• Tidak ada hasil yang ditemukan

Status dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan di Kabupaten Samosir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Status dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan di Kabupaten Samosir"

Copied!
90
0
0

Teks penuh

(1)

STATUS DAN KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA

(FMA) PADA TANAH BEKAS KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN SAMOSIR

LUSI ASTRI SIMAMORA 101201095

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

STATUS DAN KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA

(FMA) PADA TANAH BEKAS KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN SAMOSIR

SKRIPSI Oleh:

LUSI ASTRI SIMAMORA 101201095

BUDIDAYA HUTAN

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

STATUS DAN KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA

(FMA) PADA TANAH BEKAS KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN SAMOSIR

SKRIPSI Oleh:

LUSI ASTRI SIMAMORA 101201095/BUDIDAYA HUTAN

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(4)

Judul Skripsi : Status dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan di Kabupaten Samosir

Nama : Lusi Astri Simamora

NIM : 101201095

Program Studi : Kehutanan

Disetujui Oleh Komisi Pembimbing

Ketua Anggota

Dr. Deni Elfiati, SP, MP

NIP. 196812142002 12 2001 NIP. 196907232002 12 1001 Dr. Delvian, SP, MP

Mengetahui,

Ketua Program Studi Kehutanan

(5)

ABSTRAK

LUSI ASTRI SIMAMORA: Status dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan di Kabupaten Samosir, dibimbing oleh DENI ELFIATI dan DELVIAN.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui status dan keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada tanah bekas kebakaran hutan di kabupaten Samosir. Sampel tanah dan akar tanaman diambil dari lokasi yang terbakar pada tahun kejadian yang berbeda selama 5 tahun berturut dan satu lokasi sebagai pembanding. Parameter yang diamati yaitu derajat infeksi akar, kepadatan spora dan identifikasi jenis spora. Identifikasi mikoriza dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, dimulai pada bulan Mei sampai September 2014. Karakteristik morfologi yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis FMA adalah bentuk ketebalan dinding sel, ada tidaknya substanding hifa, kehalusan permukaan dan reaksi spora terhadap melzers.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata kepadatan spora dari lapangan dan hasil trapping, untuk persentase kolonisasi FMA pada akar tanaman sebesar 50.65% termasuk kelas 3 dan 4 atau kategori tinggi. Ditemukan 2 genus, yaitu Genus Acalauspora dan Genus Glomus. Dari lapangan ditemukan sebanyak 35 tipe spora dan hasil trapping ditemukan sebanyak 40 tipe spora.

(6)

ABSTRACT

LUSI ASTRI SIMAMORA: Status and Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) on The former Soil Forest Fir at Samosir Regency, Suvervised by DENI ELFIATI and DELVIAN.

This research aims to study and know the status and diversity of Mycorrhizal Fungi Fungi (AMF) on the former land of forest fires at Samosir regency. The samples of soil and roots of plants taken from the location of the fire in separate incidents for 5 consecutive years and the location as a comparator. Parameters observed that the degree of root infection, spores density and identification of the type of spores. Identification of mycorrhizae implemented at the Laboratory of Soil Biology, Faculty of Agriculture, University of North Sumatra, begin in May until September 2014. Morphology characteristics used to identify the type of FMA is a form of cell wall thickness, presence or absence of substanding hyphae, surface smoothness and spores reaction to melzers.

The results show that an increase in the average density of spores from the field and the results of trapping, for the percentage of AMF colonization in the roots of plants at 50.65% include grade 3 and 4 or high categories. Found 2 genus, namely Genus Acaulospora and Genus Glomus. Of the field found as many as 35 types of spores and trapping results are found as many as 40 types of spores.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Desa Sibuntuon pada tanggal 19 Agustus 1992 dari

ayah T. Simamora dan ibu J. Siburian. Penulis merupakan anak pertama dari lima

bersaudara.

Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar dari SD Negeri 173439

Sibuntuon, Sijamapolang pada tahun 2004, pendidikan tingkat Sekolah Menengah

Pertama dari SMP Negeri 1 Sijamapolang pada tahun 2007, pendidikan tingkat

Sekolah Menengah Atas dari SMA Negeri 1 Sijamapolang tahun 2010 dan pada

tahun 2010 masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Ujian Masuk Bersama

(UMB). Penulis memilih Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian dan pada

semester VII memilih minat studi Budidaya Hutan.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan

Mahasiswa Sylva (HIMAS) USU. Penulis mengikuti Praktik Pengenalan

Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Hutan Raya Bukit Barisan, Gunung Barus dan Hutan Pendidikan USU Kabupaten Karo selama 10 hari.

Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di HPH PT. Teluk

Nauli, Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah mulai tanggal 31 Januari-1 Maret

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas

berkat dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian

yang berjudul “Status dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan di Kabupaten Samosir”.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui status dan

keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada tanah bekas kebakaran

hutan. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi

mengenai status dan keanekaragaraman jenis fungi mikoriza arbuskula pada tanah

bekas kebakaran hutan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada

Dr. Deni Elfiati, SP, MP selaku ketua komisi pembimbing, kepada

Dr. Delvian, SP, MP selaku anggota pembimbing, kepada kedua orang tua dan

teman-teman atas waktu, bimbingan, arahan, doa, dukungan, dan kesabarannya

dalam proses penyelesaian hasil penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hasi penelitian ini masih

banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik

dan saran yang sifatnya membangun agar tulisan ini lebih baik lagi. Akhir kata

penulis mengucapkan terimakasih.

Medan, Desember 2014

(9)

DAFTAR ISI

BAB II: TINJAUAN PUSTAKA A.Dampak Kebakaran Hutan ... 4

B.Sifat Kimia Tanah ... 6

C.Mengenal Mikoriza ... 9

D.Struktur Umum Fungi Mikoriza Arbuskula... 11

E. Hasil Penelitian pada Berbagai Ekosistem... 13

F. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 14

BAB III: BAHAN DAN METODE A.Waktu dan Tempat... 15

B.Bahan dan Alat... 15

C.Metode Penelitian ... 16

Pembuatan Petak ... 16

Pengambilan Sampel Tanah ... 16

Pengambilan Sampel Akar ... 17

Analisis Tanah ... 17

Ekstraksi dan Identifikasi Spora FMA ... 17

Kolonisasi FMA pada Akar Tanamn Sampel ... 18

Pemerangkapan (Trapping culture) ... 20

Pengamatan ... 21

BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN A.Kondisi Kandungan Kimia Tanah Kebakaran Hutan... 22

B.Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)... 24

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan... 31

B.Saran... 31 DAFTAR PUSTAKA

(10)

DAFTAR TABEL

No. Hal.

1. Data Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah Kebakaran di Kabupaten samosir.. 22

2. Data Persentase Kolonisasi Fungi Mikoriza Arbuskula pada Akar Tanaman...26

3. Rata-rata kepadatan spora setiap tahun kebakaran di Lapangan... 27

4. Rata-rata kepadatan Spora hasil trapping... 28

5. Tipe Spora dan karakteristik spora di lapangan tahun 2010 ...29

6. Tipe Spora dan karakteristik spora di lapangan tahun 2011...33

7. Tipe Spora dan karakteristik spora di lapangan tahun 2012...36

8. Tipe Spora dan karakteristik spora di lapangan tahun 2013...39

9. Tipe Spora dan karakteristik spora di lapangan tahun 2014...42

10. Tipe Spora dan karakteristik spora di lapangan pada tanah kontrol...…...44

11. Tipe dan karakteristik spora hasil trapping tahun 2010...47

12. Tipe dan karakteristik spora hasil trapping tahun 2011...51

13. Tipe dan karakteristik spora hasil trapping tahun 2012...53

14. Tipe dan karakteristik spora hasil trapping tahun 2013...57

15. Tipe dan karakteristik spora hasil trapping tahun 2014...60

16. Tipe dan karakteristik spora hasil trapping tahun pada tanah kontrol...62

17. Tipe Spora yang ada pada Tahun Pengamatan di Lapangan... 66

(11)

DAFTAR GAMBAR

No. Hal.

1. Hifa pada Fungi Mikoriza Arbuskula ... 24

(12)

ABSTRAK

LUSI ASTRI SIMAMORA: Status dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan di Kabupaten Samosir, dibimbing oleh DENI ELFIATI dan DELVIAN.

