BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Industrialisasi dalam pembangunan Indonesia telah berkembang pesat di
semua sektor, baik formal maupun informal. Perkembangan tersebut bukan saja
menyajikan kesejahteraan bagi kehidupan bangsa, namun juga menyajikan dampak
yang merugikan terhadap kesehatan pekerja ( Naiem, 2010).
Sektor informal pada saat ini memiliki peranan penting dalam perekonomian
Indonesia, dimana menurut data BPS (2010) terdapat 116 juta jiwa angkatan kerja
dan dari jumlah tersebut 107,41 juta jiwa yang benar-benar bekerja. Jumlah pekerja
yang bekerja di sektor informal diperkirakan 73,67% dan 31,42% bekerja di sektor
formal. Angka ini akan bergeser kearah pekerja sektor informal dikarenakan
banyaknya perusahaan formal yang menutup atau merelokasi usahanya keluar
Indonesia dan banyaknya Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menyebabkan
bertambahnya jumlah pekerja di sektor informal (DepKes RI, 2008).
Hasil penelitian Departemen Kesehatan (Depkes) menunjukkan, sekitar 74%
pekerja hingga saat ini belum terjangkau layanan kesehatan kerja yang memadai.
Menurut penelitian terakhir yang dilakukan tahun 2006, baru sekitar 26 persen
pekerja di sektor formal yang memiliki jangkauan layanan kesehatan kerja yang
pekerja. Hal ini terjadi karena di sektor informal tidak memiliki sistem pembiayaan
kesehatan (Anonimous, 2007).
Situasi tersebut akhirnya menggiring status kesehatan pekerja sektor informal
menjadi buruk. Hasil penelitian Departemen Kesehatan (2004) terhadap 8 jenis
pekerjaan sektor informal, menunjukkan ada berbagai gangguan kesehatan akibat
kerja yang ditemukan terjadi pada sektor ini, antara lain: (Arnita, 2006)
Gangguan
punggung yang ditemukan hampir di seluruh jenis pengaturan kerja dari pekerja
konstruksi sampai pekerja rumah sakit (Everly, 1985). Diperkirakan 80% populasi
penyebab kecacatan ketiga pada orang usia kerja. Keterbatasan yang diakibatkan oleh
nyeri punggung bawah pada seseorang sangat berat. Kerugian ekonomis, dalam hal
ini hilangnya produktivitas, bisa mencapai biliun dolar. Jumlah kunjungan ke dokter
akibat nyeri punggung bawah merupakan yang kedua setelah penyakit saluran napas
atas (Brunner dan Suddarth, 2002).
Buruknya status kesehatan tersebut berasal dari ketidakseimbangan interaksi
antara kapasitas kerja, beban kerja dan beban tambahan yang dialami oleh pekerja
(Naiem, 2010). Beban kerja dalam pekerjaan merupakan tuntutan tugas yang harus
dilakukan pekerja untuk menyelesaikan tugasnya. Beban kerja ini salah satunya
tergantung pada karakteristik tugas dan material pekerjaan seperti karakteristik
peralatan dan mesin, tipe, kecepatan dan irama kerja (Wignjosoebroto, 2008).
Peralatan pada saat ini sudah berkembang menjadi kebutuhan pokok pada
berbagai lapangan pekerjaan. Artinya peralatan dan teknologi merupakan penunjang
yang penting dalam upaya meningkatkan produktivitas untuk berbagai jenis
pekerjaan. Disamping itu, disisi lain akan terjadi dampak negatifnya, bila kita kurang
waspada menghadapi bahaya potensial yang mungkin timbul. Hal ini tidak akan
terjadi jika dapat diantisipasi berbagai risiko yang mempengaruhi kehidupan para
pekerja.
Berbagai risiko tersebut yaitu kemungkinan terjadinya penyakit akibat kerja,
penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan dan kecelakaan akibat kerja yang dapat
pihak dengan cara penyesuaian antara pekerja, proses kerja dan lingkungan kerja.
Pendekatan ini dikenal sebagai pendekatan ergonomi (DepKes, 2010).
Faktor manusia atau pekerja memegang peranan penting pada dunia industri
terutama dalam hal keselamatan instalasi. Kesalahan manusia dapat disebabkan
karena rancangan stasiun kerja yang tidak baik. Manusia sebagai pelaku harus
menjadi patokan dalam merancang stasiun kerja sehingga alat yang dibuat
menyesuaikan dengan data antropometri dan perilaku manusia. Untuk itu perlu
diketahui data ukuran antropometri dan perilaku manusia dalam bekerja. Dengan
memasukkan pertimbangan ergonomi dalam perancangan stasiun kerja maka
kesalahan manusia dalam pengoperasian alat diharapkan secara sistematis menjadi
berkurang (Darlis, 2009).
