• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Perbandingan Usaha Tani Padi Sawah Sistem Sri (System Of Rice Intensification) Dengan Sistem Konvensional Di Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Analisis Perbandingan Usaha Tani Padi Sawah Sistem Sri (System Of Rice Intensification) Dengan Sistem Konvensional Di Kecamatan Teluk Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS PERBANDINGAN USAHATANI PADI SAWAH

SISTEM SRI (

System of Rice Intensification

) DENGAN SISTEM

KONVENSIONAL DI KECAMATAN TELUK MENGKUDU

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

SKRIPSI

MHD RISWAN HANAFI

100304010

AGRIBISNIS

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

ANALISIS PERBANDINGAN USAHA TANI PADI SAWAH

SISTEM SRI (

System of Rice Intensification

) DENGAN SISTEM

KONVENSIONAL DI KECAMATAN TELUK MENGKUDU

KABUPATEN SERDANG BEDAGAI

SKRIPSI

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Dapat Melaksanakan Penelitian di Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian

Universitas Sumatera Utara

Disetujuioleh :

KomisiPembimbing

Ketua Komisi Pembimbing AnggotaKomisi Pembimbing

(Ir. Thomson Sebayang, MT)

NIP. 19571115 198601 1 001 NIP. 19620624 198603 1 001

(Ir. YusakMaryunianta, M.Si)

PROGRAM STUDI AGRIBISNIS

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat

dan berkat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

Analisis Perbandingan Usahatani Padi Sawah Sistem Sri (System Of Rice

Intensification) Dengan Sistem Konvensional Di Kecamatan Teluk

Mengkudu Kabupaten Serdang Bedagai” yang merupakan salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Departemen Agribisnis, Fakultas

Pertanian, Universitas Sumatera Utara, Medan.

Secara khusus penulis menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang

sebanyak-banyaknya kepada kedua orang tua tercinta, Ayahanda Saeran dan

Ibunda Nurhayani Nasution, atas seluruh perhatian dan dukungan baik secara

materi, moril, maupu doa yang diberikan kepada penulis, serta kepada saudara dan

saudari penulis Abang Ahmad Ridoan, abang Indra Gunawan dan Kakak Eka

Yuliani atas doa dan dukungan yang diberikan kepada penulis

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

Ir. Thomson Sebayang, MT selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah

bersedia membantu, mengayomi dan memberikan masukan yang sangat

berarti kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

Ir. Yusak Maryunianta, M.Si selaku anggota Komisi Pembimbing yang

telah meluangkan waktunya untuk mengajar dan membimbing serta

memberikan masukan yang berharga dalam menyelesaikan skripsi ini.

Dr. Ir. Salmiah, MS selaku Ketua program studi Agribisnis, FP-USU dan Dr.

Ir. Satia Negara Lubis, M.Ec selaku Sekretaris program studi Agribisnis,

(4)

• Seluruh dosen program studi Agribisnis, FP-USU yang telah memberikan

ilmu dan pengetahuan kepada penulis selama menempuk pendidikan di

program studi Agribisnis, FP-USU.

• Seluruh Staf dan Pegawai program studi Agribisnis, FP-USU.

• Sahabat – sahabat tercinta, Rizka Tiara Amanda Harahap SP, Nur Hayati,

Irna Fitri Melany Rangkuti, Sari Vita Yasa Butar – Butar SP, Rimayani

Izaroh SP , Yakobus Teguh Siregar, Aziz Adriansyah SP, Rahmad

Wijaya SP, Rizky Hermawan yang telah banyak membantu penulis selama

menempuh pendidikan di program studi Agribisnis, FP-USU hingga penulis

menyelesaikan skripsi ini serta seluruh sahabat saya di program studi

Agribisnis, FP-USU angkatan 2010 yang tidak bisa saya sebutkan satu

persatu.

Mora Asriadi Pakpahan SE, Fitri Agustina Siregar SE, Irfan Fajri

Rambe SH, Helmi Azlansyah A.Md, Muhammad Erwin Syahputra

A.Md, Muhammad Hanafiah yang telah memberikan bantuan dan

perhatiannya.

• Serta rekan – rekan kerja saya di Starbucks Coffee Medan yang telah

memberikan doa dan dukungannya kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh

karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat

membangun dari pembaca untuk perbaikan skripsi ini. Akhir kata semoga skripsi

(5)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Pangan merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia di samping kebutuhan

sandang dan papan. Pangan sebagai kebutuhan pokok bagi kehidupan umat

manusia merupakan penyedia pokok berbagai macam zat gizi yang sangat

diperlukan dalam pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas.

Kebutuhan pangan penduduk Indonesia setiap tahun semakin meningkat seiring

dengan peningkatan jumlah penduduk. Konsumsi beras masyarakat Indonesia

menurut Badan Pusat Statistik (BPS), mencapai 139 kg per kapita per tahun atau

merupakan tertinggi di dunia (Saragih, 2011) dan mengalami peningkatan setiap

tahunnya.

Beras merupakan komoditas penting dan strategis bagi Indonesia karena

merupakan makanan pokok dan sumber perolehan karbohidrat bagi lebih dari 240

juta jiwa penduduknya. Upaya difersifikasi pangan tampaknya masih belum

mampu mengubah preferensi penduduk terhadap beras. Berkaitan dengan hal ini,

dalam jangka panjang beras akan tetap menjadi pangan pokok penduduk

Indonesia, sehingga kebijakan produksi beras akan tetap menjadi kebijakan inti

dalam pembangunan pertanian (Suparta, 2010).

Seiring dengan perjalanan dengan waktu, kendala dalam pengembangan produksi

padi semakin berat antara lain: (a) Adanya konversi lahan sawah subur dari

pertanian ke non pertanian, sebagai akibat dari berkembangnya kawasan industri,

perumahan dan pembangunan prasarana ekonomi, sehingga sektor pertanian

(6)

terdesak ke lahan marjinal yang produktivitasnya rendah; (b) Persaingan yang

semakin ketat dalam pemanfaatan sumber daya air antara sektor pertanian dengan

sektor industri dan rumah tangga, disertai dengan menurunnya kualitas air akibat

limbah industri dan rumah tangga, yang pada gilirannya produktivitas pertanian

pun menjadi menurun; (c) Kualitas tenaga kerja di sektor pertanian secara umum

lebih rendah dari pada sektor industri dan jasa, sehingga tenaga kerja muda

cenderung lebih memilih sektor non pertanian.

Di samping tersebut di atas, kemandegan produksi padi antara lain karena

produktivitas padi secara nasional telah mengalami levelling-off yang disebabkan

oleh kemandegan teknologi terutama penemuan bibit padi unggul, penurunan

investasi sarana dan prasarana, seperti kredit finansial, penyuluhan pertanian,

pemeliharaan dan pembangunan infrastruktur.

