PENGARUH METODE
THINKING ALOUD PAIR
PROBLEM SOLVING (TAPPS)
TERHADAP
KEMAMPUAN BERPIKIR ANALITIS MATEMATIS
BERDASARKAN LEVEL KOGNITIF SISWA
Di MTs Hidayatul Umam
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Disusun oleh:
Mairanti Pratiwi
NIM 109017000032
JURUSAN PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
i
ABSTRAK
MAIRANTI PRATIWI (109017000032), ”Pengaruh Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Terhadap Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa”. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Januari 2014.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh metode pembelajaran, pengaruh level kognitif, dan pengaruh interaksi terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa. Penelitian ini dilakukan di Mts Hidayatul Umam Cinere Tahun Ajaran 2013/2014. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode quasi eksperimen dengan desain penelitian
Randomized Subjects Post-test Only Control Group Design, yang melibatkan 67 siswa sebagai sampel. Penentuan sampel menggunakan teknik cluster random sampling. Pengumpulan data setelah perlakuan dilakukan dengan menggunakan tes kemampuan berpikir analitis matematis siswa. Siswa juga dikategorikan berdasarkan level kognitif siswa dengan memberikan tes materi prasyarat terlebih dahulu.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa terdapat pengaruh metode pembelajaran terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa. Perbedaan metode pembelajaran yang diajarkan berpengaruh terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa. Metode thinking aloud pair problem solving
memberikan kemampuan berpikir analitis matematis yang lebih baik. Terdapat pengaruh Level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa. Perbedaan level kognitif berpengaruh terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa. Level kognitif yang lebih tinggi memberikan kemampuan berpikir analitis matematis yang lebih baik. Tetapi tidak terdapat pengaruh interaksi metode pembelajaran dengan level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa, hal ini dapat disimpulkan bahwa metode pembelajaran thinking aloud pair problem solving cocok/sesuai untuk semua level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa.
ii
Pair Problem Solving Method to Mathematical Analytical Thinking Skill Based on the Cognitive Level of Student". Thesis Department of Mathematics Education, Faculty of Tarbiyah and Teaching, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta, January 2014.
The purpose of this research is to determine the effect of learning methods, the influence of cognitive levels, and the effect of the interaction of the mathematical analytical thinking skill of students. The research was conducted at Mts Hidayatul Umam Cinere for academic year 2013/2014. The method used in this research is quasi experimental method with Randomized Subjects Post-test Only Control Group Design, involve 67 students as sample. To determine sample used cluster random sampling technique. Retrieval of data used instruments such as written essay test. Data collection after the treatment is done by using analytical test students mathematical thinking skills. Students are also first categorized by cognitive levels test prerequisites material.
The results of the study revealed that there are significant effect learning method on students mathematical analytical thinking skill. The difference learning methods are taught effects the students mathematical analytical thinking skill. Thinking aloud pair problem solving method gives mathematical analytical thinking skill better. There are significant effect cognitive level of the students mathematical analytical thinking skill. The difference cognitive levels are taught effects the mathematical analytical thinking skill. Cognitive level better are providing mathematical analytical thinking skill better. But there is no interaction effect learning methods with the level of cognitive to mathematical analytical thinking skill of students. The conclusion is learning thinking aloud pair problem solving method suitable/appropriate for all cognitive levels skill to students mathematical analytical thinking skill.
iii
KATA PENGANTAR
ﻳﺤﺭﻟﺍﻦ ﺤﺭﻟﺍﷲﺍ ﺳﺑ
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan kemudahan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Penyelamat umat, pemberi syafaat hingga yaumil kiamat.
Selama penulisan skripsi ini, penulis menyadari sepenuhnya bahwa kemampuan dan pengetahuan penulis sangat terbatas. Namun, berkat dorongan serta masukan-masukan yang positif dari berbagai pihak sangat membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Oleh sebab itu penulis mengucapkan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Nurlena Rifa’I, Ph.D, Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Maifalinda Fatra, M. Pd, selaku Ketua Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Otong Suhyanto, M. Si, sebagai Sekretaris Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Maifalinda Fatra, M. Pd, selaku dosen penasehat akademik kelas A Jurusan Pendidikan Matematika Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Uin Syarif Hidayatullah Jakarta.
5. Abdul Muin, S.Si, M. Pd, selaku dosen pembimbing I yang selalu memberikan bimbingan, kesabaran, pengarahan, waktu dan semangat dalam penulisan skripsi ini.
6. Otong Suhyanto, M. Si, selaku pembimbing II yang selalu memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penulisan skripsi ini.
iv
9. Pimpinan dan staf Perpustakaan Umum dan Perpustakaan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu penulis dalam menyediakan serta memberikan pinjaman literatur yang dibutuhkan.
10.Dedi Jayadi, S.Ag, selaku kepala Mts Hidayatul Umam Cinere, yang telah memberikan izin kepada penulis dalam melakukan penelitian.
11.Ila Bainatul, selaku guru pamong tempat penulis mengadakan penelitian. 12.Siswa dan siswi kelas VIII Mts Hidayatul Umam, khususnya kelas VIII-1 dan
VIII-3 yang telah bersikap kooperatif selama penulis mengadakan penelitian. 13.Keluarga tercinta Ayahanda alm. Thamrin, Ibunda Widihastuti yang tak
henti-hentinya mendoakan, melimpahkan kasih sayang dan memberikan dukungan moril dan materil kepada penulis. Serta semua keluarga yang selalu mendoakan, mendorong penulis untuk tetap semangat dalam mengejar dan meraih cita-cita.
14.Teman-teman seperjuangan Jurusan Pendidikan Matematika Angkatan ’09, kelas A, B dan C terutama Annisaa, Citra, Linda, Sakhina, Nurul, Marpuah, Ila, Esti, dan Tommy yang selalu memberikan motivasi dan saling bertukar informasi selama penulisan skripsi ini.
15.Orang terdekat saudara Taufik Rachman, SE, yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.
16.Dan kepada semua pihak terkait yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT dapat menerima sebagai amal kebaikan atas jasa baik yang diberikan kepada penulis.
v
kesempurnaan penulis dimasa datang. Penulis mengharapkan semoga skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan bermanfaat bagi yang membacanya.
