• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pola Pemberian Makan dan Statud Gizi Anak Balita Penderia ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara Tahun 2015

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pola Pemberian Makan dan Statud Gizi Anak Balita Penderia ISPA di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara Tahun 2015"

Copied!
99
0
0

Teks penuh

(1)

59

FORMULIR METODE RECALL 24 JAM

No. Responden :

Waktu Makanan

Nama Masakan

Bahan Makanan

Jenis

Banyaknya

URT g

Pagi / Jam

Snack

Siang / Jam

Snack

(2)
(3)

61

POLA PEMBERIAN MAKAN DAN STATUS GIZI ANAK BALITA PENDERITAINFEKSI SALURAN PERNAPASAN AKUT (ISPA) DI PUSKESMAS TANJUNG TIRAMKABUPATEN BATUBARA

TAHUN 2015

Nomor Sampel

a. IdentitasResponden (IbuBalita):

- Nama : ………

- Umur : ………

- Pendidikan : ………

- Pekerjaan : ………

- Penghasilan : ………/bln

b. IdentitasBalita:

- Nama : ………..

- JenisKelamin : ………..

- Umur : ……….. Bulan/ Tahun

c. Status Gizi :

- BeratBadan : ……….. Kg

- TinggiBadan : ………Cm

d. Kejadian ISPA padabalita:

- Apakah dalam satu bulan terakhir ini balita mengalami tanda- tanda seperti:

Batuk : Ya/ Tidak (….kali)

Pilek : Ya/ Tidak ( ….kali)

(4)
(5)
(6)

UMUR IBU

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid < 20 tahun 8 12.7 12.7 12.7

20-35 tahun 40 63.5 63.5 76.2

> 35 tahun 15 23.8 23.8 100.0

Total 63 100.0 100.0

PEKERJAAN IBU

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Ibu Rumah Tangga 55 87.3 87.3 87.3

Wiraswasta 8 12.7 12.7 100.0

Total 63 100.0 100.0

PENDIDIKAN IBU

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid tdk sklh 9 14.3 14.3 14.3

SD 34 54.0 54.0 68.3

SMP 13 20.6 20.6 88.9

SMA 7 11.1 11.1 100.0

Total 63 100.0 100.0

PENGHASILAN IBU

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid <2.075.000 63 100.0 100.0 100.0

>2.075.000 0 0 0 0

(7)

65

JENIS KELAMIN

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid L 23 36.5 36.5 36.5

P 40 63.5 63.5 100.0

Total 63 100.0 100.0

USIA BALITA

Frequency Percent Valid Percent Cumulative Percent

Valid 12-36 bulan 46 73.0 73.0 73.0

37-59 bulan 17 27.0 27.0 100.0

(8)

umurbalitaK * Karbohidrat Crosstabulation

Sedang Kurang Defisit Sedang

(9)

67

umurbalitaK * Zink Crosstabulation

Zink Total

sedang kurang defisit sedang

umurbalitaK 1 Count 3 25 18 46

sedang kurang defisit sedang

(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)

ZatBesi * BB/TB Crosstabulation

1 kali sebulan 2 kali sebulan 3 kali sebulan 1 kali sebulan

(21)

79

TB/U * KEJADIANISPA Crosstabulation

KEJADIANISPA Total

1 kali sebulan 2 kali sebulan 3 kali sebulan 1 kali sebulan

(22)

MASTER TABEL

SM Jumlah Asupan Zat Gizi Frekuensi

(23)

81

Penghasilan 1. >UMK Rp.2.075.000 Frekuensi Kejadian ISPA : 1. 1 kali dalam sebulan

2. <UMK Rp.2.075.000 2. 2 kali dalam sebulan

3. 3 kali dalam sebulan Jenis Kelamin ( JK) 1. Laki-laki

2.Perempuan Susunan Makanan (SM) : 1. Lengkap

2. Tidak Lengkap

Jumlah Asupan Zat Gizi 1. Baik : >100%

2. Sedang : > 80-99%

3. Kurang : 70-80%

(24)
(25)

57

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S, 2001., Prinsip Dasar Ilmu Gizi, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama.

Beck M.E., 2011. Ilmu Gizi dan Diet. Yogyakarta : Yayasan Essensia Medica (YEM)

Behrman R.E., 1999. Nelson Ilmu Kesehatan Anak,Jakarta: EGC.

Cakrawati, Mustika N.H., 2012. Bahan Pangan Gizi dan Kesehatan, Bandung : Alfabeta.

Depkes RI., 2006. Perkembangan Penanggulangan Gizi Buruk di Indonesia

Tahun 2005. Jakarta. Ditjen Binkesmas Direktorat Bina Gizi

Masyarakat.

Depkes RI., 2012. Direktorat Jenderal PPM & PLP.Pedoman Pemberantasan

Penyakit Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA), Jakarta.

Dinkes Provinsi Sumatera Utara., 2013. Profil Kesehatan Sumatera Utara, Medan

Dinkes Kab.Batubara., Laporan Tahunan 2011 - 2013, Batubara.

Fredrisyansyah., 2010. Hubungan Kadar Seng Dan Vitamin A Dengan

Kejadian ISPA dan Diare Pada Anak. Jurnal Departemen Kesehatan

Anak. Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya. Palembang

Hadiana S.Y.M., 2013. Hubungan Status Gizi Terhadap Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Puskesmas Pajang Sukarta.

Fakultas Kedokteran Universitas Muhamadiyah Surakarta.

Irianto K., 2013. Solusi Sehat Peranan Vitamin dan Mineral Bagi Kesehatan, Bandung : Yrama Widya.

Irianto K, Waluyo K., 2007. Pangan dan Pola Hidup Sehat, Bandung : Yrama Widya.

Khomsan A., 2003. Pangan dan Gizi Untuk Kesehatan, Jakara : Raja Grafindo Persada.

Marimbi H, 2010. Tumbuh Kembang, Status Gizi, dan Imunisasi Dasar Pada

Balita, Yogyakarta : Nuha Medika

Nuryanto., 2012. ,Hubungan Status Gizi terhadap Penyakit Infeksi Saluran

Pernafasan Akut (ISPA) pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Sosial Palembang. (Jurnal Pembangunan Manusia) diakses 15 Maret

(26)

Probowo S., 2012 Penyakit Yang Paling Umum Pada Anak. Majalah Kesehatan. (Online)http://majalahkesehatan.com/penyakit-yang-paling-umum-pada-anak-bag-1/Diakses 11 Februari 2015

Pudjiadi S., 2011. Ilmu Gizi Klinis Pada Anak. Edisi keempat, Jakarta : Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Puskesmas Tanjung Tiram., 2014.Laporan Bulanan Penderita ISPA, Batubara

Purwani E., Maryam., 2013. Pola Pemberian Makan dengan Status Gizi Anak

Usia 1-5 Tahun di Kabunan Taman Pematang Tahun 2013. (Jurnal

Keperawatn Anak) Fakultas Ilmu Keperawatan dan Kesehatan UNIMUS.

Rahajoe N, Suproyanto B, Setyanto DB., 2008. Buku Ajar Respirologi Anak, Edisi Pertama, Jakarta : Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Riskesdas., 2007. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan, Republik Indonesia Desember 2008.

Riskesdas., 2013. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Departemen Kesehatan, Republik Indonesia Desember 2013.

Santoso S., Ranti AL., 2009. Kesehatan dn Gizi. Edisi Kedua, Jakarta : PT Renika Cipta, PT Bina Adi Aksara.

Sitorus R., 2009. Makanan Sehat dan Bergizi, Bandung : Yrama Widya.

Soekirman., 2000. Ilmu Gizi dan Aplikasinya, Jakarta: Direktoral Jendral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Suhardjo., 1989. Sosio Budaya Gizi, Bogor : IPB.

., 2003. Berbagai Cara Pendidikan Gizi. PT Bumi Aksara, Jakarta.

Sulistyoningsih H., 2011. Gizi Untuk Kesehatan Ibu dan Anak, Yogyakarta : Graha Ilmu.

Supariasa I, Bakri B, Fajar I., 2008, Penilaian Status Gizi, Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

WHO., 2012.Penanggulangan ISPA pada Anak di Rumah Sakit Kecil Negara

Berkembang, Pedoman untuk Dokter dan Petugas Kesehatan Senior.

Jakarta: Buku Kedokteran EGC..

(27)

23

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif dengan rancangan cross sectional,

yaitu suatu penelitan untuk melihat pola pemberian makanan dan status gizi anak

balita penderita ISPA di wilayah kerja Puskesman Tanjung Tiram Kabupaten

Barubara.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara.

Hal ini didasarkan pada tingginya kasus Infeksi Saluran Pernafasn Akut (ISPA)

pada balita yang merupakan urutan pertama 10 penyakit terbesar. Pada daerah ini

paling banyak didapati keluarga miskin dan pola pemberian makan yang tidak

tepat.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian yang dilakukan untuk menyelesaikan penelitian ini dari

bulan Agustus 2014 – Desember 2015.