Tantangan lain yang juga sering dihadapi pada pertanian di Indonesia yaitu

penurunan lahan yang setiap tahunnya mencapai sekitar 2,8 juta hektar/tahun.

Tingkat alih fungsi lahan pun terus terjadi dan meningkat setiap tahunnya, yaitu

sekitar 110,000 hektar/tahun (Data Kementerian Pertanian, 2011). Belum lagi pola

penanaman yang menggunakan bahan-bahan kimia mengakibatkan penurunan

kesuburan tanah dalam jangka panjang dan kelangkaan air, hal ini menjadi

permasalahan dan tantangan bagi pengembangan pertanian (Mutakin, 2005).

Salah satu upaya memenuhi kebutuhan beras dari produksi padi dalam negeri

adalah melalui intensifikasi lahan tanaman padi dengan penerapan inovasi

(7)

produksi padi sawah adalah penerapan System of Rice Intensification (SRI)

(Pitojo, 2003).

Pada tahun 1999, Indonesia mulai menerapkan System of Rice Intensification

(SRI). Sistem SRI merupakan salah satu cara untuk meningkatkan produksi padi

hingga 2 – 4 kali lebih banyak metode konvensional. Hal ini berarti bahwa

produksi padi SRI bisa mencapai 8 – 12 ton per hektar sedangkan produksi padi

konvensional hanya mencapai 4 – 6 ton (Trubus, 2013).

Indonesia memiliki luas panen sekitar 13 ribu hektar pertahun. Namun faktanya,

luasnya luas lahan yang ada ternyata tidak mampu meningkatkan produksi padi

sawah secara nasional yang masih hanya sekitar 68 ribu ton pertahun.

Kemungkinan hal ini diakibatkan karena masih banyak petani yang belum

menaruh perhatian serius terhadap metode tanam padi sawah yang diterapkan.

Padahal seharusnya, apabila petani menggunakan sistem tanam SRI dengan luas

lahan 10 ribu hektar saja dengan tingkat produksi 8 ton per hektar maka produksi

padi bisa mencapai 80 ribu ton pertahun. Namun sayangnya, potensi tersebut tidak

dapat dicapai karena metode tanam padi yang masih banyak digunakan oleh

petani padi sawah saat ini adalah sistem Konvensional dengan rata – rata tingkat

produksi sebesar 5 ton per hektar secara nasional.

Sumatera Utara adalah salah satu provinsi yang tercatat sebagai penghasil beras

dan mengalami surplus beras secara nasional dengan tingkat produksi 5 ton per

hektar per satu kali musim tanam. Namun demikian, angka tersebut masih berada

dibawah rata – rata tingkat produksi padi sawah nasional sebesar 5,2 ton per

(8)

Salah satu daerah yang menjadi penyumbang beras di provinsi Sumatera Utara

adalah kabupaten Serdang Bedagai. Hingga tahun 2012, Kabupaten Serdang

Bedagai memiliki luas panen yang mencapai 63 ribu hektar, menurun jika

dibandingkan dengan tahun – tahun sebelumnya yang mencapai 70 ribu hektar.

Jumlah luas panen, produksi dan tingkat produksi padi sawah di kabupaten

Serdang Bedagai tahun 2008 – 2012 dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini :

Tabel 1. Produksi Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2008 – 2012

Tahun Luas Panen (Ha) Produksi (ton) Tingkat produksi (ton/ Ha)

2008 72 766 348 806 47,94

2009 72 043 356 564 49,49

2010 73 585 377 307 51,27

2011 63 601 340 916 53,60

2012 63 601 340 916 53,60

Sumber : Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2013

Berdasarkan tabel 1, dapat dilihat bahwa terjadi penurunan luas panen dari tahun

2008 – 2012 dengan total penurunan mencapai 20 hektar. Namun sebaliknya,

tingkat produksi padi sawah per hektar mengalami peningkatan dari tahun 2008 –

2012. Salah satu penyebab terjadinya kenaikan tingkat produksi tersebut adalah

penerapan sistem tanam SRI yang telah dilakukan sejak tahun 2005. Penerapan

sistem SRI di kabupaten Serdang Bedagai dimulai dari desa Lubuk Bayas,

kecamatan Perbaungan dengan luas 2 hektar dan kemudian berkembang ke

beberapa kecamatan lainnya.

Namun, proses intensifikasi yang dilakukan oleh petani dan pemerintah kabupaten

Serdang Bedagai salah satunya adalah penerapan sistem tanam Organik berupa

sistem SRI (System of Rice Intensification) yang sudah dimulai sejak tahun 2005

(9)

sawah di kabupaten Serdang bedagai yang mencapai 5,3 ton per hektar meski

adanya penurunan luas panen sawah (lihat Tabel 1.)

Sistem SRI di kabupaten Serdang Bedagai diterapkan pertama kali pada tahun

2005 yang dimulai dari desa Lubuk Bayas, Kecamatan Perbaungan dengan luas

lahan 2 hektar yang kemudian diikuti oleh beberapa kecamatan lain di kabupaten

Serdang Bedagai. Di kecamatan Teluk Mengkudu, pertanian SRI dimulai pada

tahun 2008 dengan luas 5 hektar dan pada tahun 2012 berkembang menjadi 40

hektar setelah budidaya SRI mendapat dukungan dana APBN. Pada tahun yang

sama (2012) pertanian sistem SRI di kabupaten Serdang Bedagai juga difasilitasi

oleh Bank Indonesia seluas 190 Ha yang dilaksanakan di 3 Kecamatan yaitu :

Teluk Mengkudu, Pantai Cermin dan Perbaungan. Hingga tahun 2013 total luas

lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya SRI di kecamatan Teluk mengkudu

telah mencapai 260 hektar.

Kabupaten Serdang Bedagai dengan luas baku lahan sawah 40.598 Ha merupakan

salah satu lumbung pangan di Sumatera Utara. Dengan luas tanam Serdang

Bedagai 70.000 – 75.000 Ha per tahun, maka pengembangan pertanian organik

dengan sistem SRI di Kabupaten Serdang Bedagai terbuka lebar. Namun, hingga

tahun 2013, luas lahan yang dimanfaatkan untuk budidaya padi SRI baru sekitar

1425 Ha, hal ini menunjukkan bahwa pertanian SRI di Kabupaten Serdang

Bedagai perkembangannya masih lambat.

