Optimation of Vacuum Frying Process for Tongkol Fish Chips
Nufzatussalimah and I Wayan BudiastraDepartment of Mechanical and Biosystem Engineering, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO Box 220, Bogor, West Java,
Indonesia
Phone +62 857 1850 8060, e-mail: nufzatussalimah@gmail.com
ABSTRACT
Tongkol is a fish that belongs to the groups of high protein and low fat. Tongkol production in Mentawai Islands are very high, and the post-harvest handling has not done well, so it reduces the shelf life of fresh tongkol fish. The post-harvest handling of tongkol, such as vacuum frying are required to diversify tongkol fish, increase the shelf life, and to give more added value of tongkol fish. Vacuum frying has several advantages compared with frying in general, some of its benefits are vacuum frying does not change the color of the product, the product are more crispy, has a natural smell, and the most important is the products has a high shelf life. The aim of this research were to determine the effect of temperature and frying time to physico-chemical characteristic of fish chips, to determine the best temperature and frying time, and to determine the production cost of tongkol chips. Three oil temperatures for vacuum frying (80, 90, 100ºC) and three frying time (80, 90, 100 minutes) were considered. The temperature and time of frying significantly influenced yield, moisture content, fat content and protein content. The best fish chips were produced by vacuum frying at 100ºC for 90 minutes. The production cost of fish chips for every 100 grams is 14.000 Rupiahs.
NUFZATUSSALIMAH. F14080079. Optimasi Proses Penggorengan Hampa
(Vacuum Frying) Keripik Ikan Tongkol (Euthynnus Affinis).
Di bawah
bimbingan I Wayan Budiastra. 2012.
RINGKASAN
Produksi sektor usaha perikanan laut di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat mencapai 2.471 ton per tahun dengan ikan tongkol sebagai jenis ikan dengan jumlah produksi terbesar, yaitu mencapai 520 ton per tahun. Pada umumnya, hasil laut tersebut dipasarkan dengan jarak tempuh yang cukup jauh dan dalam keadaan ikan segar. Ikan segar memiliki sifat perishable, yaitu resiko kerusakan bahan yang tinggi dan masa simpan yang sangat rendah. Untuk meningkatkan daya simpan serta nilai jual ikan tongkol, dilakukan metode penggorengan hampa (vacuum frying). Perbedaan penggorengan hampa dengan penggorengan pada umumnya antara lain tidak merubah warna hasil produk penggorengan, kerenyahan hasil produk penggorengan terjaga, aroma tidak berubah, kandungan serat tetap terjaga, serta hasil penggorengan memiliki daya simpan lebih tinggi. Bahan pangan yang dapat diaplikasikan pada proses penggorengan hampa antara lain ikan, yang memiliki kandungan protein cukup tinggi.
Tujuan dari penelitian ini adalah 1) Mengetahui pengaruh suhu dan waktu terhadap karakteristik keripik ikan tongkol 2) Menentukan suhu dan waktu penggorengan yang optimal dalam pembuatan keripik ikan tongkol dengan menggunakan penggorengan hampa (vacuum frying) serta 3) Menentukan biaya pokok produksi usaha keripik ikan tongkol.
Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah untuk mengetahui pengaruh suhu dan waktu penggorengan hampa terhadap mutu keripik ikan. Tahap selanjutnya adalah analisis biaya pokok produksi keripik ikan. Pada tahap pertama, dilakukan percobaan terhadap suhu dan waktu penggorengan hampa sehingga dapat dipilih produk yang paling optimal. Suhu yang digunakan adalah 80ºC, 90ºC, dan 100ºC sedangkan waktu penggorengan hampa yang digunakan selama 80 menit, 90 menit, dan 100 menit. Dalam analisis fisikokimia, parameter yang digunakan adalah rendemen, kadar air, kadar lemak, kadar protein kekerasan, serta warna. Selain itu, pengujian secara organoleptik dilakukan dengan melibatkan 15 panelis yang dimintai pendapat mengenai tingkat kesukaan terhadap produk keripik ikan hasil dari 9 kombinasi penggorengan. Parameter uji kesukaan meliputi rasa, kerenyahan, aroma dan warna. Panelis kemudian menentukan tingkat kepentingan keripik yang meliputi rasa, kerenyahan, aroma dan warna. Tahap selanjutnya adalah analisis biaya pokok produksi per kemasan seberat 100 gram.
berbanding terbalik, namun berdasarkan hasil uji lanjut dengan DMRT, nilai kekerasan tidak berbeda nyata. Nilai rata-rata L, a dan b keripik ikan sebesar 27.58, 6.32, dan 8.88. Kadar protein rata-rata keripik ikan sebesar 68.85% dengan kadar lemak rata-rata sebesar 22.17%.
Proses penggorengan yang optimal adalah pada suhu 100ºC dan waktu penggorengan selama 90 menit. Proses penggorengan tersebut memiliki nilai rendemen tinggi, kadar air rendah, kadar lemak rendah, serta kadar protein tinggi. Selain itu, karena mempertimbangkan beberapa parameter lain seperti waktu penggorengan yang lebih singkat serta suhu penggorengan yang lebih rendah. Proses penggorengan dengan suhu 100ºC dan waktu penggorengan selama 90 menit memiliki nilai skor tertinggi dan dapat diterima oleh panelis. Berdasarkan hasil analisis biaya pokok produksi usaha keripik ikan tongkol yang dilakukan pada UKM Mekar Sari, Kep.Mentawai maka besarnya biaya pokok produksi adalah sebesar Rp 14.000/kemasan 100 gram.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Produksi sektor usaha perikanan laut di Mentawai mencapai 2.471 ton per tahun yang dipasarkan untuk kebutuhan pasar lokal, Sumatra barat, nasional dan ekspor. Kegiatan usaha sektor perikanan melibatkan sebanyak 1.920 orang nelayan. Usaha sektor perikanan laut dilaksanakan pada 10 atau semua kecamatan yang ada di kabupaten yang memiliki pantai sepanjang 1.402,66 KM.
Mentawai merupakan daerah kepulauan dengan luas wilayah 6.011,35 KM2 dan total penduduk
berjumlah 68.964 jiwa dan kepadatan penduduk 11 jiwa/km2. Daratan Mentawai terpisah dari Pulau
Sumatera Provinsi Sumatera Barat oleh laut Selat Siberut di sebelah utara dan sebelah selatan berbatasan dengan Samudera Hindia. Mentawai terdiri atas empat pulau besar dan 98 buah pulau-pulau kecil dengan 10 kecamatan yang pada semua wilayah itu dilakukan kegiatan sektor perikanan laut. Dari total produksi perikanan laut Mentawai sebanyak 2.471 ton terbanyak dihasilkan dari Sipora Utara yang mencapai 520 ton per tahun dengan jumlah nelayan 230 orang. (http://www.sitinjaunews.com).
Dengan hasil sektor perikanan laut yang mencapai 2.471 ton per tahun dan kepadatan
penduduk yang tergolong rendah, yaitu sebesar 11 jiwa/km2, menjadi salah satu faktor sebagian besar
hasil sektor perikanan yang dihasilkan oleh Mentawai didistribusikan ke daerah lain dalam berbagai bentuk, baik berupa ikan segar maupun berupa hasil olahan perikanan laut. Hasil produksi perikanan laut tidak diimbangi dengan penanganan pasca panen yang cukup baik. Pada umumnya hasil tangkapan nelayan tersebut dijual kembali dalam bentuk ikan segar di pasar, untuk konsumsi keluarga nelayan, dan beberapa jenis ikan tertentu seperti ikan kerapu dijadikan sebagai komoditas ekspor dalam bentuk ikan segar. Tentu saja dalam penanganan hasil perikanan dalam bentuk ikan segar memiliki resiko kerusakan bahan yang sangat tinggi, daya simpan rendah, serta diperlukan sistem pengawetan ikan dengan pendinginan yang memerlukan bahan pendingin atau es yang cukup banyak. Salah satu dari komoditas sektor perikanan terbesar di Kepulauan Mentawai adalah ikan tongkol (Euthynnus affinis). Ikan tongkol hasil tangkapan nelayan pada umumnya dijual kembali dalam bentuk ikan segar di pasar ataupun untuk konsumsi keluarga nelayan. Selain itu, ikan tongkol memiliki kandungan gizi yang cukup baik. Ikan tongkol tinggi akan kandungan zat besi, protein, dan kalori, serta rendah lemak dan rendah kolestrol. Berdasarkan hasil penggolongan ikan menurut kandungan protein dan lemak, ikan tongkol termasuk ke dalam jenis ikan protein tinggi-lemak rendah yang dapat diamati pada Tabel 3.
Untuk meningkatkan daya simpan serta nilai jual hasil sektor perikanan tersebut, khususnya
ikan tongkol, dapat dilakukan dengan metode penggorengan hampa (vacuum frying). Penggorengan
aroma tidak berubah, kandungan serat tetap terjaga, serta hasil penggorengan memiliki daya simpan lebih tinggi.
Aplikasi penggorengan hampa pada umumnya dilakukan pada produk buah-buahan. Bahan pangan lain yang dapat diaplikasikan pada proses penggorengan hampa antara lain ikan. Ikan merupakan salah satu sumber protein yang cukup tinggi bagi masyarakat Indonesia. Salah satu wilayah kepulauan di Indonesia yang memiliki hasil perikanan cukup tinggi adalah Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat.
Penggorengan hampa yang dilakukan yaitu dengan melakukan proses pemanasan ikan tongkol dengan menurunkan tekanan udara pada ruang penggorengan, sehingga kerusakan-kerusakan pada ikan tongkol dapat dihindari. Kualitas yang dihasilkan oleh proses penggorengan hampa relatif lebih baik jika dibandingkan dengan penggorengan biasa. Keuntungan penggorengan hampa antara lain tidak mengubah warna hasil proses penggorengan ikan, hasil penggorengan ikan lebih renyah, aroma ikan tidak berubah, kandungan serat tetap terjaga, serta ikan akan lebih tahan lama meskipun tanpa bahan pengawet.
