• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Oosit Domba dari Ovarium yang Disimpan pada Suhu dan Periode Waktu yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Oosit Domba dari Ovarium yang Disimpan pada Suhu dan Periode Waktu yang Berbeda"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRACT

DHIA MARDHIA ENGCONG. Characteristic of Sheep Oocytes from the Ovaries that was Store on Different Temperature and Different Period Of Time. Under direction of NI WAYAN KURNIANI KARJA.

The aim of the study was to investigate the characteristic of sheep oocytes from the ovaries that was stored on different temperature at a different period of time. Ovaries obtained from the slaughter house. The ovaries were then stored at 4 ˚C for the period of 2, 5-7 and 8-10 h, 27-28 ˚C for the 2, 5-7 and 8-10 h, and the third group was stored at 37-38 ˚C for 2, 5-7 and 8-10 h. At the end of the storage, the oocytes were collected from the ovaries using the slicing method. Collected oocytes were graded as A, B, C and D based on the layers of the cumulus cell and images of the cytoplasm. The percentage of the oocytes for grade A, B, C and D that was derived from the ovaries stored at 4 ˚C are no differ than the other group (P>0.05). The percentage of oocytes of A’s grade from the ovaries stored at the temperature of 27-28 ˚C for 2 hours were higher than the oocytes from the ovaries that were stored for 5-7 and 8-10 hours (P>0.05). Meanwhile the quantity of oocytes with the grade of B, C and D that was derived from the ovaries stored at the temperature of 27-28 ˚C did have not change compared to the other group(P>0.05). The quantity of oocytes with A’s grade that was derived from the ovaries that was kept at the temperature 37-38 ˚C for 2 hours and 5-7 hours (P<0.05) did not show any changes, however there are descending number of oocytes with the A’s grade that was derieved after 8-10 hours of storage (P<0.05). The number of oocytes with the B’s grade that was collected after 5-7 hours after storing was higher compared to those stored for 2 and 8-10 hours (P<0.05). The number of oocytes with the D’s grade is increasing parallel with the length of time for the storage at the temperature 37-38 ˚C (P<0.05). The percentage of the number of oocytes of the A and B’s grade did have not different among other group except for the group of ovaries stored at the temperature of 37-38 ˚C for 5-7 and 8-10 h. These result suggested that storing the ovaries at 27-28 ˚C and 37-38 ˚C for the duration of 5-7 hours preserve the quality of the oocytes better in compared to storing the ovaries at the temperature of 4 ˚C.

(2)

RINGKASAN

DHIA MARDHIA ENGCONG. Karakteristik Oosit Domba dari Ovarium yang Disimpan pada Suhu dan Waktu Berbeda. Dibimbing oleh NI WAYAN KURNIANI KARJA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik oosit domba dari ovarium yang disimpan pada suhu dan periode penyimpanan yang berbeda. Ovarium dari rumah potong hewan dibagi menjadi tiga kelompok. Ovarium disimpan dalam larutan NaCl 0.9 % pada suhu 4 ˚C selama 2, 5-7, dan 8-10 jam; pada suhu 27-28 ˚C selama 2, 5-7, dan 8-10 jam; dan pada suhu 37-38 ˚C selama 2, 5-7, dan 8-10 jam. Pada setiap akhir periode penyimpanan, oosit dikoleksi dari ovarium dengan menggunakan metode penyayatan. Oosit kemudian diseleksi dan dibagi menjadi 4 (empat) kelompok yaitu kelompok A, B, C, dan D berdasarkan lapisan sel kumulus dan gambaran sitoplasmanya. Persentase oosit dengan kualitas A, B, C, dan D yang diperoleh dari ovarium yang disimpan pada suhu 4 ˚C tidak berbeda diantara kelompok perlakuan (P>0.05). Oosit dengan kualitas A dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28 ˚C selama 2 jam lebih tinggi dari pada oosit dari ovarium yang di simpan selama 5-7 dan 8-10 jam (P<0.05). Sedangkan oosit dengan kualitas B, C, dan D yang diperoleh dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28 ˚C tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (P>0.05). Oosit dengan kualitas A yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu 37-38 ˚C selama 2 jam sampai 5-7 jam penyimpanan ovarium (P>0.05) tidak berbeda, tetapi terjadi penurunan jumlah oosit dengan kulaitas A yang diperoleh setelah 8-10 jam penyimpanan (P<0.05). Oosit dengan kualitas B yang dikoleksi 5 jam setelah penyimpanan lebih tinggi daripada kelompok 2 dan 8-10 jam (P<0.05). Jumlah oosit dengan kualitas D meningkat seiring dengan lamanya waktu penyimpanan ovarium pada suhu 37-58 ˚C (P<0.05). Persentase jumlah oosit dengan kualitas A dan B tidak berbeda diantara kelompok perlakuan kecuali pada kelompok ovarium yang disimpan pada suhu 37-38 C selama 5 jam berbeda nyata dengan kelompok ovarium yang disimpan pada suhu 37-38 C selama 8-10 jam. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyimpanan ovarium pada suhu 27-28 ˚C dan 37-38 ˚C selama 5-7 jam mampu mempertahankan kualitas oosit lebih baik dibandingkan dengan penyimpanan ovarium pada suhu 4 ˚C.

(3)

KARAKTERISTIK OOSIT DOMBA DARI OVARIUM YANG

DISIMPAN PADA SUHU DAN PERIODE WAKTU YANG

BERBEDA

DHIA MARDHIA ENGCONG

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul: Karakteristik Oosit Domba dari Ovarium yang Disimpan pada Suhu dan Periode Waktu yang Berbeda adalah benar-benar hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya-karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan tercantum dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, September 2012

(5)

ABSTRACT

DHIA MARDHIA ENGCONG. Characteristic of Sheep Oocytes from the Ovaries that was Store on Different Temperature and Different Period Of Time. Under direction of NI WAYAN KURNIANI KARJA.

The aim of the study was to investigate the characteristic of sheep oocytes from the ovaries that was stored on different temperature at a different period of time. Ovaries obtained from the slaughter house. The ovaries were then stored at 4 ˚C for the period of 2, 5-7 and 8-10 h, 27-28 ˚C for the 2, 5-7 and 8-10 h, and the third group was stored at 37-38 ˚C for 2, 5-7 and 8-10 h. At the end of the storage, the oocytes were collected from the ovaries using the slicing method. Collected oocytes were graded as A, B, C and D based on the layers of the cumulus cell and images of the cytoplasm. The percentage of the oocytes for grade A, B, C and D that was derived from the ovaries stored at 4 ˚C are no differ than the other group (P>0.05). The percentage of oocytes of A’s grade from the ovaries stored at the temperature of 27-28 ˚C for 2 hours were higher than the oocytes from the ovaries that were stored for 5-7 and 8-10 hours (P>0.05). Meanwhile the quantity of oocytes with the grade of B, C and D that was derived from the ovaries stored at the temperature of 27-28 ˚C did have not change compared to the other group(P>0.05). The quantity of oocytes with A’s grade that was derived from the ovaries that was kept at the temperature 37-38 ˚C for 2 hours and 5-7 hours (P<0.05) did not show any changes, however there are descending number of oocytes with the A’s grade that was derieved after 8-10 hours of storage (P<0.05). The number of oocytes with the B’s grade that was collected after 5-7 hours after storing was higher compared to those stored for 2 and 8-10 hours (P<0.05). The number of oocytes with the D’s grade is increasing parallel with the length of time for the storage at the temperature 37-38 ˚C (P<0.05). The percentage of the number of oocytes of the A and B’s grade did have not different among other group except for the group of ovaries stored at the temperature of 37-38 ˚C for 5-7 and 8-10 h. These result suggested that storing the ovaries at 27-28 ˚C and 37-38 ˚C for the duration of 5-7 hours preserve the quality of the oocytes better in compared to storing the ovaries at the temperature of 4 ˚C.

(6)

RINGKASAN

DHIA MARDHIA ENGCONG. Karakteristik Oosit Domba dari Ovarium yang Disimpan pada Suhu dan Waktu Berbeda. Dibimbing oleh NI WAYAN KURNIANI KARJA.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik oosit domba dari ovarium yang disimpan pada suhu dan periode penyimpanan yang berbeda. Ovarium dari rumah potong hewan dibagi menjadi tiga kelompok. Ovarium disimpan dalam larutan NaCl 0.9 % pada suhu 4 ˚C selama 2, 5-7, dan 8-10 jam; pada suhu 27-28 ˚C selama 2, 5-7, dan 8-10 jam; dan pada suhu 37-38 ˚C selama 2, 5-7, dan 8-10 jam. Pada setiap akhir periode penyimpanan, oosit dikoleksi dari ovarium dengan menggunakan metode penyayatan. Oosit kemudian diseleksi dan dibagi menjadi 4 (empat) kelompok yaitu kelompok A, B, C, dan D berdasarkan lapisan sel kumulus dan gambaran sitoplasmanya. Persentase oosit dengan kualitas A, B, C, dan D yang diperoleh dari ovarium yang disimpan pada suhu 4 ˚C tidak berbeda diantara kelompok perlakuan (P>0.05). Oosit dengan kualitas A dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28 ˚C selama 2 jam lebih tinggi dari pada oosit dari ovarium yang di simpan selama 5-7 dan 8-10 jam (P<0.05). Sedangkan oosit dengan kualitas B, C, dan D yang diperoleh dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28 ˚C tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan (P>0.05). Oosit dengan kualitas A yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu 37-38 ˚C selama 2 jam sampai 5-7 jam penyimpanan ovarium (P>0.05) tidak berbeda, tetapi terjadi penurunan jumlah oosit dengan kulaitas A yang diperoleh setelah 8-10 jam penyimpanan (P<0.05). Oosit dengan kualitas B yang dikoleksi 5 jam setelah penyimpanan lebih tinggi daripada kelompok 2 dan 8-10 jam (P<0.05). Jumlah oosit dengan kualitas D meningkat seiring dengan lamanya waktu penyimpanan ovarium pada suhu 37-58 ˚C (P<0.05). Persentase jumlah oosit dengan kualitas A dan B tidak berbeda diantara kelompok perlakuan kecuali pada kelompok ovarium yang disimpan pada suhu 37-38 C selama 5 jam berbeda nyata dengan kelompok ovarium yang disimpan pada suhu 37-38 C selama 8-10 jam. Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyimpanan ovarium pada suhu 27-28 ˚C dan 37-38 ˚C selama 5-7 jam mampu mempertahankan kualitas oosit lebih baik dibandingkan dengan penyimpanan ovarium pada suhu 4 ˚C.