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui status dan keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada tanah bekas kebakaran hutan di kabupaten Samosir. Sampel tanah dan akar tanaman diambil dari lokasi yang terbakar pada tahun kejadian yang berbeda selama 5 tahun berturut dan satu lokasi sebagai pembanding. Parameter yang diamati yaitu derajat infeksi akar, kepadatan spora dan identifikasi jenis spora. Identifikasi mikoriza dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, dimulai pada bulan Mei sampai September 2014. Karakteristik morfologi yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis FMA adalah bentuk ketebalan dinding sel, ada tidaknya substanding hifa, kehalusan permukaan dan reaksi spora terhadap melzers.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata kepadatan spora dari lapangan dan hasil trapping, untuk persentase kolonisasi FMA pada akar tanaman sebesar 50.65% termasuk kelas 3 dan 4 atau kategori tinggi. Ditemukan 2 genus, yaitu Genus Acalauspora dan Genus Glomus. Dari lapangan ditemukan sebanyak 35 tipe spora dan hasil trapping ditemukan sebanyak 40 tipe spora.

(13)

ABSTRACT

LUSI ASTRI SIMAMORA: Status and Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) on The former Soil Forest Fir at Samosir Regency, Suvervised by DENI ELFIATI and DELVIAN.

This research aims to study and know the status and diversity of Mycorrhizal Fungi Fungi (AMF) on the former land of forest fires at Samosir regency. The samples of soil and roots of plants taken from the location of the fire in separate incidents for 5 consecutive years and the location as a comparator. Parameters observed that the degree of root infection, spores density and identification of the type of spores. Identification of mycorrhizae implemented at the Laboratory of Soil Biology, Faculty of Agriculture, University of North Sumatra, begin in May until September 2014. Morphology characteristics used to identify the type of FMA is a form of cell wall thickness, presence or absence of substanding hyphae, surface smoothness and spores reaction to melzers.

The results show that an increase in the average density of spores from the field and the results of trapping, for the percentage of AMF colonization in the roots of plants at 50.65% include grade 3 and 4 or high categories. Found 2 genus, namely Genus Acaulospora and Genus Glomus. Of the field found as many as 35 types of spores and trapping results are found as many as 40 types of spores.

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

Keberadaan FMA di alam bersifat kosmopolitan, artinya fungi mikoriza

bisa ditemukan pada berbagai ekosistem. Mikoriza ini memiliki kemampuan

bersimbiosis dengan hampir 90% jenis tanaman. Fungi mikoriza penting di bidang

pertanian dan kehutanan untuk transfer nutrisi dua arah antara inang dan fungi

tersebut (yaitu, saluran karbon inang dan penyerapan nutrisi mineral tanah)

sehingga mendorong berbagai proses siklus hara dalam tanah. Mikoriza umumnya

dibagi menjadi ektomikoriza (hifa fungi tidak menembus sel-sel akar) dan

endomikoriza (hifa fungi menembus dinding sel akar). Endomikoriza cukup

bervariasi dan selanjutnya digolongkan sebagai arbuskular, ericoid, arbutoid,

monotropoid dan anggrek mikoriza (Gerdemann, 1968). Fungi mikoriza

arbuskula ini berhabitat di tanah dan membentuk simbiosis yang menguntungkan

dengan akar angiosperma dan tanaman lainnya. Fungi mikoriza arbuskula

termasuk Famili Endogonoceae, Ordo Muccorales, Kelas Zygomycetes

(Gerdemann dan Trappe, 1968). FMA memiliki beberapa genus yaitu

Acalauspora, Entrophospora, Gigaspora, Glomus, Sclerocytis dan Scutellospora. Adanya simbiosis mutualistik antara FMA dengan perakaran tanaman

dapat membantu pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik, terutama pada

tanah-tanah marjinal. Hal ini karena jamur mikoriza membantu tanaman mencengkram

tanah dan meningkatkan luas permukaan serapan akar, sehingga dapat

(15)

kemampuan untuk kelangsungan hidup dan kesehatan tanaman inang

(Hanafiah et al., 2009).

Fungi mikoriza arbuskula dapat ditemukan hampir pada sebagian besar

tanah, pada umumnya tidak mempunyai inang yang spesifik. Namun tingkat

populasi dan tingkat komposisi jenis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh

karakteristik tanaman dan sejumlah faktor lingkungan seperti suhu, pH,

kelembapan tanah dan kandungan fosfor dan nitrogen. Suhu terbaik untuk

perkembangan FMA adalah pada suhu 30°C, tetapi untuk kolonisasi miselia yang

terbaik adalah pada suhu 28-35°C (Suhardi, 1989; Setiadi, 2001;

Powell dan Bagyaraj, 1984).

Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan FMA.

Lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman biasanya juga cocok untuk

perkembangan spora FMA. Fungi ini dapat hidup dalam tanah yang berdrainase

baik hingga yang tergenang seperti lahan sawah. FMA banyak dijumpai pada

tanah dengan kadar mineral tinggi, baik pada hutan primer, hutan sekunder,

kebun, padang alang-alang, pantai dengan salinitas tinggi, dan lahan gambut

(Soelaiman dan Hirata, 1995). Karena lingkungan hidup FMA yang sangat luas,

FMA sering dijadikan dasar dalam upaya bioremediasi lahan kritis.

Meskipun FMA tersebar hampir merata di seluruh permukaan bumi,

namun keberadaannya ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan dan tanah.

Distribusi dan kelimpahan FMA berhubungan erat dengan kandungan hara dan

ketersediaan air tanah, ketinggian tempat, temperatur, dan beberapa sifat kimia

(16)

Salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan FMA berdasarkan

uraian diatas adalah suhu (temperatur). Pada tanah bekas kebakaran cenderung

mengalami peningkatan suhu diakibatkan dari pengaruh langsung dari kebakaran

tersebut yaitu panas yang dihasilkan. Kebakaran serasah akan secara langsung

dapat menaikkan suhu tanah. Hasil pembakaran yang terbentuk arang dan

berwarna hitam akan menyerap sinar matahari sehingga suhu tanah akan naik.

Pemanasan tanah akan berakibat buruk pada organisme renik

(Soemardi dan Widyastuti, 2002).

Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian pada tanah bekas

kebakaran hutan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai status

dan keberadaan FMA pada berbagai jenis tanaman yang tumbuh pada tanah bekas

kebakaran hutan tersebut. Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditemukan dan

diketahui jenis FMA yang dominan pada tanah bekas kebakaran.

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui status dan

keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada tanah bekas kebakaran

hutan.

C.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi

mengenai status dan keanekaragaman jenis fungi mikoriza arbuskula pada tanah

(17)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Dampak Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan, secara langsung mempengaruhi seluruh kelompok

organisme tanah dan mengalami penurunan. Pengaruh langsung ini akibat panas

yang dihasilkan dari pembakaran, sehingga organisme tanah banyak yang

mengalami kematian. Perubahan suhu tanah dan hilangnya lapisan serasah, juga

bisa menyebabkan perubahan terhadap karakteristik habitat dan iklim mikro.

Abidin (2004) menyatakan bahwa penurunan organisme tanah setelah kebakaran,

baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan makanan untuk

organisme kecil dan tersedianya makanan bagi predator.

Kebakaran hutan menyebabkan bahan makanan untuk organisme menjadi

sedikit, kebanyakan organisme tanah mudah mati oleh api dan segera

menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan menyebabkan

penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat. Efek negatif

ini biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya kembali

menjadi banyak lagi dalam beberapa tahun (Sutedjo dan Kartasapoetra , 2005).

Kebakaran hutan mempengaruhi tekstur tanah. Komponen tekstur tanah

(pasir, debu, dan liat) memiliki ambang batas suhu tinggi dan biasanya tidak

dipengaruhi oleh api kecuali mengalami pengaruh suhu tinggi di permukaan

mineral tanah (horizon A). Fraksi tekstur tanah yang paling sensitif adalah tanah

liat, yang mulai berubah pada suhu tanah sekitar 4000C ketika hidrasi tanah liat

(18)

Ulery dan Graham (1993) melaporkan bahwa setelah kebakaran lapisan

tanah memerah dan kandungan liat secara signifikan berkurang dari tanah tidak

terbakar. Lapisan hitam dan ukuran agregat pasir terbentuk di permukaan tanah

selama pembakaran mengubah distribusi ukuran partikel dan menghasilkan

tekstur lebih kasar lebih besar dari pasir. Pembakaran menghasilkan tekstur yang

lebih halus di satu lokasi karena peningkatan dalam fraksi debu, hasil dari

dekomposisi partikel pasir kaolinized. pH tanah umumnya meningkat setelah

kebakaran hutan. Namun peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada suhu

yang lebih tinggi (450-5000C). Keberadaan debu dapat meningkatkan pH tanah karena pH debu yang tinggi.

