• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN DESKRIPTIF TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH PASCA MOU HELSINKI TAHUN 2006

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "TINJAUAN DESKRIPTIF TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH PASCA MOU HELSINKI TAHUN 2006"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN DESKRIPTIF TENTANG PEMILIHAN KEPALA

DAERAH DI ACEH PASCA MOU HELSINKI

TAHUN 2006

(S k r i p s i)

Oleh

Dadang Ansory

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

TINJAUAN DESKRIPTIF TENTANG PEMILIHAN KEPALA

DAERAH DI ACEH PASCA MOU HELSINKI

TAHUN 2006

Oleh

DADANG ANSORY

Konflik antara pemerintah RI dan GAM yang berlangsung sejak tahun 1970 dan telah menelan ribuan korban jiwa, akhirnya menemukan titik terang dengan diakhirinya konflik memalui penandatanganan perjanjian damai antara pemerintahan indonesia RI dan Gerakan Aceh Merdeka yang difasilitasi oleh pemerintah Swedia karena beberapa petiggi GAM memang bermukim dinegara itu. Delapan bulan setelah terjadinya bencana tsunami di Provinsi NAD, tepatnya pada tanggal 28 Agustus 2005, Nota kesepahamam damai RI-GAM ditandatangani. Nota kesepaham damai itu, pertama memuat bagian dari pembangunan kesepahaman dan kepercayaan, dan memuat satu set persetujuan prinsip untuk mencapai transisi perang ke damai. Beberapa kondisi yang dijelaskan diatas berimplikasi terhadap tumbuh subur gerakan sosial masyarakat sipil Aceh yang bertujuan menuntut hak sosial politik, sosial ekonomi dan sosial budaya dalam konteks upaya mencapai kondisi demokratis bagi masyarakat Aceh.

Adapun permasalahan dalam pelaksanaan ini adalah Apa sajakah bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat Aceh pasca MoU Helsinki dalam kegiatan pemilihan pada pilkada Aceh tahun 2006 ?. Adapun Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat Aceh pasca-penandatanganan Nota Kesepahaman Perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan GAM. Serta untuk mengetahui partisipasi politik masyarakat Aceh dalam kegiatan pemilihan pada Pilkada Aceh tahun 2006. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan Historis, dengan teknik pengumpulan data melalui teknik kepustakaan, teknik dokumentasi, dan teknik analilis data kualitatif.

(3)

TINJAUAN DESKRIPTIF TENTANG PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI ACEH PASCA MOU HELSINKI

TAHUN 2006 Oleh

Dadang Ansory

(S k r i p s i)

Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA PENDIDIKAN

Pada

Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS LAMPUNG

(4)
(5)
(6)
(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandar Lampung, pada tanggal 27

Maret 1988, merupakan anak pertama dari dua bersaudara,

dari pasangan bapak Dahiri dan ibu Ulbainingsih.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di Sekolah Dasar

Negeri 1 Kuripan Kota Agung Tanggamus, pada tahun

2000. Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1 Kota Agung pada tahun 2003.

Kemudian menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA

Muhammadiyah 1 Bandar Lampung pada tahun 2006.

Pada tahun 2008, penulis terdaftar sebagai mahasiswa Program Studi Pendidikan

Sejarah, Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lampung melalui jalur Mandiri. Pada tahun

2011 Penulis melaksanakan Kuliah Kerja Nyata di desa Pajar Bulan, kecamatan

Way Tenong, dan Program Pengalaman Lapangan di SMA Negeri 1 Way Tenong

Kabupaten Lampung Barat. Selama melaksanakan perkuliahan di Program Studi

Pendidikan Sejarah Universitas Lampung penulis pernah menjabat sebagai Ketua

Bidang Minat dan Bakat Forum Komunikasi Mahasiswa dan Alumni Pendidikan

Sejarah (FOKMA) periode 2010-2011. Pada tahun 2011-2013 penulis pernah

(8)

SANWACANA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan

rahmat dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Tinjauan Deskriptif Tentang Pemilihan Kepala Daerah Di Aceh Pasca

MoU Helsinki Tahun 2006” pada Program Studi Pendidikan Sejarah, Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Lampung.

Penulis menyadari akan keterbatasan dan kemampuan yang dimiliki, sehingga

mendapat banyak petunjuk dan bantuan serta bimbingan dari berbagai pihak,

maka dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Plt. Bapak Dr. Abdurrahman, M.Si., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Lampung.

2. Bapak Dr. Abdurrahman, M.Si., Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

3. Bapak Drs. Buchori Asyik, M.Si., Pembantu Dekan II Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

4. Bapak Drs. Muhammad Fuad, M.Hum., Pembantu Dekan III Fakultas

(9)

5. Bapak Drs. Zulkarnain, M.Si., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan

Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

6. Bapak Drs. Syaiful.M, M.Si., Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah,

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung. Sekaligus

Pembahas Skripsi penulis, terima kasih atas saran dan bimbingannya selama

penulis menjadi mahasiswa di Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas

Lampung.

7. Bapak Drs. Tontowi Amsia, M.Si., Pembimbing I, terimakasih atas

kesediaannya untuk memberikan bimbingan, saran, dan kritik yang

membangun selama proses penyelesaian skripsi ini.

8. Bapak Suparman Arif, S.Pd M.Pd, Pembimbing II, terima kasih atas segala

bimbingan, rasa simpati dan kepeduliannya selama penulis menjadi

mahasiswa di Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Lampung.

9. Bapak dan Ibu dosen Pendidikan Sejarah FKIP yang telah membimbing

penulis selama menjadi mahasiswa di Program Studi Pendidikan Sejarah

Universitas Lampung.

10.Keluarga besarku, Maye, Uwo, Om Ares, Om Agus, Om Unang, Om Iyan,

Om Asep, Tante Turi, Mama Ana, Mama A’i, Mama Een, Mama Aap, Wak

Ujang, Wak Sundari, Bunda Nila, Ibu Habibah, Ayah Wahyudi, Kakak Bayu,

Kyai Maya, Adek Dian, Adek Fadhil, Adek Alika serta Sepupu-sepupuku,

Andi, Tama, Lilis, Sari, Septi, Selvi, Rina, Sella, terimakasih atas semua

kasih sayang, dukungan, dan do’a dari kalian semua tanpa kalian semua aku

(10)

11.Melisa Rahayu, terimakasih atas kebersamaan, perhatian, dukungan,

pengertian dan kesabarannya sehingga penulis dapat menyelesaikan study

sejak awal kuliah hingga skripsi ini terselesaikan.

12.Para sahabat, Muhammad Yusuf, Riko Sanjaya, Tahrir Mustofa, Win Fahlevi,

Febri, Esty, Eka, Novan, Myristika, Fajar dan seluruh teman-teman angkatan

2008 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

13.Keluarga besar Pendidikan Sejarah, terima kasih atas segala kekeluargaan dan

kebersamaannya selama ini.

Semoga ALLAH SWT memberikan pahala kepada semua pihak yang telah

membantu peneliti dalam menyelesaikan skripsi ini dan semoga bermanfaat

bagi yang membaca.