Untuk menghasilkan keripik ikan tongkol yang bermutu tinggi sesuai keinginan konsumen, perlu dilakukan proses penggorengan hampa yang sesuai dengan karakteristik produk pangan yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan keripik ikan. Parameter kritis yang terdapat pada
proses penggorengan hampa (vacuum frying) antara lain waktu yang digunakan selama proses
penggorengan serta suhu yang digunakan untuk penggorengan bahan pangan. Apabila waktu penggorengan serta suhu yang digunakan pada proses penggorengan hampa dilakukan pada nilai yang optimal, maka mutu keripik ikan yang dihasilkan akan memiliki kualitas yang baik. Analisa penentuan kualitas keripik ikan meliputi perhitungan rendemen, kadar air, kadar protein, kadar lemak, warna, kekerasan, uji organoleptik, dan uji pembobotan.
Tabel 1. Produksi Ikan Laut di Kabupaten Kepulauan Mentawai Tahun 2009
No Jenis Ikan Produksi (ton)
1 Kerapu 40
2 Kakap 35
3 Janihin 17
4 Capa/Kakap Merah 32
5 Baracuang 15
6 Nawi 18
7 Udang/shrimp 93
8 Tenggiri 130
9 Tuna/Tongkol/Salmon 520
10 Gulamo 83
11 Teri 150
12 Sarden (Lemuru) 135
13 Pari 80
14 Peperek -
15 Kembung 170
16 Selar 210
17 Layaran 39
18 Lain-lain 704
Jumlah/ Total 2471
B. Tujuan Penelitian
1. Menganalisis pengaruh suhu dan waktu terhadap karakteristik keripik ikan tongkol
2. Menentukan suhu dan waktu penggorengan yang optimal dalam pembuatan keripik ikan
tongkol dengan menggunakan penggorengan hampa (vacuum frying)
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Ikan Tongkol
Ikan tongkol adalah jenis ikan pelagis yang merupakan salah satu komoditas utama ekspor
Indonesia. Akan tetapi akibat pengelolaan yang kurang baik di beberapa perairan Indonesia, terutama disebabkan minimnya informasi waktu musim tangkap, daerah penangkapan ikan, disamping kendala teknologi tangkapnya itu sendiri, tingkat pemanfaat sumber daya ikan menjadi sangat rendah. Menurut Soesanto (1979), ikan tongkol merupakan salah satu jenis ikan pelagis artinya hidup di lapisan atas dari suatu perairan. Bentuk badannya memanjang yang kedua ujungnya meruncing, mempunyai dua sirip punggung dan 7-8 finlet. Dari bentuk ikan adanya dua sirip punggung dan banyaknya finlet ini menujukan ikan tongkol termasuk jenis ikan perenang cepat.
Ikan tongkol merupakan penghuni hampir seluruh perairan Asia. Di Indonesia, ikan ini banyak membentuk gerombolan-gerombolan besar terutama di perairan Indonesia timur dan samudra Indonesia. Termasuk ikan pelagis perenang cepat sehingga untuk menangkapnya alat yang digunakan harus dioperasikan dengan kecepatan yang memadai (Kriswanto, 1986).
Klasifikasi ikan tongkol menurut Saanin (1968) adalah sebagai berikut:
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Sub Phylum : Vertebrata
Class : Pisces
Sub Class : Teleostei
Ordo : Percomorphi
Family : Scombridae
Genus : Euthynnus
Species : Euthynnus affinis
Tabel 2. Kandungan gizi ikan tongkol per 100 gram
Kandungan Jumlah
Kalori (kkal) 116
Protein (gram) 24
Lemak (gram) 1
Kolesterol (gram) 0.46
Zat besi (miligram) 0.7
Tabel 3. Penggolongan ikan berdasarkan kandungan lemak dan protein
Golongan ikan Kadar Lemak (%) Kadar
Protein (%)
Lemak rendah-protein tinggi <5 15-20
Lemak sedang-protein tinggi 5-15 15-20
Lemak tinggi-protein tinggi >15 <15
Lemak rendah-protein tinggi <5 >20
Lemak rendah-protein rendah <5 <15
Sumber : Istanti, 2005
B. Proses Penggorengan
Salah satu proses pengolahan pangan yang banyak digunakan di industri pangan adalah proses penggorengan. Penggorengan adalah suatu proses pemanasan bahan pangan menggunakan medium minyak goreng sebagai pengantar panas (Muchtadi, 2008). Secara umum tujuan dari proses penggorengan adalah untuk melakukan pemanasan pada bahan pangan, pemasakan, dan pengeringan pada bahan yang digoreng. Menggoreng dengan minyak atau lemak mampu meningkatkan cita rasa dan tekstur makanan yang spesifik sehingga makanan menjadi kenyal dan renyah, jumlah kalori makanan meningkat setelah digoreng. Jenis makanan yang digoreng tidak mudah dicerna karena adanya lemak yang terserap dalam makanan (Winarno, 1999). Muchtadi (2008) menyatakan bahwa berdasarkan metode pindah panas yang terjadi selama penggorengan, terdapat dua metode
penggorengan yang telah ditetapkan secara komersial yaitu shallow/pan frying atau penggorengan
dangkal dan deep-fat frying.
1. Shallow/Pan Frying atau Penggorengan Dangkal
Shallow atau pan frying adalah proses penggorengan dengan menggunakan sedikit minyak
goreng, sehingga proses penggorengan terjadi pada minyak yang dangkal (shallow). Pada metode
penggorengan seperti ini, bahan yang digoreng tidak seluruhnya terendam dalam minyak. Bahan
pangan akan mengalami kontak langsung dengan wajan atau pan penggorengan. Konsekuensi dari
proses penggorengan ini adalah proses pematangan dan pencoklatan tidak terjadi secaramerata di seluruh lapisan permuk aan bahan yang digoreng.
2. Deep-Fat Frying
Metode deep-fat frying yaitu metode penggorengan dengan menggunakan minyak goreng yang
banyak sehingga bahan pangan yang digoreng terendam seluruhnya dalam minyak goreng. Proses penggorengan ini akan menghasilkan bahan pangan yang digoreng matang secara merata, serta warnanya cenderung seragam. Sedangkan berdasarkan kondisi prosesnya, penggorengan dapat dilakukan pada kondisi tekanan atmosferik, bertekanan lebih tinggi dari tekanan atmosferik, dan pada kondisi vakum. Kondisi proses tersebut akan mempengaruhi suhu proses penggorengan yang terjadi, dan juga mutu produk gorengan yang dihasilkan (Muchtadi, 2008).
C. Penggorengan Hampa (Vacuum frying)
Mesin penggoreng hampa atau vacuum fryer adalah mesin produksi untuk menggoreng
penggorengan biasa. Menurut (Shyu et all, 1998) proses vacuum frying memiliki beberapa keuntungan
dibandingkan dengan penggorengan pada umumnya atau deep fat frying, yaitu dapat mengurangi
kadar minyak yang terkandung di dalam produk hasil gorengan, karena proses penggorengan vacuum
frying pada umumnya dilakukan pada suhu yang lebih rendah dan terdapat kandungan oksigen di dalamnya, maka warna hasil produk penggorengan lebih alami seperti warna produk sebelum dilakukan penggorengan, selain itu pengaruh terhadap kualitas minyak lebih rendah.
Gambar 1. Mesin Penggorengan Hampa Desain Anang Lastriyanto
Mesin penggorengan hampa terdiri dari beberapa komponen mesin dengan fungsi yang berbeda-beda. Tabel 4 merupakan penjelasan mengenai komponen serta fungsi pada masing-masing komponen mesin penggorengan hampa.
Tabel 4. Komponen dan fungsi mesin penggoreng hampa
No. Bagian Fungsi
1 Pompa Vakum Water jet Menghisap udara di dalam ruang penggoreng sehingga
tekanan menjadi rendah, serta untuk menghisap uap air bahan
2 Tabung Penggoreng Mengkondisikan bahan sesuai tekanan yang diinginkan.
Di dalam tabung dilengkapi keranjang setengah lingkaran
3 Kondensor Mengembunkan uap air yang dikeluarkan selama
penggorengan. Kondensor ini menggunakan air sebagai pendingin
4 Unit Pemanas Pemanas, dengan menggunakan kompor gas LPG
5 Unit Pengendali Operasi
(Boks Kontrol)
Mengaktifkan alat vakum dan unit pemanas
6 Bagian Pengaduk Penggorengan Mengaduk buah yang berada dalam tabung penggorengan
Bagian ini perlu sil yang kuat untuk menjaga kevakuman tabung
7 Mesin Pengering (spinner) Meniriskan keripik
D. Penelitian Penerapan Penggorengan Hampa (Vacuum frying)
Menurut Manurung (2011), dalam penelitian yang berjudul ”Pengaruh Suhu dan Waktu
Penggorengan Hampa terhadap Mutu Keripik Ikan Lemuru (Sardinella longiceps)” menyimpulkan
lemak dan kekerasan, serta penurunan rendemen. Berdasarkan hasil uji pembobotan, mutu keripik
ikan lemuru yang dianggap terbaik diperoleh pada suhu penggorengan 90oC selama 45 menit. Hal ini
juga terlihat melalui uji fisikokimia, dimana keripik tersebut memiliki kadar air yang paling rendah
yang tidak beda nyata dengan perlakuan 100oC selama 60 menit dan 90oC selama 60 menit. Hasil
analisis kelayakan usaha menyimpulkan bahwa usaha pembuatan keripik ikan lemuru dengan alat penggorengan hampa akan layak dijalankan jika kapasitas masuk per prosesnya minimal 6 kg ikan
segar.
Selain itu, menurut Wijayanti (2011), dalam judul penelitian “Kajian Rekayasa Proses Penggorengan Hampa dan Kelayakan Usaha Produksi Keripik Pisang” menyimpulkan bahwa suhu dan waktu penggorengan keripik pisang dengan menggunakan penggorengan hampa sangat berpengaruh nyata terhadap penurunan maupun peningkatan mutu dan karakteristik produk yang dihasilkan dimana terjadi penurunan parameter kadar air, peningkatan nilai kadar lemak dan kekerasan. Berdasarkan hasil uji organoleptik mutu keripik pisang yang terbaik diperoleh pada suhu penggorengan 80°C selama 60 menit dengan nilai kadar air 10.75%, kadar lemak 26.45% dan kekerasan 3.90 kg/mm.
