PENGARUH SIKAP KERJA TERHADAP KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAJIN SULAMAN
TANGAN DI NAGARI KOTO GADANG SUMATERA BARAT
TESIS
Oleh:
SRI MINDAYANI 107032111/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
PENGARUH SIKAP KERJA TERHADAP KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAJIN SULAMAN
TANGAN DI NAGARI KOTO GADANG SUMATERA BARAT
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat
untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi Kesehatan Kerja pada Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara
Oleh
SRI MINDAYANI 107032111/IKM
PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
Judul Proposal : PENGARUH SIKAP KERJA TERHADAP KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAJIN SULAMAN TANGAN DI NAGARI KOTO GADANG
SUMATERA BARAT
Nama Mahasiswa : Sri Mindayani
Nomor Induk Mahasiswa : 107032111
Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat
Minat Studi : Kesehatan Kerja
Menyetujui Komisi Pembimbing
(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, M.S.I.E) (Ir. Kalsum, M.Kes)
Ketua Anggota
Dekan
Telah diuji
Pada Tanggal : 13 Agustus 2012
PANITIA PENGUJI TESIS
KETUA : Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, M.S.I.E ANGGOTA : 1. Ir. Kalsum, M.Kes
PERNYATAAN
PENGARUH SIKAP KERJA TERHADAP KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAJIN SULAMAN
TANGAN DI NAGARI KOTO GADANG SUMATERA BARAT
TESIS
Dengan ini Saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan Saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Medan, September 2012
ABSTRAK
Perajin sulaman tangan merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat yang belum menerapkan fasilitas kerja (pamedangan) yang ergonomis dalam bekerja.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal dengan intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat. Populasi dari penelitian ini adalah sebanyak 36 orang dengan jumlah sampel sebanyak 26 orang. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen sungguhan dengan bentuk rancangan Pretest – Postest with Control Group.
Hasil penelitian yang diperoleh yaitu sikap kerja sebelum intervensi fasilitas kerja berada pada level tindakan tinggi dan sedang. Sesudah intervensi fasilitas kerja, terjadi perbaikan sikap kerja menjadi level tindakan menjadi kecil. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal pada saat mulai bekerja (p=0,01) dan selesai bekerja (p=0,01) kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan tidak adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal pada saat mulai bekerja (p=0,325) dan selesai bekerja (p=0,498) kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja.
Perajin sulaman tangan disarankan agar dapat menggunakan fasilitas kerja yang telah didesain secara ergonomis, melakukan relaksasi selama bekerja, perlunya membuat meja kerja (pamedangan) yang adjustable dan penahan lumbar agar dapat mengurangi keluhan muskoloskeletal dan perlunya dukungan dari pemerintah agar dapat mensosialisasikan manfaat intervensi fasilitas kerja yang diperoleh secara kongkrit kepada perajin sulaman tangan.
ABSTRACT
Hand embroidery industry is one of the forms of informal sectors in Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat which has not yet applied an ergonomic working facilities in its daily activity.
The purpose of this experimental study with pretest-posttest with control group design was to analyze the influence of work posture on musculoskeletal disorder with the intervention of working facilities in the hand embroidery workers in Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat. The populations of this study was 36 embroidery workers and 26 of them were selected to be samples for this study.
The result of this research, before the working facility intervention, their work posture was on the high and medium levels. After working facility intervention, their work posture was improved to small level. The result of Wilcoxon test showed work posture had influence on the musculoskeletal disorder when they began to work (p=0.01) and after they finished working (p=0.01)in the experiment group before and after working facility intervention; and work posture did not have any influence on the musculoskeletal disorder when they began to work (p=0.325) and after they finished working (p=0,498)in the control group before and after the working facility intervention.
The hand embroidery workers are suggested to use the working facilities which have been ergonomically design, to do some relaxation when they are working,
it’s needed to make an adjustable work (pamedangan) and using a lumbar brace to
minimize the musculoskeletal disorder. The support from the government is also needed to socialize to the hand embroidery workers about the benefit of working facility intervention obtained in a concrete way.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat
dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Sikap
Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari
Koto Gadang Sumatera Barat”. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk
menyelesaikan Program Magister di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.
Penulis menyadari begitu banyak yang memberi dukungan, bimbingan,
informasi, bantuan moril maupun materi dan kemudahan dari berbagai pihak,
sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor
Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara.
3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera
Utara.
4. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, M.S.I.E. dan Ir. Kalsum, M. Kes selaku
pembimbing yang telah memberi perhatian, dukungan dan pengarahan kepada
5. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes dan dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K, selaku
penguji yang telah memberi masukan sehingga dapat menyempurnakan tesis ini.
6. dr. Linda T. Maas, M.P.H, dr, Bisara L. Tobing, M.P.H, Lita Sri Andayani,
S.K.M, M.Kes dan Asfriyati, S.K.M, M.Kes yang telah banyak memberikan
pengetahuan, pengalaman berharga dan dukungan kepada penulis selama
menuntut ilmu di FKM USU.
7. Wali Nagari Koto Gadang Nurdin Nursid, S.Sos. MH yang telah memberi izin
untuk peneliti melakukan penelitian di Nagari Koto Gadang.
8. Dr. Eng. Lusi Susanti yang sangat baik dan bermurah hati memberikan bantuan
kepada penulis dalam peminjaman kursi antropometri.
9. Seluruh staf dosen dan staf pegawai di Program Studi S2 Kesehatan Masyarakat
Universitas Sumatera Utara yang telah memberi ilmu dan bantuan kepada
penulis.
10. Teristimewa untuk orang tua tercinta, Papanda (Yusbar Yakub) dan Ibunda
(Farilon) yang telah banyak memberikan dukungan, semangat, dan senantiasa
mendo’akan penulis selama ini.
11. Buat saudaraku tersayang, Bang Hendra, Bang Rommi, Oggi dan Ola yang selalu
mendukung dan senantiasa mendoakan penulis.
12. Buat sahabat-sahabatku, Liza, Dini, Hendra, Eel dan Aulia yang telah banyak
memberikan dukungan dan saran selama ini dalam pengerjaan tesis ini.
13. Teman-teman di S2 FKM USU khususnya minat studi Kesehatan Kerja dan
Nanda, Aisyah, Kak Dewi, Kak Cut, Kak Listautin, dan Kak Lisda dan
teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu).
14. Teman-teman Teknik Industri USU dan UNAND (Kak Eza, Yos, Taufik, Bayu,
Eka, Adnan, Ridho, Clara, dan lain-lain) yang telah banyak membantu penulis
dalam memberikan pemahaman mengenai masalah-masalah tesis.
Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, untuk itu
diharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis
mengucapkan terimakasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.
Medan, Oktober 2012 Penulis
RIWAYAT HIDUP
Nama penulis Sri Mindayani, lahir di Payakumbu tanggal 6 Juni 1988, jenis
kelamin perempuan, beragama Islam, anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan
Syafnir dan Farilon, pada saat ini belum menikah. Penulis bertempat tinggal di Nagari
Koto Gadang Kecamatan IV Koto Kabupaten Agam Sumatera Barat.
Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 10 Koto Gadang pada
tahun 2000. Menamatkan Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) Swasta Xaverius
Bukittinggi tahun 2003 dan menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2
Bukittinggi tahun 2006. Penulis menamatkan pendidikan S1 Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Sumatera Utara tahun 2010.
