BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Usaha Sektor Informal
Menurut Departemen Kesehatan RI (2002), sektor informal adalah kegiatan
ekonomi tradisional yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pola kegiatannya tidak teratur, baik dalam arti waktu, permodalan, maupun
penerimaanya.
2. Pada umumnya tidak tersentuh oleh peraturan dan ketentuan yang diterapkan
oleh pemerintah.
3. Modal, peraturan dan perlengkapan maupun pemasukan biasanya kecil dan
diusahakan atas dasar hitungan harian.
4. Pada umumnya tidak mempunyai tempat usaha yang permanen dan tidak
terpisah dengan tempat tinggal.
5. Tidak mempunyai keterikatan dengan usaha lain yang besar.
6. Pada umumnya dilakukan oleh golongan masyarakat yang berpendapatan
rendah.
7. Tidak selalu membutuhkan keahlian dan keterampilan khusus, sehingga
secara luwes dapat menyerap tenaga kerja dengan bermacam-macam tingkat
pendidikan.
Menurut Notoatmodjo (1989) dalam Departemen Kesehatan RI (1994)
sebagai sektor kegiatan ekonomi marginal atau kegiatan ekonomi kecil-kecilan.
Biasanya dikaitkan dengan usaha kerajinan tangan dagang, atau usaha lain secara
kecil-kecilan.
Sedangkan menurut Simanjuntak (1985) dalam DepKes RI (1994), sektor
informal adalah kegiatan ekonomi tradisional, yaitu usaha-usaha ekonomi di luar
sektor modern atau sektor formal seperti perusahaan, pabrik dan sebagainya, yang
mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
1. Kegiatan usaha biasanya sederhana, tidak tergantung pada kerja sama banyak
orang bahkan kadang-kadang usaha perorangan dan sistem pembagian kerja
yang tidak ketat.
2. Skala usaha relatif kecil, biasanya dimulai dengan modal dan usaha-usaha
kecil-kecilan.
3. Biasanya tidak mempunyai izin usaha seperti halnya Firma, Perseroan
Terbatas atau CV.
4. Sebagai akibat yang pertama, kedua dan ketiga membuka usaha disektor
informal relatif lebih mudah daripada formal.
Timbulnya sektor informal adalah akibat dari meluapnya atau
membengkaknya angkatan kerja disatu pihak dan menyempitnya lapangan kerja
dipihak yang lain. Hal ini berarti bahwa lapangan kerja yang tersedia tidak cukup
menampung angkatan kerja yang ada. Permasalahan ini menimbulkan banyaknya
berusaha kecil-kecilan sesuai dengan kebiasaan mereka. Inilah yang memunculkan
usaha sektor informal (DepKes RI, 1994).
Dalam kelompok masyarakat desa dan kota terdapat perbedaan tantangan
hidup. Oleh karenanya sektor informal dibedakan menjadi 2 kelompok yaitu:
1. Kelompok sektor informal desa
Kegiatan atau usaha-usaha sektor informal di desa pada umumnya meliputi bidang
pertanian/perikanan, perkebunan dan kerajinan tangan seperti anyaman,
menyulam, pembuatan tempe/tahu, keramik dan sebagainya.
2. Kelompok sektor informal kota
Kegiatan atau usaha-usaha sektor informal di kota pada umumnya meliputi
bidang-bidang perdagangan (pedagang baso, warung nasi, jamu gendong, pedagang
es, tukang koran dan pedagang bermacam-macam minuman dan makanan baik
keliling maupun disuatu tempat), kerajinan tangan (tukang jahit, tukang bordir,
pembuat dan penjaja mainan anak-anak, pemahat, dan sebagainya), bidang jasa
seperti tukang tambal ban, tukang jam, tukang becak, dan bermacam-macam usaha
perantara atau calo, bidang keuangan seperti tukang membungan uang atau
“rentenir”. Disamping itu sekarang ini pemulung juga diperhitungan sebagai usaha
sektor informal di kota (DepKes RI, 1994).
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa perajin sulaman tangan
merupakan salah satu usaha sektor informal. Dan usaha ini termasuk kedalam usaha
2.2. Ergonomi
Ergonomi berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu “ergon”
berarti kerja dan”nomos”berarti hukum atau aturan. Jadi secara ringkas ergonomi
adalah suatu aturan atau norma dalam sistem kerja. Ergonomi adalah ilmu, seni dan
penerapan teknologi untuk menyerasikan atau menyeimbangkan anatara segala
fasilitas yang digunakan baik dalam beraktivitas maupun istirahat dengan
kemampuan dan keterbatasan manusia baik fisik maupun mental sehinga kualitas
hidup secara keseluruhan menjadi baik (Tarwaka, 2004).
