59
FORMULIR METODE RECALL 24 JAM
No. Responden :
Waktu Makanan
Nama Masakan
Bahan Makanan
Jenis
Banyaknya
URT g
Pagi / Jam
Snack
Siang / Jam
Snack
61
POLA PEMBERIAN MAKAN DAN STATUS GIZI ANAK BALITA PENDERITAINFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) DI PUSKESMAS TANJUNG TIRAMKABUPATEN BATUBARA
TAHUN 2015
Nomor Sampel
a. IdentitasResponden (IbuBalita):
- Nama : ………
- Umur : ………
- Pendidikan : ………
- Pekerjaan : ………
- Penghasilan : ………/bln
b. IdentitasBalita:
- Nama : ………..
- JenisKelamin : ………..
- Umur : ……….. Bulan/ Tahun
c. Status Gizi :
- BeratBadan : ……….. Kg
- TinggiBadan : ………Cm
d. Kejadian ISPA padabalita:
- Apakah dalam satu bulan terakhir ini balita mengalami tanda- tanda seperti:
Batuk : Ya/ Tidak (….kali)
Pilek : Ya/ Tidak ( ….kali)
UMUR IBU
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid < 20 tahun 8 12.7 12.7 12.7
20-35 tahun 40 63.5 63.5 76.2
> 35 tahun 15 23.8 23.8 100.0
Total 63 100.0 100.0
PEKERJAAN IBU
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative Percent
Valid Ibu Rumah Tangga 55 87.3 87.3 87.3
Wiraswasta 8 12.7 12.7 100.0
Total 63 100.0 100.0
PENDIDIKAN IBU
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid tdk sklh 9 14.3 14.3 14.3
SD 34 54.0 54.0 68.3
SMP 13 20.6 20.6 88.9
SMA 7 11.1 11.1 100.0
Total 63 100.0 100.0
PENGHASILAN IBU
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid <2.075.000 63 100.0 100.0 100.0
>2.075.000 0 0 0 0
65
JENIS KELAMIN
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid L 23 36.5 36.5 36.5
P 40 63.5 63.5 100.0
Total 63 100.0 100.0
USIA BALITA
Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent
Valid 12-36 bulan 46 73.0 73.0 73.0
37-59 bulan 17 27.0 27.0 100.0
umurbalitaK * Karbohidrat Crosstabulation
Sedang Kurang Defisit Sedang
67
umurbalitaK * Zink Crosstabulation
Zink Total
sedang kurang defisit sedang
umurbalitaK 1 Count 3 25 18 46
sedang kurang defisit sedang
ZatBesi * BB/TB Crosstabulation
1 kali sebulan 2 kali sebulan 3 kali sebulan 1 kali sebulan
79
TB/U * KEJADIANISPA Crosstabulation
KEJADIANISPA Total
1 kali sebulan 2 kali sebulan 3 kali sebulan 1 kali sebulan
MASTER TABEL
SM Jumlah Asupan Zat Gizi Frekuensi
81
Penghasilan 1. >UMK Rp.2.075.000 Frekuensi Kejadian ISPA : 1. 1 kali dalam sebulan
2. <UMK Rp.2.075.000 2. 2 kali dalam sebulan
3. 3 kali dalam sebulan Jenis Kelamin ( JK) 1. Laki-laki
2.Perempuan Susunan Makanan (SM) : 1. Lengkap
2. Tidak Lengkap
Jumlah Asupan Zat Gizi 1. Baik : >100%
2. Sedang : > 80-99%
3. Kurang : 70-80%
57
DAFTAR PUSTAKA
Almatsier S, 2001., Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.
Beck M.E., 2011. Ilmu Gizi dan Diet. Yogyakarta : Yayasan Essensia Medica (YEM)
Behrman R.E., 1999. Nelson Ilmu Kesehatan Anak,Jakarta: EGC.
Cakrawati, Mustika N.H., 2012. Bahan Pangan Gizi dan Kesehatan, Bandung : Alfabeta.
Depkes RI., 2006. Perkembangan Penanggulangan Gizi Buruk di Indonesia
Tahun 2005. Jakarta. Ditjen Binkesmas Direktorat Bina Gizi
Masyarakat.
Depkes RI., 2012. Direktorat Jenderal PPM & PLP.Pedoman Pemberantasan
Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Jakarta.
Dinkes Provinsi Sumatera Utara., 2013. Profil Kesehatan Sumatera Utara, Medan
Dinkes Kab.Batubara., Laporan Tahunan 2011 - 2013, Batubara.
Fredrisyansyah., 2010. Hubungan Kadar Seng Dan Vitamin A Dengan
Kejadian ISPA dan Diare Pada Anak. Jurnal Departemen Kesehatan
Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang
Hadiana S.Y.M., 2013. Hubungan Status Gizi Terhadap Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Puskesmas Pajang Sukarta.
Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Surakarta.
Irianto K., 2013. Solusi Sehat Peranan Vitamin dan Mineral Bagi Kesehatan, Bandung : Yrama Widya.
Irianto K, Waluyo K., 2007. Pangan dan Pola Hidup Sehat, Bandung : Yrama Widya.
Khomsan A., 2003. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan, Jakara : Raja Grafindo Persada.
Marimbi H, 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi, dan Imunisasi Dasar Pada
Balita, Yogyakarta : Nuha Medika
Nuryanto., 2012. ,Hubungan Status Gizi terhadap Penyakit Infeksi Saluran
Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sosial Palembang. (Jurnal Pembangunan Manusia) diakses 15 Maret
Probowo S., 2012 Penyakit Yang Paling Umum Pada Anak. Majalah Kesehatan. (Online)http://majalahkesehatan.com/penyakit-yang-paling-umum-pada-anak-bag-1/Diakses 11 Februari 2015
Pudjiadi S., 2011. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi keempat, Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Puskesmas Tanjung Tiram., 2014.Laporan Bulanan Penderita ISPA, Batubara
Purwani E., Maryam., 2013. Pola Pemberian Makan dengan Status Gizi Anak
Usia 1-5 Tahun di Kabunan Taman Pematang Tahun 2013. (Jurnal
Keperawatn Anak) Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan UNIMUS.
Rahajoe N, Suproyanto B, Setyanto DB., 2008. Buku Ajar Respirologi Anak, Edisi Pertama, Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Riskesdas., 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan, Republik Indonesia Desember 2008.
Riskesdas., 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Departemen Kesehatan, Republik Indonesia Desember 2013.
Santoso S., Ranti AL., 2009. Kesehatan dn Gizi. Edisi Kedua, Jakarta : PT Renika Cipta, PT Bina Adi Aksara.
Sitorus R., 2009. Makanan Sehat dan Bergizi, Bandung : Yrama Widya.
Soekirman., 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya, Jakarta: Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Suhardjo., 1989. Sosio Budaya Gizi, Bogor : IPB.
., 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. PT Bumi Aksara, Jakarta.
Sulistyoningsih H., 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak, Yogyakarta : Graha Ilmu.
Supariasa I, Bakri B, Fajar I., 2008, Penilaian Status Gizi, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
WHO., 2012.Penanggulangan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara
Berkembang, Pedoman untuk Dokter dan Petugas Kesehatan Senior.
Jakarta: Buku Kedokteran EGC..
23
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan rancangan cross sectional,
yaitu suatu penelitan untuk melihat pola pemberian makanan dan status gizi anak
balita penderita ISPA di wilayah kerja Puskesman Tanjung Tiram Kabupaten
Barubara.
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara.
Hal ini didasarkan pada tingginya kasus Infeksi Saluran Pernafasn Akut (ISPA)
pada balita yang merupakan urutan pertama 10 penyakit terbesar. Pada daerah ini
paling banyak didapati keluarga miskin dan pola pemberian makan yang tidak
tepat.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang dilakukan untuk menyelesaikan penelitian ini dari
bulan Agustus 2014 – Desember 2015.
3.3. Populasi dan Sampel 1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 12-59 bulan yang
menderita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi balita yang menderita
ISPA pada saat penelitian dilakukan sebanyak 63 balita.