Jakarta, 30 Desember 2013
vi
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A.Latar Belakang Masalah ... 1
B.Identifikasi Masalah ... 6
C.Pembatasan Masalah ... 6
D.Perumusan Masalah... 6
E. Tujuan Penelitian... 6
F. Manfaat Penelitian... 7
BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS ... 8
A.Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa ... 8
B.Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving ... 10
1. Pengertian Metode Pembelajaran TAPPS ... 10
2. Keunggulan Metode Pembelajaran TAPPS... 13
C.Pembelajaran Konvensional ... 16
D.Level Kognitif Siswa ... 18
E. Penelitian Yang Relevan ... 20
F. Kerangka Berpikir ... 21
G.Hipotesis Penelitian ... 23
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 24
A.Tempat dan Waktu Penelitian ... 24
B.Metode dan Desain Penelitian ... 24
C.Populasi dan Sampel ... 25
vii
E. Uji Instrumen Tes Penelitian ... 28
F. Analisis Data ... 33
G.Hipotesis Statistik ... 38
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 40
A.Deskripsi Data ... 40
B.Pengujian Persyaratan Analisis dan Pengujian Hipotesis ... 48
1. Pengujian Persyaratan Analisis ... 48
1) Uji Normalitas ... 48
a. Uji Normalitas Kelompok Eksperimen Level Sedang .... 48
b. Uji Normalitas Kelompok Eksperimen Level Rendah ... 48
c. Uji Normalitas Kelompok Kontrol Level Sedang ... 49
d. Uji Normalitas Kelompok Kontrol Level Rendah ... 49
2) Uji Homogenitas ... 50
2. Hasil Pengujian Hipotesis... 51
3. Pembahasan ... 53
C.Keterbatasan Penelitian ... 59
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 60
A.Kesimpulan... 60
B.Saran ... 61
DAFTAR PUSTAKA ... 62
viii
Tabel 2.2 Level Fungsi Kognitif ...20
Tabel 3.1 Desain Penelitian ...25
Tabel 3.2 Kisi-kisi Intstrumen Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa ...27
Tabel 3.3 Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel ...28
Tabel 3.4 Rekapitulasi Hasil Uji Validitas, Daya Pembeda dan Taraf Kesukaran ...32
Tabel 3.5 Hasil Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ...36
Tabel 4.1 Hasil Tes Kemampuan berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ...41
Tabel 4.2 Hasil Tes Transformasi Kemampuan berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol ...42
Tabel 4.3 Perbandingan nilai kelas eksperimen dan kelas kontrol ...46
Tabel 4.4 Rangkuman Hasil Uji Normalitas ...49
Tabel 4.5 Rangkuman Hasil Uji Homogenitas ...50
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Grafik Perbandingan Nilai Kemampuan Berpikir Analitis
Matematis ...46 Gambar 4.2 Grafik Interaksi Metode Pembelajaran dan Level Kognitif
terhadap Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa ...52
Gambar 4.3 Hasil Jawaban Siswa Level Kognitif Sedang Kelas Eksperimen
...55 Gambar 4.4 Hasil Jawaban Siswa Level Kognitif Sedang Kelas Kontrol ...56
Gambar 4.5 Hasil Jawaban Siswa Level Kognitif Rendah Kelas
Eksperimen ...57 Gambar 4.6 Hasil Jawaban Siswa Level Kognitif Rendah Kelas Kontrol ...58
x
Lampiran 1 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Eksperimen ...65
Lampiran 2 Rencana Pelaksanaan Pembelajaran Kelompok Kontrol ...79
Lampiran 3 Lembar Kerja Siswa (LKS) Kelompok Eksperimen ...89
Lampiran 4 Lembar Kerja Siswa (LKS) Kelompok Kontrol ...120
Lampiran 5 Kisi-kisi Tes Materi Prasyarat ...140
Lampiran 6 Tes Materi Prasyarat SPLDV ...142
Lampiran 7 Kisi-kisi Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa ...143
Lampiran 8 Soal Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa ...144
Lampiran 9 Kunci Jawaban Uji Coba Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa ...146
Lampiran 10 Perhitungan Uji Validitas Isi dengan Metode Pearson ...150
Lampiran 11 Hasil Uji Validitas Isi Menggunakan Software Excel ...151
Lampiran 12 Perhitungan Uji Reliabilitas ...152
Lampiran 13 Hasil Uji Reliabilitas Menggunakan Software Excel ...153
Lampiran 14 Perhitungan Uji Taraf Kesukaran ...154
Lampiran 15 Perhitungan Uji Taraf Kesukaran Menggunakan Software Excel ... 155 Lampiran 16 Perhitungan Uji Daya Pembeda ...156
Lampiran 17 Perhitungan Uji Daya Pembeda Menggunakan Software Excel 157 Lampiran 18 Kisi-kisi Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Analitis ...158
Lampiran 19 Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Analitis Matematis ...159
Lampiran 20 Kunci Jawaban Instrumen Tes Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa ...161 Lampiran 21 Hasil Tes Transformasi Kemampuan Berpikir Analitis
xi
Eksperimen dan Kelompok Kontrol ...165
Lampiran 22 Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Eksperimen Level Kognitif Sedang ...166
Lampiran 23 Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Eksperimen Level Kognitif Rendah ...168
Lampiran 24 Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Kontrol Level Kognitif Sedang ...169
Lampiran 25 Perhitungan Uji Normalitas Kelompok Kontrol Level Kognitif Rendah ...170
Lampiran 26 Perhitungan Uji Homogenitas ...171
Lampiran 27 Hasil uji hipotesis menggunakan SPSS ...173
Lampiran 28 Tabel Nilai Koefisien Korelasi “r” Product Moment dari Pearson ...174
Lampiran 29 Tabel Daftar Nilai Kritis untuk Uji Lilliefors ... 176
Lampiran 30 Tabel Chi Square untuk Uji Barttlet ...177
Lampiran 31 Daftar Wawancara Pra Penelitian ...178
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Belajar merupakan kewajiban bagi setiap manusia dalam mendapatkan ilmu pengetahuan untuk meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Seperti hadis Nabi Muhammad SAW:
( )
“Dari Anas r.a Carilah ilmu walaupun sampai ke negeri Cina, karena sesungguhnya mencari ilmu diwajibkan atas setiap muslim, sesungguhnya para
malaikat meletakkan sayap-sayapnya bagi penuntut ilmu karena rida kepada apa
yang dicarinya.”(HR Ibnu Abdul Bar).1
Berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW tersebut dapat dikatakan bahwa menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap muslimin di muka bumi ini. Siapapun, kapanpun, dan dimanapun proses belajar akan terus terjadi. Dalam kemajuan ilmu pengetahuan pada zaman sekarang ini, ilmu pendidikan dituntut untuk memberikan pengaruh yang nyata dalam upaya meningkatkan kemajuan bangsa. Selain itu, ilmu pendidikan juga dituntut untuk melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas dan berakhlak mulia yaitu ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Hal ini sesuai dengan Undang-undang dasar Sistem Pendidikan Nasional Bab II pasal 3 diungkapkan fungsi dan tujuan pendidikan adalah:
1
2
Pendidikan nasional berfungsi mengembangakan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggung jawab.2
Untuk mewujudkan tujuan pendidikan tersebut diperlukan usaha-usaha yang serius dari semua aspek yang terlibat. Pendidikan merupakan aspek penting dalam pembangunan masa depan, sehingga sangat dibutuhkan perhatian khusus dari semua pihak dalam pengembangannya. Pengembangan pendidikan tidak hanya menarik perhatian dari pemerintah saja, namun semua aspek juga harus terlibat dalam pengembangannya terutama peran guru yang dapat mempengaruhi kemajuan pendidikan bangsa ini. Peningkatan kualitas pendidikan ditentukan oleh kemampuan guru dalam mengajar dan mengelola kelas saat proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran ini, siswa memperoleh suatu pengetahuan yang akan dapat dikembangkan pada proses pembelajaran berikutnya.
Siswa memperoleh pendidikan formal yaitu dalam lingkungan sekolah. Salah satu mata pelajaran yang didapat siswa disekolah untuk dipelajari dalam setiap jenjang pendidikan adalah matematika. Russel mendefinisikan bahwa matematika sebagai suatu studi yang dimulai dari pengkajian bagian-bagian yang tersusun baik (konstruktif), secara bertahap menuju arah yang rumit (kompleks) dari bilangan bulat ke bilangan pecahan, bilangan riil ke bilangan kompleks, dari penjumlahan dan perkalian ke diferensial dan integral, dan menuju matematika yang lebih tinggi.3
Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik, hal ini terjadi karena proses pembelajaran hingga dewasa ini masih memberikan dominasi guru dan tidak
2
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, (http://www.unpad.ac.id/wp-content/uploads/2012/10/UU20-2003-Sisdiknas.pdf)
memberikan akses bagi anak didik untuk berkembang secara mandiri melalui penemuan dalam proses berpikirnya.4
Hal senada juga diungkapkan Erman Suherman faktor penyebab rendahnya nilai matematika siswa yaitu umumnya guru masih menggunakan metode konvensional, guru mendominasi kelas sedangkan siswa tidak terlibat aktif dalam proses pembelajaran, siswa hanya duduk manis, mendengarkan, dan siswa hanya menerima bahan jadi tanpa adanya analisis tentang kebenarannya, sehingga soal-soal yang diberikan tidak bervariasi dan tidak jarang hanya bersifat soal-soal rutin saja.5
Sejalan dengan hasil wawancara yang dilakukan peneliti pada guru matematika kelas VIII MTS Hidayatul Umam, diperoleh informasi bahwa kemampuan siswa dalam pembelajaran matematika masih sangat rendah hal ini dikarenakan siswa masih kesulitan dalam kemampuan operasi dasar matematika, kemampuan siswa juga masih rendah jika diberikan soal-soal tingkatan analisis. Siswa masih mengalami kesulitan menganalisis soal jika diberikan soal yang berbeda dengan contoh yang diberikan oleh guru. Selain itu, dalam pembelajaran masih didominasi oleh guru dengan menerapkan metode pembelajaran secara konvensional yaitu ceramah, sehingga siswa tidak terlibat aktif pada saat pembelajaran dikelas jika ada materi pelajaran yang kurang dipahami.
