• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Toba Samosir (Studi Tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Toba Samosir (Studi Tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah)"

Copied!
198
0
0

Teks penuh

(1)

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN RESTRUKTURISASI

ORGANISASI PERANGKAT DAERAH

DI KABUPATEN TOBA SAMOSIR

(Studi Tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara

Oleh:

NIM. 090903041

BENNY SIANTURI

DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASI NEGARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ABSTRAK

Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Toba Samosir (Studi Tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah)

Nama : Benny Sianturi (090903041) Departemen : Ilmu Administrasi Negara

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Universitas Sumatera Utara) Dosen Pembimbing : Drs. Ridwan Rangkuti, M.S

Undang-undang pemerintahan daerah berubah-ubah dan terwujud sesuai keadaan sistem politik dan pemerintahan pada masanya. Pada era reformasi sekarang undang-undang pemerintahan daerah ditetapkan dengan UU No.32 Tahun 2004, yang telah mengalami perubahan dari undang-undang sebelumnya yaitu UU No.22 Tahun 1999. Melalui undang-undang pemerintahan daerah di era reformasi ini titik tolak penyelenggaraan pemerintahan berubah ke sistem desentralisasi. Pemerintah daerah terutama kabupaten/kota menjadi titik berat pelaksanaan desentralisasi atau otonomi daerah. Oleh karena itu, pemerintah daerah dituntut harus melaksanakan apa yang menjadi kewenangannya. Salah satu substansi yang harus dilaksanakan oleh pemerintah daerah adalah mengenai otonomi organisasi, yaitu keharusan untuk mengatur dan mengurus organisasi perangkat daerah. Masalah kelembagaan atau organisasi perangkat daerah saat ini ditetapkan dengan PP No.41 Tahun 2007.

Pelaksanaan PP No.41 ini bukan tanpa masalah. Pemerintah daerah banyak yang tidak siap untuk melaksanakan peraturan pemerintah ini, sehingga dalam implementasinya terdapat banyak masalah yang menjadi beban bagi pemerintah daerah. Bagaimana efektivitas implementasi PP No.41 Tahun 2007? Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi implementasi PP No.41 tahun 2007 ini? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kemudian menjadi tujuan atau fokus bagi peneliti dalam penelitian ini untuk dicari tahu lebih lanjut.

Dalam penelitian ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang ada sesuai dengan tujuan penelitian akan dilakukan dengan pendekatan desktiptif analitis. Tujuan penelitian akan dijawab dengan memberikan gambaran-gambaran yang lebih detail sesuai dengan data atau informasi yang telah disajikan dan dianalisis, yang dikumpulkan dari hasil wawancara, kuesioner, dan juga data sekunder. Masalah dalam implementasi PP No.41 Tahun 2007 akan dijelaskan dengan menggunakan variabel yang disintesa dari beberapa model implementasi kebijakan publik. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini antara lain karakteristik isi kebijakan/peraturan pengoperasionalan, struktur birokrasi, komunikasi dan koordinasi, serta sumber daya. Sisi restrukturisasi dalam kebijakan kelembagaan dijelaskan secara terpisah dengan tiga poin yaitu kepemimpinan, arah transformasi organisasi dan juga hambatan-hambatan dalam perubahan organisasi.

(3)

dari peraturan pemerintah ini yang didefenisikan oleh informan dengan “membentuk organisasi yang kaya fungsi miskin struktur” belum tercapai. Organisasi perangkat daerah yang dibentuk belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada dalam PP No.41 Tahun 2007. Peraturan penjelas di tingkat daerah sampai sekarang belum ada. Pemahaman pegawai yang sangat minim akan peraturan ini menunjukkan sosialisasi masih sangat terbatas. Begitu juga dengan sumber daya (Manusia dan Sumber daya lain) kompetensi, penempatan pegawai, anggaran, dan sarana-saranan masih banyak kekurangan.

(4)

ABSTRACT

Implementation of Organizational Restructuring Policy in Toba Samosir Regency (Study Implementation of Government Regulation Number 41 of

2007 about Local Government Organizations)

Name : Benny Sianturi (090903041) Departement : Public Administration Sciences

Faculty : Social and Political Science (University of Sumatera Utara) Advisor : Drs. Ridwan Rangkuti, M.S

Local government regulation are changeable and embodied according to the condition of government and political system at the time. At this Reformation era Local Government Regulation is set by UU No. 32 of 2004, which was change from previous regulation UU No. 22 of 1999. Based on local government regulation in this reformation era, the starting point of governance enforcement changed to decentralized system. Local Government especially regency/city becomes the focus of decentralization or regional autonomy. Therefore, local government is prosecuted to do its authority mostly. One substance that must be implemented by the local government is the organization autonomy, which is requirement to organize and manage the local government organization. Nowadays, Institutional or organizational is set by Government Regulation (PP) No. 41 of 2007.

The implementation of PP No. 41 of 2007 is not without problems. Many local government are not ready to implement this rule, so in this implementation, there are many problems become expenses for the local government. How its effectiveness of implementation of PP No. 41 of 2007? What are the factors that affect the implementation in this PP No. 41 of 2007? Become the purpose or the focus of the researcher in this study to be described more.

In this study, to answer the questions based on purpose of this research will be conducted by descriptive analytical approach. The purpose of the study will be answered by giving the describe more detailed based on the data or information has been presented and analyzed, which were be collected from interviews, questionnaires, and the secondary data (existing data). The problem in the implementation of PP No. 41 of 2007 will be explained by using variables which are synthesized from several models of public policy implementation. The variables used in this research are content of policy/ operationalization of the regulation (ability of statue to structure implementation), bureaucratic structure, Communication and coordination, and resources. Restructuring side of institution policies expanded separately in three points, namely: leadership, organizational transformation direction and so the resistances of organization change.

(5)

provisions contained in PP No. 41 of 2007. Explanatory direction has not been made at the local level until now. Bureaucrat comprehension which is very little in regulation shows socialization is limited. Also with the resources (human and another resources) competencies, staffing, budget, and facilities there are still many deficiency.

(6)

KATA PENGANTAR

Terima kasih dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus yang menjadi

penopang bagi peneliti dalam setiap keadaan sehingga skripsi ini bisa

terselesaikan. Segala kondisi mengajarkan penulis untuk tetap bersyukur

kepada-Nya. Skripsi yang berjudul “Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Toba Samosir (Studi Tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah)” dimaksudkan untuk memenuhi salah satu syarat bagi peneliti memperoleh gelar Sarjana Ilmu Administrasi Negara pada Fakultas

Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universtas Sumatera Utara.

Terima kasih kepada kedua orang tua peneliti tercinta, D.Sianturi dan L. Br.

Hutabarat. Cinta, doa dan kasih yang diberikan selalu menyertai dan menjadi

semangat bagi peneliti untuk menyelesaikan skripsi ini. Semoga Tuhan

memberikan kesehatan dan umur yang panjang kepada kedua orang tua penulis,

agar kelak penulis bisa memberikan yang terbaik untuk mereka.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak-pihak yang

telah meluangkan waktu dan memberikan dukungan yang tiada henti sehingga

skripsi ini bisa terselesaikan. Ucapan terima kasih saya sampaiakan kepada:

1. Bapak Prof. DR. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Drs. M. Husni Thamrin Nasution, M.Si selaku Ketua Departemen Ilmu Administrasi Negara.

(7)

4. Bapak Drs. Ridwan Rangkuti, M.S selaku pembimbing skripsi peneliti yang sangat banyak memberikan waktu dan masukan bagi peneliti.

5. Ibu Dra. Februati Trimurni, M.Si selaku penguji proposal penelitian peneliti. 6. Seluruh Dosen yang mengajar di Departemen Ilmu Administrasi Negara, yang

telah memberikan pengetahuan untuk membuka wawasan peneliti terutama dalam disiplin Ilmu Administrasi Negara.

7. Seluruh pegawai di FISIP USU, terima kasih untuk bantuan dan kemudahan yang diterima oleh peneliti selama perkuliahan.

8. Kepada Bapak Drs. Liberty Manurung, MM.Biztel, Sekretaris Daerah Kabupaten Toba Samosir, yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk mengadakan penelitian di Lingkungan Pemerintah Daerah Kabupaten Toba Samosir.

9. Kepada Bapak Drs. Salomo K. Simanjuntak, Asisten Administrasi Umum Setdakab Toba Samosir, yang telah meluangkan waktunya untuk menjadi informan penelitian bagi peneliti.

10.Kepada seluruh pegawai di Bagian Organisasi Dan Tata Laksana Setdakab Toba Samosir, Bapak. Taruli Siagian, SH; Bapak Nasib Tampubolon, SE; Ibu Debora Sibarani; dan pegawai lain yang tidak peneliti sebutkan namanya. 11.Kepada abang Carles Simamora, Amd selaku informan yang banyak

meluangkan waktunya untuk berdiskusi dengan peneliti, juga kak Simamora, terima kasih.

12.Bapak dan Ibu di SKPD yang menjadi unit analisis penelitian yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu per satu. Terima kasih untuk kesedian dan bantuan bapak/ibu.