3.4. Metode Pengumpulan Data 1. Data Primer
Data primer diperoleh dengan cara wawancara langsung kepada responden
(ibu balita) dengan lembar observasi. Data yang dikumpulkan meliputi:
karakteristik ibu balita (umur, pekerjaan, pendidikan, penghasilan), karakteristik
balita (umur, jenis kelamin) status gizi (BB/U, TB/U, BB/TB) dan frekuensi
kejadian Infeksi Saluran Pernafasn Akut (ISPA).
Pola pemberian makan yang meliputi susunan, frekuensi dan jumlah
makanan diperoleh dengan formulir food recall 24 jam yang dilakukan 2 kali
recall pada hari yang tidak berurut yang diperoleh dikonversikan dari ukuran
rumah tangga ke satuan gram dengan bantuan food model. Frekuensi makanan
diperoleh dengan menggunakan FFQ (Food Frequency Questionnaires)
2. Data Sekunder
Data sekunder diperoleh dari Puskesmas Tanjung Tiram. Data yang
diperoleh berupa gambaran umum wilayah penelitian, profil puskesmas, data
balita yang menderita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram dan
25
3.5. Defenisi Operasional
1. Pola pemberian makan adalah berbagai informasi yang memberikan
gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan
tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok
masyarakat tertentu.
a. Susunan makanan adalah berbagai macam makanan yang mengandung
gizi makro(karbohidrat dan protein) dan gizi mikro(vitamin A, zinc dan
zat besi) yang di konsumsi balita di Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten
Batubara.
b. Jumlah makanan adalah banyaknya makanan yang mengandung gizi
makro (karbohidrat dan protein) dan gizi mikro (vitamin A, zinc, dan zat
besi) yang di konsumsi balita.
c. Frekuensi makanan adalah berapa kali makanan yang mengandung gizi
makro (karbohidrat dan protein) dan gizi mikro (vitamin A, zinc dan zat
besi) yang di konsumsi balita.
2. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaanzat-zat gizi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan
balita yang ditentukan berdasarkan nilai Z-score dengan indeks BB/U,
TB/U dan BB/TB).
3. Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan pada balita adalah penyakit yang
sedang diderita oleh anak pada saat penelitian dilakukan dengan gejala
3.6. Aspek Pengukuran
1. Pola Pemberian makan a. Susunan Makanan
Susunan makanan yang diberikan kepada anak balita:
- Lengkap :Makanan pokok, lauk pauk, sayur, buah-buahan,
susu/ASI.
- Tidak lengkap : Makanan pokok, dan lauk pauk.
b. Frekuensi Makanan
frekuensi makanan diukur dengan formulir food frequency.
1. 1-3x sehari
2. 4 – 6x/ minggu
3. 1 – 3x / minggu
4. 1 x / bulan
5. Tidak pernah
c. Jumlah makanan
Jumlah asupan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG), yang
dikategorikan atas:
a. Karbohidrat
- 12-36 bulan : 155 gr sehari
- 37-59 bulan : 220 gr sehari
b. Protein
- 12-36 bulan : 26 gr sehari
27
c. Vitamin A
- 12-36 bulan : 400 mcg sehari
- 37-59 bulan : 450 mcg sehari
d. Zinc
- 12-36 bulan : 4 mg sehari
- 37-59 bulan : 5 mg sehari
e. Zat Besi
- 12-36 bulan : 8 mg sehari
- 37-59 bulan : 9 mg sehari
Rumus menghitung zat gizi yang terdapat dalam bahan makanan:
Dengan kategori:
- Baik : ≥100%
- Sedang : >80-99%
- Kurang : 70-80%
2. Status Gizi
Status gizi diukur dengan menggunakan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB)
melalui penilaian nilai Z-score sesuai WHO-Anthro 2005.
Indikator Status Gizi Keterangan
BB/U BB Sangat Kurang
Kejadian ISPA diukur dengan menggunakan lembar observasi dan
meminta bantuan dari ibu balita untuk mengetahui berapa kali balita terkena
Infeksi Saluran Pernafasn Akut (ISPA) (batuk, pilek dan demam).
3.7. Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan system
komputerisasi program (SPSS) melalui editing, coding, entry, cleaning serta
29 BAB IV
HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Puskesmas Tanjung Tiram didirikan pada tanggal 19 juli 1994 yang
berlokasi di jl. Rahmadsyah Desa Suka Maju Kecamatan Tanjung Tiram
Kabupaten Batubara. Puskesmas Tanjung Tiram memiliki wilayah kerja 2
kelurahan dengan 11 desa. Puskesmas berada didaerah pesisir pantai, yang
sebagian masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Jumlah penduduk sebanyak
40.747 jiwa, dengan jumlah balita sebanyak 5586 orang. Penyakit ISPA di
Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara termasuk
peringkat pertama dari 10 penyakit terbesar saat ini, hal ini disebabkan oleh
keadaan rumah yang tidak sehat seperti kurangnya ventilasi rumah dan keadaan
penduduk yang terlalu padat.
4.2. Karakteristik Ibu
Hasil penelitian tentang gambaran karakteristik ibu balita di Wilyah Kerja
Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara tahun 2015 ditampilkan pada
Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Ibu
yaitu pada kelompok umur 20-35 tahun sebanyak 40 (63,5%) orang. Distribusi ibu
berdasarkan pekerjaan diperoleh bahwa distribusi ibu pada kelompok yang tidak
bekerja sebanyak 55 orang (87,3%). Pendidikan ibu pada kelompok pendidikan
SD yaitu sebanyak 34 orang (54,0%). Penghasilan < UMK (2.075.000) yaitu 63
ibu.
4.3. Karakteristik Balita
Hasil penelitian tentang gambaran karakteristik balita di wilayah kerja
Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara Tahun 2015 di tampilkan pada
31
Tabel 4.2. Distribusi Balita berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur
Jenis Kelamin n %
Laki-laki 23 36,5
Perempuan 40 63,5
Total 63 100,0
Umur n %
12-36 Bulan 46 73,0
37-59 Bulan 17 27,0
Total 63 100,0
Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa distribusi balita penderita ISPA
lebih banyak pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 40 balita (63,5%),
dengan umur 12-36 bulan yaitu sebanyak 46 balita (73,0%).
4.4. Pola Pemberian Makanan 4.4.1. Susunan Makanan
Hasil penelitian tentang gambaran susunan makanan balita penderita ISPA
di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara tahun 2015
ditampilkan pada tabel 4.3.
Tabel 4.3 Distribusi Balita Berdasarkan Susunan Makanan
Susunan Makanan N %
Lengkap 9 14,3
Tidak Lengkap 54 85,7
Total 63 100,0
Berdasarkan tabel 4.3. diatas dapat dilihat bahwa distribusi balita
berdasarkan susunan makanan lebih banyak dengan susunan makanan yang tidak
4.4.2. Frekuensi Makanan
Hasil penelitian tentang frekuensi dan jenis makanan balita penderita ISPA
di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara tahun 2015
Berdasarkan tabel 4.4. diatas dapat dilihat balita penderita ISPA lebih
banyak pada kelompok dengan frekuensi makan sebanyak 1-3 kali/ hari dengan
jenis makanan pokok nasi sebanyak 63 balita (100%), frekuensi makan 1-3
kali/hari dengan jenis lauk-pauk ikan yaitu sebanyak 63 balita (100%), frekuensi
makan 1-3x/minggu dengan jenis makanan sayur-mayur kangkung 46 orang
33
sebanyak 36 orang (57,1%) dan frekuensi 1 kali/ bulan dengan jenis konsumsi
minuman susu sebanyak 22 balita (34,9%).
4.4.3. Asupan Zat Gizi Jumlah Asupan Karbohidrat, Protein, Vitamin A, Zink dan Zat Besi dengan Kelompok Umur.
Hasil penelitian tentang gambaran jumlah asupan karbohidrat, protein,
vitamin A, zink dan zat besi dengan kelompok umur balita di wilayah kerja
Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara Tahun 2015 ditampilkan pada
tabel 4.5.
