• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Kepuasan Terhadap Supervisi Ditinjau Dari Gaya Pengelolaan Supervisor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Kepuasan Terhadap Supervisi Ditinjau Dari Gaya Pengelolaan Supervisor"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN KEPUASAN TERHADAP SUPERVISI

DITINJAU DARI GAYA PENGELOLAAN SUPERVISOR

DISUSUN OLEH :

SITI ZAHRENI, S.Psi

NIP. 132 315 377

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

PERBEDAAN KEPUASAN TERHADAP SUPERVISI

DITINJAU DARI GAYA PENGELOLAAN SUPERVISOR

DISUSUN OLEH :

SITI ZAHRENI, S.Psi

NIP. 132 315 377

Diketahui Oleh:

Dekan Fakultas Psikologi USU

Prof. dr. Chairul Yoel, Sp.A(K)

NIP.140 080 762

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Penulis kekuatan dan juga kemudahan dalam menyelesaikan makalah ini. Makalah ini dibuat untuk memenuhi tugas fungsional sebagai tenaga

pengajar di Universitas Sumatera Utara. Harapan Penulis semoga makalah ini tidak hanya memberikan manfaat bagi penulis, namun juga bagi semua pihak.

Dalam kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Rektor Universitas Sumatera Utara beserta Dekan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara yang telah memberi Penulis kesempatan untuk mengabdikan diri di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada para mahasiswa dan rekan-rekan sejawat di Universitas Sumatera Utara. Terakhir Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Iskandar yang selalu mengingatkan dan memberi semangat kepada Penulis untuk segera menyelesaikan makalah ini.

Akhir kata Penulis berharap tulisan ini dapat memberikan manfaat dan memberikan sumbangan yang berarti bagi semua pihak. Amin.

Medan, Agustus 2008

Siti Zahreni, S.Psi

(4)

PERBEDAAN KEPUASAN TERHADAP SUPERVISI

DITINJAU DARI GAYA PENGELOLAAN SUPERVISOR

Pada era globalisasi seperti sekarang ini, dunia usaha dan kerja semakin penuh persaingan. Akibatnya semakin banyak pengangguran di kota-kota besar. Seiring dengan berubahnya zaman, perusahaan-perusahaan pun terus membenahi diri mempersiapkan segala konsekuensi menghadapi era ini. Selain itu kemajuan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang teknologi telah mengakibatkan menurunnya persentase penggunaan tenaga manusia karena fungsi manusia itu sendiri telah digantikan dengan mesin-mesin industri. Tetapi betapapun

sempurnanya peralatan kerja, tanpa adanya tenaga manusia maka perusahaan tidaklah ada artinya. Allen (dalam As’ad, 1998) mengungkapkan tentang pentingnya unsur manusia dalam menjalankan roda industri:

”Betapapun sempurnanya rencana-rencana, organisasi, dan pengawasan serta penelitiannya, bila mereka tidak dapat menjalankan tugasnya dengan minat dan gembira maka suatu perusahaan tidak akan mencapai hasil sebanyak yang sebenarnya dapat dicapainya”.

Uraian di atas menunjukkan bahwa faktor manusia, dalam hal ini karyawan, berperan penting untuk mencapai tujuan perusahaan. Karyawan dan perusahaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Karyawan memegang peran utama dalam menjalankan roda kehidupan perusahaan. Karyawan yang puas dengan apa yang diperolehnya dari perusahaan akan memberikan lebih dari apa yang diharapkan dan ia akan terus berusaha memperbaiki kinerjanya. Sebaliknya, karyawan yang kepuasan kerjanya rendah cenderung melihat pekerjaan sebagai hal yang menjemukan dan membosankan sehingga ia bekerja dengan terpaksa dan tidak serius. (As’ad, 1998).

(5)

perusahaan tidak boleh mengabaikan hal ini karena kepuasan kerja karyawan berdampak langsung pada kinerja karyawan yang tentu saja juga mempengaruhi produktivitas perusahaan. Selain itu selama hampir 50 tahun, para psikolog di bidang industri dan organisasi memiliki asumsi yang sama bahwa kepuasan kerja memberikan implikasi langsung pada kesuksesan organisasi.

