• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penentuan Batas Edge dan Core Area Hutan Sisa (Remnant Forest) di Suaka Margasatwa Balai Raja Propinsi Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penentuan Batas Edge dan Core Area Hutan Sisa (Remnant Forest) di Suaka Margasatwa Balai Raja Propinsi Riau"

Copied!
459
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)

' ( )

*+ ' + ! + , - ( + .+ ' + ! + + ( + .+/+

) 0

' )

! )

*+ ' + ! + / 1 / ( + +

' .

' + ! + ' - ( + .+ 0 +

(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kawasan Suaka Margasatwa (SM) Balai Raja adalah kawasan konservasi

di Provinsi Riau yang ditetapkan sebagai suaka margasatwa oleh Menteri

Kehutanan Nomor 173/Kpts-Institut/1986 tanggal 6 Juni 1986 dengan luas

kawasan adalah 18.880 hektar. Salah satu tujuan penetapan kawasan adalah upaya

untuk mengkonservasi gajah dan harimau sumatra. Dengan berkembangnya

waktu dan peningkatan aktivitas dalam memenuhi kebutuhan masyarakat seperti

kegiatan illegal logging, pertambangan, pertanian, perkebunan dan pemukiman mengakibatkan luas kawasan SM Balai Raja tersebut semakin berkurang.

Berdasarkan data Landsat tahun 1985, 1989, 1992, 2000 dan 2004, telah terjadi

penurunan luasan tutupan vegetasi dan penggunaan lahan berupa hutan

berturut-turut sebagai berikut 13.705,19 ha, 12.767,78 ha, 10.504,84 ha, 1.865,88 ha dan

705,85 ha. Dengan demikian terjadi kehilangan hutan selama periode 1985

sampai 2004 sebesar 12.999.34 ha (rata-rata 684,18 ha per tahun atau 4,99%

pertahun) untuk luasan SM Balai Raja. Sementara terjadi peningkatan

penggunaan lahan untuk pemukiman dan bareland dari tahun 1985 sebesar 280,51 ha (pemukiman) dan 825,78 ha (bareland) meningkat pada tahun 2004 menjadi 1.103,36 ha (pemukiman) dan 4.947,59 ha (bareland). Sedangkan

penggunaan lahan untuk kelapa sawit yang pada tahun 1985 tidak ada menjadi

sebesar 3.391,36 ha pada tahun 2004 (PPLH IPB & CPI 2005).

Dengan perubahan penggunaan lahan yang terjadi maka saat ini kondisi

nyata hutan kawasan SM Balai Raja adalah merupakan suatu bentuk remnant

forest (hutan sisa). Hutan sisa adalah hutan yang tersisa akibat matriks suatu

hutan terganggu. Matriks adalah elemen (habitat) homogen yang paling dominan

dalam suatu bentang lansekap. Fragmentasi habitat dapat mempercepat

pengecilan atau pemusnahan populasi dengan cara membagi populasi yang

tersebar luas menjadi dua atau lebih sub populasi dalam daerah-daerah yang

(23)

tekanan silang dalam, genetic drift dan masalah-masalah lain yang terkait dengan populasi berukuran kecil.

Kondisi vegetasi di kawasan SM Balai Raja pada saat ini terbagi menjadi

beberapa kelompok yaitu hutan, semak belukar, alang-alang, riparian dan vegetasi

pada areal berair, ladang, kebun kelapa sawit, dan kebun karet. Kawasan

merupakan salah satu contoh kasus dari beberapa kerusakan yang terjadi pada

kawasan konservasi yang ada di Indonesia. Dengan melihat sejarah

perkembangan kehutanan maka perusakan kawasan konservasi tersebut akan terus

berlangsung sehingga memungkinkan sekali seluruh kawasan konservasi akan

terfragmentasi menjadi pulau-pulau habitat kecil yang tersisa (hutan sisa) dengan

nasib yang sama dengan SM Balai Raja.

Kondisi kawasan konservasi yang terfragmentasi menjadi pulau-pulau

habitat berukuran kecil merupakan suatu pertanyaan besar bagi pelestarian habitat

maupun satwa liar yang terdapat didalamnya. Dengan fragmentasi habitat tersebut

menyebabkan semakin berkurangnya fungsi kawasan untuk mendukung berbagai

hidupan liar dan kebutuhan manusia. Sehingga akan dimungkinkan terjadinya

kematian spesies dan bahkan kepunahan spesies tertentu.

Teori single large or several small (SLOSS) masih memperdepatkan bahwa kawasan konservasi dapat dikelola dengan beberapa pulau-pulau habitat yang

berukuran kecil (several small theory) atau sebuah pulau habitat yang cukup besar untuk pelestarian hidupan liar (single large theory). Teori single large lebih kepada pendekatan biogeografi pulau. Dimana semakin besar areal konservasi

maka semakin besar kemungkinan habitat yang tersedia bagi hidupan liar untuk

dapat berkembang dan mempertahankan kelangsungan hidupnya dari kepunahan.

Hal yang terpenting dari teori single large atau several small sebenarnya adalah berapa luasan dan jumlah minimal yang diperlukan bagi suatu habitat untuk

dapat melestarikan keanekaragaman hayati yang ada. Untuk itu diperlukan suatu

usaha pengelolaan hutan yang terfragmentasi seperti hutan sisa.

Sebagai informasi dasar untuk pengelolaan tersebut maka dibutuhkan

(24)

sisa dapat memberikan informasi bagi rencana pengembangan maupun

tindakan-tindakan pengelolaan yang dilaksanakan terhadap matriks yang terfragmentasi.

Perumusan Masalah

Kenyataan yang tak dapat dipungkiri saat ini adalah kondisi kawasan suaka

margasatwa bukanlah merupakan suatu kawasan dengan kondisi ekologis yang

kompak dalam melindungi dan melestarikan berbagai jenis satwa yang ada di

dalamnya. Kawasan tersebut terpecah-pecah menjadi pacth-pacth yang berukuran kecil. Hal ini disebabkan oleh pertambahan penduduk dan aktivitas manusia untuk

memenuhi kebutuhannya sehingga memberikan tekanan yang sangat signifikan

terhadap kawasan SM Balai Raja. Akibat aktivitas manusia tersebut telah

mengubah kawasan hutan SM Balai Raja menjadi berbagai bentuk penggunaan

lahan seperti pemukiman, perkebunan kelapa sawit, sawah, ladang, kebun karet

dan penggunaan lainnya.

Kawasan SM Balai Raja terfragmentasi dan membentuk hutan sisa dengan ukuran yang lebih kecil dibandingkan dengan kondisi awalnya. Hutan sisa ini

merupakan hutan tempat kehidupan terakhir berbagai hidupan liar yang ada pada

kawasan suaka margasatwa tersebut.

Mengingat kondisi aktual SM Balai Raja adalah hutan sisa maka merupakan

keharusan untuk mengelola hutan sisa tersebut. Untuk mengetahui bentuk

pengelolaannya maka diperlukan informasi yang berkenaan dengan kondisi hutan

sisa tersebut. Lebar forest edge, keanekaragaman jenis dan spesies indikator merupakan informasi yang berkenaan dengan pengelolaannya masih sangat minim

tersedia. Untuk itu diperlukan penelitian yang bertujuan menjawab permasalahan

pada hutan sisa kawasan SM Balai Raja.

Tujuan Penelitian

Penelitian memiliki tujuan sebagai berikut :

1. Menentukan lebarnya daerah tepi yang terbentuk pada hutan sisa

2. Menentukan keanekaragaman jenis (jumlah jenis, jenis dominan, indeks

(25)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan memberikan informasi tentang lebar daerah tepi

hutan (forest edge) yang terbentuk, keanekaragaman jenis tumbuhan, struktur tegakan dan spesies indikator pada daerah tepi hutan sisa SM Balai Raja,

sehingga berguna bagi tindakan pengelolaan kawasan SM Balai Raja.

Kerangka Pemikiran

Perubahan terhadap kondisi hutan akan senantiasa terjadi sebagai akibat

dari pemanfaatan manusia maupun disebabkan oleh keberadaannya sebagai suatu

sistem yang dinamis. Perubahan-perubahan yang terjadi tentunya akan dapat

menyebabkan gangguan terhadap komunitas hutan. Fragmentasi hutan adalah

merupakan suatu bentuk gangguan pada hutan tersebut. Hutan sisa adalah suatu

hutan yang tersisa yang terbentuk akibat terganggunya suatu matrik hutan. Hutan

sisa ini memiliki edge area dan core area. Baik edge area maupun core area memiliki komposisi dan struktur tumbuhan dan nilai keanekaragaman tersendiri

yang dapat diidentifikasi untuk menentukan lebar dan batas edge terhadap core

area.

