• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Sikap Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Sikap Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat"

Copied!
201
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH SIKAP KERJA TERHADAP KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAJIN SULAMAN

TANGAN DI NAGARI KOTO GADANG SUMATERA BARAT

TESIS

Oleh:

SRI MINDAYANI 107032111/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENGARUH SIKAP KERJA TERHADAP KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAJIN SULAMAN

TANGAN DI NAGARI KOTO GADANG SUMATERA BARAT

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Kesehatan Kerja pada Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

Oleh

SRI MINDAYANI 107032111/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Judul Proposal : PENGARUH SIKAP KERJA TERHADAP KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAJIN SULAMAN TANGAN DI NAGARI KOTO GADANG

SUMATERA BARAT

Nama Mahasiswa : Sri Mindayani

Nomor Induk Mahasiswa : 107032111

Program Studi : S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi : Kesehatan Kerja

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, M.S.I.E) (Ir. Kalsum, M.Kes)

Ketua Anggota

Dekan

(4)

Telah diuji

Pada Tanggal : 13 Agustus 2012

PANITIA PENGUJI TESIS

KETUA : Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, M.S.I.E ANGGOTA : 1. Ir. Kalsum, M.Kes

(5)

PERNYATAAN

PENGARUH SIKAP KERJA TERHADAP KELUHAN MUSKULOSKELETAL PADA PERAJIN SULAMAN

TANGAN DI NAGARI KOTO GADANG SUMATERA BARAT

TESIS

Dengan ini Saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan Saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, September 2012

(6)

ABSTRAK

Perajin sulaman tangan merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat yang belum menerapkan fasilitas kerja (pamedangan) yang ergonomis dalam bekerja.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal dengan intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat. Populasi dari penelitian ini adalah sebanyak 36 orang dengan jumlah sampel sebanyak 26 orang. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen sungguhan dengan bentuk rancangan Pretest – Postest with Control Group.

Hasil penelitian yang diperoleh yaitu sikap kerja sebelum intervensi fasilitas kerja berada pada level tindakan tinggi dan sedang. Sesudah intervensi fasilitas kerja, terjadi perbaikan sikap kerja menjadi level tindakan menjadi kecil. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal pada saat mulai bekerja (p=0,01) dan selesai bekerja (p=0,01) kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan tidak adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal pada saat mulai bekerja (p=0,325) dan selesai bekerja (p=0,498) kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja.

Perajin sulaman tangan disarankan agar dapat menggunakan fasilitas kerja yang telah didesain secara ergonomis, melakukan relaksasi selama bekerja, perlunya membuat meja kerja (pamedangan) yang adjustable dan penahan lumbar agar dapat mengurangi keluhan muskoloskeletal dan perlunya dukungan dari pemerintah agar dapat mensosialisasikan manfaat intervensi fasilitas kerja yang diperoleh secara kongkrit kepada perajin sulaman tangan.

(7)

ABSTRACT

Hand embroidery industry is one of the forms of informal sectors in Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat which has not yet applied an ergonomic working facilities in its daily activity.

The purpose of this experimental study with pretest-posttest with control group design was to analyze the influence of work posture on musculoskeletal disorder with the intervention of working facilities in the hand embroidery workers in Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat. The populations of this study was 36 embroidery workers and 26 of them were selected to be samples for this study.

The result of this research, before the working facility intervention, their work posture was on the high and medium levels. After working facility intervention, their work posture was improved to small level. The result of Wilcoxon test showed work posture had influence on the musculoskeletal disorder when they began to work (p=0.01) and after they finished working (p=0.01)in the experiment group before and after working facility intervention; and work posture did not have any influence on the musculoskeletal disorder when they began to work (p=0.325) and after they finished working (p=0,498)in the control group before and after the working facility intervention.

The hand embroidery workers are suggested to use the working facilities which have been ergonomically design, to do some relaxation when they are working,

it’s needed to make an adjustable work (pamedangan) and using a lumbar brace to

minimize the musculoskeletal disorder. The support from the government is also needed to socialize to the hand embroidery workers about the benefit of working facility intervention obtained in a concrete way.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat rahmat

dan karuniaNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Pengaruh Sikap

Kerja terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari

Koto Gadang Sumatera Barat”. Tesis ini disusun sebagai salah satu persyaratan untuk

menyelesaikan Program Magister di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat

Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari begitu banyak yang memberi dukungan, bimbingan,

informasi, bantuan moril maupun materi dan kemudahan dari berbagai pihak,

sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, M.Sc(CTM), Sp.A(K), selaku Rektor

Universitas Sumatera Utara Medan.

2. Dr. Drs. Surya Utama, M.S, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara.

3. Dr. Ir. Evawany Aritonang, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi S2 Ilmu

Kesehatan Masyarakat Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera

Utara.

4. Prof. Dr. Ir. A. Rahim Matondang, M.S.I.E. dan Ir. Kalsum, M. Kes selaku

pembimbing yang telah memberi perhatian, dukungan dan pengarahan kepada

(9)

5. Dr. Ir. Gerry Silaban, M.Kes dan dr. Halinda Sari Lubis, M.K.K.K, selaku

penguji yang telah memberi masukan sehingga dapat menyempurnakan tesis ini.

6. dr. Linda T. Maas, M.P.H, dr, Bisara L. Tobing, M.P.H, Lita Sri Andayani,

S.K.M, M.Kes dan Asfriyati, S.K.M, M.Kes yang telah banyak memberikan

pengetahuan, pengalaman berharga dan dukungan kepada penulis selama

menuntut ilmu di FKM USU.

7. Wali Nagari Koto Gadang Nurdin Nursid, S.Sos. MH yang telah memberi izin

untuk peneliti melakukan penelitian di Nagari Koto Gadang.

8. Dr. Eng. Lusi Susanti yang sangat baik dan bermurah hati memberikan bantuan

kepada penulis dalam peminjaman kursi antropometri.

9. Seluruh staf dosen dan staf pegawai di Program Studi S2 Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara yang telah memberi ilmu dan bantuan kepada

penulis.

10. Teristimewa untuk orang tua tercinta, Papanda (Yusbar Yakub) dan Ibunda

(Farilon) yang telah banyak memberikan dukungan, semangat, dan senantiasa

mendo’akan penulis selama ini.

11. Buat saudaraku tersayang, Bang Hendra, Bang Rommi, Oggi dan Ola yang selalu

mendukung dan senantiasa mendoakan penulis.

12. Buat sahabat-sahabatku, Liza, Dini, Hendra, Eel dan Aulia yang telah banyak

memberikan dukungan dan saran selama ini dalam pengerjaan tesis ini.

13. Teman-teman di S2 FKM USU khususnya minat studi Kesehatan Kerja dan

(10)

Nanda, Aisyah, Kak Dewi, Kak Cut, Kak Listautin, dan Kak Lisda dan

teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu).

14. Teman-teman Teknik Industri USU dan UNAND (Kak Eza, Yos, Taufik, Bayu,

Eka, Adnan, Ridho, Clara, dan lain-lain) yang telah banyak membantu penulis

dalam memberikan pemahaman mengenai masalah-masalah tesis.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih banyak kekurangan, untuk itu

diharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan tesis ini. Akhir kata penulis

mengucapkan terimakasih, semoga tesis ini bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Oktober 2012 Penulis

(11)

RIWAYAT HIDUP

Nama penulis Sri Mindayani, lahir di Payakumbu tanggal 6 Juni 1988, jenis

kelamin perempuan, beragama Islam, anak ketiga dari lima bersaudara, dari pasangan

Syafnir dan Farilon, pada saat ini belum menikah. Penulis bertempat tinggal di Nagari

Koto Gadang Kecamatan IV Koto Kabupaten Agam Sumatera Barat.

Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Negeri 10 Koto Gadang pada

tahun 2000. Menamatkan Sekolah Lanjut Tingkat Pertama (SLTP) Swasta Xaverius

Bukittinggi tahun 2003 dan menamatkan Sekolah Menengah Atas (SMA) Negeri 2

Bukittinggi tahun 2006. Penulis menamatkan pendidikan S1 Fakultas Kesehatan

Masyarakat Universitas Sumatera Utara tahun 2010.

Riwayat pekerjaan, pada tahun 2011 menjadi staf administrasi di Akademi

Kebidanan Widya Husada Medan.

(12)
(13)

3.5.2. Definisi Operasional ... 38

4.4. Data Antropometri Perajin Sulaman Tangan ... 54

4.5. Fasilitas Kerja ... 55

4.5.1. Fasilitas Kerja sebelum Perancangan ... 55

4.5.2. Fasilitas Kerja sesudah Perancangan ... 55

4.6. Sikap Kerja ... 60

4.6.1. Sikap Kerja sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 60

4.6.2. Sikap Kerja sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 65

4.7. Keluhan Muskuloskeletal ... 69

4.7.1. Keluhan Muskuloskeletal sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 69

4.7.2. Keluhan Muskuloskeletal sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 71

4.8. Uji Beda Keluhan Muskoloskeletal ... 73

BAB 5. PEMBAHASAN ... 79

5.1. Data Antropometri Perajin Sulaman Tangan ... 79

5.2. Sikap Kerja sebelum Intervensi Fasilitas Kerja... 84

5.3. Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 86

5.4. Perancangan Fasilitas Kerja ... 89

5.5. Sikap Kerja Setelah Intervensi Fasilitas Kerja ... 92

5.6. Uji Beda Keluhan Muskoloskeletal ... 94

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 97

6.1. Kesimpulan ... 97

(14)
(15)

DAFTAR TABEL

No. Judul Halaman

3.1. Skor Postur Batang Tubuh (Trunk) REBA ... 42

3.2. Skor Postur Leher (Neck) REBA ... 43

3.3. Skor Postur Kaki (Legs) REBA ... 43

3.4. Skor Beban (Load) REBA ... 44

3.5. Skor Postur Lengan Atas (Upper Arm) REBA ... 44

3.6 Skor Postur Lengan Bawah (Lower Arm) REBA ... 44

3.7. Skor Postur Pergelangan Tangan (Wrist) REBA ... 45

3.8. Skor Postur Coupling REBA ... 45

3.9. Tabel A REBA ... 46

3.10. Tabel B REBA ... 46

3.11. Tabel C REBA ... 47

3.12. Skor Aktivitas REBA ... 47

3.13. Nilai Level Tindakan REBA ... 47

4.1. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Kelompok Umur di Nagari Koto Gadang ... 51

4.2. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Jenis Kelamin di Nagari Koto Gadang ... 51

(16)

4.4. Distribusi Frekuensi Perajin Sulaman Tangan Berdasarkan Masa

Kerja di Nagari Koto Gadang ... 52

4.5. Skor Penilaian Sikap Kerja Berdasarkan Metode REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 61

4.6. Tabel A REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 62

4.7. Tabel B REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 62

4.8. Tabel C REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 63

4.9. Skor Aktivitas REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 63

4.10. Nilai Level Tindakan REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 63

4.11. Distribusi Frekuensi Skor Penilaian Sikap Kerja Berdasarkan Metode REBA sebelum Intervensi Fasilitas Kerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 64

4.12. Distribusi Frekuensi Skor Penilaian Sikap Kerja Berdasarkan Metode REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 66

4.13. Tabel A REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 66

4.14. Tabel B REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 67

4.15. Tabel C REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 67

4.16. Skor Aktivitas REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 68

4.17. Nilai Level Tindakan REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja... 68

4.18. Distribusi Frekuensi Skor Penilaian Sikap Kerja Berdasarkan Metode REBA sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 69

(17)

4.20. Distribusi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan Total Skor sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 71

4.21. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskuloskeletal sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Kelompok Eksperimen dan Kelompok Kontrol Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 72

4.22. Distribusi Frekuensi Tingkat Keluhan Muskuloskeletal Berdasarkan Total Skor sesudah Intervensi Fasilitas Kerja ... 73

4.23. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskuloskeletal sebelum dan sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Kelompok Kelompok Kontrol dan Kelompok Perlakuan pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 74

4.24. Perbedaan Keluhan Muskuloskeletal sebelum dan sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Saat Mulai Bekerja pada Kelompok Kontrol ... 75

4.25. Perbedaan Keluhan Muskuloskeletal sebelum dan sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Saat Mulai Bekerja pada Kelompok Perlakuan ... 76

4.26. Perbedaan Tingkat Keluhan Muskuloskeletal sebelum dan sesudah Intervensi Fasilitas Kerja pada Saat Selesai Bekerja pada Kelompok Kontrol ... 77

(18)

DAFTAR GAMBAR

No. Judul Halaman

2.1. Distribusi Normal dan Perhitungan Persentil ... 26

2.2. Antropometri Tubuh Manusia yang Diukur Dimensinya ... 26

2.3. Kerangka Konsep... 35

3.1. Postur Batang Tubuh (Trunk) REBA ... 42

3.2. Postur Leher (Neck) REBA ... 43

3.3. Postur Kaki (Legs) REBA ... 43

3.4. Ukuran Beban (Load) REBA... 43

3.5. Postur Lengan Atas (Upper Arm) REBA ... 44

3.6. Postur Lengan Bawah (Lower Arm) REBA... 44

3.7. Postur Pergelangan Tangan (Wrist) REBA ... 45

4.1. Rancangan Fasilitas Kerja (Kursi Kerja) ... 56

4.2. Rancangan Fasilitas Kerja (Pamedangan)... 57

4.3. Sikap Kerja Perajin Sulaman Tangan sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 61

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Judul Halaman

1. Surat Izin Penelitian ... 100

2. Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 101

3. Kuesioner Penelitian ... 102

4. Gambar Rancangan Fasilitas Kerja ... 105

5. Lembar Observasi Sikap Kerja dengan Metode REBA ... 106

6. Data Antropometri Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat... 107

7. Distribusi Frekuensi Data Antropometri Perajin Sulaman Tangan yang Telah Dilakukan Uji Keseragaman ... 110

8. Penilaian Sikap Kerja Dengan Metode REBA sebelum Perbaikan Fasilitas Kerja ... 111

9. Penilaian Sikap Kerja Dengan Metode REBA sesudah Perbaikan Fasilitas Kerja ... 113

10. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskoloskeletal sebelum Perbaikan Fasilitas Kerja pada Saat Memulai Bekerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 115

11. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskoloskeletal sebelum Perbaikan Fasilitas Kerja pada Saat Selesai Bekerja pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 117

12. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskoloskeletal sesudah Perbaikan Fasilitas Kerja pada Saat Memulai Bekerja pada Kelompok Kontrol Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 119

(20)

14. Distribusi Frekuensi Keluhan Muskoloskeletal sesudah Perbaikan Fasilitas Kerja pada Saat Selesai Bekerja pada Kelompok Kontrol Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat ... 121

15. Uji Normalitas Data Antropometri ... 122

16. Uji Beda Keluhan Muskoloskeletal ... 126

17. Output Output Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan sebelum Bekerja sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 128

18. Output Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan sesudah Bekerja sebelum Intervensi Fasilitas Kerja ... 134

19. Output Keluhan Muskoloskeletal sesudah Intervensi pada Saat Mulai Bekerja pada Kelompok Kontrol ... 141

20. Output Keluhan Muskoloskeletal sesudah Intervensi pada Saat Mulai Bekerja pada Kelompok Perlakuan ... 148

21. Output Keluhan Muskuloskeletal sesudah Intervensi pada Saat Selesai Bekerja pada Kelompok Kontrol ... 153

22. Output Keluhan Muskuloskeletal sesudah Intervensi pada Saat Selesai Bekerja pada Kelompok Perlakuan ... 160

(21)

ABSTRAK

Perajin sulaman tangan merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat yang belum menerapkan fasilitas kerja (pamedangan) yang ergonomis dalam bekerja.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal dengan intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat. Populasi dari penelitian ini adalah sebanyak 36 orang dengan jumlah sampel sebanyak 26 orang. Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimen sungguhan dengan bentuk rancangan Pretest – Postest with Control Group.