Riwayat pekerjaan, pada tahun 2011 menjadi staf administrasi di Akademi
Kebidanan Widya Husada Medan.
3.5.2. Definisi Operasional ... 38
4.4. Data Antropometri Perajin Sulaman Tangan ... 54
4.5. Fasilitas Kerja ... 55
4.5.1. Fasilitas Kerja sebelum Perancangan ... 55
4.5.2. Fasilitas Kerja sesudah Perancangan ... 55
4.6. Sikap Kerja ... 60
4.6.1. Sikap Kerja sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 60
4.6.2. Sikap Kerja sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 65
4.7. Keluhan Muskuloskeletal ... 69
4.7.1. Keluhan Muskuloskeletal sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 69
4.7.2. Keluhan Muskuloskeletal sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 71
4.8. Uji Beda Keluhan Muskoloskeletal ... 73
BAB 5. PEMBAHASAN ... 79
5.1. Data Antropometri Perajin Sulaman Tangan ... 79
5.2. Sikap Kerja sebelum Intervensi Fasilitas Kerja... 84
5.3. Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 86
5.4. Perancangan Fasilitas Kerja ... 89
5.5. Sikap Kerja Setelah Intervensi Fasilitas Kerja ... 92
5.6. Uji Beda Keluhan Muskoloskeletal ... 94
BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 97
6.1. Kesimpulan ... 97
DAFTAR TABEL
No. Judul Halaman
3.1. Skor Postur Batang Tubuh (Trunk) REBA ... 42
3.2. Skor Postur Leher (Neck) REBA ... 43
3.3. Skor Postur Kaki (Legs) REBA ... 43
3.4. Skor Beban (Load) REBA ... 44
3.5. Skor Postur Lengan Atas (Upper Arm) REBA ... 44
3.6 Skor Postur Lengan Bawah (Lower Arm) REBA ... 44
3.7. Skor Postur Pergelangan Tangan (Wrist) REBA ... 45
3.8. Skor Postur Coupling REBA ... 45
3.9. Tabel A REBA ... 46
3.10. Tabel B REBA ... 46
3.11. Tabel C REBA ... 47
3.12. Skor Aktivitas REBA ... 47
3.13. Nilai Level Tindakan REBA ... 47
4.1. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Kelompok Umur di Nagari Koto Gadang ... 51
4.2. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Jenis Kelamin di Nagari Koto Gadang ... 51
4.4. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Masa
Kerja di Nagari Koto Gadang ... 52
4.5. Skor Penilaian Sikap Kerja Berdasarkan Metode REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 61
4.6. Tabel A REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 62
4.7. Tabel B REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 62
4.8. Tabel C REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 63
4.9. Skor Aktivitas REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 63
4.10. Nilai Level Tindakan REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 63
4.11. Distribusi Frekuensi Skor Penilaian Sikap Kerja Berdasarkan Metode REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 64
4.12. Distribusi Frekuensi Skor Penilaian Sikap Kerja Berdasarkan Metode REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 66
4.13. Tabel A REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 66
4.14. Tabel B REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 67
4.15. Tabel C REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 67
4.16. Skor Aktivitas REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 68
4.17. Nilai Level Tindakan REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja... 68
4.18. Distribusi Frekuensi Skor Penilaian Sikap Kerja Berdasarkan Metode REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 69
4.20. Distribusi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan Total Skor sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 71
4.21. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskuloskeletal sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 72
4.22. Distribusi Frekuensi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan Total Skor sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 73
4.23. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskuloskeletal sebelum dan sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Kelompok Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 74
4.24. Perbedaan Keluhan Muskuloskeletal sebelum dan sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Saat Mulai Bekerja pada Kelompok Kontrol ... 75
4.25. Perbedaan Keluhan Muskuloskeletal sebelum dan sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Saat Mulai Bekerja pada Kelompok Perlakuan ... 76
4.26. Perbedaan Tingkat Keluhan Muskuloskeletal sebelum dan sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Saat Selesai Bekerja pada Kelompok Kontrol ... 77
DAFTAR GAMBAR
No. Judul Halaman
2.1. Distribusi Normal dan Perhitungan Persentil ... 26
2.2. Antropometri Tubuh Manusia yang Diukur Dimensinya ... 26
2.3. Kerangka Konsep... 35
3.1. Postur Batang Tubuh (Trunk) REBA ... 42
3.2. Postur Leher (Neck) REBA ... 43
3.3. Postur Kaki (Legs) REBA ... 43
3.4. Ukuran Beban (Load) REBA... 43
3.5. Postur Lengan Atas (Upper Arm) REBA ... 44
3.6. Postur Lengan Bawah (Lower Arm) REBA... 44
3.7. Postur Pergelangan Tangan (Wrist) REBA ... 45
4.1. Rancangan Fasilitas Kerja (Kursi Kerja) ... 56
4.2. Rancangan Fasilitas Kerja (Pamedangan)... 57
4.3. Sikap Kerja Perajin Sulaman Tangan sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 61
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Surat Izin Penelitian ... 100
2. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 101
3. Kuesioner Penelitian ... 102
4. Gambar Rancangan Fasilitas Kerja ... 105
5. Lembar Observasi Sikap Kerja dengan Metode REBA ... 106
6. Data Antropometri Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat... 107
7. Distribusi Frekuensi Data Antropometri Perajin Sulaman Tangan yang Telah Dilakukan Uji Keseragaman ... 110
8. Penilaian Sikap Kerja Dengan Metode REBA sebelum Perbaikan Fasilitas Kerja ... 111
9. Penilaian Sikap Kerja Dengan Metode REBA sesudah Perbaikan Fasilitas Kerja ... 113
10. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskoloskeletal sebelum Perbaikan Fasilitas Kerja pada Saat Memulai Bekerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 115
11. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskoloskeletal sebelum Perbaikan Fasilitas Kerja pada Saat Selesai Bekerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 117
12. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskoloskeletal sesudah Perbaikan Fasilitas Kerja pada Saat Memulai Bekerja pada Kelompok Kontrol Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 119
14. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskoloskeletal sesudah Perbaikan Fasilitas Kerja pada Saat Selesai Bekerja pada Kelompok Kontrol Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 121
15. Uji Normalitas Data Antropometri ... 122
16. Uji Beda Keluhan Muskoloskeletal ... 126
17. Output Output Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan sebelum Bekerja sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 128
18. Output Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan sesudah Bekerja sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 134
19. Output Keluhan Muskoloskeletal sesudah Intervensi pada Saat Mulai Bekerja pada Kelompok Kontrol ... 141
20. Output Keluhan Muskoloskeletal sesudah Intervensi pada Saat Mulai Bekerja pada Kelompok Perlakuan ... 148
21. Output Keluhan Muskuloskeletal sesudah Intervensi pada Saat Selesai Bekerja pada Kelompok Kontrol ... 153
22. Output Keluhan Muskuloskeletal sesudah Intervensi pada Saat Selesai Bekerja pada Kelompok Perlakuan ... 160
ABSTRAK
Perajin sulaman tangan merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat yang belum menerapkan fasilitas kerja (pamedangan) yang ergonomis dalam bekerja.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal dengan intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat. Populasi dari penelitian ini adalah sebanyak 36 orang dengan jumlah sampel sebanyak 26 orang. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen sungguhan dengan bentuk rancangan Pretest – Postest with Control Group.
