KAJIAN ARSITEKTUR POHON MODEL RAUH DALAM
UPAYA KONSERVASI AIR DAN TANAH: STUDI KASUS
Altingia excelsa Noronha DAN Schima wallichii (DC.) Korth
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO
ENI NURAENI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Arsitektur Pohon Model Rauh dalam Upaya Konservasi Air dan Tanah: Studi Kasus Jenis Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Februari 2012
ABSTRACT
Study of Rauh Tree Architectural Model As an Effort to Conserve Water and Soil: A Case Study of Altingia excelsa Noronha and Schima wallichii (DC.) Korth in The Mount Gede Pangrango National Park. Supervised by DEDE SETIADI and DIDIK WIDYATMOKO
Tree architecture model is basically tree construction as a result of meristematic growth pattern. Tree architecture is closely associated with water and soil components, i.e rainfall, throughfall, stemflow, infiltration, surface run-off, and erosion. Two sample plots of 4 m x 8 m each were established, which one plot was to measure Altingia excelsa (Rasamala) and another plot for Schima wallichii (Puspa). Total rainfall, throughfall, stemflow, infiltration, surface run-off, and erosion were measured. Correlation coefficients between rainfall with erosion, throughfall with erosion, stemflow with erosion, and surface run-off with erosion were calculated and analized. For A. excelsa, the results showed that the intensity of rainfall observed was 290.11 mm, stem flow 0.03 mm, throughfall 5.43 mm, infiltration 0.51 ml/mm2/sec, surface run-off 3.45 mm, and erosion 169,91 kg/m2/month. While for S. wallichii, the amount of rainfall was 290.11 mm, stemflow 0.04 mm, throughfall 4.02 mm, infiltration 0.49 ml/mm2/sec, surface run-off 8.18 mm, and erosion 381,27 kg/m2/month. Compared to A. excelsa, S. wallichii had larger values for some parameters measured (i.e. stemflow, surface run-off, and erosion) indicate that on more than 50% land slope of the Mount Gede Pangrango National Park, individual plants of S. wallichii seemed to be more well adapted. However, individuals of A. excelsa possessed a more spreadly branching model, larger vertical width, and higher trunk height. Consequently individual plants of A. excelsa would generally able to conserve more water and soil better than S. wallichii plants.
RINGKASAN
ENI NURAENI. Kajian Arsitektur Pohon Model Rauh dalam Upaya Konservasi Air dan Tanah: Studi Kasus Altingia excelsa Noronha dan
Schima wallichii (DC.) Korth di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Dibimbing oleh DEDE SETIADI dan DIDIK WIDYATMOKO.
Model arsitektur pohon merupakan konstruksi bangunan dari sebuah pohon sebagai hasil dari pertumbuhan meristematik yang dikontrol secara morfogenik. Arsitektur pohon model Rauh memiliki ciri batang monopodial dengan pola pertumbuhan ritmik serta membentuk pola percabangan orthotropik. Model Rauh umumnya ditemukan pada kelompok tumbuhan berbiji. Selain itu model ini sering ditemukan pada tumbuhan yang tumbuh di pegunungan daerah tropis. Model arsitektur pohon memiliki hubungan dengan komponen-komponen konservasi air dan tanah, yaitu komponen curah hujan, curahan tajuk, aliran batang, dan aliran permukaan. Tumbuhan yang memiliki model arsitektur pohon yang sama, tidak selalu memiliki pengaruh yang sama terhadap parameter-parameter konservasi air dan tanah.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui besarnya aliran batang (stemflow), curahan tajuk (throughfall), infiltrasi, aliran permukaan dan erosi pada Altingia excelsa Noronha (Rasamala ) dan Schima wallichii (DC.) Korth (Puspa) yang memiliki arsitektur pohon model Rauh yang ditanam pada kemiringan lahan lebih dari 50% di lokasi lahan terdegradasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), dan mengetahui kemampuan tumbuhan dengan arsitektur pohon model Rauh yang ada di lokasi TNGGP terhadap konservasi air dan tanah yang baik, dalam upaya mengatasi bahaya erosi dan banjir pada ekosistem DAS Citarum.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan cara melakukan pengukuran terhadap parameter-parameter konservasi air dan tanah, meliputi curah hujan, curahan tajuk, aliran batang, infiltrasi, aliran permukaan, dan besarnya erosi, dengan menggunakan dua spesies target: A. excelsa dan S. wallichii.
mempunyai rata-rata aliran permukaan sebesar 8,18 mm (dengan total 245,25 mm). Nila erosi pada plot A. excelsa adalah 5,66 kg/m2/hari dengan total 169,91 kg/m2/bulan atau 1,23 ton/ha/tahun. Nilai erosi pada plot tegakan S. wallichii 12,71 kg/m2/hari dengan total 381,27 kg/m2/bulan atau 2,76 ton/ha/tahun.