Hasil penelitian yang diperoleh yaitu sikap kerja sebelum intervensi fasilitas kerja berada pada level tindakan tinggi dan sedang. Sesudah intervensi fasilitas kerja, terjadi perbaikan sikap kerja menjadi level tindakan menjadi kecil. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal pada saat mulai bekerja (p=0,01) dan selesai bekerja (p=0,01) kelompok perlakuan sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja. Hasil uji Wilcoxon menunjukkan tidak adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal pada saat mulai bekerja (p=0,325) dan selesai bekerja (p=0,498) kelompok kontrol sebelum dan sesudah intervensi fasilitas kerja.

Perajin sulaman tangan disarankan agar dapat menggunakan fasilitas kerja yang telah didesain secara ergonomis, melakukan relaksasi selama bekerja, perlunya membuat meja kerja (pamedangan) yang adjustable dan penahan lumbar agar dapat mengurangi keluhan muskoloskeletal dan perlunya dukungan dari pemerintah agar dapat mensosialisasikan manfaat intervensi fasilitas kerja yang diperoleh secara kongkrit kepada perajin sulaman tangan.

(22)

ABSTRACT

Hand embroidery industry is one of the forms of informal sectors in Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat which has not yet applied an ergonomic working facilities in its daily activity.

The purpose of this experimental study with pretest-posttest with control group design was to analyze the influence of work posture on musculoskeletal disorder with the intervention of working facilities in the hand embroidery workers in Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat. The populations of this study was 36 embroidery workers and 26 of them were selected to be samples for this study.

The result of this research, before the working facility intervention, their work posture was on the high and medium levels. After working facility intervention, their work posture was improved to small level. The result of Wilcoxon test showed work posture had influence on the musculoskeletal disorder when they began to work (p=0.01) and after they finished working (p=0.01)in the experiment group before and after working facility intervention; and work posture did not have any influence on the musculoskeletal disorder when they began to work (p=0.325) and after they finished working (p=0,498)in the control group before and after the working facility intervention.

The hand embroidery workers are suggested to use the working facilities which have been ergonomically design, to do some relaxation when they are working,

it’s needed to make an adjustable work (pamedangan) and using a lumbar brace to

minimize the musculoskeletal disorder. The support from the government is also needed to socialize to the hand embroidery workers about the benefit of working facility intervention obtained in a concrete way.

(23)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Industrialisasi dalam pembangunan Indonesia telah berkembang pesat di

semua sektor, baik formal maupun informal. Perkembangan tersebut bukan saja

menyajikan kesejahteraan bagi kehidupan bangsa, namun juga menyajikan dampak

yang merugikan terhadap kesehatan pekerja ( Naiem, 2010).

Sektor informal pada saat ini memiliki peranan penting dalam perekonomian

Indonesia, dimana menurut data BPS (2010) terdapat 116 juta jiwa angkatan kerja

dan dari jumlah tersebut 107,41 juta jiwa yang benar-benar bekerja. Jumlah pekerja

yang bekerja di sektor informal diperkirakan 73,67% dan 31,42% bekerja di sektor

formal. Angka ini akan bergeser kearah pekerja sektor informal dikarenakan

banyaknya perusahaan formal yang menutup atau merelokasi usahanya keluar

Indonesia dan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menyebabkan

bertambahnya jumlah pekerja di sektor informal (DepKes RI, 2008).

Hasil penelitian Departemen Kesehatan (Depkes) menunjukkan, sekitar 74%

pekerja hingga saat ini belum terjangkau layanan kesehatan kerja yang memadai.

Menurut penelitian terakhir yang dilakukan tahun 2006, baru sekitar 26 persen

pekerja di sektor formal yang memiliki jangkauan layanan kesehatan kerja yang

(24)

pekerja. Hal ini terjadi karena di sektor informal tidak memiliki sistem pembiayaan

kesehatan (Anonimous, 2007).

Situasi tersebut akhirnya menggiring status kesehatan pekerja sektor informal

menjadi buruk. Hasil penelitian Departemen Kesehatan (2004) terhadap 8 jenis

pekerjaan sektor informal, menunjukkan ada berbagai gangguan kesehatan akibat

kerja yang ditemukan terjadi pada sektor ini, antara lain: (Arnita, 2006)

Gangguan

punggung yang ditemukan hampir di seluruh jenis pengaturan kerja dari pekerja

konstruksi sampai pekerja rumah sakit (Everly, 1985). Diperkirakan 80% populasi

akan mengalami cidera punggung bawah pada suatu saat dalam hidup mereka.

(25)

penyebab kecacatan ketiga pada orang usia kerja. Keterbatasan yang diakibatkan oleh

nyeri punggung bawah pada seseorang sangat berat. Kerugian ekonomis, dalam hal

ini hilangnya produktivitas, bisa mencapai biliun dolar. Jumlah kunjungan ke dokter

akibat nyeri punggung bawah merupakan yang kedua setelah penyakit saluran napas

atas (Brunner dan Suddarth, 2002).

Buruknya status kesehatan tersebut berasal dari ketidakseimbangan interaksi

antara kapasitas kerja, beban kerja dan beban tambahan yang dialami oleh pekerja

(Naiem, 2010). Beban kerja dalam pekerjaan merupakan tuntutan tugas yang harus

dilakukan pekerja untuk menyelesaikan tugasnya. Beban kerja ini salah satunya

tergantung pada karakteristik tugas dan material pekerjaan seperti karakteristik

peralatan dan mesin, tipe, kecepatan dan irama kerja (Wignjosoebroto, 2008).

Peralatan pada saat ini sudah berkembang menjadi kebutuhan pokok pada

berbagai lapangan pekerjaan. Artinya peralatan dan teknologi merupakan penunjang

yang penting dalam upaya meningkatkan produktivitas untuk berbagai jenis

pekerjaan. Disamping itu, disisi lain akan terjadi dampak negatifnya, bila kita kurang

waspada menghadapi bahaya potensial yang mungkin timbul. Hal ini tidak akan

terjadi jika dapat diantisipasi berbagai risiko yang mempengaruhi kehidupan para

pekerja.

Berbagai risiko tersebut yaitu kemungkinan terjadinya penyakit akibat kerja,

penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan kecelakaan akibat kerja yang dapat

(26)

pihak dengan cara penyesuaian antara pekerja, proses kerja dan lingkungan kerja.

Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan ergonomi (DepKes, 2010).

Faktor manusia atau pekerja memegang peranan penting pada dunia industri

terutama dalam hal keselamatan instalasi. Kesalahan manusia dapat disebabkan

karena rancangan stasiun kerja yang tidak baik. Manusia sebagai pelaku harus

menjadi patokan dalam merancang stasiun kerja sehingga alat yang dibuat

menyesuaikan dengan data antropometri dan perilaku manusia. Untuk itu perlu

diketahui data ukuran antropometri dan perilaku manusia dalam bekerja. Dengan

memasukkan pertimbangan ergonomi dalam perancangan stasiun kerja maka

kesalahan manusia dalam pengoperasian alat diharapkan secara sistematis menjadi

berkurang (Darlis, 2009).