Tabel 4.5. Distribusi Asupan Karbohidrat Balita Berdasarkan Kelompok Umur
Umur Balita Asupan Karbohidrat
Baik Sedang Kurang Total
n % n % n % n %
12-36 Bulan 4 8,7 28 60,9 14 30,4 46 100,0
37-59 Bulan 2 11,8 9 52,9 6 35,3 17 100,0
Berdasarkan Tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa balita asupan karbohidrat
lebih banyak pada kategori kurang dengan kelompok umur 12-36 bulan sebanyak
14 balita (30,4%) dan kelompok umur 37-59 bulan sebanyak 6 balita (35,5%).
Tabel 4.6. Distribusi Asupan Protein Balita Berdasarkan Kelompok Umur
Umur Balita Asupan Protein
Baik Sedang Kurang Defisit Total
N % n % N % n % N %
12-36 Bulan 17 37,0 21 45,7 5 10,8 3 6,5 46 100,0
37-59 Bulan 3 17,6 11 64,7 2 11,8 1 5,9 17 100,0
Berdasarkan Tabel 4.6. diatas dapat dilihat bahwa jumlah asupan protein
lebih banyak pada kategori defisit dengan kelompok umur 12-36 bulan sebanyak 3
Tabel 4.7. Distribusi Asupan Vitamin A Balita Berdasarkan Kelompok Umur
Umur Balita Asupan Vitamin A
Sedang Kurang Defisit Total
n % n % n % n %
12-36 Bulan 2 4,3 20 43,5 24 52,2 46 100,0
37-59 Bulan 2 11,8 8 47,1 7 41,2 17 100,0
Berdasarkan Tabel 4.7. diatas dapat dilihat bahwa jumlah asupan vitamin
A lebih banyak pada kategori defisit dengan kelompok umur 12-36 bulan
sebanyak 24 balita (52,2%), dan kelompok umur 37-59 bulan sebanyak 7 balita
(41,2%).
Tabel 4.8. Distribusi Asupan Zink Balita Berdasarkan Kelompok Umur
Umur Balita Asupan Zink
Sedang Kurang Defisit Total
n % n % n % n %
12-36 Bulan 3 6,5 25 54,3 18 39,2 46 100,0
37-59 Bulan 3 17,6 10 58,8 4 23,6 17 100,0
Berdasarkan Tabel 4.8. diatas dapat dilhat bahwa jumlah asupan zink lebih
banyak pada kategori kurang dengan kelompok umur 12-36 bulan sebanyak 25
balita (54,3%) dan kemlompok umur 37-59 bulan sebanyak 10 balita (58,8%).
Tabel 4.9. Distribusi Asupan Zat Besi Balita Berdasarkan Umur
Umur Balita Asupan Zat Besi
Sedang Kurang Defisit Total
n % n % n % n %
12-36 Bulan 6 13,0 18 39,2 22 47,8 46 100,0
37-59 Bulan 2 11,8 5 29,4 10 58,8 17 100,0
Berdasarkan Tabel 4.9. diatas dapat dilihat bahwa jumlah asupan zat besi
lebih banyak pada kategori defisit dengan kelompok umur 12-36 tahun sebanyak
35
4.5. Status Gizi Balita
Hasil penelitian tentang status gizi balita berdasarkan indikator berat badan
menurut umur (BB/U), indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indikator
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) penderita ISPA diwilayah kerja
Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara tahun 2015 ditampilkan pada
tabel 4.10.
Tabel 4.10. Distribusi Status Gizi Balita Menurut BB/U Berdasarkan Umur
Umur Balita Status Gizi BB/U
Sangat
Berdasarkan Tabel 4.10 diatas dapat dilihat bahwa status gizi berdasarkan
BB/U lebih banyak pada kategori normal dengan kelompok umur 12-36 bulan
sebanyak 36 balita (78,3%) dan kelompok umur 37-59 bulan sebanyak 16 balita
(94,1%).
4.11. Distribusi Status Gizi Balita Menurut TB/U Berdasarkan Kelompok Umur
Umur Balita Status Gizi TB/U
Sangat
Berdasarkan Tabel 4.11. diatas dapat dilihat bahwa status gizi berdasarkan
TB/U lebih banyak pada kategori normal dengan kelompok umur 12-36 bulan
sebanyak 30 balita (65,2%) dan kelompok umur 37-59 bulan sebanyak 11 balita
4.12. Distribusi Status Gizi Balita Menurut BB/TB Berdasarkan Kelompok Umur
Umur Balita Status Gizi BB/TB
Kurus Normal Total
N % N % N %
12-36 Bulan 7 15,2 39 84,8 46 100,0
37-59 Bulan 7 41,2 10 58,8 17 100,0
Berdasarkan Tabel 4.12. diatas dapat dilihat bahwa status gizi berdasarkan
TB/U lebih banyak pada kategori normal dengan kelompok umur 12-36 bulan
sebanyak 39 balita (84,8%) dan kelompok umur 37-59 bulan sebanyak 10 balita
(58,8%).
4.6. Kejadian ISPA
4.6.1. Frekuensi Kejadian ISPA
Hasil penelitian tentang gambaran Frekuensi kejadian ISPA pada balita di
wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara tahun 2015
ditampilkan pada tabel 4.13.
Tabel 4.13. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA berdasarkan Umur
Umur Balita Frekuensi Kejadian ISPA
1 kali sebulan 2 kali sebulan 3 kali sebulan Total
n % n % n % N %
12-36 Bulan 18 39,1 23 50,0 5 10,9 46 100,0
37-59 Bulan 5 29,4 11 64,7 1 5,9 17 100,0
Berdasarkan tabel 4.13. diatas dapat dilihat bahwa balita dengan frekuensi
kejadian ISPA 2 kali sebulan lebih banyak pada kelompok umur 12-36 bulan
37
4.7. Tabulasi Silang Pola Pemberian Makan dengan Status Gizi balita Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).
Hasil tabulasi silang antara pola makan dengan status gizi balita penderita
ISPA di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara tahun
2015dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
Tabel 4.14. Distribusi Susunan Makanan Berdasarkan Status Gizi BB/U
Susunan Makanan Status Gizi BB/U
Sangat
yang susunan makanannya lengkap dengan status gizi normal. Dan dari 47 balita
ada 36 balita (76,6%) yang susunan makanannya tidak lengkap dengan status gizi
sangat normal.
Tabel 4.15. Distribusi Susunan Makanan Berdasarkan Status Gizi TB/U
Susunan Makanan Status Gizi TB/U
Sangat
mengkonsumsi susunan makanan lengkap dengan kategori status gizi normal
sebanyak 16 orang (100%) dan susunan makanan tidak lengkap dengan status gizi
Tabel 4.16. Susunan Makanan Berdasarkan Status Gizi BB/U
Susunan Makanan Status Gizi BB/TB
Kurus Normal Total
n % n % n %
Lengkap 1 6,3 15 93,7 16 100,0
Tidak Lengkap 13 27,7 34 72,3 47 100,0
Berdasarkan Tabel 4.16. diatas dapat dilihat bahwa dari 16 balita ada 1
balita (6,3%) yang susunan makanannya lengkap dengan status gizi kurus. Dan
dari 47 balita ada 13 balita (27,7%) yang susunan makanannya tidak lengkap
dengan status gizi kurus.
Tabel 4.17. Distribusi Jumlah Asupan Karbohidrat Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/U
Asupan Karbohidrat Status Gizi BB/U
Sangat Kurang
Kurang Normal Total
n % n % n % n %
Baik 0 0 1 16,7 5 83,3 6 100,0
Sedang 1 2,7 1 2,7 35 91,6 37 100,0
Kurang 1 5,0 7 35,0 12 60,0 20 100,0
Berdasarkan tabel 4.17. diatas dapat dilihat bahwa dari 6 balita yang
asupan karbohidratnya kategori baik ada 5 balita (83,3%) status gizi normal.
