FRAMEWORK
LIBRIANNA ARSHANTI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Masalah dan Kebijakan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari : Penerapan Pendekatan
Advocacy Coalition Framework adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang telah diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Librianna Arshanti
LIBRIANNA ARSHANTI. Masalah dan Kebijakan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari : Penerapan Pendekatan Advocacy Coalition Framework. Dibimbing oleh HARIADI KARTODIHARDJO dan AZIS KHAN.
Setiap terwujudnya regulasi hampir selalu melibatkan berbagai pemikiran dan aktor-aktor pendukung beserta kepentingan yang ada di dalamnya. Kepentingan aktor beserta latarbelakangnya seringkali menimbulkan perubahan keyakinan dan tujuan dari regulasi yang sudah berjalan. Demikian pula halnya dengan regulasi mengenai kebijakan sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) ternadap Hutan Alam. Pemerintah mewajibkan kepada pemegang Ijin IUPHHK Hutan Alam untuk melakukan sertifikasi PHPL dengan tujuan terwujudnya pengelolaan hutan yang lestari.
Penelitian yang dilakukan mengenai sertifikasi PHPL ini bertujuan untuk mendapatkan rekomendasi atas arah pelaksanaan kebijakan dalam menjawab permasalahan pada pengelolaan hutan alam di Indonesia. Kerangka Koalisi Advocacy (Advocacy Coalition Framework, ACF) adalah kerangka kerja yang dikembangkan untuk memahami dan menjelaskan perubahan keyakinan dan kebijakan saat timbul ketidaksepakatan atas tujuan regulasi dan digunakan untuk menganalisa perubahan yang terjadi secara dinamis terhadap faktor-faktor sebagai kondisi yang dapat merubah kebijakan.
Pelaksanaan sertifikasi PHPL yang diwajibkan oleh pemerintah ini kemudian menimbulkan pertanyaan orientasi manakah yang lebih dominan antara kebijakan pemerintah mengenai sertifikasi PHPL ini bertujuan sekedar memerlihatkan kepatuhan akan aturan (compliance) tentang kelestarian hutan atau benar-benar menguatkan pemenuhan pencapaian kinerja pengelolaan hutan lestari (conformity). Atas dasar pertanyaan tersebut maka tujuan dari penelitian ini adalah (1) Menentukan koalisi dalam arah kebijakan sertifikasi PHPL yang terjadi menggunakan kerangka ACF dimana analisa dilakukan dengan mempelajari sejarah kebijakan sertifikasi, identifikasi peran aktor dan koalisinya dan (2) Merumuskan rekomendasi atas arah kebijakan sertifikasi pengelolaan hutan lestari pada hutan alam.
Riset bersifat fenomenologi dan dilakukan untuk menelaah proses kebijakan terkait sertifikasi PHPL di Indonesia. Telaah kebijakan difokuskan kepada produk kebijakan terkait sertifikasi PHPL untuk melihat alur dan kerangka pikir. Hal ini ditelaah dengan menggunakan analisa diskursus. Keseluruhan langkah dilakukan untuk memastikan kerangka koalisi yang terjadi yang dalam hal ini adalah dugaan aktor dan kerangka pikirnya, serta bentuk dan arah koalisi yang terjadi berdasarkan parameter tetap dan kejadian eksternal sebagaimana kerangka baku ACF.
kedua adalah pihak atau aktor yang menggunakan sertifikasi dengan tujuan untuk memaksimalkan nilai sumberdaya. Hasil telaah pada kebijakan sertifikasi PHPL menunjukan bahwa penilaian pada sertifikasi mandatory cenderung pada pemenuhan terhadap kepatuhan peraturan pemerintah yang berlaku. Sementara faktanya pasar kayu internasional lebih memilih untuk menerima sertifikasi yang penilaiannya berdasarkan pemenuhan kesesuaian pada standar dan kriteria pengelolaan hutan lestari. Hal tersebut membuat sertifikasi PHPL yang seharusnya merupakan penilaian atas pemenuhan terhadap standar pengelolaan hutan yang lestari menjadi tidak tercapai.
Kata kunci : Advocacy Coalition Framework, Kepatuhan, Kesesuaian,
LIBRIANNA ARSHANTI. Problems and Policies of Sustainable Natural Forest Management Certification: an Advocacy Coalition Framework Implementation Approach. Supervised by HARIADI KARTODIHARDJO and AZIS KHAN.
Each regulation is almost involves with various thoughts of supporting actors and their interests within it. Interests of actor sand their own background often create changes in beliefs and objectives of the existing regulation. Same things happen with the regulations on certification of Sustainable Forest Management (SFM) on theNatural Forest. The government requires that all Permit holder of IUPHHK of Natural Forest to assess SFM certification with the aim of to realize the sustainable forest management.
Research aboutthe SFM certification is intended to get recommendation toward policy implementation in answering the problems in managing natural forests in Indonesia. Advocacy Coalition Framework (ACF) was developed to understand and explained changes in confidence and when there are disagreements over the extent policy regulatory purposes. ACF is also used to analyze the dynamic changes that occur to the factors that may change the policy.
The implementation of SFM certification mandated by the government raises questions in which orientation is more dominant among the SFM certification goals. Whether to comply with government regulations related to forest management or conformity the achievement of sustainable forest management performance. Based on these questions, the objective of this research is to determine the coalition of policy on SFM certification process using ACF by study the history of policies that related to certification, beliefs of the actors and the coalition and to formulate recommendation on the policy direction of SFM certification on natural forests.
This is a phenomenological research and was to review policy process related to the SFM certification in Indonesia. Policy review is to understand the policy conceptual framework focused on the SFM certification. This research uses discourse analysis. All stages of the research is to make sure the existence of coalition, which in this case is a coalition of actors, conceptual framework, and the direction coalition that is happened based on fixed parameters and external events as indicated in the ACF.
markets choose to accept a certification of conformity assessment based on the fulfillment of standards and criteria for sustainable forest management. Conditions as described above shows that there are no achievement of SFM certification as an assessment to compliance with sustainable forest management standards
Kata kunci : Advocacy Coalition Framework, Compliance, Conformity,
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
Pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan
FRAMEWORK
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
Puji serta syukur dipanjatkan kepada Tuhan YME atas karunianya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Penelitian yang dilaksanakan sejak Agustus 2014 mendalami tema kebijakan dengan judul Masalah dan Kebijakan Sertifikasi Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari : Penerapan Pendekatan
Advocacy Coalition Framework.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo, MS. Dan Bapak Dr. Ir. Azis Khan, MSc. selaku pembimbing. Penulis juga menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Lembaga Penilai Independent, FLEGT, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan seluruh Penggiat Sertifikasi Hutan atas bantuan dan dukungannya dalam pengumpulan data. Terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua dan keluarga kecil penulis untuk doa dan dukungannya, serta seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016
DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 2
Tujuan penelitian 2
Manfaat penelitian 2
2 METODE 3
Kerangka Pendekatan 3
Pengumpulan Data 5
Lokasi dan Waktu Penelitian 7
Analisis Data 7
3 KEBIJAKAN SERTIFIKASI PHPL 8
Dinamika Peraturan sertifikasi PHPL Berdasarkan Periode Waktu` 8
Standar Kriteria dan Indikator 15
Perkembangan Hasil Sertifikasi PHPL pada IUPHHK Hutan Alam 25
4 KOALISI DALAM PROSES KEBIJAKAN SERTIFIKASI PHPL 26
Analisa Parameter ACF pada kebijakan Sertifikasi PHPL 26
Analisa Aktor Pembentuk Koalisi 27
Hasil Koalisi 29
5 SIMPULAN DAN SARAN 31
Simpulan 31
Saran 31
2. Hasil penilaian sertifikasi PHPL dan ketentuan perbaikan kinerja 14 3. Kriteria dan Indikator pada kepmenhut nomor 4795/Kpts-II/2002 16 4. Kriteria dan indikator penilaian sertifikasi PHPL sesuai Peraturan
Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No P.5/VI-BPPHH/2014 19
5. Dinamika parameter ACF pada kebijakan sertifikasi PHPL 26
6. Kecenderungan posisi koalisi aktor 27
7. Dinamika para pihak dalam koalisi 29
DAFTAR GAMBAR
1. Diagram alir proses kebijakan dengan pendekatan ACF 4
DAFTAR LAMPIRAN
1. Rekapitulasi perubahan pada peraturan sertifikasi PHPL tahun 2000 s/d
tahun 2015 35
2. Pertimbangan pemberlakukan aturan mengenai sertifikasi PHPL periode
tahun 2002 – 2009 61
3. Pengertian pengelolaan hutan produksi lestari pada aturan terkait sertifikasi
PHPL periode tahun 2000 – 2002 62
4. Peran para pihak yang berkepentingan dalam sertifikasi PHPL 63
5. Pertimbangan atas pelaksanaan sertifikasi PHPL pada periode tahun
2009 – 2015 65
6. Ketentuan kewajiban sertifikasi PHPL periode tahun 2009 – 2015 68
7. Keterlibatan JPIK dalam proses penilaian Sertifikasi PHPL 71
Setiap terwujudnya regulasi hampir selalu melibatkan berbagai permikiran dan aktor-aktor pendukungnya beserta kepentingan yang ada di dalamnya. Kepentingan dan latar belakangnya seringkali menimbulkan perubahan keyakinan dan ketidaksepakatan tujuan dari regulasi yang sudah berjalan. Kerangka Koalisi Advocacy (Advocacy Coalition Framework, ACF) adalah kerangka kerja yang dikembangkan untuk memahami dan menjelaskanperubahan keyakinan dan kebijakan saat timbul ketidaksepakatan atas tujuan regulasi yang melibatkanperan dari berbagai aktor (sabatier dan weible 2015). Penerapan kerangka pikir ACF dalam berbagai kebijakan digunakan untuk menganalisa perubahan yang terjadi secara dinamis terhadap faktor-faktor sebagai kondisi yang dapat merubah kebijakan (Sabatier 1998).