Stasiun kerja merupakan salah satu komponen yang harus diperhatikan
berkenaan dengan upaya peningkatan produktivitas kerja. Kondisi kerja yang tidak
memperhatikan kenyamanan, kepuasan, keselamatan dan kesehatan kerja tentunya
akan sangat berpengaruh terhadap produktivitas kerja manusia. Dalam perancangan
atau redesain stasiun kerja itu sendiri harus diperhatikan peranan dan fungsi pokok
dari komponen-komponen sistem kerja yang terlibat yaitu manusia, mesin/peralatan
dan lingkungan fisik kerja.
Desain stasiun kerja memiliki peranan penting dalam meningkatkan
kenyamanan dan produktivitas kerja. Para operator dalam melakukan pekerjaannya,
terlalu membungkuk, jangkauan tangan yang tidak normal, sehingga dari posisi kerja
operator dapat mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan yaitu kelelahan dan
rasa nyeri pada punggung akibat duduk yang tidak ergonomis, timbulnya rasa nyeri
pada bahu dan kaki akibat ketidaksesuaian antara pekerja dan lingkungan kerjanya
(Wignjosoebroto, 2008).
Faktor lain yang mempengaruhi kenyamanan dan produktivitas kerja yaitu
sikap kerja. Beberapa jenis pekerjaan akan memerlukan sikap dan posisi tertentu yang
kadang-kadang cenderung membuat tidak nyaman. Kondisi kerja seperti ini memaksa
pekerja selalu berada pada sikap dan posisi kerja yang “aneh” dan kadang-kadang
juga harus berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Hal ini tentu saja akan
mengakibatkan pekerja cepat lelah, membuat banyak kesalahan atau menderita cacat
tubuh (Wignjosoebrtoto, 2008).
Kerajinan sulaman tangan merupakan salah satu bentuk usaha sektor informal
yang banyak dilakukan masyarakat di Nagari Koto Gadang, Sumatera Barat.
Pekerjaan ini dilakukan di rumah masing-masing perajin sulaman tangan. Kerajinan
sulaman tangan ini merupakan kerajinan tradisional di Nagari Koto Gadang yang
telah menjadi tradisi bagi masyarakat setempat dan peluang usaha yang cukup
potensial di daerah ini.
Fasilitas yang digunakan untuk kerajinan sulaman tangan hanya
membutuhkan satu fasilitas kerja utama yang disebut dengan pamedangan.
nantinya akan di sulam. Kerajinan sulaman tangan juga membutuhkan peralatan
seperti jarum dan gunting, serta membutuhkan beraneka ragam benang baik warna
maupun jenisnya, yang fungsinya untuk mengkreasikan sulaman yang akan dibentuk.
Proses pengerjaan sulaman tangan ini cukup sederhana, yaitu perajin hanya bekerja
dengan cara menusukkan jarum yang berisi benang pada kain yang telah diregangkan
di atas pamedangan. Akan tetapi, terdapat kesulitan dalam pengerjaan sulaman
tangan ini, yaitu perajin dituntut untuk teliti pada saat menyulam, kecermatan dan
mampu mengatur perpaduan warna benang, agar sulaman yang dihasilkan berkualitas
baik.
Pamedangan yang dijadikan sebagai alat untuk meregangkan kain merupakan
peralatan utama dalam proses kerajinan sulaman tangan. Pamedangan berbentuk
seperti meja kerja, dengan ukuran panjang sekitar 2 meter, sesuai dengan ukuran
selendang yang akan disulam, dan lebar sekitar 60-80 cm. Tinggi dari pamedangan
ini sekitar 30-40 cm, sehingga pada saat melakukan pekerjaan, perajin sulaman
haruslah bekerja dengan cara duduk di lantai.
Pengerjaan sulaman tangan ini membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu
untuk menyelesaikan satu sulaman tangan untuk pembuatan selendang dibutuhkan
waktu sekitar 2-3 bulan. Rata-rata perajin dalam sehari menghabiskan waktunya
untuk menyulam sekitar 8-10 jam. Karena proses kerjanya yang sederhana dan
dilakukan dalam waktu yang lama, maka pekerjaan ini termasuk pekerjaan yang
Ergonomi memiliki peranan penting yang dapat menimbulkan masalah
kesehatan pada perajin sulaman tangan. Pamedangan yang berfungsi sebagai fasilitas
kerja pada perajin sulaman tangan dirasakan kurang ergonomis, dikarenakan tinggi
meja kerjanya hanya sekitar 30-40 cm dan tidak adanya kursi kerja pada saat
melakukan pekerjaan. Menurut Grandjean (1988), meja kerja yang direkomendasikan
memiliki ketinggian sekitar 55-71 cm dan tinggi kursi kerja yaitu 38-54 cm.
Keadaaan fasilitas kerja yang kurang ergonomis akan berdampak pada sikap
kerja perajin selama melakukan pekerjaannya. Hal ini dapat dilihat dari sikap kerja
perajin yaitu duduk bersila atau duduk di bangku kecil. Menurut Nurmianto (2004),
bekerja dengan sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adannya
masalah-masalah punggung. Tekanan pada tulang belakang akan meningkat. Selain bekerja
dengan sikap duduk di lantai ataupun duduk di bangku kecil, terdapat beberapa sikap
kerja yang kurang ergonomis pada perajin sulaman tangan ini. Hal ini dapat dilihat
pada saat perajin melakukan penyulaman, di mana posisi lengan kanan yang sedikit
terangkat ke atas. Posisi lengan kanan yang sedikit terangkat ini dikarenakan perajin
harus meletakkan tangan kanannya di atas pamedangan untuk menusukkan jarum
dari atas kain sulaman.
Sikap kerja yang kurang ergonomis lainnya yaitu ada kecenderungan perajin
untuk menundukkan kepala pada saat melakukan proses penyulaman. Hal ini
dikarenakan proses penyulaman yang membutuhkan ketelitian. Ketelitian ini
membutuhkan ketajaman mata dalam melihat variasi warna dalam sulaman. Oleh
dalam sulaman tidak salah. Posisi mendekatkan mata ke sulaman menyebabkan
kepala agak sedikit menunduk, di mana posisi leher pun akan miring beberapa derajat
ke bawah. Karena harus menundukkan kepala pada saat melakukan pekerjaannya,
maka posisi punggung perajin harus sedikit membungkuk.
Posisi membungkuk pada saat melakukan pekerjaan dalam waktu yang lama
akan menyebabkan masalah-masalah punggung. Tekanan pada bagian tulang
belakang akan meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun
berbaring. Jika diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100%; maka cara duduk yang
tegang atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai
140% dan cara duduk yang dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan
tekanan tersebut sampai 190%. Sikap duduk yang tegang lebih banyak memerlukan
aktivitas otot atau urat saraf belakang dari pada sikap duduk yang condong ke depan
(Nurmianto, 2004).
Berdasarkan hasil penelitian Mindayani (2010), perajin sulaman di Nagari
Koto Gadang Jorong Subarang Tigo Jorong (84% perajin sulaman tangan)
mengeluhkan rasa sakit di bagian pinggang selama melakukan pekerjaan sulaman
tangan. Selain itu juga terdapat terdapat keluhan pada bahu kanan sebanyak 34 orang
(68%), bokong sebanyak 27 orang (54%), dan pantat sebanyak 28 orang (56%).
Banyaknya keluhan muskuloskeletal yang dirasakan pada perajin sulaman tangan,
menjadikan mereka tidak nyaman dalam melakukan pekerjaan mereka sehari-hari.
Suatu desain produk yang ergonomis apabila secara antropometri, faal,
biomekanik dan psikologis kompatibel dengan manusia pemakainya. Di dalam
mendesain suatu produk maka harus berorientasi pada production friendly,
distribution friendly, installation friendly, operation friendly dan maintenance
friendly. Di samping hal-hal tersebut di atas, dalam mendesain suatu produk yang
sangat penting untuk diperhatikan adalah suatu desain yang berpusat pada manusia
pemakainya atau human centered design. Hal ini dimaksudkan agar setiap desain
produk, baik secara fungsi, teknis, teknologi, ekonomis, estetika maupun secara
ergonomis sesuai dengan kebutuhan pemakainya (Darlis, dkk, 2009).
Ketidaknyamanan dalam bekerja dan keluhan muskuloskeletal pada perajin sulaman
tangan akan dapat berkurang jika peralatan kerja yang digunakan disesuaikan dengan
keadaan/postur tubuh perajin (ergonomis).
Oleh karena terdapatnya beberapa keluhan muskuloskeletal pada perajin
sulaman tangan pada saat melakukan pekerjaannya yang mungkin disebabkan oleh
karena fasilitas kerja dan sikap kerjanya yang kurang ergonomis, maka penulis
merasa tertarik untuk melakukan penelitian mengenai “Pengaruh Sikap Kerja
terhadap Keluhan Muskuloskeletal pada Perajin Sulaman Tangan di Nagari Koto
Gadang Sumatera Barat”.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan yang
dengan intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang
Sumatera Barat.
1.3. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh sikap kerja
terhadap keluhan muskoloskeletal melalui intervensi fasilitas kerja pada perajin
sulaman tangan di Nagari Koto Gadang Sumatera Barat.
1.4. Hipotesis
Adanya pengaruh sikap kerja terhadap keluhan muskuloskeletal melalui
intervensi fasilitas kerja pada perajin sulaman tangan di Nagari Koto Gadang
Sumatera Barat.
1.5. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Memberikan informasi kepada perajin sulaman tangan mengenai sikap kerja
yang ergonomis dalam melakukan pekerjaannya melalui intervensi fasilitas
kerja.
2. Menambah wawasan dan pengetahuan penulis dalam penelitian.