ABSTRAK
ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENYALAHGUNAAN DANA BANTUAN LANGSUNG
MASYARAKAT
(StudiPutusanNomor:67/Pid.Sus-Tpk/2014/PN.Tjk)
Oleh
Ricky Indra Gunawan
Tindak pidana korupsi merupakan salah satu kejahatan yang dilakukan secara sistematis dan tidak dilakukan sendiri, melainkan dilakukan secara bersama-sama. Seperti halnya kasus korupsi dana bantuan langsung masyarakat yang terjadi di Kabupaten Lampung Utara yang dilakukan secara bersama-sama melibatkan 2 pelaku yaitu Yusniar dan Surniyati. Kajian yang menarik untuk diteliti penulis yaitu penjatuhan Pasal 3 kepada terdakwa I dan terdakwa II, dimana unsur dalam Pasal 3 yang dijatuhkan tersebut di permasalahkan. Permasalahannya apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam memutus perkara terhadap Pelaku tindak pidana korupsi penyalahgunaan dana bantuan langsung Masyarakat dalam putusan nomor: 67/ Pid.Sus-Tpk/2014 .PN.Tjk dan bagaimanakah pertanggung jawaban pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi penyalahgunaan dana bantuan bangsung Masyarakat dalam putusan nomor: 67/Pid.Sus-Tpk/2014 .PN.Tjk.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Metode pengumpulan data diperoleh memalui studi kepustakaan dan wawancara. Metode penyajian data dilakukan melalui proses editing, sistematis dan klasifikasi. Metode analisis data yang dipergunakan adalah metode analisi kualitatif dan menarik kesimpulan secara induktif.
memutuskan perkara di persidangan hakim juga harus mempertimbangkan keadaan yang memberatkan maupun keadaan yang meringankan bagi terdakwa. Hal ini bertujuan untuk mencapai suatu kepastian hukum dan keadilan bagi semua pihak. Kajian mengenai unsur menyalahgunakan kewenangan dan jabatan dalam Pasal 3 menjadi permasalahan karena dalam praktik nya pelaku bukan menyalahgunakan wewenang tetapi lebih kepada penggelapan dana dengan membentuk kelompok fiktif penerima dana bantuan langsung masyarakat tersebut dan jabatan dari pelaku yang tidak jelas dalam putusan karena jabatan nya bersifat adhoc atau sementara. Unsur Pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi dalam kasus Nomor : 67/Pid.Sus-Tpk/2014/PN.Tjk. yaitu pelaku telah memenuhi unsur melwan hukum, adanya kesalahan dan tidak ada alasan pemaaf/pembenar serta dalam hal ini ketiga unsur tersebut telah terbukti di persidangan. sehingga pelaku dikenakan pidana sesuai dengan UU No. 31 tahun 1999 jo UU No. 20 tahun 2001.
Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah diharapkan Hakim dalam memberi keputusan sebaiknya lebih teliti untuk mengkaji unsur-unsur dalam tindak pidana, terutama pada pasal-pasal yang akan dijatuhkan kepada terdakwa dan hakim dalam melakukan pertimbangan hukumnya harus memperhatikan peristiwa nyatanya serta pemerintahan harus meningkatkan pengawasan pada setiap bantuan yang diberikan agar tidak terjadi lagi kasus korupsi seperti halnya kasus diatas.
ANALISIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI PENYALAHGUNAAN DANA BANTUAN LANGSUNG
MASYARAKAT
(Studi Putusan Nomor : 67/Pid.Sus-Tpk/2014/PN.Tjk)
Oleh
RICKY INDRA GUNAWAN
Skripsi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM
Pada
Bagian Hukum Pidana
Fakultas Hukum Universitas Lampung
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG
RIWAYAT HIDUP
Nama lengkap penulis adalah Ricky Indra Gunawan, penulis dilahirkan di Tanjung Karang pada tanggal 13 Mei 1994. Penulis merupakan anak terakhir dari enam bersaudara, dari pasangan Bapak Drs. H. Aliudin MS dan Ibu Hj. Hafsjah, S.Pd.
Penulis mengawali pendidikan di Taman Kanak-kanak Al-Kautsar pada tahun 2000, penulis melanjutkan ke Sekolah Dasar di SD Al-Kautsar pada tahun 2000 hingga tahun 2006, penulis melanjutkan Sekolah Lanjut Tingkat Pertama ditempuh di SMP Al-Kautsar pada tahun 2006 hingga tahun 2009 dan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Natar pada Tahun 2009 hingga tahun 2012.Penulis terdaftar sebagai mahasiwa Fakultas Hukum melalui jalur SNMPTN Tertulis pada tahun 2012 dan penulis mengikuti Kuliah Kerja Nyata (KKN) selama 40 hari di Desa Gunung Sari, Kecamatan Gunung Labuhan, Way Kanan.
&
&
&
&
&
&
&
&
&&&&
'
'
'
'
(
)
*
(
)
*
(
)
*
(
)
*
&&&&
SANWACANA
Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah
SWT atas limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Analisis Pemidanaan Terhadap
Pelaku Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Dana Bantuan Langsung
Masyarakat (Studi Putusan Nomor : 67/Pid.Sus-Tpk/2014/PN.Tjk). Sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum
Universitas Lampung dibawah bimbingan dari dosen pembimbing serta atas
bantuan dari berbagai pihak lain. Shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurahkan kepada baginda Nabi Besar Muhammad SAW beserta seluruh
keluarga dan sahabatnya.
Penyelesaian penelitian ini tidak lepas dari bantuan, bimbingan, dan saran dari
berbagai pihak, maka pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih
kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Hasriadi Mat Akin, M.P., sebagai Rektor Universitas
Lampung;
2. Bapak Dr. Heryandi, S.H., M.S., sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas
Lampung;
3. Ibu Diah Gustiniati Maulani, S.H., M.Hum., sebagai Ketua Bagian Hukum
kesediaan meluangkan waktu disela-sela kesibukannya, mencurahkan segenap
pemikirannya, memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses
penyelesaian skripsi ini;
5. Ibu Dona Raisa Monica, S.H., M.H., sebagai Pembimbing II yang telah
bersedia untuk meluangkan waktunya, mencurahkan segenap pemikirannya,
memberikan bimbingan, saran, dan kritik dalam proses penyelesaian skripsi
ini serta sebagai Pembimbing Akademik yang telah membantu untuk
membimbing dan mengarahkan penulis selama menempuh pendidikan di
Fakultas Hukum Universitas Lampung;
6. Ibu Dr. Nikmah Rosidah, S.H., M.H., sebagai Pembahas I yang telah
memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini;
7. Bapak Rinaldy Amrullah, S.H., M.H., sebagai Pembahas II yang telah
memberikan kritik, saran, dan masukan yang membangun terhadap skripsi ini;
8. Seluruh dosen dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang
penuh dedikasi dalam memberikan ilmu yang bermanfaat bagi penulis, serta
segala bantuan yang diberikan kepada penulis selama menyelesaikan studi;
9. Bapak Mardison, S.H. dari Pengadilan Negeri Kelas I A Tanjung Karang yang
telah membantu memberikan data dan saran untuk penulisan hasil skripsi ini;
10.Bapak M. Nursaitias, S.H, M.H. yang telah membantu memberikan data dan
saran untuk penulisan hasil skripsi ini;
11.Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H. yang telah membantu memberikan data dan
penulis banggakan dan Ibu tercinta yang telah banyak memberikan dukungan,
motivasi dan pengorbanan baik secara moril maupun materil sehingga penulis
dapat menyelesaikan studi dengan baik. Terimakasih atas segalanya semoga
kelak dapat membahagiakan, membanggakan, dan selalu bisa membuat kalian
tersenyum dalam kebahagiaan;
13.Kakakku tercinta Rika, Rudi, Reny, Resi, terimakasih atas semua dukungan,
motivasi, kegembiraan, dan semangatnya yang diberikan untuk adek;
14.Kanjeng Tias, Kyai Sabda, Kak Iwan, Abang Rama dan Junjungan Fitri yang
telah memberikan dukungan moril, motivasi, dan semangatnya;
15.Anisa Harsimaya, Amd.Keb (maya) beserta keluarga yang senantiasa
menemani setiap hariku dan perjalananku dengan curahan perhatian,
dukungan, semangat, pengertian, cinta dan kasih sayang.