Bandar Lampung, Januari 20116

Penulis,

(11)

DAFTAR ISI

C. Tujuan, Kegunaan, dan Ruang Lingkup Penelitian C.1 Tujuan Penelitian ... 5

B. Teknik Pengumpulan Data B.1 Teknik Kepustakaan ... 29

B.2 Teknik Dokumentasi ... 31

(12)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Sejarah Aceh Darusalam ... 37

A.1 Sejarah Aceh Darusalam ... 39

A.2 Kehidupan Sosial Aceh Pasca Konflik ... 39

A.3 Implementasi MoU Helsinki di Aceh ... 39

A.4 Transformasi Masyarakat Aceh Pasca MoU Helsinki ... 39

B. Hasil Penelitian B.1 Penjaringan Bakal Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh ... 48

B.2 Kampanye Politik Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh .... 54 57 B.2.1 Debat Kandidat ... 55

B.2.2 Strategi Kampanye ... 57

B.3 Pelaksanaan Pemungutan Suara ... 64

B.3.1 Pelaksanaan Pemungutan Suara di Aceh Barat ... 65

B.3.2 Pelaksanaan Pemungutan Suara di Sabang ... 79

B.4 Hasil Pilkada Aceh 11 Desember Tahun 2006 ... 71

C. Pembahasan ... 74

V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 84

B. Saran ... 86

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

(13)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelaksanaan berbagai kebijakan pemerintah dalam proses perjalanan kehidupan

bernegara diarahkan pada upaya mewujudkan tujuan dari dibentuknya suatu

negara. Di Indonesia sendri apa yang menjadi tujuan dari negara ini dibentuk

telah dirumuskan oleh para pendiri bangsa pada pembukaan undang-undang

dasar 1945 alinia IV. “kemudian daripada itu untuk membentuk suatu

pemerintah negara indonesia yang melindungi segenap bangsa indonesia dan

seluruh tumpah darah indonesia dan untuk memajukan kesejahtraan umum...”

pemerintah indonesia memiliki tanggung jawab untuk melakukan berbagai

kebijakan guna mencapai tujuan yang telah dirumuskan dalam undang-undang

dasar tersebut. Pemerintah harus menjalankan tugas dan fungsinya sesuai

dengan apa yang menjadi tujuan dari terbentuknya negara ini.

Sejarah Aceh banyak diwarnai oleh kekerasan. Sejak pemberontakan Daud

Beureueh 1953 hingga Hasan Tiro 1976, banyak korban baik dari GAM dan

masyarakat sipil Aceh maupun Pemerintah RI yang diwakili oleh TNI. Tak

kurang pula upaya yang dijalankan pemerintah untuk menyelesaikan konflik

itu, mulai dari era Soekarno, Soeharto sampai era pasca-Soeharto. Serangkian

(14)

2

ekonomi dan sosial budaya, tak kunjung mampu menyelesaikan konflik Aceh.

Bahkan operasi militer pun tidak mampu meredam pemberontakan di Aceh.

Sebab-sebab konflik Aceh seperti diungkapkan Neta S. Pane :

Jika dirunut jauh kebelakang, lahirnya pemberontakan yang berlanjut kepada gerakan separatis Aceh Merdeka, tak terlepas dari adanya pro dan kontra di kalangan tokoh-tokoh Aceh, apakah daerah itu ikut bergabung ke dalam Republik Indonesia (RI) dan mendukung Proklamasi Kemerdekaan RI atau tidak. Soalnya, beberapa hari setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan RI, pro kontra pun muncul di Aceh (Neta S. Pane, 2001:1).

Pada akhirnya sebuah gerakan perlawanan yang diberi nama Gerakan Aceh

Merdeka (GAM) diproklamirkan pada tanggal 24 Mei 1977 sebagai bentuk

perlawanan terhadap pusat. GAM merupakan gerakan garis keras yang

menuntut kebebasan, dengan bergerilnya melakukan perlawanan membuat

suasana semakin kacau sehingga hukum ada hanya dijadikan sebagai simbol.

Adanya berbagai konflik tersebut mengakibatkan terbentuknya suatu kebijakan

Daerah Operasi Militer (DOM) dengan ditandai masuknya Tentara non-organik

dengan sandi “Operasi Jaring Merah” yang berlaku sejak tahun 1988-1998 di

Aceh.

Konflik Aceh yang berlarut-larut dan memakan banyak korban jiwa akhirnya

dan dapat diselesaikan dengan adanya Memorandum of Understanding (MoU)

Helsinki pada tahun 2005 melalui mediasi CMI (Conflik Management

Initiative). Kesepakatan tersebut ditandatangani oleh wakil-wakil Pemerintah

Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dan butir-butir kesepakatan

yang baru disetujui inilah yang kemudian menjadi prinsip dasar untuk

(15)

3

goverment. Dalam MoU Helsinki yang terdiri dari 71 butir kesepakatan,

terdapat butir-butir yang mengatur tentang partisipasi politik antara yaitu butir

1.2.6 yang berbunyi: “Partisipasi penuh semua orang Aceh dalam pemilihan

lokal dan nasional, akan dijamin sesuai dengan Konstitusi Republik Indonesia”.

Pengaturan partisipasi politik di Aceh yang diatur dalam MoU Helsinki ini

merupakan ruang publik yang telah dibuka bagi keterlibatan

kelompok-kelompok masyarakat di Aceh termasuk mantan GAM dalam bidang politik.

Pimpinan GAM sejak awal 2006 menyatakan keinginan menduduki

jabatan-jabatan eksekutif dan mempersiapkan diri menghadapi pilkada langsung.

Meskipun belum memiliki kendaraan politik karena belum ditetapkannya

aturan mengenai dan calon independen dalam Undang-Undang Pemerintahan

Aceh (UUPA) tahun 2006, sebagian pimpinan GAM tidak tertarik jika

ditawarkan menjadi calon dalam pilkada melalui Partai Nasional. Namun ada

sebagian anggota GAM yang tidak menolak bekerjasama dengan partai

nasional yang telah ada.

Dibentuknya Partai Aceh (PA) yang merupakan perubahan nama dari Partai

GAM oleh para mantan panglima dan aktifis GAM pada tahun 2007

merupakan perahu yang digunakan oleh mantan anggota GAM dalam

menghadapai Pilkada, Pileg lokal dan nasional pada pemilihan umum pada

tahun-tahun berikutnya. Kehadiran partai-partai lokal pasca MoU Heslinki

diharapkan mampu menampung aspirasi seluruh rakyat Aceh, termasuk mantan

combatan dan aktifis GAM yang selama ini seolah terpinggirkan oleh

(16)

4

Dengan berakhirnya konflik antara GAM dan Pemerintah Indonesia melalui

MoU Helsinki bukan berarti segala tindak kekerasan telah hilang dari bumi

Serambi Mekkah. Sebagian pihak GAM yang merasa bahwa implementasi

MoU Helsinki yang diratidikasi dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh

tahun 2006 (UUPA) banyak yang menyimpang, terutama tentang masalah "Self

Geverment". Demonstarsi dan bentuk kekerasan lain terus terjadi di Aceh yang

menuntut Pemerintah Indonesia di Jakarta meratifikasi UUPA sesuai dengan

hasil MoU Helsinki tahun 2006.

Partisipasi politik masyarakat Aceh merupakan sarana untuk menyuarakan

aspirasi demi kemajuan Aceh. Dengan adanya partisipasi politik tersebut,

mereka memiliki media untuk mengembangkan sistem politik agar mekanisme

politik itu hidup dan berjalan sesuai dengan prosesnya.

B. Analisis Masalah

B.1 Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka identifikasi yang dapat diambil

adalah sebagai berikut :

1.Partisipasi politik masyarakat Aceh pasca MoU Helsinki dalam kegiatan

pemilihan pada pilkada Aceh tahun 2006.

2.Partisipasi politik masyarakat Aceh pasca MoU Helsinki dalam

(17)

5

3.Partisipasi politik masyarakat Aceh pasca MoU Helsinki dalam tindak

kekerasan di Aceh.

B.2 Pembatasan Masalah

Agar masalah yang diangkat dalam penelitian ini tidak terlalu meluas, maka

peneliti membatasi masalah yaitu: Partisipasi politik masyarakat Aceh pasca

MoU Helsinki dalam kegiatan pemilihan pada pilkada Aceh tahun 2006.

Diharapkan dengan adanya pembatasan masalah tersebut, peneliti dapat

menyusun sebuah penelitian sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

B.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah Apa sajakah bentuk-bentuk partisipasi politik

masyarakat Aceh pasca MoU Helsinki dalam kegiatan pemilihan pada pilkada

Aceh tahun 2006 ?.