Berdasarkan tipe kebakaran, kebakran dapat dibagi kedalam tiga tipe

kebakaran yaitu:

1. Kebakaran Bawah (Ground Fire)

Api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah yang pada umumnya

berupa humus dan gambut. Penjalaran api berlangsung secara perlahan dan tidak

dipengaruhi oleh angin, tanpa nyala, sehingga sulit untuk dideteksi dan kontrol.

Dilihat dari dampaknya, tipe kebakaran ini merupakan tipe yang paling merusak

lingkungan(Soemardi dan Widyastuti, 2002).

2. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)

Api pada kebakaran ini membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah

pembakaran dan bahan bakar lainnya yang terdapat di lantai hutan. Energi

kebakaran dapat rendah sampai tinggi. Dalam penjalarannya, dipengaruhi oleh

(19)

tajuk pohon (crowning out). Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling umum terjadi di hampir semua tegakan hutan (Soemardi dan Widyastuti, 2002).

3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)

Pada tipe ini, api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon berikutnya. Arah

dan kecepatan penjalaran api sangat dipengaruhi oleh angin, sehingga api

menjalar dengan sangat cepat dan sulit untuk dikendalikan. Biasanya terjadi pada

tegakan konifer dan api berasal dari kebakaran permukaan, yaitu ranting atau

bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin. Disamping itu kebakaran tipe ini

juga dapat menghasilkan api loncat (spot fire), yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin dan menimbulkan kebakaran baru di tempat

lain (De Bano et al., 1998).

B. Sifat Kimia Tanah

Sifat kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah pada

umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Pertumbuhan tanaman sangat

dipengaruhi oleh pH tanah. Setiap kelompok jenis tanaman membutuhkan pH tertentu

untuk pertumbuhan dan produksinya yang maksimum. pH tanah (reaksi tanah) adalah

suatu hal yang penting untuk mempelajari tanah, sebab salah satu fisiologi yang

khas dari larutan tanah adalah reaksinya. Dan bagi organisme tanah

(mikroorganisme dan tanaman tingkat tinggi) dalam menanggapi lingkungan

kimianya begitu nyata (Yuliprianto, 2010).

Faktor-faktor yang mempengaruhi pH tanah antara lain dekomposisi bahan

organik, pengendapan, kedalaman tanah, penggenangan. Bahan organik tanah

yang diuraikan oleh mikroorganisme menjadi bentuk-bentuk asam-asam organik,

(20)

karbonat ini akan bereaksi dengan unsur Mg dan Ca yang ada dalam tanah, untuk

membentuk bikarbonat yang lebih mudah larut dalam tanah yang bisa tercuci ke

luar yang akhirnya akan meninggalkan tanah yang lebih masam. Curah hujan

yang tinggi akan mencuci kation-kation basa yang ada di tapak jerapan tanah yang

kemudian akan digantikan oleh kation-kation masam seperti Al, H dan Mn. Oleh

karena itu tanah yang terbentuk biasanya lebih masam dibandingkan dengan

tanah-tanah pada lahan kering. Pengaruh keseluruhan dari penggenangan adalah

penurunan pH tanah (Winarso, 2005).

Keasaman tanah merupakan salah satu sifat yang penting, sebab terdapat

beberapa hubungan pH dengan ketersediaan unsur hara, juga terdapat hubungan

antara pH dan semua pembentukan tanah serta sifat-sifat tanah. Sejumlah

organisme memiliki toleransi yang agak kecil terhadap variasi pH, tetapi beberapa

organisme lain dapat toleran terhadap kisaran pH yang besar (Foth, 1988).

Pengaruh pH tempat tumbuh terhadap sifat mikrobia sangat bervariasi.

Beberapa tidak berbeda, seperti halnya sejumlah besar jamur. Umumnya jamur

toleran terhadap kemasaman (pH 4.0-6.5). Sedangkan untuk bakteri lebih

menyukai kondisi netral (pH 6.0-7.5). Sebagian bersifat neutrofil (Azotobacter,

Nitrobacter) yang lain bersifat acidicil (Thiobacillus thiooxidans) (Hanafiah et al., 2009).

Hubungan pH dengan KTK sangat erat yaitu pada pH rendah, hanya

muatan permanen liat, dan sebagian muatan koloid organik memegang ion yang

dapat digantikan melalui pertukaran kation. Dengan demikian KTK relatif rendah.

Hal ini disebabkan oleh kebanyakan tempat pertukaran kation koloid organik dan

(21)

dipertukarkan. Dengan meningkatnya pH, hidrogen yang diikat koloid organik

dan liat berionisasi dan dapat digantikan. Demikian pula ion hidroksi-Al yang

terjerap akan dilepaskan dan membentuk Al(OH)3. Dengan demikian terciptalah

tapak-tapak pertukaran baru pada koloid liat. Beriringan dengan

perubahan-perubahan itu KTK pun meningkat (Hakim et al., 1986).

Fosfor memiliki peranan yang sangat penting untuk semua aktifitas

biokimia dalam sel hidup. Masalah utama dalam pengambilan fosfor dari tanah

oleh tanaman adalah kelarutan yang rendah dari sebagian besar campuran fosfor

dan konsentrasi fosfor yang dihasilkan sangat rendah dalam lapisan tanah pada

setiap waktu tertentu (Foth, 1988).

Api mempengaruhi biologi organisme baik secara langsung maupun tidak

langsung. Efek langsung menyebabkan perubahan dalam jangka pendek. Pada

efek langsung setiap organisme tertentu terpapar langsung ke dalam api, sinar

pembakaran, uap panas, atau terjebak di lingkungan tanah dan lainnya di mana

cukup banyak panas ditransfer langsung ke lingkungan organisme dan menaikkan

suhu yang cukup untuk membunuh atau merusak organisme. Efek tidak langsung

biasanya menyebabkan perubahan jangka panjang dalam lingkungan yang

mempengaruhi kehidupan dari organisme biologis (biota tanah). Efek tidak

langsung ini dapat melibatkan persaingan untuk habitat, persediaan makanan dan

perubahan yang lebih halus lain yang mempengaruhi pembentukan kembali dan

(22)

C.Mengenal Mikoriza

Kata mikoriza terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu

Mykes (fungi) dan Rhiza (akar). Kata mikoriza pertama kali dikemukakan oleh Frank (1885) dalam Armson (1977) yang melihat fungi di dalam sel akar tumbuhan yang ditelitinya di Jawa antara lain akar jati. Mikoriza secara harfiah

berarti fungi akar. Dalam konteks ini merupakan kandungan simbiotik dan

mutualistik menguntungkan antara fungi non patogen dengan sel-sel akar yang

hidup, terutama sel epidermis dan korteks. Frank membedakannya menjadi dua

golongan yakni ekto dan endomikoriza. Kebanyakan simbiosis yang tersebar luas

diantara tanaman adalah mikoriza yang meliputi berbagai macam fungi yang menempati

akar dan akar penyerap (Fakuara, 1988; Suhardi, 1989).

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan salah satu tipe fungi endomikoriza

yang masuk dalam kelas zygomycetes dengan ordo Glomales. Terdiri dari dua sub ordo

yaitu sub ordo satu Gigasporineae famili Gigasporaceae dengan dua genus yaitu

Gigaspora dan Scuttellospora, sub ordo dua yaitu Glomineae dan terdiri dari dua famili

yaitu Glomaceae dengan genus Sclerocytis dan Glomus, famili Acaulosporaceae dengan

genus Acaulospora dan Entrophospora (Kramadibrata, 1999).

Fungi mikoriza arbuskula yang membentuk asosiasi simbiotik dengan akar

tanaman inangnya yang dapat hidup di dalam dan di luar jaringan akar (dalam

tanah), fenomena ini dapat secara langsung berinteraksi dengan mikrobia tanah

lainnya atau melalui fisiologi inang (akar dan pola eksudasi). Selain itu juga

dipengaruhi oleh inang dan faktor edafik seperti pH tanah, kelembapan, komposisi

nutrisi, bahan organik dan sifat fisik inang (Lestari, 1998).