Menurut Paramita (1999), dalam judul penelitiannya “Pengaruh Suhu dan Waktu
Penggorengan Hampa terhadap Sifat Fisik dan Organoleptik Keripik Sawo (Achras sapota)”,
disimpulkan bahwa keripik sawo terbaik diperoleh pada penggorengan hampa dengan suhu 95o C
dengan waktu 40 menit. Paramita (1999), melakukan penelitian terhadap suhu 85o C, 90o C, 95o C
dan waktu 35 menit , 40 menit, 45 menit dengan tekanan 65 cmHg.
Dalam penelitian penggorengan hampa buah cempedak yang dilakukan oleh Sudjud (2000),
pada suhu 85o C, 90o C, 95o C dengan waktu penggorengan 25 menit, 30 menit, dan 35 menit dengan
tekanan 10 cmHg diperoleh keripik cempedak terbaik pada penggorengan hampa pada suhu 9 o C
selama 30 menit.
Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Nurhudaya (2011), dengan judul penelitian “Rekayasa
Proses Penggorengan Vakum (vacuum frying) dan Pengemasan Keripik Durian Mentawai”, diperoleh
suhu dan waktu yang optimal untuk penggorengan hampa durian menjadi keripik durian berdasarkan
hasil pembobotan adalah 75o C dan 85 menit. Sedangkan menurut Suseno,dkk (2008) untuk
penggorengan hampa ikan balita diperoleh suhu dan waktu yang optimal adalah 105o C dalam waktu
30 menit.
E. Uji Organoleptik
Menurut Soekarto (1981), penilaian dengan indra disebut penilaian organoleptik atau penilaian sensorik merupakan suatu cara penilaian yang sudah cukup lama digunakan. Penilaian dengan indra menjadi bidang ilmu setelah prosedur penilaian dibakukan, dirasionalkan, dihubungkan dengan penilaian secara obyektif, analisa data mejadi lebih sistematis, demikian pula metoda statistik digunakan dalam analisa serta pengambilan keputusan.
Dwi Setyaningsih (2010) menyatakan bahwa analisis sensori atau uji organoleptik merupakan suatu proses identifikasi, pengukuran ilmiah, analisis,, dan interpretasi atribut-atribut produk melalui lima pancaindra manusia, meliputi indra penglihatan, penciuman, pencicipan, peraba, dan pendengaran.
Untuk penilaian mutu atau analisa sifat-sifat sensorik suatu komoditi panel bertindak sebagai instrumen atau alat. Panel adalah satu atau sekelompok orang yang bertugas untuk menilai sifat atau mutu benda berdasarkan kesan subyektif. Jadi penilaian makanan secara panel adalah berdasarkan kesan subyektif dari para panelis dengan prosedur sensorik tertentu yang harus dituruti.
Dalam penilaian organoleptik dikenal beberapa macam panel. Penggunaan panel-panel ini dapat berbeda tergantung dari tujuannya. Ada 6 macam panel yang biasa digunakan, yaitu : 1)
Pencicip perorangan (individual expert). 2) Panel pencicip terbatas (small expert panel). 3) Panel
terlatih (trained panel). 4) Panel tak terlatih (untrained panel). 5) Panel agak terlatih. 6) Panel
konsumen (consumer panel).
F. Analisis Biaya Pokok Produksi
Tujuan dari suatu usaha adalah mendapatkan keuntungan yang diperoleh dari selisih antara biaya yang dikeluarkan dengan pendapatan yang diterima. Untuk dapat memperkirakan biaya produksi maka dilakukan suatu analisis biaya dari proses produksi sehingga akan didapat berapa biaya produksinya. Prestasi dari suatu usaha dapat dilihat dari biaya produksinya. Semakin rendah biaya produksinya maka semakin tinggi keuntungan yang akan diperoleh. Penggolongan biaya menurut perubahannya terhadap volume produksi adalah biaya tetap, biaya variabel, dan biaya semi variabel (Revinaldo,1992). Biaya tetap adalah biaya yang totalnya tetap sampai batas kapasitas tertentu, meskipun volume produksi berubah. Biaya variabel merupakan biaya yang sebanding dengan perubahan volume produksi. Sedangkan biaya semi variabel adalah biaya yang berubah tidak sebanding dengan volume produksi. Biaya-biaya yang termasuk biaya tetap adalah biaya penyusutan, biaya bunga modal, biaya pajak, dan biaya gudang/garasi. Sedangkan yang termasuk biaya variabel adalah biaya operasional, biaya perbaikan/pemeliharaan, dan biaya khusus. Biaya pokok produksi adalah jumlah biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi suatu barang ditambah dengan biaya lainnya sehingga barang tersebut dapat digunakan. Salah satu tujuan perhitungan biaya pokok adalah menentukan harga penjualan (Adhipratiwi, 2001). Biaya pokok produksi dapat diperoleh dengan membagi total biaya produksi dengan jumlah produksi dalam satu tahun (Pramudya dan Dewi, 1992).
Dalam menghitung biaya penyusutan, metode yang digunakan adalah metode garis lurus tanpa memperhitungkan bunga modal. Metode yang digunakan cukup sederhana, pada metode ini biaya penyusutan dianggap sama setiap tahun atau penurunan nilai suatu alat tetap sampai pada umur ekonomisnya. Cara menghitungnya adalah harga awal (baru) dikurangi dengan harga akhir pada akhir umur ekonomisnya dibagi dengan umur ekonomisnya (Persamaan 1).
(1)
Keterangan :
D = Biaya penyusutan tiap tahun (Rp/tahun)
P = Harga Awal (Rp)
S = Harga Akhir (Rp)
Sedangkan untuk menghitung besarnya bunga modal, digunakan persamaan berikut untuk menghitung bunga modal (Persamaan 2).
(2)
Keterangan :
I =Bunga modal (Rp/tahun) i = Tingkat bunga modal (%/tahun) P = Harga awal mesin (Rp)
N = Umur ekonomis mesin (tahun)
Untuk menentukan besarnya biaya total, digunakan rumus pada Persamaan 3.
B (Biaya Total) (Rp/Jam)
Keterangan :
B = Biaya total (Rp/Jam)
BT = Biaya tetap (Rp/tahun)
BTT = Biaya tidak tetap (Rp/Jam)
x = Perkiraan jam kerja dalam satu tahun (Jam/Tahun)
Untuk menentukan besarnya biaya pokok, digunakan rumus pada Persamaan 4.
BP (Biaya Pokok) (Rp/Kg)
Keterangan :
Bp = Biaya pokok (Rp/Kg)
BT = Biaya tetap (Rp/tahun)
BTT = Biaa tidak tetap (Rp/jam)
k = Kapasitas alat (Kg/jam)
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan November 2011-Februari 2012. Proses penggorengan hampa keripik ikan tongkol dilakukan di UKM Mekar Sari, Dusun Boleleu No.18, Desa Sido Makmur, Kecamatan Sipora Utara, Kabupaten Kepulauan Mentawai. Uji fisikokimia dilakukan di Laboratorium Teknik Pengolahan Pangan dan Hasil Pertanian, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem, dan di Laboratorium Kimia Pangan, Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, IPB.
B. Bahan dan Alat
Bahan baku yang digunakan dalam proses penelitian ini adalah ikan tongkol (Euthynnus
affinis), dan minyak goreng. Alat-alat yang digunakan selama proses penelitian ini adalah alat
penggoreng hampa (Vacuum frying) dengan model komersial II yang terdapat pada Gambar 1.
Spesifikasi alat mesin penggorengan hampa dengan model komersial II dapat dilihat pada Tabel 5, sedangkan spesifikasi alat kontrol suhu digital yang digunakan dapat diamati pada Lampiran 7. Alat
lain yang digunakan adalah pendingin (freezer), baskom, sealer, cawan alumunium, oven pengering,
desikator, Rheometer Tipe CR-500DX, Chroma Meter Minolta Tipe CR-400, perangkat Soxhlet untuk mengukur kadar lemak, perlengkapan Mikro-Kjehdahl untuk mengukur kadar protein, serta perlengkapan uji organoleptik.
Tabel 5. Spesifikasi Alat Mesin Penggorengan Hampa Desain Anang Lastriyanto Uraian Komersial II
Kapasitas (kg masukan/proses) Optimal 8
Lama proses (menit) 90-100
Bahan bakar LPG
Pendingin Sirkulasi air
Volume minyak goreng (liter) 70-75
Kebutuhan LPG (kg/jam) 0,4 – 0,6
Daya pompa vakum (watt) Daya Spinner (watt) Daya Sealer (watt)
750 – 1000 300 300
Dimensi p x l x t (cm3) 180 x 120 140
Volume pada waktu diangkut (cm3) 1,8 x 1,2 x 0,65
Kelengkapan Kontrol suhu
Sealer kemasan, peniris minyak Digital
C. Metode Penelitian
dilakukan pada proses penelitian dengan satu jenis kapasitas per proses dapat mewakili untuk kapasitas maksimal mesin penggorengan hampa yang digunakan, yaitu sebesar 8 kilogram. Diagram alir proses penelitian dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Diagram alir penelitian II
Daging ikan segar 500 gram
Pembekuan daging ikan pada Freezer
Pengirisan ( 5x 5 cm) tebal 2 mm
Penggorengan hampa
T = 800C,900C, 1000C dengan
tekanan hampa 7.2 cmHg dan waktu 80 menit, 90 menit dan 100
menit
Penirisan minyak (dengan sentrifus kecepatan 1400 rpm
selama 10 detik)
Analisis fiskokimia (rendemen, kekerasan, warna, kadar air, kadar
protein dan kadar lemak) serta uji organoleptik
I
Tahapan proses penggorengan keripik ikan meliputi : 1. Persiapan Bahan
Bahan baku ikan tongkol segar yang digunakan untuk produksi terlebih dahulu disortasi. Bahan baku yang tidak memenuhi syarat dipisahkan dan tidak digunakan. Bahan yang akan digoreng adalah daging ikan tongkol segar . Kegiatan sortasi bahan baku bertujuan agar bahan mudah diiris dan produk keripik yang dihasilkan memiliki bentuk, warna dan kematangan yang seragam.
