• Tidak ada hasil yang ditemukan

Study of Rauh Tree Architectural Model As an Effort to Conserve Water and Soil: A Case Study of Altingia excelsa Noronha and Schima wallichii (DC.) Korth in The Mount Gede Pangrango National Park

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Study of Rauh Tree Architectural Model As an Effort to Conserve Water and Soil: A Case Study of Altingia excelsa Noronha and Schima wallichii (DC.) Korth in The Mount Gede Pangrango National Park"

Copied!
113
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN ARSITEKTUR POHON MODEL RAUH DALAM

UPAYA KONSERVASI AIR DAN TANAH: STUDI KASUS

Altingia excelsa Noronha DAN Schima wallichii (DC.) Korth

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

ENI NURAENI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Arsitektur Pohon Model Rauh dalam Upaya Konservasi Air dan Tanah: Studi Kasus Jenis Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Februari 2012

(3)

ABSTRACT

Study of Rauh Tree Architectural Model As an Effort to Conserve Water and Soil: A Case Study of Altingia excelsa Noronha and Schima wallichii (DC.) Korth in The Mount Gede Pangrango National Park. Supervised by DEDE SETIADI and DIDIK WIDYATMOKO

Tree architecture model is basically tree construction as a result of meristematic growth pattern. Tree architecture is closely associated with water and soil components, i.e rainfall, throughfall, stemflow, infiltration, surface run-off, and erosion. Two sample plots of 4 m x 8 m each were established, which one plot was to measure Altingia excelsa (Rasamala) and another plot for Schima wallichii (Puspa). Total rainfall, throughfall, stemflow, infiltration, surface run-off, and erosion were measured. Correlation coefficients between rainfall with erosion, throughfall with erosion, stemflow with erosion, and surface run-off with erosion were calculated and analized. For A. excelsa, the results showed that the intensity of rainfall observed was 290.11 mm, stem flow 0.03 mm, throughfall 5.43 mm, infiltration 0.51 ml/mm2/sec, surface run-off 3.45 mm, and erosion 169,91 kg/m2/month. While for S. wallichii, the amount of rainfall was 290.11 mm, stemflow 0.04 mm, throughfall 4.02 mm, infiltration 0.49 ml/mm2/sec, surface run-off 8.18 mm, and erosion 381,27 kg/m2/month. Compared to A. excelsa, S. wallichii had larger values for some parameters measured (i.e. stemflow, surface run-off, and erosion) indicate that on more than 50% land slope of the Mount Gede Pangrango National Park, individual plants of S. wallichii seemed to be more well adapted. However, individuals of A. excelsa possessed a more spreadly branching model, larger vertical width, and higher trunk height. Consequently individual plants of A. excelsa would generally able to conserve more water and soil better than S. wallichii plants.

(4)

RINGKASAN

ENI NURAENI. Kajian Arsitektur Pohon Model Rauh dalam Upaya Konservasi Air dan Tanah: Studi Kasus Altingia excelsa Noronha dan

Schima wallichii (DC.) Korth di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Dibimbing oleh DEDE SETIADI dan DIDIK WIDYATMOKO.

Model arsitektur pohon merupakan konstruksi bangunan dari sebuah pohon sebagai hasil dari pertumbuhan meristematik yang dikontrol secara morfogenik. Arsitektur pohon model Rauh memiliki ciri batang monopodial dengan pola pertumbuhan ritmik serta membentuk pola percabangan orthotropik. Model Rauh umumnya ditemukan pada kelompok tumbuhan berbiji. Selain itu model ini sering ditemukan pada tumbuhan yang tumbuh di pegunungan daerah tropis. Model arsitektur pohon memiliki hubungan dengan komponen-komponen konservasi air dan tanah, yaitu komponen curah hujan, curahan tajuk, aliran batang, dan aliran permukaan. Tumbuhan yang memiliki model arsitektur pohon yang sama, tidak selalu memiliki pengaruh yang sama terhadap parameter-parameter konservasi air dan tanah.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya aliran batang (stemflow), curahan tajuk (throughfall), infiltrasi, aliran permukaan dan erosi pada Altingia excelsa Noronha (Rasamala ) dan Schima wallichii (DC.) Korth (Puspa) yang memiliki arsitektur pohon model Rauh yang ditanam pada kemiringan lahan lebih dari 50% di lokasi lahan terdegradasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), dan mengetahui kemampuan tumbuhan dengan arsitektur pohon model Rauh yang ada di lokasi TNGGP terhadap konservasi air dan tanah yang baik, dalam upaya mengatasi bahaya erosi dan banjir pada ekosistem DAS Citarum.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara melakukan pengukuran terhadap parameter-parameter konservasi air dan tanah, meliputi curah hujan, curahan tajuk, aliran batang, infiltrasi, aliran permukaan, dan besarnya erosi, dengan menggunakan dua spesies target: A. excelsa dan S. wallichii.

(5)

mempunyai rata-rata aliran permukaan sebesar 8,18 mm (dengan total 245,25 mm). Nila erosi pada plot A. excelsa adalah 5,66 kg/m2/hari dengan total 169,91 kg/m2/bulan atau 1,23 ton/ha/tahun. Nilai erosi pada plot tegakan S. wallichii 12,71 kg/m2/hari dengan total 381,27 kg/m2/bulan atau 2,76 ton/ha/tahun.

Secara umum tumbuhan S. wallichii memiliki nilai lebih besar untuk beberapa parameter dibandingkan tumbuhan A. excelsa. Hal ini ditunjukkan pada lahan dengan kemiringan lebih dari 50% di daerah Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tumbuhan yang sesuai untuk restorasi hutan tersebut adalah A. excelsa . Tumbuhan A. excelsa ini memiliki model percabangan yang lebar, vertikal, dan batangnya tinggi sehingga tumbuhan ini mampu mengkonservasi air dan tanah lebih optimal daripada S. wallichii .

(6)

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipaan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(7)

KAJIAN ARSITEKTUR POHON MODEL RAUH DALAM

UPAYA KONSERVASI AIR DAN TANAH: STUDI KASUS

Altingia excelsa Noronha DAN Schima wallichii (DC.) Korth

DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO

ENI NURAENI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Biologi Tumbuhan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Tanggal Ujian: 24-11-2011 Tanggal Lulus: Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S Ketua

Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc. Anggota

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Biologi Tumbuhan

Dr. Ir. Miftahudin, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Diketahui

Kajian Arsitektur Pohon Model Rauh dalam Upaya Konservasi Air dan Tanah: Studi Kasus Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth di Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango

Eni Nuraeni G353090071 Judul Tesis :

Nama :

(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT, karena atas berkat

rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik,

meskipun masih banyak kekurangan yang perlu disempurnakan. Judul tesis ini

adalah Kajian Arsitektur Pohon Model Rauh dalam Upaya Konservasi Air dan

Tanah: Studi Kasus Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth

di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Penelitian ini

dilaksanakan dari bulan September 2010 sampai dengan bulan Maret 2011.

Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih atas semua

bantuan dan dorongannya baik moril maupun materil, kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, MS dan Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc yang telah

memberikan bimbingan dan dorongannya, sehingga penulis dapat

menyelesaikan penulisan tesis ini.

2. Kepala Kebun Raya Cibodas, yang telah memfasilitasi dan memberikan

bantuan dananya dalam penelitian ini.

3. Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Pusat

Penelitian Alam Bodogol (PPKAB), yang telah mengizinkan penulis untuk

melakukan penelitian di kawasan Hutan PPKAB.

4. Kementerian Agama RI, yang telah memberikan bantuan dananya, sehingga

penulis dapat mengikuti perkuliahan Pasca Sarjana S2 di lingkungan Institut

Pertanian Bogor (IPB).

5. Suami, Keluarga dan Teman-teman BUD, yang telah memberikan bantuan

dan motivasinya baik moril maupun materil selama penulis menyusun tesis

ini.

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Februari 2012

(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 13 Februari 1985 dari ayah

Alm. Zukni dan ibu Iyot Syariah. Penulis merupakan putri ke delapan dari delapan

bersaudara.

Tahun 2003 penulis lulus dari MAN Pandeglang dan pada tahun yang

sama lulus seleksi ujian masuk perguruan tinggi Universitas Pendidikan Indonesia

melalui jalur PMDK. Penulis memilih jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas

Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, tahun 2008 penulis berhasil

menyelesaikan pendidikan program S1. Kemudian penulis mengabdi sebagai guru

Madrasah Tsanawiyah di Yayasan Al-Falah Pandeglang.