Pentingnya kemampuan berpikir analitis matematis, menjadikan kemampuan analitis matematis perlu perhatian khusus untuk dilatih kepada siswa di sekolah. Apabila siswa mampu memungsikan tingkat analisis dalam pembelajaran matematika, siswa akan mampu menyelesaikan soal-soal dengan kasus yang berbeda dari contoh yang diberikan oleh guru.
Menurut Wina Sanjaya, kemampuan analisis adalah kemampuan menguraikan atau memecah suatu bahan pelajaran ke dalam bagian-bagiannya
4
Trianto, Mendesain Model Pembelajaran Inovatif, Progresif, Konsep Landasan, dan Implementasinya pada Kurklulum Tibkat Satuan Pendidikan (KTSP), (Jakarta: Kencana, 2010), h. 5
5
4
yang merupakan tujuan pembelajaran yang kompleks yang hanya mungkin dipahami oleh siswa yang telah dapat menguasai kemampuan memahami dan menerapkan.6
Berdasarkan pendapat Wina Sanjaya tersebut dapat dipahami bahwa kemampuan berpikir analitis membutuhkan level kognitif siswa tingkat tinggi. Siswa dapat mencapai pengetahuan analisis ketika siswa telah menguasai level kognitif tingkat rendah yaitu pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi. Hal serupa juga dikemukan dalam taksonomi Bloom yang membagi daerah kognitif kedalam 6 aspek besar yang tersusun secara hirarki (terurut menurut kesukarannya), yaitu: pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi, ketiga aspek terakhir itu termasuk untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah.7 Salah satu daya matematika yang diungkapkan Oemar Hamalik adalah “matematika sebagai salah satu cara untuk meningkatkan kemampuan memecahkan masalah”.8
Wahyudin juga menyatakan pembelajaran matematika yang pasif kemungkinan besar membuat kegagalan pada siswa, karena guru hanya memberikan materi-materi untuk membangun pengetahuan siswa tanpa membuat siswa terlibat secara aktif dalam pembelajaran yang membuat kejenuhan siswa dalam belajar.9 Dengan demikian, diduga dalam pembelajaran untuk meningkatkan kemampuan analitis matematis siswa harus berawal dari pembelajaran yang membuat siswa aktif. Oleh karena itu, perlu adanya upaya untuk mencari dan menerapkan metode pembelajaran yang membuat siswa aktif di kelas dan mampu meningkatkan kemampuan pemahaman dan aplikasi matematika siswa sehingga siswa dapat meningkatkan kemampuan berpikir analitis matematisnya.
6
Wina Sanjaya, a, Perencanaan dan Desain Sistem Pembelajaran, (Jakarta: Kencana, 2008), h.127
7
Ruseffendi, Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA, (Bandung: Tarsito, 2006), h. 220
8
Oemar Hamalik, Perencanaan Pengajaran Berdasarkan Pendekatan Sistem, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2003), h.
9Supardi, “
Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) merupakan salah satu metode dengan menggunakan pendekatan pemecahan masalah, yang juga mampu melibatkan siswa secara aktif. Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) pertama kali diperkenalkan oleh Claparede yang kemudian digunakan oleh bloom dan Broader untuk meneliti proses pemecahan masalah siswa.10 Ide di balik metode TAPPS adalah proses penyajian pemecahan masalah membantu keterampilan berpikir analisis, juga dapat membantu membangun kerangka kontekstual yang diperlukan untuk pemahaman, siswa dapat berlatih konsep, menghubungkannya dengan kerangka kerja yang ada, dan menghasilkan pemahaman yang lebih dalam materi.11
Metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS) melibatkan siswa bekerja secara berpasangan dengan tugas yang berbeda untuk setiap siswa, satu pihak siswa sebagai problem solver yaitu bertugas menyelesaikan permasalahan yang diberikan dan menjelaskannya kepada listener dan satu pihak siswa lainnya sebagai listener dan ketika menjadi seorang problem solver, siswa harus dapat menemukan ide-ide, memahami konsep matematika yang dipelajari untuk dapat menyelesaikan permasalahannya, memahami urutan langkah-langkah yang mendasari pemikiran mereka, dan dapat mengidentifikasi kesalahan yang dilakukan.12 Sehingga pada saat siswa menjadi seorang problem solver, siswa dapat melatih kemampuan berpikir analitis matematis mereka. Dengan metode pembelajaran TAPPS, diharapkan kemampuan pemahaman konsep dan kemampuan mengaplikasikan konsep matematis siswa akan terus terlatih sampai akhirnya kemampuan analitis matematis siswa dapat menjadi lebih baik.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk meneliti “Pengaruh Metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) Terhadap Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif
Siswa”.
10
Harry Benham, Using “Talking Aloud Pair Problem Solving” To Enhance Student Performance In Productivity Software Course, Vol X, 2009, h. 150
11
Thinking Aloud pair Problem Solving (TAPPS), (http://www.wcer.wisc.edu/archive/cl1/cl/doingcl/tapps.htm), diakses pada 25 Januari 2013
12
6
B.
Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka identifikasi masalah dalam uraian tersebut adalah sebagai berikut:
1. masih rendahnya kemampuan berpikir analitis matematis siswa
2. guru masih menggunakan metode pembelajaran konvensional yang hanya bersifat satu arah
3. siswa kurang aktif dalam pembelajaran matematika
C.
Pembatasan Masalah
Untuk menghindari meluasnya permasalahan yang muncul dalam identifikasi masalah, penulis dalam hal ini membatasi permasalahan yang hendak diteliti yaitu mengenai rendahnya kemampuan berpikir analitis matematis siswa. Untuk mengatasi permasalahan tersebut akan diterapkan salah satu metode pembelajaran yaitu metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS).
D.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka masalah dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. apakah terdapat pengaruh metode pembelajaran terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa?
2. apakah terdapat pengaruh level kognitif siswa terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa?
3. apakah terdapat pengaruh interaksi antara metode pembelajaran dan level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa?
E.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
2. mengetahui pengaruh level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa.
3. mengetahui pengaruh interaksi metode pembelajaran dan level kognitif terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa.
F.
Manfaat Penelitian
1. Bagi Sekolah, dapat memberikan masukan yang baik kepada sekolah dalam rangka perbaikan atau peningkatan pembelajaran.
2. Bagi Guru, memperoleh pengalaman dalam menentukan metode pembelajaran yang tepat bagi siswa untuk meningkatkan kemampuan berpikir analitis matematis siswa, khususnya metode Thinking Aloud Pair Problem Solving
(TAPPS).
3. Bagi Siswa, penerapan metode Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) dalam pembelajaran diharapkan dapat meningkatkan kemampuan berpikir analitis matematis siswa, mendorong siswa untuk menyenangi matematika dan memahami konsep-konsep matematika serta dapat berperan aktif dalam mengkonstruksi sendiri pengetahuannya.
8
BAB II
LANDASAN TEORI, KERANGKA BERFIKIR, DAN
PENGAJUAN HIPOTESIS
A.
Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Siswa
Terdapat banyak pendapat mengenai definisi matematika yang diungkapkan menurut para pakar, sehingga belum ada kesepakatan definisi tunggal dari matematika. Matematika berasal dari bahasa Latin mathematika yang mulanya diambil dari bahasa Yunani mathematike yang bearti mempelajari.1 Menurut Johnson dan Myklebust, “matematika adalah bahasa simbolis yang fungsi praktisnya untuk mengekspresikan hubungan-hubungan kuantitatif dan keruangan sedangkan fungsi teoretisnya adalah untuk memudahkan berpikir”.2 Pakar lain, Soedjadi memandang bahwa “matematika merupakan ilmu yang bersifat abstrak, aksiomatik, dan deduktif”.3
Kemampuan analisis menurut Wina Sanjaya adalah kemampuan menguraikan atau memecah suatu bahan pelajaran ke dalam bagian-bagiannya yang merupakan tujuan pembelajaran yang kompleks yang hanya mungkin dipahami oleh siswa yang telah dapat menguasai kemampuan memahami dan menerapkan.4 Dengan kata lain, kemampuan berpikir analitis membutuhkan kemampuan siswa yang mempunyai level kognitif tingkat atas.
