 1 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah bahwa perlindungan
anak merupakan suatu kegiatan untuk menjamin anak dan hak-haknya agar dapat
hidup, tumbuh, berkembang danberpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat
dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan
diskriminasi.
dan orang tua kandung adalah bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, hal ini penting diperhatikan oleh karena pengaruh agama orang tua angkat terhadap anak angkat hanya memiliki satu arus arah dari orang tua angkat terhadap anak angkatnya, jika hal ini terjadi maka akan sangat melukai hati dan nurani serta akidah orang tua kandung anak angkat tersebut.13
Hubungan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus oleh lembaga pengangkatan anak, dan orang tua kandung tetap memiliki hak untuk menjalankan hak dan kewajibannya sebagai orang tua kandung, oleh karena itu orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal usul dan orang tua kandungnya. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.14
Pengangkatan anak yang didasarkan pada adat istiadat setempat dalam komunitas juga masih melakukan pengangkatan anak secara jelas dan tunai. Yang dimaksud dengan hukum adat ialah hukum yang berlaku bagi penduduk pribumi sebagai terjemahan dari bahasa Belanda “adat rech”yang digunakan pertama kali oleh Prof C. Snouck Hourgronje15.
Pada mulanya pengangkatan anak (adopsi) dilakukan semata-mata untuk melanjutkan dan mempertahankan garis keturunan dalam suatu keluarga yang tidak dapat memiliki keturunan. Disamping itu juga untuk mempertahankan ikatan perkawinan sehingga tidak timbul perceraian, tetapi sejalan dengan perkembangan
13 Budiarto M., Pengangkatan Anak ditinjau Dari Segi Hukum, Jakarta: Akademika Pressindo, 1991 14 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Pengangkatan Anak, Pasal 40
masyarakat, tujuan adopsi telah berubah menjadi untuk kesejahteraan anak. Hal ini tercantum dalam pasal 12 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak yang berbunyi : “Pengangkatan anak menurut adat dan kebiasaan dilaksanakan dengan mengutamakan kepentingan kesejahteraan anak.”16
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, secara tegas menyatakan bahwa tujuan pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.17 Ketentuan
ini sangat memberikan jaminan perlindungan bagi anak yang sifatnya memang sangat tergantung dari orang tuanya.
Gagasan bahwa dalam pengangkatan anak harus mempertimbangkan kepentingan anak yang diangkat, hal ini dapat ditemui dalam Penetapan Pengadilan Negeri Bandung No.30/1970 Comp. Tanggal 26 Februari 1970, tetapi sikap ini dengan tegas dinyatakan dalam Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, ketentuan dalam pasal 12 ayat (1) dan ayat (3) UU Kesejahteraan Anak. Sikap ini kemudian diikuti oleh Mahkamah Agung RI dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983 tentang Penyempurnaan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1979. Kemudian Pasal 39 ayat (1) UU Perlindungan Anak serta pelaksanaannya, yaitu Peraturan Pemerintah No.54 Tahun 2007 tentang Pengangkatan Anak (Pasal 2).
16 Pasal 12 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1979 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
Pengangkatan anak semakin kuat dipandang dari sisi kepentingan yang terbaik bagi si anak sebagai sarana untuk meningkatkan kesejahteraan anak, untuk memperbaiki kehidupan dan masa depan si anak yang akan diangkat.18 Hal ini
tidak berarti melarang calon orang tua angkat mempunyai pertimbangan lain yang sah dalam mengangkat anak, seperti ingin mempunyai anak karena tidak mempunyai anak kandung, tetapi didalam pengangkatan anak, sisi kepentingan anak angkatlah yang harus menjadi pertimbangan utama.
Mengenai adanya kepentingan terbaik bagi calon anak angkat dengan pengangkatan yang tercermin dalam permohonan untuk mendapatkan suatu penetapan atau putusan pengadilan. Pada masa lalu, berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 1983, adanya kepentingan anak harus dinyatakan atau diindikasikan dalam surat permohonan untuk penetapan atau putusan yang ditujukan ke Pengadilan. Sekarang indikasi tersebut dimanifestasikan dalam bentuk surat pernyataan tertulis dari calon orang tua angkat yang dilampirkan dalampermohonan untuk penetapan atau putusan pengadilan.
Walau demikian, tentu masih ada juga penyimpangan-penyimpangan, seperti,ingin menambah/mendapatkan tenaga kerja yang murah. Adakalanya keluarga yang telah mendapatkan anak kandung, merasa perlu untuk mengangkat anak, yang bertujuan menambah tenaga kerja dikalangan keluarga atau merasa kasihan terhadapanak terlantar itu.
Dari uraian di atas diatas terlihat bahwa pada dasarnya latar belakang seseorang melakukan pengangkatan anak adalah karena tidak memiliki keturunan, untuk mempertahankan sebuah ikatan perkawinan atau kebahagiaan, adanya harapan atau kepercayaan akan mendapatkan anak atau pancingan. Apapun alasan-alasan yang melatarbelakangi seseorang untuk melakukan pengangkatan anak, orang tua angkat harus dapat memperhatikan kesejahteraan anak yang diangkatnya.
Harus disadari bahwa pengangkatan anak yang sesuai dengan budaya dan akidah masyarakat Indonesia tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya. Hal ini disebutkan dalam pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 54 tahun 2007, bahwa pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya.19 Hal sensitif yang juga harus disadari oleh calon orang tua angkat
dan orang tua kandung adalah bahwa calon orang tua angkat harus seagama dengan agama yang dianut oleh calon anak angkat, hal ini penting diperhatikan oleh karena pengaruh agama orang tua angkat terhadap anak angkat hanya memiliki satu arus arah dari orang tua angkat terhadap anak angkatnya, jika hal ini terjadi maka akan sangat melukai hati dan nurani serta akidah orang tua kandung anak angkat tersebut.