Berikut ini adalah tabel pengembangan usahatani padi sawah sistem SRI di

(10)
(11)

Berdasarkan hasil penelitian yang pernah dilakukan (Mulyaningsih, 2010) di Desa

Cipeuyeum, Kecamatan Haurwangi, Kabupaten Cianjur, Propinsi Jawa Barat

diperoleh hasil bahwa usahatani SRI dapat memperoleh penerimaan bersih 59

persen dari total penerimaan usahatani. Sementara petani padi konvensional hanya

memperoleh 35 persen dari total penerimaan usahatani. Berdasarkan analisis

efisiensi pendapatan, usahatani SRI lebih menguntungkan untuk dijalankan jika

dibandingkan dengan usahatani padi konvensional.

Hasil penelitian (Fatimah, 2011) juga membuktikan bahwa tingkat pendapatan

petani SRI jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan pendapatan petani

Konvensional. Pendapatan petani konvensional sebesar Rp 3.341.159,- dengan

penerimaan sebesar Rp 10.928.66, sedangkan pendapatan bersih petani SRI

adalah sebesar Rp 10.559.276 dengan penerimaan sebesar Rp 18.453.494.

Perbedaan pendapatan antara petani konvensional dan petani SRI organik yaitu

sebesar Rp 7.218.117.

Dari hasil berbagai penelitian yang telah dilakukan mengenai padi SRI diketahui

bahwa dengan menerapkan sistem usahatani padi organik dapat meningkatkan

pendapatan petani. Penelitian mengenai perbandingan padi organik dengan

metode SRI dengan sistem Konvensional di kabupaten Serdang Bedagai

khususnya di kecamatan Teluk Mengkudu belum dilakukan, sehingga belum

diketahui apakah benar dengan adanya sistem usahatani dengan metode SRI yang

dilakukan tersebut dapat meningkatkan pendapatan petani di kecamatan Teluk

Mengkudu. Oleh karena itu, agar petani dapat mengambil keputusan, maka

(12)

Konvensional perlu dilakukan. Dengan begitu maka akan diketahui usahatani padi

sistem mana yang lebih menguntungkan bila dilihat dari sisi pendapatannya.

1.2 Identifikasi Masalah

1. Apakah ada perbedaan penggunaan input produksi antara usahatani padi

sawah sistem SRI dengan sistem Konvensional?

2. Apakah ada perbedaan tingkat produksi antara usahatani padi sawah sistem

SRI dengan sistem Konvensional?

3. Input apa yang berpengaruh terhadap hasil produksi padi usahatani padi sawah

sistem SRI dan sistem Konvensional?

4. Apakah ada perbedaan biaya produksi antara usahatani padi sawah sistem SRI

dengan sistem Konvensional?

5. Apakah ada perbedaan pendapatan petani antara usahatani padi sawah sistem

SRI dengan sistem Konvensional?

6. Input apa yang berpengaruh terhadap pendapatan petani pada usahatani padi

sawah sistem SRI dan sistem Konvensional?

1.3Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis perbedaan penggunaan input produksi antara usahatani

padi sawah sistem SRI dengan sistem Konvensional.

2. Untuk menganalisis perbedaan tingkat produksi antara usahatani padi sawah

sistem SRI dengan sistem Konvensional.

3. Untuk menganalisis input yang berpengaruh terhadap hasil produksi padi

(13)

4. Untuk menganalisis perbedaan biaya produksi antara usahatani padi sawah

sistem SRI dengan sistem Konvensional.

5. Untuk menganalisis perbedaan pendapatan petani antara usahatani padi sawah

sistem SRI dengan sistem Konvensional.

6. Untuk menganalisis input apa yang berpengaruh terhadap pendapatan petani

pada usahatani padi sawah sistem SRI dan sistem Konvensional.

1.4Kegunaan penulisan

1. Sebagai bahan informasi bagi petani dalam mengambil keputusan sistem

usahatani padi sawah yang akan dilakukan.

2. Sebagai bahan informasi bagi pemerintah dalam pengambilan keputusan dan

kebijakan berkaitan dengan upaya peningkatan produksi beras.

3. Sebagai bahan informasi bagi peneliti dalam pengembangan penelitian

(14)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA, LANDASAN TEORI, KERANGKA

PEMIKIRAN

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Sejarah System of Rice Intensification (SRI)

Metode SRI pertama kali ditemukan secara tidak disengaja di Madagaskar antara

tahun 1983 - 1984 oleh Fr. Henri de Laulanie, SJ, seorang Pastor Jesuit asal

Prancis yang lebih dari 30 tahun hidup bersama petani-petani di sana. Oleh

penemunya, metododologi ini selanjutnya dalam bahasa Prancis dinamakan Ie

Systme de Riziculture Intensive disingkat SRI. Dalam bahasa Inggris, populer

dengan nama System of Rice Intensification disingkat SRI. SRI menjadi terkenal

di dunia melalui upaya dari Norman Uphoff (Director CIIFAD). Pada tahun 1987,

Uphoff mengadakan presentase SRI di Indonesia yang merupakan kesempatan

pertama SRI dilaksanakan di luar Madagaskar dan hasil metode SRI sangat

memuaskan (Mutakin, 2013).

Berdasarkan hasil pengembangan program SRI di beberapa negara, di peroleh

hasil input produksi yang cukup signifikan, hasil produksi tanaman padi dapat

dilihat sebagai berikut (Saragih, 2011) :

1. China (2004), hasil naik dari 3 ton/ha menjadi 7,5 ton/ha dengan hasil

tertinggi 20,4 ton/ha dan penghematan air sebesar 42 %. Saat ini input

produksi padi sekitar 13 ton/ha.

2. India (50 petani, 2003-2004), hasil meningkat dari 7,1 ton/ha menjadi 9,7

ton/ha dengan input produksi tertingginya adalah sebesar 15 ton/ha.

(15)

3. Kamboja (5 propinsi, 2004), hasil naik sebesar 41 % dan pendapatan naik

sebesar 74 %.

4. Sri Langka, hasil naik sebesar 50 %, efisiensi air 90 %, pendapatan bersih 112

%, dan pengurangan biaya produksi sebesar 17 – 27 %.

5. Indonesia oleh Agency for Agricultural Research and Development (AARD, 2004), dengan hasil rata-rata 7 s/d 9 ton. Hasil uji coba petani terbaru SRI

memberikan hasil 10 s/d 18 ton/ha.

2.1.2 Metode System of Rice Intensification (SRI)

System of Rice Intensification (SRI) merupakan suatu metode budidaya tani padi yang intensif ruang dan efisien bahan berbasis pengelolaan interaksi tanaman

dengan bioreaktornya yang mencakup mekanisme siklus ruang yang dibangun

oleh bahan organik kompos dan siklus kehidupan yang dibangun oleh semaian

mikoorganisme lokal (MOL) ( Purwasasmita dan Alik, 2012).