Sebelum dilakukan pengirisan, ikan tongkol segar dibekukan terlebih dahulu pada freezer agar
mudah dalam dalam pengirisan dan menghasilkan ketebalan yang relatif seragam. Setelah dilakukan pengirisan, fillet ikan ditimbang terlebih dahulu, kemudian dapat langsung digoreng ataupun disimpan
kembali dalam freezer.
Gambar 3. Ikan tongkol segar, proses sortasi, serta pengirisan fillet
Gambar 4. Penyimpanan serta penimbangan
2. Persiapan Alat
Peralatan yang digunakan untuk proses penggorengan terlebih dahulu harus disiapkan mulai
dari pengisian air ke dalam bak pendingin, penuangan minyak goreng sejumlah 75-80 liter ke dalam tabung penggorengan, menyalakan pompa, membuka kran kran sirkulasi air, menutup kran pelepas vakum hingga vakum meter menunjukkan kevakuman -70 cm Hg, pemanasan minyak goreng menggunakan gas LPG sampai mencapai suhu yang yang digunakan.
3. Penggorengan
Setelah vakum meter menunjukkan kevakuman -70 cm Hg, keranjang yang telah terisi bahan yang akan digoreng diturunkan ke dalam minyak dengan cara memutar tuas pengaduk 180°. Proses
penggorengan dilakukan dalam mesin penggoreng vakum tekanan -70 cm Hg, suhu 100 0C dengan
lama waktu 90 menit hingga 2 jam tergantung dari jumlah fillet ikan yang dimasukkan. Selama proses penggorengan berlangsung produk di aduk setiap 10-15 menit untuk mencegah gosong dan menghasilkan tingkat kematangan yang seragam. Produk yang telah matang ditandai dengan tidak adanya embun pada sisi kaca pengintai dan gelembung air di dalam minyak sudah terlihat sedikit.
Gambar 6. Proses Penggorengan, Pengadukan, serta Pengangkatan
4. Penirisan Minyak (Deoiling)
Produk yang telah matang diangkat dengan cara memutar tuas pengaduk 180°, pompa, kompor dan kran sirkulasi air dimatikan, dan kran pelepas vakum dibuka hingga menunjukkan angka 0 (nol).
Produk yang telah matang ditiriskan dan dilakukan penirisan minyak menggunakan spiner yang
berfungsi untuk membuang minyak yang melekat pada bahan (keripik) yang selesai digoreng dengan cara diputar (sentrifugal) dengan kecepatan 1400 rpm selama sekitar 10 detik, sehingga diharapkan keripik yang dihasilkan tidak mengandung banyak minyak.
Gambar 7. Proses Penirisan Minyak
5. Pengemasan
Gambar 8. Proses Pengemasan dengan Sealer Injak
Pada penelitian ini digunakan dua faktor, yang meliputi faktor suhu, serta faktor waktu penggorengan dengan tiga taraf perlakuan pada tiap faktor dengan dua kali ulangan. Faktor suhu yang
digunakan adalah 80oC, 90oC, dan 100oC, sedangkan faktor waktu yang digunakan adalah 80 menit,
90 menit, dan 100 menit. Produk hasil gorengan tersebut akan dilakukan berbagai analisis fisiokimia dan pengujian organoleptik.
Tahap selanjutnya adalah analisis kelayakan usaha. Analisis kelayakan usaha sangat penting dilakukan untuk mengetahui keberlanjutan usaha produksi keripik ikan tongkol. Data yang dikumpulkan berupa data primer, yang diperoleh langsung dari hasil pengamatan terhadap pembuatan
keripik ikan tongkol dengan mesin penggorengan hampa (Vacuum fryer) dengan pemilik usaha
penggorengan keripik. Prosedur yang dilakukan adalah asumsi dan pendekatan sebagai dasar dalam
perhitungan. Asumsi yang digunakan terdiri dari : 1) umur ekonomis mesin Vacuum frying adalah 5
tahun dengan nilai akhir 10%, 2) umur ekonomis bangunan adalah 10 tahun, 3) Umur ekonomis peralatan-peralatan yang digunakan seperti talenan, keranjang, dan lain-lain diasumsikan sesuai kondisi lapangan yaitu 5 tahun, 4) umur proyek diasumsikan sesuai umur alat yaitu 5 tahun, 5) pendapatan dan pengeluaran dianggap tetap sepanjang umur ekonomis alat, 6) tingkat suku bunga diasumsikan sebesar 15%, 7) jumlah hari produksi per bulan adalah 24 hari dengan 8 jam kerja per
hari.
D. Prosedur Analisis
1. Rendemen
Besar rendemen keripik ikan tongkol dihitung berdasarkan presentase berat keripik ikan tongkol yang dihasilkan terhadap berat ikan tongkol segar yang digoreng (Persamaan 5).
(5)
2. Kadar Air
Kadar air dihitung dengan cara menimbang bahan yang telah dioven seberat 5 gram dengan timbangan analitik dan membandingkannya dengan bobot awal sebelum penyimpanan. Pertama-tama cawan kosong dikeringkan dalam oven dan didinginkan dalam desikator kemudian ditimbang.
Sejumlah sampel ditimbang dalam cawan, cawan dimasukkan ke dalam oven bersuhu 105oC selama 6
jam. Cawan dan sampel didinginkan dalam desikator dan ditimbang setelah dingin. Cawan dan sampel dimasukkan kembali ke dalam oven, dikeringkan kembali sampai diperoleh berat yang tetap.
Kadar air dihitung dengan menggunakan rumus pada Persamaan 6.
Kadar air (%) = % (6)
3. Kadar Lemak
Kadar lemak diukur dengan metode ekstraksi soxhlet. Labu lemak yang digunakan dibersihkan
dan dikeringkan dalam oven bersuhu 105oC selama 15 menit. Kemudian didinginkan dalam desikator
dan ditimbang beratnya sebanyak 5 gram sampel dalam bentuk kering dibungkus dengan kertas saring, lalu dimasukkan ke dalam labu soxhlet. Alat kondensor diletakkan diatasnya dan labu diletakkan dibawahnya. Pelarut heksana dimasukkan ke dalam labu lemak secukupnya. Selanjutnya dilakukan refluks selama 6 jam sampai pelarut yang turun kembali ke dalam lemak berwarna jernih.
Pelarut yang ada dalam lemak didestilasi, dan pelarut ditampung kembali. Kemudian labu yang
berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven 105oC untuk menguapkan sisa pelarut hingga
mencapai berat konstan, kemudian didinginkan dalam desikator. Selanjutnya labu beserta lemak didalamnya ditimbang dan berat lemak diketahui.
Kadar lemak dihitung dengan menggunakan rumus pada Persamaan 7.
Kadar lemak (%bb) = % (7)
4. Kadar Protein
Kadar protein diukur dengan menggunakan penentuan N-Total cara semi Mikro-Kjeldahl. Labu takar 100 ml diisi dengan 5 gram sampel serta diencerkan dengan aquades sampai tanda yang telah ditentukan lalu diambil 10 ml dari larutan tersebut dan dimasukkan ke dalam labu Kjeldahl 500 ml dan tambahkan 10 ml H2S04 (93-98% bebas N). Ditambahkan 5 gram campuran Na2SO4-HgO (20 : 1) untuk katalisator. Kemudian dididihkan sampai jernih dan lanjutkan pendidihan selama 30 menit. setelah dingin, dinding labu Kjeldahl dicuci dengan aquades dan dididihkan kembali selama 30 menit.
setelah dingin ditambahkan 140 ml aquades, dan ditambahkan 35 ml larutan Na2S2O3 dan beberapa
butiran zink. Kemudian dilakukan proses distilasi, yaitu distilat ditampung sebanyak 100 ml dalam Erlenmeyer yang berisi 25 ml larutan jenuh asam borat dan beberapa tetes indikator metil merah/metilen biru. Lalu titrasi larutan yang diperoleh dengan 0,02 HCl. Setelah itu menghitung total N atau % protein dalam contoh. Perhitungan jumlah total N dapat menggunakan rumus pada Persamaan 8.
Jumlah total N = , / (8)
dimana :
5. Kekerasan
Uji kekerasan diukur berdasarkan tingkat ketahanan produk terhadap jarum penusuk dari Rheometer DX-500. Uji kekerasan dilakukan dengan dua kali pengulangan. Keripik ikan ditekan oleh plunyer, beban maksimum 10 kg, plunyer akan bergerak dengan kecepatan tertentu hingga keripik pecah.
6. Warna
Pengukuran perubahan warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter Minolta tipe CR-400. Data warna yang dinyatakan dengan nilai L (kecerahan), nilai a (warna kromatik), dan nilai b (waqrna kromatik biru kuning). Nilai L menyatakan kecerahan (cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu-abu, dan hitam), bernilai 0 untuk warna hitam dan bernilai 100 untuk warna putih. Nilai L yang semakin besar menunjukkan irisan produk semakin rusak karena warnanya semakin pucat. Nilai a menyatakan warna akromatik merah hijau, bernilai +a dari 0-100 untuk warna merah dan bernilai a dari 0-(-80) untuk warna hijau. Nilai a yang semakin besar menunjukkan irisan produk semakin mendekati kebusukan. Pengujian dilakukan dengan menempelkan sensor pada produk dan menembakkan sinar pada tiga bagian yang berbeda. Nilai b positif berkisar antara 0 sampai +70 yang menyatakan intensitas warna kuning sedangkan nilai b negatif yang menyatakan intensitas warna biru berkisar antara 0 sampai -80.
7. Uji Organolepetik
Uji organoleptik yang akan digunakan adalah uji hedonik (kesukaan), yang menyangkut penilaian 15 orang panelis terhadap sifat produk. Dalam uji ini, panelis diminta tanggapannya mengenai kesukaan atau ketidaksukaannya. Pengujian ini menggunakan skor dengan tujuh skala kesukaan. Parameter yang diuji secara organoleptik dari keripik ikan ini adalah rasa, warna, aroma, dan kerenyahan.
8. Uji Pembobotan
Dalam uji pembobotan, panelis diminta memberikan peringkat terhadap empat kriteria mutu dari produk keripik yang diujikan pada uji organoleptik. Empat kriteria mutu tersebut antara lain rasa, warna, aroma, dan kerenyahan. Pengurutannya adalah sebagai berikut : 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = agak penting, 1 = tidak penting.
Kriteria mutu dihitung dari rata-rata skor peringkat dengan menggunakan rumus pada Persamaan 9.
% ∑ %
dimana ∑n = (1+2+3=4)
Nilai uji pembobotan = (% bobot a x skor a) + (% bobot b x skor b) +
(% bobot c x skor c) + (% bobot d x skor d) (10)
Keterangan :
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengaruh Suhu dan Lama Penggorengan Hampa terhadap Karakteristik
Keripik Ikan Tongkol
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh suhu dan lama penggorengan terhadap parameter mutu dan organoleptik, serta menentukan suhu dan waktu penggorengan yang optimal dilihat dari uji fisikokimia dan pembobotan. Berdasarkan hasil uji lanjut dengan menggunakan DMRT (Duncan Multiple Range Test), parameter yang dipengaruhi oleh besarnya suhu serta waktu penggorengan adalah rendemen, kadar air, kadar lemak, serta kadar protein.
Menurut Trilaksani (2004) dalam Pemanfaatan Protein Ikan Mujair (Oreochromis
Mossambicus Peters.) suhu minyak yang digunakan pada proses penggorengan ikan segar dengan
menggunakan metode deep-frying atau penggorengan pada tekanan lingkungan adalah sebesar 170ºC.
Berdasarkan hasil percobaan, proses penggorengan hampa keripik ikan tongkol yang optimal adalah pada suhu 100ºC selama 90 menit, sedangkan pada proses penggorengan ikan segar dengan
menggunakan metode deep-frying atau penggorengan pada tekanan lingkungan adalah sebesar 170ºC.
Oleh karena itu, dengan dilakukan proses penggorengan hampa pada keripik ikan tongkol, dapat menurunkan suhu minyak saat penggorengan mencapai 70ºC, sehingga kerusakan-kerusakan yang pada umumnya terjadi selama proses penggorengan pada tekanan lingkungan dapat dihindari.
Hasil produk keripik ikan tongkol dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Keterangan :
A1 : 80oC B1 : 80 menit
A2 : 90 oC B2 : 90 menit
A3 : 100 oC B3 : 100 menit
1. Rendemen Keripik Ikan
Ikan tongkol yang digunakan adalah daging ikan segar yang banyak tersedia di pasar yang biasa digunakan untuk konsumsi rumah tangga di wilayah tersebut. Rendemen keripik ikan tongkol mempunyai nilai rata-rata sebesar 18,03%. Rendemen yang dimaksud merupakan hasil presentase perbandingan antara berat keripik ikan tongkol yang dihasilkan oleh proses penggorengan hampa (vacuum frying) dengan berat ikan tongkol segar yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan keripik ikan tongkol. Rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan suhu 80ºC dengan waktu 80 menit, 90 menit, dan 100 menit yaitu sebesar 19,74% dan terendah terdapat pada perlakuan 100ºC dengan waktu 100 menit dengan rendemen 15,90% (Gambar 10). Perbedaan tingkat rendemen ini berhubungan dengan kandungan minyak dan kadar air yang masih tinggi di dalam produk keripik, dimana kandungan minyak dan kadar air tertinggi terdapat pada perlakuan suhu 80ºC dengan waktu 80 menit, 90 menit, dan 100 menit yang mengakibatkan tidak sempurnanya penguapan air dalam produk sehingga penyerapan (absorbsi) minyak kedalam bahan berlangsung cepat ditandai dengan
belum terbentuknya renyahan (crust) di permukaan produk.
Dari gambar 10 dapat dilihat bahwa semakin tinggi suhu penggorengan, maka rendemen hasil keripik ikan akan semakin kecil, begitu juga sebaliknya. Hal ini disebabkan karena panas yang berasal dari minyak goreng yang diserap oleh bahan tersebut akan menguapkan kandungan air yang terkandung di dalam bahan, sehingga mengurangi rendemen hasil keripik ikan yang digoreng. Semakin tinggi suhu penggorengan maka semakin banyak air yang diuapkan, sehingga rendemen yang dihasilkan akan semakin kecil. Waktu yang dibutuhkan untuk penggorengan berbanding terbalik dengan rendemen yang dihasilkan. Semakin lama waktu penggorengan maka semakin banyak air yang diuapkan, sehingga rendemen yang dihasilkan akan semakin kecil. Menurut Winarti (2000), hubungan nilai rendemen dengan kadar air adalah berbanding lurus, yaitu semakin rendah kadar air yang terkandung dalam bahan, maka akan semakin rendah pula nilai rendemen yang dihasilkan, karena jumlah air yang diuapkan semakin besar. Hallstrom (1980) menyebutkan bahwa saat terjadi peningkatan suhu, kapasitas pengikatan air akan menurun dan air akan menguap. Menurut Irawan (1992), kehilangan air paling banyak jumlah nya akan semakin bertambah dengan meningkatnya suhu penggorengan.
.
Gambar 10. Nilai Rendemen Keripik Ikan
19.74 19.74 19.74 19.47
18.09 17.27
16.19 16.19 15.90
0 5 10 15 20 25
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Rendemen
(%)
Berdasarkan analisis sidik ragam terhadap uji rendemen (Lampiran 5a), nilai-p(0.0030) < alpha 5% maka signifikan, yang artinya minimal ada satu perlakuan memberikan respon berbeda atau rendemen berbeda nyata.
Berdasarkan uji lanjut Duncan, (Lampiran 5b), menunjukkan bahwa keripik ikan tongkol yang memiliki rendemen tertinggi adalah hasil penggorengan dengan suhu 80ºC dan waktu penggorengan 80 menit, 90 menit, dan 100 menit. Pada Tabel 6 dapat diamati bahwa perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%, sedangkan perlakuan yang tidak diikuti dengan huruf yang sama maka akan memberikan respon yang berbeda nyata.
Tabel 6. Uji lanjut DMRT terhadap Nilai Rendemen
Perlakuan Nilai
A1B1 19.74a
A1B2 19.74a
A1B3 19.74a
A2B1 19.47a
A2B2 18.09ab
A2B3 17.27bc
A3B1 16.19bc
A3B2 16.19bc
A3B3 15.90c
Dalam penentuan keripik ikan terbaik hasil penggorengan, dipilih keripik ikan yang memiliki
rendemen keripik ikan tertinggi. Penggorengan dengan waktu 80 menit dan suhu 800C, 900C, 1000C
serta 90 menit dan suhu 80 menit memiliki nilai rendemen tertinggi dan tidak berbeda nyata. Berdasarkan hasil pembobotan dari uji organoleptik, nilai tertinggi terdapat pada perlakuan
penggorengan selama 100 menit dan suhu 900C, sedangkan rendemen pada perlakuan penggorengan
tersebut tidak berbeda nyata dengan suhu 900C dan waktu 100 menit, serta suhu 1000C dengan waktu
90 menit dan 100 menit.
2. Kadar Air Keripik Ikan
Berdasarkan uji fisik menggunakan oven didapatkan nilai rata-rata kadar air keripik ikan
tongkol yaitu 10,44%. Kadar air tertinggi terdapat pada produk dengan perlakuan suhu 800C dan
waktu 90 menit yaitu 13,88 % dan kadar air terendah diperoleh pada produk dengan perlakuan suhu
1000C dengan waktu 100 menit yaitu 5,63% (Gambar 11). Penurunan kadar air disebabkan karena
Gambar 11. Nilai Kadar Air Keripik Ikan
Besarnya kadar air pada keripik ikan akan mempengaruhi lama penyimpanan rasa dan juga kerenyahan keripik ikan. Nilai kadar air yang rendah akan menjadikan kualitas produk keripik ikan lebih baik. Baumann dan Escher (1995) mengatakan bahwa nilai kadar air akan meningkat dengan adanya penurunan suhu yang dilakukan selama proses penggorengan.
Menurut Sothornvit (2011) kadar air pada keripik hasil penggorengan hampa sangat mempengaruhi perubahan tekstur yang terjadi pada produk yang digoreng. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Garayo dan Moreira (2002) menunjukkan bahwa kehilangan kadar air selama proses penggorengan menunjukkan karakteristik dari proses penggorengan. Proses penggorengan secara umum terbagi menjadi tiga periode. Periode pertama merupakan proses pemanasan awal, pada proses
penggorengan hampa (vacuum frying) periode pertama memiliki waktu yang sangat singkat, oleh
karena itu sangat sulit untuk dianalisa lebih lanjut. Toledo (1991) mengatakan bahwa ketika nilai kadar air sangat kecil dan permukaan produk sangat kering, laju pengeringan menurun dan memasuki laju periode yang menurun. Penelitian yang dilakukan oleh Andres et all (2010) mengenai proses
penggorengan hampa pada produk fillet Sparus aurata menunjukkan bahwa kadar air dengan suhu
yang digunakan untuk penggorengan memiliki hubungan yang negatif. Semakin tinggi suhu penggorengan, maka kadar air yang dihasilkan akan semakin rendah.
Berdasarkan analisis sidik ragam terhadap uji kadar air (Lampiran 5c), nilai-p(0.0001) < alpha 5% maka signifikan, yang artinya minimal ada satu perlakuan memberikan respon berbeda atau kadar air berbeda nyata.
Berdasarkan uji lanjut Duncan, (Lampiran 5d), menunjukkan bahwa keripik ikan tongkol yang memiliki kadar air terendah adalah hasil penggorengan dengan suhu 100ºC dan waktu penggorengan 90 menit. Pada Tabel 7 dapat diamati bahwa perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%, sedangkan perlakuan yang tidak diikuti dengan huruf yang sama maka akan memberikan respon yang berbeda nyata.
12.75 13.87
19.94
13.82
6.37
10.31
5.69 5.56 5.63
0 5 10 15 20 25
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Kadar
Air
(%)
Tabel 7. Uji lanjut DMRT terhadap Nilai Kadar Air Perlakuan Nilai A1B3 19.94a A1B2 13.87b A2B1 13.82b A1B1 12.75b A2B3 10.31c A2B2 6.37d A3B1 5.69d A3B3 5.63d A3B2 5.56d
Dalam penentuan keripik ikan terbaik hasil penggorengan, dipilih keripik ikan yang memiliki kandungan kadar air rendah. Kandungan kadar air terendah terdapat pada perlakuan penggorengan dengan suhu 100 ºC dan waktu 90 menit.