Kemudian sebanyak 37 orang asupan karbohidratnya kategori sedang ada 35
balita (91,6%) status gizi normal. Sedangkan dari 20 balita yang asupan
39
Tabel 4.18. Distribusi Jumlah Asupan Protein Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/U
Asupan Protein Status Gizi BB/U
Sangat
asupan proteinnya kategori defisit status gizi normal.
Tabel 4.19. Distribusi Jumlah Asupan Vitamin A Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/U
Asupan Vitamin A Status Gizi BB/U
Sangat
balita yang asupan vitamin A nya kurang ada 23 balita (82,1%) status gizi normal.
Sedangkan dari 31 balita yang asupan vitamin A nya defisit ada 25 balita (80,6%)
Tabel 4.20. Distribusi Jumlah Asupan Zink Balita Penderita ISPA berdasarkan Status Gizi BB/U
Asupan Zink Status Gizi BB/U
Sangat
Kemudian sebanyak 35 balita yang asupan zinknya kurang ada 28 balita (80,0%)
status gizi normal. Sedangkan dari 22 balita yang asupan zinknya kategori defisit
ada 19 balita (86,4%) status gizi normal.
Tabel 4.21. Distribusi Jumlah Asupan Zat Besi Balita Penderita ISPA berdasarkan Status Gizi BB/U
Asupan Zat Besi Status Gizi BB/U
Sangat
Berdasarkan tabel 4.21. diatas dapat dilihat bahwa yang asupan zat besinya
kategori sedang ada 8 balita (100%) status gizi normal. Kemudian sebanyak 23
balita yang asupan zat besinya kategori kurang ada 17 balita (73,9%) status gizi
normal. Sedangkan dari 32 balita yang asupan zat besinya kategori defisit ada 27
41
Tabel 4.22. Distribusi Jumlah Asupan Karbohidrat Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi TB/U
Asupan Karbohidrat Status Gizi TB/U
Sangat
karbohidratnya kategori kurang ada 10 balita (65,1%) status gizi normal.
Tabel 4.23. Distribusi Jumlah Asupan Protein Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi TB/U
Asupan Protein Status Gizi TB/U
Sangat
status gizi normal. Sedangkan dari 7 balita yang asupan proteinnya kurang ada 6
balita (85,7%) status gizi normal. Dan dari 4 balita yang asupan proteinnya defisit
Tabel 4.24. Distribusi Jumlah Asupan Vitamin A Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi TB/U
Asupan Vitamin A Status Gizi TB/U
Sangat
yang asupan vitamin A nya kategori sedang status gizi normal. Kemudian dari 28
balita yang asupan vitamin A nya kategori kurang ada 19 balita (67,9%) status
gizi normal. Sedangkan dari 21 balita yang asupan vitamin A nya kategori defisit
ada 18 balita (58,1%) status gizi normal.
Tabel 4.25. Distribusi Jumlah Asupan Zink Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi TB/U
Asupan Zink Status Gizi TB/U
Sangat
43
Tabel 4.26. Distribusi Jumlah Asupan Zat Besi Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi TB/U
Asupan Zat Besi Status Gizi TB/U
Sangat
asupan zat besi sedang dengan status gizi normal. Kemudian dari 23 balita yang
asupan zinknya kategori kurang ada 14 balita (60,9%) dengan status gizi normal.
Sedangkan dari 32 balita yang asupan zinknya kategori defisit ada 19 balita
(59,4%) dengan status gizi normal.
Tabel 4.27. Distribusi Jumlah Asupan Karbohidrat Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/TB
Asupan Karbohidrat Status Gizi BB/TB
Kurus Normal Total
Tabel 4.28. Distribusi Jumlah Asupan Protein Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/TB
Asupan Protein Status Gizi BB/TB
Kurus Normal Total
n % n % n %
Baik 4 20,0 16 80,0 20 100,0
Sedang 10 31,2 22 68,8 32 100,0
Kurang 0 0 7 100,0 7 100,0
Defisit 0 0 4 100,0 4 100,0
Berdasarkan tabel 4.28. diatas dapat dilihat bahwa dari 20 balita yang
asupan proteinnya kategori baik ada 16 balita (80,0%) status gizi normal.
Kemudian dari 32 balita yang asupan proteinnya kategori sedang ada 22 balita
(68,8%) status gizi normal. Sedangkan yang asupan proteinnya kategori kurang
ada 7 balita (100%) status gizi normal dan yang asupan proteinnya kategori defisit
ada 4 balita ( 100%) status gizi normal.
Tabel 4.29. Distribusi Jumlah Asupan Vitamin A Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/TB
Asupan Vitamin A Status Gizi BB/TB
Kurus Normal Total
n % n % n %
Sedang 0 0 4 100,0 4 100,0
Kurang 3 10,7 25 89,3 28 100,0
Defisit 11 35,5 20 64,5 31 100,0
Berdasarkan tabel 4.29. diatas dapat dilihat bahwa yang asupan vitamin A
nya kategori sedang ada 4 balita (100,0%) status gizi normal. Kemudian dari 28
balita yang asupan vitamin A nya kategori kurang ada 25 balita (89,3%) status
gizi normal. Sedangkan dari 31 balita yang asupan vitamin A nya kategori defisit
45
Tabel 4.30. Distribusi Jumlah Asupan Zink Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/TB
Asupan Zink Status Gizi BB/TB
Kurus Normal Total
n % n % n %
Sedang 1 16,7 5 83,3 6 100,0
Kurang 12 34,3 23 54,7 35 100,0
Defisit 1 4,5 21 95,5 22 100,0
Berdasarkan tabel 4.30. diatas dapat dilihat bahwa dari 6 balita yang
asupan zinknya kategori sedang ada 5 balita (83,3%) gizi normal. Kemudian dari
35 balita yang asupan zinknya kategori kurang ada 23 balita (54,7%) status gizi
normal. Sedangkan dari 22 balita yang asupan zinknya kategori defisit ada 21
balita (95,5%) status gizi normal.
Tabel 4.31.Distribusi Jumlah Asupan Zat Besi Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/TB
Asupan Zat Besi Status Gizi BB/TB
Kurus Normal Total
n % n % n %
Sedang 0 0 8 100,0 8 100,0
Kurang 5 21,7 18 78,3 23 100,0
Defisit 9 28,1 23 71,9 32 100,0
Berdasarkan tabel 4.31. diatas dapat dilihat bahwa yang asupan zat besinya
kategori sedang ada 8 balita (100,0%) status gizi normal. Kemudian dari 23 balita
yang asupan zat besinya kategori kurang ada 18 balita (78,3%) status gizi normal.
Sedangkan dari 32 balita yang asupan zat besinya kategori defisit ada 23 balita
4.8. Tabulasi Silang Status Gizi Balita Penderita ISPA dengan Frekuensi Kejadian ISPA.
Hasil tabulasi silang status gizi balita penderita ISPA dengan frekuensi
kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara
tahun 2015 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
4.32. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA Balita Berdasarkan Status Gizi BB/U
Status Gizi BB/U Frekuensi Kejadian ISPA
1 kali
Berdasarkan tabel 4.32. diatas dapat dilihat bahwa dari 2 balita yang status
gizinya sangat kurang ada 1 (50%) balita frekuensi kejadian ISPA 3 kali sebulan.
Kemudian dari 9 balita yang status gizinya kurang ada 6 balita (66,7%) frekuensi
kejadian ISPA 2 kali sebulan. Sedangkan dari 52 balita yang status gizi normal
ada 27 balita (51,9%) frekuensi kejadian ISPA 2 kali sebulan.
4.33. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA Balita Berdasarkan Status Gizi TB/U
Status Gizi TB/U Frekuensi Kejadian ISPA
1 kali
Berdasarkan tabel 4.33. diatas dapat dilihat bahwa dari 6 balita yang status
gizinya sangat pendek ada 4 balita (66,6%) frekuensi kejadian ISPA 2 kali
47
frekuensi kejadian ISPA 2 kali sebulan. Sedangkan dari 41 balita yang status gizi
normal ada 22 balita (53,7%) frekuensi kejadian ISPA 2 kali sebulan.