Elliott dan Schlaepfer (2001) menjelaskan bahwa dalam penelitian proses kebijakan melalui pendekatan ACF ada empat premis yaitu : (1) Pemahaman atas terjadinya perubahan politik dan arah kebijakan diperlukan perspektif dalam waktu lebih dari 10 tahun, (2) Optimalisasi unit analisis proses kebijakan lebih
kepada organisasi yang membentuk “subsistem kebijakan” bukan pada institusi pemerintahan secara individual, (3) Secara normatif dalam sebuah subsistem kebijakan akan melibatkan peran aktor dari berbagai level tingkat pemerintahan, swasta, dan kelompok masyarakat, dan (4) mengutamakan sistem kepercayaan sehingan koalisi advokasi terbentuk dari kumpulan aktor penyusun kebijakan dengan dasar saling percaya.
ACF tersebut diterapkan pada kebijakan pelabelan sertifikasi atas sebuah produk berbahan baku kayu yang berasal dari hutan menjadi salah satu syarat dalam perdagangan kayu internasional. Keberadaan label sertifikasi pada perdagangan produk kayu merupakan pemberian informasi pada konsumen bahwa produk tersebut berasal dari hutan yang memenuhi standar penilaian lingkungan dan sosial (Rametsteiner dan Simula 2002). Tujuan utama sertifikasi hutan adalah untuk meningkatkan kualitas pengelolaan hutan sehingga produk hasil hutan dapat diidentifikasi pasar sebagai produk yang dihasilkan dari hutan yang memperhatikan ekologi, kelangsungan hasil, dan keuntungan sosial yang lebih baik dari pengelolaan hutan secara konvensional (Gullison 2003).
Untuk memenuhi sertifikasi tersebut, tahun 1994 Forest Stewardship Council (FSC) menyusun sebuah skema sertifikasi yang menghasilkan standar prinsip dan kriteria atas Well Managed Forest. Atas dasar karakteristik Indonesia yang spesifik dalam hal sosial budaya dan kondisi lingkungan maka pada tahun 2002 Lembaga Ekolabel Indonesia (LEI) menyusun skema sertifikasi dengan standar yang lebih sesuai. Jelas dalam hal ini sertifikasi hutan merupakan sebuah syarat kesesuaian (Conformity) atas standar kelestarian hutan.
produksi merupakan label kepatuhan (Compliance) pengelola hutan di Indonesia terhadap regulasi Pemerintah. Kepatuhan yang dimaksud adalah untuk mengikuti suatu standar atau hukum yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang pada bidang kehutanan. Dengan hal tersebut maka pasar internasional akan melihat bahwa hutan alam produksi di Indonesia dikelola berdasarkan tata kelola kebijakan yang baik pada sektor kehutanan.
Perumusan Masalah
Durst et al (2006) dan Floyd (2002) dalam Watts et al (2012) menyatakan bahwa sejak diterimanya sistem sertifikasi hutan maka saat ini ada sekitar 10 persen dari luas hutan dunia yang telah di sertifikasi merupakan pengelolaan hutan yang tumbuh semakin kuat dan mendapatkan pengakuan serta dukungan dari kelompok penggiat lingkungan, organisasi pemerintah, LSM, dan Industri terkait. Sertifikasi hutan sebagaimana pernyataan Gullison (2003) dalam penelitiannya bahwa tujuan utama sertifikasi hutan adalah untuk meningkatkan kualitas pengelolaan hutan sehingga produk hasil hutan dapat diidentifikasi pasar sebagai produk yang dihasilkan dari hutan yang memperhatikan ekologi, kelangsungan hasil, dan keuntungan sosial yang lebih baik dari pengelolaan hutan secara konvensional.
Kepastian atas tata ruang, kawasan dan konflik kepentingan terkait otonomi daerah antara pusat dan daerah merupakan permasalahan yang dirasakan oleh Unit Manajemen IUPHHK-Hutan Alam. Hal tersebut mempengaruhi kesiapan Unit Manajemen dalam memenuhi kewajiban sertifikasi PHPL. Penilaian yang merupakan proses mandatory dan wajib dilakukan sesuai Peraturan yang berlaku namun menggunakan biaya dari Unit Manajemen Pengelola Hutan Alam Produksi memicu konflik kepentingan dalam prosesnya dan mempengaruhi kinerja pelaksanaan sertifikasi.
Pertanyaan yang kemudian timbul atas kewajiban pelaksanaan sertifikasi PHPL adalah(1) Apakah kebijakan pemerintah mengenai sertifikasi PHPL ini bertujuan sekedar memerlihatkan kepatuhan akan aturan (compliance) tentang kelestarian hutan atau benar-benar menguatkan pemenuhan pencapaian kinerja pengelolaan hutan lestari (conformity). Dari dari dua kondisi ini (2) orentasi mana yang paling dominan dan (para) pihak mana yang mengusung orientasi dimaksud.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan pada perumusan masalah dengan melakukan analisa diskursus pada teks peraturan yang mendasari sertifikasi PHPL. Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Menentukan koalisi dalam arah kebijakan sertifikasi PHPL yang terjadi menggunakan kerangka ACF. Analisa dilakukan dengan mempelajari sejarah kebijakan sertifikasi, identifikasi peran aktor dan koalisinya.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini dapat dijadikan acuan bagi perbaikan atas kebijakan sistem sertifikasi PHPL mandatory. Manfaat lainnya adalah bagi Unit Manajemen pemegang IUPHHK Hutan Alam dapat menjadikan sertifikasi kinerja pengelolaan hutan alam yang lestari untuk mengenali permasalahan yang sebenarnya dihadapi dan mampu memecahkannya untuk kelestarian hutan alam produksi Indonesia.
2 METODE
Kerangka Pendekatan
Dalam merancang penelitian perlu dipertimbangkan 3 (tiga) komponen penting yaitu asumsi-asumsi filosofis, strategi penelitian terkait asumsi tersebut, dan metode atau prosedur spesifik yang dapat diterjemahkan dalam penelitian dimaksud (Creswell 2009). Penelitian ini merupakan riset kualitatif dengan pendekatan fenomenologi dengan memanfaatkan kerangka koalisi advokasi (ACF). Riset dilakukan untuk menelaah proses kebijakan terkait sertifikasi PHPL di Indonesia. Telaah kebijakan difokuskan kepada produk kebijakan terkait sertifikasi PHPL untuk melihat alur dan kerangka pikir. Hal ini ditelaah dengan menggunakan analisa diskursus. Keseluruhan langkah dilakukan untuk memastikan kerangka koalisi yang terjadi yang dalam hal ini adalah dugaan aktor dan kerangka pikirnya, serta bentuk dan arah koalisi yang terjadi berdasarkan parameter tetap dan kejadian eksternal sebagaimana kerangka baku ACF.
Pendekatan telaah kebijakan dengan menggunakan ACF pada dasarnya akan mengacu pada aktor, jaringan, dan situasi politik yang memberikan pengaruh pada kebijakan tersebut. Secara umum kebijakan terjadi dalam subsistem kebijakan yaitu wilayah kebijakan yang meliputi semua peserta kebijakan dan aktor yang terlibat dalam proses penyusunan kebijakan. Dalam subsistem kebijakan para aktor peserta kebijakan mengkoordinasikan perilaku dengan sekutu didalam koalisi advokasi. Sesuai dengan kondisi dari interaksi dan kesamaan perilaku dari aktor peserta kebijakan maka subsistem kebijakan merupakan penetapan dari pengaruh dan mempengaruhi parameter stabil (tetap) dan parameter tidak stabil (eksternal) (Sabatier dan weible 2015).
