• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study of Shelf Life of Pasteurized Tempe Vacuum Packed with HDPE and Aluminium Foil Packaging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study of Shelf Life of Pasteurized Tempe Vacuum Packed with HDPE and Aluminium Foil Packaging"

Copied!
100
0
0

Teks penuh

(1)

RATIH RISTANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Mempelajari Keawetan Tempe Pasteurisasi Tempe Dalam Vakum Kemasan HDPE dan Aluminium Foil adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

(3)

RATIH RISTANTI. Study of Shelf Life of Pasteurized Tempe Vacuum Packed with HDPE and Aluminium Foil Packaging. Under direction of PURWIYATNO HARIYADI and EKO HARI PURNOMO.

Tempe is very perishable food at room temperature. Several techniques used to process tempe for its preservation have been developed. These processing techniques include drying, frying, and canning have been used to achieve long

shelf life of tempe, with the significant loss of tempe’s freshness. The objective of

this research was to evaluate the effect of pasteurization process, as a milder heat treatment, in combination with vacuum packaging on extending shelf life of tempe. Using a target microbe of nonproteolytic C. botulinum with z value of 7.2

o

C and D85 of 0.28 minutes, the extent of pasteurization process was based on the

heat penetration data and calculated as Pv = P85(z=7.2). Our result indicated that

6D reduction of C. botulinum was easily achieved at all temperatures of pasteurization. Futhermore, from several combinations of time and temperature studied, the optimum pasteurization value resulted in maximum shelf life of pasteurized tempe. The optimum pasteurization values of tempe vacuum packed in HDPE and stored at 5, 15, and 20 oC were 35.05, 35.36 and 33.30 minutes. The associated maximum shelf life of the tempe were 24, 16, and 13 days. For tempe vacuum packed in aluminium foil and stored at 5, 15, and 20 oC, the optimum pasteurization values were 37.04, 35.44, and. 42.47 minutes. These optimum pasteurization values resulted in shelf life of 25, 17, and 12 days. Therefore, the longest shelf life of 25 days was obtained from P85(z=7.2)of 37 minutes by using

aluminium foil packaging and stored at 5oC. The anomaly observations, in which the shelf life was not proportional to the pasteurization value, was interesting and thought to be associated with complex microbiological nature of tempe as fermented soyfood.

(4)

RATIH RISTANTI. Mempelajari Keawetan Tempe Pasteurisasi Dalam Kemasan Vakum HDPE dan Aluminium Foil. Dibimbing oleh PURWIYATNO HARIYADI dan EKO HARI PURNOMO.

Potensi tempe di Indonesia cukup tinggi, namun belum diimbangi dengan sifat tempe yang mudah rusak dan umur simpan yang singkat pada suhu ruang. Oleh karena itu, untuk mengatasi permasalahan tersebut dibutuhkan metode pengawetan yang tepat. Salah satu metode pengawetan yang dapat dilakukan adalah pasteurisasi dan pengemasan vakum. Selama ini kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi yang digunakan masih ditujukan untuk menentukan umur simpan terpanjang dan penurunan kualitas yang minimum untuk suatu kondisi dan dimensi/ukuran tempe yang spesifik. Namun belum ada informasi parameter yang menentukan keawetan maksimum hasil aplikasi proses termal. Dalam rangka mengoptimasi aplikasi proses termal pada tempe diperlukan metode pengemasan yang tepat dan informasi tentang kinetika laju penurunan mutu tempe selama pengolahan. Dengan demikian perlu dilakukan penelitian terhadap kajian pengaruh jenis kemasan dan proses pasteurisasi terhadap mutu tempe.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan nilai pasteurisasi dari berbagai kombinasi perlakuan pasteurisasi, mempelajari pengaruh nilai pasteurisasi terhadap keawetan tempe yang dikemas vakum dalam HDPE dan alumunium foil, mempelajari pengaruh nilai pasteurisasi terhadap sifat fisik tempe, menentukan nilai pasteurisasi tempe yang dikemas dalam aluminium dan HDPE vakum, dan menentukan kinetika perubahan mutu tempe selama penyimpanan.

Penelitian ini bersifat eksploratif untuk menentukan pengaruh nilai pasteurisasi (Pv) terhadap keawetan tempe. Tahap kegiatan dilakukan dalam dua tahap, yaitu : penentuan nilai pasteurisasi dan evaluasi mutu sifat fisik tempe selama penyimpanan. Penelitian diawali dengan penentuan nilai pasteurisasi (Pv) dari berbagai kombinasi suhu dan waktu. Tempe dikemas vakum dengan kemasan HDPE dan aluminium foil. Selama proses pasteurisasi diperoleh data penetrasi panas yang selanjutnya digunakan untuk melihat profil perubahan suhu dari produk selama pemanasan dan menentukan nilai pasteurisasi. Suhu dan waktu yang digunakan adalah kisaran suhu 70–95

o

C dan kisaran waktu 0–40 menit. Pada tahap evaluasi mutu tempe hasil pasteurisasi, tempe hasil pasteurisasi selanjutnya disimpan pada suhu 5, 15, dan 20oC, dan diamati laju reaksi penurunan mutu (k). Pengamatan mutu meliputi pH, tekstur, daya iris, dan warna.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pasteurisasi (Pv) yang diperoleh dari berbagai kombinasi perlakuan berkisar antara 0 hingga 378 menit. Pada kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi yang sama, tempe yang dikemas dalam HDPE vakum memiliki Pv lebih tinggi dibandingkan tempe yang dikemas dalam aluminium foil vakum.

(5)

penyimpanan 5, 15, dan 20oC untuk kemasan vakum alumunium foil yaitu 37.04, 35.44, dan 42.47 menit. Keawetan maksimum yang diperoleh pada suhu penyimpanan 5, 15, dan 20oC untuk kemasan vakum aluminium foil yaitu 25, 17, dan 12 hari. Dengan demikian, keawetan terpanjang yaitu selama 25 hari yang diperoleh pada nilai pasteurisasi 37 menit dengan menggunakan kemasan vakum aluminium foil dan disimpan pada suhu 5oC.

Penurunan keawetan setelah nilai pasteurisasi optimum disebabkan terjadinya kompetisi antar mikroba pembusuk pada tempe. Proses pasteurisasi akan membunuh kapang, sehingga memberi kesempatan pada mikroba pembusuk. Umumnya mikroba pembusuk yaitu mikroba yang tahan panas. Pertumbuhan mikroba pembusuk yang merombak protein akan mengakibatkan terbentuknya senyawa-senyawa berbau busuk seperti bau amoniak dan terbentuknya gas. Adanya mikroba perombak protein akan mengakibatkan tempe cepat mengalami kebusukan.

Nilai pasteurisasi yang lebih dari 15 menit mengakibatkan kerusakan atau degradasi tempe dari parameter pH, tekstur, daya iris, dan warna semakin cepat. Selama penyimpanan, nilai konstanta laju perubahan (k) pH, tekstur, daya iris, dan warna semakin besar seiring dengan semakin tingginya nilai pasteurisasi setelah 15 menit. Namun nilai k semakin kecil dengan rendahnya suhu penyimpanan.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, untuk membuat keawetan yang lebih panjang maka disarankan untuk mengembangkan proses pemanasan dengan cara sterilisasi komersial.

(6)

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

RATIH RISTANTI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Nama : Ratih Ristanti

NIM : F251070121

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. Dr. Eko Hari Purnomo, STP, M.Sc.

Ketua Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(9)

NIM : F251070121

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. Dr. Eko Hari Purnomo, STP, M.Sc. Ketua Anggota

Diketahui

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, M.Sc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah swt atas segala karunia-Nya sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak April hingga November 2009 ini adalah keamanan pangan, dengan judul Mempelajari Keawetan Tempe Pasteurisasi Dalam Kemasan Vakum HDPE dan Aluminium Foil.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc dan Dr. Eko Hari Purnomo, STP, MSc selaku komisi pembimbing atas dukungan dan arahan yang diberikan baik selama proses penelitian hingga selesainya penulisan tesis ini. Tidak lupa saya ucapkan terima kasih kepada Dr. Ir Feri Kusnandar, M.Sc selaku penguji ujian tesis yang telah banyak memberi saran, Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi selaku Ketua Program Studi Ilmu Pangan, Bapak Gatot dan Ibu Rubiah beserta staf teknisi Laboraturium Departemen ITP FATETA IPB, Bapak Junaedi dan Bapak Deni beserta staf teknisi Laboraturium SEAFAST Center, yang telah membantu dalam memberikan dukungan dan fasilitas selama penelitian. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada suami tercinta Chamdani, mama, ibu, papa, abah, serta seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya, serta teman-teman IPN 2005-2008.

Semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membaca umumnya dan bagi penulis sendiri khususnya.

(11)

Penulis dilahirkan di Karawang pada tanggal 16 November 1985 dari ayah Ir. Suismono, M.Si dan ibu Rini Deliszar. Penulis merupakan putri pertama dari tiga bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari SMU Negeri 1 Karawang dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Brawijaya Malang melalui jalur PMDK. Penulis memilih Program studi Teknologi Hasil ternak, Fakultas Peternakan dan telah berhasil lulus sarjana pada bulan April 2007. Pada tahun 2007 penulis terdaftar sebagai mahasiswi pascasarjana Institut Pertanian Bogor pada program studi Ilmu Pangan.

