STATUS DAN KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA
(FMA) PADA TANAH BEKAS KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN SAMOSIR
LUSI ASTRI SIMAMORA 101201095
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
STATUS DAN KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA
(FMA) PADA TANAH BEKAS KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN SAMOSIR
SKRIPSI Oleh:
LUSI ASTRI SIMAMORA 101201095
BUDIDAYA HUTAN
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
STATUS DAN KEANEKARAGAMAN FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA
(FMA) PADA TANAH BEKAS KEBAKARAN HUTAN DI KABUPATEN SAMOSIR
SKRIPSI Oleh:
LUSI ASTRI SIMAMORA 101201095/BUDIDAYA HUTAN
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI KEHUTANAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Skripsi : Status dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan di Kabupaten Samosir
Nama : Lusi Astri Simamora
NIM : 101201095
Program Studi : Kehutanan
Disetujui Oleh Komisi Pembimbing
Ketua Anggota
Dr. Deni Elfiati, SP, MP
NIP. 196812142002 12 2001 NIP. 196907232002 12 1001 Dr. Delvian, SP, MP
Mengetahui,
Ketua Program Studi Kehutanan
ABSTRAK
LUSI ASTRI SIMAMORA: Status dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan di Kabupaten Samosir, dibimbing oleh DENI ELFIATI dan DELVIAN.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui status dan keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada tanah bekas kebakaran hutan di kabupaten Samosir. Sampel tanah dan akar tanaman diambil dari lokasi yang terbakar pada tahun kejadian yang berbeda selama 5 tahun berturut dan satu lokasi sebagai pembanding. Parameter yang diamati yaitu derajat infeksi akar, kepadatan spora dan identifikasi jenis spora. Identifikasi mikoriza dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, dimulai pada bulan Mei sampai September 2014. Karakteristik morfologi yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis FMA adalah bentuk ketebalan dinding sel, ada tidaknya substanding hifa, kehalusan permukaan dan reaksi spora terhadap melzers.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata kepadatan spora dari lapangan dan hasil trapping, untuk persentase kolonisasi FMA pada akar tanaman sebesar 50.65% termasuk kelas 3 dan 4 atau kategori tinggi. Ditemukan 2 genus, yaitu Genus Acalauspora dan Genus Glomus. Dari lapangan ditemukan sebanyak 35 tipe spora dan hasil trapping ditemukan sebanyak 40 tipe spora.
ABSTRACT
LUSI ASTRI SIMAMORA: Status and Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) on The former Soil Forest Fir at Samosir Regency, Suvervised by DENI ELFIATI and DELVIAN.
This research aims to study and know the status and diversity of Mycorrhizal Fungi Fungi (AMF) on the former land of forest fires at Samosir regency. The samples of soil and roots of plants taken from the location of the fire in separate incidents for 5 consecutive years and the location as a comparator. Parameters observed that the degree of root infection, spores density and identification of the type of spores. Identification of mycorrhizae implemented at the Laboratory of Soil Biology, Faculty of Agriculture, University of North Sumatra, begin in May until September 2014. Morphology characteristics used to identify the type of FMA is a form of cell wall thickness, presence or absence of substanding hyphae, surface smoothness and spores reaction to melzers.
The results show that an increase in the average density of spores from the field and the results of trapping, for the percentage of AMF colonization in the roots of plants at 50.65% include grade 3 and 4 or high categories. Found 2 genus, namely Genus Acaulospora and Genus Glomus. Of the field found as many as 35 types of spores and trapping results are found as many as 40 types of spores.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Desa Sibuntuon pada tanggal 19 Agustus 1992 dari
ayah T. Simamora dan ibu J. Siburian. Penulis merupakan anak pertama dari lima
bersaudara.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar dari SD Negeri 173439
Sibuntuon, Sijamapolang pada tahun 2004, pendidikan tingkat Sekolah Menengah
Pertama dari SMP Negeri 1 Sijamapolang pada tahun 2007, pendidikan tingkat
Sekolah Menengah Atas dari SMA Negeri 1 Sijamapolang tahun 2010 dan pada
tahun 2010 masuk ke Fakultas Pertanian USU melalui jalur Ujian Masuk Bersama
(UMB). Penulis memilih Program Studi Kehutanan, Fakultas Pertanian dan pada
semester VII memilih minat studi Budidaya Hutan.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam organisasi Himpunan
Mahasiswa Sylva (HIMAS) USU. Penulis mengikuti Praktik Pengenalan
Ekosistem Hutan (P2EH) di Taman Hutan Raya Bukit Barisan, Gunung Barus dan Hutan Pendidikan USU Kabupaten Karo selama 10 hari.
Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di HPH PT. Teluk
Nauli, Sibolga, Kabupaten Tapanuli Tengah mulai tanggal 31 Januari-1 Maret
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas
berkat dan anugerahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian
yang berjudul “Status dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan di Kabupaten Samosir”.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui status dan
keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada tanah bekas kebakaran
hutan. Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi
mengenai status dan keanekaragaraman jenis fungi mikoriza arbuskula pada tanah
bekas kebakaran hutan.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada
Dr. Deni Elfiati, SP, MP selaku ketua komisi pembimbing, kepada
Dr. Delvian, SP, MP selaku anggota pembimbing, kepada kedua orang tua dan
teman-teman atas waktu, bimbingan, arahan, doa, dukungan, dan kesabarannya
dalam proses penyelesaian hasil penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan hasi penelitian ini masih
banyak kekurangan dan kesalahan, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik
dan saran yang sifatnya membangun agar tulisan ini lebih baik lagi. Akhir kata
penulis mengucapkan terimakasih.
Medan, Desember 2014
DAFTAR ISI
BAB II: TINJAUAN PUSTAKA A.Dampak Kebakaran Hutan ... 4
B.Sifat Kimia Tanah ... 6
C.Mengenal Mikoriza ... 9
D.Struktur Umum Fungi Mikoriza Arbuskula... 11
E. Hasil Penelitian pada Berbagai Ekosistem... 13
F. Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 14
BAB III: BAHAN DAN METODE A.Waktu dan Tempat... 15
B.Bahan dan Alat... 15
C.Metode Penelitian ... 16
Pembuatan Petak ... 16
Pengambilan Sampel Tanah ... 16
Pengambilan Sampel Akar ... 17
Analisis Tanah ... 17
Ekstraksi dan Identifikasi Spora FMA ... 17
Kolonisasi FMA pada Akar Tanamn Sampel ... 18
Pemerangkapan (Trapping culture) ... 20
Pengamatan ... 21
BAB IV: HASIL DAN PEMBAHASAN A.Kondisi Kandungan Kimia Tanah Kebakaran Hutan... 22
B.Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)... 24
BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN A.Kesimpulan... 31
B.Saran... 31 DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR TABEL
No. Hal.
1. Data Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah Kebakaran di Kabupaten samosir.. 22
2. Data Persentase Kolonisasi Fungi Mikoriza Arbuskula pada Akar Tanaman...26
3. Rata-rata kepadatan spora setiap tahun kebakaran di Lapangan... 27
4. Rata-rata kepadatan Spora hasil trapping... 28
5. Tipe Spora dan karakteristik spora di lapangan tahun 2010 ...29
6. Tipe Spora dan karakteristik spora di lapangan tahun 2011...33
7. Tipe Spora dan karakteristik spora di lapangan tahun 2012...36
8. Tipe Spora dan karakteristik spora di lapangan tahun 2013...39
9. Tipe Spora dan karakteristik spora di lapangan tahun 2014...42
10. Tipe Spora dan karakteristik spora di lapangan pada tanah kontrol...…...44
11. Tipe dan karakteristik spora hasil trapping tahun 2010...47
12. Tipe dan karakteristik spora hasil trapping tahun 2011...51
13. Tipe dan karakteristik spora hasil trapping tahun 2012...53
14. Tipe dan karakteristik spora hasil trapping tahun 2013...57
15. Tipe dan karakteristik spora hasil trapping tahun 2014...60
16. Tipe dan karakteristik spora hasil trapping tahun pada tanah kontrol...62
17. Tipe Spora yang ada pada Tahun Pengamatan di Lapangan... 66
DAFTAR GAMBAR
No. Hal.
1. Hifa pada Fungi Mikoriza Arbuskula ... 24
ABSTRAK
LUSI ASTRI SIMAMORA: Status dan Keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada Tanah Bekas Kebakaran Hutan di Kabupaten Samosir, dibimbing oleh DENI ELFIATI dan DELVIAN.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui status dan keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada tanah bekas kebakaran hutan di kabupaten Samosir. Sampel tanah dan akar tanaman diambil dari lokasi yang terbakar pada tahun kejadian yang berbeda selama 5 tahun berturut dan satu lokasi sebagai pembanding. Parameter yang diamati yaitu derajat infeksi akar, kepadatan spora dan identifikasi jenis spora. Identifikasi mikoriza dilaksanakan di Laboratorium Biologi Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara, dimulai pada bulan Mei sampai September 2014. Karakteristik morfologi yang digunakan untuk mengidentifikasi jenis FMA adalah bentuk ketebalan dinding sel, ada tidaknya substanding hifa, kehalusan permukaan dan reaksi spora terhadap melzers.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata kepadatan spora dari lapangan dan hasil trapping, untuk persentase kolonisasi FMA pada akar tanaman sebesar 50.65% termasuk kelas 3 dan 4 atau kategori tinggi. Ditemukan 2 genus, yaitu Genus Acalauspora dan Genus Glomus. Dari lapangan ditemukan sebanyak 35 tipe spora dan hasil trapping ditemukan sebanyak 40 tipe spora.
ABSTRACT
LUSI ASTRI SIMAMORA: Status and Diversity of Arbuscular Mycorrhizal Fungi (AMF) on The former Soil Forest Fir at Samosir Regency, Suvervised by DENI ELFIATI and DELVIAN.
This research aims to study and know the status and diversity of Mycorrhizal Fungi Fungi (AMF) on the former land of forest fires at Samosir regency. The samples of soil and roots of plants taken from the location of the fire in separate incidents for 5 consecutive years and the location as a comparator. Parameters observed that the degree of root infection, spores density and identification of the type of spores. Identification of mycorrhizae implemented at the Laboratory of Soil Biology, Faculty of Agriculture, University of North Sumatra, begin in May until September 2014. Morphology characteristics used to identify the type of FMA is a form of cell wall thickness, presence or absence of substanding hyphae, surface smoothness and spores reaction to melzers.
The results show that an increase in the average density of spores from the field and the results of trapping, for the percentage of AMF colonization in the roots of plants at 50.65% include grade 3 and 4 or high categories. Found 2 genus, namely Genus Acaulospora and Genus Glomus. Of the field found as many as 35 types of spores and trapping results are found as many as 40 types of spores.
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Keberadaan FMA di alam bersifat kosmopolitan, artinya fungi mikoriza
bisa ditemukan pada berbagai ekosistem. Mikoriza ini memiliki kemampuan
bersimbiosis dengan hampir 90% jenis tanaman. Fungi mikoriza penting di bidang
pertanian dan kehutanan untuk transfer nutrisi dua arah antara inang dan fungi
tersebut (yaitu, saluran karbon inang dan penyerapan nutrisi mineral tanah)
sehingga mendorong berbagai proses siklus hara dalam tanah. Mikoriza umumnya
dibagi menjadi ektomikoriza (hifa fungi tidak menembus sel-sel akar) dan
endomikoriza (hifa fungi menembus dinding sel akar). Endomikoriza cukup
bervariasi dan selanjutnya digolongkan sebagai arbuskular, ericoid, arbutoid,
monotropoid dan anggrek mikoriza (Gerdemann, 1968). Fungi mikoriza
arbuskula ini berhabitat di tanah dan membentuk simbiosis yang menguntungkan
dengan akar angiosperma dan tanaman lainnya. Fungi mikoriza arbuskula
termasuk Famili Endogonoceae, Ordo Muccorales, Kelas Zygomycetes
(Gerdemann dan Trappe, 1968). FMA memiliki beberapa genus yaitu
Acalauspora, Entrophospora, Gigaspora, Glomus, Sclerocytis dan Scutellospora. Adanya simbiosis mutualistik antara FMA dengan perakaran tanaman
dapat membantu pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik, terutama pada
tanah-tanah marjinal. Hal ini karena jamur mikoriza membantu tanaman mencengkram
tanah dan meningkatkan luas permukaan serapan akar, sehingga dapat
kemampuan untuk kelangsungan hidup dan kesehatan tanaman inang
(Hanafiah et al., 2009).
Fungi mikoriza arbuskula dapat ditemukan hampir pada sebagian besar
tanah, pada umumnya tidak mempunyai inang yang spesifik. Namun tingkat
populasi dan tingkat komposisi jenis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh
karakteristik tanaman dan sejumlah faktor lingkungan seperti suhu, pH,
kelembapan tanah dan kandungan fosfor dan nitrogen. Suhu terbaik untuk
perkembangan FMA adalah pada suhu 30°C, tetapi untuk kolonisasi miselia yang
terbaik adalah pada suhu 28-35°C (Suhardi, 1989; Setiadi, 2001;
Powell dan Bagyaraj, 1984).
Faktor lingkungan sangat berpengaruh terhadap perkembangan FMA.
Lingkungan yang sesuai untuk pertumbuhan tanaman biasanya juga cocok untuk
perkembangan spora FMA. Fungi ini dapat hidup dalam tanah yang berdrainase
baik hingga yang tergenang seperti lahan sawah. FMA banyak dijumpai pada
tanah dengan kadar mineral tinggi, baik pada hutan primer, hutan sekunder,
kebun, padang alang-alang, pantai dengan salinitas tinggi, dan lahan gambut
(Soelaiman dan Hirata, 1995). Karena lingkungan hidup FMA yang sangat luas,
FMA sering dijadikan dasar dalam upaya bioremediasi lahan kritis.
Meskipun FMA tersebar hampir merata di seluruh permukaan bumi,
namun keberadaannya ditentukan oleh berbagai faktor lingkungan dan tanah.
Distribusi dan kelimpahan FMA berhubungan erat dengan kandungan hara dan
ketersediaan air tanah, ketinggian tempat, temperatur, dan beberapa sifat kimia
Salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan FMA berdasarkan
uraian diatas adalah suhu (temperatur). Pada tanah bekas kebakaran cenderung
mengalami peningkatan suhu diakibatkan dari pengaruh langsung dari kebakaran
tersebut yaitu panas yang dihasilkan. Kebakaran serasah akan secara langsung
dapat menaikkan suhu tanah. Hasil pembakaran yang terbentuk arang dan
berwarna hitam akan menyerap sinar matahari sehingga suhu tanah akan naik.
Pemanasan tanah akan berakibat buruk pada organisme renik
(Soemardi dan Widyastuti, 2002).
Berdasarkan uraian di atas maka dilakukan penelitian pada tanah bekas
kebakaran hutan yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai status
dan keberadaan FMA pada berbagai jenis tanaman yang tumbuh pada tanah bekas
kebakaran hutan tersebut. Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditemukan dan
diketahui jenis FMA yang dominan pada tanah bekas kebakaran.
B. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari dan mengetahui status dan
keanekaragaman Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada tanah bekas kebakaran
hutan.
C.Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai sumber informasi
mengenai status dan keanekaragaman jenis fungi mikoriza arbuskula pada tanah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A.Dampak Kebakaran Hutan
Kebakaran hutan, secara langsung mempengaruhi seluruh kelompok
organisme tanah dan mengalami penurunan. Pengaruh langsung ini akibat panas
yang dihasilkan dari pembakaran, sehingga organisme tanah banyak yang
mengalami kematian. Perubahan suhu tanah dan hilangnya lapisan serasah, juga
bisa menyebabkan perubahan terhadap karakteristik habitat dan iklim mikro.
Abidin (2004) menyatakan bahwa penurunan organisme tanah setelah kebakaran,
baik secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan makanan untuk
organisme kecil dan tersedianya makanan bagi predator.
Kebakaran hutan menyebabkan bahan makanan untuk organisme menjadi
sedikit, kebanyakan organisme tanah mudah mati oleh api dan segera
menyebabkan perubahan dalam habitat, hal ini kemungkinan menyebabkan
penurunan jumlah mikroorganisme yang sangat besar dalam habitat. Efek negatif
ini biasanya bersifat sementara dan populasi organisme tanah akhirnya kembali
menjadi banyak lagi dalam beberapa tahun (Sutedjo dan Kartasapoetra , 2005).
Kebakaran hutan mempengaruhi tekstur tanah. Komponen tekstur tanah
(pasir, debu, dan liat) memiliki ambang batas suhu tinggi dan biasanya tidak
dipengaruhi oleh api kecuali mengalami pengaruh suhu tinggi di permukaan
mineral tanah (horizon A). Fraksi tekstur tanah yang paling sensitif adalah tanah
liat, yang mulai berubah pada suhu tanah sekitar 4000C ketika hidrasi tanah liat
Ulery dan Graham (1993) melaporkan bahwa setelah kebakaran lapisan
tanah memerah dan kandungan liat secara signifikan berkurang dari tanah tidak
terbakar. Lapisan hitam dan ukuran agregat pasir terbentuk di permukaan tanah
selama pembakaran mengubah distribusi ukuran partikel dan menghasilkan
tekstur lebih kasar lebih besar dari pasir. Pembakaran menghasilkan tekstur yang
lebih halus di satu lokasi karena peningkatan dalam fraksi debu, hasil dari
dekomposisi partikel pasir kaolinized. pH tanah umumnya meningkat setelah
kebakaran hutan. Namun peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada suhu
yang lebih tinggi (450-5000C). Keberadaan debu dapat meningkatkan pH tanah karena pH debu yang tinggi.
Berdasarkan tipe kebakaran, kebakran dapat dibagi kedalam tiga tipe
kebakaran yaitu:
1. Kebakaran Bawah (Ground Fire)
Api membakar bahan organik di bawah permukaan serasah yang pada umumnya
berupa humus dan gambut. Penjalaran api berlangsung secara perlahan dan tidak
dipengaruhi oleh angin, tanpa nyala, sehingga sulit untuk dideteksi dan kontrol.
Dilihat dari dampaknya, tipe kebakaran ini merupakan tipe yang paling merusak
lingkungan(Soemardi dan Widyastuti, 2002).
2. Kebakaran Permukaan (Surface Fire)
Api pada kebakaran ini membakar serasah, tumbuhan bawah, bekas limbah
pembakaran dan bahan bakar lainnya yang terdapat di lantai hutan. Energi
kebakaran dapat rendah sampai tinggi. Dalam penjalarannya, dipengaruhi oleh
tajuk pohon (crowning out). Tipe ini merupakan tipe kebakaran yang paling umum terjadi di hampir semua tegakan hutan (Soemardi dan Widyastuti, 2002).
3. Kebakaran Tajuk (Crown Fire)
Pada tipe ini, api menjalar dari tajuk pohon satu ke tajuk pohon berikutnya. Arah
dan kecepatan penjalaran api sangat dipengaruhi oleh angin, sehingga api
menjalar dengan sangat cepat dan sulit untuk dikendalikan. Biasanya terjadi pada
tegakan konifer dan api berasal dari kebakaran permukaan, yaitu ranting atau
bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin. Disamping itu kebakaran tipe ini
juga dapat menghasilkan api loncat (spot fire), yaitu ranting atau bagian pohon yang terbakar yang terbawa angin dan menimbulkan kebakaran baru di tempat
lain (De Bano et al., 1998).
B. Sifat Kimia Tanah
Sifat kimia tanah berperan besar dalam menentukan sifat dan ciri tanah pada
umumnya dan kesuburan tanah pada khususnya. Pertumbuhan tanaman sangat
dipengaruhi oleh pH tanah. Setiap kelompok jenis tanaman membutuhkan pH tertentu
untuk pertumbuhan dan produksinya yang maksimum. pH tanah (reaksi tanah) adalah
suatu hal yang penting untuk mempelajari tanah, sebab salah satu fisiologi yang
khas dari larutan tanah adalah reaksinya. Dan bagi organisme tanah
(mikroorganisme dan tanaman tingkat tinggi) dalam menanggapi lingkungan
kimianya begitu nyata (Yuliprianto, 2010).
Faktor-faktor yang mempengaruhi pH tanah antara lain dekomposisi bahan
organik, pengendapan, kedalaman tanah, penggenangan. Bahan organik tanah
yang diuraikan oleh mikroorganisme menjadi bentuk-bentuk asam-asam organik,
karbonat ini akan bereaksi dengan unsur Mg dan Ca yang ada dalam tanah, untuk
membentuk bikarbonat yang lebih mudah larut dalam tanah yang bisa tercuci ke
luar yang akhirnya akan meninggalkan tanah yang lebih masam. Curah hujan
yang tinggi akan mencuci kation-kation basa yang ada di tapak jerapan tanah yang
kemudian akan digantikan oleh kation-kation masam seperti Al, H dan Mn. Oleh
karena itu tanah yang terbentuk biasanya lebih masam dibandingkan dengan
tanah-tanah pada lahan kering. Pengaruh keseluruhan dari penggenangan adalah
penurunan pH tanah (Winarso, 2005).
Keasaman tanah merupakan salah satu sifat yang penting, sebab terdapat
beberapa hubungan pH dengan ketersediaan unsur hara, juga terdapat hubungan
antara pH dan semua pembentukan tanah serta sifat-sifat tanah. Sejumlah
organisme memiliki toleransi yang agak kecil terhadap variasi pH, tetapi beberapa
organisme lain dapat toleran terhadap kisaran pH yang besar (Foth, 1988).
Pengaruh pH tempat tumbuh terhadap sifat mikrobia sangat bervariasi.
Beberapa tidak berbeda, seperti halnya sejumlah besar jamur. Umumnya jamur
toleran terhadap kemasaman (pH 4.0-6.5). Sedangkan untuk bakteri lebih
menyukai kondisi netral (pH 6.0-7.5). Sebagian bersifat neutrofil (Azotobacter,
Nitrobacter) yang lain bersifat acidicil (Thiobacillus thiooxidans) (Hanafiah et al., 2009).
Hubungan pH dengan KTK sangat erat yaitu pada pH rendah, hanya
muatan permanen liat, dan sebagian muatan koloid organik memegang ion yang
dapat digantikan melalui pertukaran kation. Dengan demikian KTK relatif rendah.
Hal ini disebabkan oleh kebanyakan tempat pertukaran kation koloid organik dan
dipertukarkan. Dengan meningkatnya pH, hidrogen yang diikat koloid organik
dan liat berionisasi dan dapat digantikan. Demikian pula ion hidroksi-Al yang
terjerap akan dilepaskan dan membentuk Al(OH)3. Dengan demikian terciptalah
tapak-tapak pertukaran baru pada koloid liat. Beriringan dengan
perubahan-perubahan itu KTK pun meningkat (Hakim et al., 1986).
Fosfor memiliki peranan yang sangat penting untuk semua aktifitas
biokimia dalam sel hidup. Masalah utama dalam pengambilan fosfor dari tanah
oleh tanaman adalah kelarutan yang rendah dari sebagian besar campuran fosfor
dan konsentrasi fosfor yang dihasilkan sangat rendah dalam lapisan tanah pada
setiap waktu tertentu (Foth, 1988).
Api mempengaruhi biologi organisme baik secara langsung maupun tidak
langsung. Efek langsung menyebabkan perubahan dalam jangka pendek. Pada
efek langsung setiap organisme tertentu terpapar langsung ke dalam api, sinar
pembakaran, uap panas, atau terjebak di lingkungan tanah dan lainnya di mana
cukup banyak panas ditransfer langsung ke lingkungan organisme dan menaikkan
suhu yang cukup untuk membunuh atau merusak organisme. Efek tidak langsung
biasanya menyebabkan perubahan jangka panjang dalam lingkungan yang
mempengaruhi kehidupan dari organisme biologis (biota tanah). Efek tidak
langsung ini dapat melibatkan persaingan untuk habitat, persediaan makanan dan
perubahan yang lebih halus lain yang mempengaruhi pembentukan kembali dan
C.Mengenal Mikoriza
Kata mikoriza terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu
Mykes (fungi) dan Rhiza (akar). Kata mikoriza pertama kali dikemukakan oleh Frank (1885) dalam Armson (1977) yang melihat fungi di dalam sel akar tumbuhan yang ditelitinya di Jawa antara lain akar jati. Mikoriza secara harfiah
berarti fungi akar. Dalam konteks ini merupakan kandungan simbiotik dan
mutualistik menguntungkan antara fungi non patogen dengan sel-sel akar yang
hidup, terutama sel epidermis dan korteks. Frank membedakannya menjadi dua
golongan yakni ekto dan endomikoriza. Kebanyakan simbiosis yang tersebar luas
diantara tanaman adalah mikoriza yang meliputi berbagai macam fungi yang menempati
akar dan akar penyerap (Fakuara, 1988; Suhardi, 1989).
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) merupakan salah satu tipe fungi endomikoriza
yang masuk dalam kelas zygomycetes dengan ordo Glomales. Terdiri dari dua sub ordo
yaitu sub ordo satu Gigasporineae famili Gigasporaceae dengan dua genus yaitu
Gigaspora dan Scuttellospora, sub ordo dua yaitu Glomineae dan terdiri dari dua famili
yaitu Glomaceae dengan genus Sclerocytis dan Glomus, famili Acaulosporaceae dengan
genus Acaulospora dan Entrophospora (Kramadibrata, 1999).
Fungi mikoriza arbuskula yang membentuk asosiasi simbiotik dengan akar
tanaman inangnya yang dapat hidup di dalam dan di luar jaringan akar (dalam
tanah), fenomena ini dapat secara langsung berinteraksi dengan mikrobia tanah
lainnya atau melalui fisiologi inang (akar dan pola eksudasi). Selain itu juga
dipengaruhi oleh inang dan faktor edafik seperti pH tanah, kelembapan, komposisi
nutrisi, bahan organik dan sifat fisik inang (Lestari, 1998).
Fungi mikoriza memelihara kesehatan hutan secara keseluruhan. Fungi ini
perlindungan terhadap patogen akar. Stendell et al. (1999) mempelajari bahwa total biomassa ektomikoriza di plot tidak terbakar tidak berbeda untuk setiap
lapisan inti, sementara di lokasi dibakar, kerusakan lapisan organik serasah
mengakibatkan pengurangan delapan kali lipat total biomassa ektomikoriza.
Biomassa mikoriza dalam dua lapisan mineral tidak berkurang secara signifikan
oleh api. Kebakaran hutan dapat mempengaruhi fungi mikoriza arbuskula dengan
mengubah kondisi tanah dan dengan langsung mengubah penyebaran fungi
mikoriza arbuskula. Bila dibandingkan dengan daerah kontrol terdekat, lokasi
kebakaran memiliki jumlah yang sama dari total spora tetapi jumlah yang lebih
rendah dari propagul fungi mikoriza arbuskula (Verma dan Jayakumar, 2012).
Menurut Verma dan Jayakumar (2012) sifat biologi tanah sangat
terpengaruh oleh terjadinya kebakaran. Hal ini karena sensitivitas
mikro-organisme dan invertebrata terhadap suhu tinggi. Api mengurangi jumlah dan
diversitas dari invertebrata dan mikro-organisme tanah. Tapi dibandingkan
dengan mikro-organisme, hunian invertebrata tanah kurang terpengaruh karena
mobilitas tinggi dan kebiasaan menggali.
Menurut Nelson dan Safir (1982) bahwa keadaan tergenang akan
mengurangi infeksi mikoriza karena menyebabkan suasana anaerob yang tidak
sesuai bagi jamur untuk bertahan dan berkembang sedangkan pada kelembaban
tinggi akan menghambat perkembangan spora. Kekeringan tidak menghambat
pertumbuhan mikoriza namun meningkatkan perkembangan akar lateral dan
setelah kolonisasi membantu laju pemanjangan akar dan jumlah mikoriza
Ketersediaan unsur P dalam tanah memiliki hubungan yang berbanding
terbalik dengan derajat infeksi mikoriza pada akar tanaman dan kelimpahan spora
(Gianinazi-Pearson dan Diem, 1982). Mosse (1981) menyatakan bahwa kadar P
yang tinggi dapat menyebabkan permeabilitas dan eksudasi akar menurun. Hal ini
diduga menjadi penyebab terhambatnya perkecambahan spora dan infeksi
mikoriza pada akar tanaman inang.
Infeksi bibit pohon oleh fungi pembentuk mikoriza terjadi pada masa
pertumbuhan pertama setelah daun primer telah dihasilkan. Infeksi bisa dari akar
mikoriza atau dari spora. Tidak semua akar pohon akan terinfeksi dan bentuk akar
yang terinfeksi akan beragam. Menyebar, berbentuk piramida, coralloid, dan
nodular adalah istilah yang mendeskripsikan bentuk tertentu dari akar yang
terinfeksi oleh fungi mikoriza. Endomikoriza biasanya tidak memiliki lapisan luar
dan hifa ditemukan dalam sel tanaman. Seringkali vesikel besar dihasilkan di
dalam atau di luar akar (Armson, 1977).
D.Struktur Umum Fungi Mikoriza Arbuskula
Struktur FMA meliputi hifa eksternal, hifa internal, spora, arbuskula atau
vesikula. Infeksi fungi hanya pada korteks primer sehingga tidak menyebabkan
kerusakan pada jaringan akar. Proses infeksi dimulai dengan pembentukan
apresorium pada permukaan akar oleh hifa eksternal, dan selanjutnya hifa akan
menembus sel-sel korteks akar melalui rambut akar atau sel epidermis. Hifa dari
FMA tidak bersekat, hifa ini terdapat diantara sel-sel korteks akar dan
bercabang-cabang di dalamnya, tetapi tidak sampai masuk ke jaringan stele. Di dalam sel-sel
yang terinfeksi terbentuk gelung hifa atau cabang-cabang hifa kompleks yang
Endomikoriza dicirikan oleh hifa yang intraseluler, yaitu hifa yang
menembus ke dalam sel-sel korteks dan dari sel yang satu ke sel yang lain.
Diantara sel-sel terdapat hifa yang membelit atau struktur hifa yang
bercabang-cabang yang disebut arbuskula dan pembengkakan yang terbentuk pada hifa yang
mengandung minyak yang disebut vesikular sehingga struktur ini adalah dasar
untuk menunjukkan endomikoriza sebagai mikoriza vesikuler-arbuskular. Vesikel
berfungsi sebagai tempat penyimpanan yang diameternya lebih kecil dari 1 mm.
Sedangkan arbuskula berfungsi menyediakan unsur hara atau mentransfer hara
dari tanah ke tanaman sehingga dapat dimanfaatkan oleh tanaman
(Armson, 1977).
Spora terbentuk pada ujung hifa eksternal. Spora ini dapat dibentuk secara
tunggal, berkelompok atau di dalam sporokarp tergantung pada jenis funginya.
Perkecambahan spora sangat sensitif tergantung kandungan logam berat di dalam
tanah dan juga kandungan Al, kandungan Mn juga mempengaruhi pertumbuhan
miselium. Spora dapat hidup di dalam tanah beberapa bulan sampai beberapa
tahun. Namun untuk perkembangan FMA memerlukan tanaman inang. Spora
dapat disimpan dalam waktu lama sebelum digunakan lagi (Mosse, 1981).
Kebanyakan penelitian menangani keanekaragaman FMA bergantung
pada identifikasi morfologi spora FMA yang diperoleh baik secara langsung dari
lapangan atau dari budaya perangkap. Spora dari lapangan yang dikumpulkan,
namun, dalam beberapa keadaan, kekurangan informasi karakteristik taksonomi
mempengaruhi identifikasi yang lebih akurat. Pembuatan budaya perangkap
mudah diidentifikasi dan mempermudah mengetahui keanekaragaman spesies
FMA (Leal et al., 2009).
E. Hasil Penelitian pada Berbagai Ekosistem
Hasil identifikasi Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA) pada tanah gambut
bekas terbakar dengan mengambil sampel tanah sebanyak 250 g, di tiga lokasi
yaitu lokasi I yaitu jalan Arengka 2, Payung sekaki, lokasi II di jalan Tuanku
Tambusai, Payung Sekaki dan lokasi III di Jalan Delima Ujung, Tampan
Pekanbaru, menunjukkan hasil yang berbeda dari setiap lokasi identifikasi FMA
berdasarkan Manual for The Identification of VA Mychorrizal (VAM) dengan pengamatan secara mikrokopis berdasarkan karekteristik yang dilihat dari hiasan,
wama, bentuk dan ukuran dari spora. Adapun hasil pengamatan tersebut yang
jenis FMA yang ditemukan adalah Glomus proliferum, Glomus intraradices, Glomus sp.l., Glomus sp. 2., dan Acaulospora tuberculata (Sayuti et al., 2011)
F. Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Kecamatan Pangururan
Lokasi penelitian dilaksanakan pada areal terbakar di desa Siogung-ogung
dan desa Sosor Dolok, Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir, Propinsi
Sumatera Utara. Luasan hutan yang terbakar pada tahun 2012 di kawasan Hutan
Lindung desa Siogung-ogung mencapai 0.5 Ha. Pada tahun 2013, kebakaran di
lahan masyarakat dan kawasan hutan desa Sosor Dolok mencapai 60 Ha.
Data curah hujan di daerah Kecamatan Simanindo menurut Balai
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika dapat dilihat pada lampiran. Angka curah
hujan rata-rata 100-250 mm tiap tahun. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
Samosir tergolong yang beriklim tropis basah dengan suhu berkisar antara 170
C-290C dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85.04% termasuk Kecamatan Pangururan yang merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Samosir. Sebaran
jenis tanah di wilayah Pangururan didominasi oleh jenis tanah litosol, podsolik, dan regosol (Badan Pusat Statistik, 2013).
Kecamatan Simanindo
Penelitian ini dilaksanakan pada areal terbakar di desa Sijambur Nabolak
dan Curaman Tomok, Kecamatan Simanindo, Kabupaten Samosir, Propinsi
Sumatera. Sedangkan untuk lokasi penelitian pada areal yang tidak terbakar
(kontrol) dilaksanakan di desa Tolping, Kecamatan Simanindo, Kabupaten
Samosir, Propinsi Sumatera Utara. Luasan hutan yang terbakar pada tahun 2010
di kawasan Hutan Lindung desa Sijambur Nabolak mencapai 93 Ha. Pada tahun
2011 dan tahun 2014, kebakaran di kawasan Hutan Lindung desa Curaman
Tomok mencapai 3 Ha.
Kecamatan Simanindo berada di hamparan dataran dan struktur tanahnya
labil berada pada jalur gempa tektonik dan vulkanik. Wilayah Kabupaten Samosir
memiliki angka curah hujan rata-rata 100-250 mm tiap tahun. Data curah hujan di
daerah Kecamatan Simanindo menurut Balai Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika dapat dilihat pada lampiran. Curah hujan tertinggi terjadi pada bulan
September dan curah hujan terendah terjadi bulan Februari. Seperti halnya
Kecamatan Pangururan, Kecamatan Simanindo juga tergolong beriklim tropis
basah dengan suhu berkisar antara 170C-290C dan rata-rata kelembaban udara sebesar 85.04% termasuk. Sebaran jenis tanah di wilayah Simanindo didominasi
BAB III
BAHAN DAN METODE
A.Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai September 2014.
Pengambilan tanah dan akar tanaman dilakukan di areal tanah bekas kebakaran
hutan di Kabupaten Samosir. Ekstraksi spora, identifikasi dan penghitungan
persentase kolonisasi FMA pada akar tanaman dilakukan di Laboratorium Biologi
Tanah, Fakultas Pertanian USU. Analisis sampel tanah dilakukan di Laboratorium
Sentral, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Kegiatan pemerangkapan
dilakukan di rumah kaca, Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitiaan ini adalah contoh tanah dan akar
pada tegakan yang ada pada petak contoh. Benih jagung (Zea mays sp.) sebagai inang pada perlakuan pemerangkapan. Untuk ekstraksi dan identifikasi spora
mikoriza digunakan bahan berupa larutan glukosa 60%, larutan Melzer’s sebagai
bahan pewarna spora dan larutan polyvinyl lacto glycerol (PVLG) sebagai bahan pengawet spora. Larutan trypan blue untuk bahan proses pewarnaan akar (staining). Larutan KOH 10% untuk mengeluarkan cairan sitoplasma dalam akar, sehingga akar pucat dan sebagai pengawet. Larutan HCl 2% untuk mempermudah
masuknya trypan blue pada saat pewarnaan.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini untuk pengambilan contoh tanah
425 μm, 200 μm dan 53 μm, tabung sentrifuse, cawan petri, pinset spora,
mikroskop binokuler, mikroskop cahaya, kaca preparat, dan kaca penutup. Alat
yang digunakan untuk pemerangkapan di rumah kaca berupa pot (aqua cup), dan sprayer.
C.Metode Penelitian
Pembuatan Petak
Petak penelitian dibuat sesuai metode ICRAF (Ervayenri et al., 1999). Jumlah
petak pengamatan dibuat sebanyak tiga petak setiap tahun pengamatan. Ukuran petak
sampel tanah adalah 20 m x 20 m. Dalam satu petak diambil enam titik sampel tanah
secara zig-zag dan dikompositkan. Sampel tanah yang sudah dikompositkan, ditempatkan
pada kantong plastik yang telah diberi label. Seluruh sampel tanah diletakkan didalam
tempat khusus agar kondisi fisik tanah tersebut terjaga untuk kemudian dianalisis ke
laboratorium.
Pengambilan Sampel Tanah
Pengambilan sampel tanah dilakukan di Kabupaten Samosir yaitu tanah
bekas kebakaran hutan pada 5 periode yaitu tahun 2010, 2011, 2012, 2013, dan
2014 dan sebagai pembanding (kontrol) adalah dari tanah hutan yang belum
pernah terbakar. Lokasi pengambilan sampel untuk masing-masing periode secara
berurutan adalah tahun 2010 di Desa Sijambur Nabolak, Kecamatan Simanindo,
tahun 2011 dan 2014 di Desa Curaman Tomok, Kecamatan. Simanindo, tahun
2012 di Desa Siogung-ogung, Kecamatan. Pangururan, 2013 Desa Sosor Dolok,
Kecamatan Pangururan, sedangkan pengambilan sampel tanah sebagai kontrol
disesuaikan di Desa Tolping, Kecamatan Simanindo. Pengambilan sampel tanah
Berat tanah yang diambil setiap titik sebanyak 500 gr, sehingga total sampel tanah
yang diambil untuk tiap petak pengamatan sebanyak 3000 gr. Sampel tanah tiap
titik dalam satu petak dicampur dalam satu tempat hingga homogen untuk
mewakili satu petak. Setelah pencampuran dianggap homogen diambil 500 gr
sampel tanah untuk tiap petak.
Pengambilan Sampel Akar
Akar tanaman yang diambil yaitu akar tanaman perdu yang berada pada
setiap petak contoh. Setiap jenis yang tumbuh pada petak contoh dicabut sebagai
sampel yang mewakili tiap jenis tanaman tersebut. Akar yang dimati adalah akar
yang memiliki diameter berukuran 0.5 -1.0 mm.
Analisis Tanah
Sebelum melakukan penelitian, terlebih dahulu dilakukan analisa awal
terhadap kondisi tanah, meliputi pH, C-organik dan P-tersedia, dan KTK untuk
mengetahui sifat tanah.
Ekstraksi dan Identifikasi Spora FMA
Teknik yang digunakan dalam mengekstraksi spora FMA adalah teknik
tuang-saring dari Pacioni (1992) dalam Brundrett et al. (1996) dan akan dilanjutkan dengan teknik sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Prosedur kerja teknik tuang-saring ini dimulai dengan mencampurkan tanah sampel sebanyak 50
g dengan 200–300 ml air dan diaduk sampai butiran-butiran tanah hancur.
Selanjutnya disaring dalam satu set saringan dengan ukuran 710 μm, 425 μm, 200 μm dan 53 μm secara berurutan dari atas ke bawah. Dari saringan bagian atas
disemprot dengan air kran untuk memudahkan bahan saringan lolos. Kemudian
kran. Setelah saringan kedua dilepas sejumlah tanah sisa yang tertinggal pada
saringan terbawah dipindahkan ke dalam tabung sentrifuse.
Ekstraksi spora teknik tuang-saring ini kemudian diikuti dengan teknik
sentrifugasi dari Brundrett et al. (1996). Hasil saringan dalam tabung sentrifuse ditambahkan dengan glukosa 60% yang diletakkan pada bagian bawah dari
larutan tanah dengan menggunakan pipet. Tabung sentrifuse ditutup rapat dan
disentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 3 menit. Selanjutnya larutan supernatan tersebut dituang ke dalam saringan 53 μm, dicuci dengan air mengalir
(air kran) untuk menghilangkan glukosa. Endapan yang tersisa dalam saringan di
atas dituangkan ke dalam cawan petri dan kemudian diamati di bawah mikroskop
binokuler untuk penghitungan kepadatan spora dan pembuatan preparat guna
identifikasi spora FMA yang ada.
Pembuatan preparat spora menggunakan bahan pewarna Melzer’s dan
pengawet PVLG yang diletakkan secara terpisah pada satu kaca preparat.
Spora-spora FMA yang diperoleh dari ekstraksi setelah dihitung jumlah diletakkan
dalam larutan Melzer’s dan PVLG dan jenis spora FMA yang ada dikedua larutan
ini sama. Selanjutnya spora-spora tersebut dipecahkan secara hati-hati dengan
cara menekan kaca penutup preparat menggunakan ujung lidi. Perubahan warna
spora dalam larutan Melzer’s adalah salah satu indikator untuk menentukan tipe
spora yang ada.
Kolonisasi FMA pada Akar Tanaman Sampel
Pengamatan kolonisasi FMA pada akar tanaman sampel dilakukan melalui
Brundrett et al. (1996). Langkah pertama adalah memilih akar-akar halus dengan diameter ± 0.5 mm segar dan dicuci dengan air mengalir hingga bersih.
Sampel akar dimasukkan ke dalam larutan KOH 10% dan dibiarkan
selama lebih kurang 24 jam sehingga akar akan berwarna putih atau pucat.
Tujuannya adalah untuk mengeluarkan semua isi sitoplasma dari sel akar sehingga
akan memudahkan pengamatan struktur infeksi FMA. Larutan KOH kemudian
dibuang dan akar sampel dicuci pada air mengalir selama 5-10 menit. Selanjutnya
akar sampel direndam dalam larutan HCl 2% dan didiamkan selama satu malam.
Larutan HCl 2% kemudian dibuang dengan mengalirkannya secara
perlahan-lahan. Selanjutnya akar sampel direndam dalam larutan trypan blue 0.05%. Kemudian larutan trypan blue dibuang dan diganti dengan larutan lacto glycerol untuk proses pengurangan warna (destaining). Selanjutnya kegiatan pengamatan siap dilakukan.
Penghitungan persentase kolonisasi akar menggunakan metode panjang
akar terkolonisasi Giovannetti dan Mosse (1980), dalam Brundrett et al. (1996). Secara acak diambil potong-potongan akar yang telah diwarnai dengan panjang ±
1 cm sebanyak 10 potongan akar dan disusun pada kaca preparat, untuk setiap
tanaman sampel dibuat dua preparat akar. Potongan-potongan akar pada kaca
preparat diamati untuk setiap bidang pandang. Bidang pandang yang
menunjukkan tanda-tanda kolonisasi (terdapat hifa dan atau arbuskula dan atau
vesikula) diberi tanda positif (+), sedangkan yang tidak terdapat tanda-tanda
kolonisasi diberi tanda negatif (-). Derajat/persentase kolonisasi akar dihitung
dengan menggunakan rumus:
% kolonisasi akar = ∑ ������_������� _�������� _(+)
Pemerangkapan (Trapping Culture)
Pemerangkapan dilakukan untuk memperoleh data jenis spora FMA yang
sebenarnya, yang kemungkinan mengalami dorman pada saat isolsi langsung dari
lapangan. Teknik pemerangkapan (trapping culture) digunakan denngan mengikuti metode Brundrett et al. (1996).
Setiap contoh tanah dibuat 5 pot kultur sehingga terdapat 30 pot kultur.
Media tanam pot kultur berupa campuran 50 gr tanah dan pasir sebanyak 100 gr.
Media dibuat tiga lapisan pada pot yaitu lapisan bawah pasir, lapisan tengah
sampel tanah penelitian dan lapisan atas pasir. Selanjutnya benih jagung
(Zea mays, sp.) ditanam pada lubang tanam pada pot tersebut. Disamping itu diberikan penambahan terrabuster guna merangsang pembentukan spora yang lebih baik. Perlakuan terrabuster diberikan dengan konsentrasi 2.5% sebanyak 20 ml tiap pot. Frekuensi pemberian terrabuster adalah 3x1 minggu selama 1 bulan pertama dan 1x1 minggu selama 1 bulan kedua. Penambahan terrabuster ini diharapkan berpengaruh terhadap sporulasi fungi mikoriza.
Pemeliharaan kultur meliputi kegiatan penyiraman, pemberian hara dan
pengendalian hama secara manual. Larutan hara yang digunakan adalah Hyponex
merah (25-5-25) dengan konsentrasi 1gr/L. Pemberian larutan hara dilakukan
setiap minggu sebanyak 20 ml tiap pot kultur.
Setelah kultur berumur 8 minggu kegiatan penyiraman dihentikan dengan
tujuan mengkondisikan kultur pada keadaan stress kekeringan. Proses
pengeringan ini berlangsung secara perlahan sehingga dapat merangsang
pembentukan spora lebih banyak. Periode pengeringan ini akan berlangsung
dengan menggunakan teknik isolasi spora yang telah dijelaskan seperti pada
bagian ekstraksi dan identifikasi spora FMA.
Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan meliputi analisis tanah lokasi penelitian,
penghitungan kepadatan spora FMA hasil isolasi dari lapangan, kepadatan spora
FMA hasil pemerangkapan, penyajian tabel hasil identifikasi hasil tipe-tipe spora
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.Kondisi Kandungan Kimia Tanah Kebakaran Hutan
Berdasarkan kriteria Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dan BPP Medan (1982)
analisis kimia tanah diketahui bahwa kisaran pH tanah yang terdapat pada areal
penelitian tergolong masam dan agak masam. Kandungan bahan organik
tergolong sangat rendah, hingga sangat tinggi, untuk kandungan P-tersedianya
tergolong pada kondisi yang sangat rendah. Sedangkan nilai kapasitas tukar kation
tergolong rendah dan sedang. Terdapat perbedaan nilai sifat kimia tanah dari
setiap sampel tanah pengamatan. Nilai KTK tanah tergolong kriteria rendah
hingga sedang. Hasil analisis kimia tanah sampel penelitian dapat dilihat pada
Tabel 1.
Tabel 1. Data hasil analisis sifat kimia tanah bekas kebakaran di Kabupaten Samosir Tahun
Keterangan: am: agak masam; m: masam; n: netral; s: sedang sr: sangat rendah; r: rendah; st: sangat tinggi
Sumber: Staf Pusat Penelitian Tanah (1983) dan BPP Medan (1982) dalam Muklis (2007)
Berdasarkan hasil analisis sifat kimia tanah diketahui bahwa tanah yang
mengalami kebakaran pada tahun 2011 dan yang tidak mengalami kebakaran
cenderung memiliki sifat kimia tanah yang sama, dimana pH-nya bereaksi agak
masam, kandungan C-Organik rendah, P-tersedianya sangat rendah dan kapasitas
pH yang bereaksi masam, kandungan C-Organik yang sanagt tinggi, P-tersedia
yang sangat rendah dan kapasitas tukar kation yang sedang. Untuk tahun 2013
memiliki pH netral, kandungan C-Organik rendah, P-tersedia sangat rendah dan
kapasitas tukar kation sangat rendah. Untuk tahun 2011 dan 2014 memiliki pH
yang bereaksi masam, C-Organik sangat rendah, P-tersedia sangat rendah dan
kapasitas tukar kation sedang.
Berdasarkan data Tabel 1 dapat diketahui bahwa waktu terjadinya
kebakaran mempengaruhi sifat kimia tanah, dimana semakin lama jarak antara
kejadian kebakaran dan pengamatan maka sifat kimia tanah cenderung memiliki
sifat kimia yang hampir sama dengan tanah yang tidak mengalami kebakaran,
sedangkan untuk tanah yang baru mengalami kebakaran memiki sifat kimia yang
beragam tergantung pada jenis kebakarannya, jenis tanahnya, jenis tegakannya
dan faktor lain yang mempengaruhi.
Penurunan pH tanah ini juga berdampak pada nilai KTK tanah dan
P-tersedia dalam tanah. Pada penelitian ini pH tanah yang rendah dan KTK yang
rendah juga berbanding lurus nilainya. Hal ini karena pH tanah yang rendah
konsentrasi hidrogen dalam tanah tinggi dan terikat kuat pada kation-kation
masam sehingga yang terbentuk adalah asam kuat dan pertukaran kation yang
terjadipun rendah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hakim et al. (1986) bahwa seiring dengan peningkatan pH maka jumlah kation yang dapat dipertukarkan
(KTK) dalam tanah juga akan meningkat karena kation-kation masam tadi dapat
dilepaskan dan dapat dipertukarkan. Demikian sebaliknya jika pH menurun maka
kation-kation akan terjerap dalam tanah dan tidak dapat dipertukarkan sehingga
Sifat kimia yang lain yang berpengaruh pada penelitian ini adalah
ketersediaan unsu P dalam tanah. Data hasil analisis sifat kimia tanah di
laboratorium menunjukkan bahwa nilai P-tersedia dalam tanah termasuk kriteria
yang sangat rendah. Menurut Hardjowigeno (2007) bahwa faktor yang
mempengaruhi tersedianya P untuk tanaman yang terpenting dalah pH tanah. P
paling mudah diserap oleh tanaman pada pH netral (6-7). Dalam tanah masam
banyak unsur P baik yang sudah ada dalam tanah maupun yang diberikan ke tanah
melalui pemupukan terikat oleh unsur-unsur Al dan Fe sehingga P tidak dapat
diserap tanaman.
B. Keberadaan Fungi Mikoriza Arbuskula (FMA)
Struktur fungi mikoriza arbuskula yang ditemui adalah hifa dan vesikula.
Bentuk struktur hifa dan vesikula dapat dilihat pada Gambar 1 dan 2.
Gambar 2. Vesikula pada Fungi Mikoriza Arbuskula
Fungi mikoriza arbuskula (FMA) memiliki beberapa struktur untuk dapat
bertahan hidup di dalam akar tanaman dan di dalam tanah. Struktur tersebut
diantaranya arbuskula, hifa dan vesikula. Pada penelitian ini struktur yang ditemui
adalah hifa dan vesikula. Setiap struktur tersebut memiliki fungsi yang
berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan pernyataan Armson (1977) bahwa endomikoriza
dicirikan oleh hifa yang intraseluler, yaitu hifa yang menembus ke dalam sel-sel
korteks dan dari sel yang satu ke sel yang lain. Diantara sel-sel terdapat hifa yang
membelit atau struktur hifa yang bercabang-cabang yang disebut arbuskula dan
pembengkakan yang terbentuk pada hifa yang mengandung minyak yang disebut
vesikula. Vesikula berfungsi sebagai tempat penyimpanan cadangan makanan
yang diameternya lebih kecil dari 1 mm. Sedangkan arbuskula berfungsi
menyediakan unsur hara atau mentransfer hara dari tanah ke tanaman sehingga
dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Umur hidup arbuskula yang singkat dan
bersifat meluruh pada kondisi kering sehigga pada saat pengambilan sampel akar
dan pengamatan di bawah mikroskop struktur ini tidak ditemukan.
Hasil yang diperoleh pada penelitian ini untuk persentase kolonisasi fungi
diperoleh pada tahun 2010 yaitu sebesar 62.5% dan terendah adalah pada lahan
tidak terbakar (kontrol) sebesar 42.4%. Akan tetapi perbedaan nilai ini tidak
menunjukkan perbedaan pada kriteria karena menurut Rajapakse dan Miller
(1992) dan O’Connor et al. (2001) dalam Nusantara et al. (2012) pada Lampiran 2, nilai persentase ini termasuk pada kriteria kelas 3 dan kelas 4 atau tergolong
tinggi. Persentase kolonisasi fungi mikoriza pada akar tanaman dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tabel 2. Data persentase kolonisasi fungi mikoriza arbuskula pada akar tanaman Tahun Kebakaran Persentase kolonisasi(%) Kriteria
2010 62.5 Kelas 4 (tinggi)
Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa persentase kolonisasi yang diperoleh
tergolong tinggi, walaupun nilainya berbeda-beda. Nilai ini sesuai dengan kondisi
sifat kimia sampel tanah yang digunakan yaitu kondisi pH tanah yang rendah
(masam) didukung juga dengan ketersediaan unsur P yang sangat rendah sehingga
kolonisasi fungi pada akar tergolong tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Gianinazi-Pearson dan Diem, (1982) bahwa ketersediaan unsur P dalam tanah
memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan derajat infeksi mikoriza
pada akar tanaman dan kelimpahan spora. Didukung juga pernyataan Mosse
(1981) bahwa kadar P yang tinggi dapat menyebabkan permeabilitas dan eksudasi
akar menurun.
Berdasarkan data pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa jumlah spora yang
diperoleh dari tiap tahun kebakaran berbeda-beda. Pada tanah yang mengalami
gram tanah. Pada tanah yang tidak terbakar (kontrol) memiliki jumlah spora
paling sedikit yaitu 261 per 50 gram tanah. Dari data tersebut dapat dilihat bahwa
semakin lama tahun kejadian kebakaran tanah jumlah spora yang ditemukan
semakin menurun hingga pada tanah kontrol. Hasil perhitungan jumlah spora
yang diperoleh dari sampel tanah dari lapangan dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Rata-rata kepadatan spora setiap tahun kebakaran di lapangan
Tahun Kebakaran Rata-rata Kepadatan Spora/50 gram Tanah
2010 2130
Kondisi lapangan pengambilan sampel tanah yang cukup terbuka dengan
sedikit tajuk pohon dan penutup tanah mengakibatkan sinar matahari yang
langsung terpapar pada tanah sehingga meningkatkan suhu dalam tanah. Seperti
yang disampaikan oleh Suhardi (1989) bahwa spora yang dihasilkan oleh FMA
akan semakin banyak jika perkembangan kolonisasinya juga tinggi. Kolonisasi
yang tinggi sangat ditentukan oleh keterbukaan lingkungan tajuk tanaman inang
dan suhu lingkungan. Hal ini sesuai dengan nilai persentase kolonisasi yang
diperoleh pada Tabel 4 yaitu kriteria yang tergolong tinggi.
Berdasarkan data pada Tabel 3 dan 4 menunjukkan bahwa adanya
peningkatan jumlah spora dari hasil trapping dibandingkan dengan jumlah spora
yang ditemukan dari lapangan. Oehl et al. (2009) dalam Nusantara et al. (2012) menyatakan bahwa proses trapping yang pada dasarnya digunakan untuk menstimulasi sporulasi atau meningkatkan jumlah propagul FMA yang ada dalam
tanah yang diambil dari lapangan. Hal tersebut perlu dilakukan karena tidak
melimpah pada musim hujan, sebagian lainnya pada waktu musim kemarau, dan
sebagian lainnya ada sepanjang tahun. Kepadatan spora dari hasil trapping dapat dilihat pada Tabel 4:
Tabel 4. Rata-rata kepadatan spora hasil trapping
Tahun Kebakaran Rata-rata Kepadatan Spora/50 gram Tanah
2010 2782.33
2011 449.33
2012 1497.00
2013 1327.33
2014 431.00
Kontrol 268.66
Peningkatan jumlah spora hasil trapping didukung oleh banyak faktor. Seperti yang dilaporkan oleh Sancayaningsih (2005), pengaruh perlakuan tempat
tumbuh tanaman inang dan lama waktu memberikan hasil berbeda nyata terhadap
perbanyakan spora (jumlah spora). Faktor lain yang mempengaruhi proses
Identifikasi tipe spora pada FMA dapat dilakukan setelah pengambilan
dokumentasi di bawah mikroskop. Tipe dan karakteristik spora yang ditemukan
dari lapangan dapat dilihat pada Tabel 5, 6, 7, 8, 9, dan 10.
Tabel 5. Tipe dan karakteristik spora di lapangan tahun 2010 No. Tipe spora FMA Perbesaran Karakteristik 1
Glomus sp-1
40 x Spora berbentuk bulat, berwarna cokelat, permukaan kasar
2
Glomus sp-2
40 x Spora berbentuk lonjong, dinding spora tipis, warna kuning, permukaan halus, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)
3
Glomus sp-3
40 x Spora berbentuk lonjong, warna coklat, permukaan kasar, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)
4
Glomus sp 4
5
Acalauspora sp-1
40 x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan, dinding spora tebal
6
Glomus sp-5
40 x Spora berbentuk bulat, permukaan halus tanpa ornamen, ada tangkai hifa
(Subtending hyphae)
7
Glomus sp-6
40 x Spora berbentuk bulat, ukuran besar, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus
8
Glomus sp-7
40 x Spora berbentuk bulat, permukaan halus, dinding spora tebal dan tidak menyerap larutan
9
Acalauspora sp-2
10
Acalauspora sp-3
40 x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan dan ada ornamen seperti kulit jeruk
11
Acalauspora sp-4
40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, menyerap larutan warnanya merah keunguan
12
Glomus sp-8
40 x Spora berbentuk bulat, permukaan halus, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)
13
Glomus sp-9
40 x Spora berbentuk bulat, permukaan kasar, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)
14
Glomus sp-10
15
Acalauspora sp-5
40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, menyerap larutan warnanya merah.
16
Acalauspora sp-6
Tabel 6. Tipe dan karakteristik spora di lapangan tahun 2011 No. Tipe Spora FMA Perbesaran Karakteristik 1
Acalauspora sp-7
40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, menyerap larutan warnanya merah, ada ornamen bintik-bintik hitam
2
Glomus sp-11
40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, warnanya merah, dinding spora berlapis-lapis
3
Glomus sp-12
40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, warnanya kuning
4
Glomus sp-5
40 x Spora berbentuk bulat, permukaan halus tanpa ornamen, ada tangkai hifa
(Subtending hyphae)
5
Glomus sp-3
6
Glomus sp-13
40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tebal, warnanya coklat, permukaan halus
7
Glomus sp-14
40 x Spora berbentuk lonjong, dinding spora tipis, permukaan kasar, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)
8
Glomus sp-4
40 x Spora berbentuk bulat, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus
9
Acalauspora sp-3
40 x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan dan ada ornamen seperti kulit jeruk
10
Acalauspora sp-8
11
Glomus sp-15
40 x Spora berbentuk lonjong, tidak menyerap larutan, dinding spora tipis, permukaan halus
12
Acalauspora sp-9
Tabel 7. Tipe dan karakteristik spora di lapangan tahun 2012 No. Tipe spora FMA Perbesaran Karakteristik 1
Acalauspora sp-7
40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih kecil, menyerap larutan warnanya merah, ada ornamen seperti kulit jeruk
2
Glomus sp-4
40 x Spora berbentuk bulat, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus
3
Glomus sp-16
40 x Spora berbentuk lonjong, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus, warnanya gelap (hitam)
4
Glomus sp-17
40 x Spora berbentuk bulat, tidak
menyerap larutan, permukaan halus, warnanya gelap (hitam)
5
Glomus sp-5
6
Acalauspora sp-9
40 x Spora berbentuk bulat, ukran lebih besar, menyerap larutan, ada ornamen seperti kulit jeruk
7
Glomus sp-18
40 x Spora berbentuk bulat, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus, warnanya gelap (hitam)
8
Glomus sp-19
40 x Spora berbentuk bulat, tidak
menyerap larutan, permukaan halus, warnanya kuning, ada bintik-bintik hitam
9
Acalauspora sp-8
40 x Spora berbentuk bulat , menyerap larutan dan perbedaan lapisan
10
Glomus sp-8
11
Glomus sp-6
40 x Spora berbentuk bulat, ukuran besar, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus
12
Acalauspora sp-1
40 x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan, dinding spora tebal
13
Acalauspora sp-4
40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, menyerap larutan warnanya merah keunguan
14
Acalauspora sp-3
Tabel 8. Tipe dan karakteristik spora di lapangan tahun 2013 No. Tipe spora FMA Perbesaran Karakteristik 1
Glomus sp-13
40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tebal, warnanya coklat, permukaan halus
2
Glomus sp-6
40 x Spora berbentuk bulat, ukuran besar, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus
3
Acalauspora sp-10
40 x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, menyerap larutan dan ada ornamen seperti kulit jeruk
4
Acalauspora sp-6
40 x Spora berbentuk lonjong, permukaan halus, menyerap larutan warnanya coklat.
5
Glomus sp-8
6
Acalauspora sp-4
40 x Spora berbentuk bulat, ukuran kecil, menyerap larutan, warnanya coklat
7
Acalauspora sp-2
40 x Spora berbentuk bulat, ada lapisan dinding, permukaan spora memunyai ornamen seperti kulit jeruk
8
Glomus sp-2
40 x Spora berbentuk lonjong, dinding spora tipis, warna kuning, permukaan halus, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)
9
Glomus sp-20
40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tipis, warna kuning, permukaan halus, tidak menyerap larutan
10
Glomus sp-21
11
Acalauspora sp-11
40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tebal, warna merah keunguan, permukaan halus, menyerap larutan, dan ada perbedaan lapisan
12
Acalauspora sp-12
40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tebal, warna merah, permukaan kasar, menyerap larutan,
13
Glomus sp-16
Tabel 9. Tipe dan karakteristik spora di lapangan tahun 2014 No. Tipe spora FMA Perbesaran Karakteristik 1
Glomus sp-22
40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tebal, warna gelap (hitam), permukaan halus, tidak menyerap larutan
2
Glomus sp-16
40 x Spora berbentuk lonjong, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae), permukaan halus, warnanya gelap (hitam)
3
Acalauspora sp-4
40 x Spora berbentuk bulat, ukuran kecil, menyerap larutan, warnanya kuning
4
Glomus sp-2
40 x Spora berbentuk lonjong, dinding spora tipis, warna kuning, permukaan halus, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)
5
Acalauspora sp-7
6
Glomus sp-3
40 x Spora berbentuk bulat, warna coklat, permukaan kasar, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)
7
Acalauspora sp-8
40 x Spora berbentuk bulat , menyerap larutan dan perbedaan lapisan
8
Glomus sp-13
40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tebal, warnanya coklat, permukaan halus
9
Acalauspora sp-3
40 x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan dan ada ornamen seperti kulit jeruk
10
Acalauspora sp-5
11
Acalauspora sp-12
40 x Spora berbentuk bulat, dinding spora tebal, warna merah, permukaan kasar, menyerap larutan,
Tabel 10. Tipe dan karakteristik spora di lapangan pada tanah kontrol No Tipe Spora FMA Perbesaran Karakteristik 1
Glomus sp-7
40x Spora berbentuk bulat, permukaan halus, dinding spora tebal dan tidak menyerap larutan
2
Acalauspora sp-1
40x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan, dinding spora tebal
3
Glomus sp-8
40x Spora berbentuk bulat, permukaan halus, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)
4 40x Spora berbentuk lonjong, tidak
Glomus sp-15 5
Glomus sp-17
40x Spora berbentuk bulat, tidak
menyerap larutan, permukaan halus, warnanya merah
6
Glomus sp-11
40x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, warnanya merah, dinding spora berlapis-lapis
7
Acalauspora sp-4
40x Spora berbentuk bulat, ukuran kecil, menyerap larutan, warnanya kuning
8
Glomus sp-2
40x Spora berbentuk lonjong, dinding spora tipis, warna kuning, permukaan halus, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)
9
Acalauspora sp-8
10
Acalauspora sp-5
40x Spora berbentuk bulat, ada ornamen seperti kulit jeruk, permukaan halus, menyerap larutan warnanya kuning
11
Acalauspora sp-13
40x Spora berbetuk bulat, ukuan besar, menyerap warna, ada perbedaan warna pada lapisan
12
Acalauspora sp-9
Identifikasi tipe spora pada FMA dapat dilakukan setelah pengambilan
dokumentasi di bawah mikroskop. Tipe dan karakteristik spora yang ditemukan
dari hasil trapping dapat dilihat pada Tabel 11, 12, 13, 14, 15, dan 16. Tabel 11. Tipe dan karaktersitik spora hasil trapping tahun 2010
No. Tipe Spora Perbesaran Karakteristik 1
Glomus sp-5
40x Spora berbentuk bulat, permukaan halus tanpa ornamen, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)
2
Acalauspora sp-6
40x Spora berbentuk lonjong, permukaan halus, menyerap larutan warnanya coklat.
3
Glomus sp-11
40x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, warnanya merah
4
Acalauspora sp-13
5
Glomus sp-10
40x Spora berbentuk bulat, permukaan halus, tidak menyerap larutan, ada tangkai hifa (Subtending hyphae)
6
Acalauspora sp-9
40x Spora berbentuk bulat, ukran lebih besar, menyerap larutan, ada ornamen seperti kulit jeruk
7
Glomus sp-1
40x Spora berbentuk bulat, berwarna cokelat, permukaan kasar
8
Acalauspora sp-8
40x Spora berbentuk bulat , menyerap larutan dan perbedaan lapisan
9
Glomus sp-23
10
Glomus sp-17
40x Spora berbentuk bulat, tidak
menyerap larutan, permukaan halus, warnanya gelap (hitam)
11
Glomus sp-4
40x Spora berbentuk bulat, tidak
menyerap larutan, permukaan halus, warnanya kuning kecoklatan
12
Acalauspora sp-4
40x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, menyerap larutan warnanya kuning
13
Glomus sp-12
40x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, warnanya coklat
14
Glomus sp-2
15
Acalauspora sp-1
40x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan, dinding spora tebal
16
Glomus sp-6
Tabel 12. Tipe dan karakteristik spora hasil trapping tahun 2011 No. Tipe Spora FMA Perbesaran Karakteristik 1
Acalauspora sp-4
40x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, menyerap larutan warnanya kuning
2
Acalauspora sp-1
40x Spora berbentuk lonjong, menyerap larutan, dinding spora tebal
3
Glomus sp-15
40x Spora berbentuk lonjong, tidak menyerap larutan, dinding spora tipis, permukaan halus
4
Acalauspora sp-6
40x Spora berbentuk lonjong,
permukaan halus, menyerap larutan warnanya merah.
5
Acalauspora sp-3
6
Acalauspora sp-8
40x Spora berbentuk bulat , menyerap larutan dan perbedaan lapisan
7
Acalauspora sp-5
40x Spora berbentuk bulat, ukuran lebih besar, permukaan halus, menyerap larutan warnanya kuning
8
Glomus sp-5
40x Spora berbentuk bulat, permukaan halus tanpa ornamen, ada tangkai hifa (Subtending hyphae
9
Glomus sp-13