ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI PADI SAWAH
SISTEM SRI (
System of Rice Intensification
) DENGAN SISTEM
KONVENSIONAL DI KECAMATAN TELUK MENGKUDU
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
SKRIPSI
MHD RISWAN HANAFI
100304010
AGRIBISNIS
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
ANALISIS PERBANDINGAN USAHA TANI PADI SAWAH
SISTEM SRI (
System of Rice Intensification
) DENGAN SISTEM
KONVENSIONAL DI KECAMATAN TELUK MENGKUDU
KABUPATEN SERDANG BEDAGAI
SKRIPSI
Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Melaksanakan Penelitian di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
Disetujuioleh :
KomisiPembimbing
Ketua Komisi Pembimbing AnggotaKomisi Pembimbing
(Ir. Thomson Sebayang, MT)
NIP. 19571115 198601 1 001 NIP. 19620624 198603 1 001
(Ir. YusakMaryunianta, M.Si)
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat
dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Analisis Perbandingan Usahatani Padi Sawah Sistem Sri (System Of Rice
Intensification) Dengan Sistem Konvensional Di Kecamatan Teluk
Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai” yang merupakan salah satu syarat
untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Agribisnis, Fakultas
Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Secara khusus penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang
sebanyak-banyaknya kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Saeran dan
Ibunda Nurhayani Nasution, atas seluruh perhatian dan dukungan baik secara
materi, moril, maupu doa yang diberikan kepada penulis, serta kepada saudara dan
saudari penulis Abang Ahmad Ridoan, abang Indra Gunawan dan Kakak Eka
Yuliani atas doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :
• Ir. Thomson Sebayang, MT selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah
bersedia membantu, mengayomi dan memberikan masukan yang sangat
berarti kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
• Ir. Yusak Maryunianta, M.Si selaku anggota Komisi Pembimbing yang
telah meluangkan waktunya untuk mengajar dan membimbing serta
memberikan masukan yang berharga dalam menyelesaikan skripsi ini.
• Dr. Ir. Salmiah, MS selaku Ketua program studi Agribisnis, FP-USU dan Dr.
Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec selaku Sekretaris program studi Agribisnis,
• Seluruh dosen program studi Agribisnis, FP-USU yang telah memberikan
ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama menempuk pendidikan di
program studi Agribisnis, FP-USU.
• Seluruh Staf dan Pegawai program studi Agribisnis, FP-USU.
• Sahabat – sahabat tercinta, Rizka Tiara Amanda Harahap SP, Nur Hayati,
Irna Fitri Melany Rangkuti, Sari Vita Yasa Butar – Butar SP, Rimayani
Izaroh SP , Yakobus Teguh Siregar, Aziz Adriansyah SP, Rahmad
Wijaya SP, Rizky Hermawan yang telah banyak membantu penulis selama
menempuh pendidikan di program studi Agribisnis, FP-USU hingga penulis
menyelesaikan skripsi ini serta seluruh sahabat saya di program studi
Agribisnis, FP-USU angkatan 2010 yang tidak bisa saya sebutkan satu
persatu.
• Mora Asriadi Pakpahan SE, Fitri Agustina Siregar SE, Irfan Fajri
Rambe SH, Helmi Azlansyah A.Md, Muhammad Erwin Syahputra
A.Md, Muhammad Hanafiah yang telah memberikan bantuan dan
perhatiannya.
• Serta rekan – rekan kerja saya di Starbucks Coffee Medan yang telah
memberikan doa dan dukungannya kepada penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun dari pembaca untuk perbaikan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang
Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan
sandang dan papan. Pangan sebagai kebutuhan pokok bagi kehidupan umat
manusia merupakan penyedia pokok berbagai macam zat gizi yang sangat
diperlukan dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas.
Kebutuhan pangan penduduk Indonesia setiap tahun semakin meningkat seiring
dengan peningkatan jumlah penduduk. Konsumsi beras masyarakat Indonesia
menurut Badan Pusat Statistik (BPS), mencapai 139 kg per kapita per tahun atau
merupakan tertinggi di dunia (Saragih, 2011) dan mengalami peningkatan setiap
tahunnya.
Beras merupakan komoditas penting dan strategis bagi Indonesia karena
merupakan makanan pokok dan sumber perolehan karbohidrat bagi lebih dari 240
juta jiwa penduduknya. Upaya difersifikasi pangan tampaknya masih belum
mampu mengubah preferensi penduduk terhadap beras. Berkaitan dengan hal ini,
dalam jangka panjang beras akan tetap menjadi pangan pokok penduduk
Indonesia, sehingga kebijakan produksi beras akan tetap menjadi kebijakan inti
dalam pembangunan pertanian (Suparta, 2010).
Seiring dengan perjalanan dengan waktu, kendala dalam pengembangan produksi
padi semakin berat antara lain: (a) Adanya konversi lahan sawah subur dari
pertanian ke non pertanian, sebagai akibat dari berkembangnya kawasan industri,
perumahan dan pembangunan prasarana ekonomi, sehingga sektor pertanian
terdesak ke lahan marjinal yang produktivitasnya rendah; (b) Persaingan yang
semakin ketat dalam pemanfaatan sumber daya air antara sektor pertanian dengan
sektor industri dan rumah tangga, disertai dengan menurunnya kualitas air akibat
limbah industri dan rumah tangga, yang pada gilirannya produktivitas pertanian
pun menjadi menurun; (c) Kualitas tenaga kerja di sektor pertanian secara umum
lebih rendah dari pada sektor industri dan jasa, sehingga tenaga kerja muda
cenderung lebih memilih sektor non pertanian.
Di samping tersebut di atas, kemandegan produksi padi antara lain karena
produktivitas padi secara nasional telah mengalami levelling-off yang disebabkan
oleh kemandegan teknologi terutama penemuan bibit padi unggul, penurunan
investasi sarana dan prasarana, seperti kredit finansial, penyuluhan pertanian,
pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur.