3.3. Populasi dan Sampel 1. Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh anak usia 12-59 bulan yang

menderita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara

(28)

2. Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah seluruh populasi balita yang menderita

ISPA pada saat penelitian dilakukan sebanyak 63 balita.

3.4. Metode Pengumpulan Data 1. Data Primer

Data primer diperoleh dengan cara wawancara langsung kepada responden

(ibu balita) dengan lembar observasi. Data yang dikumpulkan meliputi:

karakteristik ibu balita (umur, pekerjaan, pendidikan, penghasilan), karakteristik

balita (umur, jenis kelamin) status gizi (BB/U, TB/U, BB/TB) dan frekuensi

kejadian Infeksi Saluran Pernafasn Akut (ISPA).

Pola pemberian makan yang meliputi susunan, frekuensi dan jumlah

makanan diperoleh dengan formulir food recall 24 jam yang dilakukan 2 kali

recall pada hari yang tidak berurut yang diperoleh dikonversikan dari ukuran

rumah tangga ke satuan gram dengan bantuan food model. Frekuensi makanan

diperoleh dengan menggunakan FFQ (Food Frequency Questionnaires)

2. Data Sekunder

Data sekunder diperoleh dari Puskesmas Tanjung Tiram. Data yang

diperoleh berupa gambaran umum wilayah penelitian, profil puskesmas, data

balita yang menderita ISPA di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram dan

(29)

25

3.5. Defenisi Operasional

1. Pola pemberian makan adalah berbagai informasi yang memberikan

gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan

tiap hari oleh satu orang dan merupakan ciri khas untuk suatu kelompok

masyarakat tertentu.

a. Susunan makanan adalah berbagai macam makanan yang mengandung

gizi makro(karbohidrat dan protein) dan gizi mikro(vitamin A, zinc dan

zat besi) yang di konsumsi balita di Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten

Batubara.

b. Jumlah makanan adalah banyaknya makanan yang mengandung gizi

makro (karbohidrat dan protein) dan gizi mikro (vitamin A, zinc, dan zat

besi) yang di konsumsi balita.

c. Frekuensi makanan adalah berapa kali makanan yang mengandung gizi

makro (karbohidrat dan protein) dan gizi mikro (vitamin A, zinc dan zat

besi) yang di konsumsi balita.

2. Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan

penggunaanzat-zat gizi untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan

balita yang ditentukan berdasarkan nilai Z-score dengan indeks BB/U,

TB/U dan BB/TB).

3. Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan pada balita adalah penyakit yang

sedang diderita oleh anak pada saat penelitian dilakukan dengan gejala

(30)

3.6. Aspek Pengukuran

1. Pola Pemberian makan a. Susunan Makanan

Susunan makanan yang diberikan kepada anak balita:

- Lengkap :Makanan pokok, lauk pauk, sayur, buah-buahan,

susu/ASI.

- Tidak lengkap : Makanan pokok, dan lauk pauk.

b. Frekuensi Makanan

frekuensi makanan diukur dengan formulir food frequency.

1. 1-3x sehari

2. 4 – 6x/ minggu

3. 1 – 3x / minggu

4. 1 x / bulan

5. Tidak pernah

c. Jumlah makanan

Jumlah asupan berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG), yang

dikategorikan atas:

a. Karbohidrat

- 12-36 bulan : 155 gr sehari

- 37-59 bulan : 220 gr sehari

b. Protein

- 12-36 bulan : 26 gr sehari

(31)

27

c. Vitamin A

- 12-36 bulan : 400 mcg sehari

- 37-59 bulan : 450 mcg sehari

d. Zinc

- 12-36 bulan : 4 mg sehari

- 37-59 bulan : 5 mg sehari

e. Zat Besi

- 12-36 bulan : 8 mg sehari

- 37-59 bulan : 9 mg sehari

Rumus menghitung zat gizi yang terdapat dalam bahan makanan:

Dengan kategori:

- Baik : ≥100%

- Sedang : >80-99%

- Kurang : 70-80%

(32)

2. Status Gizi

Status gizi diukur dengan menggunakan indikator BB/U, TB/U dan BB/TB)

melalui penilaian nilai Z-score sesuai WHO-Anthro 2005.

Indikator Status Gizi Keterangan

BB/U BB Sangat Kurang

Kejadian ISPA diukur dengan menggunakan lembar observasi dan

meminta bantuan dari ibu balita untuk mengetahui berapa kali balita terkena

Infeksi Saluran Pernafasn Akut (ISPA) (batuk, pilek dan demam).

3.7. Analisis Data

Data yang telah dikumpulkan diolah dan dianalisis dengan system

komputerisasi program (SPSS) melalui editing, coding, entry, cleaning serta

(33)

29 BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Puskesmas Tanjung Tiram didirikan pada tanggal 19 juli 1994 yang

berlokasi di jl. Rahmadsyah Desa Suka Maju Kecamatan Tanjung Tiram

Kabupaten Batubara. Puskesmas Tanjung Tiram memiliki wilayah kerja 2

kelurahan dengan 11 desa. Puskesmas berada didaerah pesisir pantai, yang

sebagian masyarakatnya berprofesi sebagai nelayan. Jumlah penduduk sebanyak

40.747 jiwa, dengan jumlah balita sebanyak 5586 orang. Penyakit ISPA di

Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara termasuk

peringkat pertama dari 10 penyakit terbesar saat ini, hal ini disebabkan oleh

keadaan rumah yang tidak sehat seperti kurangnya ventilasi rumah dan keadaan

penduduk yang terlalu padat.

4.2. Karakteristik Ibu

Hasil penelitian tentang gambaran karakteristik ibu balita di Wilyah Kerja

Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara tahun 2015 ditampilkan pada

(34)

Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Ibu

yaitu pada kelompok umur 20-35 tahun sebanyak 40 (63,5%) orang. Distribusi ibu

berdasarkan pekerjaan diperoleh bahwa distribusi ibu pada kelompok yang tidak

bekerja sebanyak 55 orang (87,3%). Pendidikan ibu pada kelompok pendidikan

SD yaitu sebanyak 34 orang (54,0%). Penghasilan < UMK (2.075.000) yaitu 63

ibu.

4.3. Karakteristik Balita

Hasil penelitian tentang gambaran karakteristik balita di wilayah kerja

Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara Tahun 2015 di tampilkan pada

(35)

31

Tabel 4.2. Distribusi Balita berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur

Jenis Kelamin n %

Laki-laki 23 36,5

Perempuan 40 63,5

Total 63 100,0

Umur n %

12-36 Bulan 46 73,0

37-59 Bulan 17 27,0

Total 63 100,0

Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa distribusi balita penderita ISPA

lebih banyak pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 40 balita (63,5%),

dengan umur 12-36 bulan yaitu sebanyak 46 balita (73,0%).

4.4. Pola Pemberian Makanan 4.4.1. Susunan Makanan

Hasil penelitian tentang gambaran susunan makanan balita penderita ISPA

di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara tahun 2015

ditampilkan pada tabel 4.3.

Tabel 4.3 Distribusi Balita Berdasarkan Susunan Makanan

Susunan Makanan N %

Lengkap 9 14,3

Tidak Lengkap 54 85,7

Total 63 100,0

Berdasarkan tabel 4.3. diatas dapat dilihat bahwa distribusi balita

berdasarkan susunan makanan lebih banyak dengan susunan makanan yang tidak

(36)

4.4.2. Frekuensi Makanan

Hasil penelitian tentang frekuensi dan jenis makanan balita penderita ISPA

di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara tahun 2015

Berdasarkan tabel 4.4. diatas dapat dilihat balita penderita ISPA lebih

banyak pada kelompok dengan frekuensi makan sebanyak 1-3 kali/ hari dengan

jenis makanan pokok nasi sebanyak 63 balita (100%), frekuensi makan 1-3

kali/hari dengan jenis lauk-pauk ikan yaitu sebanyak 63 balita (100%), frekuensi

makan 1-3x/minggu dengan jenis makanan sayur-mayur kangkung 46 orang

(37)

33

sebanyak 36 orang (57,1%) dan frekuensi 1 kali/ bulan dengan jenis konsumsi

minuman susu sebanyak 22 balita (34,9%).

4.4.3. Asupan Zat Gizi Jumlah Asupan Karbohidrat, Protein, Vitamin A, Zink dan Zat Besi dengan Kelompok Umur.

Hasil penelitian tentang gambaran jumlah asupan karbohidrat, protein,

vitamin A, zink dan zat besi dengan kelompok umur balita di wilayah kerja

Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara Tahun 2015 ditampilkan pada

tabel 4.5.