Hasil penelitian yang diperoleh yaitu sikap kerja sebelum intervensi fasilitas kerja berada pada level tindakan tinggi dan sedang. Sesudah intervensi fasilitas kerja, terjadi perbaikan sikap kerja menjadi level tindakan menjadi kecil. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal pada saat mulai bekerja (p=0,01) dan selesai bekerja (p=0,01) kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan tidak adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal pada saat mulai bekerja (p=0,325) dan selesai bekerja (p=0,498) kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja.
Perajin sulaman tangan disarankan agar dapat menggunakan fasilitas kerja yang telah didesain secara ergonomis, melakukan relaksasi selama bekerja, perlunya membuat meja kerja (pamedangan) yang adjustable dan penahan lumbar agar dapat mengurangi keluhan muskoloskeletal dan perlunya dukungan dari pemerintah agar dapat mensosialisasikan manfaat intervensi fasilitas kerja yang diperoleh secara kongkrit kepada perajin sulaman tangan.
ABSTRACT
Hand embroidery industry is one of the forms of informal sectors in Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat which has not yet applied an ergonomic working facilities in its daily activity.
The purpose of this experimental study with pretest-posttest with control group design was to analyze the influence of work posture on musculoskeletal disorder with the intervention of working facilities in the hand embroidery workers in Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat. The populations of this study was 36 embroidery workers and 26 of them were selected to be samples for this study.
The result of this research, before the working facility intervention, their work posture was on the high and medium levels. After working facility intervention, their work posture was improved to small level. The result of Wilcoxon test showed work posture had influence on the musculoskeletal disorder when they began to work (p=0.01) and after they finished working (p=0.01)in the experiment group before and after working facility intervention; and work posture did not have any influence on the musculoskeletal disorder when they began to work (p=0.325) and after they finished working (p=0,498)in the control group before and after the working facility intervention.
The hand embroidery workers are suggested to use the working facilities which have been ergonomically design, to do some relaxation when they are working,
it’s needed to make an adjustable work (pamedangan) and using a lumbar brace to
minimize the musculoskeletal disorder. The support from the government is also needed to socialize to the hand embroidery workers about the benefit of working facility intervention obtained in a concrete way.
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industrialisasi dalam pembangunan Indonesia telah berkembang pesat di
semua sektor, baik formal maupun informal. Perkembangan tersebut bukan saja
menyajikan kesejahteraan bagi kehidupan bangsa, namun juga menyajikan dampak
yang merugikan terhadap kesehatan pekerja ( Naiem, 2010).
Sektor informal pada saat ini memiliki peranan penting dalam perekonomian
Indonesia, dimana menurut data BPS (2010) terdapat 116 juta jiwa angkatan kerja
dan dari jumlah tersebut 107,41 juta jiwa yang benar-benar bekerja. Jumlah pekerja
yang bekerja di sektor informal diperkirakan 73,67% dan 31,42% bekerja di sektor
formal. Angka ini akan bergeser kearah pekerja sektor informal dikarenakan
banyaknya perusahaan formal yang menutup atau merelokasi usahanya keluar
Indonesia dan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menyebabkan
bertambahnya jumlah pekerja di sektor informal (DepKes RI, 2008).
Hasil penelitian Departemen Kesehatan (Depkes) menunjukkan, sekitar 74%
pekerja hingga saat ini belum terjangkau layanan kesehatan kerja yang memadai.
Menurut penelitian terakhir yang dilakukan tahun 2006, baru sekitar 26 persen
pekerja di sektor formal yang memiliki jangkauan layanan kesehatan kerja yang
pekerja. Hal ini terjadi karena di sektor informal tidak memiliki sistem pembiayaan
kesehatan (Anonimous, 2007).
Situasi tersebut akhirnya menggiring status kesehatan pekerja sektor informal
menjadi buruk. Hasil penelitian Departemen Kesehatan (2004) terhadap 8 jenis
pekerjaan sektor informal, menunjukkan ada berbagai gangguan kesehatan akibat
kerja yang ditemukan terjadi pada sektor ini, antara lain: (Arnita, 2006)
Gangguan
punggung yang ditemukan hampir di seluruh jenis pengaturan kerja dari pekerja
konstruksi sampai pekerja rumah sakit (Everly, 1985). Diperkirakan 80% populasi
akan mengalami cidera punggung bawah pada suatu saat dalam hidup mereka.
penyebab kecacatan ketiga pada orang usia kerja. Keterbatasan yang diakibatkan oleh
nyeri punggung bawah pada seseorang sangat berat. Kerugian ekonomis, dalam hal
ini hilangnya produktivitas, bisa mencapai biliun dolar. Jumlah kunjungan ke dokter
akibat nyeri punggung bawah merupakan yang kedua setelah penyakit saluran napas
atas (Brunner dan Suddarth, 2002).
Buruknya status kesehatan tersebut berasal dari ketidakseimbangan interaksi
antara kapasitas kerja, beban kerja dan beban tambahan yang dialami oleh pekerja
(Naiem, 2010). Beban kerja dalam pekerjaan merupakan tuntutan tugas yang harus
dilakukan pekerja untuk menyelesaikan tugasnya. Beban kerja ini salah satunya
tergantung pada karakteristik tugas dan material pekerjaan seperti karakteristik
peralatan dan mesin, tipe, kecepatan dan irama kerja (Wignjosoebroto, 2008).
Peralatan pada saat ini sudah berkembang menjadi kebutuhan pokok pada
berbagai lapangan pekerjaan. Artinya peralatan dan teknologi merupakan penunjang
yang penting dalam upaya meningkatkan produktivitas untuk berbagai jenis
pekerjaan. Disamping itu, disisi lain akan terjadi dampak negatifnya, bila kita kurang
waspada menghadapi bahaya potensial yang mungkin timbul. Hal ini tidak akan
terjadi jika dapat diantisipasi berbagai risiko yang mempengaruhi kehidupan para
pekerja.
Berbagai risiko tersebut yaitu kemungkinan terjadinya penyakit akibat kerja,
penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan kecelakaan akibat kerja yang dapat
pihak dengan cara penyesuaian antara pekerja, proses kerja dan lingkungan kerja.
Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan ergonomi (DepKes, 2010).
Faktor manusia atau pekerja memegang peranan penting pada dunia industri
terutama dalam hal keselamatan instalasi. Kesalahan manusia dapat disebabkan
karena rancangan stasiun kerja yang tidak baik. Manusia sebagai pelaku harus
menjadi patokan dalam merancang stasiun kerja sehingga alat yang dibuat
menyesuaikan dengan data antropometri dan perilaku manusia. Untuk itu perlu
diketahui data ukuran antropometri dan perilaku manusia dalam bekerja. Dengan
memasukkan pertimbangan ergonomi dalam perancangan stasiun kerja maka
kesalahan manusia dalam pengoperasian alat diharapkan secara sistematis menjadi
berkurang (Darlis, 2009).
Stasiun kerja merupakan salah satu komponen yang harus diperhatikan
berkenaan dengan upaya peningkatan produktivitas kerja. Kondisi kerja yang tidak
memperhatikan kenyamanan, kepuasan, keselamatan dan kesehatan kerja tentunya
akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas kerja manusia. Dalam perancangan
atau redesain stasiun kerja itu sendiri harus diperhatikan peranan dan fungsi pokok
dari komponen-komponen sistem kerja yang terlibat yaitu manusia, mesin/peralatan
dan lingkungan fisik kerja.