Gambar 1 Diagram alir proses kebijakan dengan pendekatan ACF (Sabatier 1998)
Regulasi pada akhirnya adalah hasil kebijakan dari proses penyusunan yang melibatkan subsistem dan para aktor yang terlibat dan berkoalisi didalamnya. Koalisi sendiri didefinisikan sebagai persekutuan, gabungan atau aliansi beberapa unsur, di mana dalam kerjasamanya, masing-masing memiliki kepentingan sendiri-sendiri. Aliansi seperti ini mungkin bersifat sementara atau berasas manfaat. Anggota dalam sebuah koalisi akan sepaham untuk tidak berkompetisi, bekerja bersama, juga sepakat untuk saling berbagi sumberdaya dan informasi. Advokasi koalisi dalam kebijakan adalah koalisi penggunaan informasi yang relevan dengan satu atau lebih argumen kebijakan untuk mempengaruhi agenda kebijakan yang dikelurakan oleh pemerintah (Dunn 2003; Parsons 2006).
Proses kebijakan dengan menggunakan pendekatan ACF di asumsikan bahwa para aktor dalam proses kebijakan dapat terkumpul dalam sebuah advokasi koalisi yang beranggotakan lebih dari dua orang. Aktor yang terkumpul dalam advokasi koalisi ini merupakan perorangan atau wakil lembaga yang bermacam-macam, berbagai level pemerintahan, dan bahkan bisa saja dari bidang yang mungkin tidak terkait dengan koalisi dimaksud. Kondisi ini tidak akan berlangsung lama karena pada akhirnya keseluruhan aktor yang memiliki latar belakang, tujuan, dan wewenang yang berbeda akan meninggalkan pemikiran sebelumnya dan melebur dalam tujuan koalisi tersebut (sabatier 1998).
Parameter stabil (tetap)
1. Atribut dasar permasalahan 2. Pendistribusian
sumberdaya alam 3. Nilai dasar dan struktur
sosial budaya
. Struktur dasar
konstitusional
Parameter eksternal (Tidak Stabil)
1. Perubahan kondisi sosial ekonomi
2. Perubahan pada opini publik
3. Perubahan pada sistem koalisi pemerintahan 4. Keputusan kebijakan dan
dampaknya dari subsistem
• Pilihan Regulasi yang relevan • Pilihan pasal-pasal yg relevan
untuk setiap regulasi terrpilih
Keragaan dan Dampak kebijakan Sertifikasi
Pendekatan ACF akan memberikan penjelasan bahwa dalam sebuah proses kebijakan pengaruh dari parameter tetap dan parameter eksternal kemudian dijadikan sebagai pembatas dari sumberdaya dan aktor di dalamnya. Dalam memberikan argumen maka kelompok advokasi koalisi kebijakan menggunakan instrument penuntun untuk mengadopsi satu atau beberapa strategi dalam proses kebijakan.
Hasil akhir dari proses kebijakan adalah program pemerintah yang kemudian menghasilkan kebijakan pada level pelaksanaan di lapangan. Pelaksaan dari hasil kebijakan dapat saja menghasilkan efek dan dampak yang bervariasi pada target yang menjadi sasaran dalam pelaksanaan kebijakan.
ACF dalam mempelajari proses kebijakan konsisten pada dasar telaah aktor dalam jaringan kerja kebijakan.
Pengumpulan Data
Data penelitian ada 2 (dua) macam yaitu data pokok dan data sekunder. Data pokok merupakan produk aturan dan kebijakan dan hasil wawancara secara mendalam kepada masing-masing Stakeholder. Data sekunder merupakan data penunjang untuk memperkuat hasil analisa proses kebijakan yang dilakukan. Dalam hal ini yang menjadi data sekunder adalah laporan hasil penilaian dari Lembaga Penilai (LP) PHPL.
a. Pengumpulan dokumen
Terkait dengan penelitian pengumpulan dokumen dilakukan pada aturan kebijakan yang berkenaan dengan sistem sertifikasi hutan alam. Sesuai dengan premis ACF, maka perubahan aturan kebijakan sertifikasi yang ditelaah adalah perubahan aturan yang terjadi sejak tahun 2000 sampai dengan tahun 2014, sebagaimana di tampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1 Perubahan peraturan mengenai PHPL
Tahun Peraturan no. Tentang
2000 Kepmenhut no. 09.1/kpts-II/2000
Kriteria dan Standar Pengelolaan Hutan Produksi Secara Lestari
2002 Kepmenhut no. 4795/Kpts-II/2002
Kriteria dan indikator pengelolaan hutan alam produksi lestari pada unit pengelolaan (beserta lampiran)
Kepmenhut no. 4796 /Kpts-II/2002
Tata cara penilaian kinerja pengelolaan hutan alam produksi lestari pada unit pengelolaan
2003 Kepmenhut
Nomor : 208/Kpts-II/2003
Tata Cara Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam Di Unit Manajemen Dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari 2009 Permenhut no.
P.38/menhut-II/2009
Tabel 1 (lanjutan)
Tahun Peraturan no. Tentang
2010 PERDIRJEN Bina Produksi Kehutanan No.
P.02/VI-BPPHH/2010
Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
2011 Permenhut no. P. 68/Menhut-II/2011
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor
P.38/Menhut-Ii/2009 Tentang Standar Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak
2012 Permenhut no. P.45/Menhut-II/2012
Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 Tentang Standar Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak PERDIRJEN Bina Produksi
Kehutanan Nomor : P.8/VI-BPPHH/2012
Standar Dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL)
Dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) 2013 Permenhut no.
P.42/Menhut-II/2013
Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-II/2009 Tentang Standar Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak 2014 Permenhut no.
P.43/Menhut-II/2014
Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak
PermenLHK no. P.95/Menhut-II/2014
Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.43/Menhut-II/2014 Tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak
Perdirjen BUK No. P.5/VI-BPPPHH/2014
Standar Dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL)
Dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK) Perdirjen BUK no.
P.14/VI-BPPHH/2014
Standar Dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja
Tabel 1 (lanjutan)
Tahun Peraturan no. Tentang
2015 Perdirjen BUK no. P.1/VI-BPPHH/2015
Perubahan Atas Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan Nomor P.14/VI-BPPHH/2014 Tentang Standar Dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) Dan Verifikasi Legalitas Kayu (VLK)
b. Wawancara
Responden dalam penelitian ini ditetapkan menggunanakan tehnik penarikan sample secara snowball. Prosedur penarikan responden dengan menggunakan teknik snowball adalah strategi yang digunakan untuk mencari dan merekrut kelompok informan yang tidak mudah di akses melalui pengambilan informan lain. Dalam penentuan informan perlu diperhatikan dengan kesulitan untuk memperoleh informan dengan karakter tertentu maka perlu informasi dari informan yang memahami masalah penelitian dan mampu memberikan informasi akurat untuk dapat merujuk pada informan lain sehingga mata rantai rujukabn sampai pada bentuksnowballyang memadai (Bungin 2007).
Prosedur snowball yang digunakan adalah Exponential Discriminatif Snowball Modle. Model ini dikembangkan di lapangan dengan tidak menggunakan semua informan yang dirujuk. Pemilihan informan berikutnya dilakukan secara selektif dengan pertimbangan peneliti atas kedalaman informasi dan keterkaitannya dengan masalah penelitian.
Dari responden yang terjaring kemudian dilakukan wawancara secara mendalam (Indepth Interview) sebagai data hasil wawancara. Tehnik wawancara secara mendalam ini merupakan tehnik pengambilan informasi dari informan yang dilakukan berulang melalui proses intersubjektif antara peneliti dengan informan yang sama.Proses wawancara dilakukan dalam jangka waktu kebersamaan antara peneliti dan informan yang lebih lama. Data hasil wawancara ini akan di gunakan sebagai bagian dari analisa mengenai kebijakan sertifikasi PHPL.
Lokasi dan waktu penelitian
Penelitian dilaksanakan dengan lokasi pengambilan data dan wawancara dengan informan meliputi Bogor dan Jakarta. Waktu pelaksanaannya adalah selama 2 (dua) bulan terhitung bulan November sampai dengan Desember 2015.
Analisis Data
kompleksnya permasalahan dan dalam rentang waktu panjang menunjukan bahwa secara sitematis teori organisasi masih belum dapat diterapkan.
Analisis data penelitian ini dilakukan menggunakan analisis diskursus pada teks kebijakan regulasi Sertifikasi PHPL pada Hutan Alam. Fungsi Diskursus adalah untuk membuat sebuah masalah yang kompleks menjadi lebih sederhana, memberikan gambaran atas alternatif yang tersedia, memberi pengaruh atas keputusan yang di pilih dan pengaruhnya kemasa yang akan datang (Sutton 1999).
Dalam analisa diskursus, fokus analisis proses kebijakan yang berkaitan dengan telaah dokumen maupun hasil wawancara di orientasikan pada pemaknaan sesuai atribut yang di telaah (Khan et al 2010). Orientasi pemaknaan dalam analisa kebijakan sertifikasi PHPL pada hutan alam meliputi pemaknaan batas, tujuan, dan peran para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan.Analisa diskursus pada teks kebijakan sertifikasi PHPL Hutan Alam digunakan dalam mengenali proses kebijakan yang terjadi dalam subsistemsebagaimana kerangka pikir ACF.