Tantangan lain yang juga sering dihadapi pada pertanian di Indonesia yaitu
penurunan lahan yang setiap tahunnya mencapai sekitar 2,8 juta hektar/tahun.
Tingkat alih fungsi lahan pun terus terjadi dan meningkat setiap tahunnya, yaitu
sekitar 110,000 hektar/tahun (Data Kementerian Pertanian, 2011). Belum lagi pola
penanaman yang menggunakan bahan-bahan kimia mengakibatkan penurunan
kesuburan tanah dalam jangka panjang dan kelangkaan air, hal ini menjadi
permasalahan dan tantangan bagi pengembangan pertanian (Mutakin, 2005).
Salah satu upaya memenuhi kebutuhan beras dari produksi padi dalam negeri
adalah melalui intensifikasi lahan tanaman padi dengan penerapan inovasi
produksi padi sawah adalah penerapan System of Rice Intensification (SRI)
(Pitojo, 2003).
Pada tahun 1999, Indonesia mulai menerapkan System of Rice Intensification
(SRI). Sistem SRI merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi padi
hingga 2 – 4 kali lebih banyak metode konvensional. Hal ini berarti bahwa
produksi padi SRI bisa mencapai 8 – 12 ton per hektar sedangkan produksi padi
konvensional hanya mencapai 4 – 6 ton (Trubus, 2013).
Indonesia memiliki luas panen sekitar 13 ribu hektar pertahun. Namun faktanya,
luasnya luas lahan yang ada ternyata tidak mampu meningkatkan produksi padi
sawah secara nasional yang masih hanya sekitar 68 ribu ton pertahun.
Kemungkinan hal ini diakibatkan karena masih banyak petani yang belum
menaruh perhatian serius terhadap metode tanam padi sawah yang diterapkan.
Padahal seharusnya, apabila petani menggunakan sistem tanam SRI dengan luas
lahan 10 ribu hektar saja dengan tingkat produksi 8 ton per hektar maka produksi
padi bisa mencapai 80 ribu ton pertahun. Namun sayangnya, potensi tersebut tidak
dapat dicapai karena metode tanam padi yang masih banyak digunakan oleh
petani padi sawah saat ini adalah sistem Konvensional dengan rata – rata tingkat
produksi sebesar 5 ton per hektar secara nasional.
Sumatera Utara adalah salah satu provinsi yang tercatat sebagai penghasil beras
dan mengalami surplus beras secara nasional dengan tingkat produksi 5 ton per
hektar per satu kali musim tanam. Namun demikian, angka tersebut masih berada
dibawah rata – rata tingkat produksi padi sawah nasional sebesar 5,2 ton per
Salah satu daerah yang menjadi penyumbang beras di provinsi Sumatera Utara
adalah kabupaten Serdang Bedagai. Hingga tahun 2012, Kabupaten Serdang
Bedagai memiliki luas panen yang mencapai 63 ribu hektar, menurun jika
dibandingkan dengan tahun – tahun sebelumnya yang mencapai 70 ribu hektar.
Jumlah luas panen, produksi dan tingkat produksi padi sawah di kabupaten
Serdang Bedagai tahun 2008 – 2012 dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :
Tabel 1. Produksi Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2008 – 2012
Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Tingkat produksi (ton/ Ha)
2008 72 766 348 806 47,94
2009 72 043 356 564 49,49
2010 73 585 377 307 51,27
2011 63 601 340 916 53,60
2012 63 601 340 916 53,60
Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2013
Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan luas panen dari tahun
2008 – 2012 dengan total penurunan mencapai 20 hektar. Namun sebaliknya,
tingkat produksi padi sawah per hektar mengalami peningkatan dari tahun 2008 –
2012. Salah satu penyebab terjadinya kenaikan tingkat produksi tersebut adalah
penerapan sistem tanam SRI yang telah dilakukan sejak tahun 2005. Penerapan
sistem SRI di kabupaten Serdang Bedagai dimulai dari desa Lubuk Bayas,
kecamatan Perbaungan dengan luas 2 hektar dan kemudian berkembang ke
beberapa kecamatan lainnya.
Namun, proses intensifikasi yang dilakukan oleh petani dan pemerintah kabupaten
Serdang Bedagai salah satunya adalah penerapan sistem tanam Organik berupa
sistem SRI (System of Rice Intensification) yang sudah dimulai sejak tahun 2005
sawah di kabupaten Serdang bedagai yang mencapai 5,3 ton per hektar meski
adanya penurunan luas panen sawah (lihat Tabel 1.)
Sistem SRI di kabupaten Serdang Bedagai diterapkan pertama kali pada tahun
2005 yang dimulai dari desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan dengan luas
lahan 2 hektar yang kemudian diikuti oleh beberapa kecamatan lain di kabupaten
Serdang Bedagai. Di kecamatan Teluk Mengkudu, pertanian SRI dimulai pada
tahun 2008 dengan luas 5 hektar dan pada tahun 2012 berkembang menjadi 40
hektar setelah budidaya SRI mendapat dukungan dana APBN. Pada tahun yang
sama (2012) pertanian sistem SRI di kabupaten Serdang Bedagai juga difasilitasi
oleh Bank Indonesia seluas 190 Ha yang dilaksanakan di 3 Kecamatan yaitu :
Teluk Mengkudu, Pantai Cermin dan Perbaungan. Hingga tahun 2013 total luas
lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya SRI di kecamatan Teluk mengkudu
telah mencapai 260 hektar.
