TATA CARA MASUKNYA PIHAK KETIGA YANG BERKEPENTINGAN DALAM SUATU SENGKETA TATA USAHA NEGARA (STUDY KASUS
PTUN MEDAN) PROPOSAL
OLEH :
AGRIVA ARISHANDY TARIGAN 070221006
PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM ADMINISTRASI NEGAR FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul Penelitian : Tata Cara Masuknya Pihak Ketiga Yang Berkepentingan Dalam Suatu Sengketa Tata Usaha Negara (Study Kasus PTUN MEDAN)
Nama : Agriva Arishandy Tarigan
NIM : 070221006
Pmebimbing Penguji
Dr. Pendastaran Tarigan, SH.MS Dr. Pendastaran Tarigan, SH.MS
Suria Ningsih, SH.Mhum Suria Ningsih, SH.Mhum
Prof. Dr. Budiman Ginting,SH.MHum
ABSTRAK
Dalam Undang-undang No. 5 tahun 1986 jo. Undang-undang No. 9 tahun
2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 83diatur tentang cara masuknya
pihak ketiga yang berkepeningan dalam suatu sengketa tata usaha negara.
Tata cara masuknya pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu sengketa
tata usaha negara yang sedang berjalan merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan haknya dalam keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha
Negara secara hukum dapat diikutsertakan untuk membela kepentingannya.
Adanya tata cara masuknya pihak ketiga yang berkepentingan dalam sengketa
Tata Usaha Negara sehingga dapat ikut serta dalam sengketa Tata Usaha Negara
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini untuk memenuhi
persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum dengan judul “Tata Cara
Masuknya Pihak Ketiga Yang Berkepentingan Dalam Suatu Sengketa Tata Usaha
Negara (Study Kasus PTUN Medan)”
Dalam penyusunan Skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan
bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas
Hukum, Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH. selaku Pembantu Dekan I Fakultas
Hukum, Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH., MS. selaku Ketua Departemen Hukum
Administrasi Negara dan Dosen Pembimbing I pada Fakultas Hukum,
Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Suria Ningsih, SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing dan membantu penulis menyelesaikan
Skripsi ini.
5. Bapak. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum. selaku Dosen penguji yang
telah meluangkan waktu untuk menguji dan membantu penulis menyelesaikan
Skripsi ini.
6. Ibu Affila, SH., M.Hum. selaku Dosen penguji yang telah meluangkan waktu
untuk menguji dan membantu penulis menyelesaikan Skripsi ini.
7. Ayahanda tercinta Naik Tarigan, atas segala dukungan serta kesabaran yang
8. Ibunda tercinta Amisah Br. Karo, SH. atas segala dukungan dan Doa yang
senantiasa diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.
9. Istri saya tercinta Dewi Octavia Sinambela Kacaribu, beserta kedua
putra-putri saya terkasih Kezia Careen Eunike Tarigan dan Timothy Asky Reagent
Tarigan yang senantiasa memberikan semangat dan penyegaran dalam setiap
harinya. (perjuangan papi untuk kakak Careen sama ade Totthy ya)
10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara atas ilmu dan
keterampilan yang diberikan.
11. Seluruh pegawai administrasi Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.
12. Bapak Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Medan beserta para Staff.
13. Bapak H. Sulthoni, SH., MH. selaku Ketua Pengadilan Negeri Pematang
Siantar, Bapak Pastra Joseph Ziraluo, SH., M.Hum. selaku Wakil Ketua
Pengadilan Negeri Pematang Siantar, Bapak Abdiaman Damanik, SH. Selaku
Panitera / Sekretaris Pengadilan Negeri Pematang Siantar, beserta seluruh
Staff atas segala bantuan dan dukungan yang tulus kepada penulis.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil Skripsi ini masih memiliki banyak
kekurangan dan kesalahan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari segenap
pihak demi hasil yang lebih baik.
Medan, Oktober 2009
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAKSI ... i
KATA PENGANTAR ... ii
DAFTAR ISI ... iv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Permasalahan ... 2
C. Tujuan Penelitian ... 3
D. Manfaat Penelitian ... 3
E. Tinjauan Pustaka ... 4
F. Metode Penelitian ... 8
G. Gambaran Isi ... 8
BAB II PERANAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENYELSAIKAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA A. Landasan Hukum Peradilan Tata Usaha Negara ... 11
B. Ciri dan Sifat Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 14 C. Subjek dan Objek Sengketa Tata Usaha Negara ... 20
BAB III TINJAUAN TENTANG PIHAK KETIGA YANG
BERKEPENTINGAN DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA
A. Dasar Hukum Keikutsertaan Pihak Intervensi Dalam Suatu
Sengketa Tata Usaha Negara ... 48
B. Kriteria Pihak Ketiga Yang Berkepentingan... 59
C. Syarat-syarat Masuknya Pihak Ketiga Dalam Proses
Sengketa Tata Usaha Negara ... 65
BAB IV PROSEDUR SERTA AKIBAT HUKUM INTERVENSI DALAM
PERKARA TATA USAHA NEGARA
A. Prosedur Masuknya Pihak Intervenient Dalam Suatu
Sengketa Tata Usaha Negara Yang Sedang Berlangsung . 70
B. Akibat Hukum Ikutsertanya Pihak Ketiga Dalam Sengketa
Tata Usaha Negara Yang Sedang Berlangsung ... 79
C. Hambatan-hambatan Dalam Proses Masuknya Pihak Ketiga 80
D. Upaya Hukum Yang Ditempuh Pihak Ketiga Yang Tidak
Diikutsertakan Dalam Proses ... 84
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 87
B. Saran ... 88
ABSTRAK
Dalam Undang-undang No. 5 tahun 1986 jo. Undang-undang No. 9 tahun
2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 83diatur tentang cara masuknya
pihak ketiga yang berkepeningan dalam suatu sengketa tata usaha negara.
Tata cara masuknya pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu sengketa
tata usaha negara yang sedang berjalan merupakan hal yang sangat penting untuk
mempertahankan haknya dalam keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha
Negara secara hukum dapat diikutsertakan untuk membela kepentingannya.
Adanya tata cara masuknya pihak ketiga yang berkepentingan dalam sengketa
Tata Usaha Negara sehingga dapat ikut serta dalam sengketa Tata Usaha Negara
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Untuk menjamin penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap benturan
antara kepentingan perseorangan atau badan hukum perdata dengan pejabat atau
badan Tata Usaha Negara yang berbeda yang menjadi sengketa, saluran hukum
merupakan salah satu jalan terbaik, sehingga peran Peradilan Tata Usaha Negara
sangat penting sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR-RI No.
IV/MPR/1978 jo TAP MPRI-RI No. II/MPR/1983.
Dengan demikian Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk dalam rangka
memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan yang merasa
kepentingan hukumnya dirugikan akibat suatu keputusan Tata Usaha Negara
oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.
Pengadilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap suatu sengketa.
Dari sejumlah sengketa/perkara yang masuk ternyata tidak sedikit yang
di dalamnya tersangkut kepentingan pihak/orang lain selain penggugat dan
tergugat, yang harus dipertimbangkan oleh hakim untuk memutus persengketaan
yang digugat itu lazim disebut pihak intervenient (pihak ketiga yang
berkepentingan).
Untuk mencegah kerugian yang fatal bagi pihak ketiga maka dalam
proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dimungkinkan pihak ketiga itu
untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan suatu sengketa
yang sedang berjalan atau setidak-tidaknya keterangan dan penjelasan dari pihak
ketiga itu harus dimintakan oleh Hakim sebagai saksi. Dimungkinkan bagi orang
atau badan hukum perdata di luar pihak yang sedang bersengketa untuk ikut
serta atau diikutsertakan sebagai pihak dalam proses pemeriksaan perkara yang
sedang berjalan sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam pasal 83
Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan masuknya pihak ketiga dalam suaatu sengketa yang diperoleh
maka ia dapat mempertahankan hak-haknya sehingga diperoleh suatu putusan
yang objektif dan adil, khususnya bagi pihak yang bersengketa tersebut.
Untuk lebih memahami bagaimana tata cara masuknya pihak ketiga
intervenient maka haruslah dipahami mengenai hukum acara yang berlaku di
B.
Permasalahan
Adapun yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
- Bagaimana Peradilan Tata Usaha Negara di dalam menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara ?