3 KEBIJAKAN SERTIFIKASI PHPL
Sertifikasi Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (PHPL) merupakan produk kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Tujuan awal dari dilaksanakannya sertifikasi PHPL adalah untuk penilaian kinerja yang dilakukan oleh Unit Manajemen pemegang Ijin Pengelolaan hasil Hutan Kayu dari Hutan Alam (IUPHHK-HA).
Kebijakan sertifikasi PHPL yang digunakan dalam analisa proses kebijakan menggunakan kerangka pikir ACF merupakan produk kebijakan yang di keluarkan dalam kurun waktu lebih dari satu dekade. Hasil dari kebijakan pemerintah dalam bentuk peraturan sertifikasi PHPL yang di analisa adalah peraturan yang berlaku mulai dari tahun 2000 sampai dengan tahun 2015.
Peraturan yang berlaku saat ini adalah Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan nomor P.95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2014 Tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak. Peraturan ini merupakan hasil akhir dari perubahan yang terus dilakukan pada peraturan yang berlaku sebelumnya.Peraturan pada peraturan yang berlaku sebelum P.95/Menhut-II/2014 sudah tidak lagi dijadikan dasar secara hukum. Isi dari peraturan sebelumnya digunakan sebagai gambaran atas proses perubahan isi dan tujuan pelaksanaan sertifikasi PHPL pada IUPHHK Hutan Alam.
Dinamika Peraturan Sertifikasi PHPL Berdasarkan Periode Waktu
waktu yang berpengaruh pada aktor yang terlibat di dalamnya. Pembagian periode tersebut periode tahun 2000 – 2002, periode tahun 2002-2009, dan periode tahun 2009-2015.
1. Periode tahun 2000 – 2002
Pada periode ini aturan yang diberlakukan adalah Kepmenhut No. 09.1/kpts-II/2000 tentang Kriteria dan Standar Pengelolaan Hutan Produksi Secara Lestari. Penetapan aturan ini menggunakan pertimbangan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan kewenangan Propinsi Sebagai daerah Otonomi. Hal tersebut dasarnya digunakan sebagai pedoman bagi Gubernur dan Walikota/Bupati dalam menetapkan peraturan daerah terkait dengan pengelolaan hutan produksi di daerahnya.
Kriteria dan standar yang dinilai meliputi keseluruhan kesatuan kawasan hutan yang berada pada unit pengelolaan KPHP dengan mempertimbangkan karakteristik, tipe, fungsi hutan, kondisi DAS, dan sosial ekonomi serta budaya setempat. Rencana pengelolaan jangka panjang dan jangka menengah disusun oleh instansi kehutanan propinsi disahkan oleh Menteri kehutanan. Rencana Jangka pendek disusun oleh instansi kehutanan kabupaten / kota dan disahkan oleh gubernur.
Penilaian lainnya meliputi kriteria pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan produksi, rehabilitasi dan reklamasi hutan produksi, perlindungan hutan produksi, dan pengawasan dan pengendalian pengelolaan hutan produksi. Dalam aturan ini belum detail dijelaskan tujuan dari sertifikasi selain untuk pedoman pengambilan keputusan yang dilakukan oleh Gubernur dan Bupati/walikota.
Penilaian yang dilakukan kepada Unit Manajemen pemegang IUPHHK Hutan Alam dan konteks hubungan dengan masyarakat sekitar dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam penetapan kebijakan oleh pemerintah daerah. Kebijakan yang dimaksud dalam hal ini adalah untuk penyusunan rencana jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
2. Periode tahun 2002 – 2009
Pada periode ini sertifikasi PHPL mulai lebih detail dan di berlakukan pada Unit Manajemen pemegang IUPHHK. Kepmenhut no. 4795/Kpts-II/2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari pada
Unit Pengelolaan di keluarkan dengan pertimbangan bahwa “Pengelolaan Hutan Produksi Alam Secara Lestari pada Tingkat Manajemen Unit perlu disesuaikan dengan perkembangan yang ada”. Kriteria dan Indikator yang digunakan sebagai standar penilaian mengadopsi ITTO Policy Development Series No. 7 in July, 1998.
Aturan mengenai perlunya ditetapkan kebijakan atas sertifkasi PHPL serta yang mengikuti dan menggantikan setelahnya dapat dilihat pada pertimbangan dalam Kepmenhut No. 4796 /Kpts-II/2002 tentang Tata cara penilaian kinerja pengelolaan hutan alam produksi lestari pada unit pengelolaan. Dalam pasal
Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Alam Di Unit Manajemen Dalam Rangka Pengelolaan Hutan Secara Lestari bahwa “Dipandang perlu menetapkan Tata Cara Penilaian Kinerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Alam di Unit Manajemen dalam rangka pengelolaan Hutan secara Lestari dengan Keputusan Menteri Kehutanan”. Dalam uraian pertimbangan tersebut jelas bahwa sertifikasi yang dilakukan merujuk pada penilaian kinerja yang dilakukan oleh Unit Manajemen pemegang IUPHHK –
HA.
Perbedaan isi dari pertimbangan kedua peraturan itu dijelaskan bahwa Bahwa Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 4796/Kpts-II/2002 terbit sebelum diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002, sehingga dianggap perlu adanya penyesuaian dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah tersebut. Perubahan peraturan yang memiliki tingkatan lebih tinggi akan memberi pengaruh pemaknaan batas pada regulasi yang terkait di bawahnya.
Sertifikasi PHPL pada periode ini menjadi wajib dilaksanakan oleh IUPHHK Hutan Alam. Adanya kewajiban untuk melaksanakan sertifikasi PHPL diharapkan dapat memperbaiki kinerja pemegang IUPHHK Hutan Alam dalam pelaksanaan kegiatan tata kelola hutan. Tujuan dari pelaksanaan sertifikasi PHPL akan tercapai bila pemahaman atas sertifikasi dimengerti oleh pihak pelaksana.
Dalam Kepmenhut No. 4796 /Kpts-II/2002 di sebutkan dalam pasal 1 ayat
(1) bahwa “Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari (PHAPL) adalah serangkaian strategi dan pelaksanaan kegiatan untuk menjamin keberlanjutan fungsi-fungsi produksi, ekologi dan sosial dari hutan alam produksi.”. Sehingga tujuan target pelaksanaan sertifikasi adalah “Kinerja adalah nilai kuantitatif dan atau kualitatif pencapaian hasil pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan alam produksi pada suatu unit pengelolaan tertentu yang dicapai oleh Badan Usaha”.
Penegasan kembali makna dari PHPL yang lebih lengkap di sebutkan dalam aturan pengganti yaitu Kepmenhut No. 208/Kpts-II/2003 pasal 1 ayat (1)
“Pengelolaan Hutan secara lestari adalah pengelolaan hutan yang mencakup aspek ekonomi, social, dan ekologi, yang antara lain meliputi : (a) kawasan hutan yang mantap;(b) produksi yang berkelanjutan;(c) manfaat social bagi masyarakat disekitar hutan; dan (d) lingkungan yang medukung system penyangga kehidupan”. Pengelolaan yang dimaksud dari pasal tersebut ditujukan pada Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) pada Hutan Alam yang sebelumnya disebut Hak Pengusahaan Hutan(HPH). Dalam pasal ini pengenaan prinsip kelestarian PHPL dikenakan pada Hutan Alam Produksi.
Pada Kepmenhut No. 208/Kpts-II/2003, disebutkan pula tujuan pelaksanaan penilaian sertifikasi PHPL. Tujuan yang paling utama adalah bagi IUPHHK Hutan Alam yang izinnya sedang berjalan adalah untuk melakukan pembinaan. Sementara untuk IUPHHK Hutan Alam yang izinnya sudah habis atau belum memiliki izin, maka hasil penilaian sertifikasi PHPL menjadi bahan persetujuan untuk permohonan perpanjangan dan permohonan hak IUPHHK Hutan Alam.
berdasarkan tinjauan Suhendang (2013) merupakan kondisi kelestarian produksi hutan yang dapat di manfaatkan hasil hutan kayunya secara ekonomis dan dalam jangka waktu yang panjang sehingga diharapkan dari pengelolaan hutan yang berbasis tegakan adalah hasil hutan kayu dan ikutannya sesuai dengan kelas umur yang ideal dan dapat dikombinasikan dengan manfaat-manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial sebagai sebuahSustainable Forest Management.
Para pihak yang berkepentingan dalam sertifikasi PHPL periode tahun 2000 – 2002 ini tidak lagi hanya Pemerintah, Unit Manajemen pemegang IUPHHK Hutan Alam, namun juga melibatkan pihak Lembaga Penilai Independent (LPI) dan Masyarakat sekitar hutan.Pada Kepmenhut No. 4796 /Kpts-II/2002 disebutkan bahwa penilaian dilaksanakan oleh LPI dengan menggunakan Sistem Verifikasi PHAPL dan LPI melaporkan hasil penilaian kinerja PHAPL kepada Tim Evaluasi(TE), dengan tembusan kepada Badan Usaha yang dinilai. Laporan yang diterima oleh menteri Kehutanan dari TE digunakan sebagai pertimbangan untuk menetapkan pembinaan.
