TESIS
Oleh :
ZAINUL BAHRY SIHOTANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SUMATERA UTARA PROGRAM PENDIDIKAN
DOKTER SPESIALIS BIDANG STUDI ILMU
KESEHATAN TELINGA HIDUNG TENGGOROK
BEDAH KEPALA DAN LEHER
M E D A N
2007
LEMBAR PERSETUJUAN PESERTA PENELITIAN ( INFORMED CONCERN )
Yang bertanda tangan dibawah ini :
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Telah menerima dan mengerti penjelasan dokter tentang penelitian ” Ototoksisitas
Cisplatin Pada Kemoterapi Tumor Ganas Kepala Dan Leher Di RSUP H. Adam
Malik Medan ” dengan menimbang untung ruginya dan dengan kesadaran serta
kerelaan sendiri saya bersedia menjadi peserta penelitian tersebut.
Demikianlah surat persetujuan ini saya buat atas dasar kesadaran sendiri tanpa
paksaan sipapun.
Medan,...2007
Yang Menyatakan Peneliti
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
... iDAFTAR ISI
... viiiDAFTAR TABEL
... xiBAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ... 11.2.
Perumusan Masalah ... 41.3.
Hipotesis Penelitian ... 41.4.
Tujuan Penelitian ... 41.5.
Mamfaat Penelitian ... 5BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Embriologi Telinga Dalam ... 62.1.1. Labirin Membran ... 7
2.1.1.1. Makula ... 8
2.1.1.2. Krista dan Kupula ... 9
2.1.1.3. OraganCorti ... 9
2.1.2. Labirin Tulang ... 10
2.2. Anatomi Telinga Dalam ... 11
2.2.1. Labirin Tulang ... 12
2.2.1.1. Vestibulum ... 12
2.2.1.3. Kohlea ... 15
2.2.2. Labirin Membran ... 17
2.2.2.1. Sakulus dan Utrikulus ... 17
2.2.2.2. Kanalis Semisirkularis Membran ... 18
2.2.2.3. Duktus Kohlearis ... 19
2.2.2.4. Organ Corti ... 20
2.2.3. Vaskularisasi Telinga Dalam ... 23
2.2.4. Persarafan Telinga Dalam ... 24
2.3. Fisiologi Vestibular ... 24
2.4. Fisiologi Pendengaran ... 25
2.5. Ototoksisitas ... 26
2.5.1. Ototoksisitas Akibat Penggunaan Cisplatin ... 27
2.5.2. Perubahan Histopatologi pada Ototoksis Cisplatin ... 28
2.6. Tumor Ganas Kepala dan Leher ... 29
2.7. Kemoterapi ... 31
2.8. Audiometri Nada Murni ... 37
2.9. Faktor Resiko ... 40
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Rancangan Penelitian ... 423.2. Tempat dan Waktu Penelitian ... 42
3.3. Sampel Penelitian ... 42
3.3.1. Pemilihan Subyek Penelitian ... 42
3.3.2.1. Kriteria Inklusi ... 43
3.3.2.2. Kriteria Eksklusi ... 43
3.3.3. Besar Sampel ... 44
3.4. Kerangka Teori ... 45
3.5. Kerangka Konsepsional ... 45
3.6. Batasan Operasional ... 46
3.7. Cara Kerja ...46
3.8. Kerangka Kerja ...47
3.9. Analisa Data ...48
BAB 4 HASIL PENELITIAN
...49BAB 5 PEMBAHASAN
...56BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan ...616.2. Saran ...62
KEPUSTAKAN
...63DAFTAR TABEL DAN GRAFIK
Tabel 4.1. Distribusi Karakteristik Subyek Penelitian ... 49
Tabel 4.2. Distribusi Lokasi Tumor Ganas Kepala dan Leher ... 50
Tabel 4.3. Distribusi Status Pendengatran Sebelum Kemoterapi ... 51
Tabel 4.4. Tabel Status Pendengaran Setelah Kemoterapi Pertama ... 51
Tabel 4.5. Tabel Status Pendengaran Setelah Kemoterapi Kedua ... 52
Tabel 4.6. Tabel Status Pendengaran Setelah Kemoterapi Ketiga ... 52
Tabel 4.7. Distribusi Kelompok Umur Dengan Kejadian Ototoksik ... 53
Tabel 4.8. Distribusi Jenis Kelamin Dengan Kejadian Ototoksik ... 53
Tabel 4.9. Hubungan Kemoterapi Cisplatin Dengan Kejadian Ototoksik ... 54
Grafik 4.1. Grafik Status Pendengaran Prakemoterapi dan Postkemoterapi... 54
ABSTRAK
Latar Belakang
Ototoksitas adalah suatu keadaan dimana terjadi kerusakan pada koklea ataupun apparatus vestibularis yang diakibatkan oleh paparan dari bahan kimia termasuk obat-obatan. Cisplatin merupakan suatu antineoplastik yang sangat potensial dan digunakan secara luas terhadap kemoterapi tumor ganas kepala dan leher, namun sering menimbulkan efek samping, salah satu dari sekian banyak efek toksiknya adalah ototoksik. Ciri khas dari ototoksik ini adalah terjadinya penurunan ketajaman pendengaran yang bersifat sensorineural pada frekwensi tinggi, bilateral, cepat dan progresif dapat sementara namun umumnya menetap, pada paparan yang lebih lanjut bisa melibatkan frekwensi menengah atapun pada semua frekwensi. Insidensi dari ototoksik sangat bervariasi tergantung dari dosis dan lamanya paparan, pada beberapa penelitian terdapat perbedaan insidensi mulai dari 11% hingga 33% dan bahkan ada yang melaporkan sampai 90%. Perlu dilakukan penelitian angka kejadian ototoksik cisplatin di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, oleh karena cisplatin merupakan obat standar yang diberikan untuk kemoterapi pada pada tumor ganas kepala dan leher di Departemen tersebut.
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk melihat angka kejadian ototoksik cisplatin pada kemoterapi tumor ganas kepala dan leher di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, melihat perbedaan kejadian bila dihubungkan dengan peningkatan siklus terapi.
Metodologi
sebelum di lakukan kemoterapi dan sesudah kemoterapi pertama, kedua dan ketiga.
Hasil Penelitian
Dari 22 penderita sebagai subyek penelitian di temukan angka kejadian ototoksik pada kemoterapi pertama 2 penderita, pada kemoterapi kedua terjadi penigkatan menjadi 4 penderita dan pada kemoterapi ketiga ditemukan 5 penderita. Pada hasil penelitian ditemukan angka kejadian ototoksik sebanyak 5 penderita dari 22 sampel ( 22,7% ). Semua penderita laki-laki, kelompok usia terbanyak adalah umur 50-59 tahun, ototoksiknya bersifat bilateral dan menetap selama waktun periode penelitian.
Kesimpulan
Terbukti ada hubungan yang signifikan antara kemoterapi cisplatin dengan kejadian ototoksik, dimana pada uji marginal homogenitas di dapatkan nilai p = 0,027, berarti p < 0,05.
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, Saya sampaikan rasa
syukur Kehadirat Illahi karena dengan rahmat dan karuniaNya, saya dapat
menyelesaikan penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh spesialis
dalam bidang Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Bedah Kepala dan
Leher di Departemen THT-KL Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara /
RSUP H. Adam Malik Medan.
Penelitian ini dilakukan secara prospektif observasional, dengan judul
penelitian adalah : OTOTOKSISITAS CISPLATIN PADA KEMOTERAPI
TUMOR GANAS KEPALA DAN LEHER DI RSUP. H. ADAM MALIK
MEDAN.
Saya menyadari bahwa tulisan ini mungkin jauh dari kesempurnaan baik
isi maupun pembahasannya, oleh karena itu kami mohon kritik dan saran yang
membangun untuk kemajuan ilmu pengetahuan, namun demikian saya berharap
tulisan ini dapat menambah perbendaharaan tentang ototoksisitas cisplatin
dibidang kemoterapi khususnya dibidang Ilmu Penyakit THT-KL.
Dengan telah berakhirnya masa pendidikan, pada kesempatan yang
berbahagia ini perkenankan saya menyampaikan penghargaan dan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada :
Yang terhornat Bapak Rektor Universitas Sumatera Utara, yang telah
memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program Pendidikan
Bedah Kepala dan Leher Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
Medan.
Yang terhormat Bapak Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara yang telah memberikan kesempatan kepada saya untuk mengikuti Program
Pendidikan Spesialis di Fakultas ini.
Yang terhormat Bapak Direktur Rumah Sakit Umum Pusat H. Adam
Malik Medan yang telah mengizinkan dan memberikan kepada saya untuk belajar
dan bekerja dilingkungan Rumah Sakit ini.
Yang terhormat Prof. dr. Abdul Rachman Saragih, Sp THT-KL (K),
sebagai Ketua Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan
yang telah banyak memberikan petunjuk, pengarahan serta nasehat baik sebagai
Ketua Departemen, sebagai guru bahkan orang tua selama saya mengikuti
pendidikan di Departemen THT-KL FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan.
Yang terhormat Prof. dr. Askaroellah Aboet, Sp THT-KL (K) Sebagai
Ketua Program Studi Pendidikan Dokter Spesialis I di Departemen THT-KL FK
USU / RSUP H. Adam Malik Medan, atas bimbingannya dan dorongan semangat
yang diberikan sehingga menimbulkan rasa percaya diri, baik dalam bidang
keahlian maupun pengetahuan umum lainnya.