Stasiun kerja merupakan salah satu komponen yang harus diperhatikan

berkenaan dengan upaya peningkatan produktivitas kerja. Kondisi kerja yang tidak

memperhatikan kenyamanan, kepuasan, keselamatan dan kesehatan kerja tentunya

akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas kerja manusia. Dalam perancangan

atau redesain stasiun kerja itu sendiri harus diperhatikan peranan dan fungsi pokok

dari komponen-komponen sistem kerja yang terlibat yaitu manusia, mesin/peralatan

dan lingkungan fisik kerja.

Desain stasiun kerja memiliki peranan penting dalam meningkatkan

kenyamanan dan produktivitas kerja. Para operator dalam melakukan pekerjaannya,

seringkali bekerja dengan alat yang terlalu kecil atau tidak sesuai dengan postur

(27)

terlalu membungkuk, jangkauan tangan yang tidak normal, sehingga dari posisi kerja

operator dapat mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan yaitu kelelahan dan

rasa nyeri pada punggung akibat duduk yang tidak ergonomis, timbulnya rasa nyeri

pada bahu dan kaki akibat ketidaksesuaian antara pekerja dan lingkungan kerjanya

(Wignjosoebroto, 2008).

Faktor lain yang mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas kerja yaitu

sikap kerja. Beberapa jenis pekerjaan akan memerlukan sikap dan posisi tertentu yang

kadang-kadang cenderung membuat tidak nyaman. Kondisi kerja seperti ini memaksa

pekerja selalu berada pada sikap dan posisi kerja yang “aneh” dan kadang-kadang

juga harus berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini tentu saja akan

mengakibatkan pekerja cepat lelah, membuat banyak kesalahan atau menderita cacat

tubuh (Wignjosoebrtoto, 2008).

Kerajinan sulaman tangan merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal

yang banyak dilakukan masyarakat di Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat.

Pekerjaan ini dilakukan di rumah masing-masing perajin sulaman tangan. Kerajinan

sulaman tangan ini merupakan kerajinan tradisional di Nagari Koto Gadang yang

telah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat dan peluang usaha yang cukup

potensial di daerah ini.

Fasilitas yang digunakan untuk kerajinan sulaman tangan hanya

membutuhkan satu fasilitas kerja utama yang disebut dengan pamedangan.

(28)

nantinya akan di sulam. Kerajinan sulaman tangan juga membutuhkan peralatan

seperti jarum dan gunting, serta membutuhkan beraneka ragam benang baik warna

maupun jenisnya, yang fungsinya untuk mengkreasikan sulaman yang akan dibentuk.

Proses pengerjaan sulaman tangan ini cukup sederhana, yaitu perajin hanya bekerja

dengan cara menusukkan jarum yang berisi benang pada kain yang telah diregangkan

di atas pamedangan. Akan tetapi, terdapat kesulitan dalam pengerjaan sulaman tangan ini, yaitu perajin dituntut untuk teliti pada saat menyulam, kecermatan dan

mampu mengatur perpaduan warna benang, agar sulaman yang dihasilkan berkualitas

baik.

Pamedangan yang dijadikan sebagai alat untuk meregangkan kain merupakan peralatan utama dalam proses kerajinan sulaman tangan. Pamedangan berbentuk seperti meja kerja, dengan ukuran panjang sekitar 2 meter, sesuai dengan ukuran

selendang yang akan disulam, dan lebar sekitar 60-80 cm. Tinggi dari pamedangan

ini sekitar 30-40 cm, sehingga pada saat melakukan pekerjaan, perajin sulaman

haruslah bekerja dengan cara duduk di lantai.

Pengerjaan sulaman tangan ini membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu

untuk menyelesaikan satu sulaman tangan untuk pembuatan selendang dibutuhkan

waktu sekitar 2-3 bulan. Rata-rata perajin dalam sehari menghabiskan waktunya

untuk menyulam sekitar 8-10 jam. Karena proses kerjanya yang sederhana dan

dilakukan dalam waktu yang lama, maka pekerjaan ini termasuk pekerjaan yang

(29)

Ergonomi memiliki peranan penting yang dapat menimbulkan masalah

kesehatan pada perajin sulaman tangan. Pamedangan yang berfungsi sebagai fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan dirasakan kurang ergonomis, dikarenakan tinggi

meja kerjanya hanya sekitar 30-40 cm dan tidak adanya kursi kerja pada saat

melakukan pekerjaan. Menurut Grandjean (1988), meja kerja yang direkomendasikan

memiliki ketinggian sekitar 55-71 cm dan tinggi kursi kerja yaitu 38-54 cm.

Keadaaan fasilitas kerja yang kurang ergonomis akan berdampak pada sikap

kerja perajin selama melakukan pekerjaannya. Hal ini dapat dilihat dari sikap kerja

perajin yaitu duduk bersila atau duduk di bangku kecil. Menurut Nurmianto (2004),

bekerja dengan sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adannya

masalah-masalah punggung. Tekanan pada tulang belakang akan meningkat. Selain bekerja

dengan sikap duduk di lantai ataupun duduk di bangku kecil, terdapat beberapa sikap

kerja yang kurang ergonomis pada perajin sulaman tangan ini. Hal ini dapat dilihat

pada saat perajin melakukan penyulaman, di mana posisi lengan kanan yang sedikit

terangkat ke atas. Posisi lengan kanan yang sedikit terangkat ini dikarenakan perajin

harus meletakkan tangan kanannya di atas pamedangan untuk menusukkan jarum dari atas kain sulaman.

Sikap kerja yang kurang ergonomis lainnya yaitu ada kecenderungan perajin

untuk menundukkan kepala pada saat melakukan proses penyulaman. Hal ini

dikarenakan proses penyulaman yang membutuhkan ketelitian. Ketelitian ini

membutuhkan ketajaman mata dalam melihat variasi warna dalam sulaman. Oleh

(30)

dalam sulaman tidak salah. Posisi mendekatkan mata ke sulaman menyebabkan

kepala agak sedikit menunduk, di mana posisi leher pun akan miring beberapa derajat

ke bawah. Karena harus menundukkan kepala pada saat melakukan pekerjaannya,

maka posisi punggung perajin harus sedikit membungkuk.

Posisi membungkuk pada saat melakukan pekerjaan dalam waktu yang lama

akan menyebabkan masalah-masalah punggung. Tekanan pada bagian tulang

belakang akan meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun

berbaring. Jika diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100%; maka cara duduk yang

tegang atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan

tekanan tersebut sampai 190%. Sikap duduk yang tegang lebih banyak memerlukan

aktivitas otot atau urat saraf belakang dari pada sikap duduk yang condong ke depan

(Nurmianto, 2004).

Berdasarkan hasil penelitian Mindayani (2010), perajin sulaman di Nagari

Koto Gadang Jorong Subarang Tigo Jorong (84% perajin sulaman tangan)

mengeluhkan rasa sakit di bagian pinggang selama melakukan pekerjaan sulaman

tangan. Selain itu juga terdapat terdapat keluhan pada bahu kanan sebanyak 34 orang

(68%), bokong sebanyak 27 orang (54%), dan pantat sebanyak 28 orang (56%).

Banyaknya keluhan muskuloskeletal yang dirasakan pada perajin sulaman tangan,

menjadikan mereka tidak nyaman dalam melakukan pekerjaan mereka sehari-hari.

Tentunya hal ini akan berdampak pada penurunan produktivitas kerja perajin sulaman

(31)

Suatu desain produk yang ergonomis apabila secara antropometri, faal,

biomekanik dan psikologis kompatibel dengan manusia pemakainya. Di dalam

mendesain suatu produk maka harus berorientasi pada production friendly, distribution friendly, installation friendly, operation friendly dan maintenance friendly. Di samping hal-hal tersebut di atas, dalam mendesain suatu produk yang sangat penting untuk diperhatikan adalah suatu desain yang berpusat pada manusia

pemakainya atau human centered design. Hal ini dimaksudkan agar setiap desain produk, baik secara fungsi, teknis, teknologi, ekonomis, estetika maupun secara

ergonomis sesuai dengan kebutuhan pemakainya (Darlis, dkk, 2009).