13.Kepada kakak, abang, dan adik-adik peneliti, kak Christina Ester Sianturi, bg Apul Marihot Sianturi, adik peneliti (Sakti Lider Sianturi, Gunawan Sianturi, Stevani Medeline Sianturi), terima kasih untuk doa, semangat dan dukungannya yang selalu menjadi kekuatan bagi peneliti untuk tetap berusaha. 14.Kepada kawan-kawan kelompok magang di Desa Petuaran Hilir, Mianhot

Juandi Pandiangan, Bontor Marisi Tambunan, Rio Calvary Tambunan, Renaldi Romora Hutahaean, Sorta Auly Purba, Febrianti Eliana, Decy Christine L.Tobing, Sri Amelia Girsang, Nur Fitri Hayati Lubis, Nurul Hidayah dan Syafrizal Budi Tambunan, kalian luar biasa, terima kasih.

15.Kepada kawan-kawan “satu hati satu tujuan/ satahi saoloan”, kawan-kawan AN 2009, teman seperjuangan Jaka A.P Panggabean, Doly P Ompusunggu, Widodo Sihotang, Nicholas Sitompul, Waldy Aritonang, Ali Akbar Sigalingging, Ulfa Anastasia Purba dan semua kawan-kawan yang lain yang tidak perlu saya tuliskan semua karena kalian sudah menjadi bagian hidup peneliti yang tidak akan terlupakan.

16.Kepada Bou Yanti Manalu dan Uda Jefri Manalu yang selalu menyempatkan waktunya ke Medan, terima kasih.

17.Kepada kepada adek Magdalena Panjaitan, lae Rudi Antonius Panjaitan lae Cristian Siahaan dan semua saudara-saudara peneliti di mana pun berada, terima kasih untuk doa dan dukungannya.

(8)

Yungly Simanullang, Dewi Hutagaol, Kamal Sikumbang, Hardiman Sihombing, Brando Harison, Febri Siagian, Dedi Hutapea, Rizal Gurning, Lestari Simanjuntak dan kawan-kawan yang lain.

19.Kepada kawan-kawan di kos Jl. Bahagia gang Perdamaian No.4 terima kasih banyak untuk kebersamaannya.

20.Kepada adek-adek AN 010-013, yang muda yang menginspirasi, serta semua pihak yang terlibat secara langsung ataupun tidak langsung dalam penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu per satu, terima kasih.

Semoga skripsi ini berguna bagi yang membutuhkan dan dapat memberikan

gambaran akan organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba Samosir sehingga

bermanfaat untuk perbaikan-perbaikan ke depannya. Peneliti berharap masukan

dari pihak-pihak yang membaca untuk pertimbangan dalam penelitian-penelitian

selanjutnya. Demikian kata pengantar ini saya perbuat.

Medan, Oktober 2013

(9)

DAFTAR ISI

BAB II KERANGKA TEORI….………17

2.1 Kebijakan Publik……….17

2.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik………19

2.3 Implementasi Kebijakan Publik………...22

2.3.1 Konsep Implementasi Kebijakan Publik……….22

2.3.2 Tahapan Dalam Implementasi Kebijakan Publik……..…………..26

2.3.3 Model Implementasi Kebijakan Publik………29

2.3.3.1 Model Donald Van Metern dan Carl Van Horn…………29

2.3.3.2 Model Grindle………….………...36

2.3.3.3 Model Sabatier dan Mazmanian……….37

2.3.3.4 Model George Edwards III………38

2.3.4 Keterkaitan Antar Variabel dalam Implementasi Kebijakan Publik.43 2.3.5 Variabel-Variabel yang Dianggap Relevan Mempengaruhi Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007……..45

2.4 Konsep dan Pengertian Restrukturisasi Organisasi………54

2.4.1 Struktur Organisasi dalam Kebijakan Publik…….………...54

2.4.2 Pengertian Restrukturisasi Organisasi………...…………57

2.4.3 Macam-macam Restrukturisasi Organisasi………...61

2.4.4 Unsur-unsur Pokok Restrukturisasi Organisasi………62

2.4.5 Tujuan Restrukturisasi Organisasi………63

(10)

BAB III METODE PENELITIAN………68

3.1 Bentuk Penelitian……….68

3.2 Lokasi Penelitian……….69

3.3 Unit Analisis dan Teknik Pengumpulan Data………….……….70

3.4 Teknik Analisa Data ……..………..74

BAB IV GAMBARAN UMUM………77

4.1 Gambaran Umum Kabupaten Toba Samosir………77

4.1.1 Sejarah Singkat Kabupaten Toba Samosir………77

4.1.2 Letak dan Keadaan Geografis………79

4.1.3 Pemerintahan………80

4.1.4 Penduduk dan Tenaga Kerja………82

4.1.5 Sosial………84

4.1.6 Pertanian………87

4.1.7 Perekonomian Daerah………90

4.1.8 Visi dan Misi Kabupaten Toba Samosir………91

4.2 Gambaran Umum Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah………92

4.2.1 Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah………93

4.2.2 Kedudukan, Tugas dan Fungsi Organisasi Perangkat Daerah……94

4.2.3 Besaran Organisasi Perangkat Daerah……….96

4.2.4 Perumpunan Bidang Pemerintahan………100

4.2.5 Eselon Jabatan Perangkat Daerah………102

BAB V PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS TEMUAN PENELITIAN...104

5.1 Penyajian Data………105

5.1.1 Deskripsi Hasil Wawancara……….105

5.1.2 Deskripsi Hasil Kuesioner………110

5.1.3 Deskripsi Data Sekunder………..113

5.2 Perjalanan Penataan Organisasi Perangkat Daerah……….114

5.3 Pembentukan Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir..120

5.3.1 Penetapan Peraturan Daerah tentang Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir………..120

5.3.2 Pertimbangan-pertimbangan dalam Menata Organisasi Perangkat Daerah………124

5.3.3 Perkembangan Susunan Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir………130

5.4 Analisis Implementasi Kebijakan Restrukturisasi Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir………135

(11)

Pengoperasionalan………..137

5.4.2 Analisis Variabel Struktur Birokrasi………..150

5.4.3 Analisis Variabel Koordinasi dan Komunikasi……….155

5.4.4 Analisis Variabel Sumber Daya……….160

5.4 Restrukturisasi Organisasi………170

BAB VI PENUTUP……….175

6.1 Kesimpulan……….175

6.2 Saran………178

DAFTAR PUSTAKA………180

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 4.1 Jumlah PNS per golongan dan per jabatan………79

Tabel 4.2 Struktur perekonomian Kabupaten Toba Samosir

tahun 2005-2009 (Juta/Rupiah) ………88

Tabel 4.3 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah

Provinsi………94

Tabel 4.4 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah

Kabupaten………95

Tabel 4.5 Penetapan Variabel Besaran Organisasi Perangkat Daerah Kota..96

Tabel 5.1 Perkembangan susunan organisasi perangkat daerah di

Kabupaten Toba Samosir………128

Tabel 5.2 Jumlah organisasi perangkat daerah berdasarkan

perhitungan variabel-variabel………..136

Tabel 5.3 Komposisi pejabat struktural Pemerintah Kabupaten Toba

Samosir berdasarkan golongan dan eselon tahun 2011-2013….142

Tabel 5.4 Komposisi pejabat struktural Pemerintah Kabupaten Toba Samosir berdasarkan SKPD yang menjadi unit analisis

penelitian pada tahun 2013……….143

Tabel 5.5 Jumlah Pegawai Negeri Sipil (PNS/CPNS) dan

pegawai BUMN/BUMD Pemerintah Kabupaten Toba

Samosir berdasarkan tingkat pendidikan………157

Tabel 5.6 Keadaan pegawai pada instansi yang menjadi unit

analisis penelitian pada tahun 2013.………157

Tabel 5.7 Realisasi penerimaan daerah Kabupaten Toba Samosir

tahun 2012………162

Tabel 5.8 Realisasi pengeluaran Pemerintah Kabupaten Toba Samosir

tahun 2012………163

Tabel 5.9 Realisasi pengeluaran Pemerintah Kabupaten Toba Samosir

(13)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Tahap-tahap dalam proses pembuatan kebijakan………...18

Gambar 2.2 Model Implementasi Kebijakan Meter dan Horn………...27

Gambar 2.3 Model Implementasi Kebijakan Menurut Grindle……….35

Gambar 2.4 Model Implementasi Menurut Sabatier dan Mazmanian………...36

Gambar 2.5 Model Implementasi Menurut George Edward III………41

Gambar 2.6 Hubungan antara variabel Dependen dan Independen dalam

implementasi kebijakan………..42

Gambar 2.7 Peran variabel antara dan antiseden dalam model implementasi...43

Gambar 2.8 Proses terbentuknya struktur organisasi……….54

Gambar 3.1 Komponen-kompponen analisi data………..73

Gambar 5.1 Alur proses dalam implementasi PP No.41Tahun 2007………..148

(14)

ABSTRACT

Implementation of Organizational Restructuring Policy in Toba Samosir Regency (Study Implementation of Government Regulation Number 41 of

2007 about Local Government Organizations)

Name : Benny Sianturi (090903041) Departement : Public Administration Sciences

Faculty : Social and Political Science (University of Sumatera Utara) Advisor : Drs. Ridwan Rangkuti, M.S

Local government regulation are changeable and embodied according to the condition of government and political system at the time. At this Reformation era Local Government Regulation is set by UU No. 32 of 2004, which was change from previous regulation UU No. 22 of 1999. Based on local government regulation in this reformation era, the starting point of governance enforcement changed to decentralized system. Local Government especially regency/city becomes the focus of decentralization or regional autonomy. Therefore, local government is prosecuted to do its authority mostly. One substance that must be implemented by the local government is the organization autonomy, which is requirement to organize and manage the local government organization. Nowadays, Institutional or organizational is set by Government Regulation (PP) No. 41 of 2007.