4.34. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA Balita Berdasarkan Status Gizi BB/TB Status Gizi
BB/TB
Frekuensi Kejadian ISPA 1 kali
Sebulan
2 kali Sebulan
3 kali Sebulan
Total
n % n % n % n %
Kurus 3 21,4 9 64,3 2 14,3 14 100,0
Normal 20 40,8 25 51,0 4 8,2 49 100,0
Berdasarkan Tabel 4.34 diatas dapat dilihat bahwa dari 14 balita yang
status gizinya kurus ada 9 balita (64,3%) frekuensi kejadian ISPA 2 kali sebulan,
sedangkan dari 49 balita yang status gizinya normal ada 25 balita (51,0%)
48
5.1 Pola Pemberian Makan Pada Anak Balita
5.1.1. Pola Pemberian Makan Berdasarkan Susunan Makanan dan Frekuensi Makanan pada Anak Balita Penderita ISPA
Pola pemberian makan pada balita penderita ISPA masih banyak yang
yang tidak tepat, dimana anak balita jarang mengkonsumsi sayur dan buah.
Tingkat pendapatan yang kurang mempengaruhi ketersediaan makanan dalam
keluarga. Hal inilah yang menyebabkan daya beli bahan makanan yang kurang
akan berpengaruh terhadap pola pemberian makan balita penderita ISPA.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa susunan makanan anak balita
penderita ISPA tidak lengkap yaitu nasi + lauk pauk (85,7%). Keadaan ini
dipengaruhi oleh persepsi ibu bahwa mengonsumsi makanan cukup dengan nasi
dan lauk pauk sudah memenuhi kebutuhan gizi, konsumsi buah tergantung
ketersediaan atau tidaknya sebab bagi ibu pendapatan mereka tidak dapat
mencukupi untuk membeli buah-buahan, sedangkan sayur sayuran ibu selalu
mengolah sesuai dengan selera keluarga, bukan selera anak balita tersebut. Oleh
karena itu mereka lebih cenderung mengonsumsi makanan pokok dan lauk pauk
saja. Ini dapat dilihat dari frekuensi mereka makan sayuran dan buah-buahan
sangat jarang yaitu hanya 1-3 kali/minggu.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa lauk pauk yang selalu
dikonsumsi balita penderita ISPA dengan frekuensi 1-3 kali/hari dengan jenis ikan
yaitu sebesar 100%. Hal ini dikarenakan ibu dengan sangat mudah mendapatkan
49
tahu (12,7%) sebagai pelengkap dalam menu makanan. Lauk pauk yang
dikonsumsi tidak bervariasi, terlihat dari jenis lauk pauk yang dikonsumsi tidak
beragam. Mereka jarang mengonsumsi lauk pauk lain seperti daging sapi maupun
ayam. Selain itu, ikan yang dikonsumsi biasanya diolah dengan digoreng dan
digulai. Begitu pula dengan tahu dan tempe yang biasa dikonsumsi diolah dengan
digoreng.
Rata-rata frekuensi konsumsi sayuran pada balita penderita ISPA
tergolong jarang. Jenis sayuran yang jarang dikonsumsi adalah sayuran brokoli
(68,3%), begitu pula dengan sayuran lain seperti sayuran daun ubi (60,3%)
dengan frekuensi tidak pernah dalam sebulan. Hal ini dikarenakan, sebagian ibu
balita menganggap sayuran bukan kebutuhan makanan yang wajib dipenuhi,
selain itu sebagian balita yang mengonsumsi sayuran, jika hanya tersedia saja.
Padahal seharusnya, mengonsumsi sayuran sangat dianjurkan dalam setiap kali
makan. Ini dikarenakan sayuran mengandung serat yang tinggi, sehingga sangat
baik untuk balita yang masih mengalami masa pertumbuhan.
Frekuensi konsumsi buah-buahan anak balita penderita ISPA tergolong
jarang. Jenis buah-buahan yang sangat jarang dikonsumsi adalah mangga dan
semangka dengan frekuensi 1x/bulan. Hal ini dikarenakan, sebagian ibu balita
menganggap buah-buahan tidak harus dikonsumsi setiap kali makan dan
kurangnya daya beli keluarga. Selain itu mereka hanya mengonsumsi buah jika
tersedia saja. Kebiasaan mengonsumsi buah-buahan dianjurkan bagi anak balita
penderita ISPA agar lebih sering mengonsumsinya. Ini dikarenakan buah-buahan
sehingga frekuensi ISPA tidak akan lama. Selain mengonsumsi makanan pokok
balita juga mengkonsumsi jajanan yang sering dikonsumsi sehari-hari diluar
makanan pokok tersebut seperti jajanan seperti permen dan bikuit serta snack
berbagai merek dan menggunakan penyedap rasa.
5.1.2 Pola Pemberian Makanan Berdasarkan Jumlah Asupan Karbohidrat, Protein, Vitamin A, Zink dan Zat Besi pada Anak Balita Penderita ISPA
Asupan zat gizi karbohidrat, protein, vitamin A, Zink dan zat besi sangat
penting bagi anak balita, dimana masa balita merupakan periode penting dalam
proses tumbuh kembang. Kurangnya asupan zat gizi pada balita akan
menyebabkan kurangnya daya tahan tubuh balita, yang menyebabkan balita
sangat mudah terserang penyakit ISPA. Berdasarkan hasil penelitian yang
dilakukan dengan menggunakan formulir food recall 24 jam, dapat diketahui
bahwa jumlah asupan karbohidrat pada anak balita penderita ISPA dengan
kategori kurang berada pada kelompok umur 12-36 bulan (30,4%%). Ini
dikarenakan anak balita dengan kelompok umur 12-36 bulan mengalami masa
pergantian makanan, dimana balita mulai mengikuti makanan sesuai dengan
selera keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa jumlah asupan protein
pada anak balita penderita ISPA dengan kelompok umur 12-36 bulan dan 37-59
bulan berada pada kategori sedang. Ini dikarenakan anak sering mengonsumsi
lauk pauk berjenis ikan dengan 1-3x/hari, selain itu mereka juga sering
51
pelengkap makanan utama. Protein yang cukup akan menguntungkan bagi tubuh
balita.
Vitamin A merupakan salah satu zat gizi yang berfungsi sebagai sistem
imun. Kekurangan konsumsi vitamin A akan mempengaruhi kekebalan tubuh
pada anak balita. Berdasarkan Hasil Penelitian menunjukkan bahwa jumlah
asupan Vitamin A pada anak balita penderita ISPA dengan kelompok umur 12-36
bulan dalam kategori defisit (52,2%) dan kelompok umur 37-59 bulan dengan
kategori kurang ( 47,1%). Ini dikarekan pengolahan sayur-sayuran tidak sesuai
dengan selera anak balita melainkan dengan selera ibu balita dan kurangnya anak
balita buah-buahan.
Zink merupakan zat gizi berfungsi sebagai penambah nafsu makan anak
balita, maka dari itu kurangnya konsumsi zink pada anak balita akan
menyebabkan menurunnya fungsi imunitas tubuh yang menyebabkan anak balita
mudah terserang penyakit ISPA. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa
jumlah asupan zink pada anak balita penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut
(ISPA) dengan kelompok umur 12-36 bulan dan kelompok umur 37-59 bulan
dengan kategori kurang. Kurangnya konsumsi Vitamin A disebabkan kurangnya
anak balita mengonsumsi buah-buahan dikarenakan harga buah-buahan yang
mahal. Dengan pendapatan keluarga yang kurang, maka ibu tidak mampu untuk
membeli buah-buahan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa jumlah asupan zat besi
pada anak balita penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan
dikarenakan anak balita penderita ISPA kurangnya mengkonsumsi makanan yang
mengandung zat besi seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
5.2. Status Gizi pada Anak Balita Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Masalah kekurangan maupun kelebihan gizi pada anak balita perlu
diperhatikan, karena selain mempunyai resiko kurang gizi juga dapat mengganggu
aktifitas anak balita. Oleh karena itu dibutuhkan pemantauan status gizi
sekurang-kurangnya sebulan sekali. Berdasarkan Hasil penelitian mengenai gambaran berat
badan balita berdasarkan umur (BB/U) dengan kelompok umur 12-36 bulan
dengan kategori sangat kurang (4,3%), dengan kategori kurang (17,4%) dan
kategori normal (78,3%), hal ini karena kebanyakan balita tidak selera makan, di
samping itu diasumsikan ibu belum memperhatikan makanan yang seharusnya
diberikan untuk balita.