Secara umum tujuan penerapan ergonomi yaitu:
1. Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan
cedera dan penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental,
mengupayakan promosi dan kepuasan kerja.
2. Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak
sosial, mengelola dan mengordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan
jaminan sosial baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak
produktif.
3. Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis,
ekonomis, antropologis dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan
sehingga tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi (Tarwaka,
2.3. Sikap Kerja
Sikap tubuh dalam pekerjaan sangat dipengaruhi oleh bentuk, susunan, ukuran
dan penempatan mesin-mesin, penempatan alat-alat penunjuk, cara-cara harus
melayani mesin (macam gerak, arah dan kekuatan) (Suma’mur, 1996).
Terdapat 3 macam sikap dalam bekerja, yaitu: (Santoso, 2004)
1. Prinsip Posisi Duduk
Duduk memerlukan lebih sedikit energi dari pada berdiri, karena hal itu dapat
mengurangi banyaknya beban otot statis pada kaki. Seorang operator yang bekerja
sambil duduk memerlukan sedikit istirahat dan secara potensial lebih produktif. Di
samping itu lebih cekatan dan mahir.
Namun sikap duduk yang keliru merupakan penyebab adanya
masalah-masalah-masalah punggung. Operator dengan sikap duduk yang salah akan
menderita pada bagian punggungnya. Tekanan pada bagian tulang belakang akan
meningkat pada saat duduk, dibandingkan dengan saat berdiri ataupun berbaring.
Jika diasumsikan tekanan tersebut sekitar 100%; maka cara duduk yang tegang
atau kaku (erect posture) dapat menyebabkan tekanan tersebut mencapai 140%
dan cara duduk yang dilakukan dengan membungkuk ke depan menyebabkan
tekanan tersebut sampai 190%. Sikap duduk yang tegang lebih banyak
memerlukan aktivitas otot atau urat saraf belakang dari pada sikap duduk yang
Kenaikan tekanan tersebut dapat meningkat dari suatu perubahan dalam
lekukan tulang belakang yang terjadi pada saat duduk. Suatu keletihan pada
pinggul sekitar 900 tidak dapat dicapai hanya dengan rotasi dari tulang pada
sambungan paha (persendian tulang paha).
Urat-urat lutut (hamstring) dan otot-otot gluteal pada bagian belakang paha
dihubungkan sampai bagian belakang pinggul dan menghasilkan suatu rotasi
parsial dari pinggul (pelvis), termasuk tulang ekor (sacrum). Hal tersebut hanya
menghasilkan 600-900 kelebihan putar pinggul dengan rotasi pada persendian
tulang paha itu sendiri. Oleh sebab itu, perolehan 300 dari rotasi pinggul (pelvis)
searah dengan lekukan tulang belakang kearah belakang (lordosis) dan bahkan
memperkenalkan suatu lekukan tulang belakang kearah depan (kyphosis)
(Nurmianto, 2004).
Posisi duduk pada otot rangka (musculoskeletal) dan tulang belakang
terutama pada pinggang harus dapat ditahan oleh sandaran kursi agar terhindar
dari nyeri dan cepat lelah. Pada posisi duduk, tekanan tulang belakang akan
meningkat dibanding berdiri atau berbaring, jika posisi duduk tidak benar.
Menurut Eko Nurmianto (1998) dalam Santoso (2004) bahwa tekanan posisi
tidak duduk 100%, maka tekanan akan meningkat menjadi 140% bila sikap duduk
tegang dan kaku, dan tekanan akan meningkat menjadi 190% apabila saat duduk
dilakukan membungkuk ke depan. Oleh karena itu perlu sikap duduk yang benar
Sikap duduk yang paling baik yang tidak berpengaruh buruk terhadap sikap
badan dan tulang belakang adalah sikap duduk dengan sedikit lordosa pada
pinggang dan sedikit mungkin kifosa pada punggung. Sikap demikian dapat
dicapai dengan kursi dan sandaran punggung yang tepat.
Pekerjaan sejauh mungkin harus dilakukan sambil duduk. Keuntungan bekerja
sambil duduk adalah sebagai berikut:
a. Kurangnya kelelahan pada kaki.
b. Terhindarnya sikap-sikap yang tidak alamiah.
c. Berkurangnya pemakaian energi.
d. Kurangnya tingkat keperluan sirkulasi darah (Suma’mur, 1989)
2. Kerja Posisi Berdiri
Bekerja dengan posisi berdiri terus menerus sangat mungkin akan
mengakibatkan penumpukan darah dan berbagai cairan tubuh pada kaki, hal ini
akan bertambah bila berbagai bentuk dan ukuran sepatu yang tidak sesuai. Seperti
pembersih (clerks), dokter gigi, penjaga tiket, tukang cukur pasti memerlukan
sepatu ketika bekerja. Apabila sepatu tidak pas (tidak sesuai) maka sangat
mungkin akan sobek dan terjadi bengkak pada jari kaki, mata kaki, dan bagian
sekitar telapak kaki. Oleh karena itu perlu adanya penelitian lebih lanjut sepatu
kerja secara ergonomis. Sepatu yang baik adalah sepatu yang dapat menahan kaki
(tubuh) dan kaki tidak direpotkan untuk menahan sepatu. Desain sepatu harus
lebih longgar dari ukuran telapak kaki. Apabila bagian sepatu di kaki terjadi
terjadi dalam waktu yang lama, maka otot rangka akan mudah mengalami
kelelahan.
Beberapa penelitian telah berusaha untuk mengurangi kelelahan pada tenaga
kerja dengan posisi berdiri. Contohnya yaitu seperti yang diungkapkan Grandjean
(1988) dalam Santoso (2004), merekomendasikan bahwa untuk jenis pekerjaan
teliti, letak tinggi meja diatur 10 cm di atas siku. Untuk jenis pekerjaan ringan,
letak tinggi meja diatur sejajar dengan tinggi siku. Dan untuk pekerjaan berat,
letak tinggi meja diatur 10 cm di bawah tinggi siku.
3. Kerja Berdiri Setengah Duduk
Berdasarkan penelitian Santoso (2004) bahwa tenaga kerja bubut yang telah
terbiasa bekerja dengan posisi berdiri tegak diubah menjadi posisi setangah duduk
tanpa sandaran dan setengah duduk dengan sandaran, menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan tingkat kelelahan otot biomekanik antar kelompok.
Menurut Suma’mur (1989) posisi kerja yang baik adalah bergantian antara
posisi duduk dan posisi berdiri, akan tetapi antara posisi duduk dan berdiri lebih
baik dalam posisi duduk. Hal itu dikarenakan sebagian berat tubuh di sangga oleh
tempat duduk disamping itu konsumsi energi dan kecepatan sirkulasi lebih tinggi
dibandingkan tiduran, tetapi lebih rendah dari pada berdiri. Posisi duduk juga
dapat mengontrol kekuatan kaki dalam pekerjaan, akan tetapi harus memberi
ruang yang cukup untuk kaki karena bila ruang yang tersedia sangat sempit maka
2.4. Desain Stasiun Kerja
Salah satu fungsi ergonomi yang menitik beratkan pada penyesuaian desain
terhadap manusia adalah kemampuan untuk menerapkan informasi menurut karakter
manusia, kapasitas dan keterbatasannya terhadap desain pekerjaan, mesin dan
sistemnya, ruangan kerja dan lingkungan sehingga manusia dapat hidup dan bekerja
secara sehat, aman, nyaman dan efisien. Sedangkan Pulat (1992) menawarkan konsep
desain produk untuk mendukung efisiensi dan keselamatan dalam penggunaan desain
produk. Konsep tersebut adalah desain untuk reabilitas, kenyamanan, lamanya waktu
pemakaian, kemudahan dalam pemakaian, dan efisien dalam pemakaian. Agar desain
produk dapat memenuhi keinginan pemakainya maka harus dilakukan melalui
beberapa upaya pendekatan sebagai berikut ini: (Tarwaka, 2004)
1. Mengetahui kebutuhan pemakai.
2. Fungsi produk secara detail.
3. Melakukan analisis pada tugas-tugas desain produk.
4. Mengembangkan produk.
5. Melakukan uji terhadap pemakai produk.
Suatu desain produk yang ergonomis apabila secara antropometris, faal,
biomekanik dan psikologis kompatibel dengan manusia pemakainya. Di dalam
distribution firndly, installation friendly, operation friendly dan maintenance friendly.
Di samping hal-hal tersebut di atas, di dalam mendesain suatu produk yang sangat
penting untuk diperhatikan adalah suatu desain yang berpusat pada manusia
pemakainya (human centered design) (Sutalaksana, 1999). Hal ini dimaksudkan agar
setiap desain produk baik secara fungsi, teknis, teknologi, ekonomis, estetis maupun
secara ergonomis sesuai dengan kebutuhan pemakainya (Tarwaka, 2004).
1. Pendekatan dalam Desain Stasiun Kerja
Secara umum baik dalam memodifikasi atau meredesain stasiun kerja yang
sudah ada maupun mendesain stasiun kerja yang baru, para perancang sering dibatasi
oleh faktor finansial maupun teknologi seperti: keluasaan modifikasi, ketersediaan
ruangan, lingkungan, ukuran frekuensi alat yang digunakan, kesinambungan
pekerjaan dan populasi yang menjadi target. Dengan demkian, desain dan redesain
harus selalu memperhatikan antara kebutuhana biologis operator dengan kebutuhan
stasiun kerja fisik baik ukuran maupun fungsi dalam alat dalam stasiun kerja. Untuk
kesesuaian tersebut perlu mempertimbangkan antropometri dan lokasi elemen mesin
terhadap posisi kerja, jangkauan, pandangan, ruang gerak dan interface antara tubuh
operator dengan mesin. Di samping itu, teknik dalam mendesain stasiun kerja harus
mulai dengan mengidentifikasi variabilitas populasi pemakai yang didasarkan pada
faktor-faktor seperti etnik, jenis kelamin, umur, dan lain-lain (Tarwaka, 2004).
Menurut Das dan Sengupta (1993) dalam Tarwaka (2004), pendekatan secara
sistemik untuk menentukan dimensi stasiun kerja dapat dilakukan dengan cara
1. Mengidentifikasi variabilitas populasi pemakai yang didasarkan pada etnik,
jenis kelamin dan umur.
2. mendapatkan data antropometri yang relevan dengan posisi pemakai.
3. dalam pengukuran antropometri perlu mempertimbangkakn pakaian, sepatu
dan posisi normal.
4. menentukan kisaran ketinggian dari pekerjaan utama. Penyediaan kursi dan
meja kerja yang dapat distel, sehingga operator dimungkinkan bekerja dengna
sikap duduk maupun berdiri secara bergantian.
5. Tata letak dari alat-alat tangan, kontrol harus dalam kisaran jangkauan
optimum.
6. menempatkan display yang tepat sehingga operator dapat melihat objek
dengan pandangan yang tepat dan nyaman.
7. Review terhadap desain stasiun kerja secara berkala.
2. Aplikasi Antropometri dalam Perancangan Produk/Fasilitas Kerja
Setiap desain produk, baik produk yang sangat sederhana maupun produk
yang sangat komplek, harus berpedoman kepada antropometri pemakainya. Menurut
Sanders dan McCormick (1987); Pheasant (1988) dan Pulat (1992) bahwa
antropometri adalah desain tentang sesuatu yang dipakai orang. Selanjutnya Annis
dan McConville (1996) membagi aplikasi ergonomi dalam kaitannya dengan
antropometri menjadi dua devisi utama:
1. Pertama, ergonomi berhadapan dengan tenaga kerja, mesin beserta sarana
adalah untuk menciptakan kemungkinan situasi terbaik pada pekerjaan
sehingga kesehatan fisik dan mental tenaga kerja dapat terus dipelihara serta
efisiensi produktivitas dan kualitas produk dapat dihasilkan dengan optimal.
2. Kedua, ergonomi berhadapan dengan karakteristik produk pabrik yang
berhubungan dengan konsumen atau pemakai produk. (Tarwaka, 2004)
Dalam setiap desain peralatan dan stasiun kerja, keterbatasan manusia harus
selalu diperhitungkan, di samping memperhatikan kemampuannya dan kebolehannya.
Mengingat bahwa setiap manusia berbeda satu sama lainnya, maka aplikasi data
antropometri dalam desain produk dapat meliputi: desain untuk orang ekstrim (data
terkecil atau terbesar), desain untuk orang per orang, desain untuk kisaran yang dapat
diatur (adjustable range) dengan menggunakan persentil-5 dan persentil-95 dari
populasi dan desain untuk ukuran rerata dengan menggunakan data persentil-50
(Sanders dan McCormick, 1987). Namun demikian, dalam pengumpulan data
antropometri yang akan digunakan untuk mendesain suatu produk, harus
memperhitungkan variabilitas populasi pemakai seperti variabilitas ukuran tubuh
secara umum, variasi jenis kelamin, variasi umur dan variasi ras atau etnik (Tarwaka,
2004).
Ada dua bentuk pengukuran pada antropometri yaitu pengukuran statis
(structural) yaitu tubuh manusia yang berada dalam posisi diam, dan pengukuran
dinamis (fungsional) yaitu tubuh diukur dalam berbagai posisi tubuh yang sedang
bergerak. Data antropometri diterapkan untuk membahas dan merancang barang serta
berupa kenyamanan maupun kesehatan yang ditinjau dari sudut pandang ilmu
anatomi, fisiologi, fisikologi, kesehatan dan keselamatan kerja, perancangan dan
manajemen.
Dalam mengukur data antropometri ini banyak ditemui perbedaan atau
sumber variabilitas yang dapat mempengaruhi hasil pengukuran yang pada akhirnya
akan digunakan dalam perancangan suatu produk. Beberapa sumber variabilitas yang
merupakan faktor yang mempengaruhi dimensi tubuh manusia yang menyebabkan
adanya perbedaan antara satu populasi dengan populasi lain yaitu (Stevenson,1989:
Nurmianto 1991):
1. Keacakan/random
2. Jenis kelamin
3. Suku bangsa (ethnic variabelity)
4. Usia
5. Pakaian
6. Faktor kehamilan pada wanita
7. Cacat tubuh secara fisik
Adapun pendekatan dalam penggunaan data antropometri adalah sebagai
berikut (Nurmianto,1991):
a. Pilihlah simpangan baku yang sesuai sebagai dasar perancangan yang
dimaksud.
b. Carilah data pada rata-rata dan distribusi dari dimensi yang dimaksud
c. Pilihlah nilai persentil yang sesuai sebagai dasar perancangan.
d. Pilihlah jenis kelamin yang sesuai.
Penerapan data antropometri ini akan dapat dilakukan jika tersedia nilai
rata-rata (mean) dan simpangan baku (standart deviasi) dari suatu distribusi normal
(Nurmianto, 1991). Adapun distribusi normal ditandai dengan adanya nilai rata-rata
dan simpangan baku yang dapat dihitung dengan menggunakan rumus 1 dan 2
sebagai berikut :
X = Σ× ……….. (1) n
Dimana :
X = Rata-rata
ΣX = Jumlah data yang akan dihitung
n = Jumlah sampel
Σ (×i - ×)²
σ× = √ i= 1 ………. (2) n – 1
Dimana :
σ× = Simpangan baku (Standar Deviasi)
× = rata-rata
× = nilai data
Untuk uji keseragaman data digunakan uji dengan menggunakan peta kontrol
dengan tingkat keyakinan 99% (3σ) untuk masing-masing kriteria. Adapun rumus
pengujian keseragaman data tersebut dapat dilihat pada rumus 3 berikut:
BKA= X + 3σ× ……….(3)
BKB= X –3σ×
Jika X min>BKB dan Xmax < BKA maka data seragam.
Dimana :
BKA = batas atas
BKB = batas bawah
Sedangkan persentil adalah suatu nilai yang menyatakan bahwa persentase
tertentu dari sekelompok orang yang dimensinya sama dengan atau lebih rendah dari
nilai tersebut. Misalnya 95% populasi adalah sama dengan atau lebih rendah dari 95%
persentil: 5% dari populasi berada sama dengan atau lebih rendah dari 5 persentil.
Besarnya nilai persentil dapat ditentukan dari tabel probabilitas distribusi
normal pada gambar 1. Dalam pokok bahasan antropometri, 95 persentil
menunjukkan tubuh berukuran besar, sedangkan 5 persentil tubuh berukuran kecil.
Jika diinginkan dimensi untuk akomodasi 95 % populasi maka 2,5 dan 97,5 persentil
adalah batas rentang yang dapat dipakai dan ditunjukkan pada gambar 1 dan 2 serta
Gambar 2.1. Distribusi Normal dan Perhitungan Persentil
Gambar 2.2. Antropometri Tubuh Manusia yang Diukur Dimensinya Keterangan:
1. Dimensi tinggi tubuh dalam posisi tegak (dari lantai sampai ujung
kepala)
20
2. Tinggi mata dalam posisi berdiri tegak
3. Tinggi bahu dalam posisi tegak
4. Tinggi siku dalam posisi berdiri tegak (siku tegak lurus)
5. Tinggi kepalan tangan yang terjulur lepas dalam posisi berdiri tegak
6. Tinggi tubuh dalam posisi duduk (diukur dari alas tempat duduk/pantat
sampai dengan kepala)
7. Tinggi mata dalam posisi duduk
8. Tinggi bahu dalam posisi duduk
9. Tinggi siku dalam posisi duduk (siku tegak lurus)
10. Tebal atau lebar paha
11. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan ujung lutut
12. Panjang paha yang diukur dari pantat sampai dengan bagian belakang dari
lutut atau betis
13. Tinggi lutut yang bisa diukur baik dalam posisi berdiri ataupun duduk
14. Tinggi tubuh dalam posisi duduk yang diukur dari lantai sampai dengan paha
15. Lebar dari bahu (bisa diukur dalam posisi berdiri ataupun duduk)
16. Lebar pinggul atau pantat
17. Lebar dari dada dalam keadaan membusung
18. Lebar perut
19. Panjang siku yang diukur dari siku sampai dengan ujung jari-jari dalam posisi
siku tegak lurus
21. Panjang tangan diukur dari pergelangan sampai dengan ujung jari
22. Lebar telapak tangan
23. Lebar tangan dalam posisi tangan terbentang lebar-lebar kesamping kiri-kanan
24. Tinggi jangkauan tangan dalam posisi berdiri tegak, diukur dari lantai sampai
dengan telapak tangan ang terjangkau lurus ke atas vertikal
25. Tinggi jangakauan tangan dalam posisi duduk tegak, diukur seperti halnya
nomor 24 tetapi dalam posisi duduk
26. Jarak jangkauan tangan yang terjulur ke depan diukur dari bahu sampai ujung
jari tangan.
Data antropometri yang menyajikan data ukuran dari berbagai macam anggota
tubuh manusia dalam persentil tertentu akan sangat besar manfaatnya pada saat suatu
rancangan produk ataupun fasilitas kerja akan dibuat. Agar rancangan suatu produk
nantinya bisa sesuai dengan ukuran tubuh manusia yang akan mengoperasikannya,
maka prinsip-prinsip yang harus diambil didalam aplikasi data antropometri tersebut
harus ditetapkan terlebih dahulu seperti diuraikan berikut ini :
a. Prinsip perancangan produk bagi individu dengan ukuran yang ekstrim.
Disini rancangan produk dibuat agar bisa memenuhi 2 (dua) sasaran produk,
yaitu :
i. Bisa sesuai untuk ukuran tubuh manusia yang mengikuti klasifikasi
ekstrim dalam arti terlalu besar atau kecil bila dibandingkan dengan
ii. Tetap bisa digunakan untuk memenuhi ukuran tubuh yang lain (mayoritas
dari populasi yang ada ).
b. Prinsip perancangan produk yang bisa dioperasikan diantara rentang ukuran
tertentu.
Disini rancangan bisa dirubah-rubah ukurannya sehingga cukup fleksibel
dioperasikan oleh setiap orang yang memiliki berbagai macam ukuran tubuh.
Contoh yang paling umum dijumpai adalah perancangan kursi mobil yang
mana dalam hal ini letaknya bisa digeser maju/mundur dan sudut sandarannya
bisa dirubah-rubah sesuai dengan yang diinginkan. Dalam kaitannya untuk
mendapatkan rancangan yang fleksibel, semacam ini maka data antropometri
yang umum diaplikasikan adalah rentang nilai 5-th s/d 95-th percentile.
c. Prinsip perancangan produk dengan ukuran rata-rata.
Berkaitan dengan aplikasi data antropometri yang diperlukan dalam proses
perancangan produk ataupun fasilitas kerja, maka ada beberapa
saran/rekomendasi yang bisa diberikan sesuai dengan langkah-langkah seperti
berikut :
i. Pertama kali terlebih dahulu harus ditetapkan anggota tubuh yang mana
yang nantinya akan difungsikan untuk mengoperasikan rancangan
tersebut.
ii. Tentukan dimensi tubuh yang penting dalam proses perancangan tersebut,
dalam hal ini juga perlu diperhatikan apakah harus menggunakan data
iii. Selanjutnya tentukan populasi terbesar yang harus diantisipasi,
diakomodasikan dan menjadi target utama pemakai rancangan produk
tersebut. Hal ini lazim dikenal sebagai "market segmentation", seperti
produk mainan untuk anak-anak, peralatan rumah tangga untuk wanita,
dll.
iv. Tetapkan prinsip ukuran yang harus diikuti semisal apakah rancangan
tersebut untuk ukuran individual yang ekstrim, rentang ukuran yang
fleksibel (adjustable) ataukah ukuran rata-rata.
v. Pilih presentase populasi yang harus diikuti, 90-th, 95-th, 99-th ataukah
nilai percentile yang lain yang dikehendaki.
vi. Untuk setiap dimensi tubuh yang telah diidentifikasikan selanjutnya
pilih/tetapkan nilai ukurannya dari tabel data antropometri yang sesuai.
Aplikasi data tersebut dan tambahkan faktor kelonggaran (allowance) bila
diperlukan seperti halnya tambahan ukuran akibat faktor tebalnya pakaian
yang harus dikenakan oleh operator, pemakaian sarung tangan (glowes),
dan lain-lain (Wignjosoebroto, 2008)
3. Desain Stasiun Kerja dan Sikap Duduk
Posisi tubuh dalam kerja sangat ditentukan oleh jenis pekerjaan yang
dilakukan. Masing-masing posisi kerja mempunyai pengaruh yang berbeda-beda
terhadap tubuh. Granjean (1993) berpendapat bahwa bekerja dengan posisi duduk
mempunyai keuntungan antara lain: pembebanan pada kaki; pemakaian energi dan
Namun demikian posisi duduk dengan sikap duduk terlalu lama dapat
menyebabkan otot perut melembek dan tulang belakang akan melengkung sehingga
cepat lelah. Sedangkan Clark (1996), menyatakan bahwa desain stasiun kerja dengan
posisi duduk mempunyai derajat stabilitas tubuh yang tinggi, mengurangi kelelahan,
dan keluhan subjektif bila bekerja lebih dari 2 jam. Di samping itu tenaga kerja juga
dapat mengendalikan kaki untuk melakukan gerakan.
Mengingat posisi duduk mempunyai keuntungan maupun kerugian, maka
unttuk mendapatkan hasil kerja yang lebih baik tanpa pengaruh buruk pada tubuh,
perlu dipertimbangkan pada jenis pekerjaan apa saja yang sesuai dilakukan dengan
posisi duduk. Untuk maksud tersebut, Pulat (1992) memberikan pertimbangann
tentang pekerjaan yang paling baik dilakukan dengan posisi duduk adalah sebagai
berikut: (Tarwaka, 2004)
1. Pekerjaan yang memerlukan kontrol dengan teliti pada kaki
2. Pekerjaan utama adalah menulis atau memerlukan ketelitian pada tangan
3. Tidak diperlukan tenaga dorong yang besar
4. Objek yang dipegang tidak memerlukan tangan bekerja pada ketinggian lebih
dari 15 cm dari landasan kerja
5. Diperlukan tingkat kestabilan tubuh yang tinggi
6. Pekerjaan dilakukan pada waktu yang lama
7. Seluruh objek yang dikerjakan atau disuplai masih dalam jangkauan dengan
Pada pekerjaan yang dilakukan dengan posisi duduk, tempat duduk yang
dipakai harus memungkinkan untuk melakukan variasi perubahan posisi. Ukurann
tempat duduk disesuaikan dengan dimensi ukuran antropometri pemakainya. Fleksi
lutut membentuk 900 dengan telapak kaki bertumpu pada lantai atau injakan kaki
(Pheasant, 1988). Jika landasan kerja terlalu rendah, tulang belakang akan
membungkuk ke depan, dan jika terlalu tinggi bahu akan terangkat dari posisi rileks,
sehingga menyebabkan bahu dan leher menjadi tidak nyaman. Sanders dan
McCormick (1987) memberikan pedoman untuk mengatur ketinggian landasan kerja
pada posisi duduk sebagai berikut:
1. Jika memungkinkan menyediakan meja yang dapat diatur turun dan naik.
2. Landasan kerja harus memungkinkan lengan menggantung pada posisi rileks
dari bahu, dengan lengan bawah mendekati posisi horizontal atau sedikit
menurun.
3. Ketinggian landasan kerja tidak memerlukan fleksi tulang belakang yang
berlebihan.
2.5. Keluhan Muskuloskeletal
Keluhan muskuloskeletal adalah keluhan pada bagian-bagian otot skeletal
yang dirasakan oleh seseorang mulai dari keluhan sangat ringan sampai sangat sakit.
Apabila otot menerima beban statis secara berulang dan dalam waktu yang lama,
akan menyebabkan keluhan berupa kerusakan pada sendi, ligamen dan tendon.
musculoskeletal disorders (MSDs) atau cedera pada sistem muskuloskeletal. Secara
garis besar keluhan otot dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:
1. Keluhan sementara (reversible), yaitu keluhan otot yang terjadi pada saat otot
menerima beban statis, namun demikiann keluhan tersebut akan segera hilang
apabila pembebanan dihentikan.
2. Keluhan menetap (persistent), yaitu keluhan otot yang bersifat menetap,
walaupun pembebanan kerja telah dihentikan, namun rasa sakit pada otot
masih terus berlanjut (Tarwaka, 2004).
Peter (2000) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu:
1. Peregangan otot yang berlebihan
Peregangan otot yang berlebihan (over exertion) pada umumnya sering
dkeluhkan oleh pekerja di mana aktivitas kerjanya menuntut pengerahan
tenaga yang besar seperti aktivitas mengangkat. Peregangan otot yang
berlebihan ini terjadi karena pengerahan tenaga yang diperlukan melampaui
kekuatan optimum otot. Apabila hal serupa sering dilakukan, maka dapat
mempertinggi resiko terjadinya keluhan otot, bahkan dapat menyebabkan
terjadinya cedera otot skeletal.
2. Aktivitas berulang
Aktivitas berulang adalah pekerjaan yang dilakukan secara terus menerus
sebagainya. Keluhan otot terjadi karena otot menerima tekanan akibat beban
kerja secara terus menerus tanpa memperoleh kesempatan untuk relaksasi.
3. Sikap kerja tidak alamiah
Sikap kerja tidak alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi
bagian-bagian tubuh bergerak menjauhi posisi alamiah, misalnya pergerakan tangan
terangkat, punggung terlalu membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya.
Semakin jauh posisi bagian tubuh dari pusat gravitas tubuh, maka semakin
tinggi pula terjadinya keluhan otot skeletal. Sikap kerja tidak alamiah ini pada
umumnya karena karakteristik tuntutan tugas, alat kerja dan stasiun kerja tidak
sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja. Sikap kerja tidak
alamiah ini lebih banyak disebabkan oleh adanya ketidak sesuaian antara
dimensi alat dan stasiun kerja dengan ukuran tubuh pekerja.
2.6. Landasan Teori
Keluhan otot skeletal umumnya terjadi karena kontraksi otot yang berlebihan
akibat pemberian beban kerja yang terlalu berat dengan durasi dengan durasi
pembebanan yang panjang. Bila kontraksi otot melebihi 20%, maka peredaran darah
ke otot berkurang menurut tingkat kontraksi yang dipengaruhi oleh besarnya tenaga
yang diperlukan. Suplai oksigen ke otot menurun, proses metabolisme karbohidrat
terhambat dan sebagai akibatnya terjadi penimbunan asam laktat yang menyebabkan
Peter (2000) dalam Tarwaka (2004) menjelaskan bahwa terdapat beberapa
faktor yang dapat menyebabkan terjadinya keluhan otot skeletal, yaitu peregangan
otot yang berlebihan, aktivitas berulang, sikap kerja tidak alamiah, faktor penyebab
sekunder (tekanan, getaran, dan mikroklimat) dan penyebab kombinasi (umur, jenis
kelamin, kesegaran jasmani, kekuatan fisik dan ukuran tubuh). Sikap kerja tidak
alamiah adalah sikap kerja yang menyebabkan posisi bagian-bagian tubuh bergerak
menjauhi posisi alamiah, misalanya pergerakan tangan terangkat, punggung terlalu
membungkuk, kepala terangkat dan sebagainya. Sikap kerja tidak alamiah pada
umunya terjadi karena karakteristik tuntutan tugas, fasilitas (alat kerja) dan stasiun
kerja tidak sesuai dengan kemampuan dan keterbatasan pekerja.
2.7. Kerangka Konsep
Gambar 2.3. Kerangka Konsep Penelitian Keluhan Muskoloskeletal Sikap Kerja