16.Sahabat-Sahabat terbaikku yang dari awal perkuliahan sudah memberikan
dukungan dalam perkuliahan dan kerjasama dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini, Obi Dermawan, Oglando Setiawan, Mas Adi Eka Nugraha, Aristyo
Wijaya, Bonifa Refsi, Agustian Sinurat, Yulinda Sari, Tiaranita, Rahmawati,
Fiona Salfadila Hasan, Nova Zolica Putri, Ayu Nadia Maryandani.
17.Sahabat-sahabat dalam penulisan Skripsi ini, Adnan Alit Suprayogi, Deni
Mareza, Yudhistira Gilang Perdana, Williyam Blasius, Sandi Handika,
Yonefki, Ryan Ramadhan, Yoga Pratama, Diaz, Fiona Salfadila Hasan, Della
Viska, Varu Nisa Arie,Tiara Erdi, yang berjuang bersama dalam penulisan
Agus, Ari, Wailim, Riki, Sutiadi, Yusuf, Wili, Tio, Rio, Ryan, Komang, Rizki,
Yuda, Fajri, Megy, Mira, Gibran, Redo, Queen, Refan, Ridwan, Raymon,
Senang, Seto, Wiwi, Ragiel dan seluruh teman-teman Hukum Pidana 2012
yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan kerjasamanya
semoga kita semua sukses;
19.Teman-teman KKN Gunung Sari, Way Kanan, Apriandi Prasetyo,
Andriawansyah Putra, Akbar Rulianto, Debby April, Anggi Herliani, Suci
Pebrina terimakasih atas kebersamaan selama 40 harinya;
20.Kyay-kyay Natar, Okta, Eko, Aziz, Ryan, Fery, Indra, Haris, Atrian, Panji,
Anas dan Daus yang telah memberikan semangat serta hiburan disaat penulis
sedang mengerjakan skripsi ini;
21.Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini, terimakasih atas semua doa, motivasi, bantuan
dan dukungannya.
Semoga Allah SWT memberikan balasan atas jasa dan budi baik yang telah
diberikan kepada penulis. Akhir kata, penulis menyadari masih terdapat
kekurangan dalam penulisan skripsi ini dan masih jauh dari kesempurnaan, akan
tetapi sedikit harapan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi yang
membacanya, khususnya bagi penulis dalam mengembangkan dan mengamalkan
Penulis,
DAFTAR ISI
B. Permasalahan dan Ruang Lingkup Penelitian ... 9
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 10
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 11
E. Sistematika Penulisan ... 17
II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim ... 19
B. Pengertian Umum Korupsi ... 25
C. Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) ... 30
D. Pengertian Pengertian Pertanggungjawaban Pidana ... 32
E. Dasar Pertimbangan hakim ... 35
F. Pengertian Penyertaan (Deelneming) ... 40
III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 47
B. Sumber dan Jenis Data ... 47
C. Penentuan Narasumber ... 49
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan Terhadap
Pelaku Tindak Pidana Korupsi Pada Kasus Nomor 67/Pid.
Sus Tpk/2014/PN.Tjk ... 52
B. Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana
Korupsi Penyalahgunaan Dana Bantuan Langsung Masyarakat
Dalam putusan nomor: 67/Pid.Sus-Tpk/2014.PN.Tjk ... 61
V. PENUTUP
A. Simpulan ... 74
B. Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Korupsi berasal dari bahasa latin “Corruptio” atau “Corruptus”, yang kemudian
diadopsi oleh banyak bahasa di eropa, misalnya di Inggris dan Perancis
“Corruption” serta Belanda “Corruptie”, dan selanjutnya dipakai pula dalam
bahasa Indonesia “Korupsi”.1 Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan
hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu
korupsi dengan menyalah gunakaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian Negara .
Sejarah korupsi di Indonesia terjadi sejak zaman Hindia Belanda, pada masa
pemerintahan Orde Lama, Orde Baru dan Orde Reformasi. Pemerintah rezim
Orde baru dan Orde Reformasi. Pemerintah rezim Orde Baru yang tidak
demokratis dan militerisme menumbuh suburkan terjadinya korupsi di semua
aspek kehidupan dan seolah-olah menjadi budaya masyarakat Indonesia.2
1
Tri Andrisman, Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP,Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2010, hlm.37.
2
Istilah korupsi pertama hadir dalam khasanah hukum Indonesia dalam Peraturan
Penguasa Perang Nomor :23Prt/Perpu/013/1958 tentang Peraturan Pemberantasan
Korupsi. Kemudian, dimasukkan juga dalam Undang-Undang Nomor
:24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana
Korupsi. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan tindak
Pidana Korupsi yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi digantikan oleh Undang-Undang Nomor
31 tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan kemudian di
ubah dengan Undang - Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi.3
Berdasarkan hal tersebut selain diundangkanya Undang-undang Tipikor Nomor
31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2001. Pemerintah juga membentuk lembaga yang berfungsi
memonitoring keuangan negara seperti BPK dan yang lebih khusus menangani
masalah tindak pidana korupsi adalah di bentuknya lembaga Komisi Pemberantas
Korupsi sesuai Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantas Tindak Pidana Korupsi. 4
Korupsi di Indonesia sudah merupakan kejahatan yang sangat luar biasa
(extra ordinary crimes) sehingga tuntutan ketersediaan perangkat hukum yang
sangat luar biasa dan canggih serta kelembagaan yang menangani korupsi
tersebut tidak dapat dielakkan lagi. Korupsi harus dicegah dan dibasmi dari
tanah air karena korupsi menyengsarakan rakyat bahkan sudah merupakan
3
Darwan Prinst, Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Citra Aditya, 2002, hlm 1. 4
pelanggaran hak-hak ekonomi dan sosial rakyat Indonesia. Masyarakat kini
bersikap seakan tidak percara terhadap setiap usaha pemberantasan korupsi yang
kini yang kini sedang ditegakkan oleh pemerintah karena masyarakat sampai
saat ini belum melihat contoh yang baik dari para pemimpin pemerintahan
dan kelompok elit politik dalam menyikapi pemberantasan korupsi yang dimulai
dari pemerintahan sendiri. Pengalaman pemberantasan korupsi di Indonesia
menunjukkan kegagalan demi kegagalan, kegagalan tersebut menunjukkan
bahwa masyarakat pada strata rendah selalu menjadi korban dari ketidak
adilan dari penegakan hukum, dan keadaan yang sangat diskriminatif yang
sangat menyakitkan perasaan keadilan masyarakat luas yang dalam keadaan
kurang dan tidak mampu. Persoalan pemberantasan korupsi di Indonesia
bukanlah hanya persoalan hukum dan penegakan hukum semata-mata
melainkan persoa lan sosial yang sangat parah dan sama parahnya dengan
persoalan hukum sehingga wajib dibenahi secara bersamaan. Korupsi
juga merupakan persoalan yang mengakibatkan tidak adanya pemerataan
kesejahteraan dan merupakan persoalan psikologi sosial karena korupsi
merupakan penyakit sosial yang sangat sulit disembuhkan.5
Fenomena korupsi sudah merupakan akibat dari sistem penyelenggaraan
pemerintahan yang tidak tertera secara tertib dan tidak terawasi secara baik karena
landasan hukum yang dipergunakan juga mengandung banyak
kelemahan-kelemahan dalam implementasinya, didukung oleh sistem chek and balances
yang lemah di antara ketiga kekuasaan (Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman)maka
korupsi sudah melembaga dan mendekati suatu budaya yang hampir
sulit dihapuskan, hampir seluruh anggota masyarakat tidak dapat menghindari diri
dari kewajiban memberikan upeti manakala berhadapan dengan pejabat
pemerintahanterutama dibidang pelayanan publik. 6Tindak pidana korupsi tidak
dapat dikategorikan sebagai tindak pidana biasa karena sangat merugikan
keuangan serta perekonomian suatu negara, dan merupakan suatu pelanggaran
terhadap hak- hak sosial dan hak-hak perekonomian masyarakat, oleh karenanya
perlu adanya perhatian khusus untuk menanggulangi permasalahan ini.