3. Kekerasan Keripik Ikan Tongkol
Kekerasan keripik ikan diukur menggunakan alat Rheometer. Nilai kekerasan yang terukur
menunjukkan kerenyahan dari suatu keripik ikan. Sothornvit (2011) menjelaskan bahwa kerenyahan merupakan parameter yang sangat penting dari produk hasil penggorengan. Menurut Kita et al (2007) karakteristik dari kekerasan atau kerenyahan yang dimiliki oleh produk keripik hasil penggorengan
berubah selama proses penggorengan hampa (vacuum frying). Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Kita et al (2007) mengenai proses penggorengan hampa (vacuum frying) keripik
kentang, nilai kekerasan akan semakin rendah jika kadar lemak yang dihasilkan lebih rendah, atau keripik hasil penggorengan akan semakin renyah jika kandungan lemak yang terkandung rendah. Pada penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Kita et al (2005) menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kekerasan dengan kandungan asam lemak. Kekerasan dari keripik kentang akan meningkat dengan meningkatnya asam lemak jenuh dan kadar asam lemak trans-isomer. Nilai kekerasan yang semakin kecil menunjukkan produk keripik ikan yang semakin renyah (Gambar 12).
Gambar 12. Nilai Kekerasan Keripik Ikan
2.17 1.97 2.40 2.11 1.38 2.00 2.96 1.25 1.55 0 1 1 2 2 3 3 4
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Kekerasan
(Kg/cm2)
Rata-rata nilai kekerasan keripik ikan adalah sebesar 1.98 Kgf/cm2. Produk keripik ikan yang
paling keras yaitu dengan perlakuan suhu 1000C dengan waktu 80 menit yaitu 2,95 Kgf/cm2, hal ini
menunjukkan keripik ikan kurang renyah karena berkaitan dengan karateristik dari protein ikan yang tidak stabil dan mempunyai sifat dapat berubah atau denaturasi dengan berubahnya kondisi lingkungan. Apabila protein tersebut dipanaskan seperti proses penggorengan, protein ikan tersebut akan menggumpal atau terkoagulasi (Junianto, 2003). Produk keripik yang paling renyah yaitu ditandai dengan rendahnya nilai kekerasan, produk yang paling renyah yaitu dengan perlakuan suhu
1000C dengan waktu 90 menit yaitu 0.90 Kgf/cm2.
Nilai kekerasan berkaitan dengan kerenyahan, dimana semakin rendah nilai kekerasan produk,
maka gaya yang dibutuhkan oleh alat Rheometer akan semakin rendah, sehingga produk semakin
renyah. Besarnya kekerasan hasil pengujian keripik ikan memiliki nilai yang berfluktuasi. Hal ini disebabkan karena bentuk, ukuran dan ketebalan fillet ikan sebelum digoreng yang tidak seragam. Berdasarkan hasil percobaan yang dilakukan, besarnya nilai kekerasan akan semakin kecil dengan tinggi nya suhu penggorengan dan waktu penggorengan yang lebih lama. Hal ini berkaitan dengan jumlah air yang menguap dari produk lebih banyak dengan tingginya suhu dan lamanya waktu penggorengan, sehingga kadar air produk rendah dan produk akan semakin renyah. Menurut Garayo, Moreira (2002) nilai kekerasan akan bertambah dengan meningkatnya suhu minyak serta penurunan
tekanan penggorengan hampa (vacuum frying).
Berdasarkan analisis sidik ragam terhadap uji kekerasan (Lampiran 5e), nilai-p(0.2317) > alpha 5% maka tidak signifikan, yang artinya semua perlakuan memberikan respon kekerasan yang tidak berbeda nyata.
Berdasarkan uji lanjut Duncan, (Lampiran 5f), menunjukkan bahwa keripik ikan tongkol yang memiliki nilai kekerasan terendah adalah hasil penggorengan dengan suhu 100ºC dan waktu penggorengan 90 menit. Pada Tabel 8 dapat diamati bahwa perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%, sedangkan perlakuan yang tidak diikuti dengan huruf yang sama maka akan memberikan respon yang berbeda nyata.
Tabel 8. Uji lanjut DMRT terhadap Nilai Kekerasan
Perlakuan Nilai
A3B1 2.96a
A1B3 2.40a
A1B1 2.17a
A2B1 2.11a
A2B3 2.00a
A1B2 1.97a
A3B3 1.55a
A2B2 1.38a
4. Warna Keripik Ikan
Warna keripik ikan diuji menggunakan Chromameter. Nilai L (Lightness) adalah nilai yang
menyatakan tingkat kecerahan bahan dan berkisar antara 0 (hitam) sampai 100 (putih). Data warna dinyatakan dalam nilai L (kecerahan), a (warna kromatik hijau merah), dan nilai b (warna kromatik biru kuning). Rata-rata nilai L keripik ikan sebesar 27,58. Nilai L yang paling besar (paling cerah)
adalah dengan perlakuan suhu 800C dengan waktu 100 menit yaitu 29,84 dan yang memiliki L
terendah yaitu 24.88 pada suhu 1000C waktu 100 menit. Menurut Winarti (2000), terjadi penurunan
kecerahan yang disebabkan oleh reaksi pencoklatan non-enzimatis yang dipercepat prosesnya oleh panas.
Menurut Sothornvit (2011), secara umum warna memberikan peran penting dalam proses penentuan serta pemilihan produk yang akan diterima oleh panelis. Proses pengupasan kulit serta penambahan kecepatan sentrifugasi pada keripik pisang dengan penggorengan hampa akan meningkatkan nilai L dibandingkan dengan perlakuan terkontrol. Proses pengupasan kulit tersebut akan meningkatkan kekuningan keripik pisang yang dapat ditunjukkan dengan meningkatnya nilai b (warna kromatik biru kuning). Berdasarkan uji lanjut yang dilakukan, hubungan antara proses pengupasan dengan penambahan kecepatan sentrifugasi tidak memberikan perbedaan nyata terhadap parameter warna yang meliputi nilai L, a dan b. Menurut Garayo dan Moreira (2002) parameter warna tidak secara signifikan dipengaruhi oleh suhu minyak serta tekanan penggorengan hampa. Martinez
(2010) menjelaskan bahwa proses penggorengan hampa (vacuum frying) mengurangi degradasi warna
yang mungkin terjadi apabila dilakukan dengan penggorengan pada umumnya. Besarnya nilai L pada percobaan keripik ikan dapat diamati pada Gambar 13.
Gambar 13. Nilai L Keripik Ikan
Berdasarkan analisis sidik ragam terhadap uji kecerahan (L) (Lampiran 5g), nilai-p(0.4750) > alpha 5% maka tidak signifikan, yang artinya semua perlakuan memberikan respon kecerahan (L) yang tidak berbeda nyata.
Berdasarkan uji lanjut Duncan, (Lampiran 5h), menunjukkan bahwa keripik ikan tongkol yang memiliki nilai kecerahan (L) tertinggi adalah hasil penggorengan dengan suhu 80ºC dan waktu penggorengan 100 menit. Pada Tabel 9 dapat diamati bahwa perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%, sedangkan perlakuan yang tidak diikuti dengan huruf yang sama maka akan memberikan respon yang berbeda nyata.
28.74
25.48
29.84 28.83 29.20 28.62
25.44 28.32 23.76
0 5 10 15 20 25 30 35
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Nilai
L
Tabel 9. Uji lanjut DMRT terhadap Nilai Kecerahan (L)
Perlakuan Nilai
A1B3 29.84a
A2B2 29.20a
A2B1 28.83a
A1B1 28.74a
A2B3 28.62a
A3B2 28.32a
A1B2 25.48a
A3B1 25.44a
A3B3 23.76a
Parameter warna selanjutnya adalah nilai a yang berkisar antara 0 sampai +100 (intensitas warna kemerahan) dan 0 sampai -80 (intensitas kehijauan). Nilai a keripik ikan hasil percobaan
memiliki rata-rata sebesar 6.32. Nilai a tertinggi yaitu 8,04 pada suhu 1000C dengan waktu 80 menit
yang berarti warna masih termasuk dalam warna merah dan nilai terendah yaitu 4,99 pada suhu 900C
waktu 80 menit. Besarnya nilai a yang dihasilkan pada masing-masing percobaan dapat diamati pada Gambar 14.
Gambar 14. Nilai a Keripik Ikan
Berdasarkan analisis sidik ragam terhadap uji kecerahan (L) (Lampiran 5i), nilai-p(0.6520) > alpha 5% maka tidak signifikan , yang artinya semua perlakuan memberikan respon a yang tidak berbeda nyata.
Berdasarkan uji lanjut Duncan, (Lampiran 5j), menunjukkan bahwa keripik ikan tongkol yang memiliki nilai a terendah adalah hasil penggorengan dengan suhu 90ºC dan waktu penggorengan 80 menit.. Pada Tabel 10 dapat diamati bahwa perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama tidak
6.08
5.33
6.91
4.99
5.78
6.61
8.04
6.94
6.22
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Nilai
a
berbeda nyata pada DMRT 5%, sedangkan perlakuan yang tidak diikuti dengan huruf yang sama maka akan memberikan respon yang berbeda nyata.
Tabel 10. Uji lanjut DMRT terhadap Nilai a
Perlakuan Nilai
A3B1 8.04a
A3B2 6.94a
A1B3 6.91a
A2B3 6.61a
A3B3 6.22a
A1B1 6.08a
A2B2 5.78a
A1B2 5.33a
A2B1 4.99a
Parameter warna lain yang digunakan adalah nilai b. Nilai b menunjukkan warna kekuningan atau kebiruan. Nilai b yang berkisar antara 0 sampai +70 menyatakan intensitas warna kuning, sedangkan 0 sampai -80 menyatakan intensitas warna biru. Nilai b yang dihasilkan keripik ikan berkisar antara 7.678 – 10.638 yang menunjukkan intensitas warna kekuningan lebih dominan. Nilai b
tertinggi yaitu pada suhu 800C dengan waktu 100 menit dengan nilai 10.638 dan terendah pada suhu
900C watu 80 menit dengan nilai 7,678. Besarnya nilai b yang dihasilkan pada masing-masing
percobaan dapat diamati pada Gambar 15.
Gambar 15. Nilai b Keripik Ikan
10.46
8.23
10.64
7.68
8.37 8.69
9.25
8.89
7.73
0 2 4 6 8 10 12
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Nilai
b
Berdasarkan analisis sidik ragam terhadap nilai b (Lampiran 5k), nilai-p(0.5561) > alpha 5% maka tidak signifikan , yang artinya semua perlakuan memberikan respon b yang tidak berbeda nyata. Berdasarkan uji lanjut Duncan, (Lampiran 5l), menunjukkan bahwa keripik ikan tongkol yang memiliki nilai b terendah adalah hasil penggorengan dengan suhu 90ºC dan waktu penggorengan 80 menit. Pada Tabel 11 dapat diamati bahwa perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%, sedangkan perlakuan yang tidak diikuti dengan huruf yang sama maka akan memberikan respon yang berbeda nyata.
Tabel 11. Uji lanjut DMRT terhadap Nilai b
Perlakuan Nilai
A1B3 10.64a
A1B1 10.46a
A3B1 9.25a
A3B2 8.89a
A2B3 8.69a
A2B2 8.37a
A1B2 8.23a
A3B3 7.73a
A2B1 7.68a
5. Kadar Protein Keripik Ikan tongkol
Kadar protein keripik ikan rata-rata sebesar 68.85%. Kadar protein keripik ikan tertinggi
terdapat pada perlakuan dengan suhu 1000C dan waktu 80 menit, yaitu sebesar 75.09%. sedangkan
nilai kadar protein terendah terdapat pada perlakuan dengan suhu 800C dan waktu 80 menit, dengan
nilai kadar protein sebesar 65.51%. Besarnya nilai kadar protein keripik ikan tongkol dapat diamati pad Gambar 16.
Gambar 16. Nilai Kadar Protein Keripik Ikan
65.51 66.03 65.74
66.64 67.64
71.25
75.09
72.62
69.14
60 62 64 66 68 70 72 74 76
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Kadar
Protein
(%)
Berdasarkan analisis sidik ragam terhadap uji protein (Lampiran 5m), nilai-p(0.0091) < alpha 5% maka signifikan, yang artinya minimal ada satu perlakuan memberikan respon berbeda atau kadar protein berbeda nyata.
Berdasarkan uji lanjut Duncan, (Lampiran 5n), menunjukkan bahwa keripik ikan tongkol yang memiliki kadar protein tertinggi adalah hasil penggorengan dengan suhu 100ºC dan waktu penggorengan 80 menit. Pada Tabel 12 dapat diamati bahwa perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%, sedangkan perlakuan yang tidak diikuti dengan huruf yang sama maka akan memberikan respon yang berbeda nyata.
Tabel 12. Uji lanjut DMRT terhadap Kadar Protein
Perlakuan Nilai
A3B1 75.09a
A3B2 72.62ab
A2B3 71.25abc
A3B3 69.14bcd
A2B2 67.64cd
A2B1 66.64cd
A1B2 66.03d
A1B3 65.74d
A1B1 65.51d
Dalam penentuan keripik ikan terbaik hasil penggorengan, dipilih keripik ikan yang memiliki kandungan kadar protein tinggi. Kadar protein tertinggi terdapat pada perlakuan penggorengan dengan
suhu 1000C dan waktu 80 menit dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan penggorengan pada suhu
1000C dan waktu 90 menit. Hal ini sesuai dengan hasil pembobotan organoleptik, yaitu perlakuan
dengan suhu 1000C dan waktu 90 menit memiliki nilai bobot tertinggi.
6. Kadar Lemak Keripik Ikan tongkol
Kadar lemak keripik ikan rata-rata sebesar 22.17%. Kadar lemak keripik ikan tertinggi terdapat
pada perlakuan dengan suhu 800C dan waktu penggorengan 80 menit, yaitu sebesar 65.51%.
sedangkan nilai kadar lemak terendah terdapat pada perlakuan dengan suhu 1000C dan waktu 80
menit, dengan nilai kadar protein sebesar 9.95%. Menurut Sothornvit (2011) pengurangan kandungan minyak yang terkandung di dalam produk hasil penggorengan merupakan proses yang paling penting dalam proses penggorengan hampa, baik untuk produsen penghasil produk maupun untuk konsumen.
Gambar 17. Nilai Kadar Lemak Keripik Ikan
Berdasarkan analisis sidik ragam terhadap uji protein (Lampiran 5o), nilai-p(0.0001) < alpha 5% maka signifikan, yang artinya minimal ada satu perlakuan memberikan respon berbeda atau kadar lemak berbeda nyata.
Berdasarkan uji lanjut Duncan, (Lampiran 5p), menunjukkan bahwa keripik ikan tongkol yang memiliki kadar lemak terendah adalah hasil penggorengan dengan suhu 100ºC dan waktu penggorengan 80 menit. Pada Tabel 13 dapat diamati bahwa perlakuan yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%, sedangkan perlakuan yang tidak diikuti dengan huruf yang sama maka akan memberikan respon yang berbeda nyata.
Tabel 13. Uji lanjut DMRT terhadap Kadar Lemak
Perlakuan Nilai
A1B1 65.51a
A2B1 25.62b
A3B3 23.83b
A1B2 21.07c
A1B3 15.18c
A3B2 13.52cd
A2B2 13.06cd
A2B3 11.76d
A3B1 9.95d
Dalam penentuan keripik ikan terbaik hasil penggorengan, dipilih keripik ikan yang memiliki kandungan kadar lemak rendah. Kadar lemak terendah terdapat pada perlakuan penggorengan dengan
suhu 1000C dan waktu 80 menit dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan penggorengan pada suhu
1000C dan waktu 90 menit. Hal ini sesuai dengan hasil pembobotan organoleptik, yaitu perlakuan
dengan suhu 1000C dan waktu 90 menit memiliki nilai bobot tertinggi.
65.51
21.07
15.18
25.62
13.06 11.76
9.95 13.52
23.83
0 10 20 30 40 50 60 70
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Kadar
Lemak
(%)
[image:32.595.272.364.479.657.2]Menurut Kita et al (2007) dan Sothornvit (2011), besarnya kadar lemak yang diserap oleh produk tergantung pada tipe minyak yang digunakan untuk penggorengan, suhu yang digunakan selama penggorengan, serta komposisi produk yang meliputi kadar air, kandungan lemak, serta kandungan protein. Garayo dan Moreira (2002) serta Gamble et al (1987) menyebutkan bahwa hubungan antara kadar lemak yang terkandung dalam produk dengan suhu penggorengan yang digunakan adalah berbanding lurus. Semakin tinggi suhu penggorengan yang digunakan maka kadar lemak yang terkandung dalam produk akan semakin tinggi.
7. Uji Organoleptik
Penelitian yang dilakukan oleh Sothornvit (2011) mengenai proses penggorengan hampa pada keripik pisang, uji organoleptik yang dilakukan oleh panelis meliputi parameter warna, rasa, kerenyahan, kandungan minyak, serta kualitas secara keseluruhan. Secara umum, warna memberikan peran yang sangat penting dalam proses penentuan serta pemilihan produk yang diterima oleh panelis.
Untuk mengevaluasi penerimaan produk hasil penggorengan dilakukan uji organoleptik (Meilgrarrd, 1999). Sejak uji organoleptik dapat dipertimbangkan sebagai skala interval, hal itu dapat juga dilakukan secara analisis statistik menggunakan ANOVA (analysis of variance). Meskipun demikian, peneliti lain berpendapat bahwa uji organoleptik merupakan cara terbaik untuk dipertimbangkan sebagai evaluasi penerimaan produk hasil penggorengan (Stroh, 1998)
a. Warna
Warna merupakan salah satu parameter mutu makanan yang penting, terutama dalam pemasaran makanan tersebut. Sebelum faktor mutu lainnya dipertimbangkan seperti rasa, tekstur, dan aroma, secara visual faktor warna makanan tampil lebih dahulu. Keripik ikan yang dihasilkan dalam penelitian ini berwarna kecokelatan.
Perlakuan dengan suhu 90ºC dengan waktu 80 menit menghasilkan produk dengan warna yang paling disukai panelis. Hal ini karena warna produk yang mengalami penggorengan dengan suhu 90ºC dengan waktu 80 menit memiliki warna coklat yang menarik dibandingkan dengan produk yang digoreng dengan suhu yang lebih tinggi dan waktu yang lebih lama. Sedangkan produk lain yang juga
disukai panelis adalah dengan perlakuan suhu 900C dengan waktu 100 menit. Hasil organoleptik
[image:33.595.111.506.514.719.2]dengan parameter warna dapat diamati pada Gambar 18.
Gambar 18. Nilai Warna Pengujian Organoleptik
5.60 4.40 6.27 5.80 6.00 5.53 4.53 5.40 3.93 0 1 2 3 4 5 6 7
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Hasil
Organolpetik
b. Rasa
[image:34.595.114.519.162.401.2]Nilai uji organoleptik rata-rata terhadap rasa`keripik ikan adalah 4,67. Produk dengan rasa yang paling disukai adalah produk yang mengalami proses penggorengan dengan suhu 100ºC selama 90 menit dan produk yang tidak disukai adalah produk yang digoreng pada suhu 80ºC selama 80 menit (Gambar 24). Perbedaan kesukaan terhadap rasa ini berhubungan dengan rasa ikan pada keripik ikan tersebut, dimana semakin rendah suhu dan waktu penggorengan, maka rasa keripik kurang memiliki khas dan cita rasa ikan yang diharapkan, sedangkan produk dengan suhu penggorengan yang tinggi dan waktu penggorengan lama, memiliki rasa yang khas dan cita rasa ikan yang diharapkan. Hasil organoleptik dengan parameter rasa dapat diamati pada Gambar 19.
Gambar 19. Grafik Nilai Rasa Pengujian Organoleptik
c. Kerenyahan
Tekstur keripik yang disukai umumnya adalah tekstur yang renyah. Nilai kerenyahan rata-rata keripik daging adalah 4.90. Nilai kerenyahan keripik ikan berkisar antara 3.31 sampai 6.33 (netral sampai dengan suka). Produk dengan kerenyahan yang paling disukai adalah produk yang mengalami proses penggorengan dengan suhu 90ºC selama 100 menit dan produk yang tidak disukai adalah produk yang digoreng pada suhu 80ºC selama 80 menit. Hal ini disebabkan karena produk yang digoreng pada suhu 80ºC selama 80 menit memiliki tingkat kerenyahan terendah, karena belum
terbentuknya crust (renyahan) akibat belum terjadinya penguapan air secara cepat dan merata pada
seluruh bagian produk yang digoreng, sehingga tekstur yang dihasilkan masih lunak. Hasil organoleptik dengan parameter kerenyahan dapat diamati pada Gambar 20.
3.40 3.73
4.13 4.20 4.40
5.67 5.53 6.00
5.00
0 1 2 3 4 5 6 7
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
HAsil
Organoleptik
Gambar 20. Grafik Nilai Kerenyahan Pengujian Organoleptik
d. Aroma
Dalam hal ini aroma yang diharapkan tentu aroma yang khas dari produk yang akan digoreng. Nilai uji organoleptik rata-rata terhadap aroma`keripik ikan adalah 4.82 dengan kisaran antara 3.20 sampai dengan 6.00 (tidak suka sampai suka). Produk dengan aroma yang paling disukai adalah produk yang mengalami proses penggorengan dengan suhu 90ºC selama 90 menit, sedangkan produk yang tidak disukai adalah produk yang digoreng pada suhu 80ºC selama 80 menit. Perbedaan kesukaan terhadap aroma ini diduga berhubungan dengan jumlah minyak yang terserap dalam keripik ikan. Semakin banyak jumlah minyak yang terserap maka aroma keripik akan semakin tidak enak. Hasil organoleptik dengan parameter aroma dapat diamati pada Gambar 21.
Gambar 21. Grafik Nilai Aroma Pengujian Organoleptik
4.80 5.53 4.47 5.33 6.40 6.27 3.80 6.80 6.00 0 1 2 3 4 5 6 7 8
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Hasil
Organoleptik
Percobaan
4.00
5.60 5.87 5.40
6.07 6.20 6.60 6.00 5.47 0 1 2 3 4 5 6 7
A1B1 A1B2 A1B3 A2B1 A2B2 A2B3 A3B1 A3B2 A3B3
Hasil
Organoleptik
8. Uji Pembobotan
Menurut Sothornvit (2011), kandungan minyak yang terkandung dalam keripik pisang hasil
penggorengan hampa (vacuum frying) dapat memperpendek masa simpan produk dan menyebabkan
penurunan penerimaan panelis atau konsumen.
Beradasarkan hasil pengujian organoleptik, perlakuan suhu dan waktu penggorengan yang memiliki hasil penggorengan terbaik ditentukan dengan uji pembobotan. Panelis diberikan kuisioner mengenai parameter organoleptik keripik, yang meliputi kerenyahan, warna, rasa, dan aroma. Kemudian panelis diminta untuk mengurutkan tiap parameter berdasarkan tingkat kepentingan nya. Pengurutannya adalah sebagai berikut : 4 = sangat penting, 3 = penting, 2 = agak penting, 1 = tidak penting. Hasil dari kuisioner menunjukkan bahwa panelis cenderung mengurutkan parameter rasa pada kepentingan pertama, sehingga parameter rasa memiliki bobot tertinggi, yaitu 34%, kemudian kerenyahan memiliki bobot 32,67%, warna memiliki bobot 10,67%, dan aroma sebesar 22,67%. Selanjutnya nilai rata-rata kesukaan tiap parameter dikalikan dengan bobotnya masing-masing. Hasil perkalian tiap parameter kemudian dijumlahkan untuk mendapatkan skor perlakuan. Perlakuan dengan skor tertinggi adalah perlakuan yang terbaik. Gambar 22 menunjukkan nilai kepentingan pada masing-masing parameter.
Gambar 22. Grafik Nilai Kepentingan Keripik Ikan
34.000 32.667
22.667
10.667
0 5 10 15 20 25 30 35 40
Rasa Kerenyahan Aroma Warna
Tabel 14. Uji Pembobotan Hasil Organoleptik
Perlakuan
Kerenyahan
(%) Rasa (%)
Warna (%)
Aroma
(%) Skor
Suhu Waktu 32,67 34,00 10,67 22,67
800C
80' a 4,80 3,40 5,60 4,00 4,23
b 1,57 1,16 0,60 0,91
90' a 5,53 3,73 4,40 5,60 4,81
b 1,81 1,27 0,47 1,27
100' a 4,47 4,13 6,27 5,87 4,86
b 1,46 1,40 0,67 1,33
900C
80' a 5,33 4,20 5,80 5,40 5,01
b 1,74 1,43 0,62 1,22
90' a 6,40 4,40 6,00 6,07 5,60
b 2,09 1,50 0,64 1,38
100' a 6,27 5,67 5,40 6,20 5,96
b 2,05 1,93 0,58 1,41
1000C
80' a 3,80 5,53 3,87 6,60 5,03
b 1,24 1,88 0,41 1,50
90' a 6,80 6,00 4,07 6,00 6,05
b 2,22 2,04 0,43 1,36
100' a 6,00 5,00 3,73 5,33 5,27
b 1,96 1,70 0,40 1,21
Keterangan : semua skor yang diarsir adalah nilai yang menunjukkan keripik dengan perlakuan penggorengan yang diterima panelis.
Skor penerimaan panelis :
1-3 = Tidak diterima panelis 4 = Netral
5-7 = Diterima panelis
Berdasarkan hasil uji pembobotan, terdapat enam perlakuan penggorengan yang memiliki skor
≥ 5, hal itu menunjukkan bahwa keenam perlakuan hasil penggorengan tersebut dapat diterima oleh
panelis. Dari keenam perlakuan penggorengan tersebut, perlakuan penggorengan yang memiliki nilai
hasil pembobotan terbesar adalah penggorengan dengan suhu 100˚C dan waktu penggorengan 90
Tabel 15. Rekapitulasi Data Hasil Percobaan Keripik Ikan Tongkol Perlakuan Ulangan Parameter Rendemen Kekerasan Kadar Air Kadar Protein Kadar Lemak Warna
(%) (kg/cm2) (%) (%) (%)
Nilai L Nilai a Nilai b A1B1
1 19,74 2,60 13,15 62,66 62,66 27,96 5,83 8,84
2 19,74 1,73 12,34 68,37 68,37 29,53 6,33 12,07
Rata-rata 19,74a 2,17a 12,75b 65,51d 65,51a 28,74a 6,08a 10,46a
A1B2
1 19,74 1,55 13,7 66,20 16,03 23,99 4,73 8,37
2 19,74 2,39 14,05 65,87 26,11 26,98 5,93 8,08
Rata-rata 19,74a 1,97a 13,87b 66,03d 21,07c 25,48a 5,33a 8,23a
A1B3
1 19,74 2,30 18,88 65,23 14,52 29,56 5,93 9,76
2 19,74 2,50 20,99 66,24 15,84 30,12 7,89 11,52
Rata-rata 19,74a 2,40a 19,94a 65,74d 15,18c 29,84a 6,91a 10,64a
A2B1
1 19,74 2,71 14,16 66,84 22,25 31,42 6,47 10,17
2 19,19 1,51 13,48 66,45 28,98 26,24 3,5 5,19
Rata-rata 19,47a 2,11a 13,82b 66,64cd 25,62b 28,83a 4,99a 7,68a
A2B2
1 19,19 1,92 6,53 65,83 14,38 28,85 4,17 7,14
2 16,99 0,84 6,22 69,46 11,74 29,54 7,4 9,59
Rata-rata 18,09ab 1,38a 6,37d 67,64cd 13,06bcd 29,20a 5,78a 8,37a
A2B3
1 18,64 2,50 9,82 72,26 11,56 27,95 8,5 8,97
2 15,9 1,50 10,8 70,24 11,97 29,29 4,72 8,40
Rata-rata 17,27bc 2,00a 10,31c 71,25abc 11,76d 28,62a 6,61a 8,69a
A3B1
1 16,47 3,01 5,65 75,17 9,96 23,84 7,79 8,71
2 15,9 2,90 5,73 75,00 9,95 27,05 8,28 9,80
Rata-rata 16,19bc 2,96a 5,69d 75,09a 9,95d 25,44a 8,04a 9,25a
A3B2
1 16,47 0,90 5,79 74,42 12,9 23,25 7,62 9,08
2 15,9 1,60 5,33 70,83 14,15 33,39 6,26 8,70
Rata-rata 16,19bc 1,25a 5,56d 72,62ab 13,52cd 28,32a 6,94a 8,89a
A3B3
1 15,90 1,90 5,77 67,48 22,04 24,47 6,03 7,53
2 15,90 1,20 5,48 70,8 25,63 23,04 6,41 7,93
Rata-rata 15,90c 1,55a 5,63d 69,14bcd 23,83b 23,76a 6,22a 7,73a
Menurut uji organoleptik, perlakuan yang memenuhi syarat diterima panelis, yaitu hasil uji
pembobotan memiliki skor ≥ 5 adalah perlakuan dengan suhu 90ºC dengan waktu 80 menit (A2B1),
dengan waktu 80 menit (A3B1), suhu 100ºC dengan waktu 90 menit (A3B2), serta perlakuan dengan suhu 100ºC dan waktu 100 menit (A3B3). Namun berdasarkan hasil uji lanjut dengan menggunakan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada perlakuan penggorengan dengan suhu 90ºC dan waktu 80 menit (A2B2) memiliki kadar lemak yang sangat tinggi dan berbeda nyata dengan kelima perlakuan lain, maka perlakuan penggorengan dengan suhu 90ºC dan waktu 80 menit (A2B2) tidak termasuk ke dalam kriteria pemilihan produk.
Berdasarkan hasil uji laboratorium yang meliputi uji rendemen, kekerasan, kadar protein, kadar lemak, serta uji warna maka produk yang termasuk ke dalam kriteria pemilihan produk meliputi perlakuan dengan suhu 90ºC dengan waktu 100 menit (A2B2), suhu 90ºC dengan waktu 100 menit (A2B3), suhu 100ºC dengan waktu 80 menit (A3B1), suhu 100ºC dengan waktu 90 menit (A3B2), serta perlakuan dengan suhu 100ºC dan waktu 100 menit (A3B3).
Berdasarkan uji pembobotan, perlakuan