Tindakan pengelolaan terhadap hutan ini mutlak diperlukan, baik itu

menyangkut pemeliharaan, pemanfaatan maupun rehabilitasi. Menyikapi upaya

pengelolaan yang harus dilakukan terhadap hutan yang terfragmentasi, variabel

penting yang harus diperhatikan adalah bagaimana kondisi ekologis yang

berhubungan dengan keadaan vegetasi maupun lingkungan tumbuhan yang

terdapat di dalamnya. Informasi-informasi menyangkut kondisi ekologis tersebut

berupa keterangan tentang keanekaragaman jenis dan struktur tegakan diharapkan

akan makin memperjelas dan memudahkan dalam pengelolaan hutan sisa

(26)

EDGE AREA

CORE AREA

KOMPOSISI JENIS

KOMPOSISI JENIS

PERUBAHAN/PERBEDAAN KEANEKARAGAMAN

SPESIES INDIKATOR

LEBAR & BATAS DAERAH TEPI HABITAT

HIDUPA N LIAR

LADANG KEBUN SAWIT KEBUNKARET

SAWAH PEMUKIMAN

PENGELOLAAN REMNANT FOREST

FRAGMENTASI HABITAT SM BALAI RAJA

(27)
(28)

TINJAUAN PUSTAKA

Fragmentasi dan Edge

Dalam terminologi lansekap ekologi edge dapat diartikan sebagai tempat pertemuan patch ataupun matriks yang berbeda. Thomas et. Al (1979), mendefinisikan edge (daerah tepi) sebagai tempat pertemuan dua komunitas tumbuhan yang berbeda. Forest egde merupakan ciri-ciri struktural yang penting dari sebuah lansekap (Leopod 1933; Harris 1988; Murcia 1995). Sebagai batas

antara hutan dan komunitas lainnya, edge merupakan titik pertemuan pertama dari aliran organisme, materi, dan energi antar kedua habitat tersebut (Wiens 1992;

Forman 1995). Aliran tersebut dapat mempengaruhi dinamika hutan. Jika edge mempengaruhi besarnya atau arah dari aliran diantara dua habitat, maka kemudian

edge mungkin akan mempengaruhi dinamika dari forest intrerior (Angelstam 1992: Wiens et al 1993; Pickett & Cadenasso 1995).

Selanjutnya Thomas menyatakan bahwa dilihat dari struktur lansekapnya,

edge dapat dibedakan menjadi (a). Inheren egde yaitu edge yang terbentuk dari

pertemuan dua komunitas yang berbeda tingkat suksesinya; (b) Induced edge; edge yang terbentuk karena adanya disturbance, misalnya penggembalaan, logging, kebakaran.

Pengaruh edge telah menjadi topik utama bagi studi pola dan proses-proses lansekap yang diasosiakan dengan pembentukan edge dan fragmentasi selama beberapa akhir dekade ini. Penelitian pada forest edge yang dimulai Leopold (1993) mengenalkan bahwa habitat edge mendukung kelimpahan jenis dan keanekaragaman yang tinggi.

Fragmentasi habitat secara dramatis akan menambah luas daerah tepi.

Lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro di bagian tengah

hutan. Beberapa efek tepi yang penting adalah naik turunnya intentsitas cahaya,

suhu, kelembaban, dan kecepatan angin secara drastis. (Kapos 1989); Bierregaard

dkk. 1992). Efek tepi ini terasa nyata sampai sejauh 500 meter ke dalam hutan

(Laurance 1991). Oleh karena spesies tumbuhan dan hewan biasanya

(29)

Tingkat keanekaragaman hayati pada setiap edge juga berbeda dengan di tengah hutan. Edge dipandang sebagai suatu ekosistem tersendiri yang diakibatkan oleh pertemuan dua tipe ekosistem. Keanekaragaman pada edge lebih tinggi dari pada patchnya. Thomas et al (1979), menemukan bahwa edge mempunyai kelimpahan jenis dan spesies yang besar, karena efek aditif dari fauna

karena adanya pertemuan patch/matriks yang berbeda. Bentuk, luas, dan

konfigurasi spasial edge mempengaruhi proses ekosistem pada edge. Edge yang sempit akan mempunyai tingkat biodiversity yang rendah.

Bentuk, luas dan konfigurasi spasial edge mempengaruhi proses ekosistem pada edge. Edge yang sempit akan mempunyai tingkat biodiversity yang rendah. Matriks yang terfragmentasi, akan menimbulkan banyak edge. Fragmentasi adalah proses perubahan dari matriks homogen dan kompak, menjadi matriks yang

heterogen dan terpecah-pecah. Kondisi matriks yang terfragmentasi ini akan

berbeda dengan matriks awal dalam hal: (a) matriks yang terfragmen akan

mempunyai area edge yang lebih luas, (b) jarak pusat matriks dengan edge menjadi lebih dekat (c) core area menjadi lebih sempit. Perbedaan inilah yang menyebabkan perbedaan komposisi/biodiversitasnya.

Karakteristik spasial fragmen banyak dipengaruhi oleh fenomena edge. Fenomena edge biasanya terjadi pada hutan-hutan yang telah mengalami pemusnahan vegetasi (penebangan) sehingga merubah struktur dominan vertikal.

Tanaman di daerah edge mendapat cahaya lebih banyak dibandingkan di interior dari sebuah fragmen. Hal ini akan menyebabkan meningkatnya temperatur dan

menurunkan kelembaban, selain itu kecepatan angin lebih tinggi dibandingkan

dengan hutan interior. Penggabungan perubahan pada cahaya, temperatur,

kelembaban dan kondisi angin di hutan edge mengubah struktur dan komposisi komunitas yang ada. Sebagai contoh, pacth-pacth deciduous di sebelah tenggara

Wisconsin, tipikal hutan edge mengandung lebih banyak spesies pioner dan tanaman xeric daripada interior. Kerapatannya lebih tinggi pada semak belukar

dan vegetasi herba penutup tanah sampai beberapa meter ke dalam hutan.

Tingginya kekayaan jenis di daerah tepi hutan dimungkinkan adanya invasi

(30)

Penyebab efek edge pada habitat khusus merupakan jarak yang konstan dari

border (tepi) ke poros (pusat) dari fragmen habitat, fragmen-fragmen yang lebih

kecil akan mengandung proporsi yang lebih tinggi pada habitat edge dibanding fragmen-fragmen yang lebih besar. Sebagai contoh, pada hutan remnant deciduous dari 1 ha dimana 100% habitat edge akan tidak mempunyai habitat interior, 10 ha fragmen mempunyai 5,3 ha edge (53%) dan 4,7 ha interior (47%), sedangkan hutan remnant yang 100 ha mempunyai 19 ha edge (19%) dan 81 ha interior (81%).

Selanjutnya banyak penelitian yang menghubungkan ukuran habitat

fragmen dengan jumlah spesies tanaman atau hewan. Salah satunya adalah

penelitian burung di daerah temperate dan tropika menunjukkan bahwa

menurunnya hutan fragmen yang teriosolasi akan menurunkan jumlah spesies

burung dan akan meningkatkan kepunahan lokal. Sebagai contoh, dalam

komunitas burung padang rumput diperkirakan spesies yang akan datang sebesar

79% pada 1000 ha fragmen padang rumput dan sebesar 31% spesies burung pada

10 ha fragmen padang rumput.

Namun adapula spesies yang toleran terhadap penurunan ukuran fragmen.

Sebagai contoh, spesies primata dengan jelajah khusus yang luas dari 10-100 ha

pada hutan-hutan tropika yang terisolasi.

Penurunan populasi akibat penurunan fragmen memberikan pengaruh

langsung dan tidak langsung dari hilangnya suatu habitat. Peningkatan kejadian

pemangsa burung dan parasit anak-anak burung pada fragmen kecil telah

menyebabkan penurunan populasi pada burung ”pengicau” yang disebabkan oleh

meningkatnya parasit arthopoda. Fragmentasi yang kecil juga menyebabkan

berjangkitnya serangga pemangsa karena rendahnya efisiensi pencarian oleh

predator. Pada akhirnya, rendahnya kunjungan para penyerbuk pada habitat

fragmen akan menghasilkan penurunan produksi biji pada spesies-spesies

tanaman tersebut.

Edge yang terbentuk mungkin merupakan hasil dari perubahan yang secara mendadak dari perbedaan jenis-jenis tanah, topografi, geomophic dan iklim mikro

(31)

Forest edge dicirikan dengan kondisi biofisik yang berbeda dengan ekosistem hutan dalam interior pacth (Chen et al, 1992; Hobbs and Humphries,

1995). Dari perspektif konservasi sangatlah penting bahwa forest edge jarang sekali ditemukan pada hutan-hutan yang tidak terganggu tetapi sangat umum

terdapat pada lansekap yang diubah secara artificial (Franklin & Forman, 1987; Noss & Cooperrier, 1994).

Keanekaragaman Jenis

Konsep keanekaragaman jenis (spesies diversity) berawal dari apa yang disebutkan sebagai keanekaragaman hayati (biodiversity). Dalam definisi yang luas keanekaragaman hayati merupakan keragaman kehidupan dalam semua

bentuk dan tingkatan organisme (Hunter, 1990), termasuk struktur, fungsi dan

proses-proses ekologi di semua tingkatan (Society of American Forester (1991)

dalam Kissinger (2001).

Sebagai suata usaha dalam memberikan definisi yang lebih operasional,

Crow et al. (1994) telah mengidentifikasi keanekaragaman menjadi tiga tipe atau

sub kelompok keanekaragaman, yakni: komposisi, struktural dan fungsional.

Keanekaragaman komposisi adalah keanekaragaman sesuatu dalam suatu

wilayah , seperti jenis dalam suatu tegakan hutan. Keanekaragaman struktur

dapat dicirikan dengan distribusi vertikal dan horizontal dari tumbuhan, ukuran

tumbuhan, atau distribusi umur. Sedangkan keanekaragaman fungsional dicirikan

dengan proses-proses ekologi, aliran energi, dan hubungan trophic level. Pada

tipe-tipe tersebut keanekaragaman dapat dilihat dari berbagai tingkatan organisasi

biologi, misalnya dari tingkatan genetik, jenis atau ekosistem (Probst and Crow,

1991).

