PENGEMBANGAN KOMPETENSI PENYULUH PERTANIAN
DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
JELAMU ARDU MARIUS
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRACT
JELAMU ARDU MARIUS. The Development of the Competencies of the Agricultural
Extension Agents in East Nusa Tenggara Province. Under direction of SUMARDJO,
MARGONO SLAMET, and PANG S. ASNGARI
The objective of this research are : (1) to analyse the influence of the internal and external factors of the agricultural extension agents to their competencies in doing work, (2) to analyse the correlation between the competencies with the performance of the agricultural extension, (3) to analyse the influence of the farmer’s individual characterization (formal education, non formal education, age, cosmopolitant, adopter category, and income) to their perception in evaluating the performance of the agricultural extension activities, and (4) to compose the strategy for developing the competencies of the agricultural extension agents in Nusa Tenggara Province. The individual characterization of the agricultural extension agents (formal education, non formal education, age, work experience, cosmopolitant, motivation, and the income) were the internal factors which assumed to influence their competencies, and those other i.e the non formal education (diklat), the milieu, and the extension organization structure were the external factors. As a “social agent” the agricultural extension agents have to matter the competencies in working. The main works of the agricultural extension agents were: preparing the extension, implementing , evaluating and reporting, developing the extension, achieving the professionalism, communicating and sosial interacting. The farmers”s individual characterization were formal education, non formal education, age, cosmopolitant, adopter category, and income.
The respondents were the agricultural extension agents and the farmers of the three regency of research area (Kupang regency, Timor Tengah Selatan regency and Manggarai regency). There were 72 agricultural extension agents selected by the census method in six districts and 180 farmers selected by the stratified random sampling method of 18 villages The research was conducted since Juni 2006 to January 2007 by using survey technique, interview, observation, and indepth interview. Data analysis was done by statistical descriptive, Cronbach Alpha, t-test, Rank Spearmen correlation, and path analysis. The analysis showed that internal factor influenced significantly to the competencies of the agricultural extension agents. One of the external factors i.e non formal education (diklat) was not influenced significantly to the competencies of the agricultural extension agents, but the other external factors i.e the milieu, and the organization structure were influenced significantly to the competencies of the agricultural extension agents. The research showed also that the farmers’s individual characterization i,e formal education, non formal education, cosmopolitan, adopter category, and income were influenced significantly to their positive perception in evaluating the performance of the agricultural extension; but the age was not influenced significantly to their positive perception in evaluating the performance of the agricultural axtension. When the age to be higher, the perception tends to be negative. The motivation of the agricultural extension agents was the dominant element in influencing the competencies. The good income was the dominant element of the farmers to give the positive perception for the performance of agricultural extension.
RINGKASAN
JELAMU ARDU MARIUS. Pengembangan Kompetensi Penyuluh Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Dibimbing oleh SUMARDJO, MARGONO SLAMET, dan PANG S. ASNGARI.
Pembangunan pertanian di Indonesia tidak bisa dipisahkan dari peranan penyuluh pertanian. Dalam pembangunan pertanian peranan penyuluh pertanian adalah memberdayakan petani agar bisa menolong dirinya sendiri. Penyuluh pertanian bekerja bersama petani agar mereka mampu mengembangkan potensi dirinya sehingga mampu bertani lebih baik, berusaha tani lebih baik, dan mencapai kehidupan yang lebih sejahtera. Untuk mencapai tujuan-tujuan itu, seorang penyuluh harus memiliki kemampuan dalam melaksanakan tugasnya yang disebut kompetensi. Ada empat tujuan utama dari penelitian ini, yakni: pertama, untuk menganalisis pengaruh faktor internal dan eksternal penyuluh terhadap kompetensi mereka dalam melaksanakan tugasnya; kedua, untuk menganalisis pengaruh kompetensi terhadap kinerja penyuluhan; ketiga, untuk menganalisis pengaruh karakteristik individu petani dengan penilaian kinerja penyuluhan; dan keempat untuk menyusun strategi pengembangan kompetensi penyuluh di Provinsi Nusa Tenggara Timur ke depan. Faktor internal penyuluh dalam penelitian ini adalah karakteristik individu penyuluh seperti pendidikan formal, pendidikan non formal, umur, masa kerja, sifat kosmopolitan, motivasi, dan pendapatan; sedangkan faktor eksternal penyuluh di sini adalah diklat penyuluhan, lingkungan dan struktur organisasi penyuluhan. Sebagai seorang pemberdaya masyarakat, seorang penyuluh harus memiliki kompetensi dalam hal: (1) menyiapkan penyuluhan, (2) melaksanakan penyuluhan, (3) membuat evaluasi dan pelaporan pelaksanaan penyuluhan, (4) mengembangkan penyuluhan, (5) berkomunikasi, dan (6) berinteraksi sosial. Karakteristik individu petani terdiri dari pendidikan formal, pendidikan non formal, umur, sifat kosmopolitan, kategori adopter, dan pendapatan.
Responden penelitian terdiri dari 72 orang penyuluh Pegawai Negeri Sipil yang dipilih secara sensus di enam kecamatan di Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah Selatan, dan Kabupaten Manggarai, serta 180 orang petani yang dipilih dengan teknik stratified random sampling,berdasarkan tingkat keinovatifan petani. Penyuluh di setiap kabupaten digolongkan menjadi dua kategori yakni Penyuluh Ahli yang saat diangkat sebagai penyuluh berlatarbekalang sarjana dan Penyuluh Trampil yang berlatarbelakang SLTA dan Diploma. Penyuluh Ahli dan Penyuluh Trampil dibagi lagi atas dasar jenis usaha yang disuluh yakni Penyuluh Ahli dan Penyuluh Trampil sektor pangan dan Penyuluh Ahli dan Penyuluh trampil sektor hortikultura. Petani dari ketiga kabupaten juga dibagi atas jenis usahanya, yakni petani sektor pangan dan petani sektor horikultura. Penelitian dilakukan pada bulan Juni tahun 2006 sampai dengan Januari 2007dengan menggunakan survey, wawancara dan pengamatan. Statistik yang digunakan adalah Cronbach Alpha, Uji Beda, Korelasi Spearmen, dan Analisis Jalur. Secara rinci, analisis data yang digunakan untuk menjawab masing-masing tujuan adalah: (1) untuk menjawab tujuan pertama yakni menganalisis faktor-faktor yang menentukan/berpengaruh terhadap kompetensi penyuluh digunakan metode regresi linear berganda. Model analisis regresi linier yang digunakan yakni : Y 1 = α + β1X1+β2 X2 +β3 X3 + ....+ β9 X9 + ∈ (keterangan: α=Konstanta, β1,β2...β9 adalah parameter ,Y1=Kompetensi Penyuluh, X1=PendidikanFormal,X2=PendidikanNon Formal, X3=Masa Kerja,X4=SifatKosmpolitan ,X5=Pendapatan Ekonomi, X6 =Motivasi , X7
=Struktur Organisasi Penyuluhan, X8=Diklat Penyuluhan, X9=Lingkungan, e = Galat);
Y2=Kepuasan petani atas kompetensi Penyuluh , X1=Kompetensi Penyuluh , X2=Pendidikan Formal, X3= Pendidikan Non Formal, X4= Umur, X5=Sifat Kosmpolitan , X6=
Pendapatan Ekonomi X7=Kategori Adopter , e = Galat); (3) Menjelaskan kaitan antara karakteristik individu petani dengan penilaiannya terhadap kinerja penyuluhan digunakan analisis korelasi Spearman dan analisis regresi liner berganda. Model analisis regresi linier yang digunakan yakni : Y1 = α + β1X1 + β2 X2 + β3 X3 + ....+ β5 X5 + ∈ (Keterangan:α = Konstanta, β1, β2...β5 adalah parameter , Y1= Kinerja penyuluhan, X1 =Pendidikan Formal, X2=Pendidikan Non Formal, X3=Umur , X4 =Sifat Kosmpolitan , X5=Pendapatan Ekonomi, e=Galat);(4)
Merumuskan rekomendasi strategi pengembangan kompetensi penyuluh pertanian yang tepat bagi Nusa Tenggara Timur di era Otonomi Daerah. X1………Xn = Peubah terikat e = error. Untuk menganalisis besarnya pengaruh faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi Penyuluh Pertanian dan kinerja penyuluhan digunakan metode Path Analysis (analisis jalur) dengan rumus : .rij = pij + Σ k p ij rjk ( Keterangan : r = Koefisien korelasi, p = Koefisien jalur i, j, k = Variabel i, j dan k).
Hasil analisis linier berganda dengan metode Backward menunjukkan bahwa faktor internal dan eksternal penyuluh berpengaruh nyata pada kompetensi penyuluh dengan nilai Adj R2 0.606, Sig F 0,000. Dengan kata lain pengaruh faktor internal dan eksternal penyuluh terhadap kompetensi adalah sebesar 60,6 persen, sedangkan sisanya 39,4 persen disebabkan oleh faktor lain di luar model. Aspek motivasi adalah dimensi yang besar pengaruhnya terhadap kompetensi penyuluh pertanian (0.628), sebaliknya masa kerja penyuluh adalah aspek yang paling tidak berpengaruh terhadap kompetensi penyuluh (-0.281). Pada faktor eksternal aspek dukungan lingkungan khususnya dukungan politik pemda adalah dimensi yang paling berpengaruh terhadap kompetensi penyuluh pertanian (0.384), sedangkan aspek diklat penyuluhan adalah dimensi yang paling tidak berpengaruh terhadap pembentukan kompetensi penyuluh pertanian (-0.141).
