• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vegetation classification of mount endut, Gunung Halimun Salak National Park, Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Vegetation classification of mount endut, Gunung Halimun Salak National Park, Banten"

Copied!
349
0
0

Teks penuh

(1)

TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK,

BANTEN

EDY NASRIADI SAMBAS

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

i

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Klasifikasi

Vegetasi Gunung Endut, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Banten adalah

karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam

bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal

atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain

telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian

akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Edy Nasriadi Sambas

(3)

ii

ABSTRACT

EDY NASRIADI SAMBAS. Vegetation Classification of Mount Endut, Gunung Halimun Salak National Park, Banten. Under supervision of CECEP KUSMANA, LILIK BUDI PRASETYO, and TUKIRIN PARTOMIHARDJO.

Changing status of Mount Endut from protection forest to become part of Gunung Halimun Salak National Park as well as lack of floristic data quantitatively bringing the importance of research on vegetation classification of this area. Besides, classification of vegetation types is one of important factors for management activities. The research objectives are to classify the vegetation of Mount Endut structurally, physiognomically, and floristically; studying the relationship between floristic vegetation types and abiotic factors; and the alteration of structure and species composition in each floristic vegetation type along environmental gradient at Mount Endut. Sampling was done by systematic sampling with random start. Vegetation alliances were determined by ordination with factor analysis, and vegetation associations were determined with cluster analysis. Vegetation types at physiognomic and structural level were determined based on UNESCO and NVCS vegetation types. U-Mann Whitney statistics was applied to know whether there were abiotic factors differentiation between alliances and between vegetation structures. Chi-square test was used to know the relationship between vegetation association and abiotic factors, also the preference of dominant tree species toward abiotic factors. There are four vegetation types founded at alliance levels, which are Castanopsis acuminatissima-Schima wallichii/Freycinetia javanica (alliance 1); Castanopsis argentea-Dendrocnide stimulans/Schismatoglottis calyptrata (alliance 2); Coffea canephora var. robusta-Quercus lineata/F. javanica( alliance 3); and

Paraserianthes falcataria-Coffea canephora var. robusta/Oplismenus compositus(alliance 4). Alliance 1 and alliance 2 are broad leaf mix forest

dominated by C. acuminatissima, Schima wallichii, and C. argentea. Alliance 3 and alliance 4 are planted forests dominated by C. canephora var. robusta and P. falcataria. Each dominant tree species has a clumped distribution pattern and uniquely preference to abiotic factors. Ten plant species have preferences either to soil or topography factors; three plant species only have preferences on soil factor, and three other ones have preference on topograhy factors.

Keywords : ecological preferences, Mount Endut, ordination, vegetation alliance, vegetation association, vegetation classification.

(4)

iv

RINGKASAN

EDY NASRIADI SAMBAS. Klasifikasi Vegetasi Gunung Endut, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Banten. Dibimbing oleh CECEP KUSMANA, LILIK BUDI PRASETYO, and TUKIRIN PARTOMIHARDJO.

Perubahan status kawasan Gunung Endut dari hutan lindung menjadi bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak dan belum banyak diketahuinya data kuantitatif flora mengantarkan pentingnya penelitian mengenai klasifikasi vegetasi di kawasan tersebut. Klasifikasi tipe vegetasi juga merupakan salah satu faktor penting untuk kegiatan pengelolaan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengklasifikasi vegetasi Gunung Endut secara fisiognomi, struktural dan floristik, serta mengkaji kaitan antara tipe vegetasi floristik dengan faktor abiotik dan perubahan struktur dan komposisi jenis tipe vegetasi floristik di sepanjang gradien lingkungan di Gunung Endut. Sampling dilakukan secara systematic sampling with random start. Tipe vegetasi tingkat aliansi ditentukan melalui ordinasi dengan analisis faktor dan asosiasi vegetasi ditentukan dengan analisis klaster. Tipe vegetasi tingkat fisiognomi struktural ditentukan dengan mengacu pada tipe vegetasi UNESCO dan NVCS. Statistik U-MannWhitney digunakan untuk melihat perbedaan faktor abiotik antara aliansi dan perbedaan antara struktur vegetasi. Uji Chi-Square (dan Spearman) dimanfaatkan untuk melihat hubungan antara asosiasi vegetasi dengan faktor abiotik, serta melihat preferensi pohon dominan terhadap faktor abiotik.

Di Gunung Endut, ditemukan 4 tipe vegetasi tingkat aliansi, yaitu aliansi hutan Castanopsis acuminatissima-Schima wallichii/Freycinetia javanica (aliansi 1); aliansi hutan Castanopsis argentea-Dendrocnide stimulans/Schismatoglottis calyptrata (aliansi 2); aliansi hutan Coffea canephora var. robusta-Quercus lineata/F. javanica (aliansi 3); dan aliansi hutan Paraserianthes falcataria-C. canephora var. robusta/Oplismenus compositus (aliansi 4). Aliansi 1 dan 2 merupakan hutan campuran berdaun lebar yang didominasi oleh C. acuminatissima, Schima wallichii dan Castanopsis argentea. Aliansi 3 dan 4 adalah hutan tanaman yang didominasi oleh C. canephora var. robusta dan

Paraserianthes falcataria.

Aliansi 1 terdiri dari 4 asosiasi vegetasi yaitu : asosiasi hutan Castanopsis acuminatissima (asosiasi 1); asosiasi hutan Schima wallichii (asosiasi 2); asosiasi hutan Garcinia rostrata (asosiasi 3); dan asosiasi hutan Quercus lineata-Eurya acuminata/Freycinetia javanica (asosiasi 4). Aliansi 2 menghasilkan 4 asosiasi vegetasi yakni : asosiasi hutan Dendrocnide stimulans (asosiasi 1); asosiasi hutan

Coffea canephora var. robusta (asosiasi 2); asosiasi hutan Castanopsis argentea-C.acuminatissima (asosiasi 3); dan asosiasi herba Schismatoglottis calyptrata-Etlingera coccinea (asosiasi 4) . Aliansi 3 memiliki 7 asosiasi vegetasi yaitu : asosiasi hutan Castanopsis acuminatissima (asosiasi 1); asosiasi hutan Coffea canephora var. robusta (asosiasi 2); asosiasi hutan Quercus lineata (asosiasi 3); asosiasi hutan Garcinia rostrata-Schima wallichii (asosiasi 4); asosiasi hutan

Euodia latifolia-Pternandra azurea/ S. calyptrata (asosiasi 5); asosiasi herba

(5)

v asosiasi hutan Maesopsis eminii/Erechtites valerianifolia-Clidemia hirta (asosiasi 3); asosiasi herba Oplismenus compositus (asosiasi 4); dan asosiasi herba

Clibadium surinamense (asosiasi 5).

Hirarki unit-unit vegetasi pada tingkat fisiognomi di Gunung Endut adalah sebagai berikut : (i) Kelas : Hutan, (ii) Sub Kelas : Hutan Selalu Hijau, (iii) Kelompok : Hutan Hujan Tropis Selalu Hijau, (iv) Formasi : (a) Hutan Hujan Tropis Sub Pegunungan, (b) Hutan Hujan Tropis Lahan Pamah, (c) Hutan Tanaman Lahan Pamah.

Enam belas jenis tumbuhan berhasil dideteksi preferensinya terhadap berbagai faktor abiotik. Diantaranya, sepuluh jenis memiliki preferensi baik terhadap faktor tanah maupun topografi, tiga jenis hanya memiliki preferensi terhadap faktor tanah, dan tiga jenis memiliki preferensi terhadap faktor topografi. Pada Aliansi vegetasi 1, terdapat empat jenis memiliki preferensi terhadap unsur Mg, tiga jenis untuk kandungan KB (Kejenuhan Basa), dua jenis untuk kandungan Ca, dua jenis untuk unsur Na, dua jenis untuk unsur debu dan dua jenis untuk unsur liat. Jenis Lasianthus laevigatum memiliki preferensi terhadap unsur N total, C organik tanah dan KTK; jenis Eurya acuminata untuk kandungan Al, dan Garcinia rostrata untuk kandungan K.

(6)

vi © Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh

(7)

vii

KLASIFIKASI VEGETASI GUNUNG ENDUT,

TAMAN NASIONAL GUNUNG HALIMUN SALAK,

BANTEN

EDY NASRIADI SAMBAS

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Halimun Salak, Banten

Nama : Edy Nasriadi Sambas

NRP : E 061030121

Program Studi : Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Ketua

Prof Dr Ir Lilik Budi Prasetyo, MSc. Prof. (R) Dr. Tukirin Partomihardjo

Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(9)

1. Prof. (R) Dr. Rochadi Abdulhadi

(Pusat Penelitian Biologi LIPI)

2. Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.

( Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB)

Ujian Terbuka :

1. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, MS.

( Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan IPB)

2. Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc.

(10)

ix

PRAKATA

Alhamdulillah, penulis memanjatkan segala puji dan syukur kepada Allah

swt atas berkah dan karuniaNya sehingga dapat menyelesaikan Disertasi

dengan judul “Klasifikasi Vegetasi Gunung Endut, Taman Nasional Gunung

Halimun Salak, Banten”. Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan

terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S., Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc., dan

Prof. (R) Dr. Tukirin Partomihardjo selaku ketua dan anggota komisi

pembimbing yang senantiasa meluangkan waktunya untuk membimbing

penulis sejak masa perkuliahan, pelaksanaan penelitian dan penyelesaian karya

ilmiah ini.

2. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang memberikan bantuan beasiswa

kepada penulis untuk mengikuti pendidikan program doktor di Institut

Pertanian Bogor.

3. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr. Selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor serta seluruh staf Sekolah Pascasarjana IPB.

4. Prof. Dr. Ir. Bambang Hero Saharjo, M.Agr. selaku Dekan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor.

5. Dr. Ir. Naresworo Nugroho, M.S. selaku Wakil Dekan Fakultas Kehutanan

Institut Pertanian Bogor dan Ketua Program Studi Ilmu Pengetahuan

Kehutanan beserta staf.

6. Dr. Ir. Yadi Setiadi, M.Sc. selaku penguji luar komisi dan Prof. Dr. Ir. Imam

Wahyudi, M.S. pada pelaksanaan Ujian Preliminasi.

7. Prof. (R) Dr. Rochadi Abdulhadi dan Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc. yang telah

bertindak sebagai penguji luar komisi dan memberikan saran pada pelaksanaan

(11)

x 8. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S. (Departemen Silvikultur, Fakultas

Kehutanan IPB) dan Dr. Ir. Bambang Supriyanto, M.Sc. (Kepala Subdit

Program & Evaluasi Pemanfaatan Jasa Lingkungan, Ditjen PHKA) selaku

penguji luar komisi dan memberikan saran pada pelaksanaan Ujian Terbuka.

9. Kepala Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang telah memberikan

kesempatan bagi penulis untuk melakukan penelitian di kawasan Gunung

Endut dan kepada staf dan petugas lapangan Seksi Konservasi Wilayah Lebak.

10. Kepala Pusat Penelitian Biologi, Kepala Bidang Botani dan rekan-rekan

peneliti serta karyawan di lingkungan Puslit Biologi LIPI.

11. Dr. Muhammad Wiharto, Dr. Abimanyu D. Nusantara, Dr. Wilson Novarino,

Dr. Muhdin, Ir. Dian A. Kosasih, M.S., Dr. Laode Alhamd, Mohammad

Irham, M.Sc. dan Edwine S.Permana, S. Hut. yang senantiasa menjadi teman

diskusi.

12. Dirman, Madsuri, Sutisna dan rekan-rekan lain yang tidak dapat disebutkan

satu per satu khususnya para pembantu di lapangan atas bantuan, dorongan

dan doanya.

13. Keluarga besar H. Mohammad Sambas (alm.) dan R. Soekaria (alm.) yang

senantiasa memberikan dorongan pada penulis untuk menyelesaikan studi.

14. Surti Mardianti, B.Sc. (isteri) serta ketiga anak kami Puteri Tiara Maulida,

S.Hut., Kasaya Annisa Rahmaniah dan Ambar Kania Rahimiah yang

senantiasa ikhlas dan setia mendampingi serta berbagi dalam suka dan duka.

Akhir kata, semoga disertasi ini bermanfaat dan bisa memperkaya

pengetahuan tentang vegetasi kawasan gunung tropika basah dengan ukuran yang

relatif tidak besar (2.020 Ha) dengan ketinggian 1.300 m dpl khususnya, dan

ekologi tumbuhan umumnya.

Bogor, Januari 2012

(12)

xi

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tasikmalaya pada tanggal 14 Januari 1959 sebagai

anak pertama dari pasangan H. Mohammad Sambas dan Hj. Enas Hindasah.

Pendidikan sarjana diselesaikan pada tahun 1982 di Fakultas Kehutanan Institut

Pertanian Bogor. Pada tahun 1986, dengan beasiswa dari Pemerintah Republik

Indonesia melalui Overseas Fellowship Program (OFP), penulis melanjutkan studi

pascasarjana di School of Forest Resources Conservation, University of Florida,

Amerika Serikat dan menamatkannya pada tahun 1988. Pada tahun 2003, penulis

mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan doktor pada program studi

Ilmu Pengetahuan Kehutanan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,

dengan bantuan beasiswa pendidikan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia

(LIPI). Mengambil topik disertasi dengan judul : Klasifikasi Vegetasi Gunung

Endut, Taman Nasional Gunung Halimun Salak, Banten di bawah bimbingan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. sebagai Ketua dan Prof. Dr. Ir. Lilik Budi

Prasetyo, M.Sc serta Prof. (R) Dr. Tukirin Partomihardjo sebagai anggota

pembimbing.

Penulis bekerja sebagai staf peneliti di Bidang Botani, Pusat Penelitian

Biologi LIPI sejak tahun 1983. Bidang kajian utama penulis adalah ekologi

tumbuhan. Penulis mendapat kesempatan mengikuti Advanced Training Program

dalam Biological Conservation di Field Museum of Natural History, Chicago,

Amerika Serikat pada Agustus – Desember 1994. Selama proses penyelesaian

disertasi penulis beserta pembimbing telah mempublikasikan tulisan dengan judul

“Klasifikasi Vegetasi Gunung Endut, Taman Nasional Gunung Halimun Salak,

(13)

xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xix

DAFTAR LAMPIRAN ... xx

I. PENDAHULUAN ...

1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 4

E. Kebaruan (Novelty) Penelitian ... 4

F. Kerangka Pemikiran ... 5

II. TINJAUAN PUSTAKA ...

7

A. Klasifikasi Vegetasi ... 7

B. Klasifikasi Vegetasi Secara Fisiognomi Struktural, Floristik, danNumerik ... 8

1. Klasifikasi Vegetasi Secara Fisiognomi Struktural ... 8

2. Klasifikasi Vegetasi Secara Floristik ... 15

3. Klasifikasi Vegetasi Secara Numerik ... 15

C. Struktur Vegetasi dan Komposisi Jenis ... 16

D. Ordinasi dan Analisis Faktor ... 19

E. Ekosistem Pegunungan di Kawasan Tropis ... 20

F. Pengelolaan Mintakat Taman Nasional ... 23

III. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN ...

26

A. Letak dan Luas ... 26

B. Iklim ... 26

C. Geologi, Tanah dan Topografi ... 27

D. Vegetasi Penutup Lahan dan Flora Kawasan Gunung Endut ... 27

E. Fauna Kawasan Gunung Endut ... 28

F. Masyarakat Sekitar Kawasan Gunung Endut ... 30

IV. METODE PENELITIAN ...

32

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 32

B. Bahan dan Alat Penelitian ... 32

(14)

xiii

2. Penentuan Area Kajian di Kawasan Gunung Endut ... 34

3. Teknik Pengambilan Data Lapangan ... 34

a. Data Vegetasi ... 34

b. Data Lingkungan Abiotik ... 35

c. Data Sekunder ... 36

4. Analisis Data ... 36

a. Kajian Komposisi Jenis Vegetasi ... 36

b. Penentuan Penutupan Tajuk Strata Vegetasi ... 37

c. Kajian Kemelimpahan dan Struktur Vegetasi ... 38

d. Analisis Data Tanah ... 41

e. Penentuan Tipe Vegetasi Kawasan Gunung Endut ... 41

f. Klasifikasi Citra ... 45

g. Kajian Preferensi Ekologis ... 47

h. Kajian Hubungan antara Struktur dan Komposisi Vegetasi dengan Faktor Lingkungan Abiotik ... 48

V. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 52

A. Hasil ... 52

1. Klasifikasi Tipe Vegetasi ... 52

1.1. Tipe Vegetasi Tingkat Aliansi ... 52

1.1.1. Aliansi Vegetasi ... 52

1.1.2. Karakteristik Lingkungan pada Aliansi Vegetasi ... 64

1.1.3. Dugaan Penyebaran secara Geografis Aliansi Vegetasi ... 69

1.2. Tipe Vegetasi Tingkat Asosiasi ... 74

1.2.1. Asosiasi Vegetasi pada Seluruh Aliansi ... 74

1.2.2. Hubungan antara Asosiasi Vegetasi dan Faktor Abiotik ... 80

1.3. Tipe Vegetasi Tingkat Fisiognomi Struktural ... 83

1.3.1. Kelas Vegetasi ... 83

1.3.2. Sub Kelas Vegetasi ... 86

1.3.3. Kelompok Vegetasi ... 86

1.3.4. Formasi Vegetasi ... 89

2. Struktur Vegetasi dan Komposisi Jenis ... 90

2.1. Struktur Vegetasi ... 90

2.1.1. Struktur Horizontal ... 90

2.1.2. Struktur Vertikal ... 96

2.2. Komposisi Jenis ... 97

3. Keanekaragaman Jenis ... 97

3.1. Indeks Keanekaragaman Jenis ... 97

3.2. Keanekaragaman Jenis Tingkat Belta, Semai dan Herba ... 100

3.2.1. Belta ... 100

3.2.2. Semai ... 102

3.2.3. Herba dan tumbuhan bawah lain ... 103

4. Preferensi Ekologi Jenis pada Aliansi Vegetasi ... 104

(15)

xiv

3. Preferensi Ekologi Jenis Pohon Dominan ...113

4. Pemintakatan di Kawasan Gunung Endut ... 115

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 117

A. Kesimpulan ... 117

B. Saran ... 118

DAFTAR PUSTAKA ... 119

(16)

xv

1 Data Iklim Kawasan Gunung Endut, Banten ... 27

2 Jumlah Penduduk di Kawasan Gunung Endut, Kabupaten Lebak, Banten ... 30

3 Kisaran Penutupan Tajuk Braun-Blanque ... 38

4 Hirarki sistem klasifikasi vegetasi UNESCO dan NVCS ... 42

5 Kriteria keterpisahan pada klasifikasi terbimbing ... 46

6 Rotate Component Matrix yang memperlihatkan kelompok blok penelitian penyusun tipe vegetasi tingkat aliansi di Gunung Endut ... 52