Desain stasiun kerja memiliki peranan penting dalam meningkatkan
kenyamanan dan produktivitas kerja. Para operator dalam melakukan pekerjaannya,
seringkali bekerja dengan alat yang terlalu kecil atau tidak sesuai dengan postur
terlalu membungkuk, jangkauan tangan yang tidak normal, sehingga dari posisi kerja
operator dapat mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan yaitu kelelahan dan
rasa nyeri pada punggung akibat duduk yang tidak ergonomis, timbulnya rasa nyeri
pada bahu dan kaki akibat ketidaksesuaian antara pekerja dan lingkungan kerjanya
(Wignjosoebroto, 2008).
Faktor lain yang mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas kerja yaitu
sikap kerja. Beberapa jenis pekerjaan akan memerlukan sikap dan posisi tertentu yang
kadang-kadang cenderung membuat tidak nyaman. Kondisi kerja seperti ini memaksa
pekerja selalu berada pada sikap dan posisi kerja yang “aneh” dan kadang-kadang
juga harus berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini tentu saja akan
mengakibatkan pekerja cepat lelah, membuat banyak kesalahan atau menderita cacat
tubuh (Wignjosoebrtoto, 2008).
Kerajinan sulaman tangan merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal
yang banyak dilakukan masyarakat di Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat.
Pekerjaan ini dilakukan di rumah masing-masing perajin sulaman tangan. Kerajinan
sulaman tangan ini merupakan kerajinan tradisional di Nagari Koto Gadang yang
telah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat dan peluang usaha yang cukup
potensial di daerah ini.
Fasilitas yang digunakan untuk kerajinan sulaman tangan hanya
membutuhkan satu fasilitas kerja utama yang disebut dengan pamedangan.
nantinya akan di sulam. Kerajinan sulaman tangan juga membutuhkan peralatan
seperti jarum dan gunting, serta membutuhkan beraneka ragam benang baik warna
maupun jenisnya, yang fungsinya untuk mengkreasikan sulaman yang akan dibentuk.
Proses pengerjaan sulaman tangan ini cukup sederhana, yaitu perajin hanya bekerja
dengan cara menusukkan jarum yang berisi benang pada kain yang telah diregangkan
di atas pamedangan. Akan tetapi, terdapat kesulitan dalam pengerjaan sulaman tangan ini, yaitu perajin dituntut untuk teliti pada saat menyulam, kecermatan dan
mampu mengatur perpaduan warna benang, agar sulaman yang dihasilkan berkualitas
baik.
Pamedangan yang dijadikan sebagai alat untuk meregangkan kain merupakan peralatan utama dalam proses kerajinan sulaman tangan. Pamedangan berbentuk seperti meja kerja, dengan ukuran panjang sekitar 2 meter, sesuai dengan ukuran
selendang yang akan disulam, dan lebar sekitar 60-80 cm. Tinggi dari pamedangan
ini sekitar 30-40 cm, sehingga pada saat melakukan pekerjaan, perajin sulaman
haruslah bekerja dengan cara duduk di lantai.
Pengerjaan sulaman tangan ini membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu
untuk menyelesaikan satu sulaman tangan untuk pembuatan selendang dibutuhkan
waktu sekitar 2-3 bulan. Rata-rata perajin dalam sehari menghabiskan waktunya
untuk menyulam sekitar 8-10 jam. Karena proses kerjanya yang sederhana dan
dilakukan dalam waktu yang lama, maka pekerjaan ini termasuk pekerjaan yang
Ergonomi memiliki peranan penting yang dapat menimbulkan masalah
kesehatan pada perajin sulaman tangan. Pamedangan yang berfungsi sebagai fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan dirasakan kurang ergonomis, dikarenakan tinggi
meja kerjanya hanya sekitar 30-40 cm dan tidak adanya kursi kerja pada saat
melakukan pekerjaan. Menurut Grandjean (1988), meja kerja yang direkomendasikan
memiliki ketinggian sekitar 55-71 cm dan tinggi kursi kerja yaitu 38-54 cm.
Keadaaan fasilitas kerja yang kurang ergonomis akan berdampak pada sikap
kerja perajin selama melakukan pekerjaannya. Hal ini dapat dilihat dari sikap kerja
perajin yaitu duduk bersila atau duduk di bangku kecil. Menurut Nurmianto (2004),
bekerja dengan sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adannya
masalah-masalah punggung. Tekanan pada tulang belakang akan meningkat. Selain bekerja
dengan sikap duduk di lantai ataupun duduk di bangku kecil, terdapat beberapa sikap
kerja yang kurang ergonomis pada perajin sulaman tangan ini. Hal ini dapat dilihat
pada saat perajin melakukan penyulaman, di mana posisi lengan kanan yang sedikit
terangkat ke atas. Posisi lengan kanan yang sedikit terangkat ini dikarenakan perajin
harus meletakkan tangan kanannya di atas pamedangan untuk menusukkan jarum dari atas kain sulaman.
Sikap kerja yang kurang ergonomis lainnya yaitu ada kecenderungan perajin
untuk menundukkan kepala pada saat melakukan proses penyulaman. Hal ini
dikarenakan proses penyulaman yang membutuhkan ketelitian. Ketelitian ini
membutuhkan ketajaman mata dalam melihat variasi warna dalam sulaman. Oleh
dalam sulaman tidak salah. Posisi mendekatkan mata ke sulaman menyebabkan
kepala agak sedikit menunduk, di mana posisi leher pun akan miring beberapa derajat
ke bawah. Karena harus menundukkan kepala pada saat melakukan pekerjaannya,
maka posisi punggung perajin harus sedikit membungkuk.
Posisi membungkuk pada saat melakukan pekerjaan dalam waktu yang lama
akan menyebabkan masalah-masalah punggung. Tekanan pada bagian tulang
belakang akan meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun
berbaring. Jika diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100%; maka cara duduk yang
tegang atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan
tekanan tersebut sampai 190%. Sikap duduk yang tegang lebih banyak memerlukan
aktivitas otot atau urat saraf belakang dari pada sikap duduk yang condong ke depan
(Nurmianto, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian Mindayani (2010), perajin sulaman di Nagari
Koto Gadang Jorong Subarang Tigo Jorong (84% perajin sulaman tangan)
mengeluhkan rasa sakit di bagian pinggang selama melakukan pekerjaan sulaman
tangan. Selain itu juga terdapat terdapat keluhan pada bahu kanan sebanyak 34 orang
(68%), bokong sebanyak 27 orang (54%), dan pantat sebanyak 28 orang (56%).
Banyaknya keluhan muskuloskeletal yang dirasakan pada perajin sulaman tangan,
menjadikan mereka tidak nyaman dalam melakukan pekerjaan mereka sehari-hari.
Tentunya hal ini akan berdampak pada penurunan produktivitas kerja perajin sulaman
Suatu desain produk yang ergonomis apabila secara antropometri, faal,
biomekanik dan psikologis kompatibel dengan manusia pemakainya. Di dalam
mendesain suatu produk maka harus berorientasi pada production friendly, distribution friendly, installation friendly, operation friendly dan maintenance friendly. Di samping hal-hal tersebut di atas, dalam mendesain suatu produk yang sangat penting untuk diperhatikan adalah suatu desain yang berpusat pada manusia
pemakainya atau human centered design. Hal ini dimaksudkan agar setiap desain produk, baik secara fungsi, teknis, teknologi, ekonomis, estetika maupun secara
ergonomis sesuai dengan kebutuhan pemakainya (Darlis, dkk, 2009).