Tahun 2009 penulis diterima di Program Studi Biologi Tumbuhan Sekolah

Pascasarjana IPB, melalui program beasiswa utusan daerah (BUD) yang

(12)

DAFTAR ISI

2.2 Arsitektur Pohon Model Rauh ... 8

2.2.1 Taksonomi Tanaman ... 9

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19

3.2 Bahan dan Metode Penelitian ... 20

3.3 Pengukuran Parameter Konservasi Air dan Tanah ... 21

3.4 Analisis Data ... 26

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27

4.1 Hasil Pengukuran Parameter Konservasi Air &Tanah ... 27

(13)

4.2.5 Infiltrasi ... 31

4.2.6 Aliran Permukaan dan Erosi... 31

4.3 Hubungan Curah Hujan, Aliran Batang, Curahan Tajuk, Aliran Permukaan Terhadap Erosi ... 32

5 SIMPULAN DAN SARAN ... 37

5.1 Simpulan ... 37

5.2 Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(14)

DAFTAR GAMBAR

1. Arsitektur pohon Model Rauh ... .8

2. Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango … ... 19

3. Denah lokasi pengambilan sampel di Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango . ... 19

4. Pengukuran aliran batang. ... 21

5. Cara pengukuran curahan tajuk. ... 22

6. Cara pengukuran laju infiltrasi. ... 22

7. Cara pengukuran curah hujan harian ... 23

8. Plot Percobaan Erosi ... 25

9. Interaksi antar parameter curah hujan (CH), tinggi aliran batang (Sfi), tinggi curahan tajuk (Tfi), aliran permukaan (Ap), Infiltrasi (If), dengan erosi (E) pada tumbuhan Altingia excelsa Noronha pada kemiringan lahan 70% dengan model arsitektur pohon Rauh di Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango . ... 33

10. Interaksi antar parameter curah hujan (CH), tinggi aliran batang (Sfi), tinggi curahan tajuk (Tfi), aliran permukaan (Ap), Infiltrasi (If), dengan erosi (E) pada tumbuhan S. wallichii (DC.) Korth pada kemiringan lahan 70% dengan model arsitektur pohon Rauh di Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango . ... 35

(15)

DAFTAR TABEL

1. Pengukuran parameter konservasi air & tanah pada tumbuhan Altingia excelsa dan S. Wallichii di Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango...27 2. Jumlah air hujan, aliran batang, curahan tajuk dan intersepsi

pada tumbuhan Altingia excelsa dan S. Wallichii...27 3 . Matrik korelasi antar parameter konservasi air dan tanah pada

tumbuhan Altingia excelsa di Hutan PPKAB Taman Nasional Gunung

Gede Pangrango...33 4. Matrik korelasi antar parameter konservasi air dan tanah pada

tumbuhan S. Wallichii di Hutan PPKAB Taman Nasional Gunung

Gede Pangrango...35

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Data Parameter Konservasi Air dan Tanah Pada Tumbuhan

Altingia excelsa di Lokasi Penelitian Kawasan Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol (PPKAB)Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango (TNGGP) ………... 43 2. Data Parameter Konservasi Air dan Tanah Pada Tumbuhan Schima wallichii

di Lokasi Penelitian Kawasan Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol

(PPKAB)Taman NasionalGunung Gede Pangrango (TNGGP)……... 45

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tanah dan air merupakan sumber daya yang sangat vital bagi kehidupan

manusia. Tanah berfungsi sebagai media utama di mana manusia bisa

mendapatkan bahan pangan, sandang, papan, dan tambang. Tanah merupakan

tempat dilaksanakannya berbagai aktivitas di muka bumi. Air adalah zat yang

sangat esensial bagi makhluk hidup. Air tidak hanya dibutuhkan oleh manusia,

tetapi juga oleh seluruh makhluk hidup, termasuk hewan, tumbuhan, dan

mikroorganisme.

Kuantitas sumberdaya tanah dan air yang ada di bumi ini relatif tetap, tetapi

kualitasnya selalu berubah setiap saat. Fenomena lahan terdegradasi dan rawan

longsor makin mengemuka dan merupakan salah satu masalah lingkungan yang

cukup serius karena mempengaruhi kualitas ketersediaan sumberdaya tanah dan

air. Rangkaian peristiwa alam yang ekstrim seperti perubahan iklim, banjir,

kekeringan, dan kebakaran hutan terjadi silih berganti. Desakan kebutuhan

manusia dalam bentuk penggunaan lahan meningkat secara tajam dan massif dari

waktu ke waktu, terutama untuk ekstraksi dan bukan pemanfaatan secara

berkelanjutan. Jika hal ini terus berlanjut, maka manusia akan menemui kesulitan

besar dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan dan lahan untuk tempat tinggal.

Kekhawatiran ini akan semakin kuat jika dikaitkan dengan keberadaan

sumberdaya air, di mana siklus hidrologinya sudah mulai terganggu. Laporan

World Bank (2007) memprediksikan bahwa perubahan iklim untuk kawasan

Indonesia mengakibatkan peningkatan curah hujan sebesar 2-3%, sehingga dapat

dipastikan akan meningkatkan risiko terjadinya bencana alam, seperti banjir,

terutama pada lahan terdegradasi dan rawan longsor. Kejadian longsor tidak hanya

ditemui di daerah pemukiman warga, tetapi juga sering terjadi di kawasan hutan.

Tanah longsor merupakan proses perpindahan tanah dari dataran tinggi ke

dataran yang lebih rendah, dan akan berakhir setelah mencapai keseimbangan

baru. Tanah longsor muncul akibat adanya banjir, lereng yang curam, lapisan di

(18)

dalam tanah (Arsyad 2006). Banjir akan terjadi jika tidak tersedia daur air yang

efektif, sehingga mengakibatkan memadatnya permukaan tanah dan berkurangnya

daya serap. Untuk mencegah munculnya banjir, perlu adanya daur air yang

efektif, ketersediaan tumbuhan di hutan dan kondisi DAS yang terjaga fungsinya.

Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menyerap air yang tinggi dan mengatur

siklus hidrologinya.

Peristiwa lahan terdegradasi dan rawan longsor mudah ditemui dan menjadi

masalah khas pada ekosistem daerah aliran sungai (DAS). Ekosistem DAS

merupakan bagian penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap

DAS. Sekitar 117 dari 141 DAS di pulau Jawa kondisinya telah rusak (Dephut

2008), diantaranya termasuk DAS prioritas I Jawa Barat yaitu Cisadane, Ciliwung

dan Cisadane. Keberadaan DAS ini sangat vital karena merupakan kawasan

tangkapan air (catchment areas) serta pusat pertumbuhan ekonomi, energi

pendidikan, wisata, serta sekaligus sebagai penyangga wilayah ibu kota negara

Jakarta. Luas total lahan terdegradasi di DAS Cisadane, Ciliwung, dan Cisadane

mencapai 127, 977, 10 ha atau 16, 89 %.

Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jawa Barat menyatakan bahwa sekitar

54 % dari tutupan hutan di DAS Cisadane telah hilang dalam periode 1983-2002

(Simamora 2007). Hal ini disebabkan oleh adanya konversi lahan pertanian

menjadi perumahan (peningkatan 233%) dan kawasan industri (peningkatan

868%) dan berkontribusi dalam pengurangan air di daerah tangkapan air. Kasus

kehilangan area hutan sebesar 30,3% dan area kebun campuran sebesar 11,9 % di

kawasan Puncak (periode 1972-2005) menjadi contoh riil disfungsi DAS

Ciliwung.

Merujuk Undang-Undang No. 26 tahun 2007, pasal 17 ayat 5 tentang Tata

Ruang, bahwa dalam rangka pelestarian lingkungan, maka 30% dari luas DAS

harus ditetapkan sebagai kawasan hutan atau menjadi kawasan hijau, yang

berfungsi sebagai lahan konservasi air dan tanah, sehingga mampu untuk

mengurangi laju erosi dan banjir yang mengakibatkan terhadap kerusakan

lingkungan seperti tanah longsor dan sedimentasi.

Pemikiran di atas memberi gambaran dengan jelas betapa pentingnya

(19)

telah terjadi penurunan kualitas dan kuantitas kedua sumberdaya tersebut.

Dibutuhkan usaha-usaha konservasi sumberdaya air dan tanah secara luas untuk

mengurangi bencana alam yang mengancam kelangsungan hidup manusia dan

makhluk hidup lainnya. Penanganan lahan terdegradasi dan rawan longsor pada

ekosistem DAS dapat Cisadane dilakukan dengan cara restorasi dan rehabilitasi

ekosistem. Dalam penelitian, peneliti lebih memfokuskan terhadap upaya restorasi

ekosistem. Restorasi ekosistem merupakan proses pengkondisian ekosistem

(tanah, vegetasi, dan hidupan liar) untuk mencapai pola dan profil yang serupa

dengan kondisi sebelum terjadinya kerusakan ekosistem, baik dari segi

komposisi, struktur maupun fungsinya.