Pada akhir tahun 1950-an Frederick Herzberg mengadakan wawancara kepada sekelompok karyawan untuk mengetahui apa yang membuat mereka puas dan tidak puas dengan pekerjaan mereka. Berdasarkan wawancara ini Herzberg mengembangkan teorinya yang menyatakan tentang dua faktor yang menentukan kepuasan kerja, yaitu faktor motivator dan faktor hygiene. Faktor hygiene terdiri dari kebijakan perusahaan, supervisi, gaji, hubungan interpersonal, dan situasi di dalam pekerjaan. Supervisi merupakan salah satu faktor yang termasuk dalam faktor hygiene yang mana faktor hygiene adalah faktor yang tidak dapat meningkatkan kepuasan kerja tetapi dapat mengurangi ketidakpuasan kerja. Sehingga kepuasan terhadap supervisi sebagai salah satu dari faktor hygiene akan mengurangi ketidakpuasan kerja secara keseluruhan. (Aamodt, 1990).

Teori tersebut sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Irmawati (1993) di BII kantor cabang Semarang pada 38 orang karyawan. Ia mengungkapkan bahwa perilaku atasan mempengaruhi tingkat kepuasan karyawan.

Penelitian lebih lanjut mengenai perilaku atasan yang mempengaruhi tingkat kepuasan karyawan dilakukan oleh Williams (dalam Mardanov.dkk, 2007) yang mana ia menyebutkan bahwa alasan pertama karyawan meninggalkan perusahaan adalah karena mereka diperlakukan dengan buruk oleh atasan mereka. Selain itu, survey tentang kepuasan kerja dan tingkat keluar masuknya karyawan juga dilakukan secara online di www.employeesurveys.com pada 22 Maret 2000. Hasil survey tersebut mendapatkan data bahwa 42% karyawan berhenti dari

pekerjaannya karena mereka tidak menyukai supervisor mereka (The Business Research Lab, 2000).

(6)

dengan buruk memiliki tingkat kepuasan yang rendah, komitmen yang rendah, konflik antara pekerjaan dan keluarga mereka serta tingkat stress yang tinggi.

Supervisor yang gagal mengingat nama bawahannya atau tidak merespon ketika disapa oleh bawahan akan membuat karyawan kurang loyal dan kurang kepercayaan pada supervisor tersebut. Para supervisor dapat memperoleh

loyalitas dan kepercayaan dari bawahannya jika ia memperlakukan bawahannya sebagai mitra kerja, menunjukkan kepedulian yang tinggi, mau mendengarkan saran dan keluhan dan mau saling berbagi pengalaman (Papu, 2002). Oleh karena itu, kepuasan terhadap supervisi adalah hal yang tidak dapat diabaikan karena akan berpengaruh terhadap kepuasan karyawan secara keseluruhan (Mardanov, dkk., 2007).

Kepuasan terhadap Supervisi

Supervisi merupakan salah satu bagian dari faktor hygiene yang disebutkan Herzberg dalam teorinya. Faktor hygiene merupakan faktor yang tidak dapat meningkatkan kepuasan kerja tetapi dapat mengurangi ketidakpuasan kerja (Aamodt, 1990).

(7)

Pengertian Kepuasan terhadap supervisi

Kepuasan berasal dari kata dasar puas yang mana dalam Kamus Bahasa Indonesia berarti puas lega, merasa senang, dan tidak ada yang harus disalahkan. Sedangkan supervisi berarti pemantauan atau pengawasan. Proses pemantauan

dan pengawasan dijelaskan secara lebih lanjut oleh Manullang (dalam Simatupang, 2006) sebagai suatu proses melihat pekerjaan apa yang sudah dilaksanakan, menilai sesuai dengan rencana semula, dan mengoreksinya bila perlu. Gitosudarmo (dalam Daryatmi, 2002) menambahkan bahwa supervisi juga melihat kondisi dari kegiatan yang sedang dilakukan apakah telah mencapai sasaran yang ditentukan atau belum.