Hal serupa juga dikemukakan oleh Benyamin S. bloom mengelompokkan kemampuan kognitif ke dalam 6 aspek (kelompok) besar yang tersusun secara hirarki (terurut menurut kesukarannya), yaitu pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis, dan evaluasi, ketiga aspek terakhir
1
Erna Suwangsih dan Tiurlina, Model Pembelajaran Matematika, (Bandung: UPI PRESS, 2006), h. 3
2
Mulyono Abdurrahman, Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar, (Jakarta:Rineka Cipta, 1999), h. 252
3
Hamzah B. Uno, Mengelola Kecerdasan dalam Pembelajaran Sebuah Konsep Pembelajaran Berbasis Kecerdasan, (Jakarta: Bumu Aksara, 2009), h. 108
4
termasuk untuk mengukur kemampuan pemecahan masalah.5 Siswa untuk dapat memahami kemampuan analisisnya ia terlebih dahulu menguasai pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi matematikanya.
Menurut Ruseffendi, menganalisis adalah kemampuan memisahkan materi (informasi) ke dalam bagian-bagian yang perlu, mencari hubungan antara bagian-bagiannya, dan mengamati sistem bagian-bagiannya, serta analisis itu termasuk juga kemampuan menyelesaikan soal-soal yang tidak rutin, menemukan hubungan, membuktikan, merumuskan serta menunjukkan benarnya suatu generalisasi.6
Merrill juga menguraikan bahwa menganalisis adalah menjabarkan komponen dengan membedakan dari bentuk, fungsi, tujuan, dengan rincian dalam menganalisis yaitu: membedakan, menyusun kembali, menandai.7 Menurut Nasution, berpikir analitis berlangsung selangkah demi selangkah dan tiap langkah itu tegas dapat dijelaskan kepada orang lain.8
Analisis dapat dibedakan menjadi:
1. Analisis unsur-unsur, yaitu kemampuan untuk mengenali hal-hal yang tidak diketahui dan keterampilan membedakan fakta dari hipotesis.
2. Analisis hubungan, yaitu kemampuan untuk memahami hubungan dari ide-ide yang ada.
3. Analisis prinsip-prinsip keteraturan, yaitu kemampuan mengenal relevansi dan menghubungkan atau memberi kesimpulan dari teori-teori yang ada.9
Permasalahan yang dihadapi dapat dikatakan masalah jika masalah tersebut tidak bisa dijawab secara langsung, karena harus menyeleksi informasi (data) terlebih dahulu, serta jawaban yang diperoleh bukanlah kategori masalah
5
Ruseffendi, Pengantar Kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika Untuk meningkatkan CBSA, (Bandung: PT. Tarsito bandung, 2006), h. 220-224
6
ibid, h. 223
7
Dewi Salma Prawiradilaga, Prinsip Desain Pembelajaran (Instructional Design Principles), (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), Cetakan kedua, h. 95
8
Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar & Mengajar, (Jakarta: PT Bumi Aksara,2003), Cetakan kedelapan, h. 11
9
10
yang rutin (tidak sekedar memindahkan/mentransformasi dari bentuk kalimat biasa kepada kalimat matematika).10
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan definisi bahwa kemampuan berpikir analitis matematis adalah kemampuan dalam menguraikan permasalahan matematis menjadi bagian-bagian sub masalah yang lebih kecil yang saling terkait untuk diselesaikan secara parsial dan keseluruhan. Permasalahan matematis adalah suatu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara langsung yang hanya sekedar memindahkan informasi, tetapi terlebih dahulu mendata informasi yang terdapat dalam masalah tersebut.
Adapun indikator dari kemampuan berpikir analitis berdasarkan penjelasan diatas diantaranya:
1. menguraikan masalah menjadi sub masalah.
2. menghubungkan antara sub masalah matematis yang diketahui.
3. menyelesaikan masalah matematis berdasarkan sub masalah yang diperoleh.
B.
Metode Pembelajaran
Thinking Aloud Pair Problem Solving
(TAPPS)
1. Pengertian Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)
Metode pembelajaran adalah upaya mengimplementasikan rencana pembelajaran yang telah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai secara optimal, dengan kata lain metode adalah a way in achieving something.11 Metode pembelajaran harus dirancang sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.
Salah satu metode pembelajaran yang dapat digunakan adalah metode
Thinking aloud pair problem solving. Thinking aloud pair problem solving
(TAPPS) adalah metode artikulasi-refleksi yang dikembangkan dan diteliti selama bertahun-tahun oleh Whimbey dan Lochhead yang merupakan suatu metode
10
Nahrowi Adjie dan Maulana, Pemecahan Masalah Matematika, (Bandung: UPI Press, 2006), cetakan pertama, h. 4
11
pembelajaran yang mengkombinasikan dari berpikir keras dan teknik mengungkapkan kembali.12 David mengungkapkan metode ini melibatkan siswa bekerjasama dengan cara berpasangan dalam menyelesaikan suatu masalah, setiap siswa mempunyai tugas masing-masing yaitu menjadi problem solver dan
listener.13
Problem solver bertugas untuk mengungkapkan semua hal yang terpikirkan dalam menyelesaikan suatu masalah dalam soal tersebut kepada pendengar atau listener, sedangkan listener bertugas untuk mendengarkan semua pendapat dari problem solver, memahami setiap langkah maupun kesalahan yang dibuat problem solver, jika menemukan kesalahan, listener hanya menunjukkan kesalahan tetapi tidak berusaha untuk memperbaikinya, Listener harus terus mengajukan pertanyaan kepada problem solver untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan problem solver terhadap masalah yang ia hadapi.14
Menurut Harry Benham, peran listener lebih sulit daripada peran
problem solver, dikarenakan listener harus terlibat penuh dalam proses pemecahan masalah yang diungkapkan oleh problem solver.15
Metode ini melibatkan siswa bekerja secara berpasangan dengan tugas yang berbeda untuk setiap siswa. Satu pihak siswa bertugas memecahkan masalah yang secara tidak langsung membantu proses berpikir analitis siswa dan menjelaskan seluruh langkah pemecahan masalah yang dilakukan siswa tersebut kepada pasangannya. Serta satu pihak siswa lainnya bertugas sebagai pendengar dari penjelasan yang dikemukakan temannya.
Langkah-langkah dalam metode pembelajaran Thinking Aloud pair Problem Solving (TAPPS) yaitu:
1. memberikan suatu masalah yang terkait dalam pembelajaran kepada siswa yang dapat diselesaikan dalam jangka waktu terbatas. Masalah harus melibatkan siswa dalam keterampilan pemecahan masalah seperti
12
David H. Jonassen, Learning to solve Problems An Instructional Design Guide, (San Fransisco: 2004), h. 139
13 Ibid 14
Ibid
15
12
mengidentifikasi sifat dari masalah, menganalisis pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan untuk mencapai solusi, mengidentifikasi solusi, memilih solusi terbaik dan mengevaluasi hasil. Untuk lebih efektif, masalah yang diberikan harus menantang siswa, mengharuskan mereka untuk berkonsentrasi dan fokus, apakah mereka bertugas sebagai problem solver atau
listener.
2. memberikan lembar kerja
3. meminta siswa untuk membentuk pasangan dan menjelaskan kepada siswa peran problem solver dan listener.
Tugas seorang problem solver (PS) sebagai berikut: 1) membaca soal dengan cukup keras.
2) mulai menyelesaikan dengan cara sendiri. Problem solver mengemukakan semua pendapat serta gagasan yang terpikirkan, mengemukakan semua langkah yang akan dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut serta menjelaskan apa, mengapa, dan bagaimana langkah tersebut diambil agar
listener mengerti penyelesaian yang dilakukan problem solver.
3) problem solver harus lebih berani dalam mengungkapkan segala hasil pemikirannya. Anggaplah bahwa listener tidak sedang mengevaluasi.