Ketidaknyamanan dalam bekerja dan keluhan muskuloskeletal pada perajin sulaman

tangan akan dapat berkurang jika peralatan kerja yang digunakan disesuaikan dengan

keadaan/postur tubuh perajin (ergonomis).

Oleh karena terdapatnya beberapa keluhan muskuloskeletal pada perajin

sulaman tangan pada saat melakukan pekerjaannya yang mungkin disebabkan oleh

karena fasilitas kerja dan sikap kerjanya yang kurang ergonomis, maka penulis

merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Sikap Kerja

terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto

Gadang Sumatera Barat”.

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang

(32)

dengan intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang

Sumatera Barat.

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh sikap kerja

terhadap keluhan muskoloskeletal melalui intervensi fasilitas kerja pada perajin

sulaman tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat.

1.4. Hipotesis

Adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal melalui

intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang

Sumatera Barat.

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Memberikan informasi kepada perajin sulaman tangan mengenai sikap kerja

yang ergonomis dalam melakukan pekerjaannya melalui intervensi fasilitas

kerja.

2. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam penelitian.

(33)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Usaha Sektor Informal

Menurut Departemen Kesehatan RI (2002), sektor informal adalah kegiatan

ekonomi tradisional yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun

penerimaanya.

2. Pada umumnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang diterapkan

oleh pemerintah.

3. Modal, peraturan dan perlengkapan maupun pemasukan biasanya kecil dan

diusahakan atas dasar hitungan harian.

4. Pada umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan tidak

terpisah dengan tempat tinggal.

5. Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang besar.

6. Pada umumnya dilakukan oleh golongan masyarakat yang berpendapatan

rendah.

7. Tidak selalu membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga

secara luwes dapat menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat

pendidikan.

Menurut Notoatmodjo (1989) dalam Departemen Kesehatan RI (1994)

(34)

sebagai sektor kegiatan ekonomi marginal atau kegiatan ekonomi kecil-kecilan.

Biasanya dikaitkan dengan usaha kerajinan tangan dagang, atau usaha lain secara

kecil-kecilan.

Sedangkan menurut Simanjuntak (1985) dalam DepKes RI (1994), sektor

informal adalah kegiatan ekonomi tradisional, yaitu usaha-usaha ekonomi di luar

sektor modern atau sektor formal seperti perusahaan, pabrik dan sebagainya, yang

mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

1. Kegiatan usaha biasanya sederhana, tidak tergantung pada kerja sama banyak

orang bahkan kadang-kadang usaha perorangan dan sistem pembagian kerja

yang tidak ketat.

2. Skala usaha relatif kecil, biasanya dimulai dengan modal dan usaha-usaha

kecil-kecilan.

3. Biasanya tidak mempunyai izin usaha seperti halnya Firma, Perseroan

Terbatas atau CV.

4. Sebagai akibat yang pertama, kedua dan ketiga membuka usaha disektor

informal relatif lebih mudah daripada formal.

Timbulnya sektor informal adalah akibat dari meluapnya atau

membengkaknya angkatan kerja disatu pihak dan menyempitnya lapangan kerja

dipihak yang lain. Hal ini berarti bahwa lapangan kerja yang tersedia tidak cukup

menampung angkatan kerja yang ada. Permasalahan ini menimbulkan banyaknya

(35)

berusaha kecil-kecilan sesuai dengan kebiasaan mereka. Inilah yang memunculkan

usaha sektor informal (DepKes RI, 1994).

Dalam kelompok masyarakat desa dan kota terdapat perbedaan tantangan

hidup. Oleh karenanya sektor informal dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:

1. Kelompok sektor informal desa

Kegiatan atau usaha-usaha sektor informal di desa pada umumnya meliputi bidang

pertanian/perikanan, perkebunan dan kerajinan tangan seperti anyaman,

menyulam, pembuatan tempe/tahu, keramik dan sebagainya.

2. Kelompok sektor informal kota

Kegiatan atau usaha-usaha sektor informal di kota pada umumnya meliputi

bidang-bidang perdagangan (pedagang baso, warung nasi, jamu gendong, pedagang

es, tukang koran dan pedagang bermacam-macam minuman dan makanan baik

keliling maupun disuatu tempat), kerajinan tangan (tukang jahit, tukang bordir,

pembuat dan penjaja mainan anak-anak, pemahat, dan sebagainya), bidang jasa

seperti tukang tambal ban, tukang jam, tukang becak, dan bermacam-macam usaha

perantara atau calo, bidang keuangan seperti tukang membungan uang atau

“rentenir”. Disamping itu sekarang ini pemulung juga diperhitungan sebagai usaha

sektor informal di kota (DepKes RI, 1994).

Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perajin sulaman tangan

merupakan salah satu usaha sektor informal. Dan usaha ini termasuk kedalam usaha

(36)

2.2. Ergonomi

Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu “ergon”

berarti kerja dan”nomos”berarti hukum atau aturan. Jadi secara ringkas ergonomi

adalah suatu aturan atau norma dalam sistem kerja. Ergonomi adalah ilmu, seni dan

penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan anatara segala

fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan

kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehinga kualitas

hidup secara keseluruhan menjadi baik (Tarwaka, 2004).

Secara umum tujuan penerapan ergonomi yaitu:

1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan

cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental,

mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.

2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak

sosial, mengelola dan mengordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan

jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak

produktif.

3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis,

ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan

sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi (Tarwaka,

(37)

2.3. Sikap Kerja

Sikap tubuh dalam pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran

dan penempatan mesin-mesin, penempatan alat-alat penunjuk, cara-cara harus

melayani mesin (macam gerak, arah dan kekuatan) (Suma’mur, 1996).

Terdapat 3 macam sikap dalam bekerja, yaitu: (Santoso, 2004)

1. Prinsip Posisi Duduk

Duduk memerlukan lebih sedikit energi dari pada berdiri, karena hal itu dapat

mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Seorang operator yang bekerja

sambil duduk memerlukan sedikit istirahat dan secara potensial lebih produktif. Di

samping itu lebih cekatan dan mahir.

Namun sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adanya

masalah-masalah-masalah punggung. Operator dengan sikap duduk yang salah akan

menderita pada bagian punggungnya. Tekanan pada bagian tulang belakang akan

meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring.

Jika diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100%; maka cara duduk yang tegang

atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140% dan cara duduk yang dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan

tekanan tersebut sampai 190%. Sikap duduk yang tegang lebih banyak

memerlukan aktivitas otot atau urat saraf belakang dari pada sikap duduk yang

(38)

Kenaikan tekanan tersebut dapat meningkat dari suatu perubahan dalam

lekukan tulang belakang yang terjadi pada saat duduk. Suatu keletihan pada

pinggul sekitar 900 tidak dapat dicapai hanya dengan rotasi dari tulang pada

sambungan paha (persendian tulang paha).

Urat-urat lutut (hamstring) dan otot-otot gluteal pada bagian belakang paha dihubungkan sampai bagian belakang pinggul dan menghasilkan suatu rotasi

parsial dari pinggul (pelvis), termasuk tulang ekor (sacrum). Hal tersebut hanya menghasilkan 600-900 kelebihan putar pinggul dengan rotasi pada persendian

tulang paha itu sendiri. Oleh sebab itu, perolehan 300 dari rotasi pinggul (pelvis) searah dengan lekukan tulang belakang kearah belakang (lordosis) dan bahkan memperkenalkan suatu lekukan tulang belakang kearah depan (kyphosis) (Nurmianto, 2004).