Tiap tipe dan tingkatan keanekaragaman mengekspresikan berbagai skala

spasial, dari lokal sampai global. Memperhatikan skala relevansi dalam

manajemen, strategi yang baik pada tingkat lokal mungkin menurun untuk

keanekaragaman tingkat regional (Crow, 1990). Whitaker (1977) dalam

Magurran (1998) menyatakan tentang skala pengukuran dalam inventarisasi

(32)

a. Keanekaragaman titik (point diversity), yaitu nilai keanekaragaman pada suatu unit contoh yang diukur.

b. Keanekaragaman alpha (alpha diversity), yakni nilai keanekaragaman pada suatu habitat yang homogen (kumpulan atau gabungan keanekaragaman

titik).

c. Keanekaragaman gamma ( gamma diversity), yaitu keanekaragmagan suatu pulau atau landscape (kumpulan atau gabungan keanekaragaman alpha).

d. Keanekaragaman total (total diversity), yaitu nilai keanekaragaman suatu wilayah biogeografi (kumpulan dari keanekaragaman gamma).

Robert (1995) mengusulkan penyederhanaan agar menggunakan tiga skala

spasial yakni (1). Bagian dari areal tegakan yang dicirikan dengan suatu

kerusakan atau ciri tertentu sebagai akibat perlakuan yang berbeda terhadap

lahan, komposisi, atau strukturnya (diistilahkan dengan “patch’), (2) Tegakan

yakni suatu kumpulan pohon-pohon dan asosiasi vegetasi dari struktur yang

serupa yang tumbuh pada kondisi lahan yang serupa, (3) Lanscape yakni beragam

kawasan lahan dengan komposisi berbeda dalam suatu interaksi ekosistem.

Selain skala keruangan, tipe maupun tingkatan keanekaragaman tersebut

terjadi pula dalam skala waktu. Untuk itulah sebelum menentukan

keanekaragaman terlebih dahulu harus ditentukan tipe, tingkatan organisasi, dan

skala spasial maupun temporal.

Berdasarkan tingkatan organisasi biologi dalam suatu ukuran

keanekaragaman dan dengan pertimbangan kemudahan serta untuk lebih

membatasi cakupan permasalahan atau lingkup perhatian, keanekaragaman jenis

adalah ukuran keanekaragaman yang sering dipergunakan (Robert, 1995).

Keanekaragaman jenis (species diversity) pada dasarnya dapat disusun dari dua komponen. Pertama adalah jumlah jenis dalam suatu areal, yang mana para

ahli ekologi menyatakannya sebagai kekayaan jenis (species richness). Komponen kedua adalah species evennes atau kemerataan. Selanjutnya dikembangkan lagi suatu indeks yang berupaya mengkombinasi antara kekayaan jenis dan

kemerataan ke dalam satu nilai tunggal yang disebut sebagai indeks heterogenitas

(33)

Kekayaan jenis.

Kekayaan jenis pertama kali dikemukan oleh McIntossh tahun 1967.

Konsep yang dikemukakannya mengenai kekayaan jenis adalah jumlah

jenis/spesies dalam suatu komunitas. Kempton (1979) dalam Santosa (1995)

mendefinisikan kekayaan jenis sebagai jumlah jenis dalam sejumlah individu

tertentu. Sedangkan Hurlbert (1971) dalam Magurran (1988) menyatakan bahwa

kekayaan jenis adalah jumlah spesies dalam suatu luasan tertentu.

Beberapa indeks menyangkut kekayaan jenis yang umumnya dikenal adalah

sebagai berikut : (1) Metode rarefaction yang pertama kali dikemukan oleh Sanders (1986) dan disempurnakan oleh Hurbert (1971) (Maguran, 1988). (2)

indeks kekayaan jenis Margalef, (3) indeks kekayaan jenis Menhinick, (4) indeks

kekayaan jenis Jackknife.

Kemerataan jenis

Konsep ini menunjukkan derajat kemerataan kelimpahan individu antara

setiap spesies. Ukuran kemerataan pertama kali dikemukakan oleh Lloyd dan

Ghelardi (1964) dalam Magurran (1988) dapat pula digunakan sebagai indikator

adanya gejala dominansi diantara setiap spesies dalam suatu komunitas.

Beberapa indeks kemerataan yang umum dikenal diantaranya adalah : (1)

indeks kemerataan Hurlbert, (2) indeks kemerataan Shanon-Wiener, (3) indeks

kemerataan yang dikemukakan oleh Buzas dan Gibson (1969) dalam Krebs

(1989), (4) indeks kemerataan Hill (1973) dalam Ludwig dan Reynolds (1988)

yang lebih dikenal dengan istilah Hill’s evenness number.

Kelimpahan jenis

Istilah heterogenitas pertama kali dikemukakan oleh Good (1953) dalam

Krebs (1989). Istilah lain untuk konsep ini adalah kelimpahan jenis atau species

abundance (Magurran, 1988). Seperti dikemukan semula bahwa konsep ini

merupakan suatu indeks tunggal yang mengkombinasikan antara kekayaan jenis

dan kemerataan jenis. Diantara sekian banyak indeks heterogenitas, ada tiga

indeks yang paling sering dipakai oleh peneliti di bidang ekologi, yakni : indeks

(34)

Dalam hubungannnya dengan komunitas hutan, keanekaragaman jenis akan

bervariasi dari suatu tipe hutan dengan tipe hutan lainnya. Bruenig (1995)

mengemukakan bahwa keanekaragaman jenis secara konsisten menurun dari

kandungan humus podsol yang dalam, medium, dan dangkal sesuai kajiannya

pada beberapa tipe hutan (Dipterocarpaceae campuran-kerangas perbukitan-hutan

kerapah) di Serawak, Brunai dan Cina Selatan, serta Bana daerah Amazon.

Disimpulkannya bahwa kekayaan jenis berhubungan dan dibatasi kondisi tanah

dimana terdapat zone perakaran, aerasi dan kelembaban tanah, kandungan hara

dan kualitas humus.

Struktur Tegakan

Struktur tegakan dapat ditinjau dari dua arah, yaitu: struktur tegakan

vertikal dan horisontal (Ibie, 1997). Struktur tegakan vertikal oleh Richard (1996)

dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan tajuk.

Sedangkan Husch et al (1982) menyatakan bahwa struktur tegakan horisontal

merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensinya,

yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan.

Struktur tegakan hutan biasanya digambarkan melalui diagram profil.

Diagram ini merupakan dua sketsa dari semua pohon yang berada pada areal yang

memiliki ukuran lebar 7,5 meter dan panjang 60 meter. Untuk gambaran vertikal

pohon, umunya pohon dengan tinggi 5 m atau 6 m yang relatif dimuat dalam

gambaran. Dengan demikian lebih diutamakan atau terbatas pada pohon-pohon

yang berada pada fase dewasa (Whitmore, 1986).

Daniel et al. (1987) mengemukan bahwa struktur tegakan menunjukkan

sebaran dan atau kelas diameter dan kelas tajuk. Pada hutan tidak seumur sering

mempunyai karakteristik distribusi semua diameter yang diasumsikan dimiliki

oleh tegakan semua umur. Hutan hujan tropis merupakan suatu tipe dari tegakan

tidak seumur yang mana distribusi kelas diameternya sesuai dengan bentuk J

terbalik.

Oliver dan Larson (1990) menjelaskan bahwa struktur tegakan adalah

(35)

horisontal dan vertikal (3). Besarnya pohon atau bagian pohon yang mencakup

volume tajuk, luas daun, dan lain-lain (4) umur pohon, (5) kombinasi dari

kondisi-kondisi yang telah disebutkan sebelumnya.

Pengetahuan menyangkut struktur tegakan ini dapat memberikan informasi

mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai dari tingkat

semai, pancang, tiang dan pohon (Marsono dan Sastrosunarto, 1981).

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan struktur tegakan adalah lebih

mengarah ke struktur tegakan horizontal, yakni menyangkut nilai luas bidang

dasar, frekwensi dan kerapatan pohon.

Spesies Indikator

Spesies indikator merupakan organisme yang dapat menunjukkan kondisi

lingkungan secara akurat, yang juga dikenal dengan bioindikator. Spesies

indikator juga mempunyai arti sebagai spesies yang dapat memberikan gambaran

tentang kondisi lingkungan suatu tempat.

Hellawel (1986); Rosenberg and Wiens (1989) dalam Rosenberg dan Resh (1993) menyatakan bahwa karakteristik ideal dari jenis organisme indikator

adalah:

a) Mudah diidentifikasi

b) Tersebar secara kosmopolit

c) Kelimpahan dapat dihitung

d) Variabilitas ekologi dan genetik rendah

e) Ukuran tubuh relatif besar

f) Mobilitas terbatas dan masa hidup relatif lama

g) Karakteristik ekologi diketahui dengan baik

h) Terintegrasi dengan kondisi lingkungan

i) Cocok untuk digunakan pada studi laboratorium

Kegunaan Spesies Indikator

Dalam penilaian cepat skala besar keragaman jenis dan potensi regenerasi

(36)

hutan dengan mudah dan cepat adalah dengan mengukur parameter-parameter

hutan tersebut. Salah satu pendekatan yang digunakan adalah dengan kehadiran

spesies indikator pada hutan yang telah terganggu (Person, 1995; World Bank,

1998; Lindermayer et al., 2000)

Hutan sekunder memainkan peranan penting dalam konservasi keragaman

jenis pohon di Asia Tenggara karena terus meningkatnya fragmentasi dan

berkurangnya luas hutan-hutan tidak terganggu di wilayah ini. Suatu metode

pengujian cepat dibuat untuk memfasilitasi penetapan kesempurnaan hutan-hutan

sekunder dalam istilah struktur hutan dan komposisi jenis, dengan menggunakan

jenis tumbuhan indikator dari marga Macaranga dan Mallotus (Euphorbiaceae) (Slik, 2003).