Keberadaan vegetasi penutup di dalam suatu kawasan hutan akan

mempengaruhi langsung maupun tidak langsung terhadap proses biologi, baik

fisik dan kimia tanah. Setiap jenis tumbuhan hutan mempunyai karakteristik

sendiri-sendiri dalam melindungi tanah dan tata air. Hal ini disebabkan setiap

tumbuhan memiliki sistem perakaran, bentuk tajuk, dan penutupan tanah yang

berbeda (Soper dan Lull 1967, dalam Ginting AN & Semadi IGK 1996).

Perbedaan ini akan mempengaruhi kemampuan setiap tumbuhan dalam

mengevapotranspirasikan air hujan serta menyimpan air pada permukaan tanah.

Dalam upaya konservasi air dan tanah di area lahan restorasi hutan Taman

Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), pemilihan jenis pohon yang

digunakan akan sangat mendukung keberhasilan usaha konservasi ini. Pemilihan

spesies untuk restorasi kawasan lindung dilakukan dengan cara penapisan secara

ekologi, yaitu dengan mencontoh profil karakteristik vegetasi alami yang ada di

kawasan sekitarnya. Tumbuhan Schima wallichii dan Altingia excelsa merupakan

tumbuhan dominan yang ada di TNGGP. Berdasarkan hasil penelitian Arijani

et.al (2006) nilai frekuensi Schima wallichii yang ada di TNGGP yaitu 86,67%,

sedangkan A. excelsa memiliki nilai frekuensi 73,33% dari 30 plot penelitian.

Kedua nilai ini menggambarkan bahwa tumbuhan S. wallichii dan A.excelsa

tersebar dengan luas dan memiliki kerapatan yang sangat tinggi. Dengan demikian

untuk mendukung usaha konservasi air dan tanah ini, maka dilakukan kajian

terhadap arsitektur pohon model Rauh dari tumbuhan S. wallichii dan A. excelsa

(20)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan

penelitian sebagai berikut:

“Bagaimana keterkaitan arsitektur pohon model Rauh pada Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth terhadap konservasi air dan tanah di

lahan terdegradasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango”.

Rumusan masalah tersebut dapat dijabarkan dengan beberapa pertanyaan

penelitian sebagai berikut:

1. Berapa besarnya aliran batang (stemflow), curahan tajuk (throughfall),

infiltrasi, aliran permukaan dan erosi pada plot percobaan tumbuhan A.

excelsa dan S. wallichii?

2. Apakah terdapat korelasi antar parameter yang sudah diukur dari tumbuhan

A. excelsa dan S. wallichii dengan nilai erosi yang terjadi pada setiap plot

percobaan tersebut?

3. Apakah terdapat perbedaan kemampuan mengkonservasi air dan tanah dari

kedua jenis tumbuhan percobaan tersebut?

4. Faktor apa yang mempengaruhi dari dua jenis tumbuhan yang memiliki

arsitektur pohon model Rauh tersebut dapat mengkonservasi air dan tanah

dengan baik?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Mengetahui besarnya aliran batang (stemflow), curahan tajuk (throughfall),

infiltrasi, aliran permukaan, dan erosi pada tumbuhan yang memiliki

arsitektur pohon model Rauh yang ditanam pada kemiringan lahan lebih

dari 50% di lokasi lahan terdegradasi dan restorasi di Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango (TNGGP).

b. Mengetahui korelasi antar parameter konservasi air dan tanah dari kedua

plot percobaan, yaitu plot tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii.

c. Mengetahui perbedaan kemampuan tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii

(21)

restorasi di TNGGP dalam upaya mengatasi bahaya erosi dan banjir pada

ekosistem DAS Cisadane.

d. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan kemampuan tumbuhan A.

excelsa dan S. wallichii dalam mengkonservasi air dan tanah.

1.4. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai:

a. Peran dari model arsitektur pohon yang ada di lokasi lahan terdegradasi dan

restorasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang

mampu mengkonservasi air dan tanah sebagai upaya mengatasi bahaya erosi

dan banjir pada ekosistem DAS Cisadane.

b. Jenis tumbuhan yang mampu mengkonservasi air dan tanah secara baik

sebagai upaya mengatasi bahaya erosi dan banjir pada ekosistem DAS

Cisadane.

1.5. Asumsi

Berdasarkan perumusan masalah di atas dan diperkuat oleh kajian teori,

maka penulis berasumsi bahwa:

a. Aliran batang yang terjadi pada tumbuhan Rasamala (A. excelsa) dengan

model arsitektur Rauh merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap

terjadinya pengurangan erosi (Utami 2011).

b. Erosi pada arsitektur pohon model Rauh tumbuhan S. wallichii lebih besar

dibandingkan model Rauh pada tumbuhan P. merkusii (Aththorick 2000).

c. Empat faktor utama yang terlibat dalam proses erosi diantaranya adalah

iklim, sifat tanah, topografi, dan vegetasi penutup lahan (Legowo 2002

(22)

1.6. Hipotesis Penelitian

Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka penulis membuat hipotesis bahwa:

a. Kemampuan mengkonservasi air dan tanah dari tumbuhan A. excelsa dan

S. wallichii berkorelasi dengan pola percabangan, tipe tajuk, diameter

batang, serta infiltrasi dari tanah habitatnya.

b. Terdapat hubungan positif antara parameter curah hujan, curahan tajuk,

aliran batang, dan aliran permukaan terhadap erosi pada tumbuhan

A. excelsa dan S. wallichii yang memiliki arsitektur pohon model Rauh di

lokasi lahan terdegradasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

c. Terdapat perbedaan kemampuan dalam mengkonservasi air dan tanah dari

tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii yang memiliki arsitektur pohon model

Rauh pada lokasi lahan terdegradasi di Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango.

d. Terdapat hubungan positif antara diameter batang dengan kemampuan

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Model Arsitektur Pohon

Model arsitektur pohon pada dasarnya merupakan konstruksi bangunan dari

sebuah pohon sebagai konsekuensi dari pola pertumbuhan meristematik yang

dikontrol secara morfogenik. Elemen-elemen dari suatu arsitektur pohon terdiri

atas pola pertumbuhan batang, percabangan, dan pembentukan pucuk terminal.

Pola pertumbuhan dapat bersifat ritmik atau kontinu. Pertumbuhan ritmik

memiliki suatu periodisitas dalam proses pemanjangannya yang secara morfologi

ditandai dengan adanya segmentasi pada batang atau cabang. Pertumbuhan

kontinu tidak memiliki periodisitas dan tidak ada segmentasi pada batang atau

cabang. Pola percabangan dapat dibedakan atas pola sylepsis (percabangan yang

dibentuk dari meristem lateral dengan perkembangan kontinu) dan pola

percabangan prolepsis (percabangan yang terbentuk secara diskontinu dengan

beberapa periode istirahat dari meristem lateral). Pertumbuhan tunas pada

jenis-jenis pohon dapat dibedakan menjadi dua, yaitu orthotropik dan plagiotropik.

Pertumbuhan tunas jenis orthotropik dicirikan oleh pucuk yang terbentuk

berorientasi tumbuh secara vertikal dan tidak sering berbunga, sedangkan pada

pertumbuhan tunas jenis plagiotropik yaitu pucuk yang terbentuk berorientasi

tumbuh secara horizontal dan sering menghasilkan bunga. (Halle et al. 1978).

Menurut Halle et al . (1978), model arsitektur pohon dapat dibedakan dalam

4 karakteristik utama, yaitu:

a. Pohon tidak bercabang yaitu bagian vegetatif pohon hanya terdiri dari satu

aksis dan dibangun oleh sebuah meristem soliter, contohnya model Holtum

dan Corner.

b. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang ekivalen dan orthotrofik,

contohnya model Tomlinson, Chamberlain, Leuweunberg, dan Schoute.

c. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang non ekivalen, contohnya

model Prevost, Rauh, Cook, Kwan-koriba, Fagerlind, Petit, Aubreville,

(24)

d. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif campuran ada yang ekivalen dan

non ekivalen, contohnya model Troll, Champanat, dan Mangenot.

2.2. Arsitektur Pohon Model Rauh

Asal usul penamaan model arsitektur pohon ini diberikan oleh Rauh yang

telah mendeskripsikan arsitektur pohon-pohon temperate (Rauh, 1939 dalam

Halle et al. 1978). Arsitektur pohon model Rauh adalah model arsitektur pohon

memiliki ciri batang monopodial dengan pola pertumbuhan ritmik serta

membentuk pola percabangan orthotropic (Gambar 1). Pola percabangan ini

berhubungan dengan batang perbungaannya, di mana umumnya lateral.