Kabupaten Serdang Bedagai dengan luas baku lahan sawah 40.598 Ha merupakan
salah satu lumbung pangan di Sumatera Utara. Dengan luas tanam Serdang
Bedagai 70.000 – 75.000 Ha per tahun, maka pengembangan pertanian organik
dengan sistem SRI di Kabupaten Serdang Bedagai terbuka lebar. Namun, hingga
tahun 2013, luas lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya padi SRI baru sekitar
1425 Ha, hal ini menunjukkan bahwa pertanian SRI di Kabupaten Serdang
Bedagai perkembangannya masih lambat.
Berikut ini adalah tabel pengembangan usahatani padi sawah sistem SRI di
Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan (Mulyaningsih, 2010) di Desa
Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat
diperoleh hasil bahwa usahatani SRI dapat memperoleh penerimaan bersih 59
persen dari total penerimaan usahatani. Sementara petani padi konvensional hanya
memperoleh 35 persen dari total penerimaan usahatani. Berdasarkan analisis
efisiensi pendapatan, usahatani SRI lebih menguntungkan untuk dijalankan jika
dibandingkan dengan usahatani padi konvensional.
Hasil penelitian (Fatimah, 2011) juga membuktikan bahwa tingkat pendapatan
petani SRI jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pendapatan petani
Konvensional. Pendapatan petani konvensional sebesar Rp 3.341.159,- dengan
penerimaan sebesar Rp 10.928.66, sedangkan pendapatan bersih petani SRI
adalah sebesar Rp 10.559.276 dengan penerimaan sebesar Rp 18.453.494.
Perbedaan pendapatan antara petani konvensional dan petani SRI organik yaitu
sebesar Rp 7.218.117.
Dari hasil berbagai penelitian yang telah dilakukan mengenai padi SRI diketahui
bahwa dengan menerapkan sistem usahatani padi organik dapat meningkatkan
pendapatan petani. Penelitian mengenai perbandingan padi organik dengan
metode SRI dengan sistem Konvensional di kabupaten Serdang Bedagai
khususnya di kecamatan Teluk Mengkudu belum dilakukan, sehingga belum
diketahui apakah benar dengan adanya sistem usahatani dengan metode SRI yang
dilakukan tersebut dapat meningkatkan pendapatan petani di kecamatan Teluk
Mengkudu. Oleh karena itu, agar petani dapat mengambil keputusan, maka
Konvensional perlu dilakukan. Dengan begitu maka akan diketahui usahatani padi
sistem mana yang lebih menguntungkan bila dilihat dari sisi pendapatannya.
1.2 Identifikasi Masalah
1. Apakah ada perbedaan penggunaan input produksi antara usahatani padi
sawah sistem SRI dengan sistem Konvensional?
2. Apakah ada perbedaan tingkat produksi antara usahatani padi sawah sistem
SRI dengan sistem Konvensional?
3. Input apa yang berpengaruh terhadap hasil produksi padi usahatani padi sawah
sistem SRI dan sistem Konvensional?
4. Apakah ada perbedaan biaya produksi antara usahatani padi sawah sistem SRI
dengan sistem Konvensional?
5. Apakah ada perbedaan pendapatan petani antara usahatani padi sawah sistem
SRI dengan sistem Konvensional?
6. Input apa yang berpengaruh terhadap pendapatan petani pada usahatani padi
sawah sistem SRI dan sistem Konvensional?
1.3Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisis perbedaan penggunaan input produksi antara usahatani
padi sawah sistem SRI dengan sistem Konvensional.
2. Untuk menganalisis perbedaan tingkat produksi antara usahatani padi sawah
sistem SRI dengan sistem Konvensional.
3. Untuk menganalisis input yang berpengaruh terhadap hasil produksi padi
4. Untuk menganalisis perbedaan biaya produksi antara usahatani padi sawah
sistem SRI dengan sistem Konvensional.
5. Untuk menganalisis perbedaan pendapatan petani antara usahatani padi sawah
sistem SRI dengan sistem Konvensional.
6. Untuk menganalisis input apa yang berpengaruh terhadap pendapatan petani
pada usahatani padi sawah sistem SRI dan sistem Konvensional.
1.4Kegunaan penulisan
1. Sebagai bahan informasi bagi petani dalam mengambil keputusan sistem
usahatani padi sawah yang akan dilakukan.
2. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah dalam pengambilan keputusan dan
kebijakan berkaitan dengan upaya peningkatan produksi beras.
3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti dalam pengembangan penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA
PEMIKIRAN
2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Sejarah System of Rice Intensification (SRI)
Metode SRI pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara
tahun 1983 - 1984 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal
Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh
penemunya, metododologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie
Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris, populer
dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI. SRI menjadi terkenal
di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada tahun 1987,
Uphoff mengadakan presentase SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan
pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar dan hasil metode SRI sangat
memuaskan (Mutakin, 2013).
Berdasarkan hasil pengembangan program SRI di beberapa negara, di peroleh
hasil input produksi yang cukup signifikan, hasil produksi tanaman padi dapat
dilihat sebagai berikut (Saragih, 2011) :
1. China (2004), hasil naik dari 3 ton/ha menjadi 7,5 ton/ha dengan hasil
tertinggi 20,4 ton/ha dan penghematan air sebesar 42 %. Saat ini input
produksi padi sekitar 13 ton/ha.
2. India (50 petani, 2003-2004), hasil meningkat dari 7,1 ton/ha menjadi 9,7
ton/ha dengan input produksi tertingginya adalah sebesar 15 ton/ha.
3. Kamboja (5 propinsi, 2004), hasil naik sebesar 41 % dan pendapatan naik
sebesar 74 %.
4. Sri Langka, hasil naik sebesar 50 %, efisiensi air 90 %, pendapatan bersih 112
%, dan pengurangan biaya produksi sebesar 17 – 27 %.
5. Indonesia oleh Agency for Agricultural Research and Development (AARD, 2004), dengan hasil rata-rata 7 s/d 9 ton. Hasil uji coba petani terbaru SRI
memberikan hasil 10 s/d 18 ton/ha.