- Bagaimana pihak ketiga yang berkepentingan dapat diikutsertakan
di Peradilan Tata Usaha Negara ?
- Bagaimana prosedur serta akibat hukum masuknya pihak ketiga
dalam sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung ?
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui bagaimana pihak ketiga yang berkepentingan dapat
diikutkan di Peradilan Tata Usaha Negara di dalam menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara .
2. Untuk mengetahui bagaimana pihak ketiga yang berkepentingan dapat
diikutkan di Peradilan Tata Usaha Negara .
3. Untuk mengetahui proses serta akibat hukum masuknya pihak ketiga
dalam sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung.
1. Secara teoritis agar dapat dipahami bahwa secara yuridis pihak ketiga
yang kepentingannya terkait dengan perkara yang sedang berlangsung,
secara hukum dapat diikutsertakan untuk membela kepentingannya,
bagaimana prosedur serta akibat hukumnya.
2. Secara praktis untuk memberikan pemahaman bagi semua pihak yang
mempunyai perhatian tentang topik penelitian ini, terutama mahasiswa
Fakultas Hukum memperoleh masukan-masukan tentang intervenient
dalam proses peradilan di Pengadilan Tata Usaha Negara.
E. Tinjauan Pustaka
1. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang
Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan
atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai
akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, bermasuk sengketa
kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2. Pihak ketiga yang berkepentingan maksudnya pihak lain di luar penggugat
dan tergugat yang mempunyai kepentingan terhadap suatu objek sengketa
yang ditetapkan penggugat intervensi atau tergugat intervensi dalam suatu
perkara/sengketa Tata Usaha Negara yang sedang ditangani pengadilan Tata
Usaha Negara.
Di dalam UU No. 5 Tahun 1986 tidak ada dirumuskan mengenai
demikian, dalam skripsi ini penulis mencoba mengetengahkan mengenai
intervensi (intervenient) tersebut.
Sesuai perkembangan arus informasi dan komunikasi, maka
penggunaan istilah “intervensi” ini mengalami konotasi meluas sesuai
dengan bidang ilmu yang menggunakannya. Namun pada prinsipnya
pengertian dasarnya tidaklah dihilangkan/eliminir.
Dalam Hukum Acara Perdata pengertian intervenient ini dijelaskan
dengan suatu suatu contoh kasus yaitu :
Dalam jual beli rumah dan tanah, A selaku penggugat dalam pokok
perkara menggugat B, oleh karena B telah menjual rumah dan tanah
kepadanya, akan tetapi tidak mau menyerahkan bangunan rumah dan
tanahnya yang telah ia jual kepadanya. Mendengar tentang adanya gugatan
itu, C yang juga merasa telah membeli rumah dan tanah tersebut dari B,
datang ke persidangan, lalu dengan lisan atau tertulis mengemukakan
kehendaknya untuk mencampuri perkara tersebut sebagai pihak ketiga. Ia,
pihak ketiga ini disebut pihak intervenient. Apabila intervensi dikabulkan
maka perdebatan menjadi perdebatan segi tiga. 1
Pengertian Intervenient dalam Hukum Acara Perdata seagaimana
dijelaskan dengan contoh di atas, tentu sekali mempunyai persamaan dengan
pengertian intervenient dalam Hukum Acara Perdata sebagaimana dijelaskan
1
contoh di atas, tentu sekali mempunyai persamaan dengan pengertian
intervenient dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu
masuknya pihak lain/ketiga dalam suatu perkara antara penggugat dan
tergugat. Perbedaannya adalah : dalam Hukum Acara Peradilan TUN pihak
ketiga dimaksud adalah hanya orang atau Badan Hukum Perdata saja,
sednagkan dalam Hukum Acara Perdata, pihak intervenient itu tidak
dibatasi, siapa saja pun boleh sebagai pihak intervensi termasuk abdan
hukum publik.
Dalam proses pemriksaan sengketa TUN di Peradilan TUN
dimungkinkan adanya pihak ketiga intervenient yaitu orang atau badan
hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses
pemeriksaan satu sengketa yang sedang berjalan.
Ny. Retnowulan Sutanto, SH dan Iskandar Oeriokartawinata, SH
dalam bukunya berjudul “Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek
“mengemukakan bahwa intervensi dalam bahsa Belanda disebut pula
“Tussenkomst”.2
Tussenkomst atau intervensi diartikan sebagai pencampuran piihak
ketiga atas kemauan sendiri yang ikut dalam proses, dimana pihak keiga ini
2
tidak memihak baik kepada penggugat maupun tergugat, melainkan hanya
memperjuangkan kepentingan sendiri.3
1) Atas prakarsa sendiri
Selain tussenkomst atau intervensi, di dalam hukum acara perdata
dalam prakteknya dikenal lagi adanya pihak ketiga yang berkepentingan
dalam suatu , di dalam hukum acara perdata dalam prakteknya dikenal lagi
adanya pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu Peradilan Umum c.q.
Pengadilan Negeri, yaitu dalam :
- Vrijwaring atau penjaminan terjadi apabila di dalam suatu perkara yang
sedang diperiksa oleh pengadilan, di luar pihak yang berperkara, ada
pihak ketiga yang ditarik masuk dalam perkara tersebut.
- Voeging, yaitu penggabungan pihak ketiga yang merasa berkepentingan
lalu mengajukan permohonan kepada Majelis agar diperkenankan
mencampuri proses tersebut dan menyatakan ingin menggabungkan diri
kepada salah satu pihak (penggugat atau tergugat). Dalam Bahasa
Belanda hal ini disebut Voeging Van Partijen.
Dalam Hukum Acara Peradilan TUN, mengenai tussenkomst,
voeging dan vrijwaring dalam hukum acara perdata ini, dikenal hanya
satu istilah saja yaitu “intervenient atau intervensi”.
3. Pasal 83 mengatur kemungkinan masuknya pihak ketiga dalam proses,
motivasi masuknya pihak ketiga dapat dibagi dalam 3 kategori yakni :
3
Dalam hal pihak ketiga ingin mempertahankan dan membela hak dan
kepentingannya agar tidak dirugikan oleh putusan pengadilan yang
sedang berjalan, sebagai pihak yang mandiri dan berdiri di
tengah-tengah antara pihak penggugat dan pihak tergugat. Cara masuknya pihak
ketiga dalam proses perkaran ini, dalam proses perdata disebut
“tusserkomst” (mencampuri).
Karena ikut sertanya dalam proses atas prakarsanya sendiri, maka ia
harus mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan-alasan
serta hal yang dituntut, sesuai dengan ketentuan pasal 56.
2) Atas permintaan salah satu pihak
Masuknya pihak ketiga dalam proses perkara atas permohonan salah
satu pihak, guna memperkuat kedudukan salah satu pihak atau agar
pihak ketiga selama proses tersebut bergabung dengan dirinya untuk
memperkuat posisi hukum dalam sengketa. Cara ini dalam acara perdata
disebut ”voeging” (ikutserta).
3) Atas prakarsa hakim yang memeriksa
Masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan atas
prakarsa hakim yang memeriksa perkara. Masuknya pihak ketiga dalam
proses baik atas prakarsa sendiri, maupun atas prakarsa hakim ditarik
masuk dalam proses, ditempatkan pada pihak penggugat, dan tidak
F.
Metode Penelitian
Untuk memperoleh data yang faktual dan relevan bagi kelengkapan dan
kesempurnaan penyusunan skripsi ini digunakan :
1. Library Research (penelitian kepustakaan) yakni dengan melakukan study
melalui kepustakaan dengan cara membaca dan mempelajari melalui
buku-buku literatur, perundang-undangan, makalah, artikel-artikel yang
mempunyai relevansi dengan materi yang terkait dengan topik tulisan ini.
2. Field Research (penelitian lapangan) yakni dengan mengadakan penelitian
langsung ke lapangan yaitu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Medan di
Jalan Listrik No. 10 Medan serta melakukan observasi serta interview
dengan Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut.
G.