Fungi mikoriza memelihara kesehatan hutan secara keseluruhan. Fungi ini

(23)

perlindungan terhadap patogen akar. Stendell et al. (1999) mempelajari bahwa total biomassa ektomikoriza di plot tidak terbakar tidak berbeda untuk setiap

lapisan inti, sementara di lokasi dibakar, kerusakan lapisan organik serasah

mengakibatkan pengurangan delapan kali lipat total biomassa ektomikoriza.

Biomassa mikoriza dalam dua lapisan mineral tidak berkurang secara signifikan

oleh api. Kebakaran hutan dapat mempengaruhi fungi mikoriza arbuskula dengan

mengubah kondisi tanah dan dengan langsung mengubah penyebaran fungi

mikoriza arbuskula. Bila dibandingkan dengan daerah kontrol terdekat, lokasi

kebakaran memiliki jumlah yang sama dari total spora tetapi jumlah yang lebih

rendah dari propagul fungi mikoriza arbuskula (Verma dan Jayakumar, 2012).

Menurut Verma dan Jayakumar (2012) sifat biologi tanah sangat

terpengaruh oleh terjadinya kebakaran. Hal ini karena sensitivitas

mikro-organisme dan invertebrata terhadap suhu tinggi. Api mengurangi jumlah dan

diversitas dari invertebrata dan mikro-organisme tanah. Tapi dibandingkan

dengan mikro-organisme, hunian invertebrata tanah kurang terpengaruh karena

mobilitas tinggi dan kebiasaan menggali.

Menurut Nelson dan Safir (1982) bahwa keadaan tergenang akan

mengurangi infeksi mikoriza karena menyebabkan suasana anaerob yang tidak

sesuai bagi jamur untuk bertahan dan berkembang sedangkan pada kelembaban

tinggi akan menghambat perkembangan spora. Kekeringan tidak menghambat

pertumbuhan mikoriza namun meningkatkan perkembangan akar lateral dan

setelah kolonisasi membantu laju pemanjangan akar dan jumlah mikoriza

(24)

Ketersediaan unsur P dalam tanah memiliki hubungan yang berbanding

terbalik dengan derajat infeksi mikoriza pada akar tanaman dan kelimpahan spora

(Gianinazi-Pearson dan Diem, 1982). Mosse (1981) menyatakan bahwa kadar P

yang tinggi dapat menyebabkan permeabilitas dan eksudasi akar menurun. Hal ini

diduga menjadi penyebab terhambatnya perkecambahan spora dan infeksi

mikoriza pada akar tanaman inang.

Infeksi bibit pohon oleh fungi pembentuk mikoriza terjadi pada masa

pertumbuhan pertama setelah daun primer telah dihasilkan. Infeksi bisa dari akar

mikoriza atau dari spora. Tidak semua akar pohon akan terinfeksi dan bentuk akar

yang terinfeksi akan beragam. Menyebar, berbentuk piramida, coralloid, dan

nodular adalah istilah yang mendeskripsikan bentuk tertentu dari akar yang

terinfeksi oleh fungi mikoriza. Endomikoriza biasanya tidak memiliki lapisan luar

dan hifa ditemukan dalam sel tanaman. Seringkali vesikel besar dihasilkan di

dalam atau di luar akar (Armson, 1977).

D.Struktur Umum Fungi Mikoriza Arbuskula

Struktur FMA meliputi hifa eksternal, hifa internal, spora, arbuskula atau

vesikula. Infeksi fungi hanya pada korteks primer sehingga tidak menyebabkan

kerusakan pada jaringan akar. Proses infeksi dimulai dengan pembentukan

apresorium pada permukaan akar oleh hifa eksternal, dan selanjutnya hifa akan

menembus sel-sel korteks akar melalui rambut akar atau sel epidermis. Hifa dari

FMA tidak bersekat, hifa ini terdapat diantara sel-sel korteks akar dan

bercabang-cabang di dalamnya, tetapi tidak sampai masuk ke jaringan stele. Di dalam sel-sel

yang terinfeksi terbentuk gelung hifa atau cabang-cabang hifa kompleks yang

(25)

Endomikoriza dicirikan oleh hifa yang intraseluler, yaitu hifa yang

menembus ke dalam sel-sel korteks dan dari sel yang satu ke sel yang lain.

Diantara sel-sel terdapat hifa yang membelit atau struktur hifa yang

bercabang-cabang yang disebut arbuskula dan pembengkakan yang terbentuk pada hifa yang

mengandung minyak yang disebut vesikular sehingga struktur ini adalah dasar

untuk menunjukkan endomikoriza sebagai mikoriza vesikuler-arbuskular. Vesikel

berfungsi sebagai tempat penyimpanan yang diameternya lebih kecil dari 1 mm.

Sedangkan arbuskula berfungsi menyediakan unsur hara atau mentransfer hara

dari tanah ke tanaman sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman

(Armson, 1977).

Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara

tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis funginya.

Perkecambahan spora sangat sensitif tergantung kandungan logam berat di dalam

tanah dan juga kandungan Al, kandungan Mn juga mempengaruhi pertumbuhan

miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai beberapa

tahun. Namun untuk perkembangan FMA memerlukan tanaman inang. Spora

dapat disimpan dalam waktu lama sebelum digunakan lagi (Mosse, 1981).

Kebanyakan penelitian menangani keanekaragaman FMA bergantung

pada identifikasi morfologi spora FMA yang diperoleh baik secara langsung dari

lapangan atau dari budaya perangkap. Spora dari lapangan yang dikumpulkan,

namun, dalam beberapa keadaan, kekurangan informasi karakteristik taksonomi

mempengaruhi identifikasi yang lebih akurat. Pembuatan budaya perangkap

(26)

mudah diidentifikasi dan mempermudah mengetahui keanekaragaman spesies

FMA (Leal et al., 2009).

E. Hasil Penelitian pada Berbagai Ekosistem

Hasil identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada tanah gambut

bekas terbakar dengan mengambil sampel tanah sebanyak 250 g, di tiga lokasi

yaitu lokasi I yaitu jalan Arengka 2, Payung sekaki, lokasi II di jalan Tuanku

Tambusai, Payung Sekaki dan lokasi III di Jalan Delima Ujung, Tampan

Pekanbaru, menunjukkan hasil yang berbeda dari setiap lokasi identifikasi FMA

berdasarkan Manual for The Identification of VA Mychorrizal (VAM) dengan pengamatan secara mikrokopis berdasarkan karekteristik yang dilihat dari hiasan,

wama, bentuk dan ukuran dari spora. Adapun hasil pengamatan tersebut yang

jenis FMA yang ditemukan adalah Glomus proliferum, Glomus intraradices, Glomus sp.l., Glomus sp. 2., dan Acaulospora tuberculata (Sayuti et al., 2011)

F. Keadaan Umum Lokasi Penelitian

Kecamatan Pangururan

Lokasi penelitian dilaksanakan pada areal terbakar di desa Siogung-ogung

dan desa Sosor Dolok, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Propinsi

Sumatera Utara. Luasan hutan yang terbakar pada tahun 2012 di kawasan Hutan

Lindung desa Siogung-ogung mencapai 0.5 Ha. Pada tahun 2013, kebakaran di

lahan masyarakat dan kawasan hutan desa Sosor Dolok mencapai 60 Ha.

Data curah hujan di daerah Kecamatan Simanindo menurut Balai

Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dapat dilihat pada lampiran. Angka curah

hujan rata-rata 100-250 mm tiap tahun. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan

(27)

Samosir tergolong yang beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 170

C-290C dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85.04% termasuk Kecamatan Pangururan yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Samosir. Sebaran

jenis tanah di wilayah Pangururan didominasi oleh jenis tanah litosol, podsolik, dan regosol (Badan Pusat Statistik, 2013).

Kecamatan Simanindo

Penelitian ini dilaksanakan pada areal terbakar di desa Sijambur Nabolak

dan Curaman Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Propinsi

Sumatera. Sedangkan untuk lokasi penelitian pada areal yang tidak terbakar

(kontrol) dilaksanakan di desa Tolping, Kecamatan Simanindo, Kabupaten

Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Luasan hutan yang terbakar pada tahun 2010

di kawasan Hutan Lindung desa Sijambur Nabolak mencapai 93 Ha. Pada tahun

2011 dan tahun 2014, kebakaran di kawasan Hutan Lindung desa Curaman

Tomok mencapai 3 Ha.

Kecamatan Simanindo berada di hamparan dataran dan struktur tanahnya

labil berada pada jalur gempa tektonik dan vulkanik. Wilayah Kabupaten Samosir

memiliki angka curah hujan rata-rata 100-250 mm tiap tahun. Data curah hujan di

daerah Kecamatan Simanindo menurut Balai Meteorologi, Klimatologi dan

Geofisika dapat dilihat pada lampiran. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan

September dan curah hujan terendah terjadi bulan Februari. Seperti halnya

Kecamatan Pangururan, Kecamatan Simanindo juga tergolong beriklim tropis

basah dengan suhu berkisar antara 170C-290C dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85.04% termasuk. Sebaran jenis tanah di wilayah Simanindo didominasi

(28)

BAB III

BAHAN DAN METODE

A.Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014.

Pengambilan tanah dan akar tanaman dilakukan di areal tanah bekas kebakaran

hutan di Kabupaten Samosir. Ekstraksi spora, identifikasi dan penghitungan

persentase kolonisasi FMA pada akar tanaman dilakukan di Laboratorium Biologi

Tanah, Fakultas Pertanian USU. Analisis sampel tanah dilakukan di Laboratorium

Sentral, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Kegiatan pemerangkapan

dilakukan di rumah kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah contoh tanah dan akar

pada tegakan yang ada pada petak contoh. Benih jagung (Zea mays sp.) sebagai inang pada perlakuan pemerangkapan. Untuk ekstraksi dan identifikasi spora

mikoriza digunakan bahan berupa larutan glukosa 60%, larutan Melzer’s sebagai

bahan pewarna spora dan larutan polyvinyl lacto glycerol (PVLG) sebagai bahan pengawet spora. Larutan trypan blue untuk bahan proses pewarnaan akar (staining). Larutan KOH 10% untuk mengeluarkan cairan sitoplasma dalam akar, sehingga akar pucat dan sebagai pengawet. Larutan HCl 2% untuk mempermudah

masuknya trypan blue pada saat pewarnaan.

Alat yang digunakan dalam penelitian ini untuk pengambilan contoh tanah

(29)

425 μm, 200 μm dan 53 μm, tabung sentrifuse, cawan petri, pinset spora,

mikroskop binokuler, mikroskop cahaya, kaca preparat, dan kaca penutup. Alat

yang digunakan untuk pemerangkapan di rumah kaca berupa pot (aqua cup), dan sprayer.

C.Metode Penelitian

Pembuatan Petak

Petak penelitian dibuat sesuai metode ICRAF (Ervayenri et al., 1999). Jumlah

petak pengamatan dibuat sebanyak tiga petak setiap tahun pengamatan. Ukuran petak

sampel tanah adalah 20 m x 20 m. Dalam satu petak diambil enam titik sampel tanah

secara zig-zag dan dikompositkan. Sampel tanah yang sudah dikompositkan, ditempatkan

pada kantong plastik yang telah diberi label. Seluruh sampel tanah diletakkan didalam

tempat khusus agar kondisi fisik tanah tersebut terjaga untuk kemudian dianalisis ke

laboratorium.

Pengambilan Sampel Tanah

Pengambilan sampel tanah dilakukan di Kabupaten Samosir yaitu tanah

bekas kebakaran hutan pada 5 periode yaitu tahun 2010, 2011, 2012, 2013, dan

2014 dan sebagai pembanding (kontrol) adalah dari tanah hutan yang belum

pernah terbakar. Lokasi pengambilan sampel untuk masing-masing periode secara

berurutan adalah tahun 2010 di Desa Sijambur Nabolak, Kecamatan Simanindo,

tahun 2011 dan 2014 di Desa Curaman Tomok, Kecamatan. Simanindo, tahun

2012 di Desa Siogung-ogung, Kecamatan. Pangururan, 2013 Desa Sosor Dolok,

Kecamatan Pangururan, sedangkan pengambilan sampel tanah sebagai kontrol

disesuaikan di Desa Tolping, Kecamatan Simanindo. Pengambilan sampel tanah

(30)

Berat tanah yang diambil setiap titik sebanyak 500 gr, sehingga total sampel tanah

yang diambil untuk tiap petak pengamatan sebanyak 3000 gr. Sampel tanah tiap

titik dalam satu petak dicampur dalam satu tempat hingga homogen untuk

mewakili satu petak. Setelah pencampuran dianggap homogen diambil 500 gr

sampel tanah untuk tiap petak.

Pengambilan Sampel Akar

Akar tanaman yang diambil yaitu akar tanaman perdu yang berada pada

setiap petak contoh. Setiap jenis yang tumbuh pada petak contoh dicabut sebagai

sampel yang mewakili tiap jenis tanaman tersebut. Akar yang dimati adalah akar

yang memiliki diameter berukuran 0.5 -1.0 mm.

Analisis Tanah

Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan analisa awal

terhadap kondisi tanah, meliputi pH, C-organik dan P-tersedia, dan KTK untuk

mengetahui sifat tanah.

Ekstraksi dan Identifikasi Spora FMA

Teknik yang digunakan dalam mengekstraksi spora FMA adalah teknik

tuang-saring dari Pacioni (1992) dalam Brundrett et al. (1996) dan akan dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Prosedur kerja teknik tuang-saring ini dimulai dengan mencampurkan tanah sampel sebanyak 50

g dengan 200–300 ml air dan diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur.

Selanjutnya disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 710 μm, 425 μm, 200 μm dan 53 μm secara berurutan dari atas ke bawah. Dari saringan bagian atas

disemprot dengan air kran untuk memudahkan bahan saringan lolos. Kemudian

(31)

kran. Setelah saringan kedua dilepas sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada

saringan terbawah dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse.

Ekstraksi spora teknik tuang-saring ini kemudian diikuti dengan teknik

sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Hasil saringan dalam tabung sentrifuse ditambahkan dengan glukosa 60% yang diletakkan pada bagian bawah dari

larutan tanah dengan menggunakan pipet. Tabung sentrifuse ditutup rapat dan

disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. Selanjutnya larutan supernatan tersebut dituang ke dalam saringan 53 μm, dicuci dengan air mengalir

(air kran) untuk menghilangkan glukosa. Endapan yang tersisa dalam saringan di

atas dituangkan ke dalam cawan petri dan kemudian diamati di bawah mikroskop

binokuler untuk penghitungan kepadatan spora dan pembuatan preparat guna

identifikasi spora FMA yang ada.

Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s dan

pengawet PVLG yang diletakkan secara terpisah pada satu kaca preparat.

Spora-spora FMA yang diperoleh dari ekstraksi setelah dihitung jumlah diletakkan

dalam larutan Melzer’s dan PVLG dan jenis spora FMA yang ada dikedua larutan

ini sama. Selanjutnya spora-spora tersebut dipecahkan secara hati-hati dengan

cara menekan kaca penutup preparat menggunakan ujung lidi. Perubahan warna

spora dalam larutan Melzer’s adalah salah satu indikator untuk menentukan tipe

spora yang ada.

Kolonisasi FMA pada Akar Tanaman Sampel

Pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman sampel dilakukan melalui

(32)

Brundrett et al. (1996). Langkah pertama adalah memilih akar-akar halus dengan diameter ± 0.5 mm segar dan dicuci dengan air mengalir hingga bersih.

Sampel akar dimasukkan ke dalam larutan KOH 10% dan dibiarkan

selama lebih kurang 24 jam sehingga akar akan berwarna putih atau pucat.

Tujuannya adalah untuk mengeluarkan semua isi sitoplasma dari sel akar sehingga

akan memudahkan pengamatan struktur infeksi FMA. Larutan KOH kemudian

dibuang dan akar sampel dicuci pada air mengalir selama 5-10 menit. Selanjutnya

akar sampel direndam dalam larutan HCl 2% dan didiamkan selama satu malam.

Larutan HCl 2% kemudian dibuang dengan mengalirkannya secara

perlahan-lahan. Selanjutnya akar sampel direndam dalam larutan trypan blue 0.05%. Kemudian larutan trypan blue dibuang dan diganti dengan larutan lacto glycerol untuk proses pengurangan warna (destaining). Selanjutnya kegiatan pengamatan siap dilakukan.

Penghitungan persentase kolonisasi akar menggunakan metode panjang

akar terkolonisasi Giovannetti dan Mosse (1980), dalam Brundrett et al. (1996). Secara acak diambil potong-potongan akar yang telah diwarnai dengan panjang ±

1 cm sebanyak 10 potongan akar dan disusun pada kaca preparat, untuk setiap

tanaman sampel dibuat dua preparat akar. Potongan-potongan akar pada kaca

preparat diamati untuk setiap bidang pandang. Bidang pandang yang

menunjukkan tanda-tanda kolonisasi (terdapat hifa dan atau arbuskula dan atau

vesikula) diberi tanda positif (+), sedangkan yang tidak terdapat tanda-tanda

kolonisasi diberi tanda negatif (-). Derajat/persentase kolonisasi akar dihitung

dengan menggunakan rumus:

% kolonisasi akar = ∑ ������_������� _�������� _(+)

(33)

Pemerangkapan (Trapping Culture)

Pemerangkapan dilakukan untuk memperoleh data jenis spora FMA yang

sebenarnya, yang kemungkinan mengalami dorman pada saat isolsi langsung dari

lapangan. Teknik pemerangkapan (trapping culture) digunakan denngan mengikuti metode Brundrett et al. (1996).

Setiap contoh tanah dibuat 5 pot kultur sehingga terdapat 30 pot kultur.

Media tanam pot kultur berupa campuran 50 gr tanah dan pasir sebanyak 100 gr.

Media dibuat tiga lapisan pada pot yaitu lapisan bawah pasir, lapisan tengah

sampel tanah penelitian dan lapisan atas pasir. Selanjutnya benih jagung

(Zea mays, sp.) ditanam pada lubang tanam pada pot tersebut. Disamping itu diberikan penambahan terrabuster guna merangsang pembentukan spora yang lebih baik. Perlakuan terrabuster diberikan dengan konsentrasi 2.5% sebanyak 20 ml tiap pot. Frekuensi pemberian terrabuster adalah 3x1 minggu selama 1 bulan pertama dan 1x1 minggu selama 1 bulan kedua. Penambahan terrabuster ini diharapkan berpengaruh terhadap sporulasi fungi mikoriza.

Pemeliharaan kultur meliputi kegiatan penyiraman, pemberian hara dan

pengendalian hama secara manual. Larutan hara yang digunakan adalah Hyponex

merah (25-5-25) dengan konsentrasi 1gr/L. Pemberian larutan hara dilakukan

setiap minggu sebanyak 20 ml tiap pot kultur.

Setelah kultur berumur 8 minggu kegiatan penyiraman dihentikan dengan

tujuan mengkondisikan kultur pada keadaan stress kekeringan. Proses

pengeringan ini berlangsung secara perlahan sehingga dapat merangsang

pembentukan spora lebih banyak. Periode pengeringan ini akan berlangsung

(34)

dengan menggunakan teknik isolasi spora yang telah dijelaskan seperti pada

bagian ekstraksi dan identifikasi spora FMA.

Pengamatan

Pengamatan yang dilakukan meliputi analisis tanah lokasi penelitian,

penghitungan kepadatan spora FMA hasil isolasi dari lapangan, kepadatan spora

FMA hasil pemerangkapan, penyajian tabel hasil identifikasi hasil tipe-tipe spora

(35)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

A.Kondisi Kandungan Kimia Tanah Kebakaran Hutan

Berdasarkan kriteria Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dan BPP Medan (1982)

analisis kimia tanah diketahui bahwa kisaran pH tanah yang terdapat pada areal

penelitian tergolong masam dan agak masam. Kandungan bahan organik

tergolong sangat rendah, hingga sangat tinggi, untuk kandungan P-tersedianya

tergolong pada kondisi yang sangat rendah. Sedangkan nilai kapasitas tukar kation

tergolong rendah dan sedang. Terdapat perbedaan nilai sifat kimia tanah dari

setiap sampel tanah pengamatan. Nilai KTK tanah tergolong kriteria rendah

hingga sedang. Hasil analisis kimia tanah sampel penelitian dapat dilihat pada

Tabel 1.

Tabel 1. Data hasil analisis sifat kimia tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir Tahun

Keterangan: am: agak masam; m: masam; n: netral; s: sedang sr: sangat rendah; r: rendah; st: sangat tinggi

Sumber: Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dan BPP Medan (1982) dalam Muklis (2007)

Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah diketahui bahwa tanah yang

mengalami kebakaran pada tahun 2011 dan yang tidak mengalami kebakaran

cenderung memiliki sifat kimia tanah yang sama, dimana pH-nya bereaksi agak

masam, kandungan C-Organik rendah, P-tersedianya sangat rendah dan kapasitas

(36)

pH yang bereaksi masam, kandungan C-Organik yang sanagt tinggi, P-tersedia

yang sangat rendah dan kapasitas tukar kation yang sedang. Untuk tahun 2013

memiliki pH netral, kandungan C-Organik rendah, P-tersedia sangat rendah dan

kapasitas tukar kation sangat rendah. Untuk tahun 2011 dan 2014 memiliki pH

yang bereaksi masam, C-Organik sangat rendah, P-tersedia sangat rendah dan

kapasitas tukar kation sedang.

Berdasarkan data Tabel 1 dapat diketahui bahwa waktu terjadinya

kebakaran mempengaruhi sifat kimia tanah, dimana semakin lama jarak antara

kejadian kebakaran dan pengamatan maka sifat kimia tanah cenderung memiliki

sifat kimia yang hampir sama dengan tanah yang tidak mengalami kebakaran,

sedangkan untuk tanah yang baru mengalami kebakaran memiki sifat kimia yang

beragam tergantung pada jenis kebakarannya, jenis tanahnya, jenis tegakannya

dan faktor lain yang mempengaruhi.

Penurunan pH tanah ini juga berdampak pada nilai KTK tanah dan

P-tersedia dalam tanah. Pada penelitian ini pH tanah yang rendah dan KTK yang

rendah juga berbanding lurus nilainya. Hal ini karena pH tanah yang rendah

konsentrasi hidrogen dalam tanah tinggi dan terikat kuat pada kation-kation

masam sehingga yang terbentuk adalah asam kuat dan pertukaran kation yang

terjadipun rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hakim et al. (1986) bahwa seiring dengan peningkatan pH maka jumlah kation yang dapat dipertukarkan

(KTK) dalam tanah juga akan meningkat karena kation-kation masam tadi dapat

dilepaskan dan dapat dipertukarkan. Demikian sebaliknya jika pH menurun maka

kation-kation akan terjerap dalam tanah dan tidak dapat dipertukarkan sehingga

(37)

Sifat kimia yang lain yang berpengaruh pada penelitian ini adalah

ketersediaan unsu P dalam tanah. Data hasil analisis sifat kimia tanah di

laboratorium menunjukkan bahwa nilai P-tersedia dalam tanah termasuk kriteria

yang sangat rendah. Menurut Hardjowigeno (2007) bahwa faktor yang

mempengaruhi tersedianya P untuk tanaman yang terpenting dalah pH tanah. P

paling mudah diserap oleh tanaman pada pH netral (6-7). Dalam tanah masam

banyak unsur P baik yang sudah ada dalam tanah maupun yang diberikan ke tanah

melalui pemupukan terikat oleh unsur-unsur Al dan Fe sehingga P tidak dapat

diserap tanaman.

B. Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)

Struktur fungi mikoriza arbuskula yang ditemui adalah hifa dan vesikula.

Bentuk struktur hifa dan vesikula dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.

(38)

Gambar 2. Vesikula pada Fungi Mikoriza Arbuskula

Fungi mikoriza arbuskula (FMA) memiliki beberapa struktur untuk dapat

bertahan hidup di dalam akar tanaman dan di dalam tanah. Struktur tersebut

diantaranya arbuskula, hifa dan vesikula. Pada penelitian ini struktur yang ditemui

adalah hifa dan vesikula. Setiap struktur tersebut memiliki fungsi yang

berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Armson (1977) bahwa endomikoriza

dicirikan oleh hifa yang intraseluler, yaitu hifa yang menembus ke dalam sel-sel

korteks dan dari sel yang satu ke sel yang lain. Diantara sel-sel terdapat hifa yang

membelit atau struktur hifa yang bercabang-cabang yang disebut arbuskula dan

pembengkakan yang terbentuk pada hifa yang mengandung minyak yang disebut

vesikula. Vesikula berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan

yang diameternya lebih kecil dari 1 mm. Sedangkan arbuskula berfungsi

menyediakan unsur hara atau mentransfer hara dari tanah ke tanaman sehingga

dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Umur hidup arbuskula yang singkat dan

bersifat meluruh pada kondisi kering sehigga pada saat pengambilan sampel akar

dan pengamatan di bawah mikroskop struktur ini tidak ditemukan.

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini untuk persentase kolonisasi fungi

(39)

diperoleh pada tahun 2010 yaitu sebesar 62.5% dan terendah adalah pada lahan

tidak terbakar (kontrol) sebesar 42.4%. Akan tetapi perbedaan nilai ini tidak

menunjukkan perbedaan pada kriteria karena menurut Rajapakse dan Miller

(1992) dan O’Connor et al. (2001) dalam Nusantara et al. (2012) pada Lampiran 2, nilai persentase ini termasuk pada kriteria kelas 3 dan kelas 4 atau tergolong

tinggi. Persentase kolonisasi fungi mikoriza pada akar tanaman dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Data persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula pada akar tanaman Tahun Kebakaran Persentase kolonisasi(%) Kriteria

2010 62.5 Kelas 4 (tinggi)

Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa persentase kolonisasi yang diperoleh

tergolong tinggi, walaupun nilainya berbeda-beda. Nilai ini sesuai dengan kondisi

sifat kimia sampel tanah yang digunakan yaitu kondisi pH tanah yang rendah

(masam) didukung juga dengan ketersediaan unsur P yang sangat rendah sehingga

kolonisasi fungi pada akar tergolong tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan

Gianinazi-Pearson dan Diem, (1982) bahwa ketersediaan unsur P dalam tanah

memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan derajat infeksi mikoriza

pada akar tanaman dan kelimpahan spora. Didukung juga pernyataan Mosse

(1981) bahwa kadar P yang tinggi dapat menyebabkan permeabilitas dan eksudasi

akar menurun.

Berdasarkan data pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah spora yang

diperoleh dari tiap tahun kebakaran berbeda-beda. Pada tanah yang mengalami

(40)

gram tanah. Pada tanah yang tidak terbakar (kontrol) memiliki jumlah spora

paling sedikit yaitu 261 per 50 gram tanah. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa

semakin lama tahun kejadian kebakaran tanah jumlah spora yang ditemukan

semakin menurun hingga pada tanah kontrol. Hasil perhitungan jumlah spora

yang diperoleh dari sampel tanah dari lapangan dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata kepadatan spora setiap tahun kebakaran di lapangan

Tahun Kebakaran Rata-rata Kepadatan Spora/50 gram Tanah

2010 2130

Kondisi lapangan pengambilan sampel tanah yang cukup terbuka dengan

sedikit tajuk pohon dan penutup tanah mengakibatkan sinar matahari yang

langsung terpapar pada tanah sehingga meningkatkan suhu dalam tanah. Seperti

yang disampaikan oleh Suhardi (1989) bahwa spora yang dihasilkan oleh FMA

akan semakin banyak jika perkembangan kolonisasinya juga tinggi. Kolonisasi

yang tinggi sangat ditentukan oleh keterbukaan lingkungan tajuk tanaman inang

dan suhu lingkungan. Hal ini sesuai dengan nilai persentase kolonisasi yang

diperoleh pada Tabel 4 yaitu kriteria yang tergolong tinggi.

Berdasarkan data pada Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa adanya

peningkatan jumlah spora dari hasil trapping dibandingkan dengan jumlah spora

yang ditemukan dari lapangan. Oehl et al. (2009) dalam Nusantara et al. (2012) menyatakan bahwa proses trapping yang pada dasarnya digunakan untuk menstimulasi sporulasi atau meningkatkan jumlah propagul FMA yang ada dalam

tanah yang diambil dari lapangan. Hal tersebut perlu dilakukan karena tidak

(41)

melimpah pada musim hujan, sebagian lainnya pada waktu musim kemarau, dan

sebagian lainnya ada sepanjang tahun. Kepadatan spora dari hasil trapping dapat dilihat pada Tabel 4:

Tabel 4. Rata-rata kepadatan spora hasil trapping

Tahun Kebakaran Rata-rata Kepadatan Spora/50 gram Tanah

2010 2782.33

2011 449.33

2012 1497.00

2013 1327.33

2014 431.00

Kontrol 268.66

Peningkatan jumlah spora hasil trapping didukung oleh banyak faktor. Seperti yang dilaporkan oleh Sancayaningsih (2005), pengaruh perlakuan tempat

tumbuh tanaman inang dan lama waktu memberikan hasil berbeda nyata terhadap

perbanyakan spora (jumlah spora). Faktor lain yang mempengaruhi proses

(42)

Identifikasi tipe spora pada FMA dapat dilakukan setelah pengambilan

dokumentasi di bawah mikroskop. Tipe dan karakteristik spora yang ditemukan

dari lapangan dapat dilihat pada Tabel 5, 6, 7, 8, 9, dan 10.

Tabel 5. Tipe dan karakteristik spora di lapangan tahun 2010 No. Tipe spora FMA Perbesaran Karakteristik 1

Glomus sp-1

40 x Spora berbentuk bulat, berwarna cokelat, permukaan kasar

2

Glomus sp-2

40 x Spora berbentuk lonjong, dinding spora tipis, warna kuning, permukaan halus, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)

3

Glomus sp-3

40 x Spora berbentuk lonjong, warna coklat, permukaan kasar, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)

4

Glomus sp 4

(43)

5

Acalauspora sp-1

40 x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan, dinding spora tebal

6

Glomus sp-5

40 x Spora berbentuk bulat, permukaan halus tanpa ornamen, ada tangkai hifa

(Subtending hyphae)

7

Glomus sp-6

40 x Spora berbentuk bulat, ukuran besar, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus

8

Glomus sp-7

40 x Spora berbentuk bulat, permukaan halus, dinding spora tebal dan tidak menyerap larutan

9

Acalauspora sp-2

(44)

10

Acalauspora sp-3

40 x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan dan ada ornamen seperti kulit jeruk

11

Acalauspora sp-4

40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, menyerap larutan warnanya merah keunguan

12

Glomus sp-8

40 x Spora berbentuk bulat, permukaan halus, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)

13

Glomus sp-9

40 x Spora berbentuk bulat, permukaan kasar, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)

14

Glomus sp-10

(45)

15

Acalauspora sp-5

40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, menyerap larutan warnanya merah.

16

Acalauspora sp-6

(46)

Tabel 6. Tipe dan karakteristik spora di lapangan tahun 2011 No. Tipe Spora FMA Perbesaran Karakteristik 1

Acalauspora sp-7

40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, menyerap larutan warnanya merah, ada ornamen bintik-bintik hitam

2

Glomus sp-11

40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, warnanya merah, dinding spora berlapis-lapis

3

Glomus sp-12

40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, warnanya kuning

4

Glomus sp-5

40 x Spora berbentuk bulat, permukaan halus tanpa ornamen, ada tangkai hifa

(Subtending hyphae)

5

Glomus sp-3

(47)

6

Glomus sp-13

40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tebal, warnanya coklat, permukaan halus

7

Glomus sp-14

40 x Spora berbentuk lonjong, dinding spora tipis, permukaan kasar, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)

8

Glomus sp-4

40 x Spora berbentuk bulat, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus

9

Acalauspora sp-3

40 x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan dan ada ornamen seperti kulit jeruk

10

Acalauspora sp-8

(48)

11

Glomus sp-15

40 x Spora berbentuk lonjong, tidak menyerap larutan, dinding spora tipis, permukaan halus

12

Acalauspora sp-9

(49)

Tabel 7. Tipe dan karakteristik spora di lapangan tahun 2012 No. Tipe spora FMA Perbesaran Karakteristik 1

Acalauspora sp-7

40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih kecil, menyerap larutan warnanya merah, ada ornamen seperti kulit jeruk

2

Glomus sp-4

40 x Spora berbentuk bulat, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus

3

Glomus sp-16

40 x Spora berbentuk lonjong, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus, warnanya gelap (hitam)

4

Glomus sp-17

40 x Spora berbentuk bulat, tidak

menyerap larutan, permukaan halus, warnanya gelap (hitam)

5

Glomus sp-5

(50)

6

Acalauspora sp-9

40 x Spora berbentuk bulat, ukran lebih besar, menyerap larutan, ada ornamen seperti kulit jeruk

7

Glomus sp-18

40 x Spora berbentuk bulat, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus, warnanya gelap (hitam)

8

Glomus sp-19

40 x Spora berbentuk bulat, tidak

menyerap larutan, permukaan halus, warnanya kuning, ada bintik-bintik hitam

9

Acalauspora sp-8

40 x Spora berbentuk bulat , menyerap larutan dan perbedaan lapisan

10

Glomus sp-8

(51)

11

Glomus sp-6

40 x Spora berbentuk bulat, ukuran besar, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus

12

Acalauspora sp-1

40 x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan, dinding spora tebal

13

Acalauspora sp-4

40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, menyerap larutan warnanya merah keunguan

14

Acalauspora sp-3

(52)

Tabel 8. Tipe dan karakteristik spora di lapangan tahun 2013 No. Tipe spora FMA Perbesaran Karakteristik 1

Glomus sp-13

40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tebal, warnanya coklat, permukaan halus

2

Glomus sp-6

40 x Spora berbentuk bulat, ukuran besar, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus

3

Acalauspora sp-10

40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, menyerap larutan dan ada ornamen seperti kulit jeruk

4

Acalauspora sp-6

40 x Spora berbentuk lonjong, permukaan halus, menyerap larutan warnanya coklat.