Hubungan nasab anak angkat dengan orang tua kandungnya tidak terputus oleh lembaga pengangkatan anak, dan orang tua kandung tetap memiliki hak untuk menjalankan hak dan kewajibannya sebagai orang tua kandung, oleh karena itu orang tua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal
usul dan orang tua kandungnya. Pemberitahuan asal usul dan orang tua kandungnya dengan memperhatikan kesiapan anak yang bersangkutan.
F. Metode Penulisan
Setiap penelitian ilmiah haruslah menggunakan metode penelitian yang
sesuai agar dapat diperoleh hasil penelitian yang validitas yang tinggi. Metode
penelitian adalah menggunakan secara teknis tentang metode yang digunakan
dalam penelitian, dalam menarik suatu kesimpulan, jika telah disertai bukti yang
menyakinkan dan bukti-bukti harus jelas dan data dievaluasi penyelenggaraanya.20
Jadi suatu metode harus dipilih berdasarkan pada kesesuaian terhadap masalah
yang akan diteliti, yang nantinya berhasil atau tidaknya suatu penelitian sangat
tergantung pada metode yang dipakai, maka dalam skripsi ini menggunakan
metode penelitian sebagai berikut:
1. Metode pendekatan.
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah sebagai usaha
mendekati masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai
dengan kenyataan yang hidup dalam masyarakat.
2. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah bersifat deskriptif
analitis. Penelitian jenis ini adalah penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan gambaran yang diteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya. Tujuannya sendiri adalah untuk membuat deskripsi,
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.21
3. Jenis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis data, yaitu data sekunder
adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan, yaitu dari bahan
dokumentasi atau bahan yang ditulis berupa peraturan perundang-undangan,
buku-buku, laporan-laporan, dan sebagainya yang berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti, yang terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, seperti Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak dan
surat edaran mahkamah agung republik Indonesia nomor 3 tahun 2005
tentang pengangkatan anak.
b. Bahan hukum sekunder, yaitu hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti rancangan undang-undang,
naskah akademik, makalah dan lain sebagainya.
c. Bahan hukum tertier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan tentang bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus,
ensiklopedia, indeks kumulatif dan lain sebagainya.
4. Sumber data
Sumber-sumber yang digunakan adalah sumber data sekunder terutama
hal-hal yang berkaitan dengan peraturan perundang-undanngan yang menyangkut
pengangkatan anak. Untuk data sekunder ini disebut legal research
dikategorikan ke dalam 3 langkah, yaitu:
a. Penelitian yang bersifat hukum positif
b. Penelitian yang berupa usaha-usaha penemuan asas-asas dan dasar falsafahh hukum positif
c. Penelitian yang berupa usaha penemuan hukum inconcreto yang sesuai untuk diterapkan dalam menyelesaikan suatu masalah tertentu.
5. Metode analisis data
Data yang dikumpulkan selengkap dan seteliti mungkin untuk mempertegas
gejala-gejala yang ada dan selanjutnya dilakukan pengelolaan dan analisis
data. Hal ini dimaksudkan untuk merangkai dan menginterpretasikan serta
pengambilan kesimpulan atas data yang diperoleh itu. Analisis data adalah
proses mengorganisasikan dan mengumpulkan data ke dalam pola, kategori
dan satuan uraian, dasar sehingga dapat diketemukan dan dapat dirumuskan
hipotesis kerja yang disarankan oleh data.22
Metode analisis data yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah analisis
kualitatif yaitu suatu metode dan taktik pengumpulan datanya memakai
metode observasi yang berperan serta dengan wawancara terbatas terhadap
beberapa responden. Analisis kualitatif ini ditujukan terhadap data-data yang
sifatnya berdasarkan kualitas, mutu, dan sifat yang nyata berlaku dalam
masyarakat.23
22 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Press, Jakarta, 1986, hal. 43
G. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasan harus
diuraikan secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka
diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab-bab
yang saling berangkai satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini
adalah:
BAB I : Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar, yang di
dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah,
kemudian dilanjutkan denngan tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan
kepustakaan, metode penulisan, yang kemudian diakhiri oleh sistematika
penulisan.
BAB II : Merupakan gambaran umum tentang pengangkatan anak dimana
di uraikan mengenai pengertian pengangkatan anak, sejarah lahirnya
pengangkatan anak, akibat hukum pengangkatan anak,dan dasar hukum
pengangkatan anak.
BAB III: Merupakan pembahasan mengenai bentuk pelaksanaan
pengangkatan anak (adopsi) di Indonesia berdasarkan sudut pandang Hukum adat,
hukum perdata dan hukum Islam di mana didalamnya akan diuraikan tentang,
pengangkatan anak, Prosedur Pelaksanaan Pengangkatan Anak (adopsi) menurut
peraturan per undang-undangan yang berlaku saat ini yang di mulai dari 1.
prosedur penyerahan bayi / anak. 2. prosedur pelaksanaan pengangkatan anak
calon anak angkat warga negara Indonesia dan Calon orang tua angkat warga
negara asing (Inter country adoption).
BAB IV : Merupakan Bab yang membahas secara detail mengenai proses pengangkatan anak angkat menurut hukum adat, hukum perdata dan hukum Islam, Aspek perlindungan terhadap anak angkat dalam sistem hukum adat, hukum perdata dan hukum Islam.
BAB V : Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab yang telah di bahas
sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna bagi masyarakat yang kelak
yang ingin melakukan pengangkatan anak, pihak akademis dan orang-orang yang