Gambaran Isi
Skripsi ini disusun dan dibagi dalam 5 (lima) bab dan tiap bab dibagi
lagi menjadi beberapa sub bab. Untuk lebih jelasnya sistematika penyusunan dan
pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan
Dalam bab ini digambarkan tentang materi pokok bahasan yang akan
diuraikan dengan mengawali uraian latar belakang, permasalahan,
tujuan penelitian, manfaat penelitian serta tinjauan pusataka, metode
Bab II Peranan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa
Tata Usaha Negara
Dalam bab ini diuraikan tentang landasan hukum Peradilan Tata Usaha
Negara, ciri-ciri dan sifat hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara,
subjek dan objek sengketa Tata Usaha Negara serta tahap proses
pemeriksaaan sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara.
Bab III Tinjauan Tentang Pihak Ketiga Yang Berkepentingan di Peradilan Tata
Usaha Negara
Dalam bab ini diuraikan tentang dasar hukum keikutsertaan pihak ketiga
dalam sengketa Tata Usaha Negara, kriteria pihak ketiga yang
berkepentingan, syarat masuknya pihak ketiga dalam proses sengketa
Tata Usaha Negara.
Bab IV Prosedur Serta Akibat Hukum Intervensi Dalam Perkara Tata Usaha
Negara
Dalam bab ini diuraikan tentang prosedur masuknya pihak ketiga dalam
sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung, akibat hukum
ikutsertanya pihak ketiga dalam sengketa Tata Usaha Negara yang
sedang berlangsung, hambatan-hambatan di dalam proses masuknya
pihak ketiga serta upaya-upaya hukum yang ditempuh pihak ketiga yang
Bab V Penutup
Bab ini merupakan kesimpulan dari seluruh pembahasan atas
permasalahan dan hasl penelitian yang diuraikan pada bab-bab
sebelumnya serta menguraikan beberapa saran-saran yang diharapkan
BAB II
PERANAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
A. Landasan Hukum Peradilan Tata Usaha Negara
Indonesia sudah sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan Negara
Hukum akan tetapi masih dalam anti formal. Agar dapat menjadi Negara Hukum
dalam arti material maka haruslah diisi dengan jalan membentuk dan
menyempurnakan Badan Peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
(judikatif).
Pembentukan Badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman
telah diatur dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai
landasan Konstitusionilnya.
Ketentuan pasal 24 UUD 1945 berbunyi :
1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang.
2. Susunan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman itu diatur dengan
Undang-Undang.
Pasal 25 UUD 1945 berbunyi :
"Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim
ditetapkan dengan Undang-Undang".
kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh
kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan
Undang-undang tentang kedudukan para Hakim.
Dari ketentuan dalam Undang-Undnag Dasar 1945 ternyata tidak ada
disebutkan secara tegas tentang Peradilan Tata Usaha Negera atau Peradilan
Administrasi Negara. Meskipun demikian tidak berarti bahwa UUD 1945 tersebut
tidak menghendaki eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara ini. Dengan terdapatnya
istilah “Kekuasaan Kehakiman” dalam bunyi Pasal 24 UUD1945 tersebut dapat
ditafsirkan luas dan segala macam Hakim dapat masuk di dalamnya termasuk Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 tentu sekali
melakukan berbagai kekuasaan kehakiman tersebut antara lain dengan cara
mengeluarkan peraturan perundang-undangan dan mendirikan Lembaga
Pengadilan/Badan Peradilan yang dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
Sebagai manifestasi peraturan pelaksanaan dari ketentuan pasal 24 UUD
1945, telah dikeluarkan dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam
lingkungan :
a. Peradilan Umum
b. Peradilan Agama
d. Peradilan Tata Usaha Negara.
Menurut pendapat Prof. Dr. B. Lopa, SH dan Dr. A. Hamzah, SH : bahwa di
dalam UU No. 14 tahun 1970, dijelaskan bahwa dasar hukum dibentuknya Peradilan
Tata Usaha Negara di Indonesia merupakan salah satu aspek pelaksana deklarasi
Hak-Hak Azasi Manusia yang telah dicetuskan PBB.4
Sedangkan Razali Abdullah, SH berpendapat bahwa dari bunyi pasal 24
UUD 1945 dan pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 tersebut di atas jelaslah bagi kita
bahwa dasar hukum pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan
mandiri ternyata cukup kuat, sama dengan halnya pembentukan ketiga Peradilan
lainnya yang sudah lama ada yaitu : Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan
Peradilan Militer.5
“Akhirnya Pemerintah menyampaikan RUU tentang Peraturan yang disempurnakan kepada DPR RI periode 1982-1987, dengan amanat Presiden Selanjutnya untuk mewujudkan kehendak pembentukan Peradilan Tata
Usaha Negara diamanatkan dan dirumuskan dalam ketetapan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Nomor : IV/MPR/1978 tentang GBHN yang
memerintahkan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara.
Mengenai kronologis pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, Martiman
Prodjomidjo, SH mengemukakan sebagai berikut :
4
B. Lopa dan A. Hamzah, Mengenal Pradilan Tata Usaha Negara, Penerbit, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 2
5
RI No. R.04/PU/IV/1986 tanggal 16 April 1986, dan setelah diadakan pembahasan di DPR RI melalui empat tingkat pembicaraan, dan pada tanggal 20 Desember 1986 DPR RI mengambil keputusan menyetujui RUU Peraturan untuk disyahkan menjadi undang-undang.
Presiden RI pada tanggal 29 Desember 1986, mengesahkan RUU Peradilan Tata Usaha Negara menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 “Peradilan Tata Usaha Negara” (Lembaran Negara RI No. 77 Tahun 1986 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3344).6
Ciri-ciri sifat Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara menurut hemat Ditentukannya empat macam lingkungan peradilan sebagaimana ditentukan
dalam Pasal 10 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 yang disebutkan di atas, dapat
diartikan bahwa Negara Indonesia yang menganut prinsip Negara Hukum dalam
sistem peradilannya menggunakan multi jurisdiction systeem (sistem peradilan
ganda), dimana salah satu diantaranya adalah peradilan Tata Usaha Negara yang
diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986.
Dengan demikian jelaslah bahwa Peradilan Tata Usaha Negara merupakan
salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman yang ditugasi untuk memeriksa, memutar
dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara. Oleh
karenaitu, tujuan Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya tidak semata-mata
memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi sekaligus juga
melindungi hak-hak masyarakat.
B. Ciri dan Sifat Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
6
penulis penting disajikan dalam skripsi ini dengan maksud agar menambah
pemahaman kita mengenai proses dan mekanisme yang diatur Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara.
Indroharto, SH7
- Mereka baik yang berkedudukan sebagai suatu instansi resmi maupun secara global mengetengahkan beberapa ciri-ciri/sifat dasar
dari Hukum Acara Peradilan TUN, yaitu :
1. Dalam proses TUN itu selalu tersangkut dua kepentingan yaitu kepentingan
umum dan individu. Dalam proses peradilan TUN yang selalu menjadi inti
permasalahan adalah mengenai syah tidaknya pengunaan wewenang
pemerintah oleh Badan atau Pejabat TUN menurut Hukum TUN publik.
Dalam konkretnya yang disengketakan itu selalu berupa salah satu bentuk
tindakan Hukum TUN yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang
berupa suatu Beschiking menurut pengertian Pasal 1 Butir 3 UU No. 5 tahun
1966.
2. Dalam kenyataannya, unsur pokok yang akan berinteraksi dalam proses
peradilan TUN itu adalah :
- Para hakim dan staf kepaniteraannya
- Para pencari keadilan yang akan mengajukan gugatan kepentingan TUN
(seseorang atau badan hukum perdata)
- Para Badan atau pejabat TUN yang selalu berkedudukan sebagai tergugat.
7
sebagai warga masyarakat biasa, pada suatu saat mungkin memegang
kunci penentu jalannya proses suatu perkara karena kejelasan-kejelasan
maupun alat-alat bukti berada di tangannya.
3. Tujuan dari gugatan di Peradilan TUN adalah selalu untuk memperoleh
putusan hakim yang menyatakan keputusan TUN digugat itu tidak syah atau
batal (Pasal 53 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986). Dalam proses Hukum Acara
Peradilan TUN tidak dikenal gugatan rekonpensi maupun pembarengan
beberaa gugatan bersama-sama (samenloop van Vorderingen).