Kerusakan hutan dan jenis-jenis tumbuhan perintis

Salah satu dari perubahan-perubahan yang jelas terlihat setelah kerusakan di

hutan-hutan tropis adalah kemunculan jenis tumbuhan perintis secara tiba-tiba.

Meningkatnya jenis-jenis perintis di habitat-habitat yang terganggu berkaitan erat

dengan meningkatnya kadar cahaya di lapisan bawah hutan. Karena adanya

peningkatan jumlah jenis-jenis perintis setelah kerusakan, maka jenis-jenis

perintis tersebut pada prinsipnya cocok untuk mendeteksi dan mengukur

kerusakan hutan tropis. Disini fokusnya adalah pada dua marga yang berhubungan

erat, mudah untuk dikenali, marga yang kaya jenis di Asia Tenggara, yaitu

Macaranga dan Mallotus.

Banyak jenis dari kedua marga ini dapat diklasifikasikan sebagai ciri khas

jenis-jenis perintis dan kelimpahannya berkaitan erat dengan tingkat umum

kerusakan di hutan-hutan yang diteliti jangka waktu setelah kerusakan terjadi, dan

jumlah kerusakan.

Mengukur tingkat kerusakan di hutan terbakar dan bekas pembalakan

didapat dari kelimpahan jenis pohon perintis marga Macaranga dan Mallotus, serta dari komposisi komposisi komunitas burung dan kupu-kupu. Umumnya

genus Macaranga cepat tumbuh, pohon juga dapat mencapai ketinggian 20 m.

Beberapa spesies Macaranga dikaitkan dengan semut untuk memproduksi nutrisi

(37)

gangguan terhadap sebuah kawasan hutan (Slik et al. 2003). Sangat menarik

untuk dikaji bahwa distribusi populasi masing-masing berbeda dari satu spesies

Macaranga terhadap spesiea Macaranga lainnya, yang mana didasarkan pada

kondisi habitatnya masing-masing.

Pola Sebaran Spasial

Pola sebaran spasial tanaman maupun satwa merupakan karakter penting

dalam komunitas ekologi. Hal ini merupakan kegiatan awal yang dilakukan untuk

meneliti suatu komunitas dan merupakan hal yang sangat mendasar dari

kehidupan suatu organisme (Cornel, 1963 dalam Ludwig & Reynold, 1988). Pola

sebaran spasial ini merupakan aspek penting dalam struktur populasi dan

terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya (Iwao, 1970).

Hutchinson (1953) dalam Ludwig dan Reynold (1988) menyebutkan

faktor-faktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial, yaitu:

a. Faktor vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan

(misalnya angin, intensitas cahaya, dan air)

b. Faktor reproduksi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut bereproduksi

c. Faktor co-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan dari intraspesifik (misalnya

kompetisi)

d. Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada

beberapa faktor diatas.

Terdapat tiga pola dasar sebaran spesies yaitu : (1) acak atau random, (2) mengelompok atau clump, (3) seragam atau uniform (Odum, 1971; Ludwig & Reynold, 1988; McNaughton & Wolf, 1990).

Pola acak terbentuk akibat dari lingkungan yang homogen (Odum, 1971;

Ludwig and Reynold, 1988) atau perilaku yang non selektif. Rosalina (1996)

menyatakan bahwa sebagian besar jenis flora khususnya di daerah tropis, pola

sebarannya umumnya acak. Bruenig (1995) dalam Kissinger (2002)

mengemukakan bahwa terbentuknya pola acak suatu jenis disebabkan jenis

tersebut dalam proses hidupnya dapat bertahan dan berlangsung relatif baik tanpa

(38)

Pola sebaran non acak (mengelompok atau seragam) menunjukkan bahwa

terdapatnya suatu faktor pembatas pada populasi yang ada (Ludwig & Reynold,

1988). Pola sebaran yang tidak acak biasanya ditemui akibat adanya keteraturan

sebagai akibat adanya kendala atau faktor pembatas terhadap keberadaan jenis

tertentu atau kesesuaian jenis dari populasi tertentu terhadap lingkungan

(Rosalina, 1996).

Bila sebaran tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada

suatu titik meningkatkan peluang adanya individu yang sama pada suatu titik yang

lain didekatnya. Sedangkan sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang

berlawanan seperti apa yang terjadi pada sebaran mengelompok (McNaughton &

Wolf, 1990).

Pola spasial yang didapat dari hutan hujan tropis merupakan kunci penting

untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon. Manokaran

(1992) mengungkapkan berdasarkan penelitian mengenai pola spasial yang terjadi

pada spesies pohon Hutan Cadangan Pasoh Peninsular Malaysia, bahwa sebaran

spasial yang terjadi pada spesies pohon tergantung pada topografi, kelembaban

(39)
(40)

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada remnant forest (hutan sisa) Kawasan Konservasi Hutan Duri PT. Caltex Pacifik Indonesia dengan luas 255 hektar di

dalam kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja, Provinsi Riau. Waktu penelitian

dilaksanakan dari bulan Maret sampai Desember 2004.

Bahan dan Alat

Objek penelitian adalah vegetasi dari suatu hutan sisa akibat fragmentasi

kawasan hutan Suaka Margasatwa Balai Raja. Bahan yang digunakan adalah

bahan keperluan untuk pembuatan herbarium seperti alkohol 70%, kantong

plastik, kertas koran, label gantung, karung dan tally sheet.

Alat yang digunakan meliputi peta lokasi, meteran, pisau, parang, penggaris,

lakban, haga hypsometer, pita ukur, phi band, kompas, peralatan dokumentasi,

dan alat tulis menulis.

Metode Teknik Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data vegetasi yang mencakup:

a. Jumlah invidu, jumlah jenis, diameter setinggi dada, tinggi, dan luas

penutupan tajuk (untuk kepentingan pembuatan diagram profil) untuk

tingkat pohon dan tiang.

b. Jumlah jenis vegetasi tingkat pancang dan semai

Pembuatan plot pengamatan.

1. Sebelum dilakukan pembuatan petak contoh pengamatan, terlebih dahulu

dilakukan kegiatan survei pendahuluan dan ditunjang dengan studi peta

(41)

2. Penetapan jalur dilakukan secara purposive sampling berupa jalur-jalur analisis vegetasi yang ditempatkan mulai dari tepi hutan sisa sampai ke

dalam hutan dengan panjang jalur 300 meter dan jarak antar jalur yang

bervariasi tergantung dengan kondisi keberadaan vegetasi di lapangan.

3. Jalur pengamatan adalah berupa jalur berpetak dengan ukuran petak contoh

20m x 20m untuk tingkat pohon dimana dilakukan pencatatan jumlah jenis,

diameter setinggi dada, dan tinggi pohon. Dalam petak contoh 20m x 20m

dibuat sub petak contoh berukuran 10m x 10m untuk tingkat tiang dimana

dilakukan pengamatan jumlah jenis, diameter setinggi dada, dan tinggi

vegetasi; sub petak contoh 5m x 5m untuk pengamatan permudaan tingkat

pancang; sub petak contoh berukuran 2m x 2m untuk pengamatan

permudaan tingkat semai.

Berdasarkan komposisi jenis yang dihasilkan dari tiap contoh, kemudian

dilakukan perhitungan ukuran keanekaragaman jenis (kekayaan, kemerataan dan

kelimpahan jenis). Dari data yang diperoleh digunakan juga dalam penentuan

struktur tegakan. Selain itu dilakukan perhitungan indeks nilai penting (INP) dari

(42)

Gambar 2 Penempatan transek pengamatan pada lokasi penelitian.

Gambar 3 Teknik pengumpulan data untuk kepentingan analisis vegetasi.

(a = 2m x 2m; b = 5m x 5m; c = 10m x 10 m; d = 20m x 20 m)

a b c

d

(43)

Analisis Data

Determinasi jenis

Untuk mengetahui nama jenis dan famili dari jenis-jenis tumbuhan yang

diamati adalah dengan membuat herbarium masing-masing jenis dan kemudian

diidentifikasi pada Herbarium Bogoriense, Bidang Botani Pusat Penelitian

Biologi-LIPI Bogor, disamping itu dengan menggunakan literatur yang ada

kemudian dicocokkan dengan nama daerah dari masing-masing jenis.