Miner (1992) menyebutkan bahwa kepuasan dalam pekerjaan merupakan salah satu konsekuensi dari hubungan antara atasan dan bawahan, dalam hal ini supervisor dan karyawan. Penelitian yang dilakukan oleh Mardanov,dkk. (2007) menyebutkan bahwa semakin kuat hubungan antara supervisor dan karyawan akan menciptakan tingkat kepuasan karyawan yang lebih tinggi. Kepuasan terhadap supervisi merupakan hasil dari hubungan antara supervisor dan karyawan. Graen,et.al. (dalam Muchinsky, 2001) menjelaskan hubungan antara supervisor dan karyawan ini dalam Leader-member exchange theory (LMX).

LMX adalah teori yang memfokuskan pada interaksi antara pemimpin dan pengikutnya. Yukl (dalam Dionne, 2000) menyebutkan bahwa LMX menjelaskan bagaimana pemimpin dan bawahan mengembangkan hubungan yang saling mempengaruhi satu sama lain dan menegosiasikan peran bawahan di dalam suatu organisasi. LMX tidak hanya melihat sikap dan perilaku pemimpin dan pengikutnya tetapi menekankan pada kualitas hubungan yang terbentuk.

Teori LMX sebelumnya disebut vertical dyad lingkage theory karena terfokus pada proses timbal balik yang terjadi dalam dyad (dua bagian yang

berupa kesatuan yang berinteraksi) dan merujuk pada hubungan antara seorang pemimpin dan seorang bawahan saja (Yukl, 1998).

(8)

pemantauan dan pengawasan yang terbentuk melalui kualitas hubungan antara supervisor dan karyawan.

Aspek-Aspek LMX

Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa LMX adalah teori yang menjelaskan hubungan antara atasan dan bawahan. Mardanov, dkk. (2007) mengemukakan bahwa semakin kuat hubungan antara supervisor dan karyawan akan menciptakan tingkat kepuasan karyawan yang lebih tinggi. Kepuasan terhadap supervisi merupakan konsekuensi dari hubungan antara atasan dan bawahan yang dijelaskan dalam LMX. Oleh karena itu, tingkat kepuasan terhadap supervisi dapat dilihat dari aspek-aspek LMX. Dienesch dan Liden (1986) mengemukakan aspek-aspek dalam LMX yang disebut dengan ”currencies of exchange”, yaitu:

a. Kontribusi;

Merupakan persepsi tentang kegiatan yang berorientasi pada tugas di tingkat tertentu antara setiap anggota untuk mencapai tujuan bersama. Hal penting dalam mengevaluasi kegiatan yang berorientasi pada tugas adalah suatu tingkat dimana bawahan bertanggung jawab dan menyelesaikan tugas melebihi uraian kerja dan atau kontrak kerja, demikian juga dengan pimpinan yang menyediakan sumber daya dan kesempatan untuk melakukan hal tersebut.

b. Loyalitas;

Merupakan pernyataan atau ungkapan untuk mendukung penuh tujuan dan sifat individu lainnya dalam hubungan timbal balik pemimpin dan bawahan. Loyalitas menyangkut suatu kesetiaan penuh terhadap seseorang secara

konsisten dari satu situasi ke situasi lainnya. c. Perasaan;

(9)

pada pekerjaan atau nilai profesionalnya saja. Bentuk kasih sayang yang demikian mungkin saja dapat ditunjukkan dalam suatu keinginan untuk melakukan hubungan yang menguntungkan dan bermanfaat, seperti antar sahabat.

d. Penghargaan profesional;

Merupakan persepsi mengenai sejauh mana pada setiap hubungan timbal balik telah memiliki dan membangun reputasi di dalam dan atau luar organisasi, melebihi apa yang telah ditetapkan di dalam pekerjaan. Persepsi ini bisa saja berdasarkan pada riwayat hidup seseorang, seperti pengalaman pribadi seseorang, pendapat-pendapat orang lain di dalam dan di luar organisasi, serta keberhasilan atau penghargaan profesional lainnya yang telah diraih seseorang. Oleh karena itu, mungkin saja persepsi tentang rasa hormat pada seseorang tersebut telah ada sebelum bekerja atau bertemu dengan orang tersebut.

Setelah mengetahui aspek-aspek kepuasan terhadap supervisi selanjutnya akan dibahas mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan terhadap supervisi.

Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan terhadap Supervisi

Luthans (2005) menyebutkan ada dua dimensi dari gaya pengelolaan supervisor yang mempengaruhi kepuasan karyawan, yaitu:

a. Employee-centeredness

Tingkat dimana supervisor memiliki ketertarikan personal dan kepedulian terhadap karyawannya. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal, yaitu memeriksa pekerjaan karyawan dan bersedia memberikan saran dan bantuan kepada

(10)

Amerika lebih mementingkan kepentingan dirinya sendiri dibandingkan dengan kepentingkan karyawan.

b. Participation or influence

Dimensi ini ditunjukkan dengan manajer yang memperbolehkan karyawan untuk berperan serta dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi

pekerjaan mereka. Adler (1997) menyebutkan bahwa dalam pengambilan keputusan yang berhubungan dengan pekerjaan supervisor Amerika lebih memberikan kebebasan kepada karyawannya dengan tujuan agar karyawan lebih kreatif dan inovatif.

Danserau (dalam Dionne, 2000) dimensi participation or influence disebut dengan negotiating latitude, yaitu kebebasan yang diberikan supervisor kepada karyawannya dalam pelaksanaan tugas. Tidak semua karyawan membutuhkan banyak persetujuan supervisornya, ada juga karyawan yang tidak membutuhkannya (Graen & Scandura, 1987 dalam Dionne, 2000). Negotiating latitude sangat tergantung pada dua hal, yaitu:

a. Keinginan supervisor untuk mengizinkan adanya perbedaan dalam pelaksanaan tugas oleh karyawannya.

b. Ketidakpedulian pada otoritas formal yang dimiliki supervisor; kecenderungan untuk memanfaatkan kekuasaan untuk membantu memecahkan masalah karyawan yang berhubungan dengan pekerjaan (Dansereau dkk., 1975 dalam Dionne, 2000).

Berdasarkan faktor-faktor yang disebutkan di atas terlihat bahwa gaya pengelolaan supervisor mempengaruhi tingkat kepuasan terhadap supervisi. Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa supervisor yang berbeda memiliki cara yang berbeda pula dalam memimpin dan berhubungan dengan karyawannya. Perbedaan tersebut salah satunya adalah perbedaan asal negara atau kewarganegaraannya. Supervisor yang berasal dari negara yang berbeda memiliki

(11)

Gaya Pengelolaan Supervisor

Kamus Bahasa Indonesia menyebutkan gaya berarti ciri khusus atau pola yang menandai sesuatu. Adler (1997) menyebutkan bahwa gaya pengelolaan adalah pola yang dimiliki supervisor dalam situasi pekerjaan. Sedangkan

supervisor menurut Hodgetts (1987) adalah manajer pada tingkatan pertama yang bertanggung jawab secara langsung dalam mengatur dan mengawasi karyawan. Gaya pengelolaan supervisor adalah ciri khusus atau pola yang dimiliki oleh manajer pada tingkatan pertama yang bertanggung jawab langsung dalam mengatur dan mengawasi karyawan.

Selanjutnya Adler (1997) menyebutkan bahwa supervisor yang berbeda memiliki gaya pengelolaan yang berbeda pula. Supervisor dalam penelitian ini dibagi berdasarkan kewarganegaraannya, yaitu supervisor asing yang berkewarganegaraan non-Indonesia, dalam hal ini Amerika, dan supervisor lokal yang berkewarganegaraan Indonesia.

Supervisor Amerika

Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, mendefiniskan tenaga kerja asing sebagai warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia. Supervisor asing adalah manajer pada tingkatan pertama yang bertanggung jawab secara langsung dalam mengatur dan mengawasi karyawan yang merupakan tenaga kerja asing. Supervisor asing dalam penelitian ini adalah supervisor yang berkewarganegaraan Amerika.

Gaya Pengelolaan Supervisor Amerika

(12)

a. Lebih individualis.

Supervisor Amerika yang memiliki sifat yang lebih individualis akan membiarkan karyawan menentukan perilakunya sendiri. Supervisor Amerika juga lebih mementingkan kepentingannya sendiri dibandingkan kepentingan karyawannya.

b. Berorientasi pada tugas.

Supervisor Amerika lebih berorientasi pada tugas. Supervisor Amerika akan lebih jelas dan terperinci dalam memberikan tugas kepada karyawannya. c. Tidak menyukai struktur hirarki yang terlalu banyak di dalam perusahaan.