Terlepas dari persoalan tersebut, terjadi kasus korupsi Penyalahgunaan anggaran
bantuan langsung masyarakat di Kecamatan Bunga Mayang Kabupaten Lampung
Utara, hal tersebut bermula dalam tahun 2009 Pemerintah Pusat melalui
Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia mengadakan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan yang bertujuan
meningkatnya kesejahteraan dan kesempatan kerja masyarakat miskin di
perdesaan dengan mendorong kemandirian dalam pengambilan keputusan dan
pengelolaan pembangunan sesuai program pemerintah tersebut, pada tanggal 07
Januari 2009 Pemerintah Kabupaten Lampung Utara melakukan kerjasama
dengan Pemerintah Pusat untuk melaksanakan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan.
Adapun sumber dana dalam pelaksanaan Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan berasal dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
sesuai dengan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) Tahun Anggaran 2009
6
Nomor : 3226.1/010-05.4/-/2009 tanggal 31 Desember 2008 dan dana Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri Perdesaan Tahun 2009
dibagikan ke seluruh Kecamatan di Kabupaten Lampung Utara, salah satunya di
Kecamatan Bunga Mayang Kabupaten Lampung Utara.
Surat Keputusan Bupati Lampung Utara Nomor : B/100/29-LU/HK/2011 tanggal
17 Maret 2011 tentang Unit Pengelola Kegiatan (UPK) dan Unit Pengelola
Kegiatan Sementara (UPKS) ditetapkan Sebagai Pengelola Dana Bantuan
Langsung Masyarakat (BLM) Kecamatan Bunga Mayang pada Tahun 2011 dan
Tahun 2012, dalam hal itu ditetapkan juga Pengurus Unit Pengelola Kegiatan
(UPK) Kecamatan Bunga Mayang yang diketuai oleh Yusniar bin Sahbar.Setelah
hal tersebut ditetapkan terjadilah penyalahgunaan anggaran yang dilakukan oleh
Ketua UPK dan Bendaharanya yang merugikan Negara berdasarkan audit
perhitungan kerugian keuangan Negara yang dilakukan oleh BPKP perwakilan
provinsi Lampung adalah sejumlah Rp 290.420.000,-
Berdasarkan hal diatas sangat di sayangkan, karena korupsi akan menjadi faktor
penghambat pembangunan di segala bidang. Uang itu yang idealnya digunakan
sebagai bantuan untuk pemberdayaan ekonomi masyarakat agar lebih baik lagi
dan seharusnya dana bantuan itu harus di berikan kepada masyarakat dengan
maksimal serta utuh , bukannya disalahgunakan oleh orang atau korporasi yang
tidak bertanggung jawab seperti hal nya kasus di atas. Terdapat suatu masalah
yang membuat penulis menjadikan kasus ini sebagai skripsi, dimana penjatuhan
pidana yang diputus oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang
dengan unsur yang terdapat pada Pasal 3 yang dijatuhkan oleh majelis hakim,
Pasal 3 yaitu:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000(satu milyar rupiah).
Artinya disini unsur dari Pasal 3 ialah menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi ,menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukannya dan merugikan
keuangan Negara. Terdakwa dalam kasus ini dikenakan Pasal 3, padahal yang
bersangkutan tidak memenuhi semua unsur yang ada di Pasal 3 tersebut. Unsur
yang tidak dipenuhi oleh terdakwa I maupun terdakwa II yaitu menyalahgunakan
kewenangan dan unsur jabatan atau kedudukan yang ada pada terdakwa.
Menyalahgunakan kewenangan dalam kasus ini tidak terpenuhi karena terdakwa
sendiri melakukan tindak pidana korupsi itu dengan cara membentuk suatu
kegiatan simpan pinjam kelompok perempuan (SPP) fiktif sebagai penerima dana
bantuan langsung masyarakat.
Terdakwa dalam penjelasan tersebut artinya jelas bahwa bukan menyalahgunakan
kewenangan tetapi lebih kepada penggelapan dana yang dilakukan oleh terdakwa,
karena terdakwa bukan mengalihkan uang dana bantuan langsung masyarakat
tersebut ke kelompok lain yang benar adanya, melainkan mereka membentuk
suatu kegiatan simpan pinjam kelompok perempuan (SPP) fiktif seolah-olah
mendapatkan dana bantuan langsung msayarakat guna kepentingan pribadi
terdakwa. Unsur kedua yang tidak terpenuhi yaitu jabatan atau kedudukan yang
ada pada terdakwa . Dalam kasus ini terdakwa I dan terdakwa II merupakan Ketua
UPK (Unit Pengelola Kegiatan) dan Bendahara UPK, hal ini menjadi masalah
karena status dari terdakwa I dan terdakwa II mengenai jabatan atau
kedudukannya masih belum jelas, dalam putusan nomor
67/Pid.Sus-Tpk/2014/PN.Tjk hakim juga tidak merumuskan bahwa terdakwa itu termasuk
Pejabat yang mempunyai kedudukan yang dalam hal ini PNS berdasarkan UU
Tindak Pidana Korupsi atau bukan dan jabatan yang dipegang oleh terdakwa
tersebut juga merupakan jabatan swasta, karena terdakwa juga bekerja sebagai
wiraswasta sebelum menjabat menjadi Ketua UPK (Unit Pengelola Kegiatan) dan
Bendahara UPK tersebut.
Berdasarkan penjelasan diatas unsur yang terdapat dalam Pasal 3 UU Nomor 31
tahun 1999 jo UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi seharusnya tidak dikenakan kepada terdakwa ,melainkan terdakwa I dan
terdakwa II lebih tepat dikenakan Pasal 2 ayat (1) UU Nomor 31 tahun 1999 jo
UU 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu :
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000.00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Unsur dari Pasal 2 ayat (1) tersebut yaitu Melawan hukum, memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi dan dapat merugikan keuangan Negara
telah melanggar Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo UU 21 tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi untuk memperkaya diri sendiri
atau orang lain atau suatu korporasi dan merugikan keuangan Negara. Hal ini
yang menjadi perhatian penulis untuk mengkaji apa yang menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam penjatuhan pidana tersebut sehingga putusan yang
diberikan hakim menimbulkan masalah karena unsur pada Pasal 3 yang dikenakan
tidak sesuai.
Majelis hakim dalam putusan tersebut semestinya memberikan hukuman sesuai
dengan peraturan yang berlaku dengan memberikan kejelasan hukuman terhadap
masyarakat, sehingga dalam putusan yang dikeluarkan oleh Majelis Hakim
tersebut tidak menimbulkan pertanyaan atau masalah dan agar pelaku tindak
pidana korupsi tersebut ada efek jera nya, karena pelaku tindak pidana korupsi itu
sendiri melakukan kejahatan yang serius dengan menyalahgunakan dana bantuan
masyarakat yang seharusnya dana tersebut jauh dari kata korupsi.
