KARYA TULIS ILMIAH
PENGARUH PEMBERIAN AROMATERAPI LAVENDER DAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP SKALA NYERI PADA
PASIEN POST OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS DI RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh
Derajat Sarjana Ilmu Keperawatan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh ZERLINDA GHASSANI
20120320146
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
i
KARYA TULIS ILMIAH
PENGARUH PEMBERIAN AROMATERAPI LAVENDER DAN TEKNIK RELAKSASI NAFAS DALAM TERHADAP SKALA NYERI PADA
PASIEN POST OPERASI FRAKTUR EKSTREMITAS DI RS PKU MUHAMMADIYAH GAMPING
Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Syarat Memperoleh
Derajat Sarjana Ilmu Keperawatan pada Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Disusun oleh ZERLINDA GHASSANI
20120320146
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
iii
PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama : Zerlinda Ghassani
NIM : 20120320146
Program Studi : Ilmu Keperawatan
Fakultas : Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UMY
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa Karya Tulis Ilmiah yang penulis tulis ini benar-benar merupakan hasil karya penulis sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks yang dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir Karya Tulis Ilmiah ini.
Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan Karya Tulis Ilmiah ini hasil jiplakan, maka penulis bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut.
Yogyakarta, Agustus 2016 Yang membuat pernyataan,
iv
HALAMAN PERSEMBAHAN
Tiada nikmat yang paling indah selain nikmat yang Allah SWT berikan kepada saya. Nikmat sehat, nikmat kekuatan, dan atas nikmat lindungan yang Dia berikan sehingga saya akhirnya dapat menyelesaikan karya tulis
ini.
Karya tulis ini saya persembahkan untuk orang-orang yang sangat saya sayangi dan mudahan yang selalu menyayangi saya sampai kapanpun.
Saya persembahkan karya tulis ini untuk:
Ibu Nia yang selalu memanjatkan doa untuk saya dan yang selalu memberikan semangat, Ayah Rostan yang selalu memberikan dukungan financial, dan Saudara laki-laki yang saya banggakan (Adryan Sanjani,
Gusnandar Abdi Negara, dan Fahmi Adiyatma Makkaratte).
Selain itu saya persembahkan juga kepada sahabat-sahabat saya yaitu Aris Handoko dan Agus Gunadi yang selalu menjadi sahabat saya dan
selalu direpotkan, dan Hafidha Fatma Sari, Ma’rifatul Fadilat, serta Ardhina Permata Sari sahabat wanita saya.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT, Sang pengatur kehidupanyang telah memberikan kesempatan dan kemampuan sehingga Karya Tulis Ilmiah (KTI) berjudul ’’Pengaruh Pemberian Aromaterapi Lavender dan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Skala Nyeri pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas di RS PKU Muhammadiyah Gamping’’ ini dapat tersusun dan diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan pendidikan ilmu keperawatan di Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Peneliti menyadari masih banyak kemungkinan kesalahan dan kekurangan yang terjadi dalam penulisan KTI, walaupun peneliti telah mengerjakan dengan semaksimal mungkin. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini peneliti mengucapkan terimakasih kepada berbagai pihak yang membantu dalam penyusunan KTI ini, terutama kepada:
1. dr. H. Ardi Pramono, Sp.An., M.Kes selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
2. Sri Sumaryani S.Kep., Ns., M.Kep., Sp.Mat., HNC selaku ketua Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
3. Erfin Firmawati, Ns., MNS selaku dosen pembimbing yang telah membimbing saya hingga menyelesaikan KTI ini.
4. Arianti., M.Kep., Ns., Sp.Kep.MB selaku dosen penguji yang telah menguji dan memberikan saran-saran untuk KTI ini.
Penulis sangat mengharapkan bimbingan, kritik dan saran demi kemajuan bersama. Akhir kata penulis ucapkan terima kasih kepada para pembaca semoga Allah SWT melindungi kita semua.
Wassalammu’alaikum Wr Wb
vi DAFTAR ISI
KARYA TULIS ILMIAH ... i
HALAMAN PENGESAHAN KTI ... Error! Bookmark not defined. PERNYATAAN KEASLIAN PENELITIAN ... iii
HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi INTISARI ... Error! Bookmark not defined.
ABSTRACT ... Error! Bookmark not defined.
BAB I PENDAHULUAN ... Error! Bookmark not defined.
A. Latar Belakang ... Error! Bookmark not defined.
B. Rumusan Masalah ... Error! Bookmark not defined.
C. Tujuan Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
D. Manfaat Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
E. Penelitian Terkait ... Error! Bookmark not defined.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined.
A. Landasan Teori ... Error! Bookmark not defined.
1. Konsep Fraktur ... Error! Bookmark not defined.
2. Nyeri ... Error! Bookmark not defined.
3. Relaksasi Nafas Dalam ... Error! Bookmark not defined.
4. Aromaterapi Lavender ... Error! Bookmark not defined.
5. Mekanisme Penurunan Nyeri dengan Aromaterapi Lavender dan Teknik Relaksasi Nafas Dalam ... Error! Bookmark not defined.
B. Kerangka Konsep ... Error! Bookmark not defined.
C. Hipotesis ... Error! Bookmark not defined.
BAB III METODE PENELITIAN ... Error! Bookmark not defined.
A. Desain Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
B. Populasi dan Sampel Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
C. Lokasi dan Waktu Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
D. Variabel Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
E. Definisi Operasional ... Error! Bookmark not defined.
F. Instrumen Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
G. Cara Pengumpulan Data ... Error! Bookmark not defined.
H. Uji Validitas dan Reliabilitas ... Error! Bookmark not defined.
I. Pengolahan dan Metode Analisis Data ... Error! Bookmark not defined.
J. Prinsip Etik dalam Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... Error! Bookmark not defined.
A. Hasil Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian .... Error! Bookmark not defined.
2. Karakteristik Responden ... Error! Bookmark not defined.
vii
4. Perbedaan Skala Nyeri Pre Test dan Post Test Antara Kelompok Intervensi dan Kelompok Kontrol ... Error! Bookmark not defined.
B. Pembahasan ... Error! Bookmark not defined.
1. Karakteristik Responden ... Error! Bookmark not defined.
2. Pengaruh Pemberian Aromaterapi Lavender dan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Skala Nyeri pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas ... Error! Bookmark not defined.
C. Kekuatan dan Kelemahan Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
1. Kekuatan Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
2. Kelemahan Penelitian ... Error! Bookmark not defined.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... Error! Bookmark not defined.
A. Kesimpulan ... Error! Bookmark not defined.
B. Saran ... Error! Bookmark not defined.
DAFTAR PUSTAKA ... Error! Bookmark not defined.
LAMPIRAN ... Error! Bookmark not defined.
Lembar Penjelasan Penelitian Kelompok IntervensiError! Bookmark not defined.
Lembar Penjelasan Penelitian Kelompok Kontrol . Error! Bookmark not defined.
Lembar Persetujuan Menjadi Responden ... Error! Bookmark not defined.
Data Penelitian Intervensi ... Error! Bookmark not defined.
Data Penelitian Kontrol ... Error! Bookmark not defined.
Protokol Pelaksanaan Pemberian Intervensi ... Error! Bookmark not defined.
Data Demografi Kelompok Kontrol ... Error! Bookmark not defined.
Data Demografi Kelompok Intervensi ... Error! Bookmark not defined.
Skala Nyeri Kelompok Intervensi ... Error! Bookmark not defined.
Skala Nyeri Kelompok Kontrol ... Error! Bookmark not defined.
Karakteristik Demografi dan Skala Nyeri Kelompok IntervensiError! Bookmark not defined.
Karakteristik Demografi dan Skala Nyeri Kelompok KontrolError! Bookmark not defined.
Tes Normalitas ... Error! Bookmark not defined.
Uji Wilcoxon ... Error! Bookmark not defined.