(7)

©

Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

KARAKTERISTIK OOSIT DOMBA DARI OVARIUM YANG

DISIMPAN PADA SUHU DAN PERIODE WAKTU YANG

BERBEDA

DHIA MARDHIA ENGCONG

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada

Fakultas Kedokteran Hewan

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(9)

Judul Skripsi : Karakteristik Oosit Domba dari Ovarium yang Disimpan pada Suhu dan Periode Waktu yang Berbeda

Nama Mahasiswa : Dhia Mardhia Engcong

NIM : B04088022

Disetujui,

drh. Ni Wayan Kuniani Karja, MP. PhD Pembimbing

Diketahui,

drh. H. Agus Setiyono, MS. Ph.D, AVPVet Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan

(10)

PRAKATA

Al-Hamdulillah, puji syukur yang tidak terhingga kepada Allah SWT atas rahmat Allahnya serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul Karakteristik oosit domba dari ovarium yang disimpan pada suhu dan periode waktu yang berbeda sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karenanya dalam kesempatan ini Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. drh. Ni Wayan Kuniani Karja, MP. PhD sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan pengarahan, bimbingan, saran, dan motivasi dari awal hingga tersusunnya skripsi ini.

2. Hibah bersaing no 15/13.24.4/SPP/PHB/2011 yang telah membiayai penelitian ini.

3. Orang tuaku tercinta (Engcong dan Siti Fatimah), adik-adikku tersayang (Dina, Dana, Dhiqan, Dini, Difa dan Izzan) atas doa dan dukungannya 4. Teman sepejuanganku Siti Astuti, kakak Ari dan kakak Fitra atas

bimbingannya.

5. Staf laboratorium Fertilisasi in vitro Fakultas Kedokteran Hewan

6. Sahabat-sahabatku yang sentiasa memberi semangat dan dukungan, (Kholis, Afifah, Hastin, Rika, Sri, kak Mimi, Ashley, Tizani, kak Nurul Aini, Aulia, Hani, Ibu Marni), serta seluruh sahabat Avenzoar 45.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna, untuk itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Penulis berharap agar skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan, dan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan.

Bogor, September 2012

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 6 Agustus 1989 di Kota Marudu, Sabah, Malaysia. Penulis merupakan anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Engcong bin Mawalil dan Ibu Siti Fatimah binti Abdullah.

Penulis menempuh pendidikan yang dimulai dari Tadika Khoi Ming selama tiga tahun (1993-1995) kemudian dilanjutkan ke Sekolah Rendah Jenis Kebangsaan Cina Khoi Ming (1996-2000), pada tahun 2001 pindah ke Sekolah Kebangsaan Tagaroh. Penulis melanjutkan pendidikan menengah pertama (SMP) dan Menengah atas (SMA) di Sekolah Menengah Kebangsaan Agama Johor Bahru (2002-2006). Pendidikan lanjutan penulis di Kolej Matrikolasi Labuan selama setahun (2007/2008). Penulis diterima menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor pada bulan Agustus 2008 melalui jalur SPMB, pada tahun berikutnya Penulis mendapat beasiswa Kerajaan Negeri Sabah dan diterima sebagai mahasiswa Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

(12)

vii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... ... vii

DAFTAR TABEL ... .. viii

DAFTAR GAMBAR ... .. ix

DAFTAR GRAFIK ... .... x

PENDAHULUAN Latar belakang... 1

Tujuan... 2

Hipotesis ... 2

Manfaat... 2

TINJAUAN PUSTAKA Domba... 3

Ovarium... 3

Oogenesis/ folikulogenesis... 3

Oosit ... 4

Transportasi Ovarium... 5

Faktor Suhu... 5

Faktor Waktu... 6

Koleksi oosit... 7

Pengelompokan oosit... 7

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat... 9

Alat dan Bahan... 9

Koleksi Ovarium... 9

Koleksi Oosit... 9

HASIL DAN PEMBAHASAN...10

KESIMPULAN DAN SARAN...17

(13)

viii

DAFTAR TABEL

H

alaman

Tabel 1 Karakteristik oosit yang diperoleh dari ovarium domba setelah disimpan pada suhu 4 ˚C dengan periode waktu yang berbeda... 12

Tabel 2 Karakteristik oosit yang diperoleh dari ovarium domba setelah disimpan pada suhu 27-28 ˚C dengan periode waktu yang berbeda... 12

(14)

ix

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Ovarium domba dengan fase folikuler dan luteal... 11

(15)

1

PENDAHULUAN

Latar belakang

Ferilisasi in vitro (IVF) merupakan teknologi yang sedang berkembang

dengan pesat pada dekade terakhir ini. Fertillisasi in vitro merupakan pertemuan gamet jantan dan gamet betina di luar tubuh manusia maupun hewan. Teknologi

IVF adalah bagian dari teknologi in vitro production (IVP). Teknologi in vitro production meliputi in vitro maturation (IVM), in vitro fertilization (IVF) dan in vitro cultur (IVC). In vitro maturation merupakan proses pematangan oosit yang dikoleksi dari ovarium. Oosit yang mengalami pematangan akan dilanjutkan

dengan proses IVF untuk difertilisasi. Apabila oosit telah mengalami fertilisasi

dengan sel spermatozoa, hasil fertilisasi ini akan dilanjutkan dengan kultur in vitro

sebagai persiapan untuk ditransfer ke dalam uterus induk (Jemes et al. 2007; Wilburta et al. 2010).

Umumnya, munculnya teknologi reproduksi digunakan untuk memastikan

keberlangsungan dan keanekaragaman hayati suatu populasi dan spesies hewan

(Alvarez et al. 2009). Pada peternak ruminansia teknologi IVF digunakan untuk meningkatkan tingkat produksi hewan ternak dalam memenuhi kebutuhan pangan

yaitu sumber protein. Sebagai contoh, menurut Schatten dan Gheorghe (2007)

IVF dapat membantu meningkatkan tingkat kebuntingan sapi saat infertile. Begitu

juga jika sapi yang tidak dapat merespon hormon superovulasi, maka sapi dapat

bunting dengan mentransfer embrio hasil IVP pada uterus sapi.

Koleksi sel spermatozoa dan oosit merupakan hal penting dalam teknologi

IVF. Keberhasilan dari teknologi IVF sangat dipengaruhi oleh kualitas dari oosit

dan sel spermatozoa yang digunakan. Kualitas oosit ini sendiri sangat dipengaruhi

oleh penanganan mulai dari ovarium dikeluarkan dari tubuh hewan, selama proses

transportasi hingga sampai ke laboratorium dan saat dikoleksi hingga mengalami

proses maturasi (Choi et al. 2004). Oosit setelah maturasi mempunyai peranan penting terhadap keberhasilan IVF, untuk mendukung perkembangan oosit

menjadi embrio selanjutnya sampai menjadi satu keturunan.

Ovarium yang dikeluarkan dari tubuh hewan, umumnya tidak lagi

(16)

2

al. 2011). Kondisi iskemia dapat menyebabkan perubahan pada folikel, karena berkurangnya oksigen, akumulasi hasil metabolisme, berkurangnya glukosa dan

meningkatnya indeks apoptosis pada sel granulosa (Pedersen et al. 2004). Selain

itu, Schatten dan Gheorghe (2007) menyatakan bahwa oosit primer lebih sensitif

terhadap lingkungan, sehingga metode penanganan ovarium selama trasportasi

penting untuk dioptimalkan agar dapat menjaga kondisi oosit tetap baik. Oleh

karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui kondisi optimum media

transportasi agar kualitas oosit tetap dapat dipertahankan untuk mendukung

keberhasilan IVM, IVF dan IVC.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik oosit domba dari

ovarium yang disimpan pada suhu dan periode penyimpanan yang berbeda

sehingga didapatkan suatu metode penyimpanan ovarium selama transportasi

yang mampu mempertahankan kualitas oosit domba.

Hipotesis

Suhu dan periode penyimpanan ovarium berpengaruh terhadap kualitas

oosit.

Manfaat

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang sistem

transportasi yang baik sehingga kualitas ovarium dan oosit dapat

dipertahankan secara optimal.