C. Tujuan, Kegunaan dan Ruang Lingkup Penelitian

C.1 Tujuan Penelitian

Adapun Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah :Untuk

mengetahui bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat Aceh

pasca-penandatanganan Nota Kesepahaman Perdamaian antara Pemerintah

(18)

6

C.2 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada pihak-pihak yang

membutuhkan, adapun manfaat penelitian ini adalah :

a. Untuk menambah wawasan, ilmu pengetahuan, dan informasi mengenai

latar belakang lahirnya otonomi khusus Aceh dalam bidang politik.

b. Untuk memberikan gambaran tentang partisipasi politik masyarakat Aceh

dalam pelaksanaan pilkada Aceh tahun 2006.

c. Sebagai sarana untuk memotivasi peranan sejarah dalam

mempertahankan identitas daerah bagi masyarakat, khususnya Aceh.

C.3 Ruang Lingkup Penelitian

1. Objek penelitian : Partisipasi Politik

2. Subjek penelitian : Masyarakat Aceh

3. Tempat penelitian : Perpustakaan Unila dan Perpustakaan Daerah

4. Waktu penelitian : 2013

(19)

7

REFERENSI

(20)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Pustaka

Tinjauan pustaka dilakukan untuk menyeleksi masalah-masalah yang akan

dijadikan topik penelitian, dimana dalam tinjauan pustaka akan dicari teori

atau konsep-konsep atau generalisasi-generalisasi yang akan dijadikan

landasan teoritis bagi penelitian yang akjan dilakukan. Adapun tinjauan

pustaka dalam penelitian ini adalah :

A.1 Konsep Partisipasi Politik

Partisipasi politik menurut Budiardjo :

“Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau kelompok orang untuk ikut secara aktif dalam kehidupan politik, antara lain dengan jalan memilih pimpinan negara dan, secara langsung atau tidak langsung, mempengaruhi kebijakan pemerintah (public polcy). Kegaitan ini mencakup tindakan seperti memberikan suara pada pemilihan umum, mengadakan hubungan (contacting) atau lobbying dengan pejabat pemerintah atau anggota parlemen, menjadi anggota partai atau salah satu gerakan sosial dengan direct actionnya, dan sebagainya” (Miriam Budiardjo, 2008:367).

Dari keterangan di atas dapat di simpulkan bahwa setiap warga negara

berhak dan wajib untuk berpartisipasi dalam setiap aspek kehidupan

berbangsa dan bernegara, tak terkecuali dalam kehidupan politik.

(21)

9

negara saja, tetapi partisipasi tersebut juga mampu secara langsung maupun

tidak langsung mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh pemerintah.

Lebih lanjut Herbert McClosky, mengemukakan bahwa Partisipasi politik

adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga masyarakat melalui mana

mereka mengambil bagian dalam proses pemilihan penguasa, dan secara

langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan umum

(Herbert McClosky dalam Miriam Budiardjo, 2008:367).

Sistem politik di suatu negara tentu berbeda dengan sistem politik di negara

lain. Hal ini berdampak pada berbeda pulanya bentuk-bentuk partisipasi

politik masyarakatnya.

Menurut Huntington dan Nelson bentuk-bentuk partisipasi politik

didasarkan pada perbedaan jenis-jenis perilaku, yaitu:

1. Kegiatan Pemilihan;

2. Lobi (Lobbying);

3. Kegiatan Organisasi;

4. Mencari Coneksi (Contakting);

5. Tindakan kekerasan (Violence), (Samuel Huntington dan Nelson dalam Miriam Budiadjo, 2008:371).

Berikut penjelasan singkat mengenai bentuk-bentuk partisipasi politik yang

dikemukakan Huntington dan Nelson :

1) Kegiatan pemilihan merupakan suatu bentuk partisipasi politik yang

dapat dilakukan dengan cara memberikan pemberian suara dalam

(22)

10

dukungan bagi calon legislatif atau eksekutif, atau tindakan lain yang

berusaha mempengaruhi hasil pemilu;

2) Lobi (Lobbying) merupakan upaya perorangan atau kelompok untuk

menghubungi pejabat-pejabat pemerintah dan pemimpin-pemimpin

politik dengan maksud memengaruhi keputusan yang akan diambil

mengenai persoalan yang berkaitan dengan kepentingan umum.

3) Kegiatan organisasi dimana individu berperan sebagai anggota yang

menduduki suatu jabatan maupun anggota biasa pada suatu organisasi

politik.

4) Mencari koneksi (Contacting) merupakan tindakan individu yang

ditujukan pada para pejabat yang mempunyai pengaruh besar sehingga

diperoleh manfaat yang sifatnya pribadi.

5) Tindakan kekerasan (Violence) merupakan suatu upaya untuk

memengaruhi keputusan pemerintah dengan cara yang dapat

menimbulkan kerugian bagi orang-orang tertentu, baik secara

pisikologis (ancaman atau intimidasi), fisik maupun material.

A.2 Konsep Masyarakat Aceh

Maclver dan Page dalam buku Soerjono Soekanto yang berjudul Sosiologi

mengatakan bahwa “Masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata

cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan

penggolongan, dan pengawasan tingkah laku serta kebebasan-kebebasan

(23)

11

Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial. Dan masyarakat selalu

berubah (Soerjono Soekanto, 1982:22).

Suatu masyarakat sebenarnya merupakan sistem adaptif, karena masyarakat

merupakan wadah untuk memenuhi berbagai kepentingan dan tentunya juga

untuk dapat bertahan. Namun disamping itu masyarakat sendiri juga

mempunyai berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi agar masyarakat itu

dapat hidup terus (Soerjono Soekanto, 1982:23).

Aceh adalah sebuah provinsi di Indonesia. Aceh terletak di ujung utara

pulau Sumatera dan merupakan provinsi paling barat di Indonesia. Ibu

kotanya adalah Banda Aceh. Jumlah penduduk provinsi ini sekitar

4.500.000 jiwa. Letaknya dekat dengan Kepulauan Andaman dan

Nikobar di India dan terpisahkan oleh Laut Andaman. Aceh berbatasan

dengan Teluk Benggala di sebelah utara, Samudra Hindia di sebelah

barat, Selat Malaka di sebelah timur, dan Sumatera Utara di sebelah

tenggara dan selatan (https://id.wikipedia.org/wiki/Aceh).

Aceh dianggap sebagai tempat dimulainya penyebaran Islam di

Indonesia dan memainkan peran penting dalam penyebaran Islam di Asia

Tenggara. Pada awal abad ke-17, Kesultanan Aceh adalah negara terkaya,

terkuat, dan termakmur di kawasan Selat Malaka. Sejarah Aceh diwarnai

oleh kebebasan politik dan penolakan keras terhadap kendali orang asing,

termasuk bekas penjajah Belanda dan pemerintah Indonesia. Jika

dibandingkan dengan dengan provinsi lainnya, Aceh adalah wilayah yang

(24)

12

Muslimnya adalah yang tertinggi di Indonesia dan mereka hidup sesuai

syariah Islam. Berbeda dengan kebanyakan provinsi lain di Indonesia, Aceh

memiliki otonomi yang diatur tersendiri karena alasan sejarah.

Seperti disebutkan dalam Kanun Meukuta Alam AI-Asyi, bahwa Kerajaan

Aceh Darussalam tersusun dari Gampong (kampung/Kelurahan), Mukim

(federasi gampong-gampong), Nanggroe (kecamatan), Sagou (federasi dan

beberapa nanggroe dan kerajaan/ negara. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat

berikut ini:

1) Gampong, yang disebut juga Meunasah, dipimpin oleh seorang Keusyik

(kepala desa) dan seorang Imam Rawatib dengan dibantu oleh sebuah

staf yang bernama Tuha Peut. Pemerintahan Gampong ini mendapatkan

hak otonomi yang luas.

2) Mukim, yaitu federasi dari beberapa Gampong, paling kurang delapan

Gampong. Mukim dipimpin oleh seorang fmeum Mukim dan seorang

Kadhi Mukim serta dibantu oleh beberapa orang waki. Dalam tiap-tiap

Mukiln didirikan sebuah Mesjid lum'at.

3) Nanggroe, yang disebut juga daerah Uleebalang terdiri dari tiga Mukim,

empat Mukim, lima Mukim, tujuh Mukim, delapan Mukim dan sembi

Ian Mukim. Ia dipimpin oleh seorang Uleebalang dan dibantu oleh

seorang Kadhi Nanggroe. Nanggroe merupakan daerah otonom dalam

(25)

13

4) Sagou, yaitu federasi dari beberapa Nanggroe, yang hanya ada di Aceh

Rayeuk, banyaknya tiga Sagou, sehingga disebut juga Aceh lhe Sagou,

yaitu:

a. Sagou Teungoh Leeploh, yang terdiri 25 Mukim, yang dipimpin

seorang panglima Sagou, yang bergelar Kadhi Malikul Alam Sri

Setia Ulama, dan dibantu oleh seorang Kadhi Sagouyang bergelar

Kadhi Rabbul Jalil.

b. Sagou Duaplooh Nam, yang terdiri dari 26 Mukim, yang dipimpin

seorang Panglima Sagou, yang bergelar Sri Imam Muda OR dan

dibantu seorang Kadhi Sagou yang bergelar Kadhi Rabbul Jalil.

c. Sagou Duaplooh Dua, yang terdiri dari 22 Mukim, yang dipimpin

seorang Panglima Polem Sri Mud a Perkasa, dan dibantu seorang

Kadhi Sagou yang bergelar Kadhi Rabbul J alii

d. Kerajaan, yang nama lengkapnya Kerajaan Aceh Darussalam, dengan

ibukota negara: Banda Aceh Darussalam, yang kadang-kadang

disebut Bandar Darussalam dan Darul Makmur. Kerajaan dipimpin

seorang Raja yang bergelar Sultan Imam Malikul Adil, dan dibantu

oleh seorang Kadhi Kerajaan yang bergelar Kadhi Malikul Adil (Rani

Usman, 2003:44-45).

Struktur Kerajaan Aceh Darussalam merupakan suatu struktur

masyarakat yang sangat sempurna menurut ukuran waktu itu. Struktur

kerajaan atau sistem lembaga masyarakat Aceh dapat memenuhi

kebutuhan untuk mengendalikan perilaku masyarakat. Kehadiran

(26)

14

keagamaan y'ang ada dalam masyarat Aceh. Dalam hal ini strata sosial

dalam masyarakat Aceh ada lima yaitu Gampong, Mukim, Nanggroe,

Sagou dan Kerajaan atau negara yang disebut sekarang adalah Nangrou

Aceh Darussalam.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas dapat disimpulkan bahwa

masyarakat Aceh adalah sekumpulan manusia yang tinggal dan menetap

di wilayah Aceh yang hidup bersama dalam jangka waktu cukup lama,

memiliki kebudayaan yang sama, dan sebagian besar melakukan kegiatan

dalam kelompok itu.

Dalam kehidupan politik sebelum disepakatinya MoU Helsinki oleh

Pemerintah Indonesia dan GAM, masyarakat Aceh terbagi menjadi dua

golongan atau kelompok. Yaitu kelompik Aceh yang mendukung

Pemerintah Indonesia dan menginginkan Aceh tetap menjadi bagian

Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kelompok ini disebut dengan

kelompok pro-integrasi.

Sedangkan golongan atau kelompok yang kedua ialah kelompok Gerakan

Aceh Merdeka (GAM) yaitu merupakan kelompok yang menginginkan

provinsi Aceh menjadi sebuah negara merdeka dan terpisah dari

Indonesia. Pertumbuhan anggota GAM sendiri menurut Moh. Nurachim,

(2008:75) memiliki tiga periodisasi yakni GAM I (1976-1976), GAM ii

(1989-1991) dan GAM III (1995-2005). Hal ini yang menyebabkan

(27)

15

secara internal cenderung terbagi dua, yaitu kelompok GAM yang

mendukung MoU Helsinki dan GAM yang menolaknya.

A.3 Konsep Kampanye Politik

Terdapat banyak definisi mengenai kampanye yang dikemukakan oleh para

ilmuwan komunikasi, seperti menurut Snyder (2002) dalam Venus (2004),

mendefinisikan bahwa kampanye komunikasi merupakan aktivitas

komunikasi yang terorganisasi secara langsung ditujukan kepada khalayak

tertentu pada periode waktu yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan

tertentu.

Pfau dan Parrot (1993) dalam Venus (2004) mendefinisikan kampanye

sebagai kegiatan yang dilakukan secara sadar untuk menunjang dan

meningkatkan proses pelaksanaan yang terencana pada periode tertentu

yang bertujuan mempengaruhi khalayak sasaran tertentu. Selanjutnya

Rogers dan Storey (1987) dalam Venus (2004) mendefiniskan kampanye

sebagai serangkaian kegiatan komunikasi yang terorganisasi dengan tujuan

untuk menciptakan dampak tertentu terhadap sebagian besar khalayak

sasaran secara berkelanjutan dalam periode waktu tertentu.

Berdasarkan beberapa definisi di atas, Venus (2004) mengidentifikasi

bahwa aktivitas kampanye setidaknya harus mengandung empat hal yakni,

(1) ditujukan untuk menciptakan efek atau dampak tertentu

(28)

16

(3) dipusatkan dalam kurun waktu tertentu dan

(4) dilakukan melalui serangkaian tindakan komunikasi yang terorganisasi.

Untuk memperoleh dukungan politik dari masyarakat (Arifin, 2003). Salah

satu jenis kampanye politik adalah kampanye massa, yaitu kampanye

politik yang ditujukan kepada massa (orang banyak), baik melalui

hubungan tatap muka maupun dengan menggunakan berbagai media,

seperti surat kabar, radio, televisi, film, spanduk, baligo, poster, folder dan

selebaran serta medium interaktif melalui komputer (internet).

Penyampaian pesan politik melalui media massa merupakan bentuk

kampanye yang handal dalam hal menjangkau khalayak luas. Kampanye

politik saat ini sudah mengadopsi prinsip-prinsip pemasaran dan

pembentukan citra. Hal tersebut dimungkinkan terjadi karena perubahan

sistematika pemilihan kepala daerah dari yang sebelumnya dipilih oleh

legislatif.

a. Teknik-teknik Kampanye Politik

Selama masa kampanye, tim kampanye berusaha menggalang dukungan

dan simpati pemilih agar pemilih menjatuhkan pilihannya pada calon

kepala daerah yang dikampanyekannya. Tim kampanye poltik

menggunakan teknik-teknik kampanye politik yang kemudian

diwujudkan dalam suatu bentuk kegiatan kampanye politik untuk

mempengaruhi pemilih. Imawan dalam Amir merumuskan beberapa

(29)

17

1. Kampanye dari rumah ke rumah (door to door campaign), yaitu calon

kepala daerah mendatangi langsung para pemilih sambil menanyakan

persoalan-persoalan yang dihadapi. Kampanye ini efektif dilakukan

pada pemilihan umum tahun 1955, dengan mendatangi orang-orang

yang pilihannya dianggap masih ragu dan dapat dibujuk atau diancam

untuk mengubah sikap dan pilihan politik mereka.

2. Diskusi Kelompok (group discussion), dilakukan dengan membentuk

kelompok-kelompok diskusi kecil yang membicarakan masalah yang

dihadapi masyarakat.

3. Kampanye massa langsung (direct mass campaign), dilakukan dalam

bentuk aktivitas yang menarik perhatian massa, seperti pawai,

pertunjukkan kesenian

Dapat kita simpulkan kampanye adalah sebuah tindakan doktet bertujuan

mendapatkan pencapaian dukungan, usaha kampanye bisa dilakukan

oleh peorangan atau sekelompok orang yang terorganisir untuk

melakukan pencapaian suatu proses pengambilan keputusan di dalam

suatu kelompok, kampanye biasa juga dilakukan guna memengaruhi,

penghambatan, pembelokan pecapaian. Dalam sistem politik demokrasi,

kampanye politis berdaya mengacu pada kampanye elektoral pencapaian

dukungan, di mana wakil terpilih atau referenda diputuskan. Kampanye

politis tindakan politik berupaya meliputi usaha terorganisir untuk

(30)

18

A.4 Konsep Pemilihan Umum Kepala Daerah

Menurut Schumpeter:

"Pemilihan Umum adalah suatu kegiatan politik baik untuk memilih atau menentukan orang-orang yang duduk di dewan legislatif maupun eksekutif. Pemilihan umum juga masih diyakini sebagai cara terbaik untuk memilih pejabat publik. Selain itu penyelengaraan pemilihan umum dapat dinyatakan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dan sebagai barometer dari kehidupan demokrasi, terutama di negara-negara Barat". (Lipset, 1960; Schumpeter,1942).

Pemilihan Umum (Pemilu) merupakan sebuah proses seleksi terhadap

lahirnya pemimpin dalam rangka perwujudan demokrasi diharapkan

menjadi representasi dari rakyat, karena pemilu merupakan suatu rangkaian

kegiatan politik untuk menampung kepentingan masyarakat, yang kemudan

dirumuskan dalam berbagai bentuk kebijakan. dengan kata lain Pemilu

adalah saran demolrasi untuk membentuk sistem kekuasaan yang

berkedaulatan. Kekuasaan yang lahir melalui pemilihan umum adalah

kekuasaan yang lahir menurut kehendak rakyat dan dipergunakan sesuai

keinginan rakyat. Secara yuridis kontitusional, berkenaan dengan pemilihan

umum di Indonesia telah diatur secara eksplisit dalam Pasal 22 E

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Selanjutnya pemilihan kepala daerah tidak terlepas dari hakikat otonomi

daerah dalam mewujudkan desentralisasi atau proses pendemokrasian

pemerintahan dengan keterlibatan langsung masyarakat melalui pendekatan

dalam pemilihan kepala daerah, guna mengatur dan mengurus urusan

rumah tangga satuan pemerintahan yang lebih rendah secara bebas dan

(31)

19

Pemilihan umum di Indonesia menurut Miriam Budiardjo :

"Di Indonesia, pemilihan umum merupakan penafsiran normatif dari UUD 1945 agar pencapaian masyarakat demokratik ini mungkin tercipta. Masyarakat demokratik ini merupakan penafsiran dari pelaksanaan kedaulatan rakyat. Dalam hal ini kedaulatan rakyat hanya mungkin berjalan secara optimal apabila masyarakatnya mempunyai kecenderungan kuat ke arah budaya politik partisipan, maupun keharusan-keharusan lain seperti kesadaran hukum dan keseyogiaan dalam berperilaku untuk senantiasa dapat menakar dengan tepat berbagai hal memerlukan keseimbangan. Harmoni tersebut antara lain berwujud sebagai keserasian antara kepentingan individu dengan masyarakat, antara asfek kehidupan kerohanian dan kebendaan, antara kepentingan pusat dan daerah dan sebagainya" (Miriam Budiardjo, 2008:37).

Dari keterangan Budiarjo di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan

umum merupakan sebuah ciri khas dari demokrasi dan merupakan

penjabaran dari UUD 1945.

Dalam konteks Pilkada di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam telah diatur

dalam Undang-undang No 18/2001. Pasal 13 ayat (1) undang-undang ini,

berbunyi :

“Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan dan diawasi oleh Komisi Pengawas Pemilihan, yang masing-masing dibentuk oleh Dewan Perwakilan Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pasal 15 ayat (1) menyebutkan “Pemilihan Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota atau nama lain dilakukan sesuai dengan ketentuan Pasal 12, Pasal 13 dan Pasal 14” (UUD 1945 :Pasal 15 :1).

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa pemilihan kepala daerah

Aceh dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan. Hal ini merupakan

kekhususan Aceh yang merupakan implementasi dari MoU Helsinki dan

(32)

20

Dalam hal pilkada Aceh, landasan hukum yang mengatur adalah

Undang-Undang No 18/2004. Dan sebagai landasan operasionalnya dijabarkan

dalam qanun Nomor 7/2006 Tahapan pemilihan dalam pilkada Aceh tahun

2006 seperti tertuang dalam Qanun No. 7 Tahun 2006 :

"Pemilihan Kepala Daerah adalah Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota yang selanjutnya disebut pemilihan adalah semua kegiatan pemilihan yang meliputi tahapan persiapan pemilihan, pendaftaran pemilih, penetapan pemilih, pencalonan, kampanye, pelaksanaan pemilihan,

penetapan pengesahan hasil pemilihan dan pelantikan

Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan

Walikota/Wakil Walikota" (Pasal 1 angka 13 Qanun Nomor 7 Tahun 2006 Tentang Pemilihan Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil WalikotaDi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam).

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkkan bahwa pemilihan kepala

daerah merupakan sebuah kegiatan politik guna menyeleksi pimpinan

daerah berdasarkan kehendak rakyat secara demokratis. Dalam pemilihan

kepala daerah Aceh, proses pemilihan dilakukan secara demokratis dan

diatur dalam UUD 1945, UUPA tahun 2006 serta Qanun No 7 Tahun 2006

sebagai landasan operasionalnya.

A.5 Konsep MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki

Nota Kesepahaman Perdamaian antara Indonesia dan GAM atau lebih

dikenal dengan MoU (Memorandum of Understanding) Helsinki adalah

perjanjian antara Pemerintah Indonesia melalui mediasi Mr. Marti Ahtisaari

(33)

21

Aceh secara menyeluruh. Pemerintah Indonesia dan GAM menggunakan

mediasi guna mempercepat penyelesaian konfilk Aceh.

MoU Helsinki merupakan sebuah babak baru dalam upaya penyelesaian

konflik di Aceh yang telah berlangsung lama. MoU Helsinki ditandatangani

oleh wakil dari Indonesia yaitu Hamid Awaludin dan pimpinan GAM

Malik Mahmud serta Mr. Marti Ahtisaari sebagai mediator di kota Helsinki,

Finlandia pada tanggal 15 Agustus 2005. MoU Helsinki itu sendiri terdiri

dari 3 bagian, yaitu penyelenggaraan Pemerintahan Aceh, hak asasi

manusia, serta amnesti dan reintegrasi ke dalam masyarakat. Sebagaimana

diungkapkan Djumala (2013:195) dibandingkan dengan kesepakatan

sebelumnya seperti Jeda Kemanusiaan (12 Mei 2000) dan COHA (9

Desember 2002), MoU Helsinki lebih komprehensif.

Tentang MoU Helsinki, lebih lanjut Djumala menuturkan :

“Secara Umum MoU Helsinki tersebut berisi deal antara

Pemerintah Indonesia dan GAM yang hampir 30 tahun tidak pernah mencapai kesepakatan; yaitu apakah Aceh akan merdeka dan mebentuk negara sendiri, atau tetap dalam naungan NKRI. Dengan MoU Helsinki tersebut GAM setuju menanggalkan tuntutan merdeka dan tetap berada dalam naungan NKRI. Hal ini tersirat dalam paragraf konsideran kedua MoU yang menyatakan kedua belah pihak bertekad untuk menciptakan kondisi, hingga pemerintahan rakyat Aceh dapat diwujudkan melalui suatu proses demokratis dan adil dalam negara kesatuan dan konstitusi Republik Indonesia” (Djumala, 2013:169).

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam MoU Helsinki

GAM tidak lagi menuntut kemerdekaan dan berpisah dari Negara Kesatuan

(34)

22

Indonesia memberikan hak otomoni yang lebih luas kepada rakyat Aceh

dalam bentuk ekonomi, politik dan budaya.

Pokok-pokok perjanjian damai antar RI dan GAM diberitakan dalam koran

Media Indonesia, Selasa 10 Agustus 2005 yang dikutip oleh Warsilah dan

Tirtosudarmo dalam bukunya Pemetaan Gerakan Sosial di Masyarakat Sipil

di Nanggroe Aceh Darussalam dalam Menuntut Hak-hak Sosial, Budaya,

Politik dan Ekonomi (2007, 39-40) :

"Pokok-Pokok Perjanjian Damai antara RI dan GAM :

1. Pemerintahan Aceh;

2. Partisipasi politik;

3. Ekonomi;

4. Amnesti dan integrasi;

5. HAM;

6. Pengaturan Keamanan;

7. Pembentukan AMM" ( Media Indonesia Selasa 10 Agustus 2005 dalam Warsilah dan Tirtosudarmo, 2007:39-40).

Dari pokok-pokok perjanjian di atas dapat disimpulkan bahwa MoU

Helsinki merupakan perjanjian damai antara RI dan GAM secara

menyeluruh yang diharapkan mampu menyelesaikan masalah di Aceh yang

selama ini terus terjadi.

Agar kesepakatan tersebut dapat dilaksanakan di Aceh, perlu adanya

ratifikasi agar kesepakatan tersebut mendapat legalitas dan tidak

bertentangan dengan Konstitusi Indonesia. MoU Helsinki saat ini telah

diratifikasi dalam bentuk Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU PA)

(35)

23

B. Kerangka Pikir

Memorandum of Understanding (MoU) Helsinski merupakan cikal bakal

perubahan dan penyelesaian masalah Aceh secara menyeluruh dalam berbagai

tatanan kehidupan sosial, budaya, ekonomi dan politik menuju suatu Aceh

baru. Masa depan Aceh selanjutnya ditentukan oleh butir-butir yang

terkandung dalam MoU Helsinki yang di tandatangani pada 15 Agustus 2005.

Selanjutnya MoU Helsinki diratifikasi ke dalam Undang-undang Pemerintahan

Aceh (UUPA) tahun 2006 sebagai landasan hukum bagi pemerintahan otonomi

Aceh yang baru.

UUPA tahun 2006 digunakan sebagai pijakan tentang partisipasi politik seluruh

rakyat Aceh termasuk mantan anggota GAM. Partisipasi politik mantan

anggota GAM merupakan bentuk transformasi GAM dari kekuatan bersenjata

menjadi kekuatan politik. Bentuk partisipasi politik masyarakat Aceh antara

lain berupa; kegiatan pemilihan, lobbying; kegiatan organisasi; mencari

coneksi; dan tindakan kekerasan (violence).

Dalam kegiatan pemilihan, partisipasi politik masyarakat Aceh secara jelas

dapat terlihat pada pelaksanaan Pilkada Aceh 11 Desember 2006. Dimana

seluruh masyarakat ikut berpartisipasi secara aktif guna mempengaruhi hasil

pemilihan. Partisipasi dalam kegiatan pemilihan ini berupa penentuan bakal

calon gubernur dan wakil gubernur, kampanye politik, dan kegiatan

pemungutan suara telah dilakukan oleh masyarakat Aceh sebagai bentuk

kepedulian mereka terhadap hasil pemilihan yangakan menentukan masa depan

(36)

24

C. Paradigma

Keterangan :

= Garis kegiatan

= Garis proses

= Garis akibat

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh

Kampanye Politik Pemjaringan Bakal

Calon Gubernur dan Wakil Gubernur

Pelaksanaan Pemungutan Suara

Hasil Pilkada Aceh 11 Desember 2006

(37)

25

REFERENSI

Miriam Budiardjo. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik.Rev.ed. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama. Hal.367.

Miriam Budiardjo. Loc Cit. Hal.367. . Op Cit. Hal.371.

Soerjono Soekanto, 1982. Sosiologi. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada. Hal.22. . Op Cit. Hal.23.

Wikipedia. 2007. Definisi Aceh.

Tersedia di https://id.wikipedia.org/wiki/Aceh (diunduh tanggal 20 Desember 2015, pukul 20.00 WIB)

Rani Usman. 2003. Struktur Masyarakat Aceh.

Tersedia di http://febasfi.blogspot.co.id/2012/11/struktur-atau-lembaga-pemerintahan.html (diunduh tanggal 20 Desember 2015, pukul 21.00 WIB)

Darmansjah Djumala. 2013. Soft Power untuk Aceh Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama. Hal.195.

Darmansjah Djumala. Op Cit. Hal.169.

Henny Warsilah & Riwanto Tirtosudarmo. 2007. Pemetaan Gerakan Sosial Masyarakat Sipil di Nangro Aceh Darussalam (NAD) Guna Menentukan HakSosial, Ekonomi, Politik. Jakarta:LIPI Press. Hal.39-40.

(38)

III. METODE PENELITIAN

A. Metode penelitian

A.1 Metode yang digunakan

Metode penelitian merupakan suatu cara yang berguna untuk

menyelesaikan suatu penelitian dengan mengungkapkan kebenaran sesuai

dengan tujuan yang diinginkan. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan

oleh Agus M. Hardjana (2003:25), bahwa metode adalah cara yang sudah

dipikirkan masak-masak dan dilakukan dengan mengikuti langkah-langkah

tertentu guna mencapai tujuan yang hendak dicapai. Dalam penelitian,

metode sebagai faktor penting dalam menyelesaikan suatu penelitian.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif kualitatif

dengan pendekatan Historis. Metode deskriptif kualitatif adalah

penggambaran secara kualitatif fakta, data atau objek material yang bukan

berupa rangkaian angka, melainkan berupa ungkapan bahasa atau wacana

(apapun itu bentuknya) melalui interpretasi yang tepat dan sistematis

(Wibowo, 2011: 43).

“Metode historis adalah proses menguji dan menganalisa secara kritis

rekaman dan peninggalan masa lalu”. (Louis Gottschalk, 1986: 32)

(39)

27

Metode penelitian historis adalah prosedur pemecahan masalah dengan menggunakan data masa lalu atau peninggalan-peninggalan, baik untuk memahami kejadian atau suatu keadaan yang berlangsung pada masa lalu terlepas dari keadaan masa sekarang maupun untuk memahami kejadian atau keadaan masa lalu, selanjutnya kerap kali juga hasilnya dapat dipergunakan untuk meramalkan kejadian atau keadaan masa yang akan datang (Hadari Nawawi, 2001: 79).

Berdasarkan pendapat kedua ahli di atas, maka metode historis adalah

suatu cara dalam proses mengumpulkan, menganalisa, dan memahami

data-data historis, serta diinterprestasikan secara kritis untuk dijadikan

bahan dalam penulisan sejarah kemudian merekontruksi fakta dan menarik

kesimpulan secara tepat.

Langkah-langkah yang digunakan dalam pelaksanaan metode historis

adalah:

1. Heuristik, yakni kegiatan menyusun jejak-jejak masa lampau. 2. Kritik sejarah, yakni menyelidiki apakah jejak-jejak itu sejati,

baik bentuk maupun isi.

3. Inteprestasi, yakni menetapkan makna yang saling

berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh.

4. Historiografi, menyimpulkan sintesa yang diperoleh dalam bentuk suatu kisah. (Nugroho Notosusanto, 1984: 84).

Berdasarkan metode penelitian historis di atas, maka peneliti melakukan

langkah-langkah penelitian historis sebagai berikut :

1. Heuristik

Pada tahap ini, peneliti mencari dan mengumpulkan data-data yang

(40)

28

2. Kritik

Setelah pengumpulan data-data yang dibutuhkan, kemudian peneliti

memberikan kritik dan penilaian terhadap data yang telah didapat

dengan menguji kebenarannya dan apakah data tersebut mendukung

kegiatan penelitian ini.

3. Interpretasi

Tahapan selanjutnya adalah peneliti memberikan penafsiran terhadap

data-data yang ada lalu data tersebut di analisis sesuai dengan tujuan

penelitian.

4. Historiografi

Pada tahap ini, peneliti melakukan penyusunan ke dalam bentuk

laporan penelitian yang bersifat sistematis.

A.2 Variabel Penelitian

Menurut Sumadi Suryabrata, variabel dikatakan sebagai segala sesuatu

yang akan menjadi objek pengamatan penelitian sering pula dinyatakan

variabel penelitian itu sebagai faktor-faktor yang berperan dalam perisiwa

atau gejala yang akan diteliti (Sumadi Suryabrata, 1991:79).

Sedangkan menurut Masri Singarimbun, variable merupakan konsep yang

telah diberi lebih dari satu nilai (Singarimbun, 1981:26). Pada awal

perencanaan kegiatan secara jelas menunjukan bahwa variabel-variabel

yang ada harus dipisahkan untuk membedakan perubahan yang ada. Hal

ini bertujuan sebagai strategi untuk mempermudah kita melihat

(41)

29

Dari pendapat-pendapat di atas, variabel merupakan objek atau

faktor-faktor yang berperan dalam peristiwa yang dijadikan titik perhatian dalam

sebuah penelitian. Maka variabel yang digunakan dalam penelitian ini

adalah variabel tunggal dengan fokus penelitian mengenai apa sajakah

bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat aceh pasca MoU Helsinki

dalam pelaksanaan pilkada Aceh tahun 2006. Unit analisis dari penelitian

ini adalah seluruh masyarakat Aceh yang telah terdaftar di dalam daftar

pemilihan tetap.

B. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data adalah suatu prosedur data yang diperlukan

(Muhammad Nazir, 1993:211). Oleh sebab itu diharapkan dengan adanya

penggunaan teknik-teknik tertentu yang sistematis dan standar akan dapat

diperoleh data-data yang akan dapat menjawab dari apa yang menjadi

permasalahan dari penelitian yang direncanakan.

Karena terbatasnya waktu dan biaya, maka dalam penelitian ini data yang

dikumpulkan berupa data sekunder. Agar data yang dilperoleh sesuai dengan

masalah yang diteliti, maka dalam hal ini penulis menggunakan teknik

pengumpulan data yaitu :

B.1 Teknik kepustakaan

“Teknik kepustakaan adalah suatu cara untuk mendapatkan informasi

secara lengkap serta untuk menentukan tindakan yang akan diambil

(42)

30

1997:109)”, sedangkan Kontjaraningrat (1983:133) menyatakan bahwa

“Teknik kepustakaan merupakan cara pengumpulan data dan informasi

dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat diruang

perpustakaan, misalnya dalam bentuk koran, naskah, catatan, kisah

sejarah, dokumen-dokumen dan sebagainya yang relevan dengan

penelitian”.

Sementara itu teknik kepustakaan juga dapat diartikan sebagai “studi

penelitian yang dilaksanakan dengan cara mendapatkan sumber-sumber

data yang diperoleh diperpustakaan yaitu melalui buku-buku literatur yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti" (Hadari Nawawi, 2001:133).

Jadi teknik kepustakaan adalah serangkaian kegiatan yang berkenaan

dengan metode pengumpulan data pustaka, membaca, mempelajari dan

menelaah buku- buku untuk memperoleh data-data dan informasi berupa

teori- teori atau argumen- argumen yang dikemukakan para ahli yang

berkaitan dengan masalah yang diteliti.

Manfaat dari penggunaaan teknik kepustakaan adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apakah topik penelitian kita telah diteliti oleh orang

lain sebelumnya, sehingga penelitian kita bukan hasil duplikasi.

2. Untuk mengetahui hasil penelitian orang lain yang ada kaitannya

dengan penelitian kita, sehingga kita dapat memanfaatkannya sebagai

bahan referensi tambahan.

3. Untuk memperoleh data yang mempertajam orientasi dan dasar teoritis

(43)

31

4. Untuk memperoleh informasi tentang teknik-teknik penelitian yang

telah diterapkan (Muhammad Nazir, 1993:97).

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah

dengan metode library research (penelitian pustaka) yaitu dengan cara:

1. Mengumpulkan buku-buku tentang teori-teori partisipasi politik;

2. Mengumpulkan literatur masyarakat Aceh;

3. Mengklasifikasikan bentuk-bentuk partisipasi politik masyarakat Aceh

dalam pemilihan kepala daerah.

Sumber data tersebut dapat diperoleh di perpustakaan Universitas

Lampung, Perpustakaan Daerah Lampung, toko buku maupun internet.

B.2 Teknik Dokumentasi

Menurut Hadari Nawawi (2001:133), teknik dokumentasi merupakan

suatu cara mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis berupa

arsip-arsip dan juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau hukum-hukum

lain yang berhubungan dengan masalah penelitian. Menurut Suharsimi

Arikunto (2002:188), Teknik dokumentasi yaitu teknik mencari data

mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, surat kabar,

majalah, notulen, lengger, agenda dan sebagainya.

Dalam hal ini peneliti akan mencari sumber-sumber yang berasal dari

arsip-arsip dan juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil atau

(44)

32

peneliti. Dokumentasi yang akan dilakukan dalam penelitian ini yaitu

teknik pengumpulan data dengan cara penelusuran literatur atau dokumen

yang berkaitan dengan partisipasi politik masyarakat Aceh dalam pilkada

Aceh tahun 2006.

Teknik pengumpulan data yang digunakan pada penelitian ini adalah

dengan teknik dokumentasiyaitu dengan cara:

1. Mengumpulkan data yang berhubungan dengan masyarakat Aceh.

2. Mengumpulkan data hasil pilkada Aceh 2006.

3. Mengklasifikasikan data-data yang berkaitan dengan perilaku

masyarakat Aceh

Dokumentasi yang akan dilakukan dalam penelitian ini yaitu teknik

pengumpulan data dengan cara penelusuran literatur atau dokumen yang

berkaitan dengan partisipasi politik masyarakat Aceh pasca MoU

Helsinski terutama pada pelaksanaan pilkada Aceh tahun 2006. Sumber

data tersebut dapat diperoleh di perpustakaan Universitas Lampung,

Perpustakaan Daerah Lampung, toko buku maupun internet.

C. Teknik Analisis Data

Setelah data penelitian diperoleh maka langkah peneliti selanjutnya adalah

mengolah dan menganalisis data untuk diinterpresentasikan dalam menjawab

permasalahan penelitian yang telah diajukan. Dengan demikian teknik analisis

data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis data kualitatif.

(45)

33

berupa angka-angka, dalam hal ini juga memerlukan suatu pemikiran yang

kritis dalam menganalisis data guna menyelesaikan masalah penelitian.

Teknik analisis data kualitatif yang dipergunakan dalam tulisan ini adalah

sebagai berikut:

1. Penyusunan data;

2. Klasifikasi data;

3. Pengolahan data;

4. Penafsiran dan penyimpulan (Muhammad Ali, 1985:151).

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dengan mengikuti metode yang

diungkapkan oleh Muhammad Ali yaitu:

1. Penyusunan data

Penyusunan data ini merupakan usaha dari peneliti dalam memilih data

yang sesuai dengan data yang akan diteliti dari data yang diperoleh.

2. Klasifikasi Data

Merupakan usaha dari peneliti untuk menggolongkan data berdasarkan

jenisnya.

3. Pengolahan Data

Setelah data digolong-golongkan berdasarkan jenisnya kemudian peneliti

mengolahnya kedalam suasana kalimat secara kronologis sehingga mudah

dipahami.

4. Penyimpulan

Setelah melakukan langkah-langkah di atas, maka langkah terakhir dari

penelitian ini adalah menyimpulkan hasil dari penelitian sehingga akan

(46)

34

REFERENSI

Agus M. Hardjana. 2003. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius. Hal.25.

Hadari Nawawi. 2001. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada Univercity Press. Hal.79.

Nugroho Notosusanto. 1984. Hakekat Sejarah dan Metode Sejarah. Jakarta: Mega Bookstore. Hal.84.

Sumadi Suryabrata. 1991. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Hal.79.

Irawati Singarimbun (Ed. Masri Singarimbun Dan Sofyan Effendi). 1981. Teknik Wawancara, Metode Penelitian Survai. Jakarta: Lp3es. Hal.26.

Muhammad Nazir. 1993. Metode Penelitian. Jakarta:Ghalia Indonesia. Hal.211.

Joko Subagyo. 1997. Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek.

Jakarta:Rineka Cipta. Hal.109.

Kontjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:Gramedia. Hal.133.

(47)

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari hasil pembahasan yang dilakukan oleh peneliti maka dapat disimpulkan

mengenai partisipasi politik masyarakat Aceh dalam pemilihan kepala daerah

di Aceh yang di menangkan oleh pasangan independen yakni Irwandi Jusup

dan Muhammad Nazar sebagai gubernur dan wakil gubernur Aceh.

Partisipasi politik masyarakat Aceh merupakan salah satu usaha untuk

mewujudkan cita-cita bersama dengan jalan politik. Dalam partisipasi

politiknya pada pilkada Aceh tahun 2006, masyarakat Aceh cukup aktif dalam

berbagai kegiatan pemilihan. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka

mempengaruhi rakyat secara persuasif dengan melakukan kegiatan mencari

dukungan atau komunikasi massa, membentuk tim sukses yang solid,

kampanye politik yang sederhana naum memiliki kekuatan emosional

ke-Acehan, dan sampai ketitik akhir yaitu hasil pemilihan.

Kemenangan Irwandi_Nazar memang diluar perkiraan banyak pengamat

politik. Terpecahnya mantan anggota GAM menjadi dua kubu yang

berlawanan memungkinkan suara terpecah menjadi dua, dimana

Humam-Hasbi yang juga merupakan aktivis GAM di dukung oleh GAM senior dan

(48)

85

memenangkan pemilihan kepala daerah. Pencabutan pernyataan dukungan

KPA terhadap pasangan Humam-Hasbi yang dikeluarkan Muzakir Manaf

beberapa hari menjelang pilkada berdampak besar terhadap kemenangan

Irwandi-Nazar yang memang menggunakan struktur KPA sebagai mesin

politiknya.

Dari kemenangan Irwandi-Nazar dapat disimpulkan bahwa KPA dan SIRA

lebih banyak memainkan peranan penting dibandingkan dengan Majelis

Nasional dalam pilkada Aceh 11 Desember 2006. KPA yang merupakan

bentuk transformasi mantan kombatan GAM sangat dominan di daerah

pedalaman, sedangkan SIRA kuat di daerah ibu kota. Oleh karena itu yang

Majelis Nasional yang diisi oleh mantan GAM non-combatan (GAM-sipil)

tidak dapat berbuat banyak dalam pilkada yang mendukung pasangan

Humam-Hasby.

Pemilihan Gubernur diselenggarakan secara bersama-sama oleh seluruh

masyarakat Aceh yang berpartisipasi secara demokrasi. Pilkada pertama di

Aceh ini berlangsung relatif aman dan menghasilkan hasil penghitungan suara

yang membalikan predikasi banyak pengamat, khususnya dengan apa yang

diraih calon independen. Dalam pemilihan gubernur Aceh, pasangan Irwandi

Jusuf dan Muhammad Naza memperoleh 38,20 persen suara dan berhasil

megalahkan tujuh pasangan lain dengan selisih perolehan suara yang cukup

(49)

86

B. SARAN

Berdasarkan hasil penelitian ini beberapa hal yang dapat diusulkan sebagai

saranyang peneliti sampaikan diantaranya yaitu:

1. Diharapkan kepada pemerintah Republik Indonesia tetap mengawasi

agar peristiwa yang melanda di wilayah Aceh tidak terjadi yang kedua

kalinya di wilayah bumi tercinta ini yakni Indonesia.

2. Kepada seluruh generasi muda diharapkan saling menghargai, dan

menjunjung tinggi Landasan Idiil, dan landasan Konstitusuinal.

3. Semoga penelitian ini bisa bermanfaat untuk peneliti, pembaca dan

masyarakat. Agar dapat saling membuka wacana untuk penelitian lebih

(50)

DAFTAR PUSTAKA

Al Chaidar, Ahmad, Sayed Mudhahar dan Dinamika Yarmen. 1999. Aceh

Bersimbah Darah, Mengungkap Penerapan Status Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh 1989-1998. Jakarta:Islam Utama.

Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik.Rev.ed. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.

Budiarjo, Miriam. 2008. Konsep-konsep Demograsi.Jakarta: PT Gramedia

Pustaka Utama.

Djumala, Darmansjah. 2013. Soft Power untuk Aceh Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama.

Hardjana, Agus M. 2003. Komunikasi Interpersonal. Yogyakarta: Kanisius. Harun, Rochajat & Sumarno. 2006. Komunikasi Politik Sebagai Suatu

Pengantar.Bandung: Penerbit Mandar Madju.

Huntington, Samuel P., Joan Nelson. 1994. Partisipasi Politik. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Jebarus, Felix. 1964. Membangun dukungan publik dengan pendekatan budaya. Jakarta: PT Rineka Cipta.

Kontjaraningrat. 1983. Metode-Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:Gramedia. Nazir, Muhammad. 1993. Metode Penelitian. Jakarta:Ghalia Indonesia.

Nawawi, Hadari. 2001. Penelitian Terapan. Yogyakarta: Gadjah Mada Univercity Press.

Nurhasim, Moch. 2008. Konflik Aceh: Analisis Atas sebab-sebab Konflik, Aktor Konflik, Kepentingan dan Upaya Penyelesaianya. Jakarta: LIPI.

(51)

Pane, Neta S. 2001. Sejarah dan kekuatan Gerakan Aceh Merdeka: solusi, harapan, dan impian. Jakarta:Gramedia Widiasarana Indonesia.

Singarimbun, Irawati (Ed. Masri Singarimbun Dan Sofyan Effendi). 1981. Teknik Wawancara, Metode Penelitian Survai. Jakarta: Lp3es.

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada.

Subagyo, Joko. 1997. Metode Penelitian Dalam Teori Dan Praktek.

Jakarta:Rineka Cipta.

Sufi, Rusdi & Agus Budi Wibowo. 2006. Kerajaan-kerajaan Islam di Aceh. Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Suryabrata, Sumadi. 1991. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Usman, Rani. 2003. Struktur Masyarakat Aceh.

Tersedia di http://febasfi.blogspot.co.id/2012/11/struktur-atau-lembaga-pemerintahan.html (diunduh tanggal 20 Desember 2015, pukul 21.00 WIB)

Warsilah, Henny & Riwanto Tirtosudarmo. 2007. Pemetaan Gerakan Sosial Masyarakat Sipil di Nangro Aceh Darussalam (NAD) Guna Menentukan HakSosial, Ekonomi, Politik. Jakarta:LIPI Press.

Wikipedia. 2007. Definisi Aceh.

Tersedia di https://id.wikipedia.org/wiki/Aceh (diunduh tanggal 20 Desember 2015, pukul 20.00 WIB)

Referensi

Dokumen terkait

Banyak faktor penyebab terjadinya hasil belajar siswa yang rendah. Salah satu faktor tersebut adalah metode pembelajaran yang guru gunakan, selama ini guru cenderung

apabila saling bergabung dapat membentuk dua jenis objek yang lebih kompleks yang kita kenal dengan gambar dan huruf (pada logo disebut picture mark dan letter mark ).. Kita

Model peer teaching yang penulis maksud dalam penelitian ini adalah pola pembelajaran antar sesama siswa, dimana memanfaatkan anak yang dianggap mempunyai tingkat

Sehingga dilakukan tugas akhir dengan judul "Perancangan Aplikasi Chat Translator Berbasis Desktop Untuk Komunikasi Dua Bahasa Dalam Jaringan Komputer"yang

Proses konstruksi mahasiswa yang berkemampuan spatial visualization (SV) dalam menyelesaikan masalah geometri bidang berdasarkan indikator proses konstruksi

Pada pelaksanaan shalat Dhuha ini yang menjadi imam adalah dari salah satu peserta didik laki-laki yang mendapat tugas dari guru pendidikan agama Islam PAI untuk menjadi imam di

PENGARUH PROFITABILITAS, KUALITAS AUDIT, INDEPENDENSI AUDITOR, UKURAN PERUSAHAAN, DAN LEVERAGE TERHADAP MANAJEMEN LABA Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di