4. Dalam proses peradilan TUN terdapat keseragaman dan kesederhanaan dalam
arti hukum acaranya hanya terdiri acara biasa dan acara khusus berupa :
penyelesaian perkara dengan acara cepat (pasal 98), penyelesaian perkara
dengan acara singkat (pasal 69). Baik yang berbentuk proses dismassal
maupun proses perlawanan (Pasal 62 dan 118), acara penundaan pelaksanaan
keputusan yang digugat (Pasal 67) dan acar permohonan untuk bersengketa
dengan cuma-cuma (Pasal 60 UU No. 5/1986).
5. Pemeriksaan yang dilakukan selama proses berjalan adalah bersifat
contradictoir dengan unsur-unsur yang bersifat ingusitoir. Proses Peradilan Tata
Usaha Negara bersifat contradictoir maksudnya bahwa pemeriksaan sengketa
sedapat mungkin dilakukan agar para pihak itu sama-sama memperoleh
kesempatan untuk mempertahankan pendiriannya dan mengadakan reaksi
terhadap pendapat lawan apabila dianggap perlu. Sedangkan sifat inguisatoirnya
fakta-fakta yang diserahkan kepada pengujian tentang kebenaran pembentukan
keputusan administratif yang bersifat konkrit, individual dan final yang
disengketakan, dengan demikian Hakim Peradilan Tata Usaha Negara adalah
dominus litis, ia mengadministrasikan serta mempertimbangkan tentang
jalannya proses. Dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara ini dapat dikatakan
tidak berlaku otonomi pihak yang bersengketa. Hakim Tata Usaha Negara ini
tidak bersifat lijdelijk seperti pada hakim perdata. Sekalipun Hakim Tata Usaha
Negara pasif dalam arti yang memulai proses adalah selalu penggugat, akan
tetapi Hakim Tata Usaha Negaralah yang memimpin dan menentukan arah
jalannya proses dan ia pula menentukan segala keputusan yang harus terjadi
dalam proses yang bersangkutan.
6. Dalam Hukum Tata Usaha Negara berlaku suatu asas, bahwa selama suatu
Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak digugat, maka ia selalu dianggap syah
menurut hukum. Keputusan Tata Usaha Negara semacam itu berlaku syah
dan memperoleh kekuatan hukum tetap kalau tenggang waktu untuk
menggugat telah lewat tanpa adanya suatu gugatan yang diajukan
terhadapnya.
7. Dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara berlaku asas pembuktian bebas
yang terbatas, artinya dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara telah
ditentukan secara limitatif alat-alat bukti (Pasal 100) dan di dalam melakukan
penilaian hasil pembuktian Hakim dibatasi kebebasannya dengan ketentuan
sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.
Selain ciri-ciri dan sifat dasar yang diutarakan Indroharto, SH tersebut, penulis
menambahkan lagi beberapa ciri Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan observasi
dan analisis penulis yaitu :
a. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara tidak dikenal adanya
gugatan rekonpensi dan putusan propisionil.
b. Putusan Peradilan Tata Usah Negara mempunyai daya kerja seperti suatu
keputusan hukum publik yang bersifat umum yang berlaku terhadap
siapapun (erga omnes).
c. Hak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara
dibatasi dengan tenggang waktu yang bersifat imperatif (Pasal 55).
d. Gugatan pada prinsipnya berisi tuntutan pokok agar Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak syah, di
samping tuntutan tambahan lainnya (Pasal 53 ayat 1 jo Pasal 97 ayat 9,
10, 11).
e. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dikenal fase proses
dismisal dan proses pemeriksaan persiapan (Pasal 62 dan 63).
f. Dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara diberikan kemudahan bagi warga
masyarakat pencari keadilan, antara lain :
1) Mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dibantu oleh
2) Warga pencari keadilan dari golongan yang tidak mampu diberi
kesempatan untuk perkara secara cuma-cuma (Pasal 60)
3) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak atas
permohonan penggugat, pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara
dapat ditangguhkan, dan pemeriksaan dapat dilakukan dengan secara
cepat oleh Hakim tunggal (Pasal 67 dan 98).
4) Penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Peradilan Tata
Usaha Negara yang paling dekat dengan tempat kediamannya untuk
kemudian diteruskan ke Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang
mengadilinya (Pasal 54).
5) Dalam hal tertentu gugatan dimungkinkan untuk diadili oleh Peradilan
Tata Usaha Negara yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman
penggugat.
6) Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang dipanggil sebagai saksi
diwajibkan untuk datang sendiri (Pasal 93).
g. Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan telah ditentukan secara
limitatif menurut Pasal 53 ayat 2, huruf :
1) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan (onrechtmatige, onwetmatige)
2) Penyalah gunaan wewenang untuk tujuan lain (detournement de pouvoir,
abus de droit)
Alasan lainnya yang lazim dipergunakan dalam praktek adalah mengabaikan
asas-asas umum pemerintah yang baik, yang berkembang dala praktek
penyelenggaraan tugas, fungsi dan urusan pemerintah.
h. Dalam melakukan eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yan telah
berkekuatan hukum tetap (inkrecht van gewijsde) tidak terdapat pelaksanaan
serta merta (executie bij voorraad) dan tidak dikenal eksekusi secara riel.
Yang mengeksekusi putusan Peradilan Tata Usaha Negara adalah tergugat itu
sendiri tanpa bantuan juru sita atau alat negara.
Demikianlah beberapa ciri khas Peradilan Tata Usaha Negara. Seluruh ciri
tersebut terkandung dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri. Dari ciri-ciri
yang dibeberkan di atas, diharapkan dapat memperdalam pemahaman dan pengenalan
kita mengenai Peradilan Tata Usaha Negara yang dirasakn masih asing tersebut.
C. Subjek dan Objek Sengketa Tata Usaha Negara
Ketentuan Pasal 1 butir 4 UU No. 5 Tahun 1986, berbunyi : “Sengketa Tata
Usaha Negara adalah sengketa yang timbul di dalam Tata Usaha Negara antara orang
atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di
pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha
Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
Di dalam penjelasan UU tersebut dikonfirmasikan bahwa istilah “sengketa”
yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum. Badan atau Pejabat
Tata Usaha dalam mengambil keputusan pada dasarnya mengemban kepentingan
umum dan masyarakat, tetapi dalam hal atau kasus tertentu dapat saja keputusan itu
dirasakan mengakibatkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata tertentu,
maka menurut azas hukum Tata Usaha Negara kepada yang bersangkutan harus
diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.
Bertumpu pada rumusan/definisi di atas, Muchsan, SH mengemukakan
unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya suatu sengketa Tata Usaha Negara
yaitu :
a. Harus ada perbedaan pendapat tentang suatu hak ataupun kewajiban sebagai akibat dari penerapan hukum tertentu. Ini bahwa sengketa itu timbul karena terlebih dahulu ada penerapan hukum yang dilakukan oleh pejabat Tata Usaha Neara.
b. Sengketa itu terletak dalam bidang Tata Usaha Negara.
c. Subjek yang bersengketa adalah individu/badan hukum perdata atau sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara sebagai pihak tergugat semua berhak tampil sebagai penggugat dalam mepertahankan hak-haknya.
d. Sengketa tersebut timbul karena berlakunya keputusan Tata Usaha Negara. Ini berarti bahwa keputusan Tata Usaha Negara merupakan causa prima bagi timbulnya sengketa Tata Usaha Negara.8
Sedangkan Prof. Dr. B. Lopa, SH dan Dr. A. Hamzah, SH berpendapat bahwa
unsur sengketa Tata Usaha Negara adalah :
1. Subjeknya atau pihak yang bersengketa orang atau badan hukum privat di satu
pihak dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak.
8
2. Objek sengketa ialah keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh
badan atau pejabat Tata Usaha Negara.9
Dengan demikian jelaslah bahwa dalam proses singkatan Tata Usaha Negara
terdapat dua subjek sengketa para pihak yang bersengketa di muka Peradilan Tata
Usaha Negara yaitu lazim disebut sebagai pihak penggugat dan pihak tergugat.
Mengenai siapa mempunyai hak menggugat atau penggugat berdasarkan
ketentuan pasal 53 ayat (1) UU No. 57/1986 adalah mereka yang kepentingan
dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara.
Sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir 4 di atas, maka hanya orang atau Badan
Hukum Perdata sajalah yang berkedudukan sebagai subjek yang dapat mengajukan
gugatan. Orang atau Badan Hukum Perdata yang dapat tampil sebagai penggugat
adalah hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena langsung
oleh akibat hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau
pjabata Tata Usaha Negara.
