PROFIL DARAH DAN KONSENTRASI SERUM PROTEIN PADA
DOMBA YANG DIBERI DAUN Moringa oleifera lamk,
Gliricidia sepium dan Artocarpus heterophyllus
SKRIPSI MUSMULYADI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
RINGKASAN
Musmulyadi D24062580. 2011. Profil Darah dan Konsentrasi Serum Protein pada Domba yang Diberi Daun Moringa oleifera lamk, Gliricidia sepium dan
Artocarpus heterophyllus. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS.
Pembimbing Anggota : Prof. Dr. drh. I Wayan Teguh Wibawan, MS.
Pakan hijauan tropis (rambanan) memiliki ciri yaitu kadar protein lebih tinggi dari rumput namun tinggi pula kandungan senyawa sekunder, sehingga ternak yang mengkonsumsi dapat berakibat mengalami perubahan status kesehatan. Beberapa kajian secara in vitro terhadap kecernaan hijauan tropis dengan rasio rumput 70% dan legum 30% menunjukkan bahwa Moringa oleifera lamk (kelor), Gliricidia sepium (gamal) dan Artocarpus heterophyllus (nangka) memiliki nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik lebih tinggi dibanding hijauan Calliandra calohtyrsus dan Leucaena leucocephala. Kandungan senyawa sekunder (saponin) pada ketiga hijauan tersebut berkisar antara 4,65% sampai 5,97%. Dilaporkan bahwa senyawa saponin dapat berperan sebagai immunomodulator atau imunodepresor. Domba dengan status kecukupan nutrien namun terpapar dengan saponin akan mempengaruhi gambaran darah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian kajian tentang status gambaran darah dan kandungan metabolit darah dari domba yang diberi ransum mengandung kelor, gamal dan nangka. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi profil gambaran darah dan konsentrasi serum protein pada domba yang diberi pakan campuran hijauan berupa Moringa oleifera lamk (kelor), Gliricidia sepium (gamal) dan Artocarpus heterophyllus (nangka) dengan rumput lapang.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang Kandang B, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan. Analisa darah dilakukan di laboratorium Fisiologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan metabolit darah di analisis di laboratorium Diagnostik Rumah Sakit Cipto Mangunkusuma Jakarta. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan empat jenis ransum sebagai perlakuan dan empat ulangan. Domba jantan dengan bobot badan 12,56 kg diberi pakan berupa 100% rumput lapang (R1), 70% rumput lapang dan 30% Moringa oleifera (R2), 70% rumput lapang dan 30% Gliricidia sepium (R3), 70% rumput lapang dan 30% Artocarpus heterophyllus (R4). Ransum diberikan secara ad libitum. Pengamatan konsumsi nutrien selama 60 hari. Darah diambil melalui vena jugularis diakhir penelitian. Parameter yang diukur adalah konsumsi bahan kering, protein, saponin dan profil darah yang meliputi eritrosit, hemoglobin, hematokrit, leukosit, limfosit dan neutrofil sedangkan serum protein meliputi total protein, albumin, α dan globulin serta immunoglobulin G. Data yang didapatkan dianalisis dengan analisis sidik ragam (ANOVA) dan untuk rataan perlakuan yang berbeda, maka dilanjutkan dengan Duncan Test.
saponin pada perlakuan R1 nyata lebih rendah (P<0,05) dibanding perlakuan R2, R2 nyata lebih rendah dari R3 dan R3 nyata lebih rendah dari R4. Hasil pengamatan profil darah menunjukkan bahwa persentase hematokrit tertinggi pada perlakuan R4 (P<0,05) sedangkan nilai hemoglobin tertinggi pada perlakuan R2 dan R4 (P<0,05). Persentase limfosit dan neutrofil pada perlakuan R2 nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan perlakuan lainnya, sedangkan untuk jumlah eritrosit dan leukosit pada semua perlakuan tidak berbeda nyata. Serum albumin pada perlakuan R2 juga nyata lebih tinggi (P<0,05) dibandingkan perlakuan lain, namun nilai total protein, persen globulin dan IgG pada semua perlakuan sama.
Kesimpulan dari penelitian ini menunjukkan bahwa konsumsi protein kasar sebesar 63,01 g/e/h pada perlakuan penambahan 30% Moringa oleifera lamk (R2) dengan konsumsi saponin terendah 15,10 g/e/h (dosis optimum) memberikan gambaran haemoglobin, limfosit, neutrofil, dan serum albumin yang lebih tinggi dibanding perlakuan lainnya, yang artinya domba tersebut memiliki ketahanan tubuh yang lebih baik.
ABSTRACT
Blood Profile and Concentration of Serum Protein in Sheep Fed with Moringa oleifera lamk, Gliricidia sepium and Artocarpus heterophyllus
Musmulyadi, D.A. Astuti, & I. W. T. Wibawan
This experiment was conducted to evaluate profile and concentration of serum protein in sheep fed with tropical browse plants. Sixteen male sheep with initial body weight 12.561.41 kg were used in this experiment. The experiment was Completely Randomized Design with 4 treatments and 4 replications. The treatments were: R1 (100% native grass), R2 (70% native grass + 30% Moringa oleifera lamk), R3 (70% native grass + 30% Glicidia sepium), R4 (70% native grass + 30% Artocarpus heterophyllus). Parameters observed included consumption of dry matter and crude protein and blood profile such as erytrocytes, leukocyte, haemoglobin, haematocrit, neutrofil, limphocytes while for serum protein were total protein, albumin, IgG, α and globulin concentrations. Result showed dry matter intake of R3 and R4 were higher than R1 and R2 (P<0.01), while protein intake in R3 was the higheet. The lowest saponin comsumption was in R2 (P<0.05). Data of the blood profil showed that PCV in R2 and R4 were higher than in R1 and R3 (P<0.05), while percentase of lymphocytes and neuthrofil in R2 were the highest. Serum albumin in R2 was also the highest (P<0.05). It was concluded that within protein intake around 54.5 g/h/d in ration R2 (70% grass + 30% Moringa oleifera lamk) and saponin intake 18.15 g/h/d resulted higher haemoglobin, limphocytes, neutrofil and albumin than other treatments
PROFIL DARAH DAN KONSENTRASI SERUM PROTEIN PADA
DOMBA YANG DIBERI DAUN Moringa oleifera lamk,
Gliricidia sepium dan Artocarpus heterophyllus
MUSMULYADI D24062580
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN
Judul : Profil Darah dan Konsentrasi Serum Protein Pada Domba yang Diberi Daun Moringa oleifera lamk, Gliricidia sepium dan
Artocarpus heterophyllus
Nama : Musmulyadi
NIM : D24062580
Menyetujui
Pembimbing Utama, Pembimbing Anggota,
(Prof. Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS) (Prof. Dr. Drh. I Wayan T. Wibawan, MS) NIP: 19611005 198503 2 001 NIP: 19570804198111001
Mengetahui: Ketua Departemen,
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc) NIP: 196705061991031001
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Lakkang kota Makassar Propinsi Sulawesi Selatan pada
tanggal 10 Oktober 1987 dari pasangan bapak Muslimin (Alm) dan ibu Mariati.
Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara.
Pendidikan formal penulis dimulai dari tahun 1994-2000 di Sekolah Dasar
Lakkang, Makassar. Penulis melanjutkan pendidikan di Madrasah Tsanawiyah Guppi
Samata Gowa yang diselesaikan pada tahun 2003. Pendidikan Lanjutan Menengah
Atas diselesaikan pada tahun 2006 di Madrasah Aliyah Guppi Samata Gowa.
Penulis diterima sebagai mahasiswa Tingkat Persiapan Bersama Institut
Pertanian Bogor (IPB) pada tahun 2006, melalui jalur BUD (Beasiswa Utusan
Daerah). Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai salah satu mahasiswa mayor
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan,
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor.
Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di
Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Peternakan sebagai staf BOS (Budaya
Olahraga dan Seni) periode 2007-2008 dan sebagai staf Sosial Lingkungan periode
2008-2009. Selain organisasi intra kampus, penulis juga aktif dalam organisasi
kedaerahan (OMDA) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Tahun 2009-2011
penulis menjabat sebagai ketua Ikatan Keluarga Mahasiswa/Pelajar Indonesia
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat, karunia, dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
penelitian dan penulisan tugas akhir. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan. Skripsi berjudul “Profil Darah dan
Konsentrasi Serum Protein pada Domba yang Diberi Daun Moringa oleifera
lamk, Gliricidia sepium dan Artocarpus heterophyllus” Penelitian ini dilakukan di laboratorium Lapang kandang B Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor dari
bulan Agustus sampai November 2009. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi
gambaran profil darah dan konsentrasi serum protein pada domba yang diberi pakan
daun kelor, gamal dan nangka. Hasil menunjukkan konsumsi protein kasar sebesar
54,5 g/e/h pada perlakuan dengan penambahan 30% Moringa oleifera lamk (R2)
dengan konsumsi saponin terendah (18,15 g/e/h) memberikan gambaran
haemoglobin, limfosit, neutrofil, dan serum albumin yang lebih tinggi dibanding
perlakuan lainnya.
Penulis menyadari bahwa tidak ada sesuatu yang sempurna kecuali Zat-Nya.
Semoga skripsi ini dapat memberi manfaat bagi para pembaca dan ilmu pengetahuan.