4) mencoba untuk terus menyelesaikan masalah sekalipun problem solver
menganggap masalah tersebut sulit. Tugas seorang listener (L)sebagai berikut:
1) menuntun problem solver untuk tetap berbicara dan menjelaskan langkah-langkah untuk memecahkan masalah.
2) listener juga dapat mengajukan pertanyaan klarifikasi dan menawarkan saran, tetapi harus menahan diri dari benar-benar memecahkan masalah 3) seteleh suatu masalah selesai terpecahkan, kedua siswa diminta untuk
bertukar tugas.
4) selesai ketika siswa telah memecahkan semua masalah.16
16
2. Keunggulan Metode Pembelajaran Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS)
Menurut Slavin metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS) dapat memungkinkan siswa untuk berlatih konsep, menghubungkannya dengan kerangka kerja yang ada, dan menghasilkan pemahaman yang lebih dalam materi yang dipelajari siswa.17 Elizabeth juga mengutarakan bahwa metode TAPPS dapat meningkatkan kemampuan analitis dengan membantu siswa untuk mengutarakan gagasan, berlatih konsep, memahami urutan langkah-langkah yang mendasari pemikiran dalam menyelesaikan masalah yang diberikan dan dapat mengidentifikasi kesalahan dalam penalaran orang lain.18
Menurut David, dalam menggunakan metode TAPPS siswa menyampaikan hasil pemikiran yang telah diselesaikan kepada siswa lainnya, dapat membantu mengingat langkah-langkah dari cara kerja yang diselesaikan dalam memecahkan masalah yang diberikan.19
Berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa terdapat beberapa keunggulan dalam pembelajaran dengan menggunakan metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS), diantaranaya:
1. ketika menyelesaikan permasalahan siswa menjadi seorang problem solver, memungkinkan siswa dapat berlatih konsep dan dapat menghubungkan dengan kerangka kerja yang ada.
2. dapat meningkatkan kemampuan berpikir analitis
3. dapat membantu mengingat langkah-langkah dari cara kerja yang diselesaikan ketika menyampaikan hasil pemikiran dalam menyelesaikan permasalahan. 4. meningkatkan kemampuan mendengarkan aktif
5. menumbuhkan rasa percaya diri dalam memecahkan masalah.
Melalui metode TAPPS siswa belajar bertanggung jawab dalam menyelesaikan suatu permasalahan yang diberikan dan juga bertanggung jawab dalam tugas yang diperankan oleh tiap-tiap siswa. Tidak sekedar menjadi
17
Thinking Aloud pair Problem Solving (TAPPS), (http://www.wcer.wisc.edu/archive/cl1/cl/doingcl/tapps.htm), diakses pada 25 Januari 2013
18
Elizabeth, op. cit, h.259 19
14
penerima informasi yang pasif, siswa juga harus terlibat aktif dalam mencari informasi-informasi yang diperlukan untuk memecahkan masalah.
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan definisi bahwa metode
thinking aloud pair problem solving (TAPPS) merupakan metode pembelajaran yang mengelompokkan siswa secara berpasangan yang tiap siswa mempunyai peran dan tugas masing-masing yaitu sebagai problem solver dan listener. Probelm solver bertugas untuk mengungkapkan setiap langkah penyelesaian dari masalah yang diselesaikannya kepada listener dan listener bertugas mendengarkan setiap langkah penyelesaian yang disampaikan oleh problem solver
serta berhak mengarahkan jawaban jika menemukan kesalahan.
Adapun langkah-langkah atau prosedur pembelajaran matematika dengan menggunakan metode TAPPS dapat digambarkan sebagai berikut:
Tabel 2.1
Tahapan Pelaksanaan Metode TAPPS Tahapan Kegiatan Kegiatan Pembelajaran
Pendahuluan
- Guru dan siswa berdoa bersama
- Mengkondisikan kelas, guru melakukan absensi siswa
- Guru menyampaikan apersepsi dan motivasi kepada siswa
- Guru menyampaikan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai setelah proses pembelajaran - Menginformasikan kepada siswa bahwa metode
yang digunakan pada setiap pertemuan yaitu metode TAPPS dan menyampaikan prosedur pelaksanaannya.
Kegiatan inti
Eksplorasi:
- Guru membagikan lembar kerja kepada siswa. - Guru memberikan suatu masalah yang terdapat
- Siswa mencari informasi-informasi yang terkait dengan permasalahan yang diberikan sesuai dengan materi yang akan dipelajari untuk dapat menyelesaikan lembar kerja yang diberikan oleh guru.
- siswa dikelompokkan secara berpasangan dengan kata lain masing-masing kelompok beranggotakan 2 oang yang setiap siswa mempunyai peran masing-masing yaitu sebagai
problem solver dan listener.
- Guru mengarahkan setiap pasangan untuk secara bergantian menjadi problem solver dan listener.
- Siswa mengerjakan soal-soal yang terdapat dalam lembar kerja yang diberikan.
- Siswa yang bertindak sebagai problem solver
bertugas untuk mempresentasikan jawabannya kepada listener. Mulai dari membacakan soal sampai menjelaskan penyelesaian hingga kesimpulan.
- Siswa yang bertindak sebagai listener bertugas mendengarkan setiap langkah penjelasan yang disampaikan oleh problem solver.
- Listener berhak mengajukan pertanyaan kepada
problem solver terkait penjelasan dan
penyelesaian yang dilakukan. Jika terjadi kesalahan yang dilakukan Problem solver, listener tidak diperbolehkan untuk memecahkan masalah.
16
Elaborasi:
- Guru memberikan soal secara individu kepada siswa untuk dikerjakan terkait materi pembelajaran yang dipelajari.
- Siswa mengumpulkan lembar jawaban serta lembar kerja kelompok untuk diberi penilaian oleh guru.
Konfirmasi:
- Siswa melakukan tanya jawab kepada guru terkait kesulitan yang dihadapi selama mengerjakan soal. Guru dan siswa membahas soal-soal tersebut.
Penutup
- Guru bersama dengan siswa membuat rangkuman dan kesimpulan materi yang telah dipelajari dan didiskusikan.
- Siswa diminta untuk mempelajari materi selanjutnya.
- Guru dan siswa menutup pelajaran dengan salam.
C.
Pembelajaran Konvensional
Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasanya digunakan oleh guru dalam proses kegiatan belajar mengajar di kelas, sedangkan peran siswa dalam pembelajaran tidak terlibat aktif yaitu masih dikatakan pasif. Pembelajaran konvensional ini walaupun sudah banyak digunakan oleh para guru bukan berarti pembelajaran konvensional ini merupakan model pembelajaran yang terbaik digunakan dalam proses kegiatan belajar mengajar.
penyampaian materi secara verbal dari seorang guru kepada sekelompok siswa dengan maksud agar siswa dapat menguasai materi pelajaran secara optimal.20
Terdapat beberapa karakteristik strategi ekspositori, yaitu: 1. menyampaikan materi secara verbal.
2. biasanya materi pelajaran yang disampaikan adalah materi pelajaran yang sudah jadi.
3. tujuan utama pembelajaran aadalah penguasaan materi pelajaran itu sendiri.21 Ada beberapa langkah dalam penerapan strategi ekspositori, yaitu:22 1. Persiapan.
Langkah persiapan merupakan langkah yang sangat penting karena langkah ini berkaitan dengan mempersiapkan siswa untuk menerima pelajaran.
2. Penyajian
Langkah penyajian merupakan langkah inti dalam strategi pembelajaran ekspositori, karena dalam langkah ini guru menyampaikan materi pelajaran melalui bahasa verbal proses komunikasi yang efektif.
3. Korelasi
Pada langkah korelasi adalah langkah menghubungkan materi pelajaran dengan pengalaman siswa atau dengan hal-hal yang memungkinkan siswa dapat menangkap keterkaitannya dalam struktur pengetahuan yang telah dimilikinya. 4. Menyimpulkan
Menyimpulkan adalah tahapan untuk memahami inti dari materi pelajaran yang telah disajikan.
5. Mengaplikasikan
Mengaplikasikan adalah langkah untuk kemampuan siswa setelah mereka menyimak penjelasan guru.