Mucshan, SH memberikan kesimpulannya, bahwa untuk dapat berperan
sebagai penggugat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :
1. Berbentuk individu atau badan hukum perdata, berarti suatu perkumpulan atau organisasi yang tidak berbadan hukum dengan akte authenik tidak dapat tampil sebagai penggugat
2. Terkena langsung oleh akibat hukum yang timbul dari berlakunya suatu keputusan Tata Usaha Negara.
3. Menderita kerugian yang konkrit, artinya kerugian yang dapat dinilai dengan uang (geld waarde).10
9
B. Lopa dan A. Hamzah, Op.Cit, hal. 47 10
Seseorang yang belum dewasa tidak mempunyai kecakapan (onbekwaam)
melakukan perbuatan hukum atau menghadap di muka pengadilan, sehingga tidak
dapat sebagai penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.
Badan hukum perdata yang dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tata
Usaha Negara adalah badan atau perkumpulan atau organisasi atau koperasi dan
sebagainya yang didirikan menurut ketentuan-ketentuan BW (KUH Perdata) atau
peraturan lainnya, yang telah merupakan Badan Hukum (rechsperson).
Martiman Prodjohamidjojo, SH mengemukakan bahwa untuk adanya
perkumpulan yang dianggap sebagai badan hukum perdata dan berhak menggugat di
Peradilan Tata Usaha Negara diperlukan 3 syarat yakni :
a. Adanya lapisan anggota terlihat dari administrasinya
b. Merupakan organisasi dengan tujuan tertentu, sering diadakan rapat
periodik pemilihan pengurus, adanya kerjasama antara anggota dengan
tujuan fungsional
c. Ikut dalam pergaulan lalu lintas hukum sebagai kesatuan
Bila kelompok atau perkumpulan itu memenuhi ketiga persyaratan tersebut
dapat mengajukan gugatan menurut Pasal 53 ayat 1 UU 5/1986.
Mengenai siapa yang berkedudukan sebagai tergugat telah dirumuskan di
dalam pasal 1 butir 6 UU No. 5/1986 yaitu :
Tergugat adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan
kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Tergugat itu dapat
berbentuk tunggal dan dapat juga berbentuk jamak.
Kemudian mengenai apa yang menjadi objek sengketa TUN secara jelas dapat
diketahui dari definisi/rumusan yang tercantum dalam Pasal 1 butir 4 UU No. 5/1986
yang dikutip di atas. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi
objek sengketa TUN dirumuskan peradilan TUN adalah keputusan TUN, sehingga
sengketa TUN tersebut selalu berkaitan dengan dikeluarkannya suatu keputusan
TUN. Keputuan TUN yang dapat dijadikan sebagai objek sengketa harus memenuhi
unsur-unsur penetapan tertulis sebagaimana yang dirumuskan dan disyaratkan dalam
pasal 1 butir 3 yang berbunyi : “Keputuan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang beerisi tindakan hukum TUN yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret,
individual dan final, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata”.
Indroharto, SH berpendapat bahwa ketentuan pasal 1 butir 3 UU No. 5
Tahun 1986 tersebut merupakan penetapan tertulis (beschikking) yang
unsur-unsurnya dibedakan atas 6 butir yaitu :
a. Bentuk penetapan itu harus tertulis
b. Penetapan itu dikeluarkan oleh badan atau jabatan Tata Usaha Negara
c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
d. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
f. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum
perdata.11
Jika salah satu unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi, maka keputusan yang
demikian tidaklah merupakan objek sengketa atau objek gugatan.
Selain itu meskipun keputusan TUN ini pada dasarnya merupakan causa
prima timbulnya sengketa TUN akan tetapi terhadap prinsip inipun masih ada
batasan-batasannya. Maksudnya ada bentuk Keputusan TUN (tidak dapat digugat)
meskipun telah memenuhi unsur-unsur penetapan tertulis di atas. Keputusan TUN
yang demikian yaitu merupakan jenis yang dikecualikan dari kewenangan
lingkungan peradilan TUN.
Adapun keputusan-keputuan TUN yang dikecualikan atua yang
dinyatakan tidak termasuk dalam pengertian beschiking atau yang mempersempit
kompetensi peradilan TUN, sehingga tidak dapat digugat ke Peradilan TUN,
adalah :
1. Keputusan-keputusan TUN yang ditentukan dalam pasal No. 5 Tahun 1986
meliputi :
a. Keputusan Tata Usaha Negar yang merupakan perbuatan perdata
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan
11
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan
KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang
bersifat hukum pidana
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan-peraturan
perundang-undangan yang berlaku
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha ABRI
g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai
hasil pemilihan umum.
2. Keputusan-keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan
ketentuan pasal 49 UU No. 5/1986, yang menyatakan bahwa Peradilan Tata
Usaha Negara tidak berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan
sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang
disengketakan itu dikeluarkan :
a. Dalam waktu perang atau dalam keadaan berbahaya, keadaan bencana
alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku
3. Keputusan-keputusan TUN yang telah melampaui tenggang waktu 40 hari
sejak tanggal/saat diterimanya atau diumumkannya atau diketahuinya
lain apabila telah melampaui tenggang waktu tersebut, maka keputusan TUN
itu tidak lagi diajukan atau digugat ke pengadilan TUN.
Di samping ketentuan yang mempersempit kompetensi TUN sebagaimana
yang dijelaskan di atas, ternyata ada juga ketentuan yang memperluas
kompetensi PTUN, yaitau pasal 3 UU No. 5 Tahun 1996 yang menyatakan :
1) Apabila badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedang
hal itu merupakan kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan
keputusan TUN.
2) Jika badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan TUN yang
dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan
perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka badan atu pejabat TUN
tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan dimaksud.
3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak
menentukan juga waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka
setelah lewat juga waktu 4 bulan sejak diterimanya permohonan badan
atau pejabat TUN yang bersangkutan penolakan atau disebut keputusan
TUN negatif fiktif.
Timbulnya sengketa TUN tersebut berkenaan dengan masalah syah atau
tidaknya suatu keputusan TUN, sehingga pengajuan gugat balik atau rekonpensi tidak
dikenal dalam Hukum Acara Peradilan TUN.
timbulnya sengketa TUN. Dengan demikian tanpa adanya keputusan TUN, maka
tidak mungkin timbul sengketa TUN sebab objek yang dipersengketakan tidak ada.
Meskipun ada keputusan TUN, akan tetapi tidak memenuhi salah satu unsur dari
pasal 1 butir 3, atau termasuk yang dikecualikan, maka keputusan TUN yang
demikian tidak dapat menjadikan sebagai objek sengketa atau objek gugatan di
peradilan TUN.
Karena itu dapatlah disimpulkan bahwa yang sebenarnya dipersengketakan
dalam suatu proses di pengadilan TUN itu adalah pelaksanan dari suatu wewenang
pemerintahan menurut hukum publik yang diharapkan oleh badan atau pejabat TUN,
dengan kata lain yang disengketakan itu selalu merupakan salah satu bentuk tindakan
hukum pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat atau badan TUN yang mengatakan
badan atau pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan
pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
D. Tahap Proses Pemeriksaan Suatu Sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara Setelah surat gugatan terdaftar di Kepaniteraan dan dicatat dalam Buku Induk
Register Perkara yang disediakan, maka PTUN akan melakukan proses pemeriksaan
terhadap sengketa/gugatan tersebut.
Menurut Hukum Acara Peradilan TUN yang diatur dan ditentukan dalam Bab
IV Pasal 53 s/d 132 UU No. 5 Tahun 1986 dapat diketahui bahwa proses pemeriksaan
sesuai dengan tahapan-tahapannya. Sebelum pemeriksaan dilakukan dengan acara
biasa, harus terlebih dahulu diawali dengan proses rapat permusyarawatan (proses
dismissal) yang dilanjutkan dengan proses pemeriksaan persiapan, baik rapat
permusyawaratan oleh Ketua TUN maupun pemeriksaan persiapan oleh Majelis
Hakim yang bersangkutan, termasuk bagian dari fungsi peradilan (justiele functie).