Ketidaknyamanan dalam bekerja dan keluhan muskuloskeletal pada perajin sulaman
tangan akan dapat berkurang jika peralatan kerja yang digunakan disesuaikan dengan
keadaan/postur tubuh perajin (ergonomis).
Oleh karena terdapatnya beberapa keluhan muskuloskeletal pada perajin
sulaman tangan pada saat melakukan pekerjaannya yang mungkin disebabkan oleh
karena fasilitas kerja dan sikap kerjanya yang kurang ergonomis, maka penulis
merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Sikap Kerja
terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto
Gadang Sumatera Barat”.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang
dengan intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang
Sumatera Barat.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh sikap kerja
terhadap keluhan muskoloskeletal melalui intervensi fasilitas kerja pada perajin
sulaman tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat.
1.4. Hipotesis
Adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal melalui
intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang
Sumatera Barat.
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi kepada perajin sulaman tangan mengenai sikap kerja
yang ergonomis dalam melakukan pekerjaannya melalui intervensi fasilitas
kerja.
2. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam penelitian.
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Usaha Sektor Informal
Menurut Departemen Kesehatan RI (2002), sektor informal adalah kegiatan
ekonomi tradisional yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun
penerimaanya.
2. Pada umumnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang diterapkan
oleh pemerintah.
3. Modal, peraturan dan perlengkapan maupun pemasukan biasanya kecil dan
diusahakan atas dasar hitungan harian.
4. Pada umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan tidak
terpisah dengan tempat tinggal.
5. Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang besar.
6. Pada umumnya dilakukan oleh golongan masyarakat yang berpendapatan
rendah.
7. Tidak selalu membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga
secara luwes dapat menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat
pendidikan.
Menurut Notoatmodjo (1989) dalam Departemen Kesehatan RI (1994)
sebagai sektor kegiatan ekonomi marginal atau kegiatan ekonomi kecil-kecilan.
Biasanya dikaitkan dengan usaha kerajinan tangan dagang, atau usaha lain secara
kecil-kecilan.
Sedangkan menurut Simanjuntak (1985) dalam DepKes RI (1994), sektor
informal adalah kegiatan ekonomi tradisional, yaitu usaha-usaha ekonomi di luar
sektor modern atau sektor formal seperti perusahaan, pabrik dan sebagainya, yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Kegiatan usaha biasanya sederhana, tidak tergantung pada kerja sama banyak
orang bahkan kadang-kadang usaha perorangan dan sistem pembagian kerja
yang tidak ketat.
2. Skala usaha relatif kecil, biasanya dimulai dengan modal dan usaha-usaha
kecil-kecilan.
3. Biasanya tidak mempunyai izin usaha seperti halnya Firma, Perseroan
Terbatas atau CV.
4. Sebagai akibat yang pertama, kedua dan ketiga membuka usaha disektor
informal relatif lebih mudah daripada formal.
Timbulnya sektor informal adalah akibat dari meluapnya atau
membengkaknya angkatan kerja disatu pihak dan menyempitnya lapangan kerja
dipihak yang lain. Hal ini berarti bahwa lapangan kerja yang tersedia tidak cukup
menampung angkatan kerja yang ada. Permasalahan ini menimbulkan banyaknya
berusaha kecil-kecilan sesuai dengan kebiasaan mereka. Inilah yang memunculkan
usaha sektor informal (DepKes RI, 1994).
Dalam kelompok masyarakat desa dan kota terdapat perbedaan tantangan
hidup. Oleh karenanya sektor informal dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:
1. Kelompok sektor informal desa
Kegiatan atau usaha-usaha sektor informal di desa pada umumnya meliputi bidang
pertanian/perikanan, perkebunan dan kerajinan tangan seperti anyaman,
menyulam, pembuatan tempe/tahu, keramik dan sebagainya.
2. Kelompok sektor informal kota
Kegiatan atau usaha-usaha sektor informal di kota pada umumnya meliputi
bidang-bidang perdagangan (pedagang baso, warung nasi, jamu gendong, pedagang
es, tukang koran dan pedagang bermacam-macam minuman dan makanan baik
keliling maupun disuatu tempat), kerajinan tangan (tukang jahit, tukang bordir,
pembuat dan penjaja mainan anak-anak, pemahat, dan sebagainya), bidang jasa
seperti tukang tambal ban, tukang jam, tukang becak, dan bermacam-macam usaha
perantara atau calo, bidang keuangan seperti tukang membungan uang atau
“rentenir”. Disamping itu sekarang ini pemulung juga diperhitungan sebagai usaha
sektor informal di kota (DepKes RI, 1994).
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perajin sulaman tangan
merupakan salah satu usaha sektor informal. Dan usaha ini termasuk kedalam usaha
2.2. Ergonomi
Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu “ergon”
berarti kerja dan”nomos”berarti hukum atau aturan. Jadi secara ringkas ergonomi
adalah suatu aturan atau norma dalam sistem kerja. Ergonomi adalah ilmu, seni dan
penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan anatara segala
fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan
kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehinga kualitas
hidup secara keseluruhan menjadi baik (Tarwaka, 2004).
Secara umum tujuan penerapan ergonomi yaitu:
1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan
cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental,
mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.
2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak
sosial, mengelola dan mengordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan
jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak
produktif.
3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis,
ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan
sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi (Tarwaka,
2.3. Sikap Kerja
Sikap tubuh dalam pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran
dan penempatan mesin-mesin, penempatan alat-alat penunjuk, cara-cara harus
melayani mesin (macam gerak, arah dan kekuatan) (Suma’mur, 1996).
Terdapat 3 macam sikap dalam bekerja, yaitu: (Santoso, 2004)
1. Prinsip Posisi Duduk
Duduk memerlukan lebih sedikit energi dari pada berdiri, karena hal itu dapat
mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Seorang operator yang bekerja
sambil duduk memerlukan sedikit istirahat dan secara potensial lebih produktif. Di
samping itu lebih cekatan dan mahir.
Namun sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adanya
masalah-masalah-masalah punggung. Operator dengan sikap duduk yang salah akan
menderita pada bagian punggungnya. Tekanan pada bagian tulang belakang akan
meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring.
Jika diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100%; maka cara duduk yang tegang
atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan
tekanan tersebut sampai 190%. Sikap duduk yang tegang lebih banyak
memerlukan aktivitas otot atau urat saraf belakang dari pada sikap duduk yang
Kenaikan tekanan tersebut dapat meningkat dari suatu perubahan dalam
lekukan tulang belakang yang terjadi pada saat duduk. Suatu keletihan pada
pinggul sekitar 900 tidak dapat dicapai hanya dengan rotasi dari tulang pada
sambungan paha (persendian tulang paha).
Urat-urat lutut (hamstring) dan otot-otot gluteal pada bagian belakang paha dihubungkan sampai bagian belakang pinggul dan menghasilkan suatu rotasi
parsial dari pinggul (pelvis), termasuk tulang ekor (sacrum). Hal tersebut hanya menghasilkan 600-900 kelebihan putar pinggul dengan rotasi pada persendian
tulang paha itu sendiri. Oleh sebab itu, perolehan 300 dari rotasi pinggul (pelvis) searah dengan lekukan tulang belakang kearah belakang (lordosis) dan bahkan memperkenalkan suatu lekukan tulang belakang kearah depan (kyphosis) (Nurmianto, 2004).
