• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tata Cara Masuknya Pihak Ketiga Yang Berkepentingan Dalam Suatu Sengketa Tata Usaha Negara (Study Kasus PTUN Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Tata Cara Masuknya Pihak Ketiga Yang Berkepentingan Dalam Suatu Sengketa Tata Usaha Negara (Study Kasus PTUN Medan)"

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

TATA CARA MASUKNYA PIHAK KETIGA YANG BERKEPENTINGAN DALAM SUATU SENGKETA TATA USAHA NEGARA (STUDY KASUS

PTUN MEDAN) PROPOSAL

OLEH :

AGRIVA ARISHANDY TARIGAN 070221006

PROGRAM STUDI S1 ILMU HUKUM ADMINISTRASI NEGAR FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Tata Cara Masuknya Pihak Ketiga Yang Berkepentingan Dalam Suatu Sengketa Tata Usaha Negara (Study Kasus PTUN MEDAN)

Nama : Agriva Arishandy Tarigan

NIM : 070221006

Pmebimbing Penguji

Dr. Pendastaran Tarigan, SH.MS Dr. Pendastaran Tarigan, SH.MS

Suria Ningsih, SH.Mhum Suria Ningsih, SH.Mhum

Prof. Dr. Budiman Ginting,SH.MHum

(3)

ABSTRAK

Dalam Undang-undang No. 5 tahun 1986 jo. Undang-undang No. 9 tahun

2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 83diatur tentang cara masuknya

pihak ketiga yang berkepeningan dalam suatu sengketa tata usaha negara.

Tata cara masuknya pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu sengketa

tata usaha negara yang sedang berjalan merupakan hal yang sangat penting untuk

mempertahankan haknya dalam keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha

Negara secara hukum dapat diikutsertakan untuk membela kepentingannya.

Adanya tata cara masuknya pihak ketiga yang berkepentingan dalam sengketa

Tata Usaha Negara sehingga dapat ikut serta dalam sengketa Tata Usaha Negara

(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas

berkat dan rahmatNya penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini untuk memenuhi

persyaratan dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum dengan judul “Tata Cara

Masuknya Pihak Ketiga Yang Berkepentingan Dalam Suatu Sengketa Tata Usaha

Negara (Study Kasus PTUN Medan)”

Dalam penyusunan Skripsi ini penulis banyak mendapat bantuan dan

bimbingan dari berbagai pihak, untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum. selaku Dekan Fakultas

Hukum, Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH., MH. selaku Pembantu Dekan I Fakultas

Hukum, Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH., MS. selaku Ketua Departemen Hukum

Administrasi Negara dan Dosen Pembimbing I pada Fakultas Hukum,

Universitas Sumatera Utara.

4. Ibu Suria Ningsih, SH., M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang telah

meluangkan waktu untuk membimbing dan membantu penulis menyelesaikan

Skripsi ini.

5. Bapak. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum. selaku Dosen penguji yang

telah meluangkan waktu untuk menguji dan membantu penulis menyelesaikan

Skripsi ini.

6. Ibu Affila, SH., M.Hum. selaku Dosen penguji yang telah meluangkan waktu

untuk menguji dan membantu penulis menyelesaikan Skripsi ini.

7. Ayahanda tercinta Naik Tarigan, atas segala dukungan serta kesabaran yang

(5)

8. Ibunda tercinta Amisah Br. Karo, SH. atas segala dukungan dan Doa yang

senantiasa diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini.

9. Istri saya tercinta Dewi Octavia Sinambela Kacaribu, beserta kedua

putra-putri saya terkasih Kezia Careen Eunike Tarigan dan Timothy Asky Reagent

Tarigan yang senantiasa memberikan semangat dan penyegaran dalam setiap

harinya. (perjuangan papi untuk kakak Careen sama ade Totthy ya)

10. Seluruh Dosen Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara atas ilmu dan

keterampilan yang diberikan.

11. Seluruh pegawai administrasi Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara.

12. Bapak Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara Medan beserta para Staff.

13. Bapak H. Sulthoni, SH., MH. selaku Ketua Pengadilan Negeri Pematang

Siantar, Bapak Pastra Joseph Ziraluo, SH., M.Hum. selaku Wakil Ketua

Pengadilan Negeri Pematang Siantar, Bapak Abdiaman Damanik, SH. Selaku

Panitera / Sekretaris Pengadilan Negeri Pematang Siantar, beserta seluruh

Staff atas segala bantuan dan dukungan yang tulus kepada penulis.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa hasil Skripsi ini masih memiliki banyak

kekurangan dan kesalahan, maka penulis mengharapkan kritik dan saran dari segenap

pihak demi hasil yang lebih baik.

Medan, Oktober 2009

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAKSI ... i

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 2

C. Tujuan Penelitian ... 3

D. Manfaat Penelitian ... 3

E. Tinjauan Pustaka ... 4

F. Metode Penelitian ... 8

G. Gambaran Isi ... 8

BAB II PERANAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENYELSAIKAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA A. Landasan Hukum Peradilan Tata Usaha Negara ... 11

B. Ciri dan Sifat Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara 14 C. Subjek dan Objek Sengketa Tata Usaha Negara ... 20

(7)

BAB III TINJAUAN TENTANG PIHAK KETIGA YANG

BERKEPENTINGAN DI PERADILAN TATA USAHA NEGARA

A. Dasar Hukum Keikutsertaan Pihak Intervensi Dalam Suatu

Sengketa Tata Usaha Negara ... 48

B. Kriteria Pihak Ketiga Yang Berkepentingan... 59

C. Syarat-syarat Masuknya Pihak Ketiga Dalam Proses

Sengketa Tata Usaha Negara ... 65

BAB IV PROSEDUR SERTA AKIBAT HUKUM INTERVENSI DALAM

PERKARA TATA USAHA NEGARA

A. Prosedur Masuknya Pihak Intervenient Dalam Suatu

Sengketa Tata Usaha Negara Yang Sedang Berlangsung . 70

B. Akibat Hukum Ikutsertanya Pihak Ketiga Dalam Sengketa

Tata Usaha Negara Yang Sedang Berlangsung ... 79

C. Hambatan-hambatan Dalam Proses Masuknya Pihak Ketiga 80

D. Upaya Hukum Yang Ditempuh Pihak Ketiga Yang Tidak

Diikutsertakan Dalam Proses ... 84

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 87

B. Saran ... 88

(8)

ABSTRAK

Dalam Undang-undang No. 5 tahun 1986 jo. Undang-undang No. 9 tahun

2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara pasal 83diatur tentang cara masuknya

pihak ketiga yang berkepeningan dalam suatu sengketa tata usaha negara.

Tata cara masuknya pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu sengketa

tata usaha negara yang sedang berjalan merupakan hal yang sangat penting untuk

mempertahankan haknya dalam keputusan yang dikeluarkan oleh Pejabat Tata Usaha

Negara secara hukum dapat diikutsertakan untuk membela kepentingannya.

Adanya tata cara masuknya pihak ketiga yang berkepentingan dalam sengketa

Tata Usaha Negara sehingga dapat ikut serta dalam sengketa Tata Usaha Negara

(9)

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang

Untuk menjamin penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap benturan

antara kepentingan perseorangan atau badan hukum perdata dengan pejabat atau

badan Tata Usaha Negara yang berbeda yang menjadi sengketa, saluran hukum

merupakan salah satu jalan terbaik, sehingga peran Peradilan Tata Usaha Negara

sangat penting sebagaimana diamanatkan dalam TAP MPR-RI No.

IV/MPR/1978 jo TAP MPRI-RI No. II/MPR/1983.

Dengan demikian Peradilan Tata Usaha Negara dibentuk dalam rangka

memberikan perlindungan kepada rakyat pencari keadilan yang merasa

kepentingan hukumnya dirugikan akibat suatu keputusan Tata Usaha Negara

oleh badan atau pejabat Tata Usaha Negara.

Pengadilan Tata Usaha Negara adalah salah satu pelaksanaan kekuasaan

kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap suatu sengketa.

Dari sejumlah sengketa/perkara yang masuk ternyata tidak sedikit yang

di dalamnya tersangkut kepentingan pihak/orang lain selain penggugat dan

tergugat, yang harus dipertimbangkan oleh hakim untuk memutus persengketaan

(10)

yang digugat itu lazim disebut pihak intervenient (pihak ketiga yang

berkepentingan).

Untuk mencegah kerugian yang fatal bagi pihak ketiga maka dalam

proses pemeriksaan sengketa Tata Usaha Negara dimungkinkan pihak ketiga itu

untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses pemeriksaan suatu sengketa

yang sedang berjalan atau setidak-tidaknya keterangan dan penjelasan dari pihak

ketiga itu harus dimintakan oleh Hakim sebagai saksi. Dimungkinkan bagi orang

atau badan hukum perdata di luar pihak yang sedang bersengketa untuk ikut

serta atau diikutsertakan sebagai pihak dalam proses pemeriksaan perkara yang

sedang berjalan sesuai dengan ketentuan yang diatur di dalam pasal 83

Undang-undang No. 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan masuknya pihak ketiga dalam suaatu sengketa yang diperoleh

maka ia dapat mempertahankan hak-haknya sehingga diperoleh suatu putusan

yang objektif dan adil, khususnya bagi pihak yang bersengketa tersebut.

Untuk lebih memahami bagaimana tata cara masuknya pihak ketiga

intervenient maka haruslah dipahami mengenai hukum acara yang berlaku di

(11)

B.

Permasalahan

Adapun yang menjadi permasalahan di dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

- Bagaimana Peradilan Tata Usaha Negara di dalam menyelesaikan

sengketa Tata Usaha Negara ?

- Bagaimana pihak ketiga yang berkepentingan dapat diikutsertakan

di Peradilan Tata Usaha Negara ?

- Bagaimana prosedur serta akibat hukum masuknya pihak ketiga

dalam sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung ?

C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui bagaimana pihak ketiga yang berkepentingan dapat

diikutkan di Peradilan Tata Usaha Negara di dalam menyelesaikan

sengketa Tata Usaha Negara .

2. Untuk mengetahui bagaimana pihak ketiga yang berkepentingan dapat

diikutkan di Peradilan Tata Usaha Negara .

3. Untuk mengetahui proses serta akibat hukum masuknya pihak ketiga

dalam sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung.

(12)

1. Secara teoritis agar dapat dipahami bahwa secara yuridis pihak ketiga

yang kepentingannya terkait dengan perkara yang sedang berlangsung,

secara hukum dapat diikutsertakan untuk membela kepentingannya,

bagaimana prosedur serta akibat hukumnya.

2. Secara praktis untuk memberikan pemahaman bagi semua pihak yang

mempunyai perhatian tentang topik penelitian ini, terutama mahasiswa

Fakultas Hukum memperoleh masukan-masukan tentang intervenient

dalam proses peradilan di Pengadilan Tata Usaha Negara.

E. Tinjauan Pustaka

1. Sengketa Tata Usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang

Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan

atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai

akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha Negara, bermasuk sengketa

kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pihak ketiga yang berkepentingan maksudnya pihak lain di luar penggugat

dan tergugat yang mempunyai kepentingan terhadap suatu objek sengketa

yang ditetapkan penggugat intervensi atau tergugat intervensi dalam suatu

perkara/sengketa Tata Usaha Negara yang sedang ditangani pengadilan Tata

Usaha Negara.

Di dalam UU No. 5 Tahun 1986 tidak ada dirumuskan mengenai

(13)

demikian, dalam skripsi ini penulis mencoba mengetengahkan mengenai

intervensi (intervenient) tersebut.

Sesuai perkembangan arus informasi dan komunikasi, maka

penggunaan istilah “intervensi” ini mengalami konotasi meluas sesuai

dengan bidang ilmu yang menggunakannya. Namun pada prinsipnya

pengertian dasarnya tidaklah dihilangkan/eliminir.

Dalam Hukum Acara Perdata pengertian intervenient ini dijelaskan

dengan suatu suatu contoh kasus yaitu :

Dalam jual beli rumah dan tanah, A selaku penggugat dalam pokok

perkara menggugat B, oleh karena B telah menjual rumah dan tanah

kepadanya, akan tetapi tidak mau menyerahkan bangunan rumah dan

tanahnya yang telah ia jual kepadanya. Mendengar tentang adanya gugatan

itu, C yang juga merasa telah membeli rumah dan tanah tersebut dari B,

datang ke persidangan, lalu dengan lisan atau tertulis mengemukakan

kehendaknya untuk mencampuri perkara tersebut sebagai pihak ketiga. Ia,

pihak ketiga ini disebut pihak intervenient. Apabila intervensi dikabulkan

maka perdebatan menjadi perdebatan segi tiga. 1

Pengertian Intervenient dalam Hukum Acara Perdata seagaimana

dijelaskan dengan contoh di atas, tentu sekali mempunyai persamaan dengan

pengertian intervenient dalam Hukum Acara Perdata sebagaimana dijelaskan

1

(14)

contoh di atas, tentu sekali mempunyai persamaan dengan pengertian

intervenient dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara, yaitu

masuknya pihak lain/ketiga dalam suatu perkara antara penggugat dan

tergugat. Perbedaannya adalah : dalam Hukum Acara Peradilan TUN pihak

ketiga dimaksud adalah hanya orang atau Badan Hukum Perdata saja,

sednagkan dalam Hukum Acara Perdata, pihak intervenient itu tidak

dibatasi, siapa saja pun boleh sebagai pihak intervensi termasuk abdan

hukum publik.

Dalam proses pemriksaan sengketa TUN di Peradilan TUN

dimungkinkan adanya pihak ketiga intervenient yaitu orang atau badan

hukum perdata untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam proses

pemeriksaan satu sengketa yang sedang berjalan.

Ny. Retnowulan Sutanto, SH dan Iskandar Oeriokartawinata, SH

dalam bukunya berjudul “Hukum Acara Perdata Dalam Teori dan Praktek

“mengemukakan bahwa intervensi dalam bahsa Belanda disebut pula

“Tussenkomst”.2

Tussenkomst atau intervensi diartikan sebagai pencampuran piihak

ketiga atas kemauan sendiri yang ikut dalam proses, dimana pihak keiga ini

2

(15)

tidak memihak baik kepada penggugat maupun tergugat, melainkan hanya

memperjuangkan kepentingan sendiri.3

1) Atas prakarsa sendiri

Selain tussenkomst atau intervensi, di dalam hukum acara perdata

dalam prakteknya dikenal lagi adanya pihak ketiga yang berkepentingan

dalam suatu , di dalam hukum acara perdata dalam prakteknya dikenal lagi

adanya pihak ketiga yang berkepentingan dalam suatu Peradilan Umum c.q.

Pengadilan Negeri, yaitu dalam :

- Vrijwaring atau penjaminan terjadi apabila di dalam suatu perkara yang

sedang diperiksa oleh pengadilan, di luar pihak yang berperkara, ada

pihak ketiga yang ditarik masuk dalam perkara tersebut.

- Voeging, yaitu penggabungan pihak ketiga yang merasa berkepentingan

lalu mengajukan permohonan kepada Majelis agar diperkenankan

mencampuri proses tersebut dan menyatakan ingin menggabungkan diri

kepada salah satu pihak (penggugat atau tergugat). Dalam Bahasa

Belanda hal ini disebut Voeging Van Partijen.

Dalam Hukum Acara Peradilan TUN, mengenai tussenkomst,

voeging dan vrijwaring dalam hukum acara perdata ini, dikenal hanya

satu istilah saja yaitu “intervenient atau intervensi”.

3. Pasal 83 mengatur kemungkinan masuknya pihak ketiga dalam proses,

motivasi masuknya pihak ketiga dapat dibagi dalam 3 kategori yakni :

3

(16)

Dalam hal pihak ketiga ingin mempertahankan dan membela hak dan

kepentingannya agar tidak dirugikan oleh putusan pengadilan yang

sedang berjalan, sebagai pihak yang mandiri dan berdiri di

tengah-tengah antara pihak penggugat dan pihak tergugat. Cara masuknya pihak

ketiga dalam proses perkaran ini, dalam proses perdata disebut

“tusserkomst” (mencampuri).

Karena ikut sertanya dalam proses atas prakarsanya sendiri, maka ia

harus mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan-alasan

serta hal yang dituntut, sesuai dengan ketentuan pasal 56.

2) Atas permintaan salah satu pihak

Masuknya pihak ketiga dalam proses perkara atas permohonan salah

satu pihak, guna memperkuat kedudukan salah satu pihak atau agar

pihak ketiga selama proses tersebut bergabung dengan dirinya untuk

memperkuat posisi hukum dalam sengketa. Cara ini dalam acara perdata

disebut ”voeging” (ikutserta).

3) Atas prakarsa hakim yang memeriksa

Masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berjalan atas

prakarsa hakim yang memeriksa perkara. Masuknya pihak ketiga dalam

proses baik atas prakarsa sendiri, maupun atas prakarsa hakim ditarik

masuk dalam proses, ditempatkan pada pihak penggugat, dan tidak

(17)

F.

Metode Penelitian

Untuk memperoleh data yang faktual dan relevan bagi kelengkapan dan

kesempurnaan penyusunan skripsi ini digunakan :

1. Library Research (penelitian kepustakaan) yakni dengan melakukan study

melalui kepustakaan dengan cara membaca dan mempelajari melalui

buku-buku literatur, perundang-undangan, makalah, artikel-artikel yang

mempunyai relevansi dengan materi yang terkait dengan topik tulisan ini.

2. Field Research (penelitian lapangan) yakni dengan mengadakan penelitian

langsung ke lapangan yaitu ke Pengadilan Tata Usaha Negara Medan di

Jalan Listrik No. 10 Medan serta melakukan observasi serta interview

dengan Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut.

G.

Gambaran Isi

Skripsi ini disusun dan dibagi dalam 5 (lima) bab dan tiap bab dibagi

lagi menjadi beberapa sub bab. Untuk lebih jelasnya sistematika penyusunan dan

pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut :

Bab I Pendahuluan

Dalam bab ini digambarkan tentang materi pokok bahasan yang akan

diuraikan dengan mengawali uraian latar belakang, permasalahan,

tujuan penelitian, manfaat penelitian serta tinjauan pusataka, metode

(18)

Bab II Peranan Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa

Tata Usaha Negara

Dalam bab ini diuraikan tentang landasan hukum Peradilan Tata Usaha

Negara, ciri-ciri dan sifat hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara,

subjek dan objek sengketa Tata Usaha Negara serta tahap proses

pemeriksaaan sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara.

Bab III Tinjauan Tentang Pihak Ketiga Yang Berkepentingan di Peradilan Tata

Usaha Negara

Dalam bab ini diuraikan tentang dasar hukum keikutsertaan pihak ketiga

dalam sengketa Tata Usaha Negara, kriteria pihak ketiga yang

berkepentingan, syarat masuknya pihak ketiga dalam proses sengketa

Tata Usaha Negara.

Bab IV Prosedur Serta Akibat Hukum Intervensi Dalam Perkara Tata Usaha

Negara

Dalam bab ini diuraikan tentang prosedur masuknya pihak ketiga dalam

sengketa Tata Usaha Negara yang sedang berlangsung, akibat hukum

ikutsertanya pihak ketiga dalam sengketa Tata Usaha Negara yang

sedang berlangsung, hambatan-hambatan di dalam proses masuknya

pihak ketiga serta upaya-upaya hukum yang ditempuh pihak ketiga yang

(19)

Bab V Penutup

Bab ini merupakan kesimpulan dari seluruh pembahasan atas

permasalahan dan hasl penelitian yang diuraikan pada bab-bab

sebelumnya serta menguraikan beberapa saran-saran yang diharapkan

(20)

BAB II

PERANAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA DALAM MENYELESAIKAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA

A. Landasan Hukum Peradilan Tata Usaha Negara

Indonesia sudah sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 merupakan Negara

Hukum akan tetapi masih dalam anti formal. Agar dapat menjadi Negara Hukum

dalam arti material maka haruslah diisi dengan jalan membentuk dan

menyempurnakan Badan Peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

(judikatif).

Pembentukan Badan peradilan sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman

telah diatur dalam pasal 24 dan 25 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 sebagai

landasan Konstitusionilnya.

Ketentuan pasal 24 UUD 1945 berbunyi :

1. Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan

lain-lain badan kehakiman menurut Undang-Undang.

2. Susunan Kekuasaan Badan-Badan Kehakiman itu diatur dengan

Undang-Undang.

Pasal 25 UUD 1945 berbunyi :

"Syarat-syarat untuk menjadi dan untuk diberhentikan sebagai Hakim

ditetapkan dengan Undang-Undang".

(21)

kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka, artinya terlepas dari pengaruh

kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan

Undang-undang tentang kedudukan para Hakim.

Dari ketentuan dalam Undang-Undnag Dasar 1945 ternyata tidak ada

disebutkan secara tegas tentang Peradilan Tata Usaha Negera atau Peradilan

Administrasi Negara. Meskipun demikian tidak berarti bahwa UUD 1945 tersebut

tidak menghendaki eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara ini. Dengan terdapatnya

istilah “Kekuasaan Kehakiman” dalam bunyi Pasal 24 UUD1945 tersebut dapat

ditafsirkan luas dan segala macam Hakim dapat masuk di dalamnya termasuk Hakim

Pengadilan Tata Usaha Negara.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa UUD 1945 tentu sekali

melakukan berbagai kekuasaan kehakiman tersebut antara lain dengan cara

mengeluarkan peraturan perundang-undangan dan mendirikan Lembaga

Pengadilan/Badan Peradilan yang dipandang perlu sesuai dengan kebutuhan

masyarakat.

Sebagai manifestasi peraturan pelaksanaan dari ketentuan pasal 24 UUD

1945, telah dikeluarkan dan Undang-Undang No. 14 Tahun 1970 Tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam

lingkungan :

a. Peradilan Umum

b. Peradilan Agama

(22)

d. Peradilan Tata Usaha Negara.

Menurut pendapat Prof. Dr. B. Lopa, SH dan Dr. A. Hamzah, SH : bahwa di

dalam UU No. 14 tahun 1970, dijelaskan bahwa dasar hukum dibentuknya Peradilan

Tata Usaha Negara di Indonesia merupakan salah satu aspek pelaksana deklarasi

Hak-Hak Azasi Manusia yang telah dicetuskan PBB.4

Sedangkan Razali Abdullah, SH berpendapat bahwa dari bunyi pasal 24

UUD 1945 dan pasal 10 UU No. 14 tahun 1970 tersebut di atas jelaslah bagi kita

bahwa dasar hukum pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas dan

mandiri ternyata cukup kuat, sama dengan halnya pembentukan ketiga Peradilan

lainnya yang sudah lama ada yaitu : Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan

Peradilan Militer.5

“Akhirnya Pemerintah menyampaikan RUU tentang Peraturan yang disempurnakan kepada DPR RI periode 1982-1987, dengan amanat Presiden Selanjutnya untuk mewujudkan kehendak pembentukan Peradilan Tata

Usaha Negara diamanatkan dan dirumuskan dalam ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat Nomor : IV/MPR/1978 tentang GBHN yang

memerintahkan pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara.

Mengenai kronologis pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara, Martiman

Prodjomidjo, SH mengemukakan sebagai berikut :

4

B. Lopa dan A. Hamzah, Mengenal Pradilan Tata Usaha Negara, Penerbit, Sinar Grafika, Jakarta, 1992, hal. 2

5

(23)

RI No. R.04/PU/IV/1986 tanggal 16 April 1986, dan setelah diadakan pembahasan di DPR RI melalui empat tingkat pembicaraan, dan pada tanggal 20 Desember 1986 DPR RI mengambil keputusan menyetujui RUU Peraturan untuk disyahkan menjadi undang-undang.

Presiden RI pada tanggal 29 Desember 1986, mengesahkan RUU Peradilan Tata Usaha Negara menjadi Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 “Peradilan Tata Usaha Negara” (Lembaran Negara RI No. 77 Tahun 1986 dan Tambahan Lembaran Negara No. 3344).6

Ciri-ciri sifat Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara menurut hemat Ditentukannya empat macam lingkungan peradilan sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 10 ayat 1 UU No. 14 Tahun 1970 yang disebutkan di atas, dapat

diartikan bahwa Negara Indonesia yang menganut prinsip Negara Hukum dalam

sistem peradilannya menggunakan multi jurisdiction systeem (sistem peradilan

ganda), dimana salah satu diantaranya adalah peradilan Tata Usaha Negara yang

diatur dalam UU No. 5 Tahun 1986.

Dengan demikian jelaslah bahwa Peradilan Tata Usaha Negara merupakan

salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman yang ditugasi untuk memeriksa, memutar

dan menyelesaikan sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara. Oleh

karenaitu, tujuan Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya tidak semata-mata

memberikan perlindungan terhadap hak-hak perseorangan, tetapi sekaligus juga

melindungi hak-hak masyarakat.

B. Ciri dan Sifat Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

6

(24)

penulis penting disajikan dalam skripsi ini dengan maksud agar menambah

pemahaman kita mengenai proses dan mekanisme yang diatur Hukum Acara

Peradilan Tata Usaha Negara.

Indroharto, SH7

- Mereka baik yang berkedudukan sebagai suatu instansi resmi maupun secara global mengetengahkan beberapa ciri-ciri/sifat dasar

dari Hukum Acara Peradilan TUN, yaitu :

1. Dalam proses TUN itu selalu tersangkut dua kepentingan yaitu kepentingan

umum dan individu. Dalam proses peradilan TUN yang selalu menjadi inti

permasalahan adalah mengenai syah tidaknya pengunaan wewenang

pemerintah oleh Badan atau Pejabat TUN menurut Hukum TUN publik.

Dalam konkretnya yang disengketakan itu selalu berupa salah satu bentuk

tindakan Hukum TUN yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN yang

berupa suatu Beschiking menurut pengertian Pasal 1 Butir 3 UU No. 5 tahun

1966.

2. Dalam kenyataannya, unsur pokok yang akan berinteraksi dalam proses

peradilan TUN itu adalah :

- Para hakim dan staf kepaniteraannya

- Para pencari keadilan yang akan mengajukan gugatan kepentingan TUN

(seseorang atau badan hukum perdata)

- Para Badan atau pejabat TUN yang selalu berkedudukan sebagai tergugat.

7

(25)

sebagai warga masyarakat biasa, pada suatu saat mungkin memegang

kunci penentu jalannya proses suatu perkara karena kejelasan-kejelasan

maupun alat-alat bukti berada di tangannya.

3. Tujuan dari gugatan di Peradilan TUN adalah selalu untuk memperoleh

putusan hakim yang menyatakan keputusan TUN digugat itu tidak syah atau

batal (Pasal 53 ayat 1 UU No. 5 Tahun 1986). Dalam proses Hukum Acara

Peradilan TUN tidak dikenal gugatan rekonpensi maupun pembarengan

beberaa gugatan bersama-sama (samenloop van Vorderingen).

4. Dalam proses peradilan TUN terdapat keseragaman dan kesederhanaan dalam

arti hukum acaranya hanya terdiri acara biasa dan acara khusus berupa :

penyelesaian perkara dengan acara cepat (pasal 98), penyelesaian perkara

dengan acara singkat (pasal 69). Baik yang berbentuk proses dismassal

maupun proses perlawanan (Pasal 62 dan 118), acara penundaan pelaksanaan

keputusan yang digugat (Pasal 67) dan acar permohonan untuk bersengketa

dengan cuma-cuma (Pasal 60 UU No. 5/1986).

5. Pemeriksaan yang dilakukan selama proses berjalan adalah bersifat

contradictoir dengan unsur-unsur yang bersifat ingusitoir. Proses Peradilan Tata

Usaha Negara bersifat contradictoir maksudnya bahwa pemeriksaan sengketa

sedapat mungkin dilakukan agar para pihak itu sama-sama memperoleh

kesempatan untuk mempertahankan pendiriannya dan mengadakan reaksi

terhadap pendapat lawan apabila dianggap perlu. Sedangkan sifat inguisatoirnya

(26)

fakta-fakta yang diserahkan kepada pengujian tentang kebenaran pembentukan

keputusan administratif yang bersifat konkrit, individual dan final yang

disengketakan, dengan demikian Hakim Peradilan Tata Usaha Negara adalah

dominus litis, ia mengadministrasikan serta mempertimbangkan tentang

jalannya proses. Dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara ini dapat dikatakan

tidak berlaku otonomi pihak yang bersengketa. Hakim Tata Usaha Negara ini

tidak bersifat lijdelijk seperti pada hakim perdata. Sekalipun Hakim Tata Usaha

Negara pasif dalam arti yang memulai proses adalah selalu penggugat, akan

tetapi Hakim Tata Usaha Negaralah yang memimpin dan menentukan arah

jalannya proses dan ia pula menentukan segala keputusan yang harus terjadi

dalam proses yang bersangkutan.

6. Dalam Hukum Tata Usaha Negara berlaku suatu asas, bahwa selama suatu

Keputusan Tata Usaha Negara itu tidak digugat, maka ia selalu dianggap syah

menurut hukum. Keputusan Tata Usaha Negara semacam itu berlaku syah

dan memperoleh kekuatan hukum tetap kalau tenggang waktu untuk

menggugat telah lewat tanpa adanya suatu gugatan yang diajukan

terhadapnya.

7. Dalam proses Peradilan Tata Usaha Negara berlaku asas pembuktian bebas

yang terbatas, artinya dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara telah

ditentukan secara limitatif alat-alat bukti (Pasal 100) dan di dalam melakukan

penilaian hasil pembuktian Hakim dibatasi kebebasannya dengan ketentuan

(27)

sekurang-kurangnya dua alat bukti berdasarkan keyakinan hakim.

Selain ciri-ciri dan sifat dasar yang diutarakan Indroharto, SH tersebut, penulis

menambahkan lagi beberapa ciri Peradilan Tata Usaha Negara berdasarkan observasi

dan analisis penulis yaitu :

a. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara tidak dikenal adanya

gugatan rekonpensi dan putusan propisionil.

b. Putusan Peradilan Tata Usah Negara mempunyai daya kerja seperti suatu

keputusan hukum publik yang bersifat umum yang berlaku terhadap

siapapun (erga omnes).

c. Hak untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara

dibatasi dengan tenggang waktu yang bersifat imperatif (Pasal 55).

d. Gugatan pada prinsipnya berisi tuntutan pokok agar Keputusan Tata

Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak syah, di

samping tuntutan tambahan lainnya (Pasal 53 ayat 1 jo Pasal 97 ayat 9,

10, 11).

e. Dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara dikenal fase proses

dismisal dan proses pemeriksaan persiapan (Pasal 62 dan 63).

f. Dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara diberikan kemudahan bagi warga

masyarakat pencari keadilan, antara lain :

1) Mereka yang tidak pandai membaca dan menulis dibantu oleh

(28)

2) Warga pencari keadilan dari golongan yang tidak mampu diberi

kesempatan untuk perkara secara cuma-cuma (Pasal 60)

3) Apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak atas

permohonan penggugat, pelaksanaan keputusan Tata Usaha Negara

dapat ditangguhkan, dan pemeriksaan dapat dilakukan dengan secara

cepat oleh Hakim tunggal (Pasal 67 dan 98).

4) Penggugat dapat mengajukan gugatannya kepada Peradilan Tata

Usaha Negara yang paling dekat dengan tempat kediamannya untuk

kemudian diteruskan ke Peradilan Tata Usaha Negara yang berwenang

mengadilinya (Pasal 54).

5) Dalam hal tertentu gugatan dimungkinkan untuk diadili oleh Peradilan

Tata Usaha Negara yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman

penggugat.

6) Badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang dipanggil sebagai saksi

diwajibkan untuk datang sendiri (Pasal 93).

g. Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam gugatan telah ditentukan secara

limitatif menurut Pasal 53 ayat 2, huruf :

1) Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan

peraturan perundang-undangan (onrechtmatige, onwetmatige)

2) Penyalah gunaan wewenang untuk tujuan lain (detournement de pouvoir,

abus de droit)

(29)

Alasan lainnya yang lazim dipergunakan dalam praktek adalah mengabaikan

asas-asas umum pemerintah yang baik, yang berkembang dala praktek

penyelenggaraan tugas, fungsi dan urusan pemerintah.

h. Dalam melakukan eksekusi Putusan Peradilan Tata Usaha Negara yan telah

berkekuatan hukum tetap (inkrecht van gewijsde) tidak terdapat pelaksanaan

serta merta (executie bij voorraad) dan tidak dikenal eksekusi secara riel.

Yang mengeksekusi putusan Peradilan Tata Usaha Negara adalah tergugat itu

sendiri tanpa bantuan juru sita atau alat negara.

Demikianlah beberapa ciri khas Peradilan Tata Usaha Negara. Seluruh ciri

tersebut terkandung dalam UU Peradilan Tata Usaha Negara itu sendiri. Dari ciri-ciri

yang dibeberkan di atas, diharapkan dapat memperdalam pemahaman dan pengenalan

kita mengenai Peradilan Tata Usaha Negara yang dirasakn masih asing tersebut.

C. Subjek dan Objek Sengketa Tata Usaha Negara

Ketentuan Pasal 1 butir 4 UU No. 5 Tahun 1986, berbunyi : “Sengketa Tata

Usaha Negara adalah sengketa yang timbul di dalam Tata Usaha Negara antara orang

atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat Tata Usaha Negara, baik di

pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan Tata Usaha

Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan

yang berlaku.

Di dalam penjelasan UU tersebut dikonfirmasikan bahwa istilah “sengketa”

(30)

yaitu menilai perbedaan pendapat mengenai penerapan hukum. Badan atau Pejabat

Tata Usaha dalam mengambil keputusan pada dasarnya mengemban kepentingan

umum dan masyarakat, tetapi dalam hal atau kasus tertentu dapat saja keputusan itu

dirasakan mengakibatkan kerugian bagi orang atau badan hukum perdata tertentu,

maka menurut azas hukum Tata Usaha Negara kepada yang bersangkutan harus

diberikan kesempatan untuk mengajukan gugatan ke pengadilan.

Bertumpu pada rumusan/definisi di atas, Muchsan, SH mengemukakan

unsur-unsur yang harus dipenuhi untuk adanya suatu sengketa Tata Usaha Negara

yaitu :

a. Harus ada perbedaan pendapat tentang suatu hak ataupun kewajiban sebagai akibat dari penerapan hukum tertentu. Ini bahwa sengketa itu timbul karena terlebih dahulu ada penerapan hukum yang dilakukan oleh pejabat Tata Usaha Neara.

b. Sengketa itu terletak dalam bidang Tata Usaha Negara.

c. Subjek yang bersengketa adalah individu/badan hukum perdata atau sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara sebagai pihak tergugat semua berhak tampil sebagai penggugat dalam mepertahankan hak-haknya.

d. Sengketa tersebut timbul karena berlakunya keputusan Tata Usaha Negara. Ini berarti bahwa keputusan Tata Usaha Negara merupakan causa prima bagi timbulnya sengketa Tata Usaha Negara.8

Sedangkan Prof. Dr. B. Lopa, SH dan Dr. A. Hamzah, SH berpendapat bahwa

unsur sengketa Tata Usaha Negara adalah :

1. Subjeknya atau pihak yang bersengketa orang atau badan hukum privat di satu

pihak dan badan atau pejabat Tata Usaha Negara di lain pihak.

8

(31)

2. Objek sengketa ialah keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh

badan atau pejabat Tata Usaha Negara.9

Dengan demikian jelaslah bahwa dalam proses singkatan Tata Usaha Negara

terdapat dua subjek sengketa para pihak yang bersengketa di muka Peradilan Tata

Usaha Negara yaitu lazim disebut sebagai pihak penggugat dan pihak tergugat.

Mengenai siapa mempunyai hak menggugat atau penggugat berdasarkan

ketentuan pasal 53 ayat (1) UU No. 57/1986 adalah mereka yang kepentingan

dirugikan oleh suatu keputusan Tata Usaha Negara.

Sesuai dengan ketentuan pasal 1 butir 4 di atas, maka hanya orang atau Badan

Hukum Perdata sajalah yang berkedudukan sebagai subjek yang dapat mengajukan

gugatan. Orang atau Badan Hukum Perdata yang dapat tampil sebagai penggugat

adalah hanya orang atau badan hukum perdata yang kepentingannya terkena langsung

oleh akibat hukum Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh badan atau

pjabata Tata Usaha Negara.

Mucshan, SH memberikan kesimpulannya, bahwa untuk dapat berperan

sebagai penggugat harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Berbentuk individu atau badan hukum perdata, berarti suatu perkumpulan atau organisasi yang tidak berbadan hukum dengan akte authenik tidak dapat tampil sebagai penggugat

2. Terkena langsung oleh akibat hukum yang timbul dari berlakunya suatu keputusan Tata Usaha Negara.

3. Menderita kerugian yang konkrit, artinya kerugian yang dapat dinilai dengan uang (geld waarde).10

9

B. Lopa dan A. Hamzah, Op.Cit, hal. 47 10

(32)

Seseorang yang belum dewasa tidak mempunyai kecakapan (onbekwaam)

melakukan perbuatan hukum atau menghadap di muka pengadilan, sehingga tidak

dapat sebagai penggugat di Pengadilan Tata Usaha Negara.

Badan hukum perdata yang dapat mengajukan gugatan ke Peradilan Tata

Usaha Negara adalah badan atau perkumpulan atau organisasi atau koperasi dan

sebagainya yang didirikan menurut ketentuan-ketentuan BW (KUH Perdata) atau

peraturan lainnya, yang telah merupakan Badan Hukum (rechsperson).

Martiman Prodjohamidjojo, SH mengemukakan bahwa untuk adanya

perkumpulan yang dianggap sebagai badan hukum perdata dan berhak menggugat di

Peradilan Tata Usaha Negara diperlukan 3 syarat yakni :

a. Adanya lapisan anggota terlihat dari administrasinya

b. Merupakan organisasi dengan tujuan tertentu, sering diadakan rapat

periodik pemilihan pengurus, adanya kerjasama antara anggota dengan

tujuan fungsional

c. Ikut dalam pergaulan lalu lintas hukum sebagai kesatuan

Bila kelompok atau perkumpulan itu memenuhi ketiga persyaratan tersebut

dapat mengajukan gugatan menurut Pasal 53 ayat 1 UU 5/1986.

Mengenai siapa yang berkedudukan sebagai tergugat telah dirumuskan di

dalam pasal 1 butir 6 UU No. 5/1986 yaitu :

Tergugat adalah badan atau pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan

(33)

kepadanya yang digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Tergugat itu dapat

berbentuk tunggal dan dapat juga berbentuk jamak.

Kemudian mengenai apa yang menjadi objek sengketa TUN secara jelas dapat

diketahui dari definisi/rumusan yang tercantum dalam Pasal 1 butir 4 UU No. 5/1986

yang dikutip di atas. Dari rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa yang menjadi

objek sengketa TUN dirumuskan peradilan TUN adalah keputusan TUN, sehingga

sengketa TUN tersebut selalu berkaitan dengan dikeluarkannya suatu keputusan

TUN. Keputuan TUN yang dapat dijadikan sebagai objek sengketa harus memenuhi

unsur-unsur penetapan tertulis sebagaimana yang dirumuskan dan disyaratkan dalam

pasal 1 butir 3 yang berbunyi : “Keputuan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang

dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat TUN yang beerisi tindakan hukum TUN yang

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat kongkret,

individual dan final, menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

perdata”.

Indroharto, SH berpendapat bahwa ketentuan pasal 1 butir 3 UU No. 5

Tahun 1986 tersebut merupakan penetapan tertulis (beschikking) yang

unsur-unsurnya dibedakan atas 6 butir yaitu :

a. Bentuk penetapan itu harus tertulis

b. Penetapan itu dikeluarkan oleh badan atau jabatan Tata Usaha Negara

c. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara

d. Berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

(34)

f. Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum

perdata.11

Jika salah satu unsur-unsur tersebut tidak dipenuhi, maka keputusan yang

demikian tidaklah merupakan objek sengketa atau objek gugatan.

Selain itu meskipun keputusan TUN ini pada dasarnya merupakan causa

prima timbulnya sengketa TUN akan tetapi terhadap prinsip inipun masih ada

batasan-batasannya. Maksudnya ada bentuk Keputusan TUN (tidak dapat digugat)

meskipun telah memenuhi unsur-unsur penetapan tertulis di atas. Keputusan TUN

yang demikian yaitu merupakan jenis yang dikecualikan dari kewenangan

lingkungan peradilan TUN.

Adapun keputusan-keputuan TUN yang dikecualikan atua yang

dinyatakan tidak termasuk dalam pengertian beschiking atau yang mempersempit

kompetensi peradilan TUN, sehingga tidak dapat digugat ke Peradilan TUN,

adalah :

1. Keputusan-keputusan TUN yang ditentukan dalam pasal No. 5 Tahun 1986

meliputi :

a. Keputusan Tata Usaha Negar yang merupakan perbuatan perdata

b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat

umum

c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan

11

(35)

d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan

KUHP atau KUHAP atau peraturan perundang-undangan lain yang

bersifat hukum pidana

e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar pemeriksaan

badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan-peraturan

perundang-undangan yang berlaku

f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai Tata Usaha ABRI

g. Keputusan Panitia Pemilihan, baik di pusat maupun di daerah, mengenai

hasil pemilihan umum.

2. Keputusan-keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan

ketentuan pasal 49 UU No. 5/1986, yang menyatakan bahwa Peradilan Tata

Usaha Negara tidak berwenang memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan

sengketa Tata Usaha Negara tertentu dalam hal keputusan yang

disengketakan itu dikeluarkan :

a. Dalam waktu perang atau dalam keadaan berbahaya, keadaan bencana

alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

b. Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku

3. Keputusan-keputusan TUN yang telah melampaui tenggang waktu 40 hari

sejak tanggal/saat diterimanya atau diumumkannya atau diketahuinya

(36)

lain apabila telah melampaui tenggang waktu tersebut, maka keputusan TUN

itu tidak lagi diajukan atau digugat ke pengadilan TUN.

Di samping ketentuan yang mempersempit kompetensi TUN sebagaimana

yang dijelaskan di atas, ternyata ada juga ketentuan yang memperluas

kompetensi PTUN, yaitau pasal 3 UU No. 5 Tahun 1996 yang menyatakan :

1) Apabila badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan, sedang

hal itu merupakan kewajibannya, maka hal tersebut disamakan dengan

keputusan TUN.

2) Jika badan atau pejabat TUN tidak mengeluarkan keputusan TUN yang

dimohon, sedang jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam peraturan

perundang-undangan dimaksud telah lewat, maka badan atu pejabat TUN

tersebut dianggap telah menolak mengeluarkan keputusan dimaksud.

3) Dalam hal peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak

menentukan juga waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), maka

setelah lewat juga waktu 4 bulan sejak diterimanya permohonan badan

atau pejabat TUN yang bersangkutan penolakan atau disebut keputusan

TUN negatif fiktif.

Timbulnya sengketa TUN tersebut berkenaan dengan masalah syah atau

tidaknya suatu keputusan TUN, sehingga pengajuan gugat balik atau rekonpensi tidak

dikenal dalam Hukum Acara Peradilan TUN.

(37)

timbulnya sengketa TUN. Dengan demikian tanpa adanya keputusan TUN, maka

tidak mungkin timbul sengketa TUN sebab objek yang dipersengketakan tidak ada.

Meskipun ada keputusan TUN, akan tetapi tidak memenuhi salah satu unsur dari

pasal 1 butir 3, atau termasuk yang dikecualikan, maka keputusan TUN yang

demikian tidak dapat menjadikan sebagai objek sengketa atau objek gugatan di

peradilan TUN.

Karena itu dapatlah disimpulkan bahwa yang sebenarnya dipersengketakan

dalam suatu proses di pengadilan TUN itu adalah pelaksanan dari suatu wewenang

pemerintahan menurut hukum publik yang diharapkan oleh badan atau pejabat TUN,

dengan kata lain yang disengketakan itu selalu merupakan salah satu bentuk tindakan

hukum pemerintahan yang dilakukan oleh pejabat atau badan TUN yang mengatakan

badan atau pejabat TUN adalah badan atau pejabat yang melaksanakan urusan

pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Tahap Proses Pemeriksaan Suatu Sengketa di Peradilan Tata Usaha Negara Setelah surat gugatan terdaftar di Kepaniteraan dan dicatat dalam Buku Induk

Register Perkara yang disediakan, maka PTUN akan melakukan proses pemeriksaan

terhadap sengketa/gugatan tersebut.

Menurut Hukum Acara Peradilan TUN yang diatur dan ditentukan dalam Bab

IV Pasal 53 s/d 132 UU No. 5 Tahun 1986 dapat diketahui bahwa proses pemeriksaan

(38)

sesuai dengan tahapan-tahapannya. Sebelum pemeriksaan dilakukan dengan acara

biasa, harus terlebih dahulu diawali dengan proses rapat permusyarawatan (proses

dismissal) yang dilanjutkan dengan proses pemeriksaan persiapan, baik rapat

permusyawaratan oleh Ketua TUN maupun pemeriksaan persiapan oleh Majelis

Hakim yang bersangkutan, termasuk bagian dari fungsi peradilan (justiele functie).

Dari ketentuan yang mengatur tentang hukum acara peradilan TUN tersebut,

dapat diketahui bahwa proses pemeriksaan suatu sengketa PTUN ternyata mengenal

beberapa tahapan, yaitu :

a. Tahap rapat permusyawaratan (proses dismissal)

b. Tahap proses pemeriksaan persiapan

c. Tahap proses persidangan

d. Tahap pengucapan keputusan

Tahapan-tahapan proses pemeriksaan sengketa ini perlu dijabarkan secara

terperinci agar mudah perlu dijabarkan secara terperinci agar mudah dimengerti dan

dibandingkan dalam pembicaraan selanjutnya tentang materi pokok skripsi ini,

sebagaimana diuraikan dalam Bab IV berikut :

a. Tahap proses dismissal (pasal 62 UU No. 5/1986)

Setiap gugatan telah masuk di PTUN selalu pada permulaannya akan

ditangani/diperiksa dari segi ketatausahaan (administrasi) lebih dahulu oleh staf

Kepaniteraan yang lazim disebut dengan istilah penelitian administratif yaitu

penelitian pendahuluan yang bersifat formal ketatausahaan peradilan. Setelah

(39)

dimaksud, guna untuk menentukan apakah gugatan yang diajukan itu dapat

diterima atau tidak, apakah gugatan telah memenuhi syarat-syarat

sebagaimana ditentukan dalam pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986 dan apakah

memang termasuk wewenang TUN yang bersangkutan untuk mengadilinya.

Pendeknya apakah gugatan tersebut dinyatakan lolos dismissal atau tidak.

Menyangkut tentang penelitian administratif oleh staf Kepaniteraan ini,

SEMA No. 2 tanggal 9 Juli 1991 memberikan petunjuk-petunjuk sebagai

berikut :

1. Setelah surat gugatan tercatat dan terdaftar di kepaniteraan atau telah

mempunyai nomor perkara, maka haruslah dilakukan penelitian

administratif hendaknya dilakukan dari segi-segi formalnya saja yang

mengenai bentuk maupun isi gugatan sesuai dengan maksud pasal 56 UU

No. 5 Tahun 1986 dan jangan sampai menyangkut segi materi gugatan

(pokok perkara).

2. Panitera harus memberikan petunjuk-petunjuk seperlunya kepada pihak

penggugat dan dapat meminta kepada pihak penggugat untuk memperbaiki

gugatan yang dipandang perlu sebelum gugatan diteruskan kepada Ketua.

Panitera tidak berhak menolak pendaftaran perkara yang bersangkutan

dengan dalih apapun juga yang berkaitan dengan materi gugatan.

3. Untuk memudahkan pemeriksaan perkara pada tahap selanjutnya maka

setelah suatu gugatan didaftar dan memperoleh nomor perkara, oleh staf

(40)

dahulu sebelum diajukan kepada Ketua TUN dengan bentuk formal yang

isinya pada pokoknya sebagai berikut :

1) Siapa-siapa subjeknya (identitas para pihak) dan apakah penggugat

sebagai pihak sendiri ataukah diwakili oleh kuasanya yang sya. Bila

diwakili kuasa, apakah surat kuasa khusus sudah terlampir atau belum

dalam surat gugatan tersebut

2) Apakah yang menjadi objek gugatan dan menjelaskan jenis

perkaranya. Apakah objek gugatan itu sepintas masuk dalam

pengertian Keputusan TUN/Penetapan Tertulis (beschiking) menurut

pasal 1 butir 3 UU No. 5/86.

3) Ringkasan dari alasan gugatan diteliti apakah posita gugatan memenuhi

ketentuan pasal 53 ayat 2 huruf a, b, c UU No. 5/1986 atau

mengemukakan alasan pelanggaran terhadap asas-asas umum

pemerintahan yang baik.

4) Apakah yang menjadi tuntutan (petitum) gugatan tersebut hanya berisi

tuntutan pokok ataukah disertai dengan tuntutan tambahan berupa

pembebanan salah satu kewajiban sebagaimana ditentukan pasal 97 ayat

9, 10, dan 11 UU No. 5 Tahun 1986.

5) Apakah di dalam/beserta surat gugatan terdapat permohonan prodeo

(pasal 60), acara cepat (pasal 98), penangguhan/penundaan pelaksanaan

keputusan TUN yang digugat tersebut (pasal 67), sebab apabila terdapat

(41)

dahulu dipertimbangkan oleh Ketua TUN sebelum ditetapkan

penunjukan Majelis Hakimnya yang memeriksa dan memutus pokok

sengketanya.

4. Apabila Kepaniteraan di dalam melakukan penelitian administratif dimaksud

menemui kekurangan-kekurangan yang sifatnya tidak prinsipil, maka

penggugat dapat dianjurkan agar memperbaiki dan menyempurnakan

gugatannya atas kekurangan yang diteliti tersebut.

Hasil penelitian administratif tersebut harus dilaporkan kepada Ketua PTUN

untuk bahan pertimbangan dalam proses dismissal.

Dismissal process ini merupakan tahap penyaringan atau filter yang

dilakukan Ketua PTUN dengan penanganan yang bersifat inguisitoir belaka terhadap

gugatan yang diajukan tidak ada proses antara pihak-pihak, tidak ada acara tukar

menukar jawaban dan dokumen serta tidak ada pembuktian.

Dalam proses dismissal ini, para pihak yang berperkara belum dihadirkan.

Dalam tahap ini ada dua alternatif keputusan yang dapat diambil Ketua PTUN, yaitu :

1. Ketua PTUN menyatakan gugatan dapat diterima, yang berarti dapat dilanjutkan

pemeriksaannya (lolos dismissal) sehingga ditetapkanlah Majelis Hakim yang

akan memeriksa dan mengadili perkara tersebut. Dalam hal ini tidak perlu

dibuatkan suatu penetapan lolos dismissal yang dibuatkan adalah penetapan

penunjukan Majelis Hakimnya.

2. Ketua PTUN dengan sengketa segala pertimbangannya memutuskan dengan

(42)

berdasar. Alternatif ini diambil apabila :

a. Pokok gugatan nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang PTUN.

b. Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 56 tidak dipenuhi

pengguat, sekalipun ia telah diberitahu/diperingatkan

c. Gugatan tersebut didasarkan pada alasan-alasan yang tidak layak

d. Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah dipenuhi oleh keputusan

TUN yang digugat

e. Gugatan diajukan sebelum waktunya (prematur) atau telah lewat waktnya

(daluarsa)

Meskipun dalam proses dismissal tersebut para pihak berperkara belum hadir,

akan tetapi penetapan dismissal tersebut harus diucapkan di hadapan para pihak yang

berperkara. Oleh karena itu kedua belah pihak harus dipanggil untuk

mendengarkannya. Pemanggilan kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat

oleh Panitera atas perintah Ketua.

Apabila penggugat keberatan atas penetapan dismissal tersebut maka ia dapat

mengajukan verzet (perlawanan) dalam tenggang waktu 14 hari setelah mengucapkan

penetapan, apabila hadir atau sejak diterimanya salinan penetapan yang dikirimkan

oleh Panitera dengan surat tercatat jika penggugat tidak menghadiri pengucapan

penetapan dismissal itu.

Perlawanan tersebut diajukan harus pula memenuhi syarat-syarat seperti

gugatan biasa menurut pasal 56 UU No. 5 Tahun 1986. Gugatan perlawanan ini

(43)

dibantu oleh seorang Panitera Pengganti yang ditunjuk oleh Panitera.

Majelis Hakim yang ditunjuk untuk memeriksa dan memutus gugatan

perlawanan, terdapat dua kemungkinan mengenai keputusan yang akan diambil,

yakni :

1. Membenarkan perlawanan yang diajukan oleh Pelawan

Apabila alternatif ini yang diambil yaitu menyatakan pelawan adalah sebagai

pelawan yang benar, maka penetapan dismissal yang dikeluarkan Ketua PTUN

tersebut menjadi gugur demi hukum, dan selanjutnya pokok gugatan akan

diperiksa, diputus dan diselesaikan menurut acara biasa.

2. Gugatan perlawanan ditolak, atau pelawan dinyatakan sebagai pelawan yang

tidak benar.

Terhadap penolakan ini, konsekwensi juridis yang timbul tergantung pada alasan

yang digunakan dalam penolakan tersebut. Apabila alasannya gugatan cacat,

maka penggugat dapat mengajukan gugatan tersebut setelah gugatan direvisi

sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Akan tetapi apabila penolakan tersebut

yang berlaku. Akan tetapi apabila penolakan tersebut dengan alasan lain, maka

gugatan tidak dapat diajukan kembali. Hal ini tidak menutup kemungkinan untuk

mengajukan gugatan tersebut kepada lembaga pengadilan yang lain. Terhadap

putusan mengenai perlawanan ini tidak dapat digunakan upaya hukum apapun,

sehingga putusan terhadap penolakan gugatan perlawanan itu diangap sebagai

(44)

Perlu dikonfirmasikan, bahwa apabila Ketua PTUN berhalangan maka

kewenangan proses dismissal ini dilakukan oleh Wakil Ketua. Selain itu perlu pula

diketahui, adanya tahap proses dismissal ini justru sangat memberi manfaat dan

keuntungan bagi penggugat, sebab kalau semua gugatan yang masuk diteruskan ke

proses persidangan tanpa melalui dismissal process dikuatirkan akan banyak waktu,

tenaga, pikiran dan biaya yang terbuang percuma untuk pemeriksaan perkara yang

tidak memenuhi syarat-syarat yang ditentukan dalam UU No. 5 Tahun 1986 yang

pada akhirnya gugatan tersebut dinyatakan tidak dapat diterima atau tidak berdasar,

Setelah Ketua melakukan dismissal proses dan gugatan dinyatakan lolos

dismisal maka berkas perkara diserahkan kepada Majelis Hakim yang telah ditunjuk

oleh Ketua PTUN untuk selanjutnya melakukan tahapan pemeriksaan persiapan,

persidangan dan pengucapan putusan.

b. Tahap proses pemeriksaan persiapan (pasal 63 UU No. 5/1986)

Sejak masuknya gugatan sampai dimulainya pemeriksaan di muka persidangan,

belaku suatu masa waktu (fase) mematangkan perkara yang bersangkutan (fase

sud iu dice), yaitu suatu masa periode penelitian dan pemeriksaan dimana suatu

gugatan yang masuk dimatangkan lebih dahulu untuk dapat diperiksa atau

disidangkan di muda sidang yang terbuka untuk umum. Langkah-langkah yang

dilakukan dalam fase sun tudice tersebut antara lain :

- Penelitian yang bersifat administratif oleh Kepaniteraan yang merupakan

penelitian pendahuluan, sebelum berkas diserahkan kepada Ketua.

(45)

Ketua berhalangan

- Proses pemeriksaan persiapan yang dilakukan oleh Majelis Hakim

Setelah penelitian pendahuluan yang berupa penelitian administratif yang

dilaksanakan Kepaniteraan Bidang Perkara yang diteruskan denan proses

dismissal oleh Ketua telah selesai dilakukan, maka untuuk selanjutnya

pemeriksaan dengan acara maka untuk selanjutnya pemeriksaan dengan acara

biasa atas suatu gugatan dinyatakan telah lolos dissmisal tersebut akan

dilangsungkan tahapan pemeriksaan persiapan menurut pasal 63 UU No. 5 Tahun

1986. Dengan kata lain, selain tahap proses dismissal sebagaimana telah

diuraikan di atas. Dalam hukum acara Peradilan TUN dikenal tehapan proses

pemeriksaan persiapan yaitu suatu tahap pemeriksaan sebelum pokok gugatan

dimulai pemeriksaannya guna untuk mematangkan perkara agar laik disidangkan

dalam tahap proses persidangan.

Pemeriksaan persidangan diadakan mengingat penggugat di PTUN adalah

warga masyarakat yang mempunyai kedudukan yang lemah dibandingkan dengan

tergugat sebagai pejabat TUN. Dalam posisi yang lemah tersebut, sulit bagi

penggugat untuk mendapatkan informasi dan data yang diperlukan dari Badan

atau Pejabat TUN yang digugat. Dalam pemeriksaan persiapan ini, Hakim

diharapkan akan berperan aktif dalam memeriksa sengketa, antara lain dengan

meminta penggugat untuk melengkapi alat-alat bukti pajabat TUN yang

bersangkutan untuk memberikan informasi dan data yang diperlukan oleh PTUN.

(46)

untuk mengimbangi dan mengatasi kesulitan seseorang sebagai Penggugat dalam

mendapatkan informasi atau data yang diperlukan dari Badan atau Pejabat TUN

mengingat bahwa Penggugat dan Badan atau Pejabat TUN itu kedudukan/status

sosialnya tidak sama.

Pemberian kesempatan kepada Penggugat untuk melengkapi/memperbaiki

gugatannya itu harus dilakukan dalam jangka waktu 30 hari, terhitng sejak Hakim

memberikan nasehat kepada penggugat. Nasehat Hakim tersebut harus

dituangkan dalam bentuk penetapan yang dimuat dalam Berita Acara

Pemeriksaan Persiapan sehingga ada pegangan bagi Hakim dan Penggugat.

Kesempatan dimaksud sebaiknya diberikan cukup sampai dua kali.

Apabila kesempatan itu disia-siakan yaitu penggugat belum

menyempurnakan, melengkapi atau memperbaiki gugatannya, maka Hakim

menyatakan dengan putusan bahwa gugatan tidak dapat diterima. Terhadap

putusan hakim tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum artinya tidak ada

banding atau kasasi tetapi penggugat masih diperbolehkan untuk mengajukan

gugatan baru, sesuai dengan syarat-syarat pasal 56 dan harus membayar uang

muka biaya perkara agar diperoleh Nomor Perkaranya yang baru.

Pemeriksaan persiapan itu harus dilakukan tidak di muka sidang yang

terbuka untuk umum, melainkan harus tertutup artinya pihak umum tidak

diperkenankan menghadiri permeriksaan persiapan tersebut.

(47)

menyatakan gugatan tidak dapat diterima seluruhnya atau sebagian, meskipun

perkara itu telah lolos dari dismissal proses. Segala sesuatu yang dilakukan dalam

tahap pemeriksaan persiapan diserahkan kepada kearifan dan kebijaksanaan

Ketua Majelis.

Untuk lebih jelasnya, penulis mengetengahkan pendapat Bapak Indroharto,

SH mengenai tujuan pemeriksaan persiapan yaitu :

“Tujuan diadakanya pemeriksaan persiapan ini adalah untuk dapat meletakkan

sengketanya dalam peta, baik mengenai objeknya serta fakta-faktanya maupun

mengenai problema hukumnya yang harus dijawab nanti”.12

Setelah pemeriksaan persiapan dianggap selesai dan Majelis sudah

mempunyai gambaran sementara mengenai aspek yang berkaitan dengan objek

sengketanya, fakta-faktanya merupakan problema-problema hukum yang harus

diputuskannya, maka Ketua Majelis menetapkan hari sidang dengan suatu

penetapan hari sidang memerintahkan Panitera Pengganti agar memanggil kedua Kegunaan adanya proses pemeriksaan persiapan adalah agar pemeriksaan

mengenai pokok perkara di muka sidang dalam proses selanjutnya dapat berjalan

lancar, sebab pada akhir pemeriksaan persiapan itu tentu Hakim telah

memperoleh gambaran yang jelas mengenai aspek-aspek yang berkaitan dengan

objek perselisihan, fakta-fakta problema hukum dalam sengketa yang

bersangkutan. Sehingga pada saat dimulainya pemeriksaan yang akan

dilaskanakan.

12

(48)

belah pihak atau para pihak yang berperkara dengan surat tercatat agar hadir pada

hari yang telah ditetapkan di muka persidangan.

c. Tahap proses persidangan

Setelah pemeriksaan persiapan dianggap selesai, maka sebelum Majelis

menentukan hari dan tempat sidang, Majelis sebaiknya menyusun penilaian

sementara mengenai perkara yang akan disidangkan.

Penilaian intern sementara itu berupa :

1) Memilah-milahkan fakta-fakta dengan mengingat problema hukum yang

harus dijawab.

2) Penyusunan secara mendetail mengenai problema hukum yang harus dijawab

3) Penyusunan jawaban sementara atas problema hukum tersebut.

4) Penyusunan instruksi-instruksi sementara yang dilaksanakan selama

pemeriksaan di muka sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum nanti

kepada para pihak, saksi-saksi atau saksi ahli, dan sebagainya.

5) Mungkin juga sudah ada keperluan untuk merencanakan tentang putusan

yang akan diucapkan.

Apabila Majelis Hakim setelah melakukan pemeriksaan menganggap bahwa

gugatan telah sempurna dan sudah laik disidangkan maka Hakim Ketua menentukan

hari sidang dengan suatu penetapan hari sidang. Dalam penentuan hari sidan gini,

Hakim harus mempertimbangkan jarak tempat tinggal para pihak dari tempat

persidangan (pengadilan). Jangka waktu antara panggilan dan hari sidang tidak boleh

(49)

(pasal 64 UU No. 5/86). Panggilan terhadap pihak yang dianggap syah apabila

masing-masing telah menerima panggilan yang dikirimkan dengan surat tercatat oleh

Panitera Pengganti.

Jika pada hari sidang pertama ternyata penggugat atau kuasanya tidak hadir

maka dipanggil lagi. Setelah panggilan dilakukan secara patut, ternyata pihak

penggugat tetap tidak hadir tiga kali berturut-turut, maka gugatan dinyatakan gugur,

maka penggugat harus membayar biaya perkara. Sesudah gugatan dinyatakan gugur,

maka penggugat masih dapat memasukkan gugatannya sekali lagi dengan membayar

uang muka biaya perkara asalkan tenggang waktu pengajuan gugatan belum dilewati.

Apabila pada hari sidang pertama tergugat atau kuasanya tidak hadir, maka

akan dipanggil lagi untuk kedua kalinya dengan tembusan panggilan kedua itu

dikirimkan kepada atasan tergugat. Apabila tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir

walaupun telah dipanggil secara patut atau tergugat/kuasanya tidak menanggapi

gugatan tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, maka Hakim Ketua dengan

surat penetapan meminta atasan tergugat untuk memerintahkan tergugat agar hadir

dan menanggapi gugatan. Berarti surat panggilan ketiga dikirimkan kepada atasan

tergugat yang dilampiri dengan penetapan Hakim Ketua tersebut. Setelah lewat dua

bulan ternyata tidak ada berita, baik dari tergugat ataupun dari atasan tergugat, maka

Hakim Ketua menetapkan hari sidang berikutnya dan pemeriksaan perkara

dilanjutkan menurut acara biasa tanpa hadirnya tergugat (in absentia). Dalam

persidangan tanpa hadirnya tergugat ini, putusan terhadap pokok gugatan dapat

(50)

Setelah sidang dibuka oleh Hakim Keetua sidang, pemeriksaan sengketa

dimulai dengan membacakan pemeriksaan sengketa dimulai dengan

membacakan gugatan dan jawaban. Selanjutnya Hakim Ketua sidang memberi

kesempatan kepada para pihak untuk menjelaskan seperlunya hal yang diajukan

masing-masing pihak.

Dalam persidangan sengketa TUN, Hakim harus berperan aktif, guna

memperoleh kebenaran materiil. Hal ini terbukti adanya kesewenangan Hakim

dalam hal-hal sebagai berikut :

1. Hakim Ketua sidang berhak di dalam persidangan memberikan petunjuk

kepada para pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan alat bukti

yang dapat digunakan oleh mereka dalam sengketa.

2. Dengan izin ketua PTUN, penggugat, tergugat dan penasehat hukum dapat

mempelajari berkas perkara dan surat-surat resmi lainnya yang bersengketa

dengan perkara tersebut di Kepaniteraan PTUN, bahkan dapat membuat

kutipan apabila hal tersebut dianggap perlu.

3. Para pihak yang berperkara dapat membuat atau menyuruh membuat salinan

atau petikan segala surat pemeriksaan perkaranya, dengan biaya sendiri,

setelah memperoleh izin dari Ketua PTUN yang bersangkutan.

Hakim Ketua sidang berkewajiban untuk menjaga agar tata tertib

persidangan ditaati setiap orang Hakim Ketua berkewajiban untuk memberikan

teguran atau peringatan kepada setiap orang yang menunjukkan sikap, perbuatan,

(51)

kehormatan Pengadilan. Apabila orang tidak mentaati tata tertib persidangan,

maka atas perintah Hakim Ketua, ia dikeluarkan dari ruang sidang. Tindakan

Hakim Ketua terhadap pelanggaran tata tertib persidangan, tidak menutup

kemungkinan dilakukan penuntutan jika pelanggaran itu merupakan tindak pidana.

Persidangan dipimpin dan dibuka oleh Hakim Ketua sidang dan harus

dinyatakan terbuka unttuk umum. Pernyataan dibuka untuk umum itu sangat

penting, karena jika hal itu tidak dipenuhi, maka persidangan dapat

mengakibatkan batalnya putusan demi hukum. Apabila Majelis Hakim

memandang bahwa sengketa yang disidangkan menyangkut kepentingan umum

atau keselamatan negara, maka persidangan dapat dinyatakan tertutup untuk

umum (pasal 70 UU No. 5/1986).

Dalam proses persidangan secara berurutan akan dilangsungkan pengajuan

jawaban dari tergugat, pengajuan replik oleh penggugat, pengajuan duplik oleh

tergugat, pengajuan alat-alat bukti dari penggugat dan tergugat, pemeriksaan

saksi-saksi yang diajukan penggugat dan tergugat dan diakhiri dengan pengajuan

konklusi/kesimpulan dari masing-masing pihak.

Jadi suatu proses pemeriksaan sengketa TUN tidak mungkin dapat

diselesaikan dalam satu kali persidangan, sehingga persidangan terpaksa dilanjutkan

pada hari persidangan berikutnya untuk acara yang telah ditentukan. Hari persidangan

berikutnya ini diberitahukan kepada kedua belah pihak dan pemberitahuan ini

(52)

persidangan oleh panitera pengganti yang bersangkutan mengenai pengunduran

persidangan tersebut.

Kalau sekiranya pada hari persidangan kedua atau salah satu hari persidangan

berikutnya ada pihak yang tidak hadir pada hal pada waktu persidangan pertama atau

sebelumnya yang bersangkutan hadir, maka Hakim Ketua penyeruh memberitahukan

kepada pihak tersebut pada hari dan tanggal persidangan berikutnya. Apabila pada

hari sidang yang sudah ditentukan itu, pihak yang bersangkutan tidak hadir tanya

alasan yang dapat dipertanggungjawabkan, padahal ia sudah diberitahu secara patut,

maka pemeriksaan dapat dilanjutkan tanpa kehadirannya.

Pihak tergugat berhak mengajukan eksepsi terhadap gugatan yang diajukan

penggugat. Eksepsi ini hanya diperkenankan sejauh mengenai kewenangan baik

pengadilan kompetensi yang bersipat absolut maupun yang relatif, ataupun

kewenangan khusus lainnya. Eksepsi mengenai kemenangan absolut pengadilan dapat

diajukan setiap waktu selama pemeriksaan berlangsung. Bahkan hakim karena

jawabnya, apabila mengetahui yakin bahwa PTUN tidak berwenang mengadili

gugatan tersebut. Sedangkan eksepsi tentang kewenangan relatif, diajukan sebelum

jawaban atas pokok sengketa, dan eksepsi ini harus diperiksa dan diputus sebelum

pokok sengketa diperiksa. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenangan pengadilan

hanya dapat diputus bersama dengan pokok sengketa dalam putusan akhir.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya Hakim dalam persidangan di PTUN

harus aktif di dalam menemukan kebenaran. Sehubungan dengan hal ini demi

(53)

memberikan petunjuk kepada pihak yang bersengketa mengenai upaya hukum dan

alat bukti yang dapat digunakan. Dengan demikian UU No. 5/1986 mengarah pada

ajaran pembuktian bebas. Dalam hal ini para pihak dapat mengajukan alat bukti

sebanyak mungkin guna mendukung dalil-dalil yang diajukan dalam acara

pembuktian.

Pasal 100 UU No. 5/1986 menentukan bahwa alat bukti yang dapat

dipergunakan dalam persidangan sengketa TUN adalah :

1. Surat atau tulisan : yang terdiri dari 3 jenis, yaitu :

a. Akta otentik yaitu surat yang dibuat oleh atau di hadapan seorang pejabat

umum, yang menurut peraturan perundang-undangan berwenang membuat

surat itu dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat bukti tentang

peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

b. Akta di bawah tangan, yaitu surat yang dibuat dan ditandatangani oleh

pihak-pihak yang bersangkutan dengan maksud untuk dipergunakan sebagai alat

bukti tentang peristiwa hukum yang tercantum di dalamnya.

c. Surat-surat lainnya yang bukan akta

2. Keterangan ahli : adalah pendapat orang yang diberikan di bawah sumpah dalam

persidangan tentang hal yang ia ketahui menurut pengalaman dan

pengetahuannya. Keterangan ahli ini dapat diajukan baik atas permintaan para

pihak yang berperkara maupun atas prakarsa Hakim karena jabatannya. Yang

penting keterangan tersebut dikuatkan dengan sumpah atau janji menurut

(54)

3. Keterangan saksi ; dianggap sebagai alat bukti apabila keterangan itu berkenaan

dengan hal yang dialami, dilihat atau didengar oleh saksi sendiri. Saksi ini dapat

diajukan atas permintaan salah satu pihak dalam perkara. Hakim Ketua sidang

dapat juga memerintahkan sesorang saksi untuk didengar keterangannya dalam

persidangan. Apabila saksi tidak datang tanpa alasan yang syah meskipun telah

dipanggil dengan patut dan hakim cukup mempunyai alasan untuk menduga

bahwa saksi sengaja tidak datang, Hakim Ketua dapat memberi perintah supaya

saksi dibawa oleh polisi secara paksa ke persidangan. Sebelum saksi memberikan

keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut agama atau

kepercayaannya.

4. Pengakuan para pihak ; ini merupakan salah satu alat bukti juga. Pengakuan yang

diberikan oleh para pihak yang berperkara tidak dapat ditarik kembali, kecuali

berdasarkan alasan-alasan yang kuat dan dapat diterima oleh Hakim.

5. Pengetahuan Hakim ; adalah hal-hal yang oleh hakim diketahui dan diyakini

kebenarannya. Dengan perkataan lain, pengetahuan ini harus diperoleh hakim

dalam dan selama persidangan. Untuk menambah pengetahuan Hakim lazimnya

dilakukan pemeriksaan setempat/peninjauan lokasi atau sidang lapangan.

Perlu dijelaskan, hal apa yang harus dibuktikan, beban pembukt ian beserta

penilaian pembuktian merupakan kewenangan untuk menetapkannya. Untuk syahnya

pembuktian sekurang-kurangnya diperlukan dua alat bukti yang diyakini

Referensi

Dokumen terkait

Berbeda dengan hukum acara perdata maka dalam hukum acara tata usaha negara, badan/pejabat tata usaha negara itu selalu berkedudukan sebagai pihak yang mempertahankan keputusan

Sebagai badan hukum perdata, mereka dapat melakukan jual- beli, sewa-menyewa, mengadakan perjanjian borongan dan sebagainya serta dalam hal-hal demikian itu ia

Mengenai kedudukan orang atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dalam sengketa tata usaha negara dijelaskan oleh Pasal 53 ayat 1 UU PERATUN: Orang atau badan hukum perdata

(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif

- pihak yang membela haknya, atau - peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersengketa. Permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat l dapat

(3) Pejabat Eselon I dapat mengajukan permohonan bantuan hukum kepada Kepala Badan atau Sekretaris Utama, baik sebagai penggugat atau tergugat dalam perkara perdata dan

Perlindungan hukum ini disebutkan dalam Pasal 53 ayat 1 Undang-undang Nomor 9 Tahun 2004 yang menyatakan bahwa : “ Orang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan

Yang dimaksud dengan “sengketa Tata Usaha Negara” adalah sengketa yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat Tata