Indeks Keragaman

Indeks keragaman yang ditentukan meliputi kekayaan jenis, kelimpahan

jenis dan kemerataan (Magurran, 1988)

1. Kekayaan jenis (Species richness)

Indeks Kekayaan jenis dihitung menggunakan indeks kekayaan jenis

Margalef, yakni sebagai berikut :

DMg = (S – 1) / Ln.N

Dimana :

DMg = indeks diversitas Margalef

S = jumlah jenis yang teramati

N = jumlah total individu yang teramati

ln = logaritma natural

2. Kelimpahan jenis (Species Abudance)

Penentuan indeks kelimpahan jenis pada penelitian ini menggunakan indeks

Shannon-Wiener, yang dihitung dengan formula berikut :

(44)

Dimana

H’ = indeks diversitas Shanon s = jumlah jenis

pi = proporsi jumlah individu ke-i (ni/N) ln = log natural

3. Kemerataan jenis (Species evenness)

Kemerataan jenis ditentukan dengan menggunakan indeks kemerataan jenis

Shannon-Wiener dengan persamaan sebagai berikut :

Dimana

J = indeks kemerataan

H’ = indeks diversitas Shannon

H’maks = ln(s)

Dominansi spesies tumbuhan

Perhitungan dominansi spesies tumbuhan baik tingkat pohon dan permudaan serta

tumbuhan bawah ditentukan dengan menghitung indeks nilai penting, dengan

persamaan sebagai berikut :

1. Tingkat pohon dan tiang

(45)

Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR + DR

2. Tingkat permudaan pancang dan semai

Indeks Nilai Penting (INP) = KR + FR

Struktur Tegakan Tingkat Pohon dan Tiang. Analisa struktur vegetasi vertikal dilakukan dengan menggunakan diagram profil. Petak contoh yang

digunakan untuk pembuatan diagram profil diperoleh dengan mengambil

masing-masing satu jalur yang mewakili kondisi bagian utara, selatan, timur dan barat

hutan sisa yang diamati. Gambaran yang disajikan merupakan proyeksi dari

kondisi vegetasi pohon dan tiang dalam suatu areal dengan lebar 20 meter dan

panjang 80 meter. Selanjutnya untuk pembuatan diagram profil dilakukan

pengukuran tinggi dan luas penutupan tajuk baik pada tingkat pohon maupun

(46)

Penentuan Lebar Edge.

Penentuan lebar nilai edge adalah dengan menggunakan analisis gerombol (Bray Curtis Cluster Analisis). Adapun tahapan dalam analisis cluster tersebut

adalah sebagai berikut :

1. Data jumlah individu setiap jenis yang terdapat pada masing-masing petak

perjalur dimasukkan dalam tabel sehingga terdapat dua tabel yaitu

masing-masing untuk tingkat semai dan pancang.

2. Dilakukan penghitungan nilai jarak diantara dua unit contoh dengan

menggunakan rumus Bray Curtis Distance. Metode penggabungan

unit-unit contoh yang digunakan adalah average lingkage clustering, yaitu jarak antar cluster yang dihitung berdasarkan pada jarak rata-rata diantara

setiap pasangan unit contoh atau cluster.

3. Cluster-cluster yang terbentuk dan jarak antar cluster digambarkan dalam

sebuah dendogram.

4. Jarak cluster untuk klasifikasi ditentukan dengan menggunakan indeks

kesamaan komunitas Sorensen. Titik pembatas dendogram ditentukan

pada koefisisen jarak dimana diperkirakan setiap cluster yang terbentuk

memiliki indeks kesamaan sebesar ≥ 25% (Mueller-Dombois dan

Ellenberg, 1974). Indek kesamaan komunitas didapatkan dari rumus

indeks kesamaan komunitas Sorensen dengan persamaan sebagai berikut:

2 C

IS jk = --- x 100%

A + B

Dimana :

IS = persen similarity antara unit contoh ke-j dan unit contoh ke- k.

A = jumlah jenis di dalam contoh A

B = jumlah jenis di dalam contoh B

C = jumlah jenis yang sama atau lebih kecil dari jenis-jenis yang sama

(47)

5. Hasil dari klasifikasi tersebut kemudian dibahas lebih lanjut secara

deskriptif terhadap jumlah cluster yang terbentuk.

6. Berdasarkan cluster-cluster yang terbentuk dalam setiap jalur, dilakukan

pencaharian keberadaan spesies indikator pada setiap petak. Kehadiran

spesies indikator pada setiap petak dalam cluster tersebut menunjukkan

(48)

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

Sejarah Pengelolaan

Kawasan SM Balai Raja sebelum ditetapkan sebagai kawasan suaka

margasatwa pada tahun 1986, adalah bagian dari HPH PT Chandra Dirgantara,

yang ditetapkan pada tahun 1980 berdasarkan SK. Mentan No.

228/Kpts/Um/4/1980 tertanggal 1 April 1980. Kemudian pada tahun 1986, ketika

HPH PT Chandra Dirgantara berhenti beroperasi, kawasan tersebut ditetapkan

menjadi Suaka Alam. Kawasan Suaka Margasatwa Balai Raja ini ditunjuk

dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 173/Kpts-II/1986 tanggal 6 Juni

(SK. TGHK Propinsi Riau).

Bagian Utara dari kawasan SM Balai Raja ini bertumpang tindih dengan

kawasan HPH PT CD. Sehingga kawasan SM Balai Raja bagian Utara telah

mengalami kerusakan yang parah dibandingkan di bagian Selatan kawasan.

Tumpang tindih atau duplikasi kegiatan HPH di kawasan Suaka Margasatwa ini

tak pelak memicu pula terjadinya perambahan hutan di berbagai pelosok kawasan

SM Balai Raja. Terlebih kawasan SM Balai Raja ini dikelola dengan personil,

sarana dan prasarana dan pendanaan yang amat terbatas.

Letak dan Luas

Secara geografis kawasan SM Satwa Balai Raja terletak pada koordinat

101005-101025’ BT dan 01007-01015’LU. Secara administrasi pemerintahan terletak di Kecamatan Mandau Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau dan

berdasarkan pengelolaan wilayah kerja Konservasi Sumber Daya Alam masuk ke

dalam wilayah Balai Seksi Konservasi Sumberdaya Alam Bengkalis- Dumai,

Balai Konservasi Sumberdaya Alam Riau dengan luas 18.880 hektar.

Penggunaan dan Penutupan Lahan

Penggunaan lahan SM Balai Raja, yang dapat diidentifikasi oleh Landsat

(49)

terdiri dari hutan rawa dan hutan dataran rendah. Semak belukar merupakan

penutupan lahan yang didominasi oleh vegetasi semak. Alang-alang merupakan

penutupan lahan yang didominasi oleh rumput alang-alang. Lahan terbuka

merupakan kondisi penutupan lahan yang tanpa atau dengan vegetasi yang

minimal. Daerah terbangun merupakan penutupan lahan yang didominasi oleh

pemukiman dan infrastruktur lainnya. Perkebunan merupakan penutupan lahan

oleh tanaman perkebunan yaitu kelapa sawit dan karet.

Analisis perubahan penggunaan dan penutupan lahan, dilakukan dengan

membandingkan data Landsat Tahun 1985, 1989, 1992, 2000 dan 2004.

Iklim

Kawasan SM Balai Raja sebagian besar termasuk dalam wilayah

administrasi Kabupaten Bengkalis. Berdasarkan Lembaga Penelitian Tanah dan

Agroklimat - Bogor, data curah hujan rata-rata tahunan kawasan SM Balai Raja

berkisar antara 2.500 mm – 2.750 mm/tahun (Gambar .). Memiliki bulan basah 6

dan tanpa bulan kering. Kelembaban rata-rata berkisar antara 79% - 83%.

Temperatur maximum rata-rata sebesar 32,9 oC dan temperatur minimum rata-rata sebesar 21,3 oC. Musim kemarau berkisar pada bulan Februari – Agustus, sedangkan musim penghujan pada bulan September – Januari.

(50)

Elevasi dan Kelas Kemiringan Lahan

Kondisi bentang alam kawasan SM Balai Raja adalah daerah dataran rendah

bergelombang dengan daerah depresi (cekungan) yang menyebar diantara

bukit-bukit kecil. Satuan morfologi ini sebagian merupakan daerah rawa-rawa.

SM Balai Raja berada pada ketinggian dengan kisaran 25 – 75 m diatas

permukaan laut (mdpl) (BAKOSURTANAL, 1 : 50.000, 1989). Bila dilihat dari

perbedaan ketinggian yang relatif kecil tersebut menunjukkan bahwa bentuk lahan

pada SM Balai Raja umumnya datar sampai bergelombang dengan kemiringan

lereng berada pada kisaran 0 – 8 %.

Berdasarkan peta topografi bagian utara – barat kawasan SM Balai Raja

termasuk datar (slope: 0 – 3%), sedangkan bagian timur – selatan dalam kisaran

datar – bergelombang (slope: 0 – 8%). Akan tetapi, pada beberapa lokasi seperti

di sempadan sungai, terutama sungai yang mengalir ke arah utara, kemiringan

lerengnya antara 8 – 15%. Penutupan lahan pada sempadan sungai tersebut

umumnya masih berupa hutan atau semak belukar rapat. Berdasarkan

pengamatan lapang, penutupan lahan pada daerah-daerah yang datar banyak

didominasi oleh kebun sawit, alang-alang, ladang, pemukiman dan semak.

Petrografi

Sifat petrografi atau batuan induk, waktu pembentukan dan kondisi iklim

merupakan tiga faktor penentu utama pedogenesis atau proses pembentukan tanah

di lokasi studi.

Berdasarkan Peta Geologi Bersistem Indonesia, Lembar Dumai (0817) dan

Bagan Siapi-api (0878), Sumatra skala 1:250.000 (Cameron, et al., 1982), petrografi lokasi studi terbentuk dari batu-batuan yang berasal dari Formasi Minas

(Qpmi) berumur Quarter-pleistosen yang terdiri atas batulumpur lunak

terkaolinkan dan terurat limonitkan, batulanau, pasir dan kerikil. Formasi ini

merupakan daerah lipatan dan peralihan antara antiklin dan sinklin.

Fisiografi

(51)

Grup aluvial berkembang dari endapan aluvial sungai dan menempati

jalur-jalur aliran sungai. Grup fisiografi ini ditandai oleh adanya dataran banjir dari

sungai bermeander yang terutama membentuk tanggul sepanjang sungai utama

yang letaknya lebih tinggi dari daerah rawa belakang dan terbentuk dari bahan

endapan halus, sehingga drainasenya terhambat.

Grup dataran merupakan bentukan dari bahan sedimen yang berasal dari

Formasi Minas yang telah mengalami proses pengangkatan atau lipatan sehingga

membentuk wilayah datar sampai berombak agak bergelombang. Grup dataran

memiliki sejarah yang cukup kompleks, yaitu telah mengalami proses geomorfik

di permukaan, termasuk proses erosi dan sedimentasi serta pelipatan.

Pembagian lebih lanjut Grup Dataran didasarkan atas morfologi bentang

alam dan tingkat torehan. Karena proses pembentukan tanah lebih tua dari proses

penorehan atau erosi, maka dijumpai perbedaan antara profil tanah yang sedikit

tererosi pada daerah punggung dan profil tanah tererosi sedang sampai berat pada

daerah lereng.

Berkaitan dengan penggunaan dan penutupan lahannya, daerah yang

digunakan untuk permukiman digolongkan kedalam Grup Aneka Bentuk. Di

lokasi studi, grup ini hanya dijumpai di sekitar Duri.

Tanah

Hasil analisis dan evaluasi sifat kimia dan tekstur yang dilakukan terhadap

17 contoh tanah yang mewakili kondisi tanah di lokasi studi menunjukkan bahwa

secara umum tanah di lokasi studi dicirikan oleh reaksi tanah yang sangat masam

sampai masam yang didukung oleh kadar kation-kation basa Ca dan Mg sangat

rendah, dengan kejenuhan Al sebagai penyumbang utama kemasaman pada

tingkat tinggi sampai sangat tinggi. Kadar unsur hara esensial utama N, P dan K

juga berada pada tingkat sangat rendah sampai rendah, kecuali pada lahan-lahan

perkebunan kelapa sawit dengan kadar P tergolong sedang sampai tinggi sebagai

akibat dari tindakan pemupukan. Kadar bahan organik tanah yang ditunjukkan

oleh kadar C-organik secara umum juga tergolong sangat rendah sampai rendah,

kecuali pada lahan kebun kelapa sawit dan rawa gambut yang tergolong tinggi dan

(52)

menyebabkan tanah di lokasi studi memiliki kapasitas tukar kation (KTK) dan

kejenuhan basa (KB) yang juga tergolong sangat rendah sampai rendah. Dengan

demikian, tanah di lokasi studi memiliki tingkat kesuburan kimia yang sangat

rendah.

Lokasi studi terdapat 4 klas kemampuan lahan, yaitu klas II, III, IV dan

VIII. Makin tinggi klasnya maka makin berat upaya penanggulangan terhadap

faktor-faktor pembatasnya, baik dari segi biaya maupun aspek teknisnya.

Artinya, makin sempit alternatif penggunaannya. Sebaliknya, makin rendah

klasnya makin baik tanah tersebut untuk semua kegiatan pertanian. Luasan setiap

klas kemampuan lahan disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Sebaran luas kemampuan lahan

Klas Kemampuan

Lahan

II III IV VIII X Total

Luas (Ha) 5799.93 5123.24 4633.17 990.33 126.60 16673.27

Luas (%) 34.79 30.73 27.79 5.94 0.75 100.00

Hidrologi

Kawasan yang bertipe ekosistem hutan hujan dataran ini dialiri oleh 3 (tiga)

buah sungai Balai Raja, Sungai Meliliang dan Sungai Titian Jangkar yang

mengalir membelah kawasan dari utara sampai selatan sampai bermuara di

Sungai Mandau.

Pada bagian sebelah barat, daerahnya relatif datar dengan kondisi drainase

kurang baik, sehingga pada daerah tersebut merupakan daerah rawa yang cukup

luas. Jaringan sungai hanya terdapat pada daerah bagian selatan dan timur dengan

anak sungai kecil-kecil dengan pola aliran menyebar. Sungai-sungai di daerah ini

cenderung mengalir ke arah timur dengan pola aliran berbentuk dendritik, yaitu

anak-anak sungai bertemu dengan sungai utama membentuk sudut lancip.

Fluktuasi debit musim hujan dan musim kemarau cukup besar. Pada musim

(53)

Kondisi air tanah cukup dalam pada daerah sebelah timur, selatan dan

utara-timur. Pada daerah ini air tanah dangkal dijumpai pada daerah depresi (cekungan).

Kondisi Vegetasi dan Habitus

Kondisi vegetasi di kawasan SM Balai Raja pada saat ini terbagi menjadi

beberapa kelompok yaitu hutan, semak belukar, alang-alang, riparian dan vegetasi

pada areal berair, ladang, kebun kelapa sawit, dan kebun karet. Areal SM Balai

Raja merupakan habitus berbagai jenis vegetasi terutama vegetasi hutan dataran

rendah pada saat ditetapkan menjadi kawasan suaka margasatwa. Kawasan SM

Balai Raja ini merupakan salah satu kelompok hutan dataran rendah di Sumatera

yang juga merupakan habitat berbagai jenis satwaliar, mamalia, burung, reptilia

dan amphibia. Namun pada saat ini areal bervegetasinya terutama hutan telah

berubah secara mencolok.

Hutan sebagai tumpuan habitus berbagai jenis vegetasi di SM Balai Raja

telah menyusut tajam yaitu tinggal 705 Ha pada tahun 2004. Pada saat ini kondisi

hutan sebagian besar terpencar dengan luasan yang sangat kecil dan terdapat dua

kelompok pada dua bagian kawasan yaitu di kanan-kiri anak sungai Mandau dan

di hutan kawasan konservasi Caltex.

Hutan yang tersisa dengan luasan yang kecil, umumnya berupa hutan

sekunder yang rawang. Dengan strata tajuk yang ada yaitu C, D dan E. Jenis

vegetasi yang utama jenis yang tidak digunakan/ditebang oleh masyarakat dan

kelompok jenis mahang (Macaranga spp) anggerung (Trema oriantalis). Namun untuk hutan di kawasan konservasi Caltex relatif kondisinya cukup bagus

dibandingkan yang lainnya. Strata tajuk hutan terdiri atas strata A (ketinggian

tajuk di atas 30 m) tidak ada, strata B ( ketinggian tajuk 20 – 30 m) dihuni oleh

jenis antara lain Kempas (Koompasia malacensis), Giam (Anisoptera cf.

marginata Korth), dan Meranti batu (Shorea sp). Strata C (ketinggian tajuk 20 –

10 m) ditempati oleh beberapa jenis vegetasi diantaranya Putek (Barringtonia

giganthostachya), Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk), Banik dan Petaling

(Ochanostachys amentacea). Sedangkan strata D (ketinggian tajuk 10 – 4 m)

diduduki oleh jenis-jenis vegetasi yaitu Sekubit , Balik angin (Mallotus

(54)

lantai hutan ditumbuhi oleh jenis vegetasi ibu-ibu (Anisophylla disticha (Jack) Baillon) dan pasak bumi (Eurycoma longifolia).

Satwa Liar

Pada kawasan ditemukan jenis-jenis mamalia besar, seperti (Elephas

maximus), Harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), Beruang madu

(Helarctos malayanus) dan Tapir (Tapirus indicus), Lutung (Presbytis cristata)

dan Beruk (Macaca nemestrina), Babi hutan (Sus barbatus), Landak (Hystrix

brachyura), trenggiling (Manis javanica). Sedangkan jenis-jenis burung yaitu

cekakak hutan melayu (Actenoides concretus), cica daun sayap biru (Chloropsis

cochinchinensis), cipoh jantung (Aegithina viridissima), takur tenggeret

(Magalaima australis), rangkong badak (Buceros rhinoceros), kangkareng hitam

(Anthracoceros malayanus), pelatuk ayam (Dryocopus javensis), gagak kampung

(Corvus macrorhyncos), gagak hutan (Corvus enca), tuwur asia (Eudynamys

scolopacea), tiung emas (Gracula religiosa), ciung air pompong (Macronous

ptilosus), srigunting batu (Dicrurus paradiseus), pelatuk sayap merah (Picus

puniceus), puyuh sengayan (Rollulus rouloul).

Mamalia kecil yang dijumpai pada kawasan SM.Balai Raja khususnya di

kawasan hutan Konservasi Caltex terdiri dari dua ordo yaitu Rodentia dan

Scandentia. Ordo Rodentia terdiri dari tikus dan bajing, tikus termasuk famili

Muridae sedangkan bajing atau squirrels termasuk famili Sciuridae. Jenis-jenis tikus yang ditemukan antaralain tikus duri coklat (Maxomys rajah), tikus duri merah (Maxomys surifer), tikus duri ekor pendek (Maxomys whiteheadi) dan satu jenis bajing. Tupai dikelompokkan ke dalam ordo scandentia dan hanya terdapat

satu famili yaitu Tupaiidae. Ada dua jenis tupai yang ditemukan yaitu tupai akar

(Tupai glis) dan tupai ekor sikat (Ptilocercus lowii).