The implementation of PP No. 41 of 2007 is not without problems. Many local government are not ready to implement this rule, so in this implementation, there are many problems become expenses for the local government. How its effectiveness of implementation of PP No. 41 of 2007? What are the factors that affect the implementation in this PP No. 41 of 2007? Become the purpose or the focus of the researcher in this study to be described more.

In this study, to answer the questions based on purpose of this research will be conducted by descriptive analytical approach. The purpose of the study will be answered by giving the describe more detailed based on the data or information has been presented and analyzed, which were be collected from interviews, questionnaires, and the secondary data (existing data). The problem in the implementation of PP No. 41 of 2007 will be explained by using variables which are synthesized from several models of public policy implementation. The variables used in this research are content of policy/ operationalization of the regulation (ability of statue to structure implementation), bureaucratic structure, Communication and coordination, and resources. Restructuring side of institution policies expanded separately in three points, namely: leadership, organizational transformation direction and so the resistances of organization change.

(15)

provisions contained in PP No. 41 of 2007. Explanatory direction has not been made at the local level until now. Bureaucrat comprehension which is very little in regulation shows socialization is limited. Also with the resources (human and another resources) competencies, staffing, budget, and facilities there are still many deficiency.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dalam sejarah perkembangan otonomi di negara kita sampai sekarang,

secara legal formal, paling tidak sudah ada 7 (tujuh) Undang-undang

Pemerintahan Daerah (UU 1/45; UU 22/48; UU 1/57; UU 18/65; UU 5/74; UU

22/99; UU 32/2004). Setiap Undang-undang terwujud dari sistem politik dan

pemerintahan yang berubah-ubah sesuai dengan keadaan pada waktunya. Ketika

Indonesia baru merdeka, Undang-undang tentang otonomi daerah bisa dikatakan

“sangat darurat”, karena hanya terdiri dari 6 pasal, dan sama sekali tidak memiliki

penjelasan. Di era ke-dua, melalui UU No. 22 tahun 1948 otonomi yang ada

dikenal dengan otonomi material, yakni pemerintah pusat menentukan kewajiban

apa saja yang diserahkan kepada daerah (kewenangan dirinci dari pusat). Era Orde

Baru, dengan UU No. 5 tahun 1974 disebutkan bahwa otonomi merupakan

otonomi nyata dan bertanggung jawab dan kepala daerah merupakan wakil

pemerintah pusat di daerah. Wujud desentralisasi atau otonomi bertitik tekan pada

deconcentration overshadowing decentralization (sistem dekonsentrasi lebih dominan dari sistem desentralisasi). Ketika politik pemerintahan berbentuk

“demokrasi” (misal di Era Reformasi maka wujud desentralisasi atau otonomi

(17)

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan

Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara

Pusat dengan Daerah lahir diawali reformasi politik, yakni dengan berakhirnya

rezim Orde Baru tahun 1998. Era reformasi merupakan titik tolak perubahan

kebijakan desentralisasi di Indonesia ke arah yang nyata. Dengan UU No.22

Tahun 1999 ini daerah terutama kabupaten dan kota lebih leluasa untuk mengatur

dan mengurus sendiri urusan daerahnya.

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang mengatur pelaksanaan

otonomi daerah meletakkan titik berat pada tingkat pemerintah kabupaten dan

kota. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 7 dan pasal 11 Undang-undang

tersebut yang memberikan kewenangan sisa kepada kabupaten dan kota. Semua

kewenangan yang tidak disebutkan dalam UU No.22 Tahun 1999 sebagai

kewenangan pusat dengan sendirinya menjadi kewenagan kabupaten dan kota.

Pemberian kewenangan sisa, penyelenggaraan asas desentralisasi,

pemilihan kepala daerah mencerminkan konteks otonomi daerah yang bersifat

politis. Untuk dapat melaksanakna kewenangan yang bersifat politis tersebut,

pemerintah kabupaten dan kota kemudian harus memiliki otonomi internal yang

meliputi: otonomi organisasi, otonomi kepegawaian, otonomi keuangan dan

otonomi perencanaan. Otonomi internal ini akan menjadi penentu dan menjadi

faktor penting untuk melaksanakan otonomi secara keseluruhan (Prasojo, 2003: 2)

Dalam Utomo (2006) disebutkan, Untuk melaksanakan UU No. 22 Tahun

(18)

aspek penting dan menjadi isu strategis dalam Undang-Undang ini adalah

mengenai kelembagaan ataupun susunan pemerintahan daerah. Pemerintah

kemudian menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 84 Tahun 2000 sebagai

pedoman bagi Daerah dalam menyusun organisasi perangkat daerahnya. PP No.

84 Tahun 2000 ini diubah dengan lahirnya PP Nomor 8 Tahun 2003 yang

bertujuan mewujudkan postur organisasi perangkat daerah yang lebih

proporsional, efisien, dan efektif yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip

organisasi secara rasional dan objektif.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat di dalam PP No. 8 Tahun 2003

Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah, dalam pasal 2 ayat 1 (satu)

disebutkan bahwa besaran Organisasi Perangkat Daerah ditentukan berdasarkan

pertimbangan kewenangan pemerintah yang dimiliki oleh Daerah; karakteristik,

potensi, dan kebutuhan Daerah; kemampuan keuangan Daerah; ketersediaan

sumber daya aparatur; serta pengembangan pola kerja sama antar Daerah dan/atau

dengan pihak ketiga. Penetapan Peraturan Pemerintah ini sesuai dengan ketentuan

pasal 60 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

bahwa Perangkat Daerah terdiri dari Sekretariat Daerah, Dinas Daerah, dan

Lembaga Teknis Daerah lainnya sesuai dengan kebutuhan daerah.

Pedoman-pedoman inilah yang kemudian digunakan oleh Daerah untuk menyusun Peraturan

Daerah tentang susunan organisasi perangkat daerah.

Kekurangan-kekurangan akibat persiapan yang sangat terbatas dalam

(19)

kemudian menjadi faktor yang mengakibatkan harus dilakukannya

perbaikan-perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang No. 25

Tahun 1999 ini. Undang Otonomi daerah yang baru yakni,

Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah dan

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan

Daerah ditetapkan sebagai revisi atas Undang-Undang sebelumnya. Dengan

perubahan ini peraturan-peraturan pelaksana tentu juga perlu dilakukan perubahan.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, pasal 5 disebutkan

bahwa: “Otonomi Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah

otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan

kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Dari pengertian tersebut di atas maka akan tampak bahwa daerah diberi hak

otonom oleh pemerintah pusat untuk mengatur dan mengurus kepentingan sendiri.

Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 ditetapkan untuk membatasi

kebebasan yang berhubungan dengan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah

daerah. Sedangkan dibidang kelembagaan pemerintah menetapkan Peraturan

Pemerintah Nomor 41 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Sejalan dengan diberlakukannya undang-undang otonomi tersebut

memberikan kewenangan penyelenggaraan pemerintah daerah yang lebih luas,

nyata dan bertanggung jawab. Adanya perimbangan tugas fungsi dan peran antara

pemerintah pusat dan pemerintah daerah tersebut menyebabkan masing-masing

(20)

pembiayaan yang memadai untuk memikul tanggung jawab penyelenggaraan

pemerintahan daerah. Dengan demikian diharapkan masing-masing daerah akan

dapat lebih maju, mandiri, sejahtera dan kompetitif di dalam pelaksanaan

pemerintahan maupun pembangunan daerahnya masing-masing.

Sesuai dengan Undang-Undang No. 32 pasal 3, dimana pemerintah daerah

terdiri dari Gubernur, Bupati, Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur

penyelenggara daerah. Perangkat daerah terdiri dari unsur staf yang membantu

penyusunan kebijakan dan koordinasi, diwadahi dalam sekretariat, unsur

pengawas yang diwadahi dalam bentuk inspektorat, unsur perencana yang

diwadahi dalam bentuk badan, unsur pendukung tugas kepala daerah dalam

penyusunan dan pelaksanaan kebijakan daerah yang bersifat spesifik, diwadahi

dalam lembaga teknis daerah, serta unsur pelaksana urusan daerah yang diwadahi

dalam dinas daerah.

Dasar utama penyusunan perangkat daerah dalam bentuk suatu organisasi

adalah adanya urusan pemerintahan yang menjadi kewengan daerah, yang terdiri

dari urusan wajib dan urusan pilihan, namun tidak berarti bahwa setiap

penanganan urusan pemerintahan harus dibentuk ke dalam organisasi tersendiri.