Posisi duduk pada otot rangka (musculoskeletal) dan tulang belakang terutama pada pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar

dari nyeri dan cepat lelah. Pada posisi duduk, tekanan tulang belakang akan

meningkat dibanding berdiri atau berbaring, jika posisi duduk tidak benar.

Menurut Eko Nurmianto (1998) dalam Santoso (2004) bahwa tekanan posisi

tidak duduk 100%, maka tekanan akan meningkat menjadi 140% bila sikap duduk

tegang dan kaku, dan tekanan akan meningkat menjadi 190% apabila saat duduk

dilakukan membungkuk ke depan. Oleh karena itu perlu sikap duduk yang benar

(39)

Sikap duduk yang paling baik yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap

badan dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lordosa pada pinggang dan sedikit mungkin kifosa pada punggung. Sikap demikian dapat dicapai dengan kursi dan sandaran punggung yang tepat.

Pekerjaan sejauh mungkin harus dilakukan sambil duduk. Keuntungan bekerja

sambil duduk adalah sebagai berikut:

a. Kurangnya kelelahan pada kaki.

b. Terhindarnya sikap-sikap yang tidak alamiah.

c. Berkurangnya pemakaian energi.

d. Kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah (Suma’mur, 1989)

2. Kerja Posisi Berdiri

Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan

mengakibatkan penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki, hal ini

akan bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai. Seperti

pembersih (clerks), dokter gigi, penjaga tiket, tukang cukur pasti memerlukan sepatu ketika bekerja. Apabila sepatu tidak pas (tidak sesuai) maka sangat

mungkin akan sobek dan terjadi bengkak pada jari kaki, mata kaki, dan bagian

sekitar telapak kaki. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut sepatu

kerja secara ergonomis. Sepatu yang baik adalah sepatu yang dapat menahan kaki

(tubuh) dan kaki tidak direpotkan untuk menahan sepatu. Desain sepatu harus

lebih longgar dari ukuran telapak kaki. Apabila bagian sepatu di kaki terjadi

(40)

terjadi dalam waktu yang lama, maka otot rangka akan mudah mengalami

kelelahan.

Beberapa penelitian telah berusaha untuk mengurangi kelelahan pada tenaga

kerja dengan posisi berdiri. Contohnya yaitu seperti yang diungkapkan Grandjean

(1988) dalam Santoso (2004), merekomendasikan bahwa untuk jenis pekerjaan

teliti, letak tinggi meja diatur 10 cm di atas siku. Untuk jenis pekerjaan ringan,

letak tinggi meja diatur sejajar dengan tinggi siku. Dan untuk pekerjaan berat,

letak tinggi meja diatur 10 cm di bawah tinggi siku.

3. Kerja Berdiri Setengah Duduk

Berdasarkan penelitian Santoso (2004) bahwa tenaga kerja bubut yang telah

terbiasa bekerja dengan posisi berdiri tegak diubah menjadi posisi setangah duduk

tanpa sandaran dan setengah duduk dengan sandaran, menunjukkan bahwa

terdapat perbedaan tingkat kelelahan otot biomekanik antar kelompok.

Menurut Suma’mur (1989) posisi kerja yang baik adalah bergantian antara

posisi duduk dan posisi berdiri, akan tetapi antara posisi duduk dan berdiri lebih

baik dalam posisi duduk. Hal itu dikarenakan sebagian berat tubuh di sangga oleh

tempat duduk disamping itu konsumsi energi dan kecepatan sirkulasi lebih tinggi

dibandingkan tiduran, tetapi lebih rendah dari pada berdiri. Posisi duduk juga

dapat mengontrol kekuatan kaki dalam pekerjaan, akan tetapi harus memberi

ruang yang cukup untuk kaki karena bila ruang yang tersedia sangat sempit maka

(41)

2.4. Desain Stasiun Kerja

Salah satu fungsi ergonomi yang menitik beratkan pada penyesuaian desain

terhadap manusia adalah kemampuan untuk menerapkan informasi menurut karakter

manusia, kapasitas dan keterbatasannya terhadap desain pekerjaan, mesin dan

sistemnya, ruangan kerja dan lingkungan sehingga manusia dapat hidup dan bekerja

secara sehat, aman, nyaman dan efisien. Sedangkan Pulat (1992) menawarkan konsep

desain produk untuk mendukung efisiensi dan keselamatan dalam penggunaan desain

produk. Konsep tersebut adalah desain untuk reabilitas, kenyamanan, lamanya waktu

pemakaian, kemudahan dalam pemakaian, dan efisien dalam pemakaian. Agar desain

produk dapat memenuhi keinginan pemakainya maka harus dilakukan melalui

beberapa upaya pendekatan sebagai berikut ini: (Tarwaka, 2004)

1. Mengetahui kebutuhan pemakai.

2. Fungsi produk secara detail.

3. Melakukan analisis pada tugas-tugas desain produk.

4. Mengembangkan produk.

5. Melakukan uji terhadap pemakai produk.

Suatu desain produk yang ergonomis apabila secara antropometris, faal,

biomekanik dan psikologis kompatibel dengan manusia pemakainya. Di dalam

(42)

distribution firndly, installation friendly, operation friendly dan maintenance friendly. Di samping hal-hal tersebut di atas, di dalam mendesain suatu produk yang sangat

penting untuk diperhatikan adalah suatu desain yang berpusat pada manusia

pemakainya (human centered design) (Sutalaksana, 1999). Hal ini dimaksudkan agar setiap desain produk baik secara fungsi, teknis, teknologi, ekonomis, estetis maupun

secara ergonomis sesuai dengan kebutuhan pemakainya (Tarwaka, 2004).

1. Pendekatan dalam Desain Stasiun Kerja

Secara umum baik dalam memodifikasi atau meredesain stasiun kerja yang

sudah ada maupun mendesain stasiun kerja yang baru, para perancang sering dibatasi

oleh faktor finansial maupun teknologi seperti: keluasaan modifikasi, ketersediaan

ruangan, lingkungan, ukuran frekuensi alat yang digunakan, kesinambungan

pekerjaan dan populasi yang menjadi target. Dengan demkian, desain dan redesain

harus selalu memperhatikan antara kebutuhana biologis operator dengan kebutuhan

stasiun kerja fisik baik ukuran maupun fungsi dalam alat dalam stasiun kerja. Untuk

kesesuaian tersebut perlu mempertimbangkan antropometri dan lokasi elemen mesin

terhadap posisi kerja, jangkauan, pandangan, ruang gerak dan interface antara tubuh operator dengan mesin. Di samping itu, teknik dalam mendesain stasiun kerja harus

mulai dengan mengidentifikasi variabilitas populasi pemakai yang didasarkan pada

faktor-faktor seperti etnik, jenis kelamin, umur, dan lain-lain (Tarwaka, 2004).

Menurut Das dan Sengupta (1993) dalam Tarwaka (2004), pendekatan secara

sistemik untuk menentukan dimensi stasiun kerja dapat dilakukan dengan cara

(43)

1. Mengidentifikasi variabilitas populasi pemakai yang didasarkan pada etnik,

jenis kelamin dan umur.

2. mendapatkan data antropometri yang relevan dengan posisi pemakai.

3. dalam pengukuran antropometri perlu mempertimbangkakn pakaian, sepatu

dan posisi normal.

4. menentukan kisaran ketinggian dari pekerjaan utama. Penyediaan kursi dan

meja kerja yang dapat distel, sehingga operator dimungkinkan bekerja dengna

sikap duduk maupun berdiri secara bergantian.

5. Tata letak dari alat-alat tangan, kontrol harus dalam kisaran jangkauan

optimum.

6. menempatkan display yang tepat sehingga operator dapat melihat objek

dengan pandangan yang tepat dan nyaman.