Secara umum tumbuhan S. wallichii memiliki nilai lebih besar untuk beberapa parameter dibandingkan tumbuhan A. excelsa. Hal ini ditunjukkan pada lahan dengan kemiringan lebih dari 50% di daerah Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Tumbuhan yang sesuai untuk restorasi hutan tersebut adalah A. excelsa . Tumbuhan A. excelsa ini memiliki model percabangan yang lebar, vertikal, dan batangnya tinggi sehingga tumbuhan ini mampu mengkonservasi air dan tanah lebih optimal daripada S. wallichii .
©Hak Cipta milik IPB, tahun 2012
Hak Cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipaan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KAJIAN ARSITEKTUR POHON MODEL RAUH DALAM
UPAYA KONSERVASI AIR DAN TANAH: STUDI KASUS
Altingia excelsa Noronha DAN Schima wallichii (DC.) Korth
DI TAMAN NASIONAL GUNUNG GEDE PANGRANGO
ENI NURAENI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Biologi Tumbuhan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Tanggal Ujian: 24-11-2011 Tanggal Lulus: Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, M.S Ketua
Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc. Anggota
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Biologi Tumbuhan
Dr. Ir. Miftahudin, M.Si Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr Diketahui
Kajian Arsitektur Pohon Model Rauh dalam Upaya Konservasi Air dan Tanah: Studi Kasus Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth di Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango
Eni Nuraeni G353090071 Judul Tesis :
Nama :
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke khadirat Allah SWT, karena atas berkat
rahmat dan karunia-Nya, penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan baik,
meskipun masih banyak kekurangan yang perlu disempurnakan. Judul tesis ini
adalah Kajian Arsitektur Pohon Model Rauh dalam Upaya Konservasi Air dan
Tanah: Studi Kasus Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth
di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Penelitian ini
dilaksanakan dari bulan September 2010 sampai dengan bulan Maret 2011.
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih atas semua
bantuan dan dorongannya baik moril maupun materil, kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Dede Setiadi, MS dan Dr. Didik Widyatmoko, M.Sc yang telah
memberikan bimbingan dan dorongannya, sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan tesis ini.
2. Kepala Kebun Raya Cibodas, yang telah memfasilitasi dan memberikan
bantuan dananya dalam penelitian ini.
3. Kepala Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) dan Pusat
Penelitian Alam Bodogol (PPKAB), yang telah mengizinkan penulis untuk
melakukan penelitian di kawasan Hutan PPKAB.
4. Kementerian Agama RI, yang telah memberikan bantuan dananya, sehingga
penulis dapat mengikuti perkuliahan Pasca Sarjana S2 di lingkungan Institut
Pertanian Bogor (IPB).
5. Suami, Keluarga dan Teman-teman BUD, yang telah memberikan bantuan
dan motivasinya baik moril maupun materil selama penulis menyusun tesis
ini.
Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2012
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pandeglang pada tanggal 13 Februari 1985 dari ayah
Alm. Zukni dan ibu Iyot Syariah. Penulis merupakan putri ke delapan dari delapan
bersaudara.
Tahun 2003 penulis lulus dari MAN Pandeglang dan pada tahun yang
sama lulus seleksi ujian masuk perguruan tinggi Universitas Pendidikan Indonesia
melalui jalur PMDK. Penulis memilih jurusan Pendidikan Biologi, Fakultas
Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, tahun 2008 penulis berhasil
menyelesaikan pendidikan program S1. Kemudian penulis mengabdi sebagai guru
Madrasah Tsanawiyah di Yayasan Al-Falah Pandeglang.