(12)

xi

3.3 Prosedur Penelitian ... 16

3.3.1 Penentuan Nilai Pasteurisasi ... 16

3.3.2 Evaluasi Mutu Sifat Fisik Tempe Hasil Pasteurisasi Selama Penyimpanan ... 18

3.4 Pengamatan ... 18

3.4 1 Analisis pH ... 18

3.4 2 Analisis Tekstur ... 18

3.4 3 Analisis Daya Iris ... 19

3.4.4 Analisis Intensitas Warna ... 19

IV. HASIL DAN PEMBAHAN ... 20

4.1 Nilai Pasteurisasi Tempe ... 20

4.2 Korelasi Antara Nilai Pasteurisasi dan Umur Simpan Tempe ... 23

4.3 Perubahan Sifat Fisik Tempe Selama Penyimpanan ... 28

4.3.1 Nilai pH ... 28

4.3.2 Tekstur ... 33

4.3.3Slicing Quality (Daya Iris) ... 37

(13)

xii

(14)

xiii 1 Nilai gizi tempe dalam 100 g berat bahan yang dapat dimakan (Bdd) dan

100 g bahan kering ... 4

2 Standar mutu tempe menurut SNI 01-3144-1992 ... 5

3 Jenis mikroba yang banyak digunakan pada proses termal sebagai mikroba target dan karakteristik ketahanannya terhadap panas ... 14

4 Suhu minimum pertumbuhan beberapa mikroba patogen ... 15

5 Titik kritis tempe yang tidak layak konsumsi ... 24

(15)

xiv

1 Grafikthermal death time... 10 2 Tahapan penelitian ... 17 3 Profil data penetrasi panas pada pusat geometris tempe (7x7x3 cm) yang

dikemas dalam aluminium foil dan HDPE vakum selama pemanasan dan pendinginan pada suhu medium pemanas 95oC... 20 4 Korelasi antara waktu pemanasan dan pendinginan terhadap nilai

pasteu-risasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil dan HDPE pada suhu medium pemanas 95oC... 21 5 Kondisi tempe yang menunjukkan kerusakan. Penggelembungan kemasan

pada tempe yang dikemas vakum dalam HDPE (a), penggelembungan ke-masan pada tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil (b), penam-pakan tempe yang sudah menimbulkan bau asam, berlendir, dan tektur yang lembek (c), dan penampakan tempe yang sudah menimbulkan warna coklat kehitaman (d) ... 23 6 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan umur simpan tempe yang dikemas

dalam vakum aluminium foil (a) dan HDPE (b). Inset menunjukkan pola perubahan keawetan tempe pada Pv 0-70 menit. Garis menunjukkan pola keawetan tempe pada suhu penyimpanan 5oC, garis menunjuk-kan pola keawetan tempe pada suhu penyimpanan 15oC, dan garis

menunjukkan pola keawetan tempe pada suhu penyimpanan 20oC... 25 7 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan pH tempe yang dipanaskan dengan

Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil ... 29 8 Degradasi pH tempe yang dipanaskan dengan P85(z=7.2) = 122.12 menit dan

dikemas vakum dalam aluminium foil selama penyimpanan dalam penentu-an nilai k perubahpenentu-an pH ... 30 9 Nilai k perubahan pH selama penyimpanan pada tempe yang dipanaskan

dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil (a) dan HDPE (b) ... 31 10 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan energi aktivasi perubahan pH tempe

yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil ... 32 11 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan kedalaman penetrasi tempe yang

dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil ... 33 12 Degradasi pH tempe yang dipanaskan dengan P85(z=7.2) = 122.12 menit dan

(16)

xv 14 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan energi aktivasi perubahan tekstur

tem-pe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum da-lam HDPE dan aluminium foil ... 37 15 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan daya iris tempe yang dipanaskan

dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan

alumunium foil... 38 16 Degradasi daya iris tempe yang dipanaskan dengan P85(z=7.2) = 122.12 menit

dan dikemas vakum dalam aluminium foil selama penyimpanan dalam pe-nentuan nilai k perubahan daya iris ... 39 17 Nilai k perubahan daya iris selama penyimpanan pada tempe yang

dipanas-kan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil (a) dan HDPE (b) ... ... 40 18 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan energi aktivasi perubahan daya iris

tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil ... 41 19 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan warna tempe yang dipanaskan dengan

Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium

foil ... ... 42 20 Degradasi warna tempe yang dipanaskan dengan P85(z=7.2) = 122.12 menit

dan dikemas vakum dalam aluminium foil selama penyimpanan dalam

penentuan nilai k perubahan warna... 43 21 Nilai k perubahan warna selama penyimpanan pada tempe yang

dipanas-kan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil (a) dan HDPE (b) ... 44 22 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan energi aktivasi perubahan warna tempe

(17)

xvi

1 Persamaan kurva kalibrasi termokopel ... 54 2a Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil

pada suhu medium pemanas 70oC ... 54 2b Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil

pada suhu medium pemanas 75oC ... 55 2c Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil

pada suhu medium pemanas 80oC ... 56 2d Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil

pada suhu medium pemanas 85oC ... 56 2e Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil

pada suhu medium pemanas 90oC ... 57 2f Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil

pada suhu medium pemanas 95oC ... 58 3a Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada

su-hu medium pemanas 70oC ... 59 3b Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada

su-hu medium pemanas 75oC... 59 3c Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada

su-hu medium pemanas 80oC ... 60 3d Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada

su-hu medium pemanas 85oC ... 61 3e Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada

su-hu medium pemanas 90oC ... 61 3f Profil data penetrasi panas tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada

su-hu medium pemanas 95oC ... 62 4a Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada

su-hu medium pemanas 70oC ... 63 4b Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada

su-hu medium pemanas 75oC ... 63 4c Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada

su-hu medium pemanas 80oC ... 64 4d Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada

su-hu medium pemanas 85oC ... 65 4e Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil pada

(18)

xvii 5a Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu

medi-um pemanas 70oC ... 67 5b Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu

medi-um pemanas 75oC... 68 5c Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu

medi-um pemanas 80oC ... 68 5d Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu

medi-um pemanas 85oC ... 69 5e Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu

medi-um pemanas 90oC ... 70 5f Nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam HDPE pada suhu

medi-um pemanas 95oC ... 70 6a Rataan nilai pH tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil setelah

pasteurisasi ... 71 6b Rataan nilai pH tempe yang dikemas vakum dalam HDPE setelah pasteurisasi 71 7a Nilai k perubahan nilai pH tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil

selama penyimpanan ... 72 7b Nilai k perubahan nilai pH tempe yang dikemas vakum dalam HDPE selama

penyimpanan ... 72 8 Nilai energi nilai tekstur aktivasi tempe yang dikemas vakum dalam

alumini-um foil dan HDPE ... 72 9a Rataan nilai tekstur tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil setelah

pasteurisasi ... 73 9b Rataan nilai pH tempe yang dikemas vakum dalam HDPE setelah pasteurisasi . 73 10a Nilai k perubahan nilai tekstur tempe yang dikemas vakum dalam aluminium

foil selama penyimpanan ... 74 10b Nilai k perubahan nilai tekstur tempe yang dikemas vakum dalam HDPE

sela-ma penyimpanan ... 74 11 Nilai energi nilai tekstur aktivasi tempe yang dikemas vakum dalam

alumini-um foil dan HDPE ... 74 12a Rataan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil

sete-lah pasteurisasi ... 75 12b Rataan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam HDPE setelah

pasteu-risasi ... 76 13a Nilai k perubahan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam aluminium

(19)

xviii

14 Nilai energi nilai daya iris aktivasi tempe yang dikemas vakum dalam alumi-nium foil dan HDPE ... 77 15a Rataan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil

sete-lah pasteurisasi ... 78 15b Rataan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam HDPE setelah

pas-teurisasi ... 78 16a Nilai k perubahan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam

alumini-um foil selama penyimpanan ... 78 16bNilai k perubahan nilai daya iris tempe yang dikemas vakum dalam HDPE

selama penyimpanan ... 79 17 Nilai energi nilai daya iris aktivasi tempe yang dikemas vakum dalam

(20)

xix Tempe segar : Tempe yang memiliki aroma khas tempe, tekstur yang kompak, penampakan halus tanpa lendir, dan berwarna putih kekuningan.

Tempe busuk : Tempe yang telah menunjukkan perubahan fisik dan organoleptik seperti berbau asam atau amoniak, tekstur tidak kompak dan lunak, serta timbul lendir di permukaan tempe.

Kemasan vakum : Kemasan yang dirancang agar terjadi pengeluaran semua udara di dalam kemasan tanpa diganti dengan gas lain.

Proses termal : Proses pengawetan pangan dengan menggunakan suhu tinggi untuk menghasilkan produk pangan yang secara mikrobiologis aman dan mutu yang dapat diterima. Pasteurisasi : Proses pemanasan pada produk pangan dengan

menggunakan suhu relatif rendah (kurang dari 100oC) dengan tujuan untuk membunuh sel vegetatif (khususnya patogen) dan menginaktivasi enzim. Nilai D : Waktu yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba

pada suhu tertentu sebesar 1 siklus logaritma atau 90 %.