Dana itu merupakan dana bantuan dari pemerintah yang bertujuan untuk
Pembangunan desa yang dilakukan yaitu dengan cara memperbaiki fasilitas
umum, fasilitas kesehatan atau memberikan simpan pinjam kepada rakyat yang
ingin membuka usaha dan dana bantuan ini juga bertujuan untuk mensejahterakan
masyarakatnya agar bisa lebih baik lagi serta masyarakatnya bisa lebih kreatif
dalam bekerja, bukan disalahgunakan atau di korupsi seperti kasus yang terjadi di
Berdasarkan pada uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk menjadikan
masalah tersebut kedalam sebuah penelitian guna penyusunan skripsi yang diberi
judul “Analisis Putusan Terhadap Pelaku Tindak Pidana Korupsi
Penyalahgunaan Dana Bantuan Langsung Masyarakat” (Studi Putusan nomor
: 67/Pid.Sus-Tpk/2014.PN.Tjk) yang dilakukan oleh terdakwa Yusniar bin Sahbar
dan terdakwa Surniyati binti Supardi.
B. Permasalahan Dan Ruang Lingkup
1. Permasalahan
Berdasarkan uraian yang diungkapkan di atas maka yang menjadi permasalahan
dalam penulisan skripsi ini adalah:
1. Apakah yang menjadi Dasar Pertimbangan hakim dalam memutus perkara
Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Dana Bantuan Langsung
Masyarakat dalam putusan Nomor: 67/Pid.Sus-Tpk/2014.PN.Tjk ?
2. Bagaimanakah Pertanggungjawaban Pidana terhadap Pelaku Tindak
Pidana Korupsi Penyalahgunaan Dana Bantuan Langsung Masyarakat
dalam putusan Nomor: 67/Pid.Sus-Tpk/2014.PN.Tjk ?
2. Ruang Lingkup Pembahasan
Agar penulisan skripsi ini lebih terarah dan tersusun sistematis maka penulis
membatasi ruang lingkup pembahasan dengan menitikberatkan pada
bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku Tindak Pidana
Korupsi Penyalahgunaan Dana Bantuan Langsung Masyarakat dan apa yang
penyalahgunaan dana bantuan langsung masyarakat, dalam hal ini sesuai dengan
ketentuan peraturan Perundang-undangan yaitu UU No. 31 tahun 1999 jo UU No.
20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan ruang
lingkup wilayah penelitan adalah Pengadilan Negeri Tanjung Karang, penelitian
dilakukan pada tahun 2015.
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan dan ruang lingkup penelitian, maka penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui :
a). Untuk mengetahui Apakah yang menjadi Dasar Pertimbangan hakim dalam
memutus perkara Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Dana Bantuan
Langsung Masyarakat berdasarkan Studi Putusan nomor:
67/Pid.Sus-Tpk/2014.PN.Tjk
b). Untuk mengetahui Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap
Pelaku Tindak Pidana Korupsi Penyalahgunaan Dana Bantuan Langsung
Masyarakat berdasarkan Studi Putusan nomor: 67/Pid.Sus-Tpk/2014.PN.Tjk
2. Kegunaan Penelitian
Kegunaan Penelitian ini mencakup kegunaan teoritis dan Kegunaan praktis, yaitu:
a. Kegunaan Teoritis
Secara teoritis, untuk memperluas dan memperdalam pemahaman penulis tentang
perkara korupsi dan penjatuhan pidana terhadap pelaku korupsi penyalahgunaan
b. Kegunaan Praktis
Secara Praktis, menjadi bahan masukan bagi kalangan praktisi hukum, khusus
yang bergerak dalam bidang penyelenggara peradilan pidana dan kemasyarakatan
serta memberikan gambaran tentang proses hukum bagi pelaku tindak pidana
korupsi, oleh karena itu tulisan ini diharapkan dapat menambah wawasan serta
kesadaran hukum baik aparat penegak hukum dan masyarakat luas.
D. Kerangka Teoritis dan Konseptual
1. Kerangka teoritis
Kerangka teoritis adalah susunan dari beberapa anggapan, pendapat, cara, aturan,
asas, keterangan sebagai suatu kesatuan yang logis yang menjadi landasan, acuan,
dan pedoman untuk mencapai tujuan dalam penelitian atau penulisan. Pada
umumnya, teori bersumber dari undang-undang, buku atau karya tulis bidang ilmu
dan laporan penelitian.7 Setiap penelitian akan ada kerangka teoritis yang menjadi
acuan dan bertujuan mengidentifikasi terhadap dimensi sosial yang dianggap
relevan oleh peneliti.8
a. Teori Dasar Pertimbangan Hakim
Keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan bukan semata-mata peranan hakim
sendiri untuk memutuskan, tetapi hakim meyakini bahwa terdakwa telah
melakukan tindak pidana yang didakwakan dan didukung oleh alat bukti yang sah
menurut Undang-undang. Sebagai bahan pertimbangan hakim, terdapat dalam
7
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bhakti, 2004, hlm. 73.
8
Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP, menurut KUHAP harus ada alat-alat bukti yang
sah, alat bukti yang dimaksud adalah keterangan saksi, keterangan ahli, surat,
petunjuk, dan keterangan terdakwa. Alat bukti inilah yang nantinya menjadi dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan hukuman pidana yang didasarkan
kepada teori dan hasil penelitian yang saling berkaitan sehingga didapatkan hasil
yang maksimal dan seimbang dalam teori dan praktek. Undang-Undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman juga menyatakan bahwa tentang dasar
pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan, yaitu dalam Pasal 8 Ayat (2) :
“Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan
pada sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”.
Kebebasan hakim mutlak dibutuhkan terutama untuk menjamin keobjektifan
hakim dalam mengambil keputusan. Menurut Soedarto, hakim memberikan
keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut :9
1. Keputusan mengenai peristiwanya, yaitu apakah terdakwa telah melakukan
perbuatan yang dituduhkan kepadanya.
2. Keputusan mengenai hukumnya, yaitu apakah perbuatan yang dilakukan
terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan
dapat dipidana,
3. Keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa dapat dipidana.
Hakim dalam putusannya harus memberikan rasa keadilan, menelaah terlebih
dahulu kebenaran peristiwa yang diajukan kepadanya kemudian
9
menghubungkannya dengan hukum yang berlaku dan hakim dalam menjatuhkan
pidana nya harus melihat terlebih dahulu syarat pemidanaan, menurut Sudarto
syarat pemidanaan yaitu harus memenuhi unsur Perbuatan dan unsur Orang,
dimana penjelasan mengenai perbuatan harus memenuhi rumusan Undang-undang
dan Bersifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar), sedangkan unsur orang
dalam hal ini berdasarkan dengan “Kesalahan”, yang meliputi :10
1. Kemampuan Bertanggungjawab
2. Sengaja (Dolus/Opzet) atau Lalai (Culpa/Alpa) serta tidak ada alasan pemaaf
b. Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana adalah sesuatu perbuatan pidana yang harus
dipertanggungjawabkan atas perbuatan yang dilakukan. Tindak pidana adalah
perbuatan yang dilakukan oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai
ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa
melarang larangan tersebut.11
Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung jawaban pidana menurut hukum
pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu :
1. Adanya perbuatan Melawan Hukum
2. Adanya Kesalahan
3. Tidak ada alasan pemaaf dan pembenar
10
Tri Andrisman, Hukum Pidana, Lampung, Universitas Lampung, 2011, hlm, 81. 11
Perbuatan melawan hukum belumlah cukup untuk menjatuhkan hukuman,
disamping perbuatan melawan hukum harus ada seseorang pembuat (dader) yang
bertanggung jawab atas perbuatannya, pembuat haruslah terbukti bersalah (schute
hebben) terhadap tindak pidana yang dilakukan. Pertanggungjawaban pidana atau
kesalahan menurut hukum pidana (schuldin ruime zin) terdiri dari 3 (tiga) unsur,
yaitu: 12
1. Toerekening strafbaarheid (dapat dipertanggungjawabkan) pembuat,yaitu :
a. Suatu sikap psikis pembuat berhubungan dengan kelakuannya.
b. Kelakuan yang sengaja.