20
Wina, a, op. cit, h. 189 21
Wina Sanjaya, b, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 179
22
18
Strategi pembelajaran ekspositori merupakan strategi pembelajaran yang banyak dan sering digunakan. Hal ini dikarenakan strategi ini memiliki beberapa keunggulan, diantaranya:
1. guru bisa mengontrol sampai sejauh mana siswa menguasai bahan pelajaran yang disampaikan.
2. dianggap sangat efektif ketika menyampaikan materi yang cukup luas, sementara waktu yang dimilki untuk belajar terbatas.
3. siswa dapat mendengar melalui penuturan (kuliah) tentang suatu materi pelajaran, juga sekaligus siswa bisa melihat atau mengobservasi (melalui pelaksanaan demonstrasi).
4. strategi pembelajaran ini bisa digunakan untuk jumlah siswa dan ukuran kelas yang besar.23
D.
Level Kognitif Siswa
Kemampuan berpikir analitis membutuhkan level kognitif siswa tingkat tinggi. Siswa terlebih dahulu harus memiliki kemampuan pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi untuk dapat mengembangkan kemampuan analisis siswa seperti yang diungkapkan oleh Benyamin S. Bloom dalam taksonomi Bloom yang menempatkan kemampuan analisis pada tingkatan keempat.24
Kata “kognisi” berasal dari bahasa Latin “cognoscere” yang artinya “mengetahui”, atau “sebagai pemahaman terhadap pengetahuan” atau “kemampuan untuk memperoleh suatu pengetahuan tertentu”.25 Pengertian kognisi mencakup aspek-aspek struktur intelek yang dipergunakan untuk mengetahui sesuatu, dan perwujudan fungsi kognitif dapat dilihat dari kemampuan anak dalam menggunakan bahasa dan matematika.26
Level kognitif siswa dalam pembelajaran dapat berdasarkan dari kemampuan materi prasyarat siswa sesuai materi yang ingin dipelajari.
23
Wina, b, op. cit, h. 190-191 24
Ruseffendi, op. cit, h. 220-224 25
Wowo Sunaryo Kuswana, Taksonomi Berpikir, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2011), h. 79
26
Kemampuan materi prasyarat yang didapat akan dikelompokkan menjadi tiga level kognitif yang diadaptasi dari Bloom dan Levine yang tersusun secara hirarki yang pembagian level kognitif ini untuk memanfaatkan bahwa dalam menyelesaikan suatu kasus yang menggunakan kemampuan level kognitif tinggi juga membutuhkan kemampuan level kognitif rendah.27
Tiga level dari perilaku kognitif yang diadaptasi dari Bloom dan levine, yaitu: 1. Level 1: Knowledge, pada level ini hanya melibatkan kemampuan mengingat
dan memahami pembelajaran pada materi sebelumnya, sebuah pengetahuan yang memerlukan individu untuk memahami keterkaitan antara fakta yang diberikan.
2. Level 2: Interpretation, pada level ini kemampuan kognitif dibangun pada kedalaman pemahaman teori. Siswa diberikan suatu masalah yang memerlukan aplikasi dan ekstrapolasi dari suatu teori. Masalah yang diberikan pada level ini mungkin juga memerlukan suatu analisis. Siswa dapat memahami masalah dan cara-cara yang digunakan untuk menyelesaikan suatu permasalahan tersebut. 3. Level 3: Problem Solving and Evaluation, pada level ini kemampuan kognitif
melibatkan sintesis dari bagian-bagian yang menjadi satu kesatuan yang kompleks. Pada level problem solving and evaluation ini siswa dapat merumuskan rencana untuk memecahkan suatu masalah yang diberikan. Untuk sampai pada proses atau rencana siswa membutuhkan informasi yang dapat digunakan untuk proses dalam penyelasaian masalah yang diberikan tersebut. Kemudian mengevaluasi rencana-rencana yang telah disusun untuk mencapai suatu solusi dari permasalahan.28
Daftar kata kerja dari ketiga level kognitif agar dapat membedakan antara kegiatan yang membutuhkan tingkat yang lebih tinggi dan lebih rendah dari level kognitif. Kata kerja dari ketiga level kognitif tersebut dapat dipaparkan pada tabel berikut. 29
27
Professional Examination Service, Three Levels Of Cognitive Behavior, 2007, (www.bpsweb.org/pdfs/threelevels.pdf)
28 Ibid 29
20
Tabel 2.2 Level Fungsi Kognitif
Level Kognitif Kata kerja
Level 1: Knowledge Define Repeat Record List Recall Translate Restate Discuss Describe Recognize Level 2: Interpretation Interpret
Apply Employ Use Demonstrate Dramatize Analyze Operate Calculate Solve Level 3: Problem solving dan
evaluation Compose Plan Propose Design Formulate Construct Create Prepare Evaluate Choose
Berdasarkan pada paparan level kognitif di atas, maka dapat dirumuskan definisi bahwa level kognitif dalam penelitian ini adalah tingkatan pengetahuan siswa berdasarkan kemampuan materi prasyarat yang dikategorikan menjadi 3 yaitu knowledge, interpretation, problem solving dan evaluation
E.
Penelitian yang Relevan
matematika siswa lebih tinggi yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran reciprocal teaching daripada yang diajarkan dengan pembelajaran konvensional.30
Penelitian lain yang relevan yaitu penelitian yang dilakukan Ruzyta Nur dengan judul “Pembelajaran Matematika Melalui Metode Thinking Aloud Pair
Problem Solving (TAPPS) dalam Upaya Meningkatkan Kemampuan Siswa dalam
Tipe Soal Analisis.” Penelitian ini menunjukkan bahwa kemampuan dalam tipe soal analisis lebih meningkat yang diajarkan dengan menggunakan metode
Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) daripada yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran konvensional.31
F.
Kerangka Berpikir
Matematika adalah pelajaran yang diajarkan setiap jenjang pendidikan. Ini berarti matematika sangat penting kedudukannya dalam pembelajaran di sekolah. Pembelajaran sekarang ini yang lebih berorientasi pada tujuan jangka pendek yang hanya mengembangkan kemampuan dasar dengan pertanyaan tingkat rendah dan soal-soal rutin. Sehingga membuat kemampuan berpikir analitis siswa tidak berkembang.
Kemampuan berpikir analitis matematis adalah kemampuan dalam menguraikan permasalahan matematis menjadi bagian-bagian sub masalah yang lebih kecil yang saling terkait untuk diselesaikan secara parsial dan keseluruhan. Permasalahan matematis adalah suatu permasalahan yang tidak dapat diselesaikan secara langsung yang hanya sekedar memindahkan informasi, tetapi terlebih dahulu mendata informasi yang terdapat dalam masalah tersebut. Adapun indikator dari kemampuan berpikir analitis matematis adalah: menguraikan masalah menjdi sub masalah, menghubungkan antara sub masalah matematis yang
30Supardi, “
Meningkatkan Kemampuan Analisis Matematika Siswa Melalui Reciprocal Teaching”, Tesis pada Pendidikan Matematika UPI Bandung, Bandung, 2009, h. 2, tidak dipublikasikan
31Ruzyta Nur H, “
22
diketahui, menyelesaikan masalah matematis berdasarkan sub masalah yang diperoleh.
Kemampuan analitis merupakan kemampuan yang membutuhkan kemampuan level kognitif siswa tingkat atas. Siswa untuk dapat berpikir analitis terlebih dahulu harus mempunyai kemampuan pengetahuan, pemahaman, dan aplikasi. Level kognitif dalam penelitian ini adalah tingkatan pengetahuan siswa berdasarkan kemampuan materi prasyarat yang dikategorikan menjadi 3 yaitu
knowledge, interpretation, problem solving dan evaluation.
Berdasarkan penjelasan tersebut untuk dapat meningkatkan kemampuan berpikir analitis matematis siswa perlu diterapkan metode pembelajaran yang dapat membuat kemampuan berpikir analitis matematis siswa dapat berkembang pada tiap kelompok level kognitif siswa didalam kelas sehingga mencapai hasil yang maksimal. Metode thinking aloud pair problem solving (TAPPS)merupakan metode pembelajaran yang mengelompokkan siswa secara berpasangan yang tiap siswa mempunyai peran dan tugas masing-masing yaitu sebagai problem solver
G.
Hipotesis Penelitian
Berdasarkan kerangka berfikir di atas, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah:
1. terdapat pengaruh metode pembelajaran terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa.
2. terdapat pengaruh level kognitif siswa terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa.
24
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A.
Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di MTs Hidayatul Umam Cinere yang beralamat di Jl. Masjid I, Cinere – Depok.
2. Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada semester ganjil tahun ajaran 2013/2014 pada bulan November 2013.
B.
Metode dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan uji coba penerapan metode pembelajaran
Thinking Aloud Pair Problem Solving (TAPPS) terhadap kemampuan berpikir analitis matematis berdasarkan level kognitif siswa. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian quasi experiment, yaitu keadaan dimana peneliti tidak memungkinkan untuk mengontrol variabel dengan penuh.1 Dalam penelitian ini kelas eksperimen yang dalam prosesnya menerapkan metode pembelajaran thinking aloud pair problem solving (TAPPS), sedangkan pada kelas kontrol dalam proses pembelajarannya menggunakan strategi pembelajaran ekspositori (konvensional).
Desain penelitian ini menggunakan rancangan penelitian randomized subject posttest only control group design. Desain eksperimen ini memiliki dua kelompok, dimana kelompok pertama (kelas eksperimen) yang mendapat perlakuan berupa proses pembelajaran matematika dengan menggunakan metode thinking aloud pair problem solving. Sedangkan kelompok kedua (kelas kontrol) dalam proses pembelajaran matematika dengan menggunakan metode konvensional.
1
Berikut adalah tabel dengan rancangan penelitian randomized subject posttest only control group design.2
Tabel 3.1 Desain Penelitian
Kelompok Perlakuan Posttest
(R) X Y
(R) K - Y
Keterangan:
R = Pemilihan kelas secara random E = Kelas eksperimen
K = Kelas kontrol
X = Perlakuan yang diberikan pada kelas eksperimen (metode pembelajaran
thinking aloud pair problem solving) Y= Tes akhir
C.
Populasi dan Sampel
Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri dari obyek/subyek yang mempunyai karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya.3 Sedangkan sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.4
Populasi penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII Mts Hidayatul Umam Cinere tahun ajaran 2013/2014. Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelas VIII-1 dan VIII-3.
Jumlah kelas VIII MTs Hidayatul Umam sebanyak 6 kelas paralel. Penempatan siswa VIII MTs Hidayatul Umam dilakukan secara merata dalam hal
2
Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), h. 185 3
Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Cv Alfabeta, 2009), h. 117. 4
26
kemampuan, artinya tidak ada kelas unggulan serta kurikulum yang diberikan juga sama, maka karakteristik antar kelas dapat dikatakan homogen.
Teknik pemilihan sampel menggunakan Cluster Random Sampling,
maksudnya sampel yang diambil dalam bentuk kelompok bukan individu.5 Mengambil dua kelas secara acak dari 6 kelas yang memilki karakteristik yang sama. Hasil random diperoleh kelas eksperimen yang pembelajarannya menggunakan metode thinking aloud pair problem solving berasal dari kelas VIII-1 sebanyak 37 orang dan yang menjadi kelas kontrol yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran konvensional berasal dari kelas VIII-3 sebanyak 30 orang.
D.
Teknik dan Alat Pengumpulan Data
Data diperoleh dari hasil penilaian kedua kelompok sampel dengan pemberian tes kemampuan berpikir analitis matematis yang sama, yang dilakukan pada akhir pokok bahasan materi yang telah dipelajari. Tes tersebut diberikan kepada kedua kelompok yang diberi pengajaran berbeda. Kelas eksperimen dengan metode
thinking aloud pair problem solving (TAPPS) dan kelas kontrol dengan pembelajaran konvensional. Adapun hal-hal yang harus diperhatikan dalam pengumpulan data tersebut sebagai berikut:
1. Variabel yang Diteliti
Variabel bebas : Metode pembelajaran Thinking aloud pair problem solving
Variabel terikat : Kemampuan berpikir analitis matematis siswa Variabel moderator : Level kognitif siswa
2. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian yang digunakan berupa tes kemampuan berpikir analitis matematis. Tes ini diberikan sesuai dengan indikator kemampuan berpikir analitis matematis. Tes kemampuan berpikir analitis matematis diberikan kepada siswa untuk
5
mengetahui sejauh mana kemampuan siswa dalam mengerjakan soal-soal berpikir analitis matematis. Kisi-kisi instrumen yang akan diuji cobakan adalah:
Standar kompetensi :
Memahami sistem persamaan linier dua variabel dan menggunakannya dalam pemecahan masalah.
Kompetensi dasar :
[image:42.612.114.527.338.701.2]Menguraikan permasalahan menjadi sub masalah yang lebih kecil yang terkait dengan sistem persamaan linear dua variabel serta dapat menghubungkan dan menyelesaikannya dalam masalah sehari-hari.
Tabel 3.2
Kisi-Kisi Instrumen Kemampuan Berpikir Analitis Matematis
Indikator Soal
Indikator kemampuan berpikir analitis
Jumlah butir soal Menguraikan masalah menjadi sub masalah Menghubungk an antar sub
masalah Menyelesaikan masalah berdasarkan sub masalah Menguraikan permasalahan sehari-hari menjadi sub masalah terkait masalah SPLDV.
1, 2a, 3a, 4a 4
Menghubungkan sub masalah dengan membuat model matematika.
2b, 3b, 4b 3
Menyelesaikan masalah sehari-hari dengan
menggunakan metode penyelesaian SPLDV
4c, 5, 6 3
28
[image:43.612.121.527.281.386.2]Untuk memperoleh data kemampuan berpikir analitis matematis siswa, diperlukan penskoran terhadap jawaban siswa untuk tiap butir soal. Pedoman penskoran untuk kemampuan berpikir analitis matematis siswa adalah adaptasi dari pedoman penskoran tesis Abdul Muin seperti pada Tabel 3.3 berikut ini:6
Tabel 3.3
Pedoman Penskoran Tes Kemampuan Berpikir analitis Matematis Materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel
Kriteria Skor
Semua aspek pertanyaan dijawab dengan benar dan jelas/lengkap 3 Hampir semua aspek dari pertanyaan dijawab dengan benar 2 Hanya sebagian aspek dari pertanyaan dijawab dengan benar 1 Tidak ada jawaban atau menarik kesimpulan salah 0
E.
Uji Instrumen Penelitian
Agar tes kemampuan berpikir analitis matematis dapat digunakan, perlu dilakukan proses uji coba instrumen. Instrumen tes diuji cobakan terlebih dahulu kepada subjek lain diluar subjek penelitian. Instrumen tes diuji cobakan kepada siswa kelas IX-1 MTs Hidayatul Umam Cinere. Setelah data hasil uji coba diperoleh, kemudian setiap butir soal akan dianalisis untuk mengetahui validitas, reliabilitas, taraf kesukaran dan daya pembeda instrumen, sebagai berikut:
1. Perhitungan Validitas Instrumen
Sebuah tes dikatakan valid apabila tes tersebut mengukur apa yang hendak diukur. Dalam penelitian ini, untuk mengukur validitas pada tes kemampuan berpikir
6Abdul Muin, “
analitis matematis siswa menggunakan rumus Product Moment Person sebagai berikut:7
∑ ∑ ∑
√ ∑ ∑ ∑ ∑
Keterangan:
N : Banyaknya peserta tes X : Skor butir soal
Y : Skor total
rxy : Koefisien relasi antara variabel X dan Y
Kriteria Pengujiannya:
Jika , maka soal tersebut valid
Jika , maka soal tersebut tidak valid
Berdasarkan hasil perhitungan uji validitas instrumen, dari sepuluh soal yang diuji cobakan diperoleh 7 butir soal yang valid yaitu no 2a, 3a, 3b, 4a, 4b, 5, dan 6.