Pakar pertanian Barat menyebutkan bahwa sistem pertanian organik merupakan

”Hukum Pengembalian (Law of Return)” yang berarti suatu sistem yang berusaha

untuk mengembalikan semua jenis bahan organik ke dalam tanah, baik dalam

bentuk residu dan limbah pertanaman maupun ternak yang selanjutnya bertujuan

memberi makanan pada tanaman. Filosopi yang melandasi pertanian organik

adalah mengembangkan prinsip – prinsip memberi makanan pada tanah yang

selanjutnya tanah menyediakan makanan untuk tanaman dan bukan memberi

makanan langsung pada tanaman (Susanto, 2002).

Kegunaan budidaya organik sistem SRI pada dasarnya ialah meniadakan atau

(16)

kimiawi. Beberapa hal yang mencakup kegunaan budidaya organik dalam

meniadakan atau membatasi keburukan budidaya kimiawi dan kemungkinan

resiko terhadap lingkungan, adalah (Rachmiyanti, 2009) :

a. Menghemat penggunaan hara tanah,

b. Melindungi tanah terhadap kerusakan dan mencegah degradasi tanah.

c. Meningkatkan penyediaan lengas tanah sehingga menghindarkan

kemungkinan resiko kekeringan dan memperbaiki ketersediaan hara tanah dan

hara yang berasal dari pupuk mineral,

d. Menghindarkan terjadinya ketimpangan (unbalance) hara, bahkan dapat

memperbaiki neraca (balance) hara dalam tanah.

e. Tidak membahayakan kehidupan Flora dan Fauna tanah, bahkan dapat

menyehatkan.

f. Tidak menimbulkan pencemaran lingkungan, khususnya atas sumberdaya air.

g. Merupakan teknologi berkemampuan ganda yaitu sumber hara dan pembenah

tanah.

Pelaksanaan System of Rice Intensification melalui penerapan komponen

teknologi secara terpadu berupa paket rekomendasi yang berlaku umum, antara

lain meliputi penanaman bibit muda umur 8 – 15 hari saat tanaman berdaun dua

helai dan satu tanaman per lubang yang dilakukan segera setelah dipindah dari

persemaian, pengairan berselang (intermitten), pengaturan jarak tanam,

penyiangan gulma dengan landak 2 – 4 kali sebelum fase primordia, penggunaan

kompos sebanyak mungkin sebelum tanam, pemupukan anorganik dapat juga

ditambahkan dengan rekomendasi pemupukan setempat. Model ini mampu

(17)

2.1.3 Input Produksi Pertanian

Dalam sistem pertanian membutuhkan input untuk berproduksi. Input produksi

sangat berperan mulai dari pertumbuhan tanaman padi sampai dengan

perkembangan tanaman tersebut. Terdapat beberapa jenis input produksi yang

biasa digunakan oleh petani seperti benih, pupuk, pestisida dan tenaga kerja.

Pada penelitian ini akan dikaji bagaimana metode SRI tersebut mampu

menghemat penggunaan input - input produksi pada usahatani padi sawah.

a. Pupuk

Pembudidayaan tanaman dengan menggunakan sistem pertanian organik mulai

dari input hingga outputnya harus menerapkan sistem organik pula, salah satu

inputnya yaitu pupuk. Pupuk merupakan salah satu komponen penting dalam

pemeliharaan yang menggunakan sistem pertanian organik ini. Pupuk yang

digunakan juga harus pupuk organik (Rachmiyanti, 2009).

Pupuk merupakan salah satu komponen penting dalam perkembangan dan

pemeliharaan tanaman. Pada umumnya pupuk yang digunakan dalam budidaya

padi sawah ada dua jenis, yaitu pupuk organik dan pupuk kimia. Definisi yang

dikemukakan oleh International Organization for Standardization (ISO) dalam

Sutanto (2002) menyatakan bahwa pupuk organik merupakan bahan organik atau

bahan karbon, pada umumnya berasal dari tumbuhan dan atau hewan,

ditambahkan ke dalam tanah secara spesifik sebagai sumber hara, pada umumnya

mengandung nitrogen yang berasal dari tumbuhan dan atau hewan. Pupuk kimia

adalah pupuk yang berasal dari proses rekayasa secara kimia, fisik atau biologis

(18)

umumnya jenis pupuk kimia yang digunakan dalam budidaya meliputi (Saragih,

2011) :

a. pupuk hara makro primer yaitu pupuk yang mengandung unsur hara utama N,

P atau K baik tunggal maupun majemuk seperti Urea, TSP, SP-36, ZA, KCl,

Phospat Alam, NP, NK, PK dan NPK;

b. Pupuk hara makro sekunder, yaitu pupuk yang mengandung unsur Calsium

(Ca), Magnesium (Mg) dan Belerang (S) seperti Dolomit, Kiserit;

c. Pupuk hara makro campuran yaitu pupuk yang mempunyai kandungan hara

utama N, P dan K yang dilengkapi unsur-unsur hara mikro seperti Seng (Zn),

Boron (B), Tembaga (Cu), Cobalt (Co), Mangan (Mn), Molibdenum (Mo).

Pupuk hara campuran tersebut dapat berbentuk padat atau cair

d. Pupuk hara mikro yaitu pupuk yang mempunyai kandungan hara mikro Zn, B,

Cu, Co, Mn dan Mo;

e. Pupuk anorganik lainnya.

b. Benih

Pada sistem SRI semua varietas padi bisa digunakan. Namun, sebaiknya dalam

budidaya padi digunakan benih unggul. Untuk mendapatkan benih unggul, perlu

dilakukan uji viabilitas (daya kecambah) dan vigoritas benih dengan

merendamnya dalam larutan garam. Hal ini dilakukan utuk mendapatkan benih

yang paling bermutu (Trubus, 2013).

Umumnya benih dikatakan bermutu jika jenisnya murni (lokal), beras nasional

(bernas), kering, sehat, bebas dari penyakit, bebas dari campuran biji rerumputan

(19)

Menurut Boer (2009) ada beberapa klasifikasi benih yang bersertifikat sesuai

dengan keturunan dan mutunya (Saragih, 2011) :

1. Benih Penjenis (Breeder seed) adalah benih pembiak vegetatif yang dihasilkan

langsung oleh pemulia tanaman yang digunakan untuk menghasilkan benih

dasar.

2. Benih dasar (foundation seed) merupakan turunan pertama dari benih

penjenis, identitas genetif dan kemurniannya dijaga baik.

3. Benih pokok, merupakan turunan dasar dari benih dasar, identitas dan

kemurniannya dipertahankan sebaik mungkin.

4. Benih sebar, turunan dari benih pokok untuk memproduksi tanaman.

c. Tenaga Kerja

Tenaga kerja merupakan salah satu input produksi penting dalam setiap usahatani.

Terdapat tiga jenis tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani yaitu manusia,

ternak, dan mekanik. Tenaga kerja manusia dapat diperoleh dari dalam keluarga

itu sendiri atau dari luar keluarga. Tenaga kerja manusia dibedakan atas tenaga

kerja pria, wanita, dan anak-anak. Tenaga kerja manusia dapat mengerjakan

semua jenis pekerjaan usahatani berdasarkan tingkat kemampuannya. Tenaga

kerja ternak digunakan untuk pengolahan tanah dan untuk pengangkutan.

Sedangkan tenaga kerja mekanik bersifat substitusi pengganti ternak dan atau

manusia. Jika kekurangan tenaga kerja, petani dapat memperkerjakan tenaga kerja

(20)

d. Pestisida

Pestisida merupakan salah satu input produksi yang digunakan oleh para petani

untuk menjaga tanaman dari serangan hama penyakit. Namun pada umumnya

penggunaan pestisida digunakan pada pertanian Konvensional, sedangkan pada

pertanian organik tidak menggunakan pestisida kimia. Pestisida terdiri dari

pestisida kimia dan pestisida alami. Pestisida kimia terdiri dari dua jenis yaitu

pestisida padat dan pestisida cair. Penggunaan pestisida tergantung dari kondisi

lingkungan dan hama yang menyerang tanaman tersebut. Pada umumnya pestisida

yang digunakan oleh petani padi Konvensional adalah pestisida cair. Pada

pertanian organik menggunakan pestisida alami yang dibuat oleh petani dengan

menggunakan bahan-bahan yang alami dan ramah lingkungan.

2.1.4 Prinsip Dasar Budidaya SRI

Secara umum dalam konsep SRI tanaman diperlakukan sebagai organisme hidup

sebagaimana mestinya, tidak diperlakukan seperti mesin yang dapat dimanipulasi.

Tanaman padi dikembangkan dengan cara memberikan kondisi yang sesuai

dengan pertumbuhannya. Hal ini karena SRI menerapkan konsep sinergi, dimana

semua komponen teknologi SRI berinteraksi secara positif dan saling menunjang

sehingga hasil secara keseluruhan lebih banyak daripada jumlah masing-masing

bagian.

Terdapat beberapa komponen penting dalam penerapan SRI yaitu (Trubus, 2013) :

1. Pemakaian benih 1 lubang 1 tanaman

2. Umur bibit di persemaian sekitar 5 – 12 hari (daun)

(21)

4. Sawah ditanami dalam kondisi macak – macak (tinggi air maksimum 2 cm)

5. Penyiangan dilakukan setiap 10 hari dengan terlebih dahulu memasukkan air

hingga setinggi 5 cm selama 2 hari

6. Struktur tanah sawah harus gembur dan kaya bahan organik.

Hal paling mendasar dalam budidaya SRI adalah menerapkan irigasi intermiten,

artinya siklus basah kering bergantung pada kondisi lahan, tipe tanah dan

ketersediaan air. Selama waktu penanaman lahan tidak tergenang tetapi

macak-macak (basah tapi tidak tergenang). Cara ini bisa menghemat 46% air dan juga

mencegah kerusakan akar tanaman. Penggenangan air menyebabkan kerusakan

jaringan perakaran akibat terbatasnya suplai oksigen. Semakin tinggi air semakin

kecil oksigen terlarut, dampaknya akar tanaman tidak mampu mengikat oksigen

sehingga jaringan perakaran rusak. Disamping menghemat air, budidaya intensif

itu juga menghemat penggunaan bibit, sebab satu lubang tanam hanya ditanam

satu bibit. Dengan menanam satu bibit per lubang berarti menghindari perebutan

cahaya atau hara dalam tanah sehingga sistem perakaran dan pertumbuhan

tanaman menjadi lebih baik. Sebaliknya jika penanaman terdiri atas 9 bibit per

lubang menyebabkan terjadinya kompetisi hara pada tanaman (trubus, 2008).

Dalam pertanian SRI digunakan bibit muda berumur 5 - 12 hari pasca semai dan

terdiri atas dua daun. Penggunaan bibit muda berdampak positif karena lebih

mudah beradaptasi dan tidak gampang stres, ini dikarenakan perakaran belum

panjang maka penanaman pun tidak perlu terlalu dalam cukup 1-2 cm dari

permukaan tanah. Untuk menghasilkan bibit muda yang berkualitas petani

mempersiapkan sejak penyemaian. Populasi di persemaian 50 gr/m2 dimaksudkan

(22)

demikian bibit sudah siap tanam pada umur 5-12 hari. Transplantasi saat bibit

muda dapat mengurangi guncangan dan meningkatkan kemampuan tanaman

dalam memproduksi batang dan akar selama pertumbuhan vegetatif, sehingga

jumlah anakan/ batang yang muncul lebih banyak dalam satu rumpun, dan bulir

padi yang dihasilkan oleh malai padi juga lebih banyak. Petani SRI menanam bibit

muda dengan jarak tanam 40 cm x 30 cm, total populasi dalam satu hektar

mencapai 83.000 tanaman, sementara pada sistem Konvensional berjarak tanam

20 cm x 20 cm terdiri atas 250 ribu tanaman. Pada jarak tanam longgar sinar

matahari dapat menembus sela - sela tanaman dengan baik. Tanaman memerlukan

sinar matahari untuk melakukan proses fotosintesis yang bertujuan unutk menjaga

pasokan makanan tercukupi. Dengan demikian dalam umur 30 hari, dari satu bibit

sudah menghasilkan 65 anakan (Saragih, 2011).

2.1.5 Teknik Budidaya Padi SRI

Pertanian padi metode SRI pada dasarnya tidak berbeda dengan padi

Konvensional. Usahatani padi metode SRI diberikan masukan bahan organik baik

pupuk dan pestisidanya. Sedangkan usahatani padi Konvensional masukannya

berupa bahan kimia sintetik. Namun dari pola tanam padi SRI sedikit berbeda

dengan padi Konvensional, yaitu pada teknik persemaian, pengolahan tanah,

penanaman, dan pengaturan air (Mutakin, 2007).

a. Persiapan benih

Benih sebelum disemai diuji dalam larutan air garam. Larutan air garam yang

cukup untuk menguji benih adalah larutan yang apabila dimasukkan telur, maka

(23)

tenggelam dalam larutan tersebut. Kemudian benih telah diuji direndam dalam air

biasa selama 24 jam kemudian ditiriskan dan diperam 2 hari, kemudian

disemaikan pada media tanah dan pupuk organik (1:1) di dalam wadah segi empat

ukuran 20 x 20 cm (Nampan) selama 7 hari. Setelah umur 7 - 10 hari benih padi

sudah siap ditanam (Mutakin, 2005).

b. Pengolahan Lahan

Pengolahan tanah untuk tanaman padi metode SRI tidak berbeda dengan cara

pengolahan tanah untuk tanam padi cara konvesional yaitu dilakukan untuk

mendapatkan struktur tanah yang lebih baik bagi tanaman, terhindar dari gulma.