Posisi duduk pada otot rangka (musculoskeletal) dan tulang belakang terutama pada pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar
dari nyeri dan cepat lelah. Pada posisi duduk, tekanan tulang belakang akan
meningkat dibanding berdiri atau berbaring, jika posisi duduk tidak benar.
Menurut Eko Nurmianto (1998) dalam Santoso (2004) bahwa tekanan posisi
tidak duduk 100%, maka tekanan akan meningkat menjadi 140% bila sikap duduk
tegang dan kaku, dan tekanan akan meningkat menjadi 190% apabila saat duduk
dilakukan membungkuk ke depan. Oleh karena itu perlu sikap duduk yang benar
Sikap duduk yang paling baik yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap
badan dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lordosa pada pinggang dan sedikit mungkin kifosa pada punggung. Sikap demikian dapat dicapai dengan kursi dan sandaran punggung yang tepat.
Pekerjaan sejauh mungkin harus dilakukan sambil duduk. Keuntungan bekerja
sambil duduk adalah sebagai berikut:
a. Kurangnya kelelahan pada kaki.
b. Terhindarnya sikap-sikap yang tidak alamiah.
c. Berkurangnya pemakaian energi.
d. Kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah (Suma’mur, 1989)
2. Kerja Posisi Berdiri
Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan
mengakibatkan penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki, hal ini
akan bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai. Seperti
pembersih (clerks), dokter gigi, penjaga tiket, tukang cukur pasti memerlukan sepatu ketika bekerja. Apabila sepatu tidak pas (tidak sesuai) maka sangat
mungkin akan sobek dan terjadi bengkak pada jari kaki, mata kaki, dan bagian
sekitar telapak kaki. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut sepatu
kerja secara ergonomis. Sepatu yang baik adalah sepatu yang dapat menahan kaki
(tubuh) dan kaki tidak direpotkan untuk menahan sepatu. Desain sepatu harus
lebih longgar dari ukuran telapak kaki. Apabila bagian sepatu di kaki terjadi
terjadi dalam waktu yang lama, maka otot rangka akan mudah mengalami
kelelahan.
Beberapa penelitian telah berusaha untuk mengurangi kelelahan pada tenaga
kerja dengan posisi berdiri. Contohnya yaitu seperti yang diungkapkan Grandjean
(1988) dalam Santoso (2004), merekomendasikan bahwa untuk jenis pekerjaan
teliti, letak tinggi meja diatur 10 cm di atas siku. Untuk jenis pekerjaan ringan,
letak tinggi meja diatur sejajar dengan tinggi siku. Dan untuk pekerjaan berat,
letak tinggi meja diatur 10 cm di bawah tinggi siku.
3. Kerja Berdiri Setengah Duduk
Berdasarkan penelitian Santoso (2004) bahwa tenaga kerja bubut yang telah
terbiasa bekerja dengan posisi berdiri tegak diubah menjadi posisi setangah duduk
tanpa sandaran dan setengah duduk dengan sandaran, menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan tingkat kelelahan otot biomekanik antar kelompok.
Menurut Suma’mur (1989) posisi kerja yang baik adalah bergantian antara
posisi duduk dan posisi berdiri, akan tetapi antara posisi duduk dan berdiri lebih
baik dalam posisi duduk. Hal itu dikarenakan sebagian berat tubuh di sangga oleh
tempat duduk disamping itu konsumsi energi dan kecepatan sirkulasi lebih tinggi
dibandingkan tiduran, tetapi lebih rendah dari pada berdiri. Posisi duduk juga
dapat mengontrol kekuatan kaki dalam pekerjaan, akan tetapi harus memberi
ruang yang cukup untuk kaki karena bila ruang yang tersedia sangat sempit maka
2.4. Desain Stasiun Kerja
Salah satu fungsi ergonomi yang menitik beratkan pada penyesuaian desain
terhadap manusia adalah kemampuan untuk menerapkan informasi menurut karakter
manusia, kapasitas dan keterbatasannya terhadap desain pekerjaan, mesin dan
sistemnya, ruangan kerja dan lingkungan sehingga manusia dapat hidup dan bekerja
secara sehat, aman, nyaman dan efisien. Sedangkan Pulat (1992) menawarkan konsep
desain produk untuk mendukung efisiensi dan keselamatan dalam penggunaan desain
produk. Konsep tersebut adalah desain untuk reabilitas, kenyamanan, lamanya waktu
pemakaian, kemudahan dalam pemakaian, dan efisien dalam pemakaian. Agar desain
produk dapat memenuhi keinginan pemakainya maka harus dilakukan melalui
beberapa upaya pendekatan sebagai berikut ini: (Tarwaka, 2004)
1. Mengetahui kebutuhan pemakai.
2. Fungsi produk secara detail.
3. Melakukan analisis pada tugas-tugas desain produk.
4. Mengembangkan produk.
5. Melakukan uji terhadap pemakai produk.
Suatu desain produk yang ergonomis apabila secara antropometris, faal,
biomekanik dan psikologis kompatibel dengan manusia pemakainya. Di dalam
distribution firndly, installation friendly, operation friendly dan maintenance friendly. Di samping hal-hal tersebut di atas, di dalam mendesain suatu produk yang sangat
penting untuk diperhatikan adalah suatu desain yang berpusat pada manusia
pemakainya (human centered design) (Sutalaksana, 1999). Hal ini dimaksudkan agar setiap desain produk baik secara fungsi, teknis, teknologi, ekonomis, estetis maupun
secara ergonomis sesuai dengan kebutuhan pemakainya (Tarwaka, 2004).
1. Pendekatan dalam Desain Stasiun Kerja
Secara umum baik dalam memodifikasi atau meredesain stasiun kerja yang
sudah ada maupun mendesain stasiun kerja yang baru, para perancang sering dibatasi
oleh faktor finansial maupun teknologi seperti: keluasaan modifikasi, ketersediaan
ruangan, lingkungan, ukuran frekuensi alat yang digunakan, kesinambungan
pekerjaan dan populasi yang menjadi target. Dengan demkian, desain dan redesain
harus selalu memperhatikan antara kebutuhana biologis operator dengan kebutuhan
stasiun kerja fisik baik ukuran maupun fungsi dalam alat dalam stasiun kerja. Untuk
kesesuaian tersebut perlu mempertimbangkan antropometri dan lokasi elemen mesin
terhadap posisi kerja, jangkauan, pandangan, ruang gerak dan interface antara tubuh operator dengan mesin. Di samping itu, teknik dalam mendesain stasiun kerja harus
mulai dengan mengidentifikasi variabilitas populasi pemakai yang didasarkan pada
faktor-faktor seperti etnik, jenis kelamin, umur, dan lain-lain (Tarwaka, 2004).
Menurut Das dan Sengupta (1993) dalam Tarwaka (2004), pendekatan secara
sistemik untuk menentukan dimensi stasiun kerja dapat dilakukan dengan cara
1. Mengidentifikasi variabilitas populasi pemakai yang didasarkan pada etnik,
jenis kelamin dan umur.
2. mendapatkan data antropometri yang relevan dengan posisi pemakai.
3. dalam pengukuran antropometri perlu mempertimbangkakn pakaian, sepatu
dan posisi normal.