Penulis,
DAFTAR ISI
Nangka (Artocarpus heterophyllus) ... 7
Ternak Domba ... 8
Darah ... 9
Eritrosit ... 10
Hemoglobin ... 10
Hematokrit ... 11
Sel Leukosit sebagai Salah Satu Sistem Kekebalan ... 11
Leukosit ... 12
Struktur Imunoglobulin ... 17
Imunoglobulin G ... 18
MATERI DAN METODE ... 19
Materi ... 19
Ternak Percobaan ... 19
Bahan dan Alat ... 19
Metode ... 19
Pelaksanaan Penelitian ... 19
Perlakuan ... 19
Hasil Analisis Proksimat ... 20
Rancangan Percobaan dan Analisis Darah ... 21
Parameter yang Diukur ... 21
Penghitungan Kadar Hemoglobin ... 22
Penghitungan Nilai Hematokrit ... 22
Penghitungan Jumlah Eritrosit ... 23
Penghitungan Jumlah Leukosit ... 23
Penghitungan Deferensiasi Leukosit ... 24
Pengukuran Serum Protein ... 24
Pengukuran Total Protein (Metode Biuret) ... 24
Pengukuran Kadar Albumin dan Globulin (Metode Bromcresol Green) ... 25
Pengukuran Kadar Imunoglobulin (Metode ELISA) ... 25
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 26
Deferensiasi Leukosit ... 31
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Jumlah Kandungan Gizi yang Terdapat pada Daun Kelor Segar .... 5
2. Perbandingan Tingkat Konsentrasi IgG pada Hewan Piara ... 18
3. Hasil Analisis Proksimat Kandungan Nutrien dan Saponin ... 20
4. Kandungan Nutrien Ransum Domba yang Diberi Perlakuan ... 20
5. Konsumsi Nutrien Domba yang Diberi Perlakuan ... 26
6. Jumlah Eritrosit, Hematokrit dan Hemoglobin Domba ... 28
7. Jumlah Leukosit, Limfosit dan Neutrofil Domba ... 30
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Daun Kelor (Moringa oleifera lamk) ... 4
2. Daun Gamal (Gliricidia sepium) ... 6
3. Daun Nangka (Artocarpus heterophyllus) ... 8
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Hasil Analisis Ragam Konsumsi Bahan Kering ... 40
2. Uji Jarak Duncan Konsumsi Bahan Kering ... 40
3. Hasil Analisis Ragam Konsumsi Protein Kasar ... 40
4. Uji Jarak Duncan Konsumsi Protein Kasar ... 40
5. Hasil Analisis Ragam Konsumsi Saponin ... 40
6. Uji Jarak Duncan Konsumsi Saponin ... 41
7. Hasil Analisis Ragam Pertambahan Bobot Badan Harian ... 41
8. Hasil Analisis Ragam Eritrosit ... 41
9. Hasil Analisis Ragam Leukosit ... 41
10. Hasil Analisis Ragam Hemoglobin ... 41
11. Uji Jarak Duncan Hemoglobin ... 41
12. Hasil Analisis Ragam Hematokrit ... 42
13. Uji Jarak Duncan Hematokrit ... 42
14. Hasil Analisis Ragam Neutrofil ... 42
15. Uji Jarak Duncan Neutrofil ... 42
16. Hasil Analisis Ragam Limfosit ... 42
17. Uji Jarak Duncan Limfosit ... 43
18. Hasil Analisis Ragam Total Protein ... 43
19. Hasil Analisis Ragam Albumin ... 43
20. Uji Jarak Duncan Albumin ... 43
21. Hasil Analisis Ragam Alpha Globulin ... 43
22. Hasil Analisis Ragam Beta Globulin ... 44
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Domba sebagai ternak ruminansia yang dipelihara secara tradisional,
memerlukan pakan hijauan sebagai pakan utamanya, sehingga kebutuhan protein
kurang tercukupi. Pemberian rumput yang dicampur dengan legum dan limbah
pertanian akan meningkatkan asupan protein, namun hijauan tersebut mengandung
senyawa sekunder seperti tannin, saponin, mimosin, dan atau kumarin. Senyawa
sekunder tersebut pada dosis tertentu ada yang bermanfaat, tetapi pada jumlah
melbihi batas ambangnya akan mengakibatkan gangguan. Hasil uji in vitro pada 10
jenis hiajauan yang disukai ternak telah dilakukan pada penelitian sebelumnya dan
hasilnya menunjukkan bahwa Moringa oleifera lamk (kelor), Gliricidia sepium
(gamal) dan Artocarpus heterophyllus (nangka) merupakan hijauan tropis yang
sangat potensial untuk diberikan pada domba karena memiliki nilai kecernaan cukup
tinggi (Astuti et al., 2009).
Senyawa sekunder pada kelor, gamal dan nangka berupa saponin dapat
berperan sebagai imunostimulan atau digunakan sebagai adjuvant jika pemberiaanya
sesuai dengan dosis tertentu. Bomford (1980) melaporkan bahwa saponin dapat
berfungsi sebagai anti gen pada membran sel. Nasib makanan yang telah dicerna lalu
diserap dan di transportasikan oleh darah keseluruh organ tubuh yang membutuhkan.
Komponen darah selain metabolit nutrient ada juga sel-sel darah yang berfungsi
sebagai pembawa oksigen dan menentukan status kekebalan tubuh. Hemoglobin
yang merupakan komponen darah tersusun dari senyawa protein (globin), yang
berasal dari asupan pakan dan disintesa dalam tubuh, sehingga apabila asupan
protein domba rendah maka mengakibatkan terjadinya degradasi cadangan protein
tubuh untuk pembentukan hemoglobin. Kombinasi antara rumput dan hijauan tropis
pada skala rasio tertentu diberikan guna memperbaiki status gizi domba dan
diharapkan dapat memperbaiki profil darah dan konsentrasi serum protein sebagai
salah satu indikator sistem kekebalan domba.
Seiring dengan perubahan dan kemajuan pola hidup masyarakat dalam
memenuhi kebutuhan pangan dan asupan gizi protein hewani, maka permintaan
produk hasil peternakan yang berkualitas kian meningkat. Optimalisasi potensi
asupan protein yang mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia Indonesia. Domba
merupakan salah satu ternak ruminansia yang mempunyai potensi cukup besar untuk
dikembangkan dan sebagai sumber protein bagi kehidupan manusia. Beberapa kajian
secara in vitro terhadap kecernaan hijauan tropis dengan rasio rumput 70% dan
legum 30% menunjukkan bahwa Moringa oleifera lamk, Gliricidia sepium dan
Artocarpus heterophyllus memiliki nilai kecernaan bahan kering dan bahan organik
lebih tinggi dibanding hijauan Calliandra calohtyrsus dan Leucaena leucocephala.
Kandungan senyawa sekunder (saponin) pada ketiga hijauan tersebut berkisar antara
4,65% sampai 5,97%. Dilaporkan bahwa senyawa saponin dapat berperan sebagai
immunomodulator atau imunodepresor. Domba dengan status kecukupan nutrien
akan mempengaruhi gambaran darah. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian
kajian tentang status gambaran darah dan kandungan metabolit darah dari domba
yang diberi ransum mengandung kelor, gamal dan nangka.
.
Tujuan
Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi gambaran profil darah dan
konsentrasi serum protein pada domba yang diberi pakan hijauan tropik yang telah
teruji yaitu Moringa oleifera lamk (kelor), Gliricidia sepium (gamal) dan Artocarpus
TINJAUAN PUSTAKA
Hijauan Tropis
Hijauan tropis adalah hijauan yang tumbuh dan beradaptasi di daerah tropis gi
baik itu berupa tanaman leguminosa maupun rumput. Hijauan tropis berupa forage,
silage ataupun roughage merupakan salah satu bahan yang banyak dimanfaatkan
sebagai pakan ternak. Ciri yang dimiliki hijauan tropis yaitu terkait dengan kadar
serat dan kadar antinutrisi (senyawa sekunder) yang cukup banyak, sementara kadar
protein rendah. Pengembangan hijauan pakan ternak di negara tropis bila hanya
mengandalkan rumput, maka perlu mendapat perbaikan, hal ini dikarenakan rata-rata
produksi hijauan rendah, kualitasnya rendah, kurang respon terhadap perbaikan hara
tanah. Adapun hijauan yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Kelor (Moringa oleifera lamk)
Tanaman kelor merupakan tanaman yang memiliki beberapa kelebihan
diantaranya sebagai obat diet, sebagai sumber vitamin A dan suplemen kalsium bagi
ibu menyusui (Fuglie, 2001). Klasifikasi tanaman kelor menurut Syamsuhidayat dan
Hutapea (1991) adalah:
Divisi : Spermatozoa
Sub Divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledonae
Bangsa : Brassicales
Suku : Moringaceae
Marga : Moringa
Jenis : Moringa oleifera Lamk
Nama Umum : Kelor
Nama Daerah : Murong, Barunggae, Kelor, Marungga (Sumatera)
Kelor, Maronggi (Jawa)
Gambar 1. Moringa oleifera lamk Sumber: Plantamor, 2010
Pada umumnya tanaman kelor memiliki morfologi yang tidak jauh berbeda
dengan tumbuhan angiospermae lain. Menurut Duke (1996) kelor merupakan
tanaman monoecious (tanaman satu rumah) yaitu bunga jantan dan bunga betina
berada dalam satu pohon.