Supervisor Amerika menganggap struktur hirarki berfungsi untuk mengatur pelaksanaan tugas dan pemecahan masalah dalam pekerjaan. Supervisor Amerika menganggap struktur hirarki yang terlalu banyak tidak efektif untuk tujuan tersebut. Struktur hirarki yang lebih sedikit akan memungkinkan supervisor menganggap karyawannya sebagai rekan kerja sehingga pelaksanaan tugas akan lebih efektif.

d. Memecahkan masalah dengan bertindak sebagai orang yang membantu karyawan dalam memecahkan masalah.

Supervisor Amerika menganggap bahwa peran mereka adalah sebagai orang yang membantu memecahkan masalah, bukan langsung memberikan pemecahan masalah. Dengan begitu karyawan akan lebih kreatif dan produktif.

Supervisor Lokal

Undang-Undang No.13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan mendefinisikan tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan

(13)

Supervisor lokal dalam penelitian ini adalah manajer pada tingkatan pertama yang bertanggung jawab secara langsung dalam mengatur dan mengawasi karyawan yang berasal dari Indonesia.

Gaya Pengelolaan Supervisor Lokal

Adler (1997) menyebutkan gaya pengelolaan supervisor Indonesia sebagai berikut:

a. Lebih kolektivis.

Supervisor Indonesia yang memiliki sifat yang lebih kolektivis akan memperhatikan kepentingan kelompok. Supervisor Indonesia juga lebih memperhatikan kepentingan karyawannya.

b. Berorientasi pada karyawan.

Supervisor Indonesia lebih berorientasi pada karyawan. Supervisor Indonesia akan lebih berfokus pada siapa yang akan mengerjakan tugas, bukan bagaimana cara mengerjakan tugas.

c. Lebih menyukai struktur hirarki yang banyak di dalam perusahaan.

Supervisor Indonesia menganggap struktur hirarki berfungsi untuk menunjukkan otoritasnya di dalam pekerjaan. Jadi semakin banyak struktur hirarki di dalam perusahaan akan lebih baik untuk menunjukkan otoritasnya. d. Memecahkan masalah dengan bertindak sebagai orang yang ahli.

Supervisor Indonesia menganggap bahwa dalam memecahkan masalah supervisor harus langsung memberikan pemecahan masalah agar kredibilitas dan kemampuan mereka tetap terlihat. Dengan begitu karyawannya akan menganggap bahwa mereka pantas menempati posisi mereka sebagai seorang supervisor.

(14)

Perbedaan Kepuasan terhadap Supervisi ditinjau dari Jenis Supervisor

Perbedaan jenis supervisor mempengaruhi gaya pengelolaan supervisor terhadap karyawan. Adler (1997) menyebutkan bahwa supervisor yang berasal dari negara yang berbeda memiliki cara dan gaya pengelolaan yang berbeda pula

dalam memimpin dan berhubungan dengan karyawan.

Hubungan antara supervisor dan karyawan dijelaskan dalam teori LMX, yang mana dalam penelitian yang dilakukan oleh Mardanov,dkk. (2007) disebutkan bahwa semakin kuat hubungan antara supervisor dan karyawan akan menciptakan tingkat kepuasan karyawan yang lebih tinggi. Oleh karena itu, tingkat kepuasan terhadap supervisi ditentukan oleh kualitas hubungan yang terbentuk antara supervisor dengan karyawan. Kualitas hubungan antara supervisor dan karyawan dipengaruhi oleh gaya pengelolaan supervisor dalam berhubungan dengan karyawan di dalam pekerjaan.

Adler (1997) menyebutkan bahwa supervisor Amerika tidak menyukai tingkatan hirarki yang terlalu banyak di dalam perusahaan, sedangkan supervisor Indonesia lebih senang dengan tingkatan hirarki yang lebih banyak. Selanjutnya Adler (1997) juga menyebutkan bahwa supervisor Amerika cenderung lebih individualis, lebih menekankan pada aksi dan perilaku di tempat kerja. Berbeda halnya dengan supervisor Indonesia yang lebih kolektivis, tidak hanya memperhatikan perilaku di tempat kerja tetapi juga kehidupan pribadi karyawan.

Selain itu, supervisor Indonesia lebih berorientasi pada karyawan sehingga mereka akan lebih mementingkan siapa orang-orang yang akan mengerjakan tugas yang diberikan. Luthans (2005) menjelaskan hal ini dalam dimensi employee-centeredness, yang mana supervisor Amerika seringkali mendapat keluhan dari karyawannya karena sikapnya yang seakan-akan tidak peduli dengan karyawan sehingga tidak jarang menyebabkan karyawan berhenti

dari pekerjaannya. Hal ini menunjukkan bahwa supervisor Indonesia akan lebih memberikan kepuasan karena sifatnya yang lebih kolektivis.

(15)

ketika disapa oleh bawahan akan membuat karyawan kurang loyal dan kurang kepercayaan pada supervisor tersebut. Para supervisor dapat memperoleh loyalitas dan kepercayaan dari bawahannya jika ia memperlakukan bawahannya sebagai mitra kerja, menunjukkan kepedulian yang tinggi, mau mendengarkan saran dan keluhan dan mau saling berbagi pengalaman. Sifat supervisor Amerika

yang cenderung lebih individualis membuat mereka tidak terlalu dekat dengan karyawannya. Mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi mereka dibandingkan dengan kepentingan karyawan.

Mardanov, dkk. (2007) menyebutkan bahwa semakin kuat hubungan antara supervisor dan karyawan akan menciptakan tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Hal tersebut dapat diketahui melalui aspek-aspek LMX yaitu kontribusi, loyalitas, perasaan, dan penghargaan profesional. Aspek kontribusi dapat dilihat dari kesediaan karyawan melakukan tugas melebihi uraian kerja dan kesediaan supervisor meluangkan waktu untuk membantu karyawan menyelesaikan tugas. Pada aspek ini supervisor Indonesia lebih memberikan kepuasan karena supervisor Indonesia yang kolektivis lebih mementingkan kepentingan karyawan sehingga akan lebih banyak meluangkan waktu untuk karyawan.

Karyawan yang berada di bawah supervisor lokal akan lebih mengembangkan loyalitas dan menjalin hubungan persahabatan dengan supervisornya karena kesamaan yang mereka miliki dalam hal ras dan kewarganegaraan. Byrne (dalam Glomb &Welsh, 2005) menyebutkan bahwa orang yang memiliki kesamaan akan berinteraksi dalam situasi yang menyenangkan dan saling tertarik satu sama lain.

House (dalam Berry, 1998) mengemukakan bahwa supervisor yang memberikan pekerjaan dengan jelas dan tidak ambigu akan lebih memuaskan karyawan. Dalam hal ini supervisor Amerika akan lebih meningkatkan kepuasan karena seperti yang disebutkan dalam Adler (1997) bahwa supervisor Amerika

(16)

Pada studi yang dilakukan oleh Trempe, Rigny, & Haccoun (dalam Berry, 1998) ditemukan bahwa tingkat kepuasan akan lebih tinggi ketika supervisor lebih banyak memberi pengaruh kepada karyawannya. Adler (1997) mengemukakan bahwa dalam memecahkan masalah supervisor Amerika lebih bertindak sebagai orang yang membantu karyawan memecahkan masalah dengan memberi

(17)

KESIMPULAN

Uraian di atas memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan kepuasan terhadap supervisi ditinjau dari jenis supervisor, dalam hal ini supervisor asing (Amerika) dan supervisor lokal (Indonesia) yang mana kepuasan terhadap

supervisi pada karyawan dengan supervisor lokal lebih tinggi dibandingkan dengan karyawan dengan supervisor asing.

Kepuasan terhadap supervisi merupakan salah satu konsekuensi dari hubungan antara atasan dan bawahan, atau supervisor dan karyawan (Miner, 1992). Semakin kuat hubungan antara supervisor dan karyawan akan menciptakan tingkat kepuasan karyawan yang lebih tinggi.

Oleh karena itu, para supervisor hendaknya memperhatikan aspek-aspek dan faktor-faktor yang meningkatkan kepuasan terhadap supervisi dalam berhubungan dengan karyawan melalui berbagai cara, antara lain:

1. Supervisor lebih banyak meluangkan waktu untuk berdiskusi dengan karyawan.

2. Supervisor menjalin hubungan informal dan mengembangkan persahabatan dengan karyawan.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

Aamodt, M. (1990). Applied Industrial Organizational Psychology. Belmont California: Wadsworth Publishing Company.