Dari ketentuan yang mengatur tentang hukum acara peradilan TUN tersebut,
dapat diketahui bahwa proses pemeriksaan suatu sengketa PTUN ternyata mengenal
beberapa tahapan, yaitu :
a. Tahap rapat permusyawaratan (proses dismissal)
b. Tahap proses pemeriksaan persiapan
c. Tahap proses persidangan
d. Tahap pengucapan keputusan
Tahapan-tahapan proses pemeriksaan sengketa ini perlu dijabarkan secara
terperinci agar mudah perlu dijabarkan secara terperinci agar mudah dimengerti dan
dibandingkan dalam pembicaraan selanjutnya tentang materi pokok skripsi ini,
sebagaimana diuraikan dalam Bab IV berikut :
a. Tahap proses dismissal (pasal 62 UU No. 5/1986)
Setiap gugatan telah masuk di PTUN selalu pada permulaannya akan
ditangani/diperiksa dari segi ketatausahaan (administrasi) lebih dahulu oleh staf
Kepaniteraan yang lazim disebut dengan istilah penelitian administratif yaitu
penelitian pendahuluan yang bersifat formal ketatausahaan peradilan. Setelah
dimaksud, guna untuk menentukan apakah gugatan yang diajukan itu dapat
diterima atau tidak, apakah gugatan telah memenuhi syarat-syarat
sebagaimana ditentukan dalam pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986 dan apakah
memang termasuk wewenang TUN yang bersangkutan untuk mengadilinya.
Pendeknya apakah gugatan tersebut dinyatakan lolos dismissal atau tidak.
Menyangkut tentang penelitian administratif oleh staf Kepaniteraan ini,
SEMA No. 2 tanggal 9 Juli 1991 memberikan petunjuk-petunjuk sebagai
berikut :
1. Setelah surat gugatan tercatat dan terdaftar di kepaniteraan atau telah
mempunyai nomor perkara, maka haruslah dilakukan penelitian
administratif hendaknya dilakukan dari segi-segi formalnya saja yang
mengenai bentuk maupun isi gugatan sesuai dengan maksud pasal 56 UU
No. 5 Tahun 1986 dan jangan sampai menyangkut segi materi gugatan
(pokok perkara).
2. Panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya kepada pihak
penggugat dan dapat meminta kepada pihak penggugat untuk memperbaiki
gugatan yang dipandang perlu sebelum gugatan diteruskan kepada Ketua.
Panitera tidak berhak menolak pendaftaran perkara yang bersangkutan
dengan dalih apapun juga yang berkaitan dengan materi gugatan.
3. Untuk memudahkan pemeriksaan perkara pada tahap selanjutnya maka
setelah suatu gugatan didaftar dan memperoleh nomor perkara, oleh staf
dahulu sebelum diajukan kepada Ketua TUN dengan bentuk formal yang
isinya pada pokoknya sebagai berikut :
1) Siapa-siapa subjeknya (identitas para pihak) dan apakah penggugat
sebagai pihak sendiri ataukah diwakili oleh kuasanya yang sya. Bila
diwakili kuasa, apakah surat kuasa khusus sudah terlampir atau belum
dalam surat gugatan tersebut
2) Apakah yang menjadi objek gugatan dan menjelaskan jenis
perkaranya. Apakah objek gugatan itu sepintas masuk dalam
pengertian Keputusan TUN/Penetapan Tertulis (beschiking) menurut
pasal 1 butir 3 UU No. 5/86.
3) Ringkasan dari alasan gugatan diteliti apakah posita gugatan memenuhi
ketentuan pasal 53 ayat 2 huruf a, b, c UU No. 5/1986 atau
mengemukakan alasan pelanggaran terhadap asas-asas umum
pemerintahan yang baik.
4) Apakah yang menjadi tuntutan (petitum) gugatan tersebut hanya berisi
tuntutan pokok ataukah disertai dengan tuntutan tambahan berupa
pembebanan salah satu kewajiban sebagaimana ditentukan pasal 97 ayat
9, 10, dan 11 UU No. 5 Tahun 1986.
5) Apakah di dalam/beserta surat gugatan terdapat permohonan prodeo
(pasal 60), acara cepat (pasal 98), penangguhan/penundaan pelaksanaan
keputusan TUN yang digugat tersebut (pasal 67), sebab apabila terdapat
dahulu dipertimbangkan oleh Ketua TUN sebelum ditetapkan
penunjukan Majelis Hakimnya yang memeriksa dan memutus pokok
sengketanya.
4. Apabila Kepaniteraan di dalam melakukan penelitian administratif dimaksud
menemui kekurangan-kekurangan yang sifatnya tidak prinsipil, maka
penggugat dapat dianjurkan agar memperbaiki dan menyempurnakan
gugatannya atas kekurangan yang diteliti tersebut.
Hasil penelitian administratif tersebut harus dilaporkan kepada Ketua PTUN
untuk bahan pertimbangan dalam proses dismissal.
Dismissal process ini merupakan tahap penyaringan atau filter yang
dilakukan Ketua PTUN dengan penanganan yang bersifat inguisitoir belaka terhadap
gugatan yang diajukan tidak ada proses antara pihak-pihak, tidak ada acara tukar
menukar jawaban dan dokumen serta tidak ada pembuktian.
Dalam proses dismissal ini, para pihak yang berperkara belum dihadirkan.
Dalam tahap ini ada dua alternatif keputusan yang dapat diambil Ketua PTUN, yaitu :
1. Ketua PTUN menyatakan gugatan dapat diterima, yang berarti dapat dilanjutkan
pemeriksaannya (lolos dismissal) sehingga ditetapkanlah Majelis Hakim yang
akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Dalam hal ini tidak perlu
dibuatkan suatu penetapan lolos dismissal yang dibuatkan adalah penetapan
penunjukan Majelis Hakimnya.
2. Ketua PTUN dengan sengketa segala pertimbangannya memutuskan dengan
berdasar. Alternatif ini diambil apabila :
a. Pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang PTUN.
b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi
pengguat, sekalipun ia telah diberitahu/diperingatkan
c. Gugatan tersebut didasarkan pada alasan-alasan yang tidak layak
d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh keputusan
TUN yang digugat
e. Gugatan diajukan sebelum waktunya (prematur) atau telah lewat waktnya
(daluarsa)
Meskipun dalam proses dismissal tersebut para pihak berperkara belum hadir,
akan tetapi penetapan dismissal tersebut harus diucapkan di hadapan para pihak yang
berperkara. Oleh karena itu kedua belah pihak harus dipanggil untuk
mendengarkannya. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat
oleh Panitera atas perintah Ketua.
Apabila penggugat keberatan atas penetapan dismissal tersebut maka ia dapat
mengajukan verzet (perlawanan) dalam tenggang waktu 14 hari setelah mengucapkan
penetapan, apabila hadir atau sejak diterimanya salinan penetapan yang dikirimkan
oleh Panitera dengan surat tercatat jika penggugat tidak menghadiri pengucapan
penetapan dismissal itu.
Perlawanan tersebut diajukan harus pula memenuhi syarat-syarat seperti
gugatan biasa menurut pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986. Gugatan perlawanan ini
dibantu oleh seorang Panitera Pengganti yang ditunjuk oleh Panitera.
Majelis Hakim yang ditunjuk untuk memeriksa dan memutus gugatan
perlawanan, terdapat dua kemungkinan mengenai keputusan yang akan diambil,
yakni :
1. Membenarkan perlawanan yang diajukan oleh Pelawan
Apabila alternatif ini yang diambil yaitu menyatakan pelawan adalah sebagai
pelawan yang benar, maka penetapan dismissal yang dikeluarkan Ketua PTUN
tersebut menjadi gugur demi hukum, dan selanjutnya pokok gugatan akan
diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.
2. Gugatan perlawanan ditolak, atau pelawan dinyatakan sebagai pelawan yang
tidak benar.