Dengan metode yang sama yakni metode Backward menghasilkan bahwa karakteristik individu petani berpengaruh nyata pada penilaian kinerja penyuluhan dengan nilai Adj R2 0.518, Sig F 0,000: artinya, pengaruh karakteristik individu petani terhadap penilaian kinerja penyuluhan sebesar 51,8 persen, dan sisanya 48,2 persen disebabkan oleh faktor lain. Dalam karakteristik individu petani, aspek pendapatan ekonomi adalah dimensi yang paling berpengaruh terhadap penilaian kinerja penyuluhan (0,265), disusul sifat kosmopolitan (0,245) serta pendidikan non formal (0,152), sedangkan aspek umur yang sudah lanjut adalah dimensi yang berpengaruh negatif terhadap penilaian kinerja penyuluhan. Korelasi Spearmen juga menunjukkan adanya hasil yang hampir sama dengan analisis regresi linear berganda dimana karakteristik individu petani berhubungan sangat nyata dengan kinerja penyuluhan pada tingkat kepercayaan Alpha 0,01 (atau 99 persen), kecuali umur yang semakin tua berhubungan negatif dengan kinerja penyuluhan. Temuan penelitian juga menunjukkan bahwa karakteristik petani berpengaruh pada tingkat kepuasan petani akan kompetensi yang diperlihatkan penyuluh dalam melaksanakan tugasnya (nilai koefisien 0,399). Artinya sebanyak 39,9 persen penilaian petani terhadap kompetensi penyuluh ditentukan oleh karakteristik individunya dan 60,1 persen ditentukan oleh faktor lain di luar model. Aspek sifat kosmopolitan petani adalah dimensi karakteristik individu petani yang paling berpengaruh dalam penilaian kepuasan terhadap kompetensi penyuluh (0,282) disusul dengan pendidikan formal petani itu (0.225).
perhatian yang penuh terhadap penyuluh pertanian dan kegiatan penyuluhan. Fakta memperlihatkan menurunnya motivasi dan semangat penyuluh dan berdampak pada rendahnya kinerja penyuluhan yang dalam penelitian ini skor-nya hanya 56,3. Upaya meningkatkan motivasi penyuluh pertanian yang menurun ini hanya bisa dilakukan dengan memberikan perhatian dan komitmen politik terhadap pembangunan pertanian umumnya dan penyuluhan pada khususnya termasuk menata struktur kelembagaan penyuluhan sesuai dengan amanat Undang-undang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan.
@ Hak cipta milik IPB, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak mengindahkan kepentingan yang wajar IPB
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
di Provinsi Nusa Tenggara Timur Nama : Jelamu Ardu Marius
NRP : P061030091
Disetujui
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Sumardjo, MS Ketua
Prof. Dr. Margono Slamet Prof. Dr. Pang S. Asngari
Anggota Anggota
Diketahui
Ketua Departemen Dekan Sekolah Pascasarjana Komunikasi dan Pengembangan
Masyarakat
Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Ke depan pembaca, penulis menyajikan sebuah disertasi berjudul ”Pengembangan
Kompetensi Penyuluh Pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Timur.” Karya ilmiah ini
merupakan salah satu syarat mencapai gelar doktor sebagai gelar akademik yang tertinggi yang telah diuji dalam Sidang Ujian Terbuka pada hari Selasa, 23 Oktober Tahun 2007 di Lantai 6 Rektorat Institut Pertanian Bogor. Karya ilmiah ini adalah salah satu wujud nyata dari kata-kata bijak Alber Eistein. ” manusia, sayuran, atau debu semesta, dan kita semua menari dengan nada misterius yang disenandungkan dari kejauhan oleh seorang pemain yang tak kelihatan.” Penulis menyadar i dengan penuh iman bahwa sentuhan tangan dari seorang pemain yang tak kelihatan, Allah yang Maha Agung telah membimbing, dan memberikan rahmat serta berkahNya yang berlimpah kepada penulis sampai menyelesaikan pendidikan doktoral di kampus yang tercinta ini, Institut Pertanian Bogor. Sentuhan tangan-tangan yang kelihatan pun ikut serta memberikan perannya kepada penulis selama ini sehingga disertasi ini juga merupakan hasil olah pikir bersama melalui proses pembimbingan, proses belajar mengajar, proses diskusi, dan sebagainya. Dalam ranah itu Einstein juga memberikan kesempatan kepada kita untuk merenungkan makna dari kata-kata bijaknya yang lain. ” Agama sejati adalah kehidupan nyata. Kehidupan dengan seluruh jiwa seseorang, dengan seluruh kebajikan dan budi baik seseorang.”
dan intelektual yang memperkaya karya ilmiah ini.
Penulis menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Pimpinan IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk belajar di IPB yaitu Rektor IPB (Prof. Dr. Ir. Ahmad Ansori Mattjik, MSc), mantan Dekan Pascasarjana IPB (Prof. Dr. Ir. Sjafrida Manuwoto, MSc), Dekan Pascasarjana IPB Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS, Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB, Prof. Dr. Ir. Hardinsyah, MS, Ketua Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Dr. Ir. Lala Kolapaking, MS, Mantan Ketua Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan Dr. Ir. Amri Jahi, Ketua Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan, Dr. Ir. Siti Amanah, MSc, semua Dosen dan Staf Pengajar Program Major Ilmu Penyuluhan Pembangunan, serta semua petugas sekretariat di Rektorat dan sekretariat di Program Mayor Ilmu Penyuluhan Pembangunan atas semua kelancaran pelayanan akademik.
Penghargaan dan ucapan terima kasih juga disampaikan kepada sahabat dan rekan penulis, Dr. Adhyaksa Dault, SH, M.Si, Menteri Negara Pemuda dan Olah Raga Republik Indonesia yang telah memberikan dukungan moril kepada penulis selama bersama-sama mengikuti Program Magister di UI dan Program Doktoral di IPB. Penghargaan yang sama disampaikan juga kepada sahabat dan rekan penulis, Drs. Abdul Malik, M.Si, Kepala Biro Kepegawaian Departemen Sosial Republik Indonesia, Dra. A. M. Sasanti, M.Si, dan Drs. Kusgyarto, pegawai pada Depsos RI yang memberikan dukungan moril saat Ujian Terbuka Doktor di IPB.
Penulis juga menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak Gubernur Nusa Tenggara Timur, Piet A. Tallo, SH , Bapak Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur, Drs. Frans Leburaya, Bapak Drs. Pake Pani, Mantan Wakil Gubernur Nusa Tenggara Timur, Bapak Drs. Th. Hermanus, Ma ntan Sekretaris Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur yang telah mengizinkan penulis melanjutkan pendidikan Doktoral di IPB.
Penghargaan dan terima kasih juga disampaikan kepada rekan-rekan angkatan Tahun 2003 yang dalam proses perkuliahan senantiasa saling mendukung: Dr. Ir. Mulyadi, Dr. Dasmin Sidu, SP, MS, Dr. Drs. Dwi Purwoko, M.Si, Dr. Muksin, SP, M.Si, Dr. Drs. H. Ibrahim Saragih, M.M, Dr. Wildani Pinkan, ST, MS. Ir. Sapja Anantanyu, M.Si, Dr. Dra. Sri Tjahyorini, M.Si, Dr. Syafiudin, SPd, M.Si, Drs. Bustang Mappaseling, M.Si, Dra. Marlyati, Msi, dan Drs. Bahrin, M.Si.
mendoakanku setiap hari. Doaku untuk almarhum ayah Bapak Lukas Jelamu yang tidak sempat melihat keberhasilan putra sulungnya. Terima kasih juga kepada mama Mertuaku, mama Mia, doaku untuk almarhum Bapa mertua, Bapa Alo Susuk. Terima kasih kepada kakak, dan adik: kaka Drs. Saverius dan Meri Jelamu sekeluarga, kaka Marten dan Since Jelamu, adik Heribertus Jelamu, SH, sekeluarga, adik Ir. Yos Jelamu sek., adik Kris dan Sefi Jelamu sek., adik Adrianus dan Emi Jelamu sek., adik John Jelamu (almarhum) sek., serta seluruh keluarga besar.
Semoga semua jasa dan pengorbanan para guru, pendidik, budi baik serta simpati dari semua pihak yang telah membantu penulis, dibalas oleh Tuhan yang Maha Agung yang mengetahui setiap perbuatan maklukNya. Terima Kasih.
Bogor, Nopember 2007
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Cancar, Manggarai, Flores Barat, Provinsi Nusa Tenggara Timur tanggal 15 Agustus 1963 sebagai anak ketiga dari ayah Bapak Lukas Jelamu (alm) yang berprofesi sebagai Guru Sekolah Dasar (SD) dan Ibu Lusia Lembut. Pendidikan sarjana ditempuh di Sekolah Tinggi Filsafat/Teologi Katolik Ledalero, Maumere Flores, lulus tahun 1989. Pada tahun 9997, penulis diterima di Program Studi Sosiologi pada Program Pascasarjana Universitas Indonesia dan menamatkannya pada tahun 1999. Pada tahun 2003 diterima di Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Pemerintah Daerah Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Kompetensi Mengevaluasi dan Melaporkan Hasil Pelaksana- an Penyuluhan Pertanian... Kompetensi Mengembangkan Penyuluhan Pertanian... Kompetensi Berkomunikasi... Kompetensi Berinteraksi Sosial... Karakteristik Individu Penyuluh Pertanian... Pendidikan dan Pelatihan Penyuluhan Pertanian... Lingkungan... Struktur Organisasi Penyuluhan Pertanian...