Tabel 4.5. Distribusi Asupan Karbohidrat Balita Berdasarkan Kelompok Umur

Umur Balita Asupan Karbohidrat

Baik Sedang Kurang Total

n % n % n % n %

12-36 Bulan 4 8,7 28 60,9 14 30,4 46 100,0

37-59 Bulan 2 11,8 9 52,9 6 35,3 17 100,0

Berdasarkan Tabel 4.5 diatas dapat dilihat bahwa balita asupan karbohidrat

lebih banyak pada kategori kurang dengan kelompok umur 12-36 bulan sebanyak

14 balita (30,4%) dan kelompok umur 37-59 bulan sebanyak 6 balita (35,5%).

Tabel 4.6. Distribusi Asupan Protein Balita Berdasarkan Kelompok Umur

Umur Balita Asupan Protein

Baik Sedang Kurang Defisit Total

N % n % N % n % N %

12-36 Bulan 17 37,0 21 45,7 5 10,8 3 6,5 46 100,0

37-59 Bulan 3 17,6 11 64,7 2 11,8 1 5,9 17 100,0

Berdasarkan Tabel 4.6. diatas dapat dilihat bahwa jumlah asupan protein

lebih banyak pada kategori defisit dengan kelompok umur 12-36 bulan sebanyak 3

(38)

Tabel 4.7. Distribusi Asupan Vitamin A Balita Berdasarkan Kelompok Umur

Umur Balita Asupan Vitamin A

Sedang Kurang Defisit Total

n % n % n % n %

12-36 Bulan 2 4,3 20 43,5 24 52,2 46 100,0

37-59 Bulan 2 11,8 8 47,1 7 41,2 17 100,0

Berdasarkan Tabel 4.7. diatas dapat dilihat bahwa jumlah asupan vitamin

A lebih banyak pada kategori defisit dengan kelompok umur 12-36 bulan

sebanyak 24 balita (52,2%), dan kelompok umur 37-59 bulan sebanyak 7 balita

(41,2%).

Tabel 4.8. Distribusi Asupan Zink Balita Berdasarkan Kelompok Umur

Umur Balita Asupan Zink

Sedang Kurang Defisit Total

n % n % n % n %

12-36 Bulan 3 6,5 25 54,3 18 39,2 46 100,0

37-59 Bulan 3 17,6 10 58,8 4 23,6 17 100,0

Berdasarkan Tabel 4.8. diatas dapat dilhat bahwa jumlah asupan zink lebih

banyak pada kategori kurang dengan kelompok umur 12-36 bulan sebanyak 25

balita (54,3%) dan kemlompok umur 37-59 bulan sebanyak 10 balita (58,8%).

Tabel 4.9. Distribusi Asupan Zat Besi Balita Berdasarkan Umur

Umur Balita Asupan Zat Besi

Sedang Kurang Defisit Total

n % n % n % n %

12-36 Bulan 6 13,0 18 39,2 22 47,8 46 100,0

37-59 Bulan 2 11,8 5 29,4 10 58,8 17 100,0

Berdasarkan Tabel 4.9. diatas dapat dilihat bahwa jumlah asupan zat besi

lebih banyak pada kategori defisit dengan kelompok umur 12-36 tahun sebanyak

(39)

35

4.5. Status Gizi Balita

Hasil penelitian tentang status gizi balita berdasarkan indikator berat badan

menurut umur (BB/U), indikator tinggi badan menurut umur (TB/U) dan indikator

berat badan menurut tinggi badan (BB/TB) penderita ISPA diwilayah kerja

Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara tahun 2015 ditampilkan pada

tabel 4.10.

Tabel 4.10. Distribusi Status Gizi Balita Menurut BB/U Berdasarkan Umur

Umur Balita Status Gizi BB/U

Sangat

Berdasarkan Tabel 4.10 diatas dapat dilihat bahwa status gizi berdasarkan

BB/U lebih banyak pada kategori normal dengan kelompok umur 12-36 bulan

sebanyak 36 balita (78,3%) dan kelompok umur 37-59 bulan sebanyak 16 balita

(94,1%).

4.11. Distribusi Status Gizi Balita Menurut TB/U Berdasarkan Kelompok Umur

Umur Balita Status Gizi TB/U

Sangat

Berdasarkan Tabel 4.11. diatas dapat dilihat bahwa status gizi berdasarkan

TB/U lebih banyak pada kategori normal dengan kelompok umur 12-36 bulan

sebanyak 30 balita (65,2%) dan kelompok umur 37-59 bulan sebanyak 11 balita

(40)

4.12. Distribusi Status Gizi Balita Menurut BB/TB Berdasarkan Kelompok Umur

Umur Balita Status Gizi BB/TB

Kurus Normal Total

N % N % N %

12-36 Bulan 7 15,2 39 84,8 46 100,0

37-59 Bulan 7 41,2 10 58,8 17 100,0

Berdasarkan Tabel 4.12. diatas dapat dilihat bahwa status gizi berdasarkan

TB/U lebih banyak pada kategori normal dengan kelompok umur 12-36 bulan

sebanyak 39 balita (84,8%) dan kelompok umur 37-59 bulan sebanyak 10 balita

(58,8%).

4.6. Kejadian ISPA

4.6.1. Frekuensi Kejadian ISPA

Hasil penelitian tentang gambaran Frekuensi kejadian ISPA pada balita di

wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara tahun 2015

ditampilkan pada tabel 4.13.

Tabel 4.13. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA berdasarkan Umur

Umur Balita Frekuensi Kejadian ISPA

1 kali sebulan 2 kali sebulan 3 kali sebulan Total

n % n % n % N %

12-36 Bulan 18 39,1 23 50,0 5 10,9 46 100,0

37-59 Bulan 5 29,4 11 64,7 1 5,9 17 100,0

Berdasarkan tabel 4.13. diatas dapat dilihat bahwa balita dengan frekuensi

kejadian ISPA 2 kali sebulan lebih banyak pada kelompok umur 12-36 bulan

(41)

37

4.7. Tabulasi Silang Pola Pemberian Makan dengan Status Gizi balita Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA).

Hasil tabulasi silang antara pola makan dengan status gizi balita penderita

ISPA di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara tahun

2015dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

Tabel 4.14. Distribusi Susunan Makanan Berdasarkan Status Gizi BB/U

Susunan Makanan Status Gizi BB/U

Sangat

yang susunan makanannya lengkap dengan status gizi normal. Dan dari 47 balita

ada 36 balita (76,6%) yang susunan makanannya tidak lengkap dengan status gizi

sangat normal.

Tabel 4.15. Distribusi Susunan Makanan Berdasarkan Status Gizi TB/U

Susunan Makanan Status Gizi TB/U

Sangat

mengkonsumsi susunan makanan lengkap dengan kategori status gizi normal

sebanyak 16 orang (100%) dan susunan makanan tidak lengkap dengan status gizi

(42)

Tabel 4.16. Susunan Makanan Berdasarkan Status Gizi BB/U

Susunan Makanan Status Gizi BB/TB

Kurus Normal Total

n % n % n %

Lengkap 1 6,3 15 93,7 16 100,0

Tidak Lengkap 13 27,7 34 72,3 47 100,0

Berdasarkan Tabel 4.16. diatas dapat dilihat bahwa dari 16 balita ada 1

balita (6,3%) yang susunan makanannya lengkap dengan status gizi kurus. Dan

dari 47 balita ada 13 balita (27,7%) yang susunan makanannya tidak lengkap

dengan status gizi kurus.

Tabel 4.17. Distribusi Jumlah Asupan Karbohidrat Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/U

Asupan Karbohidrat Status Gizi BB/U

Sangat Kurang

Kurang Normal Total

n % n % n % n %

Baik 0 0 1 16,7 5 83,3 6 100,0

Sedang 1 2,7 1 2,7 35 91,6 37 100,0

Kurang 1 5,0 7 35,0 12 60,0 20 100,0

Berdasarkan tabel 4.17. diatas dapat dilihat bahwa dari 6 balita yang

asupan karbohidratnya kategori baik ada 5 balita (83,3%) status gizi normal.

Kemudian sebanyak 37 orang asupan karbohidratnya kategori sedang ada 35

balita (91,6%) status gizi normal. Sedangkan dari 20 balita yang asupan

(43)

39

Tabel 4.18. Distribusi Jumlah Asupan Protein Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/U

Asupan Protein Status Gizi BB/U

Sangat

asupan proteinnya kategori defisit status gizi normal.

Tabel 4.19. Distribusi Jumlah Asupan Vitamin A Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/U

Asupan Vitamin A Status Gizi BB/U

Sangat

balita yang asupan vitamin A nya kurang ada 23 balita (82,1%) status gizi normal.

Sedangkan dari 31 balita yang asupan vitamin A nya defisit ada 25 balita (80,6%)

(44)

Tabel 4.20. Distribusi Jumlah Asupan Zink Balita Penderita ISPA berdasarkan Status Gizi BB/U

Asupan Zink Status Gizi BB/U

Sangat

Kemudian sebanyak 35 balita yang asupan zinknya kurang ada 28 balita (80,0%)

status gizi normal. Sedangkan dari 22 balita yang asupan zinknya kategori defisit

ada 19 balita (86,4%) status gizi normal.