Daun kelor mengandung 20 macam asam amino diantaranya 19 asam amino
α-L- amino dan satu asam amino L-amino. Semua asam amino itu antara lain : asam aspartat, asam glutamate, serin, glisin, treonin, alanin, valin, isoleuisin, leusin,
histidin, lisin, arginin, tryptophan, sistein dan metionin (Duke, 1996). Asam-asam
amino ini akan mengalami biosinteis menjadi 50.000 lebih protein yang bersama
dengan enzim berperan dalam mengontrol aktivitas kimia antibodi untuk mencegah
berbagai penyakit (Wynsberghe, 1995). Adapun kandungan saponin yang terdapat
pada daub kelor adalah 4,65% (Januarti, 2009). Fuglie (2001) mengungkapkan
Tabel 1. Jumlah Kandungan Gizi yang Terdapat pada Daun Kelor Segar
Nilai Gizi (per 100 g) Komposisi
Protein (g) 6,80
Lemak (g) 1,70
Beta Carotene (mg) 6,78
Thiamin (mg) 0,06
Riboflavin (mg) 0,05
Vitamin C (mg) 220
Kalsium (mg) 440
Kalori (kal) 92
Karbohidrat (g) 12,5
Serat (g) 0,90
Ferrum (mg) 0,85
Magnesium (mg) 42
Posfor (mg) 70
Kalium (mg) 259
Zincum (mg) 0,16
Sumber : Fuglie (2001)
Gamal (Gliricidia Sepium)
Gamal adalah salah satu jenis tanaman yang mudah ditanam dan tidak
memerlukan sifat tanah khusus. Gamal dengan nama latin Gliricidia sepium
merupakan salah satu jenis tanaman dan merupakan pakan ternak yang banyak
disukai oleh ternak ruminansia kecil seperti kambing dan domba. Selain sebagai
pakan ternak, tanaman ini juga mempunyai manfaat seperti pencegah erosi dan
Gambar 2. Daun Gamal (Gliricidia sepium) Sumber: Dokumen Penelitian, 2010
Menurut Mathius (1991) senyawa sekunder yang terdapat dalam gamal
adalah dicoumerol, suatu senyawa yang mengikat vitamin K dan dapat mengganggu
serta menggumpalkan darah. Dicoumerol diperkirakan merupakan hasil konversi dari
coumarin yang disebabkan oleh bakteri ketika terjadi fermentasi. Meskipun
coumarin tidak beracun, ketika berubah menjadi senyawa dicoumerol dapat
berbahaya bagi ternak yang mengonsumsinya, terutama pada ternak monogastrik
seperti kelinci dan unggas. Senyawa HCN (Hydro Cyanic Acid), sering disebut juga
prussic acid atau asam sianida. Meskipun kandungan HCN dalam Gamal tergolong
rendah, 4mg/kg, dibandingkan dengan umbi singkong/ketela pohon yang dapat
mencapai 50-100mg/kg namun hal ini perlu juga di waspadai karena dapat
menganggu kesehatan ternak. Zat lain yang perlu diperhatikan adalah Nitrat (NO3).
Sebetulnya nitrat itu sendiri tidak beracun terhadap ternak, tapi pada jumlah yang
banyak dapat menyebabkan penyakit yang disebut keracunan nitrat (nitrate
poisoning). Nitrat yang secara alamiah terdapat pada tanaman di rubah menjadi nitrit
pada proses pencernaan, pada gilirannya nitrit dikonversi menjadi amonia. Amonia
kemudian di konversi lagi menjadi protein oleh bakteri dalam rumen. Apabila ternak
sapi mengonsumsi banyak hijauan yang mengandung nitrat dalam jumlah besar,
nitrat akan terakumulasi di dalam rumen. Nitrit sekurangnya 10 kali lebih beracun
terhadap ternak sapi dibandingkan nitrat. Nitrit diserap ke dalam sel darah merah dan
bersatu dengan molekul pengangkut oksigen.
Kecenderungan pemanfaatan daun gamal sepenuhnya terhadap ternak belum
kandungan zat anti nutrisi daun gamal dapat mengurangi konsumsi dan palatabilitas
pakan tersebut yang berakibat terhambatnya produktivitas ternak. Untuk
meningkatkan produktivitas ternak yang hanya mengkonsumsi daun gamal maka
diperlukan suplementasi pakan berkualitas yang mengandung cukup nutrisi. Daun
gamal yang segar kurang disukai oleh ternak yang belum beradaptasi dengan pakan
tersebut, karena daun gamal dapat mengeluarkan baunya yang menyengat, sehingga
sebelum diberikan ke ternak daun gamal sebaiknya dilayukan dengan cara
diangin-anginkan. Pelayuan daun selama 12 - 24 jam sebelum pemberian makan dapat
meningkatkan konsumsi pakan serta pertambahan bobot badan ternak dibandingkan
dengan pemberian daun gamal segar (Firdus, 2008). Pemberian daun gamal diatas
30% dapat mengurangi pencernaan selulosa. Sebagai pakan, gamal mengandung
bahan kering 90,5%, TDN 63,40%, DE 2,80 Mkal/kg, ME 2,29%, serat kasar 24%,
protein kasar 23,62%, abu 9,81%, Ca 2,35%, dan P 0,35% (FAO, 2004). Menurut
Januarti (2009) kadar saponin yang terdapat pada daun gamal adalah 4,91%.
Nangka (Artocarpus heterophyllus)
Pohon Artocarpus heterophyllus (nangka) memiliki tinggi 10-15 m.
batangnya tegak, berkayu, bulat, kasar dan berwarna hijau kotor. Daun
A.heterophyllus tunggal, berseling, lonjong, memiliki tulang daun yang menyirip,
daging daun tebal, tepi rata, ujung runcing, panjang 5-15 cm, lebar 4-5 cm, tangkai
panjang lebih kurang 2 cm dan berwarna hijau. Daun ini memiliki PK 15.9%, ADF
38.4%, NDF 49.6% dan tanin 6.1 mg/g BK (Baba et al., 2002). Klasifikasi dan
morfologi nangka adalah sebagai berikut.
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Urticales
Suku : Moraceae
Marga : Artocarpus
Jenis : Artocarpus heterophyllus
Nama Umum : Nangka
Gambar 3. Daun Nangka (Artocarpus heterophyllus) Sumber: Dokumen Penelitian, 2010
Nangka tumbuh dengan baik di iklim tropis sampai dengan 25˚ LU & 25˚ LS,
walaupun diketahui pula masih dapat berbuah hingga lintang 30˚. Tanaman ini
menyukai wilayah dengan curah hujan lebih dari 1500 mm pertahun di mana musim
keringnya tidak terlalu panjang. Nangka kurang toleran terhadap udara dingin,
kekeringan dan penggenangan. Nangka banyak tumbuh di daerah Manonjaya,
Tasikmalaya (Jawa Barat), Cijeruk-Bogor, Malang, Pasuruan, Banyuwangi, Kediri,
Lumajang, Bangkalan dan daerah Kalimantan Timur.Daun-daun nangka merupakan
pakan ternak yang disukai kambing, domba maupun sapi. Adapun senyawa sekunder
yang terkandung dalam daun nangka adalah saponin (Januarti, 2009).
Ternak Domba
Domba merupakan salah satu ternak ruminansia yang mempunyai potensi
cukup besar untuk dikembangkan. Negara Indonesia yang merupakan negara dengan
padat penduduk sehingga memerlukan suplai bahan pangan khususnya protein
hewani (daging dan susu). Domba merupakan ternak sumber protein bagi kehidupan
manusia.
Standar kebutuhan pakan untuk domba di Indonesia dengan pertumbuhan
bobot badan harian antara 50-100 g/ekor/hari adalah bahan kering (BK) sebesar
3,1-3,4% BB, Protein kasar (PK) 73,7-138,5 g/e/h dan energi 6,23-11,63 MJ/ekor/hari
(Haryanto dan Djajanegara, 1993). Menurut NRC (1994), ternak ruminansia
monogastrik. Protein yang dibutuhkan domba berkisar antara 10% - 12% bahan
kering ransum. Pertumbuhan sangat dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas ransum
yang diberikan disamping faktor genetis. Jumlah pakan yang diberikan pada ternak
perhari harus lebih banyak daripada kebutuhan hidup pokok agar ternak tidak
mengalami kesulitan berproduksi (Parakkasi, 1999). Menurut NRC (1994) kebutuhan
nutrien untuk hidup pokok pada domba dengan bobot badan 10-20 kg adalah BK
500-1000 g/e/h, energi tercerna 940 kal/e/h, energi metabolis 765 kal/e/h, dan protein
kasar 30 g/e/h. Domba mendapatkan pakan sebagai kumpulan nutrien yang dicerna
dan diserap untuk menunjang metabolisme yang terjadi dalam jaringan dan sel, serta
digunakan untuk pembentukan daging, susu, wool pada domba. Menurut Haryanto
dan Djajanegara (1993) domba di Indonesia yang memiliki bobot badan 20 kg
mengkonsumsi pakan sebanyak 4% dari bobot badan.
Darah
Darah adalah salah satu cairan tubuh yang peredarannya melalui sebuah
pembuluh dan mengalir keseluruh tubuh (Harper et al., 1980). Darah dalam
peredarannya ditunjang oleh keberadaan plasma yang bertindak sebagai suplemen
dalam bentuk protein sebagai makanan. Sel-sel darah terdiri atas eritrosit, leukosit,
dan trombosit yang dikenal sebagai benda-benda darah (Ganong, 2003).