HASIL DAN PEMBAHASAN... Gambaran Umum Lokasi Penelitian... Kondisi Penyuluhan pertanian di Provinsi Nusa Tenggara Ti-
mur... Struktur Kelembagaan... Sumber Daya Manusia Penyuluh Pertanian... Pendidikan dan Pelatihan Penyuluhan Pertanian... Sebaran Penyuluh Pertanian di kabupaten Kupang, Timor Te-
Pendapat Petani tentang Manfaat Kepemimpinan Tani, Wani ta dan Pemuda Tani bagi Petani... Pendapat Petani tentang Kompetensi Penyuluh Pertanian... Besaran Nilai Kompetensi Penyuluh Pertanian menurut Peta- ni... Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kompetensi Penyu-
luh Pertanian... Pengaruh Kompetensi Penyuluh Pertanian terhadap Kinerja Pe-
nyuluhan... Hubungan antara Karakteristik Petani denga n Penilaiannya ter-
hadap Kinerja Penyuluhan... Jalur Peubah yang Berpengaruh terhadap Kinerja Penyuluhan... Implikasi Temuan Penelitian terhadap Pelaksanaan Undang-un-
dang Nomor 16 Tahun 2006 tentang Sistem Penyuluhan Perta -
nian, Perikanan, dan Kehutanan... Standar Kompetensi Penyuluh Pertanian... Peningkatan Pendidikan Formal diikuti oleh Peningkatan Pen- didikan Non Formal... Sertifikasi Berdasarkan Pendidikan dan Sertifikasi Berdasar-
kan Pengalaman...
STRATEGI PENGEMBANGAN KOMPETENSI PENYULUH
PERTANIAN DI PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR...
KESIMPULAN DAN SARAN ... Kesimpulan... Saran...
DAFTAR PUSTAKA...
181 186
188
189
192
193 197
200 206
207
210
211
219 219 220
222
DAFTAR TABEL
Halaman 1 Elemen-elemen Karakter Sosial Individu Penyuluh Pertanian yang
Ideal dan yang tidak Ideal... 2 Aspek Ideal diklat yang memberdayakan dan tidak memberdayakan... 3 Faktor lingkungan yang kondusif dan tidak kondusif bagi pengembang- an penyuluhan pertanian... 4 Aspek struktur organisasi penyuluhan yang kondusif dan tidak kondu- sif... 5 Kompetensi penyuluh pertanian menurut pola yang memberdakan dan yang tidak memberdayakan... 6 Kinerja yang memuaskan dan yang tidak memuaskan... 7 Populasi dan Sample Penyuluh Pertanian serta Petani... 8 Kisaran nilai koefisien korelasi uji validitas instrumen... 9 Nilai Koefisien Alpha Hasil Uji Reliabilitas... 10 Sebaran penyuluh pertanian berdasarkan jabatan Penyuluh Pertanian Trampil dan Penyuluh Pertanian Ahli di masing-masing abupaten lokasi penelitian... 11 Kualifikasi pendidikan penyuluh pertanian di kabupaten Kupang, Ti- mor Tengah Selatan, dan Manggarai... 12 Kegiatan diklat bagi penyuluh pertanian tahun 2005 di Kupang... 13 Kegiatan diklat bagi penyuluh pertanian tahun 2006 di Kupang... 14 Sebaran penyuluh pertanian di kabupaten Kupang Tahun 2006 berda- sarkan wilayah kerja... 15 Sebaran penyuluh pertanian di kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2006 berdasarkan wilayah kerja... 16 Sebaran penyuluh pertanian di kabupaten Manggarai Tahun 2006 ber- dasarkan wilayah kerja... 17 Karakteristik Individu Penyuluh Pertanian kabupaten Kupang... 18 Karakteristik Individu Penyuluh Pertanian kabupaten Timor Tengah Selatan Tahun 2006... 19 Karakteristik Individu Penyuluh Pertanian kabupaten Manggarai Ta- hun 2006... 20 Hasil Uji Beda Karakteristik Individu Penyuluh antara La han Kering (Kupang dan Timor Tengah Selatan) dan Lahan Basah (Manggarai)... 21 Hasil Uji Beda Karakteristik Individu antara Penyuluh Ahli dan Penyu- luh Trampil... 22 Analisis Uji Beda Karakteristik Individu Penyuluh Usahatani Hortikul- tura dan Pangan... 23 Karaktersitik Petani di Tiga Kabupaten Penelitian...
Timor Tengah Selatan) dan Lahan Basah (Manggarai)... 25 Hasil Uji Beda Karakteristik Individu Petani Hortikultura dan Pangan.. 26 Pendapat penyuluh kabuupaten Kupang tentang diklat penyuluhan... 27 Pendapat penyuluh kabupaten Timor Tengah Selatan tentang diklat pe- nyuluhan... 28 Pendapat penyuluh kabupaten Manggarai tentang diklat penyuluhan... 29 Hasil Uji Beda Penilaian diklat Penyuluhan antara Lahan Kering ( Ku- pang, dan Timor Tengah Selatan) dan Lahan Basah (Manggarai)... 30 Hasil Uji Beda Penilaian Diklat Penyuluhan antara Penyuluh Ahli dan PenyuluhTrampil... 31 Hasil Uji Beda Diklat Penyuluhan antara Penyuluh Hortikul tura dan Penyuluh Pangan... 32 Pendapat penyuluh kabupaten Kupang tentang Lingkungan... 33 Pendapat penyuluh kabupaten Timor Tengah Selatan tentang Lingkung an ... 34 Pendapat penyuluh kabupaten Manggarai tentang lingkungan... 35 Hasil Uji Beda penilaian dukungan lingkungan antara Penyuluh Lahan Kering (Kupang dan Timor Tengah Selatan) dan Lahan Basah (Mang- garai)... 36 Hasil Uji Beda penilaian dukungan lingkungan antara Penyuluh Ahli dan Penyuluh Trampil... 37 Analisis Uji Beda penilaian dukungan lingkungan antara Penyuluh Hor tikultura dan Penyuluh Pangan... 38 Pendapat penyuluh kabupaten Kupang tentang struktur organisasi pe- nyuluhan... 39 Pendapat penyuluh kabupaten Timor Tengah Selatan tentang struktur organisasi penyuluhan... 40 Pendapat penyuluh kabupaten Manggarai tentang struktur orga nisasi penyuluhan... 41 Hasil Uji Beda dukungan struktur organisasi penyuluhan antara penyu luh lahan kering (Kupang dan Timor Tengah Selatan) dan penyuluh la- han basah (Manggarai)... 42 Hasil Uji Beda dukungan struktur organisasi penyuluhan me nurut Pe- nyuluh Ahli dan Penyuluh Trampil... 43 Analisis uji Beda dukungan struktur organisasi penyuluhan me nurut Penyuluh hortukultura dan Penyuluh pangan... 44 Kemampuan Penyuluh mengidentifikasi potensi wilayah... 45 Kemampuan Penyuluh mengidentifikasi agroekosistem... 46 Kemampuan Penyuluh mengidentifikasi kebutuhan teknologi pertanian 47 Kemampuan Penyuluh menyusun program penyuluhan... 48 Kemampuan Penyuluh menyusun rencana kerja penyuluhan...
109
49 Kemampuan Penyuluh menyusun materi penyuluhan... 50 kemampuan Penyuluh menerapkan metode penyuluhan perorangan...
51 Kemampuan penyuluh menerapkan metode penyuluhan kelompok... 52 Kemampuan penyuluh menerapkan metode penyuluhan massal... 53 Kemampuan penyuluh membina kelompok tani sebagai kelompok pembelajaran... 54 Kemampuan penyuluh mengembangkan swadaya petani-nelayan... 55 Kemampuan penyuluh membuat evaluasi dan pelaporan hasil pelaksa- naan penyuluhan………... 56 Kemampuan penyuluh merumuskan kajian arah kebijaksanaan pe- ngembangan penyuluhan... 57 Kemampuan penyuluh menyusun pedoman pelaksanaan penyuluhan.... 58 Kemampuan penyuluh mengembangkan metode/system kerja penyu- luhan... 59 Kemampuan penyuluh berkomunikasi lisan... 60 Kemampuan penyuluh berkomunikasi secara tertulis... 61 Kemampuan penyuluh berinteraksi sosial... 62 Hasil Uji Beda kompetensi penyuluh antara lahan kering (Kupang dan Timor Tengah Selatan) dan lahan basah (Manggarai)... 63 Hasil Uji Beda kompetensi penyuluh antara Penyuluh Ahli dan Penyu- luh Trampil... 64 Analisis uji Beda kompetensi antara penyuluh hortikultura dan penyu- luh pangan... 65 Pendapat petani tentang manfaat organisasi penyuluhan sebagai pema - sok jasa informasi penyuluhan bagi petani... 66 Pendapat petani tentang kesesuaian materi penyuluhan dengan kebu- tuhan aktual petani... 67 Pendapat petani tentang kepuasan penerapan metode penyuluhan pero- rangan ... 68 Pendapat petani tentang kepuasan penerapan metode penyuluhan ke- lompok... 69 Pendapat petani tentang kepuasan penerapan metode penyuluhan ma- sal khususnya Radio... 70 Pendapat petani tentang manfaat kelompok tani... 71 Pendapat petani tentang manfaat lembaga ekonomi tani... 72 Pendapat petani tentang manfaat kepemimpinan tani... 73 Pendapat petani tentang manfaat kepemimpinan wanita tani... 74 Pendapat petani tentang manfaat kepemimpinan pemuda tani... 75 Hasil Uji Beda penilaian kinerja penyuluhan antara penyuluh pertani
penyuluh pertanian... 80 Kaitan antara kompetensi penyuluh dengan kinerja penyuluhan... 81 Korelasi antara karakteristik individu petani dengan penilaian kinerja penyuluhan... 82 Kaitan antara karakteristik individu petani dengan penilaian kinerja penyuluhan... 83 Kaitan antara Karakteristik Individu Petani dengan penilaian kepuasan terhadap Kompetensi Penyuluh... 84 Analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja penyuluh per- tanian... 85 Anallisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan terhadap kompetensi penyuluh pertanian...