Tahun 2009 penulis diterima di Program Studi Biologi Tumbuhan Sekolah
Pascasarjana IPB, melalui program beasiswa utusan daerah (BUD) yang
DAFTAR ISI
2.2 Arsitektur Pohon Model Rauh ... 8
2.2.1 Taksonomi Tanaman ... 9
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 19
3.2 Bahan dan Metode Penelitian ... 20
3.3 Pengukuran Parameter Konservasi Air dan Tanah ... 21
3.4 Analisis Data ... 26
4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 27
4.1 Hasil Pengukuran Parameter Konservasi Air &Tanah ... 27
4.2.5 Infiltrasi ... 31
4.2.6 Aliran Permukaan dan Erosi... 31
4.3 Hubungan Curah Hujan, Aliran Batang, Curahan Tajuk, Aliran Permukaan Terhadap Erosi ... 32
5 SIMPULAN DAN SARAN ... 37
5.1 Simpulan ... 37
5.2 Saran ... 38
DAFTAR PUSTAKA ... 39
DAFTAR GAMBAR
1. Arsitektur pohon Model Rauh ... .8
2. Peta lokasi penelitian di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango … ... 19
3. Denah lokasi pengambilan sampel di Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango . ... 19
4. Pengukuran aliran batang. ... 21
5. Cara pengukuran curahan tajuk. ... 22
6. Cara pengukuran laju infiltrasi. ... 22
7. Cara pengukuran curah hujan harian ... 23
8. Plot Percobaan Erosi ... 25
9. Interaksi antar parameter curah hujan (CH), tinggi aliran batang (Sfi), tinggi curahan tajuk (Tfi), aliran permukaan (Ap), Infiltrasi (If), dengan erosi (E) pada tumbuhan Altingia excelsa Noronha pada kemiringan lahan 70% dengan model arsitektur pohon Rauh di Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango . ... 33
10. Interaksi antar parameter curah hujan (CH), tinggi aliran batang (Sfi), tinggi curahan tajuk (Tfi), aliran permukaan (Ap), Infiltrasi (If), dengan erosi (E) pada tumbuhan S. wallichii (DC.) Korth pada kemiringan lahan 70% dengan model arsitektur pohon Rauh di Hutan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango . ... 35
DAFTAR TABEL
1. Pengukuran parameter konservasi air & tanah pada tumbuhan Altingia excelsa dan S. Wallichii di Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango...27 2. Jumlah air hujan, aliran batang, curahan tajuk dan intersepsi
pada tumbuhan Altingia excelsa dan S. Wallichii...27 3 . Matrik korelasi antar parameter konservasi air dan tanah pada
tumbuhan Altingia excelsa di Hutan PPKAB Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango...33 4. Matrik korelasi antar parameter konservasi air dan tanah pada
tumbuhan S. Wallichii di Hutan PPKAB Taman Nasional Gunung
Gede Pangrango...35
DAFTAR LAMPIRAN
1. Data Parameter Konservasi Air dan Tanah Pada Tumbuhan
Altingia excelsa di Lokasi Penelitian Kawasan Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol (PPKAB)Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango (TNGGP) ………... 43 2. Data Parameter Konservasi Air dan Tanah Pada Tumbuhan Schima wallichii
di Lokasi Penelitian Kawasan Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol
(PPKAB)Taman NasionalGunung Gede Pangrango (TNGGP)……... 45
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar BelakangTanah dan air merupakan sumber daya yang sangat vital bagi kehidupan
manusia. Tanah berfungsi sebagai media utama di mana manusia bisa
mendapatkan bahan pangan, sandang, papan, dan tambang. Tanah merupakan
tempat dilaksanakannya berbagai aktivitas di muka bumi. Air adalah zat yang
sangat esensial bagi makhluk hidup. Air tidak hanya dibutuhkan oleh manusia,
tetapi juga oleh seluruh makhluk hidup, termasuk hewan, tumbuhan, dan
mikroorganisme.