Pengolahan dilakukan dua minggu sebelum tanam dengan menggunakan traktor

tangan, sampai terbentuk struktur lumpur. Permukaan tanah diratakan untuk

mempermudah mengontrol dan mengendalikan air.

c. Pemupukan

Pemberian pupuk pada SRI diarahkan kepada perbaikan kesehatan tanah dan

penambahan unsur hara yang berkurang setelah dilakukan pemanenan. Kebutuhan

pupuk organik pertama setelah menggunakan sistem Konvensional adalah 10 ton

per hektar dan dapat diberikan sampai 2 musim taman. Setelah kelihatan kondisi

tanah membaik maka pupuk organik bisa berkurang disesuaikan dengan

kebutuhan. Pemberian pupuk organik dilakukan pada tahap pengolahan tanah

kedua agar pupuk bisa menyatu dengan tanah.

d. Pemeliharaan

Sistem tanam metode SRI tidak membutuhkan genangan air yang terus menerus,

(24)

mempermudah pemeliharan. Pada prakteknya pengelolaan air pada sistem padi

SRI dapat dilakukan sebagai berikut; pada umur 1 - 10 hari tanaman padi

digenangi dengan ketinggian air rata-rata 1 cm, kemudian pada umur 10 hari

dilakukan penyiangan. Setelah dilakukan penyiangan tanaman tidak digenangi air.

Untuk perlakuan yang masih membutuhkan penyiangan berikutnya, maka dua hari

menjelang penyiangan tanaman digenang air. Pada saat tanaman berbunga,

tanaman digenangi air dan setelah padi matang susu tanaman tidak digenangi air

kembali sampai panen. Untuk mencegah hama dan penyakit pada SRI tidak

digunakan bahan kimia, tetapi dilakukan pencengahan dan apabila terjadi

gangguan hama/penyakit digunakan pestisida nabati dan atau digunakan

pengendalian secara fisik dan mekanik.

2.1.6 Perbedaan Pertanian SRI dengan Pertanian Konvensional

Dalam pelaksanaannya, ada beberapa perbedaan pertanian sistem SRI dengan

sistem Konvensional seperti pada tabel 4.

Pada sistem Konvensional benih disemai selarma 30 hari, kemudian dilakukan

penanaman dengan menanam 6 bibit dalam satu bak. Penggenangan secara terus

menerus dengan ketinggian air 5 cm, selanjutnya dilakukan pengeringan

dilakukan 2 minggu menjelang panen. Sedangkan pada sistem SRI Benih disemai

hingga berumur 10 hari, lalu ditanam 1 bibit dalam satu loban. Pengairan diatur

dalam kondisi macak-macak selama waktu pertumbuhannya. Dua minggu

(25)
(26)
(27)

Untuk menaksir parameter – parameter, persamaan harus ditransformasikan dalam

bentuk logaritma natural (ln) sehingga menjadi bentuk linier berganda (multiple

linear), yang kemudian pengujian dilakukan dengan metode kuadrat kecil dengan

bentuk matematis :

Y = Ln + + + + + e

Dimana :

Y : Produksi

: Konstanta

: Koefisien regresi terhadap X

: Pupuk

: Benih

: Pestisida

: Tenaga kerja

Berdasarkan persamaan maka dapat dilihat bahwa besar kecilnya produksi sangat

tergantung dari peranan sampai dengan dan input lain yang tidak ada dalam

persamaan (Daniel, 2002).

Biaya usahatani biasanya dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:

1. Biaya tetap (fixed cost) adalah biaya yang relatif tetap jumlahnya, dan terus

dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Jadi besar

biaya ini tidak tergantung pada besar kecilnya produksi yang diperoleh.

2. Biaya tidak tetap (variable cost) adalah biaya yang besar kecilnya dipengaruhi

(28)

Biaya tetap ini umumnya didefenisikan sebagai biaya yang relatif tetap jumlahnya

dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit.

Contoh biaya tetap antara lain: sewa tanah, pajak, alat pertanian dan iuran irigasi.

Disisi lain biaya tidak tetap atau biaya variabel biasanya didefenisikan sebagai

biaya yang besar kecilnya dipengaruhi oleh produksi yang diperoleh (Kasmir,

2003).

Biaya usahatani atau disebut dengan total biaya merupakan penjumlahan dari

biaya tetap dan biaya tidak tetap, dengan rumus sebagai berikut:

TC= FC + VC

Keterangan:

TC = Total Biaya (Rp)

FC = Biaya Tetap (Rp)

VC = Biaya Variabel (Rp)

Pendapatan dalam ilmu ekonomi didefinisikan sebagai hasil berupa uang atau hal

materi lainnya yang dicapai dari penggunaan kekayaan atau jasa manusia bebas.

Kondisi seseorang dapat di ukur dengan menggunakan konsep pendapatan yang

menunjukkan jumlah seluruh uang yang diterima oleh seseorang selama jangka

waktu tertentu (samuelson dan Nordhaus,1995).

Pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan semua biaya sehingga

dapat ditulis dengan rumus :

Pd = TR – TC

Keterangan:

(29)

TR = Total penerimaan (Rp)

TC = Total biaya (Rp)

Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan

harga jual, pernyataan ini dapat dituliskan sebagai berikut:

TR = Y. PY

Keterangan:

TR = Total Penerimaan (Rp)

Y = Produksi yang diperoleh dalam suatu usahatani

PY = Harga (Rp)

( Soekartawi, 2002).

Dalam melakukan analisis usahatani, seseorang dapat melakukannya menurut

kepentingan untuk apa analisis usahatani yang dilakukannya. Dalam banyak

pengalaman analisis usahatani yang dilakukan oleh petani atau produsen memang

dimaksudkan untuk tujuan mengetahui atau meneliti :

a. Keunggulan komparatif (comparative advantage)

b. Kenaikan hasil yang semakin menurun (law of diminishing returns)

c. Substitusi (substitution effect)

d. Pengeluaran biaya usahatani (farm expenditure)

e. Biaya yang diluangkan (opportunity cost)

f. Pemilikan cabang usaha (tanaman lain yang dapat diusahakan)

g. Baku-timbang tujuan (goal trade-off).

Menurut Hernanto (1991) bentuk keperluan analisis pendapatan petani diperlukan

(30)

pengeluaran usahatani, dan (4) penerimaan dari berbagai sumber. Keadaan

rata-rata inventaris adalah jumlah nilai inventaris awal ditambah nilai inventaris akhir

dibagi dua. Untuk menilai aset benda pada usahatani dapat dilakukan dengan:

harga pembelian, nilai penjualan setelah waktu tertentu, nilai penjualan pada saat

pencatatan atau perhitungan, dan harga pembelian dikurangi dengan penyusutan

(Rachmiyanti, 2009).

Perlunya analisis usahatani memang bukan untuk kepentingan petani saja tetapi

juga untuk para penyuluh pertanian seperti Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL),

Penyuluh Pertanian Madya (PPM), dan Penyuluh Petanian Analisis (PPA), para

mahasiswa atau pihak lain yang berkepentingan untuk melakukan analisis

usahatani dengan sasaran petani adalah sebagai sumber informasi yang sangat

penting (Soekarwati, 1995).

2.3Kerangka Pemikiran

Petani adalah orang yang menjalankan dan mengelola usahatani. Di kecamatan

Teluk Mengkudu ada 2 sistem usahatani padi sawah yang dibudidayakan yaitu

sistem SRI dan sistem Konvensional. Dalam pelaksanaanya, ada beberapa

perbedaan dalam aspek penggunaan input produksi antara kedua sistem tanam

tersebut. Sistem Konvensional menggunakan benih varietas unggul sedangkan

sistem SRI menggunakan varietas lokal dan varietas unggul yang aman. Dalam

hal penggunaan pestisida, sistem Konvensional biasanya menggunakan pupuk dan

pestisida kimiawi sedangkan sistem SRI menggunakan pupuk organik seperti

pupuk hijau, pupuk kandang dan pestisida alami seperti pestisida hayati,

(31)

aspek penggunaan tenaga kerja. Sistem Konvensional menggunakan tenaga kerja

berupa manusia dan traktor sedangkan sistem SRI tenaga kerja yang digunakan

berupa manusia, hewan ternak, dan traktor tangan ringan (Rachmiyanti, 2009).

Perbedaan tersebut juga mengakibatkan adanya perrbedaan jumlah hasil produksi

padi dan biaya produksi usahatani antara sistem SRI dengan sistem Konvensional

yang berujung pada terjadinya perbedaan tingkat produksi padi di kedua sistem

tanam padi yakni sistem SRI dengan sistem Konvensional. Perbedaan produksi

dan biaya produksi juga akan mengakibatkan perbedaan pendapatan petani di

setiap sistem tanam. Dalam penelitian ini akan dibahas tentang perbedaan –

perbedaan yang terjadi akibat perbedaan sistem tanam padi tersebut.

Secara skematis kerangka pemikiran dapat dilihat pada Gambar 1 :

Petani Padi Sawah

Usahatani

Sistem Konvensional Sistem SRI

Input Produksi

- Benih

- Pupuk

- Pestisida

- Tenaga Kerja

Input Produksi

- Benih

- Pupuk

- Pestisida

(32)

Keterangan :

: Mempengaruhi

Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

2.4 Penelitian Terdahulu

Analisis perbandingan usahatani padi organik Metode System Of Rice

Intensification (SRI) dengan Padi Konvensional oleh Rachmiyanti (2009)

diperoleh kesimpulan bahwa ternyata pendapatan atas biaya tunai maupun

pendapatan atas biaya total petani padi organik metode SRI lebih rendah dari

pendapatan atas biaya tunai maupun pendapatan atas biaya total padi

Konvensional. Namun hasil uji t menyimpulkan bahwa perubahan sistem

usahatani yang dilakukan oleh petani padi ternyata tidak berpengaruh nyata

terhadap pendapatan petani. Apabila dilihat dari imbangan penerimaan dan biaya

(R/C rasio) diketahui bahwa R/C rasio atas biaya tunai yang diperoleh petani padi

organik metode SRI ( Rp 1,98) lebih rendah dari R/C rasio yang diperoleh petani Produksi

Input produksi

Biaya Produksi

Produksi

Input produksi

Biaya Produksi

(33)

padi Konvensional, yaitu Rp 2,46. Hal ini berarti bahwa dari setiap satu rupiah

biaya yang dikeluarkan oleh petani padi organik metode SRI hanya akan

memberikan penerimaan sebesar Rp. 1,98 lebih rendah dari penerimaan yang

diperoleh petani padi Konvensional. Begitu pula dengan R/C rasio atas biaya total,

untuk petani padi organik metode SRI R/C rasio yang diperoleh hanya sebesar Rp

1,54 sedangkan petani padi Konvensional lebih besar dari petani padi organik

tersebut, yakni sebesar Rp 2,16. Hal ini bermakna bahwa penerimaan yang

diperoleh padi Konvensional lebih besar dari petani padi organik metode SRI.

2.5 Hipotesis Penelitian

1. Ada perbedaan yang nyata antara penggunaan input produksi (Pupuk, Benih,

Tenaga Kerja, Pestisida) usahatani padi sawah sistem SRI dengan sistem

Konvensional.

2. Ada perbedaan yang nyata antara tingkat produksi usahatani padi sawah

sistem SRI dengan sistem Konvensional.

3. Pupuk, Benih, Tenaga Kerja dan Pestisida berpengaruh nyata terhadap hasil

Produksi padi sawah pada usahatani sistem SRI dan sistem Konvensional.

4. Ada perbedaan yang nyata antara biaya produksi usahatani padi sawah sistem

(34)

Secara parsial, faktor produksi yang berpengaruh nyata terhadap tingkat

pendapatan usahatani padi sawah sistem Konvensional adalah biaya benih, biaya

pupuk dan biaya Tenaga Kerja.

BAB VII

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan

a. Ada perbedaan yang nyata penggunaan input produksi antara usahatani padi

sawah sistem SRI (System of Rice Intensification) dengan sistem

Konvensional di kecamatan Teluk Mengkudu.

a. Penggunaan input Kompos dan Tenaga Kerja pada usahatani padi sawah

sistem SRI lebih tinggi daripada sistem Konvensional.

b. Penggunaan input Urea, SP-36, ZA, NPK, Bestok, Starban, Ultimex dan

(35)

b. Ada perbedaan nyata tingkat produksi padi sawah antara usahatani padi sawah

sistem SRI (System of Rice Intensification) dengan sistem Konvensional. Rata

– rata tingkat produksi padi sawah sistem SRI sebesar 8 ton/ ha, sedangkan

padi sistem Konvensional adalah sebesar 5 ton/ha.