189 193
194
196
197
198
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Hubungan saling pengaruh antara karakter individu penyuluh per
tanian, diklat penyuluhan, lingkungan, struktur organisasi
penyuluhan dan kompetensi penyuluh pertanian... 2 Peta Wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur... 3 Kinerja penyuluhan pertanian menurut pendapat petani... 4 Analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi pe- nyuluh pertanian dan kinerja penyuluhan... 5 Analisis jalur faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan penyu luhan...
65 89 188
212
Latar Belakang
Dalam peta ekonomi politik Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur
adalah salah satu provinsi yang masih tertinggal dari provinsi lainnya bukan saja
dalam hal pembangunan fisik tetapi juga terkait dengan pembangunan dan
pengembangan sumberdaya manusianya. Menurut Bank Dunia (1999), Human Development Index (HDI) Provinsi Nusa Tenggara Timur hanya 54,3 (urutan ketiga terendah secara nasional setelah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Irian
Jaya yang sekarang berganti nama menjadi Provinsi Papua). Lambannya
pembangunan dan pengembangan sumberdaya manusia di provinsi kepulauan ini
berdampak pada rendahnya kemampuan sosial, ekonomi, dan berbagai akses
kesejahteraan lainnya sebagaimana yang dimiliki oleh warga di wilayah lain
terutama di Indonesia bagian barat. Ketimpangan kebijakan pembangunan antara
Indonesia bagian barat dan timur hampir di semua sektor kehidupan termasuk
dalam pengembangan sumberdaya manusia menjadikan wilayah ini menjadi salah
satu zona ekonomi dan sosial yang tidak kompetitif secara nasional (Sayogyo,
1994).
Ketimpangan pembangunan antara wilayah di Indonesia telah
mengakibatkan jarak sosial dan ekonomi yang semakin lebar di antara wilayah
barat dan timur. Bahkan menurut Sayogyo, sebagai subsistem sosial ekonomi,
sejak tahun 1970-an, Provinsi Nusa Tenggara Timur tergolong terisolasi dari arus
pembangunan ekonomi Indonesia yang dampaknya sangat terasa hingga sekarang.
Isolasi sosial, ekonomi dan fisik telah menyebabkan provinsi ini tergolong sebagai
provinsi yang miskin dan tertinggal. Menurut Kuncoro (2004), penduduk miskin
di Provinsi Nusa Tenggara Timur sampai tahun 2001 mencapai 1.317.500.000
orang (33,01 persen dari kurang lebih 4 juta penduduk). Pada tahun 2003
pendapatan per kapita penduduk sebesar Rp. 2,2 juta/tahun atau Rp. 183.300/
bulan (BPS NTT).
Keterbatasan kualitas sumberdaya manusia dan ancaman kemiskinan
penduduk di Provinsi Cendana ini berjalan seiring dengan keterbatasan
Indonesia, Provinsi Nusa Tenggara Timur mempunyai dua musim yaitu musim
kemarau dan musim hujan. Pada bulan Juni-September arus angin berasal dari
Australia dan tidak banyak mengandung uap air sehingga mengakibatkan musim
kemarau. Sebaliknya pada bulan Desember-Maret arus angin banyak mengandung
uap air yang berasal dari Asia dan Samudra Pasifik sehingga terjadi musim hujan.
Namun musim hujan di Nusa Tenggara Timur berlangsung lebih singkat (Januari
sampai dengan Maret dan Desember), dan 8 bulan lainnya relatif adalah kering.
Keadaan ini menyebabkan Nusa Tenggara Timur tergolong wilayah yang kering
dan berdampak pada merosotnya produktivitas pertanian di daerah ini (Badan
Pusat Statistik Provinsi NTT, 2003).
Penyebaran curah hujan di seluruh wilayah Provinsi Nusa Tenggara Timur
juga tidak merata. Curah hujan tertinggi terdapat di Flores bagian barat, Timor
bagian tengah dan Sumba Barat, yaitu antara 1200 – 3000 mm/tahun. Di Flores
Timur, Alor dan Sumba Timur curah hujan rata-rata antara 800 – 1000 mm/tahun
dengan jumlah hari hujan sekitar 100 – 150 hari/tahun. Rendahnya curah hujan ini
juga menjadi faktor utama penyebab kurang majunya pertanian di provinsi ini
selain karena keterbatasan sosial dan ekonomi masyarakatnya. Kendatipun
tersedia lahan yang luas, namun jika tidak didukung oleh ketersediaan air, maka
usaha pertanian tetap akan menjadi sia-sia.
Dari segi ekologi dan wilayah, iklim Nusa Tenggara Timur yang lebih
kering (pengaruh benua Australia) berbeda dari iklim “tropik basah” yang
mencirikan sebagian besar Indonesia bagian barat. Sebagai daerah yang beriklim
kering (Semi Arid), sumberdaya lahan di Provinsi Nusa Tenggara Timur
didominasi oleh lahan kering. Lahan kering adalah lahan yang tidak mengalami
genangan secara permanen ataupun tidak dapat digenangi air (upland). Lahan kering di wilayah ini adalah lahan kering beriklim kering, sehingga sangat
berbeda dengan lahan kering beriklim basah seperti di Kalimantan atau Sumatra,
yang pada umumnya terdiri dari tanah Podsolik Merah Kuning. Ciri-ciri umum
lahan kering di Nusa Tenggara Timur, antara lain : (a) kandungan humus/bahan
organiknya rendah sampai sangat rendah, (b) tingkat keasamannya netral, (c)
solum tanahnya tipis sampai sedang, (d) keadaan tanah umumnya berbatu, (e)
kesuburan kimiawi tanah relatif masih tinggi, namun karena kekurangan air maka
tingkat kesuburannya tergolong rendah (lahan marginal), dan (g) jenis tanah
umumnya mediteran merah kuning, grumusal andosol, regosol dan tanah
kompleks.
Topografi Nusa Tenggara Timur yang umumnya terdiri dari tanah
pegunungan dan daerah perbukitan serta padang luas yang tandus, kering dan
tidak subur dengan intensitas curah hujan yang sangat rendah menjadi hambatan
lain dalam membangun wilayah ini selain masih rendahnya komitmen pemerintah
pusat dalam membuka isolasi fisik, sosial dan ekonomi yang menerpa wilayah ini
dari dahulu sampai sekarang. Kebijakan pembangunan yang tidak merata antara
wilayah barat dan timur Indonesia menyebabkan sebagian besar wilayah Timur
Indonesia termasuk Nusa Tenggara Timur terisolasi bukan saja secara fisik tetapi
juga secara sosial, ekonomi dan budaya (Sayogyo, 1994). Ketidakmerataan dalam
pembangunan infrastruktur, sarana transportasi dan komunikasi menyebabkan
wilayah ini sangat lamban untuk bertumbuh dan berkembang sebagaimana
wilayah lainnya.
Hubungan timbal balik dan saling mempengaruhi antara keterbatasan
sumberdaya alam dengan kualitas sumberdaya manusia di Nusa Tenggara Timur
telah menyebabkan provinsi ini tergolong sebagai salah satu wilayah yang
termiskin dan tertinggal di Indonesia. Keterbatasan kemampuan kualitas
sumberdaya manusia di provinsi ini berpengaruh pada keseluruhan kinerja dan
etos kerja warga yang pada gilirannya berdampak pada rendahnya kesejahteraan
sosial dan ekonomi. Padahal sumberdaya manusia atau human resources adalah penduduk yang siap, mau dan mampu memberi sumbangan terhadap usaha
pencapaian tujuan organisasional (the people who are ready, willing and able to contribute to organizational goals) yang tidak hanya terbatas pada industri atau perusahaan, tetapi juga organisasi di berbagai bidang seperti politik,
pemerintahan, hukum, sosial, budaya, lingkungan, masyarakat ataupun negara
(Ndraha, 1999).
Sebagai bagian dari sumberdaya manusia Nusa Tenggara Timur, Penyuluh
Pertanian yang selama ini menjadi agen pemberdaya bagi petani akan berhadapan
sumberdaya manusia itu sendiri. Berbagai persoalan itu akan berpengaruh pada
kinerja penyuluhan pada umumnya. Martinez (1987) mengatakan bahwa penyuluh
adalah seorang profesional garis depan yang berinisiatif melakukan perubahan,
membantu masyarakat sasaran melaksanakan aktivitas usaha taninya,
memperkenalkan dan menyebarkan ide-ide baru, mendorong partisipasi dan
menyokong kepentingan masyarakat sasaran. Peran penyuluh ini terkait dengan
tiga tujuan utama penyuluhan yakni bertani lebih baik (better farming), berusahatani lebih baik (better business) dan mencapai kehidupan yang lebih baik (better living). Dalam proses mencapai tiga tujuan penyuluhan ini, Dusentary (Mosher, 1971) mengatakan bahwa tugas penyuluh adalah : (1) menambah
pengetahuan kepada para petani sehingga mereka menjadi cakap dan mampu
berusahatani lebih baik, (2) memotivasi para petani agar mengarahkan
usahataninya kepada bahan pangan yang banyak diperlukan sehingga hasil yang
diperoleh lebih menjamin kehidupannya, (3) menambah pengetahuan petani
tentang inovasi-inovasi baru yang berguna untuk usahataninya, (4) menumbuhkan
pengetahuan petani untuk mengembangkan bakat-bakatnya di bidang usahatani,
dan (5) membentuk masyarakat petani yang bangga akan usahanya, bebas dan
mandiri dalam berpikir, percaya diri dan tidak bergantung pada kekuatan orang
lain. Di tengah kelompok sasaran penyuluhan, penyuluh berperan dalam banyak
hal seperti yang disampaikan oleh Rogers dan Shoemaker (1971) yakni : (1)
mengembangkan kebutuhan untuk berubah, (2) membina hubungan untuk
perubahan, (3) mengidentifikasi dan menganalisa masalah, (4) menumbuhkan
rencana perubahan pada sasaran, (5) melaksanakan rencana perubahan, dan (6)
menjaga kestabilan perubahan sehingga sasaran mampu mengembangkan dirinya.
Dalam konteks masyarakat yang serba terbatas dan miskin sumberdaya,
peranan seorang penyuluh pertanian di Nusa Tenggara Timur sangat strategis
untuk melakukan aksi pemberdayaan. Persoalannya adalah sejauh mana ia
memiliki kemampuan mengaplikasikan perannya secara optimal karena penyuluh
pertanian hanyalah salah satu subsistem dari keseluruhan sistem yang lebih besar.
Secara organisatoris, penyuluh pertanian adalah bagian kecil dari sistem
organisasi pemerintahan yang besar dan kompleks. Tatkala penyuluh pertanian
tetapi atas nama sebuah organisasi pemerintahan. Penyuluh pertanian diangkat
oleh negara dengan persyaratan-persyaratan tertentu dan ketika ia diberi tugas
sebagai penyuluh ia harus melaksanakan tugasnya dengan kompetensi-kompetensi
tertentu yang telah ditetapkan oleh organisasinya. Karena itu tatkala seorang
penyuluh pertanian melaksanakan tugasnya ia tidak hanya mengandalkan
kemampuan internal individunya seperti pendidikan formal, jumlah pelatihan
yang pernah diperoleh, pengalaman bekerja, motivasi dan semangat, tetapi juga
dukungan berbagai faktor determinan lain seperti dukungan kebijakan, komitmen
politik, dukungan lingkungan sosial dan sebagainya.
Sekedar kembali mengingat sejarah masa lalu, pembangunan pertanian dan
penyuluhan pertanian di Indonesia pernah mencapai puncaknya terutama di era
tahun 1980-an ketika komitmen politik pemerintah sangat tinggi terhadap
pembangunan ekonomi yang berbasis pertanian. Pengakuan Badan Pangan Dunia
(FAO), tahun 1983 ketika Indonesia mampu menjadi negara swasembada pangan
khususnya beras tidak saja pengakuan terhadap kemajuan pertanian itu sendiri,
tetapi juga pengakuan terhadap kemajuan penyuluhan. Arifin (2005:11-12)
mengatakan bahwa selama 16 tahun pertama masa administrasi Presiden
Soeharto, sektor pertanian telah menjadi basis utama strategi pembangunan dan
berperan cukup penting dalam perekonomian Indonesia. Investasi besar-besaran
dalam sektor infrastruktur, sarana dan prasarana dasar seperti jalan, jembatan,
bendungan, saluran irigasi dan lain-lain seakan menjadi menu dasar dalam strategi
pembangunan ekonomi waktu itu.
Wardoyo (1992) mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan pertanian
di Indonesia waktu itu dimungkinkan oleh dukungan dua hal penting yaitu: (1)
stabilitas sosial politik dan keamanan yang sangat diperlukan dalam kegiatan
pembangunan, dan (2) komitmen yang kuat baik dari pimpinan tingkat nasional
dan provinsi maupun kabupaten/kota. Wardoyo menyebut enam faktor kunci
keberhasilan pembangunan pertanian Indonesia itu yakni: (1) political will dari pemerintah yang tercermin dari adanya penyediaan tenaga pembangunan
pertanian yang cukup dengan dana dan sarana yang memadai, (2) kebijaksanaan
pembangunan pertanian yang tepat, konsisten dan berkesinambungan, (3)
akan terlaksana dengan baik apabila faktor-faktor yang berhubungan dan
berkaitan secara langsung dan tidak langsung dibangun secara bersamaan, (4)
dihasilkannya teknologi pertanian dan rekayasa sosial yang sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, (5) berkembangnya struktur pedesaan yang progresif,
seperti penyuluh pertanian, Koperasi Unit Desa (KUD), lembaga-lembaga
perkreditan, lembaga pengolahan dan pemasaran hasil pertanian, dan (6)
dibentuknya suatu kelembagaan yang terkenal dengan sebutan Bimas (Bimbingan
massal) yang mempertemukan dan menyinkronkan beberapa lembaga
pembangunan pertanian untuk dapat bekerja secara isi mengisi, saling
membutuhkan dan saling menguntungkan dan dikoordinir oleh Departemen
Pertanian, Gubernur dan Bupati/Walikota. Soedijanto (2004) mengatakan bahwa
pada saat itu pembangunan pertanian yang berbasis beras itu dijadikan sektor
pembangunan yang paling penting dengan pendekatan Trimatra yakni (1)
usahatani terpadu, (2) komoditi terpadu, dan (3) wilayah terpadu, melalui 4
(empat) usaha pokok yaitu: (1) intensifikasi, (2) ekstensifikasi, (3) rehabilitasi,
dan (4) diversifikasi.
Dari uraian di atas tampak bahwa kemajuan pembangunan pertanian dan
penyuluhan pertanian di masa lalu termasuk di Nusa Tenggara Timur ditentukan
oleh tiga hal utama, yaitu (1) kesiapan sumberdaya manusia (penyuluh pertanian,
aparatur pemerintah, peneliti, lembaga-lembaga masyarakat dan sebagainya), (2)
kesiapan kelembagaan (terstruktur dari pusat sampai dengan daerah), dan (3)
dukungan politik yang tinggi (baik dari pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah). Komitmen politik ini berdampak pada kesiapan peraturan dan kebijakan,
dana, pembangunan infrastruktur, kelembagaan ekonomi/keuangan dan
sebagainya.
Permasalahan Penelitian
Ada tiga masalah utama yang menyebabkan penyuluhan di Provinsi Nusa
Tenggara Timur mengalami stagnasi terutama setelah wewenang penyuluhan
diserahkan kepada daerah dalam kerangka pelaksanaan otonomi daerah, yaitu (1)
masalah rendahnya kualitas dan kesiapan sumberdaya penyuluh pertanian sebagai
kurang adanya dukungan politik Pemda yang signifikan dan intensif terhadap
kegiatan penyuluhan pertanian.
Dari aspek sumberdaya manusia penyuluh pertanian, provinsi yang terdiri
dari limabelas kabupaten dan satu kota ini hanya memiliki 1.081 orang penyuluh
pertanian Pegawai Negeri Sipil, tidak sebanding dengan jumlah desa 2.585
desa/kelurahan (BPS Nusa Tenggara Timur, 2003). Perbandingan jumlah
penyuluh pertanian dengan desa 1:2,4; sebagian besar penyuluh pertanian (57
persen) hanya berpendidikan SPMA (Sekolah Pertanian Menengah Atas). Di tiga
kabupaten lokasi penelitian, yakni Kabupaten Kupang, Kabupaten Timor Tengah
Selatan dan Kabupaten Manggarai, jumlah penyuluh pertanian juga tidak
sebanding dengan jumlah desa. Kabupaten Kupang mempunyai 99 penyuluh
pertanian dengan jumlah desa/keluraha n 186 (perbandingan 1:1,8); sebagian besar
penyuluh pertanian (86,8 persen) berpendidikan SPMA. Kabupaten Timor Tengah
Selatan mempunyai 122 penyuluh pertanian dengan jumlah desa/kelurahan 215
(perbandingan 1:1,8); sebagian besar penyuluh pertanian (85,7 persen)
berpendidikan SPMA. Kabupaten Manggarai mempunyai 98 penyuluh pertanian,
desa/kelurahan 254 (perbandingan 1:2,6); sebagian besar (77,5 persen)
berpendidikan SPMA.
Tingkat pendidikan sebagian besar penyuluh pertanian yang terbatas ini
semakin kurang berdaya menghadapi perubahan-perubahan kemasyarakatan
termasuk di bidang usahatani. Diklat yang diharapkan menjadi media
pengembangan dan peningkatan kompetensi kurang memberi nilai tambah yang
berarti kepada kemampuan penyuluh pertanian karena kualitas dan kuantitasnya
yang terbatas. Kurikulum diklat yang selama ini diberikan kepada penyuluh
pertanian masih dominan berasal dari pusat dan kurang mengakomodasi
kebutuhan penyuluh pertanian dan petani di daerah. Dampak lanjutan yang terjadi
adalah rendahnya kompetensi penyuluh pertanian yang berakibat pada kurang
efektifnya mereka di dalam menjalankan tugas.
Kurangnya dukungan politik pemda terhadap penyuluhan tampak dalam
struktur kelembagaan penyuluhan yang terkesan tidak tertata secara profesional.
Di tingkat provinsi, kelembagaan yang khusus menangani penyuluhan belum ada.
ditangani oleh sub Bidang Sumberdaya Manusia Badan Ketahanan Pangan
Provinsi. Di tingkat kabupaten, kelembagaan penyuluhan sangat beragam bentuk
dan statusnya: ada yang berbentuk ”Badan”, ”Kantor,” ”Sub Bidang”, ”Kelompok
Jabatan Fungsional” dan sebagainya. Sebagian besar struktur kelembagaan
penyuluhan di kabupaten/kota maksimal Eselon III dan berakibat pada rendahnya
”posisi tawar” tatkala ia berkoordinasi dengan lembaga lain yang memiliki
struktur eselonering yang lebih tinggi. Struktur kelembagaan yang terbatas ini
juga berakibat pada dilikuidasinya unit-unit struktur yang lebih kecil yang
menangani penyuluhan dan penyuluh. Dampak dari penggabungan beberapa
struktur adalah perampingan personil termasuk penyuluh yang di era otonomi
daerah cenderung berpindah ke unit-unit/kantor lain dan meninggalkan tugasnya
sebagai penyuluh.