2. Kelakuan dengan sikap kurang berhati-hati atau lalai (unsur kealpaan, culva,
schute in enge zin).
3. Tidak ada alasan-alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana
pembuat (unsur Toerekenbaar heid).
Pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
selanjutnya disebut Undang-undang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa
setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/atau dihadapkan di
depan pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan
yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 28 menyatakan bahwa hakim wajib
menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
12
Berdasarkan hal tersebut dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana,
hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Hakim
sebagai orang yang menjalankan hukum berdasarkan demi keadilan di dalam
menjatuhkan putusan terhadap perkara yang ditanganinya tetap berlandaskan
aturan yang berlaku dalam undang-undang dan memakai pertimbangan
berdasarkan data-data yang autentik serta para saksi yang dapat dipercaya. Tugas
hakim tersebut dalam memper timbangkan untuk menjatuhkan suatu putusan
bebas dapat dilihat dalam Pasal 191 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Acara
Pidana (selanjutnya disebut KUHAP) yang menyatakan :
“Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah
dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”.
Mengenai alat bukti yang dipergunakan sebagai bahan pertimbangan hakim,
terdapat dalam Pasal 183 dan 184 KUHAP, menurut KUHAP harus ada alat -alat
bukti yang sah, dimana alat bukti tersebut berupa keterangan saksi, keterangan
ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa seperti hal ini bert ujuan untuk
mendapat keyakinan hakim bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan
terdakwalah yang bersalah.
2. Konseptual
Kerangka konseptual adalah kerangka yang menggambarkan hubungan antara
konsep-konsep khusus yang akan diteliti, baik dalam penelitian hukum normatif
maupun empiris. Biasanya telah merumuskan dalam definisi-definisi tertentu atau
merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep
khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah.
Upaya memudahkan pengertian yang terkandung dalam kalimat judul penelitian
ini, maka penulis dalam konseptual ini menguraikan pengertian-pengertian yang
berhubungan erat dengan penulisan skripsi ini, maka akan dijelaskan beberapa
istilah yang dipakai, yaitu sebagai berikut :
a. Analisis adalah proses berfikir manusia tentang sesuatu kejadian atau peristiwa
untuk memberikan suatu jawaban atas kejadian atau pristiwa tersebut. 13
b. Pemidanaan adalah suatu proses atau cara untuk menjatuhkan hukuman/sanksi
terhadap orang yang telah melakukan tindak kejahatan (rechtsdelict) maupun
pelanggaran (wetsdelict).14
c. Pelaku (Dader) adalah orang yang melakukan suatu perbuatan yang merupakan
pelaku utama dalam perubahan situasi tertentu.15 Menurut hukum pidana
pelaku dapat diartikan sebagai mereka yang melakukan dan yang turut serta
melakukan perbuatan.16
d. Tindak Pidana Korupsi menurut Undang-Undang No 31 tahun 1999 jo
Undang-Undang 20 tahun 2001 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
13
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum Cetakan 3. Jakarta, Universitas Indonesia press , 2007,hlm.129.
14
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Bandung Alumni, 2005, hlm 12.
15
P.A. Lamintang, Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996, hlm 594.
16
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara.17
e. Penyalahgunaan adalah proses, cara, perbuatan menyalahgunakan sehingga
kekayaan yang diperolehnya adalah hasil penyalahgunaan jabatannya.18
f. Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri merupakan
salah satu mekanisme program pemberdayaan masyarakat yang digunakan
PNPM Mandiri dalam upaya mempercepat penanggulangan kemiskinan dan
perluasan kesempatan kerja di wilayah perdesaan.19
g. Dana Bantuan Langsung Masyarakat adalah Program pemberdayaan
masyarakat yang dapat dikatakan sebagai program pemberdayaan masyarakat
terbesar di tanah air. Dalam pelaksanaannya, program ini memusatkan kegiatan
bagi masyarakat Indonesia paling miskin di wilayah perdesaan.20
E. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dan memahami skripsi ini secara keseluruhan, maka
sistematika penulisannya disusun sebagai berikut :
I. PENDAHULUAN
Merupakan Bab pendahuluan yang berisikan latar belakang, permasalahan dan
ruang lingkup. Tujuan dan kegunaan penulisan, kerangka teoritis dan konseptual,
serta sistematika penulisan.
17
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 Pasal 2 ayat (1) 18
Tri Andrisman, Hukum Pidana, Universitas Lampung, 2011, hlm 91. 19
Wikipedia,PNPM Mandiri, https://id.wikipedia.org/wiki/PNPM_Mandiri_Pedesaan, diakses pada 28 Oktober 2015 (08:30 WIB).
20
II. TINJAUAN PUSTAKA
Merupakan Bab tinjauan Pustaka yang menguraikan mengenai pengertian pidana,
pengertian korupsi, pengertian putusan hakim, jenis-jenis putusan hakim
III. METODE PENELITIAN
Merupakan Bab yang berisi uraian mengenai pendekatan masalah, sumber dan
jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengolahan dan pengum
pulan data, serta analisis data.
IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Berupa hasil penelitian dan pembahasan yang terbagi dalam sub bab mengenai
Apakah yang menjadi Dasar Pertimbangan hakim dalam memutus perkara Tindak
Pidana Korupsi Penyalahgunaan Dana Bantuan Langsung Masyarakat
berdasarkan Studi Putusan nomor: 67/Pid.Sus-Tpk/2014.PN.Tjk dan
Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana terhadap Pelaku Tindak Pidana
Korupsi Penyalahgunaan Dana Bantuan Langsung Masyarakat berdasarkan Studi
Putusan nomor: 67/Pid.Sus-Tpk/2014.PN.Tjk. serta pemaparan hasil wawancara
dengan beberapa aparat penegak hukum sebagai bahan acuan dan perbandingan.
V. PENUTUP
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum Tentang Putusan Hakim
Putusan hakim pada dasarnya mempunyai peranan yang menentukan dalam
menegakkan hukum dan keadilan, oleh karena itu didalam menjatuhkan putusan,
hakim diharapkan agar selalu berhati-hati, hal ini dimaksudkan untuk menjaga
agar putusan yang diambil tidak mengakibatkan rasa tidak puas, tidak bertumpu
pada keadilan yang dapat menjatuhkan wibawa pengadilan.21
Hakim dalam menentukan hukuman diharapkan berpandangan tidak hanya tertuju
apakah putusan itu sudah benar menurut hukum, melainkan juga terhadap akibat
yang mungkin timbul, dengan berpandangan luas seperti ini maka hakim
berkemungkinan besar mampu untuk menyelami kenyataan-kenyataan yang hidup
dalam masyarakat danjuga akan lebih dapat memahami serta meresapi makna dari
putusan yang dijatuhkan, dalam dunia peradilan dibedakan antara putusan dan
penetapan hakim. Putusan dalam bahasa Belanda disebut dengan vonnis,
sedangkan penetapan hakim dalam bahasa Belanda disebut dengan beschikking.
Putusan hakim dalam acara pidana adalah diambil untuk memutusi suatu perkara
pidana, sedangkan penetapan diambil berhubungan dengan suatu permohonan,
biasanya dalam perkara perdata seperti pengangkatan wali atau pengangkatan
anak.22 Pengertian putusan terdapat dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal
menurut cara yang diatur dalam undang-undang.
Menurut ketentuan Pasal 193 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), putusan pidana dijatuhkan apabila pengadilan berpendapat bahwa
terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya.
Berdasarkan rumusan KUHAP tersebut putusan hakim dapat digolongkan ke
dalam 2 jenis yaitu:
a. Putusan Akhir
Putusan ini dapat terjadi apabila majelis hakim memeriksa terdakwa yang hadir di
persidangan sampai pokok perkaranya selesai diperiksa. Maksud dari pokok
perkaranya selesai diperiksa adalah sebelum menjatuhkan putusan telah
melakukan proses-proses berupa sidang dinyatakan dibuka dan terbuka untuk
umum, pemeriksaan identitas dan peringatan ketua majelis kepada terdakwa untuk
mendengar dan memperhatikan segala sesuatu yang terjadi di dalam persidangan
serta pembacaan putusan dalam sidang terbuka untuk umum.
b. Putusan Sela
Putusan yang bukan putusan akhir ini mangacu pada ketentuan Pasal 156 ayat (1)
KUHAP, yaitu dalam penasihat hukum mengajukan keberatan atau eksepsi
terhadap surat dakwaan jaksa/ penuntut umum. Penetapan atau putusan sela ini
mengakhiri perkara apabila terdakwadan penuntut umum menerima apa yang
22
diputuskan oleh majelis hakim tersebut. Akan tetapi, secara material perkara
tersebut dapat dibuka kembali apabila perlawanan dari penuntut umum oleh
Pengadilan Tinggi dibenarkan sehingga Pengadilan Tinggi memerintahkan
Pengadilan Negeri melanjutkan pemeriksaan perkara yang bersangkutan.
Putusan sela ini bukan putusan akhir karena disamping memungkinkan perkara
tersebut secara material dibuka kembali karena adanya perlawanan yang
dibenarkan, juga dikarenakan dalam hak ini materi pokok perkara atau pokok
perkara yang sebenarnya yaitu dari keterangan para saksi, terdakwa serta proses
berikutnya belum diperiksa oleh majelis hakim.23 Jadi, bentuk putusan yang
dijatuhkan pengadilan tergantung hasil musyawarah yang bertitik tolak dari surat
dakwaan dengan segala sesuatu yang terbukti dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan.
Menurut penilaian majelis hakim mungkin saja apa yang didakwakan dalam surat
dakwaan terbukti, mungkin juga menilai, apa yang didakwakan memang benar
terbukti akan tetapi apa yang didakwakan bukan merupakan tindak pidana, tapi
termasuk ruang lingkup perkara perdata atau termasuk ruang lingkup tindak
pidana aduan atau menurut penilaian hakim tindak pidana yang didakwakan tidak
terbukti samasekali.24Bertitik tolak dari kemungkinan-kemungkinan tersebut
putusan yang dijatuhkan pengadilan mengenai suatu perkara dapat berbentuk :
23Ibid
, hlm.47.
1) Putusan Bebas
Putusan bebas adalah putusan yang menyatakan terdakwa dinyatakan bebas dari
tuntutan hukum. Dibebaskan dari tuntutan hukum berarti terdakwa dibebaskan
dari pemidanaan atau dengankata lain tidak dipidana. Menurut Pasal 191 ayat (1)
KUHAP, terdakwa dinyatakan bebas dari tuntutan hukum apabila pengadilan
berpendapat dari hasil pemeriksaan di sidang pengadilan kesalahan terdakwa atas
perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbuktisecara sah dan meyakinkan.
Putusan bebas ditinjau dari segi yuridis Menurut Yahya Harahap ialah putusan
yang dinilai oleh majelis hakim yang bersangkutan tidak memenuhi asas
pembuktian menurut undang-undang secara negatif dan tidak memenuhi asasbatas
minimum pembuktian.25Maksud tidak memenuhi asas pembuktian menurut
undang-undang secara negatif adalah bahwa pembuktian yang diperoleh
dipersidangan tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa. Sedangkan yang
dimaksud tidak memenuhi asas batas minimum pembuktian adalah untuk
membuktikan kesalahan terdakwa harus dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti.
2) Putusan Pelepasan Dari Segala Tuntutan Hukum
Putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum diatur dalam Pasal 191 ayat (2)
KUHAP, yang berbunyi:
“Jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak
pidana maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan hukum”.
3) Putusan Pemidanaan
Penjatuhan putusan pemidanaan terhadap terdakwa didasarkan pada penilaian
pengadilan hal ini sesuai dengan Pasal 193 ayat (1) KUHAP,26 jika pengadilan
berpendapat dan menilai terdakwa terbukti bersalah melakukan perbuatan yang
didakwakan kepadanya, pengadilan menjatuhkan hukuman pidana terhadap
terdakwa atau dengan penjelasan lain. Pengadilan berpendapat dan menilai
apabila terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan kesalahan
tindak pidana yang didakwakan kepadanya sesuai dengan sistem pembuktian dan
asas batas minimum pembuktian yang ditentukan dalam Pasal 183 KUHAP.
Kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat
bukti yang sah yang memberi keyakinan kepada hakim, terdakwalah pelaku tindak
pidananya. Putusan hakim dapat dieksekusi bila putusan tersebut telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, yang telah diterima oleh para pihak yang
bersangkutan. Putusan yang berupa pemidanaan berupa pidana seperti yang diatur
dalam Pasal 10 KUHP.
4) Penetapan Tidak Berwenang Mengadili Penetapan tidak berwenang mengadili
diatur dalam Pasal l84 KUHAP yang intinya adalah sebagai berikut:
a) Karena tindak pidana yang terjadi tidak dilakukan dalam daerah hukum
Pengadilan Negeri yang bersangkutan, atau
b) Sekalipun terdakwa bertempat tinggal, berdiam terakhir, diketemukan atau
ditahan berada di wilayah Pengadilan Negeri tersebut, tapi tindak pidananya
dilakukan di wilayah hukum Pengadilan Negeri yang lain, sedang saksi-saksi
26
yang dipanggilpun lebih dekat dengan Pengadilan Negeri tempat di mana tindak
pidana dilakukan dan sebagainya. Apabila terjadi hal-hal seperti yang dirumuskan
Pasal 84 KUHAP tersebut, Pengadilan Negeri yang menerima pelimpahan perkara
tersebut, tidak berwenang untuk mengadili.
5) Putusan Yang Menyatakan Dakwaan Tidak Dapat Diterima
Pasal 156 ayat (1) KUHAP, tidak menjelaskan pengertian dakwaan tidak dapat
diterima, dan tidak dijelaskan patokan yang dapat dijadikan dasar untuk
menyatakan dakwaan tidak dapat diterima. Menurut Yahya Harahap pengertian
tentang dakwaan tidak dapat diterima adalah apabila dakwaan yang diajukan
mengandung cacat formal atau mengandung kekeliruan beracara. Kekeliruan
tersebut dapat mengenai orang yang didakwa, ataupun mengenai susunan surat
dakwaan.27
6) Putusan Yang Menyatakan Dakwaan Batal Demi Hukum
Menurut Pasal 143 KUHAP syarat yang harus dipenuhi surat dakwaan adalah
harus memenuhi syarat formal dan syarat materiil.
a) Syarat formal memuat hal-hal yang berhubungan dengan:
(1) Surat dakwaan diberi tanggal dan ditandatangani oleh jaksa/ penuntut umum.
(2) Nama lengkap, tempat tinggal, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama, danpekerjaan tersangka.
b) Syarat materiil
(1) Uraian cermat, jelas, dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan.
27
(2) Menyebut waktu dan tempat tindak pidana dilakukan.
Surat dakwaan yang dinyatakan batal demi hukum adalah apabila tidak memenuhi
unsur dalam Pasal 143 ayat (2) huruf b KUHAP yaitu tidak memenuhi syarat
materiil diatas.