2.1.2 Metode System of Rice Intensification (SRI)
System of Rice Intensification (SRI) merupakan suatu metode budidaya tani padi yang intensif ruang dan efisien bahan berbasis pengelolaan interaksi tanaman
dengan bioreaktornya yang mencakup mekanisme siklus ruang yang dibangun
oleh bahan organik kompos dan siklus kehidupan yang dibangun oleh semaian
mikoorganisme lokal (MOL) ( Purwasasmita dan Alik, 2012).
Pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik merupakan
”Hukum Pengembalian (Law of Return)” yang berarti suatu sistem yang berusaha
untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam
bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan
memberi makanan pada tanaman. Filosopi yang melandasi pertanian organik
adalah mengembangkan prinsip – prinsip memberi makanan pada tanah yang
selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman dan bukan memberi
makanan langsung pada tanaman (Susanto, 2002).
Kegunaan budidaya organik sistem SRI pada dasarnya ialah meniadakan atau
kimiawi. Beberapa hal yang mencakup kegunaan budidaya organik dalam
meniadakan atau membatasi keburukan budidaya kimiawi dan kemungkinan
resiko terhadap lingkungan, adalah (Rachmiyanti, 2009) :
a. Menghemat penggunaan hara tanah,
b. Melindungi tanah terhadap kerusakan dan mencegah degradasi tanah.
c. Meningkatkan penyediaan lengas tanah sehingga menghindarkan
kemungkinan resiko kekeringan dan memperbaiki ketersediaan hara tanah dan
hara yang berasal dari pupuk mineral,
d. Menghindarkan terjadinya ketimpangan (unbalance) hara, bahkan dapat
memperbaiki neraca (balance) hara dalam tanah.
e. Tidak membahayakan kehidupan Flora dan Fauna tanah, bahkan dapat
menyehatkan.
f. Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, khususnya atas sumberdaya air.
g. Merupakan teknologi berkemampuan ganda yaitu sumber hara dan pembenah
tanah.
Pelaksanaan System of Rice Intensification melalui penerapan komponen
teknologi secara terpadu berupa paket rekomendasi yang berlaku umum, antara
lain meliputi penanaman bibit muda umur 8 – 15 hari saat tanaman berdaun dua
helai dan satu tanaman per lubang yang dilakukan segera setelah dipindah dari
persemaian, pengairan berselang (intermitten), pengaturan jarak tanam,
penyiangan gulma dengan landak 2 – 4 kali sebelum fase primordia, penggunaan
kompos sebanyak mungkin sebelum tanam, pemupukan anorganik dapat juga
ditambahkan dengan rekomendasi pemupukan setempat. Model ini mampu
2.1.3 Input Produksi Pertanian
Dalam sistem pertanian membutuhkan input untuk berproduksi. Input produksi
sangat berperan mulai dari pertumbuhan tanaman padi sampai dengan
perkembangan tanaman tersebut. Terdapat beberapa jenis input produksi yang
biasa digunakan oleh petani seperti benih, pupuk, pestisida dan tenaga kerja.
Pada penelitian ini akan dikaji bagaimana metode SRI tersebut mampu
menghemat penggunaan input - input produksi pada usahatani padi sawah.
a. Pupuk
Pembudidayaan tanaman dengan menggunakan sistem pertanian organik mulai
dari input hingga outputnya harus menerapkan sistem organik pula, salah satu
inputnya yaitu pupuk. Pupuk merupakan salah satu komponen penting dalam
pemeliharaan yang menggunakan sistem pertanian organik ini. Pupuk yang
digunakan juga harus pupuk organik (Rachmiyanti, 2009).
Pupuk merupakan salah satu komponen penting dalam perkembangan dan
pemeliharaan tanaman. Pada umumnya pupuk yang digunakan dalam budidaya
padi sawah ada dua jenis, yaitu pupuk organik dan pupuk kimia. Definisi yang
dikemukakan oleh International Organization for Standardization (ISO) dalam
Sutanto (2002) menyatakan bahwa pupuk organik merupakan bahan organik atau
bahan karbon, pada umumnya berasal dari tumbuhan dan atau hewan,
ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik sebagai sumber hara, pada umumnya
mengandung nitrogen yang berasal dari tumbuhan dan atau hewan. Pupuk kimia
adalah pupuk yang berasal dari proses rekayasa secara kimia, fisik atau biologis
umumnya jenis pupuk kimia yang digunakan dalam budidaya meliputi (Saragih,
2011) :
a. pupuk hara makro primer yaitu pupuk yang mengandung unsur hara utama N,
P atau K baik tunggal maupun majemuk seperti Urea, TSP, SP-36, ZA, KCl,
Phospat Alam, NP, NK, PK dan NPK;
b. Pupuk hara makro sekunder, yaitu pupuk yang mengandung unsur Calsium
(Ca), Magnesium (Mg) dan Belerang (S) seperti Dolomit, Kiserit;
c. Pupuk hara makro campuran yaitu pupuk yang mempunyai kandungan hara
utama N, P dan K yang dilengkapi unsur-unsur hara mikro seperti Seng (Zn),
Boron (B), Tembaga (Cu), Cobalt (Co), Mangan (Mn), Molibdenum (Mo).
Pupuk hara campuran tersebut dapat berbentuk padat atau cair
d. Pupuk hara mikro yaitu pupuk yang mempunyai kandungan hara mikro Zn, B,
Cu, Co, Mn dan Mo;
e. Pupuk anorganik lainnya.
b. Benih
Pada sistem SRI semua varietas padi bisa digunakan. Namun, sebaiknya dalam
budidaya padi digunakan benih unggul. Untuk mendapatkan benih unggul, perlu
dilakukan uji viabilitas (daya kecambah) dan vigoritas benih dengan
merendamnya dalam larutan garam. Hal ini dilakukan utuk mendapatkan benih
yang paling bermutu (Trubus, 2013).
Umumnya benih dikatakan bermutu jika jenisnya murni (lokal), beras nasional
(bernas), kering, sehat, bebas dari penyakit, bebas dari campuran biji rerumputan
Menurut Boer (2009) ada beberapa klasifikasi benih yang bersertifikat sesuai
dengan keturunan dan mutunya (Saragih, 2011) :
1. Benih Penjenis (Breeder seed) adalah benih pembiak vegetatif yang dihasilkan
langsung oleh pemulia tanaman yang digunakan untuk menghasilkan benih
dasar.
2. Benih dasar (foundation seed) merupakan turunan pertama dari benih
penjenis, identitas genetif dan kemurniannya dijaga baik.
3. Benih pokok, merupakan turunan dasar dari benih dasar, identitas dan
kemurniannya dipertahankan sebaik mungkin.
4. Benih sebar, turunan dari benih pokok untuk memproduksi tanaman.
c. Tenaga Kerja
Tenaga kerja merupakan salah satu input produksi penting dalam setiap usahatani.
Terdapat tiga jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani yaitu manusia,
ternak, dan mekanik. Tenaga kerja manusia dapat diperoleh dari dalam keluarga
itu sendiri atau dari luar keluarga. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga
kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan
semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Tenaga
kerja ternak digunakan untuk pengolahan tanah dan untuk pengangkutan.
Sedangkan tenaga kerja mekanik bersifat substitusi pengganti ternak dan atau
manusia. Jika kekurangan tenaga kerja, petani dapat memperkerjakan tenaga kerja
d. Pestisida
Pestisida merupakan salah satu input produksi yang digunakan oleh para petani
untuk menjaga tanaman dari serangan hama penyakit. Namun pada umumnya
penggunaan pestisida digunakan pada pertanian Konvensional, sedangkan pada
pertanian organik tidak menggunakan pestisida kimia. Pestisida terdiri dari
pestisida kimia dan pestisida alami. Pestisida kimia terdiri dari dua jenis yaitu
pestisida padat dan pestisida cair. Penggunaan pestisida tergantung dari kondisi
lingkungan dan hama yang menyerang tanaman tersebut. Pada umumnya pestisida
yang digunakan oleh petani padi Konvensional adalah pestisida cair. Pada
pertanian organik menggunakan pestisida alami yang dibuat oleh petani dengan
menggunakan bahan-bahan yang alami dan ramah lingkungan.
2.1.4 Prinsip Dasar Budidaya SRI
Secara umum dalam konsep SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup
sebagaimana mestinya, tidak diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi.
Tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai
dengan pertumbuhannya. Hal ini karena SRI menerapkan konsep sinergi, dimana
semua komponen teknologi SRI berinteraksi secara positif dan saling menunjang
sehingga hasil secara keseluruhan lebih banyak daripada jumlah masing-masing
bagian.
Terdapat beberapa komponen penting dalam penerapan SRI yaitu (Trubus, 2013) :
1. Pemakaian benih 1 lubang 1 tanaman
2. Umur bibit di persemaian sekitar 5 – 12 hari (daun)
4. Sawah ditanami dalam kondisi macak – macak (tinggi air maksimum 2 cm)
5. Penyiangan dilakukan setiap 10 hari dengan terlebih dahulu memasukkan air
hingga setinggi 5 cm selama 2 hari
6. Struktur tanah sawah harus gembur dan kaya bahan organik.
Hal paling mendasar dalam budidaya SRI adalah menerapkan irigasi intermiten,
artinya siklus basah kering bergantung pada kondisi lahan, tipe tanah dan
ketersediaan air. Selama waktu penanaman lahan tidak tergenang tetapi
macak-macak (basah tapi tidak tergenang). Cara ini bisa menghemat 46% air dan juga
mencegah kerusakan akar tanaman. Penggenangan air menyebabkan kerusakan
jaringan perakaran akibat terbatasnya suplai oksigen. Semakin tinggi air semakin
kecil oksigen terlarut, dampaknya akar tanaman tidak mampu mengikat oksigen
sehingga jaringan perakaran rusak. Disamping menghemat air, budidaya intensif
itu juga menghemat penggunaan bibit, sebab satu lubang tanam hanya ditanam
satu bibit. Dengan menanam satu bibit per lubang berarti menghindari perebutan
cahaya atau hara dalam tanah sehingga sistem perakaran dan pertumbuhan
tanaman menjadi lebih baik. Sebaliknya jika penanaman terdiri atas 9 bibit per
lubang menyebabkan terjadinya kompetisi hara pada tanaman (trubus, 2008).
Dalam pertanian SRI digunakan bibit muda berumur 5 - 12 hari pasca semai dan
terdiri atas dua daun. Penggunaan bibit muda berdampak positif karena lebih
mudah beradaptasi dan tidak gampang stres, ini dikarenakan perakaran belum
panjang maka penanaman pun tidak perlu terlalu dalam cukup 1-2 cm dari
permukaan tanah. Untuk menghasilkan bibit muda yang berkualitas petani
mempersiapkan sejak penyemaian. Populasi di persemaian 50 gr/m2 dimaksudkan
demikian bibit sudah siap tanam pada umur 5-12 hari. Transplantasi saat bibit
muda dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman
dalam memproduksi batang dan akar selama pertumbuhan vegetatif, sehingga
jumlah anakan/ batang yang muncul lebih banyak dalam satu rumpun, dan bulir
padi yang dihasilkan oleh malai padi juga lebih banyak. Petani SRI menanam bibit
muda dengan jarak tanam 40 cm x 30 cm, total populasi dalam satu hektar
mencapai 83.000 tanaman, sementara pada sistem Konvensional berjarak tanam
20 cm x 20 cm terdiri atas 250 ribu tanaman. Pada jarak tanam longgar sinar
matahari dapat menembus sela - sela tanaman dengan baik. Tanaman memerlukan
sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis yang bertujuan unutk menjaga
pasokan makanan tercukupi. Dengan demikian dalam umur 30 hari, dari satu bibit
sudah menghasilkan 65 anakan (Saragih, 2011).
2.1.5 Teknik Budidaya Padi SRI
Pertanian padi metode SRI pada dasarnya tidak berbeda dengan padi
Konvensional. Usahatani padi metode SRI diberikan masukan bahan organik baik
pupuk dan pestisidanya. Sedangkan usahatani padi Konvensional masukannya
berupa bahan kimia sintetik. Namun dari pola tanam padi SRI sedikit berbeda
dengan padi Konvensional, yaitu pada teknik persemaian, pengolahan tanah,
penanaman, dan pengaturan air (Mutakin, 2007).
a. Persiapan benih
Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan air garam yang
cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila dimasukkan telur, maka
tenggelam dalam larutan tersebut. Kemudian benih telah diuji direndam dalam air
biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diperam 2 hari, kemudian
disemaikan pada media tanah dan pupuk organik (1:1) di dalam wadah segi empat
ukuran 20 x 20 cm (Nampan) selama 7 hari. Setelah umur 7 - 10 hari benih padi
sudah siap ditanam (Mutakin, 2005).
b. Pengolahan Lahan
Pengolahan tanah untuk tanaman padi metode SRI tidak berbeda dengan cara
pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu dilakukan untuk
mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman, terhindar dari gulma.
Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan traktor
tangan, sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk
mempermudah mengontrol dan mengendalikan air.
c. Pemupukan
Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan tanah dan
penambahan unsur hara yang berkurang setelah dilakukan pemanenan. Kebutuhan
pupuk organik pertama setelah menggunakan sistem Konvensional adalah 10 ton
per hektar dan dapat diberikan sampai 2 musim taman. Setelah kelihatan kondisi
tanah membaik maka pupuk organik bisa berkurang disesuaikan dengan
kebutuhan. Pemberian pupuk organik dilakukan pada tahap pengolahan tanah
kedua agar pupuk bisa menyatu dengan tanah.
d. Pemeliharaan
Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus menerus,
mempermudah pemeliharan. Pada prakteknya pengelolaan air pada sistem padi
SRI dapat dilakukan sebagai berikut; pada umur 1 - 10 hari tanaman padi
digenangi dengan ketinggian air rata-rata 1 cm, kemudian pada umur 10 hari
dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan tanaman tidak digenangi air.
Untuk perlakuan yang masih membutuhkan penyiangan berikutnya, maka dua hari
menjelang penyiangan tanaman digenang air. Pada saat tanaman berbunga,
tanaman digenangi air dan setelah padi matang susu tanaman tidak digenangi air
kembali sampai panen. Untuk mencegah hama dan penyakit pada SRI tidak
digunakan bahan kimia, tetapi dilakukan pencengahan dan apabila terjadi
gangguan hama/penyakit digunakan pestisida nabati dan atau digunakan
pengendalian secara fisik dan mekanik.
2.1.6 Perbedaan Pertanian SRI dengan Pertanian Konvensional
Dalam pelaksanaannya, ada beberapa perbedaan pertanian sistem SRI dengan
sistem Konvensional seperti pada tabel 4.
Pada sistem Konvensional benih disemai selarma 30 hari, kemudian dilakukan
penanaman dengan menanam 6 bibit dalam satu bak. Penggenangan secara terus
menerus dengan ketinggian air 5 cm, selanjutnya dilakukan pengeringan
dilakukan 2 minggu menjelang panen. Sedangkan pada sistem SRI Benih disemai
hingga berumur 10 hari, lalu ditanam 1 bibit dalam satu loban. Pengairan diatur
dalam kondisi macak-macak selama waktu pertumbuhannya. Dua minggu
Untuk menaksir parameter – parameter, persamaan harus ditransformasikan dalam
bentuk logaritma natural (ln) sehingga menjadi bentuk linier berganda (multiple
linear), yang kemudian pengujian dilakukan dengan metode kuadrat kecil dengan
bentuk matematis :
Y = Ln + + + + + e
Dimana :
Y : Produksi
: Konstanta
: Koefisien regresi terhadap X
: Pupuk
: Benih
: Pestisida
: Tenaga kerja
Berdasarkan persamaan maka dapat dilihat bahwa besar kecilnya produksi sangat
tergantung dari peranan sampai dengan dan input lain yang tidak ada dalam
persamaan (Daniel, 2002).
Biaya usahatani biasanya dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
1. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus
dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Jadi besar
biaya ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh.
2. Biaya tidak tetap (variable cost) adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi
Biaya tetap ini umumnya didefenisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya
dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit.
Contoh biaya tetap antara lain: sewa tanah, pajak, alat pertanian dan iuran irigasi.
Disisi lain biaya tidak tetap atau biaya variabel biasanya didefenisikan sebagai
biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh (Kasmir,
2003).
Biaya usahatani atau disebut dengan total biaya merupakan penjumlahan dari
biaya tetap dan biaya tidak tetap, dengan rumus sebagai berikut:
TC= FC + VC
Keterangan:
TC = Total Biaya (Rp)
FC = Biaya Tetap (Rp)
VC = Biaya Variabel (Rp)
Pendapatan dalam ilmu ekonomi didefinisikan sebagai hasil berupa uang atau hal
materi lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan atau jasa manusia bebas.
Kondisi seseorang dapat di ukur dengan menggunakan konsep pendapatan yang
menunjukkan jumlah seluruh uang yang diterima oleh seseorang selama jangka
waktu tertentu (samuelson dan Nordhaus,1995).
Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya sehingga
dapat ditulis dengan rumus :
Pd = TR – TC
Keterangan:
TR = Total penerimaan (Rp)
TC = Total biaya (Rp)
Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan
harga jual, pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:
TR = Y. PY
Keterangan:
TR = Total Penerimaan (Rp)
Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani
PY = Harga (Rp)
( Soekartawi, 2002).
Dalam melakukan analisis usahatani, seseorang dapat melakukannya menurut
kepentingan untuk apa analisis usahatani yang dilakukannya. Dalam banyak
pengalaman analisis usahatani yang dilakukan oleh petani atau produsen memang
dimaksudkan untuk tujuan mengetahui atau meneliti :
a. Keunggulan komparatif (comparative advantage)
b. Kenaikan hasil yang semakin menurun (law of diminishing returns)
c. Substitusi (substitution effect)
d. Pengeluaran biaya usahatani (farm expenditure)
e. Biaya yang diluangkan (opportunity cost)
f. Pemilikan cabang usaha (tanaman lain yang dapat diusahakan)
g. Baku-timbang tujuan (goal trade-off).
Menurut Hernanto (1991) bentuk keperluan analisis pendapatan petani diperlukan
pengeluaran usahatani, dan (4) penerimaan dari berbagai sumber. Keadaan
rata-rata inventaris adalah jumlah nilai inventaris awal ditambah nilai inventaris akhir
dibagi dua. Untuk menilai aset benda pada usahatani dapat dilakukan dengan:
harga pembelian, nilai penjualan setelah waktu tertentu, nilai penjualan pada saat
pencatatan atau perhitungan, dan harga pembelian dikurangi dengan penyusutan
(Rachmiyanti, 2009).
Perlunya analisis usahatani memang bukan untuk kepentingan petani saja tetapi
juga untuk para penyuluh pertanian seperti Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL),
Penyuluh Pertanian Madya (PPM), dan Penyuluh Petanian Analisis (PPA), para
mahasiswa atau pihak lain yang berkepentingan untuk melakukan analisis
usahatani dengan sasaran petani adalah sebagai sumber informasi yang sangat
penting (Soekarwati, 1995).
2.3Kerangka Pemikiran
Petani adalah orang yang menjalankan dan mengelola usahatani. Di kecamatan
Teluk Mengkudu ada 2 sistem usahatani padi sawah yang dibudidayakan yaitu
sistem SRI dan sistem Konvensional. Dalam pelaksanaanya, ada beberapa
perbedaan dalam aspek penggunaan input produksi antara kedua sistem tanam
tersebut. Sistem Konvensional menggunakan benih varietas unggul sedangkan
sistem SRI menggunakan varietas lokal dan varietas unggul yang aman. Dalam
hal penggunaan pestisida, sistem Konvensional biasanya menggunakan pupuk dan
pestisida kimiawi sedangkan sistem SRI menggunakan pupuk organik seperti
pupuk hijau, pupuk kandang dan pestisida alami seperti pestisida hayati,
aspek penggunaan tenaga kerja. Sistem Konvensional menggunakan tenaga kerja
berupa manusia dan traktor sedangkan sistem SRI tenaga kerja yang digunakan
berupa manusia, hewan ternak, dan traktor tangan ringan (Rachmiyanti, 2009).
Perbedaan tersebut juga mengakibatkan adanya perrbedaan jumlah hasil produksi
padi dan biaya produksi usahatani antara sistem SRI dengan sistem Konvensional
yang berujung pada terjadinya perbedaan tingkat produksi padi di kedua sistem
tanam padi yakni sistem SRI dengan sistem Konvensional. Perbedaan produksi
dan biaya produksi juga akan mengakibatkan perbedaan pendapatan petani di
setiap sistem tanam. Dalam penelitian ini akan dibahas tentang perbedaan –
perbedaan yang terjadi akibat perbedaan sistem tanam padi tersebut.
Secara skematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1 :
Petani Padi Sawah
Usahatani
Sistem Konvensional Sistem SRI
Input Produksi
- Benih
- Pupuk
- Pestisida
- Tenaga Kerja
Input Produksi
- Benih
- Pupuk
- Pestisida
Keterangan :
: Mempengaruhi
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran
2.4 Penelitian Terdahulu
Analisis perbandingan usahatani padi organik Metode System Of Rice
Intensification (SRI) dengan Padi Konvensional oleh Rachmiyanti (2009)
diperoleh kesimpulan bahwa ternyata pendapatan atas biaya tunai maupun
pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI lebih rendah dari
pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total padi
Konvensional. Namun hasil uji t menyimpulkan bahwa perubahan sistem
usahatani yang dilakukan oleh petani padi ternyata tidak berpengaruh nyata
terhadap pendapatan petani. Apabila dilihat dari imbangan penerimaan dan biaya
(R/C rasio) diketahui bahwa R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani padi
organik metode SRI ( Rp 1,98) lebih rendah dari R/C rasio yang diperoleh petani Produksi
Input produksi
Biaya Produksi
Produksi
Input produksi
Biaya Produksi
padi Konvensional, yaitu Rp 2,46. Hal ini berarti bahwa dari setiap satu rupiah
biaya yang dikeluarkan oleh petani padi organik metode SRI hanya akan
memberikan penerimaan sebesar Rp. 1,98 lebih rendah dari penerimaan yang
diperoleh petani padi Konvensional. Begitu pula dengan R/C rasio atas biaya total,
untuk petani padi organik metode SRI R/C rasio yang diperoleh hanya sebesar Rp
1,54 sedangkan petani padi Konvensional lebih besar dari petani padi organik
tersebut, yakni sebesar Rp 2,16. Hal ini bermakna bahwa penerimaan yang
diperoleh padi Konvensional lebih besar dari petani padi organik metode SRI.