Sementara jenis-jenis burung penghuni Edge hutan yang tercatat adalah

kepudang kuduk hitam (Oriolus chinensis), cinenen belukar (Orthotomus

atrogularis), wiwik kelabu (Cacomantis merulinus), wiwik lurik (Cacomantis

sonneratii), merbah mata merah (Pycnonotus brunneus), asi besar (Malacopteron

(55)

chinensis), perkutut jawa (Geopelia striata), raja udang meninting (Alcedo

maninting), kirik-kirik biru (Merops viridis).

Jenis reptilia yang tercatat antara lain adalah Buaya (Crocodilus sp.), Biawak (Varanus sp.) dan beberapa jenis ular.

Demografi desa sekitar SM Balai Raja, Kabupaten Bengkalis

SM Balai Raja berbatasan dengan dua wilayah kelurahan, yakni Kelurahan

Pematang Pudu (Kecamatan Mandau) – yang merupakan bagian dari Kota Duri

dan Kelurahan Balai Raja (Kecamatan Pinggir). Kedua wilayah ini berstatus

Kelurahan karena sudah berciri kota (urban) dan memiliki jumlah dan kepadatan

penduduk yang relatif tinggi. Jumlah dan kepadatan penduduk di kedua kelurahan

ini berbeda kontras dengan tiga desa lain yang juga berada di sekitar SM Balai

Raja, yakni Desa Pinggir (Kecamatan Pinggir), Desa Tengganau dan Desa Petani

(Kecamatan Mandau), ditampilkan pada Tabel 2. Perbedaan kondisi demografis

ini bahkan sudah tampak sejak 1985.

Tabel 2 Kepadatan penduduk desa-desa sekitar Suaka Margasatwa Balai Raja, Tahun 1985, 1995, 1998 dan 2003

Kelurahan/Desa Luas

(Km2)

Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)

1985 1995 1998 2003 Kelurahan

1. Pematang Pudu, Kec. Mandau 25,0 264,0 354,1 446,5 447,8

2. Balai Raja, Kec. Pinggir 30,0 34,1 53,3 73,6 100,4

3. Desa Pinggir, Kec. Pinggir 230,0 1,4 4,7 22,9 31,0

4. Desa Tengganau, Kec. Mandau 260,0 1,4 3,3 10,1 10,2

5. Desa Petani, Kec. Mandau 207,0 4,9 18,6 26,5 26,7

Sumber : Kantor Statistik Kabupaten Bengkalis (diolah).

Aksesibilitas

Kawasan dapat dicapai dengan tranportasi darat melalui route

(56)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Memetakan Nilai Edge

Penentuan lebar nilai edge adalah dengan menggunakan cluster analisis pada tingkat semai dan tingkat pancang. Penentuan lebar nilai edge menggunakan tingkat semai dan pancang tersebut didasarkan pada respon tingkat semai dan

pancang yang lebih sensitif terhadap keterbukaan dan ketersediaan cahaya

dibandingkan dengan tingkat tiang dan pohon (Primack & Lee, 1991).

Klasifikasi Vegetasi

Cluster-cluster yang terbentuk dari hasil analisis cluster untuk kedua belas

jalur yang ada pada tingkat semai berjumlah 5 - 11 cluster dengan rentang nilai

Indeks Kesamaan sebesar 15,57% sampai 66,66 %, sedangkan pada tingkat

pancang, cluster yang terbentuk berjumlah 6 – 11 cluster dengan rentang nilai

Indeks Kesamaan sebesar 20,67% sampai 73,73%. Adapun jumlah cluster yang

terbentuk pada masing-masing jalur baik untuk tingkat semai maupun tingkat

pancang dapat dilihat pada tabel 3 dibawah ini.

Tabel 3 Jumlah cluster dan indeks kesamaan pada cluster-cluster yang terbentuk dari unit-unit contoh pada tingkat semai

No Tingkat Semai Tingkat Pancang

Jalur

Cluster yg

terbentuk IS (%)

Cluster yg

terbentuk IS (%)

1 9 15,57 - 58, 33 8 26,44 – 50,00

2 11 21,10 -59,46 7 25,81 - 35,09

3 9 28,57 - 58,33 11 28,57 - 35,00

4 9 26,09 - 42,86 10 25,90 - 73,73

5 8 23,70 - 66,66 6 25,48 - 41,33

6 10 24,44 - 43,48 7 20,67 - 40,36

7 11 25,00 -37,04 7 25,60 - 63,64

8 6 22,49 - 43,33 8 25,69 - 58,66

9 9 26,01 - 37,50 11 25,88 – 41,00

10 5 25,50 - 56,48 9 27,59 - 47,62

11 7 25,50 - 55,86 9 25,00 - 41,67

12 7 20,83 - 40,00 10 31,25 - 41,34

(57)

Berdasarkan cluster-cluster yang terbentuk dari setiap jalur terdapat

sebanyak 6 jalur pada tingkat semai yang mempunyai nilai minimal IS di bawah

25% (15,57, 21,10%, 23,70, 24,44, 22,49), yaitu pada jalur 1, jalur 2, jalur 5, jalur

6, jalur 8 dan jalur 12. Sedangkan pada tingkat pancang terdapat hanya satu jalur

yang mempunyai nilai IS di bawah 25% (20,67), yaitu pada jalur 6.

Cluster yang mempunyai nilai indeks kesamaan rendah menunjukkan bahwa

kecilnya kesamaan spesies pada unit-unit contoh di dalam cluster tersebut.

Komposisi spesies tumbuhan yang ditemukan pada setiap unit contoh

berbeda-beda sehingga sulit untuk menemukan spesies yang sama. Masing-masing unit

contoh merupakan asosiasi dengan komposisi spesies yang berbeda-beda,

sehingga bila di dalam cluster terdapat banyak asosiasi maka akan menyebabkan

rendahnya tingkat kesamaan spesies diantara unit contoh. Sedang cluster-cluster

yang mempunyai nilai lebih besar dari 50% menunjukkan kesamaan yang tinggi

dan boleh dikatakan sebagai suatu asosiasi.

Tingkat Semai

Pada Jalur 1 terbentuk 9 cluster, dimana cluster 3 dibentuk oleh 3 unit

contoh yaitu petak 8, petak 11 dan petak 15, dengan nilai IS sebesar 15,57 -

27,03%, cluster 9 dibentuk oleh petak 3, petak 4, petak 5 dan petak 6 dengan IS

sebesar 21,05 - 58,33%. Sedangkan 7 cluster yang lainnya dibentuk oleh

masing-masing satu petak per cluster yaitu cluster 1, cluster 2, cluster 4, cluster 5, cluster

6, cluster 7 dan cluster 8 dengan petak berturut-turut adalah petak 1, petak 2,

petak 12, petak 13, petak 10 dan petak 14.

Pada Jalur 2 terbentuk 11 cluster, dimana cluster 2 dibentuk oleh 2 unit

contoh yaitu petak 2 dan petak 12 dengan nilai IS sebesar 26,22%, cluster 6

dibentuk oleh 3 unit contoh yaitu petak 8, petak 11 dan petak 13 dengan IS

sebesar 21,10 - 37, 84%, cluster 9 dibentuk oleh petak 4 dan petak 9 dengan IS

sebesar 59,46%. Sedangkan 9 cluster yang lainnya dibentuk oleh masing-masing

satu petak per cluster yaitu cluster 1, cluster 3, cluster 4, cluster 5, cluster 7,

cluster 8 cluster 9 dan cluster 10 dengan petak berturut-turut adalah petak 1, petak

3, petak 7, petak 10, petak 15, petak 6, petak 14 dan petak 5.

Pada Jalur 3 terbentuk 9 cluster, dimana cluster 1 dibentuk oleh 3 unit

(58)

cluster 2 dibentuk oleh petak 9 dan petak 15 dengan IS sebesar 27,03%, cluster 5

dibentuk oleh petak 4, petak 5, petak 6 & petak 7 dengan IS sebesar 36,96 - 58,

336%. Sedangkan 7 cluster lainnya dibentuk oleh masing-masing satu petak per

cluster yaitu cluster 3, cluster 4, cluster 6, cluster 7, cluster 8 & cluster 9 dengan

petak berturut-turut adalah petak 11, petak 8, petak 10, petak 12, petak 13 dan

petak 14.

Pada Jalur 4 terbentuk 9 cluster, dimana cluster 3 dibentuk oleh 2 unit

contoh yaitu petak 4 dan petak 12 dengan nilai IS sebesar 26,09%, cluster 4

dibentuk 4 unit contoh yaitu oleh petak 6,petak 7, petak 8 dan petak 11 dengan

IS sebesar 27,47 - 42,86%, cluster 4 dibentuk oleh petak 5, petak 9 dan petak 10

dengan IS sebesar 28,21 - 36,36%. Sedangkan 7 cluster yang lainnya dibentuk

oleh masing-masing satu petak per cluster yaitu cluster 1, cluster 2, cluster 6,

cluster 7, cluster 8 dan cluster 9 dengan petak berturut-turut adalah petak 1, petak

2, petak 14, petak 13, petak 15, dan petak 3.