Mann-Whitney Pre test ... Error! Bookmark not defined.
viii
DAFTAR TABEL
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Tipe Patahan Tulang ... 16
Gambar 2. Visual Analogue Scale (VAS) ... 42
Gambar 3. Skala Nyeri Oucher ... 43
Gambar 4. Wong-Baker FACES Pain Rating Scale ... 44
Gambar 5. Numeric Rating Scale ... 45
Relaxation Technique Towards Pain Scale in Postoperative Patients With
Fracture Extremity At PKU Muhammadiyah Gamping Hospital
Pengaruh Pemberian Aromaterapi Lavender dan Teknik Relaksasi Nafas Dalam Terhadap Skala Nyeri pada Pasien Post Operasi Fraktur Ekstremitas di RS PKU Muhammadiyah Gamping
Zerlinda Ghassani1, Erfin Firmawati2
1Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan FKIK UMY, 2Dosen Program Studi
Ilmu Keperawatan FKIK UMY
ABSTRACT
Background: Pain is the most common symptom in postoperative patients with fracture extremity. Pharmacology and non-pharmacology are interventions that can used by nurses to reduce the pain in patients. One form of non-pharmacology intervention that can be given is lavender aromatherapy and deep breathing relaxation technique. The purpose of this study was to know the effect of giving lavender aromatherapy and deep breathing relaxation technique toward pain scale in postoperative patients with fracture extremity at PKU Muhammadiyah Gamping Hospital.
Methods: This research was a quantitative with Quasi-Experimental pre-test and post-test control group design which was conducted from June-July 2016. Respondents were selected by accidental sampling and purposive sampling into small groups of 15 people in intervention group which received lavender aromatherapy and deep breathing relaxation technique for 15 minutes and 15 people in the control group. Data had been analyzed using Wilcoxon and Mann-Whitney U test.
Results: The result of this research indicated that there was an effect on reducing pain significantly by giving lavender aromatherpy and deep breathing relaxation technique toward pain scale in postoperative patient with fracture extremity with the value of p=0,000.
Conclusion and Recommedation: Giving lavender aromatherapy and deep breathing relaxation technique has effect to reduce pain in postoperative patient with fracture extremity. Nurses are expected to use interventions in this study into one of intervention in the hospital. For the next researcher in order to control the intervention’s time and confounding factors.
Latar Belakang: Nyeri merupakan keluhan yang paling sering terjadi pada pasien post operasi fraktur ekstremitas. Tindakan farmakologi dan non farmakologi merupakan tindakan yang dapat dilakukan perawat untuk mengurangi nyeri pada pasien. Salah satu tindakan non farmakologi yang dapat diberikan adalah aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap skala nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas di RS PKU Muhammadiyah Gamping.
Metode Penelitian: Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif dengan Quasy-Experimental with pre-test and post-pre-test control group design yang dilaksanakan pada Juni hingga Juli 2016. Responden dipilih dengan teknik accidental sampling dan purposive sampling terdiri dari 15 orang kelompok intervensi yang diberikan aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam selama 15 menit dan 15 orang kelompok kontrol. Data dianalisis dengan uji Wilcoxon dan Mann-Whitney U.
Hasil Penelitian: Hasil penelitian ini menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan menurun pada pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap skala nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas dengan nilai p=0,000.
Kesimpulan dan Saran: Pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam berpengaruh untuk mengurangi nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas. Perawat diharapkan dapat menjadikan intervensi dalam penelitian ini menjadi salah satu intervensi di rumah sakit. Bagi peneliti selanjutnya agar dapat mengontrol waktu pemberian intervensi dan mengendalikan faktor-faktor pengganggu.
1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang
Fraktur atau patah tulang adalah suatu kondisi dimana kontinuitas jaringan
tulang dan/atau tulang rawan terputus secara sempurna atau sebagian yang
disebabkan oleh rudapaksa atau osteoporosis (Smeltzer & Bare, 2013;
American Academy Orthopaedic Surgeons [AAOS], 2013). Kementrian
Kesehatan Indonesia (Kemenkes RI) tahun 2010 menyatakan bahwa di
Indonesia kasus fraktur mencapai 8 juta akibat jatuh, kecelakaan lalu lintas,
dan trauma benda tajam atau tumpul. Departemen Kesehatan Republik
Indonesia (Depkes RI) tahun 2011 menyatakan bahwa di Indonesia, kasus
fraktur ekstremitas merupakan yang sering terjadi dengan prevalensi 46,2%.
Berdasarkan data rekam medik RS PKU Muhammadiyah Gamping, jumlah
pasien yang mengalami fraktur ekstremitas pada bulan Januari - Oktober
2015 berjumlah 317 pasien.
Fraktur ekstremitas adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang
membentuk lokasi ekstremitas atas (tangan, pergelangan tangan, lengan, siku,
lengan atas, dan bahu) dan ekstremitas bawah (pinggul, paha, lutut, kaki
bagian bawah, pergelangan kaki) (UT Southwestern Medical Center, 2016).
Fraktur ekstremitas dapat terjadi akibat trauma ringan atau berat dan
penekanan yang melebihi daya absorpsi tulang (Helmi, 2012). Fraktur dapat
menyebabkan pembengkakan pada area fraktur, hilangnya fungsi normal
membutuhkan penanganan untuk memperbaiki tulang maupun jaringan
disekitarnya (AAOS, 2013; UT Southwestern Medical Center, 2016).
Salah satu penanganan kasus fraktur yaitu proses pembedahan misalnya
melalui Open Reduction and Internal Fixation (ORIF) atau dengan Open
Reduction and External Fixation (OREF) (AAOS, 2013). Pembedahan ORIF
dilakukan untuk mengimmobilisasi fraktur dengan memasukkan alat (paku,
kawat, atau pin) ke dalam area fraktur untuk mempertahankan fragmen tulang
sampai penyembuhan tulang baik sedangkan metode pembedahan OREF
dengan pembalutan, gips, bidai, atau pin (Smeltzer & Bare, 2013). Proses
insisi pada pembedahan akan menyebabkan luka insisi yang menimbulkan
nyeri yang muncul pada dua jam setelah operasi akibat hilangnya pengaruh
anestesi (Ayudianingsih, 2009; Potter & Perry, 2010). Luka insisi akan
merangsang mediator kimia seperti prostaglandin, histamin, bradikinin, dan
asetilkolin yang meningkatkan sensitifitas reseptor nyeri dan menyebabkan
rasa nyeri (Smeltzer & Bare, 2013). Meskipun fragmen tulang telah direduksi,
tetapi efek yang ditimbulkan dari proses pembedahan seperti pemasangan alat
fiksasi yang menembus tulang akan menyebabkan nyeri hebat. Hal ini
disebabkan oleh fase inflamasi yang disertai edema jaringan pada area yang
terpasang dan berlangsung selama berjam-jam dan berhari-hari sebagai proses
perbaikan fragmen tulang (Helser, 2010).
Nyeri merupakan pengalaman sensori dan emosional tidak menyenangkan
akibat rusaknya jaringan yang aktual atau potensial atau dirasakan pada
2011). Nyeri merupakan keluhan yang paling sering dijumpai dan hal yang
menakutkan bagi pasien post operasi. Nyeri yang sering muncul pada pasien
post operasi adalah nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan secara mendadak
dari intensitas ringan sampai berat dan lokasi nyeri dapat diidentifikasi (Potter
& Perry, 2010). Pasien dengan tipe ini dapat menunjukkan lokasi nyeri dan
akan merasakan pengurangan sejalan dengan penyembuhan (Septiani, 2011).
Nyeri yang dirasakan pasien post operasi merupakan pengalaman yang
bersifat subjektif atau tidak dapat dirasakan oleh orang lain (Potter & Perry,
2010). Nyeri post operasi dirasakan oleh 20%-71% pasien fraktur ekstremitas
di ruang rawat inap pada hari ke-1 hingga hari ke-4 yang mengalami nyeri
sedang sampai berat (Sommer, et al, 2008). Berdasarkan penelitian Hadindra
(2016) didapatkan hasil bahwa intensitas nyeri berat terjadi pada 5 orang
(20%), nyeri sedang pada 19 orang (63,2%), dan nyeri ringan pada 6 orang
(16,7%) pada pasien fraktur ekstremitas.