Berdasarkan hasil penelitian mengenai gambaran tinggi badan balita
berdasarkan umur (TB/U), dapat dilihat tinggi badan balita berdasarkan umur
dengan kategori pendek (25,4%), hal ini dikarenakan bahwa ibu kurang
memperhatikan dalam hal pemberian makanan yang bergizi pada balita
sehingga balita mengalami masalah gizi pada awal pertumbuhannya. Tinggi
badan balita berdasarkan umur dengan kategori normal (65,1%),
Berdasarkan hasil penelitian mengenai gambaran berat badan balita
berdasarkan tinggi badan (BB/TB), dapat dilihat berat badan balita berdasarkan
tinggi badan dengan kategori kurus (22,3%), dengan kategori normal (77,7%).
Status gizi balita menurut BB/U, TB/U dan BB/TB dalam penelitian ini secara
53
pemberian makanan yang tergolong masih buruk. Pada balita penderita ISPA
dengan pola pemberian makanan yang masih buruk namun memiliki status gizi
yang sebagian besar baik menunjukkan bahwa ISPA yang dialami oleh balita
tidak sepenuhnya dipicu karena masalah gizi pada balita tersebut. Ini dapat
disebabkan oleh faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti dalam penelitian ini
seperti faktor lingkungan tempat tinggal balita yang memungkinkan kejadian
ISPA terjadi.
Hal ini juga disebabkan karena ibu-ibu di Wilayah Kerja Puskesmas
Tanjung Tiram mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan pendidikan ibu yang
rendah tentang gizi khususnya dalam pola pemberian makan pada anak balita,
Keadaan gizi balita yang bertolak belakang dengan pola konsumsi yang diberikan
oleh ibu balita itu sendiri dapat terjadi tidak terlepas dari peran serta petugas
kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tiram yang selama ini aktif
dalam kegiatan Imunisasi dan pemberian vitamin gratis untuk menunjang
kebutuhan gizi balita di daerah tersebut. Sebagian besar ibu dalam penelitian ini
memiliki pendidikan hanya tamatan SD dan ada yang tidak sekolah sangat
terbukti menyebabkan rendahnya pengetahuan dan praktik ibu dalam pola
pemberian makan yang baik dalam menunjang pertumbuhan balita agar terhindar
dari kerentanan penularan penyakit infeksi khususnya ISPA. Perilaku orang tua
juga merupakan cermin bagi anak untuk diikuti, karena itu sebagai orang tua
haruslah menyadari apa yang dilakukannya tentu akan diikuti oleh anaknya.
makan sayuran. Jadi mengajarkan sesuatu yang mana orang tuanya juga
melakukan hal tersebut, akan mudah untuk diikuti anak.
5.3. Frekuensi Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Anak Balita
Kejadian ISPA pada anak balita berdasarkan hasil pernyataan ibu balita
diketahui lama balita mengalami ISPA dengan gejala yang bisa diamati ibu salam
satu bulan terakhir yaitu batuk, pilek dan disertai demam yang menunjukkan
bahwa anak balita yang menderita ISPA dalam satu bulan terakhir sebagian besar
frekuensi jumlah kejadian dengan kelompok umur 12-36 bulan sebanyak 2 kali
dalam sebulan 50.0%) dengan lama kejadian paling banyak 3-5 hari.
Kejadian ISPA pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Tanjung
Tiram disebabkan karena kondisi keadaan rumah dengan tidak adanya pentilasi
udara dan kepadatan anggota dalam keluarga merupakan faktor risiko terjadinya
ISPA. Menurut Edza (2009, faktor risiko terjadinya ISPA diantaranya adalah
faktor lingkungan yaitu pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap
hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi) dapat
merusak paru sehingga memudahkan ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang
55
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, dan uraian pembahasan maka dapat
diperoleh kesimpulan:
1. Anak balita penderita ISPA lebih banyak pada kelompok umur 12-36
bulan, dan jenis kelamin mayoritas perempuan.
2. Susunan makanan balita penderita ISPA sebagian besar tergolong tidak
lengkap. Makanan pokok jenis nasi dan lauk pauk jenis ikan
masing-masing frekuensi makan 1-3x/hari.
3. Asupan karbohidrat dan protein pada anak balita penderita ISPA lebih
banyak pada kategori sedang, dan asupan vitamin A, zink dan zat besi
dalam kategori defisit.
4. Frekuensi kejadian ISPA pada anak balita lebih banyak terjadi 2 kali
dalam sebulan.
5. Status gizi anak balita penderita ISPA menurut indeks BB/U terdapat
kategori sangat kurang 3,2%, dan kategori kurang 14,3%. Menurut indeks
TB/U terdapat kategori sangat pendek 9,5%, dan pendek 25,4%. Menurut
6.2. Saran
1. Diharapkan Puskesmas memberikan penyuluhuan kepada ibu balita
penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) agar memperhatikan pola
makan anak balita, baik jenis, jumlah, kandungan gizi serta frekuensi makan
anak balita.
2. Kepada keluarga balita penderita ISPA sebaiknya memperhatikan kondisi
kebersihan rumah agar tidak menimbulkan penyakit Infeksi Saluran
Pernapasan Atas (ISPA) untuk menciptakan derajat kesehatan lingkungan,
karena ISPA yang dialami oleh balita di Wilayah Kerja Puskesmas
Tanjung Tiram disebabkan oleh faktor lingkungan Tanjung Tiram yang
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA ) Pada Balita
Infeksi Saluran Pernapasan akut (ISPA) adalah proses inflamasi yang
disebabkan oleh virus, bakteri, atipikal (mikroplasma), atau aspirasi substansi
asing yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran pernapasan. Infeksi
Saluran Pernapasan akut (ISPA) biasanya menyerang struktur saluran pernapasan
diatas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini menyerang bagian saluran atas dan
bawah secara simultan atau berurutan. Gambaran patofisioliginya meliputi
infiltrat peradangan dan edema mukosa, kongesti vaskuler, bertambahnya sekresi
mukus, perubahan dan struktur fungsi (Behrman, 1999).
Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi yang
banyak menyerang saluran pernafasan atas maupun bawah disebabkan oleh virus,
bakteri, atipikal (mikroplasma) yang tanda dan gejalanya sangat bervariasi antara
lain demam, pusing, lemas, tidak nafsu makan, muntah, batuk, keluar sekret,
stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan bernapas), retraksi suprasternal (adanya
tarikan dada) dan hipoksia (kurang oksigen) (Behrman, 1999).
Penyebab Infeksi Saluran Pernafasn Akut (ISPA) terdiri dari lebih dari 300
jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab Infeksi Saluran Pernafasn Akut
(ISPA) antara lain adalah dari genus Streptococcus, Stafilokokus, Pneumokokus,
Hemofilus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab Infeksi Saluran
Pernafasn Akut (ISPA) antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus,
Etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak
biasanya sukar untuk diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan immunologi
belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri
sebagai penyebab pneumonia. Penetapan etiologi pneumonia yang dapat
diandalkan adalah biakan dari aspirat paru dan darah. Tetapi, fungsi paru
merupakan prosedur yang berisiko dan bertentangan dengan etika jika hanya
dimaksudkan untuk penelitian. Oleh karena itu diIndonesia masih menggunakan
hasil penelitian dari luar negeri (Behrman, 1999).