Kuantitas sumberdaya tanah dan air yang ada di bumi ini relatif tetap, tetapi
kualitasnya selalu berubah setiap saat. Fenomena lahan terdegradasi dan rawan
longsor makin mengemuka dan merupakan salah satu masalah lingkungan yang
cukup serius karena mempengaruhi kualitas ketersediaan sumberdaya tanah dan
air. Rangkaian peristiwa alam yang ekstrim seperti perubahan iklim, banjir,
kekeringan, dan kebakaran hutan terjadi silih berganti. Desakan kebutuhan
manusia dalam bentuk penggunaan lahan meningkat secara tajam dan massif dari
waktu ke waktu, terutama untuk ekstraksi dan bukan pemanfaatan secara
berkelanjutan. Jika hal ini terus berlanjut, maka manusia akan menemui kesulitan
besar dalam memenuhi kebutuhan bahan pangan dan lahan untuk tempat tinggal.
Kekhawatiran ini akan semakin kuat jika dikaitkan dengan keberadaan
sumberdaya air, di mana siklus hidrologinya sudah mulai terganggu. Laporan
World Bank (2007) memprediksikan bahwa perubahan iklim untuk kawasan
Indonesia mengakibatkan peningkatan curah hujan sebesar 2-3%, sehingga dapat
dipastikan akan meningkatkan risiko terjadinya bencana alam, seperti banjir,
terutama pada lahan terdegradasi dan rawan longsor. Kejadian longsor tidak hanya
ditemui di daerah pemukiman warga, tetapi juga sering terjadi di kawasan hutan.
Tanah longsor merupakan proses perpindahan tanah dari dataran tinggi ke
dataran yang lebih rendah, dan akan berakhir setelah mencapai keseimbangan
baru. Tanah longsor muncul akibat adanya banjir, lereng yang curam, lapisan di
dalam tanah (Arsyad 2006). Banjir akan terjadi jika tidak tersedia daur air yang
efektif, sehingga mengakibatkan memadatnya permukaan tanah dan berkurangnya
daya serap. Untuk mencegah munculnya banjir, perlu adanya daur air yang
efektif, ketersediaan tumbuhan di hutan dan kondisi DAS yang terjaga fungsinya.
Tumbuhan memiliki kemampuan untuk menyerap air yang tinggi dan mengatur
siklus hidrologinya.
Peristiwa lahan terdegradasi dan rawan longsor mudah ditemui dan menjadi
masalah khas pada ekosistem daerah aliran sungai (DAS). Ekosistem DAS
merupakan bagian penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap
DAS. Sekitar 117 dari 141 DAS di pulau Jawa kondisinya telah rusak (Dephut
2008), diantaranya termasuk DAS prioritas I Jawa Barat yaitu Cisadane, Ciliwung
dan Cisadane. Keberadaan DAS ini sangat vital karena merupakan kawasan
tangkapan air (catchment areas) serta pusat pertumbuhan ekonomi, energi
pendidikan, wisata, serta sekaligus sebagai penyangga wilayah ibu kota negara
Jakarta. Luas total lahan terdegradasi di DAS Cisadane, Ciliwung, dan Cisadane
mencapai 127, 977, 10 ha atau 16, 89 %.
Badan Pengelola Lingkungan Hidup Jawa Barat menyatakan bahwa sekitar
54 % dari tutupan hutan di DAS Cisadane telah hilang dalam periode 1983-2002
(Simamora 2007). Hal ini disebabkan oleh adanya konversi lahan pertanian
menjadi perumahan (peningkatan 233%) dan kawasan industri (peningkatan
868%) dan berkontribusi dalam pengurangan air di daerah tangkapan air. Kasus
kehilangan area hutan sebesar 30,3% dan area kebun campuran sebesar 11,9 % di
kawasan Puncak (periode 1972-2005) menjadi contoh riil disfungsi DAS
Ciliwung.
Merujuk Undang-Undang No. 26 tahun 2007, pasal 17 ayat 5 tentang Tata
Ruang, bahwa dalam rangka pelestarian lingkungan, maka 30% dari luas DAS
harus ditetapkan sebagai kawasan hutan atau menjadi kawasan hijau, yang
berfungsi sebagai lahan konservasi air dan tanah, sehingga mampu untuk
mengurangi laju erosi dan banjir yang mengakibatkan terhadap kerusakan
lingkungan seperti tanah longsor dan sedimentasi.
Pemikiran di atas memberi gambaran dengan jelas betapa pentingnya
telah terjadi penurunan kualitas dan kuantitas kedua sumberdaya tersebut.