Penyuluhan pertanian semakin menjadi terputus karena Balai Penyuluhan
Pertanian (BPP) di hampir semua kecamatan di Nusa Tenggara Timur yang
dahulu sebelum otonomi daerah sangat eksis dan menjadi pusat informasi jasa
penyuluhan banyak yang tidak berfungsi. Ada sebagian kecamatan yang masih
memiliki gedung BPP tetapi tidak ada aktivitasnya. Ada juga sebagian kantor
camat yang memberikan salah satu ruangannya untuk penyuluh pertanian
mengkoordinasikan tugasnya di desa-desa, namun pelaksanaan manajemennya
tidak efektif. Padahal BPP adalah tempat yang strategis bukan saja bagi penyuluh
pertanian tetapi juga bagi petani yang ingin mencari informasi penting terkait
dengan pertanian.
Slamet (2003:59) mengatakan bahwa dalam situasi yang tidak
menguntungkan itu motivasi kerja para penyuluh pertanian turun secara deras,
sampai banyak yang terbukti tidak menjalankan tugasnya lagi. Hal ini makin
dimungkinkan karena tidak adanya program-program penyuluhan yang wajib
mereka lakukan di lapangan. Sebagian penyuluh pertanian mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan sampingan yang dapat menghasilkan tambahan penghasilan.
Ada yang tetap melayani kebutuhan-kebutuhan petani “binaannya” dengan
dukungan “biaya” dari para petani, dan ada pula yang “lari” dari wilayah
kerjanya. Dari penelitian ditemukan adanya kelompok-kelompok tani yang
yang bertugas di wilayahnya, tanpa mengetahui kemana perginya penyuluh
pertanian itu.
Dari aspek penyelenggaraan penyuluhan, ditemukan berbagai persoalan
seperti ketidakmampuan penyuluh pertanian menyusun program penyuluhan
pertanian oleh karena ketidakjelasan pelaksanaan kebijakan penyuluhan. Hal ini
sangat terasa di era kejatuhan Orde Baru tahun 1998 sampai dengan tahun 2003.
Pada masa-masa transisi ini penyul uhan sama sekali tidak berjalan dan semua
penyuluh pertanian menunggu dalam ketidakjelasan. Mardikanto mengatakan
bahwa kegiatan penyuluhan pertanian oleh pemerintah tak diminati masyarakat.
Penyebabnya bukan hanya lemahnya profesionalisme penyuluh pertanian, tetapi
karena kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan kian beragamnya kegiatan
penyuluhan oleh berbagai pihak. Peran penyuluh pertanian pemerintah mulai
memudar dan mencapai titik terparah saat penyuluhan pertanian diserahkan ke
daerah karena desentralisasi (Kompas, 27 Januari, 2006:22).
Selain permasalahan-permasalahan di atas, kompetensi penyuluh pertanian
yang ada juga sudah tidak memadai sesuai dengan dinamika perubahan yang ada.
Pada umumnya Penyuluh Pertanian yang ada terbiasa dengan budaya petani
produsen. Warna penyuluhan yang diberikan kepada petani ini lebih mengarah ke
usahatani. Sementara dalam perkembangannya, sebagian petani telah melangkah
maju menjadi petani pengusaha dengan budaya bisnisnya. Karena itu penyuluhan
pertanian telah bersifat agrobisnis dan agroindustri. Hal itu berarti ciri khas
penyuluhan pertanian itu telah berubah menjadi penyuluhan agribisnis.
Kesenjangan kompetensi ini mengakibatkan banyak program penyuluhan baik
yang ada di kabupaten/kota, kecamatan, apalagi desa tidak bisa disusun dan
dilaksanakan dengan baik. Kompetensi Penyuluh Pertanian yang kurang memadai
ini pada gilirannya menghasilkan output penyuluhan yang tidak memuaskan
kelompok sasaran. Di tingkat petani saat ini ada sikap acuh terhadap penyuluh
(Soedijanto, 2004: 49).
Berdasarkan latarbelakang dan permasalahan di atas, maka pertanyaan
penelitian yang dapat dikemukakan adalah sebagai berikut: (1) Faktor-faktor apa
saja yang menentukan/berpengaruh terhadap kompetensi penyuluh pertanian?, (2)
kaitan antara karakteristik individu petani dengan penilaiannya terhadap kinerja
penyuluhan?, dan (4) Bagaimana strategi pengembangan kompetensi penyuluh
pertanian?
Tujuan Penelitian
(1) Menganalisis faktor-faktor yang menentukan/berpengaruh terhadap
kompetensi penyuluh pertanian.
(2) Menjelaskan kaitan antara kompetensi penyuluh dengan kinerja penyuluhan.
(3) Menjelaskan kaitan antara karakteristik individu petani dengan penilaiannya
terhadap kinerja penyuluhan.
(4) Merumuskan rekomendasi strategi pengembangan kompetensi penyuluh
pertanian yang tepat bagi Nusa Tenggara Timur di era Otonomi Daerah.
Kegunaan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua implikasi manfaat yakni : (1) manfaat teoritis
dan (2) manfaat praktis.
(1) Manfaat Teoritis
Dari segi pengembangan keilmuan, penelitian ini berkontribusi dalam
mempertajam keterkaitan dengan pengembangan kompetensi penyuluh
pertanian.
(2) Manfaat Praktis
Dari aspek penyuluhan pertanian, penelitian ini berguna sebagai (a) bahan
masukan bagi pemerintah atau pengambil kebijakan di tingkat pusat tentang
dinamika penyuluhan pertanian dan pelaksanaannya di daerah, (b) bahan
masukan bagi Pemerintah Daerah Provinsi/Kabupatan/Kota yang saat ini
sedang melaksanakan otonomi daerah. Kiranya hasil penelitian ini bisa
dijadikan salah satu rujukan dalam rangka menata kembali kebijakan,
khususnya strategi pembangunan pertanian dan penyuluhan, dan (c) bahan
masukan bagi masyarakat umum dalam menyikapi pelaksanaan otonomi
daerah dan pentingnya penyuluhan pertanian dalam rangka penataan
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Penyuluhan Pembangunan
Konsep dan pengertian penyuluhan pembangunan sebagai ilmu,
dikemukakan oleh Slamet (2003 :32-33), seorang pakar dan pelopor penyuluhan
pembangunan Indonesia di bawah ini:
“Ilmu penyuluhan pembangunan adalah suatu disiplin ilmu yang mempelajari bagaimana pola perilaku manusia pembangunan terbentuk, bagaimana perilaku manusia dapat berubah atau diubah sehingga mau meninggalkan kebiasaan lama dan menggantinya dengan perilaku baru yang berakibat kualitas kehidupan orang yang bersangkutan menjadi lebih baik. Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan pembangunan memulai proses perkembangannya dengan meminjam dan merangkum konsep-konsep ilmiah dari berbagai disiplin ilmu lain yang relevan, seperti ilmu pendidikan, psikologi, antropologi, sosiologi, psikologi sosial dan manajemen. Oleh karena penyuluhan pembangunan selalu menitikberatkan pada perbaikan kualitas kehidupan manusia, lahir dan bathin, maka kegiatan yang dilakukan pun selalu erat kaitannya dengan ilmu-ilmu lain seperti ekonomi, pertanian, kesehatan dan ilmu-ilmu kesejahteraan sosial lainnya”.
Dengan menelusuri asal usul perkembangannya, Slamet mengatakan
bahwa ilmu penyuluhan pembangunan pada awal kegiatannya disebut dan dikenal
sebagai Agricultural Extension (penyuluhan peranian), terutama di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris dan Belanda. Karena berkembang ke
bidang lain, maka namanya berubah menjadi Extension Education dan di beberapa negara lain disebut Development Communication. Meskipun antara tiga istilah itu ada perbedaan, namun pada dasarnya semua mengacu pada disiplin ilmu yang
sama. Di Indonesia, disiplin ilmu ini disebut ilmu penyuluhan pembangunan
sebagai pengembangan dari ilmu penyuluhan pertanian (Sumardjo, 1999: 33).
Sebagai suatu disiplin ilmu, penyuluhan pembangunan tidak akan pernah
berdiri sendiri. Oleh karena itu, ilmu penyuluhan pembangunan sering dikatakan
sebagai ilmu pengetahuan yang bersifat interdisiplin. Dengan demikian, praktek
penyuluhan pembangunan di lapangan jelas sekali menuntut pendekatan
interdisiplin. Pembangunan pertanian misalnya, yang melibatkan berjuta-juta
petani, tidak mungkin berhasil bila hanya mengandalkan ilmu pertanian dalam arti
semula menggunakan pendekatan interdisiplin ilmu-ilmu pertanian, ekonomi,
sosiologi dan komunikasi yang dirangkum oleh ilmu penyuluhan pembangunan
(Slamet, 2003:33, Sumardjo, 1999:32).