Percabangan pada arsitektur pohon model Rauh berbentuk orthotropik. Bentuk

ini akan meningkatkan aliran batang, karena cabang-cabang yang tumbuh vertikal

berfungsi sebagai penampung air hujan, yang selanjutnya dialirkan ke batang.

Fellizar (1976) mengemukakan bahwa aliran batang merupakan bagian dari curah

hujan yang ditahan oleh tajuk vegetasi, kemudian mengalir melalui batang dan

akhirnya sampai ke permukaan tanah. Arsitektur pohon model Rauh umumnya

ditemukan pada kelompok tumbuhan berbiji. Selain itu, model ini sering

ditemukan pada tumbuhan yang tumbuh di pegunungan daerah tropis. Contoh

tumbuhan yang memiliki arsitektur pohon model Rauh adalah anggota suku

Lauraceae, Elaeocarpaceae, Theaceae, Altingiaceae, dan Hamamelidaceae.

Gambar 1 Arsitektur Pohon Model Rauh. ( ) Aliran curahan tajuk, ( ) aliran batang (Halle et al. 1978).

(25)

Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth merupakan

contoh tumbuhan yang memiliki arsitektur pohon model Rauh. Kedua tumbuhan

ini berasal dari famili yang berbeda, akan tetapi memiliki beberapa kesamaan

dalam pola percabangannya yaitu pola percabangan orthotropik. Berikut ini

deskripsi dari kedua tumbuhan tersebut:

2.2.1 Taksonomi Tanaman

1. Schima wallichii (DC.) Korth (Puspa)

Kingdom : Plantae (Tumbuhan)

Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)

Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Ordo: Theales Famili : Theaceae

Genus : Schima

Spesies : Schima wallichii (DC.) Korth

2. Altingia excelsa Noronha (Rasamala) Kerajaan : Plantae

Superdivisi : Spermatophyta

Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida

a. Schima wallichii (DC.) Korth (Puspa)

Nama latin dari tumbuhan Puspa adalah Schima wallichii (DC.) Korth.

Tumbuhan ini termasuk dalam famili (suku) Theaceae, yang terdiri dari empat

subspesies, yaitu S. wallichii Korth. ssp. bancana Bloemb, S. wallichii Korth. ssp.

crenata Bloemb, S. wallichii Korth. ssp. noronha Bloemb, dan S. wallichii Korth.

ssp. oblata Bloemb. Penyebaran Puspa secara alami meliputi Semenanjung

Malaya, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu,

Lampung, seluruh Jawa, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan

(26)

Tinggi pohon mencapai 40 m, dengan panjang batang bebas cabang sampai

25 m, diameter batang 150 cm, tidak berbanir, kulit luar berwarna merah muda,

merah tua sampai hitam, beralur dangkal dan mengelupas, kulit hidup tebalnya

sampai 15 mm, berwarna merah dan di dalamnya terdapat miang yang gatal.

Daunnya tunggal, tebal, permukaan hijau kebiru-biruan, berbentuk jorong,

tajuknya bulat sampai lonjong (Martawijaya et al. 1989).

Di Jawa Barat Puspa merupakan tumbuhan asli, sering terdapat pada

ketinggian 100-1500 m dpl. Pohon ini juga memiliki daya hidup (kesintasan) yang

cukup tinggi dengan kulit kayu yang tebal sehingga tahan api. Pada saat roboh

anakan akan cepat tumbuh terutama pada saat hujan turun membasahi lantai

hutan. Tegakan Puspa dari kejauhan daun berwarna hujau tua ini sangat kontras

dengan daunnya yang muda berwarna kemerahan saat musim hujan. Bunganya

yang berwarna putih berjatuhan di atas serasah dengan benang sari kuning

sehingga menarik satwa untuk menikmati. Kera ekor panjang (Macaca

fascicularis) merupakan jenis mamalia yang hidup di pohon pucuk daun puspa

merupakan santapan lezat bagi jenis primata ini.

b. Altingia excelsa Noronha ( Rasamala)

Nama latin dari tumbuhan Rasamala adalah Altingia excelsa Noronha,

anggota famili Hammalidaceae. Tumbuhan ini menyebar mulai dari Himalaya

menuju wilayah lembab di Myanmar hingga kawasan Semananjung Malaysia,

Sumatera, dan pulau Jawa. Di Pulau Jawa, jenis tumbuhan ini hanya tumbuh di

wilayah barat yang memiliki ketinggian 500-1500 m dpl atau di hutan bukit atau

pegunungan yang lembab. A. excelsa di wilayah Sumatera tersebar di daerah

Bukit Barisan. A. excelsa akan tumbuh subur pada daerah yang memiliki curah

hujan 100 mm perbulan dan jenis tanahnya vulkanik. Tinggi tanaman ini dapat

mencapai 40-60 m dengan tinggi bebas cabang 20-35 m dan diameter 80 cm

(Martawijaya et al. 1989).

Kulit luar Rasamala berwarna coklat muda atau kelabu. Kulit kayunya

halus, abu-abu, dan warna kayu merah. Pada pohon yang masih muda memiliki

tajuk yang rapat dan berbentuk piramid. Dengan bertambahnya usia tanam, maka

(27)

bentuknya lonjong, memiliki panjang 6-12 cm, lebarnya 2,5-5,5 cm, tepi daun

bergerigi halus. Bunga berkelamin satu, bunga jantan, dan betina terpisah pada

pohon yang sama. Malai betina terdiri dar 14-18 bunga, berkumpul membentuk

menyerupai kepala (Martawijaya et al. 1989). Kayunya sangat awet walaupun

diletakkan langsung bersentuhan dengan tanah. Karena batang bebas cabangnya

tinggi, maka kayunya cocok untuk kerangka jembatan, tiang, konstruksi, tiang

listrik dan telepon, serta penyangga rel kereta api. Selain itu, kayunya

dimanfaatkan untuk konstruksi berat, rangka kendaraan, perahu dan kapal, lantai,

rakit, finir, dan plywood. Daun yang masih muda berwarna merah sering untuk

sayur atau lalap. Di Jawa, daun yang telah ditumbuk halus digunakan sebagai

obat batuk. Getahnya berbau aromatik sebagai pengharum ruangan (Agus et al.

2002)

2.3 Konservasi Air dan Tanah

Air merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang mempunyai

karakteristik unik dibandingkan dengan sumber daya lainnya. Air merupakan

sumber daya yang terbarukan dan bersifat dinamis, artinya sumber utama air yang

berupa hujan akan selalu datang sesuai dengan waktu atau musimnya sepanjang

tahun. Di Indonesia yang memiliki musim penghujan dan musim kemarau

sepanjang tahun, jumlah air yang berada di suatu wilayah tergantung dari kedua

musim tersebut. Pada waktu musim penghujan, jumlah air meningkat sangat

tinggi. Secara alami air mengalir dari hulu ke hilir, dari daerah yang lebih tinggi

ke daerah yang lebih rendah. Air mengalir di atas permukaan tanah akan tetapi air

juga mengalir di dalam tanah. Dalam jumlah tertentu, air juga dapat

mengakibatkan bencana. Jumlah air terlalu besar di suatu lokasi mempunyai

kekuatan yang sangat besar dan destruktif yang sering disebut dengan banjir.

Peristiwa banjir akan mengakibatkan kerugian bagi makhluk hidup. Dalam jumlah

yang terlalu sedikit di suatu lokasi, air juga menimbulkan bencana yang sering

disebut bencana kekeringan (drought) (Kodoatie 2008). Berdasarkan kedua

permasalahan ini, pengelolaan sumberdaya air terpadu memiliki peran yang

sangat penting untuk mengatasi persoalan sumberdaya air yang sangat kompleks

(28)

yang berkelanjutan, pengendalian daya rusak air serta menempatkan air dalam

dimensi-dimensi sosial, budaya, ekonomi, hukum, kelembagaan, dan lingkungan

yang harmoni.

Aliran air sangat tergantung pada kondisi tata guna lahan di permukaan

bumi. Bila tidak ada daerah yang bisa menyerap air atau menahan laju aliran air

maka pada waktu musim hujan air akan mengalir langsung ke laut. Pada musim

kemarau, keberadaan air di suatu tempat tergantung pada kuantitas dan kualitas

resapan dan penahan air yang baik. Kebutuhan air di suatu area dapat terpenuhi

pada musim kemarau jika masih ada air yang tertampung dan terhenti, misalnya:

waduk, danau, retensi, dan cekungan, serta air yang meresap di dalam tanah

sehingga membentuk air tanah, sumur, dan spring (R J Kodoatie 2008).

Tanah merupakan salah satu faktor terpenting bagi kehidupan manusia.