Fungsi darah adalah 1) pembawa nutrien yang telah disiapkan oleh saluran
pencernaan menuju jaringan tubuh, 2) membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan
dan CO2 dari jaringan ke paru-paru untuk dibuang, 3) membawa sisa metabolisme
tubuh untuk di buang melalui urine (ginjal), 4) membawa hormon ke organ lain
dalam tubuh, 5) sebagai penyeimbang asam-asam (bufer tubuh) serta penyeimbang
kandungan air tubuh dan 6) sebagai pembekuan darah sehingga mencegah terjadinya
kehilangan darah yang berlebih pada waktu luka (Ganong 2003). Jika tubuh hewan
mengalami gangguan fisiologis maka gambaran darah dapat mengalami perubahan.
Perubahan gambaran darah dapat disebabkan faktor internal seperti pertambahan
umur, status gizi, kesehatan, stres, siklus estrus dan suhu tubuh. Faktor eksternal
misalnya akibat infeksi kuman, perubahan suhu lingkungan dan fraktura terbuka
Eritrosit
Fungsi utama eritrosit adalah untuk mentranspor hemoglobin, yang
selanjutnya membawa oksigen dari paru-paru ke jaringan. Beberapa hewan tingkat
rendah, hemoglobin beredar sebagai protein bebas dalam plasma, tidak terbatas
dalam sel darah merah. Fungsi sel darah merah adalah mengikat oksigen dari paru–
paru untuk diedarkan ke seluruh jaringan tubuh dan mengikat karbon dioksida dari
jaringan tubuh untuk dikeluarkan melalui paru–paru. Pengikatan oksigen dan karbon
dioksida ini dikerjakan oleh hemoglobin yang telah bersenyawa dengan oksigen yang
disebut oksihemoglobin (Hb + oksigen 4 Hb-oksigen) jadi oksigen diangkut dari
seluruh tubuh sebagai oksihemoglobin yang nantinya setelah tiba di jaringan akan
dilepaskan: Hb-oksigen, Hb + oksigen, dan seterusnya. Hemoglobin tadi akan
bersenyawa dengan karbon dioksida dan disebut karbon dioksida hemoglobin (Hb +
karbon dioksida, Hb-karbon dioksida). Karbon dioksida tersebut akan dikeluarkan di
paru-paru. Sel darah merah (eritrosit) diproduksi di dalam sumsum tulang merah,
limpa dan hati. Proses pembentukannya dalam sumsum tulang melalui beberapa
tahap. Mula-mula sel besar dan berisi nukleus dan tidak berisi hemoglobin kemudian
dimuati hemoglobin dan akhirnya kehilangan nukleusnya dan siap diedarkan dalam
sirkulasi darah yang kemudian akan beredar di dalam tubuh selama kebih kurang 114
- 115 hari. Hemoglobin yang keluar dari eritrosit yang mati akan terurai menjadi dua
zat yaitu hematin yang mengandung Fe yang berguna untuk membuat eritrosit baru
dan hemoglobin yaitu suatu zat yang terdapat didalam eritrosit yang berguna untuk
mengikat oksigen dan karbon dioksida. Jumlah normal eritrosit pada domba adalah
9-15 juta/mm3 (Smith dan Mangkoewidjojo, 1998).
Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) merupakan pigmen eritrosit yang terdiri atas protein
kompek terkonjugasi yang mengandung besi. Protein Hb adalah globin, sedangkan
warna merah disebabkan oleh warna heme. Heme adalah suatu senyawa metalik
yang mengandung satu atom besi (Guyton, 1993). Biosintesis hemoglobin terjadi
terus menerus selama proses eritropoisis hingga tahapan selanjutnya dalam
perkembangan sel darah merah. Pembentukan Hb terus berlangsung selama inti
didalam sirkulasi darah (Swenson, 1970). Menurut Smith dan Mangkoewidjojo
(1998) bahwa hemoglobin normal pada darah domba adalah 9 g/100 ml.
Hematokrit
Hematokrit atau packed cell volume (PCV) adalah suatu persentase sel darah
merah dalam 100 ml darah. Pada hewan normal PCV sebanding dengan jumlah
eritrosit dan kadar hemoglobin (Widjajakusuma dan Sikar 1986). Wilson (1979)
menyatakan bahwa nilai hematokrit sangat berhubungan dengan viskositas
(kekentalan) darah dimana peningkatan nilai hematokrit akan meningkatkan nilai
viskositas darah. Nilai hematokrit dipengaruhi oleh temperatur lingkungan. Menurut
Smith dan Mangkoewidjojo (1998) bahwa hematokrit normal pada domba adalah
32%-37%.
Sel Leukosit sebagai Salah Satu Sistem Kekebalan
Sel Leukosit atau sel darah putih merupakan unit mobile dari sistem
pertahanan tubuh. Terdapat 5 jenis sel darah putih normal berada dalam peredaran
darah yaitu neutrofil, eosinofil, basofil, monosit dan limfosit (Guyton dan Hall,
1997). Neutrofil, eosinofil dan basofil disebut sebagai sel granulosit karena
mempunyai granula di sitoplasmanya, sedangkan monosit dan limfosit disebut
sebagai sel agranulosit karena tidak memiliki granula disitoplasmanya (Tizard 1988;
Guyton dan Hall, 1997).
Salah satu mekanisme utama dari sel leukosit dalam pertahanan tubuh adalah
dengan cara melakukan fagositosis terhadap benda asing atau agen penyakit. Sel
fagosit pada mamalia terdiri dalam dua sistem komplementer. Sistem yang pertama
adalah sistem myloid, terdiri atas sel yang bekerja cepat tetapi tidak mampu bertahan
lama. Sistem yang kedua, sistem fagositik mononukleus, terdiri atas sel yang bekerja
lebih lambat tetapi mampu melakukan fagositosis berulang-ulang kali. Sel fagositik
mononukleus mampu mengolah antigen untuk kemudian dipergunakan dalam system
kebal spesifik (Tizard, 1988).
Sel utama yang berperan dalam sistem myloid adalah sel granulosit nuetrofil
(Tizard, 1988). Neutrofil merupakan garis pertahanan penting dalam sistem fagositik.
Secara morfologi neutrofil memiliki apparatus golgi dan beberapa mitokondria tetapi
cadangan energi yang terbatas dan tidak dapat diisi kembali sehingga kemampuan
fagositosisnya terbatas (Tizard, 1988). Neutrofil umumnya hanya melakukan satu
kali fagositosis dengan kapasitas antara 5-20 partikel bakteri sebelum neutrofil itu
sendiri menjadi tidak aktif dan mati (Guyton dan Hall, 1997).
Selain sistem sel fagositik, mekanisme lain dari sistem kekebalan oleh sel
darah putih diperantarai oleh sel limfosit. Limfosit merupakan unsur kunci dari
sistem kekebalan tubuh. Pada mamalia sistem ini memiliki kemampuan yang
menonjol dalam menghasilkan antibodi terhadap berjuta zat asing berlainan yang
menyusup dalam tubuh (limfosit B). Disamping itu, sistem kekebalan ini memiliki
kemampuan untuk mengingat sehingga pada pemaparan yang kedua kalinya oleh
senyawa asing yang sama akan menghasilkan respon yang lebih cepat dan hebat,
aktivitas ini dilakukan oleh sel limfosit T pembantu (Ganong, 2003).
Leukosit
Sel darah putih (leukosit) merupakan unit aktif dalam sistem pertahanan
tubuh. Leukosit sebagian dibentuk dalam sumsum tulang (granulosit, monosit dan
sedikit limfosit) dan sebagian lagi dalam organ linfoid seperti limfe, limfa, timus,
tonsil (limfosit dan sel-sel plasma). Pengangkutan sel-sel darah putih oleh darah
menuju berbagai bagian tubuh dilakukan setelah proses pembentukannya selesai.
Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1998) jumlah leukosit dalam tubuh domba
adalah 7-10 ribu/mm3.
Limfosit
Limfosit dibedakan dalam dua bentuk yaitu limfosit besar dan limfosit kecil
(Guyton, 1993). Limfosit tipe besar merupakan limfosit muda dengan diameter 1µ m,
inti molekul heterokromatik dikelilingi sitoplasma, perbandingan sitoplasma dan inti
adalah 1 : 1 dan jarang ditemukan dalam peredaran darah. Tipe kedua adalah limfosit
kecil merupakan bentuk limfosit dewasa, memiliki diameter 8 µm, inti bulat
heterokromatik dikelilingi oleh lingkaran tipis sitoplasma dengan perbandingan
sitoplasma dan inti 1 : 9, pada limfosit kadang ditemukan penjuluran sitoplasma.
Menurut Guyton (1993) terdapat dua tipe limfosit dalam sistem kekebalan tubuh
yaitu limfosit T yang berperan dalam sistem kekebalan yang diperantarai sel dan
kekebalan humoral. Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1998) bahwa jumlah
limfosit pada domba adalah 60-65%.
Neutrofil
Neutrofil adalah sel pertahanan pertama terhadap infeksi mikroorganisme.