Nilai z : Perubahan suhu yang diperlukan untuk merubah nilai D sebesar 1 siklus logaritma.

Daya iris :Gaya yang diperlukan untuk mengiris/memotong Umur simpan atau keawetan : Waktu antara saat produksi dan pengemasan, sampai

(21)

xx

Pv = P85 : Nilai pasteurisasi

T : Suhu produk

Tref : Suhu referensi

k : Konstanta laju reaksi penurunan mutu Ea : Energi aktivasi

(22)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tempe merupakan produk pangan tradisional yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasi dengan menggunakan kapang Rhizopus. Tempe merupakan komoditas potensial sebagai sumber protein nabati. Potensi tempe di Indonesia cukup tinggi. Peningkatan konsumsi tempe didorong oleh kesadaran masyarakat tentang gizi dan manfaat tempe bagi kesehatan. Hardinsyah et al. (2008) menyebutkan bahwa rata-rata konsumsi produk tempe di Indonesia pada tahun 2007 yaitu 7.9 kg/kapita.

Potensi tempe yang tinggi tidak diimbangi dengan sifat tempe yang mudah rusak dan umur simpan yang singkat. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkan suatu metode pengawetan yang tepat.

Proses termal merupakan salah satu teknologi pengolahan bahan pangan tertua dan paling sederhana yang telah banyak diaplikasikan. Pengawetan dengan proses termal termasuk efektif dalam memperpanjang daya awet dan umur simpan pangan olahan. Studi aplikasi proses termal untuk memperpanjang umur simpan tempe telah banyak dilakukan seperti sterilisasi, penggorengan, dan pengalengan. Namun aplikasi proses termal yang menghasilkan tempe dengan karakteristik tempe segar masih belum tersedia.

Penelitian proses termal pada umumnya ditujukan untuk menentukan kombinasi suhu dan waktu pemanasan tempe yang menghasilkan umur simpan terpanjang dan penurunan kualitas yang minimum. Hasil tersebut berlaku untuk suatu kondisi dan dimensi/ukuran tempe yang spesifik. Sebagai akibatnya ditemukan berbagai kombinasi suhu dan waktu yang berbeda-beda tergantung kondisi penelitian yang dilakukan. Situasi ini menggiring pada suatu pertanyaan mendasar, parameter apakah yang menentukan keawetan maksimum hasil aplikasi proses termal.

(23)

selanjutnya, bagaimana laju penurunan mutu tempe selama proses pasteurisasi dan bagaimana tingkat sensitifitas laju penurunan mutu terhadap perubahan suhu? Informasi tersebut sangat diperlukan dalam rangka mengoptimasi aplikasi proses termal pada tempe.

Dalam rangka menunjang optimasi proses termal, metode pengemasan turut memegang peranan penting dalam pengawetan bahan pangan. Metode yang digunakan adalah pengemasan vakum. Jenis kemasan yang digunakan adalah kemasan yang dapat menahan laju transmisi gas oksigen dan laju transmisi uap air, yaitu kemasan HDPE dan aluminium foil.

Berdasarkan uraian di atas, maka diperlukan penelitian terhadap proses pasteurisasi tempe dalam kemasan HDPE dan alumunium foil vakum.

1.2 Rumusan Masalah

Potensi tempe yang tinggi tidak diimbangi dengan sifat tempe yang mudah rusak dan umur simpan yang singkat. Oleh karena itu, untuk mengatasi masalah tersebut dibutuhkan suatu metode pengawetan yang tepat. Pengawetan dapat dilakukan dengan proses pasteurisasi.

Dalam rangka mengoptimasi aplikasi metode pengemasan dan proses termal pada tempe, diperlukan parameter proses yang dapat menentukan keawetan tempe hasil aplikasi proses termal. Selanjutnya perlu diketahui berapakah nilai laju penurunan mutu tempe selama proses pasteurisasi serta bagaimana tingkat sensitifitas laju penurunan mutu terhadap perubahan suhu.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Menentukan nilai pasteurisasi dari berbagai kombinasi perlakuan pasteurisasi. 2. Mempelajari pengaruh nilai pasteurisasi terhadap keawetan tempe yang

dikemas vakum dalam HDPE dan alumunium.

(24)

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk :

1. Bahan informasi bagi produsen dan industri pengolahan tempe tentang penggunaan jenis kemasan dan proses pasteurisasi dalam mengurangi perubahan mutu tempe selama penyimpanan.

(25)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tempe dan Manfaatnya

Tempe merupakan produk pangan tradisional yang dibuat dari kacang kedelai yang difermentasi dengan menggunakan kapang Rhizopus. Jenis kedelai berkulit kuning lebih banyak dimanfaatkan untuk pembuatan tempe dibandingkan kedelai berkulit hitam (Purwanti 2004).

Pengolahan kedelai menjadi tempe bisa menyebabkan beberapa perubahan fisik dan kimia pada kedelai serta meningkatkan daya cerna tempe. Selama proses fermentasi terjadi penguraian dan penyederhanaan komponen-komponen yang terdapat pada kedelai. Proses tersebut terjadi akibat bekerjanya enzim-enzim seperti proteolitik, lipolitik, dan hidrolitik lainnya (Hermanianto 1996). Nilai gizi kedelai dan tempe secara terperinci disajikan pada Tabel 1, sedangkan standar mutu tempe menurut SNI 01-3144-1992 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 1 Nilai gizi tempe dalam 100 g berat bahan yang dapat dimakan (Bdd) dan 100 g bahan kering

Komposisi Proksimat Satuan Bdd Bahan Kering

Air g 55.3 0

As. Pantotenat μ g 232.4 520.0

Piridoksin μ g 44.7 100.0

Vitamin B12 μ g 1.7 3.9

Biotin μ g 23.7 53.0

(26)

Tabel 2 Standar mutu tempe menurut SNI 01-3144-1992

No Parameter Syarat mutu

1 Bau, warna, rasa Normal (khas tempe)

2 Kadar air (b/b) Maksimum 65 %

3 Kadar abu (b/b) Maksimum 1.5 %

4 Kadar protein (N x 6.25) (b/b) Minimum 20 %

5 Kadar lemak (b/b) Minimum 10 %

6 Serat kasar (b/b) Maksimum 2.5 %

7 Cemaran mikroba :

9 Cemaran Arsen Maksimum 1.0 mg/kg

Sumber : SNI 01-3144-1992

Dari data tersebut terlihat bahwa tempe memiliki kandungan protein yang cukup tinggi. Dari seluruh protein tempe, sekitar 56 persen dapat dimanfaatkan oleh manusia dan setiap 100 gram tempe segar dapat menyumbangkan 10.9 gram protein. Bila orang dewasa mengkonsumsi setiap hari 100 gram tempe, maka lebih dari 25 persen kebutuhan proteinnya telah dapat dipenuhi (Yeeet al.1999). Tempe memiliki rasa khas yang enak, tekstur yang menyerupai daging, dan nilai gizinya yang cukup tinggi. Keunggulan-keunggulan tempe lainnya yaitu kaya akan serat, mengandung antibiotik alami, ideal bagi penderita diabetes, dan ideal bagi penderita hipertensi (USDA 2001).

2.2 Kerusakan Tempe

(27)

kondisi tersebut ada aktivitas enzim dari bakteri kontaminan. Pada kelembaban yang tinggi atau suhu fermentasi tempe yang berlebihan, bakteri kontaminan akan beraktivitas. Dengan kondisi tersebut tempe menjadi basah dan berlendir, warna kecoklatan, rapuh, dan miselium tumbuh tidak merata.

Kerusakan tempe juga dapat disebabkan oleh perubahan nilai pH selama fermentasi. Selama fermentasi akan terjadi degradasi protein. Semakin lama proses fermentasi dari kondisi optimumnya, protein akan didegradasi oleh enzim-enzim proteolitik membentuk senyawa amonia. Koswara (1992) menyatakan bahwa terbentuknya amonia adalah penyebab kerusakan utama pada tempe. Produksi amonia ini akan berkorelasi positif dengan meningkatnya pH. Peningkatan pH akibat produksi amonia oleh aktivitas enzim ini menghasilkan bau busuk. Dengan demikian, semakin lama waktu fermentasi atau pemeraman maka mutu tempe yang dihasilkan akan semakin menurun.

2.3 Pengawetan Tempe

Bahan pangan hasil pertanian akan mengalami kerusakan, sehingga umur simpan bahan pangan menjadi terbatas. Hal yang perlu diperhatikan dalam memperpanjang umur simpan yaitu jenis bahan pangan yang akan diawetkan, jenis kerusakan yang dominan terjadi dan penyebabnya, serta penentuan metode pengawetan yang sesuai dengan sifat bahan pangan (Damayanthi dan Mudjajanto 1995).

Beberapa teknik pengawetan tempe menurut Shurtleff dan Aoyagi (1980) antara lain, yaitu : (1) penyimpanan pada suhu dingin, (2) pembekuan, (3) blansir, (4) pengeringan, (5) pengeringan beku (freeze drying) yang dilakukan dengan cepat, (6) pengeringan semprot (spray drying), (7) penggorengan, dan (8) pengalengan.

(28)

kombinasi suhu dan waktu yang menghasilkan tempe dengan umur simpan terpanjang dan penurunan kualitas yang minimum untuk suatu kondisi dan dimensi/ukuran tempe yang sangat spesifik. Kombinasi suhu dan waktu yang dihasilkan berbeda-beda tergantung kondisi penelitian yang dilakukan.

Lebih lanjut, Winarno (1985) mengemukakan terdapat teknik baru yang dapat memperpanjang umur simpan tempe, yaitu dengan menunda proses fermentasi. Fermentasi dilakukan pada saat tempe akan dikonsumsi.

Tujuan pengawetan tempe adalah untuk mengantisipasi kerusakan, memperpanjang umur simpan dan meningkatkan jumlah dan variasi makanan olahan berbahan baku tempe. Koswara (1992) menyatakan bahwa tujuan pengolahan dan pengawetan tempe adalah menghasilkan produk yang bernilai ekonomis lebih tinggi dan lebih awet serta sebagai usaha penganekaragaman pangan.

2.4 Pengemasan Vakum

Pengemasan memegang peranan penting dalam pengawetan produk. Bahan kemasan dapat berupa bahan logam maupun bahan lain seperti bermacam-macam plastik, gelas, kertas, karton, dan aluminium foil. Kemasan dapat membantu mengurangi atau mencegah terjadinya kerusakan, melindungi bahan pangan yang ada di dalamnya, melindungi dari bahaya pencemaran, maupun bahaya fisik seperti gesekan, benturan, tumpukan dan getaran (Sugiyonoet al. 2004).

Fungsi perlindungan dari pengemasan perlu memperhatikan aspek-aspek mutu yang akan dilindungi. Mutu produk ketika sampai ke konsumen tergantung pada kondisi produk, metode pengolahan, dan kondisi penyimpanan. Kemasan dapat digolongkan berdasarkan berbagai hal antara lain : frekuensi pemakaian, struktur sistem kemasan, sifat kekakuan bahan kemas, sifat perlindungan terhadap lingkungan, dan tingkat kesiapan pakai.

(29)

plastik untuk kemasan pangan (food grade). Pemilihan kemasan yang tepat bertujuan untuk menghindari munculnya bahaya bagi kesehatan.

Selain plastik, jenis kemasan lain yang sering digunakan adalah aluminium foil. Pengemasan dengan menggunakan aluminium foil dapat melindungi produk dari udara, penguapan, perpindahan panas, kontaminasi dan kontak dengan bahan kimia. Santosoet al. (2004) menyatakan bahwa kemasan plastik dan alumunium foil mudah di dapat di pasaran, harga relatif murah, bersifat fleksibel atau mudah dibentuk.

Untuk memperpanjang umur simpan tempe, maka beberapa perlakuan dapat dilakukan, antara lain dengan pengemasan vakum. Pengemasan vakum adalah pengeluaran semua udara di dalam kemasan tanpa diganti dengan gas lain (Roth 1992). Kemasan vakum dibuat dengan memasukkan produk ke dalam plastik, diikuti dengan pemompaan udara keluar kemudian ditutup, setelah itu kemasan direkatkan dengan panas (Jay 2000). Dengan demikian akan terjadi perbedaan tekanan antara bagian dalam kemasan dengan bagian luar (Faradissa 1996). Proses pengvakuman dalam kemasan bertujuan untuk menurunkan kandungan udara di dalam kemasan, termasuk oksigen. Kandungan oksigen yang rendah mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Menurut Peterson et al. (1999) dalam Nugroho (2007) rendahnya oksigen yang terdapat di dalam kemasan mengakibatkan terhambatnya pertumbuhan mikroba seperti Pseudomonas,Moraxella,Acinetobacter,Flavobacterium, danCytophaga.

Dennis (1983) dalam Ersan (1986) menyebutkan bahwa tujuan dari kevakuman suatu kemasan adalah : (1) untuk memindahkan unsur-unsur dalam atmosfer yang dapat menyebabkan reaksi fisik atau kimia selama proses, (2) untuk mengganggu keseimbangan yang ada pada ruangan mormal seperti memindahkan gas terlarut atau terikat atau cairan yang mudah menguap dari sebagian besar bahan, (3) memperluas jarak, sehingga partikel bergerak bebas tanpa benturan antara sumber dan sasaran, (4) mengurangi banyaknya tumbukan molekul tiap detik, sehingga mengurangi kontaminasi permukaan.

(30)

(Sacharow dan Griffin 1980). Plastik yang umumnya digunakan untuk pengemasan vakum adalahpolietilen (PE),polipropilen (PP) dannilon/polietilen (Ni/Pe).

Jenis kemasan vakum dapat digunakan pula untuk tujuan proses termal. Jenis kemasan yang dapat digunakan pada proses pasteurisasi adalah kemasan yang tahan terhadap suhu pemanasan yang tinggi, dapat menahan laju transmisi gas oksigen dan uap air. Tampubolon et al. (1996) dalam penelitiannya menyatakan bahwa pembuatan bandeng presto dalam kemasan High Density Polyethylene (HDPE) menghasilkan karakteristik kimiawi, mikrobiologi dan organoleptik terbaik selamaprecooking pada suhu 121oC selama 30 menit serta sterilisasi pada suhu 121oC selama 45 menit.

2.5 Pasteurisasi

Proses pasteurisasi merupakan proses pemanasan pada suhu dan waktu tertentu (umumnya dilakukan pada suhu di bawah 100 oC). Panas digunakan untuk membunuh mikroba pembusuk dan patogen, sehingga dapat meningkatkan keamanan dan memperpanjang daya awet bahan pangan dalam jangka waktu tertentu. Kusnandaret al. (2006) menyatakan bahwa pasteurisasi bertujuan untuk mengurangi populasi mikroba pembusuk. Bahan pangan yang dipasteurisasi tersebut akan mempunyai daya awet beberapa hari sampai dengan beberapa bulan.

Pasteurisasi biasanya dilakukan pada produk yang mudah rusak apabila dipanaskan atau tidak dapat disterilisasi secara komersial. Pasteurisasi membunuh semua mikroba psikofilik, mesofilik dan sebagian yang bersifat termofilik. Biasanya pasteurisasi dipadukan dengan teknik penyimpanan pada suhu rendah. Tujuannya untuk mencegah pertumbuhan mikroba termofilik yang suhu pertumbuhan minimumnya cukup tinggi.

(31)

tercapai, produk tersebut diangkat dan dicelupkan ke dalam bak lain yang berisi air dingin (Toledo 1991).

Proses pasteurisasi dalam sistem sinambung menggunakan konveyor yang secara sinambung akan mentransportasikan produk masuk melalui bak air panas dan akhirnya melalui bak air pendingin. Waktu pemanasan dapat dikendalikan dengan mengendalikan kecepatan konveyor. Keuntungan dengan sistem ini adalah proses pemanasan akan berjalan lebih cepat, sehingga tidak membutuhkan ruangan yang terlalu besar (Toledo 1991).

Proses pasteurisasi dapat dilakukan sebelum dikemas atau setelah dikemas. Proses pasteurisasi yang dilakukan sebelum dikemas dapat menerapkan sistem sinambung. Teknologi ini terutama memproses produk cair (susu, sari buah, dan telur cair) ataupun produk semi padat (pasta, yoghurt, dan bubur), dimana proses pemanasannya dapat dilakukan dengan alat penukar panas (heat exchanger) yang umumnya beroperasi secara sinambung.

Proses pasteurisasi setelah dikemas dilakukan dengan mengemas dahulu bahan pangan dalam kemasan (misal gelas, kaleng, atau plastik). Setelah pasteurisasi, bahan pangan didinginkan kembali sampai mencapai suhu sekitar 40 oC untuk mengevaporasi sisa-sisa air. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya proses korosi dan mempermudah proses penempelan dan pengeleman label pada permukaan bahan pengemas (Kusnandaret al. 2006).

(32)

Gambar 1 Grafikthermal death time

Nilai pasteurisasi (Pv) dapat ditentukan dengan menggunakan uji waktu kematian termal atau thermal death time (TDT) (Gambar 1). Berdasarkan Gambar 1 dapat dijabarkan sebagai berikut:

 

referensi (Tref), dan m adalah slope dari grafik.

Penetapan kecukupan proses pasteurisasi didasarkan atas dua faktor, yaitu ketahanan panas mikroba dan kecepatan panas berpenetrasi ke dalam produk pangan yang dikemas selama pasteurisasi. Ketahanan panas mikroba tergantung pada target mikroba yang harus dibunuh. Untuk menentukan waktu yang diperlukan untuk membunuhnya hingga mencapai level tertentu diperlukan nilai D dan nilai z (Kusnandaret al. 2006).

Kecepatan penetrasi panas terhadap produk diperoleh dengan menentukan profil hubungan suhu dan waktu pemanasan selama proses pasteurisasi. Profil

Pv

Pv

(33)

pindah panas dari medium pemanas ke dalam bahan perlu diketahui untuk menghitung nilai pasteurisasi. Umumnya proses pasteurisasi di industri menerapkan sistembatch. Sistem ini tidak berlangsung pada suhu konstan tetapi terjadi perubahan suhu selama proses pemanasan. Dengan demikian, nilai pasteurisasi didasarkan pada total panas yang diterima oleh produk selama proses pemanasan (Kusnandaret al. 2006).

Kombinasi suhu dan waktu dalam proses pasteurisasi akan mempengaruhi efektifitas proses pasteurisasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi yaitu : (a) ketahanan panas mikroba (nilai D dan nilai z), karakteristik produk (jumlah mikroba awal, jenis bahan pangan, dan pH bahan pangan); (b) peralatan proses (jenis medium pemanas, jenis retort, dan profil distribusi panas), serta (c) jenis dan ukuran kemasan yang digunakan (Kusnandaret al. 2006).

Proses pasteurisasi yang dilakukan tidak semata-mata membunuh mikroba, tetapi juga harus mempertimbangkan mutu akhir produk. Kerusakan mutu oleh pemanasan harus diminimalkan. Optimasi proses pasteurisasi diperlukan untuk menentukan kombinasi suhu dan waktu selama pemanasan dan pendinginan yang dapat memenuhi kriteria keamanan mutu pangan. Karakteristik produk pangan dan jenis kemasan yang digunakan juga bisa sangat menentukan kombinasi suhu dan waktu yang diperlukan untuk tujuan pasteurisasi tersebut.

2.6 Penyimpanan Suhu Rendah

Penyimpanan merupakan suatu perlakuan dimana bahan pangan baik yang telah dikemas maupun yang belum dikemas akan ditempatkan dalam suatu ruangan pada suhu dan kelembaban tertentu untuk proses selanjutnya. Prinsip penyimpanan yaitu pengendalian kecepatan proses metabolisme dan fisik seperti laju respirasi dan transpirasi, timbulnya infeksi penyakit, dan mempertahankan produk dalam bentuk yang paling berguna bagi konsumen.

(34)

Penyimpanan bahan pangan dengan cara pendinginan dapat dilakukan pada suhu chilling dan suhu refrigerator. Suhu chilling berada pada kisaran 10–15 oC dan refrigerator berada pada kisaran 0–2 oC sampai 5–7 oC (Fardiaz dan Jenie 1989). Penyimpanan pada suhu ini dapat mengurangi kecepatan proses biokimia dan pertumbuhan mikroba, memperpanjang daya awet bahan pangan, serta mencegah pertumbuhan mikroba termofilik dan mesofilik.

Suhu 5–7 oC bisa memperlambat pertumbuhan bakteri pembusuk dan patogen, dan bisa mengurangi kecepatan reaksi enzim dan mikroba serta memperlambat respirasi pada bahan pangan segar. Semakin rendah suhu, maka semakin lambat terjadinya reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba (Buckleet al. 1987).

2.7 Mikroba Target

Tempe merupakan produk yang mudah rusak dan rentan terhadap bahaya kontaminasi mikroba, sehingga tempe mempunyai umur simpan yang pendek. Salah satu metode pengawetan untuk memperpanjang umur simpan tempe yaitu pasteurisasi. Untuk memaksimalkan proses pasteurisasi, pengemasan secara vakum dan penyimpanan pada suhu rendah memegang peranan penting dalam pengawetan bahan pangan. Pemilihan mikroba target didasarkan pada kemampuan hidup mikroba pada kondisi anaerobik, ketahanan yang tinggi terhadap panas, dan dapat bertahan pada suhu rendah selama penyimpanan.

Mikroba anaerob yaitu mikroba yang mampu hidup tanpa membutuhkan oksigen untuk pertumbuhannnya. Afolabi dan Popoola (2005) menyatakan bahwa mikroba yang terdapat pada tempe antara lain Staphylococcus aureus, Clostridium botulinum, Salmonella spp., Yersinia enterocolitica, dan Bacillus cereus. Mikroba-mikroba tersebut dapat hidup secara anaerob. Fardiaz dan Jenie (1989) menyatakan bahwa Clostridium botulinum, Salmonella spp., Yersinia enterocolitica, danBacillus cereus dapat hidup secara anaerbik.

(35)

ketahanan suatu mikroba terhadap panas yaitu kondisi pertumbuhan dan komposisi medium pemanasan (Fardiaz dan Jenie 1989).

Umumnya mikroba yang mempunyai ketahanan terhadap suhu tinggi selama pasteurisasi adalah mikroba yang membentuk spora. Spora mikroba lebih tahan panas dibandingkan sel vegetatifnya. Mikroba yang dapat membentuk spora yaitu kelompok Bacillus dan Clostridium. Bakteri pembentuk spora mempunyai suhu optimum dan maksimum pertumbuhan lebih tinggi dibandingkan bakteri yang tidak membentuk spora. Ketahanan panas yang tinggi ditunjukkan dengan nilai D yang tinggi. Nilai D dan z untuk inaktivasi mikroba dan kerusakan gizi penting dalam proses termal dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Jenis mikroba yang banyak digunakan pada proses termal sebagai mikroba target dan karakteristik ketahanannya terhadap panas

Mikroba Nilai z (oF) Nilai D250 (menit)

B.stearothermophilus 12.6 4.0

B.subtilis 13.3 - 23.4 0.48 - 0.76

B.cereus 17.5 0.0065

B.perfrigenes 18

-B.sporogenes (PA3679) 19.1 0.48

Clostridium botulinum 17.8 0.21

Clostridium thermosaccharolyticum 16 - 22 3.0 - 4.0

Coxiella burnetti 8

-Sumber : Hariyadi (2009)

(36)

Tabel 4 Suhu mimimum pertumbuhan beberapa mikroba patogen

Clostridium botulinum (tipe E) 3.3a

Clostridium perfringens 20a

Sumber :aFrazier dan Westhoff (1988) dalam Fardiaz dan Jenie (1989); b

Feijooet al. (1997)

Penentuan mikroba target penting dalam perhitungan nilai pasteurisasi (Pv). Hal ini berkaitan dengan nilai z dan suhu referensi (Tref) yang akan digunakan. Nilai z dan Tref yang berbeda akan menghasilkan nilai pasteurisasi yang berbeda pula (Teck 2007).

(37)

III. BAHAN DAN METODOLOGI

3.1. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada bulan April sampai dengan November 2009 di laboraturium SEAFAST Center dan Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB.

3.2 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitian adalah tempe komersial yang diperoleh langsung dari pengrajin tempe di wilayah Bogor, kemasan plastikHigh Density Polyethylen (HDPE) danaluminium foil.

Alat yang digunakan meliputi waterbath, gelas ukur, gelas piala, pasteurizer, thermometer, termokopel, vacuum packer, pisau, penggaris, refrigerator, pH meter, penetrometer, Texture Analyzer (Texture Expert TA-XT2i), danMinolta Chromamater CR-310.

3.3 Prosedur Penelitian

Penelitian ini bersifat penelitian eksplorasi untuk menentukan pengaruh nilai pasteurisasi (Pv) terhadap keawetan tempe. Tahap kegiatan dilakukan dalam 2 tahap, yaitu penentuan nilai pasteurisasi dan evalusi sifat fisik tempe selama penyimpanan. Data yang dikumpukan pada penelitian eksplorasi ini menggunakan metode observasi (Munir 2008). Tahapan penelitian disajikan pada Gambar 2.

3.3.1 Penentuan Nilai Pasteurisasi

(38)

Gambar 2 Tahapan penelitian

Setelah kalibrasi termokopel selesai, termokopel dipasang pada pusat geometris tempe (7x7x3 cm) kemudian kemasan yang berisi tempe dikemas vakum. Kemasan yang digunakan adalah HDPE dan alumunium foil. Selama proses pasteurisasi, suhu di dalam tempe akan tercatat pada display termokopel. Suhu pemanasan yang digunakan sebesar 70–95 oC selama 0–40 menit. Profil penetrasi panas yang diperoleh kemudian digunakan untuk menghitung nilai pasteurisasi. Nilai pasteurisasi dihitung dengan menggunakan persamaan 3 berikut.

dimana, T merupakan suhu produk baik selama pemanasan atau pendinginan, Tref merupakan suhu referensi suhu pasteurisasi sebesar 85 oC, nilai z sebesar 7.2 oC, dan t merupakan waktu pemanasan atau pendinginan. Nilai pasteurisasi yang digunakan untuk tahap evaluasi selama penyimpanan adalah nilai pasteurisasi yang menjamin keamanan pangan (food safety), dimana tempe memiliki nilai pasteurisasi lebih dari 6D85.

(39)

3.3.2 Evaluasi Mutu Sifat Fisik Tempe Selama Penyimpanan

Tahap evaluasi mutu tempe selama penyimpanan dilakukan dengan cara menyimpan tempe yang dikemas dalam HDPE dan aluminium foil vakum pada suhu 5, 15, dan 20 oC. Penyimpanan dilakukan sampai tempe menunjukkan kerusakan. Selama waktu penyimpanan, konstanta laju perubahan mutu (k) dihitung. Nilai k dihitung dengan cara membuat grafik dari data perubahan mutu suatu parameter, kemudian dari grafik tersebut akan diperoleh suatu persamaan regresi selama penyimpanan, dimana nilai kemiringan (slope) dari tiap garis masing-masing suhu penyimpanan akan diplotkan pada grafik hubungan nilai ln k dengan 1/T. Selanjutnya dari grafik tersebut akan diperoleh kembali suatu persamaan regresi linier untuk mendapatkan nilai Ea. (Kusnandaret al. 2006).

RT

dimana, ko merupakan konstanta laju absolut, k merupakan konstanta laju perubahan pada suhu T, Ea merupakan energi aktivasi (kkal/mol), R merupakan konstanta gas ideal (1.986 kal/mol), dan T merupakan suhu absolut (oK). Parameter mutu yang diamati meliputi pH, tekstur, daya iris, dan, dan warna.

3.4 Pengamatan

3.4.1 Analisis pH (AOAC, 2005)

pH meter yang akan digunakan distabilkan terlebih dahulu selama 15-30 menit kemudian dikalibrasi dengan menggunakan larutanbufferpada pH 4 dan 7. Elektroda dibilas dengan akuades dan dikeringkan dengan kertas pengering. Contoh yang telah dihaluskan ditambah dengan air destilata (1:5). Elektroda pH meter kemudian dicelupkan ke dalam sampel dan dibiarkan hingga menunjukkan suatu angka (stabil). Nilai pH diukur sebanyak 2 kali.

3.4.2 Analisis Tekstur (AOAC, 2005)

(40)

bagian permukaan sampel. Selanjutnya tombolrunditekan dan dicatat kedalaman penetrasi dari jarum penetrometer dalam satuan mm per satuan waktu penetrasi. Dalam penelitian ini digunakan waktu 5.0 detik untuk setiap penetrasi.

3.4.3 Analisis Daya Iris

Kualitas irisan tempe hasil pasteurisasi dibandingkan terhadap tempe segar secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif hasil irisan tempe dibandingkan terhadap tempe segar dengan mengamati kemudahan pengirisan dan keutuhan kedelainya. Secara kuantitatif kemudahan pengirisan diukur dengan menggunakan Texture Analyzer untuk mengukur gaya pengirisan yang diperlukan.

Sebelum pengujian terlebih dahulu dilakukan kalibrasi alat. Jenis probe yang digunakan adalah Warner-Bratzler Blade yang digunakan untuk mengiris. Kalibrasi alat yang dilakukan meliputi penentuan kecepatan penurunan pisau 1.5 mm/detik dan distance penekanan yang sesuai yaitu 30 mm dari permukaan sampel. Sampel yang memiliki ukuran dimensi yang seragam (2x2x2 cm) diletakkan pada piringan.Probe diaktifkan dengan menekanTA quick run as test atau menekan tombolCtrldanQ pada komputer. Hasil pengukuran daya iris akan terekam dalam bentuk kurva. Daya iris dihitung berdasarkan gaya maksimum per jarak irisnya.

3.4.4 Analisis Intensitas Warna (AOAC, 2005)

(41)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Nilai Pasteurisasi Tempe

Nilai pasteurisasi (Pv) adalah waktu yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target hingga mencapai level tertentu pada suhu pemanasan tertentu. Penentuan nilai pasteurisasi bertujuan untuk mengetahui apakah jumlah panas yang diberikan pada suatu produk dapat membunuh atau mengurangi jumlah mikroba. Selain itu, tujuan lain dari penentuan nilai pasteurisasi yaitu untuk menetapkan seberapa besar tingkat resiko keamanan pangan dapat diterima.

Penentuan nilai pasteurisasi dilakukan pada berbagai kombinasi suhu dan waktu pemanasan dan pendinginan. Untuk menghitung nilai pasteurisasi, perlu diketahui profil pindah panas dari medium pemanas ke dalam bahan selama proses pasteurisasi. Profil pindah panas dihitung dengan melakukan pengukuran penetrasi panas mulai dari tahap pemanasan, holding, hingga pendinginan (Kusnandaret al. 2006).

Pengukuran penetrasi panas dilakukan pada suhu medium 70 hingga 95oC dengan waktu pemanasan hingga 40 menit kemudian dilanjutkan dengan proses pendinginan hingga suhu produk mencapai suhu 2 oC. Cara mengetahui suhu produk sudah mencapai suhu medium pemanas dan suhu pendinginan adalah dengan membaca data rekaman termokopel yang tersaji padadisplay.

(42)

Gambar 3 menunjukkan pola kenaikan dan penurunan suhu pusat geometris tempe yang dikemas vakum dalam HDPE dan alumunium foil selama proses pasteurisasi. Peningkatan dan penurunan suhu produk terjadi karena pindah panas antara medium pemanas atau pendingin dan tempe berlangsung secaraunsteady state. Kondisi ini menyebabkan suhu di dalam produk mengalami perubahan suhu seiring dengan adanya perubahan waktu. Suhu dari produk akan terus berubah selama pemanasan dan pendinginan hingga tercapai kondisi kesetimbangan (Kusnandar et al. 2006). Pola yang sama terjadi pula pada suhu pemanasan 70, 75, 80, 85, dan 90oC (Lampiran 2a–3e).

Lebih lanjut, kondisi vakum membuat panas yang berpenetrasi ke dalam produk selama pasteurisasi menjadi lebih baik. Hal ini dikarenakan kontak antara produk dengan permukaan kemasan lebih efektif, sehingga pindah panas menjadi lebih baik dan mengakibatkan nilai pasteurisasi menjadi tinggi.

Profil data penetrasi panas yang diperoleh kemudian diolah untuk menentukan nilai pasteurisasi. Nilai pasteurisasi dihitung berdasarkan total panas yang diterima produk selama proses pemanasan dan pendinginan.

Gambar 4 Korelasi antara waktu pemanasan dan pendinginan terhadap nilai pasteurisasi tempe yang dikemas vakum dalam HDPE dan alumunium foil pada suhu medium pemanas 95oC.

(43)

tempe yang dikemas vakum dalam HDPE lebih tinggi dibandingkan tempe yang dikemas vakum dalam alumunium foil pada waktu yang sama. Selama pasteurisasi 52 menit, nilai pasteurisasi untuk tempe yang dikemas vakum dalam HDPE mencapai 378 menit sedangkan tempe yang dikemas vakum dalam alumunium foil mencapai 320 menit (Gambar 4). Pola yang sama terjadi pula pada suhu pemanasan 70, 75, 80, 85, dan 90oC (Lampiran 4c-5e).

Perbedaan nilai pasteurisasi pada kedua kemasan disebabkan karena perbedaan ketebalan kemasan. Alumunium foil memiliki ketebalan 8 µm sedangkan HDPE memiliki ketebalan 4 µm. Kemasan yang lebih tebal menurunkan kecepatan penetrasi panas ke dalam produk. Kusnandaret al. (2006) menyatakan bahwa proses transfer panas akan lebih cepat pada kemasan yang lebih tipis dibandingkan pada kemasan yang lebih tebal.

Karena salah satu tujuan penentuan nilai pasteurisasi adalah menetapkan tingkat resiko keamanan pangan, maka standar reduksi mikroba target dari proses pasteurisasi yaitu 6D. Goodburn (2005); Méndez dan Abuín (2006) melaporkan bahwa target reduksi untuk Clostridium botulinum tipe nonproteolitik yaitu sebesar 6D. Apabila perhitungan nilai pasteurisasi masih lebih rendah dari 6D85 yaitu sebesar 1.69 menit maka proses pasteurisasi tersebut masih belum mencukupi. Akibat dari belum mencukupinya nilai pasteurisasi yaitu mikroba masih mempunyai peluang untuk tumbuh dan berkembang di dalam kemasan. Nilai pasteurisasi sebesar 1.69 menit menunjukkan bahwa standar waktu minimal yang dibutuhkan untuk membunuh mikroba target (Clostridium botulinum tipe nonproteolitik) pada suhu 85oC yaitu 1.69 menit.

Berdasarkan standar reduksi tersebut, waktu pemanasan yang memberikan nilai pasteurisasi lebih dari 6D85 pada suhu 80, 85, 90, dan 95oC secara berturut-turut yaitu waktu pemanasan yang dimulai pada menit ke-37, menit ke-21, menit ke-26, dan menit ke-23 untuk tempe yang dikemas vakum dalam alumunium foil (Lampiran 4c-4f). Sedangkan untuk tempe yang dikemas vakum dalam HDPE, nilai pasteurisasi setara 6D85 diperoleh pada pemanasan suhu 80, 85, 90, dan 95 o

(44)

dari 6D85, kemudian disimpan pada tiga suhu penyimpanan yang berbeda dan dievalusi sifat fisiknya selama penyimpanan.

4.2 Korelasi Antara Keawetan Tempe dan Pasteurisasi

Umur simpan produk pangan adalah waktu antara saat produksi dan pengemasan, sampai dengan produk tersebut tidak dapat lagi diterima oleh konsumen pada kondisi penyimpanan tertentu (Ellis dan Man 2000). Umur simpan dapat didefinisikan pula sebagai keawetan produk pangan.

Keawetan tempe ditentukan secara visual berhubungan dengan kelayakan tempe secara organoleptik untuk dikonsumsi. Tingkat keawetan tempe dinilai berdasarkan kriteria kritis tertentu yang menyebabkan tempe tidak layak untuk dikonsumsi. Berdasarkan pengamatan visual, tempe yang tidak layak konsumsi mempunyai parameter objektif tersaji pada Gambar 5 dan kriteria kritis tempe yang tidak layak untuk dikonsumsi tersaji pada Tabel 5.

Gambar 5 dan Tabel 5 menunjukkan beberapa kriteria kritis untuk tempe yang tidak layak untuk dikonsumsi. Tempe yang tidak layak konsumsi secara organoleptik mempunyai karakteristik bau amonia yang menyengat, tekstur yang lunak, warna coklat kehitaman, dan berlendir.

a b c d

Gambar 5 Kondisi tempe yang menunjukkan kerusakan. Penggelembungan kemasan pada tempe yang dikemas dalam HDPE vakum (a), penggelembungan kemasan pada tempe yang dikemas dalam aluminium foil vakum (b), penampakan tempe yang sudah menimbulkan bau asam, berlendir, dan tektur yang lembek (c), dan penampakan tempe yang sudah menimbulkan warna coklat kehitaman (d)

(45)

Tabel 5 Titik kritis tempe yang tidak layak konsumsi

Parameter Nilai kritis

pH 4.9 ± 0.045

Tekstur (mm/5.0 s) 13.09 ± 0.05

Daya iris (g/mm) 14.49 ± 0.44

Kecerahan 60.32 ± 0.47

Tabel 6 Hasil pengamatan visual terhadap keawetan tempe

Perlakuan Umur simpan (hari)

Tempe segar, disimpan pada suhu ruang 2

Tempe segar, disimpan pada suhurefrigerator 3 Tempe yang dikemas vakum, disimpan pada

suhu ruang

2 Tempe yang dikemas vakum, disimpan pada

suhurefrigerator

4 - 5 Tempe yang dikemas vakum, dipasteurisasi,

disimpan pada suhu ruang

1 Tempe yang dikemas dalam aluminium foil

vakum, dipasteurisasi, disimpan pada suhu 5oC

11 - 37 Tempe yang dikemas dalam HDPE vakum,

dipasteurisasi, disimpan pada suhu 5oC

8 - 24

Pengamatan mutu tempe pada penelitian dilakukan setiap hari selama penyimpanan sampai tempe menunjukkan gejala kerusakan seperti yang dideskripsikan pada Gambar 5. Keawetan tempe dari berbagai kombinasi perlakuan pasteurisasi tersaji pada Tabel 6 dan korelasi antara keawetan tempe dengan berbagai kombinasi perlakuan pasteurisasi yang dilakukan tersaji pada Gambar 6.

(46)

(a)

(b)

(47)

penyimpanan 5, 15, dan 20oC untuk kemasan vakum alumunium foil yaitu 37.04, 35.44, dan 42.47 menit. Keawetan maksimum yang diperoleh pada suhu penyimpanan 5, 15, dan 20 oC untuk kemasan vakum aluminium foil yaitu serta 25, 17, dan 12 hari. Berdasarkan hasil keawetan maksimum dari setiap perlakuan, keawetan terpanjang selama 25 hari diperoleh pada nilai pasteurisasi 37 menit dengan menggunakan kemasan vakum aluminium foil dan disimpan pada suhu 5oC.

Penurunan keawetan tempe pada nilai pasteurisasi lebih dari 37 menit diduga terkait dengan terjadinya kompetisi antar mikroba pembusuk pada tempe. Proses pasteurisasi akan membunuh kapang, sehingga memberi kesempatan pada mikroba pembusuk. Setelah kapang mati, mikroba yang bertahan adalah beberapa mikroba pembusuk. Yasir (2010) menyatakan bahwa mikroba pembusuk merupakan mikroba yang tahan panas karena mikroba tersebut membentuk spora. Berdasarkan daerah aktivitas suhunya, Zaifbio (2009) mengemukakan bahwa mikroba terbagi menjadi mikroba psirkofilik, mesofilik, dan termofilik. Menurut Astawan (2007), kerusakan makanan berasam rendah dapat berupa kebusukanflat sour, kebusukan termofilik anaerobik dengan penggembungan, serta kebusukan sulfida yang disebabkan bakteri anaerob pembentuk spora termofilik obligat.

Selama penyimpanan, kapang tempe mati lebih dari 48 jam tanpa perlakuan apapun, selanjutnya tempe akan ditumbuh bakteri atau mikroba yang merombak protein (Sarwono 1996 dalam Haryoko dan Kurnianto 2005). Menurut Sorenson dan Hesseltine (1986) dalam (Anonim 2009), Rhizopus sp tumbuh baik pada kisaran pH 3,4-6. Semakin lama waktu fermentasi, pH tempe semakin meningkat sampai pH 8,4, sehingga kapang semakin menurun karena pH tinggi kurang sesuai untuk pertumbuhan kapang.

(48)

kaya nutrien tersebut akan digunakan oleh mikroba pembusuk sebagai sumber nutrisi untuk tumbuh dan berkembang.

Pembusukan dimulai dengan ekskresi enzim ekstrasel yang dapat menghidrolisis molekul-molekul komplek menjadi senyawa lebih sederhana. Selama proses pembusukan, enzim protease akan merombak komponen protein hingga terbentuk asam amino, senyawa ammonia (NH3), dan hidrogen sulfida (H2S). Pertumbuhan mikroba pembusuk mengakibatkan pula terbentuknya gas akibat perombakan dari karbohidrat. Protease dan karbohidrase yang berperan dalam proses perombakan protein dan karbohidrat selama pembusukan berasal dari mikroba pembusuk yang masih bertahan setelah proses pasteurisasi (Afrianto 2009). Penelitian ini menunjukkan bahwa kerusakan awal pada tempe dilihat dari menggembungnya kemasan. Kemasan yang menggembung mengindikasikan bahwa masih terjadinya proses mikrobiologis dari mikroba pembusuk. Adanya mikroba perombak protein akan mengakibatkan tempe cepat mengalami kebusukan, sebagaimana terlihat pada Gambar 6.

Berdasarkan mikroba penyebab kebusukan tersebut, mikroba yang tumbuh pada nilai pasteurisasi kurang dari nilai pasteurisasi optimum yaitu mikroba dari golongan mesofilik, sedangkan mikroba yang bertahan pada nilai pasteurisasi lebih dari nilai pasteurisasi optimum yaitu mikroba dari golongan termofilik.

Faktor lain yang menyebabkan keawetan menurun seiring dengan meningkatnya nilai pasteurisasi yaitu pemanasan yang berlebihan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai pasteurisasi lebih dari 37 menit akan mempercepat kerusakan atau degradasi dari protein. Rhee (2009) mengemukakan bahwa perlakuan dengan menggunakan panas harus dilakukan pengontrolan dengan baik karena panas yang berlebih dapat menyebabkan deteriorisasi mutu protein dan menyebabkan reaksi maillard. Deteriorisasi pada protein selama pemanasan terkait dengan hilangnya asam amino yang sensitif terhadap panas seperti metionin, lisin, dan sistein.

(49)

mekanisme penurunan mutu yang disebabkan oleh perubahan suhu. Suhu yang terlalu tinggi menyebabkan denaturasi enzim, sedangkan suhu yang terlalu rendah menyebabkan aktivitas enzim terhambat. Daya awet tempe yang disimpan pada suhu 15 dan 20 oC tidak berlangsung sebaik dengan tempe yang disimpan pada suhu 5oC. Pada suhu 15 dan 20oC, sebagian besar kedelai akan dikonsumsi oleh mikroba pembusuk untuk menghasilkan energi dan asam laktat. Proses keawetan pada suhu ini dalam tempe tidak berlangsung lama, karena terganggu oleh aktivitas bakteri pembusuk dalam mengkonsumsi nutrisi dalam produk. Bakteri pembusuk dalam produk berkompetisi mendapatkan nutrisi, sehingga sebagian sel secara bertahap megalami kematian dan menyebabkan kebusukan pada tempe.

4.3 Perubahan Sifat Fisik Tempe Selama Penyimpanan

Untuk mempelajari lebih detail tentang perubahan-perubahan yang terjadi, terutama pada proses pasteurisasi yang tinggi (Pv lebih dari 15 menit), maka dilakukan pengukuran sifat fisik pada nilai pasteurisasi 15 hingga 354 menit. Beberapa parameter yang digunakan untuk mengetahui perubahan yang terjadi yaitu pH, tekstur, daya iris, dan warna. Perubahan sifat fisik dalam produk menunjukkan perilaku yang berbeda pada setiap suhu penyimpanan (5, 15, dan 20 oC). Hal tersebut ditandai oleh perubahan pH, tekstur, daya iris, dan warna tempe pada tempe.

4.3.1 Nilai pH

Perubahan pH atau derajat keasaman tempe menunjukkan terjadinya reaksi fisiologis di dalam tempe selama penyimpanan. Derajat keasaman tempe segar rata-rata yaitu 5.87.

(50)

Gambar 7 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan pH tempe yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium.

Thenawijaya (1993) menyatakan bahwa panas selama pasteurisasi menyebabkan denaturasi protein. Denaturasi protein menyebabkan terjadinya perubahan struktur protein dari melipat menjadi tidak melipat. Bentuk struktur tidak melipat mengakibatkan protein membentuk agregat dan tidak larut dalam air, sehingga ketersediaan unsur nitrogen yang bersifat basa dalam larutan berkurang dan pH menurun. Lebih lanjut, Suhendri (2009) melaporkan bahwa tempe yang dipanaskan mengalami penurunan pH yang semakin besar seiring dengan lamanya waktu pemanasan.

Tempe hasil pasteurisasi kemudian disimpan pada tiga suhu penyimpanan yang berbeda. Pengujian pH tempe selama penyimpanan dilakukan dengan metode akselerasi. Akselerasi dilakukan pada suhu penyimpanan 5, 15, dan 20oC untuk mempercepat tercapainya nilai pH kritis.