Tabel 4.21. Distribusi Jumlah Asupan Zat Besi Balita Penderita ISPA berdasarkan Status Gizi BB/U

Asupan Zat Besi Status Gizi BB/U

Sangat

Berdasarkan tabel 4.21. diatas dapat dilihat bahwa yang asupan zat besinya

kategori sedang ada 8 balita (100%) status gizi normal. Kemudian sebanyak 23

balita yang asupan zat besinya kategori kurang ada 17 balita (73,9%) status gizi

normal. Sedangkan dari 32 balita yang asupan zat besinya kategori defisit ada 27

(45)

41

Tabel 4.22. Distribusi Jumlah Asupan Karbohidrat Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi TB/U

Asupan Karbohidrat Status Gizi TB/U

Sangat

karbohidratnya kategori kurang ada 10 balita (65,1%) status gizi normal.

Tabel 4.23. Distribusi Jumlah Asupan Protein Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi TB/U

Asupan Protein Status Gizi TB/U

Sangat

status gizi normal. Sedangkan dari 7 balita yang asupan proteinnya kurang ada 6

balita (85,7%) status gizi normal. Dan dari 4 balita yang asupan proteinnya defisit

(46)

Tabel 4.24. Distribusi Jumlah Asupan Vitamin A Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi TB/U

Asupan Vitamin A Status Gizi TB/U

Sangat

yang asupan vitamin A nya kategori sedang status gizi normal. Kemudian dari 28

balita yang asupan vitamin A nya kategori kurang ada 19 balita (67,9%) status

gizi normal. Sedangkan dari 21 balita yang asupan vitamin A nya kategori defisit

ada 18 balita (58,1%) status gizi normal.

Tabel 4.25. Distribusi Jumlah Asupan Zink Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi TB/U

Asupan Zink Status Gizi TB/U

Sangat

(47)

43

Tabel 4.26. Distribusi Jumlah Asupan Zat Besi Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi TB/U

Asupan Zat Besi Status Gizi TB/U

Sangat

asupan zat besi sedang dengan status gizi normal. Kemudian dari 23 balita yang

asupan zinknya kategori kurang ada 14 balita (60,9%) dengan status gizi normal.

Sedangkan dari 32 balita yang asupan zinknya kategori defisit ada 19 balita

(59,4%) dengan status gizi normal.

Tabel 4.27. Distribusi Jumlah Asupan Karbohidrat Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/TB

Asupan Karbohidrat Status Gizi BB/TB

Kurus Normal Total

(48)

Tabel 4.28. Distribusi Jumlah Asupan Protein Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/TB

Asupan Protein Status Gizi BB/TB

Kurus Normal Total

n % n % n %

Baik 4 20,0 16 80,0 20 100,0

Sedang 10 31,2 22 68,8 32 100,0

Kurang 0 0 7 100,0 7 100,0

Defisit 0 0 4 100,0 4 100,0

Berdasarkan tabel 4.28. diatas dapat dilihat bahwa dari 20 balita yang

asupan proteinnya kategori baik ada 16 balita (80,0%) status gizi normal.

Kemudian dari 32 balita yang asupan proteinnya kategori sedang ada 22 balita

(68,8%) status gizi normal. Sedangkan yang asupan proteinnya kategori kurang

ada 7 balita (100%) status gizi normal dan yang asupan proteinnya kategori defisit

ada 4 balita ( 100%) status gizi normal.

Tabel 4.29. Distribusi Jumlah Asupan Vitamin A Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/TB

Asupan Vitamin A Status Gizi BB/TB

Kurus Normal Total

n % n % n %

Sedang 0 0 4 100,0 4 100,0

Kurang 3 10,7 25 89,3 28 100,0

Defisit 11 35,5 20 64,5 31 100,0

Berdasarkan tabel 4.29. diatas dapat dilihat bahwa yang asupan vitamin A

nya kategori sedang ada 4 balita (100,0%) status gizi normal. Kemudian dari 28

balita yang asupan vitamin A nya kategori kurang ada 25 balita (89,3%) status

gizi normal. Sedangkan dari 31 balita yang asupan vitamin A nya kategori defisit

(49)

45

Tabel 4.30. Distribusi Jumlah Asupan Zink Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/TB

Asupan Zink Status Gizi BB/TB

Kurus Normal Total

n % n % n %

Sedang 1 16,7 5 83,3 6 100,0

Kurang 12 34,3 23 54,7 35 100,0

Defisit 1 4,5 21 95,5 22 100,0

Berdasarkan tabel 4.30. diatas dapat dilihat bahwa dari 6 balita yang

asupan zinknya kategori sedang ada 5 balita (83,3%) gizi normal. Kemudian dari

35 balita yang asupan zinknya kategori kurang ada 23 balita (54,7%) status gizi

normal. Sedangkan dari 22 balita yang asupan zinknya kategori defisit ada 21

balita (95,5%) status gizi normal.

Tabel 4.31.Distribusi Jumlah Asupan Zat Besi Balita Penderita ISPA Berdasarkan Status Gizi BB/TB

Asupan Zat Besi Status Gizi BB/TB

Kurus Normal Total

n % n % n %

Sedang 0 0 8 100,0 8 100,0

Kurang 5 21,7 18 78,3 23 100,0

Defisit 9 28,1 23 71,9 32 100,0

Berdasarkan tabel 4.31. diatas dapat dilihat bahwa yang asupan zat besinya

kategori sedang ada 8 balita (100,0%) status gizi normal. Kemudian dari 23 balita

yang asupan zat besinya kategori kurang ada 18 balita (78,3%) status gizi normal.

Sedangkan dari 32 balita yang asupan zat besinya kategori defisit ada 23 balita

(50)

4.8. Tabulasi Silang Status Gizi Balita Penderita ISPA dengan Frekuensi Kejadian ISPA.

Hasil tabulasi silang status gizi balita penderita ISPA dengan frekuensi

kejadian ISPA di wilayah kerja Puskesmas Tanjung Tiram Kabupaten Batubara

tahun 2015 dapat dilihat pada tabel dibawah ini:

4.32. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA Balita Berdasarkan Status Gizi BB/U

Status Gizi BB/U Frekuensi Kejadian ISPA

1 kali

Berdasarkan tabel 4.32. diatas dapat dilihat bahwa dari 2 balita yang status

gizinya sangat kurang ada 1 (50%) balita frekuensi kejadian ISPA 3 kali sebulan.

Kemudian dari 9 balita yang status gizinya kurang ada 6 balita (66,7%) frekuensi

kejadian ISPA 2 kali sebulan. Sedangkan dari 52 balita yang status gizi normal

ada 27 balita (51,9%) frekuensi kejadian ISPA 2 kali sebulan.

4.33. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA Balita Berdasarkan Status Gizi TB/U

Status Gizi TB/U Frekuensi Kejadian ISPA

1 kali

Berdasarkan tabel 4.33. diatas dapat dilihat bahwa dari 6 balita yang status

gizinya sangat pendek ada 4 balita (66,6%) frekuensi kejadian ISPA 2 kali

(51)

47

frekuensi kejadian ISPA 2 kali sebulan. Sedangkan dari 41 balita yang status gizi

normal ada 22 balita (53,7%) frekuensi kejadian ISPA 2 kali sebulan.

4.34. Distribusi Frekuensi Kejadian ISPA Balita Berdasarkan Status Gizi BB/TB Status Gizi

BB/TB

Frekuensi Kejadian ISPA 1 kali

Sebulan

2 kali Sebulan

3 kali Sebulan

Total

n % n % n % n %

Kurus 3 21,4 9 64,3 2 14,3 14 100,0

Normal 20 40,8 25 51,0 4 8,2 49 100,0

Berdasarkan Tabel 4.34 diatas dapat dilihat bahwa dari 14 balita yang

status gizinya kurus ada 9 balita (64,3%) frekuensi kejadian ISPA 2 kali sebulan,

sedangkan dari 49 balita yang status gizinya normal ada 25 balita (51,0%)

(52)

48

5.1 Pola Pemberian Makan Pada Anak Balita

5.1.1. Pola Pemberian Makan Berdasarkan Susunan Makanan dan Frekuensi Makanan pada Anak Balita Penderita ISPA

Pola pemberian makan pada balita penderita ISPA masih banyak yang

yang tidak tepat, dimana anak balita jarang mengkonsumsi sayur dan buah.

Tingkat pendapatan yang kurang mempengaruhi ketersediaan makanan dalam

keluarga. Hal inilah yang menyebabkan daya beli bahan makanan yang kurang

akan berpengaruh terhadap pola pemberian makan balita penderita ISPA.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa susunan makanan anak balita

penderita ISPA tidak lengkap yaitu nasi + lauk pauk (85,7%). Keadaan ini

dipengaruhi oleh persepsi ibu bahwa mengonsumsi makanan cukup dengan nasi

dan lauk pauk sudah memenuhi kebutuhan gizi, konsumsi buah tergantung

ketersediaan atau tidaknya sebab bagi ibu pendapatan mereka tidak dapat

mencukupi untuk membeli buah-buahan, sedangkan sayur sayuran ibu selalu

mengolah sesuai dengan selera keluarga, bukan selera anak balita tersebut. Oleh

karena itu mereka lebih cenderung mengonsumsi makanan pokok dan lauk pauk

saja. Ini dapat dilihat dari frekuensi mereka makan sayuran dan buah-buahan

sangat jarang yaitu hanya 1-3 kali/minggu.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa lauk pauk yang selalu

dikonsumsi balita penderita ISPA dengan frekuensi 1-3 kali/hari dengan jenis ikan

yaitu sebesar 100%. Hal ini dikarenakan ibu dengan sangat mudah mendapatkan

(53)

49

tahu (12,7%) sebagai pelengkap dalam menu makanan. Lauk pauk yang

dikonsumsi tidak bervariasi, terlihat dari jenis lauk pauk yang dikonsumsi tidak

beragam. Mereka jarang mengonsumsi lauk pauk lain seperti daging sapi maupun

ayam. Selain itu, ikan yang dikonsumsi biasanya diolah dengan digoreng dan

digulai. Begitu pula dengan tahu dan tempe yang biasa dikonsumsi diolah dengan

digoreng.

Rata-rata frekuensi konsumsi sayuran pada balita penderita ISPA

tergolong jarang. Jenis sayuran yang jarang dikonsumsi adalah sayuran brokoli

(68,3%), begitu pula dengan sayuran lain seperti sayuran daun ubi (60,3%)

dengan frekuensi tidak pernah dalam sebulan. Hal ini dikarenakan, sebagian ibu

balita menganggap sayuran bukan kebutuhan makanan yang wajib dipenuhi,

selain itu sebagian balita yang mengonsumsi sayuran, jika hanya tersedia saja.

Padahal seharusnya, mengonsumsi sayuran sangat dianjurkan dalam setiap kali

makan. Ini dikarenakan sayuran mengandung serat yang tinggi, sehingga sangat

baik untuk balita yang masih mengalami masa pertumbuhan.

Frekuensi konsumsi buah-buahan anak balita penderita ISPA tergolong

jarang. Jenis buah-buahan yang sangat jarang dikonsumsi adalah mangga dan

semangka dengan frekuensi 1x/bulan. Hal ini dikarenakan, sebagian ibu balita

menganggap buah-buahan tidak harus dikonsumsi setiap kali makan dan

kurangnya daya beli keluarga. Selain itu mereka hanya mengonsumsi buah jika

tersedia saja. Kebiasaan mengonsumsi buah-buahan dianjurkan bagi anak balita

penderita ISPA agar lebih sering mengonsumsinya. Ini dikarenakan buah-buahan

(54)

sehingga frekuensi ISPA tidak akan lama. Selain mengonsumsi makanan pokok

balita juga mengkonsumsi jajanan yang sering dikonsumsi sehari-hari diluar

makanan pokok tersebut seperti jajanan seperti permen dan bikuit serta snack

berbagai merek dan menggunakan penyedap rasa.

5.1.2 Pola Pemberian Makanan Berdasarkan Jumlah Asupan Karbohidrat, Protein, Vitamin A, Zink dan Zat Besi pada Anak Balita Penderita ISPA

Asupan zat gizi karbohidrat, protein, vitamin A, Zink dan zat besi sangat

penting bagi anak balita, dimana masa balita merupakan periode penting dalam

proses tumbuh kembang. Kurangnya asupan zat gizi pada balita akan

menyebabkan kurangnya daya tahan tubuh balita, yang menyebabkan balita

sangat mudah terserang penyakit ISPA. Berdasarkan hasil penelitian yang

dilakukan dengan menggunakan formulir food recall 24 jam, dapat diketahui

bahwa jumlah asupan karbohidrat pada anak balita penderita ISPA dengan

kategori kurang berada pada kelompok umur 12-36 bulan (30,4%%). Ini

dikarenakan anak balita dengan kelompok umur 12-36 bulan mengalami masa

pergantian makanan, dimana balita mulai mengikuti makanan sesuai dengan

selera keluarga.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa jumlah asupan protein

pada anak balita penderita ISPA dengan kelompok umur 12-36 bulan dan 37-59

bulan berada pada kategori sedang. Ini dikarenakan anak sering mengonsumsi

lauk pauk berjenis ikan dengan 1-3x/hari, selain itu mereka juga sering

(55)

51

pelengkap makanan utama. Protein yang cukup akan menguntungkan bagi tubuh

balita.

Vitamin A merupakan salah satu zat gizi yang berfungsi sebagai sistem

imun. Kekurangan konsumsi vitamin A akan mempengaruhi kekebalan tubuh

pada anak balita. Berdasarkan Hasil Penelitian menunjukkan bahwa jumlah

asupan Vitamin A pada anak balita penderita ISPA dengan kelompok umur 12-36

bulan dalam kategori defisit (52,2%) dan kelompok umur 37-59 bulan dengan

kategori kurang ( 47,1%). Ini dikarekan pengolahan sayur-sayuran tidak sesuai

dengan selera anak balita melainkan dengan selera ibu balita dan kurangnya anak

balita buah-buahan.

Zink merupakan zat gizi berfungsi sebagai penambah nafsu makan anak

balita, maka dari itu kurangnya konsumsi zink pada anak balita akan

menyebabkan menurunnya fungsi imunitas tubuh yang menyebabkan anak balita

mudah terserang penyakit ISPA. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa

jumlah asupan zink pada anak balita penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut

(ISPA) dengan kelompok umur 12-36 bulan dan kelompok umur 37-59 bulan

dengan kategori kurang. Kurangnya konsumsi Vitamin A disebabkan kurangnya

anak balita mengonsumsi buah-buahan dikarenakan harga buah-buahan yang

mahal. Dengan pendapatan keluarga yang kurang, maka ibu tidak mampu untuk

membeli buah-buahan.

Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa jumlah asupan zat besi

pada anak balita penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) dengan

(56)

dikarenakan anak balita penderita ISPA kurangnya mengkonsumsi makanan yang

mengandung zat besi seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.

5.2. Status Gizi pada Anak Balita Penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Masalah kekurangan maupun kelebihan gizi pada anak balita perlu

diperhatikan, karena selain mempunyai resiko kurang gizi juga dapat mengganggu

aktifitas anak balita. Oleh karena itu dibutuhkan pemantauan status gizi

sekurang-kurangnya sebulan sekali. Berdasarkan Hasil penelitian mengenai gambaran berat

badan balita berdasarkan umur (BB/U) dengan kelompok umur 12-36 bulan

dengan kategori sangat kurang (4,3%), dengan kategori kurang (17,4%) dan

kategori normal (78,3%), hal ini karena kebanyakan balita tidak selera makan, di

samping itu diasumsikan ibu belum memperhatikan makanan yang seharusnya

diberikan untuk balita.

Berdasarkan hasil penelitian mengenai gambaran tinggi badan balita

berdasarkan umur (TB/U), dapat dilihat tinggi badan balita berdasarkan umur

dengan kategori pendek (25,4%), hal ini dikarenakan bahwa ibu kurang

memperhatikan dalam hal pemberian makanan yang bergizi pada balita

sehingga balita mengalami masalah gizi pada awal pertumbuhannya. Tinggi

badan balita berdasarkan umur dengan kategori normal (65,1%),

Berdasarkan hasil penelitian mengenai gambaran berat badan balita

berdasarkan tinggi badan (BB/TB), dapat dilihat berat badan balita berdasarkan

tinggi badan dengan kategori kurus (22,3%), dengan kategori normal (77,7%).

Status gizi balita menurut BB/U, TB/U dan BB/TB dalam penelitian ini secara

(57)

53

pemberian makanan yang tergolong masih buruk. Pada balita penderita ISPA

dengan pola pemberian makanan yang masih buruk namun memiliki status gizi

yang sebagian besar baik menunjukkan bahwa ISPA yang dialami oleh balita

tidak sepenuhnya dipicu karena masalah gizi pada balita tersebut. Ini dapat

disebabkan oleh faktor lain yang tidak diteliti oleh peneliti dalam penelitian ini

seperti faktor lingkungan tempat tinggal balita yang memungkinkan kejadian

ISPA terjadi.

Hal ini juga disebabkan karena ibu-ibu di Wilayah Kerja Puskesmas

Tanjung Tiram mempunyai pengetahuan, pengalaman, dan pendidikan ibu yang

rendah tentang gizi khususnya dalam pola pemberian makan pada anak balita,

Keadaan gizi balita yang bertolak belakang dengan pola konsumsi yang diberikan

oleh ibu balita itu sendiri dapat terjadi tidak terlepas dari peran serta petugas

kesehatan di Wilayah Kerja Puskesmas Tanjung Tiram yang selama ini aktif

dalam kegiatan Imunisasi dan pemberian vitamin gratis untuk menunjang

kebutuhan gizi balita di daerah tersebut. Sebagian besar ibu dalam penelitian ini

memiliki pendidikan hanya tamatan SD dan ada yang tidak sekolah sangat

terbukti menyebabkan rendahnya pengetahuan dan praktik ibu dalam pola

pemberian makan yang baik dalam menunjang pertumbuhan balita agar terhindar

dari kerentanan penularan penyakit infeksi khususnya ISPA. Perilaku orang tua

juga merupakan cermin bagi anak untuk diikuti, karena itu sebagai orang tua

haruslah menyadari apa yang dilakukannya tentu akan diikuti oleh anaknya.

(58)

makan sayuran. Jadi mengajarkan sesuatu yang mana orang tuanya juga

melakukan hal tersebut, akan mudah untuk diikuti anak.

5.3. Frekuensi Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) pada Anak Balita

Kejadian ISPA pada anak balita berdasarkan hasil pernyataan ibu balita

diketahui lama balita mengalami ISPA dengan gejala yang bisa diamati ibu salam

satu bulan terakhir yaitu batuk, pilek dan disertai demam yang menunjukkan

bahwa anak balita yang menderita ISPA dalam satu bulan terakhir sebagian besar

frekuensi jumlah kejadian dengan kelompok umur 12-36 bulan sebanyak 2 kali

dalam sebulan 50.0%) dengan lama kejadian paling banyak 3-5 hari.

Kejadian ISPA pada anak balita di wilayah kerja Puskesmas Tanjung

Tiram disebabkan karena kondisi keadaan rumah dengan tidak adanya pentilasi

udara dan kepadatan anggota dalam keluarga merupakan faktor risiko terjadinya

ISPA. Menurut Edza (2009, faktor risiko terjadinya ISPA diantaranya adalah

faktor lingkungan yaitu pencemaran udara dalam rumah (asap rokok dan asap

hasil pembakaran bahan bakar untuk memasak dengan konsentrasi tinggi) dapat

merusak paru sehingga memudahkan ISPA. Hal ini dapat terjadi pada rumah yang

(59)

55

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN 6.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, dan uraian pembahasan maka dapat

diperoleh kesimpulan:

1. Anak balita penderita ISPA lebih banyak pada kelompok umur 12-36

bulan, dan jenis kelamin mayoritas perempuan.

2. Susunan makanan balita penderita ISPA sebagian besar tergolong tidak

lengkap. Makanan pokok jenis nasi dan lauk pauk jenis ikan

masing-masing frekuensi makan 1-3x/hari.

3. Asupan karbohidrat dan protein pada anak balita penderita ISPA lebih

banyak pada kategori sedang, dan asupan vitamin A, zink dan zat besi

dalam kategori defisit.

4. Frekuensi kejadian ISPA pada anak balita lebih banyak terjadi 2 kali

dalam sebulan.

5. Status gizi anak balita penderita ISPA menurut indeks BB/U terdapat

kategori sangat kurang 3,2%, dan kategori kurang 14,3%. Menurut indeks

TB/U terdapat kategori sangat pendek 9,5%, dan pendek 25,4%. Menurut

(60)

6.2. Saran

1. Diharapkan Puskesmas memberikan penyuluhuan kepada ibu balita

penderita Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) agar memperhatikan pola

makan anak balita, baik jenis, jumlah, kandungan gizi serta frekuensi makan

anak balita.

2. Kepada keluarga balita penderita ISPA sebaiknya memperhatikan kondisi

kebersihan rumah agar tidak menimbulkan penyakit Infeksi Saluran

Pernapasan Atas (ISPA) untuk menciptakan derajat kesehatan lingkungan,

karena ISPA yang dialami oleh balita di Wilayah Kerja Puskesmas

Tanjung Tiram disebabkan oleh faktor lingkungan Tanjung Tiram yang

(61)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut ( ISPA ) Pada Balita

Infeksi Saluran Pernapasan akut (ISPA) adalah proses inflamasi yang

disebabkan oleh virus, bakteri, atipikal (mikroplasma), atau aspirasi substansi

asing yang melibatkan suatu atau semua bagian saluran pernapasan. Infeksi

Saluran Pernapasan akut (ISPA) biasanya menyerang struktur saluran pernapasan

diatas laring, tetapi kebanyakan penyakit ini menyerang bagian saluran atas dan

bawah secara simultan atau berurutan. Gambaran patofisioliginya meliputi

infiltrat peradangan dan edema mukosa, kongesti vaskuler, bertambahnya sekresi

mukus, perubahan dan struktur fungsi (Behrman, 1999).

Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) adalah penyakit infeksi yang

banyak menyerang saluran pernafasan atas maupun bawah disebabkan oleh virus,

bakteri, atipikal (mikroplasma) yang tanda dan gejalanya sangat bervariasi antara

lain demam, pusing, lemas, tidak nafsu makan, muntah, batuk, keluar sekret,

stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan bernapas), retraksi suprasternal (adanya

tarikan dada) dan hipoksia (kurang oksigen) (Behrman, 1999).

Penyebab Infeksi Saluran Pernafasn Akut (ISPA) terdiri dari lebih dari 300

jenis bakteri, virus dan riketsia. Bakteri penyebab Infeksi Saluran Pernafasn Akut

(ISPA) antara lain adalah dari genus Streptococcus, Stafilokokus, Pneumokokus,

Hemofilus, Bordetella dan Corinebacterium. Virus penyebab Infeksi Saluran

Pernafasn Akut (ISPA) antara lain adalah golongan Miksovirus, Adenovirus,

(62)

Etiologi pneumonia pada balita sukar untuk ditetapkan karena dahak

biasanya sukar untuk diperoleh. Sedangkan prosedur pemeriksaan immunologi

belum memberikan hasil yang memuaskan untuk menentukan adanya bakteri

sebagai penyebab pneumonia. Penetapan etiologi pneumonia yang dapat

diandalkan adalah biakan dari aspirat paru dan darah. Tetapi, fungsi paru

merupakan prosedur yang berisiko dan bertentangan dengan etika jika hanya

dimaksudkan untuk penelitian. Oleh karena itu diIndonesia masih menggunakan

hasil penelitian dari luar negeri (Behrman, 1999).

Faktor umur dapat mengarahkan kemungkinan penyebab Infeksi Saluran

Pernafasn Akut (ISPA) atau etiologinya:

a.Grup B Streptococcus dan gram negatif bakteri enterik merupakan penyebab

yang paling umum pada neonatal (bayi berumur 1-28 hari) dan merupakan

transmisi vertikal dari ibu sewaktu persalinan.

b. Pneumonia pada bayi berumur 3 minggu sampai 3 bulan yang paling sering

adalah bakteri, biasanya bakteri Streptococcus Pneumoniae.

c. Balita usia 4 bulan sampai 5 tahun, virus merupakan penyebab tersering dari

pneumonia, yaitu respiratory syncytial virus.

d. Pada usia 5 tahun sampai dewasa pada umumnya penyebab dari pneumonia

adalah bakteri.

Pada penelitian lain Streptococcus pneumoniae merupakan patogen paling

banyak sebagai penyebab pneumonia pada semua pihak kelompok umur. Menurut

WHO, penelitian di berbagai negara juga menunjukkan bahwa di negara

(63)

9

bakteri yang selalu ditemukan pada 2/3 (dua pertiga) dari hasil isolasi yaitu 73,9%

aspirat paru dan 69,1% hasil isolasi dari spesimen darah. Bakteri merupakan

penyebab utama dari pneumonia pada balita. Diperkirakan besarnya persentase

bakteri sebagai penyebabnya adalah sebesar 50%. Sedangkan di negara maju, saat

ini pneumonia pada anak umumnya disebabkan oleh virus (WHO, 2012).

Tanda dan gejala Infeksi Saluran Pernafasn Akut (ISPA) sangat bervariasi

antara lain demam, pusing, malaise (lemas), anoreksia (tidak nafsu makan),

vomitus (muntah), photophobia (takut cahaya), gelisah, batuk, keluar sekret,

stridor (suara napas), dyspnea (kesulitan bernapas), retraksi suprasternal (adanya

tarikan dada), hipoksia (kurang oksigen), dan dapat berlanjut pada gagal napas

apabila tidak mendapat pertolongan dan dapat mengakibatkan kematian

(Behrman, 1999).

Pengklasifikasian Infeksi Saluran Pernafasn Akut (ISPA), WHO (2012)

mengklasifikasikannya menjadi dua bagian berdasarkan lokasi anatomi, yaitu:

1. Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Atas (ISPAa), yaitu infeksi yang

menyerang hidung sampai epiglotis, misalnya rhinitis akut, faringitis akut,

sinusitis akut dan sebagainya.

2. Infeksi Saluran Pernafasan Akut bagian Bawah (ISPAb), dinamakan

sesuaidengan organ saluran pernafasan mulai dari bagian epiglotis

sampaialveoli paru misalnya laringitis, trakhetis, bronkhitis akut, pneumonia

dan sebagainya.

Depkes (2012) melalui program pemberantasan ISPA (P2-ISPA),

(64)

1. Kelompok umur kurang dari 2 bulan, diklasifikasikan atas :

a. Pneumonia berat : Bila dalam pemeriksaan ditemukan adanya penarikan yang

kuat padadinding dada bagian bawah ke dalam dan adanya nafas cepat,

frekuensi nafas 60 kali per menit atau lebih.

b. Bukan pneumonia (batuk pilek biasa) : Bila tidak ditemukan tanda tarikan

kuat pada dinding dada bagian bawah ke dalam dan tidak ada nafas cepat.

2. Kelompok umur 2 bulan sampai dengan 5 tahun diklasifikasikan atas :

a. Pneumonia berat : Bila dalam pemeriksaan ditemukan adanya tarikan dinding

dada bagian bawah kedalam.

b. Pneumonia : Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah ke

dalam, adanya nafas cepat, frekuensi nafas 50 kali atau lebih pada umur 2–12

bulan dan 40 kali per menit atau lebih pada umur 12 bulan–5 tahun.

c. Bukan pneumonia : Bila tidak ditemukan tarikan dinding dada bagian bawah

ke dalam, tidak ada nafas cepat, frekuensi nafas kurang dari 50 kali per menit

padaanak umur 2–12 bulan dan kurang dari 40 kali permenit 12 bulan–5

tahun.

2.2. Pola Pemberian Makan

Pola pemberian makan adalah gambaran mengenai jumlah, jenis, dan

frekuensi bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan

merupakan ciri khas dari suatu kelompok masyarakat tertentu. Pola pemberian

makan yang baik mengandung makanan yang merupakan energi, zat pembangun,

dan zat pengatur, karena semua zat gizi diperlukan untuk pertumbuhan dan

(65)

11

dimakan dalam jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan. Dengan pola makan

sehari-hari yang seimbang, berguna untuk mencapai dan mempertahankan status

gizi dan kesehatan yang optimal (Almatsier, 2001)

Pola hidangan sehari yang dianjurkan adalah makanan yang seimbang

yang terdiri dari :

1. Sumber zat tenaga (nasi, roti, mie, jagung, tepung-tepungan, gula, minyak)

2. Sumber zat pembangun (ikan, telur, ayam, daging, susu, kacang dan lainnya )

3. Sumber zat pengatur (sayuran dan buah-buahan berwarna hijau dan kuning)

Konsumsi pangan dipengaruhi oleh kebiasaan makannya, selain itu juga

akan mempengaruhi kemampuan seseorang dalam melakukan pekerjaan sehingga

kecukupan konsumsi pangan perlu mendapat perhatian Anak-anak yang berasa

dari keluarga dengan tingkat sosial ekonomi rendah sangat rawan terhadap gizi

kurang. Mereka mengkonsumsi pangan (energy dan protein) lebih rendah

dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga berada (Khomsan, 2003)

2.3. Tingkat Asupan Makanan Anak Balita

Zat gizi adalah zat atau unsur-unsur kimia yang terkandung dalam pangan

yang diperlukan untuk metabolism dalam .Manusia memerlukan zat gizi agar

dapat hidup dengan sehat dan mempertahankan kesehatannya. Oleh Karena itu,

jumlah zat gizi yang diperoleh melalui konsumsi pangan harus mencukupi

kebutuhan tubuh untuk melakukan kegiatan internal dan eksternal, pemeliharaan

tubuh dan pertumbuhan, serta untuk aktivitas (Supariasa dkk, 2001).

Tahap awal dari kekurangan zat gizi dapat diidentifikasi dengan penilaian

(66)

kurangnya zat gizi dalam tubuh. Secara umum terdapat dua criteria untuk

menentukan kecukupan konsumsi pangan, yaitu konsumsi energi dan protein

(Beck, 2011).

Kebutuhan energi biasanya dipenuhi dari konsumsi pangan pokok,

sedangkan kebutuhan protein dipenuhi dari sejumlah substansi hewan, seperti

ikan, daging, telur dan susu (Supariasa dkk, 2001). Angka Kecukupan Gizi

(AKG) dapat digunakan untuk menilai tingkat kecukupan zat gizi individu. Basis

dari AKG adalah kebutuhan (Estimated Average Requirement).

2.4. Zat Gizi Makro

Asupan zat gizi makro sangat penting bagi tubuh balita dan dibutuhkan

dalam jumlah besar, karena zat gizi makro berperan penting untuk membentuk,

memelihara jaringan tubuh, sebagai sumber tenaga dan sebagai zat pengatur

sistem kekebalan tubuh. Sistem kekebalan tubuh anak yang berkurang maka akan

lebih mudah terserang penyakit infeksi seperti ISPa. Zat gizi makro yang berperan

sebagai kekebalan tubuh pada balita seperti karbohidrat dan protein.

2.4.1. Karbohidrat

Fungsi dari karbohidrat adalah sebagai sumber energi bagi tubuh. Satu

gram karbohidrat menghasilkan 4 kalori. Kekurangan karbohidrat akan

menyebabkan akan menyebabkan badan lemah, kurus, dan daya tahan tubuh akan

menurun sehingga lebih mudah terserang penyakit infeksi (Beck,2011).

Sumber karbohidrat adalah padi-padian atau serelia, umbi-umbian,

kacang-kacangan dan gula. Sebagian besar sayur dan buah tidak mengadung

(67)

kacang-13

kacangan relatif lebih banyak mengandung karbohidrat dari pada sayur

daun-daunan (Almatsier, 2001).

2.4.2. Protein

Protein berfungsi sebagai pemeliharaan sel dalam tubuh,dan menyediakan

asam amino yang diperlukan untuk membentuk enzim pencernaan dan

metabolisme serta antibodi yang diperlukan. Kekurangan protein banyak terdapat

pada masyarakat sosial ekonomi rendah. Pada anak-anak dibawah 5 tahun

kekurangan protein dapat menyebabkan kwashiorkordan marasmus. Hal ini

terjadi karena terlambat menyapih, sehingga komposisi gizi makanan tidak

seimbang terutama dalam hal protein (Yuniastuti,2008)

Sumber utama protein adalah protein nabati yang berasal dari

tumbuh-tumbuhan seperti kacang-kacangan, sedangkan protein hewani yang berasal dari

hewan seperti daging, ikan, telur, dll.

2.5. Zat Gizi Mikro

Zat gizi mikro berperan untuk membantu mengatur berbagai fungsi tubuh

dan pembentukan antibodi. Balita yang terserang penyakit infeksi akan

menyebabkan antibodi dalam tubuh mengalami kerusakan, oleh sebab itu untuk

pembetukan antibodi kembali balita harus mengkonsumsi zat gizi mikro seperti

(68)

2.5.1. Vitamin A

Fungsi dari vitamin A adalah untuk penglihatan normal pada cahaya

remang, deferensiasi sel, kekebalan tubuh, pertumbuhan dan perkembangan serta

reproduksi. Menurut Almatsier (2001), angka kecukupan gizi yang di anjurkan

untuk vitamin A umur 1 – 3 tahun adalah 400 mg, umur 4 – 6 tahun 450 mg.

Sumber vitamin A hewani adalah hewani adalah hati, kuning telur, susu,

mentega sedangkan sumber vitamin A nabati adalah sayuran berwarna hijau tua,

sayuran dan buah berwarna kuning-jingga, daun singkong, kangkung, bayam,

kacang panjang, wortel, pepaya, tomat, jagung kuning dan mangga (Cakrawati

dan Mustika,2012).

2.5.2. Zinc (Seng)

Zinc berfungsi untuk mendukung sistem pertahanan tubuh yang baik,

untuk penyambuhan luka. Zinc terdapat pada berbagai bahan makanan, seperti biji

– bijian, sayuran hijau, jamur, tepung, dan makanan yang diragikan. Kebutuhan

zink 10 mg perhari (Sitorus, 2009). Sumber zinc yang tinggi dapat ditemukan

pada kemiri, seledri, biji buah semangka, jahe, lombok, buncis, sawi hijau, lobak

dan merica hitam (Irianto, 2013)

2.5.3. Zat Besi

Zat besi dibutuhkan tubuh manusia dalam pembentukan hemoglobin dan

dalam enzim oksidasi pada sel. Tiap sel darah merah mengandung 250.000.000

molekul hemoglobin dan 1.000.000.000 atom zat besi (Sitorus, 2009).

Zat besi berfungsi sebagai cadangan untuk memproduksi hemoglobin.

(69)

15

serta sistem kekebalan tubuh. Angka kecukupan besi terdapat pada hati, daging,

telur, kacang-kacangan, keju, ikan, sayuran hijau, sereal, dan buah-buahan(Irianto

dan Waluyo,2007)

2.6. Pola Pemberian Makanan dengan Kejadian Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA)

Pola pemberian makan dapat di jadikan media untuk mendidik anak

supaya dapat menerima, menyukai, memilih makanan yang baik, juga untuk

menentukan jumlah makanan yang cukup dan bermutu (Santoso,2011). Pola

pemberian makanan dapat mempengaruhi status gizi balita, karena pola

pemberian makanan yang seimbang sesuai dengan kebutuhan dan disertai dengan

pemilihan makanan yang tepat akan menjadikan status gizi yang baik.Asupan

makanan yang kurang memenuhi yang di butuhkan akan menyebabkan anak

megalami gizi kurang(Sulistyoningsih, 2011).

Hasil penelitian yang dilakukan Purwani (2013), bahwa ada hubungan

yang signifikan antara pola pemberian makan dengan status gizi pada anak usia 1–

5 tahun. Maka dari itu disarankan agar ibu-ibu selalu menerapkan pola pemberian

makan yang baik dalam pemilihan makanan dan gizi makanannya.

Akibat gizi kurang pada tubuh anak bergantung pada zat-zat gizi apa yang

kurang. Kekurangan gizi secara umum menyebabkan gangguan pada proses daya

tahan tubuh. Jika sistem dan antibodi berkurang akan mudah terserang penyakit

infeksi seperti batuk dan pilek dan hal ini bisa membawa kematian(Almatsier,

(70)

2.7. Penilaian Status Gizi pada Balita

Status gizi adalah keadaan tubuh sebagai akibat konsumsi makanan dan

penggunaan zat-zat gizi. Dibedakan antara status gizi buruk, kurang, baik, dan

lebih (Almatsier, 2001). Status gizi adalah ekspresi dari keadaan keseimbangan

dalam bentuk variable tertentu, atau perwujudan dari nutriture dalam bentuk

variable tertentu (Supariasa dkk, 2001).

Standar acuan status gizi balita adalah berat badan menurut umur (BB/U),

berat badan menurut tinggi badan (BB/TB), dan tinggi badan menurut umur

(TB/U). Sementara klasifikasinya adalah normal, underweight (kurus), dan

gemuk. Untuk acuan yang menggunakan tinggi badan, jika kondisinya kurang

baik disebut stunted (pendek). Pedoman yang digunakan adalah standart

berdasarkan tabel WHO-NCHS, bila berat badannya kurang, maka status gizinya

kurang (Marimbi,2010).

Terdapat beberapa cara untuk mengukur status gizi pada balita,yaitu dengan

pengukuran antropometri, klinik dan laboratorik. Pengukuran antropometri adalah

pengukuran yang relatif sederhana dan banyak dilakukan (Soekirman, 2000).

Penilaian status gizi secara tidak langsung dilakukan dengan cara antropometri.

Antropometri adalah ukuran tubuh manusia. Apabila ditinjau dari sudut pandang

gizi, maka antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran

dimensi tubuh dari berbagai ketidakseimbangan antara asupan protein dan energi

(Supariasa dkk, 2001).

Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi antropometri adalah faktor

(71)

17

makanan dan kesehatan berupa penyakit infeksi. Pengukuran antropometri dapat

dilakukan dengan berbagai macam pengukuran, yaitu pengukuran berat badan,

tinggi badan, lingkarlengan atas dan sebagainya. Dari beberapa pengukuran

tersebut, pengukuan berat badan, tinggi badan dan lingkar lengan atas sesuai umur

adalah pengukuran yang sering dilakukan dalam survey gizi (Soekirman, 2000).

a. Indikator BB/U

Berat badan adalah salah satu parameter yang memberikan gambaran massa

tubuh. Massa tubuh sangat sensitif terhadap perubahan-perubahan yang

mendadak, misalnya karena terserang infeksi, penurunan nafsu makan, atau

menurunkan jumlah makanan yang dikonsumsi (Supariasa dkk, 2001). Kelebihan

indikator ini adalah sensitif untuk melihat perubahan status gizi dalam jangka

waktu pendek, juga dapat digunakan untuk mendeteksi kegemukan (Soekirman,

2000).

b. Indikator TB/U

Indikator TB/U merupakan indikator pengukuran antropometri yang

menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pada keadaan normal, tinggi

badan tumbuh seiring dengan pertumbuhan umur. Pertumbuhan tinggi badan

relatif kurang sensitif terhadap masalah kekurangan gizi dalam waktu pendek.

Pengaruh devisiensi zat gizi terhadap tinggi badan anak nampak dalam waktu

yang relatif lama (Supariasa dkk, 2001). Indikator TB/U menggambarkan status

gizi masa lalu dan dapat menggambarkan keadaan sosial ekonomi penduduk

(72)

c. Indikator BB/TB

Berat badan memiliki hubungan linear dengan tinggi badan. Dalam kondisi

normal, perkembangan berat badan akan searah dengan pertumbuhan tinggi badan

dengan kecepatan tertentu (Supariasa dkk, 2001). Indikator BB/TB ini dapat

menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik, terutama

apabila data umur yang akurat sulit diperoleh (Soekirman, 2000).

Metode dalam Penilaian Status Gizi dibagi ke dalam 3 kelompok, yaitu:

1. Penilaian secara langsung yang terdiri dari pemeriksaan tanda-tanda klinis,

tes laboratorium, metode biofisik, dan antropometri.

2. Penilaian dengan melihat statistik kesehatan yang biasa disebut dengan

penilaian status gizi tidak langsung.

Pengukuran antropometri adalah yang relatif paling sederhana dan banyak

dilakukan dengan beberapa macam pengukuran, yaitu pengukuran terhadap berat

badan, tinggi badan, lingkar lengan atas, lingkar kepala, tebal lemak, dan

sebagainya. Dari beberapa pengukuran tersebut, berat badan, tinggi badan dan

lingkar lengan sesuai dengan usia adalah yang paling sering dilakukan dalam

survei gizi. Hasilnya kemudian dibandingkan dengan suatu standar internasional

yang ditetapkan oleh WHO.

Indeks antropometri yang umum digunakan dalam menilai status gizi adalah

berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U) dan berat

badan menurut tinggi badan (BB/TB).

Dari berbagai indeks tersebut, untuk menginterpretasikan dibutuhkan

(73)

19

Tabel 2.1 Kategori Status Gizi Berdasarkan Indikator Yang Digunakan

Indikator Status Gizi Keterangan

BB/U BB Sangat Kurang

Berbagai jenis indeks di atas, untuk menginterpretasikanya dibutuhkan

ambang batas. Penentuan ambang batas diperlukan kesepakatan para ahli gizi.

Ambang batas tersebut dapat disajikan dalam standar deviasi unit. Standar Deviasi

disebut juga dengan Z-score. WHO menyarankan untuk mengunakan cara ini

untuk meneliti dan untuk memantau pertumbuhan. Pertumbuhan nasional untuk

suatu populasi dinyatakan dalam positif dan negatif 2 SD unit (Z-score) dari

median. Dibawah nilai median -2 SD unit dinyatakan gizi kurang (Supariasa dkk,

2001).

Rumus perhitungan Z-score adalah :

Z – score = Nilai Individu Subyek – Nilai Median Baku Rujukan

Gambar

Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Ibu Umur
Tabel 4.2.  Distribusi Balita berdasarkan Jenis Kelamin dan Kelompok Umur
Tabel 4.4. Distribusi Berdasarkan Frekuensi dan Jenis Makanan Yang  Dikonsumsi
Tabel 4.5. Distribusi Asupan Karbohidrat Balita Berdasarkan Kelompok Umur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari identifikasi kondisi penyelenggaraan pelayanan saat ini atau yang sedang berjalan adalah untuk mengenali, mendata, dan mengetahui sejauh mana kondisi atau kapasitas/

Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2014 1... Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2014

Kepala Unit terkait melakukan klarifikasi tertulis dengan format borang yang ada (dengan menggunakan aplikasi e-complaint) tentang keluhan tersebut dan menyampaikannya kepada

Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2014 1... Himpunan Peraturan Gubernur Tahun 2014

Kepala Unit terkait melakukan klarifikasi tertulis dengan format borang yang ada (dengan menggunakan aplikasi e-complaint) tentang keluhan tersebut dan menyampaikannya kepada

Universitas Sumatera

For other rows, transform Pivot Column to leaving basic variable column... Divide Right Side value by

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan model Group Investigation berbantu permainan ular tangga dapat meningkatkan keterampilan guru dan hasil belajar siswa pada mata