BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Semua manusia dilahirkan "sama" dan memiliki hak sama pula menjalankan dan menikmati hidup. Dalam kehidupan nyata yang dinamis, pemenuhan hak tersebut menyebabkan setiap orang tanpa terkecuali membutuhkan informasi dari dan tentang lingkungannya untuk melakukan aktivitasnya dengan baik.
Informasi lingkungan diartikan Passini (1984) sebagai semua informasi penting meliputi komponen deskriptif, lokasional, dan waktu, yang memungkinkan seseorang menyelesaikan tugas pencarian jalan. Namun, informasi lingkungan ini akan bermanfaat jika ia bisa dimengerti, diorganisasi, dan diingat. Untuk mencapai ketiga syarat tersebut, media penyampai informasi menjadi alat sangat penting.
Indera penglihatan adalah salah satu sumber informasi vital bagi manusia. Dapat dikatakan bahwa sebagian besar informasi yang diperoleh oleh manusia berasal dari indera penglihatannya, sedangkan selebihnya berasal dari panca indera yang lain. Dengan demikian, dapat dipahami jika seseorang mengalami gangguan atau cacat pada indera penglihatannya , maka kemampuan aktifitasnya akan menjadi sangat terbatas, karena informasi yang mereka peroleh akan jauh berkurang dibandingkan mereka yang berpenglihatan normal. Tak jarang akibat keterbatasan itu dapat mengakibatkan timbulnya berbagai kendala secara psikologis, misalnya perasaan yang lebih sensitif, perasaan inferior (rendah diri), depresi, atau perasaan hilangnya makna hidup
tunanetra, karena di dalam komunitas tersebut, dapat terjalin ikatan yang kuat, dengan saling mendukung dan dapat juga berkompetisi dengan komunitas mereka tanpa merasa lebih rendah atau suatu perasaan tidak seimbang. Mental mereka akan semakin kuat dengan tidak lagi dianggap remeh oleh orang disekelilingnya, dan dianggap memiliki kelebihan dan kemampuan untuk dapat membuktikan diri mereka.
Terkait dengan pandangan negatif terhadap para penyandang tunanetra, bahwa mereka selalu membutuhkan bantuan dan tidak dapat mandiri, memerlukan perlakuan khusus, dan perhatian yang lebih. Maka sangat penting untuk mengubah imej tersebut. Di Indonesia, kita cenderung masih memperlakukan orang buta sebagai orang yang tidak mampu, sedangkan di Negara lain, seperti Malaysia, yang memiliki suatu kawasan khusus bagi penyandang tunanetra, membuktikan bahwa para penyandang tunanetra pun dapat hidup mandiri dan melakukan apa yang mereka inginkan tanpa bantuan orang lain.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud perancangan fasilitas ini adalah mendesain sebuah pusat olahraga bagi tunanetra, dengan cara berkomunikasi antar ruang secara fisik dan psikis terhadap tuna netra. Dan lengkapnya sebagai berikut :
Merancang fasilitas olah raga dengan memperhatikan
keterkaitan antara fasilitas yang di sediakan. Merancang sirkulasi dan aksesbilitas bagi para penyandang tunanetra agar mudah mencapai ruangan yang dituju. Merancang tata ruang, struktur, muka bangunan dan
penataan tapak sesuai dengan kebutuhan dan fasilitas yang disediakan.
Merencanakan fasilitas yang mampu membantu para
Merencanakan fasilitas utama pusat olah raga bagi
penyandang tunanetra, seperti : olahraga indoor,(tenis meja, fitnes center, voli lantai, renang, goalball), sepak bola outdoor.
Merencanakan fasilitas Pendukung Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra Bandung berupa, cafetaria, mushola, ruang pengelola dan ruang servis.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka tujuan dari perancangan Fasilitas Olahraga Tunanetra ini adalah :
a. Menyediakan fasilitas olahraga yang memadai secara fisik maupun psikologis untuk penyandang tunanetra sehingga mereka dapat menikmati olahraga dan rekreasi yang setara dengan mereka yang normal.
b. Meningkatkan kualitas kesehatan kaum tunanetra dan cacat c. Menyediakan suatu tempat dimana kaum tunanetra dapat
bertemu, bersosialisasi dan berkompetisi secara positif
d. Membuka kesempatan bagi masyarakat umum yang ingin membantu mereka yang memiliki keterbatasan.
1.3. Masalah Perancangan
Di dalam proses perencanaan dan perancangan pasti terdapat masalah-masalah yang harus kita selesaikan jalan keluarnya melalui rancangan arsitektural, Masalah rancangan tersebut dapat di artikan sebagai berikut :
Aksesbilitas bagi penyandang tunanetra.
Pengunaan material khusus pada bangunan atau pun
jalur –jalur khusus untuk penyandang penyandang tunanetra.
Upaya pemahaman dan pendalaman syarat, standarisasi
Kekhasan perilaku penyandang tunanetra sehingga
memerlukan perlkuan yang khusus pula.
Pengolahan ruang luar yang dapat memfasilitasi
aksebilitas dan sirkulasi penyandang tunanetra.
1.4. Pendekatan Masalah
Proses perancangan dimulai dari pola pemikiran dan program, dari hasil studi literatur dengan mencari standar peraturan khusus maupun standar peraturan yang sifatnya umum. Beberapa pendekatan masalah, selama proses perencanaan dan perancangan
Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra Bandung , semua dihubungkan dengan proses awal pada tahap perancangan berupa;
Studi Literatur
Mencari data otentik atau informasi standarisasi yang berhubungan dengan proyek kasus yang sama, sebagai bahan pertimbangan dalam desain perancangan.