2. Reliabilitas Instrumen
Suatu instrumen dikatakan reliabel apabila instrumen tersebut konsisten dan memberikan penilaian atas apa yang diukur. Untuk mengetahui reliabilitas instrumen digunakan rumus Alpha Cronbach sebagai berikut:8
∑
dengan varians, yaitu:
∑ ∑
7
Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), edisi Revisi, Cet. XII, hal.72
8
30
Keterangan:
: Reliabilitas yang dicari
n : Banyaknya butir soal yang valid
: Varians dari pertanyaan
: Varians total X : Skor tiap soal
k : Banyaknya sampel
Kriteria koefisien reliabilitas adalah sebagai berikut: 0,80 < ≤ 1,00 Derajat reliabilitas sangat baik
0,60 < ≤ 0,80 Derajat reliabilitas baik 0,40 < ≤ 0,60 Derajat reliabilitas cukup 0,20 < ≤ 0,40 Derajat reliabilitas rendah
0,00 < ≤ 0,20 Derajat reliabilitas sangat rendah
Berdasarkan hasil perhitungan uji realibilitas instrument, nilai r11 = 0,845
berada antara kisaran 0,80 < ≤ 1,00, maka dari 7 soal yang valid memiliki derajat reliabilitas sangat baik.
3. Taraf Kesukaran
Uji taraf kesukaran instrumen penelitian dihitung dengan menghitung indeks besarannya. Indeks kesukaran adalah bilangan yang menunjukan sukar dan mudahnya sesuatu soal. Besarnya indeks kesukaran antara 0,00 sampai 1,0. Indeks kesukaran ini menunjukan taraf kesukaran soal. Hal ini bertujuan untuk mengetahui soal-soal tersebut mudah, sedang dan sukar. Untuk itu digunakan rumus9 :
9
Keterangan :
P = taraf kesukaran
B = banyak siswa yang menjawab soal itu dengan benar JS = jumlah seluruh siswa peserta tes
Klasifikasi tingkat kesukaran:10
: soal sukar
: soal sedang
: soal mudah
Hasil perhitungan uji taraf kesukaran terhadap 7 butir soal yang valid diperoleh soal no 2a memiliki kriteria “mudah”, dan soal lainnya yaitu 3a, 3b, 4a, 4b, 5 dan 6 memiliki kriteria “sedang”.
4. Daya Pembeda
Daya pembeda soal adalah kemampuan sesuatu soal untuk membedakan siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh (berkemampuan rendah). Seluruh pengikut tes dikelompokkan menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok pandai atau kelompok atas (upper group)dan kelompok bodoh atau kelompok bawah
(lower group).11 Daya pembeda suatu soal tes dapat dihitung dengan menggunakan rumus: 12
Keterangan :
J : Jumlah peserta
: Banyaknya peserta kelompok atas : Banyaknya peserta kelompok bawah
10
Ibid, h.210 11
Ibid., h.211 12
32
: Banyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar : Banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan benar : proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar
: proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar Klasifikasi daya pembeda :13
D : 0,00 – 0,19 : jelek D : 0,20 – 0,39 : cukup D : 0,40 – 0,69 : baik D : 0,70 – 1,00 : baik sekali
Dari hasil perhitungan uji daya pembeda terhadap 7 butir soal valid diperoleh 1 butir soal dengan kriteria “jelek”, 2 butir soal dengan kriteria “cukup” dan 4 butir soal dengan kriteria “baik”.
[image:47.612.111.535.421.686.2]Berikut rekapitulasi hasil uji validitas, daya pembeda dan taraf kesukaran. Tabel 3.4
Rekap Data Hasil Uji Coba Instrumen No
Soal Validitas Taraf Kesukaran Daya Pembeda Keterangan
1 drop Mudah Jelek Tidak Digunakan
2a Valid Mudah Jelek Digunakan
2b Drop Mudah Jelek Tidak digunakan
3a Valid Sedang Baik Digunakan
3b Valid Sedang Baik Digunakan
4a Valid Sedang Cukup Digunakan
4b Valid Sedang Cukup Digunakan
4c Drop Sukar Jelek Tidak digunakan
5 Valid Sedang Baik Digunakan
6 Valid Sedang Baik Digunakan
Derajat Reliabilitas 0,845
13
Selanjutnya 7 butir soal yang valid diatas akan digunakan sebagai instrumen penelitian untuk mengukur kemampuan berpikir analitis matematis siswa.
F.
Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis kuantitatif, yaitu suatu teknik analisis yang penganalisisannya dilakukan dengan perhitungan, karena berhubungan dengan angka, alat tes yang diberikan yaitu tes kemampuan berpikir analitis matematis. Penganalisisan dilakukan dengan membandingkan hasil tes kelompok kontrol dan kelompok eksperimen.
Dari data yang telah diperoleh, kemudian dilakukan perhitungan statistik dan melakukan perbandingan terhadap dua kelompok tersebut untuk mengetahui kontribusi metode pembelajaran thinking aloud pair problem solving (TAPPS) terhadap kemampuan berpikir analitis matematis siswa, terlebih dahulu dilakukan uji persyaratan analisis, yaitu:
1. Uji Normalitas
Uji normalitas digunakan untuk mengetahui apakah data pada keempat kelompok sampel yang diteliti berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini, pengujian normalitas menggunakan uji Lilliefors. Adapun prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut: 14
a. Pengamatan X1,X2,...,Xndijadikan bilangan baku z1,z2,...,zndengan menggunakan
rumus
s X X z i
dimana X dan smasing-masing merupakan rata-rata dan simpangan
baku sampel.
14
34
b. Untuk tiap bilangan baku ini dan menggunakan daftar distribusi normal baku, kemudian dihitung peluang F (zi) = P (z < zi).
c. Selanjutnya dihitung proporsi z1,z2,...,znyang lebih kecil atau sama dengan zi. Jika
proporsi ini dinyatakan oleh S (zi), maka S (zi) =
n z yang z z z
banyaknya 1, 2,..., n i
d. Hitung selisih F (zi) - S (zi) kemudian tentukan harga mutlaknya.
e. Ambil harga yang paling besar diantara harga-harga mutlak selisih tersebut. Sebutlah harga terbesar ini L0.
Untuk menerima atau menolak hipotesis nol, kita bandingkan L0 ini dengan nilai kritis L yang diambil dari daftar daftar nilai kritis untuk Uji Lilliefors untuk taraf nyata yang dipilih. Kriterianya adalah: tolak hipotesis nol bahwa populasi berdistribusi normal jika L0 yang diperoleh dari data pengamatan melebihi L dari daftar. Dalam hal lainnya hipotesis nol diterima.
2. Uji Homogenitas
Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui apakah keempat kelompok sampel berasal dari populasi yang sama (homogen) atau tidak. Dalam penelitian ini, pengujian homogenitas menggunakan uji Bartlett. Adapun prosedur pengujiannya adalah sebagai berikut:15
a. Menentukan Hipotesis
H0 :
2 4 2 3 2 2 2
1
H1 : Ada salah satu yang tidak sama
b. Cari dengan rumus:
∑
Dimana,
∑ ∑ dan ∑
15
c. Tetapkan taraf signifikan
d. Hitung dengan rumus:
e. Tentukan kriteria pengujian H0, yaitu:
Jika , maka H0 diterima dan H1ditolak
Jika , maka H0 ditolak dan H1diterima
Adapun pasangan hipotesis yang akan diuji adalah sebagai berikut:
H0 : kedua kelompok sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians sama atau
homogen
H1 : kedua kelompok sampel berasal dari populasi yang mempunyai varians yang berbeda
atau tidak homogen
3. Pengujian Hipotesis
Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas data, maka apabila data berdistribusi normal dan kedua populasi homogen, maka dilakukan uji hipotesis. Uji hipotesis pada penelitian ini menggunakan uji “anava dua jalur”. Anava digunakan untuk menguji hipotesis yang berkenaan dengan perbedaan dua mean atau lebih.16
Analisis varians 2 jalur ( Two Way Analysis of Variance) atau disingkat anava 2 jalur dapat digunakan untuk menguji hipotesis yang menyatakan perbedaan rata-rata antara kelompok-kelompok sampel baik yang menggunakan Two Factorial Design atau Treatmen byLevel Design.
16
36
Tabel 3.5
Hasil Kemampuan Berpikir Analitis Matematis Berdasarkan Level Kognitif Siswa Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol
Level Kognitif Metode Pembelajaran
TAPPS Konvensi