Dengan perubahan terminologi pembagian urusan pemerintah yang bersifat

konkuren (kewenangan bersama) berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004, maka dalam implementasi kelembagaan setidaknya terwadahi fungsi-fungsi

(21)

Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi perangkat

Daerah ini pada prinsipnya dimaksudkan memberikan arah dan pedoman yang

jelas kepada daerah dalam menata organisasi yang efisien, efektif, dan rasional

sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan daerah masing-masing serta adanya

koordinasi, integrasi, singkronisasi, dan simplikasi serta komunikasi kelembagaan

antara pusat dan daerah. Dalam peraturan pemeritah tersebut, besaran organisasi

perangkat daerah sekurang-kurangnya mempertimbangkan faktor keuangan,

kebutuhan daerah, cakupan tugas yang meliputi sasaran tugas yang harus

diwujudkan, jenis dan banyaknya tugas, luas wilayah kerja kondisi geografis,

jumlah dan kepadatan penduduk, potensi daerah yang bertalian dengan urusan

yang akan ditangani, sarana dan prasarana penunjang tugas.

PP Nomor 41 Tahun 2007 ini menetapkan kriteria untuk menentukan

jumlah besaran organisasi perangkat daerah masing-masing pemerintah daerah

dengan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, dan jumlah APBD, yang

kemudian ditetapkan pembobotan masing-masing variabel yaitu 40% (empat

puluh persen) untuk variabel jumlah penduduk, 35% (tiga puluh lima persen)

untuk variabel luas wilayah dan 25% (dua puluh lima persen) untuk variabel

jumlah APBD, serta menetapkan variabel tersebut dalam beberapa kelas interval.

Demikian juga mengenai jumlah susunan organisasi disesuaikan dengan beban

tugas masing-masing perangkat daerah.

Penetapan kelas interval untuk daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota

ditentukan dengan skala yang berbeda-beda. Hal ini sesuai dengan kondisi dan

(22)

Organisasi Perangkat Daerah juga senantiasa juga tidak sama dan tidak seragam.

Berdasarkan ketentuan dalam penetapan variabel besaran Organisasi Perangkat

Daerah tersebut, dalam Bagian Kedua dan Bagian Ketiga, BAB V PP Nomor 41

Tahun 2007 ditentukan besar jumlah total nilai yang menjadi ketentuan dalam

menetapkan besaran Organisasi Perangkat Daerah. Besaran organisasi yang dapat

dibentuk sebagai berikut:

− Nilai Kurang dari 40 (empat puluh), OPD yang diwadahi (3 Asisten, 12

Dinas, 8 Lembaga Teknis Daerah)

− Nilai antara 40 (empat puluah) sampai dengan 70 (tujuh puluh), OPD

yang diwadahi (3 Asisten, 15 Dinas, 10 Lembaga Teknis Daerah)

− Nilai lebih dari 70 (tujuh puluh) OPD yang diwadahi (4 Asisten, 18

Dinas, 12 Lembaga Teknis Daerah) (diolah dari PP 41 Tahun 2007).

Restrukturisasi sebagaimana yang dimaksudkan dalam Peraturan

Pemerintah ini secara otomatis juga berlaku di Pemerintah Kabupaten Toba

Samosir. Penerapan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 di Kabupaten

Toba Samosir dilakukan dengan menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Toba

Samosir Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten

Toba Samosir. Melalui peraturan ini struktur organisasi perangkat daerah di

Kabupaten Toba Samosir diubah mengikuti ketentuan-ketentuan yang terdapat

dalam PP No. 41 Tahun 2007. Sesuai dengan tuntutan dari Peraturan Pemerintah

tersebut jelas akan banyak perubahan dari organisasi perangkat daerah di

(23)

Kabupaten Toba Samosir merupakan salah satu kabupaten di Provinsi

Sumatera Utara yang dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun

1998 Tentang Pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Toba Samosir dan

Kabupaten Daerah Tingkat II Mandailing Natal. Kabupaten Toba Samosir ini

merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Tapanuli Utara. Dengan metode

pelimpahan wewenang yang berlaku di Indonesia yang dikenal dengan sistem

general competence, maka Kabupaten Toba Samosir sebagai daerah otonom wajib untuk mengikuti ketentuan-ketentuan yang mengatur masalah wewenang

termasuk keharusan untuk menerapkan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun

2007. Metode general competence mengharuskan pemerintah daerah untuk menjalankan kewenangan materil tanpa mempertimbangkan daerah tersebut

daerah otonom baru atau daerah otonom lama. Hal inilah yang kemudian menjadi

kendala bagi daerah-daerah otonom karena banyak daerah otonom tidak siap

untuk menerapkan peraturan-praturan seperti PP No.41 Tahun 2007 ini.

Kabupaten Toba Samosir sebagai salah satu daerah otonom menurut peneliti

kemudian perlu untuk dilihat sejauhmana daerah ini mampu untuk menerapkan PP.

No.41 Tahun 2007 ini.

Sebelum Perda Nomor 2 Tahun 2008, organisasi perangkat daerah di

Kabupaten Toba Samosir diatur dalam empat peraturan daerah yaitu, Perda

Nomor 12 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi Dan Tata Kerja Sekretariat

Daerah dan Sekretariat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Toba

Samosir, Perda Nomor 13 Tahun 2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata

(24)

2004 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah

Kabupaten Toba Samosir, dan Perda No.15 Tahun 2004 Susunan Organisasi dan

Tata Kerja Kecamatan dan Kelurahan. Berdasarkan keempat Perda tersebut,

jumlah perangkat daerah Kabupaten Toba Samosir terdiri dari:

1. Sekretariat Daerah terdiri dari 3 (tiga) Asisten dan 9 (sembilan) Bagian;

2. Dinas Daerah terdiri dari 12 (dua belas) Dinas;

3. Lembaga Teknis Daerah (Badan dan Kantor) terdiri dari 5 (lima) Badan dan 3

(tiga) Kantor.

Perubahan yang kemudian terjadi setelah penerapan PP Nomor 41 Tahun 2007

melalui Perda Nomor 2 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah di

Kabupaten Toba Samosir adalah sebagai berikut:

1. Sekretariat Daerah terdiri dari 3 (tiga) Asisten dan 8 (delapan) Bagian;

2. Dinas Daerah terdiri dari 14 (empat belas) Dinas;

3. Lembaga Teknis Daerah 10 Lembaga.

Desentralisasi dalam pengelolan aparatur (otonomi organisasi) dapat dilihat

dari seberapa besar daerah memiliki kewenangan untuk membentuk struktur

birokrasinya (SKPD) dan mengangkat aparatnya untuk menduduki jabatan pada

struktur birokrasi. Setelah diberlakukannya PP Nomor 41 Tahun 2007, persoalan

yang muncul adalah terbatasnya ruang gerak pemerintah daerah karena dalam PP

tersebut mengatur secara rinci tentang struktur birokrasi daerah, bukan hanya

terkait jumlahnya tetapi juga bentuk organisasi, perumpunan, eselon bahkan

nomenklaturnya. Semangat dari PP tersebut adalah untuk mengendalikan

(25)

pemberlakuan PP tersebut justru mendorong sejumlah daerah yang sebelumnya

memiliki struktur ramping untuk mengembangkan struktur birokrasi yang lebih

gemuk mengikuti ketentuan dalam PP tersebut (Dwiyanto, 2010:190).

Jika dilihat secara sepintas dari data perubahan Organisasi Perangkat Daerah

Kabupaten Toba Samosir di atas yang terjadi adalah adanya perubahan jumlah

besaran perangkat daerah baik dinas maupun Lembaga Teknis Daerah. Jika dilihat

kembali PP No.41 Tahun 2007 ini adalah bertujuan untuk mengurangi jumlah

Dinas dan Lembaga Teknis Daerah. Peraturan Pemerintah ini pada prinsipnya

dimaksudkan untuk memberikan arah dan pedoman yang jelas kepada daerah

dalam menata organisasi yang efisien, efektif, rasional dan proporsional sesuai

dengan kebutuhan dan kemampuan daerah. Dalam penataan kelembagaan

perangkat daerah harus menerapkan prinsip-prinsip organisasi, antara lain visi dan

misi yang jelas, pelembagaan fungsi staf dan fungsi lini serta fungsi pendukung

secara tegas, efisiensi dan efektifitas, rentang kendali serta tata kerja yang jelas

(Lampiran Permendagri Nomor 57 Tahun 2007). Perubahan yang terjadi pada

Organisasi Perangkat Daerah di Kabupaten Toba Samosir ini menjadi pertanyaan

bagi peneliti apakah perubahan ini bisa dikatakan sebagai pembengkakan atau

memang ketentuan yang terdapat dalam PP No.41 Tahun 2007 inilah yang

mengakibatkan perubahan tersebut? Aspek implementasi kemudian menjadi

bagian yang menarik untuk diidentifikasi, karena aspek implementasi merupakan

sebuah proses yang kompleks yang perlu dijelaskan dengan melihat berbagai

(26)

Kebijakan restrukturisasi ini adalah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah

pusat, namun program pengimplementasiannya di serahkan pada masing-masing

daerah. Kesulitan yang timbul dikarenakan interpretasi yang bisa jadi beragam

antar daerah dan juga kesiapan daerah yang masing-masing tidak sama, sehingga

pengimplementasian dan hasilnya pun bisa berbeda dari tujuan utama kebijakan

tersebut. Melalui implementasi kebijakan selanjutnya tujuan dan sasaran dari

sebuah kebijakan dapat dilihat ataupun diukur. Tercapainya tujuan dari sebuah

kebijakan dipengaruhi oleh banyak hal, yaitu seluruh komponen-komponen yang

berhubungan dengan cara untuk mencapai sasaran dan tujuan dari sebuah

kebijakan.