Survey Pengamatan Secara Langsung
Mencari studi banding dengan kasus proyek yang sama dengan cara pengamatan langsung baik secara aktivitas pengguna, fasilitas-fasilitas baik penunjang ataupun pendukung, pengambilan foto yang dapat menjadikan konsep dalam perencanaan desain.
Pendekatan Bangunan Secara Prilaku
Pengamatan dengan kurun waktu yang berbeda. Mengamati pola aktivitas pengguna, tentang bagaimana perilaku penyandang tunanetra melakukan olahraga.
Yaitu suatu cara untuk mendapatkan informasi yang di butuhkan dengan melakukan tanya jawab secara langsung dengan penyandang tunanetra, pihak yang mengetahui seluk beluk dari proyek ini baik secara perilaku maupun secara kearsitekan.
Pengolahan Data
Data yang telah terkumpul dari hasil survey, literatur, dan pendekatan secara prilaku di jadikan acuan dalam rencana desain. Diperlukan adanya analisa untuk menghasilkan ide atau gagasan yang akan diterapkan dalam desain. Mencari permasalahan yang kongkrit dan nyata baik dalam lingkungan sekitar site ataupun dalam perancangan desain. Memilah dan memilih hasil pengolahan data untuk di jadikan bahan pertimbangan desain.
Proses Desain
Penjabaran dari hasil secara visual atau pun grafis yang di tuangkan dalam konsep desain yaitu sketsa gambar, pra rencana, gubahan massa, sampai proses akhir.
Hasil dari pendekatan ini sebenarnya dapat terlihat pada adanya referensi dalam mengambil keputusan-keputusan yang berkaitan dengan solusi-solusi rancangan yang di gabungkan menjadi satu tujuan dari hasil kesesuaian antara kebutuhan-kebutuhan dan tuntutan yang kemudian hadir menjadi batasan dalam merancang.
1.5 Lingkup atau Batasan
Membuat sarana olahraga bagi penyandang tunanetra beserta fasilitasnya sebagai rancangan utamanya.
Luasan rancangan sekitar 1,7 Ha.
Fasilitas olah raga ruang dalam.
Fasilitas olah raga ruang luar.
Pendukung.
Ruang luar.
1.6. Kerangka Berpikir
Latar Belakang
Studi Literatur
Jenis olahraga tunanetra
Regulasi Olahraga
Standar ruang gerak
Studi kelayakan lokasi
Analisa tapak
Pengumpula Data
Analisa
Gagasan
Tema Konsep Perancangan Perancangan Tapak
1.7. Sistematika Penulisan
Dalam penyusunan laporan Studio Tugas Akhir Akhir ini, Penulis membagi pembahasan dalam beberepa bab, yaitu ;
BAB I PENDAHULUAN.
Dalam bab ini dibahas mengenai latar belakang proyek yang dipilih, maksud dan tujuan perencanaan dan perancangan yang ingin dicapai, masalah-masalah yang menyangkut kasus yang diambil, lingkup dan batasan serta penekanannya dalam proyek ini, diakhiri dengan skema pemikiran yang menjadi dasar dari pelaksanaan perencanaan dan perancangan ini.
BAB II DESKRIPSI PROYEK.
Bab ini membahas mengenai pengenalan dari proyek yang diambil, mencakup lokasi, luas tapak, pemilik, luas bangunan, tinggi bangunan, pemakai dan fasilitas-fasilitasnya, serta program-program kegiatannya dan kebutuhan ruang yang akan dipakai dalam rancangan.
BAB III ELABORASI TEMA.
Berisi mengenai pendalaman terhadap tema yang akan di ambil dalam desain Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra di Bandung.
Desain
BAB IV ANALISIS.
Disini dibahas tentang analisa proyek sebelum melakukan perencanaan dan perancangan, seperti : analisa fungsi yang meliputi analisa kegiatan dan aktifitasnya, persyaratan ruang, besaran ruang dan pengelompokkan ruang yang di gunakan, kemudian analisa terhadap tapak meliputi ; analisa lahan sekitar, analisa sirkulasi di dalam dan luar bangunan, dan analisa pengelompokkan massa bangunan.
BAB V KONSEP PERANCANGAN
Pada bab ini berisi tentang konsep dasar dalam perancangan, rencana tapak yang akan di terapkan, dan konsep bangunan yang mencakup konsep bentuk, fungsi sirkulasi, struktur konstruksi, material, utilitas dan penyelesaian ruang luar / lansekap.
BAB VI HASIL RANCANGAN.
Berisi tentang hasil rancangan yang terdiri dari peta situasi,gambar-gambar hasil rancangan beserta foto maket.
BAB II
DESKRIPSI PROYEK
2.1 Deskripsi Umum Proyek
Dalam proyek Studio Tugas Akhir ini memiliki deskripsi umum sebagai berikut :
Nama Proyek : Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra Bandung
Status Proyek : Fiktif
Lokasi Proyek : Jl. Pajajaran,
Kondisi Lahan : Relatif Datar
Luas Lahan : ± 1,5 Ha
Batasan Lahan :
- Sebelah Utara, Jl. Pajajaran
- Sebelah Barat, Jl. Mochamad Yunus
G S B : 15 m
K D B/ B C R : 50-60%
K L B/ F A R : 1,2
Gambar 2.1 Lokasi Site
Lokasi yang dipilih berada di Kecamatan Cicendo, tepatnya di Jalan Pajajaran. Dimana peruntukan lahan daerah tersebut adalah fasilitas pendidikkan dan kesehatan.