7 Jenis-jenis dominan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP) pada seluruhStrata vegetasi yang menyusun aliansi vegetasi 1 ... 56

8 Jenis-jenis dominan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP) pada seluruhStrata vegetasi yang menyusun aliansi vegetasi 2 ... 60

9 Jenis-jenis dominan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP) pada seluruhStrata vegetasi yang menyusun aliansi vegetasi 3 ... 62

10 Jenis-jenis dominan berdasarkan Indeks Nilai Penting (INP) pada seluruhStrata vegetasi yang menyusun aliansi vegetasi 4 ... 63

11 Karakteristik Lingkungan Abiotik Topografi pada seluruh Aliansi Vegetasi Gunung Endut ... 64

12 Ketinggian Persebaran Aliansi Vegetasi di Gunung Endut ... 64

13 Jumlah Blok Penelitian pada kelerengan di Gunung Endut ... 65

14 Kelerengan Blok Penelitian pada seluruh Aliansi Vegetasi di Gunung Endut ... 65

15 Karakteristik Lingkungan Abiotik Tanah pada seluruh Aliansi Vegetasi di Gunung Endut ... 67

16 Perbedaan faktor Abiotik pada seluruh Aliansi Vegetasi di Gunung Endut ... 68

(17)

xvi

Aliansi Vegetasi 1 ... ... 75

20 Nama-nama Jenis Differensial Penyusun Asosiasi di

Aliansi Vegetasi 2 ... ... 77

21 Nama-nama Jenis Differensial Penyusun Asosiasi di

Aliansi Vegetasi 3 ... 78

22 Nama-nama Jenis Differensial Penyusun Asosiasi di

Aliansi Vegetasi 4 ... ... 80

23 Hubungan antara Asosiasi Vegetasi dan berbagai Faktor Abiotik di

Aliansi Vegetasi 1 ... 80

24 Hubungan antara Asosiasi Vegetasi dan berbagai Faktor Abiotik di

Aliansi Vegetasi 2 ... 81

25 Hubungan antara Asosiasi Vegetasi dan berbagai Faktor Abiotik di

Aliansi Vegetasi 3 ... ... 81

26 Hubungan antara Asosiasi Vegetasi dan berbagai Faktor Abiotik di

Aliansi Vegetasi 4 ... ... 82

27 Persentase Penutupan Tajuk berbagai strata vegetasi di Aliansi

Vegetasi 1 ... 83

28 Persentase Penutupan Tajuk berbagai strata vegetasi di Aliansi

Vegetasi 2 ... 84

29 Persentase Penutupan Tajuk berbagai strata vegetasi di Aliansi

Vegetasi 3 ... 85

30 Persentase Penutupan Tajuk berbagai strata vegetasi di Aliansi

Vegetasi 4 ... 85

31 Curah hujan bulanan sekitar Gunung Endut Tahun 2000-2009 ... 87

32 Distribusi Kelas Diameter Pohon pada Aliansi Vegetasi 1 di

Gunung Endut ... 91

33 Distribusi Kelas Diameter Pohon pada Aliansi Vegetasi 2 di

Gunung Endut ... 92

34 Distribusi Kelas Diameter Pohon pada Aliansi Vegetasi 3 di

(18)

xvii

36 Distribusi Kelas Diameter Pohon pada Berbagai Tipe Vegetasi di

Gunung Endut ... 94

37 Persebaran Kelas Tinggi Pohon pada Aliansi Vegetasi 1 ... 96

38 Persebaran Kelas Tinggi Pohon pada Aliansi Vegetasi 2 ... 96

39 Persebaran Kelas Tinggi Pohon pada Aliansi Vegetasi 3 ... 96

40 Persebaran Kelas Tinggi Pohon pada Aliansi Vegetasi 4 ... 96

41 Indeks Keanekaragaman Jenis di Aliansi Vegetasi 1 Gunung Endut .... 98

42 Indeks Keanekaragaman Jenis di Aliansi Vegetasi 2 Gunung Endut .... 99

43 Indeks Keanekaragaman Jenis di Aliansi Vegetasi 3 Gunung Endut .... 100

44 Indeks Keanekaragaman Jenis di Aliansi Vegetasi 4 Gunung Endut .... 100

45 Preferensi Jenis-jenis Pohon Dominan terhadap berbagai faktor abiotik/tanah (Aliansi1) ... 104

46 Preferensi Jenis-jenis Pohon Dominan terhadap berbagai faktor abiotik/topografi (Aliansi1) ... 104

47 Preferensi Jenis-jenis Pohon Dominan terhadap berbagai faktor abiotik/tanah (Aliansi 2) ... 105

48 Preferensi Jenis-jenis Pohon Dominan terhadap berbagai faktor abiotik/topografi (Aliansi 2) ... 105

49 Preferensi Jenis-jenis Pohon Dominan terhadap berbagai faktor abiotik/tanah (Aliansi 3) ... 105

50 Preferensi Jenis-jenis Pohon Dominan terhadap berbagai faktor abiotik/topografi (Aliansi 3) ... 106

51 Preferensi Jenis-jenis Pohon Dominan terhadap berbagai faktor abiotik/tanah (Aliansi 4) ... 106

52 Preferensi Jenis-jenis Pohon Dominan terhadap berbagai faktor abiotik/topografi (Aliansi 4) ... 107

(19)

xviii

(20)

xix

1 Kerangka Pemikiran Pemecahan Masalah Penelitian di

Gunung Endut ... ... 6

2 Prosentase penutupan tajuk vegetasi berpembuluh ... 13

3 Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 28

4 Peta Penutupan Lahan di Kawasan Gunung Endut, Taman Nasional Gunung Halimun Salak ... 29

5 Desain Plot Penelitian di Lapangan ... 34

6 Pola persebaran aliansi vegetasi di Gunung Endut ... 55

7 Sebaran Aliansi Vegetasi di Gunung Endut ... 71

8 Aliansi Vegetasi Gunung Endut Berdasarkan Ketinggian ... 72

9 Aliansi Vegetasi Gunung Endut Berdasarkan Kelerengan ... 73

10 Dendrogram 1, Asosiasi-asosiasi vegetasi di Aliansi vegetasi 1 Gunung Endut ... 75

11 Dendrogram 2, Asosiasi-asosiasi vegetasi di Aliansi vegetasi 2 Gunung Endut ... 76

12 Dendrogram 3, Asosiasi-asosiasi vegetasi di Aliansi vegetasi 3 Gunung Endut ... 78

13 Dendrogram 4, Asosiasi-asosiasi vegetasi di Aliansi vegetasi 4 Gunung Endut ... 79

14 Rata-rata distribusi suhu udara dan curah hujan di Gunung Endut ... 88

(21)

xx

1 Peta Klasifikasi Vegetasi Gunung Endut, Banten ... ... 125

2 Matriks Kontingensi/error matrix ... 126

3 Rekapitulasi Akurasi Klasifikasi ... 126

4 Luas Tutupan Lahan ... 127

5 Luas Tutupan Lahan Berdasarkan Ketinggian ... 127

6 Indeks Nilai Penting Jenis pada Strata Pohon ... 128

7 Daftar Jenis Belta Gunung Endut ... 152

8 Daftar Jenis Semai Gunung Endut ... 157

(22)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Halimun Salak (selanjutnya disingkat TNGHS) ditetapkan bedasarkan SK Menhut No. 175/Kpts-II/2003 dengan luas ± 113.357 Ha. Areal TNGHS merupakan perluasan Taman Nasional Gunung Halimun ( ± 40.000 Ha ) dengan kawasan hutan lindung Gunung Salak (Bogor, Jawa Barat) dan Gunung Endut (Lebak, Banten). Pusat ekosistem Gunung Halimun dengan kawasan Gunung Endut dahulunya dihubungkan oleh sebuah koridor yang saat ini terpotong oleh jalan angkutan umum dari Gajrug ke Citorek, Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak, Propinsi Banten. TNGHS memiliki keanekaragaman jenis-jenis flora yang tinggi sebagai habitat satwa macan jawa (Panthera pardus), lutung (Presbytis cristata), surili (Presbytis aygula), owa jawa (Hylobates moloch) dan elang jawa (Spizaetus bartelsi), serta merupakan perwakilan ekosistem hutan hujan tropika dataran tinggi (pegunungan)(TNGHS 2007).

Penetapan kawasan Gunung Endut menjadi bagian dari TNGHS, merubah status kawasan konservasi dari hutan lindung menjadi areal taman nasional dan mengakibatkan perubahan fungsi kawasan. Selain berfungsi sebagai kawasan pelestarian dan perlindungan sumberdaya alam, taman nasional juga harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luas.

Sehubungan dengan itu, TNGHS telah membuat rencana pengelolaan yang merupakan penyesuaian dari rencana pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun. Agar ekosistem yang dimiliki TNGHS termasuk areal perluasannya (hutan lindung Gunung Salak dan Gunung Endut) dapat dimanfaatkan secara maksimal sesuai dengan tujuan penetapannya, maka diperlukan penyusunan rencana pengelolaan TNGHS yang lebih akurat.