5

Glomus sp-8

(53)

6

Acalauspora sp-4

40 x Spora berbentuk bulat, ukuran kecil, menyerap larutan, warnanya coklat

7

Acalauspora sp-2

40 x Spora berbentuk bulat, ada lapisan dinding, permukaan spora memunyai ornamen seperti kulit jeruk

8

Glomus sp-2

40 x Spora berbentuk lonjong, dinding spora tipis, warna kuning, permukaan halus, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)

9

Glomus sp-20

40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tipis, warna kuning, permukaan halus, tidak menyerap larutan

10

Glomus sp-21

(54)

11

Acalauspora sp-11

40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tebal, warna merah keunguan, permukaan halus, menyerap larutan, dan ada perbedaan lapisan

12

Acalauspora sp-12

40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tebal, warna merah, permukaan kasar, menyerap larutan,

13

Glomus sp-16

(55)

Tabel 9. Tipe dan karakteristik spora di lapangan tahun 2014 No. Tipe spora FMA Perbesaran Karakteristik 1

Glomus sp-22

40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tebal, warna gelap (hitam), permukaan halus, tidak menyerap larutan

2

Glomus sp-16

40 x Spora berbentuk lonjong, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus, warnanya gelap (hitam)

3

Acalauspora sp-4

40 x Spora berbentuk bulat, ukuran kecil, menyerap larutan, warnanya kuning

4

Glomus sp-2

40 x Spora berbentuk lonjong, dinding spora tipis, warna kuning, permukaan halus, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)

5

Acalauspora sp-7

(56)

6

Glomus sp-3

40 x Spora berbentuk bulat, warna coklat, permukaan kasar, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)

7

Acalauspora sp-8

40 x Spora berbentuk bulat , menyerap larutan dan perbedaan lapisan

8

Glomus sp-13

40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tebal, warnanya coklat, permukaan halus

9

Acalauspora sp-3

40 x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan dan ada ornamen seperti kulit jeruk

10

Acalauspora sp-5

(57)

11

Acalauspora sp-12

40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tebal, warna merah, permukaan kasar, menyerap larutan,

Tabel 10. Tipe dan karakteristik spora di lapangan pada tanah kontrol No Tipe Spora FMA Perbesaran Karakteristik 1

Glomus sp-7

40x Spora berbentuk bulat, permukaan halus, dinding spora tebal dan tidak menyerap larutan

2

Acalauspora sp-1

40x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan, dinding spora tebal

3

Glomus sp-8

40x Spora berbentuk bulat, permukaan halus, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)

4 40x Spora berbentuk lonjong, tidak

(58)

Glomus sp-15 5

Glomus sp-17

40x Spora berbentuk bulat, tidak

menyerap larutan, permukaan halus, warnanya merah

6

Glomus sp-11

40x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, warnanya merah, dinding spora berlapis-lapis

7

Acalauspora sp-4

40x Spora berbentuk bulat, ukuran kecil, menyerap larutan, warnanya kuning

8

Glomus sp-2

40x Spora berbentuk lonjong, dinding spora tipis, warna kuning, permukaan halus, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)

9

Acalauspora sp-8

(59)

10

Acalauspora sp-5

40x Spora berbentuk bulat, ada ornamen seperti kulit jeruk, permukaan halus, menyerap larutan warnanya kuning

11

Acalauspora sp-13

40x Spora berbetuk bulat, ukuan besar, menyerap warna, ada perbedaan warna pada lapisan

12

Acalauspora sp-9

(60)

Identifikasi tipe spora pada FMA dapat dilakukan setelah pengambilan

dokumentasi di bawah mikroskop. Tipe dan karakteristik spora yang ditemukan

dari hasil trapping dapat dilihat pada Tabel 11, 12, 13, 14, 15, dan 16. Tabel 11. Tipe dan karaktersitik spora hasil trapping tahun 2010

No. Tipe Spora Perbesaran Karakteristik 1

Glomus sp-5

40x Spora berbentuk bulat, permukaan halus tanpa ornamen, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)

2

Acalauspora sp-6

40x Spora berbentuk lonjong, permukaan halus, menyerap larutan warnanya coklat.

3

Glomus sp-11

40x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, warnanya merah

4

Acalauspora sp-13

(61)

5

Glomus sp-10

40x Spora berbentuk bulat, permukaan halus, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)

6

Acalauspora sp-9

40x Spora berbentuk bulat, ukran lebih besar, menyerap larutan, ada ornamen seperti kulit jeruk

7

Glomus sp-1

40x Spora berbentuk bulat, berwarna cokelat, permukaan kasar

8

Acalauspora sp-8

40x Spora berbentuk bulat , menyerap larutan dan perbedaan lapisan

9

Glomus sp-23

(62)

10

Glomus sp-17

40x Spora berbentuk bulat, tidak

menyerap larutan, permukaan halus, warnanya gelap (hitam)

11

Glomus sp-4

40x Spora berbentuk bulat, tidak

menyerap larutan, permukaan halus, warnanya kuning kecoklatan

12

Acalauspora sp-4

40x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, menyerap larutan warnanya kuning

13

Glomus sp-12

40x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, warnanya coklat

14

Glomus sp-2

(63)

15

Acalauspora sp-1

40x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan, dinding spora tebal

16

Glomus sp-6

(64)

Tabel 12. Tipe dan karakteristik spora hasil trapping tahun 2011 No. Tipe Spora FMA Perbesaran Karakteristik 1

Acalauspora sp-4

40x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, menyerap larutan warnanya kuning

2

Acalauspora sp-1

40x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan, dinding spora tebal

3

Glomus sp-15

40x Spora berbentuk lonjong, tidak menyerap larutan, dinding spora tipis, permukaan halus

4

Acalauspora sp-6

40x Spora berbentuk lonjong,

permukaan halus, menyerap larutan warnanya merah.

5

Acalauspora sp-3

(65)

6

Acalauspora sp-8

40x Spora berbentuk bulat , menyerap larutan dan perbedaan lapisan

7

Acalauspora sp-5

40x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, menyerap larutan warnanya kuning

8

Glomus sp-5

40x Spora berbentuk bulat, permukaan halus tanpa ornamen, ada tangkai hifa (Subtending hyphae

9

Glomus sp-13

Gambar

Tabel 1.  Data hasil analisis sifat kimia tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir
Gambar 1. Hifa pada Fungi Mikoriza Arbuskula
Gambar 2.  Vesikula pada Fungi Mikoriza Arbuskula
Tabel 2. Data persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula pada akar tanaman
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilakukan dengan metode analisis eksploratif yaitu suatu teknik analisa data yang menggali informasi secara jelas dan terperinci berdasarkan

RPL SORE 41122144 Sugeng Subakti Penentuan Karyawan terbaik melalui penerapan sistem pendukung keputusan dengan metode SAW.. Nana Suarna, M.Kom Andi Setiawan,

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan media pembelajaran multimedia interaktif pokok materi struktur kontrol perulangan dan untuk mengetahui apakah hasil belajar

Sistem yang akan dirancang untuk penelitian ini merupakan suatu sistem dengan kemampuan melakukan pengukuran dan pengendalian berdasarkan voucher sehingga dapat

[r]

The building 3D model was created as a point cloud which was automatically generated based on digital images acquired with the low-cost UASs, using the image matching algorithm

Untuk pinjaman yang diberikan dan piutang yang dicatat pada biaya perolehan diamortisasi, Perusahaan terlebih dahulu menentukan apakah terdapat bukti obyektif

It terms of processing, multispectral acquisition are merged using an optimized script for each spectral domains so as to obtain multiband 2D/3D data continuum.. Figure 5: Views of