B. Pengertian Umum Korupsi
Korupsi berasal dari kata latin “Corruptio” atau “Corruptus”, dalam bahasa
Prancis dan Inggris disebut “Corruption”, dalam bahasa Belanda disebut
“Corruptie”.28Arti harfiah dari kata itu ialah kebusukan, keburukan, kebejatan,
ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian,
kata-kataatau ucapan yang menghina atau menfitnah. Kehidupan yang buruk didalam
penjara misalnya, sering disebut sebagai kehidupan yang korup, yang segala
macam kejahatan terjadi disana.
Korupsi adalah setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korupsi dengan menyalah
gunakaan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan
atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian
Negara (Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo
Undang-undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).29
Memperhatikan rumusan Pasal 2 sampai dengan Pasal 17 dan Pasal 21 sampai
dengan Pasal 24 Undang-undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, maka pelaku tindak pidana korupsi adalah setiap orang
28
Tri Andrisman, Tindak Pidana Khusus Diluar KUHP,Bandar Lampung, Universitas Lampung, 2010, hlm.37.
yang berarti orang perseorangan atau korporasi. Ketentuan yang tercantum dalam
dalam Undang-undang No. 31 Tahun 1999 dan Undang-undang No. 20 Tahun
2001 tentang tindak Pidana Korupsi dapat dibagi ke dalam dua segi, yaitu aktif
dan pasif. Segi aktif maksudnya pelaku tindak pidana korupsi tersebut langsung
melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi
dengan melakukan penyalahgunaan kewenangan, kesempatan atau sarana.
Sedangkan tindak pidana korupsi yang bersifat pasif yaitu yang menerima
pemberian atau janji karena berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya
yang bertentangan dengan kewajibannya.30
Korupsi merupakan31 perbuatan melawan hukum dengan cara memperkaya diri
sendiri atau orang lain. Memberantas korupsi tidak serta merta hanya sekedar
menangkap dan memenjarakan orang yang terlibat dalam korupsi, tapi bagaimana
menciptakan budaya hukum itu sendiri menjadi tanggungjawab penegak hukum ,
pemerintah ,masyarakat itu sendiri. Sehingga tercapai proses penegakan hukum
yang mampu mewujudkan nilai, ide dan cita hukum tersebut secara konkrit dan
menghasilkan keadilan secara substansial sesuai dengan apa yang menjadi tujuan
hukum.
Tujuan hukum akan tercapai apabila, fungsi hukum berjalan dengan baik.
Menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau bahkan sarana yang ada pada
dirinya karena jabatan atau kedudukanya sebagai kepala daerah atau kekuasaan
lain yang memiliki kewenangan dalam hal pemindah bukukan keuangan daerah
dan bahkan sangat merugikan keuangan negara bahkan perekonomian pun tidak
30
Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK. Jakarta, Sinar Grafika, 2008,hlm. 13. 31
akan berjalan dengan mulus karena terhambatnya pembangunan yang
menggunakan anggaran yang dikorupsi oleh orang-orang yang berwenang untuk
mengelolanya.32 Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan
perbuatan, dilihat dari segi pandangan masyarakat menunjukan pandangan yang
normatif mengenai kesalahan yang dilakukan oleh orang tersebut. Dalam
pembicaran masalah tindak pidana korupsi yang terjadi di berbagai lini baik dari
sektor swasta maupun pemerintah tentu di dalamnya ada istilah unsur melawan
hukumnya.33 Dalam hal sifat melawan hukum ada sifat melawan hukum formal
dan sifat melawan hukum materil.
Sifat melawan hukum formal adalah hukum tertulis yaitu peraturan
Perundang-undangan. Terpenuhinya sifat melanggar hukum apabila pelaku melanggar atau
bertentangan dengan peraturan Perundang–undangan (onwetmatigedaad) dalam
sifat melawan hukum materil hukum tidak hanya hukum tertulis, tetapi juga
hukum yang tidak tertulis (unwritteen law) dan terpenuhinya sifat melawan
hukum apabila pelaku melanggar hukum (onrechtmatigedaad).34
Perbuatan yang memenuhi rumusan suatu delik diancam pidana yang dilakukan
dalam suatu proses sistem peradilan pidana (criminal justice system). Sanksi
pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa bukanlah semata-mata merupakan
pembalasan melainkan sebagai usaha preventif dan represif agar terdakwa bisa
merenungkan perbuatan yang dilakukan dan akan menjadi pelajaran bagi
perbuatan yang dilakukan yang akan datang.
Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta, Raja Grafindo, 2012, hlm, 34.
33
Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP. Rineka Cipta, 2005, hlm, 167. 34
Tindak pidana korupsi merupakan tindak pidana khusus karena dilakukan
oleh orang yang khusus maksudnya subyek atau pelakunya khusus dan
perbuatannya yang khusus akibat buruk yang ditimbulkan oleh adanya tindak
pidana korupsi harus ditangani secara khusus dan serius untuk itu perlu
dikembangkan peraturan-peraturan khusus sehingga dapat menjangkau semua
perbuatan pidana yang merupakan tindak pidana korupsi karena hukum
pidana umum tidak sanggup untuk menjangkaunya.35
Adapun mengenai pengertian tindak pidana korupsi menurut Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2001, yaitu:
1) Setiap orang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan
keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 2 Ayat (1)).
2) Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang
lain atau suatu korporasi menyalahgunakan wewenang, kesempatan
atau sarana yang ada pasanya Karena jabatan, atau kedudukan yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
3) Setiap orang yang member hadiah atau janji kepada pegawai negeri
dengan mengingat kekuasaan dan wewenang yang melekat pada
jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji
dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut (Pasal 13).
4) Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau
permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi (Pasal 15).
5) Setiap orang diluar Wilayah Negara Republik Indonesia yang
memberikan bantuan, kesempatan, sarana atau keterangan untuk terjadinya
tindak pidana korupsi (Pasal 16).
Memperhatikan Pasal 2 Ayat (1) diatas maka akan ditemukan unsur-unsur sebagai
berikut :
a. Melawan hukum.
b. Memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
c. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.
Pasal 3 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 mempunyai unsur-unsur sebagai
berikut :
a. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi.
b. Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya
karena jabatan atau kedudukannya.
c. Dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara.
Hakim dalam hal memberikan keputusan sepenuhnya diberi kebebasan untuk
memberikan dan menentukan suatu hukuman pidana maupun putusan bebas
terhadap pelaku tindak pidana korupsi. Dengan dasar-dasar hukum yang
meringankan terdakwa bahkan membebaskanya. Maka dengan berlakunya
KUHAP peranan hakim dalam menciptakan keputusan-keputusan harus dapat
C. Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)
Dana Bantuan Langsung Masyarakat ini merupakan bagian dari Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat (PNPM) Mandiri, PNPM Mandiri sendiri dikukuhkan
secara resmi oleh Presiden RI pada 30 April 2007 di Kota Palu, Sulawesi Tengah.
Dana Bantuan Langsung Masyarakat adalah Program pemberdayaan masyarakat
yang dapat dikatakan sebagai program pemberdayaan masyarakat terbesar di
tanah air. Dalam pelaksanaannya, program ini memusatkan kegiatan bagi
masyarakat Indonesia paling miskin di wilayah perdesaan.36
Program pemberdayaan masyarakat ini dapat dikatakan sebagai program
pemberdayaan masyarakat terbesar di tanah air. Dalam pelaksanaannya, program
ini memusatkan kegiatan bagi masyarakat Indonesia paling miskin di wilayah
perdesaan. Program ini menyediakan fasilitasi pemberdayaan masyarakat/
kelembagaan lokal, pendampingan, pelatihan, serta dana Bantuan Langsung untuk
Masyarakat (BLM) kepada masyarakat secara langsung.
