• Tidak ada hasil yang ditemukan

Morbiditas dan Status Gizi Balita Penerima Makanan Tambahan Biskuit Yang Disubstitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Kecamatan Sukalarang dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Morbiditas dan Status Gizi Balita Penerima Makanan Tambahan Biskuit Yang Disubstitusi Tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) di Kecamatan Sukalarang dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

Receiving Supplementary Feeding with Biscuit Substituted with Catfish Flour in Sukalarang and Cibadak Sub-district, District of Sukabumi. Under the guidance of Sri Anna Marliyati.

Protein-Energy Malnutrition (PEM) among under five children is a nutrition problem in Indonesia. The purpose of this research was to study morbidity and nutritional status of under-five children before and after supplementary feeding with biscuit substituted with catfish flour in Sukalarang and Cibadak sub-district, district of Sukabumi. The samples of the study were children within the age range 12-60 months. A quasy experimental study design was implemented. Primary and secondary data were colected in the study. Data was analyzed using Microsoft Exel 2007 for windows and Statistical Program for Social Science (SPSS) 16.0. Primary data includes the characteristics of the sample’s families (families size, parental education, parental employment, and household income); the characteristics of children under-five (age, sex, weight, height, energy consumption, and protein consumption); the characteristic of environment, morbidity, nutritional status, and parenting (feeding and health care pattern). Weight for age (W/A), height for age (H/A) and weight for height (W/H) index were used to measure children under-five nutritional status. The result showed that supplementary feeding with biscuit substituted with catfish flour may increased nutritional status. After intervention, 52,8% children under five were normal (W/A). Based on analiysis showed that there were no corellation between feeding care pattern with nutritional status (r=0,042, p>0,05), and health care pattern with nutritional status (r=0,290, p>0,05). Many factors influenced nutritional status, such as consumption and infection deseases. Samples T Test analysis showed that was a difference on nutritional status (W/A) between after and before intervention (p<0,05). There was no difference of morbidity between after and before intervention (p>0,05).

Keywords: Protein-Enery Malnutrition, supplementary feeding, nutritional status, morbidity, biscuit

(2)

Masalah gizi kurang merupakan masalah multidimensi yang dipengaruhi oleh berbagai faktor baik langsung maupun tidak langsung. Faktor-faktor penyebab masalah gizi ini bersumber atau berakar dari terjadinya krisis ekonomi, politik dan sosial atau termasuk juga kejadian bencana alam. Gizi kurang terjadi karena defisiensi atau ketidakseimbangan energi (zat gizi). Gizi kurang dapat menurunkan produktivitas kerja sehingga pendapatan menjadi rendah, miskin, dan pangan tidak tersedia cukup. Selain itu gizi kurang mengakibatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit menjadi rendah sehingga rentan terserang penyakit (Suhardjo 2003).

Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas merupakan salah satu faktor untuk meningkatkan pembangunan di suatu wilayah. Pembangunan akan berjalan baik apabila didukung oleh masyarakat yang berkualitas. Berkaitan dengan hal tersebut, untuk menciptakan SDM yang berkualitas, banyak faktor yang harus diperhatikan, antara lain faktor pangan (zat gizi), kesehatan, pendidikan, informasi, teknologi, dan jasa pelayanan lainnya seperti jasa pelayanan kesehatan. Dari sekian banyak faktor tersebut, zat gizi memegang peranan yang paling penting. Kekurangan gizi dapat merusak kualitas SDM, khususnya generasi penerus bangsa (anak-anak). Permasalahan gizi utama di Indonesia difokuskan pada 4 masalah, yaitu Kurang Energi Protein (KEP), Kurang Zat Besi (anemia), Kurang Vitamin A (KVA), dan Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) (Khomsan et al. 2009a).

(3)

memegang peranan penting dalam menyebabkan gizi kurang pada balita selain faktor pemberian air susu ibu (ASI) (Suhardjo 2003).

Menurut Soekirman (2000), KEP pada balita sangat berbeda sifatnya dengan KEP pada orang dewasa. Faktor penyebab timbulnya gizi kurang pada balita lebih kompleks dibandingkan pada orang dewasa. Untuk menanggulanginya diperlukan upaya penanggulangan yang menggunakan pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara terintegrasi dengan cara memperbaiki aspek lingkungan hidup anak seperti pola asuh, pendidikan ibu, air bersih dan kesehatan lingkungan, mutu serta pelayanan kesehatan. Selain itu, partisipasi aktif dari orang tua dan masyarakat setempat juga penting dalam pencegahan dan penanggulangan masalah gizi kurang pada balita.

Periode kritis anak berada pada lima tahun pertama setelah kelahiran. Jika pertumbuhan dan perkembangan anak pada periode ini optimal, maka anak tersebut akan tumbuh menjadi seorang manusia yang berkualitas. Oleh karena itu, target utama posyandu adalah balita, ditambah wanita hamil dan menyusui (Khomsan et al. 2009a).

Menurut Adi (2010), untuk menanggulangi masalah gizi kurang pada balita perlu adanya program peningkatan kesehatan masyarakat, pendidikan (penyuluhan), dan perbaikan pola konsumsi. Peningkatan kesehatan masyarakat dapat dilakukan dengan cara meningkatkan pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Salah satu program untuk menanggulangi masalah gizi kurang dan angka kesakitan pada balita yaitu dengan dilakukannya program intervensi pemberian makanan tambahan (PMT) pada balita yang mengalami KEP. Pemberian makanan tambahan ini diharapkan dapat membantu mengurangi prevalensi gizi kurang.

(4)

Salah satu cara untuk dapat menanggulangi masalah gizi kurang pada balita KEP yaitu dengan cara memberikan makanan tambahan (PMT). Pemberian Makanan Tambahan (PMT) berupa biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) merupakan salah satu alternatif yang dapat dilakukan dalam upaya perbaikan gizi balita. Studi mengenai efikasi pemberian makanan tambahan tersebut telah dilakukan oleh Adi pada tahun 2010 dengan hasil yang positif. Sebagai tindak lanjut dari studi tersebut Pemerintah Daerah Kabupaten Sukabumi memberikan biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) sebagai upaya untuk mengurangi prevalensi gizi kurang dan gizi buruk serta memperbaiki status gizi balita gizi kurang dan gizi buruk pada tahun 2011 di kabupaten Sukabumi. Biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) ini mengandung protein tinggi sehingga dengan adanya pemberian biskuit tersebut diharapkan dapat menambah asupan energi dan protein pada balita KEP.

Dalam perbaikan pola konsumsi pangan balita, pola asuh anak oleh ibu merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status gizi anak balita. Ibu sangat berperan penting dalam meningkatkan status gizi anak (balita). Pola makan anak hampir sepenuhnya tergantung pada kemampuan ibu untuk mentransfer pengetahuan gizi ke dalam sikap dan kebiasaan makan yang baik. Tingkat kepatuhan orang tua (pengasuh) dalam memberikan biskuit (PMT) juga sangat penting terhadap keberhasilan program Pemerintah Daerah kabupaten Sukabumi dalam upaya memperbaiki status gizi dan tingkat morbiditas balita gizi kurang di kabupaten Sukabumi.

Terkait dengan hal-hal tersebut di atas, maka peneliti tertarik meneliti perubahan morbiditas dan status gizi balita pada awal dan akhir intervensi pemberian makanan tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) oleh Pemda Kabupaten Sukabumi pada tahun 2011. Daerah Sukabumi yang dijadikan lokasi penelitian ini merupakan daerah dataran tinggi tepatnya yaitu di kecamatan Sukalarang dan kecamatan Cibadak, kabupaten Sukabumi, provinsi Jawa Barat.

Tujuan Tujuan umum

(5)

biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) di Kecamatan Sukalarang dan Cibadak, Kabupaten Sukabumi.

Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui karakteristik sosial-ekonomi keluarga balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).

2. Mengetahui karakteristik kondisi lingkungan daerah tempat tinggal balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).

3. Mengetahui konsumsi pangan balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).

4. Mengetahui pola asuh ibu (pola asuh makan dan kesehatan) dan tingkat kepatuhan sasaran penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) terhadap pemberian makanan tambahan.

5. Menganalisis hubungan antara pola pengasuhan ibu dengan status gizi balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).

6. Menganalisis hubungan antara tingkat morbiditas dengan status gizi balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).

7. Mengkaji perubahan tingkat morbiditas balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).

8. Mengkaji perubahan status gizi balita penerima PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).

Hipotesis Hipotesis penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Terdapat hubungan antara pola pengasuhan ibu dengan status gizi balita. 2. Terdapat hubungan antara tingkat morbiditas dengan status gizi balita.

3. Terdapat perbedaan morbiditas balita antara sebelum dan setelah dilakukan intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus).

(6)

Kegunaan Penelitian

Penelitian ini dapat membantu meningkatkan kesadaran, kepatuhan dan pemahaman masyarakat khususnya ibu balita terhadap pentingnya memperbaiki pola makan balita dan memperhatikan asupan zat gizinya agar mencukupi kebutuhan gizi balita. Disamping itu juga dapat meningkatkan pemahaman pengasuh (ibu) dalam hal perbaikan pola asuh terhadap anak balita dan juga memperhatikan aspek kesehatan lingkungan. Partisipasi masyarakat lainnya juga seperti kader sangat berperan terhadap kelancaran program intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) untuk meningkatkan status gizi balita gizi kurang dan gizi buruk.

(7)

Usia balita adalah periode penting dalam proses tumbuh kembang anak yang merupakan pertumbuhan dasar anak. Pada usia balita, perkembangan kemampuan berbahasa, berkreativitas, kesadaran sosial, emosi, dan inteligensi anak berjalan sangat cepat. Hal tersebut merupakan landasan bagi perkembangan anak berikutnya. Balita termasuk ke dalam kelompok usia yang berisiko tinggi terhadap penyakit. Kekurangan ataupun kelebihan zat gizi pada balita dapat mempengaruhi status gizi dan status kesehatannya. Pemenuhan kebutuhan zat gizi pada balita memang sangat penting untuk menunjang proses tumbuh kembang (Marendra & Febry 2008). Kebutuhan protein bayi dan anak balita disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Kebutuhan protein bayi dan anak balita (9/kg BB Sehari)

Bayi: (Bulan) g/hari BALITA (Tahun) g/hari

< 3 2,40 1 1,27

2 1,19

3-6 1,85 3 1,12

6-9 1,62 4 1,06

9-11 1,44 5

6

1,01 0,98 Sumber: Sediaoetama 2006

Masalah Gizi Makro Kurang Energi Protein (KEP)

KEP merupakan salah satu masalah gizi kurang akibat konsumsi makan yang tidak cukup mengandung energi dan protein serta karena gangguan kesehatan dan infeksi yang berdampak pada penurunan status gizi. Manifestasi dari KEP dalam diri penderita ditentukan dengan mengukur status gizi anak atau orang yang menderita KEP. Jenis masalah gizi ini sering dijumpai di negara-negara miskin dan diderita oleh orang dewasa ataupun anak-anak. Saat ini masalah KEP pada orang dewasa tidak sebesar masa lalu kecuali pada wanita di daerah-daerah miskin. Namun, hingga tahun 2000 KEP pada anak usia di bawah lima tahun (balita) masih menjadi masalah yang memprihatinkan (Soekirman 2000).

(8)

berbeda sifatnya dengan KEP pada orang dewasa. KEP pada anak balita tidak mudah dikenali oleh pemerintah atau masyarakat bahkan oleh keluarganya sekalipun.

Terjadinya gizi kurang pada anak balita tidak selalu didahului oleh terjadinya bencana kurang pangan dan kelaparan seperti gizi buruk yang terjadi pada orang dewasa. Meskipun pangan di pasaran melimpah tetapi mungkin saja kasus gizi kurang dapat terjadi pada balita. KEP pada anak balita sering disebut sebagai masalah kelaparan yang “tersembunyi” atau hidden hunger. Faktor penyebab masalah gizi kurang pada anak balita bersifat lebih komplek dibandingkan pada orang dewasa, maka diperlukan upaya penanggulangan yang menggunakan pendekatan dari berbagai segi kehidupan anak secara terintegrasi. Tidak hanya memperbaiki aspek makanan tetapi juga harus memperbaiki lingkungan hidup anak seperti pola pengasuhan, pendidikan ibu, air bersih dan lingkungan, mutu pelayanan kesehatan, dan sebagainya. Partisipasi aktif orang tua dan masyarakat sangat diperlukan untuk pencegahan dan penanggulangan balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk (Soekirman 2000).

Manifestasi Kurang Energi Protein (KEP) pada anak balita dalam jangka pendek dan panjang dapat berupa rendahnya berat badan umur (underweight), atau anak menjadi pendek (stunted) atau kurus (wasted). Untuk mengetahui status gizi anak balita termasuk normal atau tidak (gizi kurang atau gizi lebih) perlu dilakukan perbandingan antara ukuran antropometri anak (berat badan atau tinggi badan) dengan baku internasional. Seorang anak dikatakan mengalami gizi kurang jika berat badan atau tinggi badannya kurang dari -2 standar deviasi (SD). Anak balita dengan berat atau tingginya kurang dari -3 SD maka tergolong status gizi buruk (Prosiding Lokakarya Nasional II 2006).

Berdasarkan penyebabnya, terdapat beberapa istilah dalam KEP, antara lain adalah kwashiorkor dan marasmus dengan gejala dan tanda-tandanya seperti yang diuraikan sebagai berikut: (Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat 2007)

Kwashiorkor (Kekurangan Protein)

(9)

Kekurangan protein ini biasanya menyerang anak-anak yang memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Anak yang disapih usia 1-4 tahun

2. Bertempat di daerah tropis atau sub tropis, dimana keadaan ekonomi, sosial, dan budaya merupakan kombinasi faktor yang dapat menimbulkan kekurangan protein pada anak-anak

3. Anak-anak yang sedang dirawat inap karena pembedahan atu hipermetabolik

Marasmus

Marasmus merupakan suatu keadaan dimana terjadi kekurangan protein dan energi yang kronis. Berat badan yang sangat rendah merupakan karakteristik dari marasmus. Berikut adalah gejala atau tanda-tanda marasmus:

1. Kurus kering

2. Tampak hanya tulang dan kulit

3. Otot dan lemak bawah kulit atropi (mengecil) 4. Wajah seperti tua

5. Berkerut dan keriput 6. Layu dan kering 7. Umumnya terjadi diare

Marasmus umumnya terjadi karena beberapa faktor di bawah ini:  Masalah sosial yang kurang menguntungkan

 Kemiskinan  Infeksi

 Mikroorganisme pathogen penyebab diare  Kecepatan pertumbuhan yang melambat  Tidak ada dermatitis atau depigmentasi  Tidak ada edema

 Tumbuh kerdil serta mental dan emosi terganggu  Tidur gelisah, apatis dan merengus

 Menarik diri dari lingkungan

 Suhu tubuh subnormal karena tidak memiliki lemak subkutan yang

(10)

Status Gizi Balita

Status gizi merupakan keadaan kesehatan seseorang atau sekelompok orang yang disebabkan oleh konsumsi, penyerapan, dan penggunaan zat gizi makanan. Status gizi seseorang atau sekelompok orang dapat digunakan untuk mengetahui apakah seseorang atau sekelompok orang tersebut kondisi gizinya baik atau sebaliknya (Nasoetion & Riyadi 1994). Menurut Suhardjo (1989c), faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi adalah berat bayi lahir rendah, kembar, banyak anak dalam keluarga, jarak kelahiran yang pendek, penyapihan dini, pemberian makanan tambahan tertentu terlalu dini atau terlambat, sering terkena infeksi, ibu yang buta huruf diantara ibu yang berpendidikan, kemiskinan, dan anak-anak yang orang tuanya tidak lengkap.

Status gizi dapat dinilai dengan empat cara, yaitu konsumsi makanan, antropometri, biokimia, dan klinis. Berat badan menurut umur (BB/U) dianggap tidak informatif bila tidak disertai dengan informasi tinggi badan menurut umur (TB/U). Faktor umur sangat penting dalam penentuan status gizi. Kesalahan penentuan umur akan menyebabkan interpretasi status gizi menjadi salah. Hasil pengukuran tinggi dan berat badan yang akurat akan menjadi tidak berarti jika penentuan umur tidak tepat (Riyadi 2003).

Pemantauan status gizi balita BB/U dan TB/U lebih tepat bila menggunakan baku WHO-NCHS dan dihitung berdasarkan skor simpangan baku (z-score). Keuntungan penggunaan z-score adalah hasil hitungan telah dibakukan menurut simpangan baku sehingga dapat dibandingkan untuk setiap kelompok umur dan indeks antropometri. Penentuan prevalensi dengan cara z-score lebih akurat dibandingkan cara persen terhadap median yang memberi hasil sangat bervariasi, baik menurut kelompok umur maupun masing-masing indeks. Nilai keadaan gizi anak dibagi menjadi empat kategori, yaitu baik, sedang, kurang, dan buruk (Gibson 1993 diacu dalam Khomsan et al. 2009).

(11)

juga proses pendewasaan akan terganggu. Apabila seorang anak mengalami defisiensi protein (meskipun konsumsi energinya cukup), anak tersebut tetap akan mengalami pertumbuhan tinggi badan yang terhambat (Khomsan 2002).

Status gizi anak dapat diketahui melalui pengukuran antropometri. Kata antropometri berasal dari bahasa Latin antropos yang berarti manusia (human being) (Soekirman 2000). Secara umum antropometri dapat diartikan sebagai ukuran tubuh manusia. Ditinjau dari sudut pandang gizi, antropometri gizi berhubungan dengan berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi. Berbagai jenis ukuran tubuh antara lain : berat badan, tinggi badan, lingkar lengan atas dan tebal lemak di bawah kulit (Supariasa et al. 2002).

Status gizi tidak hanya diketahui dengan mengukur BB atau TB sesuai umur (U) secara sendiri-sendiri, tetapi juga dalam bentuk indikator yang dapat merupakan kombinasi antara ketiganya. Masing-masing indikator memiliki maknanya sendiri-sendiri. Kombinasi antara BB dan U membentuk indikator BB menurut U yang disimbolkan dengan “BB/U”,kombinasi antara TB dan U membentuk indikator TB menurut U yang disimbolkan dengan “TB/U”, dan kombinasi BB dan TB membentuk indikator BB menurut TB atau disimbolkan dengan “BB/TB” (Soekirman 2000).

Metode antropometri termasuk pengukuran dimensi fisik dan komposisi tubuh (WHO 1995). Pengukuran antropometri memiliki keuntungan tambahan dalam menyediakan informasi mengenai sejarah status gizi pada masa lampau. Pengukuran ini dapat dilakukan dengan mudah, cepat, dan menggunakan peralatan yang sudah distandarisasi (Gibson 2005). Antropometri umumnya digunakan untuk mengukur status gizi dari berbagai ketidakseimbangan asupan energi dan protein. Gangguan ini biasanya terlihat dari pola pertumbuhan fisik dan proporsi jaringan tubuh seperti lemak, otot dan jumlah cairan dalam tubuh (Supariasa et al. 2002).

(12)

Indikator BB/U

Indikator BB/U dapat normal, lebih rendah, atau lebih tinggi setelah dibandingkan dengan standar WHO. Status gizi tergolong baik jika BB/U normal, BB/U rendah dapat diartikan status gizi tersebut tergolong gizi kurang atau buruk. Sedangkan BB/U tinggi digolongkan sebagai status gizi lebih. Baik status gizi kurang maupun lebih, kedua-duanya memiliki resiko yang tidak baik bagi kesehatan. Status gizi kurang yang diukur dengan indikator BB/U dalam ilmu gizi digolongkan ke dalam kelompok “berat badan rendah” (BBR) atau underweight.

Menurut tingkat keparahannya, BBR dikelompokkan ke dalam kategori BBR tingkat ringan (mild), sedang (moderate), dan berat (severe). BBR tingkat berat atau sangat berat (berat badan sangat rendah = BBSR) sering disebut sebagai status gizi buruk. Gizi buruk pada anak-anak di masyarakat dikenal dengan marasmus dan kwashiorkor (Soekirman 2000).

Indikator TB/U

Indikator TB/U dapat dinyatakan normal, kurang, dan tinggi menurut standar WHO. Menurut WHO, bagi anak yang memilki TB kurang maka dikategorikan sebagai stunted (pendek tidak sesuai dengan umur). Tingkat keparahannya dapat digolongkan ringan, sedang, dan berat atau buruk. Hasil pengukuran TB/U menggambarkan status gizi masa lalu. Seorang anak yang tergolong stunted kemungkinan keadaan gizi masa lalu kurang atau tidak baik (Soekirman 2000).

Berbeda dengan BBR yang diukur dengan BB/U yang mungkin dapat diperbaiki dalam waktu pendek, baik pada anak ataupun pada dewasa. Stunted

pada orang dewasa tidak lagi dapat dipulihkan. Kemungkinan untuk memulihkan pada anak balita dengan cara menormalkan pertumbuhan linier (pertumbuhan berat badan mengikuti pertumbuhan tinggi badan dengan percepatan tertentu) dan mengejar pertumbuhan potensial (petumbuhan tinggi badan menurut keturunan genetik dalam lingkungan yang ideal) masih dapat dilakukan. Sedangkan pada anak usia sekolah sampai remaja kemungkinan menormalkan pertumbuhan linier masih ada, tetapi kemungkiannya kecil untuk dapat catch-up growth (Soekirman 2000).

(13)

lama. Oleh sebab itu indikator TB/U menggambarkan status gzizi masa lampau (Soekirman 2000).

Indikator BB/TB

Pengukuran antropometri yang terbaik adalah menggunakan indikator BB/TB. Ukuran ini menggambarkan status gizi saat ini dengan lebih sensitif dan spesifik, Seseorang dengan BB/TB kurang dikategorikan sebagai “kurus” atau “wasted”. Berat badan behubungan linier dengan tinggi badan. Dalam kondisi normal perkembangan berat badan akan mengikuti pertambahan tinggi badan pada percepatan tertentu. Dengan demikian berat badan yang normal akan proposional dengan tinggi badan. Indikator BB/TB ini diperkenalkan pertama kali oleh Jellife pada tahun 1966 dan merupakan indikator yang baik untuk menilai status gizi saat kini, terutama jika data umur yang akurat sulit untuk diperoleh. Oleh sebab itu, indikator BB/TB merupakan indikator yang independen terhadap umur (Soekirman 2000).

Pola Asuh

Proses pengasuhan adalah suatu proses interaksi, penyesuaian orang tua, pemenuhan tanggung jawab orang tua untuk memenuhi kebutuhan anak serta perlindungan terhadap anak. Pengasuhan memiliki beberapa pola yang menunjukkan adanya hubungan dengan aspek tertentu, mengikuti kebutuhan anak akan kebutuhan fisik dan non-fisik, agar anak dapat hidup normal dan mandiri di masa mendatang. Pola asuh terdiri dari pola asuh makan, pola asuh kesehatan, dan pola asuh psikososial. Status gizi anak tidak hanya dipengaruhi oleh sistem sosial budaya, kualitas interaksi ibu anak yang dilihat dari aspek praktik pengasuhan, praktik pemberian makan serta perawatan kesehatan (Hastuti 2008).

Pola Asuh Makan

Pola asuh makan merupakan praktik yang diterapkan ibu khususnya yang berkaitan dengan situasi dan cara makan, sehingga dapat memberikan suasana yang menyenangkan bagi anak pada situasi makan (Tambingon 1999 dalam Khairunnisak 2004). Tujuan memberi makan pada anak adalah untuk memenuhi kebutuhan zat gizi yang cukup demi kelangsungan hidup, pemulihan kesehatan, aktivitas pertumbuhan dan perkembangan.

(14)

makanan tanpa adanya suatu kecemasan dan kekhawatiran mengenai makan.Pola asuh makan yang baik, dalam arti secara kuantitatif maupun kualitatif yang tepat pada masa balita sangat dianjurkan. Praktik pemberian makan pada anak memiliki pengaruh yang kuat terhadap kesehatan dan status gizi. Kemampuan seorang ibu untuk memperkenalkan makanan baru pada anak memiliki pengaruh yang besar terhadap daya terima dan kesukaan anak terhadap suatu makanan (Khomsan et.al 2009b). Peran ibu sangat penting terhadap masalah kesehatan. Jika anak mulai diberi makanan tambahan, anak memiliki risiko terkena infeksi dan kekurangan gizi. Jika anak mulai mengkonsumsi makanan pelengkap dan atau makanan buatan, maka penyimpanan makanan dan higienitasnya perlu diperhatikan (Pramuditya 2010). Pola Asuh Kesehatan

Pengasuhan kesehatan merupakan tugas orang tua anak agar anak selalu berada pada kondisi terbebas dari penyakit serta dapat beraktivitas rutin selayaknya individu normal. Usaha preventif yang dilakukan orang tua untuk membentuk kesehatan anak adalah dengan membiasakan pola hidup sehat, melalui penanaman kebiasaan hidup bersih dan teratur. Kebisaan tersebut antara lain: mandi, keramas rambut, menggosok gigi, menggunting kuku, mencuci tangan sebelum makan, dan sebagainya. Aspek kesehatan juga mencakup upaya kuratif yang dibelanjakan orang tua untuk memberikan pengobatan dan perawatan kesehatan anak (Hastuti 2008).

Karakteristik Keluarga

Keluarga sebagai kelompok inti dari masyarakat merupakan lingkungan alami hasil pertumbuhan dan perkembangan anak, perlu terus diberdayakan sehingga menjadi lingkungan yang kondusif bagi tumbuh kembang anak. Menurut Megawangi (2004) keluarga adalah tempat pertama dan utama dimana seseorang anak dididik dan dibesarkan. Fungsi keluarga utama dalam resolusi majelis umum PBB adalah sebagai wahana untuk mendidik, mengasuh dan mensosialisasikan anak, mengembangkan kemampuan seluruh anggotanya agar dapat menjalankan fungsinya di masyarakat dengan baik, serta memberikan kepuasan dan lingkungan yang sehat guna tercapainya keluarga sejahtera. Umur Orangtua

(15)

berdasarkan pada pengalaman orang tua terdahulu. Selain itu, faktor usia muda juga lebih cenderung menjadikan ibu lebih memperhatikan kepentingannya sendiri daripada kepentingan anaknya sehingga kualitas dan kuantitas pengasuhan anak kurang terpenuhi. Sebaliknya, pada ibu yang memiliki usia yang telah matang (dewasa) akan cenderung menerima perannya dengan sepenuh hati (Hurlock 1998).

Pendidikan Orangtua

Setiap orang memiliki tingkat pendidikan yang berbeda-beda, dari segi kuantitas maupun kualitas. Tingkat pendidikan yang dicapai seseorang akan mempengaruhi dan membentuk cara, pola dan kerangka berpikir, persepsi, pemahaman dan kepribadian. Tingkat pendidikan baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi pola konsumsi antar anggota keluarga (Gunarsa & Gunarsa 1995).

Tingkat pendidikan sangat berpengaruh terhadap perubahan sikap dan perilaku hidup sehat. Tingkat pendidikan yang lebih tinggi akan memudahkan seseorang atau masyarakat untuk menyerap informasi dan mengimplementasikannya dalam perilaku dan gaya hidup sehari-hari, khususnya dalam hal kesehatan dan gizi. Tingkat pendidikan, khususnya tingkat pendidikan wanita mempengaruhi derajat kesehatan. Angka melek huruf merupakan salah satu indikator penting yang juga akan membawa pengaruh positif terhadap kesehatan dan kesejahteraan masyarakat (Atmarita & Fallah 2004).

Pekerjaan Orangtua

Semakin bertambah luasnya lapangan kerja maka semakin mendorong banyaknya kaum wanita yang bekerja, terutama di sektor swasta. Di satu sisi, hal tersebut berdampak positif bagi pertambahan pendapatan, namun di sisi lain berdampak negatif terhadap pembinaan dan pemeliharaan anak. Perhatian terhadap pemberian makan anak menjadi kurang, sehingga cenderung dapat menyebabkan anak menderita kurang gizi, yang selanjutnya berpengaruh buruk terhadap tumbuh kembang dan perkembangan otak anak (Mulyani 1990).

Besar Keluarga

(16)

tetapi tidak cukup untuk mencegah gangguan gizi pada keluarga yang besar tersebut (Suhardjo 2003).

Anak-anak yang tumbuh dalam suatu keluarga miskin adalah paling rawan terhadap kurang gizi diantara seluruh anggota keluarga, dan anak yang paling kecil biasanya paling terpengaruh oleh kekurangan pangan. Hal ini disebabkan karena semakin bertambah besar jumlah keluarga, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orangtua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sangat muda memerlukan pangan yang relatif lebih banyak dibandingkan anak-anak yang lebih tua (Suhardjo 2003).

Pendapatan Keluarga

Menurut Suhardjo (1989a), dengan meningkatnya pendapatan seseorang, maka akan terjadi perubahan-perubahan dalam susunan makanan. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Rendahnya pendapatan merupakan rintangan yang menyebabkan orang-orang tidak mampu membeli pangan dalam jumlah yang dibutuhkan.

Ada pula keluarga yang sebenarnya mempunyai penghasilan cukup namun sebagian anaknya berstatus kurang gizi. Pada umumnya tingkat pendapatan naik, maka jumlah dan jenis makanan cenderung untuk membaik, tetapi mutu makanan tidak selalu membaik (Suhardjo 2003).

Konsumsi Pangan

Pangan merupakan salah satu kebutuhan pokok yang diperlukan tubuh setiap hari dalam jumlah tertentu sebagai sumber energi dan zat-zat gizi. Kekurangan dan kelebihan dalam jangka waktu yang cukup lama akan berakibat buruk terhadap kesehatan. Kebutuhan akan energi dan zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, iklim, dan aktivitas fisik (Almatsier 2006).

(17)

dimakan. Pengukuran praktek konsumsi iini dapat dilakukan dengan cara wawancara terhadap responden tentang makanan yang dikonsumsi (Suhardjo 1989).

Kebiasaan Makan

Menurut Khumaidi (1989), kebiasaan makan adalah tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan atau pemilihan makanan. Kebiasaan makan adalah suatu istilah untuk menggambarkan kebiasaan dan perilaku yang berhubungan dengan makanan dan makan, seperti tata krama makan, frekuensi makan seseorang, pola makanan yang dimakan, kepercayaan tentang makanan (misalnya pantangan), distribusi makanan diantara anggota keluarga, penerimaan terhadap makanan (misalnya suka atau tidak suka) dan cara pemilihan bahan makanan yang hendak dimakan. Meningkatnya pendapatan perorangan menyebabkan terjadinya perubahan dalam susunan makanan, akan tetapi pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan (Suhardjo 1989b).

Pengelolaan atau penyediaan makanan dalam keluarga pada umumnya dikoordinir oleh ibu. Ibu yang mempunyai pengetahuan gizi dan berkesadaran gizi yang tinggi akan melatih kebiasaan makan yang sehat sedini mungkin kepada anaknya (Suhardjo 1989b). Tingkat pengetahuan gizi ibu berhubungan dengan tingkat pendidikan formal ibu. Semakin tinggi tingkat pendidikan formal ibu akan semakin luas wawasan berfikirnya sehingga akan lebih banyak informasi zat gizi yang dapat diserapnya. Dengan demikian akan semakin baik ibu tersebut memilih bahan makanan yang bergizi untuk dikonsumsi keluarganya (Soewondo dan Sadli 1989 dalam Khomsan et al. 2009).

Menurut Suhardjo (1989b), adat kebiasaan yang berhubungan dengan makanan di antaranya adalah jumlah makanan yang dikonsumsi, waktu makan, makan bersama, jajan, dan adanya prioritas makanan tertentu terhadap anggota keluarga. Kepercayaan, kebiasaan makan pantangan dan suka atau tidak suka terhadap makanan tertentu merupakan unsur budaya yang memiliki hubungan langsung dengan kebiasaan makan.

(18)

Menurut Arisman (2007), terdapat beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam memberikan makanan sapihan. Pemberian makanan padat pertama harus bertekstur sangat halus dan licin agar bayi perlahan-lahan dapat menerima makanan dengan tekstur yang lebih kasar. Apabila bayi sudah tumbuh gigi, maka dapat diberikan bubur saring, sedangkan bagi bayi yang telah pandai mengunyah makanan dapat diberikan makanan cincang. Dalam pemberian makanan, sebaiknya makanan tidak dicampur agar bayi dapat membedakan tekstur dan rasa makanan.

Kesehatan Lingkungan

Kesehatan lingkungan merupakan segala usaha pengendalian/ pengawasan kondisi lingkungan yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan atau dapat menimbulkan kerugian bagi perkembangan fisik, kesehatan, dan daya tahan hidup manusia.

Lingkungan adalah segala sesuatu yang ada di sekitar manusia baik berupa benda maupun suatu keadaan yang dapat berpengaruh terhadap kesehatan dan kesejahteraan seseorang atau sekelompok masyarakat. Lingkungan dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori, antara lain: (Widyati dan Yuliarsih 2002)

 Lingkungan Biologis

Lingkungan yang terdiri dari semua makhluk hidup, baik tumbuh-tumbuhan, hewan, maupun mikroorganisme yang berada di sekitar manusia.

 Lingkungan Fisik

Lingkungan yang terdiri dari benda-benda tak hidup, tetapi berhubungan dengan kehidupan atau kelangsungan hidup manusia.

 Lingkungan Sosial Budaya

Lingkungan sosial budaya adalah interaksi antara manusia dengan makhluk sesamanya. Lingkungan sosial budaya ini merupakan lingkungan yang erat dengan masalah kesehatan dan harus dilihat dari kehidupan masyarakat secara luas.

(19)

1. Penyediaan air minum

2. Pengolahan air limbah dan pengendalian pencemaran air 3. Pengolahan sampah padat

4. Pengendalian vektor (perantara penyakit)

5. Pencegahan atau pengendalian pencemaran tanah oleh kotoran manusia 6. Sanitasi makanan dan minuman

7. Pengendalian kebisingan

8. Kesehatan kerja dan pencegahan kecelakaan 9. Perumahan dan pemukiman

10. Pengawasan terhadap tempat-tempat rekreasi umum dan pariwisata. Program Pemberian Makanan Tambahan

Balita merupakan kelompok usia yang rawan mengalami kekurangan zat gizi, seperti KEP. Kejadian gizi kurang pada balita tidak selalu didahului dengan terjadinya bencana kekurangan pangan dan kelaparan sehingga diperlukan pendekatan dalam upaya penanggulangannya, salah satunya yaitu dengan cara perbaikan gizi dari aspek makanan (Khomsan 2004).

Program pemberian makanan menyediakan makanan gratis bagi seseorang yang membutuhkan. Makanan yang diberikan dapat berasal dari pemerintah dalam negeri, pemerintah luar negeri, ataupun dari organisasi di luar pemerintahan. Pemberian makanan tambahan ini merupakan salah satu cara untuk membantu keluarga yang masih kekurangan pangan (miskin). Terdapat beberapa tipe dalam program pemberian makanan, yaitu: pemberian makanan pada kelompok “at risk”/ rawan gizi kurang (balita, anak-anak, ibu hamil, dan menyusui), institutional feeding (pada anak sekolah), dan emergency feeding.

Tujuan adanya pemberian makanan tambahan ini adalah untuk meningkatkan asupan makanan dan memperbaiki gizi pada ibu-ibu dan anak-anak yang paling berisiko mengalami gizi kurang (King & Burgess 1995).

Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus sp)

(20)

terdapat kumis di setiap mandibula. Sirip punggu, sirip ekor, dan sirip dubur merupakan sirip tunggal, sedangkan sirip perut dan sirip dada merupakan sirip ganda (Suyanto 1999).

Biskuit Tinggi Protein

Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI), biskuit merupakan sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan makanan lain dengan melalui proses pemanasan dan percetakan. Biskuit diproses dengan pemanggangan hingga kadar air tidak lebih dari 5%. Biskuit sifatnya mudah dibawa karena volume dan beratnya yang kecil dan umur simpannya yang relatif lama. Berdasarkan penelitian Mervina (2009), kandungan energi dan protein biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo berturut-turut sebesar 480 Kal dan 18,8 gram (bb) per 100 gram biskuit. Agar dapat memenuhi 20% AKG protein, maka balita harus mengonsumsi biskuit sebanyak 4 keping (50 gram biskuit). Kandungan gizi per takaran penyajian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan zat gizi dan energi per takaran penyajian (50 gram)

Energi & Zat Gizi Jumlah per sajian

Energi (kkal) 240

Protein (gram) 9.8

Karbohidrat (gram) 26.9

Lemak (gram) 10.6

Biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolate protein kedelai memiliki kontribusi yang cukup terhadap pemenuhan zat gizi, terutama protein dan energi. Kontribusi protein yang dapat diberikan sebesar 25.12% dan 39.20% dari AKG berdasarkan perhitungan AKG yang didasarkan pada kecukupan energi dan protein pada balita usia 1-3 tahun dan usia 4-6 tahun (WNPG 2004), sehingga dapat dikatakan biskuit ini menjadi makanan tambahan untuk balita yang tinggi protein (Mervina 2009).

Jika dibandingkan dengan biskuit untuk bayi yang dijual di pasaran, biskuit dengan substitusi tepung ikan dan isolate protein kedelai mengandung protein yang lebih tinggi dibandingkan biskuit komersial yang ada. Kandungan zat gizi dan energi biskuit komersial per takaran penyajian 2 keping (21,8 gram) dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Kandungan zat gizi dan energi biskuit komersial per takaran penyajian (21,8 gram)

Energi & Zat Gizi Jumlah per sajian

Energi (kkal) 90

Protein (gram) 2

Karbohidrat (gram) 17

(21)

saling berhubungan satu dengan lainnya. Pada tingkat rumah tangga, status gizi dipengaruhi oleh kemampuan rumah tangga untuk menyediakan makanan yang cukup baik dari segi kualitas maupun kuantitasnya, pola asuh anak, pengetahuan gizi, dan faktor sosio-budaya lainnya. Hal ini menunjukkan adanya hubungan erat antara konsumsi pangan dengan status gizi dan kesehatan masyarakat. Banyaknya status gizi kurang mencerminkan masalah yang besar pada sumberdaya manusia di Indonesia (Khomsan et al. 2009).

Menurut Suhardjo (2003), kekurangan zat gizi dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Salah satunya yaitu konsumsi pangan yang kurang baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Konsumsi pangan dan pola pengasuhan yang diperoleh seorang anak sangat menentukan status gizi anak tersebut. Semakin baik konsumsi pangan baik dari segi kuantitas maupun kualitas dan semakin baik pola pengasuhan yang diterima oleh seorang anak maka status gizinya akan semakin baik. Pada masa anak-anak, status gizi secara langsung berpengaruh terhadap imunitas, perkembangan kognitif, pertumbuhan, dan stamina tubuh (Hardinsyah 2007).

Bayi, anak-anak balita, ibu hamil, dan ibu menyusui merupakan golongan yang rawan gizi. Pada bayi, protein merupakan bagian penting selama masa pertumbuhan dan masa perkembangannya. Kekurangan gizi pada masa-masa ini akan menyebabkan terganggunya pembentukan saraf dan simpul-simpul saraf sehingga akan mengakibatkan terjadinya retardasi mental yang tidak dapat diperbaiki kembali. Selain itu juga, kekurangan energi dan protein pada masa anak-anak menyebabkan pertumbuhan terlambat dan perkembangan anak terganggu (Suhardjo 2003). Periode kritis anak berada pada lima tahun pertama setelah kelahiran. Jika pertumbuhan dan perkembangan anak pada periode ini optimal, maka dia akan tumbuh menjadi manusia yang berkualitas (Khomsan et al. 2009). Oleh sebab itu, sebaiknya asupan zat gizi pada anak-anak terutama balita harus diperhatikan agar dapat memenuhi kebutuhan gizi balita.

(22)

meningkatkan status gizi serta mengurangi morbiditas pada balita gizi kurang (KEP). Jenis PMT yang diberikan adalah biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus). Biskuit ini mengandung protein tinggi sehingga dapat menjadi solusi untuk menurunkan prevalensi gizi kurang (KEP) pada balita.

Menurut Adi (2010), selain dipengaruhi oleh pemberian makanan tambahan berupa biskuit, kecukupan konsumsi gizi balita juga ditentukan oleh konsumsi pangan harian baik dari segi jumlah dan jenis makanannya. Konsumsi pangan harian balita secara langsung dipengaruhi oleh ketersediaan pangan keluarga dan pola asuh, secara tidak langsung juga dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi keluarga. Oleh karena itu, pola pengasuhan memiliki peranan yang penting terhadap status gizi balita.

(23)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian morbiditas dan status gizi balita penerima makanan tambahan biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) di kecamatan Sukalarang dan Cibadak, kabupaten Sukabumi

Keterangan: = variabel yang diteliti = variabel yang tidak diteliti

= hubungan yang diteliti = hubungan yang tidak diteliti

Pengetahuan, sikap, dan praktik ibu

contoh

Pola Asuh

Konsumsi biskuit PMT Tingkat kepatuhan

Konsumsi pangan balita (Tingkat Kecukupan E dan P)

Status Gizi Balita

Kondisi Lingkungan Karakteristik sosial-ekonomi

keluarga:  Pendidikan  Pekerjaan  Pendapatan  Besarnya keluarga

Konsumsi harian Ketersediaan

Pangan

(24)

Penelitian mengenai Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada balita gizi kurang dan gizi buruk (KEP) dilakukan dengan menggunakan desain quasy experimental. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret – Juli 2011 yang dilakukan di dua kecamatan yaitu, kecamatan Sukalarang dan kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi.

Cara Pemilihan Contoh

Penentuan puskesmas Sukalarang dan puskesmas Sekarwangi (kecamatan Cibadak) sebagai lokasi penelitian dilakukan secara purposive

berdasarkan pertimbangan bahwa kedua puskesmas tersebut termasuk puskesmas yang diberi biskuit sebagai makanan tambahan oleh pemerintah setempat. Selain itu juga kedua puskesmas tersebut merupakan puskesmas yang berada di daerah dataran tinggi di kabupaten Sukabumi. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian payung mengenai program intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) biskuit yang disubstitusi tepung Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) pada balita gizi kurang dan gizi buruk (KEP) di beberapa puskesmas di Kabupaten Sukabumi. Terdapat 10 puskesmas dari 10 kecamatan yang dijadikan lokasi penelitian payung ini.

Cara pemilihan lokasi penelitian berdasarkan pertimbangan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi. Pemilihan 10 puskesmas ini didasarkan pada data jumlah balita yang menderita gizi kurang dan gizi buruk (KEP) di daerah tersebut. Namun, dalam penelitian payung lokasi penelitian dibagi-bagi ke dalam beberapa wilayah berdasarkan dataran tinggi, dataran sedang, dan dataran rendah. Pada penelitian ini hanya mengambil beberapa lokasi yang berada di dataran tinggi, yaitu kecamatan Sukalarang dan kecamatan Cibadak.

Penarikan contoh juga dilakukan secara purposive dengan kriteria inklusi sebagai berikut:

1. Balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk (KEP), dicirikan dengan tidak bertambahnya berat badan selama 3 kali penimbangan

(25)

3. Balita dengan status gizi kurang dan gizi buruk (KEP) yang tinggal di daerah dataran tinggi

4. Ibu dari balita gizi kurang dan gizi buruk (KEP) bersedia mengikuti penelitian ini selama 3 bulan dan bersedia diwawancarai

Pada penelitian ini, salah jenis pertama ( ) ditetapkan sebesar 5%, power test sebesar 1- (80%), dan peningkatan Z-skor (BB/U) setelah intervensi sebesar � . Rumus untuk menghitung perkiraan besar contoh berdasarkan perhitungan menggunakan rumus Steel dan Torrie (1991):

� ฀

Keterangan :

n = besar sampel

= suatu nilai sehingga P( Z > z ) = 1 - , Z adalah peubah acak normal baku

฀ = suatu nilai sehingga P( Z > z ) = 1- , Z adalah peubah acak normal baku

� = 1,2 (perkiraan standar deviasi status gizi (BB/U) berdasarkan penelitian Pramuditya 2010)

� = 1 (Peningkatan z-skor (BB/U) yang diharapkan setelah intervensi) Berdasarkan perhitungan dalam rumus matematis tersebut, dengan nilai Z1- = 1,96 dan nilai Z1- = 0,842 dapat ditentukan nilai n = 22,61 dibulatkan

(26)

purposive

Gambar 2 Kerangka pemilihan contoh

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dengan menggunakan kuesioner dan wawancara secara langsung dengan ibu balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk (KEP) dan melakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan balita yang mengalami gizi kurang dan gizi buruk. Data sekunder diperoleh dari puskesmas setempat dan Dinas Kesehatan kabupaten Sukabumi.

Data primer yang diperoleh meliputi karakteristik contoh dan keluarga contoh yang terdiri dari identitas contoh (nama, jenis kelamin, umur, urutan anak), identitas keluarga contoh, data sosial ekonomi keluarga contoh (pendapatan keluarga contoh, pendidikan, pekerjaan orang tua, jumlah anggota keluarga, dan pengetahuan gizi dan kesehatan), data tingkat kepatuhan konsumsi makanan tambahan biskuit, data konsumsi makanan, dan kejadian sakit (morbiditas). Data-data tersebut diperoleh dari ibu balita (contoh) melalui wawancara secara langsung menggunakan kuesioner.

Selain itu diambil pula data antropometri balita yang terdiri dari berat badan (BB) dan tinggi badan (TB). Pengukuran antropometri yang meliputi BB

Kabupaten Sukabumi

Penerima Program Pemberian Makanan Tambahan Biskuit Kecamatan Sukalarang Kecamatan Cibadak

15 balita 22 balita

Memenuhi kriteria sebagai contoh

15 balita 21 balita

(27)

dan TB merupakan data dasar yang diambil sebanyak 2 kali selama penelitian berlangsung. Data dasar tersebut diambil pada awal penelitian dan akhir peneltitian (baseline and endline) untuk melihat adanya perbedaan status gizi balita pada awal intervensi dan akhir intervensi diberikan.

Data sekunder meliputi profil/ gambaran umum wilayah kabupaten Sukabumi yang diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi, gambaran umum daerah penelitian yang didapatkan dari kantor kecamatan atau puskesmas setempat, catatan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi mengenai data puskesmas di daerah penelitan, data jumlah balita gizi kurang dan gizi buruk (KEP) di desa yang terkait penelitian, dan data-data dari instansi terkait yang diperlukan untuk mendukung penelitian. Jenis dan cara pengumpulan data secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Jenis dan cara pengumpulan data

No Data Jenis

(28)

No Data Jenis

8 Morbiditas Primer Wawancara dengan ibu

balita menggunakan kuesioner

Awal dan akhir (2 kali)

9 Status gizi Primer Pengukuran antropometri

(BB dan TB)

Awal dan akhir (2 kali) Pengolahan dan Analisis Data

Data yang diperoleh tersebut selanjutnya diolah dan dianalisis secara deskriptif sengan menggunakan program SPSS versi 16,0 for Windows. Pengolahan data meliputi editing, coding, dan entry data yang dilakukan secara manual dan menggunakan program computer Microsoft Excel. Semua data yang diperoleh dikumpulkan, dikelompokan kemudian ditabulasikan dan dianalisis secara statistik analitik dan deskriptif. Analisis deskriptif disajikan dalam bentuk distribusi frekuensi, persentase, nilai minimum dan maksimum, nilai rata-rata dan standar deviasi. Analisis statistik yang digunakan dalam penelitian ini adalah korelasi Spearman dan uji t dengan menggunakan Paired Samples T Test.

(29)

Kandungan Zat Gizi Pangan

KGij = � x Gij x

Keterangan:

KGij = jumlah zat gizi I dari setiap jenis pangan j Bij = berat pangan j dalam gram

Gij = kandungan zat gizi I dari pangan j BDDj = persen jumlah pangan j yang dimakan

Tingkat Kecukupan Zat Gizi

TKGi = x 100%

Keterangan :

TKGi = tingkat kecukupan zat gizi i Ki = konsumsi zat gizi i

AKGi = kecukupan zat gizi I yang dianjurkan

Perhitungan tingkat kecukupan zat gizi khusus untuk energi dan protein memperhitungkan berat badan aktual contoh yang dibandingkan berat badan anak balita standar yang terdapat pada AKG. Klasifikasi tingkat kecukupan energi dan protein menurut Departemen Kesehatan (1996) adalah: (a) defisit tingkat berat (<70% AKG); (b) defisit tingkat sedang (70-79% AKG); (c) defisit tingkat ringan (80-89% AKG); (d) normal (90-119% AKG); dan (e) kelebihan (≥120% AKG).

Tingkat kepatuhan dicatat dalam form pemantauan yang berisi banyaknya biskuit yang dibagikan kepada balita per minggu, biskuit yang dikonsumsi oleh balita per hari dan sisa yang tidak dikonsumsi. Data kepatuhan dicatat oleh petugas kesehatan selama intervensi berlangsung. Tingkat kepatuhan dihitung dengan dengan cara menjumlahkan semua biskuit yang dikonsumsi balita selama 88 hari makan anak (HMA) dibagi jumlah biskuit yang seharusnya dikonsumsi oleh balita selama 88 hari kemudian dikalikan 100%. Pengelompokkan tingkat kepatuhan dibagi menjadi tiga, yaitu rendah (jika kepatuhan < 50%), cukup (jika kepatuhan 50-70%), dan tinggi (kepatuhan ≥70%) (Adi 2010).

(30)

kali, dimulai sebelum intervensi dan setelah intervensi. Hasil dari pengukuran tersebut disajikan dalam bentuk indeks antropometri (BB/TB, BB/U, dan TB/U) berupa nilai terstandar (Z skor). Status gizi dikategorikan menurut Z-skor dengan

software WHO Antro 2005. Pengkategorian status gizi anak balita berdasarkan Z-skor dengan menggunakan baku antropometri WHO (2005) untuk indikator BB/U, TB/U, dan BB/TB adalah sebagai berikut :

Indikator BB/U

 Gizi Buruk Z-skor < - 3,0

 Gizi Kurang Z-skor ≥ - 3,0 s/d Z-skor < - 2,0  Gizi Baik Z-skor ≥ - 2,0 s/d Z-skor ≤ 2,0

 Gizi Lebih Z-skor > 2,0

Indikator TB/U

 Sangat pendek Z-skor < - 3,0

 Pendek Z-skor ≥ -3,0 s/d Z-skor < -2,0

 Normal Z-skor ≥ -2,0

Indikator BB/TB

 Sangat kurus Z-skor < - 3,0

 Kurus Z-skor ≥ - 3,0 s/d Z-skor < - 2,0  Normal Z-skor ≥ - 2,0 s/d Z-skor ≤ 2,0

 Gemuk Z-skor > 2,0

Morbiditas atau angka kesakitan dapat diperoleh dengan wawancara secara langsung dengan ibu balita. Data morbiditas ini dihitung berdasarkan kejadian sakit (frekuensi dan lama sakit) yang dialami selama intervensi, sebelum intervensi, dan setelah intervensi untuk mengetahui apakah ada perbedaan kejadian sakit antara pada awal dan akhir intervensi. Kemudian data kejadian sakit tersebut dihitung dengan menjumlahkan frekuensi terjadinya penyakit infeksi (ISPA, demam, diare, cacar, dan campak) pada data baseline (bulan 0), bulan ke-1, bulan ke-2, dan bulan ke-3 selama intervensi.

(31)

dipersentasekan dengan total skor seharusnya dan hasilnya dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu kurang (<60%), sedang (60-80%), dan baik (>80%).

Kondisi lingkungan diukur dengan penilaian kondisi lingkungan yang ditentukan oleh bobot skor dari setiap jawaban pertanyaan, yaitu 3 (untuk jawaban yang paling sesuai), 2 (untuk jawaban yang sesuai), dan 1 (untuk jawaban yang kurang sesuai). Selanjutnya dari masing-masing item pertanyaan dibuat ke dalam bentuk tabel sebaran frekuensi yang terdiri dari jumlah (n) dan persentasenya. Total skor yang diperoleh dikelompokkan menjadi 3 kategori, yaitu kurang (< 60%), sedang (60-80%), dan baik (>80%) (Khomsan 2000). Cara pengelompokan dan pengkategorian variabel disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5 Cara pengelompokkan dan pengkategorian variabel

No Variabel Kategori Pengukuran

1 Karakteristik/ identitas contoh (balita):

 Nama

2 Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh:  Umur orang tua (Papalia and Olds

1986)

4) Dewasa lanjut (>65 tahun)

Berdasarkan garis kemiskinan

(32)

No Variabel Kategori Pengukuran

4 Kondisi Lingkungan (kondisi rumah, sumber air minum, sarana pembuangan sampah dan air limbah)

6 Pola asuh hidup sehat (mandi, sikat gigi, cuci tangan, keramas, gunting kuku, dan

(33)

No Variabel Kategori Pengukuran

Status gizi (TB/U) 1) Sangat pendek (Z-skor < -

3,0)

2) Pendek (Z-skor ≥ - 3,0 s/d Z-skor < - 2,0)

3) Normal (Z-skor ≥ - 2,0)

Status gizi (BB/TB) 1) Sangat kurus (Zskor <

-3,0)

2) Kurus (Z-skor ≥ - 3,0 s/d Z-skor < - 2,0)

3) Normal (Z-skor ≥ - 2.0 s/d Z-skor ≤ 2,0)

4) Gemuk (Z-skor > 2,0)

Definisi Operasional

Contoh adalah balita baik berjenis kelamin laki-laki ataupun perempuan berada dalam rentang usia (12-60 bulan) yang memiliki status gizi kurang dan gizi buruk berdasarkan BB/U dengan nilai Z-skor <-3,0 atau Z-skor ≥ - 3,0 s/d Z-skor < - 2,0 dan diberikan intervensi PMT biskuit yang disubstitusi tepung ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus) selama 88 hari.

Ibu Balita adalah ibu yang memiliki anak balita yang menjadi contoh dalam penelitian.

Biskuit PMT adalah produk makanan kering (biskuit) yang disubstitusi dengan menggunakan tepung ikan lele Dumbo (Clarias gariepinus) sehingga mengandung protein yang tinggi.

Tingkat kepatuhan adalah tingkat kesadaran dan kepatuhan ibu balita dalam memberikan biskuit PMT pada balita gizi kurang atau gizi buruk selama 88 hari berturut-turut setiap harinya.

Pola pengasuhan adalah kepedulian orang tua (ibu) dalam memberikan asuhan dalam memperhatikan asupan konsumsi gizi balita dan kondisi kesehatan lingkungan sekitar.

Tingkat Pendidikan adalah pendidikan formal terakhir yang ditempuh oleh orang tua contoh

Pendapatan Keluarga Contoh adalah pendapatan keluarga contoh dalam satu bulan, yang dinyatakan dalam Rp/kapita/bulan.

Pendapatan Per Kapita adalah jumlah penerimaan ayah dan ibu setiap bulan dalam rupiah dibagi dengan banyaknya anggota keluarga.

(34)

Status gizi balita adalah kondisi tubuh balita (contoh) yang ditentukan berdasarkan BB/U, TB/U, dan BB/TB dengan menggunakan baku antropometri WHO 2005.

Morbiditas adalah suatu kejadian penyakit infeksi (ISPA, demam, diare, cacar, dan campak) (frekuensi dan lama sakit) yang pernah diderita oleh contoh selama penelitian berlangsung.

(35)

Kondisi Geografis

Kabupaten Sukabumi merupakan salah satu kabupaten yang berada di wilayah Propinsi Jawa Barat dengan jarak tempuh 96 km dari ibukota Propinsi Jawa Barat (Bandung) dan 119 km dari ibukota Negara (Jakarta). Secara geografis wilayah Kabupaten Sukabumi terletak diantara 60 57’ – 70 25’ Lintang Selatan dan 1040 49’ – 1070 00’ Bujur Timur dan mempunyai luas daerah 4.128 km2 dan 14,39% dari luas Jawa Barat atau 3,01 % dari luas Pulau Jawa. Secara administratif Kabupaten Sukabumi berbatasan secara langsung dengan wilayah Kota Sukabumi yang dikelilingi beberapa wilayah kecamatan di Kabupaten Sukabumi. Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Sukabumi dan Kadudampit di sebelah utara, kecamatan Cisaat di sebelah barat, Kecamatan Nyalindung di sebelah selatan, dan Kecamatan Sukaraja di sebelah Timur. Kabupaten Sukabumi sejak tahun 2006 terdiri dari 47 Kecamatan, 345 desa, 3 kelurahan, 2996 rukun warga dan 11.499 rukun tangga. Wilayah Kabupaten Sukabumi berada pada ketinggian berkisar antara 0 – 2960 meter, dengan bentuk topografis wilayah pada umumnya meliputi permukaan yang bergelombang di daerah selatan dan bergunung di daerah bagian utara dan tengah (BPS 2010). Kepadatan Penduduk

Berdasarkan hasil Survey Sosial Ekonomi Daerah (SUSEDA) pada akhir tahun 2007, penduduk kabupaten Sukabumi sebanyak 2.258.253 jiwa. Jumlah penduduk tersebut terus meningkat hingga pada tahun 2008. Kepadatan penduduk tersebut meningkat menjadi 2,405.777 jiwa yang terdiri dari 1.205.368 laki-laki dan 1.200.409 perempuan dengan kepadatan penduduk 582,39 orang per km persegi.

Sarana Kesehatan Masyarakat

Fasilitas kesehatan di Sukabumi meliputi 3 unit rumah sakit, 57 unit Puskesmas Inpres, 3044 Posyandu, 73 unit Puskesmas Keliling, dan 94 unit Puskesmas pembantu.

(36)

100.000 penduduk tahun 2009 adalah 1 : 2,36 artinya setiap 100.000 penduduk dilayani 2 - 3 puskesmas. Selain itu rasio puskesmas terhadap kecamatan pada tahun 2009 adalah 1,23 yang artinya setiap 1 kecamatan mempunyai rata-rata 1 puskesmas. Terdapat 11 Kecamatan yang memiliki 2 puskesmas dalam 1 kecamatan antara lain : Kecamatan Ciemas, Surade, Tegalbuleud, Palabuhanratu, Nyalindung, Sukaraja, Cisaat, Gunungguruh, Cibadak, Nagrak dan Cicurug (Dinkes 2010).

Program Pemberian Makanan Tambahan di Kabupaten Sukabumi Program pemberian makanan tambahan di Kabupaten Sukabumi ini merupakan program kerjasama antara Institut Pertanian Bogor dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sukabumi dan home industry PT Saad’s Bakery & Cake

Tanggerang. Program ini berlangsung selama tiga bulan (88 hari), dimulai dari bulan Maret hingga Juli 2011. Terdapat 10 kecamatan yang menjadi cakupan program PMT, yaitu kecamatan Sukalarang, Cibadak, Citarik, Nyalindung, Kadudampit, Pelabuhan Ratu, Warungkiara, Bantargadung, Simpenan, dan Cikidang. Total balita yang memperoleh makanan tambahan biskuit tinggi protein berjumlah 180 balita yang tersebar di sepuluh kecamatan di kabupaten Sukabumi. Biskuit tinggi protein ini diberikan kepada anak dengan status gizi kurang yang berasal dari keluarga kuang mampu. Harga jual biskuit tinggi protein tersebut berkisar Rp. 2.800/ bungkus.

Jenis makanan tambahan yang diberikan dalam program intervensi ini berupa biskuit yang disubstitusi tepung ikan lele dumbo. Biskuit tersebut telah melalui uji organoleptik terlebih dahulu agar dapat diterima oleh anak balita. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Mervina (2009), hasil uji penerimaan terhadap balita sasaran sebanyak 86,7 % balita menyatakan suka terhadap biskuit ini dan sekitar 6,7 % balita merasa tidak suka. Berdasarkan hasil uji penerimaan ini maka dapat disimpulkan bahwa formula biskuit ini dapat diterima sebagai makanan tambahan untuk anak kecil.

Karakteristik Balita Jenis Kelamin dan Umur Balita

(37)

kelamin, balita yang menjadi contoh dalam penelitian ini terdiri laki-laki (25%) dan perempuan (75%). Tabel 6 menunjukkan bahwa persentase balita terbesar berada pada rentang usia 12 – 23 bulan (55,6%). Sisanya masing-masing sebesar 16,7% berada pada rentang usia 24-35 bulan dan 36-47 bulan. Persentase terkecil terdapat pada rentang usia 48-60 bulan, yaitu sebesar 11,1 %. Rata-rata usia contoh 27,14 bulan dengan standar deviasi 13,85 bulan. Usia contoh minimum 12 bulan sedangkan usia maksimum 58 bulan.

Tabel 6 Sebaran balita berdasarkan jenis kelamin dan umur

Karakteristik Anak Balita n % Jenis kelamin

Laki-laki 9 25

Perempuan 27 75

Total 36 100

Umur (bulan)

12 – 23 20 55.6

24 – 35 6 16.7

36 – 47 6 16.7

48 – 60 4 11.1

Total 36 100

Karakteristik Orang Tua Contoh Umur Orang Tua

Sebanyak 36 keluarga contoh ikut berpartisipasi dalam penelitian ini. Umur merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi produktifitas seseorang (Khomsan 2007). Umur ayah dan ibu contoh dalam penelitian ini sebagian besar tergolong dalam golongan dewasa awal berkisar antara 20 – 40 tahun. Rata-rata umur ayah contoh adalah 36 tahun dengan standar deviasi 7,7 tahun, sedangkan rata-rata umur ibu contoh adalah 30,3 tahun dengan standar deviasi 6,9 tahun. Persentase terbesar umur ayah balita berada pada rentang usia 20 – 40 tahun yaitu sebesar 63,9 %, begitu pula persentase terbesar pada ibu balita yaitu sebesar 88,9 % pada usia 20 – 40 tahun (dewasa awal) (Tabel 7). Tabel 7 Sebaran orang tua contoh berdasarkan umur, pendidikan, dan pekerjaan

Karakteristik Keluarga Contoh Ayah Ibu

n % n %

Umur (tahun)

Remaja 0 0 1 2.8

(38)

Tabel 7 (Lanjutan)

Karakteristik Keluarga Contoh Ayah Ibu

n % n %

Pendidikan merupakan salah satu faktor paling penting yang berhubungan langsung terhadap pola asuh gizi dalam keluarga, khususnya pendidikan ibu. Gunarsa dan Gunarsa (1995) menyatakan bahwa tingkat pendidikan orang tua baik secara langsung maupun tidak langsung akan mempengaruhi komunikasi antara orang tua dan anak di dalam lingkungan keluarga. Berdasarkan jenjang pendidikan formal, sebagian besar orang tua contoh baik ayah maupun ibu hanya menyelesaikan pendidikan formal sampai tingkat SD/sederajat. Persentase tingkat pendidikan ayah yang menyelesaikan pendidikan hanya sampai tingkat SD/sederajat sebanyak 47,2 %, sedangkan ibu contoh yang hanya menyelesaikan pendidikan formal sampai tingkat SD/ sederajat sebanyak 52,8%. Sisanya ada yang menyelesaikan sampai tingkat SMP/ sederajat, ayah (33,3%) dan ibu (44,4%) (Tabel 7).

(39)

diterapkan di dalam keluarga. Pendidikan yang baik akan mempengaruhi sikap gizi seseorang (Rodiah 2010). Oleh karena itu, diduga orang tua yang tingkat pendidikannya rendah cenderung akan sulit dalam memahami sikap gizi dan kesehatan yang baik sehingga butuh penjelasan lebih dalam agar dapat dipahami oleh orang tua.

Pekerjaan Orang Tua

Sebanyak 41,7 % ayah contoh bekerja sebagai buruh non tani. Sisanya bekerja sebagai petani (2,8%), butuh tani (11,1%), pedagang (8,3%), jasa (16,7%), dan lainnya (19,4%) sebagai karyawan kantor. Ibu balita dalam penelitian ini sebagian besar hanya seorang ibu rumah tangga. Dapat dilihat dari Tabel 6 di atas bahwa persentase terbesar 86,1 % pekerjaan ibu balita sebagai ibu rumah tangga. Sisanya ada yang bekerja sebagai buruh tani (2,8%), buruh non tani (buruh pabrik) (5,6%), pedagang (2,8%), dan jasa (2,8%). Status pekerjaan ibu mempengaruhi kuantitas dan kualitas waktu ibu dengan anak (Meirita et al. 2000).

Besar Keluarga

Besar keluarga ditentukan dengan cara mendata jumlah anggota keluarga. Ukuran besarnya keluarga berkaitan erat dengan kejadian masalah gizi dan kesehatan. Menurut Tussodiyah (2010), jumlah anggota keluarga memiliki andil dalam permasalahan gizi. Semakin banyak jumlah anggota keluarga dalam suatu rumah tangga maka akan semakin rendah alokasi pendapatan dari setiap anggota keluarga untuk menyediakan makanan dan pelayanan kesehatan jika dibandingkan dengan rumah tangga yang memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih sedikit. Oleh karena itu, rumah tangga yang memiliki jumlah anggota keluarga yang lebih banyak cenderung memiliki risiko masalah gizi kurang.

(40)

Tabel 8 Sebaran keluarga contoh berdasarkan besar keluarga

Karakteristik Keluarga Contoh n % Besar keluarga

Kecil (≤ 4 orang) 11 30.6

Sedang (5 – 6 orang) 16 44.4

Besar (≥ 7 orang) 9 25.0

Total 36 100

Pendapatan Keluarga

Pendapatan merupakan faktor penting bagi kuantitas dan kualitas konsumsi pangan. Pendapatan keluarga merupakan penjumlahan dari masing-masing pendapatan anggota keluarga yang bekerja. Menurut Sajogyo (1994) dalam Rodiah (2010), rendahnya pendapatan merupakan kendala yang menyebabkan seseorang tidak mampu membeli, memilih pangan yang bermutu gizi baik dan beragam.

Pendapatan rata-rata keluarga contoh adalah Rp. 163.397 perkapita/bulan dengan pendapatan minimal Rp. 40.000 perkapita/bulan dan pendapatan maksimal sebesar Rp. 437.500 perkapita/bulan. Pendapatan keluarga contoh dikategorikan menjadi tiga, yaitu kurang dari Rp. 66.680 perkapita/bulan, Rp. 66.680–260.115 perkapita/bulan, dan lebih dari Rp. 260.115 perkapita/bulan. Sebagian besar (80,6%) pendapatan keluarga contoh berada pada kisaran Rp. 66.680–260.115 perkapita/bulan. Sebanyak 2,8% keluarga contoh yang memiliki pendapatan kurang dari Rp. 66.680 perkapita/bulan dan sisanya (16,7%) memiliki pendapatan lebih dari Rp. 260.115 perkapita/bulan (Tabel 9).

Tabel 9 Sebaran pendapatan keluarga contoh (Rp/kapita)

Pendapatan keluarga contohh n %

<Rp.66.680 1 2.8

Rp.66.680-Rp.260.115 29 80.6

>Rp.260.115 6 16.7

Total 36 100

Standar deviasi 12 ± 14.9

(41)

BPS Propinsi Jawa Barat (2009) menetapkan garis kemiskinan sebesar Rp.191.985 perkapita/bulan. Berdasarkan garis kemiskinan yang telah ditetapkan oleh BPS Propinsi Jawa Barat tersebut maka diketahui bahwa sebanyak 64% keluarga contoh dalam penelitian ini termasuk dalam kategori miskin, yaitu pendapatan dibawah Rp. 191.985 perkapita/bulan (Tabel 10).

Tabel 10 Sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori garis kemiskinan BPS Propinsi Jawa Barat 2009

Pendapatan n %

Miskin 23 64

Tidak Miskin 13 36

Total 36 100

Kondisi Lingkungan

Lingkungan merupakan salah satu variabel yang kerap mendapat perhatian khusus dalam menilai kondisi kesehatan masyarakat. Lingkungan bersama dengan faktor perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik menentukan baik buruknya status derajat kesehatan masyarakat (Dinkes 2010). Pentingnya lingkungan yang sehat akan menentukan sikap dan perilaku manusia. Kondisi lingkungan yang diteliti dalam penelitian ini terdiri dari kondisi fisik rumah, sumber air, sarana pembuangan limbah dan sampah.

(42)

jendela yang dapat terbuka, sisanya sebanyak 25% responden memiliki jendela tetapi tidak terbuka (tertutup) (Tabel 11). Responden yang memiliki jendela terbuka dapat menghirup udara yang segar di dalam rumahnya karena udara dapat leluasa keluar masuk ruangan, sedangkan responden yang memiliki jendela tetapi tertutup kurang dapat menghirup udara segar sepertii responden yang memiliki jendela terbuka. Meskipun terdapat jendela tetapi jendela tersebut tidak dapat berfungsi dengan baik. Jendela tersebut tidak dapat dibuka sehingga udara tidak dapat leluasa keluar masuk ke dalam rumah. Jendela hanya berfungsi untuk menerangi ruangan ketika siang hari tetapi tidak berfungsi sebagai tempat pertukaran udara di dalam rumah.

Tabel 11 Sebaran responden berdasarkan kondisi fisik rumah

Kondisi fisik rumah n %

b.tidak ada, menumpang WC tetangga 6 16,7

c.tidak ada, WC umum 5 13,9

Ventilasi udara dan jendela a.ada, terbuka 18 50

b. ada, tertutup 9 25

c. tidak ada 9 25

(43)

Tabel 12 Sebaran responden berdasarkan sumber air

Sumber air n %

Sumber air minum a.PAM/ledeng/sumur terlindung/ mata air terlindung 3 8,3 b.sumur tak terlindung/mata air tak terlindung 32 88,9

c. air sungai/ air hujan/lainnya 1 2,8

Sumber air mandi a.PAM/ledeng/sumur terlindung/ mata air terlindung 2 5,6 b. sumur tak terlindung/mata air tak terlindung 34 94,4

c. air sungai/air hujan/lainnya 0 0

Kondisi lingkungan yang diteliti dalam penelitian ini selanjutnya adalah sarana pembuangan sampah dan air limbah. Pembuangan sampah dan air limbah yang tidak pada tempatnya akan menimbulkan berbagai penyakit dan gangguan kesehatan. Berdasarkan Tabel 13, hanya sekitar 38,9% responden yang membuang sampah pada tempat sampah tertutup/ kantong plastik/ TPS. Sampah merupakan segala sesuatu yang sudah tidak terpakai lagi sehingga harus dibuang. Terdapat hubungan antara sampah dengan penyakit-penyakit yang ditulari oleh tikus, lalat, dan nyamuk. Diperlukan adanya pengaturan pembuangan sampah agar tidak membahayakan kesehatan manusia. Sebanyak 50% responden membuang air limbah rumah tangga mereka ke selokan/ got tertutup. Sisanya sebanyak 36,1% responden membuang air limbah ke saluran air/pembuangn/ got terbuka. Hanya sekitar 13,9% responden membuang air limbah rumah tangganya ke pekarangan/ sungai/ lainnya

Tabel 13 Sebaran responden berdasarkan sarana pembuangan

Sarana pembuangan n %

Tempat buang sampah a.Tempat sampah tertutup/kantong plastik/TPS

14 38,9

b.Tempat sampah terbuka 14 38,9

c.Pekarangan/ sungai/jalanan/lainnya 8 22,2 Tempat pembuangan air

limbah

a. selokan/got tertutup 18 50

b. saluran air/pembuangan/got terbuka 13 36,1

c. pekarangan/ sungai/ lainnya 5 13,9

Pada penelitian ini kondisi lingkungan dikategorikan menjadi tiga kategori. Kategori rendah yaitu bila persentase kondisi lingkungan <60%, kategori sedang bila persentase berada pada rentang 60-80%, dan kategori baik bila persentase kondisi lingkungan >80%. Sebaran contoh berdasarkan kategori kondisi lingkungan disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14Sebaran responden berdasarkan kategori kondisi lingkungan

Kondisi Lingkungan n %

Rendah 4 11,1

Sedang 19 52,8

Baik 13 36,1

Gambar

Tabel 5  Cara pengelompokkan dan pengkategorian variabel
Tabel 6  Sebaran balita berdasarkan jenis kelamin dan umur
Tabel 7  (Lanjutan)
Tabel 6 di atas bahwa persentase terbesar 86,1 % pekerjaan ibu balita sebagai
+7

Referensi

Dokumen terkait

Upaya untuk melakukan perbaikan terhadap produktivitas kerja dengan pendekatan ergonomic dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain dengan perancangan fasilitas

Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) 13 (Tahun 1994) untuk investasi dinyatakan agak berbeda dengan perusahaan, karena investasi yang dilakukan

Dalam setiap kesempatan guru pembimbing memberikan arahan kepada praktikan agar melaksanakan PPL dengan baik. Guru pembimbing pemberikan gambaran mengenai kondisi siswa

Oleh karena itu penulis membuat website Perumahan Nuansa Permai Kelapa Dua yang ditujukan untuk masyarakat yang ingin membeli rumah diharapkan bisa mendapatkan informasi melalui

Hubungan sistem adalah hubungan yang terjadi antar subsistem dengan subsistem lainnya yang setingkat atau antara subsistem dengan sistem yang lebih besar.. Hubungan dan

Penelitian ini menunjukkan hasil bahwa secara bersama-sama variabel struktur modal, likuiditas, profitabilitas, dan ukuran perusahaan berpengaruh terhadap luas pengungkapan

Quraish Shihab tentang mukjizat, ia mengatakan bahwa mukjizat sebagaimana yang didefinisikan oleh para ulama, ialah peristiwa “luar biasa” yang terjadi dari