Nyeri post operasi fraktur ekstremitas yang dirasakan pasien akan
menyebabkan keterbatasan lingkup gerak sendi, penurunan kekuatan otot,
penurunan kemampuan fungsional, dan disability (Apley, 2010). Menurut
Kusumayanti (2015), nyeri post operasi pada lokasi pembedahan akan
menyebabkan pasien sulit untuk memenuhi Activiy Daily Living. Jika
dibiarkan maka akan berdampak pada proses penyembuhan yang lebih lama
dan mengakibatkan pasien lebih lama dirawat di rumah sakit. Hal ini akan
menimbulkan komplikasi seperti sumbatan vena akibat imobilisasi yang
Respon fisik terhadap nyeri ditandai dengan perubahan keadaan umum,
suhu tubuh, wajah, denyut nadi, sikap tubuh, pernafasan, kolaps
kardiovaskuler, dan syok (Potter & Perry, 2010). Respon psikis akibat nyeri
akan merangsang respon stres yang mengganggu sistem imun dan
penyembuhan (Potter & Perry, 2010). Pasien post operasi yang mengalami
nyeri akut harus dikendalikan agar perawatan lebih optimal dan tidak menjadi
nyeri kronis (IASP, 2011). Nyeri yang tidak diatasi akan memperlambat masa
penyembuhan atau perawatan, menimbulkan stres, dan ketegangan yang akan
menimbulkan respon fisik dan psikis sehingga memerlukan upaya
penatalaksanaan yang tepat (IASP, 2011; Potter & Perry, 2010).
Upaya yang dilakukan untuk mengatasi nyeri yaitu dengan manajemen
nyeri meliputi tindakan farmakologi dan non farmakologi (Potter & Perry,
2010). Tindakan farmakologi merupakan tindakan kolaborasi antara perawat
dengan dokter yang menekankan pada pemberian obat analgesik (Potter &
Perry, 2010). Menurut Mulyono dan Harnawatiaj (2008), meskipun tersedia
analgesik yang efektif, namun nyeri post operasi tidak dapat diatasi dengan
baik dan sekitar 50% pasien tetap merasakan nyeri yang mengganggu
kenyamanan serta dapat menimbulkan efek samping seperti mual, muntah,
konstipasi, gelisah, dan rasa ngantuk (Ayudianingsih, 2009; Sari, 2014).
Tindakan lain yaitu non farmakologi yang dapat dilakukan oleh perawat
secara mandiri (World Union of Wound Healing Society [WUWHS], 2007).
Tindakan non farmakologi merupakan terapi yang mendukung terapi
efek yang merugikan (Potter & Perry, 2010). Tindakan non farmakologi yang
dapat digunakan untuk mengatasi nyeri post operasi antara lain dengan
memberikan aromaterapi dan teknik relaksasi nafas dalam (Koensomardiyah,
2009; Yunita, 2010).
Aromaterapi merupakan sebuah terapi komplementer dengan wewangian
yang berasal dari minyak esensial yang dapat digunakan dengan cara dihirup
(Brooker, 2009; Turan et al, 2010 cit Demir, 2012). Salah satu aromaterapi
yang dapat digunakan adalah aromaterapi lavender yang mempunyai efek
menenangkan dan bersifat analgesik (Koensomardiyah, 2009). Menghirup
aroma lavender yang mengandung linalyl asetat dan linalool bermanfaat
untuk mengurangi rasa nyeri dan memberikan efek relaksasi karena akan
menstimulasi gelombang alfa di otak dan akan melancarkan sirkulasi darah
(Turan et al, 2010 cit Demir, 2012). Tindakan ini dapat mempengaruhi sistem
limbik otak yang merupakan pusat emosi, mengatur suasana hati dan mood,
dan memori untuk menghasilkan bahan neurohormon serotonin yang akan
menghilangkan ketegangan, stres, dan kecemasan dan menghasilkan
endorphin dan encephalin sebagai penghilang rasa nyeri (Smeltzer & Bare,
2013). Mary (2014) telah melakukan penelitian terhadap 30 pasien OREF
yang mengalami nyeri dengan memberikan aromaterapi lavender metode
inhalasi. Hasil yang didapatkan yaitu pemberian terapi tersebut mampu
menurunkan skala nyeri yang dirasakan pasien secara signifikan dibandingkan
Tindakan lain yang dapat menurunkan rasa nyeri adalah teknik relaksasi
nafas dalam yang mana perawat dapat mengajarkan klien cara melakukan
nafas dalam secara perlahan melalui hidung dan menghembuskan nafas secara
perlahan melalui mulut selama 5-10 menit per hari (Nordin, 2002 cit Demir,
2012; Karagoz, 2006 cit Demir, 2012). Teknik relaksasi nafas dalam
merupakan salah satu tindakan yang dapat menstimulasi tubuh untuk
mengeluarkan opioid endogen yaitu endorphin dan enfekalin yang memiliki
sifat seperti morfin dengan efek analgesik (Smeltzer & Bare, 2013).
Berdasarkan penelitian Ayudianningsih (2009), teknik relaksasi nafas dalam
mampu menurunkan nyeri hebat pada pasien pasca operasi fraktur femur
menjadi nyeri sedang dan ringan.
Penelitian ini menggunakan aromaterapi lavender dan teknik relaksasi
nafas dalam agar mendapatkan efek yang lebih optimal untuk mengurangi
nyeri. Hal ini berdasarkan hasil studi dari Pratiwi tahun 2012 bahwa latihan
teknik relaksasi pernapasan menggunakan aromaterapi lavender memiliki
perbedaan yang signifikan terhadap skala nyeri sebelum dan sesudah terapi.
Penurunan intensitas nyeri terjadi karena ibu post sectio caesarea dapat
menggunakan terapi tersebut dengan benar selama kurang lebih 15 menit saat
ibu merasakan nyeri pada area lukanya.
Berdasarkan hal diatas, aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas
dalam merupakan metode penawar nyeri, sehingga hal ini sesuai dengan
“Tidaklah Allah menurunkan penyakit kecuali Dia juga menurunkan
penawarnya.” (HR. Bukhari). Selain itu, pada hadist Musnad Imam Ahmad
yang juga diriwayatkan dari Abu Mas’ud secara marfu menyebutkan bahwa
“Setiap kali Allah menurunkan penyakit, Allah pasti menurunkan
penyembuhnya. Hanya saja ada manusia yang mengetahui dan ada yang tidak
mengetahuinya”.
Berdasarkan studi pendahuluan dan pengambilan data di RS PKU
Muhammadiyah Gamping Yogyakarta data dari Rekam Medik jumlah pasien
fraktur ekstremitas post operasi bulan Januari - Oktober 2015 berjumlah 317
pasien. Tindakan farmakologi untuk manajemen nyeri yang dilakukan oleh
perawat berupa pemberian analgesik hasil kolaborasi dengan dokter seperti
ketorolak. Tindakan non farmakologi yang diberikan pada pasien yang
mengalami nyeri adalah nafas dalam dan kompres hangat. Lama perawatan
yang dijalani oleh pasien post operasi fraktur ekstremitas rata-rata 3 hari
dengan catatan skala nyeri bervariasi dari 2 pasien sebagai berikut: di hari post
operasi skala nyeri 7 dan 8, hari pertama 6 dan 5, hari kedua 6 dan 3, dan hari
ketiga 5 dan 2. Menurut tenaga kesehatan di bangsal Ar-Royan, belum pernah
dilakukan pemberian aromaterapi lavender kepada pasien sebagai tindakan
manajemen nyeri.
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti ingin mengetahui pengaruh dari
pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap
skala nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas di RS PKU
B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah ada pengaruh
pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam terhadap
skala nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas di RS PKU
Muhammadiyah Gamping?”
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan Umum
Mengetahui pengaruh pemberian aromaterapi lavender dan teknik
relaksasi nafas dalam terhadap skala nyeri pada pasien post operasi fraktur
ekstremitas.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui karakteristik demografi dan skala nyeri pasien post
operasi fraktur ekstremitas di RS PKU Muhammadiyah Gamping.
b. Mengetahui perbedaan skala nyeri kelompok intervensi sebelum
(pretest) dan sesudah (postest) diberikan aromaterapi lavender dan
teknik relaksasi nafas dalam pada pasien post operasi fraktur
ekstremitas.
c. Mengetahui perbedaan skala nyeri pada kelompok kontrol sebelum
(pretest) dan sesudah (postest) 15 menit dengan hanya diberikan
prosedur standar pada pasien post operasi fraktur ekstremitas.
d. Mengetahui perbedaan skala nyeri antara kelompok intervensi dan
kelompok kontrol sebelum (pretest) diberikan perlakuan pada pasien
e. Mengetahui perbedaan skala nyeri sesudah (postest) perlakuan antara
kelompok intervensi yang diberikan aromaterapi lavender dan teknik
relaksasi nafas dalam dan kelompok kontrol diberikan prosedur
standar pada pasien post operasi fraktur ekstremitas.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi Keperawatan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu pilihan dalam
intervensi keperawatan pain management non farmakologi dalam upaya
menurunkan skala nyeri pada pasien post operasi fraktur ekstremitas.