2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi model untuk hewan langka

(17)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Domba

Domba merupakan salah satu sumber protein yang semakin digemari oleh

penduduk Indonesia. Fenomena ini semakin terlihat dengan bertambahnya

warung-warung sate di pinggiran jalan, terutama jalan yang menuju puncak Bogor

dan beberapa tempat wisata di sekitar Bogor. Permintaan domba juga semakin

meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, terutama

pada saat Idul Adha (Harianto 2010).

Ovarium

Ovarium adalah organ reprodusi betina yang terletak di ruang abdomen

seekor hewan. Pada domba bentuk ovarium seperti kacang almond. Ovarium

dapat bekerja sebagai organ eksokrin (menghasilkan sel telur) dan endokrin

(menghasilkan hormon) (Thomas & Joanna 2002). Ovarium dibagi menjadi dua

bagian, yaitu kortek dan medula. Sebagian besar ovarium didominasi oleh kortek.

Kortek dilapisi oleh simple squamous dan epitelium kuboid. Di bagian yang lebih

dalam terdapat jaringan yang tidak beraturan yang disebut tunika albuginea.

Tunika albuginea berhubungan dengan stroma ovarium yang terdiri dari jaringan

ikat longgar yang mengandung folikel dan korpus luteum. Sedangkan daerah

medula terdiri atas pembuluh darah, pembuluh limfe, saraf, jaringan ikat dan otot

polos (Schatten & Gheorghe 2007).

Pada saat fetus, ovarium menghasilkan oogonia melalui pembelahan

mitosis. Sekitar 1 (satu) juta oosit berkembang setelah fetus dilahirkan namun

hanya beberapa ratus oosit yang akan diovulasikan. Umumnya oosit akan

berkurang karena mengalami degenerasi dan atresia (Schatten & Gheorghe 2007).

Oogenesis dan Folikulogenesis

Oogenesis merupakan proses pembentukan gamet betina atau oosit. Proses

ini bersamaan dengan proses pembentukan folikel yang dikenal dengan

folikulogenesis. Folikel primodial yang telah terbentuk sewaktu di dalam

kandungan maupun setelah lahir akan terus berkembang dan mengalami

(18)

4

Pada saat hewan lahir, ovarium memiliki sejumlah folikel primodial yang

akan berkembang pada saat pubertas. Folikel ini mengandung oosit dengan inti

berada pada tahap profase dari pembelahan meiosis pertama (oosit primer).

Setelah pubertas, folikel primodial berkembang menjadi folikel primer.

Pembentukan folikel dibagi menjadi empat fase: primodial, primer, sekunder dan

tertier (Schatten & Gheorghe 2007). Follicle stimulating hormone (FSH) dilepaskan dari pituitari anterior untuk menstimuli perkembangan folikel primer

menjadi sekunder, tertier dan akhirnya mencapai bentuk folikel de Graaf (Colville

2002). Folikel primer terbentuk, dimulai dari sel epitel yang mengelilingi oosit

berubah bentuk dari pipih menjadi kuboid (Schatten & Gheorghe 2007). Awalnya,

sel folikel berhubungan erat dengan oosit, kemudian terbentuk zona pelusida yang

berasal dari suatu lapisan zat aseluler dan terdiri dari mukopolisakarida

diendapkan pada permukaan oosit (Thomas & Joanna 2002).

Sel folikel mulai berproliferasi dengan membentuk suatu lapisan seluler

yang tebal yang mengelilingi oosit. Selanjutnaya dibawah pengaruh gonadotropin

dari hipofise anterior, sel-sel folikel terus berkembang menjadi beberapa lapis

seluler hingga membentuk ruang-ruang yang disebut antrum folikel, ini dikenal

sebagai folikel sekunder (Gordon 2003). Folikel yang matang dikenal sebagai

folikel tertier, yang dikelilingi oleh dua lapisan jaringan ikat yaitu teka interna dan

teka externa. Teka interna adalah lapis bagian dalam yang menghasilkan estrogen

dan kaya dengan pembuluh darah sedangkan teka eksterna adalah lapis luar yang

beransur-ansur akan bersatu dengan stroma ovarium. Antrum folikel akan terus

bertambah besar seiring dengan perkembangan folikel tertier sampai menjelang

ovulasi. Pada saat ini folikel terteir disebut folikel de Graaf (Thomas & Joanna

2002).

Oosit

In vitro maturation (IVM) adalah suatu proses yang perlu dilalui oleh oosit agar oosit mengalami perubahan struktur dan biokimiawi menjadi fase metaphase

II melalui pembelahan miosis secara in vitro (Anthony et al. 2011). Umumnya oosit yang dikoleksi dari ovarium adalah oosit primer, oleh karena itu diperlukan

suatu proses kultur yang dikenal dengan nama IVM (Gordon 2003). Kualitas oosit

(19)

5

dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah kondisi donor, transportasi

ovarium, seleksi folikel dan IVM (Wang et al. 2011). Kualitas oosit yang digunakan untuk proses maturasi in vitro akan sangat mempengaruhi keberhasilan

IVF selanjutnya. Jika salah satu dari faktor-faktor tersebut tidak ditangani dengan

baik dapat menyebabkan abnormalitas pada hasil IVF dan pembentukan embrio.

Transportasi ovarium merupakan tahap awal dari porses produksi embrio secara in

vitro yang menjadi faktor penting karena dapat mempengaruhi kualitas oosit. Penanganan pada ovarium terdiri dari tiga faktor, yaitu faktor suhu, faktor waktu

dan medium penyimpanan (Gordon 2003). Ketiga faktor ini penting karena

penyimpanan ovarium tanpa suplai darah dapat menurunkan kualitas oosit.

Transportasi ovarium

Transportasi ovarium menuju laboratorium dalam keadaan tidak

mendapatkan suplai darah menyebabkan berkurangnya suplai oksigen dan energi.

Keadaan ini disebut iskemia dan kondisi re-oxygenation (Wang et al. 2011). Metabolisme jaringan yang tidak mendapat suplai oksigen akan berubah kondisi

aerobic menjadi anaerobic dengan hasil metabolismenya adalah asam laktat yang terakumulasi diantara sel (Petrucci et al. 2010). Selain itu, adenosine triphosphate

(ATP) yang dipecahkan tanpa disintesa akan menghasilkan sisa metabolik yaitu

fosfor inorganik. Fosfor yang berinteraksi dengan air akan menjadi asam fosfor,

dimana apabila terjadi akumulasi asam fosfor dan asam laktat akan menyebabkan

terjadinya penurunan pH (Petrucci et al. 2010). Penurunan pH yang disebabkan oleh akumulasi ion H+. Ion H+ yang terakumulasi pada ovarium akan merembes

keluar masuk ke dalam cairan folikular dan menginduksi terjadinya asidosis pada

lingkungan sekitar oosit (Wongsrikaeo et al. 2005). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kualitas oosit selama tranposrtasi ovarium dari rumah potong

hewan sampai oosit dikoleksi koleksi, diantaranya adalah lama periode dan suhu

selama transportasi (Gordon 2003).

Faktor Suhu

Metabolisme sel menurun pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh

(20)

6

mengganggu viabilitas oosit, maturasi, fertilisasi dan perkembangan embrio

setelah IVF. Pada suhu yang tinggi dan periode yang lama dapat meningkatkan

fragmentasi DNA yang diinduksi oleh cairan folikular (Wongsrikaeo et al. 2005).

Banyak penelitian sudah dilakukan pada berbagai spesies yang mengkaji faktor

suhu penyimpanan selama transportasi ovarium dengan hasil yang bervariasi.

Padersen et al. (2004) melaporkan bahwa, ovarium kuda yang disimpan pada suhu

35-37 ˚C dalam waktu kurang dari dua jam masih mempunyai oosit dengan

kualitas yang bagus. Pada babi, Wongsrikaeo et al. (2005) melaporkan bahwa, ovarium babi dapat disimpan pada suhu diantara 25 ˚C hingga 35˚C dalam waktu

enam jam.

Oosit kuda yang dikoleksi segera setelah disembelih mempunyai perbedaan

maturasi yang signifikan dengan oosit yang disimpan pada suhu ruang dan suhu

4 ˚C selama 24 jam (Pedersen et al. 2004). Oosit kuda terpapar pada suhu 35-37

˚C selama 2 jam mempunyai tingkat apoptosis yang tinggi pada sel granulosa dibanding dengan oosit kuda yang terpapar suhu 20 ˚C dan 30 ˚C selama 2 jam

(Pedersen et al. 2004).

Faktor Waktu

Persentase degenerasi oosit meningkat seiring dengan bertambahnya

waktu (Wongsrikaeo. et al. 2005). Pada oosit yang dikoleksi segera setelah disembelih mempunyai kumulus yang expand dan Metaphase II yang lebih baik daripada oosit yang dikolesi selama 15-18 jam pada suhu kamar dan 4 ˚C (Love et

al. 2003). Ovarium babi yang disimpan selama 0-3 jam pada suhu 35 ˚C

menunjukkan kompetensi perkembangan oosit yang lebih baik dibanding

penyimpanan selama 6, 9 dan 12 jam pada suhu 35 ˚C (Wongsrikaeo et al. 2005).