Neutrofil dibentuk di sumsum tulang dan dikirim ke pembuluh darah dalam keadaan
matang yang dapat menyerang dan menghancurkan bakteri dan virus bahkan dalam
sirkulasi pembuluh darah (Guyton dan Hall, 1997). Dua tipe neutrofil yang biasa
berada di peredaran darah tepi adalah bandneutrophil dan segmented neutrophil
(Haen, 1995).
Neutrofil mempunyai fungsi dalam memfagositosis dan membunuh
organisme melokalisir dan membatasi penyebaran mikroorganisme sampai sel darah
putih yang lain seperti limfosit dan makrofag menghancurkan dan memindahkan
agen asing tersebut (Haen, 1995). Neutrofil juga berperan dalam memulai dan
membatasi besaran dan durasi proses peradangan akut (Guyton dan Hall, 1997).
Menurut Smith dan Mangkoewidjojo (1998) bahwa jumlah neutrofil pada domba
adalah 25-30%.
Sistem Imun
Imunitas adalah kemampuan untuk melawan jenis organisme atau toksin yang
cenderung merusak jaringan dan organ tubuh. Sebagian besar imunitas merupakan
imunitas didapat (spesifik) yang tidak timbul sampai tubuh pertama kali diserang
oleh bakteri yang menyebabkan penyakit atau toksin. Prosesnya seringkali
membutuhkan waktu berminggu-minggu atau berbulan-bulan untuk membentuknya.
Selain itu ada suatu imunitas tambahan yang merupakan akibat dari proses umum
dan bukan dari suatu proses yang terarah pada organisme penyebab penyakit spesifik
yang disebut imunitas bawaan (non spesifik). Pembagian sistem imun dapat dilihat
Gambar 4. Gambaran Sistem Imun Sumber: Guyton & Hall, 1997
Sistem Imun Non Spesifik
Sistem imun non spesifik secara alami di dalam tubuh manusia dimana
substansi tersebut diwariskan dari ibu ke janinnya melalui inntraplasenta. Antibodi
yang dihasilkan pada bayi yang baru lahir titier masih sangat rendah, dan nanti
antibody tersebut berkembang seiring perkembangan seseorang. Menurut Guyton
dan Hall (1997) bahwa sistem imun non spesifik terdiri dari kekebalan
fisik-mekanik, kekebalan kimiawi, kekebalan biologis dan kekebalan seluler. Kekebalan
fisik-mekanik terdiri dari kulit dan selaput lender yang merupakan system pertahanan
utama tubuh karena kulit dan selaput lendirini merupakan bagian permukaan tubuh
paling luar yang mencegah masuknya benda asing. Faktor lain yang berperan dalam
system pertahanan non spesifik adalah proses fagositosis (Tizard, 1988).
Sistem Imun Spesifik
Sistem imun spesifik mempunyai kemampuan untuk mengenal benda yang
dianggap asing bagi dirinya. Benda asing yang pertama kali muncul dalam badan
segera dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitasi sel-sel sistem
imun tersebut. Benda asing yang sama, bila terpapar ulang akan dikenal lebih cepat,
kemudian dihancurkan. Oleh karena sistem tersebut hanya dapat menyingkirkan
benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem itu disebut spesifik. Untuk
menghancurkan benda asing yang berbahaya bagi tubuh, sistem imun spesifik dapat
bekerja tanpa bantuan sistem imun nonspesifik. Pada umumnya terjalin kerjasama
yang baik antara antibodi-komplemen-fagosit dan antara sel T-makrofag. Pada
imunitas humoral, sel B melepas antibodi untuk menyingkirkan mikroba
ekstraselular. Pada imunitas selular, sel T akan mengaktifkan makrofag untuk
menghancurkan mikroba atau mengaktifkan sel Tc untuk memusnahkan sel terinfeksi
(Tizard, 1998). Sistem imun spesifik terbagi 2 yaitu sistem imun spesifik humoral
dan sistem imun spesifik seluler. Pemeran utama dalam sistem imun spesifik
humoral adalah limfosit B atau sel B. Humor berarti cairan tubuh. Sel B berasal dari
sel asal multipoten di sumsum tulang. Pada unggas, sel yang disebut Bursal cell atau
sel B akan bermigrasi dan berdiferensiasi menjadi sel B yang matang dalam alat yang
disebut Bursa Fabricius yang terletak dekat kloaka. Pada mamalia diferensiasi
tersebut terjadi dalam sumsum tulang. Bila sel B dirangsang oleh benda asing, sel
tersebut akan berproliferasi, berdiferensiasi dan berkembang menjadi sel plasma
yang memproduksi antibodi. Antibodi yang dilepas dapat ditemukan dalam serum
dalam bentuk fraksi gama globulin, yang lebih dikenal sebagai immunoglobulin
(Ganong, 2003). Fungsi utama antibodi ini ialah pertahanan terhadap infeksi
ekstraselular, virus dan bakteri serta menetralisasi toksinnya (termasuk di dalamnya
antinutrisi). Limfosit T atau sel T berperan pada sistem imun spesifik selular. Sel
tersebut juga berasal dari sel asal yang sama seperti sel B. Pada hewan mamalia, sel
T dibentuk di dalam sumsum tulang tetapi proliferasi dan diferensiasinya terjadi di
dalam kelenjar timus atas pengaruh berbagai faktor asal timus. Ada 90-95% dari
semua sel T dalam timus tersebut mati dan hanya 5-10% menjadi matang dan
Total Protein Darah
Protein berasal dari bahasa yunani yaitu protos, yang berarti paling utama.
Protein adalah senyawa organik kompleks berbobot molekul tinggi. Protein
merupakan polimer dari monomer-monomer asam amino yang terhubung dengan
ikatan peptida. Molekul protein mengandung karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen,
dan kadangkala sulfur dan fosfor. Semua enzim dan banyak enzim merupakan
protein atau turunannya (Champe et al., 2005).
Protein dalam darah terdiri dari fraksi albumin, globulin dan fibrinogen.
Protein darah berperan sebagai sumber nutrien bagi jaringan, menjaga tekanan dan
pH darah. Selain itu didapatkan juga beberapa protein lain dalam darah yaitu
hormon, enzim, faktor pembeku darah, C-reaktif protein dan lain-lain (Frandson,
1992).
Hampir sebagian protein dalam plasma adalah albumin, walaupun kadar ini
bergantung pada kondisi individu. Albumin berfungsi sebagai sumber asam amino,
pentraspor asam, dan penjaga tekanan osmotik darah. Globulin plasma terdiri dari
alpha, beta dan gamma. Fungsi utama alpha dan beta globulin adalah sebagai
pembawa berbagai macam komponen lemak, hormon, dan vitamin larut lemak.
Alpha globulin berperan sebagai pembawa hemoglobin untuk didistribusikan dalam
plasma. Gamma globulin atau immunoglobulin berhubungan erat dengan antibodi
(Ganong, 2003). Menurut Hernaman (2003) bahwa total protein darah pada domba
yang diberi pakan rumput dan konsentrat adalah 6,3 g/dl.
Albumin
Menurut Murray et al. (2003), albumin merupakan protein utama yang ada
didalam plasma dengan berat molekul 69 kDa dan menyusun sekitar 60% dari
protein total plasma. Sekitar 40% dari albumin terdapat dalam plasma dan 60%
lainnya ditemukan dalam ruang ekstraseluler. Albumin memiliki kemanpuan untuk
mengikat berbagai ligan. Ligan ini mencakup asam lemak bebas, kalsium, tembaga,
zink, metheme, hormone, steroid, bilirubin, dan sebagian triptofan plasma (Murray et
Globulin
Globulin merupakan protein yang diklasifikasikan berdasarkan migrasi atau
separasinya melalui elektroforesis yaitu α-1 globulin, α-2 globulin. -1 globulin, -2
globulin, dan globulin. Alpha dan beta globulin disintesis di hati, sedangkan
gamma globulin disintesis oleh plasma dan limfosit pada saat sel-sel ini dirangsang
oleh antigen (Frandson 1992). Kadar α globulin globulin pada domba
masing-masing adalah 7-13% dan 12,54% (Smith dan Mangkoewidjojo, 1998).
Struktur Imunoglobulin
Antibodi adalah molekul protein yang dihasilkan oleh plasma sebagai akibat
dari aktivitas sel limfosit B yang peka antigen. Antibodi terbentuk sebagai hasil
reaksi sistem kekebalan yang bersifat humoral untuk mempertahankan tubuh
terhadap infeksi dari zat yang dianggap asing oleh tubuh. Molekul antibodi berupa
protein globulin sehingga dikenal sebagai imunoglobulin (Tizard, 1988).
Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang terdapat
dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua mamalia. Imunoglobulin
termasuk dalam famili glikoprotein yang mempunyai struktur dasar sama, terdiri atas
82% - 96% polipeptida dan 4% - 18% karbohidrat. Komponen polipeptida membawa
sifat biologik molekul antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi
yaitu mengikat antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi komplemen serta
pelepasan histamin dari sel mast. Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap
kelas mempunyai perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat
ikatan antigen spesifik dan aktivitas biologik berlainan.
Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai polipeptida yang
tersusun dari rangkaian asam amino yang dikenal sebagai rantai H (rantai berat)
dengan berat molekul 55.000 dan rantai L (rantai ringan) dengan berat molekul
22.000. Tiap rantai dasar imunoglobulin (satu unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai
L. Kedua rantai ini diikat oleh suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga
membentuk struktur yang simetris. Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini
adalah penyusunan daerah simetris rangkaian asam amino yang dikenal sebagai
daerah domain, yaitu bagian dari rantai H atau rantai L, yang terdiri dari hampir 110
rantai dihubungkan oleh ikatan disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu
kappa dan lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G ( ), rantai A
(α), rantai M (μ), rantai E ( ) dan rantai D ( ). Setiap rantai mempunyai jumlah
domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2 domain; sedang rantai G, A dan D
masing-masing 4 domain, dan rantai M dan E masing-masing 5 domain.
Imunoglobulin G
Imunoglobulin G (IgG) mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri
dari 2 rantai berat H dan 2 rantai ringan L. Pada IgG manusia mempunyai koefisien
sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar 150.000. Pada orang normal IgG
merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.
Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai
perbedaan yang tidak banyak, dengan perbandingan jumlahnya sebagai berikut: IgG1
40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-8%, dan IgG4 2-6%. Masa paruh IgG adalah 3
minggu, kecuali subkelas IgG3 yang hanya mempunyai masa paruh l minggu.
Kemampuan mengikat komplemen setiap subkelas IgG juga tidak sama, seperti IgG3
lebih besar IgGl lebih besar IgG2 lebih besar IgG4.
Tabel 2. Perbandingan Tingkat Konsentrasi IgG pada Hewan Piara
Spesies Konsentrasi (mg/100 ml)
Kuda 1000-1500
Sapi* 1700-2700
Domba 1700-2000
Babi 1700-2900
Anjing 1000-2000
Ayam 300-700
19 MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Lapang kandang B, Departemen
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, laboratorium Fisiologi,
Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor dan Laboratorium Diagnostik
Rumah Sakit Cipto Mangunkusuma Jakarta. Pemeliharaan ternak dan pengambilan
data dilakukan selama 3 bulan.
Materi Ternak Percobaaan
Ternak yang digunakan pada penelitian ini adalah domba jantan umur 10
bulan dengan bobot badan 12,56 ± 1,41 kg sebanyak 16 ekor dan dikandangkan
secara individu.
Bahan dan alat
Peralatan yang digunakan antara lain adalah kandang individu, tempat pakan
dan minum, empat jenis hijauan tropik rumput lapang, Moringa oleifera lamk
(kelor), Gliricidia sepium (gamal), Artocarpus heterophyllus (nangka), timbangan
kapasitas 125 kg dan 5 kg, syring 5 ml, tabung penampung darah 10 ml dan
seperangkat alat analisis profil darah dan serum protein darah.
Metode Pelaksanaan Penelitian
Domba percobaan dipelihara dan diberikan pakan sebanyak tiga kali sehari
(pukul 06.30, 11.30 dan 16.30) dan air minum diberikan ad libitum. Pemberian daun
kelor, gamal dan nangka diberikan terlebih dahulu sebelum pemberian rumput.
Perlakuan
Pakan diberikan dalam bentuk campuran antara rumput lapangdengan daun
kelor, gamal dan nangka. Jumlah ransum yang diberikan secara ad libitum dengan
perlakuan
20 R2 = 70% rumput lapang + 30% Moringa oleifera lamk
R3 = 70% rumput lapang + 30% Gliricidia sepium
R4 = 70% rumput lapang + 30% Artocarpus heterophyllus
Hasil Analisis Proksimat
Hasil analisis proksimat dan saponin hijauan tropis yang digunakan pada
penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Hasil Analisis Proksimat Kandungan Nutrien dan Saponin
Keterangan: Hasil analisis Pusat Penelitian Sumber Daya Hayati, 2009
1
Hasil analisis Balai Penelitian Ternak Ciawi, 2009
*Januarti, 2009
Kandungan nutrien ransum domba dengan penambahan hijaun berupa daun
kelor, gamal dan nangka dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Kandungan Nutrien Ransum Domba yang Diberi Perlakuan
Perlakuan Nutrien
Bahan kering (%) Protein Kasar (%BK) Saponin (%BK)
21 Rancangan Percobaan dan Analisis Darah
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah rancangan
acak lengkap (RAL) menurut Sudjana (1980) dengan 4 perlakuan dan 4 ulangan.
Model matematik yang digunakan dalam analisa adalah :
Xij = + i + ij
Keterangan :
Xij : Observasi
: rataan umum i : efek perlakuan ke-i
ij : eror perlakuan ke-i dan ulangan ke-j
Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analysis of variance
(ANOVA) dan untuk melihat perbedaan diantara perlakuan diuji dengan uji Duncan.
Parameter yang diukur
Parameter yang diukur adalah konsumsi bahan kering, protein, saponin.
Profil darah yang dianalisis adalah eritrosit, hemoglobin, hematokrit, leukosit,
limposit dan netrofil sedangkan serum protein adalah albumin, total protein, α dan
globulin serta immunoglobulin G.
Prosedur Percobaan Pengambilan Darah
Pada akhir penelitian, minggu ke 12, dilakukan pengambilan darah. Darah
diambil dari vena jugularis domba 1 jam setelah diberi pakan pada akhir
pemeliharaan. Sebelumnya daerah jugularis tepatnya 1/3 bagian atas leher
didesinfeksi dengan alkohol 70%, selanjutnya dilakukan pembendungan dan
pengambilan darah. Darah diambil sebanyak 4 ml dengan syring dan langsung
dimasukkan ke dalam 2 tabung berbeda, satu untuk pengukuran gambaran darah
dengan penambahan antikoagulan berupa heparin dan tabung kedua untuk
pengukuran serum protein. Tabung tersebut dimasukkan kedalam termos yang telah
Pengukuran Konsumsi
Konsumsi Bahan Kering (BK)
Konsumsi bahan kering pakan (g/e/h) dihitung dari jumlah pemberian bahan
segar dikurangi sisa, selanjutnya konsumsi pakan segar (g) dikalikan dengan persen
kandungan bahan kering pakan akan diperoreh konsumsi bahan kering.
Konsumsi Protein Kasar
Konsumsi protein pakan (g/e/h) dihitung dari konsumsi bahan kering (g/e/h)
pakan dikalikan dengan persen kandungan protein pakan
Konsumsi Saponin
Konsumsi saponin pakan (g/e/h) dihitung dari konsumsi bahan kering (g/e/h)
pakan dikalikan dengan persen kandungan saponin pakan
Pengukuran Profil Darah
Penghitungan Kadar Hemoglobin (Metode Sahli)
Larutan HCl 0.01 N diteteskan pada tabung sahli sampai tanda tera 0.1 atau
garis batas bawah, kemudian sampel darah dihisap menggunakan pipet sahli hingga
mencapai tanda tera atas (2.0 ml). Sampel darah segera dimasukkan kedalam tabung
dan ditunggu selama 3 menit atau hingga berubah menjadi warna cokelat kehitaman
akibat reaksi antara HCl dengan hemoglobin membentuk asam hematid. Setelah itu
larutan ditambah dengan akuades, teteskan sedikit demi sedikit sambil diaduk.
Larutan akuades ditambah hingga warna larutan sama dengan warna standar
hemoglobinometer. Nilai hemoglobin dilihat di kolom gram % yang tertera pada
tabung hemoglobin (Sastradiprajadja dan Hartini, 1989).
Penghitungan Nilai Hematokrit
Tujuannya yaitu untuk mengetahui volume total eritrosit dalam 100 ml darah
dengan metode mikrohematokrit. Penentuan PCV dilakukan dengan cara pipet
mikrohematokrit diisi dengan darah yang mengandung antikoagulan sebanyak 6/7
bagian pipet dan ujung masuknya darah ditutup dengan sumbat berupa malam atau
23 Setelah terbentuk lapisan eritrosit, buffy coat, dan plasma, nilai hematokrit dibaca
dengan microhematocrit reader
Penghitungan Jumlah Eritrosit
Sampel darah dihisap dengan menggunakan pipet eritrosit hingga tanda tera
0,5 dengan aspirator. Ujung pipet di bersihkan dengan menggunakan tissu lalu hisap
larutan BCB 0,5% hingga tanda 101. Memutar pipet dengan membentuk angka 8
selama 3 menit, setelah homogen cairan yang tidak terkocok pada ujung pipet di
buang dengan menempelkan ujung pipet ke kertas tissu. setelah itu teteskan satu tetes
kedalam homositometer, diusahakan jangan sampai ada udara yang masuk. Setelah
itu biarkan beberapa saat hingga cairan mengendap, kalau penghitungan bisa
dimulai. Agar tidak terjadi penghitungan dobel maka sebaiknya digunakan hand
counter di bawah mikroskop dengan pembesaran 45 x 10. Menghitung eritrosit
dalam hemocymeter, digunakan kotak eritrosit yang berjumlah 25 buah dengan
mengambil bagian berikut : satu kotak pojok kanan atas, satu kotak pojok kiri atas,
satu kotak di tngah, satu kotak pojok kanan bawah, satu kotak pojok kiri bawah.
Jumlah eritrosit yang didapat dari hasil penghitungan dikalikan 104 (Sastradiprajadja
dan Hartini, 1989).
Jumlah Eritrosit = a x 104
a = jumlah eritrosit hasil penghitungan dalam hemocymeter
Penghitungan Jumlah Leukosit
Sampel darah dihisap dengan menggunakan pipet leukosit hingga tanda tera
0,5 dengan aspirator. Ujung pipet di bersihkan dengan menggunakan tissu lalu hisap
larutan BCB 0,5% hingga tanda 11. Memutar pipet dengan membentuk angka 8
selama 3 menit, setelah homogen cairan yang tidak terkocok pada ujung pipet di
buang dengan menempelkan ujung pipet ke kertas tissu. setelah itu meneteskan satu
tetes kedalam homositometer, diusahakan jangan sampai ada udara yang masuk.
Setelah itu dibiarkan beberapa saat hingga cairan mengendap, lalu penghitungan bisa
dimulai. Agar tidak terjadi penghitungan ganda maka sebaiknya menggunakan hand
counter di bawah mikroskop dengan pembesaran 45 x 10. Untuk menghitung
24 Jumlah leukosit yang didapat dari hasil penghitungan dikalikan 50 untuk mengetahui
jumlah leukosit 1 pada setiap mm3 volume darah (Sastradiprajadja dan Hartini, 1989).
Jumlah Leukosit = b X 50
b = jumlah leukosit hasil penghitungan dalam hemocymeter
Perhitungan Deferensiasi Leukosit
Darah domba diteteskan pada gelas objek pertama dengan posisi mendatar.
Gelas objek kedua ditempatkan pada bagian depan (yang berlawanan dengan letak
tetes darah) dengan membentuk sudut 300 , lalu digeserkan sehingga darah menyebar
sepanjang garis kontak antara kedua gelas objek. Setelah darah menyebar dengan
hati-hati tanpa mengangkat gelas objek pertama, gelas objek kedua didorong kearah
depan dengan cepat sehingga terbentuk usapan darah tipis diatas gelas objek
pertama. Ulasan darah tersebut dikeringkan di udara kemudian difiksasi dalam
larutan methanol 5 menit lalu dimasukkan dalam pewarna giemsa 10% selama 30
menit. Selanjutnya dibilas dengan air dan dikeringkan di udara untuk selanjutnya
dihitung benda darah putih tersebut di bawah mikroskop dengan pembesaran 45 x 10.
Pengukuran Serum Protein Pemeriksaan Total Protein (Metode Biuret)
Prinsip pemeriksaan adalah protein di dalam sampel akan bereaksi dengan
ion cuprum (Cu++) pada medium alkalis membentuk warna yang akan diukur oleh
spektrofotometer. Pemeriksaan protein total diawali dengan memipet reagen blanko
kedalam tiga tabung reaksi masing-masing 3 ml. Tabung reaksi 1 (blanko) bisa
dilakukan penambahan atau tanpa penambahan 0.1 ml akuades, tabung 2 (standar)
ditambah dengan 0.1 ml protein standar dan tabung 3 (sampel) ditambah dengan 0,1
ml sampel. Setelah inkubasi, larutan diukur absorbansi pada alat spektrofotometer
dengan panjang gelombang 254 nm. Konsentrasi protein total dapat dihitung dengan
rumus:
Protein total = Abs Sampel X Pengenceran
25 Pengukuran Kadar Albumin dan Globulin (Metode Bromcresol Green)
Prinsip pemeriksaan albumin adalah albumin didalam sampel akan bereaksi
dengan bromcresol green pada medium asam membentuk warna kompleks yang
dapat diukur oleh spektrofotometer. Pemeriksaan albumin dilakukan dengan
memipet reagen blanko kedalam tiga tabung reaksi masin-masing 3 ml. Pada tabung
2 (standar) ditambah dengan 0,1 ml albumin standar, tabung 3 (sampel) ditambah
dengan 0,1 sampel. Tabung 1 (blanko) bisa ditambah atau tanpa penambahan 0,1 ml
akuades. Campuran ketiga tabung tersebut di homogenkan dan di inkubasi selama 5
menit pada suhu 20-250C. Dilakukan pengukuran absorbansi sampel dan standar
dilakukan dengan menggunakan spektrofotometer panjang gelombang 254 nm.
Konsentrasi albumin dihitung dengan cara:
A (g/dl) = Abs Sampel Abs Standar
Pengukuran Kadar Imunoglobulin (Metode ELISA)
Prinsip dasar ELISA adalah analisis interaksi antara antigen dan antibodi
yang teradsorbsi secara pasif pada permukaan fase padat dengan menggunakan
konjugat antibodi atau antigen yang dilabel enzim. Enzim ini akan bereaksi dengan
substrat dan menghasilkan warna. Warna yang timbul dapat ditentukan secara
kualitatif dengan pembacaan nilai absorbansi (OD) pada ELISA plate reader.
Larutan twin 10% sebanyak 500 µl disiapkan dan dilarutkan ke dalam 500 ml
aquades untuk mencuci tabung sampel. Masing-masing sampel di masukkan ke
dalam gelas erlenmeyer dan dilarutkan dengan larutan metanol 70%, lalu dikocok
dan didiamkan sampai mengendap, setelah itu disaring dengan menggunakan kertas
HASIL DAN PEMBAHASAN
Konsumsi Nutrien
Menurut Mulyono (2004), pakan merupakan unsur yang sangat menentukan
dalam pertumbuhan, reproduksi, dan kesehatan ternak. Pemberian pakan yang baik
adalah sesuai dengan kebutuhan nutrisi tubuh domba yang digunakan dalam proses
metabolismenya. Pakan yang biasa diberikan pada domba adalah hijauan, tetapi
karena nutrisi hijauan yang masih rendah biasanya diberikan pakan tambahan berupa
legum. Perlakuan pakan dengan pemberian rumput dengan campuran hijauan tropis
berupa kelor, gamal dan nangka sangat berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap tingkat
konsumsi bahan kering (Tabel 5).
Tabel 5. Konsumsi Nutrien Domba yang Diberi Perlakuan (g/e/h)
Keterangan: R1 = 100% Rumput Lapang
R2 = 70% Rumput Lapang + 30%Kelor
R3 = 70% Rumput Lapang + 30% Gamal R4 = 70% Rumput Lapang + 30% Nangka
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,01).
Hasil penelitian pada Tabel 5 menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan
menambah hijauan tropis berupa daun gamal dan nangka berpengaruh sangat nyata
meningkatkan konsumsi bahan kering (P<0,01). Konsumsi bahan kering yang
tertingi pada perlakuan R3 dan R4 sedangkan yang terendah pada perlakuan R1 dan
R2. Keseluruhan perlakuan diperoleh rata-rata konsumsi bahan kering sekitar
555,88±56,81 g/e/h atau setara dengan konsumsi bahan kering 4,5% dari bobot
badan. Nilai ini lebih tinggi dibanding rekomendasi Haryanto dan Djajanegara
(1993) bahwa domba dengan bobot badan 14 kg membutuhkan BK 450 g/e/h atau
setara 3% dari bobot badan. Kebutuhan bahan kering per ekor per hari untuk domba
Indonesia dengan bobot badan 10-20 kg adalah 3,1%-4,7% dari bobot badan dengan
Perlakuan Konsumsi Nutrien (g/e/h)
Bahan kering Protein Kasar Saponin
R1 506,30 ± 28,84b 41,52 ± 2,37d 11,64±0,66d
R2 501,69 ± 0,64b 63,01 ± 0,15c 15,10±0,25c
R3 610,75 ± 17,61a 72,68 ± 2,52a 18,81±0,86b
27 pertambahan bobot badan sebesar 0-100 g/ekor/hari (Haryanto dan Djajanegara,
1993). Wilkinson dan Stark (1985) menyatakan bahwa salah satu faktor yang
mempengaruhi konsumsi adalah jenis dan kualitas ransum. Mathius (1991)
melaporkan bahwa legum akan memberikan dampak positif bila penggunaanya di
dalam ransum kurang dari 50%.
Protein merupakan zat makanan yang sangat penting bagi pertumbuhan,
sehingga defisiensi protein dapat mengganggu pertumbuhan. Protein berfungsi
sebagai zat pembangun atau pertumbuhan, zat pengatur dan mempertahankan daya
tahan tubuh. Konsumsi protein kasar (PK) pada keempat perlakuan menunjukkan
perbedaan yang sangat nyata (P<0,01). Konsumsi protein tertinggi adalah pada
perlakuan R3 (gamal) sedangkan yang terendah adalah pada perlakuan R1 (100%)
rumput). Konsumsi protein pada perlakuan R2 (kelor) rendah padahal memiliki
kandungan protein kasar yang tinggi hal ini disebabkan oleh rendahnya konsumsi
bahan kering. Hal ini disebabkan oleh kandungan protein kasar yang tinggi pada R3
(11,90%). Gamal memiliki kandungan protein yang tinggi (20,54%) dan konsumsi
bahan kering yang tinggi pula, sehingga mendukung tingginya konsumsi protein
kasar pada domba yang diberi perlakuan R3. Jumlah konsumsi protein ini telah
mencukupi jika berdasarkan Haryanto dan Djajanegara (1993) yang menyatakan
bahwa kebutuhan protein kasar untuk domba dengan bobot tubuh sebesar 10-20 kg
dengan pertambahan bobot tubuh 50-100 g/ekor/hari membutuhkan protein kasar
sebesar 73,7-135,8 g/ekor/hari. Manurung (1995) melaporkan bahwa penggunaan
hijauan legum pohon sebagai suplemen ransum ruminansia dapat meningkatkan
konsumsi protein.
Konsumsi saponin pada keempat perlakuan menunjukkan perbedaan yang
nyata (P<0,05). Konsumsi saponin tertinggi pada perlakuan R4 sedangkan yang
terendah pada perlakuan R1. Menurut Cheeke (2000), saponin dalam jumlah tertentu
dapat berperan sebagai stimunomodulator, namun dalam jumlah berlebih dapat
28 Profil Darah
Eritrosit
Eritrosit adalah sel darah yang memiliki fungsi untuk mengikat oksigen dan
mengedarkannya keseluruh jaringan tubuh (Ganong, 2003). Jumlah Eritrosit dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah Eritrosit, Hematokrit dan Hemoglobin Domba
Perlakuan Jumlah Eritrosit (juta/mm3)
Nilai hematokrit
(%)
Hemoglobin
(g/100 ml)
R1 6,50±1,54 23,62±1,69b 8.69±0,81b
R2 7,50±1,24 29,31±4,12ab 10.25±0,53a
R3 6,83±1,11 26,18±6,05ab 8.88±1,56ab
R4 7,24±0,73 33,25±6,59a 10.29±0,62a
Keterangan: R1 = 100% Rumput Lapang
R2 = 70% Rumput Lapang + 30%Kelor
R3 = 70% Rumput Lapang + 30% Gamal R4 = 70% Rumput Lapang + 30% Nangka
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05).
Hasil analisis statistik jumlah eritrosit domba tidak dipengaruhi oleh
perlakuan. Jumlah eritrosit dan nilai hematokrit menunjukkan hasil yang selaras.
Keadaan ini mengindikasikan adanya anemia akibat kekurangan Fe dan cacingan
pada tubuh ternak. Smith dan Mangkoewidjojo (1998) menyatakan nilai eritrosit
domba berkisar antara 9-15 juta sel/ml. Hal ini menunjukkan bahwa jumlah eritrosit
mengalami peningkatan pada perlakuan R2 dan R4 dengan penambahan kelor dan
nangka. Peningkatan tersebut disebabkan oleh adanya senyawa aktif berupa saponin
yang dapat menstimulir terjadinya kondisi hipoksia. Saponin merupakan bahan
surfaktan yang menyerupai sabun yang dapat menurunkan tegangan pemukaan
eritrosit sehingga dapat menyebabkan hemolisis sel (Gunawan dan Mulyani 2004).
Pernyataan ini sesuai dengan hasil penelitian Budi (2005) yang menyatakan bahwa
pemberian daun kelor 5% pada ayam broiler selama 4 minggu diperoleh jumlah
eritrosit masih dalam keadaan normal. Darmawan (1996) mengatakan bahwa faktor
29 vitamin B2, B6, B12, folat, thiamin, vitamin C dan E serta beberapa mineral seperti
Fe, Cu, Mn dan Co.
Hematokrit
Hasil analisis statistik konsentrasi hematokrit dipengaruhi oleh perlakuan
(P<0,05). Rataan nilai hematokrit domba dalam penelitian ini berkisar antara
23,62%-33,25%. Hasil ini searah dengan yang dilaporkan Astuti et al. (2009) yang
menyatakan bahwa persentase nilai hematokrit domba induk yang dipelihara di
Hutan Gunung Walat dengan perlakuan rumput lapang adalah 26,80%. Nilai
hematokrit tertinggi pada perlakuan R4 sedangkan yang terendah pada perlakuan R1.
Nilai hematokrit pada penelitian ini masih dibawah normal, adapun nilai hematokrit
domba adalah 32%-45% (Smith dan Mangkiwidjojo, 1998). Rendahnya nilai
hematokrit yang jauh dari normal dapat menyebabkan anemia akibat dari banyaknya
cairan pada total darah. Penurunan nilai hematokrit dapat terjadi akibat menurunnya
derajat aktivitas tubuh (Guyton dan Hall, 1997).
Hemaglobin
Hemoglobin (Hb) merupakan pigmen eritrosit yang terdiri dari protein
kompleks terkonjugasi yang mengandung besi. Protein Hb adalah globin sedangkan
warna merah disebabkan oleh warna heme. Heme merupakan senyawa metalik yang
mengandung satu atom besi (Guyton dan Hall, 1997). Pengamatan profil darah
memperlihatkan bahwa kadar hemoglobin domba yang mendapat perlakuan R2 dan
R4 mendekati keadaan normal sedangkan pada perlakuan R1 dan R3 lebih rendah.
Keadaan domba yang kemungkinan kekurangan nutrient masih dapat
mempertahankan jumlah hemoglobinnya melalui mekanisme homeostasis, walaupun
lebih rendah dibandingkan dengan kadar normal. Kadar normal hemoglobin pada
domba adalah 11 g/100 ml. Kemungkinan yang dapat menyebabkan kadar Hb rendah
adalah efek saponin yang dapat berikatan dengan atom ion berfalensi 2, dalam hal ini
Fe2+ membentuk senyawa kompleks (Cheeke, 2000) yang menyebabkan penyerapan
Fe terganggu. Meningkatnya kadar hemoglobin dapat menyebabkan peningkatan
30 tubuh ternak akan menghambat metabolisme dalam tubuh. Akan tetapi, bila tubuh
kekurangan protein maka hemoglobin akan disintesa dari cadangan protein tubuh.
Leukosit
Leukosit adalah unit mobil dari sistem pertahanan tubuh. Mereka dibentuk
sebagian dalam sumsum tulang (granulosit dan monosit, dan beberapa limfosit), dan
sebagian dalam jaringan limfe (limfosit dan sel plasma) tetapi setelah pembentukan,
mereka ditransport dalam darah ke berbagai bagian tubuh di mana mereka
digunakan. Manfaat sebenarnya dari sel darah putih yaitu sebagian besar mereka
secara khusus ditransport ke daerah-daerah peradangan yang berbahaya, dengan cara
demikian memberikan pertahanan yang cepat dan poten terhadap setiap agent infeksi
yang mungkin terdapat. Hasil penelitian pada domba yang diberi hijauan tropis dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Jumlah Leukosit, Limfosit dan Neutrofil Domba
Perlakuan Leukosit (ribu/mm3) Limfosit (%) Neutrofil (%)
R1 10.52±4.31 21.25±9.50ab 31.50±7.59b
R2 11.65±1.84 33.25±8.96a 58.25±17.40a
R3 11.46±0.86 21.00±9.50ab 41.75±7.50ab
R4 8.47±1.52 15.50±8.58b 50.75±15.59ab
Keterangan: R1 = 100% Rumput Lapang
R2 = 70% Rumput Lapang + 30%Kelor
R3 = 70% Rumput Lapang + 30% Gamal R4 = 70% Rumput Lapang + 30% Nangka
Superskrip yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan perbedaan yang sangat nyata (P<0,05).
Peningkatan ini dimungkinkan akibat aktivitas saponin pada kelor, gamal dan
nangka yang dapat bertindak sebagai imunostimodulator yang dapat meningkatkan
sistem kekebalan (Cheeke, 2000). Seluruh perlakuan menunjukkan jumlah leukosit
berada dalam kondisi normal yaitu 7-10 ribu/mm3 (Smith dan Mangkoewidjojo,
1998). Didalam aliran darah kebanyakan sel-sel darah putih bersifat non fungsional
dan hanya diangkat kejaringan ketika dibutuhkan saja. Keadaan normal pada leukosit
31 Differensiasi leukosit
Penambahan daun kelor, gamal dan nangka pada pakan terhadap deferensiasi
leukosit melalui uji statistik menunjukkan hasil yang berbeda nyata (P<0.05).
Peningkatan jumlah limfosit pada perlakuan R2 menunjukkan adanya peningkatan
pertahanan sel-sel tubuh domba terhadap mikroorganisme pathogen yang masuk.
Dosis saponin pada perlakuan R2 diduga merupakan dosis optimal untuk
menghasilkan ketahanan pada hewan tersebut. Secara umum kenaikan jumlah
limfosit berkaitan dengan infeksi yang melibatkan sistem pertahanan yang
diperantarai sel dan melibatkan sistem pertahanan humoral (Guyton, 1997).
Berdasarkan data pada Tabel 7 diketahui bahwa terdapat perbedaan yang
nyata pada neutrofil (P<0,05). Persentase neutrofil yang tertinggi pada penelitian ini
terdapat pada perlakuan R2 sedangkan yang terendah terdapat pada perlakuan R1.
Adapun persentase normal neutrofil pada domba adalah 25-30%. Hal ini
menerangkan bahwa penambahan kelor dapat memberi gambaran peningkatan
pertahanan tubuh domba. Tizard (1988) menerangkan bahwa neutrofil mempunyai
fungsi fagositosis, yang merupakan garis pertahanan yang pertama dalam tubuh
untuk mengatasi kejadian infeksi. Secara umum keberadaan netrofil akan meningkat
jika ada benda asing yang masuk kedalam tubuh keadaan ini sering disebut sebagai
leukositosik (Ganong, 2003). Benda asing tersebut dapat berupa virus, bakteri atau
senyawa yang berasal dari antinutrisi.
Serum Protein
Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama penyakit infeksi.
Gabungan sel, molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi
disebut sistem imun. Reaksi yang dikoordinasi sel-sel, molekul-molekul terhadap
mikroba dan bahan lainnya disebut respons imun. Sistem imun diperlukan tubuh
untuk mempertahankan keutuhannya terhadap bahaya yang dapat ditimbulkan
berbagai bahan dalam lingkungan hidup (Baratawidjaja, 2006). Gambaran serum