Faktor umur dapat mengarahkan kemungkinan penyebab Infeksi Saluran
Pernafasn Akut (ISPA) atau etiologinya:
a.Grup B Streptococcus dan gram negatif bakteri enterik merupakan penyebab
yang paling umum pada neonatal (bayi berumur 1-28 hari) dan merupakan
transmisi vertikal dari ibu sewaktu persalinan.
b. Pneumonia pada bayi berumur 3 minggu sampai 3 bulan yang paling sering
adalah bakteri, biasanya bakteri Streptococcus Pneumoniae.
c. Balita usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus merupakan penyebab tersering dari
pneumonia, yaitu respiratory syncytial virus.
d. Pada usia 5 tahun sampai dewasa pada umumnya penyebab dari pneumonia
adalah bakteri.
Pada penelitian lain Streptococcus pneumoniae merupakan patogen paling
banyak sebagai penyebab pneumonia pada semua pihak kelompok umur. Menurut
WHO, penelitian di berbagai negara juga menunjukkan bahwa di negara
9
bakteri yang selalu ditemukan pada 2/3 (dua pertiga) dari hasil isolasi yaitu 73,9%
aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Bakteri merupakan
penyebab utama dari pneumonia pada balita. Diperkirakan besarnya persentase
bakteri sebagai penyebabnya adalah sebesar 50%. Sedangkan di negara maju, saat
ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus (WHO, 2012).
Tanda dan gejala Infeksi Saluran Pernafasn Akut (ISPA) sangat bervariasi
antara lain demam, pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan),
vomitus (muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret,
stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan bernapas), retraksi suprasternal (adanya
tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal napas
apabila tidak mendapat pertolongan dan dapat mengakibatkan kematian
(Behrman, 1999).
Pengklasifikasian Infeksi Saluran Pernafasn Akut (ISPA), WHO (2012)
mengklasifikasikannya menjadi dua bagian berdasarkan lokasi anatomi, yaitu:
1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Atas (ISPAa), yaitu infeksi yang
menyerang hidung sampai epiglotis, misalnya rhinitis akut, faringitis akut,
sinusitis akut dan sebagainya.
2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Bawah (ISPAb), dinamakan
sesuaidengan organ saluran pernafasan mulai dari bagian epiglotis
sampaialveoli paru misalnya laringitis, trakhetis, bronkhitis akut, pneumonia
dan sebagainya.
Depkes (2012) melalui program pemberantasan ISPA (P2-ISPA),
1. Kelompok umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan atas :
a. Pneumonia berat : Bila dalam pemeriksaan ditemukan adanya penarikan yang
kuat padadinding dada bagian bawah ke dalam dan adanya nafas cepat,
frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih.
b. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) : Bila tidak ditemukan tanda tarikan
kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat.
2. Kelompok umur 2 bulan sampai dengan 5 tahun diklasifikasikan atas :
a. Pneumonia berat : Bila dalam pemeriksaan ditemukan adanya tarikan dinding
dada bagian bawah kedalam.
b. Pneumonia : Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah ke
dalam, adanya nafas cepat, frekuensi nafas 50 kali atau lebih pada umur 2–12
bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan–5 tahun.
c. Bukan pneumonia : Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah
ke dalam, tidak ada nafas cepat, frekuensi nafas kurang dari 50 kali per menit
padaanak umur 2–12 bulan dan kurang dari 40 kali permenit 12 bulan–5
tahun.
2.2. Pola Pemberian Makan
Pola pemberian makan adalah gambaran mengenai jumlah, jenis, dan
frekuensi bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan
merupakan ciri khas dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola pemberian
makan yang baik mengandung makanan yang merupakan energi, zat pembangun,
dan zat pengatur, karena semua zat gizi diperlukan untuk pertumbuhan dan
11
dimakan dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan. Dengan pola makan
sehari-hari yang seimbang, berguna untuk mencapai dan mempertahankan status
gizi dan kesehatan yang optimal (Almatsier, 2001)
Pola hidangan sehari yang dianjurkan adalah makanan yang seimbang
yang terdiri dari :
1. Sumber zat tenaga (nasi, roti, mie, jagung, tepung-tepungan, gula, minyak)
2. Sumber zat pembangun (ikan, telur, ayam, daging, susu, kacang dan lainnya )
3. Sumber zat pengatur (sayuran dan buah-buahan berwarna hijau dan kuning)
Konsumsi pangan dipengaruhi oleh kebiasaan makannya, selain itu juga
akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan sehingga
kecukupan konsumsi pangan perlu mendapat perhatian Anak-anak yang berasa
dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi
kurang. Mereka mengkonsumsi pangan (energy dan protein) lebih rendah
dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berada (Khomsan, 2003)
2.3. Tingkat Asupan Makanan Anak Balita
Zat gizi adalah zat atau unsur-unsur kimia yang terkandung dalam pangan
yang diperlukan untuk metabolism dalam .Manusia memerlukan zat gizi agar
dapat hidup dengan sehat dan mempertahankan kesehatannya. Oleh Karena itu,
jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi
kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan internal dan eksternal, pemeliharaan
tubuh dan pertumbuhan, serta untuk aktivitas (Supariasa dkk, 2001).
Tahap awal dari kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan penilaian
kurangnya zat gizi dalam tubuh. Secara umum terdapat dua criteria untuk
menentukan kecukupan konsumsi pangan, yaitu konsumsi energi dan protein
(Beck, 2011).
Kebutuhan energi biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok,
sedangkan kebutuhan protein dipenuhi dari sejumlah substansi hewan, seperti
ikan, daging, telur dan susu (Supariasa dkk, 2001). Angka Kecukupan Gizi
(AKG) dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan zat gizi individu. Basis
dari AKG adalah kebutuhan (Estimated Average Requirement).
2.4. Zat Gizi Makro
Asupan zat gizi makro sangat penting bagi tubuh balita dan dibutuhkan
dalam jumlah besar, karena zat gizi makro berperan penting untuk membentuk,
memelihara jaringan tubuh, sebagai sumber tenaga dan sebagai zat pengatur
sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh anak yang berkurang maka akan
lebih mudah terserang penyakit infeksi seperti ISPa. Zat gizi makro yang berperan
sebagai kekebalan tubuh pada balita seperti karbohidrat dan protein.
2.4.1. Karbohidrat
Fungsi dari karbohidrat adalah sebagai sumber energi bagi tubuh. Satu
gram karbohidrat menghasilkan 4 kalori. Kekurangan karbohidrat akan
menyebabkan akan menyebabkan badan lemah, kurus, dan daya tahan tubuh akan
menurun sehingga lebih mudah terserang penyakit infeksi (Beck,2011).
Sumber karbohidrat adalah padi-padian atau serelia, umbi-umbian,
kacang-kacangan dan gula. Sebagian besar sayur dan buah tidak mengadung
kacang-13
kacangan relatif lebih banyak mengandung karbohidrat dari pada sayur
daun-daunan (Almatsier, 2001).
2.4.2. Protein
Protein berfungsi sebagai pemeliharaan sel dalam tubuh,dan menyediakan
asam amino yang diperlukan untuk membentuk enzim pencernaan dan
metabolisme serta antibodi yang diperlukan. Kekurangan protein banyak terdapat
pada masyarakat sosial ekonomi rendah. Pada anak-anak dibawah 5 tahun
kekurangan protein dapat menyebabkan kwashiorkordan marasmus. Hal ini
terjadi karena terlambat menyapih, sehingga komposisi gizi makanan tidak
seimbang terutama dalam hal protein (Yuniastuti,2008)
Sumber utama protein adalah protein nabati yang berasal dari
tumbuh-tumbuhan seperti kacang-kacangan, sedangkan protein hewani yang berasal dari
hewan seperti daging, ikan, telur, dll.