Banyak sekali fungsi tanah yang dimanfaatkan oleh makhluk hidup. Sebagai

sumber daya yang banyak digunakan, tanah dapat mengalami pengikisan (erosi),

dan pengikisan ini diakibatkan oleh bekerjanya gaya-gaya dari agen penyebab,

misalnya air hujan dan angin. Konservasi tanah merupakan sebuah upaya untuk

mendapatkan tingkat keberlanjutan produksi lahan dengan cara menjaga laju

kehilangan tanah tetap berada di bawah ambang batas yang diperkenankan. Secara

teoritis dapat dikatakan bahwa laju erosi harus lebih kecil atau sama dengan laju

pembentukan tanah (Suripin 2001). Sumberdaya alam utama, yaitu tanah dan air,

pada dasarnya merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, akan tetapi

mudah mengalami kerusakan atau degradasi. Kerusakan tanah dapat terjadi oleh

(1) kehilangan unsur hara dan bahan organik di daerah perakaran, (2)

terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinisasi), terkumpulnya atau

terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, (3)

penjenuhan tanah oleh air (waterlogging), dan erosi. Kerusakan tanah oleh satu

atau lebih proses tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk

mendukung pertumbuhan tanaman atau menghasilkan barang atau jasa

(Suripin 2001).

Kerusakan air dapat berupa timpangnya distribusi air secara temporal,

hilangnya atau mengeringnya sumber air, dan menurunnya kualitas air. Semua ini

(29)

oleh kandungan sedimen yang bersumber dari erosi atau kandungan bahan-bahan

atau senyawa limbah rumah tangga, limbah industri atau limbah pertanian

(Suripin 2001). Secara alami tanah mengalami pengikisan (erosi). Erosi seperti ini

sering disebut dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak

berbahaya karena lajunya seimbang dengan pembentukan tanah di tempat

terjadinya erosi tersebut. Kehadiran manusia sejak pertama kali di bumi ini,

menimbulkan dampak negatif, yaitu disadari atau tidak, terjadi peningkatan laju

erosi. Erosi ini terjadi akibat adanya perubahan pola penutupan, dari pola alami

menjadi pola buatan manusia. Erosi ini dikenal sebagai “erosi dipercepat”

(accelerated erosion).

Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis, pengaruh iklim

sangat berkaitan erat dengan curah hujan dan temperatur. Curah hujan dan

intensitas hujan yang tinggi memiliki daya penghancuran yang tinggi terhadap

agregat tanah sehingga agregat tanah menjadi partikel-partikel yang mudah

terhanyutkan. Kecepatan dan arah angin kadang-kadang dapat pula memindahkan

partikel-partikel tanah.

Tanah di Indonesia umumnya berasal dari abu vulkanik, dan tanah-tanah

demikian mudah sekali terkena erosi. Selain itu, jenis tanah yang ada di Indonesia

merupakan jenis tanah podsolik atau tanah latosol yang memiliki warna yang

cukup khas, yaitu berwarna merah kekuning-kuningan sampai merah cokelat

(Kartasoeputra 2005). Tanah podsolik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

a. kesuburan kimiawi rendah atau miskin akan zat-zat hara tanaman.

b. reaksi tanah adalah masam.

c. solumnya dangkal atau top soilnya tipis.

d. mudah tererosi serta sifat-sifat fisiknya buruk sampai medium.

e. selalu berasosiasi dengan tanah hidromorf kelabu, tanah lateritis, dan tanah

podsol.

f. produktivitas tanahnya berkisar dari tingkatan rendah sampai sedang, dan

g. sebagian lahan pertanian sangat memerlukan pemupukan lengkap (N-P-K),

liming atau pengapuran dan pengendalian erosi.

Ditinjau dari ciri-ciri tanah tersebut tindakan konservasi perlu dilakukan,

(30)

Berikut ini beberapa data hasil penelitian mengenai konservasi tanah dalam

pencegahan erosi yang pernah dilakukan oleh Lembaga Penelitian Tanah, Bogor

(1975). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui erodibiltas tanah, vegetasi dan

cara-cara pengelolaan dan pendayagunaan tanah terhadap besarnya erosi yang

dilakukan pada 9 tempat yang meliputi tanah-tanah:

a. Jenis podsolik merah kuning di Janlapa – Jasinga

b. Jenis latosol coklat kemerahan di sekitar Bogor

c. Jenis andosol di Ciwidey, Ciparay

d. Jenis grumosol di Rembang

e. Jenis regosol di Klakah, Tengger.

Keberadaan tumbuhan sangat dibutuhkan dalam upaya mengurangi laju

erosi. Dengan kata lain bahwa keberadaan hutan mempunyai peranan penting

terhadap kepentingan dan usaha manusia, seperti halnya peranan hutan terhadap

pengawetan (konservasi) tanah dan air (Kartasapoetra et al.2005).

2.3.1 Aliran batang

Aliran batang merupakan bagian dari curah hujan yang ditahan oleh tajuk

vegetasi, kemudian mengalir melalui batang dan sampai ke permukaan tanah.

Aliran batang juga merupakan peubah yang penting dalam studi ekologi dan

kelembaban tanah berhutan (Fellizar 1976). Arsyad (2006) mengemukakan bahwa

air hujan yang mengenai tajuk sebagian akan melekat sementara pada daun dan

batang, yang disebut dengan air intersepsi, sebagian akan mengalir pada batang

sampai ke permukaan tanah. Menurut Lull (1952) aliran batang dipengaruhi oleh

bentuk batang, curah hujan, dan bentuk hujan yang telah diintersepsi atau tanpa

intersepsi oleh tajuk. Jumlah air hujan yang sampai ke tanah melalui aliran batang

tergantung pada besarnya sudut yang dibentuk oleh batang tumbuhan terhadap

tanah (Van Elewijk 1988, dalam Arsyad 2006). Sedangkan menurut Parker

(1983) bahwa jumlah aliran batang dipengaruhi oleh kehalusan kulit batang dan

sudut batang dan cabang. Air yang sampai ke permukaan tanah, melalui aliran

(31)

butir-butir tanah. Kekuatan perusak air aliran batang akan terjadi setelah berubah

menjadi aliran permukaan (Arsyad 2006).

2.3.2 Curahan tajuk

Curahan tajuk (throughfall) merupakan bagian dari air hujan yang jatuh ke

atas permukaan tanah melalui celah-celah tajuk dan atau berupa limpasan dari

daun, ranting atau cabang pohon (Lull 1952). Pada kawasan hutan, curahan tajuk

merupakan bagian dari curahan hujan yang jatuh permukaan lantai hutan setelah

melalui struktur lapisan tajuk yang rapat, mulai dari tajuk pohon yang dominan

hingga ke lapisan semak belukar dan serasah (Zinke 1967).

Menurut Zinke (1967) besarnya curahan tajuk sangat dipengaruhi oleh

beberapa faktor, yaitu tebalnya lapisan tajuk (strata), jenis-jenis pohon yang

membentuk tegakan, suhu, dan kecepatan angin. Hasil penelitian Aththorick

(2000) di daerah hutan pendidikan Gunung Walat Sukabumi, menunjukkan

bahwa persentase curahan tajuk pada model arsitektur Masart yang diwakili oleh

tumbuhan A. damara sebesar 87,23% lebih besar dari pada model arsitektur

pohon Rauh yang diwakili oleh tumbuhan S. wallichii sebesar 77,97%. Unsur

iklim yang mempengaruhi curahan tajuk yaitu suhu, kecepatan angin, selisih

waktu kejadian hujan, dan waktu terjadinya hujan (siang atau malam)

(Manokaran 1979).

2.3.3 Intersepsi

Intersepsi adalah bagian dari curahan hujan yang tertahan oleh tajuk

vegetasi sehingga tidak sampai ke permukaan tanah, kemudian diuapkan kembali

ke atmosfir (Lutz dan Chandler 1965). Secara kuantitatif intersepsi merupakan

perbedaan antara curah hujan total dengan jumlah curahan tajuk dan aliran batang.

Menurut Rutter et al.(1971). Intersepsi adalah peristiwa evaporasi sejumlah air

yang tercegat pada permukaan daun dan permukaan batang dari curah hujan yang

jatuh di atasnya. Evavorasi ini merupakan parameter dari total evaporasi areal

yang berhutan. Intersepsi terdiri dari aliran batang yang tidak mencapai

permukaan tanah, air yang dievaporasikan selama hujan, dan sejumlah air yang

(32)

Secara kuantitatif intersepsi adalah perbedaan curah hujan dengan jumlah curahan

tajuk dan aliran batang.