7. Review terhadap desain stasiun kerja secara berkala.

2. Aplikasi Antropometri dalam Perancangan Produk/Fasilitas Kerja

Setiap desain produk, baik produk yang sangat sederhana maupun produk

yang sangat komplek, harus berpedoman kepada antropometri pemakainya. Menurut

Sanders dan McCormick (1987); Pheasant (1988) dan Pulat (1992) bahwa

antropometri adalah desain tentang sesuatu yang dipakai orang. Selanjutnya Annis

dan McConville (1996) membagi aplikasi ergonomi dalam kaitannya dengan

antropometri menjadi dua devisi utama:

1. Pertama, ergonomi berhadapan dengan tenaga kerja, mesin beserta sarana

(44)

adalah untuk menciptakan kemungkinan situasi terbaik pada pekerjaan

sehingga kesehatan fisik dan mental tenaga kerja dapat terus dipelihara serta

efisiensi produktivitas dan kualitas produk dapat dihasilkan dengan optimal.

2. Kedua, ergonomi berhadapan dengan karakteristik produk pabrik yang

berhubungan dengan konsumen atau pemakai produk. (Tarwaka, 2004)

Dalam setiap desain peralatan dan stasiun kerja, keterbatasan manusia harus

selalu diperhitungkan, di samping memperhatikan kemampuannya dan kebolehannya.

Mengingat bahwa setiap manusia berbeda satu sama lainnya, maka aplikasi data

antropometri dalam desain produk dapat meliputi: desain untuk orang ekstrim (data

terkecil atau terbesar), desain untuk orang per orang, desain untuk kisaran yang dapat

diatur (adjustable range) dengan menggunakan persentil-5 dan persentil-95 dari populasi dan desain untuk ukuran rerata dengan menggunakan data persentil-50

(Sanders dan McCormick, 1987). Namun demikian, dalam pengumpulan data

antropometri yang akan digunakan untuk mendesain suatu produk, harus

memperhitungkan variabilitas populasi pemakai seperti variabilitas ukuran tubuh

secara umum, variasi jenis kelamin, variasi umur dan variasi ras atau etnik (Tarwaka,

2004).

Ada dua bentuk pengukuran pada antropometri yaitu pengukuran statis

(structural) yaitu tubuh manusia yang berada dalam posisi diam, dan pengukuran dinamis (fungsional) yaitu tubuh diukur dalam berbagai posisi tubuh yang sedang

bergerak. Data antropometri diterapkan untuk membahas dan merancang barang serta

(45)

berupa kenyamanan maupun kesehatan yang ditinjau dari sudut pandang ilmu

anatomi, fisiologi, fisikologi, kesehatan dan keselamatan kerja, perancangan dan

manajemen.

Dalam mengukur data antropometri ini banyak ditemui perbedaan atau

sumber variabilitas yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran yang pada akhirnya

akan digunakan dalam perancangan suatu produk. Beberapa sumber variabilitas yang

merupakan faktor yang mempengaruhi dimensi tubuh manusia yang menyebabkan

adanya perbedaan antara satu populasi dengan populasi lain yaitu (Stevenson,1989:

Nurmianto 1991):

1. Keacakan/random

2. Jenis kelamin

3. Suku bangsa (ethnic variabelity) 4. Usia

5. Pakaian

6. Faktor kehamilan pada wanita

7. Cacat tubuh secara fisik

Adapun pendekatan dalam penggunaan data antropometri adalah sebagai

berikut (Nurmianto,1991):

a. Pilihlah simpangan baku yang sesuai sebagai dasar perancangan yang

dimaksud.

b. Carilah data pada rata-rata dan distribusi dari dimensi yang dimaksud

(46)

c. Pilihlah nilai persentil yang sesuai sebagai dasar perancangan.

d. Pilihlah jenis kelamin yang sesuai.

Penerapan data antropometri ini akan dapat dilakukan jika tersedia nilai

rata-rata (mean) dan simpangan baku (standart deviasi) dari suatu distribusi normal (Nurmianto, 1991). Adapun distribusi normal ditandai dengan adanya nilai rata-rata

dan simpangan baku yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus 1 dan 2

sebagai berikut :

X = Σ× ……….. (1)

n

Dimana :

X = Rata-rata

ΣX = Jumlah data yang akan dihitung

n = Jumlah sampel

Σ (×i - ×)²

σ× = √ i= 1 ………. (2)

n – 1

Dimana :

σ× = Simpangan baku (Standar Deviasi)

× = rata-rata

× = nilai data

(47)

Untuk uji keseragaman data digunakan uji dengan menggunakan peta kontrol

dengan tingkat keyakinan 99% (3σ) untuk masing-masing kriteria. Adapun rumus

pengujian keseragaman data tersebut dapat dilihat pada rumus 3 berikut:

BKA= X + 3σ× ……….(3)

BKB= X –3σ×

Jika X min>BKB dan Xmax < BKA maka data seragam.

Dimana :

BKA = batas atas

BKB = batas bawah

Sedangkan persentil adalah suatu nilai yang menyatakan bahwa persentase

tertentu dari sekelompok orang yang dimensinya sama dengan atau lebih rendah dari

nilai tersebut. Misalnya 95% populasi adalah sama dengan atau lebih rendah dari 95%

persentil: 5% dari populasi berada sama dengan atau lebih rendah dari 5 persentil.

Besarnya nilai persentil dapat ditentukan dari tabel probabilitas distribusi

normal pada gambar 1. Dalam pokok bahasan antropometri, 95 persentil

menunjukkan tubuh berukuran besar, sedangkan 5 persentil tubuh berukuran kecil.

Jika diinginkan dimensi untuk akomodasi 95 % populasi maka 2,5 dan 97,5 persentil

adalah batas rentang yang dapat dipakai dan ditunjukkan pada gambar 1 dan 2 serta

(48)

Gambar 2.1. Distribusi Normal dan Perhitungan Persentil

Gambar 2.2. Antropometri Tubuh Manusia yang Diukur Dimensinya

Keterangan:

1. Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai sampai ujung

kepala)

20

(49)

2. Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak

3. Tinggi bahu dalam posisi tegak

4. Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus)

5. Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak

6. Tinggi tubuh dalam posisi duduk (diukur dari alas tempat duduk/pantat

sampai dengan kepala)

7. Tinggi mata dalam posisi duduk

8. Tinggi bahu dalam posisi duduk

9. Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus)

10. Tebal atau lebar paha

11. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan ujung lutut

12. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari

lutut atau betis

13. Tinggi lutut yang bisa diukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk

14. Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang diukur dari lantai sampai dengan paha

15. Lebar dari bahu (bisa diukur dalam posisi berdiri ataupun duduk)

16. Lebar pinggul atau pantat

17. Lebar dari dada dalam keadaan membusung

18. Lebar perut

19. Panjang siku yang diukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi

siku tegak lurus

(50)

21. Panjang tangan diukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari

22. Lebar telapak tangan

23. Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar-lebar kesamping kiri-kanan

24. Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak, diukur dari lantai sampai

dengan telapak tangan ang terjangkau lurus ke atas vertikal

25. Tinggi jangakauan tangan dalam posisi duduk tegak, diukur seperti halnya

nomor 24 tetapi dalam posisi duduk

26. Jarak jangkauan tangan yang terjulur ke depan diukur dari bahu sampai ujung

jari tangan.

Data antropometri yang menyajikan data ukuran dari berbagai macam anggota

tubuh manusia dalam persentil tertentu akan sangat besar manfaatnya pada saat suatu

rancangan produk ataupun fasilitas kerja akan dibuat. Agar rancangan suatu produk

nantinya bisa sesuai dengan ukuran tubuh manusia yang akan mengoperasikannya,

maka prinsip-prinsip yang harus diambil didalam aplikasi data antropometri tersebut

harus ditetapkan terlebih dahulu seperti diuraikan berikut ini :

a. Prinsip perancangan produk bagi individu dengan ukuran yang ekstrim.

Disini rancangan produk dibuat agar bisa memenuhi 2 (dua) sasaran produk,

yaitu :

i. Bisa sesuai untuk ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi

ekstrim dalam arti terlalu besar atau kecil bila dibandingkan dengan

(51)

ii. Tetap bisa digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain (mayoritas

dari populasi yang ada ).

b. Prinsip perancangan produk yang bisa dioperasikan diantara rentang ukuran

tertentu.

Disini rancangan bisa dirubah-rubah ukurannya sehingga cukup fleksibel

dioperasikan oleh setiap orang yang memiliki berbagai macam ukuran tubuh.

Contoh yang paling umum dijumpai adalah perancangan kursi mobil yang

mana dalam hal ini letaknya bisa digeser maju/mundur dan sudut sandarannya

bisa dirubah-rubah sesuai dengan yang diinginkan. Dalam kaitannya untuk

mendapatkan rancangan yang fleksibel, semacam ini maka data antropometri

yang umum diaplikasikan adalah rentang nilai 5-th s/d 95-th percentile. c. Prinsip perancangan produk dengan ukuran rata-rata.

Berkaitan dengan aplikasi data antropometri yang diperlukan dalam proses

perancangan produk ataupun fasilitas kerja, maka ada beberapa

saran/rekomendasi yang bisa diberikan sesuai dengan langkah-langkah seperti

berikut :

i. Pertama kali terlebih dahulu harus ditetapkan anggota tubuh yang mana

yang nantinya akan difungsikan untuk mengoperasikan rancangan

tersebut.

ii. Tentukan dimensi tubuh yang penting dalam proses perancangan tersebut,

dalam hal ini juga perlu diperhatikan apakah harus menggunakan data

(52)

iii. Selanjutnya tentukan populasi terbesar yang harus diantisipasi,

diakomodasikan dan menjadi target utama pemakai rancangan produk

tersebut. Hal ini lazim dikenal sebagai "market segmentation", seperti produk mainan untuk anak-anak, peralatan rumah tangga untuk wanita,

dll.

iv. Tetapkan prinsip ukuran yang harus diikuti semisal apakah rancangan

tersebut untuk ukuran individual yang ekstrim, rentang ukuran yang

fleksibel (adjustable) ataukah ukuran rata-rata.

v. Pilih presentase populasi yang harus diikuti, 90-th, 95-th, 99-th ataukah

nilai percentile yang lain yang dikehendaki.

vi. Untuk setiap dimensi tubuh yang telah diidentifikasikan selanjutnya

pilih/tetapkan nilai ukurannya dari tabel data antropometri yang sesuai.

Aplikasi data tersebut dan tambahkan faktor kelonggaran (allowance) bila diperlukan seperti halnya tambahan ukuran akibat faktor tebalnya pakaian

yang harus dikenakan oleh operator, pemakaian sarung tangan (glowes), dan lain-lain (Wignjosoebroto, 2008)

3. Desain Stasiun Kerja dan Sikap Duduk

Posisi tubuh dalam kerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang

dilakukan. Masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda

terhadap tubuh. Granjean (1993) berpendapat bahwa bekerja dengan posisi duduk

mempunyai keuntungan antara lain: pembebanan pada kaki; pemakaian energi dan

(53)

Namun demikian posisi duduk dengan sikap duduk terlalu lama dapat

menyebabkan otot perut melembek dan tulang belakang akan melengkung sehingga

cepat lelah. Sedangkan Clark (1996), menyatakan bahwa desain stasiun kerja dengan

posisi duduk mempunyai derajat stabilitas tubuh yang tinggi, mengurangi kelelahan,

dan keluhan subjektif bila bekerja lebih dari 2 jam. Di samping itu tenaga kerja juga

dapat mengendalikan kaki untuk melakukan gerakan.

Mengingat posisi duduk mempunyai keuntungan maupun kerugian, maka

unttuk mendapatkan hasil kerja yang lebih baik tanpa pengaruh buruk pada tubuh,

perlu dipertimbangkan pada jenis pekerjaan apa saja yang sesuai dilakukan dengan

posisi duduk. Untuk maksud tersebut, Pulat (1992) memberikan pertimbangann

tentang pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi duduk adalah sebagai

berikut: (Tarwaka, 2004)

1. Pekerjaan yang memerlukan kontrol dengan teliti pada kaki

2. Pekerjaan utama adalah menulis atau memerlukan ketelitian pada tangan

3. Tidak diperlukan tenaga dorong yang besar

4. Objek yang dipegang tidak memerlukan tangan bekerja pada ketinggian lebih

dari 15 cm dari landasan kerja

5. Diperlukan tingkat kestabilan tubuh yang tinggi

6. Pekerjaan dilakukan pada waktu yang lama

7. Seluruh objek yang dikerjakan atau disuplai masih dalam jangkauan dengan

(54)

Pada pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk, tempat duduk yang

dipakai harus memungkinkan untuk melakukan variasi perubahan posisi. Ukurann

tempat duduk disesuaikan dengan dimensi ukuran antropometri pemakainya. Fleksi

lutut membentuk 900 dengan telapak kaki bertumpu pada lantai atau injakan kaki

(Pheasant, 1988). Jika landasan kerja terlalu rendah, tulang belakang akan

membungkuk ke depan, dan jika terlalu tinggi bahu akan terangkat dari posisi rileks,

sehingga menyebabkan bahu dan leher menjadi tidak nyaman. Sanders dan

McCormick (1987) memberikan pedoman untuk mengatur ketinggian landasan kerja

pada posisi duduk sebagai berikut:

1. Jika memungkinkan menyediakan meja yang dapat diatur turun dan naik.

2. Landasan kerja harus memungkinkan lengan menggantung pada posisi rileks

dari bahu, dengan lengan bawah mendekati posisi horizontal atau sedikit

menurun.

3. Ketinggian landasan kerja tidak memerlukan fleksi tulang belakang yang

berlebihan.

2.5. Keluhan Muskuloskeletal

Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal

yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit.

Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama,

akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon.

(55)

musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal. Secara garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot menerima beban statis, namun demikiann keluhan tersebut akan segera hilang

apabila pembebanan dihentikan.

2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap, walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot

masih terus berlanjut (Tarwaka, 2004).

Peter (2000) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa

faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu:

1. Peregangan otot yang berlebihan

Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering dkeluhkan oleh pekerja di mana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan

tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat. Peregangan otot yang

berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui

kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat

mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan

terjadinya cedera otot skeletal.

2. Aktivitas berulang

Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus

Gambar

Gambar 2.1. Distribusi Normal dan Perhitungan Persentil
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian
Gambar 3.1. Postur Batang Tubuh (Trunk) REBA
Tabel 3.2. Skor Postur Leher (Neck) REBA
+7

Referensi

Dokumen terkait

Sesudah penerapan fasilitas kerja yang ergonomis, terjadi perbaikan sikap kerja pada kelompok perlakuan dan terdapat pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal

Semenjak aktivitas tambang emas dilakukan oleh masyarakat Nagari Pakan. Rabaa Timur, membuat pola mata pencaharian yang dulunya masyarakat

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan bentuk, teknik pembuatan dan makna filosofis tingkuluak di Nagari Koto Nan Gadang Kota Payakumbuh Provinsi Sumatera

Metode pelaksanaan dilakukan dengan cara ceramah dan demonstrasi yaitu memberikan pemahaman dan penjelasan kepada perajin bahwa perlu sekali dilakukan pengembangan desain motif dan

Memahami gaya atau corak khas seni kerajinan perak Koto Gadang dapat diuraikan dari bahan yang digunakan sebagai media, teknik yang dipakai, bentuk motif, dan warna yang digunakan pada