3. a. Secara serempak jumlah penggunaan input produksi (Benih, Pupuk,

Pestisida dan Tenaga Kerja) berpengaruh nyata terhadap jumlah Produksi padi

sawah sistem SRI. Sedangkan secara parsial jumlah input tenaga kerja

berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi padi sawah sistem SRI.

b. Secara serempak jumlah penggunaan input produksi (Benih, Pupuk,

Pestisida dan Tenaga Kerja) berpengaruh nyata terhadap jumlah Produksi padi

sawah sistem Konvensional. Sedangkan secara parsial jumlah input tenaga

kerja berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi padi sawah sistem

Konvensional.

4. Ada perbedaan yang nyata antara biaya produksi usahatani padi sawah sistem

SRI dengan sistem Konvensional. Pada usahatani sistem SRI membutuhkan

biaya produksi Rp. 10.306.406,-/ha. Sedangkan pada sistem Konvensional

adalah sebesar Rp. 9.299.212,-/ Ha.

5. Ada perbedaan yang nyata antara pendapatan usahatani padi sawah antara

sistem SRI dengan sistem Konvensional. Rata – rata tingkat pendapatan

usahatani padi sawah sistem SRI adalah sebesar Rp. 24.927.828,-/ha.

Sedangkan rata – rata tingkat pendapatan usahatani Konvensional adalah

14.290.417,-/ ha.

6. a. Secara serempak jumlah biaya produksi (Benih, Pupuk, Pestisida dan

Tenaga Kerja) berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani padi sawah

(36)

sistem SRI. Sedangkan secara parsial jumlah input benih dan tenaga kerja

berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi padi sawah sistem SRI.

b. Secara serempak biaya input produksi (Benih, Pupuk, Pestisida dan Tenaga

Kerja) berpengaruh nyata terhadap pendapatan petani padi sawah sistem

Konvensional. Sedangkan secara parsial biaya benih, pupuk dan tenaga kerja

berpengaruh nyata terhadap jumlah produksi padi sawah sistem Konvensional.

7.2Saran

1. Petani disarankan mengubah sistem tanam dari sistem Konvensional ke sistem

SRI.

2. Pemerintah memfasilitasi petani dalam hal penyediaan bank pupuk organik

dalam rangka memenuhi kebutuhan pupuk organik pada sistem tanam SRI.

3. Para peneliti melakukan penelitian – penelitian dalam rangka meyakinkan

petani mengadopsi sistem SRI.

4. Diharapkan kepada peneliti selanjutnya agar memasukkan faktor luas lahan

dan status kepemilikan lahan ke dalam faktor produksi pertanian dan juga

(37)

DAFTAR PUSTAKA

A.T. Mosher, 1987. Menggerakkan dan Mengembangkan Pertanian. Yusaguna.

Jakarta

Badan Pusat Statistik. Medan 2012

---. Medan 2013.

Dalimunte, Arpan. 2012. “Analisis Komparasi Usahatani Padi Sawah Sistem

Irigasi Dengan Padi Sawah Sistem Tadah Hujan, (Studi kasus : Desa

Bakaran Batu dan Kelurahan Paluh Kemiri Kecamatan Lubuk Pakam

Kabupaten Deli Serdang)”. Skripsi Sarjana Fakultas Pertanian Sumatera

Utara. Medan

Daniel, Moehar. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara. Jakarta

Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Serdang Bedagai. 2013. Serdang

(38)
(39)

Saragih, Bensabarman.2011. “Analisis Dampak Metode System of Rice Intensification (SRI) Terhadap Penggunaan Input, Produksi Dan Pendapatan Usahatani Padi Sawah Di Desa Jambenenggang, Sukabumi,

Jawa Barat”. Skripsi Sarjana Departemen Ekonomi Sumberdaya dan

Lingkungan Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor.

Soekarwati, 1995. Analisis Usaha Tani. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

Soekarwati, 1996. Analisis Usaha Tani. Jakarta: Universitas Indonesia (UI-Press).

Sunyoto, D. 2011. Metode Penelitian Ekonomi. CAPS. Yogyakarta

Suparta. 2010. Analisis komparasi usahatani padi sawah Metode SRI (system of

rice intensification) dan konvensional Di kecamatan gerih kabupaten ngawi. Program Studi Magister Manajemen Agribisnis, Universitas Pembangunan Nasional “VETERAN”. Surabaya.Susanto, Rachman. 2002.

Penerapan Pertanian Organik. Yogyakarta. Kanisius.

Wibowo, S. Larasati. 2012. “ANALISIS EFISIENSI ALOKATIF

FAKTOR-FAKTOR PRODUKSI DAN PENDAPATAN USAHATANI PADI

(Oryza sativa L.) (Studi Kasus di Desa Sambirejo, Kecamatan Saradan, Kabupaten Madiun)”. Program Studi Agribisnis Fakultas Pertanian

(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)

Gambar

Tabel 1. Produksi Tanaman Padi Sawah di Kabupaten Serdang Bedagai Tahun 2008 – 2012
Tabel 2. Perkembangan luas tanam padi SRI di Kabupaten Serdang Bedagai.
Tabel 3. Perbedaan Pertanian SRI dengan Konvensional
Gambar 1. Skema Kerangka Pemikiran

Referensi

Dokumen terkait

bahwa dalam rangka pelaksanaan layanan jaminan kesehatan bagi penduduk miskin di Kabupaten Bantul melalui program JAMKESOS yang diselenggarakan oleh Badan

 Pelaksanaan tugas lain yang diberikan oleh Kepala Dinas sesuai bidang tugasnya.  Bidang Bina Mutu, Usaha

Berdasarkan deskripsi variabel penelitian, walaupun dalam penelitian ini tidak didapatkan hubungan antara frekuensi mengunjungi diskotek dengan sikap terhadap

Secara statistik, pelaksanaan konseling gizi (menggunakan media leaflet maupun tanpa media) tersebut mempunyai pengaruh positif dalam menurunkan kadar kolesterol dalam

Ijen Malang dinyatakan mempengaruhi untuk melakukan kegiatan merokok sebanyak 24 (80,0%) responden, sehingga untuk menguragi perilaku merokok pada responden

S : ibu klien mengatakan anaknya tidak terlalu rewel O : kesadaran klien compos metris, GCS E4M5V5, klien dapat menjawab pertanyaan yang ditanyakan oleh perawat

Semua kegiatan di atas adalah berkembang melalui proses perjuangan, mulai dari pengenalan makna ekonomi Islam, penerapan sebagian dari ekonomi tersebut

[r]