Menurut Zinke (1967) faktor-faktor yang mempengaruhi intersepsi

diantaranya adalah kapasitas tajuk (S), porositas tajuk (P) dan tahanan

aerodinamika (ra). Kapasitas tajuk merupakan tebalnya air pada luasan penutup

vegetasi yang dapat disimpan atau ditahan oleh tajuk vegetasi pada saat kejadian

hujan. Kapasitas hujan dapat menggambarkan jumlah air yang tertinggal pada

tajuk ketika hujan berlangsung dan sampai curahan tajuk berhenti, sedangkan

porositas hujan menggambarkan bagian dari air hujan yang jatuh ke permukaan

tanah tanpa melalui tajuk (Gash dan Morto 1978). Tahanan aerodinamika

merupakan hambatan melintang dari pertukaran uap air, panas, dan momentum

antar tajuk vegetasi dengan udara di atasnya jika mempunyai nilai gradien yang

tetap (Monteith, 1976).

Faktor iklim yang mempengaruhi intersepsi adalah keadaan musim dan

intesitas hujan, bila curah hujan sangat kecil atau intensitas curah hujan rendah,

umumnya sebagian besar air hujan yang tertahan oleh tajuk vegetasi dan langsung

diluapkan, akan tetapi apabila curah hujan besar dengan intensitas tinggi maka

kan lebih banyak air hujan yang jatuh ke permukaan tanah/lantai hutan. Dengan

demikian persentase intersepsi menjadi rendah (Wiersum et al 1979). Menurut

Manokaran (1979) faktor suhu, kelembaban udara, dan kecepatan angin

mempengaruhi air yang akan terintersepsikan untuk berevaporasi selama dan

setelah hujan.

2.3.4 Infiltrasi

Infiltrasi merupakan peristiwa masuknya air ke dalam tanah yang umumnya

melalui permukaan dan secara vertikal. Jika cukup air maka infiltrasi akan

bergerak terus ke bawah yaitu ke dalam profil tanah. Laju infiltrasi adalah

banyaknya air per satuan waktu yang masuk melalui permukaan tanah, dinyatakan

(33)

2.3.5 Aliran permukaan

Aliran permukaan merupakan bagian dari air hujan yang jatuh di atas

permukaan tanah karena tidak dapat diabsorbsi oleh tanah dan tidak mengumpul

di permukaan kemudian mengalir ke bawah melalui lereng dan akhirnya

mengumpul di saluran atau sungai (Arsyad 2006). Aliran permukaan sangat

dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya curah hujan, jenis tanah, luas

daerah aliran, jenis tanaman serta jenis pengolahan tanah (Arsyad 2006).

Kecepatan aliran permukaan akan dipengaruhi oleh kecepatan jatuhnya butir-butir

hujan, besarnya intersepsi oleh tanaman, infiltrasi, defresi, dan evaporasi.

Sedangkan banyaknya air yang terkumpul untuk membentuk aliran permukaan

ditentukan oleh luas daerah, tofografi, dan bentuk daerah (Hudson 1979). Menurut

Arsyad (2006) jumlah aliran permukaan menyatakan jumlah air yang mengalir di

permukaan tanah untuk suatu masa hujan atau masa tertentu dinyatakan dalam

tinggi kolom air (mm atau cm) atau dalam volume air (m3).

2.4 Erosi

Erosi adalah lepasnya material padat (sedimen, tanah, batuan, partikel lain)

dari batuan induknya oleh air, angin, es, gaya gravitasi, atau organisme. Erosi

pada dasarnya merupakan proses perataan kulit bumi. Proses ini terjadi dengan

penghancuran, pengakutan, dan pengendapan. Di alam ada dua komponen utama

yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air. Akan tetapi dengan adanya

aktifitas manusia di alam, maka manusia menjadi faktor yang sangat penting

dalam mempengaruhi erosi ( Kartasapoetra et al 2005). Menurut Arsyad (2006)

erosi merupakan peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian

tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami, yaitu air dan angin.

Dalam buku kamus konservasi tanah dan air, erosi dibedakan menjadi 3, yaitu

erosi geologi, erosi normal, dan erosi dipercepat. Menurut bentuknya erosi

dibedakan menjadi 6, yaitu erosi lembar, erosi alur, erosi parit, erosi tebing

sungai, longsor, dan erosi internal (Arsyad 2006).

Erosi yang terjadi saat ini umumnya bukan hanya disebabkan oleh faktor

alami tetapi sering kali disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak ramah

(34)

hutan menjadi lahan pemukiman, perdagangan, pertambangan, serta tempat

hiburan. Empat faktor utama yang terlibat dalam proses erosi adalah iklim, sifat

tanah, topografi dan vegetasi penutup lahan (Legowo 2002 dalam Arsyad 2006).

Menurut Arsyad (2006), di daerah beriklim tropika basah, penyebab utama erosi

tanah adalah air, sedangkan angin tidak mempunyai pengaruh yang berarti. Proses

erosi yang disebabkan oleh air merupakan kombinasi dari dua sub-proses, yaitu

(1) penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi tumbuk

butir-butir hujan yang menimpa tanah dan (2) pemindahan butir-butir primer

tersebut oleh percikan air hujan, sehingga air yang tergenang di permukaan tanah

akan mengakibatkan tanah terdispersi serta pengangkutan butir-butir tanah oleh

air yang mengalir dipermukaan tanah. Peranan tumbuhan yang hidup di atas

permukaan tanah dapat memperbaiki kemampuan tanah untuk menyerap air dan

memperkecil kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh serta daya dispersi dan

(35)

BAB III

BAHAN DAN METODE

3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian adalah kawasan Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol

(PPKAB) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), di Kabupaten

Sukabumi, Jawa Barat (Gambar 2). Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol

berada pada ketingian 800 dpl, merupakan salah satu zona pemanfaatan di dalam

kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Zona pengambilan sampel

dilakukan di blok Rasamala dan Puspa. Penelitian dilakukan pada musim hujan

(September 2010- Maret 2011). Peta lokasi penelitian dan denah lokasi

pengambilan sampel berturut-turut disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.

(36)

Gambar 3 Denah lokasi pengambilan sampel di Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Sumber:

http://ppkab.blogspot.com).

3.2. Bahan dan Metode Penelitian

Bahan penelitian ini menggunakan Hutan Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango di kawasaan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol. Jenis

tumbuhan yang menjadi kajian (target) adalah Altingia excelsa Noronha dan

Schima wallichii (DC.) Korth. Plot penelitian ditentukan dengan metode

purposive sampling dengan memperhatikan faktor lingkungan, yaitu kemiringan

dan jenis tanah. Kemiringan tanah yang digunakan yaitu kemiringan lebih dari

50%. Kedua jenis tumbuhan diidentifikasi ciri-ciri biologi dan morfologinya.

Model arsitektur pohon ditentukan berdasarkan determinasi Halle et al

(1978) dengan memperhatikan dan mengukur parameter-parameter berikut:

1. Bentuk pertumbuhan batang

2. Bentuk dan susunan cabang pada batang

3. Bentuk dan susunan cabang pada cabang lateral

4. Posisi organ seksual (perbungaan)

(37)

3.3 Pengukuran Parameter Konservasi Air dan Tanah

Langkah berikutnya, daerah di sekitar bawah pohon dibersihkan dari segala

serasah dan vegetasi yang tumbuh di bawah, kemudian dilakukan pengukuran

terhadap parameter-parameter sebagai berikut:

3.3.1 Aliran batang

Pengukuran aliran batang dilakukan melalui cara menampung air yang

mengalir pada batang. Penampungan dilakukan dengan cara melingkarkan selang

pada sekeliling permukaan batang pohon dengan salah satu ujungnya diletakkan

lebih rendah, kemudian ditampung dengan menggunakan jerigen penampungan

(Gambar 4).

Pengukuran aliran batang dilakukan pada setiap sampling jenis tumbuhan,

dengan pengulangan dua kali untuk setiap jenis tumbuhan. Volume aliran batang

(cm3) yang tertampung dikonversi kedalam satuan tinggi kolom air (mm) dengan

persamaan:

Gambar 4 Pengukuran aliran batang di hutan PPKAB Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.

Sfi = Vi/Li cm = Vi/Li X 10 mm (Kaimuddin 1994)

dimana: Sfi = Tinggi aliran batang ke-i (mm)

Vi = Volume aliran batang ke-i (cm3)

(38)

Tfi = Vi/Li x 10 (Kaimuddin 1994)

dimana: Tfi = Tinggi curahan tajuk ke-i (mm)

Vi = Volume curah hujan ke-i (cm3)

Li = Luas penampungan ke-i (cm2)

3.3.2 Air Curahan Tajuk

Pengukuran curahan tajuk dilakukan dengan cara menampung air hujan

dengan lembaran plastik yang diberi kerangka kayu dengan luas penampung

(1 x 1) m2, kemudian ditempatkan di bawah tajuk pohon (Gambar 5). Pengukuran

dilakukan sebanyak dua kali pengulangan untuk setiap contoh jenis tumbuhan .