4. menentukan kisaran ketinggian dari pekerjaan utama. Penyediaan kursi dan
meja kerja yang dapat distel, sehingga operator dimungkinkan bekerja dengna
sikap duduk maupun berdiri secara bergantian.
5. Tata letak dari alat-alat tangan, kontrol harus dalam kisaran jangkauan
optimum.
6. menempatkan display yang tepat sehingga operator dapat melihat objek
dengan pandangan yang tepat dan nyaman.
7. Review terhadap desain stasiun kerja secara berkala.
2. Aplikasi Antropometri dalam Perancangan Produk/Fasilitas Kerja
Setiap desain produk, baik produk yang sangat sederhana maupun produk
yang sangat komplek, harus berpedoman kepada antropometri pemakainya. Menurut
Sanders dan McCormick (1987); Pheasant (1988) dan Pulat (1992) bahwa
antropometri adalah desain tentang sesuatu yang dipakai orang. Selanjutnya Annis
dan McConville (1996) membagi aplikasi ergonomi dalam kaitannya dengan
antropometri menjadi dua devisi utama:
1. Pertama, ergonomi berhadapan dengan tenaga kerja, mesin beserta sarana
adalah untuk menciptakan kemungkinan situasi terbaik pada pekerjaan
sehingga kesehatan fisik dan mental tenaga kerja dapat terus dipelihara serta
efisiensi produktivitas dan kualitas produk dapat dihasilkan dengan optimal.
2. Kedua, ergonomi berhadapan dengan karakteristik produk pabrik yang
berhubungan dengan konsumen atau pemakai produk. (Tarwaka, 2004)
Dalam setiap desain peralatan dan stasiun kerja, keterbatasan manusia harus
selalu diperhitungkan, di samping memperhatikan kemampuannya dan kebolehannya.
Mengingat bahwa setiap manusia berbeda satu sama lainnya, maka aplikasi data
antropometri dalam desain produk dapat meliputi: desain untuk orang ekstrim (data
terkecil atau terbesar), desain untuk orang per orang, desain untuk kisaran yang dapat
diatur (adjustable range) dengan menggunakan persentil-5 dan persentil-95 dari populasi dan desain untuk ukuran rerata dengan menggunakan data persentil-50
(Sanders dan McCormick, 1987). Namun demikian, dalam pengumpulan data
antropometri yang akan digunakan untuk mendesain suatu produk, harus
memperhitungkan variabilitas populasi pemakai seperti variabilitas ukuran tubuh
secara umum, variasi jenis kelamin, variasi umur dan variasi ras atau etnik (Tarwaka,
2004).
Ada dua bentuk pengukuran pada antropometri yaitu pengukuran statis
(structural) yaitu tubuh manusia yang berada dalam posisi diam, dan pengukuran dinamis (fungsional) yaitu tubuh diukur dalam berbagai posisi tubuh yang sedang
bergerak. Data antropometri diterapkan untuk membahas dan merancang barang serta
berupa kenyamanan maupun kesehatan yang ditinjau dari sudut pandang ilmu
anatomi, fisiologi, fisikologi, kesehatan dan keselamatan kerja, perancangan dan
manajemen.
Dalam mengukur data antropometri ini banyak ditemui perbedaan atau
sumber variabilitas yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran yang pada akhirnya
akan digunakan dalam perancangan suatu produk. Beberapa sumber variabilitas yang
merupakan faktor yang mempengaruhi dimensi tubuh manusia yang menyebabkan
adanya perbedaan antara satu populasi dengan populasi lain yaitu (Stevenson,1989:
Nurmianto 1991):
1. Keacakan/random
2. Jenis kelamin
3. Suku bangsa (ethnic variabelity) 4. Usia
5. Pakaian
6. Faktor kehamilan pada wanita
7. Cacat tubuh secara fisik
Adapun pendekatan dalam penggunaan data antropometri adalah sebagai
berikut (Nurmianto,1991):
a. Pilihlah simpangan baku yang sesuai sebagai dasar perancangan yang
dimaksud.
b. Carilah data pada rata-rata dan distribusi dari dimensi yang dimaksud
c. Pilihlah nilai persentil yang sesuai sebagai dasar perancangan.
d. Pilihlah jenis kelamin yang sesuai.
Penerapan data antropometri ini akan dapat dilakukan jika tersedia nilai
rata-rata (mean) dan simpangan baku (standart deviasi) dari suatu distribusi normal (Nurmianto, 1991). Adapun distribusi normal ditandai dengan adanya nilai rata-rata
dan simpangan baku yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus 1 dan 2
sebagai berikut :
X = Σ× ……….. (1)
n
Dimana :
X = Rata-rata
ΣX = Jumlah data yang akan dihitung
n = Jumlah sampel
Σ (×i - ×)²
σ× = √ i= 1 ………. (2)
n – 1
Dimana :
σ× = Simpangan baku (Standar Deviasi)
× = rata-rata
× = nilai data
Untuk uji keseragaman data digunakan uji dengan menggunakan peta kontrol
dengan tingkat keyakinan 99% (3σ) untuk masing-masing kriteria. Adapun rumus
pengujian keseragaman data tersebut dapat dilihat pada rumus 3 berikut:
BKA= X + 3σ× ……….(3)
BKB= X –3σ×
Jika X min>BKB dan Xmax < BKA maka data seragam.
Dimana :
BKA = batas atas
BKB = batas bawah
Sedangkan persentil adalah suatu nilai yang menyatakan bahwa persentase
tertentu dari sekelompok orang yang dimensinya sama dengan atau lebih rendah dari
nilai tersebut. Misalnya 95% populasi adalah sama dengan atau lebih rendah dari 95%
persentil: 5% dari populasi berada sama dengan atau lebih rendah dari 5 persentil.
Besarnya nilai persentil dapat ditentukan dari tabel probabilitas distribusi
normal pada gambar 1. Dalam pokok bahasan antropometri, 95 persentil
menunjukkan tubuh berukuran besar, sedangkan 5 persentil tubuh berukuran kecil.
Jika diinginkan dimensi untuk akomodasi 95 % populasi maka 2,5 dan 97,5 persentil
adalah batas rentang yang dapat dipakai dan ditunjukkan pada gambar 1 dan 2 serta
Gambar 2.1. Distribusi Normal dan Perhitungan Persentil
Gambar 2.2. Antropometri Tubuh Manusia yang Diukur Dimensinya
Keterangan:
1. Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai sampai ujung
kepala)
20
2. Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak
3. Tinggi bahu dalam posisi tegak
4. Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus)
5. Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak
6. Tinggi tubuh dalam posisi duduk (diukur dari alas tempat duduk/pantat
sampai dengan kepala)
7. Tinggi mata dalam posisi duduk
8. Tinggi bahu dalam posisi duduk
9. Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus)
10. Tebal atau lebar paha
11. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan ujung lutut
12. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari
lutut atau betis
13. Tinggi lutut yang bisa diukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk
14. Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang diukur dari lantai sampai dengan paha
15. Lebar dari bahu (bisa diukur dalam posisi berdiri ataupun duduk)
16. Lebar pinggul atau pantat
17. Lebar dari dada dalam keadaan membusung
18. Lebar perut
19. Panjang siku yang diukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi
siku tegak lurus
21. Panjang tangan diukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari
22. Lebar telapak tangan
23. Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar-lebar kesamping kiri-kanan
24. Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak, diukur dari lantai sampai
dengan telapak tangan ang terjangkau lurus ke atas vertikal
25. Tinggi jangakauan tangan dalam posisi duduk tegak, diukur seperti halnya
nomor 24 tetapi dalam posisi duduk
26. Jarak jangkauan tangan yang terjulur ke depan diukur dari bahu sampai ujung
jari tangan.