Yang terhormat dr. Adlin Adnan, Sp THT-KL sebagai Ketua pembimbing
tesis saya. Yang terhormat DR.dr. Delfitri Munir, Sp THT-KL (K) dan dr. Hafni
Sp THT-KL (K) sebagai anggota pembimbing tesis saya, yang telah banyak
memberikan petunjuk, perhatian serta bimbingan sehingga saya dapat
setinggi-tingginya atas waktu dan bimbingan yang telah diberikan, selama
perjalanan panjang saya mengikuti pendidikan hingga dalam pelaksanaan
penelitian serta penulisan tesis ini.
Yang terhormat para guru-guru saya di Departemen THT-KL FK USU /
RSUP H. Adam Malik Medan : Prof. dr. Ramsi Lutan, Sp THT-KL (K), dr.
Asroel Aboet, Sp THT-KL, dr. Yuritna Haryono, Sp THT-KL(K), dr. Muzakkir
Zamzam, SpTHT-KL(K), dr. T Sofia Hanum, Sp THT-KL(K), dr. Mangain
Hasibuan Sp THT-KL, dr. Linda I Adenin, SpTHT-KL, dr. Ida Sjailandrawati H,
SpTHT-KL, dr. Ainul Mardhiah, SpTHT-KL, dr. Rizalina A Asnir, SpTHT-KL,
dr. Siti Nursiah, SpTHT-KL, dr. Andrina YM Rambe, SpTHT-KL, dr. Harry A
Asroel, SpTHT-KL, dr. Farhat, SpTHT-KL, dr.Siti Hajar Haryuna, SpTHT-KL,
yang telah banyak memberikan bimbingan kepada saya selama menjalani
pendidikan dokter spesialis dalam ilmu dan pengetahuan di bidang THT-KL,
baik secara teori maupun keterampilan, yang kiranya sangat bermamfaat bagi saya
dikemudian hari, saya mengucapkan banyak terimakasih semoga mendapat
balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT.
Yang terhormat Bapak Kepala Depertemen / Staf Radiologi FK USU /
RSUP H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen / Staf Radiologi RS. Elisabeth
Medan, Kepala Departemen / Staf Anastesiologi dan Reanimasi FK USU / RSUP
H. Adam Malik Medan, Kepala Departemen / Staf Patologi Anatomi FK USU /
RSUP H. Adam Malik Medan, yang telah memberikan bimbingan kepada saya
selama menjalani stase asisten di Departemen tersebut, saya ucapkan banyak
Yang terhormat Direktur / Staf Bagian THT RSUP Pirngadi Medan,
Direktur / Staf Bagian THT RSUD Lubuk Pakam, Direktur / Staf Bagian RS
Tembakau Deli dan Kepala Rumkit I Bukit Barisan, yang telah memberikan
kesempatan kepada saya untuk belajar dan menjalani stase asisten di Rumah Sakit
tersebut, saya ucapkan banyak terimakasih.
Yang terhormat dr. Arlinda Sari Wahyuni, M.Kes, Staf Departemen Ilmu
Kesehatan Masyarakat / Ilmu Kedokteran Pencegahan / Ilmu Kedokteran
Komonitas , yang telah banyak membantu saya di bidang statistik dan pengolahan
data tesis ini.
Yang Mulia Ayahanda Alm. L. Sihotang dan Ibunda Hj. Tiurlan Sitompul,
yang dengan segala daya upaya telah mengasuh, membesarkan dan membimbing
dengan penuh kasih sayang semenjak kecil hingga saya dewasa agar menjadi anak
yang berbakti kepada orang tua, agama, bangsa dan negara. Dengan memanjatkan
doa kehadirat Allah SWT, ampunilah dosa kedua orang tua saya, sayangilah
mereka sebagaimana mereka menyayangin saya sewaktu kecil. Terimakasih juga
saya tujukan kepada adik-adik saya yang telah memberikan dorongan semangat
selama saya menjalani pendidikan.
Yang terhormat kedua mertua saya alm. Drs. H. Mustafa Ramadhan Msc
dan Dra. Hj. Ade Djubaedah Witiawaty serta kakak dan adik ipar yang telah
memberikan dorongan semangat kepada saya sehingga pendidikan ini dapat
selesai.
Kepada istriku tercinta dr. Erga Radianti M serta anak-anakku tersayang
dan Muhammad Faris Sihotang, tiada kata yang lebih indah yang dapat diucapkan
selain ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya atas perjuangan dan
pengorbanan, kesabaran, ketabahan serta dorongan semangat yang tiada
henti-hentinya sehingga dengan ridho dari Allah SWT akhirnya kita sampai pada saat
yang berbahagia ini.
Kepada rekan-rekan sejawat peserta pendidikan keahlian Ilmu Kesehatan
THT-KL, yang telah bersama-sama dalam suka dan duka, saling membantu
sehingga terjalin rasa persaudaraan yang erat, penuh harapan saya rekan-rekan
lebih giat lagi agar dapat menyelesaikan pendidikan ini dengan baik, semoga
Allah SWT selalu memberikan rahmatNya kepada kita semua.
Untuk paramedis dan karyawan Departemen THT Bedah Kepala dan
Leher FK USU / RSUP H. Adam Malik Medan, saya ucapkan banyak terimakasih
atas bantuan dan kerjasamanya selama saya menjalani pendidikan ini.
Akhirnya izinkanlah saya mohon maaf yang setulus-tulusnya atas
kesalahan dan kekurangan selama mengikluti pendidikan ini, semoga segala
bantuan, dorongan petunjuk yang diberikan kepada saya selama mengikuti
pendidikan kiranya mendapat balasan yang berlipat ganda dari Allah SWT, Yang
Maha Pengasih, Maha Pemurah dan Maha Penyayang, Amin,Amin Ya
Rabbal,alamin.
Medan, Desember 2007
Penulis
RIWAYAT HIDUP
1. Nama : Kapten Kes. dr.Zainul Bahry Sihotang
2. Tempat / tanggal lahir : Simangambat Kec. Siabu Kab. Madina / 26
Pebruari 1968
3. Alamat : Jl. Polonia G-19 Komplek TNI-AU Lanud
Medan
4. No. Telp./ HP : (061) 4519683 / 081396460286
5. Riwayat Pendidikan
5.1. SD Negeri II Simangambat (1974 - 1980)
5.2. SMP Negeri Siabu (1980 - 1983)
5.3. SMA Negeri 3 Banda Aceh (1983 - 1986)
5.4. Sarjana Kedokteran FK. Universitas Syiah Kuala ( 1986 – 1992 )
5.5. Dokter FK. Universitas Syiah Kuala ( 1992 - 1997 )
6. Riwayat Pendidikan Militer
6.1. Sekolah Perwira Prajurit Karier ABRI Angkatan II (1993 – 1994)
6.2. Kursus Orientasi Matra Angkatan XIV 1994
6.3. Sekolah Kesehatan Penerbangan dan Ruang Angkasa Angkata XVIII
2000
6.4. Dasar Pelatihan Helly Raid Skadron 465 Paskhas ( 2000 )
7. Riwayat Pekerjaan
7.1. Dokter TNI – AU (1994 – Sekarang)
8. Riwayat Penugasan
8.1. Pa Dp Dan Lanud Maemun Saleh Sabang (1994-1997)
8.2. Ka Unit Poli Umum Rumkit Lanud Adi Sucipto Yokyakrta (1997-
2000 )
8.3. Operasi Siaga I Ambon ( 1999 )
8.4. Ka Unit Uji Badan Rumkit Lanud Medan (2000 – 2004)
8.4. Operasi Bakti TNI / Opslihkam Aceh (2001 )
8.5. Kakes Lanud Iskandar Muda Banda Aceh (2002 )
9. Tanda Kehormatan
9.1. Satya Lencana Wira Karya, No. 095/TK/Tahun 1999 ( Presiden
Republik Indonesia )
9.2. Satya Lencana Kesetiaan, No. Skep/167/XII/2002 ( KASAU )
8 . Anggota Profesi
8.1. IDI Yogyakarta (1997 - 2000)
8.2. IDI Sumatera Utara (2000 – Sekarang)
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tumor ganas kepala dan leher merupakan 5% dari seluruh penyakit
keganasan di Amerika Serikat (Ballenger, 1994). Pada setiap tahunnya
terdiagnosa lebih kurang 40.000 kasus tumor ganas kepala leher, dari jumlah
tersebut 11.500 pasien meninggal tiap tahunnya. Lebih dari 70% pasien datang
dengan stadium lanjut (stadium III dan IV), secara histopatologi 90% merupakan
karsinoma sel skuamosa (Lee,, 2003 ; Saini et al, 2003 ; Nagar 2004).
Tumor ganas nasofaring, hidung dan sinus paranasal serta laring
merupakan 3 keganasan yang paling banyak ditemukan pada tumor ganas kepala
dan leher, kemudian tumor ganas telinga, esofagus/bronkus, orofaring dan mulut
(Sudarwi, 1996; Munir, 2001).
Penggunaan obat anti kanker dimulai sejak tahun 1946 dengan
ditemukannya secara kebetulan nitrogen mustard yang dapat dipakai mengobati
penyakit leukemia. Umumnya obat antikanker itu sangat toksik sehingga
penggunaannya harus dengan sangat hati-hati dan atas indikasi yang tepat
(Sukarja, 2000).
Salah satu dari sekian banyak efek toksik yang sesuai di bagian telinga,
hidung dan tenggorok adalah ototoksik yang ditandai dengan penurunan tajam
pendengaran pada penderita tumor ganas kepala leher pasca kemoterapi (Riggs et
Pada beberapa tahun terakhir, berbagai penelitian telah dilakukan
mengenai bermacam variasi kombinasi obat-obatan yang digunakan tidak hanya
pada kekambuhan dan penyakit lanjut, tetapi juga sebagai terapi pertama untuk
tumor ganas kepala leher. Problema penderita tumor ganas kepala dan leher yang
dihadapi oleh mereka yang menanganinya merupakan suatu tantangan untuk
pendekatan secara multidisipliner. (Ballenger, 1994 ; Vermey, 1999 )
Cisplatin merupakan suatu antineoplastik yang potensial digunakan secara
luas pada berbagai penyakit keganasan. Umumnya efek samping yang dapat
terjadi berupa neprotoksik dan ototoksik. Laporan angka kejadian ototoksik oleh
karena obat cisplatin sangat bervariasi pada beberapa penelitian. Pengaruh
penurunan pendengaran yang ditimbulkannya biasanya bilateral dan simetris
walaupun mungkin bisa unilateral (Riggs at al, 1998 ; Whitworth,2004 ).
Ciri khas ototoksik dihubungkan dengan gangguan pendengaran
sensorineural frekuensi tinggi, walaupun dapat juga meluas ke frekuensi
menengah, dapat bersifat sementara tetapi umumnya bersifat irreversible
(Rademaker at al, 2006 ; Riggs at al, 1998).
Hawkins (1976) menyatakan bahwa suatu ototoksisitas merupakan
kecenderungan dari obat maupun substansi kimiawi yang menyebabkan gangguan
fungsi dan degenerasi selular dari jaringan telinga dalam, khususnya end organ
dan neuron dari koklea maupun vestibular. Sensitivitas organ telinga dalam
terhadap efek toksik suatu obat telah lama dikenali sebagai efek samping
Cisplatin digunakan sebagai standar pengobatan berbagai keganasan
termasuk tumor kepala dan leher, walaupun diketahui merupakan obat antikanker
yang paling banyak menyebabkan ototoksik, dilaporkan insiden ototoksik 33%
pada pasien yang diberikan cisplatin single dose 50 mg/m2 (Rademaker et al,
2006). Pada beberapa penelitian terdapat perbedaan insiden ototoksik mulai dari
11% sampai 33 % (Wright, 1997; Duta, 2005).
Ototoksisitas akibat penggunaan cisplatin merupakan efek samping yang
sangat perlu diperhitungkan sebelum menggunakannya sebagai terapi kanker,
karena kondisi ini dapat menjadi permanen sehingga mengurangi kualitas hidup
pasien serta menambah beban psikologi bagi si pasien maupun keluarganya.
Pelaksanaan kemoterapi di departemen THT FK USU/RSUP.H.Adam
malik Medan di berikan pada penderita tumor ganas kepala dan leher yang
memenuhi syarat dimana indeks Karnofsky ≥ 70 % , fungsi hati, hematologi dan
ginjal adekuat. Regimen terapi yang diberikan adalah kombinasi cisplatin 50-100
mg/m2, 5-fluorouracil 800 mg/m2/hari dan leucovorin 300 mg/m2/hari. Cisplatin
diberikan pada hari pertama, 5-FU dan leucovorin di berikan pada hari pertama
sampai hari kelima, pemberian sebanyak 3 siklus dengan interval 3-4 minggu.
Berdasarkan hal tersebut di atas serta literatur yang mendasarinya, maka
peneliti ingin mengetahui angka kejadian penurunan ketajaman pendengaran pada
pasien tumor ganas kepala leher pasca kemoterapi dengan cisplatin di departemen
THT FK USU/RSUP. H. Adam Malik Medan, sehingga di kemudian hari dapat
digunakan untuk dipertimbangkan sebagai langkah mencegah dan meminimalisasi
1.2 Perumusan Masalah
Cisplatin merupakan salah satu obat antikanker yang sangat potensial dan
banyak digunakan pada terapi tumor ganas kepala leher namun dapat
menimbulkan efek samping ototoksik.
Di RSUP. H. Adam Malik Medan pemakaian cisplatin untuk terapi tumor
sangat sering digunakan, terutama untuk tumor ganas kepala leher di bagian
THT-KL. Bagaimana angka kejadian ototoksik pada kemoterapi tumor ganas kepala
dan leher yang menggunakan cisplatin di bagian THT-KL RSUP. H. Adam Malik
Medan.
1.3 Hipotesis Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas dan literatur yang mendasari penelitian
ini dapat disusun hipotesis sebagai berikut : Ada hubungan terjadinya penurunan
pendengaran pada kemoterapi tumor ganas kepala leher dengan memakai
cisplatin.
1.4 Tujuan Penelitian 1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui adanya kejadian ototoksik cisplatin pada kemoterapi tumor
ganas kepala leher.
1.4.2 Tujuan Khusus
1.Mengetahui kelompok usia relatif terbanyak dijumpai ototoksik oleh
2.Mengetahui distribusi jenis kelamin kejadian ototoksik oleh karena
cisplatin
3.Mengetahui distribusi jenis tumor ganas kepala dan leher.
4.Mengetahui distribusi jenis kelamin pada tumor ganas kepala dan
leher.
5.Mengetahui distribusi kelompok umur penderita tumor ganas kepala
dan leher
1.5 Manfaat Penelitian
Sebagai masukan kepada disiplin ilmu terkait terhadap efek samping
cisplatin yaitu ototoksik, sehingga pemberian cisplatin sebagai kemoterapi dapat
dipertimbangkan faktor resiko terjadinya penurunan pendengaran sebagai akibat
ototoksis cisplatin, sehingga diharapkan efek samping tersebut dapat
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Embriologi Telinga Dalam
Telinga dalam adalah organ pertama dari tubuh yang dalam
perkembangannya telah terbentuk secara sempurna baik dalam ukuran maupun
konfigurasinya yaitu pada umur kehamilan trimester kedua. Diferensiasi telinga
dalam dimulai pada awal minggu ketiga, perkembangan intra uterine yang
ditandai dengan tampaknya plakode auditori ektoderm pada setingkat
myelencephalon. Plakode auditori berinvaginasi membentuk lubang (pit) auditori
sepanjang minggu ke 4, yang kemudian menjadi vesikula auditori (Mattox, 1991;
Austin, 1997).
Perkembangan prenatal dibagi dalam sejumlah periode yang terpisah,
periode pertama mulai dari waktu implantasi, perkembangan blastosit di dalam
dinding uterus sampai sirkulasi intra embrionik berkembang. Selama periode
pendahulu ini kurang lebih 25 hari, pelapisan dari ektoderm, mesoderm,
endoderm, berkembang membentuk lempeng yang mengandung notocord.
Struktur berasal dari lanjutan ektoderm dan meluas sepanjang dikus
embrionik dan membrana buko faringeal ke membran kloaka di mana endoderm
berhubungan langsung.
Periode kedua sekitar 35 hari yaitu sampai akhir minggu ke 8, disebut
periode embrionik. Selama waktu ini, ada pertumbuhan yang cepat dan
dibentuk dan embrio mempunyai bentuk luar yang dikenal sebagai manusia
(Wright, 1997).
2.1.1 Labirin Membran
Labirin membran derivat dari otocyst ektoderm, merupakan bagian telinga
yang pertama dibentuk, berkembang sendiri dari bagian telinga yang lain, yang
merupakan derivat utama dari aparatus brankial. Mulai berdiferensiasi pada akhir
minggu ke 3 dengan munculnya plakode auditori.
Pada permulaan periode diferensiasi vesikula auditori (minggu ke 6),
mesenkim di sekelilingnya berubah menjadi prekartilago dan pada minggu ke 9
telah menjadi tulang rawan sejati. Pertumbuhan labirin yang telah berdiferensiasi
ini berlangsung dalam dinding tulang rawan tersebut melalui dua proses. Terjadi
suatu regresi tulang rawan yang luas di sekeliling duktus semisirkuler disertai
dengan pertumbuhan jaringan ikat ke dalam. Pada waktu yang bersamaan tulang
rawan pada lengkungan kanalis semisirkularis yang sedang terbentuk tidak
berdiferensiasi, sedang tulang rawan pada pinggir menyusut dibangun kembali.
Kanalis superior mencapai ukuran dewasa terlebih dahulu (minggu ke 20), diikuti
kanalis poterior dan terakhir kanalis semisirkularis lateral. Osiifikasi tulang rawan
di sekitarnya telah dimulai kira-kira pada minggu ke 16 dan sempurna pada
minggu ke 24 segera setelah labirin membranosa mencapai ukuran penuh.
Sel-sel pada struktur neuroepitel labirin otik pada dasarnya sama tetapi
bentuknya berbeda tergantung kepada stimulus tertentu harus diberi respons.
labirin otik dan terdiri dari sel-sel rambut sensoris, sel penunjang dan suatu
struktur gelatin yang terdapat di atas tempat silia sel rambut tertanam. Struktur itu
ialah krista ampularis kanalis semisirkuler, makula utrikulus dan sakulus, dan
organ cortis duktus koklear (Austin, 1997).
2.1.1.1 Makula
Makula terbentuk dari epitel yang terletak pada bagian dimana saraf-saraf
memasuki dinding dari sakulus dan utrikulus.
Dua tipe sel berdiferensiasi, sel-sel sensori dengan kinolinium tunggal dan
banyak stereosilia yang berproyeksi ke dalam.
Ruangan dari otocyst dari sel-sel yang mendukungnya, sel yang terakhir
ini tampaknya bertanggung jawab terhadap pembentukan otokonia, walaupun
tahap awalnya belum dipahami sepenuhnya kemungkinan besar otokonia primitif
yang mengandung kalsium yang berukuran sangat kecil adalah dihasilkan oleh
sel-sel yang mendukung otokonia-otokonia ini yang menjadi nukleus untuk
pengendapan lapisan multiple dari bentuk kalsipit dari kalsium karbonat, untuk
menghasilkan otokonia matang dengan bentuk yang khas.
Sel-sel pendukung juga menghasilkan satu matrik bergelatin, yang
selanjutnya membentuk lapisan bergelatin dari membrana otokonia, yang definitif
pada tahap lebih awal dari otokonia pada manusia,
Matrik ini tidak ada namun pada usia 14-16 minggu, bagian-bagian
dan sel-sel penunjang telah dilapisi oleh membrana otokonia matang (Anson,
1991 ; Wright 1997).
2.1.1.2. Krista dan Kupula
Krista ampularis terbentuk di dalam ampula pada tempat serabut saraf
masuk. Ampula terletak pada lengan anterior kanalis semisirkularis superior dan
lateral dan pada cabang inferior kanal semisirkuler posterior dekat asalnya dari
utrikulus.
Krista memulai perkembangannya pada saat yang bersamaan dengan
makula, meninggi sebagai suatu penonjolan dengan lapisan gelatin yaitu kupula,
membentuk suatu penutup valvula yang merentang sepanjang ampula sehingga
setiap pergerakan cairan otik akan menyebabkan defleksi kupula.
Krista dan kupula terbentuk sedemikian rupa sehingga penonjolannya
tegak lurus arah gerakan endolimf (Austin, 1997 ; Anson, 1991).
2.1.1.3. Organ Corti
Perkembangan organ Corti di dalam struktur kohlea lebih rumit karena
mempunyai proses yang lebih kompleks menyangkut perubahan morfologik
ketiga elemen : sel-sel rambut, sel-sel penunjang, dan membran gelatin.
Sel-sel dinding kohlea tersusun berlapis pada saat duktus itu pertama kali
berdiferensiasi.
Kemudian dindingnya mulai menipis, hanya bagian saja yang tetap
Pada minggu ke 12, kedua tipe sel dapat dibedakan dan satu lapis material
gelatin yaitu membran tektorial terletak di atas permukaan bebas sel-sel tersebut.
Ketika janin berusia 15 minggu, tampak suatu tipe sel, yang berlainan terlihat
pada dinding duktus kohlea yang berada pada suatu jaringan ikat vaskuler yang
membentuk stria vaskularis dengan epitel tipe kelenjar.
Sel-sel dinding inferior melipat sedikit ke arah dalam membentuk sulkus
interna, pada waktu yang sama terowongan Corti terbentuk melalui suatu proses
migrasi sel.
Ruang periotik telah terbentuk pada minggu ke 8, kemudian mulai
bergabung dengan dinding duktus kohlea untuk membentuk membran Reissner
dengan penyatuan skala vestibuli dengan skala media dan membran basiler, dan
dengan penggabungan skala timpani dengan dinding inferior skala media.
Pada minggu ke 20 organ Corti sudah berdiferensiasi dan sudah dapat
mendengar dan konfigurasi dewasa akan terbentuk pada minggu ke 25 (Austin,
1991; Wright, 1997).
2.1.2 Labirin Tulang
Prekartilago yang langsung mengelilingi labirin otik membentuk ruang
periotik melalui suatu proses deferensiasi. Proses ini terjadi pada waktu zona luar
prekartilago berubah menjadi tulang rawan sejati.
Kedua zona ini nyata pada minggu ke-8, dan karena selanjutnya diikuti
oleh pertumbuhan labirin otik, maka zona dalam prekartilago secara bertahap
yang mengelilingi labirin otik, suatu lapisan tengah jaringan longgar menyerupai
arakhnoid yang berisi cairan (perilimf atau cairan periotik), dan pemadatan bagian
luar yang menjadi endosteum kapsul otik.
Vestibulum terbentuk segera setelah skala vestibuli dan skala timpani jelas
terbentuk dan kemudian ruang-ruang berkembang di sekeliling duktus
semisirkular otik. Secara bertahap ruang periotik membesar dan bergabung
sampai terbentuk satu labirin periotik yang berkesinambungan.
Skala timpani berhubungan dengan skala duktus koklear melalui suatu
lubang yang disebut helikotrema.
Ruang periotik tidak mengelilingi sistem otik secara keseluruhan, karena
duktus semisirkuler melekat ke dinding tulang rawan kapsul otik di sepanjang
lengkungannya, duktus koklea melekat ke dinding stria, dan sakulus dan utrikulus
melekat pada tempat masuknya saraf.
Ruang periotik telah terbentuk secara sempurna pada bulan ke-5
kehidupan janin (Austin, 1997 ; Wright, 1997).
2.2 Anatomi Telinga Dalam
Telinga dalam terletak sebelah medial dari telinga tengah dalam pars
petrosa tulang temporial, yang mengandung organ pendengaran dan
keseimbangan disebut juga dengan labirin (Donaldson, 1991; Dhingra, 2004).
Labirin terdiri dari 2 bagian, yaitu :
1. Labirin tulang yang merupakan susunan ruangan yang terdapat dalam pars
tubuh. Labirin tulang terdiri dari vestibulum, kanalis semi sirkularis dan
kohlea.
2. Labirin membran merupakan susunan kantong-kantong dan duktus yang
saling berhubungan dan terdapat di dalam labiring tulang. Labirin membran
terdiri dari sakulus utrikulus, kanalis semi sirkularis dan kohlea (Wright, 1997;
Gulya, 2003).
Diantara bagian labirin tulang dan labirin bagian membran terdapat suatu
ruangan yang berisi cairan perilimfe yang melalui duktus perilimfatikus atau
aquaduktus koklea berhubungan dengan sub arakhnoid. Sebagian dari cairan
perilimfe berasal dari liquor serebrospinal dan sebagian lagi mendapat cairan
secara infiltrasi dari darah. Resorbsi cairan dari perilimfe melalui vena-vena yang
berjalan dalam ruangan perilimfe. Di dalam bagian labirin membran terdapat
endolimfe, cairan ini terbentuk dari dalam stria vaskularis dan resorbsi pada sakus
endolimfatikus. Antara perilimfe dan endolimfe melalui membran Reissner
terdapat pertukaran ion. Selain perilimfe dan endolimfe terdapat pula kortilimfe
yang banyak mengandung natrium dan endolimfe banyak kalium (Austin , 1991 )
2.2.1 Labirin Tulang
2.2.1.1 Vestibulum
Vestibulum merupakan bagian sentral labirin tulang dan terletak antara
kanalis semi sirkularis dan koklea, serta antara telinga tengah dan fundus meatus
Pada dinding lateral vestibulum terdapat foramen ovale yang ditutupi foot
plate stapes beserta ligamentum anulare.
Dinding medial vestibulum menghadap ke meatus akustikus internus dan
ditembus oleh saraf. Pada dinding medial ini terdapat dua cekungan yaitu
cekungan speris untuk sakulus dan cekungan elips untuk utrikulus.
Di bawah cekungan elips terdapat lubang kecil akuaduktus vestibularis
yang menyalurkan duktus endolimf ke fosa kranii posterior di luar durameter di
belakang cekungan speris terdapat alur yang disebut vestibular crest.
Pada ujung bawah alur ini terpisah untuk mencakup resesus kohlearis yang
membawa serabut saraf kohlea ke basis kohlea.
Serabut saraf untuk ultrikulus, kanalis semi sirkularis superior dan lateral
menembus dinding tulang pada daerah yang berhubungan dengan nervus
vestibularis pada fundus meatus akustikus internus.
Pada dinding posterior vestibulum terdapat lima lubang kanalis semi
sirkularis dan di dinding anterior vestibulum ada 2 lubang yang berbentuk elips ke
skala vestibulus kohlea (Wright, 1997; Dhingra, 2003).
2.2.1.2 Kanalis Semsirkularis
Terdapat 3 buah kanalis yaitu kanalis semi sirkularis superior, posterior
dan lateral yang terletak di atas dan belakang vestibulum. Ketiga kanalis
semisirkularis bermuara pada utrikulus.
Bentuk kanalis seperti 2/3 lingkaran dengan panjang yang tidak sama,
Pada salah satu ujung masing-masing kanalis ini melebar disebut ampula
dan mengandung sel-sel rambut krista yang berisi epitel sensori vestibular dan
terbuka ke vestibulum.
Sel-sel rambut menonjol pada kupula gelatinosa, gerakan endolimfe dalam
kanalis semisirkularis akan menggerakkan kupula selanjutnya akan menggerakkan
silia sel-sel rambut dan merangsang reseptor.
Ampula kanalis semisirkularis superior dan lateral letaknya bersebelahan
pada masing-masing ujung antero lateralnya. Sedangkan ampula kanalis semi
sirkularis posterior terletak di bawah dekat lantai vestibulum.
Ujung kanalis superior dan posterior yang tidak mempunyai ampula
bertemu dan bersatu membentuk krus komunis yang masuk ke vestibulum pada
dinding posterior bagian tengah.
Ujung kanalis semi sirkularis lateralis yang tidak mempunyai ampula ke
vestibulum sedikit di bawah krus komunis ( Austin, 1997 ; Wright, 1997 ).
Kanalis lateralis kedua telinga terletak pada bidang yang hampir sama
yaitu bidang miring ke bawah dan belakang dengan sudut 30 derajat terhadap
bidang horizontal bila orang berdiri.
Kanalis yang lain letaknya tegak lurus terhadap kanalis lateralis sehingga
kanalis superior telinga kiri letaknya hampir sejajar dengan kanalis poterior
telinga kanan. Demikian pula kanalis posterior telinga kiri sejajar dengan kanalis
posterior telinga kanan.
Kanalis lateralis menonjol ke dinding media epitimpanum dengan apek
fosa krani media. Eminensia arcuata os petrosus sering kali menutupi bagian
kanalis superior (Wright, 1997).
2.2.1.3 Kohlea
Koklea terletak di depan vestibulum dan berbentuk seperti rumah siput
mengarah kedasar dari kanalis auditorius interna, dan sumbunya yang panjang
mengarah keluar dengan membentuk sudut 300 dengan bidang horizontal.
Rumah siput ini berputar 2 3/4 putaran lingkaran dengan jarak kira-kira 35
mm mengelilingi sumbu dari bagian tengah tulang yang disebut modiolus,
membentuk bagian dalam dari koklea. Koklea ini disokong oleh modiolus suatu
spiral lapisan tulang tipis yang melekat pada kapsula otik melalui suatu septa yang
fungsinya memisahkan dan membentuk garis putaran koklea, modiolus menebal
pada bagian dasarnya tetapi cepat menipis ke arah apeks. Serabut-serabut saraf
VIII cabang auditorius di dalam modiolus naik keatas hingga ujung-ujungnya
mencapai sel-sel rambut melalui saluran kecil di dalam lamina spiral osseosa,
yakni suatu penonjolan keluar dari modiolus yang memegang pada duktus koklea
dibagian sentral ( Austin, 1997 )
Dinding luar sumbu ini merupakan dinding dalam dari kanalis. Suatu
tulang tipis yang berasal dari modiolus memisahkan kanalis sepanjang
perjalanannya menjadi dua bagian yaitu skala timpani dan skala vestibuli.
Pada pinggir bebas lamina spiralis osea menempel membran basilaris yang
membentang ke dinding luar dari tulang kohlea dan memisahkan kanal ini
terdapat lubang kecil yang menghubungkan kedua bagian kanalis ini disebut
helikotrema.
Kohlea terdiri dari 3 saluran yaitu skala media atau duktus koklearis di
tengah, skala vestibuli di bagian atas dan skala timpani di bagian bawah.
Skala media dipisahkan dengan skala vestibuli oleh membran reisner dan
dipisahkan dengan skala timpani oleh membran basilaris.
Gambar 1. Potongan Melintang pada Putaran Kedua Koklea. Dikutip dari Boies
Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimfa dengan
konsentrasi Na+ 140 mEq/l dan K+ 5,5-6,25 mEq/l. Skala media berada di tengah
dibatasi membran Reisner yang tipis, membran basilaris sempit pada basisnya,
dengan konsentrasi Na+ 12-16 mEq/l dan K+ 140 mEq/l (Austin, 1997 ; Ekborn ,
2003).
2.2.2 Labirin Membran
Merupakan kantongan dan saluran yang saling berhubungan di dalam
labirin bagian tulang.
Labirin otik dapat dibagi menjadi; bagian superior atau labirin vestibularis;
sakus endolimfatikus; bagian inferior atau kohlea.
Didalam vestibulum bagian tulang, terdapat sakulus dan utrikulus; tiga
kanalis semisirkularis, bagian membran terletak di dalam kanalis bagian tulang
dan duktus kohlearis (skala media) di dalam kohlea bagian tulang, labirin
membran berisi cairan endolimf (Austin, 1997).
2.2.2.1 Sakulus dan Utrikulus
Utrikulus terletak di bagian lekukan dinding atas dari vestibulum, sakulus
jauh lebih kecil tapi strukturnya sama dan terletak di dalam lekukan bagian bawah
dan di depan utrikulus. Sakulus menyokong suatu struktur makula pada dinding
medilnya dalam suatu bidang vertikal yang meluas ke dinding anterior. Sakulus
berhubungan dengan utrikulus melalui suatu duktus yang sempit yang juga
merupakan saluran menuju sakus endolimfatikus. Makula utrikulus terletak pada
bidang tegak lurus terhadap makula sakulus, Utrikulus dan sakulus seluruhnya
dikelilingi oleh perilimfe kecuali pada tempat saraf masukdi daerah makula (
Kedua kantong ini berhubungan secara tidak langsung dengan saluran
membran yang ramping dan disebut duktus endolimfatikus. Utrikulus terbuka
lebar kedalam duktus kanalikuli sakulus berhubungan bagian koklea melalui suatu
penghubung sempit yaitu duktus sakular dan duktus reuniens. Duktus reuniens
merupakan duktus yang menghubungkan sakulus dengan duktus koklearis (Austin
1997; Wright, 1997).
Duktus endolimfatikus mula-mula melebar dan disebut sinus, sebelum
menyempit untuk masuk ke akueduktus bagian tulang. Akueduktus ini melebar
sedikit melalui bagian ismus dari duktus ini. pada tempat yang lebar ini duktus
dikelilingi jaringan ikat vaskular dan ditutupi oleh membran berbentuk ”rugae”
yang akan membentuk bagian proksimal dari sakus endolimfatikus.
Bagian distal dari sakus yang relatif lebih kecil letaknya di dalam
durameter yang menutupi permukaan posterior dari piramid os petrosus dan
berakhir pada sinus sigmoid. Duktus utrikulus sewaktu keluar dari utrikulus
membelok dengan sudut tajam membentuk seperti katup di sekitar lobang dari
duktus.
Katup utrikulo-endolimfatikus dibentuk sedemikian rupa sehingga
memudahkan cairan endolimf masuk ke dalam dan bukan sebaliknya (Austin
1997; Wright, 1997).
2.2.2.2 Kanalis Semsirkularis Membran
Bagian ini terbuka ke bagian posterior dari utrikulus melalui lima lobang
Masing-masing duktus pada semisirkularis melebar pada salah satu ujungnya yang
membentuk ampula dan terletak pada saluran tulang yang melebar. Panjang
sumbu dari masing-masing ampula kira-kira 2 mm.
2.2.2.3 Duktus Kohlearis
Duktus kohlearis disebut juga skala media dan merupakan bagian labirin
membrana kohlea, sedang bagian labirin tulang kohlea disebut skala vestibuli dan
skala timpani.
Bentuk duktus kohlearis ini mengikuti bentuk labirin tulang kohlea berupa
dua setengah sampai dua tiga perempat putaran spiral.
Pada penampang melintang duktus kohlearis terlihat berbentuk segitiga
dengan dasarnya dibentuk oleh membrana basilaris yang membentang dari pinggir
lamina spiralis osea ke dinding luar tulang kohlea.
Atapnya dibentuk oleh membrana yang tipis disebut membrana
vestibularis atau membrana Reissner yang hanya terdiri dari dua lapis sel serta
membentuk sudut 45 derajat.
Membrana basilaris lebih tebal oleh karena permukaan bawahnya dilapisi
jaringan ikat vaskuler.
Membrana basilaris melekat pada dinding luar, pada ligamentum spiralis
yang dibentuk oleh penebalan periost dan beberapa jarak di atasnya melekat
membran Reissner.
Bagian kanal yang terletak di atas skala media disebut skala vestibuli dan
Skala vestibuli dan skala timpani berisi cairan perilimf dan skala media
atau duktus kohlearis berisi cairan endolimf. Pada daerah dekat basis kohlea
membrana basilaris lebih sempit bila dibanding dengan daerah dekat apeks
kohlea.
Duktus kohlearis meluas mulai dari basis kohlea sampai ke apeks kohlea
kemudian akan berakhir sebagai saluran buntu pada apeks yang disebut caecum
cupulare. Skala vestibulis dan skala timpani pada apeks kohlea berhubungan satu
sama lain pada helikotrema (Austin, 1997; Wright, 1997).
2.2.2.4 Organ Corti
Sepanjang duktus kohlearis di atas membrana basilaris terdapat organ
reseptor untuk pendengaran yang disebut organ Corti.
Organ Corti merupakan suatu struktur yang kompleks yang terdiri dari tiga
bagian utama yaitu sel penyangga, sel-sel sensoris yaitu sel-sel rambut dan
membrana tektoria.
Sel-sel rambut dibedakan atas 2 jenis yaitu sel rambut luar dan sel rambut
dalam. Keduanya dipisahkan oleh terowongan Corti yang berbentuk segitiga dan
berisi cairan Cortilimf yang berbeda dari endolimf.
Pada permukaan sel-sel rambut terdapat stereosilia yang menutupi
permukaan sel-sel sensoris tersebut secara berkelompok. Di sebelah atas sel-sel
rambut terdapat membrana tektoria yang berasal dari limbus spiralis.
Sel rambut dalam terletak sebelah medial dari terowongan Corti, dekat
Sedang sel rambut luar yang terletak lateral terhadap terowongan Corti
terdiri dari 3-5 deretan sel dan lebih kecil dibandingkan dengan sel rambut dalam.
Ujung bebas silia dari sel rambut luar ini menempel pada permukaan
bawah membrana tektoria.
Sel-sel penyangga terdiri dari sel Hensen, Deiter dan Claudius bentuknya
panjang pada bagian yang dekat ke sel rambut dan menjadi pendek bila menjauhi
sel rambut, sehingga organ Corti berbentuk landai.
Permukaan superior dari organ Corti dibentuk oleh membrana tektoria
yaitu susunan suatu membran yang terdiri dari serabut gelatinosa dan matriks
yang transparan. Membran tektoria di sentral disokong oleh limbus, suatu
penebalan sel sisa dari lima spiralis ossea.
Pada ujung lain membran ini melekat pada penyangga Hensen. Membran
basilaris panjangnya kira-kira 32 mm dengan lebar yang bervariasi antara 0,08
mm sampai 0,498 mm.
Pada bagian basal membrana basilaris sempit kaku, menjadi luas dan
flasid di bagian apeks.
Organ Corti mengandung kira-kira 15.000 sel rambut yaitu kira-kira 3.500
sel rambut dalam dan kira-kira 12.000 sel rambut luar. Dekat basis ada 3 deretan
sel rambut luar, kemudian akan bertambah pada putaran tengah dan biasanya
menjadi 5 deret sel pada bagian apeks (Austin,1997; Lim ,2006).
Seluruh ujung rambut saraf efferen untuk pendengaran berhubungan
Gambar 2. Organ Corti. Dikutip dari Ballenger JJ
Dinding lateral duktus kohlearis terbagi menjadi dua daerah, stria
vaskularis di bagian atas, penonjolan spiralis di bagian bawah, dan daerah transisi
di antaranya.
Sel-sel pada stria vaskularis terdiri dari 3 (tiga) lapisan dan sel-sel lapisan
paling permukaan (sel marginal) sangat kaya dengan mitokondria, alat golgi, dan
retikulum endoplasmik.
Stria vaskularis merupakan jaringan dengan aktivitas metabolik yang
tinggi dan memegang peranan penting dalam mempertahankan kompoisisi ion dan
potensial elektrik pada endolimf.
Stria vaskularis mempunyai kadar yang tinggi ion K+ dan Na+, ATP-ase,
dalam mekanisme pemompaan secara aktif ion-ion serta transport cairan ke dalam
endolimf (Austin, 1997; Wright, 1997).
2.2.3 Vaskulariasi Telingan Dalam
Telinga dalam mendapat vaskularisasi dari a. labirintin cabang dari a.
Serebellaris anterior-inferior, tetapi dapat juga sebagai cabang langsung dari a.
basilaris atau a. vertebralis, arteri ini tidak punya anastomosis.
Arteri ini masuk meatus akustikus internus dan terpisah menjadi a.
vestibularis anterior dan a. koklearis communis yang bercabang pula menjadi a.
koklearis dan a. vestibulokohlearis.
A. vestibularis anterior memperdarahi vestibularis, utrikulus dan sebagian
duktus semisirkularis.
A. vestibulokohlearis sampai di modiolus di daerah putaran basal kohlea
terpisah menjadi cabang terminal vestibular dan cabang koklear. Cabang
vestibular memperdarahi sakulus, sebagian besar kanalis semisirkularis dan ujung
basal kohlea.
Cabang kohlear memperdarahi ganglion spiralis, lamina spiralis ossea,
limbus dan ligamen spiralis. A. kohlearis berjalan mengitari n. akustikus di
kanalis akustikus internus, dan di dalam kohlea mengitari modiolus.
Vena dialirkan ke v. labirintin yang diteruskan ke sinus petrosus inferior
atau sinus sigmoideus.
Vena-vena kecil melewati akuaduktus vestibularis dan kohlearis ke sinus
2.2.4 Persarafan Telinga Dalam
N. vestibulokohlearis (n. akustikus) yang dibentuk oleh bagian kohlear dan
vestibular, di dalam meatus akustikus internus bersatu pada sisi lateral akar n.
fasialis dan masuk batang otak antara pons dan medulla. Sel-sel sensoris
vestibularis dipersarafi n. koklearis dengan ganglion vestibularis (Scarpa) terletak
di dasar di meatus akustikus internus. Sel-sel sensoris pendengaran dipersarafi n.
kohlearis dengan ganglion spiralis Corti terletak di modiolus, pada dasar meatus
akustikus internus terletak ganglion vestibulare (Donaldson, 1991; Austin, 1997).
2.3 Fisiologi Vestibular
Kanalis semisirkularis merupakan alat keseimbangan dinamik dan
terangsang oleh gerakan melingkar, sehingga kemana saja arah gerakan kepala,
asal gerakan itu membentuk putaran, maka gerakan tersebut akan tertangkap oleh
satu, dua atau oleh ketiga kanalis semisirkularis bersama-sama.
Diantara ketiga kanalis semisirkularis yang paling dominan fungsinya
adalah kanalis semisirkularis horizontal, hal ini karena manusia lebih banyak
bergerak secara horizontal di banding vertikal.
Utrikulus dan sakulus merupakan alat keseimbangan statik, yang
terangsang oleh gerak percepatan atau perlambatan yang lurus arahnya dan juga
oleh gravitasi. Utrikulus terangsang oleh gerakan percepatan lurus dalam bidang
mendatar, sedangkan sakulus terangsang oleh gerakan percepatan bidang vertikal.
Dalam keadaan diam gravitasi berpengaruh, baik terhadap utrikulus
Hubungan sistem vestibular dengan otot-otot mata sangat erat sekali,
sehingga semua gerakan endolimfe selalu diikuti oleh gerakan mata, sehingga
menimbulkan gejala pada tubuh ( Austin, 1997 ; Wright, 1997 ).
2.4 Fisiologi Pendengaran
Proses mendengar diawali oleh ditangkapnya energi bunyi oleh telinga
luar yang akan diteruskan ke telinga tengah setelah menggetarkan membran
timpani.
Di dalam telinga tengah terdapat rangkaian tulang pendengaran ’ossicle’
yang akan mengamplifikasi getaran tersebut melalui daya ungkit tulang
pendengaran dan perkalian perbandingan luas membrana timpani dan tingkap
lonjong.
Energi getar yang telah diamplifikasi ini akan memasuki telinga dalam
yang selanjutnya akan diproyeksikan pada membran basilaris, sehingga akan
menimbulkan gerak relatif antara membran basilaris dan membran tektoria.
Proses ini merupakan rangsang mekanik yang menyebabkan terjadinya
defleksi stereosilia sel-sel rambut, sehingga terjadi penglepasan ion bermuatan
listrik dari endokoklea pada badan sel.
Akibat keadaan tersebut terjadi depolarisasi sel rambut dan penglepasan
neurotransmitter ke dalam sinapsis yang akan meningkatkan potensial aksi nervus
auditorius.
Selanjutnya sinyal elektrik yang berisi informasi akustik akan diteruskan
sampai di korteks pendengaran area 39-40 lobus temporalis untuk diterjemahkan
(Soetirto, 2001).
2.5 Ototoksitas
Dari sekian banyak efek samping penggunaan sitostatika pada jaringan
normal yang sesuai dibidang THT adalah ototoksik. Ototoksitas adalah suatu
kerusakan pada koklea atau apparatus vestibularis yang diakibatkan oleh paparan
bahan kimia (Riggs, 1998).
Organ yang sering terpengaruh adalah koklea, vestibular dan stria
vascularis. Obat yang mempengaruhi koklea ( cocleo toxic ) seperti:
-Atibiotik golongan aminoglikosida : Sterptomisin, Neomisin, Gentamisin,
Amikasin dan Kanamisin.
-Antibiotik yang lain: Eritromisin, Vancomisin,Polymiksin dan klorampenikol.
-Loop diuretik : Furosemide, Asam etakrinad.
-Antineoplastik : Cisplatin, Nitrogen mustard, Vinkristin.
- Obat-obat lain : Salisilat, Griseofulvin, Quinine.
Obat yang mempengaruhi vestibulum ( vestibulotoxic ) seperti :
-Sterptomisin, Vancomisin, Furosemide dan Cisplatin.
Obat yang mempengaruhi stria vaskularis seperti diuretik yang bekerja
pada loop renalis, karena loopdiuretik adalah inhibitor langsung dari sistem co
transport Na+ , K+, Cl yang juga terdapat dalam sel-sel marginal dan sel dark pada
stria vaskularis yang bertanggung jawab untuk sekresi endolimf terhadap
Obat yang mempengruhi saraf (neurotoxic ) seperti : Cisplatin dan
Vincristin ( Rybak, 2005 ; Jacob, 2006).
Ototoksik karena cisplatin sering diawali gejala tinitus, ditandai dengan
penurunan ketajaman pendengaran bersifat sensorineural, bilateral, simetris,
relatif cepat pada frekwensi tinggi dapat berkembang ke frekwensi sedang sampai
rendah dan permanen walapun dapat bersifat sementara ( Wright at al, 1997 ;
Tuper, 2005 ; Edmunds at al, 2006 ).
2.5.1. Ototoksitas Akibat Penggunaan Cisplatin
Penggunaan cisplatin menyebabkan ototoksitas karena mempengaruhi
koklea, kerusakan struktur yang menonjol pada awalnya adalah pada sel rambut
luar dan stria vascularis, sehingga menyebabkan penurunan pendengaran pada
frekuensi tinggi. Jika paparan berlangsung terus maka penurunan pendengaran
berkembang ke frekuensi menengah sampai pada semua frekwensi dan sering
akhirnya menjadi menetap (Riggs at al, 1998).
Cisplatin (sis diaminadikloroplatinum) suatu kompleks logam inorganik
yang bekerja analog dengan alkilator, ditemukan oleh Rosenberg.
Cisplatin dapat membunuh sel pada semua tahap siklus sel dengan
menghambat biosintesis DNA, mengikat DNA melalui pembuatan cross link pada
ikatan utama N7 guamin dan juga terjadi interaksi kovalen dengan adenin dan
sitosin sehingga menghambat perbaikan DNA (Jawetz, 1995 ; Rybak, 2006).
Cisplatin secara farmakokinetik akan dihidrolisa dan terbentuk
product dan terjadi setelah 15 menit atau 1 jam setelah bolus injeksi, namun hal
ini ditemukan variasi individual untuk terjadinya efek ototoksik (Ekborn, 2003).
Efek ototoksik dapat muncul 2 hari setelah dimulainya terapi dapat juga muncul
setelah 7 hari berhentinya terapi, ada beberapa literatur melakukan evaluasi
audiometri 1 hari, 2 hari, 5 hari dan 14 hari setelah pemberian terapi (Cavallini,
Grau, 1996).
2.5.2 Perubahan Histopatologi pada Ototoksis Cisplatin
Perubahan histopatologi pada ototoksis akibat penggunaan cisplatin adalah
terjadinya timbunan cisplatin di stria vaskularis pada bagian marginal.
Penimbunan konsentrasi cisplatin ini bertanggung jawab terhadap
perubahan yang terjadi pada endolimfe dan di sel rambut yang akan
mempengaruhi transport dari Na+ , K+ , Cl yang sangat penting dalam mekanisme
mikrofonik pada koklea, serta adanya degenerasi sel rambut luar pada bagian
basal koklea.
Jika paparan terus berlanjut maka sel rambut dalam dan sel reseptor pada
apeks akan terpengaruh, demikian juga stria vaskularis, ganglion spiralis dan saraf
koklea.
Ada dua fase perubahan morfologis yang terjadi pada koklea yaitu fase
pertama terjadi gangguan sel-sel penyokong sekeliling sel-sel rambut luar, fase
Sel rambut dalam biasanya masih intak sampai seluruh sel-sel rambut luar
telah degenerasi, pada akhirnya akan terjadi kolaps organ corti (Wolters at al,
2002 ; Hamers, 2003 ).
2.6 Tumor Ganas Kepala dan Leher
Termasuk onkologi kepala-leher adalah semua tumor benigna, premaligna
dan maligna yang terdapat di atas ketinggian klavikula kecuali tumor-tumor otak
dan medulla spinalis.
Persamaan tertentu dalam etiologi dan cara penyebaran kemudian, juga
metode pemeriksaan diagnostik, terapi dan rehabilitasi, memberi alasan untuk
menggabungkan mereka menjadi satu kategori tumor yang terdapat di daerah
kepala-leher yang secara anatomik dan fisiologik demikian rumitnya (Vermey,
1999).
Di masyarakat masih banyak dijumpai tumor ganas telinga, hidung,
tenggorokan dan kepala leher. Menurut laporan keganasan kepala leher
menempati urutan ke 3 atau 4 setelah tumor ganas pada rahim dan mama.
Adapun tumor ganas pada telinga, hidung, tenggorokan dan kepala leher
dinamakan menurut lokasi dan tempat proses keganasannya yaitu ; tumor ganas
nasofaring, tumor ganas hidung dan sinus paranasal, laring, rongga mulut,
orofaring, telinga, esofagus, bronkus dan parotis (Siahaan, 1996).
Pemaparan yang lama pada orang kulit putih terhadap cahaya matahari dan
cuaca dapat merupakan faktor resiko untuk terjadinya tumor ganas kulit dan
Penggunaan tembakau dan alkohol berlebihan mempunyai peran penting
dalam terjadinya tumor-tumor maligna yang berasal dari selaput lendir yang
melapisi bagian atas jalan napas dan makanan ( Franzmann, 2006 ).
Di samping penggunaan tembakau dan alkohol yang berlebihan pada
terjadinya tumor maligna dalam selaput lendir bagian atas saluran napas dan
makanan mungkin masih ada faktor-faktor lain seperti defisiensi makanan
(terutama kekurangan vitamin A, betakaroten dan vitamin C), gangguan sistim
imun, pemeliharaan kesehatan mulut yang tidak baik, faktor virus (human
papiloma virus, HPV), disposisi genetik dan faktor-faktor pekerjaan (Stupp, 1996;
Vermey at al, 1999 ; Coubergh, 1999 ).
Kelompok tumor ganas kepala leher mendekati 5% dari jumlah total kasus
tumor ganas di Amerika Serikat dengan insidensi 19/100.000. perbandingan
laki-laki dan perempuan, 3:1 dan yang paling banyak terjadi di atas umur 40 tahun
tetapi untuk tumor kelenjar ludah dan tumor nasofaring ditemukan pada kelompok
umur yang lebih muda (Moufardini at al, 1987; Vermey ata al, 1999).
Di Indonesia pembagian tumor ganas kepala-leher yang sering terdapat
ialah :
– Nasofaring (71%)
– Hidung dan sinus (10.7%)
– Laring (10,1%)
– Telinga (2,16%)
Diantara tumor ganas yang terdapat di bidang THT, tumor ganas
nasofaring adalah yang terbanyak, menempati urutan ke 3 setelah tumor ganas
cervix dan tumor ganas mamae (Munir, 2001).
Pada tumor ganas kepala dan leher lebih dari 90% merupakan karsinoma
sel skuamosa. Peranan kemoterapi pada karsinoma sel skuamosa kepala dan leher
masih kontroversial, walaupun telah ada penelitian secara intensif.
Pemakaian dari kemoterapi masih belum optimal, dan bahkan sampai
akhir-akhir ini, standar pengobatan dari karsinoma sel skuamosa pada kepala dan
leher adalah pembedahan, radioterapi atau kombinasi keduanya.
Sedangkan kemoterapi umumnya diberikan untuk kasus rekuren atau yang
telah mengalami metastase jauh sebagai terapi akhir yang sudah diakui sebagai
indikasi (Smets at al,1999 ; Torre 2006 )
2.7 Kemoterapi
Kemoterapi merupakan terapi sistemik dan karena itu terutama terindikasi
untuk malignitas sistemik, tumor-tumor dengan penyebaran yang telah dibuktikan
atau diduga telah menyebar dan tumor yang tidak operabel (Smets at al, 1999).
Kemoterapi merupakan salah satu modalitas`pengobatan selain bedah dan
radioterapi yang sudah lebih dulu dikenal untuk pengobatan pada tumor ganas
kepala dan leher yang sering disebut juga Cell Carcinoma of Head and Neck
Cancer ( SCCHN ). Kemoterapi lebih berperan pada stadium lanjut , metastase
Kemoterapi banyak bersifat paliatif sehingga keputusan untuk
memberikan kemoterapi memerlukan penilaian yang lebih akurat, kombinasi
modalitas pengobatan bedah, radioterapi dan kemoterapi sudah berkembang
dengan baiksehingga banyak penelitian yang dilakukan dan memberikan hasil
yang jauh lebih baikdibandingkan dengan pengobatan terdahulu yang hanya satu
atau dua modalitas saja (Harsal, 2003 ).
Pemberian kemoterapi berkembang dengan baik, pada awalnya memakai
obat methotrexate dan bleomycin, yang hasilnya ternyata tidak begitu baik, sejak
ditemukan cisplatin dapat memberikan hasil yang lebih baik dan sekarang banyak
obat kemoterapi kombinasi yang hampir selalu memakai cisplatinuntuk keganasan
kepala dan leher.
Kemoterapi lebih memberikan hasil yangn tepat dengan dosis yang tepat,
satu atau kombinasi obat yang baik dan pasien dengan kondisi yang memenuhi
syarat ( Averdi, 1989 ).
Kemoterapi digunakan untuk memusnahkan sel kanker, tumor induk dan
anak sebarnya. Kemoterapi diciptakan berdasarkan perbedaan perangai sel kanker
dengan sel normal.
Sel hidup berkembang biak menurut siklus tertentu, demikian pula dengan
sel tumor.
Tidak semua sel hidup ikut dalam siklus. Sebagian terbesar dalam keadaan
istirahat dan hanya sebagian kecil ikut dalam siklus.
Sel yang aktif dalam siklus ini akan mengalami berbagai fase yang
pasca sintesis DNA (G2) dan fase mitosis (M). Sel-sel yang berada dalam fase
inilah yang sensitif terhadap kemoterapi (Khandekar, 1994).
Berbagai jenis kemoterapi bekerja pada fase tertentu saja dan ada pula
yang bekerja pada beberapa fase sekaligus. Untungnya sel tumor menjalani siklus
lebih lama dari sel normal, sehingga dapat lebih lama dipengaruhi oleh obat
kemoterapi.
Akibatnya akan lebih banyak sel tumor yang rusak, akan tetapi sebaliknya
sel tumor akan bereaksi untuk melindungi dirinya dan menjadi resisten.
Demikian pula makin cepat sel tumor musnah makin giat pula sel yang
lain melakukan regenerasi. Hal inilah yang perlu diperhatikan untuk
merencanakan pemberian kemoterapi agar didapatkan hasil yang maksimum
dengan efek samping yang seringan-ringannya.
Diperlukan dosis yang cukup tinggi untuk dapat merusak sel tumor
sebanyak-banyaknya dengan akibat akan menimbulkan efek samping yang lebih
hebat.
Oleh sebab itu pemberian kombinasi beberapa obat kemoterapi lebih
disukai, meskipun tidak mudah untuk menetapkan dosis yang paling efektif
(Khandekar, 1994; Primrose, 1997).
Kemoterapi menurut asal dan mekanisme kerjanya dapat dibagi dalam 4
golongan, yaitu : ( Salmon, 1995 ; Brokstein, 1998 ; Primose , 1997).
1. Antimetabolit,misalnya:Cytarabine,5fluorouacil,Hydroxyurea,Mercaptopurin
2. Zat pengalkil (alkylating agent), melakukan alkilasi DNA di dalam nukleus
pada posisi N7 guanin, yang menyebabkan kematian sel, rangkaian silang
DNA terlihat sebagai hal yang sangat penting bagi kerja sitotoksik obat
alkilasi, efek terkhirnya menyebabkan pecahnya ikatan gula-fosfat DNA dan
sel yang bereplikasi sangat rentan terhadap obat ini.
Misalnya : Busulvan, Nitrogen mustart, Cysclophosphamide, Chlorambucil,
Melphalan, Cisplatin, Carboplatin, Dacarbazine, Ifofamide,
Procarbazine, Thiotepa.
3. Produk alamiah (natural products)
Misalnya : Vinblastine, Vincristine, Dactinomycin, Dauborubicin, Docetaxel,
Doxorubin, Bleomycin, Etoposide, Idarubicin, Mitomycin,
Anthracyclin, Mitoxantrone, Paclitaxel.
4. Hormon
Misalnya : Tamoxifen
Cara kerja dari masing-masing obat kemoterapi pada sel kanker tidak
sama, ada yang kerjanya :
1. Menghambat atau menganggu sintesis DNA.
2. merusak replikasi DNA.
3. Mengganggu transkripsi DNA oleh RNA.
4. Mengganggu kinerja gen.
Obat yang dapat menghambat replikasi sel pada fase tertentu dari siklus
Sedangkan obat yang dapat menghambat pembelahan sel pada semua fase
termasuk G0 disebut cell cycle nonspecific.
Obat-obat yang tergolong cell cycle specific antara lain methotrexate dan
5-fluorouracil, obat-obat ini merupakan antimetaolit yang bekerja dengan cara
menghambat sintesa DNA pada fase S.
Obat anti kanker yang tergolong cell cycle nonspecific antara lain Cisplatin
obat ini memiliki mekanisme cross-linking terhadap DNA sehingga mencegah
replikasi, bekerja pada fase G1 dan G2, Doxorubin (fase S1, G2, M), 5-fluorouacil
(fase G1, S, M), Bleomicin (fase G2, M), Vincristine (fase S, M) dan Methotrexate
(bekerja pada beberapa fase, terutama fase G1) (Primrose, 1997).
Doxorubin
Cara pemberian kemoterapi menurut prioritas indikasinya dapat dilakukan
sebagai berikut :
a. Kemoterapi neoajuvan, upaya menerapkan kemoterapi ajuvan pada
tumor ganas kepala dan leher telah dimulai sejak tahun delapan puluhan.
Pemberian kemoterapi neoajuvan ini diharapkan dapat mengecilkan tumor namun
tetap mempertahankan vaskularisasi tumor sambil mengendalikan metastase
mikro.
Kentungannya adalah preservasi dari organ dan mutilasi yang berlebihan
dapat dihindari (Reksodiputro, 2002 ).
b. Kemotrapi ajuvan pada radioterapi, tujuan pemberian kemoterapi ajuvan
adalah untuk mencegah kekambuhan loko-regional maupun metastase jauh.
c. Kemoradiasi secara konkomittan dan pemberian kemoterapi
sebagai radiosensitizer, untuk mempertinggi hasil pengobatan pada penderita
dalam stadium lanjut diberikan kombinasi radiasi dengan kemoterapi secara
konkomitten.
Cara ini diharapkan dapat membunuh sel kanker, dengan cara membuat sel
kanker yang resisten memnjadi sensitif terhadap redioterapi. Kelemahannya
adalah meningkatnya toksisitas terhadap pengobatan ini.
Untuk menghindari efek toksik yang dikemukakan diupayakan memberi
kemoterapi dengan dosis yang lebih rendah yang tujuannya hanya semata-mata
Umumnya hanya digunakan satu macam sitostatika saja. Cisplatin dan 5
FU telah lama dikenal sebagai obat yang mampu meningkatkan sensitifitas
terhadap radioterapi (Reksodiputro, 2002 )
2.8 Audiometri Nada Murni
Walaupun pemeriksaan audiometri nada murni tidak sepenuhnya objektif,
tetapi sampai sekarang masih merupakan yang paling banyak dipakai untuk
keperluan klinis oleh karena prosedurnya yang sederhana namun dapat banyak
memberi informasi tentang keadaan sistim pendengaran.
Jenis penurunan tajam pendengaran dapat dibagi menjadi :
1) penurunan tajam pendengaran konduktif atau Conductive Hearing Loss
(CHL), yang disebabkan karena gangguan konduksi kebisingan ke telinga bagian
dalam, hal ini terjadi karena kelainan telinga luar dan telinga tengah.
2) penurunan tajam pendengaran perseptif dalam (koklea dan retrokoklea)
pada saraf pendengaran.
3) penurunan tajam pendengaran campuran atau Mixed Hearing Loss
(MHL) yang terjadi karena kombinasi antara penurunan tajam pendengaran
konduksi dan perseptif.
Untuk mengetahui kelainan ini digunakan Audiometri nada murni, yaitu
suatu alat ukur untuk mengukur kemampuan seseorang untuk mendengar bunyi
nada murni dari beberapa frekuensi (125 Hz, 250 Hz, 100 Hz, 500 Hz, 1000 Hz,
2000 Hz, 4000 Hz, 8000 Hz) serta dapat diatur intensitasnya (dB) mulai -10 dB
Alat ini digunakan untuk mengukur ketajaman pendengaran melalui
hantaran udara dan hantaran tulang pada tingkat nilai ambang, sehingga
didapatkan gambaran audiogram yang berupa kurva hantaran udara dan hantaran
tulang (Yellim, 1991; Felman, 1997).
Dari audiogram dapat dilihat apakah pendengaran normal atau tuli. Jenis
ketulian, tuli konduktif, tuli sensorineural atau tuli campur. Derajat ketulian
dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher, yaitu :
Ambang dengar (AD) =
Menurut kepustakaan terbaru frekuensi 4000 Hz berperan penting untuk
pendengaran, sehingga perlu turut diperhitungkan, sehingga derajat ketulian
dihitung dengan menambahkan ambang dengar 4000 Hz dengan ketiga ambang
dengar di atas, kemudian dibagi 4.
Ambang dengar (AD) =
Dapat dihitung ambang dengar hantaran udara (AC) atau hantaran tulang
(BC). Interpretasi hasil berdasarkan International Standard Organization tentang
derajat gangguan pendengaran : (Soetirto at al, 2001).
• 0-25 dB = pendengaran normal
• 26-40 dB = gangguan pendengaran ringan
• >90 dB = gangguan pendengaran sangat
Dari hasil pemeriksaan audiogram nada murni disebut ada gap apabila
antara Air Conduction (AC) dan Bone Conduction (BC) terdapat perbedaan lebih
atau sama dengan 10 dB, minimal pada 2 frekwensi yang berdekatan.
Dalam menentukan derajat ketulian, yang dihitung hanya ambang dengar
hantaran udara (AC ) saja. Gambaran audiogram nada murrni pada ototoksis
menunjukkan ciri khas dimana terjadi penurunan tajam pendengaran pada
frekwensi tinggi,bersifat sensorineural, bilateral dan simetris relatif cepat dan
progresif, namun dapat juga meluas ke frekwensi menengah dan akhirnya pada
semua frekwensi, dapat terjadi sementara maupun menetap. ( Tuper, 2005 ; Chen,
2006 )
Gambar 4
2.9 Faktor Resiko
Faktor resiko yang dapat berpengaruh untuk terjadinya ototoksis cisplatin
antara lain :
1. Bila pemberian dosis tinggi atau dengan meningkatnya jumlah siklus,
pemberian dengan dosis tinggi ataupun pada pengulangan terapi untuk siklus
berikutnya akan mebuat efek kumulasi dari cisplatin sebagai akibatnya akan
meningkatkan insidens dari ototoksik, dapat mencapi 91 %, dan bila
dibandingkan dengan dosis rendah insidensinya hanya 12% ( Domenech, 1990
; Dutta, 2005 ).
2. Usia, anak-anak dan usia lanjut lebih besar resikonya dibandingkan usia
produktif.
Pada masa anak-anak maturasi sel-selnya masih belum sempurna sehingga
terus mengalami pertumbuhan, obat kemoterapi sendiri tidak hanya
membunuh sel-sel tumor melainkan dapat juga membunuh sel-sel yang
normal terutama sel-sel yang mengalami pertumbuhan dengan menghambat
biosintesis DNA-RNA, dan efek langsung cisplatin dapat menghambat
grouwth hormon pada DNA.
Selain daripada itu kemoterapi cisplatin dapat menyebabkan penurunan berat
badan melebihi 10% setelah kemoterapi sehingga malnutrisi pada anak-anak
dapat terjadi ( Crist, 2000). Pada usia lanjut telah terjadi degenerasi sel
termasuk degenerasi dari koklea. Hal ini akan menghasilkan kerusakan pada
telinga tengah dan atrofi serat nervus akustikus dan penurunan sel-sel pada