Untuk volume curahan tajuk (cm3) yang tertampung dikonversi kedalam

satuan tinggi kolom air (mm) dengan persamaan:

Gambar 5 Cara pengukuran curahan tajuk di lokasi penelitian menggunakan metode Kaimuddin (1994).

3.3.3 Infiltrasi

Laju infiltrasi diukur dengan menggunakan paralon dengan ukuran diameter 8 cm dan tinggi 50 cm (Gambar 6). Laju infiltrasi diukur dengan

menghitung laju penyerapan atau habisnya air dalam pipa infiltrasi ke dalam tanah Drum

(39)

menggunakan stopwatch (Setiadi 1998). Data infiltrasi berupa laju infiltrasi air

kedalam tanah persatuan waktu (ml/mm2/sekon).

Gambar 6 Cara pengukuran laju infiltrasi di lokasi penelitian menggunakan metode Setiadi (1998).

3.3.4 Curah hujan

Curah hujan diukur dengan menggunakan penakar hujan yang terbuat dari

corong plastik dan botol jerigen plastik berukuran 20 lt (ombrometer buatan) yang

diletakkan di tempat terbuka (Gambar 7). Pengukuran curah hujan dilakukan

selama 30 kali kejadian hujan. Untuk mengukur banyaknya air yang tertampung

dalam jerigen, air tersebut dituangkan ke dalam tabung pengukur, sehingga dapat

diketahui volume (V) dalam mm3, dengan luas corong (A) adalah πr2 = 3,14 x

jari-jari corong (mm2). Untuk menghitung curah hujan harian, digunakan

persamaan: CH = V/A

dimana: CH = Curah hujan

V = Volume air hujan yang tertampung dalam

jerigen (mm3)

A = Luas permukaan corong (mm2)

.

(40)

3.3.5 Intersepsi

Pengukuran intersepsi dilakukan dengan cara menghitung selisih jumlah

curah hujan di tempat terbuka, dikurangi dengan jumlah air hujan yang mengalir

melalui curahan tajuk dan aliran batang. Berdasarkan metode Heth dan Karchon

(1963), perhitungan intersepsi dapat menggunakan persamaan:

Ic = CH – (Tfi – Sfi)

dimana: Ic = Intersepsi tajuk

CH = Curah hujan

Tfi = Curahan tajuk

Sfi = Aliran Batang

3.3.6 Pengamatan aliran permukaan dan erosi

Pengukuran aliran permukaan dilakukan plot percobaan yang terbuat dari

bahan karpet yang tidak tembus air. Plot percobaan berukuran 8 m x 4 m

memanjang dari atas ke bawah lereng. Banyaknya plot percobaan sebanyak 2

buah untuk setiap sampel jenis tumbuhan, dengan demikian jumlah seluruh plot

sebanyak 4 plot. Plot percobaan ini dibuat pada kemiringan tanah lebih dari 50 %

yang diukur dengan Clinometer Suunto. Untuk mengukur volume aliran

permukaan, maka pada bagian ujung bawah plot dibuat penampungan air dari

drum. Drum yang digunakan berukuran ± 100 liter dan ± 50 liter dengan

diameter ± 50 cm. Drum I dipasang untuk menampung aliran permukaan dan erosi

langsung dari plot percobaan dan bagian atasnya dibuat lubang pembagi sebanyak

5 buah. Lubang pembagi ini berfungsi untuk menghitung banyaknya air yang

keluar bila terjadi luapan. Masing-masing lubang berdiameter 1 cm, berkedudukan

rata dan berjarak 2 cm satu sama lain. Drum II dipasang untuk menampung

luapan yang terjadi pada salah satu lubang pembagi dari drum I dengan

menghubungkannya memakai selang plastik (Gambar 8). Sehingga jumlah total

volume luapan adalah 5 x volume drum II. Semua drum diberi penutup untuk

(41)

Banyaknya aliran permukaan yang tertampung pada setiap plot erosi dapat

dihitung menggunakan persamaan matematis di bawah ini, yaitu:

Untuk mendapatkan nilai aliran permukaan dalam satuan tinggi kolom air,

maka volume total aliran permukaan dibagi dengan luas petak percobaan, dimana

luas petak percobaanya 32 m2.

Gambar 8 Plot percobaan erosi di lokasi penelitian menggunakan metode Santosa (1985).

Penentuan berat tanah yang tererosi dapat dilakukan dengan cara mengambil

contoh air dari setiap drum, yaitu drum I dan drum II sebanyak 1 liter untuk setiap

plot erosi. Agar mendapat hasil yang baik, terlebih dahulu dilakukan pengadukan

hingga homogen. Setelah itu sampel air tersebut disaring dengan menggunakan

kertas saring, yang sudah diketahui berat keringnnya. Selanjutnya kertas saring

dan endapannnya tersebut dikeringkan dalam oven pada temperatur 1050 C sampai

beratnya konstan, kemudian dilakukan penimbangan.

Untuk menghitung berat tanah yang tererosi dapat menggunakan persamaan

matematis dibawah ini, yaitu:

Wtc = W1 + W2 (Santosa 1985)

W1 dan W2 = Vd / Vs x (Wksc– Wks)

Vap = V1+5V2 (Santosa, 1985)

dimana : Vap = Volume total aliran permukaan (mm3)

V1 = Volume aliran permukaan pada drum I (mm3)

V2 = Volume aliran permukaan pada drum II (mm3)

drum I

drum II 8 m

(42)

Nilai erosi = berat tanah/luas petak percobaan/satuan waktu (gr/m2/bulan)

Luas petak percobaan = 32 m2 = 32000 mm2.

3.4 Analisis data

Untuk menginterpretasikan hubungan hasil pengukuran dari setiap variabel

yang diukur, dilakukan analisis komponen utama (Principal Component

Analysis). Analisis komponen utama merupakan suatu teknik statistik untuk

mengubah dari sebagian besar variabel asli yang digunakan yang saling

berkorelasi satu dengan yang lainnya menjadi satu set variabel baru yang lebih

kecil dan saling bebas (tidak saling berkorelasi lagi). Jadi analisis komponen

utama berguna untuk mereduksi data, sehingga data lebih mudah untuk

diinterpretasikan (Supranto.2004).

Korelasi antar parameter dianalisis dengan menggunakan rumus koefisien

Korelasi produk moment di bawah ini:

(Budiono & Koster IW 2002) Budiono & Koster IW (2002) mengemukakan interpretasi nilai koefisien korelasi dapat mengikuti aturan sebagai berikut:

1. bila 0.90 < r < 1.00 atau -1,00 < r < - 0,90; artinya hubungan yang sangat

kuat.

2. bila 0.70 < r < 0,90 atau -0,90 < r < - 0,70; artinya hubungan yang kuat.

3. bila 0.50 < r < 0,70 atau -0,70 < r < - 0,50; artinya hubungan yang moderat.

4. bila 0.30 < r < 0,50 atau -0,50 < r < - 0,30; artinya hubungan yang lemah.

(43)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Pengukuran Parameter Konservasi Air & Tanah

Parameter konservasi air dan tanah yang diukur dalam penelitian ini,

meliputi curah hujan, aliran batang, curahan tajuk, infiltrasi, aliran permukaan,

dan erosi. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap model arsitektur pohon Rauh

pada dua jenis tumbuhan yang berbeda, yaitu Altingia excelsa Noronha dan

Schima wallichii (DC.) Korth, menunjukkan adanya perbedaan hasil pengukuran

untuk setiap parameter konservasi tanah dan air. Tabel 1 berikut menyajikan

ringkasan hasil pengukuran dari setiap parameter.

Tabel 1 Pengukuran parameter konservasi air & tanah pada tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango

Jenis Tumbuhan

Keterangan: T = Total; M = Rata-rata harian

Pengamatan dilakukan selama 3 bulan (Januari – Maret 2011), sebanyak 30

kali pengamatan pada dua tumbuhan yang berbeda, yaitu A. excelsa dan

S. wallichii dengan kemiringan lahan 70%. Pada masing-masing plot percobaan

dilakukan pengulangan sebanyak dua kali. Hasil pengukuran seluruh parameter

konservasi air dan tanah pada plot percobaan tegakan A. excels dan S. wallichii

(44)

4.2 Pembahasan dari Hasil Pengukuran Parameter Konservasi Air dan Tanah.

4.2.1 Curah Hujan

Pengamatan Curah hujan dilakukan sebanyak 30 kali kejadian hujan, yaitu

dimulai dari tanggal 6 bulan Januari 2011 hingga 5 Maret 2011. Pengamatan ini di

lakukan tiga kali pengulangan pada tempat terbuka, yang berdekatan dengan plot

sampel penelitian. Hasil pengukuran di lapangan dapat dilihat pada Tabel 1. Curah

hujan memiliki nilai yang bervariasi, dengan rata-rata curah hujan harian sebesar

9,67 mm dengan nilai tertinggi yaitu 41.4 mm dan terendah 4.3 mm. Total nilai

curah hujan selama 30 kali pengamatan yaitu 290.11 mm.