2.5. Zat Gizi Mikro
Zat gizi mikro berperan untuk membantu mengatur berbagai fungsi tubuh
dan pembentukan antibodi. Balita yang terserang penyakit infeksi akan
menyebabkan antibodi dalam tubuh mengalami kerusakan, oleh sebab itu untuk
pembetukan antibodi kembali balita harus mengkonsumsi zat gizi mikro seperti
2.5.1. Vitamin A
Fungsi dari vitamin A adalah untuk penglihatan normal pada cahaya
remang, deferensiasi sel, kekebalan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan serta
reproduksi. Menurut Almatsier (2001), angka kecukupan gizi yang di anjurkan
untuk vitamin A umur 1 – 3 tahun adalah 400 mg, umur 4 – 6 tahun 450 mg.
Sumber vitamin A hewani adalah hewani adalah hati, kuning telur, susu,
mentega sedangkan sumber vitamin A nabati adalah sayuran berwarna hijau tua,
sayuran dan buah berwarna kuning-jingga, daun singkong, kangkung, bayam,
kacang panjang, wortel, pepaya, tomat, jagung kuning dan mangga (Cakrawati
dan Mustika,2012).
2.5.2. Zinc (Seng)
Zinc berfungsi untuk mendukung sistem pertahanan tubuh yang baik,
untuk penyambuhan luka. Zinc terdapat pada berbagai bahan makanan, seperti biji
– bijian, sayuran hijau, jamur, tepung, dan makanan yang diragikan. Kebutuhan
zink 10 mg perhari (Sitorus, 2009). Sumber zinc yang tinggi dapat ditemukan
pada kemiri, seledri, biji buah semangka, jahe, lombok, buncis, sawi hijau, lobak
dan merica hitam (Irianto, 2013)
2.5.3. Zat Besi
Zat besi dibutuhkan tubuh manusia dalam pembentukan hemoglobin dan
dalam enzim oksidasi pada sel. Tiap sel darah merah mengandung 250.000.000
molekul hemoglobin dan 1.000.000.000 atom zat besi (Sitorus, 2009).
Zat besi berfungsi sebagai cadangan untuk memproduksi hemoglobin.
15
serta sistem kekebalan tubuh. Angka kecukupan besi terdapat pada hati, daging,
telur, kacang-kacangan, keju, ikan, sayuran hijau, sereal, dan buah-buahan(Irianto
dan Waluyo,2007)
2.6. Pola Pemberian Makanan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)
Pola pemberian makan dapat di jadikan media untuk mendidik anak
supaya dapat menerima, menyukai, memilih makanan yang baik, juga untuk
menentukan jumlah makanan yang cukup dan bermutu (Santoso,2011). Pola
pemberian makanan dapat mempengaruhi status gizi balita, karena pola
pemberian makanan yang seimbang sesuai dengan kebutuhan dan disertai dengan
pemilihan makanan yang tepat akan menjadikan status gizi yang baik.Asupan
makanan yang kurang memenuhi yang di butuhkan akan menyebabkan anak
megalami gizi kurang(Sulistyoningsih, 2011).
Hasil penelitian yang dilakukan Purwani (2013), bahwa ada hubungan
yang signifikan antara pola pemberian makan dengan status gizi pada anak usia 1–
5 tahun. Maka dari itu disarankan agar ibu-ibu selalu menerapkan pola pemberian
makan yang baik dalam pemilihan makanan dan gizi makanannya.
Akibat gizi kurang pada tubuh anak bergantung pada zat-zat gizi apa yang
kurang. Kekurangan gizi secara umum menyebabkan gangguan pada proses daya
tahan tubuh. Jika sistem dan antibodi berkurang akan mudah terserang penyakit
infeksi seperti batuk dan pilek dan hal ini bisa membawa kematian(Almatsier,
2.7. Penilaian Status Gizi pada Balita
Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan
penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan
lebih (Almatsier, 2001). Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan
dalam bentuk variable tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk
variable tertentu (Supariasa dkk, 2001).
Standar acuan status gizi balita adalah berat badan menurut umur (BB/U),
berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan tinggi badan menurut umur
(TB/U). Sementara klasifikasinya adalah normal, underweight (kurus), dan
gemuk. Untuk acuan yang menggunakan tinggi badan, jika kondisinya kurang
baik disebut stunted (pendek). Pedoman yang digunakan adalah standart
berdasarkan tabel WHO-NCHS, bila berat badannya kurang, maka status gizinya
kurang (Marimbi,2010).
Terdapat beberapa cara untuk mengukur status gizi pada balita,yaitu dengan
pengukuran antropometri, klinik dan laboratorik. Pengukuran antropometri adalah
pengukuran yang relatif sederhana dan banyak dilakukan (Soekirman, 2000).
Penilaian status gizi secara tidak langsung dilakukan dengan cara antropometri.
Antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Apabila ditinjau dari sudut pandang
gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran
dimensi tubuh dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi
(Supariasa dkk, 2001).
Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi antropometri adalah faktor
17
makanan dan kesehatan berupa penyakit infeksi. Pengukuran antropometri dapat
dilakukan dengan berbagai macam pengukuran, yaitu pengukuran berat badan,
tinggi badan, lingkarlengan atas dan sebagainya. Dari beberapa pengukuran
tersebut, pengukuan berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan atas sesuai umur
adalah pengukuran yang sering dilakukan dalam survey gizi (Soekirman, 2000).
a. Indikator BB/U
Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa
tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang
mendadak, misalnya karena terserang infeksi, penurunan nafsu makan, atau
menurunkan jumlah makanan yang dikonsumsi (Supariasa dkk, 2001). Kelebihan
indikator ini adalah sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka
waktu pendek, juga dapat digunakan untuk mendeteksi kegemukan (Soekirman,
2000).
b. Indikator TB/U
Indikator TB/U merupakan indikator pengukuran antropometri yang
menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi
badan tumbuh seiring dengan pertumbuhan umur. Pertumbuhan tinggi badan
relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek.
Pengaruh devisiensi zat gizi terhadap tinggi badan anak nampak dalam waktu
yang relatif lama (Supariasa dkk, 2001). Indikator TB/U menggambarkan status
gizi masa lalu dan dapat menggambarkan keadaan sosial ekonomi penduduk
c. Indikator BB/TB
Berat badan memiliki hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam kondisi
normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan
dengan kecepatan tertentu (Supariasa dkk, 2001). Indikator BB/TB ini dapat
menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik, terutama
apabila data umur yang akurat sulit diperoleh (Soekirman, 2000).
Metode dalam Penilaian Status Gizi dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:
1. Penilaian secara langsung yang terdiri dari pemeriksaan tanda-tanda klinis,
tes laboratorium, metode biofisik, dan antropometri.
2. Penilaian dengan melihat statistik kesehatan yang biasa disebut dengan
penilaian status gizi tidak langsung.
Pengukuran antropometri adalah yang relatif paling sederhana dan banyak
dilakukan dengan beberapa macam pengukuran, yaitu pengukuran terhadap berat
badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, tebal lemak, dan
sebagainya. Dari beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan dan
lingkar lengan sesuai dengan usia adalah yang paling sering dilakukan dalam
survei gizi. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan suatu standar internasional
yang ditetapkan oleh WHO.
Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah
berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat
badan menurut tinggi badan (BB/TB).
Dari berbagai indeks tersebut, untuk menginterpretasikan dibutuhkan
19
Tabel 2.1 Kategori Status Gizi Berdasarkan Indikator Yang Digunakan
Indikator Status Gizi Keterangan
BB/U BB Sangat Kurang
Berbagai jenis indeks di atas, untuk menginterpretasikanya dibutuhkan
ambang batas. Penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para ahli gizi.
Ambang batas tersebut dapat disajikan dalam standar deviasi unit. Standar Deviasi
disebut juga dengan Z-score. WHO menyarankan untuk mengunakan cara ini
untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan. Pertumbuhan nasional untuk
suatu populasi dinyatakan dalam positif dan negatif 2 SD unit (Z-score) dari
median. Dibawah nilai median -2 SD unit dinyatakan gizi kurang (Supariasa dkk,
2001).
Rumus perhitungan Z-score adalah :
Z – score = Nilai Individu Subyek – Nilai Median Baku Rujukan