2. Bagi Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gamping Yogyakarta
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu metode non
farmakologi dalam menurunkan skala nyeri pasien dan membantu rumah
sakit dalam meningkatkan mutu dan kualitas pemberian pelayanan
kesehatan kepada pasien post operasi fraktur ekstremitas.
3. Bagi Penelitian Selanjutnya
Dapat memberikan informasi dan data dasar untuk melaksanakan
penelitian lebih lanjut yang berkaitan dengan pemanfaatan aromaterapi
lavender dengan teknik relaksasi nafas dalam untuk menurunkan intensitas
nyeri bagi pasien post operasi fraktur ekstremitas atau pasien lainnya.
4. Bagi Pasien dan Keluarga
Memberikan informasi mengenai salah satu cara dalam mengurangi
aromaterapi lavender dan teknik relaksasi nafas dalam dan mengalami
penurunan nyeri sehingga menunjang proses penyembuhan.
E. Penelitian Terkait
1. Pratiwi (2012), melakukan studi dengan judul “Penurunan Intensitas Nyeri
Akibat Luka Post Sectio Caesarea Setelah Dilakukan Latihan Teknik
Relaksasi Pernapasan Menggunakan Aromaterapi Lavender di Rumah
Sakit Al Islam Bandung”, memiliki 30 responden wanita post sectio
caesarea yang memiliki skala nyeri sedang dan berat hari pertama
didapatkan bahwa latihan teknik relaksasi pernapasan menggunakan
aromaterapi lavender selama kurang lebih 15 menit memiliki perbedaan
yang signifikan terhadap skala nyeri sebelum dan sesudah terapi. Hasil
penelitian menunjukkan intensitas skala nyeri sebelum dilakukan
perlakuan adalah 6,6 dan setelah perlakuan adalah 3,6. Penurunan
intensitas nyeri terjadi karena ibu post sectio caesarea dapat menggunakan
terapi tersebut dengan benar selama kurang lebih 15 menit saat ibu
merasakan nyeri pada area lukanya.
a. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah :
1) Pada penelitian sebelumnya menggunakan pasien post SC sebagai
sampel, sedangkan penelitian ini menggunakan pasien fraktur
ekstremitas post operasi sebagai sampel.
2) Pada penelitian sebelumnya menggunakan metode one group pre
test and post test, sedangkan penelitian ini menggunakan metode
b. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah :
1) Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya sama-sama melakukan
intervensi pemberian aromaterapi lavender dan teknik relaksasi
nafas dalam.
2. Mary (2014), melakukan studi dengan judul “Effect Of Aromatherapy On
Physiological Parameters and Activites of Daily Living Among Patients
with External Fixators at A Selected Hospital In Chennai”, responden
sebanyak 30 kelompok kontrol dan 30 intervensi yang mengalami nyeri
sedang hingga berat saat dilakukan pretest. Penelitian ini dilakukan pada
post operasi fraktur dengan fiksasi eksternal dari hari kedua hingga hari
kelima dengan menggunakan aromaterapi lavender metode inhalasi yang
diaplikasikan dengan cara menuangkan aromaterapi lavender di atas tisu
sebanyak 2 ml dan diberikan selama 5 menit. Pretest dan postest dilakukan
setiap hari untuk mengkaji psikologis melalui tingkat nyeri dan Activity
Daily Living (ADL). Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa
aromaterapi lavender mampu menurunkan tingkat nyeri pada pasien post
operasi fraktur dengan fiksasi eksternal.
a. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah:
1) Pada penelitian sebelumnya jenis fraktur tidak diketahui, penelitian
ini mengambil pasien fraktur ekstremitas post operasi sebagai
sampel.
2) Penelitian sebelumnya melakukan pengukuran selama 4 hari,
3) Penelitian sebelumnya dilakukan selama 5 menit dan 4 hari,
sedangkan penelitian ini dilakukan 1 kali dalam 15 menit.
b. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah:
1) Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya sama-sama melakukan
observasi sebelum dilakukan intervensi (pretest) dan sesudah
dilakukan intervensi (postest) dengan melibatkan kelompok
kontrol.
2) Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya menggunakan
instrumen aromaterapi lavender dengan metode inhalasi.
3. Ayudianningsih (2009), melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh
Teknik Relaksasi Nafas Dalam pada Pasien Pasca Operasi Fraktur Femur
di Rumah Sakit Karima Utama Surakarta”, metode penelitian Quasi
Experiment dengan desain penelitian pre and post test with control group.
Jumlah responden sebanyak 20 kelompok kontrol dan 20 kelompok
intervensi yang memiliki skala nyeri sedang dan berat. Sebanyak 12
responden kelompok intervensi sebelum perlakuan mengalami nyeri hebat,
sedangkan sesudah perlakuan sebagian mengalami nyeri sedang dan
ringan. Tingkat nyeri 14 responden kelompok kontrol sebelum perlakuan
mengalami nyeri hebat, sedangkan sesudah perlakuan rata-rata masih
mengalami nyeri hebat. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa adanya
pengaruh yang signifikan teknik relaksasi nafas dalam terhadap penurunan
nyeri pada pasien pasca operasi fraktur femur antara kelompok intervensi
a. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah :
1) Pada penelitian sebelumnya menggunakan pasien fraktur femur
post operasi sebagai sampel, sedangkan penelitian ini
menggunakan pasien fraktur ekstremitas post operasi.
2) Pada penelitian sebelumnya hanya menggunakan teknik relaksasi
nafas dalam, sedangkan penelitian ini menggunakan aromaterapi
lavender dengan teknik relaksasi nafas dalam.
b. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah :
1) Menggunakan metode penelitian yang sama yaitu metode kuasi
intervensi.
2) Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya sama-sama melakukan
observasi sebanyak dua kali yaitu sebelum dilakukan intervensi
(pretest) dan sesudah dilakukan intervensi (postest) dengan
melibatkan kelompok kontrol .
4. Bangun (2013), melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh
Aromaterapi Lavender terhadap Intensitas Nyeri pada Pasien Pasca
Operasi di Rumah Sakit Dustira Cimahi”, jumlah 10 responden pasca
operasi hari kedua dengan skala nyeri ringan hingga berat yang dipilih
secara purposive sampling. Hasil uji statistik didapatkan nilai 0,001 yang
menunjukkan adanya perbedaan skala nyeri antara sebelum dan sesudah
a. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah :
1) Pada penelitian sebelumnya menggunakan pasien post operasi
sebagai sampel, sedangkan penelitian ini menggunakan pasien
fraktur ekstremitas post operasi sebagai sampel.
2) Pada penelitian sebelumnya hanya menggunakan aromaterapi
lavender sebagai media penelitian, sedangkan penelitian ini
menggunakan media aromaterapi lavender dengan teknik relaksasi
nafas dalam.
3) Pada penelitian sebelumnya menggunakan metode pre intervensi,
sedangkan penelitian ini menggunakan metode kuasi intervensi.
b. Persamaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah :
1) Penelitian ini dengan penelitian sebelumnya sama-sama melakukan
observasi sebanyak dua kali yaitu sebelum dilakukan intervensi
(pretest) dan sesudah dilakukan intervensi (postest).
2) Kelompok usia yang dipilih dalam penelitian ini dan sebelumnya
15 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori
1. Konsep Fraktur
a. Definisi Fraktur dan Fraktur Ekstremitas
Fraktur atau patah tulang adalah suatu kondisi dimana kontinuitas
jaringan tulang dan/atau tulang rawan terputus secara sempurna atau
sebagian yang pada disebabkan oleh rudapaksa atau osteoporosis
(Smeltzer & Bare, 2013; American Academy Orthopaedic Surgeons
[AAOS], 2013).