4.2.2 Aliran Batang

Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil pengukuran aliran batang pada dua

sampel tumbuhan, yaitu A. excelsa dan S. wallichii, terdapat perbedaan. Nilai

rata-rata aliran batang pada tumbuhan A. excelsa jauh lebih rendah dibandingkan

tumbuhan S. wallichii. Nilai rata-rata aliran batang pada A. excelsa yaitu 0.03 mm,

untuk 30 pengamatan dengan total 1.02 mm, sedangkan nilai rata-rata aliran

batang pada tumbuhan S. wallichii yaitu 0.04, dengan total 1.26 mm. Tingginya

aliran batang pada arsitektur pohon model Rauh berhubungan dengan pola

percabangannya. Percabangan pada arsitektur pohon model Rauh berbentuk

orthotropik, dan bentuk ini akan meningkatkan aliran batang, karena

cabang-cabang yang tumbuh vertikal berfungsi sebagai penampungan air hujan, yang

selanjutnya dialirkan ke batang. Berdasarkan hasil pengukuran terdapat perbedaan

yang singnifikan terhadap besarnya aliran batang A. excelsa dengan S.wallichii.

Kedua tumbuhan ini memiliki pola percabangan batang yang sedikit berbeda,

walaupun bentuk percabangan pada kedua tumbuhan ini orthotropik, tetapi arah

percabangan pohon A. excelsa lebih sedikit datar daripada pohon S.wallichii,

sehingga hal mempengaruhi kemampuan penyerapan air pada batang. Air hujan

yang jatuh pada percabangan pohon A. excelsa akan lebih cepat jatuh ke

permukaan tanah tanpa melalui batang dibandingkan dengan air hujan yang jatuh

(45)

condong ke atas daripada A. excelsa. Menurut Penman (1963), aliran batang akan

lebih besar pada tumbuhan yang memiliki percabangan tegak dan batang berkulit

licin. Percabangan tumbuhan S. wallichii lebih tegak dan lebih tinggi daripada

tumbuhan A. excelsa, selain itu diameter batang tumbuhan S. wallichii berukuran

1,5 m, lebih besar daripada tumbuhan A. excelsa yang hanya 0,8 m. Menurut

Dabral dan Rao (1968) dalam Aththorick semakin besar diameter pohon yang

diteliti, semakin besar aliran batang yang terjadi. Tekstur batang A. excelsa kulit

batang beralur ke samping, sedangkan pada batang S. wallichii kulit batang

beralur lurus ke bawah membentuk kanal. Dengan demikian, air yang mengalir

pada batang S. wallichii akan lebih besar dan cepat jatuh ke tanah. sehingga

sesuai dengan hasil pengamatan bahwa aliran batang tumbuhan S.wallichii lebih

besar dari pada tumbuhan A. excelsa. Selain daripada itu, diameter batang

tumbuhan S.wallichii lebih besar daripada tumbuhan A. excelsa, serta morfologi

kulit batang S.wallichii berbeda dengan A. excelsa. Pada kulit batang S.wallichii

terbentuk kanal-kanal kecil, morfologi seperti ini akan mempermudah air turun ke

permukaan tanah melalui batang, dengan demikian aliran batang pada S.wallichii

lebih besar daripada A. excelsa.

Peristiwa hujan merupakan salah satu rangkaian yang berperan dalam

peredaran unsur hara. Unsur hara yang ada di daun akan tercuci oleh air hujan.

Peredaran unsur hara dari atmosfer akan terbawa oleh air hujan melalui aliran

batang dan curahan tajuk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indra

Fermanto di DAS Cipeureu Hutan Gunung Walat Sukabumi tumbuhan S.wallichii

menyumbangkan 0,014-1,327 kg/ha/th, dengan urutan terbesar hingga terkecil

yaitu unsur nitrogen, kalium, pospor, kalsium, dan magnesium.

4.2.3 Curahan Tajuk

Berdasarkan hasil pengukuran selama 30 kali pengamatan diketahui bahwa

rata-rata curahan tajuk untuk tumbuhan A. excelsa yaitu 5,43 mm dengan total

162,79mm, sedangkan rata-rata curahan tajuk pada tumbuhan S. wallichii yaitu

4,02 mm, dengan total 120,60 mm (Tabel 1). Tingginya curahan tajuk pada

tumbuhan berhubungan erat dengan tebal tipisnya lapisan tajuk (strata) yang

(46)

A. excelsa memiliki tajuk yang lebih lebar daripada S. wallichii (A. excelsa

rata-rata 4,22 meter dan S. wallichii 3,67 meter). Sedangkan tajuk S. wallichii

(rata-rata 5,97 meter) lebih tebal dibandingkan dengan tajuk A. excelsa (rata-rata 4,77

meter), selain daripada itu, susunan daun A. excelsa kurang rapat dibandingkan

dengan susunan daun S. wallichii. Tata letak daun pada tumbuhan A. excelsa dan

S. wallichii berbentuk spiral, walaupun keduanya memiliki tata letak daun yang

spiral, tetapi memiliki deret fibonasi yang berbeda. Tumbuhan A. excelsa

memiliki deret fibonasi 1/3, sedangkan S. wallichii 2/5. Besar sudut divergensi

untuk tumbuhan A. excelsa adalah 1200 dan tumbuhan S. wallichii 900. Semakin

rapat tatak letak daun dari suatu tumbuhan maka semakin kecil nilai deret

fibonasinya. Terdapat hubungan yang positif anatara tata letak daun dengan

besarnya curahan tajuk dari suatu tumbuhan. Ditinjau dari tata letak daun dan

sudut divergensinya, tumbuhan S. wallichii memiliki tata letak daun yang lebih

rapat daripada A. excelsa. Dengan demikian tumbuhan S. wallichii memiliki

curahan tajuk yang lebih kecil daripada tumbuhan A. excelsa.

Curahan tajuk tidak hanya sekedar peristiwa turunnya air hujan melalui

tajuk semata, tetapi air yang mengalir tersebut akan mencuci unsur hara yang ada

di permukaan daun, sehingga peristiwa curahan tajuk ini berperan dalam

peredaran unsur hara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fermanto (2000) di

DAS Cipeureu Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi terhadap tumbuhan S.

Wallichii menunjukkan peristiwa curahan tajuk menyumbangkan unsur hara

cukup tinggi, yaitu berkisar antara 0 - 7,728 kg/ha/tahun, dengan urutan terbesar

hingga terkecil yaitu, N, K, P, Ca, dan Mg.

4.2.4 Intersepsi

Berdasarkan hasil pengukuran intersepsi menunjukkan bahwa intersepsi

curah hujan dari tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii cukup besar yaitu 30,38 %

dan 57,95 % (Tabel 2). Perbedaan besaran intersepsi pada kedua tumbuhan

tersebut di pengaruhi oleh indeks luas daun (LAI, leaf area index). Indeks luas

daun pada tumbuhan S. wallichii jauh lebih lebar daripada daun A.excelsa, dengan

demikian pada tumbuhan S. wallichii akan memiliki intersepsi lebih besar

Gambar

Gambar 2  Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Gambar 3  Denah lokasi pengambilan sampel di Hutan Pusat Konservasi  Alam
Gambar 4  Pengukuran aliran batang di hutan PPKAB Taman Nasional Gunung
Gambar 5  Cara pengukuran curahan tajuk di lokasi penelitian menggunakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Apabila dilihat dari jenisnya, penelitian ini digolongkan kepada penelitian hukum normatif, 10 yaitu usaha untuk mengolah data yang berhubungan dengan penerapan

Semakin banyak kadar tepung kacang merah pada kue kering dengan campuran tepung jagung dan tepung kacang merah, kandungan protein dan nilai cerna protein

Yang berakal salama akalnya belum terkalahkan oleh nafsunya, berkewajiban mengatur waktu-waktunya: ada waktu yang digunakan bermunajat (dialog) dengan Tuhannya, ada

Bank BTN juga harus menerapkan sistem internet banking untuk melayani nasabahnya dengan fasilitas transaksi e-commerce dengan cara bekerjasama dengan beberapa

merupakan tujuan utama dari strategi komunikasi yang diterapkan oleh Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintah Desa (BPMPD) provinsi Bali dalam menyebarkan

[r]

Rerata jumlah larva lebih rendah pada tepung sukun 91,50 ekor dibandingkan dengan rerata jumlah larva pada pakan yang lain, tetapi tidak berbeda nyata dengan rerata jumlah larva