Data antropometri yang menyajikan data ukuran dari berbagai macam anggota
tubuh manusia dalam persentil tertentu akan sangat besar manfaatnya pada saat suatu
rancangan produk ataupun fasilitas kerja akan dibuat. Agar rancangan suatu produk
nantinya bisa sesuai dengan ukuran tubuh manusia yang akan mengoperasikannya,
maka prinsip-prinsip yang harus diambil didalam aplikasi data antropometri tersebut
harus ditetapkan terlebih dahulu seperti diuraikan berikut ini :
a. Prinsip perancangan produk bagi individu dengan ukuran yang ekstrim.
Disini rancangan produk dibuat agar bisa memenuhi 2 (dua) sasaran produk,
yaitu :
i. Bisa sesuai untuk ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi
ekstrim dalam arti terlalu besar atau kecil bila dibandingkan dengan
ii. Tetap bisa digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain (mayoritas
dari populasi yang ada ).
b. Prinsip perancangan produk yang bisa dioperasikan diantara rentang ukuran
tertentu.
Disini rancangan bisa dirubah-rubah ukurannya sehingga cukup fleksibel
dioperasikan oleh setiap orang yang memiliki berbagai macam ukuran tubuh.
Contoh yang paling umum dijumpai adalah perancangan kursi mobil yang
mana dalam hal ini letaknya bisa digeser maju/mundur dan sudut sandarannya
bisa dirubah-rubah sesuai dengan yang diinginkan. Dalam kaitannya untuk
mendapatkan rancangan yang fleksibel, semacam ini maka data antropometri
yang umum diaplikasikan adalah rentang nilai 5-th s/d 95-th percentile. c. Prinsip perancangan produk dengan ukuran rata-rata.
Berkaitan dengan aplikasi data antropometri yang diperlukan dalam proses
perancangan produk ataupun fasilitas kerja, maka ada beberapa
saran/rekomendasi yang bisa diberikan sesuai dengan langkah-langkah seperti
berikut :
i. Pertama kali terlebih dahulu harus ditetapkan anggota tubuh yang mana
yang nantinya akan difungsikan untuk mengoperasikan rancangan
tersebut.
ii. Tentukan dimensi tubuh yang penting dalam proses perancangan tersebut,
dalam hal ini juga perlu diperhatikan apakah harus menggunakan data
iii. Selanjutnya tentukan populasi terbesar yang harus diantisipasi,
diakomodasikan dan menjadi target utama pemakai rancangan produk
tersebut. Hal ini lazim dikenal sebagai "market segmentation", seperti produk mainan untuk anak-anak, peralatan rumah tangga untuk wanita,
dll.
iv. Tetapkan prinsip ukuran yang harus diikuti semisal apakah rancangan
tersebut untuk ukuran individual yang ekstrim, rentang ukuran yang
fleksibel (adjustable) ataukah ukuran rata-rata.
v. Pilih presentase populasi yang harus diikuti, 90-th, 95-th, 99-th ataukah
nilai percentile yang lain yang dikehendaki.
vi. Untuk setiap dimensi tubuh yang telah diidentifikasikan selanjutnya
pilih/tetapkan nilai ukurannya dari tabel data antropometri yang sesuai.
Aplikasi data tersebut dan tambahkan faktor kelonggaran (allowance) bila diperlukan seperti halnya tambahan ukuran akibat faktor tebalnya pakaian
yang harus dikenakan oleh operator, pemakaian sarung tangan (glowes), dan lain-lain (Wignjosoebroto, 2008)
3. Desain Stasiun Kerja dan Sikap Duduk
Posisi tubuh dalam kerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang
dilakukan. Masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda
terhadap tubuh. Granjean (1993) berpendapat bahwa bekerja dengan posisi duduk
mempunyai keuntungan antara lain: pembebanan pada kaki; pemakaian energi dan
Namun demikian posisi duduk dengan sikap duduk terlalu lama dapat
menyebabkan otot perut melembek dan tulang belakang akan melengkung sehingga
cepat lelah. Sedangkan Clark (1996), menyatakan bahwa desain stasiun kerja dengan
posisi duduk mempunyai derajat stabilitas tubuh yang tinggi, mengurangi kelelahan,
dan keluhan subjektif bila bekerja lebih dari 2 jam. Di samping itu tenaga kerja juga
dapat mengendalikan kaki untuk melakukan gerakan.
Mengingat posisi duduk mempunyai keuntungan maupun kerugian, maka
unttuk mendapatkan hasil kerja yang lebih baik tanpa pengaruh buruk pada tubuh,
perlu dipertimbangkan pada jenis pekerjaan apa saja yang sesuai dilakukan dengan
posisi duduk. Untuk maksud tersebut, Pulat (1992) memberikan pertimbangann
tentang pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi duduk adalah sebagai
berikut: (Tarwaka, 2004)
1. Pekerjaan yang memerlukan kontrol dengan teliti pada kaki
2. Pekerjaan utama adalah menulis atau memerlukan ketelitian pada tangan
3. Tidak diperlukan tenaga dorong yang besar
4. Objek yang dipegang tidak memerlukan tangan bekerja pada ketinggian lebih
dari 15 cm dari landasan kerja
5. Diperlukan tingkat kestabilan tubuh yang tinggi
6. Pekerjaan dilakukan pada waktu yang lama
7. Seluruh objek yang dikerjakan atau disuplai masih dalam jangkauan dengan
Pada pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk, tempat duduk yang
dipakai harus memungkinkan untuk melakukan variasi perubahan posisi. Ukurann
tempat duduk disesuaikan dengan dimensi ukuran antropometri pemakainya. Fleksi
lutut membentuk 900 dengan telapak kaki bertumpu pada lantai atau injakan kaki
(Pheasant, 1988). Jika landasan kerja terlalu rendah, tulang belakang akan
membungkuk ke depan, dan jika terlalu tinggi bahu akan terangkat dari posisi rileks,
sehingga menyebabkan bahu dan leher menjadi tidak nyaman. Sanders dan
McCormick (1987) memberikan pedoman untuk mengatur ketinggian landasan kerja
pada posisi duduk sebagai berikut:
1. Jika memungkinkan menyediakan meja yang dapat diatur turun dan naik.
2. Landasan kerja harus memungkinkan lengan menggantung pada posisi rileks
dari bahu, dengan lengan bawah mendekati posisi horizontal atau sedikit
menurun.
3. Ketinggian landasan kerja tidak memerlukan fleksi tulang belakang yang
berlebihan.
2.5. Keluhan Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal
yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit.
Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama,
akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon.
musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal. Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikiann keluhan tersebut akan segera hilang
apabila pembebanan dihentikan.
2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap, walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot
masih terus berlanjut (Tarwaka, 2004).
Peter (2000) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu:
1. Peregangan otot yang berlebihan
Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering dkeluhkan oleh pekerja di mana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan
tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat. Peregangan otot yang
berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui
kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat
mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan
terjadinya cedera otot skeletal.
2. Aktivitas berulang
Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus