Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi.)
Oleh:
ISTIQAMAH
NIM: 1110070000070
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1436 H / 2015 M
v
D) The Effect of Social Support and Self Efficacy on Subjective Well-Being in Children of Victims Violence (Child Abuse)
E) xiii + 88 pages + Appendix
F) This study has aim to determine the effect of social support (guidance, reliable alliance, reassurance of worth, opportunity for nurturance, attachment and social integration) and self-efficacy along with the gender to the subjective well-being in children of victims violence (child abuse).This quantitative research with multiple regression involves 122 children aged under 18 years whom ever be a sufferer of a violence. The sampling method used is non-probability sampling. The researcher use three measures instrument for SWB; those are SWLS (Satisfaction With Life Scale), (1985 PFS (Flourishing Psychological Scale), and SPANE (Scale of Positive and Negative Experience) (2009). For the social support scale using a questionnaire made by Russell and Cutrona (1987) which called the Social Provisions Scale. For Self-Efficacy scale using the General Self-Efficacy Scale by Schwarzer, R., & Jerusalem, M (1995). The results of this research shows base on the hypothesis that have done, it gets the value of R square (R2) of all research variables at 0.466 or 46.6% with a significance value 0.000 or p <0.05, which means the two variables (social support and self-efficacy) contribute to the change of subjective well-being variables in children of victims violence at 46.6%. Thus, the variables change in subjective well-being on children of victims violence is 53.4%, for the remaining can be explained by the others variables beside the social support and self-efficacy. Based on the hypothesis results from the test that has been done, there are two variables that significantly influence the subjective well-being on children of victims violence, those are social integration and self efficacy. From the validity test, the researcher uses a CFA technique with form Lisrel software. While the analysis of data using multiple regression analysis with the help of software IBM SPSS. The writer hopes that the implications of this research can be reviewed and developed in subsequent researches. For example, by adding another variable that affects subjective well being on children of victims violence, such as personality variables, self-concept, socio economic status, and religiosity.
vi
vii
“Mereka yang paling berbahagia tidaklah harus
memiliki yang terbaik dari segala sesuatu. Mereka
hanya mengoptimalkan segala sesuatu yang
datang dalam perjalanan hidup mereka.
Bersyukurlah atas segala nikmat-Nya maka
kebahagiaan selalu menghampiri”
Anak-anak belajar dari kehidupannya.
Jika anak dibesarkan dengan celaan,Ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, Ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, Ia belajar rendah diri
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, Ia belajar menyesali diri
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, Ia belajar menahan diri
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, Ia belajar percaya diri
Jika anak dibesarkan dengan pujian, Ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, Ia belajar
keadilan
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, Ia belajar menaruh kepercayaan
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, Ia belajar menyenangi diri
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan,
Ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.
viii
sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul “ PENGARUH SOCIAL SUPPORT DAN SELF EFFICACY TERHADAP
SUBJECTIVE WELL BEING PADA ANAK KORBAN KEKERASAN (CHILD ABUSE)“. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan kita semua, Rasulullah Muhammad SAW berikut keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Terwujudnya skripsi ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam bentuk sumbangan pikiran, tenaga, waktu, dan do’a yang tidak terukur dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis menyampaikan rasa terimakasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Si, sebagai Dekan, Bapak Dr. Abdul Rahman Shaleh, M.Si, Wakil Dekan Bidang Akademik, Bapak Ikhwan Lutfi, M.Psi, Wakil Dekan Bidang Keuangan, dan Ibu Dra. Diana Mutiah, M.Si Wakil Dekan Bidang Kemahasiswaan yang telah memberi kesempatan menyelesaikan skripsi ini.
2. Layyinah, M.Si. pembimbing I yang memberikan bimbingan, petunjuk, arahan, dan saran kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini. 3. Seluruh dosen, bagian akademik dan bagian perpustakaan Fakultas
Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
ix
ku tercinta Ahlul Fikri.
6. Teman satu kosan sebagai keluarga kedua saya diperantauan, khususnya kepada Eka Rahayu yang juga sahabat tercinta telah membantu dukungan moral dan tenaga pada saat pembuatan skripsi, kemudian kepada Rima Pahla Sari dan Musrotun Najjah yang selalu memberikan dukungan.
7. Keluarga besar Gayo Etnik Jakarta, BMG (Barisan Muda Gayo), dan IMAPA (Ikatan Mahasiswa dan Pemuda Aceh) Jakarta sebagai teman berbagi diperantauan.
8. Sahabat tercinta kelas Psi B 2010 Saul, Qory, Katty, Sky, Chintya, Viny, Retno, Aini, Dhila, Winda, Ainun, Lailatul, Sunny,Acing, Gina, Ajeng, Anita, Putri, Estu, Niken, Dhila, Yuni, Sabe, Shintia, Nisyub, Syifa, Isnia, Tyas, Adila, , Iky, Deri, Didik, Aris, Hilmi, Danar, Boby, Gian, Lian, Adit yang selalu memberikan keceriaan selama perkuliah dan selalu sabar memberikan motivasi kepada penulis.
9. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan namanya satu-persatu yang telah banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih cukup jauh dari kesempurnaan, maka dari itu sangatlah diharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun agar dapat menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata, semoga penelitian ini memberikan manfaat untuk ilmu pengetahuan baik untuk saat ini maupun di masa yang akan datang. Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy . 23
xi
3.2 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional Variabel . 38
3.3 Instrumen Pengumpulan Data ... 40
3.4 Uji Validitas Konstruk ... 44
3.5 Teknik Analisis Data ... 63
3.6 Prosedur Penelitian ... 65
BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 67-79 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 67
4.2 Analisis Deskriptif ... 68
4.3 Kategorisasi Variabel ... 69
4.4 Uji Hipotesis ... 71
BAB 5 KESIMPULAN ... 80-85 5.1 Kesimpulan ... 80
5.2 Diskusi ... 80
5.3 Saran ... 83
5.3.1 Saran metodologis ... 84
5.3.2 Saran Praktis ... 84
DAFTAR PUSTAKA ... 86
xii
Tabel 3.4 Tabel Blueprint Skala Self- Efficacy ... 44
Tabel 3.5 Muatan Faktor Item Dimensi kognitif SWB ... 48
Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Dimensi afektif SWB ... 51
Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Guidance ... 53
Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Reliable Alliance ... 55
Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Reassurance of Worth ... 56
Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Opportunity for Nurturance ... 58
Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Attachment ... 59
Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Social Integration ... 61
Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Self Efficacy ... 62
Tabel 4.1 Gambarn Umum Subjek ... 67
Tabel 4.2 Tabel Subjek Berdasarkan Jenis Kelamin ... 68
Tabel 4.3 Analisis Deskriptif ... 69
Tabel 4.4 Pedoman Interprestasi Skor ... 70
Tabel 4.5 Kategorisasi Skor Variabel ... 70
Tabel 4.6 Model Summary Analisis Regresi ... 71
Tabel 4.7 Anova Pengaruh Keseluruhan IV erhadap DV ... 72
Tabel 4.8 Koefesien Regresi ... 73
xiii
BAB 1 PENDAHULUAN
Pada bab pendahuluan ini akan dijelaskan mengenai latar belakang permasalahan, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan.
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam Undang-Undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindangan anak pada pasal 1 nomor 2 yaitu: perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Tapi, pada kenyataannya banyak anak Indonesia yang tidak mendapatkan perlakuan yang adil serta tidak mendapatkan hak yang dimilikinya yaitu perlakuan kekerasan yang dialami anak.
Tim ahli Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yaitu Rachmat Sentika, menjelaskan: berdasarkan data yang dihimpun dari Kejaksaan Agung pada 2006 dan telah diteruskan ke Komite Anak Dunia, dalam laporan III dan IV, terungkap berbagai data yang merisaukan perihal kekerasan terhadap anak yang telah resmi diproses sesuai hukum. Pada laporan tersebut tercantum, terdapat 600 kasus yang telah resmi diputus oleh Kejaksaan Agung. Dari total tersebut, 82% di antaranya terkait dengan tindak pencabulan, perkosaan dan pelecehan seksual. Kemudian 3% merupakan kasus perdagangan anak, 3% kasus pembunuhan, 7% tindak penganiayaan, sedangkan lainnya 5% tidak diketahui.
WHO (dalam Neela, 2007) mendefinisikan pelecehan anak atau penganiayaan sebagai segala bentuk penganiayaan fisik dan emosional, pelecehan seksual, penelantaran, perlakuan lalai, eksploitasi komersial atau lainnya, sehingga kerugian aktual atau potensial untuk anak yaitu kesehatan, kelangsungan hidup dan perkembangannya.
anak baik kesehatan, pertumbuhan, perkembangan, dan juga kesejahteraan ( well-being). Kemudian anak-anak tanpa keluarga atau dukungan keluarga adalah beberapa dari yang terburuk yang terkena dampak seperti anak-anak dalam perawatan institusional, anak-anak yang hidup dengan stres, pekerjaan anak yang terikat, dan anak yang diperdagangkan lainnya.
Menurut Ana Butvic (2012) kebahagiaan pada anak lebih tinggi dari pada kebahagiaan orang dewasa. Disini peneliti tertarik untuk meneliti subjective well being pada anak yang seharusnya mendapatkan kebahagiaan tetapi karena perlakuan tidak adil mendapatkan subjective well being yang rendah.
Goswami (2012) mengatakan bahwa anak-anak yang menjadi korban dan perlakuan yang tidak adil akan memiliki subujective well being yang rendah. Artinya, korban kekerasan cenderung sering mengalami perasaan yang tidak puas terhadap kehidupannya, dan jarang mengalami perasaan yang menyenangkan. Perasaan-perasaan negatif tersebut dapat memicu korban menjadi pelaku kekerasan. Menurut Neel (2007) salah satu konsekuensi serius dari pelecehan anak adalah bahwa kekerasan sering menyebabkan korban menjadi pelaku di kemudian hari.
Peniliti mengumpulkan data mengenai kekerasan yang dialami anak, dari keseluruhan anak yang dikumpulkan peneliti mendapat 122 anak yang mengalami kekerasan dari lingkungan sekitarnya. Peneliti mengambil data pada lembaga dinas sosial dan rumah singgah yang ada di Jakarta Timur, dari jenis kekerasan yang dialami anak , paling banyak kekerasan fisik dan emosional yaitu 34,42 %.
Berdasarkan data tersebut peneliti melihat adanya kekerasan pada anak yang tinggal di lembaga dan rumah singgah. Peneliti ingin melihat subjective well being
pada anak yang mengalami kekerasan di lembaga dan rumah singgah tersebut. Peneliti mengambil sampel pada rumah singgah yaitu karena rata-rata anak yang ada pada rumah singgah hidup dilingkungan pasar dan mereka ada yang mengamen, sehingga mereka rentan mendapatkan kekerasan. Kemudian pada lembaga anak berhadapan dengan hukum, yang mana anak-anak tersebut pernah melakukan kekerasan sehinggga masuk pada lembaga tersebut, anak yang melakukan kekerasan kemungkinan besar pernah menjadi korban (Neel, 2007).
subjective well being adalah ketersediaan dukungan sosial, self efficacy dan kesehatan menurut Laventhal (dalam Maja Weist, 2011). Berdasarkan dari data-data tersebut, peneliti tertarik untuk mengambil social support dan self-efficacy
untuk independent variable pada subjective well being pada anak yang mengalami kekerasan.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Moore (dalam Goswami, 2012), menunjukkan bahwa kehadiran orang dewasa / komunitas bagi anak memberikan integritas subjective well being bagi anak. Ada beberapa cara untuk menjelaskan hubungan antara interaksi sosial dengan tetangga dan meningkatkan kualitas hidup. Bantuan praktis diberikan kepada satu sama lain adalah salah satu keuntungan yang jelas dari sosial menurut Goswami (2012). Penjelasan lain dari hubungan ini bahwa perasaan terlibat dengan orang dewasa di lingkungan menyediakan anak-anak peran sosial yang bermakna, yang kemudian menganugerahkan rasa nilai, tujuan, identitas dan keterikatan pada satu komunitas menurut Berkman (dalam Goswami, 2012).
guru mengenal huruf, pelatih parenting, model peran, dan ahli pada topik terkait orangtua dan kesehatan anak dan well-being bagi anak yang mengalami kekerasan. Di sini peneliti melihat rumah singgah dalam artikel ” the role of home-visiting programs in preventing child abuse and neglect” bahwa anak yang mengalami kekerasan membutuhkan dukungan sosial dari pengunjung untuk mendapatkan kesejahteraan/ well-being.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Siregar (dalam Manaf, 2013) anak-anak yang mengalami pelecehan seksual menunjukkan berbagai kepribadian dan masalah perilaku serta dikucilkan oleh masyarakat luas. Namun, dalam penderitaan dan sakit yang mereka rasakan, ada banyak korban yang mampu beradaptasi dan berfungsi secara efektif dalam kehidupan mereka, salah satu faktor yang berkontribusi terhadap situasi ini adalah adanya dukungan sosial yang mereka terima (Hyman, Gold & Cott, 2003).
dukungan sosial formal maupun informal dari lembaga dan masyarakat pada umumnya (Manaf, 2013).
Jenis kelamin menurut penelitian yang dilakukan oleh Ronald (2002), yaitu dengan 146.000 responden yang dikumpulkan dari 65 lembaga bahwa subjective well being pada anak laki-laki 24 % dan pada anak perempuan 28 % yang berarti anak perempuan lebih bahagia dari pada anak laki-laki. Peneliti memasukkan jenis kelamin sebagai variabel dalam penelitian ini untuk melihat subjective well being berdasarkan jenis kelamin pada anak korban kekerasan.
Faktor lain yang mempengaruhi subjective well being adalah self efficacy
yaitu menurut Leventhal (dalam Maja Wiest, 2011) hal-hal yang mempengaruhi dari subjective well being yaitu ketersediaan dukungan sosial, sumber daya individu seperti self-efficacy, dan kesehatan). Self-efficacy merupakan komponen utama dari teori belajar sosial Bandura. Self efficacy digambarkan sebagai keyakinan seseorang tentang kapasitas mereka untuk melakukan kontrol atas fungsi mereka sendiri dan atas peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka menurut Bandura (dalam Natalie Sachs, 2011). Self-efficacy, juga disebut sebagai penguasaan diri oleh Pearlin dan Schooler (dalam Natalie Sachs, 2011). Penelitian telah menunjukkan bahwa tinggi tingkat self-efficacy berhubungan dengan hasil kesehatan positif oleh Clark dan Dodge (dalam Natalie Sachs, 2011).
Ada bukti dari hubungan antara self-efficacy dan kekerasan masa kanak-kanak yang telah terbukti mempengaruhi kognisi anak menilai tentang diri mereka menjadi negatif karena perlakuan kekerasan yang didapatkan anak menurut Sachs-Ericsson (dalam Natalie Sachs, 2011). Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Yuehua (2004) bahwa seseorang yang memiliki self efficacy yang kuat maka akan memilliki subjective well being yang tinggi. Di sini peneliti melihat ada indikasi bahwa self efficacy memiliki pengaruh terhadap subjective well being.
Dari penjelasan di atas peneliti tertarik untuk meniliti bagaimana “ pengaruh dukungan sosial dan self efficacy terhadap subjective well being
pada anak korban kekerasan (child abuse)”. 1.2Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah
Untuk memfokuskan dan memperoleh hasil penelitian yang lebih akurat sesuai dengan tujuan penelitian, maka penelitian ini dibatasi dengan hubungan antara
subjective well being pada anak korban kekerasan, social support dan self efficacy, yang didefenisikan sebagai berikut:
2. Dukungan sosial dalam penelitian ini yaitu bagaimana seseorang mempersepsikan dukungan social yang ia dapatkan dari orang lain. Dukungan sosial mencakup aspek guidance, reassurance of worth, reliable alliance, opportunity for nurturance attachment, social integration.
3. Self efficacy dalam penelitian ini dibatasi pada keyakinan seseorang mengenai kemampuannya untuk mengatur dan memutuskan tindakan tertentu yang dibutuhkan untuk memperoleh hasil tertentu.
4. Sampel dalam penelitian ini adalah anak yang telah mengalami kekerasan yaitu berupa kekerasan fisik, seksual, emosional dan penelantaran dengan usia dibawah 18 tahun menurut Pasal 1 ayat 1 UU nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
1.2.2 Perumusan masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Apakah Social Support dan Self Efficacy secara signifikan mempengaruhi Subjective well being pada anak korban kekerasan (child abuse) ?”
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka peneliti merumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian, sebagai berikut :
1. Apakah ada pengaruh Social Support dan Self-Efficacy terhadap
Subjective well being pada anak korban kekerasan (child abuse)?
3. Apakah dimensi Reliable alliance pada variabel social support memiliki pengaruh secara signifikan terhadap Subjective well being pada anak korban kekerasan (child abuse)?
4. Apakah dimensi Reassurance of worth pada variabel social support
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap Subjective well being pada anak korban kekerasan (child abuse)?
5. Apakah dimensi Opportunity for nurturance pada variabel social support
memiliki pengaruh secara signifikan terhadap Subjective well being pada anak korban kekerasan (child abuse)?
6. Apakah dimensi Attachment pada variabel social support memiliki pengaruh secara signifikan terhadap Subjective well being pada anak korban kekerasan (child abuse)?
7. Apakah dimensi Social integration pada variabel social support memiliki pengaruh secara signifikan terhadap Subjective well being pada anak korban kekerasan (child abuse)?
8. Apakah variabel self-efficacy memiliki pengaruh secara signifikan terhadap
Subjective well being pada anak korban kekerasan (child abuse)?
1.3 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui pengaruh variabel social support (Guidance, reliable alliance, reassurance of worth, opportunity for nurturance, attachment,Social integration), variabel self-efficacy (keyakinan seseorang tentang kapasitas mereka untuk melakukan kontrol atas fungsi mereka sendiri dan atas peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka) dan jenis kelamin terhadap
subjective well being pada anak korban kekerasan (child abuse). 1.3.2 Manfaat penelitian
Penelitian ini diharapkan memberi manfaat baik teoritis maupun praktis yaitu sebagai berikut:
1.3.2.1 Manfaat teoritis:
1. Hasil penelitian ini berguna untuk memperkaya khazanah kajian psikologi, terutama berkaitan dengan psikologi pendidikan, perkembangan dan psikologi klinis.
2. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi langkah awal yang meningkatkan minat peneliti selanjutnya yang berkaitan dengan subjective well being. 1.3.2.2 Manfaat Praktis
2. Sebagai masukan untuk para anak korban kekerasan agar mampu mengembangkan serta meningkatkan subjective well being mereka sehingga mampu memutus mata rantai kekerasan dalam hidup mereka.
3. Secara umum dapat dijadikan bahan pertimbangan bagi para peneliti untuk mengadakan penelitian lebih lanjut.
1.4 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan APA (American Psychology Association)-style dan pedoman penyusunan dan penulisan skripsi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulisan ini dibagi menjadi beberapa bahasan seperti yang akan dijabarkan berikut ini: BAB 1 : PENDAHULUAN
Pada bab ini, peneliti menguraikan tentang latar belakang masalah, permasalahan (identifikasi, batasan, rumusan), tujuan dan manfaat penelitian, serta sistematika penelitian.
BAB 2 : LANDASAN TEORI
Pada bab ini, peneliti menguraikan tentang berbagai teori yang digunakan, kerangka berfikir, dan hipotesis penelitian.
BAB 3 : METODE PENELITIAN
BAB 4 : HASIL PENELITIAN
Pada bab ini diuraikan hasil deskripsi data penelitian dan uji hipotesis. BAB 5 : KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
BAB 2
LANDASAN TEORI
Pada bab ini akan diuraikan mengenai teori dan konsep dari variabel-variabel penelitian. Berisi definisi-definisi, aspek-aspek dan faktor-faktor yang mempengaruhi variabel.
2.1 Subjective Well Being
2.1.1 Definisi subjective well being
Dinner (2005) mendefinisikan subjective well being sebagai
“different valuations people make regarding their lives, the events happening to them, their bodies and minds, and the circumstances in which they live”
Penilaian seseorang yang berbeda mengenai hidup mereka, peristiwa terjadi pada mereka, tubuh dan pikiran mereka, dan keadaan dimana mereka tinggal.
Subjective well being menurut Eid dan Larsen (dalam Maja, 2011)
“it has been argued that SWB encompasses emotional states, global ratings of life satisfaction (LS) and satisfaction with specific domains of life”
SWB meliputi kondisi emosi, kepuasan hidup secara keseluruhan dan kepuasan hidup pada domain tertentu.
Shigehiro (2005) mengatakan bahwa:
“Subjective well being is a broad concept that includes experiencing pleasant emotions, low levels of negative moods, and high life satisfaction”
Dari beberapa definisi di atas, maka peneliti mengambil definisi dari Diener (2005) yaitu SWB adalah penilaian seseorang yang berbeda mengenai hidup mereka, peristiwa terjadi pada mereka, tubuh dan pikiran mereka, dan keadaan dimana mereka tinggal.
2.1.2 Dimensi subjective well being
Dimensi SWB dapat dibagi menjadi dua, yaitu evaluasi kognitif (penilaian atau judgement) dan afektif (emosional) (Diener, 2005).
A. Dimensi kognitif Subjective Well Being
Komponen kognitif dari subjective well being adalah evaluasi terhadap kepuasan hidup, yang didefinisikan sebagai penilaian diri hidup seseorang. Evaluasi terhadap kepuasan hidup dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Evaluasi kepuasan hidup secara keseluruhan, yaitu evaluasi responden terhadap kehidupannya secara menyeluruh. Istilah hidup dapat didefinisikan sebagai semua bidang kehidupan seseorang pada titik dalam waktu tertentu, atau sebagai penilaian integratif tentang kehidupan seseorang sejak lahir .kepuasan hidup secara global didasarkan pada proses penilaian dimana seorang individu mengukur kualitas hidupnya dengan didasarkan pada satu set kriteria yang unik yang mereka tentukan sendiri. Lebih spesifik, kepuasan hidup secara global melibatkan persepsi seseorang terhadap perbandingan keadaan hidupnya dengan standar unik yang mereka miliki (Diener, 2005).
seperti kesehatan fisik dan mental, pekerjaan, rekreasi, hubungan sosial dan keluarga. Biasanya individu menunjukkan bagaimana cara mereka merasakan kepuasan, menunjukkan seberapa besar mereka menyukainya, seberapa dekat individu nyaman berada di dalamnya, dan seberapa banyak kenikmatan yang mereka alami di domain tersebut (Diener, 2006).
B. Dimensi afektif subjective well being
Secara umum, komponen afektif SWB merefleksikan pengalaman dasar dalam peristiwa yang terjadi didalam hidup seseorang. Komponen afektif subjective well being dapat dibagi menjadi:
a. Evaluasi terhadap keberadaan afek positif
Afek positif merepresentasikan mood dan emosi yang menyenangkan, seperti kasih sayang. Emosi positif atau menyenangkan adalah bagian dari SWB karena emosi-emosi tersebut merefleksikan reaksi seseorang terhadap peristiwa-perstiwa yang menujukkan bahwa hidup berjalan sesuai dengan apa yang ia inginkan (Diener, 2006). Afek positif seperti gembira, senang, bangga, mempunyai kasih sayang, bahagia, dan kegembiraan yang luar biasa (Diener, 1999)
b. Evaluasi terhadap keberadaan afek negatif
bersalah, malu, sedih, cemas, marah, stres, depresi, dan iri hati/cemburu (Diener, 1999).
2.1.3 Pengukuran subjective well-being
Pengukuran subjective well being menggunakan alat ukur SWLS (Satisfaction With Life Scale) yang terdiri dari 5 item oleh Diener, E., Emmons, R. A., Larsen, R. J., dan Griffin, S. (1985). Untuk meneliti kepuasan kehidupan secara domain, peneliti menggunakan alat ukur yang diadaptasi dari penelitian Ed Diener dan Robert Biswas-Diener (2008), yang terdiri 12 item. Kemudian untuk mengukur komponen afek positif dan negatif peneliti menggunakan alat ukur Scale of Positive and Negative Scale (SPANE) yang terdiri dari 12 item.
2.1.4 Faktor-faktor yang mempengaruhi subjective well-being
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pada subjective well-being individu, yaitu:
1. Faktor pendapatan
Kepuasan dalam pendapatan berhungan dengan kebahagiaan menurut Braun dan Campbell (dalam Diener 1984).Pendapatan mempengaruhi SWB karena ada beberaa hal, yaitu pertama pendapatan memenuhi kebutuhan dasar pada manusia dan itu mempengaruhi kebahagiaan seseorang. Kedua pendapatan mempengaruhi status sosial dalam masyarakat. Ketiga pendapatan yang cukup bisa mengurasi stres.
2. Faktor demografi a. Umur
muda lebih bahagia dari pada orang yang tua. Campbell (1976) menemukan bahwa orang yang lebih tua memiliki kepuasan yang lebih besar dalam setiap kesehatan yang dimilikinya. Hasilnya menunjukkan kenaikan yang lambat dalam kepuasan dengan usia, tetapi tampaknya positif dan negatif mempengaruhi dialami lebih intens oleh anak muda (Diener Larsen, Levine & Emmons, 1976). Dengan demikian, orang yang muda tampaknya mengalami tingkat yang lebih tinggi dari sukacita, tetapi orang-orang yang lebih tua cenderung menilai kehidupan mereka dengan cara yang lebih positif. Dalam beberapa tahun terakhir dalam penelitian mulai fokus tidak begitu pada usia semata, tetapi pada tahap siklus pola hidup .Hidup dilihat dengan menciptakan tuntutan karakteristik dan manfaat bagi orang-orang.
b. Gender
Tampak bahwa pada wanita yang muda lebih bahagia daripada laki-laki yang muda, dan wanita yang tua kurang bahagia dibandingkan pria yang tua (Medley,1980). Meskipun begitu terjadi sekitar pada usia 45, perbedaan antara kedua jenis kelamin tidak pernah berbeda jauh.
c. Pekerjaan
d. Pendidikan
Ketika seseorang memilki pendidikan yang bagus sehingga dia dapat berbagi ilmu kepada orang lain juga aspirasi seseorang dalam kehidupan untuk merasakan kebahagiaan (Campbell’s, 1981).
e. Religius
Cameron (1975) mengemukakan bahwa orang yang memiliki religiusitas berkorelasi antara SWB dengan perasaan positif.
f. Pernikahan dan keluarga
g. Glenn dan Weaver (1979) menemukan bahwa orang yang telah menikah dan berkeluarga memiliki SWB yang kuat. Ketika keluarga yang utuh dan merasa bahagia juga mempengaruhi kebahagiaan terhadap anak dalam keluarga.
3. Dukungan Sosial
Hasak (1978) mengemukakan bahwa setiap orang membutuhkan interaksi sosial dalam kehidupan, ketika orang berinteraksi dengan orang lain otomatis orang tersebut telah menjalin silaturahmi yang memberi kesempatan untuk berbagi. Interaksi dengan orang lain bisa menimbulkan cinta dan rasa nyaman sehingga kepuasaan hidup bisa dirasakan (Gordon, 1975).
4. Kepribadian
5. Self efficacy
Orang yang memiliki self efficacy yang kuat akan memiliki subjective well being yang tinggi. Karena ketika seseorang yakin akan kemampuanya dalam mengatasi kesulitan dan masalah akan memudahkan seseorang tersebut untuk menikmati hidupnya (Yuehua, 2004)
2.2 Social Support
2.2.1 Definisi social support
Cohen (2004) menyatakan bahwa:
“Social support refers to a social network’s provision of psychological and material resources intended to benefit an individual’s ability to cope with stress”
Dukungan sosial mengacu pada ketersediaan hubungan sosial dari sumber psikologis dan materi yang dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan kemampuan seseorang untuk mengatasi tekanan.
Weiss (1974), social support :
“…obtained from relationships with others, needed for individuals to feel adequately supported and to avoid loneliness…”
Dukungan sosial merupakan diperoleh dari hubungan dengan orang lain, seseorang yang merasa cukup didukung, dan menghindar dari kesendirian.
Menurut Uchino dalam Health Pssychology (2011)
“Social support refers to comfort, caring, esteem, or help available to a person from other people or groups “
Berdasarkan dari definisi-definisi di atas, peneliti mengambil pengertian dukungan sosial dari Weiss (1974) yaitu dukungan sosial merupakan diperoleh dari hubungan dengan orang lain, seseorang yang merasa cukup didukung, dan menghindar dari kesendirian.
2.2.2 Dimensi social support
Menurut Weiss (dalam Cutrona & Russell, 1987) komponen dukungan sosial meliputi 6 hal:
1. Guidance merupaka saran atau informasi, yaitu adanya seseorang yang memberikan nasehat atau informasi, biasanya pemenuhan aspek ini didapatkan dari guru, mentor, atau figur orang tua.
2. Reliable alliance merupakan keyakinan bahwa ada orang lain yang dapat diandalkan untuk membantu penyesuaian masalah yang bersifat terlihat atau tangible. Biasanya pemenuhan aspek ini bersumber dari anggota keluarga.
3. Reassurance of worth (meyakini keberhargaan diri), yaitu adanya pengakuan dari orang lain terhadap kompetensi, keterampilan, dan nilai yang dimiliki seseorang.
lain juga dikaitkan dengan kesehatan yang lebih baik. Selain itu, memberikan dan mendapatkan bantuan juga melewati mekanisme kognisi yang sama.
5. Attachment yaitu adanya perasaan kedekatan secara emosional kepada orang lain yang memberikan rasa aman, biasanya didapatkan dari pasangan, teman dekat, atau hubungan keluarga.
6. Social integration (integrasi sosial) merujuk pada adanya perasaan memiliki minat, kepedulian, dan aktivitas rekreasional yang sama. Fungsi ini biasanya didapatkan dari teman dan dapat memberikan kenyamanan, rasa aman, kepuasan, dan identitas.
2.2.3 Pengukuran dukungan sosial
Russel dan Cutrona (1987) juga telah mengukur dukungan sosial melalui komponen-komponen dari dukungan sosial yang disebut dengan the social provisions scale, terdiri dari enam komponen yang membentuk dukungan sosial dan keberadaannya saling memiliki keterikatan yaitu, guidance, reliable alliance, reassurance of worth, opportunity for nurturance, attachment, social integration. Pada penelitian ini peneliti akan menggunakan alat ukur Social Provisions Scale (Cutrona, C. E. & Russell, D. 1987) dalam mengukur social support.
2.3 Self-Efficacy
2.3.1 Pengertian self-eficacy
Menurut Bandura (dalam Natalie Sachs, 2011)
Self efficacy digambarkan sebagai keyakinan seseorang tentang kapasitas mereka untuk melakukan kontrol atas fungsi mereka sendiri dan atas peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka.
Self efficacy juga disebut sebagai penguasaan diri oleh Pearlin dan Schooler (dalam Natalie Sachs, 2011)
Sedangkan menurut Tafarodi dan Swann (dalam Natalie Sachs, 2011)
self-efficacy terkait dengan sejumlah aspek konsep diri termasuk pengendalian diri, self menghubungkan diri kemampuan yang dirasakan dan harga diri.
Dari beberapa pengertian di atas peneliti mengambil pengertian self-efficacy
dari Bandura yaitu digambarkan sebagai keyakinan seseorang tentang kapasitas mereka untuk melakukan kontrol atas fungsi mereka sendiri dan atas peristiwa yang mempengaruhi kehidupan mereka.
2.3.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi self-efficacy
Bandura (1995) mengemukakan bahwa ada beberapa faktor yang mempengaruhi
self-efficacy seseorang, yakni:
a. Penguasaan pengalaman (mastery experience)
untuk berhasil, dan mereka mempraktekkan keyakinan mereka dalam menghadapi kesulitan dan cepat bangkit dari keterpurukan. Dengan menghadapi masa-masa sulit, mereka muncul lebih kuat dari kegagalan.
b. Pengalaman orang lain (vicarious experience)
Self-efficacy dapat juga dipengaruhi karena pengalaman orang lain. Individu yang melihat atau mengamati orang lain yang mencapai keberhasilan dapat menimbulkan persepsi self-efficacy-nya. Dengan melihat keberhasilan orang lain, individu dapat meyakinkan dirinya bahwa ia juga bisa untuk mencapa hal yang sama dengan orang yang diamati. Ia juga meyakinkan dirinya bahwa jika orang lain bisa melakukannya, ia juga harus dapat melakukannya. Jika seseorang melihat bahwa orang lain yang memiliki kemampuan yang sama ternyata gagal meskipun ia telah berusaha dengan keras, maka dapat menurunkan penilaiannya terhadap kemampuan dia sendiri dan juga akan menguarangi usaha yang akan dilakukan menurut Brown dan Inonye (dalam Bandura, 1986).
Ada kondisi-kondisi dimana penilaian terhadap self-efficacy dipengaruhi oleh informasi dari orang lain. Pertama adalah ketidakpastian mengenai kemampuan yang dimiliki individu. Self-efficacy dapat diubah melalui pengaruh modeling yang relevan ketika seseorang memiliki sedikit pengalaman sebagai dasar penilaian kemampuannya. Kedua adalah penilaian
untuk menilai kemampuan seseorang, tetapi sebagain besar kinerja tidak memberikan informasi yang cukup memenuhi, sehingga penilaian self-efficacy
diukur melalui membandingkannya dengan kinerja dari orang lain (Bandura, 1986).
c. Persuasi verbal (verbal persuasion)
Persuasi verbal digunakan untuk memberikan keyakinan kepada seseorang bahwa ia memiliki suatu kemampuan yang memadai untuk mencapai apa yang diinginkan. Seseorang yang berhasil diyakinkan secara verbal akan menunjukkan suatu usaha yang lebih keras jika dibandingkan dengan individu yang memiliki keraguan dan hanya memikirkan kekurangan diri ketika menghadapi suatu kesulitan. Namun, peningkatan keyakinan individu yang tidak realistis mengenai kemampuan diri hanya akan menemui kegagalan. Hal ini dapat menghilangkan kepercayaan self-efficacy orang yang dipersuasi. d. Keadaan dan reaksi psikologis (phychological state)
2.2.3 Aspek- aspek self-efficacy
Menurut Bandura, Compeau dan Higgins (dalam Richard F Kenny, 2011), keyakinan akan kemampuan diri individu dapat bervariasi pada masing-masing dimensi. Dimensi-dimensi tersebut yaitu:
a. Generality
Dimensi ini berkaitn dengan keyakinan individu akan kemampuannya memecahkan masalahnya. Hal ini berkaitan dengan ketahanan dan keuletan seseorang dalam pemenuhan tugasnya. Pengalaman memiliki pengaruh terhadap self-efficacy yang diyakini seseorang. Pengalaman yang lemah akan melemahkan keyakinan pula. Seseorang yang memiliki keyakinan kuat terhadap kemampuan akan teguh dalam usaha menghadapi hambatan atau tantangan yang dihadapi.
b. Level/ magnitude
c. Strength
Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung. Menunjukkan sejauhmana seseorang yakin akan kemampuannya dalam menghadapi berbagai situasi, dimulai dengan melakukan aktivitas yang biasa dilakukan atau situasi tertentu yang tidak pernah dilakukan hingga dalam serangkaian tugas atau situasi sulit dan bervariasi.
2.2.4 Pengukuran Self-efficacy
Pengukuran self-efficacy menggunakan general self-efficacy scale oleh Schwarzer, R. dan Jerusalem, M (1995) yang terdiri dari sepuluh item yang mengukur self-efficacy pada seseorang .GSE pertama kali dikembangkan dalam bahasa Jerman oleh Ralf Schwarzer dan Matthias Jerusalem pada tahun 1979. Awalnya skala ini berjumlah 20 item, setelah mengalami revisi di tahun 1981 berkurang menjadi 10 item kemudian skala ini di adaptasi dalam 28 bahasa oleh beberapa penulis. Alasan dalam penggunaan skala ini, dikarenakan telah diketahui validitas dan reabilitas dari alat ukur yang akan digunakan baik dalam versi bahasa inggris maupun bahasa indonesia.
2.4 Kekerasan anak (child abuse)
2.4.1 Pengertian kekerasan anak (chlid abuse) (David Gil, dalam Richard J. Gelles, 1976)
Kekerasan pada anak yaitu suatu kejadian di mana seorang yang merawat anak melukai seorang anak, bukan kebetulan, tapi marah atau dengan sengaja menyakiti anak tersebut.
Kemudian menurut Richard J. Gelles (1976), kekerasan anak adalah : “...the physical or mental injury, sexual abuse, negligent treatment, or maltreatment of a child under the age of eighteen by a person who is responsible for the child's welfare under circumstances which indicate that the child's health or welfare is harmed or threatened thereby...”
Kekerasan anak merupakan cedera pada fisik atau mental, pelecehan seksual, pengobatan yang lalai, atau penganiayaan terhadap anak di bawah usia delapan belas tahun oleh orang yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak di bawah keadaan yang mengindikasikan bahwa kesehatan atau kesejahteraan anak dirugikan atau terancam dengan demikian.
Menurut (Bullard et al., 1967; Morris, et al., 1964)
“abuse and neglect include such things as failure to thrive , child theft, abandonment, or emotional mistreatment”
Kekerasan dan penelantaran termasuk hal-hal seperti gagal dalam memberi perhatian kepada anak sehingga perkembangannya tidak berkembang dengan semestinya, pencurian anak, ditinggalkan, atau penganiayaan secara emosional.
di bawah keadaan yang mengindikasikan bahwa kesehatan atau kesejahteraan anak dirugikan atau terancam dengan demikian.
2.4.2 Penyebab kekerasan anak (chlid abuse) a. Structural stress
Stres yang di alami orang tua atau orang yang berada disekitar anak yang mengalami kekerasan baik itu keluarga ataupun tetangga bisa memacu untuk melakukan kekerasan pada anak sebagai pelampiasan dari stres yang dialaminya.
b. Cultural norm concerning force and violence toward children
Budaya yang salah yaitu memberi hukuman pada anak dengan memukuli atau memaki anak dengan kata-kata kasar dan nada yang tinggi apabila anak tersebut melakukan kesalahan merupakan persepsi yang salah dari orang tua terhadapa anak.
c. Abuser (orang tua yang pernah mengalami kekerasan)
Orang tua yang pernah mengalami kekerasan pada masa kecilnya bisa melampiaskan pada anaknya. Orang tua yang salah persepsi mengenai mendidik anak akan melampiaskan kekesalan dimasa lalu terhadap anaknya d. Ekonomi keluarga
2.4.3 Jenis kekerasan anak (chlid abuse)
Menurut Alaubaide dan Wasan Naser (2013), jenis kekerasan pada anak (chlid abuse) yaitu :
1. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah apabila anak-anak disiksa secara fisik dan terdapat cedera yang terlihat pada badan anak akibat adanya kekerasan itu. Kekerasan ini dilakukan dengan sengaja terhadap anak. Kekerasan fisik seperti dipukul, ditendang, ditampar, dibakar/disiram air panas, ditusuk dengan benda tajam, dan didorong hingga jatuh.
2. Kekerasan seksual
Kekerasan seksual adalah apabila anak disiksa/diperlakukan secara seksual dan juga terlibat atau ambil bagian atau melihat aktivitas yang bersifat seks dengan tujuan pornografi, gerakan badan, film, atau sesuatu yang bertujuan mengeksploitasi seks dimana seseorang memuaskan nafsu seksnya kepada orang lain.Kekerasan seksual seperti diperlihatkan alat kelamin, diperlihatkan pornografi, dipaksa melakukan seks, seseorang memegang alat kelamin korban.
3. Kekerasan emosional
4. Kekerasan karena diabaikan (penelantaran)
Menurut Akta Perlindungan Anak sebagai kegagalan ibu bapak untuk memenuhi keperluan utama anak seperti pemberian makan, pakaian, kediaman, perawatan, bimbingan, atau penjagaan anak dari gangguan penjahat atau bahaya moral dan tidak melindungi mereka dari bahaya sehingga anak terpaksa menjaga diri sendiri.
2.5 Kerangka Berfikir
Kekerasan terhadap anak akhir-akhir ini sering terlihat dipemberitaan baik itu televisi maupun media sosial. Kekerasan pada anak bisa dilakukan oleh orang tua, guru atau pun orang terdekat. Anak yang tidak berdaya sering kali menjadi luapan emosi orang dewasa, sehingga anak menjadi korban kekerasan baik itu kekerasan fisik, emosi, seksual, dan penelantaran atau diabaikan.
Anak yang mengalami kekerasan cenderung untuk mengalami stres karena banyak tekanan yang didapatkan. Dampak kekerasan bagi anak (Talbot, dalam Natalie, 2011) yaitu akan menimbulkan rasa sakit baik itu secara fisik maupun psikologis. Secara fisik anak akan mengalami luka bahkan cacat, sedangkan secara psikologis mental anak akan terganggu.Karena mental anak akan terganggu maka subjective well being pada anak rendah, seperti penelitian Goswami (2012) anak yang mengalami perlakuan tidak adil akan memiliki subjective well being
yang rendah. Artinya, korban kekerasan cenderung sering mengalami perasaan yang tidak puas terhadap kehidupannya, dan jarang mengalami perasaan yang menyenangkan. Perasaan-perasaan negatif tersebut dapat memicu korban menjadi pelaku kekerasan. Menurut Neel (2007) salah satu konsekuensi serius dari pelecehan anak adalah bahwa kekerasan sering menyebabkan korban menjadi pelaku di kemudian hari.
Anak yang mengalami kekerasan cenderung untuk menutup diri dan merasa tidak bahagia karena prilaku kekerasan yang didapatkannya dari lingkungannya, maka dari itu peneliti ingin meneliti subjective well being pada anak yang mengalami kekerasan sebagai DV penelitian.
Faktor-faktor yang mempegaruhi SWB adalah faktor genetik, kepribadian, faktor demografis, dukungan sosial, dan self efficacy. Di antara faktor-faktor tersebut, adanya dukungan sosial merupakan suatu hal yang menarik untuk diteliti sebagai ciri-ciri SWB yang rendah pada anak-anak korban kekerasan.
Pemenuhan aspek ini biasanya didapatkan dari anak dan juga pasangan,
attachment yaitu adanya perasaan kedekatan secara emosional kepada orang lain yang memberikan rasa aman, biasanya didapatkan dari pasangan, teman dekat, atau hubungan keluarga, social integration (integrasi sosial) merujuk pada adanya perasaan memiliki minat, kepedulian, dan aktivitas rekreasional yang sama. Fungsi ini biasanya didapatkan dari teman dan dapat memberikan kenyamanan, rasa aman, kepuasan, dan identitas.
Kemudian faktor lain yang mempengaruhi subjektive well being pada anak yang mengalami korban kekerasan adalah self-efficacy. Ada bukti dari hubungan antara self-efficacy dan kekerasan masa kanak-kanak bahwa pelecehan telah terbukti mempengaruhi kognisi anak menilai tentang diri mereka menjadi negatif (Sachs-Ericsson et al., 2006). Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Yuehua (2004) bahwa seseorang yang memiliki self efficacy yang kuat maka akan memilliki subjective well being yang tinggi. Di sini peneliti melihat ada indikasi bahwa self efficacy memiliki pengaruh terhadap subjective well being.
Aspek dari self efficacy yaitu magnitude, dimensi ini berkaitan dengan derajat kesuliatan tugas dimana individu merasa mampu atau tidak untuk melakukannya sebab kemampuan diri individu berbeda-beda. Selanjutnya
strength, dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung. Generality,
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti ingin mengukur pengaruh social support dan self-efficacy terhadap subjective well being pada anak korban kekerasan (child abuse). Melihat deskripsi diatas, dapat ditarik kerangka berpikir sepertibagan dibawah ini:
Social Support
Jenis Kelamin
Self Efficacy
Opportunity for nurturance
Social integration Attachment Reassurance of worth
Reliable alliance Guidance
Subjective
Well
Being
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berfikir Pengaruh Social Support dan Self-Efficacy terhadap Subjective Well Being pada Anak Korban Kekerasan (Child Abuse)
2.6 Hipotesis Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti ingin melihat pengaruh independent variabel yang diketahui terhadap dependent variabel. Dalam penelitian ini dependent variabel
penelitian sebelumnya mengenai subjective well being yaitu social support dan
self-efficacy. Dalam penelitian ini peneliti memiliki beberapa hipotesis: 2.6.1 Hipotesis Mayor
Ha: Ada pengaruh yang signifikan social support, self-efficacy dan jenis kelamin terhadap subjective well being anak korban kekerasan (child abuse)
2.6.2 Hipotesis Minor
Ha1: Ada pengaruh signifikan dimensi guidance pada variabel social support terhadap subjective well being anak korban kekerasan (child abuse)
Ha2: Ada pengaruh signifikan dimensi reliable alliance pada variabel social support terhadap subjective well being anak korban kekerasan (child abuse)
Ha3: Ada pengaruh signifikan dimensi reassurance of worth pada variabel
social support terhadap subjective well being anak korban kekerasan (child abuse)
Ha4: Ada pengaruh signifikan dimensi opportunity for nurturance pada variabel
social support terhadap subjective well being anak korban kekerasan (child abuse)
Ha5: Ada pengaruh signifikan dimensi attachment pada variabel social support
terhadap subjective well being anak korban kekerasan (child abuse)
Ha6: Ada pengaruh signifikan dimensi social integration pada variabel social support terhadap subjective well being anak korban kekerasan (child abuse)
Ha7: Ada pengaruh signifikan pada variabel self-efficacy terhadap subjective well being anak korban kekerasan (child abuse)
BAB 3
METODE PENELITIAN
Pada bab ini terdiri dari metode pengumpulan data dan analisis data. Di
dalamnya akan dibahas tentang populasi dan sampel, variabel penelitian, definisi
operasional variabel penelitian, instrumen pengumpulan data, prosedur
pengumpulan data dan metode analisis.
3.1 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi pada penelitian yaitu anak yang berada di Pusat Pelayanan
Kesejahteraan Sosial Anak (PPKSA) di Bambu Apus (Cipayung, Jakarta Timur)
yaitu dari pelayanan anak jalanan oleh SDC (Social Development Center for
Children), kemudian Panti Sosial Marsudi Putra Handayani (PSMP) Handayani yang mengkhususkan sebagai pusat pelayanan anak nakal/anak berhadapan
dengan hukum (AN/ABH) dan rumah singgah anak jalanan yaitu rumah singgah
Akur Kurnia yang ada di Kramat Jati (Jakarta Timur) dan rumah singgah Swara di
Jatinegara (Jakarta Timur). Sedangkan sampel dalam penelitian ini adalah anak
yang pernah mengalami kekerasan yang berusia 18 tahun ke bawah dengan
jumlah 122 anak.
Pengambilan sampel dalam penelitian ini termasuk kategori nonprobality
sampling. Peneliti tidak mengetahui peluang terpilihnya seseorang karena tidak memiliki daftar anggota dari suatu populasi, peneliti mengambil sampel sesuai
3.2 Variabel Penelitian dan Defenisi Operasional Variabel 3.2.1 Variabel penelitian
Variabel penelitian dalam penelitian ini adalah:
1. Subjective well being (Y) 2. Social support
a) Guidance (X1)
b) Reliable alliance (X2)
c) Reassurance of worth (X3)
d) Opportunity for nurturance (X4)
e) Attachment (X5)
f) Social integration (X6)
3. Self-Efficacy (X7)
4. Jenis Kelamin (X8)
Dependen variabel (outcome variable) dalam penelitian ini adalah
subjective well being, sedangkan variabel social support , self-efficacy,dan jenis kelamin merupakan variabel independen (predictor variable).
3.2.2 Definisi opersional variabel penelitian
Agar dapat dilakukan pengukuran terhadap semua variabel penelitian perlu
ditetapkan definisi operasional dari semua variabel tersebut. Definisi operasional
masing-masing variabel dalam penelitian ini adalah:
1. Subjective well being merupakan persepsi anak yang mengalami kekerasan terhadap evaluasi kehidupannya, termasuk penilaian kognitif terhadap
diukur melalui aspek evaluasi kognitif (yang terdiri dari evaluasi kehidupan
secara menyeluruh, dan evaluasi kehidupan terhadap domain tertentu) dan
afeksi positif dan negatif .
2. Social support adalah seseorang yang memperoleh kenyamanan, perhatian, dan penghargaan yang diandalkan individu saat individu membutuhkan
bantuan dalam mengalami kesulitan, yang terdiri dari:
1. Guidance adalah seseorang yang memiliki orang lain (guru, sahabat, keluarga) dimana orang lain tersebut bisa membantu seperti memberikan
nasihat atau bimbingan ketika orang tersebut menghadapi
masalah-masalah.
2. Reliable Alliance adalah seseorang yang mendapat keyakinan dukungan sosial bahwa akan ada orang lain yang akan membantu ketika dalam
kesulitan atau masalah.
3. Reassurance of Worth adalah seseorang mendapat pengakuan dari orang lain atau lembaga terhadap kompetensi, keterampilan, dan nilai yang
dimiliki oleh seseorang.
4. Opportunity for nurturance (kesempatan memberikan perhatian pada orang lain), yaitu aspek paling penting dalam hubungan interpersonal akan
perasaan dibutuhkan oleh orang lain.
5. Attachment yaitu adanya perasaan kedekatan secara emosional kepada orang lain yang memberikan rasa aman, biasanya didapatkan dari
6. Social integration menunjukkan bagaimana peran seseorang dalam lingkungan sosialnya dan memungkinkan seseorang untuk memperoleh
perasaan memiliki suatu kelompok
3. Self-efficacy merupakan keyakinan seseorang dapat melakukan perilaku yang diperlukan untuk mencapai hasil yang diinginkan yang mencakup aspek
magnitude, strength, generality.
3.3 Instrumen Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan model skala likert, dimana variabel
penelitian dijadikan sebagai titik tolak penyusunan item-item instrumen. Jawaban
dari setiap instrumen ini memiliki gradasi dari tertinggi (sangat positif) sampai
terendah (sangat negatif), dengan 4 kategori jawaban, yaitu “Sangat Setuju” (SS),
“Setuju” (S), “Tidak Setuju” (TS), “Sangat Tidak Setuju” (STS).
Hal ini dilakukan untuk meghindari terjadinya pemusatan (central
tendency) atau menghindari jumlah respon yang bersifat netral. Model ini terdiri
dari pernyataan positif (favourable) dan pernyataan negatif (unfavourable).
Penskoran tertinggi diberikan pilihan sangat setuju dan terendah pada pernyataan
sangat tidak setuju untuk pernyataan favourable.
Selanjutnya pernyataan tertinggi untuk pernyataan unfavourable diberikan pada pilihan jawaban sangat tidak setuju dan skor terendah diberikan untuk
pilihan sangat setuju. Skor-skor tersebut dihitung dengan dua cara yaitu melalui
item favourable dan unfavourable, untuk item favourable penskorannya yaitu
Tabel 3.1 Skor Alat Ukur
Pilihan Pernyataan
Favorable Unfavorable
Sangat Setuju 4 1
Setuju 3 2
Tidak Setuju 2 3
Sangat Tidak Setuju 1 4
Dalam penelitian ini skala yang digunakan adalah sejumlah 4 bagian.
Pertama, bagian yang mengungkapkan data diri responden. Kedua, bagian yang
mengungkap subjective well being. ketiga, bagian yang mengungkapkan
self-efficacy dan keempat mengungkap tentang social support.Pada penelitian ini, instrumen pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan skala.
Skala yang digunakan dalam penelitian ini berupa skala subjective well being,
self-efficacy dan social support. Untuk skala SWB peneliti mengadaptasi dari skala baku yang disusun oleh Diener, untuk SWB peneliti memakai 3 alat ukur,
untuk dimensi kognitif SWB evaluasi secara keseluruhan meggunnakan SWLS
(Satisfaction With Life Scale) (1985) yang terdiri dari 5 item, kemudian untuk evaluasi terhadap kepuasan domain peneliti memakai alat ukur PFS
(Psychological Flourishing Scale) (2008) yang terdiri dari 12 item, dan untuk mengukur dimensi afektif SWB yaitu afek positif dan negatif peneliti memakai
SPANE (Scale of Positive and Negative Experience) (2009) yang terdiri dari 12
item. Untuk skala social support menggunakan kuesioner yang dibuat oleh
Russel dan Cutrona (1987) yang disebut dengan The Social Provisions Scale.
Kuesioner ini terdiri dari 24 item dengan menggunakan skala Likert. untuk skala
1. Skala Subjective well being
Skala untuk Subjective Well Being pada penelitian ini peneliti
mengadaptasi dari skala baku yang disusun oleh Diener. Alat ukur
yang mengukur SWB mempunyai tiga komponen. Pertama adalah
alat ukur kepuasan kehidupan secara menyeluruh, kedua adalah alat
ukur kepuasan kehidupan secara domain, dan ketiga alat ukur afektif.
Untuk alat ukur kepuasan hidup secara menyeluruh yang digunakan
adalah The Satisfaction With Life Scale (SWLS). Untuk mengukur
kepuasan hidup secara domain alat ukur ini diadaptasi dari Robert Biswas
Diener yaitu PFS (Psychological Flourishing Scale). Untuk mengukur
komponen afeksi positif dan negatif peneliti menggunakan alat ukur
Scale of Positive and Negative Scale (SPANE).
Tabel 3.2 Blueprint Skala Subjective Well Being
2. Skala Social Support
Skala dukunga sosial dalam penelitian ini mengadaptasi dari
kuesioner yang dibuat oleh Russel dan Cutrona (1987) yang disebut
Social Provisions Scale. Kuesioner ini terdiri dari 24 item dengan menggunakan skala Likert. Adapun lebih jelasnya sebagai berikut:
Tabel 3.3 Blueprint Skala Social Support
No. Dimensi Indikator Item Total
Fav Unfav
1. Guidance Adanya orang lain untuk memberi saran dan bimibingan
12,16 3,19 4
2. Reliable alliance Keberadaan orang lain yang dapat diandalkan
5. Attachment Kedekatan emosi individu dengan orang lain
11,17 2,21 4
6. Social integration Perasaan memiliki dalam kelompok
5,8 14,22 4
Total 24
3. Self-Efficacy
Alat ukur untuk mengukur self-efficacy yaitu menggunakan General
Tabel 3.4 Blue Print Skala Self-Efficacy
Untuk menguji validitas alat ukur yang digunakan, peneliti menggunakan
Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan bantuan software Lisrel 8.70. Adapun langkah-langkah untuk mendapatkan kriteria item yang baik pada CFA
adalah sebagai berikut:
1. Bahwa ada sebuah konsep atau trait berupa kemampuan yang
didefinisikan operasional sehingga dapat disusun pernyataan untuk
mengukurnya. Kemampuan ini disebut faktor sedangkan pengukuran
terhadap faktor ini dilakukan melalui analisis terhadap respon ata
item-itemnya.
2. Diteorikan setiap item hanya mengukur satu item saja, begitupun subtes
hanya mengukur satu faktor juga, artinya setiap item maupun subtes bersifat
undimensional.
3. Dengan data yang tersedia dapat digunakan untuk mengestimasi matriks
korelasi antar item yang seharusnya diperoleh jika memang
dengan matriks dari data empiris yang disebut matrik S. Jika teori
tersebut itu benar (undimensional) maka tentunya tidak ada perbedaan antara matriks S atau bisa juga dinyatakan ∑ - S = 0.
4. Pernyataan tersebut dijadikan hipotesis nihil yang kemudian diuji dengan chi square. Jika chi square tidak signifikan P > 0,05 maka hipotesis nihil tersebut “tidak ditolak”. Artinya teori undimensional tersebut dapat diterima
bahwa item ataupun subtes instrument hanya mengukur satu faktor saja.
5. Adapun dalam memodifikasi model pengukuran dilakukan dengan cara
membebaskan parameter berupa korelasi kesalahan pengukuran. Hal ini
terjadi ketika suatu item mengukur selain faktor yang hendak diukur. Setelah
beberapa kesalahan pengukuran dibebaskan untuk saling berkorelasi,
maka akan diperoleh model yang fit, maka model terakhir inilah yang
akan digunaka pada langkah selaknjutnya.
6. Jika model fit, maka langkah selanjutnya menguji apakah item signifikan atau
tidak mengukur apa yang hendak diukur, dengan menggunakan t-value. Jika
hasil t-value tidak signifikan (t<1,96) maka item tersebut tidak signifikan dalam mengukur apa yang hendak diukur, bila perlu item
yang demikian didrop dan sebaliknya.
7. Selain itu apabila dari hasil CFA terdapat item yang koefisien muatan
faktornya negatif, maka item tersebut harus didrop. Sebab hal ini tidak sesuai
dengan sifat item yang bersifat positif.
8. Setelah mendapatkan item dengan muatan faktor signifikan (t>1,96) dan
faktor skornya. Adapun skor faktor diitung untuk menghindari estimasi bias
dari kesalahan pengukuran. Untuk kemudahan didalam penafsiran hasil
analisis maka penulis mentransformasikan faktor skor yang diukur
dalam skala baku (Z score) menjadi Tscore yang memiliki mean = 50 dan
standar deviasi (SD) = 10 sehingga tidak ada responden yang mendapat skor
negatif. Adapun rumus T score adalah:
T score = (10 x skor faktor) + 50
3.4.1 Uji validitas alat ukur subjective well-being
a. Dimensi kognitif
Peneliti menguji apakah ke 17 item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur subjective well-being dari dimensi kognitif. Dari hasil analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit,
dengan Chi-square = 367,52 , df = 119, P-value = 0.00000, dan nilai RMSEA =
0.131. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama
lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-square= 102,34, df = 79, P-value
= 0.03991, RMSEA = 0.049.
Setelah di dapat nilai P-value > 0.05 dapat dinyatakan bahwa model
dengan satu faktor dapat diterima, artinya seluruh item hanya mengukur satu
faktor yaitu subjective well-being. Kemudian penulis melihat apakah item
tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan dan sekaligus
menentukan apakah item tersebut perlu didrop atau tidak, pengujiannya
Pada pengujian CFA ini, nilai t bagi koefisien muatan faktor semua item
signifikan karena t > 1.96 atau t < -1.96. Selanjutnya penulis melihat muatan
faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif atau tidak, tetapi diketahui
tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif.
Dari hasil korelasi kesalahan, diketahui bahwa item nomor 6,8, dan 14
memiliki korelasi kesalahan pengukuran lebih dari 4. Jika sebuah item
memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya lebih dari 4,
maka item tersebut mengukur hal lain selain apa yang hendak diukur. Tetapi,
dengan pertimbangan bahwa seluruh item telah valid berdasarkan dua kriteria
yaitu nilai koefisien muatan faktor tidak ada yang negatif dan t-value pada
semua item signifikan karena t > 1.96 atau t < -1.96, penulis memilih mendrop
item yang memiliki korelasi kesalahan lebih dari 4 secara bertahap dengan cara
satu persatu mendrop item dan melakukan uji CFA kembali hingga
mendapatkan model yang fit.
Dari hasil analisis CFA ketiga kalinya, yang dilakukan dengan model
satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 239,24, df = 77, P-value =
0.00000, RMSEA = 0.132. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi
terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan
berkorelasi satu sama lainnya, sehingga diperoleh model fit dengan Chi-square
Gambar 3.1 Path Diagram Subjective-Well-Being Dimensi Kognitif
Sehingga di dapatkan nilai koefisien muatan faktor, t-value dan jumlah
korelasi kesalahan pengukuran tiap item seperti yang dapat dilihat di tabel 3.5
dibawah ini:
Tabel 3.5 Muatan Faktor Subjective Well-Being Dimensi Kognitif
No. Item
Lambda Standard Error
t-value Signifikan Korelasi Kesalahan
1 0.57 0.09 6,17 V 4
2 0.64 0.09 7,13 V 4
3 0.66 0.09 7.67 V 3
4 0.59 0.09 6,77 V 2
5 0.20 0.10 1,99 V 2
7 0.59 0.09 6,59 V 3
9 0.64 0.09 7,47 V 2
10 0.69 0.09 7,95 V 2
11 0.53 0.09 5,78 V 4
12 0.50 0.09 5,41 V 4
13 0.33 0.10 3,40 V 4
15 0.20 0.10 2,08 V 3
16 0.36 0.09 3,76 V 1
Berdasarkan tabel 3.5, setelah dilakukan 3 kali pengujian CFA dengan
total 3 item yang di drop yaitu item 6, 8 dan 14, karena ketiga item tersebut
memiliki korelasi lebih dari 4. Nilai t bagi koefisien muatan faktor semua item
signifikan karena t > 1.96 atau t < -1.96. Lalu koefisien muatan faktor dari
seluruh item tidak ada yang memiliki nilai negatif, dan jumlah korelasi
kesalahan pengukuran tiap item tidak ada yang berjumlah lebih dari 4. Artinya,
ke 14 item merupakan item yang valid untuk mengukur subjective well-being
dimensi kognitif berdasarkan 3 kriteria yang telah dijelaskan sebelumnya.
b. Dimensi afektif
Peneliti menguji apakah ke 12 item yang ada bersifat unidimensional, artinya
benar hanya mengukur subjective well-being dari dimensi afektif. Dari hasil
analisis CFA yang dilakukan dengan model satu faktor, ternyata tidak fit,
dengan Chi-square = 279,98 , df = 54, P-value = 0.00000, dan nilai RMSEA =
0.186. Oleh sebab itu, penulis melakukan modifikasi terhadap model, dimana
kesalahan pengukuran pada beberapa item dibebaskan berkorelasi satu sama
lainnya, maka diperoleh model fit dengan Chi-square= 34,03, df = 36, P-value
= 0.56258, RMSEA = 0.0000.
Setelah di dapat nilai P-value > 0.05 dapat dinyatakan bahwa model
dengan satu faktor dapat diterima, artinya seluruh item hanya mengukur satu
faktor yaitu subjective well-being. Kemudian penulis melihat apakah item
tersebut mengukur faktor yang hendak diukur secara signifikan dan sekaligus
menentukan apakah item tersebut perlu didrop atau tidak, pengujiannya
Pada pengujian CFA ini, nilai t bagi koefisien muatan faktor semua
item signifikan karena t > 1.96 atau t < -1.96. Selanjutnya penulis melihat
muatan faktor dari item, apakah ada yang bermuatan negatif atau tidak, tetapi
diketahui tidak terdapat item yang muatan faktornya negatif.
Dari hasil korelasi kesalahan, diketahui bahwa item nomor 24
memiliki korelasi kesalahan pengukuran lebih dari 4. Jika sebuah item
memiliki korelasi kesalahan pengukuran dengan item lainnya lebih dari 4,
maka item tersebut mengukur hal lain selain apa yang hendak diukur. Tetapi,
dengan pertimbangan bahwa seluruh item telah valid berdasarkan dua kriteria
yaitu nilai koefisien muatan faktor tidak ada yang negatif dan t-value pada
semua item signifikan karena t > 1.96 atau t < -1.96, penulis memilih mendrop
item yang memiliki korelasi kesalahan lebih dari 4 secara bertahap dengan
cara satu persatu mendrop item dan melakukan uji CFA kembali hingga
mendapatkan model yang fit.
Dari hasil analisis CFA ketiga kalinya, yang dilakukan dengan model
satu faktor, ternyata tidak fit, dengan Chi-square = 191,98 , df = 44, P-value =
0.00000, dan nilai RMSEA = 0.167. Oleh sebab itu, penulis melakukan
modifikasi terhadap model, dimana kesalahan pengukuran pada beberapa item
dibebaskan berkorelasi satu sama lainnya, maka diperoleh model fit dengan
Gambar 3.2 Path Diagram Subjective-Well-Being Dimensi Afektif
Sehingga di dapatkan nilai koefisien muatan faktor, t-value dan jumlah
korelasi kesalahan pengukuran tiap item seperti yang dapat dilihat di tabel 3.6
dibawah ini:
Tabel 3.6 Muatan Faktor Subjective Well-Being Dimensi Afektif
No. Item
Lambda Standard Error
t-value Signifikan Korelasi Kesalahan
18 0.30 0.10 2,99 V 2
19 0.55 0.09 6,14 V 2
20 0.63 0.09 6.76 V 3
21 0.76 0.08 9,20 V 0
22 0.57 0.09 6,33 V 0
23 0.72 0.09 8,12 V 3
25 0.41 0.10 4,12 V 3
26 0.40 0.09 4,30 V 1
27 0.36 0.09 3,80 V 2
28 0.50 0.09 5,42 V 4