Gambaran di atas menjadi gambaran persoalan yang akan lebih jauh dicari

tahu dalam penelitian ini. Aspek implementasi yang merupakan proses yang

kompleks dan menjadi aspek utama dan menurut peneliti perlu dideskripsikan

secara jelas dalam penelitian ini. Fokus perhatian bagi peneliti adalah untuk

melihat bagaimana Kabupaten Toba Samosir ini mengimplemetasikan

prinsip-prinsip organisasi sesuai dengan ketentuan-ketentuan restrukturisasi yang tertuang

di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 20017 Tentang Organisasi

Perangkat Daerah melalui peraturan turunan yaitu Perda Kabupaten Toba Samosir

Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Kabupaten Toba

(27)

1.2 Fokus Penelitian

Dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif ada yang disebut

dengan batasan masalah. Batasan masalah ini kemudian disebut dengan fokus,

yaitu pokok masalah yang masih bersifat umum. Pada penelitian kualitatif,

penentuan fokus ini didasarkan atas hasil studi pendahuluan, pengalaman,

referensi dan saran-saran dari orang yang dipandang ahli. Fokus penelitian dalam

penelitian kualitatif sifatnya juga masih sementara dan akan berkembang di

lapangan (Sugiyono, 2006:290).

Berdasarkan penjelasan tersebut, penelitian ini dimaksudkan untuk

menjelaskan proses implementasi kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat

daerah di Kabupaten Toba Samosir melalui pelaksanaan Peraturan Pemerintah

Nomor 41 Tahun 2007 yang diturunkan ke dalam Peraturan Daerah Kabupaten

Toba Samosir Nomor 2 Tahun 2008 tentang Organisasi Perangkat Daerah.

Penelitian ini menggunakan variabel-variabel pengaruh (variabel independen),

yaitu variabel yang diharapkan mampu untuk menjelaskan derajat kinerja

implementasi kebijakan terkait. Dalam penelitian ini variabel-variabel yang ada

bukan untuk diuji hubungannya, karena variabel dalam penelitian kualitatif

merupakan sesuatu yang holistik (tidak terpisah-pisah), variabel saling terikat dan

berinteraksi dalam fakta-fakta sosial.

Variabel yang mempengaruhi implementasi dalam kebijakan ini juga hanya

akan difokuskan pada variabel-variabel yang dipilih oleh peneliti, yang dianggap

(28)

Disamping batasan variabel, peneliti juga membuat batasan unit analisis atau

objek penelitian hanya pada beberapa perangkat daerah kabupaten, yaitu

Sekretariat Daerah, 1 Dinas, 1 Badan, 1 Kantor, serta 1 Kecamatan sebagai

perwakilan dari keseluruhan Organisasi Perangkat Daerah yang ada, yang diatur

di dalam Peraturan Pemerintah ini, sehingga unit analisis tidak terlalu luas dan

peneliti mampu untuk menyelesaikan penelitian ini.

1.3 Perumusan Masalah

Perumusan masalah (problem statement, statement of the problem) atau kadang-kadang disebut sebagai defenisi masalah (problem definition) merupakan tahap dimana peneliti merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian (research question) yang berhubungan dengan topik atau isu penelitian. Permusan masalah adalah konteks penelitian yang mengarahkan pelaksanaan dan pencapaian tujuan

penelitian. Peneliti ilmu sosial memusatkan perhatiaanya pada masalah atau

pertanyaan penelitian (Silalahi, 2009:54).

Masalah atau pertanyaan dalam penelitian yang saya pilih dan yang perlu

dipecahkan ialah “Bagaimana Efektivitas Implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah Di Kabupaten Toba Samosir?”

1.4 Tujuan Penelitian

Di dalam usulan/rancangan penelitian, apapun format penelitian yang

(29)

juga perlu secara tegas dan jelas merumuskan tujuan penelitian yang hendak

dihasilkan (Faisal, 2007: 100-101).

Tujuan Penelitian ini ialah untuk menjawab perumusan masalah yang telah

dikemukakan sebelumnya, yaitu mengenai efektivitas implementasi. Pertanyaan

untuk efektivitas adalah untuk mengetahui apakah hasil atau tujuan yang

diinginkan sudah tercapai? Oleh karena itu, yang menjadi tujuan dalam penelitian

ini adalah:

a. Untuk mengetahui bagaimana gambaran atas kinerja implementasi

kebijakan restrukturisasi organisasi perangkat daerah di Kabupaten Toba

Samosir sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007

Tentang Organisasi Perangkat Daerah.

b. Menjelaskan variabel-variabel yang mempengaruhi implementasi PP

No.41 Tahun 2007 di Kabupaten Toba Samosir.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian dilakukan untuk memecahkan sebuah masalah atau fenomena

sosial yang ada dalam masyarakat. Dengan kata lain, sebuah penelitian harus

benar-benar bermanfaat atau memiliki dampak bagi pihak-pihak yang

bersangkutan pada akhirnya.

Adapun Manfaat Penelitian ini ialah:

1. Manfaat secara ilmiah, penelitian ini bermanfaat bagi peneliti dalam

mengembangkan kemampuan menulis karya ilmiah dan menambah

(30)

implementasi kebijakan yakni Peraturan Pemerintah tentang Organisasi

Perangkat Daerah.

2. Manfaat secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak

yang terkait dalam pengimplementasian PP Nomor 41 Tahun 207 tentang

Organisasi Perangkat Daerah khususnya bermanfaat bagi Pemerintah

Kabupaten Toba Samosir untuk melakukan perbaikan-perbaikan dimasa yang

akan datang.

3. Manfaat secara akademis, diharapkan mampu menambah khasanah dan

literatur atau kepustakaan baru dalam penelitian sosial.

1.6 Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan

Bab ini memuat latar belakang masalah, fokus penelitian, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika

penulisan.

Bab II : Kerangka Teori

Bab ini memuat tentang teori-teori yang berhubungan dengan judul

penelitian dan definisi konsep yang diperlukan peneliti

Bab III : Metode Penelitian

Bab ini memuat bentuk penelitian, lokasi penelitian, informan

penelitian, teknik pengumpulan data dan teknik analisa data.

Bab IV : Gambaran Umum

Bab ini menguraikan tentang gambaran atau karakteristik lokasi

(31)

Bab V : Penyajian Data dan Analisis Temuan Penelitian

Bab ini memuat hasil penelitian yang diperoleh dari lapangan dan

dokumentasi serta analisa terhadap data atau informasi tersebut.

Bab VI: Penutup

Bab ini memuat kesimpulan dan saran atas hasil penelitian yang telah

(32)

BAB II

KERANGKA TEORI

2.1 Kebijakan Publik

Makna modern dari gagasan “kebijakan” dalam bahasa Inggris adalah

seperangkat aksi atau rencana yang mengandung tujuan politik (Wilson, 1887).

Sejak periode pasca Perang Dunia II. Kata Policy mengandung makna kebijakan sebagai sebuah rationale, sebuah manifestasi dari penilaiaan penuh pertimbangan. Misalnya, bayangkan bagaimana jika para politisi mengakui bahwa mereka tidak

punya kebijakan tentang persoalan x? Sebuah kebijakan adalah usaha untuk

mendefenisikan dan menyusun basis rasional untuk melakukan atau tidak

melakukan suatu tindakan (Parson, 2008: 14-17).

Sedangkan kata “publik” secara terminologi mengandung arti sekelompok

orang atau masyarakat dengan kepentingan tertentu. Menurut Wayne Parson

publik adalah aktivitas manusia yang dipandang perlu untuk diatur atau

diintervensi oleh pemerintah atau aturan sosial, atau setidaknya oleh tindakan

bersama (Parson, 2008: 3). Hal ini berarti bahwa masyarakat atau publik datang

dengan latar belakang kepentingan yang diwujudkan dalam bentuk tuntutan

(demand) dan dukungan (support). Intervensi terhadap publik oleh pemerintah ataupun oleh aturan sosialnya mendorong terjadinya perubahan-perubahan

terhadap publik melalui usaha-usaha yang telah direncanakan. Terlepas dari

perubahan tersebut membawa dampak yang bersifat baik maupun dampak yang

(33)

Usaha pemerintah untuk merespon kepentingan publik ini adalah yang

disebut dengan kebijakan publik. R. Dye (1995) mendefenisikan kebijakan publik

sebagai what government do, why they do it, and what different it makes. Harold Laswell dan Abraham Kaplan (1970) mendefenisikan sebagai a project program of goals, values, and practices. David Easton (1965) mendefenisikan sebagai the impact of government activity (Nugroho: 2006, 23-24). Berdasarkan defenisi dari para pakar tersebut dapat disimpulkan bahwa, kebijakan publik adalah segala

sesuatu yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah. “dikerjakan”

atau “tidak dikerjakan” merupakan keputusan, karena dilakukan atau tidak

dilakukan tetap akan memberikan dampak. Menurut David Easton, dalam

menghadapi tuntutan-tuntutan yang berkembang di dalam masyarakat, system

politik dapat menempuhnya melalui dua cara. Pertama, membuat keputusan-keputusan sebagaimana yang diinginkan oleh masyarakat. Kedua, melakukan politisasi, yaitu membangun nilai-nilai yang ada di dalam pemerintahan (Marijan,

2010: 6).