Terhadap penolakan ini, konsekwensi juridis yang timbul tergantung pada alasan
yang digunakan dalam penolakan tersebut. Apabila alasannya gugatan cacat,
maka penggugat dapat mengajukan gugatan tersebut setelah gugatan direvisi
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Akan tetapi apabila penolakan tersebut
yang berlaku. Akan tetapi apabila penolakan tersebut dengan alasan lain, maka
gugatan tidak dapat diajukan kembali. Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk
mengajukan gugatan tersebut kepada lembaga pengadilan yang lain. Terhadap
putusan mengenai perlawanan ini tidak dapat digunakan upaya hukum apapun,
sehingga putusan terhadap penolakan gugatan perlawanan itu diangap sebagai
Perlu dikonfirmasikan, bahwa apabila Ketua PTUN berhalangan maka
kewenangan proses dismissal ini dilakukan oleh Wakil Ketua. Selain itu perlu pula
diketahui, adanya tahap proses dismissal ini justru sangat memberi manfaat dan
keuntungan bagi penggugat, sebab kalau semua gugatan yang masuk diteruskan ke
proses persidangan tanpa melalui dismissal process dikuatirkan akan banyak waktu,
tenaga, pikiran dan biaya yang terbuang percuma untuk pemeriksaan perkara yang
tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam UU No. 5 Tahun 1986 yang
pada akhirnya gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak berdasar,
Setelah Ketua melakukan dismissal proses dan gugatan dinyatakan lolos
dismisal maka berkas perkara diserahkan kepada Majelis Hakim yang telah ditunjuk
oleh Ketua PTUN untuk selanjutnya melakukan tahapan pemeriksaan persiapan,
persidangan dan pengucapan putusan.
b. Tahap proses pemeriksaan persiapan (pasal 63 UU No. 5/1986)
Sejak masuknya gugatan sampai dimulainya pemeriksaan di muka persidangan,
belaku suatu masa waktu (fase) mematangkan perkara yang bersangkutan (fase
sud iu dice), yaitu suatu masa periode penelitian dan pemeriksaan dimana suatu
gugatan yang masuk dimatangkan lebih dahulu untuk dapat diperiksa atau
disidangkan di muda sidang yang terbuka untuk umum. Langkah-langkah yang
dilakukan dalam fase sun tudice tersebut antara lain :
- Penelitian yang bersifat administratif oleh Kepaniteraan yang merupakan
penelitian pendahuluan, sebelum berkas diserahkan kepada Ketua.
Ketua berhalangan
- Proses pemeriksaan persiapan yang dilakukan oleh Majelis Hakim
Setelah penelitian pendahuluan yang berupa penelitian administratif yang
dilaksanakan Kepaniteraan Bidang Perkara yang diteruskan denan proses
dismissal oleh Ketua telah selesai dilakukan, maka untuuk selanjutnya
pemeriksaan dengan acara maka untuk selanjutnya pemeriksaan dengan acara
biasa atas suatu gugatan dinyatakan telah lolos dissmisal tersebut akan
dilangsungkan tahapan pemeriksaan persiapan menurut pasal 63 UU No. 5 Tahun
1986. Dengan kata lain, selain tahap proses dismissal sebagaimana telah
diuraikan di atas. Dalam hukum acara Peradilan TUN dikenal tehapan proses
pemeriksaan persiapan yaitu suatu tahap pemeriksaan sebelum pokok gugatan
dimulai pemeriksaannya guna untuk mematangkan perkara agar laik disidangkan
dalam tahap proses persidangan.
Pemeriksaan persidangan diadakan mengingat penggugat di PTUN adalah
warga masyarakat yang mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan
tergugat sebagai pejabat TUN. Dalam posisi yang lemah tersebut, sulit bagi
penggugat untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan dari Badan
atau Pejabat TUN yang digugat. Dalam pemeriksaan persiapan ini, Hakim
diharapkan akan berperan aktif dalam memeriksa sengketa, antara lain dengan
meminta penggugat untuk melengkapi alat-alat bukti pajabat TUN yang
bersangkutan untuk memberikan informasi dan data yang diperlukan oleh PTUN.
untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai Penggugat dalam
mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN
mengingat bahwa Penggugat dan Badan atau Pejabat TUN itu kedudukan/status
sosialnya tidak sama.
Pemberian kesempatan kepada Penggugat untuk melengkapi/memperbaiki
gugatannya itu harus dilakukan dalam jangka waktu 30 hari, terhitng sejak Hakim
memberikan nasehat kepada penggugat. Nasehat Hakim tersebut harus
dituangkan dalam bentuk penetapan yang dimuat dalam Berita Acara
Pemeriksaan Persiapan sehingga ada pegangan bagi Hakim dan Penggugat.
Kesempatan dimaksud sebaiknya diberikan cukup sampai dua kali.
Apabila kesempatan itu disia-siakan yaitu penggugat belum
menyempurnakan, melengkapi atau memperbaiki gugatannya, maka Hakim
menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. Terhadap
putusan hakim tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum artinya tidak ada
banding atau kasasi tetapi penggugat masih diperbolehkan untuk mengajukan
gugatan baru, sesuai dengan syarat-syarat pasal 56 dan harus membayar uang
muka biaya perkara agar diperoleh Nomor Perkaranya yang baru.
Pemeriksaan persiapan itu harus dilakukan tidak di muka sidang yang
terbuka untuk umum, melainkan harus tertutup artinya pihak umum tidak
diperkenankan menghadiri permeriksaan persiapan tersebut.
menyatakan gugatan tidak dapat diterima seluruhnya atau sebagian, meskipun
perkara itu telah lolos dari dismissal proses. Segala sesuatu yang dilakukan dalam
tahap pemeriksaan persiapan diserahkan kepada kearifan dan kebijaksanaan
Ketua Majelis.
Untuk lebih jelasnya, penulis mengetengahkan pendapat Bapak Indroharto,
SH mengenai tujuan pemeriksaan persiapan yaitu :
“Tujuan diadakanya pemeriksaan persiapan ini adalah untuk dapat meletakkan
sengketanya dalam peta, baik mengenai objeknya serta fakta-faktanya maupun
mengenai problema hukumnya yang harus dijawab nanti”.12
Setelah pemeriksaan persiapan dianggap selesai dan Majelis sudah
mempunyai gambaran sementara mengenai aspek yang berkaitan dengan objek
sengketanya, fakta-faktanya merupakan problema-problema hukum yang harus
diputuskannya, maka Ketua Majelis menetapkan hari sidang dengan suatu
penetapan hari sidang memerintahkan Panitera Pengganti agar memanggil kedua Kegunaan adanya proses pemeriksaan persiapan adalah agar pemeriksaan
mengenai pokok perkara di muka sidang dalam proses selanjutnya dapat berjalan
lancar, sebab pada akhir pemeriksaan persiapan itu tentu Hakim telah
memperoleh gambaran yang jelas mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan
objek perselisihan, fakta-fakta problema hukum dalam sengketa yang
bersangkutan. Sehingga pada saat dimulainya pemeriksaan yang akan
dilaskanakan.
12
belah pihak atau para pihak yang berperkara dengan surat tercatat agar hadir pada
hari yang telah ditetapkan di muka persidangan.
c. Tahap proses persidangan
Setelah pemeriksaan persiapan dianggap selesai, maka sebelum Majelis
menentukan hari dan tempat sidang, Majelis sebaiknya menyusun penilaian
sementara mengenai perkara yang akan disidangkan.
Penilaian intern sementara itu berupa :
1) Memilah-milahkan fakta-fakta dengan mengingat problema hukum yang
harus dijawab.
2) Penyusunan secara mendetail mengenai problema hukum yang harus dijawab
3) Penyusunan jawaban sementara atas problema hukum tersebut.
4) Penyusunan instruksi-instruksi sementara yang dilaksanakan selama
pemeriksaan di muka sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum nanti
kepada para pihak, saksi-saksi atau saksi ahli, dan sebagainya.
5) Mungkin juga sudah ada keperluan untuk merencanakan tentang putusan
yang akan diucapkan.
Apabila Majelis Hakim setelah melakukan pemeriksaan menganggap bahwa
gugatan telah sempurna dan sudah laik disidangkan maka Hakim Ketua menentukan
hari sidang dengan suatu penetapan hari sidang. Dalam penentuan hari sidan gini,
Hakim harus mempertimbangkan jarak tempat tinggal para pihak dari tempat
persidangan (pengadilan). Jangka waktu antara panggilan dan hari sidang tidak boleh
(pasal 64 UU No. 5/86). Panggilan terhadap pihak yang dianggap syah apabila
masing-masing telah menerima panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat oleh
Panitera Pengganti.
Jika pada hari sidang pertama ternyata penggugat atau kuasanya tidak hadir
maka dipanggil lagi. Setelah panggilan dilakukan secara patut, ternyata pihak
penggugat tetap tidak hadir tiga kali berturut-turut, maka gugatan dinyatakan gugur,
maka penggugat harus membayar biaya perkara. Sesudah gugatan dinyatakan gugur,
maka penggugat masih dapat memasukkan gugatannya sekali lagi dengan membayar
uang muka biaya perkara asalkan tenggang waktu pengajuan gugatan belum dilewati.
Apabila pada hari sidang pertama tergugat atau kuasanya tidak hadir, maka
akan dipanggil lagi untuk kedua kalinya dengan tembusan panggilan kedua itu
dikirimkan kepada atasan tergugat. Apabila tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir
walaupun telah dipanggil secara patut atau tergugat/kuasanya tidak menanggapi
gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka Hakim Ketua dengan
surat penetapan meminta atasan tergugat untuk memerintahkan tergugat agar hadir
dan menanggapi gugatan. Berarti surat panggilan ketiga dikirimkan kepada atasan
tergugat yang dilampiri dengan penetapan Hakim Ketua tersebut. Setelah lewat dua
bulan ternyata tidak ada berita, baik dari tergugat ataupun dari atasan tergugat, maka
Hakim Ketua menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan perkara
dilanjutkan menurut acara biasa tanpa hadirnya tergugat (in absentia). Dalam
persidangan tanpa hadirnya tergugat ini, putusan terhadap pokok gugatan dapat
Setelah sidang dibuka oleh Hakim Keetua sidang, pemeriksaan sengketa
dimulai dengan membacakan pemeriksaan sengketa dimulai dengan
membacakan gugatan dan jawaban. Selanjutnya Hakim Ketua sidang memberi
kesempatan kepada para pihak untuk menjelaskan seperlunya hal yang diajukan
masing-masing pihak.
Dalam persidangan sengketa TUN, Hakim harus berperan aktif, guna
memperoleh kebenaran materiil. Hal ini terbukti adanya kesewenangan Hakim
dalam hal-hal sebagai berikut :
1. Hakim Ketua sidang berhak di dalam persidangan memberikan petunjuk
kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti
yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.
2. Dengan izin ketua PTUN, penggugat, tergugat dan penasehat hukum dapat
mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersengketa
dengan perkara tersebut di Kepaniteraan PTUN, bahkan dapat membuat
kutipan apabila hal tersebut dianggap perlu.
3. Para pihak yang berperkara dapat membuat atau menyuruh membuat salinan
atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri,
setelah memperoleh izin dari Ketua PTUN yang bersangkutan.
Hakim Ketua sidang berkewajiban untuk menjaga agar tata tertib
persidangan ditaati setiap orang Hakim Ketua berkewajiban untuk memberikan
teguran atau peringatan kepada setiap orang yang menunjukkan sikap, perbuatan,
kehormatan Pengadilan. Apabila orang tidak mentaati tata tertib persidangan,
maka atas perintah Hakim Ketua, ia dikeluarkan dari ruang sidang. Tindakan
Hakim Ketua terhadap pelanggaran tata tertib persidangan, tidak menutup
kemungkinan dilakukan penuntutan jika pelanggaran itu merupakan tindak pidana.
Persidangan dipimpin dan dibuka oleh Hakim Ketua sidang dan harus
dinyatakan terbuka unttuk umum. Pernyataan dibuka untuk umum itu sangat
penting, karena jika hal itu tidak dipenuhi, maka persidangan dapat
mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. Apabila Majelis Hakim
memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut kepentingan umum
atau keselamatan negara, maka persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk
umum (pasal 70 UU No. 5/1986).
Dalam proses persidangan secara berurutan akan dilangsungkan pengajuan
jawaban dari tergugat, pengajuan replik oleh penggugat, pengajuan duplik oleh
tergugat, pengajuan alat-alat bukti dari penggugat dan tergugat, pemeriksaan
saksi-saksi yang diajukan penggugat dan tergugat dan diakhiri dengan pengajuan
konklusi/kesimpulan dari masing-masing pihak.
Jadi suatu proses pemeriksaan sengketa TUN tidak mungkin dapat
diselesaikan dalam satu kali persidangan, sehingga persidangan terpaksa dilanjutkan
pada hari persidangan berikutnya untuk acara yang telah ditentukan. Hari persidangan
berikutnya ini diberitahukan kepada kedua belah pihak dan pemberitahuan ini
persidangan oleh panitera pengganti yang bersangkutan mengenai pengunduran
persidangan tersebut.
Kalau sekiranya pada hari persidangan kedua atau salah satu hari persidangan
berikutnya ada pihak yang tidak hadir pada hal pada waktu persidangan pertama atau
sebelumnya yang bersangkutan hadir, maka Hakim Ketua penyeruh memberitahukan
kepada pihak tersebut pada hari dan tanggal persidangan berikutnya. Apabila pada
hari sidang yang sudah ditentukan itu, pihak yang bersangkutan tidak hadir tanya
alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, padahal ia sudah diberitahu secara patut,
maka pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadirannya.
Pihak tergugat berhak mengajukan eksepsi terhadap gugatan yang diajukan
penggugat. Eksepsi ini hanya diperkenankan sejauh mengenai kewenangan baik
pengadilan kompetensi yang bersipat absolut maupun yang relatif, ataupun
kewenangan khusus lainnya. Eksepsi mengenai kemenangan absolut pengadilan dapat
diajukan setiap waktu selama pemeriksaan berlangsung. Bahkan hakim karena
jawabnya, apabila mengetahui yakin bahwa PTUN tidak berwenang mengadili
gugatan tersebut. Sedangkan eksepsi tentang kewenangan relatif, diajukan sebelum
jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi ini harus diperiksa dan diputus sebelum
pokok sengketa diperiksa. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan
hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa dalam putusan akhir.
Seperti telah dijelaskan sebelumnya Hakim dalam persidangan di PTUN
harus aktif di dalam menemukan kebenaran. Sehubungan dengan hal ini demi
memberikan petunjuk kepada pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan
alat bukti yang dapat digunakan. Dengan demikian UU No. 5/1986 mengarah pada
ajaran pembuktian bebas. Dalam hal ini para pihak dapat mengajukan alat bukti
sebanyak mungkin guna mendukung dalil-dalil yang diajukan dalam acara
pembuktian.
Pasal 100 UU No. 5/1986 menentukan bahwa alat bukti yang dapat
dipergunakan dalam persidangan sengketa TUN adalah :
1. Surat atau tulisan : yang terdiri dari 3 jenis, yaitu :
a. Akta otentik yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat
umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat
surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang
peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
b. Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh
pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat
bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.
c. Surat-surat lainnya yang bukan akta
2. Keterangan ahli : adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam
persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan
pengetahuannya. Keterangan ahli ini dapat diajukan baik atas permintaan para
pihak yang berperkara maupun atas prakarsa Hakim karena jabatannya. Yang
penting keterangan tersebut dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut
3. Keterangan saksi ; dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan
dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. Saksi ini dapat
diajukan atas permintaan salah satu pihak dalam perkara. Hakim Ketua sidang
dapat juga memerintahkan sesorang saksi untuk didengar keterangannya dalam
persidangan. Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang syah meskipun telah
dipanggil dengan patut dan hakim cukup mempunyai alasan untuk menduga
bahwa saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua dapat memberi perintah supaya
saksi dibawa oleh polisi secara paksa ke persidangan. Sebelum saksi memberikan
keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau
kepercayaannya.
4. Pengakuan para pihak ; ini merupakan salah satu alat bukti juga. Pengakuan yang
diberikan oleh para pihak yang berperkara tidak dapat ditarik kembali, kecuali
berdasarkan alasan-alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim.
5. Pengetahuan Hakim ; adalah hal-hal yang oleh hakim diketahui dan diyakini
kebenarannya. Dengan perkataan lain, pengetahuan ini harus diperoleh hakim
dalam dan selama persidangan. Untuk menambah pengetahuan Hakim lazimnya
dilakukan pemeriksaan setempat/peninjauan lokasi atau sidang lapangan.
Perlu dijelaskan, hal apa yang harus dibuktikan, beban pembukt ian beserta
penilaian pembuktian merupakan kewenangan untuk menetapkannya. Untuk syahnya
pembuktian sekurang-kurangnya diperlukan dua alat bukti yang diyakini