Pada Jalur 5 terbentuk 8 cluster, dimana cluster 1 dibentuk oleh 4 unit

contoh yaitu petak 1, petak 3, petak 4 & petak 15 dengan nilai IS sebesar 23,70 –

50,00%, cluster 3 dibentuk 3 unit contoh yaitu oleh petak 9, petak 10 dan petak

11 dengan IS sebesar 27,27 - 46,51%, cluster 4 dibentuk oleh petak 7, petak 8 dan

petak 12 dengan IS sebesar 24,77 - 66,66%. Sedangkan 6 cluster lainnya

dibentuk oleh masing-masing satu petak per cluster yaitu cluster 2, cluster 5,

cluster 6, cluster 7 dan cluster 8 dengan petak berturut-turut adalah petak 2, petak

13, petak 5, petak 6, & petak 14.

Pada Jalur 6 terbentuk 10 cluster, dimana cluster 2 dibentuk oleh 2 unit

contoh yaitu petak 2 dan petak 3 dengan nilai IS sebesar 35,29%, cluster 4

dibentuk 2 unit contoh yaitu oleh petak 5 dan petak 12 dengan IS sebesar 42,11%,

cluster 5 dibentuk oleh petak 9, petak 11 dan petak 14 dengan IS sebesar 24,44 -

43,48%, cluster 8 dibentuk oleh petak 7 dan petak 15 dengan IS sebesar 35,29%.

Sedangkan 6 cluster yang lainnya dibentuk oleh masing-masing satu petak per

cluster yaitu cluster 1, cluster 3, cluster 6, cluster 7, cluster 9 dan cluster 10

dengan petak berturut-turut adalah petak 1, petak 4, petak 8, petak 6, petak 13

(59)

Pada Jalur 7 terbentuk 11 cluster, dimana cluster 3 dibentuk oleh 2 unit

contoh yaitu petak 7 dan petak 12 dengan nilai IS sebesar 25 %, cluster 5

dibentuk 2 unit contoh yaitu oleh petak 3 dan petak 5 dengan IS sebesar 28,57%,

cluster 8 dibentuk oleh petak 4 dan petak 15 dengan IS sebesar 37,04%, cluster 10

dibentuk oleh petak 8 dan petak 11 dengan IS sebesar 33,33%. Sedangkan 7

cluster yang lainnya dibentuk oleh masing-masing satu petak per cluster yaitu

cluster 1, cluster 2, cluster 4, cluster 6, cluster 7, cluster 9 dan cluster 11 dengan

petak berturut-turut adalah petak 1, petak 2, petak 13, petak 6, petak 9, petak 14

dan petak 10.

Pada Jalur 9 terbentuk 9 cluster, dimana cluster 1 dibentuk oleh 2 unit

contoh yaitu petak 1 dan petak 2 dengan nilai IS sebesar 36,58 %, cluster 2

dibentuk 2 unit contoh yaitu oleh petak 13 dan petak 14 dengan IS sebesar

26,01%, cluster 5 dibentuk oleh petak 3 dan petak 10 dengan IS sebesar 30,12%,

cluster 6 dibentuk oleh petak 4 dan petak 7 dengan IS sebesar 32,03%, cluster 7

dibentuk oleh petak 5 dan petak 12 dengan IS sebesar 37,50%, cluster 9 dibentuk

oleh petak 6 dan petak 15 dengan IS sebesar 27,22%,. Sedangkan 3 cluster yang

lainnya dibentuk oleh masing-masing satu petak per cluster yaitu cluster 3, cluster

4 dan cluster 8 dengan petak berturut-turut adalah petak 9, petak 11 dan petak 8.

Pada Jalur 10 terbentuk 5 cluster, dimana cluster 1 dibentuk oleh 2 unit

contoh yaitu petak 1 dan petak 2 dengan nilai IS sebesar 25,50 %, cluster 3

dibentuk 4 unit contoh yaitu oleh petak 3, petak 5, petak 7 dan petak 10 dengan IS

sebesar 39,67 – 56,48%, cluster 4 dibentuk oleh 5 unit contoh yaitu petak 4, petak

6, petak 11, petak 14 dan petak 15 dengan IS sebesar 28,02 – 55,86%, cluster 5

dibentuk oleh petak 9,petak 12 dan petak 13 dengan IS sebesar 38,33-46,33%.

Sedangkan sisanya hanya terdapat cluster 2 yang dibentuk oleh petak 8.

Pada Jalur 11 terbentuk 7 cluster, dimana cluster 1 dibentuk oleh 2 unit

contoh yaitu petak 1 dan petak 2 dengan nilai IS sebesar 25,50 %, cluster 2

dibentuk 2 unit contoh yaitu oleh petak 6 dan petak 8 dengan IS sebesar 30,39%,

cluster 4 dibentuk oleh petak 3 dan petak 9 dengan IS sebesar 31,18%, cluster 5

dibentuk oleh petak 5, petak 7 dan petak 14 dengan IS sebesar 27,28-55,86%,

cluster 7 dibentuk oleh petak 4, petak 10, petak 12 dan petak 13 dengan IS sebesar

(60)

petak per cluster yaitu cluster 3 dan cluster 6 dengan petak berturut-turut adalah

petak 11 dan petak 15.

Pada Jalur 12 terbentuk 7 cluster, dimana cluster 1 dibentuk oleh 3 unit

contoh yaitu petak 1, petak 2 dan petak 4 dengan nilai IS sebesar 28,03-38,88%,

cluster 3 dibentuk 3 unit contoh yaitu oleh petak 5, petak 11 dan petak 13 dengan

IS sebesar 20,83-39,02%, cluster 5 dibentuk oleh petak 7 dan petak 8 dengan IS

sebesar 38,46%, cluster 6 dibentuk oleh petak 9, petak 10, petak 12 dan petak 15

dengan IS sebesar 23,87-40,00%. Sedangkan 2 cluster yang lainnya dibentuk oleh

masing-masing satu petak per cluster yaitu cluster 2 dan cluster 4 dengan petak

berturut-turut adalah petak 3 dan petak 6.

Hasil cluster analisis yang digambarkan oleh dendogram menunjukkan

terdapat 5 jalur (jalur 1, 2, 4, 6 & 7) yang menunjukkan bahwa petak 1 lebih

cenderung untuk membentuk cluster sendiri dibandingkan dengan membentuk

cluster dengan petak lainnya. Sedangkan pada 5 jalur lainnya (jalur 3, 5, 8,9, 10,

11, 12), petak 1 cenderung bergerombol dengan petak 2 atau petak 3).

Kencenderungan ini menjadi penduga kemungkinan letak batas forest edge pada

remnan forest terdapat pada petak-petak yang bergerombol dengan petak 1.

Tingkat Pancang

Pada Jalur 1 terbentuk 8 cluster, dimana cluster 2 dibentuk oleh 2 unit

contoh yaitu petak 2 dan petak 13 dengan nilai IS sebesar 27,81%, cluster 4

dibentuk 3 unit contoh yaitu oleh petak 9, petak 10 dan petak 15 dengan IS

sebesar 26,44-33,58%, cluster 8 dibentuk oleh petak 3,petak 4, petak 5,petak 6

dan petak 7 dengan IS sebesar 25,33-50%. Sedangkan 5 cluster yang lainnya

dibentuk oleh masing-masing satu petak per cluster yaitu cluster 1, cluster 3,

cluster 4, cluster 6 dan cluster 7 dengan petak berturut-turut adalah petak 1, petak

11, petak 8, petak 12 dan petak 14.

Pada Jalur 2 terbentuk 7 cluster, dimana cluster 2 dibentuk oleh 4 unit

contoh yaitu petak 2, petak 3, petak 11 dan petak 12 dengan nilai IS sebesar

27,19-31,58%, cluster 3 dibentuk 2 unit contoh yaitu oleh petak 4 dan petak 5

dengan IS sebesar 30,34%, cluster 4 dibentuk oleh petak 6 dan petak 9 dengan IS

Gambar

Gambar 2  Penempatan transek pengamatan pada lokasi penelitian.
Gambar 5  Jenis sekubit (Macaranga gigantea) pada tingkat semai dan
Gambar 8  Prosentase kehadiran spesies indikator  pada tingkat semai pada jalur 1
Gambar 10   Lebar edge yang terbentuk pada hutan remnant Hutan Konservasi Caltex
+7

Referensi

Dokumen terkait

• Bentuk, ukuran, dan bahan yang dipergunakan untuk kemasan harus sesuai dengan sifat limbah dalam hal keamanan, kemudahan penggunaannya;. • Kemasan dapat terbuat

Sehingga perlu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui perubahan pendapatan dari hasil tangkapan nelayan sebelum dan sesudah adanya penambangan pasir

Menjaga postur tulang belakang dalam periode yang lama menjadi sangat tidak nyaman, karena kebanyakan dari tekanan otot harus dipertahankan untuk menjaga tubuh dalam posisi

BPHTB pada dasarnya dikenakan atas setiap perolehan hak yang diterima oleh orang pribadi atau badan hukum yang terjadi dalam wilayah hukum Negara Indonesia, yang

Penelitian menggunakan sembilan variabel yang terdiri dari persepsi kerumitan (perceived complexity), persepsi kesesuaian (perceived compatibility), ketertarikan individu

Persentase kematian larva A.farauti dan sangat dipengaruhi oleh jumlah konsentrasi seperti y`ang ditunjukkan pada grafik 1, hal ini sesuai yang dilaporkan oleh

Berikut seperti yang dilansir dari media merdeka.com dengan pemberitaan yang berjudul stres yang berkepanjangan bisa memicu terjadinya gangguan mental antara lain adalah

[r]