Membuat keputusan atau kebijakan sesuai dengan keinginan masyarakat

bukanlah hal yag mudah. Kepentingan masyarakat tidak tunggal. Pemerintah

sebelum merumuskan kebijakan perlu untuk memetakan kepentingan publik yang

berbeda-beda (public mapping). Dengan pemetaan ini bentuk perhatian publik seperti kepentingan, aspirasi, masalah-masalah masyarakat, issu yang berkembang

bisa dikenali. Pemetaan kepentingan ini akan sangat berguna karena pemerintah

akan mengetahui kepentingan yang mana yang paling mendesak dan paling

(34)

mengandung manfaat yang paling besar kepada masyarakat. Dengan mengenali

rakyatnya, pemerintah akan mengerti apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh rakyat.

2.2 Tahap-Tahap Kebijakan Publik

Tahap-tahap atau proses pembuatan kebijakan dapat divisualisasikan

sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan

waktu: penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi

kebijakan, dan penilaian kebijakan. Berikut gambar dari tahapan dalam proses

pembuatan kebijakan publik:

(35)

1. Perumusan Masalah

Perumusan masalah dapat memasok pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan yang mempersoalkan asumsi-asumsi yang mendasari defenisi masalah

dan memasuki proses pembuatan kebijakan melalui penyusunan agenda (agenda setting). Perumusan masalah dapat membantu menemukan asumsi-asumsi yang

tersembunyi, mendiagnosis penyebab-penyebabnya, memetakan tujuan-tujuan

yang memungkinkan, memadukan pandangan-pandangan yang bertentangan, dan

merancang peluang-peluang kebijakan yang baru.

2. Peramalan

Peramalan dapat menyediakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan

tentang masalah yang akan terjadi di masa mendatang sebagai akibat dari

diambilnya alternatif, termasuk tidak melakukan sesuatu. Ini dilakukan dalam

tahap formulasi kebijakan. Peramalan dapat menguji masa depan yang plausible, potensial dan secara normatif bernilai, mengestimasi akibat dari kebijakan yang

ada atau yang diusulkan, mengendali kendala-kendala yang mungkin akan terjadi

dalam pencapaian tujuan, dan mengestimasi kelayakan politik (dukungan dan

oposisi) dari berbagai pilihan.

3. Rekomendasi

Rekomendasi membuahkan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan

tentang manfaat atau biaya dari berbagai alternatif yang akibatnya di masa

(36)

kebijakan pada tahap adopsi kebijakan. Rekomendasi membantu mengestimasi tingkat resiko dan ketidakpastian, mengenali eksternalitas dan akibat ganda,

menentukan kriteria dalam membuat pilihan, dan menentukan

pertanggungjawaban administrative bagi implementasi kebijakan.

4. Pemantauan

Pemantauan (monitoring) menyediakan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan tentang akibat dari kebijakan yang diambil sebelumnya. Ini membantu

pengambil kebijakan dalam tahap implementasi kebijakan. Banyak badan secara teratur memantau hasil dan dampak kebijakan dengan menggunakan berbagai

indikator kebijakan di bidang kesehatan, pendidikan, perumahan, kesejahteraan,

kriminalitas, dan ilmu dan teknologi. Pemantauan membantu menilai tingkat

kepatuhan, menemukan akibat-akibat yang tidak diinginkan dari kebijakan dan

program, mengidentifikasi hambatan dan rintangan implementasi, dan

menemukan letak pihak-pihak yang bertanggung jawab pada setiap tahapan

kebijakan.

5. Evaluasi

Evaluasi membuahkan penngetahuan yang relevan dengan kebijakan

tentang ketidaksesuaian antara kinerja kebijakan yang diharapkan dengan

benar-benar dihasilkan. Jadi ini membantu pengambilan kebijakan pada tahap penilaian

kebijakan terhadap proses pembuatan kebijakan. Evaluasi tidak hanya

menghasilkan kesimpulan mengenai seberapa jauh masalah telah terselesaikan;

(37)

mendasari kebijakan, membantu dalam penyesuaian dan perumusan kembali

masalah (Dunn, 2003: 25-29).

2.3 Implementasi Kebijakan Publik

2.3.1 Konsep Implementasi Kebijakan Publik

Studi kebijakan publik terdiri dari dua bagian besar yaitu analisis kebijakan

publik dan proses kebijakan publik. Salah satu bagian dari proses kebijakan publik

adalah implementasi kebijakan publik. Bagian analisis kebijakan publik biasanya

mengkaji hubungan antara suatu kebijakan dengan masalah, isi dari kebijakan,

mengkaji apa yang dilakukan dan tidak dilakukan oleh pembuat kebijakan, serta

konsekuensi yang akan tercipta (Output) dari suatu kebijakan. Analisis kebijakan

pada dasarnya merupakan bentuk perekayasaan dan perbaikan terhadap suatu

kebijakan (Parson, 2008: 19-31).

Pada bagian proses kebijakan publik, kebijakan publik dipandang sebagai

sebuah proses. Artinya, kebijakan publik akan dilihat berdasarkan tingkatan

praktisnya, yaitu bagaimana kebijakan dibuat, dimplementasikan dan pada

akhirnya kebijakan harus melakukan perubahan-perubahan tertentu. Banyak pakar

yang menawarkan bentuk dari proses kebijakan ini, tetapi dari sebagian banyak

tawaran itu Jones menyimpulkan bahwa pada dasarnya semua bentuk proses itu

dapat dikelompokkan menjadi empat tahap, yaitu:

1. Tahap bagaimana masalah-masalah yang ada bisa masuk ke ruang publik

2. Tahap bagaimana pemerintah melakukan tindakan-tindakan konkret

(38)

3. Tahap dimana tindakan-tindakan pemerintah itu masuk ke masalah di

lapangan.

4. Dan kemudian tahap dimana kebijakan kembali ke pemerintah agar

ditinjau kembali dan diadakan perubahan-perubahan yang dianggap

mungkin (Putra, 2003:26-32).

Penggunaan istilah implementasi pertama sekali digunakan oleh Harold

Lawswell (1956). Sebagai ilmuwan yang pertama sekali mengembangkan studi

tentang kebijakan publik, Laswell menggagas suatu pendekatan yang ia sebut

sebagai pendekatan proses (policy process approach). Menurutnya, agar ilmuwan memperoleh pemahaman yang baik tentang apa sesungguhnya kebijakan publik,

maka kebijakan publik harus diurai menjadi beberapa bagian sebagai

tahapan-tahapan, yaitu: agenda-setting, formulasi, legitimasi, implementasi, evaluasi, reformulasi dan terminasi. Dari siklus tersebut terlihat secara jelas bahwa

implementasi hanyalah bagian atau salah satu tahap dari proses besar bagaimana

suatu kebijakan publik dirumuskan (Purwanto, 2012:17).

Istilah implementasi oleh Laswell digunakan hanya untuk menunjukkan

bahwa implementasi merupakan salah satu tahapan dalam proses besar kebijakan

publik, Laswell belum memberi penekanan secara khusus tentang arti pentingnya

implementasi. Tetapi dalam perkembangannya kemudian istilah implementasi

kemudian menjadi suatu konsep yang mulai dikenal dalam disipilin ilmu politik,

ilmu administrasi publik dan lebih khusus lagi dalam ilmu kebijakan publik yang

(39)

selanjutnya Jeffrey Pressman dan Aaron Wildavsky (1973) merupakan dua

ilmuwan pertama yang secara eksplisit menggunakan konsep implemetasi untuk

menjelaskan fenomena kegagalan suatu kebijakan dalam mencapai sasarannya.

Hal inilah yang menjadikan kedua ahli ini layak diberikan kredit besar sebagai

pioneer dalam pengembangan studi implementasi kebijakan publik. Menurut

mereka, imlementasi dimaknai dengan beberapa kata kunci sebagai berikut: untuk

menjalankan kebijakan (to carry out), untuk memenuhi janji-janji sebagaimana dinyatakan dalam dokumen kebijakan (to fulfill), untuk menghasilkan output sebagaimana dinyatakan dalam tujuan kebijakan (to produce), untuk menyelesaikan misi yang harus diwujudkan dalam tujuan kebijakan (to complete) (Purwanto, 2012:17-20).

Setelah dirintis oleh dua sarjana ini, konsep implementasi kemudian mulai

dikenal luas dan mulai di dalami oleh para ilmuwan kebijakan publik. Mazmanian

dan Sabatier (Nugroho, 2006:119) mengemukakan bahwa implementtasi adalah

upaya melaksanakan keputusan kebijakan. Mazmanian dan Sabatier

mengemukakan:

(40)

Berdasarkan pengertian tersebut implementasi dapat diartikan sebagai

pelaksanaan keputusan dasar yang biasanya dituangkan dalam bentuk

undang-undang, keputusan pemerintah/eksekutif ataupun keputusan badan peradilan.

Biasanya keputusan tersebut mengidentifikasi masalah yang dihadapi, tuntutan

dalam berbagai bentuk yang ingin dicapai serta struktur dari proses implementasi.

Menurut Robert Nakamura dan Frank Smallwood (1980), hal-hal yang

berhubungan dengan implementasi kebijakan adalah keberhasilan dalam

mengevaluasi masalah dan kemudian menerjemahkan ke dalam

keputusan-keputusan yang bersifat khusus. Sementara itu, Van Meter dan Van Horn

membatasi implementasi kebijakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan

oleh individu-idividu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun swasta yang

diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam keputusan

kebijakan sebelumnya. Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk

mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan operasional dalam

kurun waktu tertentu maupun dalam rangka melanjutkan usaha-usaha untuk

mencapai perubahan-perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh

keputusan-keputusan kebijakan (Winarno, 2004:102).

Agus Purwanto (2012) mengemukakan bahwa implementasi intinya adalah

kegiatan untuk mendistribusikan keluaran kebijakan (to deliver policy output) yang dilakukan oleh para implementer kepada kelompok sasaran (target group) sebagai upaya untuk mewujudkan tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan diharapkan

(41)

baik oleh kelompok sasaran sehingga dalam waktu jangka panjang hasil kebijakan

akan mampu diwujudkan (Purwanto, 2012:21). Oleh karena itu, sebuah program

kebijakan harus diimplementasikan magar mempunyai dampak atau tujuan yang

diinginkan.

Implementasi merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik.

Implementasi merupakan tahapan atau serangkaian kegiatan setelah suatu

kebijakan dirumuskan. Tanpa suatu implementasi maka suatu kebijakan yang

telah dirumuskan akan sia-sia belaka. Implementasi kebijakan merupakan hal

yang paling berat, karena disini masalah-masalah yang kadang tidak dijumpai

dalam konsep, muncul di lapangan (Nugroho, 2006:119).

2.3.2 Tahapan Dalam Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi pada hakikatnya juga upaya pemahaman apa yang seharusnya

terjadi setelah sebuah program dilaksanakan. Implementasi kebijakan tidak hanya

melibatkan instansi yang bertanggungjawab untuk pelaksanaan kebijakan tersebut,

namun juga menyangkut jaringan kekuatan politik, ekonomi, dan sosial. Dalam

tataran praktis, implementasi adalah proses pelaksanaan keputusan dasar. Proses

tersebut terdiri atas beberapa tahapan yakni:

1. tahapan pengesahan peraturan perundangan

2. pelaksanaan keputusan oleh instansi pelaksana

3. kesediaan kelompok sasaran untuk menjalankan keputusan

4. dampak nyata keputusan baik yang dikehendaki atau tidak

(42)

6. upaya perbaikan atas kebijakan atau peraturan perundangan

Berikut ini merupakan tahapan-tahapan operasional implementasi sebuah

kebijakan:

1. Tahapan intepretasi. Tahapan ini merupakan tahapan penjabaran sebuah kebijakan yang bersifat abstrak dan sangat umum ke dalam kebijakan atau

tindakan yang lebih bersifat manajerial dan operasional. Dalam Nugroho

(2006) disebutkan bahwa untuk mengimplementasikan kebijakan publik, ada

dua pilihan langka yang ada, yaitu langsung mengimplementasikan dalam

bentuk program-program atau melalui formulasi kebijakan derivat atau

turunan dari kebijkan publik tersebut. Kebijakan abstrak biasanya tertuang

dalam bentuk peraturan perundangan yang dibuat oleh lembaga eksekutif dan

legislatif, bisa berbentuk perda ataupun undang-undang. Kebijakan manajerial

biasanya tertuang dalam bentuk keputusan eksekutif yang bisa berupa

peraturan presiden maupun keputusan kepala daerah, sedangkan kebijakan

operasional berupa keputusan pejabat pemerintahan bisa berupa

keputusan/peraturan menteri ataupun keputusan kepala dinas terkait. Kegiatan

dalam tahap ini tidak hanya berupa proses penjabaran dari kebijakan abstrak

ke petunjuk pelaksanaan/teknis namun juga berupa proses komunikasi dan

sosialisasi kebijakan tersebut baik yang berbentuk abstrak maupun operasional

kepada para pemangku kepentingan.

(43)

diidentifikasikan sebagai berikut: instansi pemerintah (baik pusat maupun

daerah); sektor swasta; LSM maupun komponen masyarakat. Setelah

pelaksana kebijakan ditetapkan; maka dilakukan penentuan prosedur tetap

kebijakan yang berfungsi sebagai pedoman, petunjuk dan referensi bagi

pelaksana dan sebagai pencegah terjadinya kesalahpahaman saat para

pelaksana tersebut menghadapi masalah. Prosedur tetap tersebut terdiri atas

prosedur operasi standar (SOP) atau standar pelayanan minimal (SPM).

Langkah berikutnya adalah penentuan besaran anggaran biaya dan sumber

pembiayaan. Sumber pembiayaan bisa diperoleh dari sektor pemerintah

(APBN/APBD) maupun sektor lain (swasta atau masyarakat). Selain itu juga

diperlukan penentuan peralatan dan fasilitas yang diperlukan, sebab peralatan

tersebut akan berperan penting dalam menentukan efektifitas dan efisiensi

pelaksanaan kebijakan. Langkah selanjutnya – penetapan manajemen

pelaksana kebijakan – diwujudkan dalam penentuan pola kepemimpinan dan

koordinasi pelaksanaan, dalam hal ini penentuan focal point pelaksana

kebijakan. Setelah itu, jadwal pelaksanaan implementasi kebijakan segera

disusun untuk memperjelas hitungan waktu dan sebagai salah satu alat

penentu efisiensi implementasi sebuah kebijakan.

(44)

2.3.3 Model Implementasi Kebijakan Publik

2.3.3.1 Model Donald Van Meter dan Carl Van Horn

Gambar 2.2

Model implementasi kebijakan Meter dan Horn

Van Meter dan Van Horn menawarkan suatu model dasar yang mempunyai

enam variabel yang membentuk ikatan (lingkage) antara kebijakan dan pencapaian (performance). Meter dan Horn (1975) dalam Wibawa (1994:19) merumuskan sebuah abstraksi yang memperlihatkan hubungan berbagai faktor

yang mempengaruhi hasil atau kinerja suatu kebijakan. Model ini seperti yang

diungkapkan oleh Van Meter dan Van Horn, tidak hanya menentukan hubungan

antara variabel-variabel bebas dan variabel terikat mengenai

kepentingan-kepentingan, tetapi juga menjelaskan hubungan-hubungan antara variabel-variabel

bebas. Selain itu dengan model ini indikator-indikator yang memuaskan dapat

dibentuk dan data yang tepat dapat dikumpulkan. Dengan menggunakan

(45)

mempunyai harapan yang besar untuk menguraikan proses-proses dengan cara

melihat bagaimana keputusan-keputusan kebijakan dilaksanakan dibandingkan

hanya sekedar menghubungkan variabel bebas dan variabel terikat dalam suatu

cara yang semena-mena. Variabel-variabel tersebut dijelaskan Van Meter dan Van

Horn sebagai berikut:

1. Standar dan tujuan kebijakan

Suatu kebijakan tentu telah menegaskan standar dan sasaran tertentu yang

harus dilaksanakan oleh para pelaksana kebijakan. Kinerja kebijakan pada

dasarnya merupakan penilaian atas tingkat ketercapaian standar dan sasaran

tersebut. Karena dijadikan sebagai kriteria penilaian, maka standar dan sasaran

dirmuskan secara spesifik dan kongkret (Wibawa, 1994:20). Menurut Van Meter

dan Van Horn, identifikasi indikator-indikator pencapaian merupakan tahap yang

krusial dalam analisis implementasi kebijakan. Indikator-indikator pencapaian ini

menilai sejauhmana ukuran dasar dan tujuan kebijakan telah terealisasikan.

Ukuran-ukuran dasar (standar kebijakan) dan tujuan berguna di dalam

menguraikan tujuan-tujuan keputusan kebijakan secara menyeluruh.

Dalam melakukan studi implementasi, tujuan-tujuan dan sasaran-sasaran

suatu program yang akan dilaksanakan harus diidentiikasi dan diukur karena

implementasi tidak dapat berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan-tujuan itu

tidak dipertimbangkan. Dalam menentukan ukuran-ukuran dasar dari

sasaran-sasaran, kita dapat menggunakan pernyataan-pernyataan dari para pembuat

(46)

regulasi-regulasi dan garis-garis pedoman program yang menyatakan kriteria untuk

evaluasi pencapaian kebijakan. Akan tetapi, dalam beberapa hal ukuran-ukuran

dasar dan sasaran-sasaran kebijakan harus dideduksikan oleh peneliti perorangan

dan pilihan ukuran-ukuran pencapaian bergantung pada tujuan-tujuan yang

didukung oleh penelitian (Winarno, 2004:110-112).

2. Sumber daya

Di samping standar dan tujuan kebijakan, yang perlu mendapatkan perhatian

dalam proses implementasi kebijakan adalah sumber daya yang tersedia.

Kebijakan menuntut tersedianya sumber daya, baik berupa dana maupun

perangsang (incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif. Sumber-sumber layak mendapat perhatian karena sangat

menunjuang dalam keberhasilan implementasi kebijakan. Dalam praktek

implementasi kebijakan, kita seringkali mendengar para pejabat maupun

pelaksana mengatakan bahwa kita tidak mempunyai cukup dana untuk membiayai

program-program yang telah direncakan. Dengan demikian, besar kecilnya dana

akan menjadi salah satu faktor yang menentukan keberhasilan implementasi

kebijakan (Winarno, 2004:112).

3. Aktivitas implementasi dan komunikasi antar organisasi

Kejalasan standar dan sasaran tidak menjamin implementasi yang efektif

apabila tidak dibarengi dengan adanya komunikasi antar organisasi dan aktivitas

pengukuhan. Semua pelaksana harus memahami apa yang diidealkan oleh

(47)

komunikasi adalah proses yang rumit, yang sangat potensial untuk terjadi

penyimpangan. Hal ini menyangkut persoalan kewenangan dan kepemimpinan.

Organisasi atasan (superior) mestinya mampu mengkondisikan organisasi

bawahan atau pelaksana untuk memiliki idealita sebagaimana yang dikehendaki

oleh kebijakan (Wibawa, 2004: 20).

Implementasi akan berjalan efektif bila standar dan tujuan dipahami oleh

individu yang bertanggung jawab dalam pencapaian kebijakan. Dengan demikian,

tujuan dan standar yang jelas, komunikasi yang tepat dengan pelaksana,

konsistensi dan keseragaman tujuan dan standar yang dikomunikasikan dengan

berbagai sumber informasi sangat perlu diperhatikan. Komunikasi di dalam dan

antara organisasi-organisasi merupakan suatu proses yang kompleks dan sulit.

Dalam meneruskan pesan-pesan ke bawah dalam suatu organisasi atau dari suatu

organisasi ke organisasi lainnya, para komunikator dapat menyimpannya atau

menyebarluaskannya, baik secara sengaja atau tidak sengaja. Lebih dari itu, jika

sumber-sumber informasi ataupun sumber yang sama memberikan interpretasi

yang tidak konsisten terhadap ukuran-ukuran dasar dan tujuan-tujuan atau bahkan

bertentangan, maka para pelaksana kebijakan akan mendapatkan kesulitan yang

lebih besar untuk melaksanakan maksud-maksud dari kebijakan. Oleh karena itu,

menurut Van Meter dan Van Horn prospek-prospek tentang implementasi yang

efektif ditentukan oleh kejelasan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan yang

dinyatakan dan oleh ketepatan dan konsistensi dalam mengkomunikasikan

(48)

Menurut Van Meter dan Van Horn, implementasi yang berhasil sering kali

membutuhkan mekanisme-mekanisme dan prosedur-prosedur lembaga. Hal ini

akan membantu atasan mendorong bawahan (pelaksana) untuk bertindak dalam

suatu cara yang konsisten dengan ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan.

Para pejabat dalam organisasi mempunyai pengaruh dan kekuasaan personil

dikarenakan posisi hierarkhis mereka. Pengaruh dan kekuasaan itu antara lain

dalam hal, rekrutmen dan seleksi, jenjang karir bawahan, kontrol atas alokasi

anggaran, mempengaruhi perilaku bawahan serta mempunyai kewenangan dalam

menanggapi pencapaian kebijakan.

Hubungan-hubungan antar organisasi maupun antar pemerintah dalam

kegiatan pelaksanaan terlihat dalam dua tipe. Pertama, nasihat dan bantuan teknis yang dapat diberikan. Pejabat-pejabat tingkat tinggi dapat membantu para

bawahan menginterpretasikan peraturan-peraturan dan garis-garis pedoman

pemerintah, menstrukturkan tanggapan-tanggapan terhadap inisiatif-inisiatif dan

memperoleh sumber-sumber fisik dan teknis yang diperlukan yang berguna dalam

melaksanakan kebijakan. Kedua, atasan dapat menyandarkan pada berbagai sanksi,

baik positif maupun negatif. Menurut Van Meter dan Van Horn, kita dapat

menyelidiki aspek pelaksanaan ini dengan menunjuk kepada perbedaan antara

kekuasaan normatif, renumeratif, dan keuasaan koersif (Winarno, 2004:112-114).

4. Karakteristik dari agen pelaksana/ implementor

Menurut Ripley (1973) struktur dari agen pelaksana, yang meliputi

(49)

berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi (Wibawa, 1994:20-21). Van

Meter dan Van Horn menyatakan bahwa karakteristik dari badan pelaksana dilihat

dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi diartikan sebagai karakteristik, norma

dan pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang

memounyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka

miliki dengan menjalankan kebijakan. Komponen dari model ini terdiri dari

ciri-ciri struktur formal dari organisasi dan atribut-atribut yang tidak formal dari

personil mereka. Disamping itu, perhatian juga perlu ditujukan kepada

ikatan-ikatan badan pelaksana dengan pemeran-pemeran serta dalam sistem

penyampaian kebijakan (Winarno, 2004: 116). Menurut Van Meter dan Van Horn

organisasi pelaksana memiliki enam variabel yang harus diperhatikan, yaitu: (1)

kompetensi dan jumlah staf, (2) rentang dan derajat pengendalian, (3) dukungan

politik yang dimiliki, (4) kekuatan organisasi, (5) derajat keterbukaan dan

kebebasan komunikasi, dan (6) keterkaitan dengan pembuat kebijakan (Wibawa,

1994:21).

5. Kondisi ekonomi, sosial, dan politik

Kondisi-kondisi ekonomi, sosial, dan politik merupakan variabel

selanjutnya yang diidentifikasi oleh Van Meter dan Van Horn. Sebagaimana dapat

diambil inferensi logis dari bagan sistem kebijakan di depan, kondisi sosial,

ekonomi dan politik juga berpengaruh terhadap efektivitas implementasi

kebijakan. Ini merupakan implikasi dari perspektif sistemik. Beberapa item

(50)

1. Apakah sumber daya ekonomi yang dimiliki organisasi pelaksana cukup

memadai untuk mengejar efektivitas yang tinggi?

2. Bagaimana keadaan sosial-ekonomi dari masyarakat yang akan dipengaruhi

kebijakan?

3. Apa opini publik yang dominan, dan bagaimana pendapat publik terhadap

kebijakan?

4. Apakah elit politik mendukung implementasi kebijakan?

5. Adakah kekuatan penentang?

6. Sejauh mana kelompok kepentingan dan swasta mendukung atau menentang

kebijakan (Wibawa, 1994: 21)?

6. Kecenderungan (disposition) dari pelaksana/implementor

Kesemua variabel tadi membentuk sikap pelaksana terhadap kebijakan yang

mereka implementasikan, untuk pada akhirnya menentukan seberapa tinggi

kinerja kebijakannya. Kognisi, netralitas dan obyektivitas para individu pelaksana

sangat berpengaruh bentuk respons mereka terhadap semua variabel tersebut.

Wujud respons individu pelaksana menjadi penyebab dari berhasil dan gagalnya

implementasi. Jika pelaksana tidak memahami tujuan kebijakan, lebih-lebih

apabila sistem nilai yang mempengaruhi sikapnya berbeda dengan sistem nilai

pembuat kebijakan maka implementasi tidak akan efektif. Hal yang sama juga

Gambar

Gambar 2.2
Gambar 2.3
Gambar 2.4
Gambar 2.5
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pemerintah Kota Padang merupakan salah satu daerah otonom yang tanggap dalam merespon tujuan dari PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Organisasi Perangkat Daerah,

Dari hasil penelitian diperoleh bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 41 tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah terkait dengan tiga substansi yang diteliti yakni,

restrukturisasi organisasi pemerintah NHFDPDWDQ´ 'HILQLVL NRQVHSVLRQDO GDUL kebijakan restrukturisasi organisasi pemerintah kecamatan adalah kebijakan penyusunan atau

Pola hubungan pengaruh implementasi kebijakan restrukturisasi terhadap efektivitas organisasi di Sekretariat Daerah Kota Manado tersebut adalah sangat berarti/nyata atau

Sebagai implementasi dari kebijakan restrukturisasi organisasi perengkat daerah tersebut, Pemerintah Daerah Kota Manado telah melakukan restrukturisasi atau penataan

Diatur pula dalam Peraturan Pemerintah ini mengenai pembentukan lembaga lain dalam rangka melaksanakan kebijakan Pemerintah, sebagai bagian dari perangkat daerah, seperti

Pada Sekretariat Daerah Kota Samarinda implementasi Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 Tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah Kota Samarinda

Definisi konsepsional dari kebijakan restrukturisasi organisasi pemerintah kecamatan adalah kebijakan penyusunan atau penataan kembali organisasi pemerintah kecamatan