Adler, N.J., (1997). International Dimension of Organizational Behavior (3rd Ed.). Canada: South-Western College Publishing.

As’ad, M., (1998). Psikologi Industri: Seri Ilmu Sumber Daya Manusia, (Edisi ke-4). Yogyakarta: Liberty.

Berry, L.M. (1998). Psychology at Work. (2nd Ed.). New York: Mc Graw Hill Company.

Daryatmi, (2002). Pengaruh Motivasi, Pengawasan Dan Budaya Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Perusahaan Daerah Bank Perkreditan Rakyat Badan Kredit Desa Kabupaten Karanganyar.

http://eprints.ums.ac.id/125/01/Daryatmi.pdf, tanggal akses : 11 Juli 2007.

Dienesch, R.M. & Liden, R.C. (1986). Leader Member Exchange Model of Leadership: A critique and further development. Journal Academy of Management Review.

Dionne, L. (2000). Leader-Member Exchange (LMX): Level of Negotiating Latitude and Job Satisfaction. Shippagan.

Hodgetts, R.M. (1987). Effective Supervision: A practical approach. United States of America: McGraw-Hill.

(19)

Luthans, F. (2005). Organizational Behavior 10th ed. New York: McGraw Hill.

Mardanov, I. et. al. (2007). Satisfaction with Supervision and Member Job Satisfaction in Leader-Member Exchange: An Empirical Study in the Restaurant Industry. The Journal of Applied Management and

Entrepreunership, Vol. 12, No.3.

Miner, J.B. (1992). Industrial-Organizational Psychology. United States of America: McGraw-Hill.

Muchinsky, P.M. (2003). Psychology Applied to Work 7th ed. United States of America: Wadsworth/Thomson Learning.

Papu, J. (2002). Memotivasi Karyawan. http://Wikipedia, the free encyclopedia_files\e-psikologi.htm, tanggal akses: 18 Juli 2007.

Robbins, S.P. (2001). Psikologi Organisasi, (Edisi ke-8). Jakarta: Prenhallindo.

Simatupang, T., (2006). Peranan Pemerintah Daerah Dalam Meningkatkan Pengawasan Di Bidang Lingkungan Hidup Di Kabupaten Tapanuli Utara. http://library.usu.ac.id/download/fh/06005187.pdf, tanggal akses : 11 Juli 2007.

The Business Research Lab. (2000). Ever Quit Job Because of Supervisor. http://employeesurveys.htm, tanggal akses: 24 Agustus 2007.

Referensi

Dokumen terkait

Penambahan senyawa epoksida dan kosurfaktan pada SLS diharapkan mampu menurunkan nilai IFT dari Formulasi SLS.Hasil pengukuran tiap formulasi dapat dibuat tabel dan

Pengumpulan data oleh praktikan juga dilakukan dengan menggunakan instrumen Media Lacak Masalah. Namun karena keterbatasan waktu dan kelas, praktikan hanya menyebar MLM

Hasil dari pembuatan sistem ini adalah halaman-halaman informasi yang nantinya dijalankan dengan web browser. Adapun sub-menu yang terdapat di dalam sistem pada

kamar mandi” karya Gusmel Riyald, ald, dapat diketahui bahwa d dapat diketahui bahwa drama ini menggunakan rama ini menggunakan alur maju yaitu dari pertama terjadi suatu

Hipotezo sprejmemo, kar pomeni, da smo uspeli dokazati razlike med zaposlenimi v podjetjih ETI in Iskra Bovec glede stališča, da timsko delo spodbuja inovativnost.. Hipotezo

Sistem rekomendasi menggunakan metode Modified k-Nearest Neighbor (MKNN) yang mampu mengklasifikasikan potensi siswa berdasarkan kedekatan pada data training yang

Sedangkan makna nilai harga diri dari karakter seorang perempuan terlihat pada adegan yang diperankan oleh tokoh Risna sangat berkaitan dengan sikap gengsi oleh

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik situs berdasarkan kerangka Technology Acceptance Model (TAM), yang meliputi persepsi kebermanfaatan (PU)