(23)

(MacKinnon, MacKinnon, Child dan Thorsell 1990). Informasi dasar diperoleh dengan melakukan kegiatan inventarisasi lapangan, yang meliputi inventarisasi potensi kawasan, evaluasi data yang ada serta melihat kawasan tersebut dengan perspektif baru (Hadi 1994). Dengan adanya penggabungan ini maka dalam pengelolaan kawasan perlu pengetahuan dan pemahaman yang mendalam tentang kondisi ekologi vegetasi kawasan Gunung Endut. Sebagai sebuah kawasan yang dulunya merupakan hutan lindung, perhatian terhadap Gunung Endut lebih banyak pada fungsi hutan lindung sebagai pengatur tata air, sedangkan potensi lainnya berupa vegetasi dan satwa belum banyak mendapat perhatian, bahkan data kuantitatif flora dan fauna dalam kawasan lindung belum banyak diketahui. Penelitian-penelitian pendahuluan telah dilakukan oleh Tim Endangered Species Monitoring & Protection ( Harahap et al. 2005) dari Gunung Halimun Salak National Park Management Project berupa eksplorasi flora, macan jawa, owa jawa dan elang jawa.

B. Perumusan Masalah

Sebagai bagian dari sebuah kawasan taman nasional, kawasan Gunung Endut perlu dikelola dengan perencanaan yang matang dan baik. Salah satu faktor yang penting untuk kegiatan pengelolaan tersebut adalah adanya klasifikasi tipe vegetasi untuk kawasan Gunung Endut. Sampai saat ini klasifikasi berbagai tipe vegetasi di kawasan Gunung Endut belum pernah dilakukan. Sedangkan studi serupa telah dilakukan oleh Wiharto (2009) untuk zona sub pegunungan Gunung Salak.

Klasifikasi tipe vegetasi diperlukan untuk pelaksanaan pengelolaan ekosistem yang efektif, juga dalam hal perencanaan, inventarisasi, kegiatan restorasi, dan untuk meramalkan berbagai tanggapan ekosistem terhadap berbagai perubahan lingkungan (Jennings et al. 2002 ).

(24)

Permasalahan vegetasi di kawasan Gunung Endut yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimana sesungguhnya tipe vegetasi secara fisiognomi struktural dan floristik di kawasan Gunung Endut ?

2. Bagaimana komposisi, struktur, dan kemelimpahan serta keanekaragaman jenis yang menyusun tipe vegetasi di kawasan Gunung Endut?

3. Bagaimana pola persebaran jenis dan homogenitas komunitas pada setiap tipe vegetasi di kawasan Gunung Endut?

4. Bagaimana hubungan antara berbagai faktor vegetasi dengan berbagai faktor lingkungan abiotik pada setiap tipe vegetasi di kawasan Gunung Endut?

5. Bagaimana preferensi ekologis dari jenis-jenis dominan yang ada pada setiap aliansi vegetasi di kawasan Gunung Endut ?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Mengklasifikasi berbagai tipe vegetasi yang menyusun kawasan Gunung Endut.

2. Mengkaji komposisi, struktur, dan kemelimpahan serta keanekaragaman jenis yang menyusun tipe vegetasi di kawasan Gunung Endut.

3. Mengkaji pola persebaran jenis dan homogenitas komunitas pada setiap tipe vegetasi di kawasan Gunung Endut.

4. Mengkaji hubungan antara berbagai faktor vegetasi dengan berbagai faktor lingkungan abiotik pada setiap tipe vegetasi di kawasan Gunung Endut. 5. Mengkaji preferensi ekologis dari jenis-jenis dominan yang ada pada setiap

(25)

D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Ilmu Pengetahuan

Menambah khasanah pengetahuan tentang berbagai tipe vegetasi, formasi-formasi hutan dan sub formasi-formasi hutan yang terdapat di kawasan Gunung Endut. Gunung Endut relatif agak terisolir dari kawasan utama Halimun Salak. Meskipun demikian, daerah puncak Gunung Endut yang memiliki ketinggian hanya 1297 m dpl, diperkirakan memiliki vegetasi yang mirip dengan puncak-puncak gunung di Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang lebih tinggi seperti Gunung Halimun Utara (1929 m), Gunung Sanggabuana (1919 m) dan Gunung Salak (2211 m). Demikian pula berdasarkan ukuran luasnya, Gunung Endut yang relatif tidak luas (2020 Ha) diperkirakan memiliki jumlah jenis tumbuhan lebih sedikit daripada yang terdapat di kawasan Gunung Salak atau Gunung Halimun yang lebih luas.

2. Bagi Pemakai

a. Pengelola Taman Nasional Gunung Halimun Salak

Sebagai arahan pemintakatan (zonasi) kawasan Gunung Endut (zona inti, zona rimba dan zona rehabilitasi) dan terbentuknya database vegetasi kawasan Gunung Endut dan berbagai faktor lingkungan abiotik yang menyusun ekosistem kawasan ini.

b. Pihak Pemangku Kepentingan (stakeholder) lain

Sebagai masukan untuk kegiatan perlindungan, konservasi, rehabilitasi, maupun tata ruang di kawasan Gunung Endut.

D. Kebaruan (Novelty)

(26)

F. Kerangka Pemikiran

Ekosistem dikendalikan oleh proses-proses biotik dan abiotik yang berlangsung pada setiap hirarki dari skala ruang maupun level ekologi (Spies dan Turner 1999). Pendekatan yang dipilih untuk memahami kompleksitas ekologi dari vegetasi di Gunung Endut adalah pendekatan klasifikasi. Pendekatan klasifikasi digunakan dengan asumsi bahwa gangguan-gangguan dan berbagai penggunaan lahan, serta adanya gradien ketinggian pada kawasan Gunung Endut mengakibatkan timbulnya berbagai tipe vegetasi yang berbeda yang sifatnya tidak kontinyu tapi diskrit. Menurut Gauch dalam Ludwig & Reynold (1988 ), ada tiga tujuan utama melakukan klasifikasi dalam ekologi, yaitu ; (1) meringkaskan data yang besar dan kompleks, (2) membantu dalam menginterpretasikan berbagai variasi pola komunitas pada suatu lingkungan, dan (3) memperhalus model dan struktur komunitas, sehingga pemahaman terhadap data dapat lebih mudah.

Kerangka pemikiran pemecahan masalah penelitian ini diperlihatkan pada Gambar 1. Kegiatan pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah menentukan transek di kawasan Gunung Endut untuk pengambilan data primer. Hubungan di antara faktor-faktor lingkungan di kawasan Gunung Endut dengan pola vegetasi yang ada kemudian dikaji melalui analisis vegetasi.

Kompleksitas dari pola-pola vegetasi di kawasan Gunung Endut dapat dipahami lebih jauh dengan mengklasifikasikan vegetasi di kawasan Gunung Endut. Klasifikasi pada tingkat pertama dilakukan berdasarkan fisiognomi struktural. Klasifikasi kemudian dilanjutkan dengan klasifikasi pada tingkat floristik untuk memperoleh unit vegetasi paling dasar dari tipe vegetasi berupa aliansi dan asosiasi.

(27)

pembentuknya pada lingkungan abiotik tertentu khususnya faktor edafis dan ketinggian tempat.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran Pemecahan Masalah Penelitian di Gunung Endut Data Vegetasi

Data Lingkungan

Abiotik

Data Sekunder

Analisis Vegetasi

- Klasifikasi secara fisiognomi struktural - Klasifikasi floristik aliansi dan asosiasi

Penyebaran Secara Geografi Tipe Vegetasi

Aliansi

1. Tipe-tipe vegetasi floristik dan jenis - jenis dengan berbagai faktor abiotik di Gunung Endut

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Klasifikasi Vegetasi

Vegetasi merupakan keseluruhan tutupan tumbuhan yang terdapat pada suatu daerah dan memperlihatkan pola distribusi menurut ruang dan waktu. Menurut Weaver dan Clements (1980), vegetasi tidak hanya merupakan tumbuhan yang hidup bersama dan saling berinteraksi satu dengan lainnya, tetapi lebih jauh secara bersama-sama memodifikasi habitatnya sehingga menyebabkan lingkungan di bawah kanopi menjadi lebih basah, mampu memperkaya tanah, dan dapat mengurangi pancaran sinar matahari.

Tipe vegetasi adalah kelompok tegakan yang memiliki komposisi dan fisiognomi tumbuhan yang serupa, dan tipe tersebut harus memiliki kriteria diagnostik sehingga memungkinkan untuk dikenali. Tipe-tipe vegetasi yang ada di permukaan bumi sangat beragam dalam hal flora, struktur, dinamika, dan determinan-determinan ekologi lain, yang menyebabkan kegiatan klasifikasi menjadi sangat sulit, dan konsensus terhadap klasifikasi vegetasi yang dapat diterima oleh semua kalangan belum dicapai. Hal ini menimbulkan banyak sekali model klasifikasi vegetasi pada berbagai vegetasi tipe yang ada yang dilakukan dengan pendekatan yang berbeda (Laumonier 1997 ). Mengingat vegetasi merupakan suatu fenomena yang terus berubah dan komposisi spesies penyusunnya berdistribusi secara stokastik, maka unit-unit vegetasi tidak dapat diterapkan secara absolut dan kaku.

Klasifikasi adalah tindakan atau kegiatan mengelompokkan benda, objek, atau fakta ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan karakter yang sama ( Crawley 1986). Klasifikasi vegetasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk memisahkan komunitas vegetasi ke dalam kelas-kelas yang relatif homogen (Kimmins 1987). Klasifikasi menjadi sangat penting, karena merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk berbagai tujuan, antara lain untuk komunikasi yang efisien, sintesis dan reduksi data, interpretasi dan perencanaan, serta pengelolaan.

(29)

untuk klasifikasi diperoleh melalui suatu area vegetasi dan hasil pengelompokan tersebut merupakan tipe komunitas tumbuhan pada kawasan yang dikaji (Kent dan Coker 1992 ).

Konsep tentang pola-pola vegetasi dapat saja berbeda, namun seluruh kegiatan klasifikasi memerlukan pengidentifikasian seperangkat kelas-kelas vegetasi yang bersifat diskrit. Menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974 b) beberapa pemikiran yang menjadi dasar dalam melakukan klasifikasi adalah sebagai berikut :

(1) Pada kondisi habitat yang serupa, maka akan ditemukan kombinasi jenis yang serupa yang berulang kehadirannya dari satu tegakan ke tegakan lainnya, (2) Tidak ada tegakan atau contoh vegetasi yang betul-betul serupa bahkan pada

tegakan yang sangat berdekatan pun akan memperlihatkan penyimpangan sedemikian rupa terhadap yang lainnya. Hal ini disebabkan adanya peluang dari kejadian penyebaran jenis tumbuhan, gangguan, sejarah tegakan, dan kepunahan jenis,

(3) Kumpulan jenis akan berubah kurang lebih menerus seiring dengan perubahan jarak geografi atau lingkungan,

(4) Komposisi dan struktur tegakan vegetasi bervariasi dalam skala ruang dan waktu.

Komunitas tumbuhan dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu : (1) Berdasarkan faktor vegetasi, (2) Berdasarkan faktor lingkungan, dan (3) Berdasarkan kombinasi vegetasi dan lingkungan (Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974 a).

B. Klasifikasi Vegetasi Secara Fisiognomi Struktural, Floristik dan Numerik 1. Klasifikasi Vegetasi Secara Fisiognomi-Struktural

(30)

musim dari tumbuh-tumbuhan. Fitur ini mudah dikenali di lapangan dengan pengetahuan flora yang tidak terlalu mendalam (Grosman et al. 1994).

Klasifikasi vegetasi berdasarkan kriteria fisiognomi antara lain dilakukan oleh Humbolt dan Grisbach. Kelas-kelas vegetasi berdasarkan bentuk tumbuh dari tumbuhan dominan dan tipe lingkungan tempat vegetasi tersebut ditemukan (Kimmins 1987). Kelas-kelas ini disebut formasi dan merupakan unit dasar klasifikasi vegetasi berdasarkan fisiognomi struktural. Formasi adalah komunitas yang didefinisikan berdasarkan bentuk tumbuh dari tumbuhan yang paling dominan pada strata teratas dari suatu komunitas tumbuhan, atau oleh kombinasi dari beberapa bentuk tumbuh yang dominan dan hadir pada habitat yang serupa (Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974 a).

Formasi merupakan pengejawantahan dari kondisi lingkungan hidup tertentu, dan dalam prakteknya ditentukan berdasarkan berbagai kombinasi bentuk tumbuh dominan dengan berbagai karakter lingkungan bukan berdasarkan kondisi floristik dari vegetasi. Suatu formasi biasanya tersusun atas sejumlah asosiasi, yang seluruhnya memiliki fisiognomi yang sama, namun masing-masing memiliki komposisi jenis yang relatif berbeda baik secara kuantitatif maupun kualitatif.

Asosiasi tumbuhan dicirikan karena : (1) memiliki komposisi floristik yang relatif konsisten, (2) memiliki fisiognomi yang relatif seragam, dan (3) hadir pada habitat yang relatif konsisten (Barbour et al. 1987) dan dengan jenis diagnostik yang khas. Ide tentang asosiasi ini penting karena mengimplikasikan bahwa jenis tertentu ditemukan tumbuh bersama pada lingkungan tertentu tidak semata-mata karena faktor peluang belaka, tetapi juga karena adanya kebutuhan yang sama terhadap berbagai faktor yang ditemukan pada kondisi lingkungan yang sama (Grosman et al. 1994).

(31)

Fosberg kemudian mengembangkan klasifikasi formasi struktural, dan seperti halnya klasifikasi yang dikembangkan oleh Kuchler juga Dansereau, mereka melakukan klasifikasi yang secara ketat didasarkan pada ciri-ciri struktural vegetasi. Klasifikasi dimulai dengan membagi vegetasi menjadi vegetasi tertutup, terbuka, dan jarang. Penentuan ini didasarkan pada penutupan tajuk. Ketiga kelompok ini merupakan kelompok vegetasi utama. Vegetasi tertutup adalah vegetasi yang disusun oleh tumbuhan dengan tajuk saling berhubungan. Vegetasi terbuka menunjukkan tajuk tumbuhan yang tidak saling berhubungan, dan vegetasi jarang menunjukkan bahwa tumbuh-tumbuhan yang menyusun vegetasi sangat tersebar, seperti yang ditemukan pada vegetasi di kawasan gurun.

Pada setiap kelompok vegetasi utama ini, dibagi lagi menjadi beberapa kelas vegetasi yang penentuannya berdasarkan ketinggian lapisan vegetasi dan juga kontinuitas dan diskontinuitas vegetasi. Pembagian lebih lanjut dilakukan berdasarkan fungsi, yaitu apakah dedaunan pada strata dominan dari suatu vegetasi selalu hijau atau mengalami periode meranggas. Klasifikasi lebih lanjut dilakukan berdasarkan tekstur daun dari bentuk hidup tumbuhan dominan yang menyusun vegetasi (Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974 b).

(32)

Unit vegetasi ditentukan bedasarkan kondisi vegetasi yang sesungguhnya di lapangan, namun kondisi lingkungan juga dipertimbangkan dalam penentuan tipe vegetasi. Unit vegetasi yang terletak pada hirarki paling atas disebut kelas formasi dan dibagi menjadi tujuh kelas, yaitu : (1) hutan tertutup, (2) hutan terbuka (woodland), (3) semak belukar atau lahan semak, (4) semak kerdil, (5) komunitas terna darat, (6) komunitas tumbuhan gurun dan daerah bervegetasi dengan tumbuhan yang jarang, dan (7) tumbuhan pada lingkungan yang berair. Kelas-kelas formasi ditentukan berdasarkan ketinggian, penutupan tajuk, dan distribusi spasial dari bentuk hidup tumbuhan dominan serta fisiognomi dari tumbuhan dominan (Mueller-Dombois dan Ellenberg1974 b).

Kelas formasi vegetasi kemudian dibagi lagi menjadi sub-kelas formasi, dan ditentukan berdasarkan fungsi, yaitu apakah ia merupakan vegetasi dengan daun yang selalu hijau atau daun meranggas. Pembagian selanjutnya menjadi kelompok-kelompok formasi, yang penentuannya terutama berdasarkan iklim makro tempat vegetasi berada, misalnya iklim tropis, iklim sedang. Kelompok formasi juga ditentukan berdasarkan morfologi daun, misal sclerofil berdaun lebar, berdaun jarum. Contoh kelompok formasi adalah, Hutan meranggas iklim sedang, Hutan hujan tropis berdaun lebar.

(33)

Sistim klasifikasi vegetasi UNESCO mempunyai kelebihan dibanding sistem klasifikasi yang ada sebelumnya. Klasifikasi ini memiliki akurasi dan makna secara ekologi yang tinggi, karena dihasilkan melalui kesepakatan ahli-ahli internasional. Klasifikasi yang dikembangkan dapat diterapkan pada berbagai permukaan bumi yang memiliki tipe vegetasi berbeda. Standar hirarki unit vegetasi yang dikembangkan memang dirancang untuk tujuan klasifikasi dan pemetaan vegetasi pada berbagai skala. Selanjutnya dikatakan bahwa struktur yang dikembangkan bersifat open-ended dan unit klasifikasi dapat ditambahkan jika diperlukan (Grosman et al. 1994).

Federal Geographic Data Committee (FGDC) Amerika Serikat mengembangkan sistem klasifikasi vegetasi yang dinamakan NVCS (National Vegetation Classification Standard System). Klasifikasi ini merupakan penyempurnaan terhadap sistem klasifikasi UNESCO, sehingga klasifikasi yang dihasilkan memiliki konsistensi tinggi pada setiap tingkat unit hirarki.

Klasifikasi NVCS bersifat hirarki dan mengkombinasikan klasifikasi fisiognomi (bentuk hidup, penutupan tajuk, struktur, tipe daun) pada unit klasifikasi bagian atas. Bentuk hidup (misalnya pohon, semak dan herba) dari tumbuhan dominan, atau menempati strata teratas dari vegetasi berperanan sangat penting dalam klasifikasi tipe vegetasi. Iklim dan variabel lingkungan abiotik lainnya juga digunakan dalam mengorganisasi klasifikasi yang dibentuk, namun faktor yang paling dominan adalah fisiognomi. Dua tingkat terbawah dari klasifikasi ini didasarkan pada kondisi floristik yang aktual dari vegetasi. Tipe vegetasi budidaya tanaman, baik semusim maupun tahunan juga termasuk ke dalam bagian klasifikasi, karena penutupan tipe vegetasi ini telah meliputi kawasan yang sangat luas (Grosman et al. 1994).

(34)

besar diambil berdasarkan kriteria yang dikembangkan oleh UNESCO. Penentuan unit kelas fisiognomi didasarkan pada struktur vegetasi, yaitu ketinggian dan persentase penutupan tajuk. Berbagai kelas fisiognomi yang ada ditentukan dengan cara sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Prosentase penutupan tajuk vegetasi berpembuluh

Hutan Daerah berhutan Daerah

berhutan jarang

Hutan semak

Bervegetasi jarang / tidak berpembuluh (1-10% Vegetasi berpembuluh)

Herba

Hutan semak jarang

Hutan semak kerdil Hutan semak

kerdil jarang

Tajuk Saling mengunci (100-60%)

Persentase Penutup Tajuk Vegetasi Berpembuluh

Tajuk tidak bersentuhan (60-25%)

Tajuk berjarak jarang (25-10%)

Bentuk hidup / Tinggi

Pohon > 5 m

Semak/Pohon 0,5-5 m

Semak kerdil / semak/pohon <0,5 m

Herba

(35)

Sub-kelas fisiognomi ditentukan berdasarkan fenologi daun dari bentuk hidup yang paling dominan (daun selalu hijau, daun meranggas, daun campuran selalu hijau dan meranggas), untuk strata tumbuhan herba berdasarkan ketinggian rata-rata (tinggi, sedang, pendek), dan untuk vegetasi jarang dan tersebar/ komunitas vegetasi tidak berpembuluh ditentukan berdasarkan ukuran partikel dari substrat vegetasi tersebut (bebatuan, kerikil, pasir, lumpur). Contoh : Hutan selalu hijau, Hutan meranggas, Hutan campuran selalu hijau dan meranggas, Padang rumput tinggi, Vegetasi jarang dan tersebar dengan substrat pasir.

Unit kelompok formasi ditentukan terutama berdasarkan kombinasi iklim, morfologi dan fenologi daun, juga iklim, karakteristik daun, dan untuk kelompok vegetasi berkayu jarang dan tersebar didefinisikan berdasarkan strata terbawah yang dominan. Contoh : Hutan terbuka iklim sedang berdaun jarum, Lahan semak yang jarang dan tersebar dengan daun selalu hijau berdaun lebar dan dengan strata herba dominan, Padang rumput pendek daerah kutub (Grosman et al. 1994). Penambahan yang dilakukan pada unit-unit ini adalah unit vegetasi sub-kelompok fisiognomi, yang terdiri atas sub-kelompok vegetasi alami dan sub-kelompok vegetasi perkebunan/budidaya tanaman semusim (FGDC 1997).

Formasi menggambarkan pengelompokan unit-unit vegetasi secara ekologi dan didefinisikan berdasarkan kondisi faktor lingkungan yang umum, seperti ketinggian tempat, rejim hidrologi, dan juga didasarkan pada faktor fisiognomi struktural tumbuhan seperti bentuk tajuk maupun daun. Contoh : Hutan tropis pegunungan selalu hijau, Padang rumput ketinggian sedang dan secara temporer tergenang, dan Hutan terbuka selalu hijau dengan tajuk membulat (Grosman et al. 1994).

(36)

2. Klasifikasi Vegetasi Secara Floristik

Klasifikasi vegetasi secara floristik adalah sistem klasifikasi yang dikembangkan terutama berdasarkan komposisi floristik dari suatu vegetasi. Unit terkecil pada sistem ini adalah asosiasi. Menurut Grosman et al. (1994), dalam menentukan asosiasi, beberapa metode floristik berfokus pada jenis yang hadir secara konstan pada area pengamatan, sementara yang lain menekankan pada jenis diagnostik, jenis indikator, jenis dominan, atau jenis yang terbatas penyebarannya pada area pengamatan.

Sistem klasifikasi floristik yang paling sering digunakan adalah sistem yang dikembangkan oleh Braun Blanquet, juga dikenal dengan nama sistem perbandingan tabular (Kent dan Coker 1992 ). Klasifikasi ini mengelompokkan tegakan vegetasi atau releve ke dalam unit-unit berdasarkan pada kriteria floristik, yaitu komposisi jenis dengan variasi yang sifatnya kuantitatif. Pengelompokan dilakukan setelah seluruh daftar jenis yang terdapat pada seluruh tegakan dipindahkan ke dalam suatu tabel tunggal yang disebut tabel sintesis. Melalui tabel sistesis ini dapat diperlihatkan informasi floristik semua releve yang diperbandingkan.

Klasifikasi vegetasi zona sub pegunungan Gunung Salak yang dikerjakan oleh Wiharto (2009) telah mengidentifikasi tiga aliansi vegetasi. Aliansi hutan Schima wallichii-Pandanus punctuatus/Cinchona officinalis terdiri dari lima asosiasi vegetasi, aliansi hutan Gigantochloa apus-Mallotus blumeanus/C. officinalis mempunyai enam asosiasi vegetasi, dan aliansi hutan Pinus merkusii-Athyrium dilalatum/Dicranopteris dichotoma memiliki tujuh asosiasi vegetasi.

3. Klasifikasi Vegetasi Secara Numerik

(37)

untuk menentukan tipe komunitas tumbuhan yang terdapat pada area yang sedang dikaji.

Metode klasifikasi numerik merupakan teknik untuk mereduksi data dan dimanfaatkan untuk menentukan adanya pola-pola dan keteraturan dari suatu perangkat data. Dalam metode ini, seperangkat aturan yang jelas ditetapkan untuk mengatur proses pengelompokan individu atau kuadrat secara bersama-sama (Pileou 1984). Hal ini menyebabkan elemen subjektivitas dihilangkan. Dengan demikian, jika ada seperangkat data digunakan oleh dua peneliti yang berbeda untuk menemukan pola pengelompokan vegetasi dengan menggunakan klasifikasi numerik yang sama, maka hasil yang sama akan diperoleh.

Langkah pertama yang dilakukan dalam kegiatan klasifikasi numerik adalah menentukan kesamaan (similaritas) dan ketidaksamaan (disimilaritas) diantara objek-objek yang diperbandingkan. Berbagai macam koefisien kesamaan dan ketidaksamaan dapat diterapkan untuk menentukan kesamaan diantara kuadrat-kuadrat ini. Diantaranya yang paling sering digunakan adalah koefisien jarak Euclidean (Kent dan Coker 1992 ).

Jika seluruh pasangan objek dihitung kedekatannya maka hasilnya dapat disusun dalam suatu matriks kesamaan. Selanjutnya adalah mengelompokkan objek-objek yang memiliki kesamaan yang paling dekat ke dalam satu kelompok. Untuk kegiatan ini ada beberapa metode perhitungan yang dapat digunakan. Diantaranya adalah Metode Tetangga Terdekat yang juga dikenal sebagai single-linkageclustering (Pileou 1984; Jaya 1999).

C. Struktur Vegetasi dan Komposisi Jenis

(38)

Elemen utama struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi, dan penutupan (Wiharto 2009). Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974a) menyatakan bahwa dalam ekologi vegetasi paling sedikit terdapat lima tingkat struktur vegetasi, yaitu : (1) Fisiognomi vegetasi, (2) Struktur biomassa, (3) Struktur bentuk hidup, (4) struktur floristik, dan (5) Struktur tegakan.

Tegakan biasanya merupakan unit-unit pengelolaan yang membentuk hutan. Dalam kehutanan tegakan merupakan unit yang agak homogen dan dapat dibedakan dengan jelas dari tegakan di sekitarnya oleh umur, komposisi, struktur, tempat tumbuh atau geografi. Struktur tegakan menunjukkan sebaran umur dan atau kelas diameter, serta kelas tajuk (Daniel et al. 1979), sedangkan menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974 a), struktur tegakan adalah distribusi secara numerik individu-individu dari jenis pohon yang memiliki ukuran yang berbeda. Jika individu-individu-individu-individu dari penyusun jenis dianalisa dengan cara seperti ini, maka dinamakan analisis struktur populasi. Selanjutnya jika kurva struktur populasi dari seluruh jenis di dalam tegakan yang sama dibandingkan satu sama lain maka dinamakan analisis struktur tegakan atau analisis struktur komunitas.

Barbour et al. (1987) mengatakan bahwa suatu hutan yang memiliki tahap pertumbuhan klimaks memiliki rasio yang konstan antara jumlah pohon dengan kelas diameter, dan jika ditampilkan dalam bentuk kurva akan membentuk kurva J terbalik. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pohon per satuan luas pada tingkat semai, pancang, tiang dan pohon berturut-turut semakin sedikit sehingga permudaan yang ada mampu mendukung kekosongan dari stadium pertumbuhan yang telah lanjut.

(39)

Selanjutnya strata adalah lapisan vegetasi yang mencakup seluruh bentuk hidup yang terdapat di dalamnya. Tumbuh-tumbuhan dikelompokkan ke dalam strata tertentu berdasarkan posisi dominansinya atau berdasarkan ketinggian di dalam tegakan, dan bukan berdasarkan taksonomi atau bentuk hidup tumbuhan tersebut pada saat dewasa. Konsekuensinya, tumbuhan pohon dapat memiliki beberapa strata seperti anakan dan belta. Pada lingkungan darat, strata tumbuhan jika dalam keadaan lengkap akan tersusun atas pohon, semak, belukar dan lumut (Jenning et al. 2002 ).

Stratifikasi seringkali digunakan untuk menunjukkan pelapisan yang terbentuk dari tinggi total seluruh pohon, kadang-kadang juga disebut dengan lapisan tajuk pohon (Whitmore 1986). Richards (1964 ) mengelompokkan strata tumbuhan di hutan hujan tropis sebagai berikut : (1) Strata A, juga sering disebut lapisan mencuat yang merupakan lapisan tajuk paling atas, susunan tajuk kontinyu atau merata dengan tajuk-tajuk pohon yang umumnya berbentuk payung, (2) Strata B, yang merupakan lapisan tajuk bagian atas namun letaknya di bawah lapisan tajuk strata A, lapisan ini umumnya memiliki tajuk berbentuk kerucut atau berbentuk payung, (3) Strata C, merupakan lapisan tajuk bagian tengah, bentuk tajuk pohon umumnya meruncing atau berbentuk kerucut, terdiri dari pohon yang bersifat sangat toleran, (4) Strata D, yang merupakan susunan tajuk di bagian bawah, tersusun atas tajuk dari semak belukar, dan (5) Strata E, yang merupakan lapisan tajuk dari tumbuhan bawah.

Terdapat tiga pola dasar distribusi tumbuhan di alam, yaitu acak, mengelompok dan regular, dan yang paling sering ditemukan adalah pola mengelompok. Hal ini disebabkan karena biji dan permudaan vegetatif cenderung untuk berkonsentrasi dekat tumbuhan induk dan lingkungan mikro dekat tumbuhan induk lebih sesuai dengan kebutuhan (Barbour et al. 1987).

(40)

tinggi jumlah dan kemerataan jenis makin tinggi pula keanekaragaman jenis (Barnes et al. 1980). Secara umum terdapat gradien kenaikan keanekaragaman dari daerah kutub ke ekuator dan dari daerah ketinggian rendah ke yang lebih tinggi (Begon et al. 1990).

Indeks yang menggabungkan antara kekayaan jenis dengan kemerataan jenis disebut indeks Keanekaragaman (Ludwig dan Reynold 1988 ). Selanjutnya Cox (2002) mengatakan bahwa indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk membandingkan data komposisi komunitas dari sumber yang berbeda. Perbedaan sumber tersebut antara lain perbedaan suksesi, perbedaan habitat, dan perbedaan waktu.

D. Ordinasi dan Analisis Faktor

Menurut Clark (1984), ordinasi merupakan istilah gabungan untuk teknik-teknik multivariat yang sesuai untuk kelompok-kelompok data multidimensi dan hasil yang diperoleh dapat diproyeksikan ke dalam bentuk dua dimensi, sehingga pola-pola bawaan yang dimiliki oleh data yang dikaji akan nampak secara visual (Clark 1984; Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974a). Melalui ordinasi, maka memungkinkan untuk menunjukkan tegakan vegetasi dalam bentuk geometrik sedemikian rupa sehingga tegakan yang paling serupa berdasarkan komposisi jenis beserta kemelimpahannya akan mempunyai posisi yang saling berdekatan sedang tegakan-tegakan lainnya yang berbeda muncul saling berjauhan (Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974a). Barbour et al. (1987) dan Clark (1984) mengatakan bahwa pada dasarnya, ordinasi bertujuan untuk meringkas data menjadi lebih sederhana, menghemat ruang, mudah dibaca dan kemudian dapat digunakan untuk menjelaskan hubungan antara pola-pola komposisi jenis dengan gradasi lingkungan yang ada yang mempengaruhi pola-pola tersebut.

(41)

pola-pola ini. Namun demikian, seharusnya ordinasi tidak digunakan di dalam pengkajian yang dituntun oleh hipotesis. Ordinasi dapat dipandang sebagai alat untuk mengeksplorasi. Dengan demikian, analisis post-hoct dapat diterima, dan banyak teknik yang berbeda dapat diterapkan pada perangkat data yang sama. Tidak ada hipotesis nol yang dapat ditolak, demikian juga nilai p untuk menguji signifikasi secara statistik. Ketika nilai p (p-value/probabilitas p) diusulkan, maka ia hanya dapat digunakan sebagai tuntunan yang kasar atau indikator dari proses-proses yang ada yang memiliki kemungkinan menjelaskan pola-pola komunitas (Clark 1984).

Menurut Greig-Smith (1983), analisis faktor adalah salah satu metode statistik multivariat yang sering digunakan dalam ordinasi. Hardjodipuro (1985), menyatakan bahwa analisis faktor adalah istilah umum untuk sejumlah teknik matematik dan statistik yang berbeda tapi berhubungan, yang dirancang untuk meneliti sifat hubungan-hubungan antara variabel-variabel dalam perangkat tertentu. Masalah dasarnya adalah menentukan apakah variabel-variabel n dalam suatu perangkat menunjukkan pola hubungan satu sama lain, sehingga perangkat tersebut dapat dipecah menjadi sub-perangkat m, yang masing-masing terdiri dari sekelompok variabel yang cenderung lebih berhubungan satu dengan yang lain dalam sub-perangkat daripada dengan variabel lain dari sub-sub-perangkat yang beda.

E. Ekosistem Pegunungan Di Kawasan Tropis

(42)

Kawasan tropis pegunungan tersebar berdasarkan lintang terbatas pada kawasan tropis, yang meliputi wilayah katulistiwa dan meluas ke utara sampai garis balik utara dan ke selatan sampai garis balik selatan. Hutan tropis pegunungan ditemukan pada ketinggian antara 500 m sampai dengan 4000 m dpl, dan sebagian besar terletak pada kisaran ketinggian antara 1500 m dpl sampai dengan 2800 m dpl. Namun pada daerah kepulauan di daerah tropis, misalnya di kepulauan Karibia, hutan tropis pegunungan telah dapat ditemukan pada ketinggian 300 m dpl (Kappelle 2004). Sekitar 3,4 % dari permukaan bumi di daerah tropis adalah kawasan pegunungan (UNEP 2003 ).

Zonasi di kawasan pegunungan terkait dengan penyebaran tumbuhan dan pada gilirannya terkait dengan perubahan kondisi lingkungan terutama iklim yang terdapat di sepanjang pegunungan. Semakin tinggi kondisi suatu daerah, kondisi iklim menjadi semakin tidak bersahabat terhadap mahluk hidup, dan dalam kaitannya dengan tumbuhan akan ditemukan perubahan struktur dan komposisi seiring dengan perubahan ketinggian (UNEP 2003 ).

Setiap kenaikan 100 m dpl penurunan suhu udara yang terjadi adalah sekitar 0,6º C namun penurunan ini juga tergantung pada faktor-faktor seperti penutupan oleh awan, waktu dan kandungan uap air yang terdapat di udara. Selanjutnya dengan bertambahnya ketinggian, maka tekanan udara semakin menurun dan kandungan O2 semakin tipis (Osborne 2000 ). Pada ketinggian 1500 m dpl tekanan parsial O2 hanya 84 % dari yang ada pada ketinggian sama dengan permukaan laut, turun sampai hanya 75 % pada ketinggian 2500 m dpl, dan menjadi hanya 65 % pada ketinggian 3500 m dpl (dengan variasi yang kecil pada daerah lintang dan musim yang berbeda) (Mountain Watch 2000). Keterdedahan terhadap tiupan angin dan cahaya ultra violet semakin meningkat (Osborne 2000 ). Laju fotosintesis tumbuhan menurun, juga laju transpirasi (Kappelle 2004).

(43)

daerah tropis ini biasanya ditemukan pada ketinggian 1200–1500 dpl (Bruijnzeel 2001), bahkan menurut Steenis (1972) kawasan ini telah ditemukan pada kisaran ketinggian 1000–1500 m dpl.

Bruijnzeel (2001) mengemukakan bahwa perbedaan struktur, fisiognomi dan komposisi hutan dari hutan tropis dataran rendah ke hutan tropis sub pegunungan bersifat gradual dimana tinggi pohon semakin berkurang. Pohon-pohon mencuat yang besar dan ditemukan melimpah pada hutan tropis dataran rendah menjadi sangat sedikit pada hutan sub pegunungan. Menurut Whitmore (1986), penyusutan ini menyebabkan strata pepohonan pada hutan tropis dataran rendah yang terdiri atas tiga lapis, menjadi dua lapis. Hanya sedikit pepohonan yang memiliki banir, dan jika ada, ukurannya kecil. Tumbuhan liana berkayu berukuran besar juga jarang ditemukan. Sementara itu tumbuhan epifit seperti anggrek jauh lebih melimpah (Whitten et al. 1999).

Tipe hutan sub pegunungan tropis digantikan oleh tipe hutan pegunungan pada ketinggian dimana penutupan oleh awan berlangsung terus menerus. Pada pegunungan-pegunungan besar, kisaran ketinggian hutan tropis pegunungan adalah 2000-3000 m dpl. Perbedaan ketinggian pohon yang jelas akan ditemukan antara hutan tropis sub pegunungan dengan hutan tropis pegunungan dimana pada hutan sub pegunungan ketinggian pepohonan relatif masih tinggi, berkisar antara 15-35 m dan pada hutan tropis pegunungan hanya berkisar 2-30 m dan tertutup 70-80% oleh lumut (Bruijnzeel 2001), dan pada hutan ini epifit jenis anggrek semakin berkurang dan digantikan oleh jenis paku-pakuan transparan. Ukuran pohon lebih kecil dan kanopi menjadi lebih seragam (Whitmore 1986).

(44)

Zonasi umum perubahan komposisi jenis berdasarkan ketinggian di kawasan Malesia (kawasan ini mencakup semenanjung Malaysia, Brunei, Singapura, Filipina, Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua Nugini) yang dikaji oleh Steenis (1972) adalah sebagai berikut :

1–1000 m dpl adalah hutan hujan tropis dimana pada ketinggian 500–1000 m dpl juga disebut zona Collin, 1000–1500 m dpl merupakan hutan sub pegunungan, 1600– 2400 m dpl merupakan hutan pegunungan, 2500–4000 m dpl merupakan hutan sub-alphin, 4100–4500 m dpl merupakan zone sub-alphin, dan ketinggian di atas 4600 m dpl merupakan zone nival. Zonasi ini tidak dengan sendirinya sama di semua kawasan, tapi terdapat perbedaan-perbedaan yang antara lain disebabkan oleh massa dan ketinggian pegunungan, jarak dari laut, dan kondisi iklim.

F. Pengelolaan Mintakat Taman Nasional

Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahun, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Pasal 1 ayat 14). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Pasal 30 ayat (2) menetapkan pengelolaan taman nasional didasarkan sistem zonasi (mintakat) yang terdiri dari zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan atau zona lainnya. Lebih lanjut pengelolaan mintakat taman nasional diatur oleh Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.

(45)

nasional dapat lebih dari satu tergantung pada potensi kawasan, kondisi kawasan, sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar taman nasional.

Menurut Ditjen PHKA (2005), dalam Taman Nasional dapat dilakukan kegiatan :

a. Inventarisasi dan identifikasi potensi kawasan

b. Pemantapan kawasan, meliputi : (1) Pengukuhan status kawasan setelah adanya penunjukan, yaitu penataan batas, dan proses penetapan status dan fungsi

kawasan; (2) Pemeliharaan batas fisik kawasan termasuk rekonstruksi batas; (3) Penataan kawasan ke dalam zona; dan (4) Pengkajian bagian kawasan taman nasional yang kondisinya dan/atau pemanfaatannya tidak sesuai dengan tujuan penetapannya.

c. Pemeliharaan kawasan dan potensinya

d. Pemanfaatan, antara lain untuk : (1) Pendidikan dan penelitian; (2) Penyediaan plasma nutfah untuk penunjang budidaya; (3) Pemakaian kawasan sebagai tempat pengkayaan dan penangkaran jenis untuk kepentingan penelitian, pembinaan habitat dan populasi, dan rehabilitasi kawasan; dan (4) Jasa lingkungan.

e. Pemulihan kawasan dan potensinya. Pemulihan dapat dilakukan dalam taman nasional setelah didahului dengan pengkajian yang sangat seksama. Kegiatan pemulihan dilakukan antara lain melalui kegiatan : (1) Pembinaan habitat dan/atau pembinaan populasi; (2) Rehabilitasi dengan jenis tumbuhan asli; (3) Reintroduksi jenis satwa sejenis dan asli; dan (4) Pengendalian dan/atau pemusnahan jenis tumbuhan dan/atau satwa yang tidak asli yang diidentifikasi telah dan akan mengganggu ekosistem kawasan.

f. Perlindungan dan pengamanan kawasan g. Pengembangan sarana dan prasarana h. Monitoring dan evaluasi

(46)
(47)

III.

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Letak dan Luas

Lokasi kawasan Gunung Endut secara administratif terletak pada wilayah Kecamatan Lebakgedong, Kecamatan Sajira, Kecamatan Sobang dan Kecamatan Muncang, Kabupaten Lebak. Luas total keempat kecamatan di atas masing-masing adalah 8.446 ha, 9.650 ha, 10.258 ha dan 8.039 ha (Bappeda Kab. Lebak 2011). Secara geografi kawasan ini terletak pada posisi 06º 36’- 06º39’ LS dan 106º 20’- 106º 23’ BT. Gambar 3 memperlihatkan kawasan Gunung Endut di Taman Nasional Gunung Halimun Salak.

Kawasan Gunung Endut memiliki luas ± 2020 Ha. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan Nomor 175/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 status gunung Endut yang mempunyai ketinggian 1297 m dpl menjadi bagian dari Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Kawasan Gunung Endut termasuk Resort Cisoka, Seksi Wilayah Lebak, TNGHS. Sebelumnya kawasan ini merupakan hutan lindung yang dikelola oleh Perum Perhutani Unit III Jawa Barat, KPH Banten. Gambar 4 memperlihatkan Peta Penutupan Lahan di kawasan Gunung Endut, TNGHS.

B. Iklim

(48)
[image:48.595.99.512.185.396.2]

Tabel 1. Data Iklim Kawasan Gunung Endut, Banten.

No Bulan Kelembaban

Nisbi (%) *

Lama Penyinaran (%)

Suhu (C)

Min-maks rata-rata

Hari Hujan (hari)

1 Januari 83,5 77,75 21,2-25,5 17

2 Februari 89 52,9 21,2-25,3 19

3 Maret 83,5 92,85 20,8 - 25 19

4 April 84 118,4 20,9-24,7 20

5 Mei 83 147,85 20,8-24,8 14

6 Juni 81 149,5 21 – 25,3 12

7 Juli 80 191,7 20,7-25,3 9

8 Agustus 78,5 187,35 20,6-25,4 7

9 September 78 165,45 20,8-25,6 14

10 Oktober 79 140,95 20,9-25,5 18

11 November 81 100,2 20,9-25,4 22

12 Desember 82 70,05 20,8-25,3 20

Rata-rata 81,9 124,6 20,9-25,3 16

Tertinggi 89 191,7 25,6 22

Terendah 78 52,9 20,6 7

*DATA IKLIM Banjar Irigasi, CIPANAS, Lebak, BANTEN(1991-2005)(Sumber: internet, grafik-grafik/Staklim Pondokbetung, Jakarta Selatan)

C. Geologi, Tanah dan Topografi

Geologi kawasan Gunung Endut merupakan Volkanik Endut. Tanah di kawasan Gunung Endut adalah Asosiasi Latosol Coklat dan Latosol Kekuningan. Topografi berbukit dari ketinggian sekitar 801 m sampai 1300 m dpl. Kawasan Gunung Endut berpotensi sebagai areal penambangan panas bumi dan termasuk yang disurvai oleh pemerintah akhir-akhir ini.

D. Vegetasi Penutup Lahan dan Flora Kawasan Gunung Endut

(49)
[image:49.595.106.535.130.490.2]

Gambar 3. Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak ( Sumber : GHSNP.MP-JICA 2006)

E. Fauna Kawasan Gunung Endut

(50)
[image:50.595.110.467.137.701.2]
(51)

F. Masyarakat Sekitar Kawasan Gunung Endut

Masyarakat yang berada di sekitar kawasan Gunung Endut yaitu Kecamatan Lebakgedong (Desa Lebaksangka dan Desa Lebakgedong), Kecamatan Sajira (Desa Pasirhaur dan Desa Girilaya), Kecamatan Sobang (Desa Sindanglaya dan Desa Citujah), dan Kecamatan Muncang (Desa Cikarang), Kabupaten Lebak umumnya memiliki mata pencaharian dengan bertani sawah dan lahan kering. Sawah dan ladang sebagian berada dalam kawasan TNGHS. Jumlah penduduk di kawasan Gunung Endut dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah Penduduk di Kawasan Gunung Endut, Kabupaten Lebak, Banten.

Tahun Kecamatan

Lebak Gedong Sajira Sobang Muncang

2006 20.629 46.612 27.358 33.779

2007 20.933 46.700 28.089 32.545

2008 21.188 47.270 28.432 32.942

Sumber : Lebak dalam angka 2005-2008 (data 2008 : proyeksi rata-rata pertumbuhan selama 3 tahun terahir).

Kabupaten Lebak yang mempunyai luasan 304.472 ha terdiri dari 28 kecamatan, 340 desa dan 5 kelurahan. Sampai dengan tahun 2008, dari empat kecamatan di sekitar Gunung Endut, Kecamatan Sajira adalah salah satu dari sepuluh yang telah memiliki rencana tata ruang, sedangkan Kecamatan Lebak Gedong, Muncang dan Sobang belum memiliki rencana tata ruang. Kecamatan Lebak Gedong, Muncang dan Sobang termasuk daerah rawan bencana longsor karena lokasinya yang berada di perbukitan dan Daerah Aliran Sungai. Penebangan pohon masih dilakukan masyarakat termasuk di daerah curam atau perbukitan.

Peran serta masyarakat dalam rangka zonasi taman nasional memang difasilitasi oleh pemerintah. Dalam Pasal 19 ayat (2) Peraturan Menteri Kehutanan No. P.56/Menhut-II/2006 disebutkan peran masyarakat tersebut meliputi :

(52)

b. Memberikan dukungan dalam pelaksanaan kegiatan zonasi c. Melakukan pengawasan kegiatan zonasi

(53)

Gambar

Tabel 1.  Data Iklim Kawasan Gunung Endut, Banten.
Gambar 3.  Peta Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak
Gambar 4.  Peta Penutupan Lahan di Kawasan Gunung Endut, Taman Nasional
Tabel  6) . Rotate Component Matrix yang memperlihatkan kelompok blok penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Di lokasi Desa Malasari, terdapat tiga jenis konflik yaitu status lahan ketidaksepakatan tata batas, dan ketidakpastian akses terhadap SDA. Ada dua lahan yang disengketakan,

78 “ Mroyek rehabilitasi ” (proyek rehabilitasi; diucapkan dalam dialeg Jawa Timuran), adalah sindiran dari para aparat desa penyangga, bahwa kegagalan proyek rehabilitasi hutan

ANALISIS KELEMBAGAAN.. Konflik akibat pemanfaatan lahan di TNGHS terus berkembang sejalan dengan diperluasnya kawasan tersebut pada tahun 2003 berdasarkan Surat Penunjukan

Berdasarkan hasil perbandingan tersebut, skenario yang paling tinggi dalam mengurangi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan zonasi adalah skenario 3, yaitu upaya restorasi

Beberapa opsi yang diusulkan untuk peningkatan efektivitas implementasi pemberian IPA di TNGHS, sesuai hambatan yang ditemui, adalah: (a) penambahan startegi

Tercatat 113 jenis tumbuhan (meliputi 60 marga) yang dimanfaatkan oleh masyarakat Kasepuhan Desa Cisungsang untuk kehidupan sehari-harinya, termasuk sebagai lalab dan sayur (30

Parameters Index Value Index Value % Tree-level vegetation diversity Simpson Diversity Index; 0.440 44 Bird diversity bird density, Simpson Diversity Index; 0.648 64.8 Landscape

Meanwhile, the secondary forest vegetation is dominated by puspa Schima wallichii, rasamala Altingia excelsa, mahoni Sweitenia mahagoni, karet Hevea brasiliensis, and kayu afrika