2.5 Hipotesis Penelitian
1. Ada perbedaan yang nyata antara penggunaan input produksi (Pupuk, Benih,
Tenaga Kerja, Pestisida) usahatani padi sawah sistem SRI dengan sistem
Konvensional.
2. Ada perbedaan yang nyata antara tingkat produksi usahatani padi sawah
sistem SRI dengan sistem Konvensional.
3. Pupuk, Benih, Tenaga Kerja dan Pestisida berpengaruh nyata terhadap hasil
Produksi padi sawah pada usahatani sistem SRI dan sistem Konvensional.
4. Ada perbedaan yang nyata antara biaya produksi usahatani padi sawah sistem
Secara parsial, faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap tingkat
pendapatan usahatani padi sawah sistem Konvensional adalah biaya benih, biaya
pupuk dan biaya Tenaga Kerja.
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
a. Ada perbedaan yang nyata penggunaan input produksi antara usahatani padi
sawah sistem SRI (System of Rice Intensification) dengan sistem
Konvensional di kecamatan Teluk Mengkudu.
a. Penggunaan input Kompos dan Tenaga Kerja pada usahatani padi sawah
sistem SRI lebih tinggi daripada sistem Konvensional.
b. Penggunaan input Urea, SP-36, ZA, NPK, Bestok, Starban, Ultimex dan
b. Ada perbedaan nyata tingkat produksi padi sawah antara usahatani padi sawah
sistem SRI (System of Rice Intensification) dengan sistem Konvensional. Rata
– rata tingkat produksi padi sawah sistem SRI sebesar 8 ton/ ha, sedangkan
padi sistem Konvensional adalah sebesar 5 ton/ha.
3. a. Secara serempak jumlah penggunaan input produksi (Benih, Pupuk,
Pestisida dan Tenaga Kerja) berpengaruh nyata terhadap jumlah Produksi padi
sawah sistem SRI. Sedangkan secara parsial jumlah input tenaga kerja
berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi padi sawah sistem SRI.
b. Secara serempak jumlah penggunaan input produksi (Benih, Pupuk,
Pestisida dan Tenaga Kerja) berpengaruh nyata terhadap jumlah Produksi padi
sawah sistem Konvensional. Sedangkan secara parsial jumlah input tenaga
kerja berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi padi sawah sistem
Konvensional.
4. Ada perbedaan yang nyata antara biaya produksi usahatani padi sawah sistem
SRI dengan sistem Konvensional. Pada usahatani sistem SRI membutuhkan
biaya produksi Rp. 10.306.406,-/ha. Sedangkan pada sistem Konvensional
adalah sebesar Rp. 9.299.212,-/ Ha.
5. Ada perbedaan yang nyata antara pendapatan usahatani padi sawah antara
sistem SRI dengan sistem Konvensional. Rata – rata tingkat pendapatan
usahatani padi sawah sistem SRI adalah sebesar Rp. 24.927.828,-/ha.
Sedangkan rata – rata tingkat pendapatan usahatani Konvensional adalah
14.290.417,-/ ha.
6. a. Secara serempak jumlah biaya produksi (Benih, Pupuk, Pestisida dan
Tenaga Kerja) berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani padi sawah
sistem SRI. Sedangkan secara parsial jumlah input benih dan tenaga kerja
berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi padi sawah sistem SRI.
b. Secara serempak biaya input produksi (Benih, Pupuk, Pestisida dan Tenaga
Kerja) berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani padi sawah sistem
Konvensional. Sedangkan secara parsial biaya benih, pupuk dan tenaga kerja
berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi padi sawah sistem Konvensional.
7.2Saran
1. Petani disarankan mengubah sistem tanam dari sistem Konvensional ke sistem
SRI.
2. Pemerintah memfasilitasi petani dalam hal penyediaan bank pupuk organik
dalam rangka memenuhi kebutuhan pupuk organik pada sistem tanam SRI.
3. Para peneliti melakukan penelitian – penelitian dalam rangka meyakinkan
petani mengadopsi sistem SRI.
4. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar memasukkan faktor luas lahan
dan status kepemilikan lahan ke dalam faktor produksi pertanian dan juga
DAFTAR PUSTAKA
A.T. Mosher, 1987. Menggerakkan dan Mengembangkan Pertanian. Yusaguna.
Jakarta
Badan Pusat Statistik. Medan 2012
---. Medan 2013.
Dalimunte, Arpan. 2012. “Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Sistem
Irigasi Dengan Padi Sawah Sistem Tadah Hujan, (Studi kasus : Desa
Bakaran Batu dan Kelurahan Paluh Kemiri Kecamatan Lubuk Pakam
Kabupaten Deli Serdang)”. Skripsi Sarjana Fakultas Pertanian Sumatera
Utara. Medan
Daniel, Moehar. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta
Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Serdang Bedagai. 2013. Serdang
Saragih, Bensabarman.2011. “Analisis Dampak Metode System of Rice Intensification (SRI) Terhadap Penggunaan Input, Produksi Dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Di Desa Jambenenggang, Sukabumi,
Jawa Barat”. Skripsi Sarjana Departemen Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.
Soekarwati, 1995. Analisis Usaha Tani. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Soekarwati, 1996. Analisis Usaha Tani. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).
Sunyoto, D. 2011. Metode Penelitian Ekonomi. CAPS. Yogyakarta
Suparta. 2010. Analisis komparasi usahatani padi sawah Metode SRI (system of
rice intensification) dan konvensional Di kecamatan gerih kabupaten ngawi. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis, Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN”. Surabaya.Susanto, Rachman. 2002.
Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta. Kanisius.
Wibowo, S. Larasati. 2012. “ANALISIS EFISIENSI ALOKATIF
FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI
(Oryza sativa L.) (Studi Kasus di Desa Sambirejo, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun)”. Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian