KEEFEKTIFAN CENDAWAN Metarhizium brunneum PETCH
TERHADAP HAMA UBI JALAR Cylas formicarius FABRICIUS
(COLEOPTERA: BRENTIDAE)
AHMAD FAISHOL
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
ABSTRAK
AHMAD FAISHOL. Keefektifan Cendawan Metarhizium brunneum Petch terhadap Hama Ubi Jalar Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Brentidae). Dibimbing oleh TEGUH SANTOSO.
Cylas formicarius Fabr. merupakan hama utama pada ubi jalar (Ipomoea batatas) dan tersebar di seluruh dunia. Salah satu musuh alami penting hama tersebut adalah cendawan genus Metarhizium. Imago C. formicarius diberi perlakuan suspensi konidia M. brunneum pada kerapatan 0, 106, 107, 108, dan 109 konidia/ml. Sebagai pembanding digunakan cendawan Beauveria bassiana pada kerapatan yang sama. Aplikasi dilakukan dengan metode semprot terhadap serangga. Dengan kerapatan konidia 109/ml cendawan M. brunneum mampu mengakibatkan kematian C. formicarius hingga 95% pada hari ke-10 setelah perlakuan. Pada hari ke-10 diperoleh LC50 sebesar 4.2x106 konidia/ml dan LC95 sebesar 5.7x109 konidia/ml pada M. brunneum, sedangkan nilai LC50 dan LC95 B. bassiana berturut-turut sebesar 2.0x108 konidia/ml dan 4.3x1010 konidia/ml. Dengan menggunakan kerapatan konidia 109/ml, diperoleh LT50 3.73 hari dan LT95 7.82 hari (M. brunneum) dan LT50 6.00 hari dan LT95 23.16 hari (B.
bassiana). Dari hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa M. brunneum
efektif untuk mengendalikan C. formicarius.
KEEFEKTIFAN CENDAWAN Metarhizium brunneum PETCH
TERHADAP HAMA UBI JALAR Cylas formicarius FABRICIUS
(COLEOPTERA: BRENTIDAE)
AHMAD FAISHOL
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana pertanian
pada
Departemen Proteksi Tanaman
DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN
FAKULTAS PERTANIAN
LEMBAR PENGESAHAN
Judul : Keefektifan Cendawan Metarhizium brunneum Petch terhadap Hama Ubi Jalar Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Brentidae)
Nama Mahasiswa : Ahmad Faishol
Nrp : A34061671
Disetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Ir. Teguh Santoso, DEA NIP. 19570907 198003 1 006
Diketahui,
Ketua Departemen Proteksi Tanaman
Dr. Ir. Dadang, M. Sc NIP. 19640204 199002 1 002
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 Desember 1988, merupakan
anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan bapak Machfud Suprayogi dan ibu
Nuraida. Penulis menamatkan studi SD di SDN 05 Malaka Jaya Jakarta pada
tahun 1993-1999, lalu melanjutkan ke SMPN 139 Jakarta pada tahun 1999-2002.
Setelah itu penulis melanjutkan studi di SMAN 71 Jakarta pada tahun 2002-2005
dan diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006. Penulis aktif dalam
beberapa organisasi kemahasiswaan dalam kampus diantaranya adalah Organisasi
Himpunan Mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman (HIMASITA), Club
Majalah Metamorfosa, dan Entomologi club. Pengalaman magang pernah
dilakukan penulis di Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan
PRAKATA
Saya panjatkan puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan
segala rahmat dan karunia-NYA sehingga saya dapat melakukan dan
menyelesaikan penelitian skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana dengan berjudul “Keefektifan Cendawan Metarhizium brunneum
Petch terhadap Hama Ubi Jalar Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera:
Brentidae)”.
Saya mengucapkan terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Teguh Santoso,
DEA sebagai pembimbing skripsi, saya juga berterima kasih kepada teman-teman
laboratorium patologi serangga dan teman proteksi tanaman yang telah banyak
membantu dalam pelaksanaan penelitian. Terima kasih juga saya sampaikan
kepada keluarga saya yang memberikan dukungan baik materil maupun moril
dalam pelaksanaan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini jauh dari sempurna dari
berbagai hal, oleh karena itu saran dan kritik sangat diterima untuk perbaikan
kearah yang lebih baik kedepannya. Semoga tulisan ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis dan pembaca.
Bogor, 30 maret 2011
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... vii
DAFTARGAMBAR ... viii
PENDAHULUAN ... 1
Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
TINJAUANPUSTAKA ... 3
Biologi Hama Boleng (Cylas formicarius (Fabr.)) ... 3
Bioekologi Cendawan Beauveria bassiana ... 5
Bioekologi Cendawan Metarhiziumbrunneum ... 6
Patologi Cendawan Entomopatogen ... 7
BAHANDANMETODE ... 9
Tempat dan Waktu ... 9
Bahan dan Metode ... 9
Perbanyakan Serangga Uji ... 9
Perbanyakan Isolat dan Penyiapan Suspensi Cendawan ... 10
Perlakuan Serangga Uji ... 10
Analisis Data ... 11
HASILDANPEMBAHASAN ... 12
Mortalitas Imago oleh M. brunneum dan B. bassiana ... 12
Perbandingan Virulensi Antara Cendawan M. brunneum dan B. bassiana . 15 KESIMPULAN DAN SARAN ... 18
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Mortalitas kumulatif C. formicarius pada hari ke-10 setelah perlakuan cendawan M. brunneum dan B. bassiana ... 12
2. Nilai lethal time (LT) M. brunneum dan B. bassiana terhadap
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Wadah plastik sebagai tempat pemeliharaan serangga uji C. formicarius ... 9
2. Cawan Petri dengan alas kertas tisu yang berisi C. formicarius .... ... 11
3. Mortalitas kumulatif C. formicarius yang terinfeksi cendawan
M. brunneum selama 10 hari setelah perlakuan kerapatan konidia: A) 106, B)107, C) 108, dan D) 109 konidia/ml ... 13
4. Mortalitas kumulatif C. formicarius yang terinfeksi cendawan
B. bassiana selama 10 hari setelah perlakuan kerapatan konidia: A) 106, B)107, C) 108, dan D) 109 konidia/ml ... 13
5. Serangga terinfeksi cendawan dengan tubuh kaku dan diselimuti oleh hifa cendawan (tanda panah), A) Serangga terinfeksi M. brunneum, B) Serangga terinfeksi B. bassiana . ... 14
6. Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas C. formicarius
akibat perlakuan cendawan M. brunneum dan B. bassiana pada hari ke-10 setelah perlakuan . ... 15
PENDAHULUAN
sehingga dapat diusahakan masyarakat sepanjang tahun. Ubi jalar juga sangat
banyak manfaatnya sehingga dapat digunakan sebagai berbagai macam produk
olahan.
Kendala penanaman ubi jalar cukup tinggi di sektor hama dan penyakit.
Cylas formicarius Fabr. merupakan hama utama pada ubi jalar dan tersebar di
seluruh dunia (Capinera 1998). CIP (1991) melaporkan bahwa C. formicarius
adalah hama utama dalam budidaya yang perlu mendapat perhatian. Kehilangan
hasil akibat serangan hama ini berkisar antara 10-80%, bergantung pada lokasi,
jenis lahan, dan musim (Widodo et al. 1994). Kerusakan kecil pun pada umbi
menyebabkan umbi tidak layak dikonsumsi karena adanya senyawa terpenoid
(Sato et al. 1982; Jansson et al. 1987). Dalam pengendalian hama C. formicarius
harus mempertimbangkan berbagai masalah lingkungan dan keamanan pangan.
Ada empat masalah utama mutu dan keamanan pangan nasional yang
berpengaruh terhadap perdagangan pangan baik domestik maupun global (Fardiaz
1996). Salah satunya mengenai produk pangan yang tidak memenuhi persyaratan
mutu keamanan pangan dengan ditemukannya cemaran kimia berbahaya
(pestisida, logam berat, obat-obat pertanian). Kendala tersebut dapat dikurangi
dengan metode pengendalian hayati. Penggunaan agens hayati cendawan
entomopatogen merupakan suatu upaya untuk mengurangi penggunaan pestisida
sintetik yang selama ini banyak menyebabkan masalah lingkungan, dan
diharapkan dapat menjadi suatu solusi di samping dapat menggali potensi sumber
(Desyanti et al. 2005). Salah satu cendawan entomopatogen yang potensial
digunakan sebagai agens hayati adalah Metarhizium anisopliae.
M. anisopliae telah lama digunakan sebagai agens hayati dan menginfeksi
beberapa jenis serangga, antara lain dari ordo Coleoptera, Lepidoptera,
Homoptera, Hemiptera, dan Isoptera (Strack 2003). Menurut Alexopoulos et al.
(1996) M. anisopliae ini bersifat parasit pada beberapa jenis serangga dan bersifat
saprofit di dalam tanah dengan bertahan pada sisa-sisa tanaman. Dengan demikian
cendawan ini cocok dikembangkan untuk pengendalian C. formicarius, mengingat
hama ini melewatkan sebagian fase hidupnya di dalam umbi dalam tanah.
M. brunneum merupakan cendawan yang baru diujicobakan untuk pengendalian
rayap Coptotermes gestroi (Desyanti et al. 2007). Hasil penelitian tersebut
mendorong untuk pengujian lebih lanjut mengenai potensi M. brunneum,
mengingat sifat cendawan tersebut mirip cendawan M. anisopliae.
Beauveria bassiana merupakan cendawan entomopatogen yang telah lama
digunakan sebagai agens hayati. Studi laboratorium dan lapangan menunjukkan
B. bassiana efektif terhadap berbagai hama tanaman maupun hama dalam
penyimpanan (Hansen dan Steenberg 2007). Keefektifan B. bassiana untuk
pengendalian hama C. formicarius cukup tinggi. Bari (2006) menyatakan bahwa
B. bassiana efektif dalam mengendalikan hama C. formicarius dengan tingkat
kematian hampir sebesar 100%. Dengan menggunakan B. bassiana sebagai
pembanding, M. brunneum diteliti keefektifannya terhadap C. formicarius.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat keefektifan cendawan
TINJAUAN PUSTAKA
Biologi Hama Boleng (Cylas formicarius (Fabr.))
C. formicarius merupakan kendala utama dalam peningkatan mutu ubi
jalar (CIP 1991) dan tersebar di seluruh dunia seperti Amerika, Kenya, dan
Indonesia. Serangan C. formicarius tidak hanya di lapangan tetapi juga
menimbulkan kerusakan yang nyata di penyimpanan. Umbi yang rusak
menghasilkan senyawa terpenoid yang menyebabkan umbi pahit dan tidak enak
dikonsumsi (Jansson et al. 1987). Dalam perkembangannya, hama ini melewati
siklus sempurna atau holometabola, yaitu meliputi telur, larva, pupa, dan imago.
Telur. C. formicarius melakukan perkembangbiakan secara ovipar. Telur diletakkan di dalam suatu rongga kecil yang dibuat oleh kumbang betina dengan
cara menggerek akar, batang, dan umbi. Telur diletakkan di bawah kulit atau
epidermis, secara tunggal pada satu rongga dan ditutup kembali sehingga sulit
dilihat (AVRDC 2004). Menurut Supriyatin (2001), telur C. formicarius sulit
dilihat karena ditutup dengan bahan semacam gelatin yang berwarna cokelat.
Telur C. formicarius memiliki ciri-ciri yaitu berukuran kecil antara 0,46– 0,65 mm (Supriyatin 2001), mempunyai bentuk yang oval tak beraturan (AVRDC
2004) dan berwarna putih krem. Supriyatin (2001) mengungkapkan bahwa lama
fase telur C. formicarius di Indonesia adalah 7 hari.
Larva. Larva yang baru keluar dari telurnya tidak memiliki tungkai, berwarna putih, dan lambat laun berubah menjadi kekuningan (AVRDC 2004).
Larva tersebut langsung menggerek batang atau umbi. Larva menggerek batang
menuju ke arah umbi. Perkembangan larva C. formicarius terdiri atas tiga instar
dengan periode instar pertama 8-16 hari, instar kedua 2–21 hari, dan instar ketiga
35–56 hari (Capinera 1998). Supriyatin (2001) melaporkan bahwa perkembangan
larva C. formicarius terdiri dari lima instar dalam waktu 25 hari. Suhu merupakan
faktor utama yang mempengaruhi tingkat perkembangan larva. Larva instar akhir
berukuran panjang 7,5-8 mm dan lebar 1,8-2 mm (CABI 2001), berwarna putih
dari lebar badan. Kepala berwarna kuning hingga cokelat, mandibel kuning
kehitaman dan abdomen agak besar. Larva menyerang akar, batang, dan umbi
dengan cara membuat lubang gerekan, dan menumpuk sisa gerekan sehingga
menimbulkan bau khas.
Pupa. Larva instar akhir membentuk pupa pada umbi atau batang,
berbentuk oval, kepala dan elitra bengkok secara ventral. Panjang pupa berkisar
antara 6-6,5 mm (Capinera 1998). Pupa berwarna putih dan kelamaan akan
antena, thoraks, dan tungkai berwarna oranye sampai coklat kemerahan; abdomen
dan elitra biru metalik (Capinera 1998). Menurut Supriyatin (2001) C. formicarius
mempunyai kepala, abdomen, dan sayap depan berwarna biru metalik, sedangkan
tungkai dan thoraks cokelat. Antena kumbang jantan berbentuk benang, ruas
antena mempunyai jarak yang sempit yang tidak seragam, dan panjangnya lebih
dari dua kali panjang flagellum. Antena kumbang betina berbentuk gada (CABI
2001).
Perkembangan dan lama hidup imago C. formicarius bergantung pada
beberapa faktor antara lain suhu dan makanan. Suhu optimum untuk dapat hidup
dengan baik adalah 15oC, sehingga serangga dapat hidup lebih dari 200 hari
dengan makanan yang cukup. Namun, lama hidup kumbang menurun menjadi 3
bulan jika dipelihara pada suhu 30oC dengan makanan, dan 8 hari tanpa makanan
(Capinera 1998). C. formicarius betina mampu bertelur sebanyak 90-340 ekor
telur semasa hidupnya. C. formicarius dapat terbang tetapi jarang terjadi dan jarak
Bioekologi Cendawan Beauveria bassiana
Konidia cendawan bersel satu, berbentuk oval agak bulat sampai dengan
bulat telur, hialin dengan diameter 2-3 μm. Konidiofor berbentuk zigzag
merupakan ciri khas genus Beauveria (Barnett 1972).
B. bassiana dapat diisolasi secara alami dari pertanaman maupun dari
tanah. Epizootiknya di alam sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, terutama
membutuhkan lingkungan yang lembab dan hangat (Sutopo danIndriyani 2007).
Variasi virulensi cendawan entomopatogen disebabkan oleh beberapa faktor baik
faktor dalam yaitu asal isolat maupun faktor luar seperti medium perbanyakan
cendawan, teknik perbanyakan dan faktor lingkungan yang mendukung
(Sudarmadji 1997). Pada medium perbanyakan B. bassiana dapat tumbuh pada
senyawa yang dapat dimanfaatkan cendawan untuk membuat materi sel baru
berkisar dari molekul sederhana seperti gula sederhana dan asam organik, hingga
kepada senyawa kompleks seperti karbohidrat, protein, lipid, dan asam nukleat.
Media tersebut dapat berupa potato dextrose agar (PDA), media jagung maupun
beras.
Suhu berpengaruh terhadap perkembangan koloni dan konidia yang
berkecambah. Pada suhu yang tinggi perkembangan koloni lebih lambat dan
konidia yang berkecambah menurun (Inglish et al. 1996). Suhu yang efektif untuk
pertumbuhan cendawan ini berkisar antara 20-30oC dengan kelembaban relatif di
atas 90% (Junianto dan Sukamto 1995). Perkecambahan tidak terjadi di bawah
10oC atau di atas 35oC. Titik temperatur kematian konidia diketahui berkisar 50oC
selama 10 menit di air. pH optimal untuk pertumbuhannya adalah antara 5,7-5,9
dan untuk pembentukan konidia dibutuhkan pH 7-8 (Domsch et al. 1993)
Di beberapa negara, cendawan ini telah digunakan sebagai agensi hayati
pengendalian sejumlah serangga hama mulai dari tanaman pangan, hias,
buah-buahan, sayuran, kacang-kacangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan hingga
tanaman gurun pasir (Sutopo dan Indriyani 2007). B. bassiana mampu
menginfeksi serangga pada berbagai umur dan stadia perkembangan. B. bassiana
Bioekologi Cendawan Metarhizium brunneum
Koloni awal cendawan bewarna putih, kemudian berubah menjadi hijau
gelap dengan bertambahnya umur koloni. Menurut Ginting (2008) M. brunneum
menghasilkan warna koloni kuning sampai coklat, miselium bersekat, konidiofor
tersusun tegak, berlapis, dan bercabang yang dipenuhi dengan konidia. Konidia
bersel satu berwarna hialin, berbentuk bulat silinder dengan ukuran
9,94 x 3,96 mµ.
M. brunneum dapat tumbuh di berbagai lokasi seperti tanah gambut di
USA dan Oregon (CABI 1998), sedangkan Desyanti (2007) mengisolasi M.
brunneum dari tanah berpasir. Pertumbuhan cendawan ini memerlukan temperatur
optimum sebesar 22-27oC (Roddam dan Rath 1997). Keasaman yang dibutuhkan
cendawan untuk tumbuh berkisar antara pH 3,3-8,5, sedangkan pertumbuhan
optimal terjadi pada pH 6,5 (Domsch dan Gams 1980). Konidia akan membentuk kecambah pada kelembaban diatas 90%. Dalam pengembangannya M. brunneum
dapat tumbuh dengan baik pada media PDA, jagung, dan beras (Ginting 2008).
Penggunaan cendawan ini di areal pertanaman belum pernah dilakukan.
Percobaan penggunaan M. brunneum baru dilakukan Desyanti (2007) dalam studi
pengendalian rayap tanah Captotermes spp. Perlakuan M. brunneum terhadap
rayap menunjukan hasil yang efektif sebagai agens hayati yang potensial.
M. brunneum memiliki patogenisitas lebih tinggi yang dapat membunuh rayap
dengan LC50 terendah dibandingkan spesies M. anisopliae, B. bassiana, Fusarium
oxysporum dan Aspergillus flavus (Desyanti 2007). Keefektifan dalam
penggunaan cendawan tersebut didukung oleh daya kecambah dan konidia yang
dihasilkannya. M. brunneum memiliki daya kecambah mencapai 97,20% dalam
waktu 12-24 jam setelah inkubasi, sedangkan M. anisopliae memiliki daya
kecambah antara 85-90%. Jumlah konidia yang dihasilkan M. brunneum lebih
tinggi daripada M. anisopliae yaitu sebesar 223.66 x 107/cawan Petri sedangkan
M. anisopliae 6.18 x 107/cawan Petri (Desyanti 2007). Hasil penelitian tersebut
mendorong penelitian untuk pengujian lebih lanjut mengenai cendawan tersebut.
tingkat patogenisitas, sporulasi maupun viabilitas M. brunneum lebih tinggi
daripada M. anisopliae, B. bassiana, dan Metarhizium roridum (Ginting 2008).
Patologi Cendawan Entomopatogen
Proses infeksi cendawan menurut St. Leger (1993) dibagi menjadi tiga
tahap yaitu kejadian sebelum proses penetrasi meliputi penempelan serta
pertumbuhan prapenetrasi, penetrasi ketubuh inang, dan pemapanan patogen
dalam tubuh inang. Cendawan entomopatogen menginfeksi serangga dengan
menempel dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh melalui kontak diantara
ruas-ruas tubuh serangga. Penetrasi dilakukan dengan menempelnya konidia pada
kutikula atau mulut serangga. Konidia ini selanjutnya berkecambah dengan
membentuk tabung kecambah. Apresorium yang awal dibentuk dengan
menembus epitikula, selanjutnya menembus jaringan yang lebih dalam
(Situmorang 1990).
Boucias & Pendland (1998) mengemukakan, cendawan entomopatogen
dicirikan oleh kemampuannya untuk menempel dan menembus kultikula inang
dan dapat tumbuh ke bagian internal inang (hemocoel) dan mengkonsumsinya
sehinga nutrisi di hemolimph habis oleh pertumbuhan cendawan yang cepat
sehingga inang akan mati. Cendawan juga dapat menghancurkan jaringan lainnya
atau dengan melepaskan zat beracun yang mengganggu perkembangan inang
secara normal. Zat beracun yang dihasilkan cendawan seperti beauvericin pada
B. bassiana dan destruxins pada M. anisopliae.
Pertumbuhan cendawan diikuti dengan produksi pigmen atau toksin yang
dapat melindungi serangga dari mikroorganisme lain terutama bakteri. Ciri-ciri
yang menyolok pada serangga yang terinfeksi cendawan adalah adanya miselia
pada serangga yang mati setelah terinfeksi. Miselia cendawan mulai menembus
kultikula luar dari tubuh serangga pada bagian yang mudah terserang yaitu
ruas-ruas tubuh dan alat mulut dan akhirnya menutupi seluruh tubuh serangga. Miselia
mulai tumbuh keluar tubuh satu hari setelah serangga mati (Neves dan Alves
2004). Pada kondisi optimal, kematian serangga akibat infeksi cendawan
dari penelitian (Neves dan Alves 2004) kematian serangga berkisar antara 2-3
hari. Cendawan tidak selalu keluar dari tubuh serangga, apabila kondisi tidak
mendukung maka akan tetap berada di dalam tubuh serangga tanpa keluar
menembus integumen (Santoso 1993).
Salah satu faktor yang berperan penting dalam keberhasilan penggunaan
cendawan entomopatogen adalah stadia penggunaan serangga. Tidak semua stadia
dalam perkembangan serangga rentan terhadap infeksi cendawan (Inglis et al.
2001). Selain itu keberhasilan pengendalian hama dengan cendawan
entomopatogen juga ditentukan oleh kerapatan konidia yang digunakan setiap ml
air. Jumlah konidia berkaitan dengan banyaknya biakan yang dibutuhkan tiap
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu
Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Patologi Serangga Departemen
Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor dari bulan
September 2010 hingga Februari 2011.
Bahan dan Metode
Perbanyakan Serangga Uji
Serangga uji C. formicarius diperoleh dari umbi yang memiliki gejala
terserang hama tersebut. Umbi ini kemudian dimasukan ke dalam wadah plastik
dengan garis tengah 13 cm, dan tinggi 20 cm. Tutup wadah plastik dibuang
sebagian dan diganti dengan kain kasa (Gambar 1). Wadah plastik ditempatkan
dalam laboratorium (suhu kamar) dan kemunculan serangga diamati setiap hari.
Gambar 1 Wadah plastik sebagai tempat pemeliharaan serangga uji C. formicarius
Umbi yang sudah memiliki gejala serangan yang cukup banyak dipisahkan
imago yang baru keluar dilakukan setiap hari untuk mendapatkan imago yang
berumur homogen. Imago yang digunakan sebagai serangga uji berumur 2-10
hari.
Perbanyakan Isolat dan Penyiapan Suspensi Cendawan
Isolat Beauveria bassiana dan Metarizhium brunneum yang digunakan
berasal dari biakan murni koleksi Laboratorium Patologi Serangga Departemen
Proteksi Tanaman IPB. Isolat diperbanyak dengan menggunakan media PDA pada
cawan petri berukuran 100 mm x 20 mm. Komposisi media PDA adalah kentang,
agar, dextrose, dan chloramphenicol. Setelah inokulasi, cendawan ditumbuhkan
dalam inkubator (suhu 25o).
Isolat B. bassiana dan M. brunneum yang telah berumur 21 HSI (hari
setelah inokulasi) diambil konidianya dengan cara mengambil area pertumbuhan
cendawan pada agar dengan menggunakan spatula steril. Cendawan (dengan
media) digerus dengan menggunakan mortar. Gerusan dicampur dengan air
aquades steril yang telah ditambahkan Tween20 sebanyak 0,025 ml per 50 ml air
lalu disaring untuk mendapatkan suspensi konidia yang jernih. Kerapatan konidia
dihitung dengan menggunakan hemasitometer Neubauer improved. Kerapatan
yang digunakan adalah 106, 107, 108, dan 109 konidia/ml.
Perlakuan Serangga Uji
Imago C. formicarius yang berumur 2-18 hari dipisahkan sebanyak 20
ekor ke dalam masing-masing cawan yang berukuran 150 mm x 25 mm (Gambar
2). Di dasar cawan ditaruh kertas tisu yang dibasahi agar ruangan cawan memiliki
kelembaban untuk pertumbuhan cendawan. Suspensi konidia yang telah dibuat
disemprotkan terhadap serangga yang berada dalam cawan sebanyak 1 ml volume
semprot. Masing-masing perlakuan diulang empat kali. Perlakuan kontrol
dilakukan dengan menyemprotkan air steril yang telah ditambahkan Tween20.
Setelah disemprot, serangga dimasukkan ke dalam cawan petri dan diberi makan
Gambar 2 Cawan Petri dengan alas kertas tisu yang berisi C. formicarius.
Pengamatan dilakukan setiap hari selama 10 hari dengan mencatat jumlah
imago yang mati pada masing-masing kosentrasi. Untuk menjaga kelembaban
dalam cawan, secara periodik tiap hari diteteskan air steril di kertas tisu. Imago
yang terinfeksi pada umumnya akan memperlihatkan miselia putih yang tumbuh
keluar tubuh imago.
Analisis data
Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Data diolah
dengan menggunakan progam Statistic Analysis System (SAS) versi 9.1 dan
Analisis Probit. Bila terdapat perbedaan di antara perlakuan yang diuji maka
HASIL DAN PEMBAHASAN
Mortalitas imago C. formicarius oleh M. brunneum dan B. bassiana
Secara umum data yang diperoleh menunjukan bahwa semakin banyak
atau rapat konidia yang digunakan, maka semakin cepat cendawan tersebut
menginfeksi dan mematikan C. formicarius (Tabel 1).
Tabel 1 Mortalitas kumulatif C. formicarius pada hari ke-10 setelah perlakuan
cendawan M. brunneum dan B. bassiana.
Kerapatan konidia/ml Mortalitas (%)
Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan =0,05
Perbedaan kerapatan konidia masing-masing cendawan M. brunneum dan
B. bassiana berpengaruh terhadap tingkat mortalitas C. formicarius. Mortalitas
tertinggi didapat oleh M. brunneum dengan kerapatan konidia 109/ml sebesar
95.00%. Nilai mortalitas C. formicarius setelah perlakuan B. bassiana pada
kerapatan konidia 109/ml sebesar 76.25% berbeda nyata dengan kerapatan konidia
M. brunneum 109/ml namun memiliki nilai tak berbeda nyata dengan
M. brunneum pada kerapatan konidia108/ml sebesar 82.50%. Mortalitas juga tak
berbeda nyata antara perlakuan M. brunneum kerapatan konidia 106/ml yaitu
sebesar 50.00% dengan mortalitas perlakuan B. bassiana pada kerapatan konidia
108/ml sebesar 48.75%. Nilai mortalitas pada kontrol sebesar 3.12%, nilai ini
tidak berbeda nyata dengan perlakuan B. bassiana pada kerapatan konidia 106/ml
sebesar 6.25%.
Bari (2006) melaporkan tingkat kematian C. fomicarius yang disebabkan
mencapai hampir 100%. Capinera (1998) menyatakan bahwa B. bassiana mampu
menyebabkan kematian yang besar pada kondisi kelembaban tinggi dan kepadatan
C. formicarius yang juga tinggi. Perbedaan data yang diperoleh kemungkinan
diakibatkan oleh beberapa faktor seperti penurunan virulensi cendawan, masalah
perkecambahan konidia, dan kondisi lingkungan.
Gambar 3 Mortalitas kumulatif C. formicarius yang terinfeksi cendawan
M. brunneum selama 10 hari setelah perlakuan kerapatan konidia:
A) 106, B)107, C) 108, dan D) 109 konidia/ml.
Gambar 4 Mortalitas kumulatif C. formicarius yang terinfeksi cendawan
B. bassiana selama 10 hari setelah perlakuan kerapatan konidia:
Pada awal perlakuan serangga menunjukan keadaan yang mulai
menunjukan ciri-ciri terinfeksi dengan 1-6% tingkat kematian (Gambar 3 dan 4).
Kematian oleh cendawan M. brunneum mulai meningkat pada hari ke-4 dan
mengalami penurunan pada hari ke-6, sedangkan kematian oleh cendawan
B. bassiana mengalami peningkatan pada hari ke-4 dan turun pada hari ke-7 dan
ke-8 (Gambar 3 dan 4). C. formicarius yang terinfeksi cendawan M. brunneum
mengalami mortalitas lebih cepat dan peningkatan yang lebih stabil pada setiap
kerapatan konidianya dibandingkan dengan B. bassiana yang perlahan dan
memiliki perbedaan yang nyata pada setiap kerapatan konidia yang digunakan.
Pengaruh jumlah konidia mempengaruhi kecepatan dalam menginfeksi dan
membunuh serangga. Menurut Riyatno dan Santoso (1991) gerakan serangga
yang terinfeksi lamban, nafsu makan berkurang bahkan berhenti, lama kelamaan
diam dan mati dengan tubuh terselimuti oleh hifa cendawan (Gambar 5).
C. formicarius yang terinfeksi cendawan masih dapat melakukan kopulasi.
Selama pengamatan ditemukan imago C. formicarius yang menunjukkan gejala
terinfeksi pada waktu sedang kopulasi. Pada prosesnya, cendawan tidak selalu
tumbuh keluar menembus integumen serangga, apabila keadaan kurang
mendukung, perkembangan cendawan hanya berlangsung di dalam tubuh
serangga (Santoso 1993). Agar hifa tumbuh dan keluar dari tubuh serangga
dibutuhkan kelembaban yang tinggi.
Gambar 5 Serangga terinfeksi cendawan dengan tubuh kaku dan diselimuti oleh
hifa cendawan (tanda panah), A) Serangga terinfeksi M. brunneum, B)
Serangga terinfeksi B. bassiana.
0
Perbandingan virulensi antara cendawan M. brunneum dan B. bassiana
Konsentrasi cendawan entomopatogen harus ditentukan secara tepat untuk
mendapatkan hasil pengendalian yang optimal (Prayogo 2006). Keberhasilan
pengendalian hama dengan cendawan entomopatogen juga ditentukan oleh
konsentrasi cendawan yang diaplikasikan yaitu kerapatan konidia dalam setiap
mililiter air (Hall 1980).
Lethal concentration (LC) adalah nilai yang menunjukkan jumlah racun
per satuan berat yang dapat mematikan populasi hewan yang digunakan dalam
percobaan (Prijono 1985). Dalam pengujian menggunakan cendawan
M. brunneum diperoleh hasil LC50 sebesar 4.2x106 konidia/ml dan LC95 sebesar
5.7x109 konidia/ml sedangkan pengujian menggunakan B. bassiana diperoleh
LC50 sebesar 2.0x108 konidia/ml dan LC95 sebesar 4.3x1010 konidia/ml (Gambar
6). Hal ini menunjukkan bahwa M. brunneum memiliki nilai LC yang rendah.
Nilai LC yang rendah mempunyai arti cendawan M. brunneum memiliki daya
virulensi yang lebih tinggi dibandingkan dengan B. bassiana.
Gambar 6 Hubungan antara kerapatan konidia dengan mortalitas C. formicarius
akibat perlakuan cendawan M. brunneum dan B. bassiana pada hari ke-10 setelah perlakuan.
Lethal Time (LT) adalah waktu yang diperlukan untuk mematikan
populasi hewan uji pada dosis atau kosentrasi tertentu (Prijono 1985). Cendawan
M. brunneum pada kerapatan konidia 109/mlmempunyai nilai LT50 sebesar 3.73
hari dan LT95 sebesar 7.82 hari, yang berarti bahwa untuk mendapatkan kematian
y = 15.4x + 34.8
sebesar 50% dibutuhkan waktu selama 3.73 hari dan kematian sebesar 95%
dibutuhkan waktu 7.82 hari (Tabel 2). Hal ini membuktikan bahwa kerapatan ini
memberikan hasil yang efektif dan cepat dalam mengendalikan C. formicarius.
Pada cendawan B. bassiana kerapatan konidia 109/ml mempunyai nilai LT50
sebesar 6.0 hari dan nilai LT95 sebesar 23.16 hari. Dalam hal ini, isolat cendawan
B. bassiana yang digunakan dianggap tidak efektif karena lama mematikan hama
(Gambar 7, Tabel 2). Cendawan B. basssiana pada kerapatan konidia 106/ml
memiliki nilai LT50 dan LT95 yang sangat tinggi sehingga nilai tidak ada pada
probit (Tabel 2).
Gambar 7 Hubungan antara waktu dengan mortalitas C. formicarius akibat perlakuan cendawan M. brunneum dan B. bassiana pada kerapatan konidia 109/ml selama 10 hari.
Data LT B. bassiana pada penelitian ini berbeda dengan pengujian
sebelumnya. Bari (2006) menyatakan bahwa nilai LT50 pada perlakuan
B. bassiana terhadap C. formicarius sebesar 5.40 hari menggunakan isolat Bb-Cf
y = 11.6x + 0.6
dalam membunuh C. formicarius pada kerapatan konidia 108 konidia/ml.
Perbedaan nilai LT50 pada B. bassiana dalam menginfeksi C. formicarius diduga
karena cendawan B. bassiana yang digunakan, telah mengalami penurunan
tingkat virulensinya akibat terlalu lama dibiakkan dalam media. Soenartiningsih et
al. (1999) mengungkapkan bahwa cendawan B. bassiana yang disimpan pada
suhu kamar selama 3 bulan menyebabkan penurunan virulensi akibat terjadinya
penurunan daya kecambah. Penggunaan cendawan yang telah lama seharusnya
dilakukan proses reinfeksi atau infeksi ulang terhadap serangga uji kemudian di
isolasi kembali.
Selain itu, ketidakefektifan dalam menginfeksi C. formicarius disebabkan
masalah perkecambahan konidia yang tergantung pada kelembaban, suhu, cahaya,
dan nutrisi (Tanada dan Kaya 1993). Menurut Junianto dan Sukamto (1995)
perkecambahan konidia memerlukan kelembaban relatif diatas 90% dan suhu
optimum antara 20-30oC sedangkan kelembaban pada cawan berubah-ubah
selama pengamatan.
Dalam percobaan ini B. bassiana memiliki nilai keefektifan lebih rendah
dibandingkan dengan M. brunneum. Perbandingan keefektifan antara kedua
cendawan terlihat jelas daya virulensinya terhadap tingkat mortalitas
C. formicarius. Perlakuan yang memiliki kefektifan yang baik untuk pengendalian
adalah M. brunneum dengan kerapatan konidia 109 konidia/ml sedangkan pada
kerapatan 108 konidia/ml, keefektifannya sebanding dengan cendawan
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Semakin tinggi kerapatan konidia cendawan M. brunneum yang
digunakan semakin tinggi pula tingkat kematian imago Cylas
formicarius.
2. Cendawan M. brunneum efektif mengendalikan C. formicarius dengan
kematian hingga 95% pada kerapatan 109 konidia/ml.
3. Pada hari ke-10 setelah perlakuan, nilai LC50 cendawan M. brunneum
sebesar 4.2x106 konidia/ml dan LC95 sebesar 5.7x109 konidia/ml.
4. Nilai LT50 cendawan M. brunneum dengan kerapatan konidia 109/ml
sebesar 3.73 hari.
Saran
Perlu dikaji viabilitas cendawan entomopatogen yang digunakan agar
memiliki pengaruh yang lebih efektif terhadap serangga uji. Perlu diadakan
penelitian lanjut dilapang sehingga diketahui tingkat keefektifan sebenarnya
DAFTAR PUSTAKA
Alexopoulos CJ, CW Mims, M Blackwell. 1996. Introductory Mycology. 4th ed. New York (USA): John Wiley and Sons Inc.
AVRDC 2004. Integrated Pest Management of Sweet Potato Weevil. http://www.AVRDC. org/LC/Sweet Potato/Weevil.
Bari D. 2006. Keefektifan beberapa isolat cendawan entomopatogen Beauveria
bassiana (BALSAMO) Vuillemin Terhadap Hama Boleng Cylas
formicarius (Fabr.) (COLEOPTERA: Curculionidae) di Laboratorium [skripsi] .Bogor (ID): Fakultas Pertanian, Insitut Pertanian Bogor.
Barnett HL, Hunter BB. 1972. Ilustrated Genera of Imperfect Fungi. 4th ed. Minnesota: APS Press.
Boucias DG, Pendland JC. 1998. Principles of Insect Pathology. London: Kluwer Academic Publishers.
CABI. 2001. Crop Protection Compendium. (CD-ROM), CABI, Rome.
Capinera JL. 1998. Sweet Potato Weevil, Cylas formicarius (Fabricius). Institute of Food and Agricultural Sciences.University of Florida.
CIP. 1991. Annual Report. Worldwide Potato and Sweet Potato Improvement. CIP, Peru. hlm 130-132.
Desyanti 2007. Kajian Pengendalian Rayap Tanah Captotermes Spp. (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan menggunakan Cendawan Entomopatogen Isolat Lokal [disertasi]. Bogor (ID): Fakultas Kehutanan, Insitut Pertanian Bogor.
Desyanti, Hadi YS, Yusuf S, Santoso T. 2007. Keefektifan Beberapa Spesies Cendawan Entomopatogen untuk Mengendalikan Rayap Tanah
Coptotermes gestroi WASMANN (Isoptera: Rhinotermitidae) dengan Metode Kontak dan Umpan. J. Ilmu & Teknologi Kayu Tropis 5(2):68-77.
Domsch KH, W Gams, TH Anderson. 1993. Compendium of Soil Fungi, vol 1,
Ginting S. 2008. Patogenisitas Beberapa Isolat Cendawan Entomopatogen Terhadap Rayap Tanah Captotermes curviganatus Holmgren dan
Hall RA. 1980. Control of aphids by the fungus Verticillium lecanii: Effect of
spore concentration. Entomology Experimental Application. (27): 1−5.
Hansen LS, T Steenberg. 2007. Combining larval parasitoids and an entomopathogenic fungus for biological control of Sitophilus granarius
(Coleoptera: Curculionidae) in stored grain. Biological Control. 40: 237-242.
Inglis GD, Goettel MS, Butt TM, Strasser H. 2001. Use of Hypomyceteous Fungi for Managing Insect Pests. Di dalam: Butt TM, Jackson CW, Magan N, editor. Fungi as biocontrol Agents: progress, problems, and potential. London: CABI publishing.
Inglis GD, Goettel MS, Johnson DL. 1993. Persistence of the entomopathogenic fungus, Beauveria bassiana, on phylloplanes of crested wheatgrass and alfalfa. BiologicalControl 3: 258-270.
Jansson R.K, HH Bryan, KA Sorensen. 1987. Within-vine distribution and damage of sweet potato weevil, Cylas formicarius elegentulus
(Coleoptera: Curculionidae), on four cultivars of sweet potato in Southern Florida. Florida Entomologist. 70(4): 523-526.
Junianto YD, S Sukamto. 1995. Pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap perkecambahan, pertumbuhan, dan sporulasi beberapa isolat B. Bassiana. Pelita Perkebunan 11(2): 64-75.
Kaku K, M Yonena, H Yoshimura, N Ho. 1999. Movement behavior of adults of
Cylasformicarius on host plant. Research Bulletin of the Plant Protection Service, Japan. 35: 81.
Lacey LA, MS Goettel. 1995. Current developments in microbial control of insect pests and prospects for the early 21st century. Entomophaga (40): 3−27.
Neves PMOJ, Alves SB. 2004. External events related to the infection process of
Cornitermes cumulans (Kollar) (Isoptera: Termitidae) by the entomopathogenic fungi Beauveria bassiana and Metarhiziumanisopliae. Neutropical Entomopogy 33(1): 51-56.
Prayogo Y. 2006. Upaya Mempertahankan Keefektifan Cendawan Entomopatogen Untuk Mengendalikan Hama Tanaman Pangan. J Litbang Pertanian. [internet]. [diunduh 2011 feb 19]; 25(2): 47−54. Tersedia pada: http://www.pustaka.litbang.deptan.go.id /publikasi/p3252062.pdf.
Prijono D. 1985. Penuntun Praktikum Pestisida dan Alat Aplikasi Bagian Insektisida. Bogor: IPB.
Riyatno, Santoso T. 1991. Cendawan Beauveria bassiana dan cara pengembangannya guna mengendalikan hama bubuk buah kopi. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman Perkebunan. Ditjen Perkebunan. Jakarta.
Roddam LF, AD Rath. 1997. Isolation and characterisation of Metarhizium anisopliae and Beauveria bassiana from subantarctic Macquarie Island. J. Invertebrata Pathology. (69): 285-288.
Serangga I; 1993 Oktober 12-13;Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. hlm 1-15.
Sato K, I Uritani, T Saito. 1982. Properties of terpene-inducing factor extracted from adults of the sweet potato weevil, Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Brethidae). Appl. Entomol. Zool. 17(3): 368−374.
Situmorang J. 1990. Petunjuk Praktikum Patologi Serangga PAV Bioteknologi. Yogyakarta. Universitas Gadjah Mada.
Soenartiningsih, D Baco, M Yasin. 1999. Pengendalian penggerek batang jagung dan penggerek tongkol dengan cendawan entomopatogenik B. bassiana.
hlm 25.Makalah disampaikan pada Temu Teknologi Hasil Pengendalian Hama Terpadu. Program Nasional PHT, Departemen Pertanian Jakarta. Cisarua, 30 Juni 1999.
St. Leger R. 1993. Biology and mechanisms of insect cuticle invasions by Deuteromycete fungal pathogens. Di dalam : Beckage NE, Thompson SN dan Federici BA, Editor. Parasites and Phatogens of insects Vol 2:
Pathogens. San Diego: Academic Press, Inc. hlm 211-229.
Strack BH. 2003. Biological control of termites by the fungal entomopathogen
Metarhizium anisopliae. www.utoronto.ca/forest/termite/metani_1.htm [24 Febuari 2011].
Sudarmadji D. 1997. Optimasi pemanfaatan Beauveria bassiana Bals.(vuill) untuk Pengendalian Hama. Pertemuan Teknis Perlindungan Tanaman. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Ditjen Perkebunan. Cipayung, 16-18 Juni 1997.
Supriyatin 2001. Hama boleng pada ubi jalar dan cara pengendaliannya. Palawija
2: 22−29.
Sutopo D, Indriyani IGAA. 2007. Status, Teknologi, dan Prospek B. Bassiana
Untuk Pengendalian Serangga Hama. Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.
Tanada Y, Kaya HK. 1993. Insect Pathology. San Diago: Academic Press, INC. Harcourt Brace Jovanovich, Publisher.