Pada oosit sapi yang terpapar pada suhu rendah selama 48 jam dapat

menyebabkan degenerasi yang tidak diketahui faktor re-programnya (Matsushita

et al. 2004). Sedangkan pada oosit kucing dengan penyimpanan ovarium pada suhu 4 ˚C, diatas 24 jam dan kurang dari 48 jam masih mampu untuk pematangan

secara in vitro (Mihat et al. 2009). Berbeda pada kuda faktor waktu amat berpengaruh untuk mempertahankan morphologi dari kumulus oophorus, ovarium

kuda perlu disimpan pada suhu di antara 35-37 ˚C dan sebaiknya kurang dari 2

(21)

7

Koleksi oosit

Oosit dapat dikoleksi dengan dua cara yaitu dengan laparoskopi maupun

mengambil ovarium yang berasal dari rumah potong hewan. Laparoskopi

merupakan metode pengambilan ovarium dengan menggunakan endoskopi,

namun metode ini memerlukan biaya yang sangat mahal, tidak efisien dan

berisiko untuk terjadi infertile pada hewan tersebut (Schatten & Gheorghe 2007).

Cara yang kedua adalah dengan memperoleh oosit dari ovarium yang berasal dari

rumah potong hewan yang masih potensial untuk dimanfaatkan (Herdis 2000).

Ovarium yang diambil dari rumah potong hewan juga merupakan langkah yang

ekonomi untuk produksi embrio secara in vitro (Naowshari 2005).

Koleksi oosit dari ovarium yang berasal dari rumah potong hewan atau

dari hewan yang sudah mati dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu dengan

cara dissecting pada folikel, aspirasi dan menyayat. Metode aspirasi menggunakan

syringe, biasanya digunakan pada ovarium sapi, kerbau dan kuda karena ukuran ovarium dan folikelnya lebih besar sehingga mudah diaspirasi. Koleksi oosit

dengan metode ini dapat dilakukan 3 kali lebih cepat daripada dissecting, namun tingkat kerusakan pada folikel juga tinggi. Metode dissecting sering digunakan pada koleksi oosit domba (Gordon 2003). Sedangkan metode penyayatan

dilakukan dengan meletakkan ovarium di dalam cawan petri yang berisi cairan

saline, lalu dengan menggunakan pisau bedah permukaan ovarium diiris-iris untuk melepaskan oosit dari folikel (Wang et al. 2007). Metode ini dapat mengkoleksi lebih banyak oosit daripada menggunakan metode aspirasi. Metode

ini banyak digunakan pada domba dan kambing, namun metode ini membutuhkan

waktu 3 kali lebih lama daripada metode aspirasi pada satu ovarium (Gordon

2003).

Pengelompokan Oosit

Wood dan Wildt (1997) dan Gordon (2003) mengelompokkan oosit menjadi

4 kelompok yaitu, A, B, C dan D. Kelompok A adalah oosit yang mempunyai

kumulus yang kompak serta multilayer dan mempunyai sitoplasma yang homogen. Kelompok B adalah oosit yang mempunyai kumulus yang kompak,

sitoplasma yang homogen, namun jumlah kumulus oophorus kurang dari lima

(22)

8

pelusida masih terlihat jelas, namun sitoplasma yang semakin pudar. Kelopok D

adalah oosit dengan kumulus sudah mulai hilang dan tidak beraturan, zona

pelusida tidak kelihatan atau kelihatan sebagian dan sitoplasma semakin pudar.

Karja (2008) mengelompokkan oosit babi menjadi tiga kategori. Kategori

pertama, oosit mempunyai lebih dari lima lapis sel cumulus yang kompak,

sitoplasma yang homogen. Kategori kedua, oosit dikelilingi dengan kumulus yang

kurang kompak dan ketegori ketiga memperlihatkan sitoplasma yang tidak

beraturan.

Pengelompokkan oosit tersebut bertujuan untuk memisahkan oosit yang

berkualitas bagus dengan oosit yang berkualitas jelek. Menurut Wood dan Wildt

(1997) melaporkan pentingnya untuk megelompokkan oosit kucing dalam proses

in vitro untuk mencapai keberhasilan dalam proses maturasi, fertilisasi selanjutnya perkembangan embrio. Selanjutnya Karja (2008) melaporkan bahwa oosit babi

dengan kualitas bagus (kategori satu dan kategori dua) yang mempunyai kumulus

yang kompak dan sitoplasma yang homogen dapat mendukung maturasi nuklear

lebih baik berbanding kategori 3. Kategori 3 dengan oosit yang kurang kompak

menunjukkan hasil maturasi yang jelek dengan oosit yang mengalami atresia dan

(23)

9

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium Fertilisasi In Vitro, Bagian Reproduksi

dan Kebidanan, Departement Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas

Kedokteran Hewan. Ovarium yang digunakan diambil dari Rumah Potong

Hewan kambing/domba, Kampung Cikanyong Desa Citaringgul Kecamatan

Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Penelitian ini berlangsung selama 1 bulan

lebih, mulai tanggal 8 Juli 2011 hingga 17 Agustus 2011.

Alat dan bahan

Alat yang digunakan adalah termos, cooler box, termometer, kantong plastik

(8x5cm), blade, cawan petri, pinset, mikroskop Nikon SMZ800, penangas air dan

pipet sedot. Bahan yang digunakan adalah ovarium, NaCL fisiologi, phosphate buffer saline (PBS), dan es.

Koleksi Ovarium

Jumlah ovarium yang dikoleksi untuk sekali pengambilan rata-rata 10-15

pasang. Ovarium yang diperoleh dibagi sama rata menjadi tiga kelompok, untuk

disimpan pada suhu dan periode waktu yang beda. Ovarium disimpan dalam

larutan NaCl 0.9 % pada suhu 4˚C selama 2 jam, 5-7 jam, dan 8-10 jam; pada

suhu suhu 27-28 ˚C selama 2 jam, 5-7 jam, dan 8-10 jam; dan pada suhu 37-38 ˚C

selama 2 jam, 5-7 jam, dan 8-10 jam.

Koleksi Oosit

Pada akhir periode penyimpanan, oosit dikoleksi dari ovarium dengan

menggunakan metode penyayatan. Penyayatan dilakukan dengan mengiris-iris

bagian permukaan ovarium untuk melepaskan oosit dari folikel. Medium yang

digunakan untuk proses ini adalah phosphate buffer saline (PBS). Oosit yang telah

dikoleksi, kemudian diseleksi menjadi 4 (empat) kelompok yaitu kelompok A, B,

C, dan D berdasarkan lapisan sel kumulus dan gambaran sitoplasmanya menurut

Wood & Wildt (1997) dan Gordon (2003). Oosit dikelompokkan ke dalam

kelompok A jika dilapisi oleh lebih dari lima lapis sel kumulus dengan sitoplasma

(24)

10

oleh kurang dari lima lapis sel kumulus dengan sitoplasma yang homogen dan

berwarna hitam. Kelompok C masih terlihat sedikit kumulus, zona pelusida masih

terlihat dan sitoplasma yang sudah tidak homogen. Kelompok D adalah oosit yang

mempunyai sitoplasma transparan, zona pelusida terlihat saparuh atau tidak ada

dan kumulus oophorus hampir hilang atau hilang .

Pengulangan dilakukan sebanyak 5 kali. Oosit yang telah dikelompokkan

dirata-rata dan dipersentasikan kemudian dianalisa menggunakan dua varian

ANOVA dengan perlakuan suhu (4 ˚C, 27-28 ˚C, dan 37-38 ˚C) dan faktor waktu

(2 jam, 5 jam dan 8 jam). Huruf a dan b merupakan indikator jika terdapat

(25)

11

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ovarium yang dikoleksi dari rumah potong hewan biasanya berada dalam

fase folikular ataupun fase luteal. Pada Gambar 1 huruf a mempunyai gambaran

ovarium pada fase folikuler dan b adalah fase luteal. Sedangkan gambar 2 adalah

gambar oosit yang dikoleksi dan dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu

kualitas A, B, C dan D (Gordon 2003).

a

b

Gambar 1 Gambar ovarium domba, a; ovarium fase folikuler b; merupakan fase luteal

A

B

c

c

D

Gambar 2 Gambar oosit dengan kualitas A; oosit yang dilapisi oleh lebih dari lima lapis sel kumulus dengan sitoplasma yang homogen dan berwarna hitam. B; oosit yang dikelilingi oleh kurang dari lima lapis sel kumulus dengan sitoplasma yang homogen dan berwarna hitam. C;

oosit masih terlihat sedikit kumulus, zona pelusida masih terlihat dan

(26)

12

Tabel 1 Karakteristik oosit yang diperoleh dari ovarium domba setelah disimpan

pada suhu 4˚C dengan periode waktu yang berbeda.

Kelompok

Jumlah Oosit

Jumlah Oosit dengan Kualitas (% ± SD)

A B C D

2 jam 242 45(18,6 ± 5,3) 70(28,9 ± 7,6) 95(39,3 ± 9,9) 32(13,2 ± 11,1)

5-7 jam 293 56(19,1 ± 13,1) 85(29,0 ± 9,8) 100(34,1 ± 13,6) 52(17,8 ± 11,7)

8-10 jam 291 36(12,4 ± 14,1) 85(29,2 ± 8,9) 108(37,1 ± 9,5) 62( 21,3 ± 11,7) Keterangan: A, B, C, dan D adalah pengelompokan oosit berdasarkan Gordon (2003).

Data pada Tabel 1 merupakan hasil yang diperoleh dari ovarium yang

ditransport pada suhu 4 ˚C dengan waktu penyimpanan yang berbeda. Persentase

oosit yang diperoleh berdasarkan lapisan sel kumulus dan gambaran

sitoplasmanya (kualitas A, B, C, dan D) tidak berbeda diantara kelompok

penyimpanan ovarium (P>0,05).

Tabel 2 Karakteristik oosit yang diperoleh dari ovarium domba setelah disimpan

pada suhu 27-28 ˚C dengan waktu yang berbeda.

Kelompok

Jumlah Oosit

Jumlah Oosit dengan Kualitas (% ± SD)

A B C D

2 jam 180 45(25,0±1,8) a 52(28,9 ± 7,4) 47(26,1 ± 10,9) 35(19,4 ± 4,7)

5-7 jam 206 35(17,0 ± 3,5) b 35(34,5 ± 13,1) 69(33,5 ± 6,4) 31(15,1 ± 11,3)

8-10 jam 263 36(13,7 ± 8,2) b 36(29,3 ± 9,0) 86(32,7 ± 14,1) 64(24,3 ± 13,7) Keterangan: A, B, C, dan D adalah pengelompokan oosit berdasarkan Gordon (2003).

: ᵃ ᵇ Nilai yang mempunyai perbedaan yang signifikan dalam satu kolom yang sama (p<0,05)

Tabel 2 menyajikan oosit yang diperoleh dari ovarium yang ditransport

atau disimpan pada suhu 27-28 ˚C dari rumah potong hewan sampai oosit

dikoleksi. Dari kelompok perlakuan ini, diperoleh oosit dari ovarium yang

disimpan selama 2 jam dengan kualitas A lebih tinggi daripada oosit yang

diperoleh dari ovarium yang disimpan pada suhu yang sama selama 5-7 dan 8-10

jam (P<0,05). Sedangkan oosit dengan kualitas B, C, dan D yang diperoleh tidak

menunjukkan adanya perbedaan yang nyata diantara kelompok perlakuan

(27)

13

Tabel 3 Karakteristik oosit yang diperoleh dari ovarium domba setelah disimpan

pada suhu 37-38 ˚C dengan periode waktu yang berbeda.

Kelompok

Jumlah Oosit

Jumlah Oosit dengan Kualitas (% ± SD)

A B C D

2 jam 180 58(27,6 ± 1,7) a 58(27,6 ± 4,5) a 60(28,6 ± 3,8) 34(16,2 ± 4,0) a

5-7 jam 206 48(22,5 ± 8,8) a 75(35,2 ± 2,1) b 68(31,9 ± 13,8) 22(10,3± 7,8) a

8-10 jam 263 39(13,4 ± 6,0) b 73(25,0 ± 4,1) a 105(36,0 ± 12,6) 75(25,7 ± 6.5) b Keterangan: A, B, C, dan D adalah pengelompokan oosit berdasarkan Gordon (2003).

: ᵃ ᵇ Nilai yang mempunyai perbedaan yang signifikan dalam satu kolom yang sama (P<0,05)

Tabel 3 menyajikan oosit yang diperoleh dari ovarium yang ditransport atau

disimpan pada pada suhu 37-38 ˚C dengan waktu yang berbeda. Berdasarkan

kualitas oosit yang diperoleh, oosit dengan kualitas A yang dikoleksi dari ovarium

2 jam dan 5-7 jam penyimpanan ovarium (P>0,05) tidak berbeda, tetapi kemudian

terjadi penurunan jumlah oosit dengan kulaitas A yang diperoleh setelah

penyimpanan 8-10 jam (P<0,05). Oosit dengan kualitas B yang dikoleksi 5-7 jam

setelah penyimpanan lebih tinggi dari pada kelompok 2 dan 8-10 jam (P<0,05).

Tidak ditemukan adanya perbedaan jumlah oosit dengan kualitas C yang

diperoleh pada penelitian ini. Sedangkan jumlah oosit dengan kualitas D

meningkat seiring dengan lamanya waktu penyimpanan ovarium pada suhu

37-38 ˚C (P<0,05).

Grafik 1 menyajikan persentase jumlah oosit dengan kualitas A dan B yang

merupakan oosit yang sering dipakai untuk proses produksi embrio in vitro (Gordon 2003). Dari data ini diperoleh bahwa jumlah oosit dengan kualitas A dan

B tidak berbeda diantara kelompok perlakuan kecuali pada kelompok ovarium

yang disimpan pada suhu 37-38 ˚C selama 5-7 jam berbeda nyata dengan

(28)

14 47.5 53.9 55.2 48.1 51.5 57.8 41.6 43.0 38.4 0.0 10.0 20.0 30.0 40.0 50.0 60.0 70.0

˚C 27 - 8 ˚C 37- 8 ˚C

P e r sen ta se % Suhu 2 Jam 5-7 Jam 8-10 Jam ab ab ab ab ab ab ab a b

Grafik 1 Persentase jumlah oosit dengan kualitas A dan B yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu dan periode waktu yang berbeda. Huruf ab menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan sedangkan huruf a dan b menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan (P<0.05).

Transportasi ovarium dari rumah potong hewan atau dari tempat dimana

hewan tersebut mati tanpa suplai darah dapat menyebabkan penurunan kualitas

oosit (Wongsrikeao et al. 2005). Berhentinya suplai darah pada ovarium menyebabkan terjadi perubahan metabolisme sel dari areobic menjadi anaerobic.

Pada kondisi anaerobic metabolisme sel-sel ovarium akan menghasilkan asam laktat dan asam fosfor yang banyak. Akumulasi asam laktat dan asam fosfor akan

meningkatkan jumlah ion H+. Ion H+ ini mudah masuk ke dalam pori membran

plasma oosit sehingga kondisi oosit (sitoplasma) lebih asam berbanding

lingkungan sekitarnya. Kondisi asam ini menyebabkan kerusakan pada oosit,

(29)

15

dan waktu transportasi ovarium yang tepat sangat diperlukan untuk dapat

mempertahankan kualitas oosit (Choi et al. 2004).

Ovarium yang disimpan pada suhu dingin (4 ˚C) merupakan salah satu

metode yang dipakai untuk memperlambat kerja metabolisme selular sehingga

akumulasi asam dapat dihambat sampai dalam waktu tertentu. (Petrucci et.al 2010). Berdasarkan hasil yang diperoleh pada tabel 1, oosit dengan kualitas A, B,

C, dan D tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara kelompok

perlakuan, yaitu penyimpanan suhu 4 C pada suhu 2, 5-7, 8-10 jam. Pada

penelitian ini, pengaruh penyimpanan pada suhu 4 ˚C selama 8-10 jam mungkin

menyebabkan metabolisme sel-sel ovarium dan oosit dapat diturunkan sehingga

menurunkan kebutuhan oksigen dan menghemat energi (Taylor 2006). Mithat et al. (2009) melaporkan bahwa ovarium kucing yang disimpan selama 2 jam dan 24 jam pada suhu 4 ˚C tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan terhadap

kemampuan oosit untuk mencapai fase metaphase II secara in vitro,

kemampuannya baru menurun setelah disimpan selama 48 jam. Penelitian pada

kuda (Love et al. 2003), anjing (Lee et al. 2006) dan babi (Yuge et al. 2003) menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan terhadap kemampuan oosit

untuk mengalami maturasi oosit yang diperoleh setelah disimpan pada suhu 4 ˚C

selama 2 hingga 24 jam. Hal ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Carvalho et

al. (2001) dan Ozen et al. (1996) yang menyatakan bahwa oosit domba lebih rentan terhadap suhu dingin karena membran lipid pada oosit yang tidak mampu

bertahan pada suhu dingin. Paparan terhadap suhu dingin dapat menyebabkan

hilangnya integritas dari membran oosit (Wongsrikeao et al. 2005). Penyimpanan

pada suhu dingin juga dapat menyebabkan terjadinya pengerasan zona pelusida

sehingga mengurangi kemampuan oosit untuk difertilisasi (Parks & Ruffing,

1992).

Suhu ruang (27-28 ˚C) dalam penelitian ini digunakan sebagai kontrol dan

sebagai upaya untuk mengantisipasi apabila di lapangan tidak tersedia es dan air

hangat. Dari data yang diperoleh, pada tabel 2, memperlihatkan perbedaan yang

signifikan pada kelompok oosit dengan kualitas A dengan perbedaan waktu

penyimpanan. Persentasi jumlah oosit dengan qualitas A lebih tinggi pada

(30)

16

(14 %). Perdesen et al. (2004) melaporkan bahwa penyimpanan ovarium kuda pada suhu ruang selama 3 jam pertama setelah hewan disembelih tidak terjadi

apoptosis pada sel granulosa, tetapi setelah penyimpanan 5 jam sudah terjadi

apoptosis granulosa sel sebesar 22 % dan terjadi sebesar 78 % pada penyimpanan

ovarium selama 24 jam. Begitu juga halnya pada penelitian ini, oosit dengan

kualitas A yang dikoleksi berkurang dengan bertambahnya waktu penyimpanan

ovarium. Pada penelitian terhadap folikel tikus juga memperlihatkan, gambaran

apoptosis yang terjadi secara progresif seiring bertambahnya waktu penyimpanan.

Selain dari pengaruh apoptosis, jumlah oosit tanpa sel kumulus bertambah dan

kekompakan kumulus oosit berkurang seiring bertambahnya waktu (Perdesen et al. 2004).

Penyimpanan ovarium pada suhu 37-38 ˚C sering digunakan karena suhu ini

mendekati suhu tubuh hewan. Blondin dan Sirard (1995) melaporkan bahwa

penyimpanan ovarium pada suhu 30 ˚C selama 3 hinggga 4 jam dapat

meningkatkan kompetensi perkembangan oosit untuk mencapai fase metaphase II

secara in vitro. Data pada penelitian ini menunjukkan bahwa oosit dengan kualitas

A dan B yang dikoleksi dari ovarium yang disimpan pada suhu 27-28 C dan

37-38 ˚C menunjukkan kencendrungan lebih tinggi selama 2 dan 5-7 jam

penyimpanan daripada penyimpanan 4 C. Menurut Febretrisiana (2012),

lingkungan mikro yang baik pada folikel dapat diciptakan pada 4 jam setelah

pemotongan. Lingkungan mikro ini menyerupai kondisi di dalam tubuh hewan

pada saat terjadi proses preovulatori folikel (sebelum terjadi proses ovulasi). Akan

tetapi, penyimpanan pada suhu ini lebih dari 8 jam menyebabkan penurunan

perolehan oosit dengan kualitas A dan B dan terjadi peningkatan jumlah oosit

dengan kualitas D seiring dengan lama waktu penyimpanan ovarium. Setelah 4

jam lingkungan penyimpanan oosit tidak lagi mampu mendukung kebutuhan

sel-sel untuk mendapatkan nutrisi dimana kemudian akan menyebabkan kondisi

anaerobic. Akumulasi asam dan peningkatan ion-ion akan menyebabkan perubahan pH dan osmolalitas membran selular menjadi permeable, sehingga masuknya air ke dalam intrasel yang menyebabkan degenerasi sel-sel oosit

(31)

17

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penyimpanan

ovarium pada suhu suhu 27-28 ˚C dan 37-38 ˚C selama 5-7 jam mampu

mempertahankan kualitas oosit lebih baik dibandingkan dengan penyimpanan ovarium pada suhu 4˚C.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui kemampuan oosit

dengan kualitas A dan B dari setiap kelompok perlakuan pada penelitian

mencapai fase metaphase II dan mengetahui kemampuan oosit-oosit tersebut

(32)

18

DAFTAR PUSTAKA

Alvarez GM, Dalvit GC, Achi MV, Miguez MS, Cetica PD. 2009. Immature oocyte quality and maturational competence of porcine cumulus-oocyte complexes subpopulations. Biocell 33: 3.

Anthony A, Robert L, James T, Robert N. 2011. Prinsiple of Regenerative Medicine. 2th edition. Sun Diego USA: Elservier Incc.

Blondin P, Sirard MA. 1995. Oocyte and folikular morphologi as determing charecteristics for developmental competence in bovine oocyte. Mol. Reprod Dev 1. 54-62.

Carvalho FCA et al. 2001. Effect of Braun-Collin and Saline solution at the different temperature and incubation time on the quality of goat preantral follicles preserved in situ. Animl Reprod Sci 66: 195-20. Choi YH, Roasa LM, Love CC, Brinsko SP, Hinrichs K. 2004. Blastocyts

formation rates in vivo and in vitro- maturation equine oocyts fertilized intracytoplasmic sperm injection. Boil Reprod 70: 1231-1238.

Febretrisiana A, 2012, Kompetisi perkembangan oosit domba dengan penyimpanan ovarium pada suhu dan waktu berbeda. [thesis]. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Gordon. 2003. Laboratory of production cattle embryo 2nd Edition. Cromwell Press: Trowbridge.

Hafez ESE. 2000. Reproduction In Animals. 7th Ed. Lea and Fibiger. Philadelphia Harianto B, Tim penulis MT Farm, 2010. Buku Pintar Beternak dan Bisnis

Domba. PT AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Herdis. 2000. Pemanfaatan Ovarium Sebagai Limbah Rumah Potong Hewan Untuk Meningkatkan Populasi Ternak Melalui Teknik Fertilisasi In Vitro. J Sains Tekn Indo 2: 1-7.

James GF et al. 2007. The Mouse In Bio Medicle Research. 2th edition. London: Elserier. Inc.

Juengel JL et al. 2000. Gene Expression in Abnormal Ovarian Structures of Ewes Homozygous for the Inverdale Prolificacy Gene. Bio Reprod 62: 1467–1478.

Karja NWK. 2008. Nuclear Maturation of Porsine Oocytes in vitro: Effect of the Cumulus-Oocytes Complexes Quality. Indo J Biotec 3(2):1078-1084. Lee HS, Yin XJ, Kong IJ. 2006. Sensitivity of canine oocytes to low temperature.

Theriogenology 66: 1468-1470.

Love LB, Choi YM, Love CC, Varner DD, Hinrichs K, 2003. Effect of ovary storage adn oocyte transport method on maturation rate of horse oocytes. Theriogenology 59: 756-774.

(33)

19

Mithat E et al. 2009. Devolopmental competence of domestic cat oosit from ovaries at varius duration at 4˚C temperature. Anim Reprod Sci 166:169-172.

Noawshari MA. 2005. The effect of harvesting technique on efficiency of oocyte collection and different maturation media on the nuclear maturation of oocytes in camels (Camelus dromedarius). Theriogenology 63 : 2471– 248.

Ozen B et al. 2006. Effect of different transport temperatures of cattle and sheep ovaries on in vitro maturation of oocytes. Medycyna Wet 62:2.

Ozen BJK, Catts.L, Treland A, Maxwell WMC, Evan G. 1997. In vitro and in vivo developmental capasititu of oocyte from preouberal and adult sheep. Theriogenology 47: 1433-1443.

Padersen HG, Elaine D. Waatson, Evelyn E. 2004. Effect of ovary holding temperature and time on equine granulose cell apoptosis, oocyte chromatin configuration and cumulus morphology. Theriogenology 62: 468-480.

Parks JE, Ruffing NA, 1992. Factor effecting low temperature survival of mammalian oocytes. Theriogenology. 37: 59-73.

Petrucci RH, Herring FG, Madura JD. 2010 General Chemistry Prinsiple and modern Application 10 edition. Person.

Preis KA et al. 2004. In vitro maturation and transfer of equine oocytes after transport of ovarian at 12 or 22˚C. Theriogenology 61: 1215-122. Schatten H, Gheorghe M. 2007. Comparative Reproductive Biology. Blackwell

Publishing. USA

Sirad MA, Blondin P. 1996. Oocyte maturation and IVF in Cattle. Anim Reprod Sci. 42: 417-426.

Taylor MJ. 2006. Biology of cell survival in the cold: The basis for boopreservation of tissues and organs. CRC-Taylor & Francis. pp.15-62.

Thomas C, Joanna MB. 2002. Clinical Anatomy & Fisiologi for Veterinary technicians.. United State of America: Mosby, Inc.

Wang YS et al. 2011. Lowering storage temperature during ovary transport is beneficial to the developmental competence of bovine oocytes used for somatic cell nuclear transfer. Anim Reprod Sci 124 ; 48–54.

Wilburta QL, Marilyn SP, Carol DT, Barbara MD. 2010. Delmar’s Comprehensive Medical assisting: administration and Clinical Competencies 4th edition. NY USA: Nelson Education Lth.

Wongsrikeao P et al. 2005. Effect of Ovary Storage Time and Temperature on DNA Fragmentation and Development Of Porcine Oocytes. J Reprod Dev 51: 1.

Wood TC, Wildt DE. 1997. Effect of the quality of the cumulus-oocyte complex in the domestic cat on the ability of oocytes to mature, fertilize and develop into blastocysts in vitro. J Reprod Fertil 110: 355-360. Yuge M et al. 2003. Effects of Cooling Ovaries Before Oocyte Aspiration On

(34)

1

PENDAHULUAN

Latar belakang

Ferilisasi in vitro (IVF) merupakan teknologi yang sedang berkembang

dengan pesat pada dekade terakhir ini. Fertillisasi in vitro merupakan pertemuan gamet jantan dan gamet betina di luar tubuh manusia maupun hewan. Teknologi

IVF adalah bagian dari teknologi in vitro production (IVP). Teknologi in vitro production meliputi in vitro maturation (IVM), in vitro fertilization (IVF) dan in vitro cultur (IVC). In vitro maturation merupakan proses pematangan oosit yang dikoleksi dari ovarium. Oosit yang mengalami pematangan akan dilanjutkan

dengan proses IVF untuk difertilisasi. Apabila oosit telah mengalami fertilisasi

dengan sel spermatozoa, hasil fertilisasi ini akan dilanjutkan dengan kultur in vitro

sebagai persiapan untuk ditransfer ke dalam uterus induk (Jemes et al. 2007; Wilburta et al. 2010).

Umumnya, munculnya teknologi reproduksi digunakan untuk memastikan

keberlangsungan dan keanekaragaman hayati suatu populasi dan spesies hewan

(Alvarez et al. 2009). Pada peternak ruminansia teknologi IVF digunakan untuk meningkatkan tingkat produksi hewan ternak dalam memenuhi kebutuhan pangan

yaitu sumber protein. Sebagai contoh, menurut Schatten dan Gheorghe (2007)

IVF dapat membantu meningkatkan tingkat kebuntingan sapi saat infertile. Begitu

juga jika sapi yang tidak dapat merespon hormon superovulasi, maka sapi dapat

bunting dengan mentransfer embrio hasil IVP pada uterus sapi.

Koleksi sel spermatozoa dan oosit merupakan hal penting dalam teknologi

IVF. Keberhasilan dari teknologi IVF sangat dipengaruhi oleh kualitas dari oosit

dan sel spermatozoa yang digunakan. Kualitas oosit ini sendiri sangat dipengaruhi

oleh penanganan mulai dari ovarium dikeluarkan dari tubuh hewan, selama proses

transportasi hingga sampai ke laboratorium dan saat dikoleksi hingga mengalami

proses maturasi (Choi et al. 2004). Oosit setelah maturasi mempunyai peranan penting terhadap keberhasilan IVF, untuk mendukung perkembangan oosit

menjadi embrio selanjutnya sampai menjadi satu keturunan.

Ovarium yang dikeluarkan dari tubuh hewan, umumnya tidak lagi

(35)

2

al. 2011). Kondisi iskemia dapat menyebabkan perubahan pada folikel, karena berkurangnya oksigen, akumulasi hasil metabolisme, berkurangnya glukosa dan

meningkatnya indeks apoptosis pada sel granulosa (Pedersen et al. 2004). Selain

itu, Schatten dan Gheorghe (2007) menyatakan bahwa oosit primer lebih sensitif

terhadap lingkungan, sehingga metode penanganan ovarium selama trasportasi

penting untuk dioptimalkan agar dapat menjaga kondisi oosit tetap baik. Oleh

karena itu, diperlukan penelitian untuk mengetahui kondisi optimum media

transportasi agar kualitas oosit tetap dapat dipertahankan untuk mendukung

keberhasilan IVM, IVF dan IVC.

Tujuan

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik oosit domba dari

ovarium yang disimpan pada suhu dan periode penyimpanan yang berbeda

sehingga didapatkan suatu metode penyimpanan ovarium selama transportasi

yang mampu mempertahankan kualitas oosit domba.

Hipotesis

Suhu dan periode penyimpanan ovarium berpengaruh terhadap kualitas

oosit.

Manfaat

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang sistem

transportasi yang baik sehingga kualitas ovarium dan oosit dapat

dipertahankan secara optimal.

2. Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat menjadi model untuk hewan langka

(36)

3

TINJAUAN PUSTAKA

Domba

Domba merupakan salah satu sumber protein yang semakin digemari oleh

penduduk Indonesia. Fenomena ini semakin terlihat dengan bertambahnya

warung-warung sate di pinggiran jalan, terutama jalan yang menuju puncak Bogor

dan beberapa tempat wisata di sekitar Bogor. Permintaan domba juga semakin

meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk Indonesia, terutama

pada saat Idul Adha (Harianto 2010).

Ovarium

Ovarium adalah organ reprodusi betina yang terletak di ruang abdomen

seekor hewan. Pada domba bentuk ovarium seperti kacang almond. Ovarium

dapat bekerja sebagai organ eksokrin (menghasilkan sel telur) dan endokrin

(menghasilkan hormon) (Thomas & Joanna 2002). Ovarium dibagi menjadi dua

bagian, yaitu kortek dan medula. Sebagian besar ovarium didominasi oleh kortek.

Kortek dilapisi oleh simple squamous dan epitelium kuboid. Di bagian yang lebih

dalam terdapat jaringan yang tidak beraturan yang disebut tunika albuginea.

Tunika albuginea berhubungan dengan stroma ovarium yang terdiri dari jaringan

ikat longgar yang mengandung folikel dan korpus luteum. Sedangkan daerah

medula terdiri atas pembuluh darah, pembuluh limfe, saraf, jaringan ikat dan otot

polos (Schatten & Gheorghe 2007).

Pada saat fetus, ovarium menghasilkan oogonia melalui pembelahan

mitosis. Sekitar 1 (satu) juta oosit berkembang setelah fetus dilahirkan namun

hanya beberapa ratus oosit yang akan diovulasikan. Umumnya oosit akan

berkurang karena mengalami degenerasi dan atresia (Schatten & Gheorghe 2007).

Oogenesis dan Folikulogenesis

Oogenesis merupakan proses pembentukan gamet betina atau oosit. Proses

ini bersamaan dengan proses pembentukan folikel yang dikenal dengan

folikulogenesis. Folikel primodial yang telah terbentuk sewaktu di dalam

kandungan maupun setelah lahir akan terus berkembang dan mengalami

(37)

4

Pada saat hewan lahir, ovarium memiliki sejumlah folikel primodial yang

akan berkembang pada saat pubertas. Folikel ini mengandung oosit dengan inti

berada pada tahap profase dari pembelahan meiosis pertama (oosit primer).

Setelah pubertas, folikel primodial berkembang menjadi folikel primer.

Pembentukan folikel dibagi menjadi empat fase: primodial, primer, sekunder dan

tertier (Schatten & Gheorghe 2007). Follicle stimulating hormone (FSH) dilepaskan dari pituitari anterior untuk menstimuli perkembangan folikel primer

menjadi sekunder, tertier dan akhirnya mencapai bentuk folikel de Graaf (Colville

2002). Folikel primer terbentuk, dimulai dari sel epitel yang mengelilingi oosit

berubah bentuk dari pipih menjadi kuboid (Schatten & Gheorghe 2007). Awalnya,

sel folikel berhubungan erat dengan oosit, kemudian terbentuk zona pelusida yang

berasal dari suatu lapisan zat aseluler dan terdiri dari mukopolisakarida

diendapkan pada permukaan oosit (Thomas & Joanna 2002).

Sel folikel mulai berproliferasi dengan membentuk suatu lapisan seluler

yang tebal yang mengelilingi oosit. Selanjutnaya dibawah pengaruh gonadotropin

dari hipofise anterior, sel-sel folikel terus berkembang menjadi beberapa lapis

seluler hingga membentuk ruang-ruang yang disebut antrum folikel, ini dikenal

sebagai folikel sekunder (Gordon 2003). Folikel yang matang dikenal sebagai

folikel tertier, yang dikelilingi oleh dua lapisan jaringan ikat yaitu teka interna dan

teka externa. Teka interna adalah lapis bagian dalam yang menghasilkan estrogen

dan kaya dengan pembuluh darah sedangkan teka eksterna adalah lapis luar yang

beransur-ansur akan bersatu dengan stroma ovarium. Antrum folikel akan terus

bertambah besar seiring dengan perkembangan folikel tertier sampai menjelang

ovulasi. Pada saat ini folikel terteir disebut folikel de Graaf (Thomas & Joanna

2002).

Oosit

In vitro maturation (IVM) adalah suatu proses yang perlu dilalui oleh oosit agar oosit mengalami perubahan struktur dan biokimiawi menjadi fase metaphase

II melalui pembelahan miosis secara in vitro (Anthony et al. 2011). Umumnya oosit yang dikoleksi dari ovarium adalah oosit primer, oleh karena itu diperlukan

suatu proses kultur yang dikenal dengan nama IVM (Gordon 2003). Kualitas oosit

(38)

5

dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya adalah kondisi donor, transportasi

ovarium, seleksi folikel dan IVM (Wang et al. 2011). Kualitas oosit yang digunakan untuk proses maturasi in vitro akan sangat mempengaruhi keberhasilan

IVF selanjutnya. Jika salah satu dari faktor-faktor tersebut tidak ditangani dengan

baik dapat menyebabkan abnormalitas pada hasil IVF dan pembentukan embrio.

Transportasi ovarium merupakan tahap awal dari porses produksi embrio secara in

vitro yang menjadi faktor penting karena dapat mempengaruhi kualitas oosit. Penanganan pada ovarium terdiri dari tiga faktor, yaitu faktor suhu, faktor waktu

dan medium penyimpanan (Gordon 2003). Ketiga faktor ini penting karena

penyimpanan ovarium tanpa suplai darah dapat menurunkan kualitas oosit.

Transportasi ovarium

Transportasi ovarium menuju laboratorium dalam keadaan tidak

mendapatkan suplai darah menyebabkan berkurangnya suplai oksigen dan energi.

Keadaan ini disebut iskemia dan kondisi re-oxygenation (Wang et al. 2011). Metabolisme jaringan yang tidak mendapat suplai oksigen akan berubah kondisi

aerobic menjadi anaerobic dengan hasil metabolismenya adalah asam laktat yang terakumulasi diantara sel (Petrucci et al. 2010). Selain itu, adenosine triphosphate

(ATP) yang dipecahkan tanpa disintesa akan menghasilkan sisa metabolik yaitu

fosfor inorganik. Fosfor yang berinteraksi dengan air akan menjadi asam fosfor,

dimana apabila terjadi akumulasi asam fosfor dan asam laktat akan menyebabkan

terjadinya penurunan pH (Petrucci et al. 2010). Penurunan pH yang disebabkan oleh akumulasi ion H+. Ion H+ yang terakumulasi pada ovarium akan merembes

keluar masuk ke dalam cairan folikular dan menginduksi terjadinya asidosis pada

lingkungan sekitar oosit (Wongsrikaeo et al. 2005). Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kualitas oosit selama tranposrtasi ovarium dari rumah potong

hewan sampai oosit dikoleksi koleksi, diantaranya adalah lama periode dan suhu

selama transportasi (Gordon 2003).

Faktor Suhu

Metabolisme sel menurun pada suhu yang lebih rendah dari suhu tubuh

(39)

6

mengganggu viabilitas oosit, maturasi, fertilisasi dan perkembangan embrio

setelah IVF. Pada suhu yang tinggi dan periode yang lama dapat meningkatkan

fragmentasi DNA yang diinduksi oleh cairan folikular (Wongsrikaeo et al. 2005).

Banyak penelitian sudah dilakukan pada berbagai spesies yang mengkaji faktor

suhu penyimpanan selama transportasi ovarium dengan hasil yang bervariasi.

Padersen et al. (2004) melaporkan bahwa, ovarium kuda yang disimpan pada suhu

35-37 ˚C dalam waktu kurang dari dua jam masih mempunyai oosit dengan

kualitas yang bagus. Pada babi, Wongsrikaeo et al. (2005) melaporkan bahwa, ovarium babi dapat disimpan pada suhu diantara 25 ˚C hingga 35˚C dalam waktu

enam jam.

Oosit kuda yang dikoleksi segera setelah disembelih mempunyai perbedaan

maturasi yang signifikan dengan oosit yang disimpan pada suhu ruang dan suhu

4 ˚C selama 24 jam (Pedersen et al. 2004). Oosit kuda terpapar pada suhu 35-37

˚C selama 2 jam mempunyai tingkat apoptosis yang tinggi pada sel granulosa dibanding dengan oosit kuda yang terpapar suhu 20 ˚C dan 30 ˚C selama 2 jam

(Pedersen et al. 2004).

Faktor Waktu

Persentase degenerasi oosit meningkat seiring dengan bertambahnya

waktu (Wongsrikaeo. et al. 2005). Pada oosit yang dikoleksi segera setelah disembelih mempunyai kumulus yang expand dan Metaphase II yang lebih baik daripada oosit yang dikolesi selama 15-18 jam pada suhu kamar dan 4 ˚C (Love et

al. 2003). Ovarium babi yang disimpan selama 0-3 jam pada suhu 35 ˚C

menunjukkan kompetensi perkembangan oosit yang lebih baik dibanding

penyimpanan selama 6, 9 dan 12 jam pada suhu 35 ˚C (Wongsrikaeo et al. 2005).

Pada oosit sapi yang terpapar pada suhu rendah selama 48 jam dapat

menyebabkan degenerasi yang tidak diketahui faktor re-programnya (Matsushita

et al. 2004). Sedangkan pada oosit kucing dengan penyimpanan ovarium pada suhu 4 ˚C, diatas 24 jam dan kurang dari 48 jam masih mampu untuk pematangan

secara in vitro (Mihat et al. 2009). Berbeda pada kuda faktor waktu amat berpengaruh untuk mempertahankan morphologi dari kumulus oophorus, ovarium

kuda perlu disimpan pada suhu di antara 35-37 ˚C dan sebaiknya kurang dari 2

(40)

7

Koleksi oosit

Oosit dapat dikoleksi dengan dua cara yaitu dengan laparoskopi maupun

mengambil ovarium yang berasal dari rumah potong hewan. Laparoskopi

merupakan metode pengambilan ovarium dengan menggunakan endoskopi,

namun metode ini memerlukan biaya yang sangat mahal, tidak efisien dan

berisiko untuk terjadi infertile pada hewan tersebut (Schatten & Gheorghe 2007).

Cara yang kedua adalah dengan memperoleh oosit dari ovarium yang berasal dari

rumah potong hewan yang masih potensial untuk dimanfaatkan (Herdis 2000).

Ovarium yang diambil dari rumah potong hewan juga merupakan langkah yang

ekonomi untuk produksi embrio secara in vitro (Naowshari 2005).

Koleksi oosit dari ovarium yang berasal dari rumah potong hewan atau

dari hewan yang sudah mati dapat dilakukan dengan tiga metode, yaitu dengan

cara dissecting pada folikel, aspirasi dan menyayat. Metode aspirasi menggunakan

syringe, biasanya digunakan pada ovarium sapi, kerbau dan kuda karena ukuran ovarium dan folikelnya lebih besar sehingga mudah diaspirasi. Koleksi oosit

dengan metode ini dapat dilakukan 3 kali lebih cepat daripada dissecting, namun tingkat kerusakan pada folikel juga tinggi. Metode dissecting sering digunakan pada koleksi oosit domba (Gordon 2003). Sedangkan metode penyayatan

dilakukan dengan meletakkan ovarium di dalam cawan petri yang berisi cairan

saline, lalu dengan menggunakan pisau bedah permukaan ovarium diiris-iris untuk melepaskan oosit dari folikel (Wang et al. 2007). Metode ini dapat mengkoleksi lebih banyak oosit daripada menggunakan metode aspirasi. Metode

ini banyak digunakan pada domba dan kambing, namun metode ini membutuhkan

waktu 3 kali lebih lama daripada metode aspirasi pada satu ovarium (Gordon

2003).

Pengelompokan Oosit

Wood dan Wildt (1997) dan Gordon (2003) mengelompokkan oosit menjadi

4 kelompok yaitu, A, B, C dan D. Kelompok A adalah oosit yang mempunyai

kumulus yang kompak serta multilayer dan mempunyai sitoplasma yang homogen. Kelompok B adalah oosit yang mempunyai kumulus yang kompak,

sitoplasma yang homogen, namun jumlah kumulus oophorus kurang dari lima

(41)

8

pelusida masih terlihat jelas, namun sitoplasma yang semakin pudar. Kelopok D

adalah oosit dengan kumulus sudah mulai hilang dan tidak beraturan, zona

pelusida tidak kelihatan atau kelihatan sebagian dan sitoplasma semakin pudar.

Karja (2008) mengelompokkan oosit babi menjadi tiga kategori. Kategori

pertama, oosit mempunyai lebih dari lima lapis sel cumulus yang kompak,

sitoplasma yang homogen. Kategori kedua, oosit dikelilingi dengan kumulus yang

kurang kompak dan ketegori ketiga memperlihatkan sitoplasma yang tidak

beraturan.

Pengelompokkan oosit tersebut bertujuan untuk memisahkan oosit yang

berkualitas bagus dengan oosit yang berkualitas jelek. Menurut Wood dan Wildt

(1997) melaporkan pentingnya untuk megelompokkan oosit kucing dalam proses

in vitro untuk mencapai keberhasilan dalam proses maturasi, fertilisasi selanjutnya perkembangan embrio. Selanjutnya Karja (2008) melaporkan bahwa oosit babi

dengan kualitas bagus (kategori satu dan kategori dua) yang mempunyai kumulus

yang kompak dan sitoplasma yang homogen dapat mendukung maturasi nuklear

lebih baik berbanding kategori 3. Kategori 3 dengan oosit yang kurang kompak

menunjukkan hasil maturasi yang jelek dengan oosit yang mengalami atresia dan

(42)

9

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di laboratorium Fertilisasi In Vitro, Bagian Reproduksi

dan Kebidanan, Departement Klinik, Reproduksi dan Patologi, Fakultas

Kedokteran Hewan. Ovarium yang digunakan diambil dari Rumah Potong

Hewan kambing/domba, Kampung Cikanyong Desa Citaringgul Kecamatan

Babakan Madang, Kabupaten Bogor. Penelitian ini berlangsung selama 1 bulan

lebih, mulai tanggal 8 Juli 2011 hingga 17 Agustus 2011.

Alat dan bahan

Alat yang digunakan adalah termos, cooler box, termometer, kantong plastik

(8x5cm), blade, cawan petri, pinset, mikroskop Nikon SMZ800, penangas air dan

pipet sedot. Bahan yang digunakan adalah ovarium, NaCL fisiologi, phosphate buffer saline (PBS), dan es.

Koleksi Ovarium

Jumla

Gambar

gambar oosit yang dikoleksi dan dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu
Grafik 1  Persentase jumlah oosit dengan kualitas A dan B yang dikoleksi dari
gambar oosit yang dikoleksi dan dikelompokkan menjadi empat kelompok yaitu
Grafik 1  Persentase jumlah oosit dengan kualitas A dan B yang dikoleksi dari

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Namun laba atau SHU yang besar belum merupakan ukuran bahwa koperasi itu telah dapat bekerja dengan efisien.. Efesien baru dapat diketahui dengan membandingkan

[r]

Mengkaji pengaruh dan dampak demand CPO untuk bahan bakar alternatif (nabati) terhadap ketersediaan pangan Indonesia.. alternatif (nabati) terhadap ketersediaan

Pada kenyataannya pengaktualisasian diri pada sebagian remaja anggota klub motor lebih sering mengarah pada pengambilan risiko dan perilaku yang cenderung negatif, terutama

Adanya penghambatan proses oksidasi lipid pada sel makrofag dan sel endotel oleh kurkuminioid secara in vitro, akan memberikan informasi mengenai mekanisme

Sedangkan kegiatan yang dilakukan dalam pembenihan yaitu: pemeliharaan induk, seleksi induk, pemijahan, penetasan telur, pemeliharaan larva, pemeliharaan benih,

RNA dari tanaman kandidat mutan yang terseleksi berdasarkan keadaan stomata menutup dan lebih pendek dari pada Slamet non mutan telah berhasil diisolasi. RNA dapat