Besaran dana BLM yang dialokasikan sebesar Rp750 juta sampai Rp. 3 miliar per
kecamatan, tergantung jumlah penduduk. Dalam PNPM Mandiri Perdesaan,
seluruh anggota masyarakat diajak terlibat dalam setiap tahapan kegiatan secara
partisipatif, mulai dari proses perencanaan, pengambilan keputusan dalam
penggunaan dan pengelolaan dana sesuai kebutuhan paling prioritas di desanya,
sampai pada pelaksanaan kegiatan dan pelestariannya.
36
Pelaksanaan PNPM Mandiri Perdesaan berada di bawah binaan Direktorat
Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD), Kementerian Dalam
Negeri. Program ini didukung dengan pembiayaan yang berasal dari alokasi
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), alokasi Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD), dana pinjaman/hibah luar negeri dari sejumlah
lembaga pemberi bantuan dibawah koordinasi Bank Dunia.37
Bahwa sesuai program Pemerintah tersebut, pada tanggal 07 Januari 2009
Pemerintah Kabupaten Lampung Utara melakukan kerjasama dengan pemerintah
pusat untuk melaksanakan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Mandiri Perdesaan Berdasarkan Asas Tugas Pembantuan sesuai dengan Naskah
Perjanjian Kerjasama (NPK) Nomor : 11 NPK-01-01/PNPM Mandiri Perdesaan
/I/2009. Adapun sumber dana dalam pelaksaan nya tersebut berasal dari APN dan
APBD dan dalam pelaksanaan Program Nasioal Pemberdayaan Masyarakat
(PNPM) Mandiri Perdesaan di kecamatan Bunga Mayang Kabupaten Lampung
Utara.
Berdasarkan Surat keputusan Bupati Lampung Utara nomor 300 tahun 2009
tanggal 02 Desember 2009 tentang penetapan lokasi dan unit pengelola kegiatan
(UPK) sebagai pengelola Dana Bantuan Langsung Masyarakat (BLM)
ditentukanlah pengurus dari UPK untung kegiatan Dana Bantuan Langsung
tersebut yakni terdakwa Yusniar Bin Sahbar sebagai ketua dan terdakwa Surniyati
Binti supardi sebagai Bendahara yang telah terbukti melakukan penyalahgunaan
Dana Bantuan Langsung Masyarakat tersebut dengan cara membentuk SPP fiktif
37
Wikipedia, PNPM Mandiri, https://id.wikipedia.org/wiki/PNPM_Mandiri_Pedesaan, diakses
penerima Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) Kegiatan Simpan Pinjam
Kelompok Perempuan (SPP) yang merugikan Negara sebesar Rp. 290.420.000,
seharusnya dana bantuan tersebut tidak boleh di korupsi karena itu merupakan
solusi dari pemerintah untuk mengurangi angka kemiskinan di daerah perdesaan
yang mendapat bantuan tersebut sehingga daerah tersebut bisa lebih maju
perekonomian nya.
D. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana
Pertanggungjawaban pidana (criminal responsibility) yang dimaksudkan untuk
menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggungjawabkan
atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya
sipelaku, diisyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi
unsur-unsur yang telah ditentukan dalam undang-undang. Dilihat dari sudut
terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggungjawabkan atas
tindakan-tindakan tersebut, apabila melawan hukum serta tidak ada alasan
pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya38
1) Kemampuan bertanggung jawab atau dapat di pertanggungjawabkan dari
si pembuat pidana.
2) Adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang
berhubungan dengan kelakuannya,yaitu: Disengaja dan sikap kurang
hati-hati atau lalai.
3) Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan
pertanggungjawaban pidana bagi si pembuat pidana. Kemampuan
38
bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan
adanya kesalahan,unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat halini sukar
untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur
kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena
pada umumnya setiap orang normal batinnya dan mampu bertanggung
jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa
mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan
pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak
diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu
berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga
kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas
tidak dipidana jika tidak ada kesalahan.
Kemampuan untuk membedakan antara perbuatan baik dan yang buruk, adalah
merupakan faktor akal (intelektual faktor) yaitu dapat membedakan perbuatan
yang diperbolehkan atau yang tidak diperbolehkan. Kemampuan untuk
menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan
tersebut merupakan factor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan
tingkah lakunya dengan keinsyafan atas apa saja yang diperbolehkan dan apa saja
yang tidak diperbolehkan. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi, maka tentunya
orang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik
buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan jika melakukan tindak
pidana, orang yang demikian itu tidak dapat diminta pertanggungjawaban
pidananya. Masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44
“ Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat,
tidak dipidana”
Bila tidak dipertanggungjawabkan itu disebabkan hal lain, misalnya jiwanya tidak
normal dikarenakan dia masih muda maka pasal tersebut tidak berlaku. Apabila
hakim akan menjalankan Pasal 44 KUHP, maka sebelumnya harus
memperhatikan apakah telah terpenuhinya 2 (dua) syarat sebagai berikut:
1) Syarat psikiatris yaitu pada terdakwa harus ada kurang sempurna akalnya
atau sakit berubah akal, yaitu keadaan kegilaan (idiote), yang mungkin ada
sejak kelahiran atau karena suatu penyakit jiwa dan keadaan ini terus
menerus.
2) Syarat psikologis ialah gangguan jiwa itu harus pada waktu si terdakwa
melakukan perbuatan pidana, oleh sebab itu gangguan jiwa yang timbul
sesudah peristiwa tersebut, dengan sendirinya tidak dapat menjadi sebab
terdakwa tidak dapat dikenai pidana. Dasar penghapusan pidana atau juga
dapat disebut sebagai alasan-alasan menghilangkan sifat tindak pidana ini
termuat di dalam buku 1 KUHP, selain itu ada juga dasar penghapus di
luar KUHP, yaitu:39
a) Hak mendidik orang tua atau wali terhadap anaknya atau guru terhadap
muridnya.
b) Hak jabatan atau pekerjaan.
39
Dasar pemaaf ini dalam hal semua unsur tindak pidana, termasuk sifat melawan
hukum dari suatu tindak pidana tetap ada, tetapi hal-hal khusus yang menjadikan
si pelakunya tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidananya. Yang termasuk
dalam dasar pemaaf yaitu: kekurangan atau penyakit dalam daya berpikir, daya
paksa (overmacht), bela paksa, lampau batas (noodweerexes) dan perintah jabatan.
E. Dasar Pertimbangan Hakim
Sebagaimana diketahui bahwa dalam setiap pemeriksaan melalui proses acara
pidana, keputusan hakim haruslah selalu didasarkan atas surat pelimpahan
perkara yang memuat seluruh dakwaan atas kesalahan terdakwa. Selain itu
keputusan hakim juga harus tidak boleh terlepas dari hasil pembuktian selama
pemeriksaan dan hasil sidang pengadilan. Memproses untuk menentukan
bersalah tidaknya perbuatan yang dilakukan oleh seseorang, hal ini semata-mata
dibawah kekuasaan kehakiman, artinya hanya jajaran departemen inilah yang
diberi wewenang untuk memeriksa dan mengadili setiap perkara yang datang
untuk diadili.40
Hakim dalam menjalankan tugasnya dalam menyelesaikan suatu perkara,
khususnya perkara pidana tidak jarang kita temui bahwa untuk
menyelesaikan satu perkara tersebut memerlukan waktu yang cukup panjang,
bisa sampai berminggu-minggu atau bahkan berbulan-bulan dan mungkin
bisa sampai satu tahun lamanya baru bisa terselenggara atau selesainya satu
perkara di pengadilan. Hambatan atau kesulitan yang ditemui hakim untuk
menjatuhkan putusan bersumber dari beberapa faktor penyebab, seperti
40