Fraktur dapat terjadi di bagian ekstremitas atau anggota gerak
tubuh yang disebut dengan fraktur ekstremitas. Fraktur ekstremitas
adalah fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk lokasi
ekstremitas atas (tangan, pergelangan tangan, lengan, siku, lengan
atas, dan bahu) dan ekstremitas bawah (pinggul, paha, lutut, kaki
bagian bawah, pergelangan kaki, dan kaki) (UT Southwestern Medical Center, 2016).
b. Klasifikasi Fraktur
Fraktur dapat diklasifikasikan sebagai fraktur terbuka dan tertutup
tergantung pada luka yang menghubungkan fraktur dengan
lingkungan luar. Fraktur terbuka ditunjukkan dengan fraktur yang
terhubung dengan lingkungan luar, kulit yang sobek, tulang yang
tertutup ditandai dengan fraktur yang tidak terhubung
denganlingkungan luar, kulit yang tetap utuh atau tidak sobek namun
tetap terjadi pergeseran tulang didalamnya (Smeltzer & Bare, 2013;
Lewis, 2011).
Fraktur juga dapat diklasifikasikan sebagai fraktur complete dan
incomplete. Fraktur complete berarti fraktur yang mengenai seluruh tulang sedangkan fraktur incomplete adalah fraktur yang patahan tulangnya hanya sebagian tetapi tulang masih tetap utuh (Lewis,
2011). Berdasarkan bentuk patahan tulang atau garis patah tulang,
fraktur dapat diklasifikasikan menjadi linear, oblik, transversal,
longitudinal, dan spiral (Lewis, 2011).
Fraktur juga diklasifikasikan kedalam fraktur displaced dan non displaced. Fraktur displaced ditandai dengan ujung tulang yang patah terpisah satu sama lain dan keluar dari posisi normal misalnya fraktur
comminuted dan oblik. Fraktur non displaced ditandai dengan periosteum tetap utuh dan tulang masih dalam posisi normal atau
masih sejalan misalnya transversal, greenstick, dan spiral (Lewis, 2011).
c. Faktor Penyebab Fraktur
Menurut Helmi (2012), hal-hal yang dapat menyebabkan
terjadinya fraktur adalah:
1) Fraktur traumatik, disebabkan karena adanya trauma ringan atau
berat yang mengenai tulang baik secara langsung maupun tidak.
2) Fraktur stres, disebabkan karena tulang sering mengalami
penekanan.
3) Fraktur patologis, disebabkan kondisi sebelumnya, seperti kondisi
patologis penyakit yang akan menimbulkan fraktur.
d. Manifestasi Klinis Fraktur
Manifestasi klinis menurut UT Southwestern Medical Center
(2016) adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas/perubahan bentuk,
pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan
perubahan warna. Adapun penjelasan dari manifestasi klinis adalah
sebagai berikut:
1) Nyeri yang dirasakan terus menerus dan akan bertambah beratnya
selama beberapa hari bahkan beberapa minggu. Nyeri yang
dihasilkan bersifat tajam dan menusuk yang timbul karena adanya
infeksi tulang akibat spasme otot atau penekanan pada syaraf
sensoris (Helmi, 2012; AAOS, 2013).
2) Setelah terjadinya fraktur, bagian yang terkena tidak dapat
digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah dari
menimbulkan perubahan bentuk ekstremitas (deformitas) baik
terlihat atau teraba yang dapat diketahui dengan membandingkan
bagian yang terkena dengan ekstremitas yang normal. Ekstremitas
tidak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot
tergantung pada integritas tulang yang menjadi tempat
melekatnya otot (Smeltzer & Bare, 2013).
3) Pada kasus fraktur panjang akan terjadi pemendekan tulang
sekitar 2,5 sampai 5 cm yang diakibatkan adanya kontraksi otot
yang melekat di atas dan bawah titik terjadinya fraktur (Smeltzer
& Bare, 2013).
4) Saat pemeriksaan palpasi pada bagian fraktur ekstremitas, teraba
adanya derik tulang yang disebut sebagai krepitus. Derik tulang
tersebut muncul akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang
lain (Smeltzer & Bare, 2013; Dent, 2008).
5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi
karena trauma dan perdarahan saat terjadinya fraktur. Tanda ini
biasanya terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cidera
(AAOS, 2013).
Tidak semua manifestasi klinis diatas dialami pada setiap kasus
fraktur seperti fraktur linear, fisur, dan impaksi. Diagnosis tergantung
pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-x pasien. Biasanya
pasien akan mengeluh adanya cidera pada area tersebut (Smeltzer &
e. Stadium Penyembuhan Fraktur
Proses penyembuhan pada kasus fraktur berbeda-beda tergantung
ukuran tulang yang terkena dan umur pasien. Faktor lain yang dapat
mempengaruhi proses penyembuhan fraktur adalah tingkat kesehatan
pasien secara keseluruhan dan status nutrisi yang baik (Smeltzer &
Bare, 2013). Beberapa tahapan atau fase dalam proses penyembuhan
tulang, antara lain:
1) Fase Inflamasi, yaitu adanya respon tubuh terhadap trauma yang ditandai dengan perdarahan dan timbulnya hematoma pada
tempat terjadinya fraktur. Ujung fragmen tulang mengalami
devitalisasi karena terputusnya aliran darah yang akan
menyebabkan inflamasi, pembengkakan, dan nyeri. Fase ini
berlangsung selama beberapa hari sampai pembengkakan dan
nyeri berkurang (Smelzer & Bare, 2013).
2) Fase Proliferasi, hematoma pada fase ini akan mengalami organisasi dengan membentuk benang fibrin dalam jendalan
darah yang akan membentuk jaringan dan menyebabkan
revaskularisasi serta invasi fibroblast dan osteoblast. Proses ini akan menghasilkan kolagen dan proteoglikan sebagai matriks
kolagen pada patahan tulang, terbentuk jaringan ikat fibrus dan
tulang rawan (osteoid) yang berlangsung setelah hari ke lima
3) Fase Pembentukan Kalus, pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran pada tulang rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai
celah sudah terhubungkan. Fragmen patahan tulang bergabung
dengan jaringan fibrus, tulang rawan, dan tulang serat imatur. Waktu yang diperlukan agar fragmen tulang tergabung adalah 3-4
minggu (Smeltzer & Bare, 2013).
4) Fase Penulangan Kalus/Osifikasi, yaitu proses pembentukan kalus mulai mengalami penulangan dalam waktu 2-3 minggu melalui
proses penulangan endokondral. Mineral terus menerus ditimbun
sampai tulang benar-benar saling menyatu hingga keras. Pada
orang dewasa normal, kasus fraktur panjang memerlukan waktu
3-4 bulan dalam proses penulangan (Smeltzer & Bare, 2013).
5) Fase Remodelling/Konsolidasi, yaitu tahap akhir pada proses penyembuhan fraktur. Tahap ini terjadi perbaikan fraktur yang
meliputi pengambilan jaringan mati dan reorganisasi tulang baru
ke susunan struktural sebelum terjadinya patah tulang.
Remodelling memerlukan waktu berbulan-bulan hingga bertahun-tahun (Smeltzer & Bare, 2013).
f. Faktor yang Mempengaruhi Penyembuhan Fraktur
Beberapa faktor dapat mempengaruhi cepat dan terhambatnya
proses penyembuhan fraktur, antara lain:
1) Faktor yang mempercepat penyembuhan fraktur, yaitu imobilsasi
penyembuhan tulang optimal, kontak fragmen tulang maksimal,
aliran darah baik, nutrisi tepat, latihan pembebanan berat untuk
tulang panjang, hormon-hormon pertumbuhan mendukung seperti
tiroid, kalsitonin, vitamin D, dan steroid anabolik akan
mempercepat perbaikan tulang yang patah, serta potensial listrik
pada area fraktur (Smeltzer & Bare, 2013).
2) Faktor yang menghambat penyembuhan fraktur, yaitu trauma
lokal ekstensif, kehilangan tulang, imobilisasi tidak optimal,
adanya rongga atau jaringan diantara fragmen tulang, infeksi,
keganasan lokal, penyakit metabolik, nekrosis avaskuler, fraktur
intra artikuler (cairan sinovial mengandung fibrolisin yang akan
melisis bekuan darah awal dan memperlambat pembentukan
jendalan), usia (lansia akan sembuh lebih lama), dan pengobatan
kortikosteroid menghambat kecepatan penyembuhan fraktur
(Smeltzer & Bare, 2013).
g. Komplikasi fraktur
1) Komplikasi awal (dini)
Komplikasi ini terjadi segera setelah terjadinya fraktur seperti
syok hipovolemik, kompartemen sindrom, emboli lemak yang
dapat mengganggu fungsi ekstremitas permanen jika tidak segera
2) Komplikasi lanjut
Biasanya terjadi setelah beberapa bulan atau tahun setelah
terjadinya fraktur pada pasien yang telah menjalani proses
pembedahan. Menurut kutipan dari Smeltzer dan Bare (2013),
komplikasi ini dapat berupa:
a) Komplikasi pada sendi seperti kekakuan sendi yang menetap
dan penyakit degeneratif sendi pasca trauma.
b) Komplikasi pada tulang seperti penyembuhan fraktur yang
tidak normal (delayed union, mal union, non union), osteomielitis, osteoporosis, dan refraktur.
c) Komplikasi pada otot seperti atrofi otot dan ruptur tendon
lanjut.
d) Komplikasi pada syaraf seperti tardy nerve palsy yaitu saraf menebal akibat adanya fibrosis intraneural.
h. Penatalaksanaan Fraktur
Sjamsuhidayat dan Jong (2005) mendefinisikan pembedahan
sebagai suatu tindakan pengobatan secara invasif dengan membuka
atau menampilkan bagian tubuh yang akan ditangani.
Pembedahan yang dapat dilakukan untuk fraktur ekstremitas yaitu:
1) Reduksi terbuka dengan fiksasi interna (Open Reduction and Internal Fixation/ORIF), dilakukan untuk mengimmobilisasi fraktur dengan memasukkan paku, kawat, plat, sekrup, batangan
mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai
penyembuhan tulang baik (Smeltzer & Bare, 2013).
2) Reduksi tertutup dengan fiksasi eksterna (Open Reduction and Enternal Fixation/OREF), digunakan untuk mengobati patah tulang terbuka yang melibatkan kerusakan jaringan lunak. Metode
fiksasi eksterna meliputi pembalutan, gips, traksi kontinu, bidai,
atau pin. Ekstremitas dipertahankan sementara dengan gips, bidai,
atau alat lain oleh dokter. Alat imobilisasi ini akan menjaga
reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang.
Alat ini akan memberikan dukungan yang stabil bagi fraktur
comminuted (hancur dan remuk) sementara jaringan lunak yang hancur dapat ditangani dengan aktif (Smeltzer & Bare, 2013).
3) Graft tulang, yaitu penggantian jaringan tulang untuk
menstabilkan sendi, mengisi defek atau perangsangan dalam
proses penyembuhan. Tipe graft yang digunakan tergantung pada
lokasi yang terkena, kondisi tulang, dan jumlah tulang yang
hilang akibat cidera. Graft tulang dapat berasal dari tulang pasien
sendiri (autograft) atau tulang dari tissue bank (allograft)
i. Tanda dan Gejala Post Operasi Fraktur
Menurut Apley (2010), tanda dan gejala post operasi fraktur
ekstremitas adalah:
1) Oedem di area sekitar fraktur, akibat luka insisi sehingga tubuh
memberikan respon inflamasi atas kerusakan jaringan sekitar.
2) Rasa nyeri, akibat luka fraktur dan luka insisi operasi serta oedem
di area fraktur menyebabkan tekanan pada jaringan interstitial
sehingga akan menekan nociceptor dan menimbulkan nyeri. 3) Keterbatasan lingkup gerak sendi, akibat oedem dan nyeri pada
luka fraktur maupun luka insisi menyebabkan pasien sulit
bergerak, sehingga akan menimbulkan gangguan atau penurunan
lingkup gerak sendi.
4) Penurunan kekuatan otot, akibat oedem dan nyeri dapat
menyebabkan penurunan kekuatan otot karena pasien tidak ingin
menggerakkan bagian ekstremitasnya dan dalam jangka waktu
yang lama akan menyebabkan disused atrophy. Kebanyakan pasien merasa takut untuk bergerak setelah operasi karena merasa
nyeri pada luka operasi dan luka trauma (Smeltzer & Bare, 2013).
5) Functional limitation, akibat oedem dan nyeri serta penyambungan tulang olehkalus yang belum sempurna sehingga
pasien belum mampu menumpu berat badannya dan melakukan
naik turun tangga, keterbatasan untuk berkemih dan Buang Air
Besar (BAB).
6) Disability, akibat nyeri dan oedem serta keterbatasan fungsional sehingga pasien tidak mampu bersosialisasi dengan lingkungan
sekitarnya.
j. Komplikasi Post Operasi Fraktur
Menurut Apley (2010), hal-hal yang dapat terjadi pada pasien
post operasi fraktur adalah:
1) Deep Vein Trombosis, sumbatan pada vena akibat pembentukan trombus pada lumen yang disebabkan oleh aliran darah yang
statis, kerusakan endotel maupun hiperkoagubilitas darah. Hal ini
diperberat oleh immobilisasi yang terlalu lama setelah operasi
akibat nyeri yang dirasakan. Trombosis akan berkembang
menjadi penyebab kematian pada operasi apabila trombus lepas
dan terlepas oleh darah kemudian menyumbat daerah vital seperti
jantung dan paru. Kemungkinan trombosis lebih besar pada
penggunaan ortose secara general dari pada lokal maupun lumbal.
2) Stiff Joint (kaku sendi), kekakuan terjadi akibat oedem, fibrasi kapsul, ligamen, dan otot sekitar sendi atau perlengketan dari
jaringan lunak satu sama lain. Hal ini bertambah jika immobilisasi
berlangsung lama dan sendi dipertahankan dalam posisi ligamen
memendek, tidak ada latihan yang akan berhasil sepenuhnya
3) Sepsis, teralirnya baksil pada sirkulasi darah sehingga dapat
mengakibatkan infeksi.
k. Prognosis Post Operasi Fraktur
Menurut Apley (2010), prognosis pada pasien post operasi fraktur
ekstremitas meliputi:
1) Quo ad vitam,baik apabila pasien telah dilakukan tindakan operasi dengan fiksasi. Selain itu, dengan adanya pemberian
anestesi, risiko terjadi kegagalan ataupun kematian dimeja operasi
jarang sekali terjadi bahkan tidak pernah terjadi.
2) Quo ad sanam, baik apabila telah direposisi dan difiksasi dengan baik maka fragmen pada area fraktur akan stabil sehingga
mempercepat proses penyembuhan tulang.
3) Quo ad fungsionam, berkaitan dengan tingkat kesembuhan atau
sanam. Semakin cepat tulang menyambung maka pasien dapat segera kembali melakukan aktivitas fungsional. Namun, proses
ini menjadi terhambat karena adanya sensasi nyeri, oedem, dan
penyambungan tulang oleh callus yang belum sempurna.
4) Quo ad cosmeticam, baik apabila fragmen yang telah direposisi dan difiksasi dengan baik sehingga tidak terjadi deformitas dan
l. Perawatan Post Operasi Fraktur Ekstremitas
Menurut Reeves et al (2001) dalam Yanty (2010), asuhan
keperawatan yang diberikan pada pasien post operasi fraktur
ekstremitas adalah:
1) Monitor neurovaskuler setiap 1-2 jam,
2) Monitor tanda-tanda vital selama 4 jam, kemudian setiap 4 jam
sekali selama 1-3 hari dan seterusnya,
3) Monitor hematokrit dan hemoglobin,
4) Monitor karakteristik dan cairan yang keluar, laporkan
pengeluaran cairan dari 100-150 mL/hr setelah 4 jam pertama,
5) Atur posisi klien setiap 2 jam dan sediakan trapeze gantung yang dapat digunakan pasien untuk melakukan perubahan posisi,
6) Letakkan bantal diantara kaki klien untuk memelihara kesejajaran
tulang (fraktur esktremitas bawah),
7) Ajarkan dan bantu klien untuk melakukan teknik non farmakologi
seperti teknik nafas dalam dan batuk,
8) Kolaborasi pemberian obat analgesik, obat relaksasi otot, dan
antikoagulan atau antibiotik,
2. Nyeri
a. Pengertian Nyeri
Menurut “The International Association for the Study Of Pain
(2011), nyeri adalah suatu pengalaman seseorang yang meliputi perasaan dan emosi tidak menyenangkan yang berkaitan dengan
kerusakan sebenarnya atau potensial pada suatu jaringan yang
dirasakan di area terjadinya kerusakan. Nyeri merupakan perasaan
tubuh atau bagian tubuh seseorang yang menimbulkan respon tidak
menyenangkan dan nyeri dapat memberikan suatu pengalaman alam
rasa (Judha, 2012). Nyeri juga diartikan sebagai suatu kondisi yang
membuat seseorang menderita secara fisik dan mental atau perasaan
yang dapat menimbulkan ketegangan (Hidayat, 2006 cit Budi, 2012). Nyeri merupakan pengalaman yang bersifat subjektif atau tidak
dapat dirasakan oleh orang lain. Nyeri dapat disebabkan oleh berbagai
stimulus seperti mekanik, termal, kimia, atau elektrik pada
ujung-ujung saraf. Perawat dapat mengetahui adanya nyeri dari keluhan
pasien dan tanda umum atau respon fisiologis tubuh pasien terhadap
nyeri. Sewaktu nyeri biasanya pasien akan tampak meringis,
kesakitan, nadi meningkat, berkeringat, napas lebih cepat, pucat,
berteriak, menangis, dan tekanan darah meningkat (Lukas, 2004 cit
b. Mekanisme Nyeri
Reseptor nyeri berfungsi untuk menerima rangsang nyeri. Organ
tubuh ini berperan hanya terhadap stimulus kuat yang secara potensial
merusak. Reseptor nyeri disebut juga nosireceptor, secara anatomis
reseptor nyeri bermyelin dan ada juga yang tidak bermyelin dari
syaraf perifer (Potter & Perry, 2010).