Menurut Slamet dan Asngari (1969), penyuluhan adalah suatu usaha
pendidikan non formal, merupakan suatu sistem pendidikan praktis, yang
orang-orangnya belajar sambil mengerjakan (Sumardjo: 1999: 34). Karena penyuluhan
adalah suatu sistem pendidikan non formal, maka di dalam kegiatannya berbagai
konsep pendidikan dijadikan kerangka teoritis dan diramu sedemikian rupa
sehingga menjadi suatu operasional pendidikan yang memberikan manfaat
pemberdayan bagi kelompok sasaran. Di dalam proses penyuluhan itu terdapat
komunikasi informasi timbal balik di antara penyuluh dan yang disuluh. Van den
Ban dan Hawkins (1999 : 25) mengatakan bahwa penyuluhan merupakan
keterlibatan seseorang untuk melakukan komunikasi informasi secara sadar
dengan tujuan membantu sesamanya dalam memberikan pendapat sehingga
diperoleh keputusan yang benar. Secara harafiah penyuluhan berasal dari kata
suluh yang berarti obor ataupun alat untuk menerangi keadaan yang gelap. Dari asal kata tersebut dapat diartikan bahwa penyuluhan dimaksudkan untuk memberi
penerangan ataupun penjelasan kepada mereka yang menyukainya, agar tidak lagi
berada dalam kegelapan mengenai suatu masalah tertentu. Dari pengertian
tersebut, dapat dikatakan bahwa penyuluhan merupakan bentuk komunikasi dalam
penyampaian pesan dari penyuluh kepada sasaran. Lahirnya penyuluhan pertanian
merupakan jawaban terhadap tantangan dari pertumbuhan dan kemajuan
masyarakat dalam pembangunan untuk melayani kebutuhan petani yang menjadi
pelaku utama proses perubahan pertanian. Mulailah perkembangan dari pengertian
penyuluhan, yaitu tidak hanya sebagai ilmu dan seni untuk menyampaikan suatu
subjek pengetahuan, tetapi juga pengertian penyuluhan pertanian sebagai lembaga
yang melayani kebutuhan petani akan informasi, ilmu, dan teknologi, dan
memanfaatkan lingkungan (Dudung, 1994).
Johnson, Creighton dan Norland (2006) mengatakan bahwa penyuluhan
adalah proses pendidikan dimana para petugas yang dilatih secara khusus
mendatangi klien, membantu mereka menggunakan metoda penyuluhan untuk
dalam meningkatkan produksi sehingga dapat meningkatkan taraf hidup. Karena
itulah penyuluhan pertanian sebagai suatu pendidikan luar sekolah (pendidikan
non formal) bagi para petani dan keluarganya bertujuan agar mereka mampu dan
sanggup memerankan dirinya sebagai warga negara yang baik sesuai dengan
bidang profesinya, serta mampu dan sanggup untuk meningkatkan
kesejahteraannya sendiri dan masyarakat (Slamet, 2003). Mengacu pada pendapat
Savile, Slamet lebih lanjut mengatakan bahwa penyuluhan adalah suatu bentuk
pengembangan masyarakat terutama dalam bidang pertanian dengan
menggunakan proses pendidikan sebagai alat untuk mengatasi masalah dalam
masyarakat. Penyuluhan bukanlah sekedar penerapan tentang kebijakan penguasa,
bukan program untuk mencapai tujuan yang tidak merupakan kepentingan pokok
kelompok sasaran. Penyuluhan adalah: (1) program pendidikan luar sekolah yang
bertujuan memberdayakan sasaran, meningkatkan kesejahteraan sasaran secara
mandiri dan membangun masyarakat madani, (2) sistem yang berfungsi secara
berkelanjutan dan bersifat ad hoc, dan (3) program yang menghasilkan perubahan perilaku dan tindakan sasaran yang menguntungkan sasaran dan masyarakatnya.
Penyuluhan pertanian sebagai suatu pendidikan luar sekolah (pendidikan non
formal) bagi para petani dan keluarganya memiliki tujuan agar mereka mampu
dan sanggup memerankan dirinya sebagai warganegara yang baik sesuai dengan
bidang profesinya, serta mampu dan sanggup untuk meningkatkan
kesejahteraannya sendiri dan masyarakat (Slamet, 2003).
Seorang penyuluh yang terlibat secara langsung dalam kegiatan
penyuluhan harus menyadari falsafah dasar penyuluhan seperti yang dikatakan
oleh Slamet (Sumardjo, 1999; Suparta, 2003) yakni bahwa : (1) penyuluhan
adalah proses pendidikan, (2) penyuluhan adalah proses demokrasi, dan (3)
penyuluhan adalah proses kontinyu. Dalam falsafah penyuluhan sebagai proses
pendidikan, penyuluh harus dapat membawa perubahan manusia dalam hal
aspek-aspek perilaku, baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik. Dalam falsafah yang
kedua yakni penyuluhan sebagai proses demokrasi, penyuluh pertanian harus
mampu mengembangkan suasana bebas untuk mengembangkan ke mampuan
masyarakat. Penyuluh pertanian harus mampu mengajak sasaran penyuluhan
bersama-sama di bawah bimbingan orang-orang di antara mereka sehingga
berlaku penyelesaian dari mereka, oleh mereka dan untuk mereka. Dalam falsafah
yang ketiga yaitu penyuluhan sebagai proses kontinyu, penyuluhan harus dimulai
dari keadaan petani pada waktu itu ke arah tujuan yang mereka kehendaki,
berdasarkan kebutuhan-kebutuhan dan kepentingan yang sena ntiasa berkembang
yang dirasakan oleh sasaran penyuluhan. Bila penyuluh melihat adanya
kebutuhan, tetapi kebutuhan itu belum dirasakan oleh sasaran penyuluhan,
padahal kebutuhan tersebut dinilai sangat vital dan mendesak, maka penyuluh
perlu berusaha terlebih dahulu untuk menyadarkan sasaran akan kebutuhan yang
ada tersebut (real need) menjadi felt need, kebutuhan yang dirasakan oleh sasaran (Sumardjo, 1999:35).
Selain menyadari falsafah penyuluhan, penyuluh juga harus mengetahui
prinsip-prinsip penyuluhan, sehingga kegiatan penyuluhan benar-benar berpijak
pada prinsip-prinsip penyuluhan yang benar. Mengutip Dahama dan Bhatnagar,
Sumardjo (1999:37) mengemukakan sekurang-kurangnya 12 prinsip penyuluhan
yang penting diperhatikan oleh penyuluh dalam menjalanka n tugasnya, yaitu (1)
penyuluhan akan efektif kalau mengacu pada minat dan kebutuhan masyarakat
(principles of interest and needs); (2) penyuluhan harus mampu menyentuh organisasi masyarakat sasaran, keluarga/kerabatnya (grass-roots principle of organization); (3) penyuluhan harus menyadari adanya keragaman budaya yang memerlukan keragaman pendekatan (principle of cultural difference); (4) kegiatan penyuluhan perlu dilaksanakan dengan bijak karena akan menimbulkan perubahan
budaya (principle of cultural change); (5) penyuluhan harus mampu menggerakkan partisipasi masyarakat untuk bekerja sama dalam merencanakan
dan melaksanakan program penyuluhan (principle of cooperation and participation); (6) penyuluhan harus selalu memberikan kesempatan kepada masyarakat sasaran untuk ikut memutuskan tujuan, alternatif pemecahan masalah
yang disesuaikan dengan kondisi (lingkungan fisik, kemampua n ekonomi dan
sosial budaya) spesifik sasaran (adaptability principle in the use of extention teaching methods); (10) penyuluhan harus mampu mengembangkan kepemimpinan (principle of leadership); (11) penyuluhan harus memperhatikan keluarga sebagai satu kesatuan dari unit sosial (whole family principle) karena alasan-alasan : (a) penyuluhan ditujukan untuk seluruh keluarga, (b) setiap
anggota keluarga berpengaruh dalam pengambilan keputusan, (c) penyuluhan
menimbulkan saling pengertian, (d) penyuluhan menyangkut kemampuan
pengelolaan keuangan keluarga, (e) penyuluhan mendorong keseimbangan antara
kebutuhan keluarga dan kebutuhan usaha tani, (f) penyuluhan mencakup
pendidikan untuk anggota muda, (g) penyuluhan mengembangkan kegiatan
keluarga, (h) penyuluhan memperkokoh kesatuan keluarga, baik yang
menyangkut masalah sosial, ekonomi maupun keluarga, dan (i) penyuluhan
mengembangkan pelayanan terhadap keluarga, kelompok dan masyarakat; dan
(12) penyuluhan dimaksudkan untuk mewujudkan tercapainya kepuasan
sasarannya (principle of satisfaction).
Akumulasi berbagai proses terjadi secara serempak dalam suatu kegiatan
penyuluhan. Mardikanto (Rejeki & Herawati, 1993) menyebut
sekurang-kurangnya ada lima proses yang terjadi dalam suatu kegiatan penyuluhan yaitu :
(1) proses penyebaran informasi, (2) proses penerangan, (3) proses perubahan
perilaku, (4) proses pendidikan, dan (5) proses rekayasa sosial. Dalam proses
informasi, penyuluh menyampaikan berbagai pesan (message) dan informasi pembangunan kepada kelompok sasaran. Penyampaian informasi ini bertujuan
agar kelompok sasaran mengetahui tentang sesuatu yang belum diketahui (proses
penerangan). Penyuluhan dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ’’suluh,”
’yang berarti “lampu,” “obor,” yang digunakan untuk menerangi sehingga penyuluhan dapat diartikan sebagai proses untuk memberikan penerangan kepada
masyarakat tentang sesuatu yang belum diketahui dengan jelas untuk
melaksanakan atau menerapkan proses pembangunan. Dampak dari penerangan
itu adalah adanya proses perubahan perilaku dalam hal pengetahuan, sikap dan
keterampilan. Tujuan dari suatu penyuluhan adalah terjadinya perubahan perilaku
menjadi mampu. Penyuluhan bukan semata-mata transformasi ilmu, dimana
petani hanya sebagai pendengar, tetapi ilmu yang ditransfer itu dimengerti dan
dipahami secara aktif oleh petani dan dari proses belajar terjadi “feed back” terhadap pesan yang disampaikan, ada perubahan perilaku dalam bidang
pengetahuan, sikap dan ketrampilan.
Penyampaian pesan, informasi tentang segala sesuatu yang belum
diketahui itu bersifat mendidik, mengajarkan dan membimbing masyarakat untuk
mengubah perilakunya dari yang kurang menguntungkan menjadi yang positif
demi pembangunan diri, keluarga dan masyarakatnya. Penyuluh menyampaikan
sesuatu yang berguna dan positif untuk masyarakat, disampaikan secara santun
tanpa memaksakan kehendak. Masyarakat diberi pencerdasan, penyadaran dalam
bentuk muatan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai serta sikap hidup yang
bermanfaat. Di sinilah terjadi proses pendidikan. Semua proses yang disampaikan
itu menuju kepada suatu “rekayasa sosial”, suatu perubahan sosial, perubahan cara
berpikir, pola sikap dan pola ketrampilan yang menjadikan suatu masyarakat
sebagai masyarakat yang memiliki pengetahuan untuk mengubah hidup dan
kehidupannya.
Tugas dan Peranan Penyuluh Pertanian
Menurut Padmanagara, tugas ideal seorang penyuluh adalah : (1)
menyebarkan informasi yang bermanfaat, (2) mengajarkan pengetahuan,
ketrampilan dan kecakapan sesuai bidang penyuluhannya, (3) memberikan
rekomendasi yang lebih menguntungkan untuk perbaikan kehidupan sasaran
penyuluhan, (4) mengusahakan berbagai fasilitas usaha yang lebih menggairahkan
sasaran penyuluhan, dan (5) menimbulkan keswadayaan dan keswakarsaan dalam
usaha perbaikan. Oleh sebab itu, tugas penyuluhan dinilai berhasil apabila klien
secara aktif belajar, bukan saja dalam ruangan belajar tertentu, tetapi juga di
ladang, kebun atau tegalan, tempat mereka bekerja setiap hari. Bahkan tempat
belajar yang baik justru berada di kebun saat mereka melakukan praktek langsung
(Bunyatta, dkk, 2006).
Tugas-tugas ini perlu disesuaikan dengan tuntutan perubahan paradigma
pertanian harus memiliki kemampuan (1) meningkatkan partisipasi petani,
pengusaha dan pedagang pertanian sebagai pelaku utama agribisnis, (2)
memaksimalkan peran organisasi petani dan pelaku agribisnis lainnya, (3)
memperkuat kemampuan petani dan pelaku agribisnis lainnya untuk menghimpun
dirinya dalam paguyuban, forum, asosiasi atau organisasi baik secara horisontal
maupun vertikal, (4) memulihkan kepercayaan petani dan pelaku agribisnis
lainnya terhadap pemerintah terutama pemerintah daerah, (5) untuk berfokus pada
pembangunan sistem agribisnis, bukan berfokus pada pembangunan komoditas,
(6) untuk keluar dari jebakan alam pikiran “ego sektoral” yang me nghasilkan
pengkotak-kotakan sub sektor yang semakin tajam, (7) meningkatkan efisiensi
manajemen penyuluhan pertanian baik di pusat maupun di daerah, (8) melengkapi
struktur dan kelembagaan penyuluhan pertanian terutama di daerah, dan (9)
menghilangkan citra penyuluhan sebagai proses transfer teknologi, tetapi sebagai
proses pemberdayaan dan pembelajaran masyarakat dengan menggunakan metode
partisipatif.
Seorang penyuluh pertanian memiliki multi peran yang bersifat dinamis
dan fleksibel. Menurut Ginting (1999), penyuluh memiliki peran yang sangat
banyak, diantaranya adalah sebagai: (1) guru, (2) agen pengubah prilaku, (3)
pemberi dan pelaksana komunikasi dua arah antara peneliti dan petani, (4)
merupakan mediator antara penemuan hasil riset pertanian dan praktek, (5)
penghubung antar usaha tani dan suplay input yang efektif, (6) penemu dan pengembang kepemimpinan yang potensial, dan (7) katalis dari perubahan
pembangunan.
Fungsi dan peran seorang penyuluh pertanian akan efektif jika didukung
pula oleh kemampuan-kemampuan individual, kesehatan rohani dan jasmani, serta
kualitas personal dan profesional. Yang dimaksud dengan kualitas personal,
adalah : (1) kemampuan berkomunikasi dengan petani, (2) kemampuan bergaul
dengan orang lain, (3) antusias terhadap tugas, dan (4) berpikir logis dan memiliki
inisiatif. Kualitas professional adalah (1) memiliki keluasan dan wawasan ilmu
sesuai bidangnya secara profesional, (2) memiliki empati yakni kemampuan untuk
integritas pribadi, (4) memiliki kerendahan hati, dan (5) tanggung jawab
profesional (Suhardiyono, 1992).
Multi peran yang dimainkan oleh seorang penyuluh pertanian sangat
menentukan keberhasilannya di dalam mendidik, melatih, membimbing, dan
memberdayakan kelompok sasaran. Menurut Soekandar (Marzuki, 1999), multi
peran itu dapat dikategorikan sebagai : (1) pemrakarsa/initiator, yang selalu
menyarankan gagasan-gagasan baru dan pandai menjelaskan persoalan-persoalan,
(2) pemberi jalan/fasilitator, yang memberi atau pandai mencari kesempatan
untuk menerangkan/mendiskusikan masalah-masalah, (3) pemberi hati/encorager, yang selalu memberi hati atau dorongan, (4) penyelaras/harmonizer,yang selalu menengahi pertengkaran/konflik, mempertemukan pihak-pihak yang berlawanan,
(5) penilai, yang selalu menilai hasil kegiatan, (6) penganalisa, yang menganalisa
segala kemungkinan, (7) penyimpul, yang mempersatukan saran-saran dan
pembicaraan dari berbagai pihak, (8) pembagi bahan/expeditur, yang memeriksa dan membagikan bahan-bahan untuk pertemuan dari dan ke segala pihak, (9)
pencari keterangan, yang mencari dan menginginkan lebih banyak fakta dan
keterangan, (10) pemberi fakta, yang memberi keterangan dan fakta mengenai
lapangan, (11) pemberi kedudukan/status, yang memberikan dorongan agar petani
menjadi anggota kelompok tani, dan (12) penengah, yang selalu menengahi
perbedaan-perbedaan pendapat.
Penyuluh Pertanian adalah orang yang mengemban tugas untuk memberi
dorongan kepada petani agar me ngubah cara berpikir, cara kerja, dan cara
hidupnya yang lama dengan cara-cara yang baru kepada perkembangan teknologi
pertanian yang lebih maju. Menurut Suhardiyono (Marzuki, 1999), tanggung
jawab yang besar untuk membawa perubahan yang progresif di bidang pertanian
terletak ditangan para penyuluh.
Mutu dan Kinerja Penyuluhan
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002), mutu berarti (ukuran)
baik buruk suatu benda; kadar; taraf atau derajad (kepandaian, kecerdasan dan
sebagainya). Mutu juga berarti kualitas, berbobot. Kinerja berarti sesuatu yang
bahkan sama. Kinerja adalah semua hasil kerja yang dituntut dihasilkan oleh
pejabat atau petugas berkaitan dengan jabatannya atau tugas pekerjaannya.
Pencapaian kinerja seorang pejabat atau petugas akan menjadi ukuran tinggi atau
rendahnya prestasi kerja pejabat tersebut dalam menduduki jabatannya atau
prestasi petugas tersebut dalam melaksanakan tugas pekerjaannya (Soedijanto,
2004:12). Mutu adalah wujud konkrit dari kinerja itu (apakah berbobot atau
tidak). Derajad pencapaiannya bisa diukur melalui sejauh mana orang-orang atau
kelompok orang yang menjadi tujuan atau sasaran suatu pekerjaan itu merasa
puas, merasa senang, merasa apa yang diinginkannya terpenuhi.
Untuk menghasilkan jasa pelayanan yang bermutu, pertama-tama kita
harus mengetahui apa yang dimaksudkan dengan mutu ditinjau dari aspek
manajemen mutu terpadu. Slamet (2005) mendefinisikan mutu sebagai keseluru-
han sifat-sifat barang dan jasa yang mampu memenuhi (menyamai atau melebihi)
kebutuhan dan/atau harapan seseorang. Atau dengan kata lain, mutu adalah
paduan sifat-sifat barang atau jasa, yang menunjukkan kemampuannya dalam
memenuhi kebutuhan pelanggan, baik kebutuhan yang dinyatakan maupun yang
tersirat. Secara runut filosofi manajemen mutu menurut pakar penyuluhan
pembangunan ini dapat dijelaskan sebagai berikut : (1) setiap pekerjaan
menghasilkan benda dan /atau jasa, (2) benda dan jasa itu diproduksi karena ada
yang memerlukan, (3) orang-orang yang memerlukan benda dan/ atau jasa itu
disebut pelanggan (customer), (4) produk dan jasa itu merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh pelanggan, (5) benda dan jasa itu harus dibuat sedemikian rupa
agar dapat memenuhi harapan dan kebutuhan pelanggannya, dan (6) benda dan
jasa yang dapat memenuhi harapan pelanggannya disebut benda dan jasa yang
bermutu.
Definisi yang tidak berbeda tentang mutu juga dikemukakan oleh Juran
(1995). Menurut Juran (1995), banyak arti untuk kata mutu. Dua diantaranya
sangat penting bagi para manajer, yaitu: keistimewaan produk adalah salah satu
dari definisi tersebut. Di mata para pelanggan, semakin baik keistimewaan
produk, semakin tinggi mutunya; bebas defisiensi adalah definisi lain dari mutu.
Di mata pelanggan, semakin sedikit defisiensi, semakin baik mutunya. Juran juga