(51)

Gambar 8 Degradasi pH tempe yang dipanaskan dengan P85(z=7.2) = 122.12 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil selama penyimpanan dalam penentuan nilai k perubahan pH.

Menurut Banks dan Greenwood (1975), molekul pati cenderung menarik partikel bermuatan negatif. Sifat yang dimiliki pati disebabkan oleh gugus hidroksilnya. Penarikan ion OH- ke sekitar molekul gula akan mengakibatkan konsentrasi efektif ion H+ dalam larutan meningkat sehingga pH akan menurun.

Syarief dan Khalid (1993) menambahkan bahwa suhu yang tinggi akan memecahkan molekul gula sehingga terbentuk molekul glukosa yang disertai timbulnya beberapa jenis asam pada produk. Penurunan kadar pati karena terjadinya penguraian pati menjadi gula sederhana, dilanjutkan dengan terbentuknya produk-produk asam-asam organik melalui siklus krebs. Dengan demikian, penurunan kadar pati diikuti oleh peningkatan asam total produk. Proses ini diperkirakan terus terjadi selama penyimpanan.

Saputra (2006) mengemukakan bahwa pengemasan vakum tidak dapat menghentikan proses metabolisme dan ativitas mikroba anaerob yang terdapat pada tempe. Aktivitas dan metabolisme dari mikroba anaerob ini yang diduga menyebabkan daya awet tempe yang dikemas vakum tidak begitu lama. Mikroba anaerob pada tempe dapat mengakibatkan kemasan tempe menggembung akibat meningkatnya asam yang diproduksi. Asam yang terbentuk akan menimbulkan gas. Gas yang terbentuk membuat kemasan menjadi menggembung.

(52)

aluminium foil mengalami peningkatan nilai k seiring dengan meningkatnya suhu penyimpanan. Namun tempe yang dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil mengalami penurunan nilai k seiring dengan meningkatnya nilai pasteurisasi setelah 15 menit.

(a)

(b)

Gambar 9 Nilai k perubahan pH selama penyimpanan pada tempe yang yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil (a) dan HDPE (b).

(53)

Nilai-nilai k dan suhu penyimpanan tempe yang dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil dari setiap nilai pasteurisasi dimasukkan ke dalam persamaan Arrhenius, yaitu k = ko.e-Ea/RTatau ln k = ln ko- Ea/RT. Karena ln ko dan–Ea/R merupakan bilangan konstanta, maka persamaan tersebut dapat ditulis menjadi ln k = a + b 1/T. Dari persamaan tersebut, persamaan Arrhenius dapat diplotkan menjadi hubungan antara nilai ln k dan 1/T. Berdasarkan plot hubungan nilai ln k dan 1/T diperoleh kemiringan (slope) yang digunakan untuk menentukan energi aktivasi (Ea).

Gambar 10 memperlihatkan korelasi antara nilai pasteurisasi dan energi aktivasi perubahan pH pada tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil dan HDPE. Tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil mempunyai nilai energi aktivasi berkisar antara 6.14-14.66 kkal/mol dan tempe yang dikemas vakum dalam HDPE mempunyai nilai energi aktivasi berkisar antara 3.94-13.34 kkal/mol seperti yang tersaji pada Lampiran 8.

Gambar 10 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan energi aktivasi perubahan pH tempe yang yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil.

(54)

sensitif terhadap perubahan suhu. Sedangkan tempe yang dikemas vakum dalam HDPE memiliki laju reaksi yang stabil terhadap perubahan suhu. Nilai Ea berbanding terbalik dengan nilai z. Semakin rendah nilai z maka reaksi tersebut sensitif terhadap perubahan suhu.

4.3.2 Tekstur

Pengukuran tekstur tempe dilakukan dengan menggunakanpenetrometer. Parameter yang diamati yaitu kekerasan. Nilai kekerasan yaitu besarnya gaya tusuk yang digunakan untuk menembus produk padat. Semakin besar gaya tusuk yang digunakan, maka semakin besar nilai kekerasan produk tersebut. Nilai rata-rata tekstur tempe segar adalah 2.355 mm/5.0 s.

Gambar 11 Korelasi antara nilai pasteurisasi dan kedalaman penetrasi tempe yang yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil.

(55)

Salam (1999) menyatakan bahwa selama proses pasteurisasi terjadi kerusakan ikatan non kovalen dan ikatan hidrogen yang terletak antar polimer dinding sel. Kerusakan tersebut mengakibatkan penurunan kekerasan jaringan karena kematian sel-sel dan pelunakan dinding sel. Smouth et al. (2005) dalam Teck (2007) menambahkan bahwa selama proses pemanasan terjadi reaksi enzimatik dan kimia di dalam suatu bahan pangan. Perubahan kimia yang terjadi diantaranya solubilisasi dan depolimerisasi dari polisakarida dinding sel dan lamella tengah yang berpengaruh pada tektur kentang. Lebih lanjut, Muchtadi dan Sugiyono (1992) menyatakan bahwa turunnya kekerasan tempe berkorelasi positif dengan menurunnya pH. WHC atau daya mengikat air akan menurun seiring dengan menurunnya pH.

Penggunaan jenis kemasan mempengaruhi kekerasan tempe. Perbandingan tempe yang dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil menunjukkan bahwa kekerasan lebih tinggi pada kemasan aluminium foil daripada HDPE pada nilai pasteurisasi yang sama. Jadi, tempe yang dikemas vakum dalam aluminium foil lebih keras daripada HDPE. Hal ini terkait dengan kadar transmisi uap air dari masing-masing kemasan. Perubahan kadar air dipengaruhi oleh WVTR dan ketebalan kemasan.

(56)

Faktor yang mempengaruhi WVTR adalah ketebalan kemasan. Wibawa (2008) mengemukakan bahwa nilai WVTR HDPE yaitu sebesar 4.7-7.8 g/m2/24 jam, sedangkan Hermanianto et al. (2000) dalam Santoso dan Rejo (2008) melaporkan bahwa WVTR aluminium foil sebesar 2.684 g/m2/24 jam. Dengan tingginya nilai WVTR HDPE maka uap air mudah menembus kemasan. Banyaknya uap air menembus kemasan mengakibatkan kadar air tempe menjadi meningkat dan tekstur menjadi lebih lunak.

Tempe hasil pasteurisasi kemudian disimpan pada tiga suhu penyimpanan yang berbeda. Pengujian tekstur tempe selama penyimpanan dilakukan dengan metode akselerasi. Akselerasi dilakukan pada suhu penyimpanan 5, 15, dan 20oC untuk mempercepat tercapainya nilai tekstur kritis.

Gambar 12 memperlihatkan pola degradasi tekstur tempe selama penyimpanan, dimana tko adalah tekstur tempe sesaat setelah proses pasteurisasi (t = 0). Penurunan nilai tekstur tempe selama penyimpanan terjadi pada semua nilai pasteurisasi. Penurunan kekerasan tempe selama penyimpanan berkaitan dengan perubahan kadar air tempe selama penyimpanan. Kadar air yang berkurang atau konstan akan membuat nilai tekstur meningkat, sedangkan kadar air yang meningkat akan membuat nilai tekstur menurun.

(57)

(b)

Gambar 13 Nilai k perubahan tekstur selama penyimpanan pada tempe yang yang dipanaskan dengan Pv lebih dari 15 menit dan dikemas vakum dalam aluminium foil (a) dan HDPE (b).

Nilai k yang diperoleh dari plot hubungan antara ln (tk/tko) dan lama penyimpanan pada setiap nilai pasteurisasi tersaji pada Lampiran 10a dan 10b. Gambar 13 memperlihatkan bahwa tempe yang dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil mengalami peningkatan nilai k seiring dengan meningkatnya suhu penyimpanan. Namun tempe yang dikemas vakum dalam HDPE dan aluminium foil mengalami penurunan nilai k seiring dengan meningkatnya nilai pasteurisasi setelah 15 menit. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan tekstur berlangsung lebih cepat pada suhu penyimpanan yang lebih tinggi. Peningkatan laju perubahan nilai kekerasan akibat meningkatnya suhu penyimpanan disebabkan karena energi yang diberikan meningkatkan frekuensi dan kekuatan tumbukan, sehingga peningkatan suhu penyimpanan akan menghasilkan penggandaan dari kecepatan reaksi (Anonim 2008).

Nilai-nilai k dan suhu penyimpanan tempe yang dikemas dalam HDPE dan alumunium foil vakum dari setiap nilai pasteurisasi dimasukkan ke dalam persamaan Arrhenius. Kemiringan (slope) dari hubungan nilai ln k dan 1/T dari persamaan Arrhenius merupakan energi aktivasi.

Gambar

Tabel 1 Nilai gizi tempe dalam 100 g berat bahan yang dapat dimakan (Bdd) dan100 g bahan kering
Tabel 2 Standar mutu tempe menurut SNI 01-3144-1992
Gambar 1 dapat dijabarkan sebagai berikut:
Tabel 3 Jenis mikroba yang banyak digunakan pada proses termal sebagaimikroba target dan karakteristik ketahanannya terhadap panas
+7

Referensi

Dokumen terkait