Nyeri merupakan campuran dari reaksi fisik, emosi, dan tingkah.
Nyeri dapat dirasakan penderita jika reseptor nyeri menginduksi
serabut saraf perifer aferen, yaitu serabut A-delta dan serabut C.
Serabut A-delta memiliki myelin yang menyampaikan impuls nyeri
dengan cepat, menimbulkan sensasi yang tajam, dan melokalisasi
sumber nyeri serta mendeteksi intensitas nyeri. Serabut C tidak
memiliki myelin sehingga menyampaikan impuls lebih lambat dan
berukuran sangat kecil. Serabut A-delta dan serabut C akan
menyampaikan rangsangan dari serabut saraf perifer ketika
mediator-mediator biokimia yang aktif terhadap respon nyeri seperti pottasium
dan prostaglandin dibebaskan akibat adanya jaringan yang rusak
(Potter & Perry, 2010).
Transmisi stimulus nyeri berlanjut disepanjang serabut saraf
aferen (sensori) dan berakhir di bagian kornu dorsalis medulla
spinalis. Neurotransmitter di dalam kornu dorsalis seperti substansi P
dilepaskan sehingga menimbulkan suatu transmisi sinapsis dari saraf
selanjutnya disampaikan dengan cepat ke pusat thalamus (Potter &
Perry, 2010).
c. Klasifikasi Nyeri
Nyeri berdasarkan serangannya dibagi menjadi 2, yaitu:
1) Nyeri kronis
Nyeri yang terjadi lebih dari 6 bulan dan tidak dapat
diketahui sumbernya. Nyeri kronis merupakan nyeri yang sulit
dihilangkan. Sensasi nyeri dapat berupa nyeri difus sehingga sulit
untuk mengidentifikasi sumber nyeri secara spesifik (Potter &
Perry, 2010).
2) Nyeri akut
Nyeri yang terjadi kurang dari 6 bulan yang dirasakan secara
mendadak dari intensitas ringan sampai berat dan lokasi nyeri
dapat diidentifikasi. Nyeri akut mempunyai karakteristik seperti
meningkatnya kecemasan, perubahan frekuensi pernapasan, dan
ketegangan otot (Potter & Perry, 2010; Nanda, 2012). Cidera atau
penyakit yang menyebabkan nyeri akut dapat sembuh secara
spontan atau dapat memerlukan pengobatan seperti kasus fraktur
ekstremitas. Kasus tersebut membutuhkan pengobatan yang dapat
menurunkan skala nyeri sejalan dengan proses penyembuhan
Berdasarkan World Union of Wound Healing Society (WUWHS) (2007), nyeri pada luka berdasarkan penyebab terjadinya dibedakan
menjadi 4, yaitu:
1) Nyeri Background, nyeri yang dirasakan saat beristirahat dan ketika tidak ada manipulasi luka yang sering terjadi. Nyeri ini
mungkin berkesinambungan (misalnya sakit gigi) atau intermiten
(misalnya kram atau nyeri tengah malam). Nyeri background
dikaitkan dengan faktor penyebab terjadinya luka, luka lokal yang
mendasar (misalnya ischemia, infeksi, dan kelelahan), dan lainnya
yang terkait patotologi seperti diabetes neuropati, penyakit
pembuluh daraf perifer, rheumatoid arthritis, dan dermatological
kondisi (WUWHS, 2007).
2) Nyeri insiden, nyeri pada luka yang bisa terjadi saat seseorang
melakukan kegiatan sehari-hari seperti mobilisasi, ketika batuk,
atau saat ganti pakaian (WUWHS, 2007).
3) Nyeri tindakan, nyeri yang terjadi secara rutin saat dilakukan
suatu prosedur, seperti perawatan luka. Nyeri prosedur adalah
akibat adanya pelepasan substansi kimia dari sel yang mengalami
kerusakan, respon inflamatori, dan kerusakan neuron saat
prosedur dilakukan. Persepsi nyeri yang dialami seseorang tidak
selalu berhubungan dengan jumlah sel yang cidera namun jenis
dari cidera yang mungkin akan meningkatan persepsi nyeri
saat setelah prosedur dan akan menghilang tergantung pada jenis
prosedur yang dijalani (Monday, 2010). Nyeri ini dipengaruhi
oleh keterampilan orang yang melaksanakan prosedur, lama
prosedur, analgetik yang digunakan, penggunaan anestesi
sebelumnya, dan pengalaman nyeri klien terhadap prosedur yang
sama. Jenis-jenis prosedur yang akan menimbulkan nyeri antara
lain pindah tempat tidur, suction trakea, pemasangan cateter intravena, pelepasan selang dada, pengangkatan drain, insersi arteri, ganti balutan, dan perawatan luka (Punctilo, 2011).
4) Nyeri operatif, nyeri operatif adalah nyeri yang dihubungkan
dengan tindakan yang dilakukan dokter spesialis operasi dan
memerlukan analgesik baik lokal maupun umum (WUWHS,
2007).
d. Nyeri Post Operasi
Tindakan pembedahan adalah suatu tindakan yang dapat
mengancam integritas seseorang baik bio-psiko-sosial dan spiritual
yang bersifat potensial atau aktual. Setiap tindakan pembedahan dapat
menimbulkan ketidaknyamanan seperti sensasi nyeri (Engram cit
Satriya, 2014).
Nyeri post operasi merupakan hal yang fisiologis, namun hal ini
sering menjadi sebuah ketakutan dan dikeluhkan oleh pasien setelah
menjalani proses pembedahan. Sensasi nyeri akan terasa sebelum
berkurangnya anestesi dalam tubuh. Adapun bentuk nyeri yang
dialami oleh pasien post operasi adalah nyeri akut yang terjadi akibat
luka operasi atau insisi (Potter & Perry, 2010). Luka insisi akan
merangsang mediator kimia dari nyeri seperti histamin, bradikinin, asetilkolin, dan prostaglandin dimana zat-zat ini diduga akan meningkatkan sensitifitas reseptor nyeri dan akan menyebabkan rasa
nyeri pada pasien post operasi (Smeltzer & Bare, 2013). Nyeri
pembedahan dirasakan oleh 20%-71% pasien fraktur ekstremitas di
ruang rawat inap pada hari ke-1 hingga hari ke-4 yang mengalami
nyeri sedang sampai berat (Sommer, et al, 2008). Tingkat keparahan
nyeri post operasi tergantung pada respon fisiologi dan psikologi
penderita, toleransi yang ditimbulkan oleh nyeri, letak insisi, sifat
prosedur, kedalaman trauma operasi, jenis agen anastesi, dan
bagaimana anastesi diberikan (Smeltzer & Bare, 2013).
Nyeri yang dialami klien setelah menjalani proses pembedahan
akan meningkatkan stres post operasi dan memiliki pengaruh terhadap
proses penyembuhan. Dibutuhkan kontrol nyeri setelah proses
pembedahan, nyeri yang dapat dikontrol dapat mengurangi
kecemasan, bernafas lebih mudah dan dalam, dan dapat mentoleransi
mobilisasi yang cepat. Pengkajian nyeri dan kesesuaian analgesik
harus dilakukan untuk memastikan bahwa nyeri post operasi dapat
diatasi dengan baik (Potter & Perry, 2010; Torrance & Serginson cit
e. Faktor yang Mempengaruhi Nyeri
Faktor yang mempengaruhi nyeri perlu diamati dan dipahami oleh
perawat untuk memastikan bahwa perawat menggunakan pendekatan
secara holistik dalam melakukan pengkajian dan perawatan klien
(Potter & Perry, 2010). Adapun faktor-faktor tersebut antara lain:
1) Faktor fisiologis
a) Usia, merupakan salah satu variabel yang berpengaruh
terhadap sensasi nyeri seseorang, khususnya pada bayi dan
dewasa akhir karena usia mereka lebih sensitif terhadap
penerimaan rasa sakit (Potter & Perry, 2010).
Anak yang masih kecil mempunyai kesulitan untuk
memahami rasa nyeri, mengucapkan secara verbal, dan
mengekspresikan nyeri kepada orang tua atau petugas
kesehatan. Hal ini serupa dengan pengkajian nyeri pada
lansia karena perubahan fisiologis dan psikologis yang
menyertai proses penuaan. Nyeri pada lansia dialihkan jauh
dari tempat cidera atau penyakit. Persepsi nyeri berkurang
akibat dari perubahan patologis yang berhubungan dengan
beberapa penyakit, tetapi pada lansia yang sehat persepsi
nyeri mungkin tidak berubah (Judha, 2012).
Berdasarkan kutipan Turk dan Melzack (2010), orang
i. Kepercayaan bahwa nyeri yang dirasakan merupakan hal
yang akan dialami dalam kehidupan.
ii. Tindakan diagnostik dan terapi yang mahal dan tidak
menyenangkan.
iii. Adanya penyakit serius dan terminal.
iv. Perbedaan terminologi dalam mengungkapkan respon
nyeri.
v. Keyakinan bahwa nyeri itu tidak perlu diperlihatkan.
Pada usia remaja, respon nyeri akan timbul lebih rendah
dibanding usia anak-anak. Hal ini disebabkan karena remaja
cenderung dapat mengontrol perilakunya (Turk & Melzack,
2010).
Tabel 1. Kategori Usia
Kategori Usia
Sumber: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2009
b) Kelemahan (fatigue), dapat meningkatkan persepsi nyeri.
Rasa lelah menyebabkan sensasi nyeri semakin intensif dan
menurunkan kemampuan koping penderita (Potter & Perry,
c) Keturunan, pembentukan sel-sel genetik yang diturunkan dari
orang tua kemungkinan dapat menentukan intensitas sensasi
nyeri seseorang atau toleransi terhadap rasa nyeri (Potter &
Perry, 2010).
d) Fungsi neurologis, merupakan faktor yang dapat
mengganggu penerimaan sensasi yang normal seperti cidera
medula spinalis, neuropatik perifer, dan penyakit saraf dapat
mempengaruhi kesadaran dan persepsi nyeri. Agen
farmakologis seperti analgesik, sedatif, dan anestesi juga
berperan dalam mempengaruhi persepsi dan respons terhadap
nyeri sehingga membutuhkan sebuah tindakan pencegahan
(Potter & Perry, 2010).
2) Faktor Sosial
a) Perhatian, tingkat seseorang memfokuskan perhatiannya
terhadap nyeri dapat mempengaruhi persepsi nyeri. Perhatian
meningkat berhubungan dengan nyeri yang meningkat,
sedangkan upaya pengalihan nyeri dihubungkan dengan
respon nyeri yang menurun. Upaya pengalihan atau distraksi
dapat diterapkan oleh perawat untuk meminimalkan atau
menghilangkan nyeri, misalnya dengan relaksasi, guided imagery, dan massage (Potter & Perry, 2010).
b) Pengalaman sebelumnya, seseorang yang pernah berhasil
timbul, maka orang tersebut akan lebih mudah mengatasi
nyeri yang dirasakan. Mudah tidaknya seseorang dalam
mengatasi nyeri tergantung pengalaman di masa lalu saat
mengatasi nyeri tersebut (Smeltzer & Bare, 2013). Perawat
perlu mempersiapkan klien yang tidak memiliki pengalaman
terhadap kondisi yang menyakitkan melalui penjelasan
tentang nyeri yang mungkin timbul dan metode-metode yang
dapat digunakan untuk mengatasi nyeri klien. Hal ini
biasanya mampu menurunkan persepsi nyeri agar tidak
merusak kemampuan klien dalam mengatasi masalah (Potter
& Perry, 2010).
c) Keluarga dan dukungan sosial, kehadiran orang terdekat dan
sikap mereka terhadap klien dapat mempengaruhi respon
klien terhadap rasa nyeri. Nyeri akan tetap dirasakan namun
kehadiran mereka yaitu keluarga atau teman dekat akan
meminimalkan stres (Potter & Perry, 2010).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Linton dan
Shaw (2011), dukungan sosial dan perhatian dari keluarga
dan orang terdekat pasien sangat mempengaruhi persepsi
nyeri pasien.
Pendidikan kesehatan juga berpengaruh terhadap
persepsi nyeri pasien. Pendidikan kesehatan dapat membantu
terhadap pengobatan. Selain itu pendidikan kesehatan juga
dapat mengurangi dampak dari pengalaman nyeri yang buruk
karena pasien mempunyai kopingyang baik.
3) Faktor spiritual
Pentingnya perawat untuk mempertimbangkan keinginan
klien dalam melakukan konsultasi keagamaan. Mengingat bahwa
nyeri merupakan sebuah pengalaman yang meliputi fisik dan
emosional klien. Oleh karena itu, perlu untuk mengobati dua
aspek tersebut dalam manajemen nyeri (Potter & Perry, 2010).
Spiritualitas dan agama merupakan kekuatan bagi seseorang.
Apabila seseorang memiliki kekuatan spiritual dan agama yang
lemah, maka akan menganggap nyeri sebagai suatu hukuman.
Akan tetapi apabila seseorang memiliki kekuatan spiritual dan
agama yang kuat, maka akan lebih tenang sehingga akan lebih
cepat sembuh. Spiritual dan agama merupakan salah satu koping
adaptif yang dimiliki seseorang sehingga akan meningkatkan
ambang toleransi terhadap nyeri (Moore, 2012).
4) Faktor psikologis
a) Kecemasan, hal ini seringkali meningkatkan persepsi nyeri
tetapi nyeri juga dapat menimbulkan rasa cemas. Pola
bangkitan otonom adalah sama dalam nyeri dan ansietas
sehingga sulit memisahkan dua sensasi tersebut (Potter &
pasien yang menggunakan koping kognitif dan strategi
perilaku yang positif akan mampu untuk mengurangi rasa
nyeri post operasi, cepat kembali ke rumah dan proses
penyembuhan akan lebih cepat.
b) Teknik koping, mempengaruhi kemampuan dalam mengatasi
nyeri. Hal ini sering terjadi karena klien merasa kehilangan
kontrol terhadap lingkungan atau terhadap hasil akhir dari
suatu peristiwa yang terjadi. Dengan demikian, gaya koping
mempengaruhi kemampuan individu tersebut untuk
mengatasi nyeri. Seseorang yang belum pernah mendapatkan
teknik koping yang baik tentu respon nyerinya buruk (Potter
& Perry, 2010).
5) Faktor budaya
a) Arti dari nyeri, persepsi nyeri tiap individu akan berbeda,
nyeri dapat memberi kesan ancaman, kehilangan, hukuman,
dan tantangan sehingga nyeri akan mempengaruhi
pengalaman nyeri dan cara beradaptasi seseorang (Potter &
Perry, 2010).
b) Suku bangsa, keyakinan dan nilai budaya mempengaruhi cara
individu dalam mengatasi nyeri. Individu mempelajari
sesuatu yang diharapkan dan yang diterima oleh kebudayaan
mereka. Misalnya, suatu daerah menganut kepercayaan