Komplek GOR Pajajaran. Selain itu, lokasi juga berada dekat dengan Panti Sosial Tunanetra Wyata Guna. Dimana panti tersebut merupakan komunitas penyandang tunanetra, sehingga fasilitas yang akan dibangun dapat mengakomodasi kegiatan olahraga kaum tunanetra.
2.2 Program Kegiatan
Program aktivitas di bagi atas beberapa kriteria sesuai dengan klasifikasi pengguna, pengunjung atau pengelola dan karyawan
Fasilitas Olahraga Tunanetra. Selain itu, program aktivitas juga dibedakan atas jenis fasilitas olahraga yang disediakan. Berikut perincian akitivitas pengunjung di mana setiap aktivitas terdapat wadah atau ruang yang menampung kegiatan tersebut, terdiri dari aktivitas.
Melakukan Olahraga (tenis meja) Tabel 2.1 Program Aktivitas Olahraga Tenis Meja
Aktivitas Kebutuhan Ruang
Datang
Menyimpan Barang Ganti Pakaian
Melakukan Olahraga (Voli Lantai) Tabel 2.2 Program Aktivitas Olahraga Voli Lantai
Angkat Berat
Tabel 2.3 Program Aktivitas Olahraga Angkat Berat
Renang
Catur Tabel 2.5 Program Aktivitas Olahraga Catur
Goalball
Tabel 2.6 Program Aktivitas Olahraga Goalball
2 Olahraga Outdoor
Aktivitas Kebutuhan Ruang
Datang
Menyimpan Barang Ganti Pakaian
Melakukan Olahraga (Sepak Bola)
3 Program Aktivitas Pengelola Tabel 2.8 Program Aktivitas Pengelola
4 Program Aktivitas Pelatih
Aktivitas Kebutuhuan Ruang
Tabel 2.9 Program Aktivitas Pelatih
5 Program Aktivitas Pegawai
Menunggu Makan
Dapur
Ruang Tunggu Kantin
Tabel 2.10 Program Aktivitas Pegawai
6 Program Aktivitas Tamu atau Pengunjung Lainnya Aktivitas Kebutuhuan Ruang Tabel 2.11 Program aktifitas tamu atau pengunjung lainya
2.3. Kebutuhan Ruang 2.3.1. Fasilitas Utama
No Nama Ruang Standart Kapasitas
1.
1 bh lap goalball ± 600 orang
4.
- Lap Tenis Meja - Tempat penonton
Tabel 2.12 Kebutuhan Ruang Fasilitas Utama
Ruang Ganti
Ruang Kontrol
Toilet
Parkir
Servis
2.4. Studi Banding Proyek Sejenis 1.British Blind Sport
Kegiatan Olahraga :
Footbal
Traditional ‘footie’ embrace as WES boys score Yes more girls!
Despite the NPower ‘tag rugby’ the girls are playing football!
Silence as the B1 boys listen to the ball
Chess
Braille Chess Blind Chess Olympiad Spain 2004
World Junior Championship GB Squad
Spain 2003 Stormin Norman’ in action
Gambar 2.3 Catur Tunanetra
Goalball
Ball of Goalball Men’s team listening for the ball
Gambar 2.4 Goalball
Swimming
On your marks, get set go
Gambar 2.5 Renang
BAB III
ELABORASI TEMA
3.1 Pengertian Tema
(datar/kosong). Titik-titik tersebut diberi nomor tetap 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 pada posisi sebagai berikut :
Gambar 3.1 Sistem Penulisan Braille
Teknik membaca naskah braille dimulai dari atas ke bawah dan kiri ke kanan (sama seperti membaca naskah biasa). Sebuah naskah braille dapat di tulis di kedua sisinya (bagian depan dan belakang). Naskah yang hanya memiliki satu sisi saja disebut single-sided, sedangkan yang memiliki kedua-duanya disebut double-sided. Penggunaan double-sided di lakukan untuk menghemat biaya kertas dan materi. Ukuran kertas yang digunakan pun berbeda-beda, diantaranya : 12 x 10" atau 30.5 x 25 cm , 11 x 11.5" , 12"15/250/15 atau 30.5 x 25 cm ataupun menggunakan standar A4 ( 8,27” x 11,69" ).
Standarisasi Braille
Standarisasi braille yang digunakan di setiap negara berbeda-beda. Ada yang menggunakan kombinasi 6 titik dan ada juga yang menggunakan 8 titik.
Ada berbagai macam alat yang dapat digunakan untuk menulis Huruf Braille diantaranya reglet, mesin tik braille dan embosser. Cara yang paling sederhana dalam menulis tulisan braille adalah dengan menggunakan reglet. Reglet terdiri dari sebuah jarum (stylus) untuk membuat titik timbul braille pada kertas dan sebuah penggaris cetak (slate) yang terdiri dari pola-pola titik Braille sebagai cetakan untuk menulis, seperti yang terlihat pada gambar dan gambar di bawah ini Menulis menggunakan reglet dilakukan dari kanan ke kiri, karena ketikapenulis titik timbul berada pada arah yang berlawanan. Sehingga jika kertasdibalik, huruf braille yang tercetak dapat dibaca dari kiri ke kanan.
3.2 Interpretasi Tema
Dari filosofi huruf braille, dapat diambil sebuah prinsip bahwa rancangan ini mampu dibaca oleh mereka yang memiliki keterbatasan visual. Dengan memanfaatkan sisa indera yang penyandang tunanetra miliki, mereka mampu mngenali dan berorientasi terhadap lingkungannya. Melalui elemen penanda yang mampu dikenali oleh mereka , rancangan ini diharapkan mampu dibaca dengan baik oleh mereka tanpa harus melihatnya. Namun demikian, ada beberapa tingkatan kemampuan visualisasi tunanetra, sehingga akan ada perbedaan perilaku pada aktivitas mereka.
3.1.1. Karakteristik Tunanetra Total a. Rasa curiga terhadap orang lain
Keterbatasan akan rangsang visual menyebabkan tunanetra kurang mampu berorientasi terhadap lingkungannya. Mereka sering mengalami sakit hati, kecewa, dan rasa tidak senang akibat peristiwa seperti tabrakan dengan orang lain, terperosok lubang,dsb. Akibatnya mereka selalu berhati-hati dalam tindakan dan menaruh curiga terhadap orang lain.
b. Mudah tersinggung
c. Ketergantungan yang berlebihan terhadap orang lain d. Blindism
Blindism adalah gerakan yang dilakukan tunanetra tanpa mereka sadari. Tindakan ini tidak sedap dipandang mata, seperti selalu menggeleng¬gelengkan kepala atau badan tanpa sebab, dll. Gerakan ini tak terkontrol oleh mereka sehingga orang lain akan pusing bila selalu melihat gerakan-gerakan tersebut.
e. Rasa rendah diri. Perasaan yang muncul saat berinteraksi dengan orang awas (berdasarkan hasil wawancara):
Merasa rendah, terisolir atau tersisih. Mereka sudah mencoba berbicara dengan orang awas, tetapi orang awas sulit diajak bicara. Merasa terisolir, jarang orang awas mau berbicara dengan tunanetra, jarang mau menyapa lebih dahulu.
Merasa mencoba beradaptasi dengan kegiatan lingkunaan, tetapi masyarakat tidak dapat menerimanya. Merasa sering diejek. mendapat belas kasihan.
f. Tangan ke depan, badan membungkuk
Bermaksud untuk melindungi tubuh dari sentuhan benda atau terantuk benda tajam
g. Suka melamun
Karena tidak dapat mengamati lingkungan, mereka cenderung melamun.
Lamunan akan menimbulkan fantasi pada suatu objek yang pernah diperhatikan dengan rabaannya.Tidak jarang dapat menghasilkan lagu atau puisi yang indah.
i. Kritis
Keterbatasan dalam penglihatannya dan kekuatan berfantasi mengakibatkan tunanetra sering bertanya-tanya tentang hal yang belum dimengerti agar mereka tidak salah konsep
j. Pemberani
Bertindak sungguh-sungguh tanpa ragu. Sering terjadi bila mereka mempunyai konsep dasar yang benar tentang gerak dan lingkungannya.
k. Perhatian terpusat (terkonsentrasi)
l. Akibat dari kebutaannya, penderita pada umumnya memiliki kepekaan yang sangat tinggi pada pendengarannya dan seringkali dijumpai mereka yang memiliki ingatan luar biasa kuat untuk mengenali dan menghafal orang, benda, lingkungan yang pernah dijumpainya. Hal ini karena indera mereka yang lain menjadi lebih terlatih
m. Karena dapat dikatakan tidak memiliki indera penglihatan, kaum ini biasanya kurang memperhatikan penampilan
n. Penderita dalam usia anak-anak, terutama yang belum mampu mandiri masih menggantungkan diri pada bantuan orang lain pada umumnya bersifat sensitif, menutup dan menginginkan ruangan personal yang pribadi.
o. Penderita yang sudah lebih dewasa dan telah mampu mandiri pada umumnya masih cukup sensitif dengan orang lain. Namun bersikap lebih terbuka. mudah berinteraksi, ramah, dan menyukai ruang luar daripada ruang dalam yang tertutup. 3.2.3. Karakteristik Tunanetra Kurang Lihat (Partially Sighted)
b. Menanggapi rangsang cahaya yang datang padanya, terutama benda yang kena sinar, disebut visually function
c. Bergerak dengan penuh percaya diri
d. Merespon warna, selalu memberi komentar pada warna benda yang dilihatnya.
e. Dapat menghindari rintangan yang besar dengan sisa penglihatannya (selokan, batu besar, tumpukan kayu, penghalang jalan, dll)
f. Memiringkan kepala untuk mencoba menyesuaikan cahaya yang ada dengan daya lihatnya.
g. Mampu mengikuti gerak benda h. Tertarik pada benda bergerak
Berjalan sering membentur atau menginjak benda kecil
i. Berjalan dengan menggeser kaki untuk mendeteksi kemungkinan ada benda kecil yang terinjak.
j. Salah langkah karena salah mendeteksi lingkungan. Mis : dinding kaca di Mal dikira jalan keluar sehingga salah arah. k. Kesulitan mengenali benda jika warnanya tidak kontras.
l. Sulit melakukan gerakan yang halus atau lembut. karena gerakan semacam itu tak tertangkap oleh matanya
m. Melihat benda secara global (tidak mendetail)
n. Koordinasi antara mata dan anggota badan lemah. (misal : sulit memasukkan bola ke dalam gawang, mengiris sesuatu) o. Kondisi penglihatannya mungkin samar-samar atau
ketajamannya sering naik turun
p. Petunjuk penting yang berguna bagi low vision akan nampak membingungkan bagi yang melihat atau orang awas
q. Sering tidak mampu mengontrol cahaya yang dibutuhkan untuk menggunakan penglihatannya dalam berbagai lingkungan.
s. Dapat melihat dengan bantuan alat khusus seperti : kacamata dan lensa kontak, teleskop kecil yang dipegang, kaca pembesar, prisma dan lens fish eye, fixed focus stand readers, dan closed circuit TV system.
Dari perilaku karakteristik tunanetra tersebut diatas dapat disimpulkan kebutuhan mereka secara arsitektural sehingga dapat diperoleh respon arsitektural yang sesuai.
Pendekatan Perancangan adalah sudut pandang seseorang dalam mencoba memecahkan masalah perancangan.
Yang dilayani adalah para tunanetra, maka arsitektur bangunan sebagai ‘budak’ tunanetra. Memenuhi kebutuhan tunanetra akan ruang, informasi dan sosialisasi yang dapat dinikmati sekalipun dalam keterbatasan visual.
Dalam Perancangan fasilitas olahraga tunanetra ini. masalah dicoba untuk diselesaikan melalui desain bangunan yang memperhatikan perilaku / karakteristik para tunanetra dengan sisa indera yang mereka miliki, sehingga didapat alternatif desain yang dapat memfasilitasi mereka.
Dari studi perilaku, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
a. Tunanetra memiliki keterbatasan VISUAL b. Kurang/ tidak mampu berorientasi secara visual
c. Berorientasi dengan bantuan indera-indera lain (pendengar, peraba, pencium, perasa)
d. Melakukan proses kognitif (menyusun suatu pola) sebagai respon dari rangsang yang diterima indera
Sirkulasi mudah dikenal dan dihafal tunanetra adalah sirkulasi yang teratur dan sederhana. Semakin sederhana dan teraturnya suatu wujud semakin mudah diterima dan dimengerti (FDK.CHING).
BAB IV
ANALISIS
4.1. Analisis Fungsional
4.1.1. Organisasi Ruang
Dari program aktivitas yang telah dibahas terdahulu, diperoleh kebutuhan ruang yang akan mewadahi aktivitas tersebut. Masin-masing dari ruang tersebut memiliki hubungan yang dinamis sehingga menghasilkan pola aktivitas yang dinamis. Ruang-ruang tersebut diatur berdasarkan intensitas hubungan masing-masing fungís yang diwadahi.
Kebutuhan ruang dan fasilitas a. Kelompok fungsi pengelola
dan pendaftaran para pengguna, terutama bagi mereka yang baru perama kali datang ke fasilitas ini. - Ruang administrasi
- Ruang staf
- Ruang kepala pengurus - Ruang rapat
- Ruang penjaga - Ruang P3K - Loby penerima - Pantry
b. Kelompok Fungsi Olahraga
Semua fasilitas yang berhubungan dengan kegiatan olahraga.
- Ruang catur - Ruang fitness - Ruang Tenis Meja - Ruang voli lantai - Ruang kolam renang - Ruang Goalball
- Area sepakbola outdoor
c. Kelompok fungsi fasilitas sosial
Ruang yang memungkinkan terjadinya interaksi social antar pengguna.
- Mushola - Kantin
- Ruang rehat
d. Kelompok fungsi penunjang
disesuaikan besarnya dengan kebutuhan masing-masing ruang yang membutuhkannya dan peralatan yang dimiliki.
4.1.2. Pemintakatan
Konsep pemintakatan diambil berdasarkan klasifikasi fungsi. Fungsi-fungsi yang ada dikelompokan atas kelompok fungsi penerima, kelompok fungsi pengelola, kelompok fungsi olahraga, kelompok fungsi sosial, kelompok fungsi pendukung, dan kelompok fungsi service.
Kelompok fungsi tersebut kemudian dikelompokkan lagi menurut tingkat kebisingan. Fungsi yang tidak
a) Peraturan Menteri PU Nomor 30/PRT/M/2006 Di dalam Peraturan Menteri PU tentang Pedoman Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Gedung dan Lingkungan diatur tentang aksesibilitas yang harus dipenuhi dalam setiap bangunan atau lingkungan umum.
Tujuan dari penyusunan pedoman teknis ini adalah untuk mewujudkan kesamaan, kesetaraan, kedudukan dan hak kewajiban serta peningkatan peran penyandang cacat dan lansia diperlukan sarana dan upaya yang memadai, terpadu/inklusif dan berkesinambungan yang pada akhirnya dapat mencapai kemandirian dan kesejahteraan penyandang cacat dan lansia. Setiap fasilitas umum harus memenuhi asas berikut ini :
Asas Fasilitas dan Aksesibilitas
1. Keselamatan, yaitu setiap bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan terbangun, harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang.
2. Kemudahan, yaitu setiap orang dapat mencapai semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
3. Kegunaan, yaitu setiap orang harus dapat mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan.
4. Kemandirian, yaitu setiap orang harus bisa mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat atau bangunan yang bersifat umum dalam suatu lingkungan dengan tanpa membutuhkan bantuan orang lain.
Stándar Teknis Aksesibilitas Tunanetra 1. Ukuran Dasar Ruang
dan ruang yang dibutuhkan untuk mewadahi pergerakan penggunanya.
Persyaratan
a. Ukuran dasar ruang diterapkan dengan mempertimbangkan fungsi bangunangedung. b. Untuk bangunan gedung yang digunakan oleh
masyarakat umum secara sekaligus, harus menggunakan ukuran dasar maksimum.
c. Ukuran dasar minimum harus menjadi acuan minimal pada bangunan gedung sederhana, bangunan gedung hunian tunggal, dan/atau pada bangunan gedung sederhana pada daerah bencana.
d. Ukuran dasar minimum dan maksimum yang digunakan dalam pedoman ini dapat ditambah atau dikurangi sepanjang asas-asas aksesibilitas dapat tercapai.
Gambar 4.1 Jangkauan tanpa tongkat
2. Jalur Pedestrian
Gambar 4.3 Prinsip Perencanaan Jalur Pedestrian
3. Rambu
Gambar 4.4 Penempatan Pohon, rambu dan street furniture
Gambar 4.5 Stándar Bangku Istirahat
5. Jalur Pemandu
Jalur yang memandu penyandang cacat untuk berjalan dengan memanfaatkan tekstur ubin pengarah dan ubin peringatan.
Persyaratan
a. Tekstur ubin pengarah bermotif garis-garis menunjukkan arah perjalanan.
b. Tekstur ubin peringatan (bulat) memberi peringatan terhadap adanya perubahan situasi di sekitarnya/warning.
c. Daerah-daerah yang harus menggunakan ubin tekstur pemandu (guiding blocks):
i. Di depan jalur lalu-lintas kendaraan;
ii. Di depan pintu masuk/keluar dari dan ke tangga atau fasilitas persilangan dengan perbedaan ketinggian lantai;
iv. Pada pedestrian yang menghubungkan antara jalan dan bangunan; dan
v. Pada pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi umum terdekat. d. Pemasangan ubin tekstur untuk jalur
pemandu pada pedestrian yang telah ada perlu memperhatikan tekstur dari ubin eksisting, sedemikian sehingga tidak
terjadi kebingungan dalam membedakan tekstur ubin pengarah dan tekstur ubin peringatan.
Gambar 4.6 Tipe Tekstur Ubin Pemandu (guiding blocks)
Gambar 4.7 Susunan Ubin Pemandu Pada Belokan
Gambar 4.9 Penempatan Ubin Pemandu Pada anak tangga
6. Halte
Gambar 4.10 Ruang Naik Turun Penumpang
7. Pintu
Gambar 4.11 Ruang bebas pintu satu daun
Gambar 4.13 Pintu dengan plat tendang
8. Tangga
Fasilitas bagi pergerakan vertikal yang dirancang dengan mempertimbangkan ukuran dan kemiringan pijakan dan tanjakan dengan lebar yang memadai.
Persyaratan
a. Harus memiliki dimensi pijakan dan tanjakan yang berukuran seragam.
b. Harus memiliki kemiringan tangga kurang dari 60°
c. Tidak terdapat tanjakan yang berlubang yang dapat membahayakan pengguna tangga. d. Harus dilengkapi dengan pegangan rambat
(handrail) minimum pada salah satu sisi tangga.
f. Pegangan rambat harus ditambah panjangnya pada bagian ujung-ujungnya (puncak dan bagian bawah) dengan 30 cm. g. Untuk tangga yang terletak di luar
bangunan, harus dirancang sehingga tidak ada air hujan yang menggenang pada lantainya.
b) Standar IBSA (International Blind Sport Association)
IBSA merupakan organisasi Internasional yang mewadahi cabang-cabang olahraga tunanetra. Organisasi tersebut mengatur regulasi dari tiap cabang olahraga yang terdaftar. Dalam kegiatannya, organisasi ini memiliki calendar event untuk masing-masing cabang olahraga yang diselenggarakan di salahsatu negara anggotanya.
Gambar 4.14 Lapangan Futsal
4.2. Análisis Kondisi Lingkungan
4.2.1. Lokasi
2 METRES
5 METER
SECOND PENALTY SPOT 8 METRES
CENTRE CIRCLE
HALF-WAY LINE
PENALTY AREA 6 METRES
PENALTY SPOT 6
Gambar 4.15 Peta Lokasi mewadahi kebutuhan aktivitas olahraga mereka, kegiatan rekreasi, dan menjadi tempat bersosialisasi bagi komunitas mereka.
4.2.2. Kondisi dan Potensi Lahan
aktivitas penyandang tunanetra untuk bersosialisasi ideal bagi komunitas tunanetra.
Disamping memiliki keuntungan dengan kontur yang relatif datar, kondisi site merupakan daerah yang relatif panas. Dengan demikian, hal itu dapat disikapi dengan pengolahan vegetasi untuk menciptakan suhu di dalam site lebih terasa sejuk.
4.2.3. Bangunan Sekitar merupakan pemukiman penduduk.
4.2.4. Prasarana
Lokasi di sekitar site yang berbatasan langsung dengan Komplek GOR Pajajaran merupakan keuntungan tersendiri. Di komplek tersebut terdapat cantor BPOC Kota Bandung dan BPOC Jawa Barat. Badan ini merupakan wadah yang menaungi cabang olahraga cacat di Indonesia. Dengan segala fasilitas yang dimiliki BPOC, diharapkan dapat terjadi hubungan fungsional yang saling melengkapi dalam aktivitas yang diwadahi oleh Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra ini.
ini merupakan salahsatu jembatan penyeberangan yang aksesibel bagi orang cacat. Hal itu dapat membantu mempermudah pencapaian pengguna tunanetra yang akan menyeberangi Jalan Pajajaran yang relatif padat dengan aman.
BAB V
5.1. Konsep Dasar
Elemen Orientasi Bagi Penyandang Tunanetra
Kurang atau tidak mampu berorientasi secara visual
Berorientasi dengan sisa inderanya (pendengaran,
perabaan, penciuman, perasa, dan daya ingat) Berorientasi membentuk pola
ORIENTASI
- diterapkan sebagai
penanda fungsi
olahraga air
- dengan berbagai
variasi, bunyi lonceng
dapat menjadi
penanda orientasi bagi tunanetra pada
dijadikan sebagai rangsang kerja otak.
relevan bila
diterapkan pada
fungsi olahraga catur yang membutuhkan kerja otak pada permainannya.
- penyandang
o Perabaan
semakin luas sebuah
ruang, semakin
kesulitan pula
tunanetra berorientasi.
peletakan furniture
dapat membantu
menyerap suara dan
dapat menjadi
elemen untuk
membantu orientasi. - penerapan Braille
sebagai informasi pada pintu masuk dianggap berbahaya, seperti perbedaan
ketinggian, cross
o Perasa
dikenali tunanetra dengan tongkatnya. - untuk keamanan,
ram dipasang pada perbedaan ketinggian
dan pertemuan
sirkulasi kendaraan dan pejalan kaki. - angin alami, dapat
menjadi penanda
ketika tunanetra
berada di luar ruangan
- angin buatan,
hembusan angina dari ac pada pintu
bagi pengguna tunanetra. Kemudian elemen-elemen tersebut dikenali melalui sisa indera pengguna tunanetra (informasi sensorik), diolah di dalam otaknya, dan disimpan pada memorinya (informasi memori) untuk digunakan pada aktivitas yang berulang-ulang.
Gambar 5.1 Skema Informasi
5.2. Konsep Perancangan Tapak 5.2.1. Pemintakatan
Konsep pemintakatan diambil berdasarkan klasifikasi fungsi. Fungsi-fungsi yang ada dikelompokan atas kelompok fungsi penerima, kelompok fungsi pengelola, kelompok fungsi olahraga, kelompok fungsi sosial, kelompok fungsi pendukung, dan kelompok fungsi service.
Kelompok fungsi tersebut kemudian dikelompokkan lagi menurut tingkat kebisingan. Fungsi yang tidak memerlukan respon bunyi diletakkan pada area dengan tingkat kebisingan relatif tinggi. Dan sebaliknya, untuk fungsi yang memerlukan respon suara pada aktivitasnya diletakkan di area dengan tingkat kebisingan rendah.
INFORM ASI SENSORI K
INFORMASI MEMORI ORGANISAS
Gambar 5.2 Zoning
Keterangan :
1: tingkat kebisingan rendah 2: tingkat kebisingan sedang 3: tingkat kebisingan tinggi
I : fungsi dengan respon bunyi rendah II : fungsi dengan respon bunyi tinggi
5.2.2. Tata Letak
Konsep perletakan massa bangunan sejalan dengan konsep pemintakatan di atas. Konfigurasi bangunan mengambil salahsatu variasi dari huruf braille. Pada perancangannya dikombinasikan antara ruang luar dan bangunan. Kelompok fungsi penerima dan pengelola diletakkan di bagian depan site, kemudian terhubung dengan fungsi olahraga dengan fasilitas pendukungnya. Di antara fungsi tersebut dilletakkan area sosial sebagai ruang pengikat. Ruang servis seperti genset diletakkan di belakang site, sehingga ketika mesin bekerja suaranya tidak menimbulkan efek bising di dalam site.
Sejalan dengan pola teratur dan sederhana, bentuk geometris merupakan bentuk yang paling beraturan. Dari berbagai macam bentuk geometris tersebut (lingkaran, segi banyak beraturan, segitiga, segiempat), dipilih bentuk segiempat variasi. Karena bagi tunanetra akan lebih mudah bergerak dalam tatanan segiempat yang pergerakannya tegak lurus (bersudut 90˚). sedangkan dimensi yang bervariasi untuk menyesuaikan dengan program ruang dan modul lapangan.
5.2.4. Sirkulasi
Sirkulasi di dalam tapak dibedakan menjadi 2, yaitu sirkulasi pejalan kaki dan sirkulasi kendaraan. Dengan dipisahkannya sirkulasi kendaraan dan pejalan kaki, akan memberikan rasa aman bagi menjemput kembali dan keluar.
b. Kendaraan pengelola ; masuk melalui main
b. Dari halte di bagian main entrance, pengunjung dapat langsung mengakses bangunan melalui pedestrian ways yang menggunakan pola lantai khusus menggunakan tactile paving. Jalur pedestrian ini juga didesain sesuai dengan tunanetra yang lebih nyaman dengan jalur lurus, dan sudut pergerakan 90˚.
5.2.5. Parkir
Area parkir dibagi ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah area parkir khusus pengelola yang diletakkan bersebelahan dengan ruang pengelola. Hal ini dimaksudkan agar memudahkan dalam pencapaiannya. Kelompok parkir kedua adalah parkir pengunjung. Karena membutuhkan space yang relatif besar, area parkir pengunjung diletakkan di bagian depan site yang berbatasan dengan jalan sehingga dapat memanfaatkan area bising yang tidak cocok untuk fungsi bangunan.
5.2.6. Tata Hijau
Penataan vegetasi pembentuk landscape dirancang dengan beberapa pertimbangan antara lain :
a. Pembatas site dan pengarah pandangan ke site Pda kelompok ini digunakan pohon palem. Dengan profil pohon palem yang tidak rindang, sehingga tidak menghalangi pemandangan pemakai jalan ke site, namun sebaliknya dapat mengarahkan pandangan pengguna jalan ke site.
b. Sebagai Peneduh
c. Sebagai elemen pembentuk taman
5.3. Konsep Perancangan Bangunan 5.3.1. Bentuk
Sejalan dengan bentukan segiempat yang diambil dari bentuk dasar geometris, maka dari wujud dasar tersebut dapat digeser menjasi ruang yang memiliki bentuk tegas, teratur dan mudah dikenal. Bentuk ini biasa disebut Platonic Solid.
Platonic Solid dari segiempat (bujursangkar) adalah kubus yang merupakan bentuk yang mudah dikenal. Dalam variasinya, bentukan dapat berupa balok yang mengalami transformasi sehingga menghasilkan bentuk yang variatif.
Selain itu, bentuk beraturan adalah bentuk yang hubungan antar bagiannya tersusun dengan konsisten. Umumnya bersifat stabil dan simetris terhadap satu sumbu / lebih. Dalam desain bangunan, sumbu yang diambil adalah garis batas site dan garis yang tegak lurus dengan batas tersebut.
Kemudian setelah ditentukan sumbunya,dibuat pola grid sejajar kedua sumbu. Selanjutnya bentuk-bentuk kubus/balok diletakkan secara stabil pada kedua sumbu yang saling tegak lurus.
harmonisasi tanpa mengkaburkan identitas bentuk asal dan konsep keteraturan.
5.3.2. Fungsi
Perancangan ruang dalam bangunan diperoleh dari studi perilaku tunanetra mulai dari memasuki ruangan sampai dengan cara tunanetra dalam mengakses ruangan tersebut.
Perancangan ruang lebih mengarah ke detil bangunan seperti perancangan pola lantai, ramp, penataan ruang, perabot, antara lain :
a. Semua ruang berbentuk segiempat murni sehingga memungkinkan pergerakan yang linier dan bersudut 90˚.
b. Tata letak perabot pada setiap ruang disesuaikan dengan sirkulasi lincar, sehingga perabor ada di kiri kanan jalur yang dilewati orang. Perabot ditata di bagian tepian agar tidak tertabrak oleh tunanetra. Dengan penataan perabot yang konstan di setiap ruang pada bangunan, tunanetra dapat mengenali jalur yang aman untuk dilewati.
c. Pintu masuk sesuai dengan standar, dengan kusen dan strip kuning setinggi pandangan mata sebagai penanda bagi tunanetra partial akan adanya pintu.
d. Pada sepanjang koridor yang dilewati tunanetra dibuat jalur tunanetra yang bebas dari bahaya (benda/perabot yang mungkin tertabrak). Lebar jalur ini 1,2 meter. Pada jalur ini terdapat Guidance Path Surface. Tactile Paving ini menunjukan arah yang harus ditempuh tunanetra karena berupa tonjolan beralur.
tunanetra akan adanya belokan atau persimpangan.
f. Pada bagian depan ramp diletakkan corduroy hazard warning surface yang berwarna merah. Tactile paving ini berfungsi menunjukan adanya bahaya di depan mereka yang berarti terdapat perbedaan ketinggian lantai atau adanya transportasi vertikal.
g. Pada jalur masuk pertama menuju bangunan, diletakkan beberapa peta khusus tunanetra berupa denah timbul yang menggambatkan tata letak bangunan. Peta ini merupakan sumber dibuat kolam air pada fungsi kolam renang. hal ini selaras dengan olahraga renang yang berhubungan dengan air.
5.3.3. Sirkulasi
Gambar 5.3 Ubin Pemandu dan Peringatan
5.3.4. Struktur dan konstruksi
Sistem struktur bangunan menggunakan sistem rangka. Untuk fungsi olahraga, konstruksi atap menggunakan space trusd dengan metal seed sebagai penutupnya. Penggunaan space trusd pada fungsi olahraga didasarkan pada kebutuhan ruang yang cukup luas yang bebas dari kolom.
5.3.5. Utilitas
a. Sistem air bersih
Sistem yang dipakai adalah system upfeed. Skema sistem air bersih adalah sebagai berikut :
b. Sistem air kotor
Sistem pembuangan air kotor dan kotoran :
meteran reservoir
bawah pompa reservoiratas
pipa utama toilet/pantry
BAB VI
HASIL RANCANGAN
kran air
air bekas STP
urinoir
kakus
air kotor STP
Kesimpulan dari proses perancangan Fasilitas Olahraga Penyandang Tunanetra Bandung ini diaplikasikan dalam bentuk gambar rancangan berikut ini :
Peta Situasi
Gambar 6.1 Perspektif Eksterior
Gambar 6.2 Perspektif Interior
Gambar-gambar Perancangan
Terlampir.
DAFTAR PUSTAKA
Hosni,I.(1996).Buku ajar orientasi dalam mobilitas. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
IBSA. www.ibsa.es/eng/, (2009)
Poerwadarminta. (1990). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta. Balai Pustaka.