Adanya pihak ketiga dalam hal ini Lembaga Penilai Independent (LPI) adalah sebagai pihak yang pendapat dan penilaiannyanya dianggap netral dan tidak berpihak baik pada pemerintah maupun pada pemegang IUPHHK. Hal ini ditegaskan dalam wawancara dengan M. Awriya Ibrahim yang pernah menduduki
jabatan sebagai Direktur Bina Usaha Hutan Alam Kementerian Kehutanan, “LPI dijadikan sebagai auditor penilaian kinerja sertifikasi PHPL untuk menjadikan independensi hasil dari penilaian tersebut”.
Arah kebijakan pelaksanaan sertifikasi pada periode ini lebih kepada penilaian kinerja yang dilakukan untuk bahan pertimbangan kelanjutan usaha pengelolaan hutan yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK Hutan Alam. Pertimbangan market atau strategi pemasaran belum menjadi titik tujuan utama pada pemberlakuka kebijakan sertifikasi hutan alam pada periode ini.
3. Periode Tahun 2009-2015
Pencurian kayu dan penebangan hutan tanpa ijin dikatakan sebagai penyebab dari keterbukaan areal. Isu lingkungan ini kemudian disikapi oleh Pemerintah Indonesia melalui upaya perbaikan tata kelola hutan sebagaimana ditegaskan dalam Permenhut No. 38/menhut-II/2009. Perbaikan tata kelola hutan yang dimaksud lebih pada penekanan atas legalitas asal kayu dan kepatuhan Unit Manajemen Pemegang IUPHHK Hutan Alam dalam melengkapi dokumen asal dan pengangkutan kayu.
optimal dengan tidak mengurangi fungsinya,dan (3) Pasal 119 bahwasetiap pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan yang berasal dari Hutan Negara, wajib dilengkapi bersama-sama dengan dokumen yang merupakan sahnya hasil hutan.
Sesuai dengan kenyataan di lapangan bahwa kayu bulat yang masuk dalam rantai produksi pada industri hilir tidak hanya berasal dari satu IUPHHK hutan alam saja namun juga menerima kayu sumber lainnya maka legalitas kayu menjadi sorotan utama dalam perdagangan produksi hasil kayu. Pada tahun 2009 legalitas asal kayu memang menjadi fokus utama pemerintah dalam upaya menekan penebangan hutan tanpa ijin (illegal logging) dan pencurian kayu.Hal inilah yang kemudian mendasari keputusan bahwa sertifikasi PHPL adalah merupakanpenerapan tata kelola kehutanan, upaya pemberantasan penebangan liar dan perdagangannya sehingga Pemerintah merasa perlu untuk menetapkan Standard Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak.
Pada fakta kenyataan yang ada di lapangan dan tanggapan pemerintah atas isu lingkungan terhadap hutan Indonesia dapat dikatakan bahwa ada perubahan secara perspektif pada peraturan pemerintah mengenai sertifikasi PHPL. Secara politik periode setelah tahun 2009 mendapat tekanan internasional melalui kerjasama bilateral dengannegara lain. Salah satu kerjasama tersebut adalah adanya kesepakatan antar Republik Indonesia dan Uni Eropa dalam hal perdagangan hasil hutan kayu. MOU Voluntary Partnership Agreement (VPA). VPAadalah perjanjian bilateral antara Uni Eropa (UE) dan negara pengekspor kayu, dengan tujuan : (1) Meningkatkan tata kelola sektor kehutanan dan (2) Memastikan bahwa kayu dan produk kayu yang diimpor ke UE diproduksi sesuai dengan peraturan perundangan negara mitra (FLEGT 2009).
Implementasi dari VPA antara Indonesia dan Uni Eropa didasari atas upaya untuk memastikan dan mempromosikan perdagangan kayu yang legal dan pengelolaan yang baik pada sektor kehutanan (FLGT 2015). Sejak tahun 2007 proses VPA difasilitasi oleh FLEGT menghasilkan kriteria dan standar penilaian dalam kerangka sertifikasi PHPL dan terus di negosiasikan sesuai dengan kebutuhan yang dipersyaratkan dalam VPA.
Laporan tahunan FLEGT 2015 menuliskan bahwa tujuan utama dari proses VPA antara Republik indonesia dengan Uni Eropa adalah untuk membuat sebuah kerangka pemikiran yang legal untuk memastikan bahwa semua produk kayu merupakan hasil yang berasal dari hutan yang sah. Uni Eropa melalui implementasi VPA akan meratifikasi semua aturan pemerintah pada sektor kehutanan, sistem kontrol, dan semua prosedur verifikasi yang diberlakukan di Indonesia yang menyatakan bahwa produk yang diekspor telah mengikuti hukum dan peraturan yang berlaku.
FLEGT teridentifikasi sebagai komunitas penggagas (epistemic community). Peranan yang dimiliki FLEGT adalah sebagai fasilitator untuk proses ratifikasi penetapan standar kriteria dan indikator penilaian PHPL mengikuti aturan kebijakan yang berlaku di Indonesia. Proses MOU VPA ini memastikan bahwa pada simpul akhir dari Industri kayu yang bersumber dari Hutan Alam seluruh prosesnya menggunakan bahan bakunya yang sah.
Legalitas kayu (VLK).Industri pengolahan kayu yang akan menjual produknya ke negara lain harus mendapatkan sertifikasi VLK sebagai persyaratan ekspor.Sertifikat VLK akan didapatkan oleh industri kayu yang bahan bakunya berasal dari hutan yang telah mendapatkan sertifikasi PHPL.
Bila IUPHHK Hutan alam setelah dinilai ternyata belum layak untuk mendapatkan sertifikat PHPL maka di wajibkan untuk memenuhi sertifikasi legalitas kayu. Penjelasan mengenai kewajiban ini dijelaskan PermenLHK no. P.95/Menhut-II/2014 pasal 4 yang disebutkan bahwa ayat (1) “Pemegang IUPHHK-HA/HT/RE dan pemegang Hak Pengelolaan wajib mendapatkan S-PHPL” dan ayat (2) “Dalam hal pemegang IUPHHK-HA/HT/RE dan pemegang Hak Pengelolaan belum mendapatkan S-PHPL sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib mendapatkan S-LK”. Namun bagi pemegang IUPHHK Hutan Alam yang telah memiliki S-PHPL tidak perlu mendapatkan S-LK.
Sebelum diwajibkannya sertifikasi PHPL sudah ada beberapa Unit Manajemen pemegang IUPHHK-HA yang memiliki sertifikasi Sustainablility Forest Management (SFM) yang dilakukan secara Voluntary. Berdasarkan atas situasi tersebut maka pada Permenhut no. P. 68/Menhut-II/2011 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.38/Menhut-Ii/2009 Tentang Standar Dan Pedoman Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak pada pasal 4 ayat 7 disebutkan untuk IUPHHK Hutan Alam yang telah memiliki sertifikat terkait PHPL yang didapatkan secara voluntary tetap diwajibkan melakukan sertifikasi PHPL dengan skema sesui aturan pemerintah. Kebijakan pemerintah mengenai sertifikasi PHPL menjadikan sertifikasi sebagai sebuah alat yang menunjukan kepatuhan Unit Manajemen pemegang IUPHHK Hutan Alam terhadap aturan pemerintah.
Kepatuhan terhadap aturan pemerintah terkait pengelolaan hutan pada ketentuan kewajiban sertifikasi PHPL lebih mengarah pada kelengkapan dan ketaatan pada pemenuhan dokumen asal kayu. Penekanan kewajiban sertifikasi pada aspek memenuhi legalitas kayu. Dijelaskan pada PermenLHK no. P.95/Menhut-II/2014 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.43/Menhut-II/2014 Tentang Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Dan Verifikasi Legalitas Kayu Pada Pemegang Izin Atau Pada Hutan Hak pasal 4 ayat 3 sebagaimana tabel 6 bahwa wajib bagi pemegang IUPHHK Hutan Alam untuk mendapatkan sertifikat PHPL setelah sertifikat legalitas kayu telah melewati satu periode. Tidak ditemukan pasal yang mengatur atas sanksi pada tidak terpenuhinya sertifikat PHPL pada Unit Manajemen IUPHHK Hutan Alam. Industri tetap menerima bahan baku dari hutan alam dengan S-LK dan memasarkan dengan label V-legal.
Tabel 2 Hasil penilaian sertifikasi PHPL dan ketentuan perbaikan kinerja
Aturan Teks
Permenhut no.
P.38/menhut-II/2009 Pasal 11
1. Sertifikat PHPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (6) diterbitkan dengan predikat “Baik”.
2. Dalam hal hasil penilaian berpredikat “Buruk”, LP&VI menyampaikan laporan hasil penilaian kepada pemegang izin. 3. Berdasarkan laporan hasil penilaian
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemegang izin diberikan kesempatan memperbaiki kinerja PHPL
Permenhut no. P.43/Menhut-II/2014
Pasal 13
1. Lembaga Penilai Pengelolaan Hutan Produksi Lestari (LPPHPL) menerbitkan S-PHPL kepada pemegang
IUPHHK-HA/HT/RE/pemegang Hak Pengelolaan yang telah memenuhi persyaratan kelulusan penilaian kinerja.
2. Dalam hal hasil penilaian berpredikat “Buruk” pemegang izin diberikan kesempatan memperbaiki kinerja PHPL. 3. Dalam hal hasil penilaian berpredikat
“Buruk” berada pada kriteria prasyarat, kriteria produksi, kriteria ekologi dan kriteria sosial, tetapi memenuhi legalitas kayu, LP-PHPL menerbitkan Sertifikat Legalitas Kayu (S-LK).
4. Penerbitan S-LK sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat dilakukan apabila LP-PHPL telah terakreditasi dan ditetapkan sebagai LVLK.
5. Kriteria hasil penilaian berpredikat
“Buruk” yangmasih diberikan kesempatan memperbaiki kinerja PHPL sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Direktur Jenderal.
Manajemen Pemegang IUPHHK Hutan Alam untuk mengikuti peraturan dan kebijakan yang ditetapkan oleh Pemerintah terkait tata kelola hutan.
Penggunaan label V-Legal pada kayu hasil hutan dan produk kayu yang dijual ke negara lain sesuai dengan kesepakatan dalam Implementasi MOU VPA hanya di terima oleh negara-negara di Uni Eropa.Hal ini sebagaimana proses ratifikasi VPA yang di fasilitasi oleh FLEGT. Definisi kayu legal yang dimaksudkan diterima oleh pasar di Uni Eropa adalah kayu yang berasal dari Indonesia yang proses asal kayu, produksi, dan pengangkutannya sah dan lengkap secara dokumen.Dengan kata lain mengikuti alur administrasi regulasi dan hukum yang berlaku di Indonesia termasuk didalamnya adalah definisi legalitas menurut VPA (FLEGT 2015).
Pada periode ini pelaksanaan proses sertifikasi PHPLsemakin melibatkan masyarakat sebagai bagian dari kontrol dan evaluasi. Keterlibatan dari masyarakat tersebut ada didalam sebuah jaringan pemantau independen kehutanan (JPIK). Fungsi dan posisi dari pemantau independen tersebut dijelaskan dalam Permenhut no. P. 68/Menhut-II/2011Pasal 14 ayat (1) “Pelaksanaan penilaian kinerja PHPL dan verifikasi LK dipantau oleh Pemantau Independen (PI)” dan ayat (2)
“Pemantauan pelaksanaan penilaian kinerja PHPL dan/atau verifikasi LK dibiayai secara mandiri oleh PI”. Posisi JPIK kembali ditegasakan pada perubahan peraturan sertifikasi PHPL sebagaimana PermenLHK no. P.95/Menhut-II/2014 pada pasal 17 ayat (1) “Pelaksanaan SVLK dipantau oleh Pemantau Independen” dan ayat (2) “Pemantauan pelaksanaan SVLK dibiayai secara mandiri oleh Pemantau Independen”.
Pemantau Independen adalah masyarakat madani yang di anggap memiliki keterikatan erat dengan hutan. Peran pemantau independen adalah untuk mengevaluasi proses penilaian sehingga dapat menjadi kontrol dari praktek penilaian yang tidak sesuai prosedur atau mengalami penyimpangan.
Standar Kriteria dan Indikator
Peraturan sertifikasi PHPL Kepmenhut nomor 4795/Kpts-II/2002 tentang Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari Pada Unit Pengelolaan mendefinisikan kriteria sebagai suatu aspek yang dipandang penting untuk memungkinkan penilaian atas pengelolaan hutan alam produksi lestari dan diikuti dengan serangkaian indikator yang berkaitan. Definisi dari indikator adalah atribut kuantitatif dan atau kualitatif dan atau deskriptif yang apabila diukur atau dipantau secara periodik menunjukkan arah perubahan.
Penetapan standar atas kriteria dan indikator penilaian sertifikasi PHPL pada Kepmenhut nomor 4795/Kpts-II/2002 mengadopsi kriteria dan indikator untuk pengelolaan hutan alam tropis lestari (adopted as a second Decision at the Twenty-fourth Session of the ITTC in Libreville, Gabon in May, 1998 and published as the ITTO Policy Development Series No. 7 in July, 1998. Kriteria dan indikator inimerupakan dasar dari penetapan kriteria indikator pada peraturan sertifikat PHPL pengganti selanjutnya.
di tetapkan. Dalam proses pengembangan standar kriteria dan indikator didukung dan dipengaruhi oleh beberapa aktor yaitu pemerintah, pengusaha, dan LSM (Elliot 2005).
Perubahan kriteria dan indikator penilaian sertifikasi PHPL yang kemudian menjadi lebih terinci pada verifier ada pada Peraturan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan nomor P.02/VI-BPPHH/2010, tentang Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. Standar ini Terdiri dari empat kriteria yang sama namun verifier dari tiap indikator disusun secara lebih rinci. Akhmad sebagai pihak dari LPI dan juga ikut didalam proses pematangan verifier mengatakan bahwa “Verifier perlu dimatangkan untuk menghindari bias penilaian antar Lembaga Penilai dan kecenderungan subyektifitas penilaian”.
Proses implementasi VPA antara Indonesia dan Uni Eropa juga berperan dalam mempengaruhi perubahan pada indikator yang dinilai dan verifiernya. Standar penilaian yang digunakan pada saat ini adalah Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No P.5/VI-BPPHH/2014 Tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu. Uni Eropa mengisyaratkan adanya kepatuhan terhadap beberapa standar yang ditetapkan dalam aturan internasional dan dianggap masih lemah di Indonesia. Hal-hal seperti kewajiban pemenuhan kesejahteraan dan keselamatan pekerja menjadi hal yang harus ada dalam pengelolaan hutan.
Secara garis besar ada empat kriteria yang ditetapkan dan digunakan sebagai dasar standar penilaian sertifikasi PHPL sampai dengan aturan kebijakan yang terakhir, yaitu (1) Prasyarat, (2) Produksi, (3) Ekologi, dan (4) Sosial. Perubahan dari ketentuan atas standar yang berlaku sejak tahun 2002 sampai pada perubahan terakhir dapat dibandingkan antara Tabel 3 dengan Tabel 4.
Tabel 3 Kriteria dan Indikator pada kepmenhut nomor 4795/Kpts-II/2002 Kriteria dan Indikator Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 4795/Kpts-II/2002
Tentang : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari Pada Unit Pengelolaan.
Kriteria 1. Prasyarat. Indikator
1.1.Kepastian Kawasan Unit Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari.
1.2.Komitmen Unit Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari. 1.3.Kesehatan Perusahaan dan atauHolding Company.
1.4. Kesesuaian dengan kerangka hukum, potensi tegakan minimal menurut ketentuan, kebijakan dan peraturan yang berlaku dalam rangka pengelolaan hutan alam produksi lestari.
1.5.Jumlah dan kecukupan tenaga profesional terlatih dan tenaga teknis pada seluruh tingkatan untuk melaksanakan dan mendukung pengelolaan, implementasi, penelitian, pendidikan dan latihan.
Tabel 3 (Lanjutan)
Kriteria dan Indikator Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 4795/Kpts-II/2002
Tentang : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari Pada Unit Pengelolaan.
Kriteria 2. Produksi. Indikator
2.1.Tingkat dan persentase dari :
a. Hutan Produksi yang dicakup dalam rencana pengelolaan.
b. Blok dan petak tebangan yang dipanen menurut rencana operasional pemanenan hutan.
2.2. Tingkat pemanenan lestari untuk setiap jenis hasil hutan kayu utama dan nir kayu pada setiap tipe ekosistem.
2.3. Ketersediaan prosedur dan implementasi :
a. Evaluasi komprehensif terhadap implementasi panduan pengelolaan. b. Penilaian kerusakan tegakan sisa.
c. Inventarisasi tegakan sisa untuk menilai efektivitas permudaan.
2.4. Ketersediaan dan penerapan teknologi tepat guna untuk menjalankan Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari, dan pemanfaatan hasil hutan secara efektif dan efesien serta ketersediaan dan penerapan prosedur pemanenan ramah lingkungan(reduced impact logging).
2.5.Kesehatan finansial perusahaan.
2.6. Kuantitas (volume) hasil hutan kayu dan luasan hutan yang dipanen untuk setiap tahun untuk setiap tipe hutan.
2.7. Tingkat investasi dan reinvestasi yang memadai dan memenuhi kebutuhan dalam pengelolaan hutan, administrasi, penelitian dan pengembangan, serta peningkatan kemampuan sumberdaya manusia.
Kriteria 3. Ekologi Indikator
3.1. Data mengenai kawasan yang dilindungi dalam setiap tipe hutan meliputi : jumlah, luas, persentase dari tipe hutan yang tercakup, selang luasan dan luas rata-rata kawasan lindung, serta persentase batas kawasan yang telah ditandai sebagai batas dan ditetapkan dengan jelas.
3.2. Ketersediaan prosedur dan implementasi pengendalian perambahan, kebakaran, pengembalaan dan pembalakan illegal.
3.3.Ketersediaan prosedur dan implementasi pedoman pengelolaan flora untuk : a. Pemadatan tanah akibat mesin-mesin pemanenan.
b. Erosi tanah selama dan sesudah operasi pemanenan.
Tabel 3 (Lanjutan)
Kriteria dan Indikator Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Lampiran Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 4795/Kpts-II/2002
Tentang : Kriteria dan Indikator Pengelolaan Hutan Alam Produksi Lestari Pada Unit Pengelolaan.
3.5.Ketersediaan dan implementasi pedoman pengelolaan flora untuk :
1) Luasan tertentu dari hutan produksi yang tidak terganggu, dan bagian yang tidak rusak.
2) Perlindungan terhadap species flora jarang, langka dan terancam punah. 3) Melindungi flora yang merupakan kekhasan wilayah setempat
3.6.Ketersediaan dan implementasi pedoman pengelolaan fauna untuk :
1) Luasan tertentu dari hutan produksi yang tidak terganggu bagian, dan bagian yang tidak rusak.
2) Perlindungan terhadap species fauna jarang, langka dan terancam punah. 3) Melindungi fauna yang merupakan kekhasan wilayah setempat.
Kriteria 4. Sosial Indikator
4.1. Luas dan batas yang jelas antara kawasan unit pengelolaan dengan kawasan masyarakat hukum adat dan atau masyarakat setempat dan telah mendapat persetujuan para pihak yang terkait.
4.2.Jenis dan jumlah perjanjian yang melibatkan masyarakat hukum adat dan atau masyarakat setempat dalam kesetaraan tanggung jawab pengelolaan bersama.
4.3. Ketersediaan mekanisme dan implementasi pendistribusian insentif yang efektif, serta pembagian biaya dan manfaat yang adil antara para pihak.
4.4. Perencanaan dan implementasi pengelolaan hutan telah mempertimbangkan hak masyarakat hukum adat dan masyarakat setempat.
4.5. Peningkatan peran serta masyarakat hukum adat dan masyarakat setempat yang aktivitas ekonominya berbasis hutan.
Tabel 4 Kriteria dan indikator penilaian sertifikasi PHPL sesuai Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No P.5/VI-BPPHH/2014 Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No P.5/VI-BPPHH/2014 Tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
Indikator Alat Penilaian (Verifier)
PRASYARAT
1.1. Kepastian Kawasan Pemegang IUPHHK-HA
Ketersediaan Dokumen legal dan administrasi tata batas (PP/SK IUPHHK-HA, Pedoman TBT, Buku TBT, Peta TBT, BATB)
Realisasi tata batas dan legitimasinya (BATB) Pengakuan para pihak atas eksitensi areal IUPHHK kawasan hutan (BATB)
Tindakan pemegang izin dalam hal terdapat perubahan fungsi kawasan (Apabila tidak ada perubahan fungsi maka verifier ini menjadiNot Aplicable)
Penggunaan kawasan di luar sektor kehutanan (Apabila tidak ada penggunaan kawasan di luar sektor kehutanan maka verifier ini menjadiNot Aplicable)
1.2.Komitmen Pemegang IUPHHK-HA
Keberadaan dokumen visi, misi dan tujuan perusahaan yang sesuai dengan PHL Sosialisasi visi, misi dan tujuan perusahaan Kesesuaian visi, misi dengan implementasi PHL 1.3.Jumlah dan Kecukupan
Tenaga Profesional Bidang Kehutanan pada Seluruh Tingkatan untuk
Mendukung Pemanfaatan Implementasi Penelitian, Pendidikan dan Latihan
Keberadaan tenaga profesional bidang kehutanan (sarjana kehutanan dan tenaga teknis menengah kehutanan) di lapangan pada setiap bidang kegiatan pengelolaan hutan sesuai ketentuan yang berlaku
Peningkatan Kompetensi SDM
Ketersediaan dokumen ketenaga-kerjaan 1.4.Kepastian dan Mekanisme
untuk Perencanaan Pelaksanaan Pemantauan Periodik, Evaluasi dan Penyajian Umpan Balik Mengenai Kemajuan Pencapaian (Kegiatan) IUPHHK-HA
Kelengkapan unit kerja perusahaan dalam kerangka PHPL
Keberadaan perangkat Sistem Informasi Manajemen dan tenaga pelaksana Keberadaan SPI/internal auditor dan efektifitasnya
Tabel 4 (Lanjutan)
Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No P.5/VI-BPPHH/2014 Tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
1.5.Persetujuan atas dasar informasi awal tanpa paksaan (PADIATAPA)
Persetujuan rencana penebangan melalui peningkatan pemahaman, keterlibatan, pencatatan proses dan diseminasi isi kandungannya
Persetujuan dalam proses tata batas
Persetujuan dalam proses dan pelaksanaan CSR/CD
Persetujuan dalam proses penetapan kawasan lindung
PRODUKSI
2.1. Penataan areal kerja jangka panjang dalam pengelolaan hutan lestari
Keberadaan dokumen rencana jangka panjang (management plan)yang telah disetujui oleh pejabat yang berwenang
Kesesuaian implementasi penataan areal kerja di lapangan dengan rencana jangka panjang
Pemeliharaan batas blok dan petak / compartemen kerja
2.2. Tingkat pemanenan lestari untuk setiap jenis hasil hutan kayu utama dan nir kayu pada setiap tipe ekosistem
Terdapat data potensi tegakan per tipe ekosistem yang ada (berbasis IHMB/Survei Potensi, ITSP, Risalah Hutan)
Terdapat informasi tentang riap tegakan
Terdapat perhitungan internal/selfJTT berbasis data potensi/hasil inventarisasi dan kondisi kemampuan pertumbuhan tegakan
2.3. Pelaksanaan penerapan tahapan sistem silvikultur untuk menjamin regenerasi hutan
Ketersediaan SOP seluruh tahapan kegiatan sistem silvikutur
Implementasi SOP seluruh tahapan kegiatan sistem silvikultur
Tingkat kecukupan potensi tegakan sebelum masak tebang
Tingkat kecukupan potensi permudaan 2.4. Ketersediaan dan
Penerapan teknologi ramah lingkungan
Tingkat kerusakan tegakan tinggal minimal dan keterbukaan lahan
Tabel 4 (Lanjutan)
Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No P.5/VI-BPPHH/2014 Tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
2.5. Realisasi penebangan sesuai dengan rencana kerja penebangan/
pemanenan / pemanfaatan pada areal kerjanya
Keberadaan dokumen rencana kerja jangka pendek (RKT) yang disusun berdasarkan rencana kerja jangka panjang (RKU) dan disahkan sesuai peraturan yang berlaku (Dinas Propinsi,Self approval)
Kesesuaian peta kerja dalam rencana jangka pendek dengan rencana jangka panjang
Implementasi peta kerja berupa penandaan batas blok tebangan/dipanen/ dimanfaatkan/ditanam/ dipelihara beserta areal yang ditetapkan sebagai kawasan lindung (untuk konservasi/buffer zone/
pelestarian plasfa nutfah/ religi/ budaya/ sarana prasarana dan penelitian dan pengembangan) Kesesuaian lokasi, luas, kelompok jenis dan volume panen dengan dokumen rencana jangka pendek
Realisasi alokasi dana yang cukup berdasarkan laporan penatausahaan keuangan yang dibuat dengan Pedoman Pelaporan Keuangan
Pemanfaatan Hutan Produksi (yang telah diaudit oleh akuntan public)
Realisasi alokasi dana yang proporsional Realisasi Pendanaan yang lancar
Modal yang ditanakan (kembali) ke hutan Realisasi kegiatan fisik penanaman/ pembinaan hutan
EKOLOGI
3.1. Keberadaan, kemantapan dan kondisi kawasan dilindungi pada setiap tipe hutan
Luasan kawasan dilindungi
Penataan kawasan dilindungi (persentase yang telah ditandai, tanda batas dikenali)
Kondisi penutupan kawasan dilindungi Pengakuan para pihak terhadap kawasan dilindungi
Laporan pengelolaan kawasan lindung hasil tata ruang areal/land scapingsesuai RKL RPL dan/atau tata ruang yang ada di dalam RKU 3.2. Perlindungan dan
pengamanan hutan
Ketersediaan prosedur perlindungan yang sesuai dengan jenis-jenis gangguan yang ada
Sarana prasarana perlindungan gangguan hutan SDM perlindungan hutan
Tabel 4 (Lanjutan)
Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No P.5/VI-BPPHH/2014 Tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
3.3. Pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap tanah dan air akibat pemanfaatan hutan
Ketersediaan prosedur pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap tanah dan air Sarana pengelolan dan pemantauan dampak terhadap tanah dan air
SDM Pengelolaan dan pemantauan dampak terhadap tanah dan air
Rencana dan implementasi pngelolaan dampak terhadap tanah dan air (teknis sipil dan vegetatif) Rencana dan implementasi pemantauan dampak terhadap tanah dan air
Dampak terhadap tanah dan air 3.4. Identifikasi spesies flora
dan fauna yang dilindungi dan/ atau langka
(endangered), jarang (rare), terancam punah (threatened) dan endemik
Ketersediaan prosedur identifikasi flora dan fauna yang dilindungi dan/ atau langka, jarang, terancam punah dan endemik mengacu pada perundangan/ peraturan yang berlaku
Implementasi kegiatan identifikasi
3.5. Pengelolaan flora untuk : 1. Luasan tertentu dari
hutan produksi tidak
Ketersediaan prosedur pengelolaan flora yang dilindungi mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku
Implementasi kegiatan pengelolaan flora sesuai dengan yang direncanakan
Kondisi spesies flora dilindungi dan/ atau jarang, langka, terancam punah dan endemik
1.1.Pengelolaan fauna untuk : 1. Luasan tertentu dari
hutan produksi yang tidak terganggu, dan bagian yang tidak rusak 2. Perlindungan terhadap
Ketersediaan prosedur pengelolaan fauna yang dilindungi mengacu pada peraturan perundangan yang berlaku, dan tercakup kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, kegiatan dan pemantauan
Tabel 4 (Lanjutan)
Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No P.5/VI-BPPHH/2014 Tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
SOSIAL
4.1. Kejelasan deliniasi kawasan operasional perusahaan/ pemegang izin dengan kawasan masyarakat hukum adat dan/ atau masyarakat setempat
Ketersediaan dokumen / laporan mengenai pola penguasaan dan pemanfaatan SDA / SDH setempat, identifikasi hak-hak dasar masyarakat hukum adat dan / atau masyarakat setempat, dan rencana pemanfaatan SDH oleh pemegang ijin.
Tersedia mekanisme pembuatan batas / rekonstruksi batas kawasan secara partisipatif dan penyelesaian konflik batas kawasan Terseda mekanisme pengakuan hak-hak dasar masyarakat hukum adat dan masyarakat
setempat dalam perencanaan pemanfaatan SDH. Terdapat batas yang memisahkan secara tegas antara kawasan / areal kerja unit manajemen dengan kawasan kehidupan masyarakat Terdapat persetujuan para pihak atas luas dan batas areal kerja IUPHHK / HPH.
4.2. Implementasi tanggung jawab sosial perusahaan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku
Ketersediaan dokumen yang menyangkut tanggung jawab sosial pemegang ijin sesuai dengan peraturan perundangan yang relevan / berlaku.
Ketersediaan mekanisme pemenuhan kewajiban sosial pemegang ijin terhadap masyarakat. Kegiatan sosialisasi kepada masyarakat mengenai hak dan kewajiban pemegang ijin terhadap masyarakat dalam mengelola SDH. Realisasi pemenuhan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat / implementasi hak-hak dasar masyarakat setempat dalam pengelolaan SDH.
Ketersediaan laporan / dokumen terkait pelaksanaan tanggung jawab sosial pemegang ijin termasuk ganti rugi
4.3. Ketersediaan mekanisme dan implementasi
distribusi manfaat yang adil antara para pihak
Ketersediaan data dan informasi masyarakat hukum adat dan/ atau masyarakat setempat yang terlibat, tergantug, terpengaruh oleh aktivitas pengelolaan SDH
Tabel 4 (Lanjutan)
Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No P.5/VI-BPPHH/2014 Tentang Standar dan Pedoman Pelaksanaan Penilaian Kinerja Pengelolaan Hutan Produksi Lestari dan Verifikasi Legalitas Kayu
Keberadaan dokumen rencana pemegang izin mengenai kegiatan peningkatan peran serta dan aktivitas ekonomi setempat
Implementasi kegiatan peningkatan peran serta dan aktivitas ekonomi masyarakat hukum adat dan atau masyarakat setempat oleh emegang izin yang tepat sasaran
Keberadaan dokumen/ laporan mengenai pelaksanaan distribusi manfaat kepada para pihak
4.4. Keberadaan mekanisme resolusi konflik yang handal
Tersedianya mekanisme resolusi konflik Tersedianya peta konflik
Adanya kelembagaan resolusi konflik yang didukung oleh para pihak
Ketersediaan dokumen proses penyelesaian konflik yang pernah terjadi
4.5. Perlindungan , pengembangan dan
peningkatan kesejahteraan tenaga kerja
Adanya hubungan industrial
Adanya rencana dan realisasi pengembangan kompetensi tenaga kerja
Dokumen standar jenjang karir dan implementasinya
Adanya dokumen tunjangan kesejahteraan karyawan dan implementasinya
Bila dibandingkan antara standar pada tabel 3 dengan tabel 4 maka dapat dilihat bahwa standar yang digunakan sesuai Peraturan Direktur Jenderal Bina Usaha Kehutanan No P.5/VI-BPPHH/2014maka terlihat bahwa verifier yang disyaratkan menjadi lebih rinci dan mengikat. Pemenuhan terhadap penilaian kriteria dan indikator terukur berdasarkan bukti dokumen yang secara administratif mengikuti peraturan pemerintah yang mendukung kegiatan pengelolaan hutan. Atas hal tersebut maka UM IUPHHK Hutan Alam yang lulus penilaian sertifikasi tidak diragukan lagi legalitasnya.
Perkembangan Hasil Sertifikasi PHPL pada IUPHHK Hutan Alam
Berdasarkan bedah kinerja yang dilaksanakan tahun 2016 oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan bahwa sampai dengan tahun 2016 dari 262 IUPHHK Hutan Alam, dilaporkan 90 (34%) UM mendapat hasil Baik, 25 (9,5%) UM mendapat nilai sedang, sedang dalam proses 3 (1,1%) UM, dan 24 (9,1%)UM mendapat nilai buruk. Selain itu ada 34 (12,9%)UM IUPHHK Hutan Alam yang masa sertifikatnya sudah berakhir namun belum melakukan re-sertifikasi selebihnya 86 (32,8%) UM belum terdata dalam sistem re-sertifikasi. Perbandingan jumlah UM yang lulus sertifikasi ini menunjukan bahwa pelaksanaan sertifikasi sepenuhnya belum dapat dikatakan berhasil.
Sertifikasi bukanlah jalan keluar atas permasalahan rusaknya hutan Indonesia namun dapat menjadi indikator permasalahan dalam tata kelola kehutanan. Kelemahan dalam tatakelola kehutanan dapat terbaca dari tingkat pemenuhan kriteria dan indikator penilaian yang dilakukan oleh kebanyakan Unit Manajemen IUPHHK Hutan Alam. Salah satu kelemahan yang ditemukan dalam pemenuhan kriteria dan indikator adalah masalah dana yang dikembalikan lagi ke hutan (re-investasi). Keseluruhan hasil yang penilaian sertifikasi PHPL yang dilakukan pada tahun 2013 pada Unit Manajemen IUPHHK Hutan Alam di Kalimantan Tengah menunjukan hanya 2 dari 27 Unit Manajemen yang memiliki nilai baik pada indikator kesehatan finansial dan modal yang ditanamkan kembali1. Biaya transaksi yang tinggi ditemukan tejadi pada proses perijinan, perencanaan hutan, produksi, administrasi kehutanan, pengelolaan hutan secara keseluruhan dan implementasi yang dilakukan dari setiap kebijakan yang mendukung proses kegiatan pengelolaan hutan (Kartodihardjoet al2015).
Indikator lain yang menunjang baik atau tidaknya kinerja pengelolaan hutan oleh pemegang IUPHHK Hutan Alam adalah adanya kepastian kawasan yang diterima oleh para pihak. Keberadaan tatabatas yang telah temu gelang seharusnya menjadi hal yang utama sebelum dimulainya kegiatan pengelolaan hutan. Kenyataannya penataan batas pada IUPHHK Hutan Alamterkendala oleh ketidakjelasan penataan tata guna hutan dan lahan. Proses padu serasi Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) dan Rencana tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP) yang dilakukan secara top down tidak menyelesaikan masalah bahkan lebih memberikan dampak negatif kepada sosial ekonomi masyarakat (Kartodihardjo dan Supriono 2000).
Masalah lain adalah adanya konflik atas areal hutan yang terjadi akibat adanya permasalahan penataan ruang di sektor kehutanan.Permasalahantimbul akibat adanya kebutuhan sektor lain dan masyarakat terhadap lahan untuk perkebunan, transmigrasi, pertambangan dan pemukiman. Keluarnya PP no. 10 tahun 2010 mengenai tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan mewadahi perubahan pada kawasan hutan secara parsial melalui proses tukar menukar kawasan hutan dan pelepasan kawasan hutan (Nurrochmat 2010).
1