Dibutuhkan usaha-usaha konservasi sumberdaya air dan tanah secara luas untuk
mengurangi bencana alam yang mengancam kelangsungan hidup manusia dan
makhluk hidup lainnya. Penanganan lahan terdegradasi dan rawan longsor pada
ekosistem DAS dapat Cisadane dilakukan dengan cara restorasi dan rehabilitasi
ekosistem. Dalam penelitian, peneliti lebih memfokuskan terhadap upaya restorasi
ekosistem. Restorasi ekosistem merupakan proses pengkondisian ekosistem
(tanah, vegetasi, dan hidupan liar) untuk mencapai pola dan profil yang serupa
dengan kondisi sebelum terjadinya kerusakan ekosistem, baik dari segi
komposisi, struktur maupun fungsinya.
Keberadaan vegetasi penutup di dalam suatu kawasan hutan akan
mempengaruhi langsung maupun tidak langsung terhadap proses biologi, baik
fisik dan kimia tanah. Setiap jenis tumbuhan hutan mempunyai karakteristik
sendiri-sendiri dalam melindungi tanah dan tata air. Hal ini disebabkan setiap
tumbuhan memiliki sistem perakaran, bentuk tajuk, dan penutupan tanah yang
berbeda (Soper dan Lull 1967, dalam Ginting AN & Semadi IGK 1996).
Perbedaan ini akan mempengaruhi kemampuan setiap tumbuhan dalam
mengevapotranspirasikan air hujan serta menyimpan air pada permukaan tanah.
Dalam upaya konservasi air dan tanah di area lahan restorasi hutan Taman
Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), pemilihan jenis pohon yang
digunakan akan sangat mendukung keberhasilan usaha konservasi ini. Pemilihan
spesies untuk restorasi kawasan lindung dilakukan dengan cara penapisan secara
ekologi, yaitu dengan mencontoh profil karakteristik vegetasi alami yang ada di
kawasan sekitarnya. Tumbuhan Schima wallichii dan Altingia excelsa merupakan
tumbuhan dominan yang ada di TNGGP. Berdasarkan hasil penelitian Arijani
et.al (2006) nilai frekuensi Schima wallichii yang ada di TNGGP yaitu 86,67%,
sedangkan A. excelsa memiliki nilai frekuensi 73,33% dari 30 plot penelitian.
Kedua nilai ini menggambarkan bahwa tumbuhan S. wallichii dan A.excelsa
tersebar dengan luas dan memiliki kerapatan yang sangat tinggi. Dengan demikian
untuk mendukung usaha konservasi air dan tanah ini, maka dilakukan kajian
terhadap arsitektur pohon model Rauh dari tumbuhan S. wallichii dan A. excelsa
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan
penelitian sebagai berikut:
“Bagaimana keterkaitan arsitektur pohon model Rauh pada Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth terhadap konservasi air dan tanah di
lahan terdegradasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango”.
Rumusan masalah tersebut dapat dijabarkan dengan beberapa pertanyaan
penelitian sebagai berikut:
1. Berapa besarnya aliran batang (stemflow), curahan tajuk (throughfall),
infiltrasi, aliran permukaan dan erosi pada plot percobaan tumbuhan A.
excelsa dan S. wallichii?
2. Apakah terdapat korelasi antar parameter yang sudah diukur dari tumbuhan
A. excelsa dan S. wallichii dengan nilai erosi yang terjadi pada setiap plot
percobaan tersebut?
3. Apakah terdapat perbedaan kemampuan mengkonservasi air dan tanah dari
kedua jenis tumbuhan percobaan tersebut?
4. Faktor apa yang mempengaruhi dari dua jenis tumbuhan yang memiliki
arsitektur pohon model Rauh tersebut dapat mengkonservasi air dan tanah
dengan baik?
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
a. Mengetahui besarnya aliran batang (stemflow), curahan tajuk (throughfall),
infiltrasi, aliran permukaan, dan erosi pada tumbuhan yang memiliki
arsitektur pohon model Rauh yang ditanam pada kemiringan lahan lebih
dari 50% di lokasi lahan terdegradasi dan restorasi di Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango (TNGGP).
b. Mengetahui korelasi antar parameter konservasi air dan tanah dari kedua
plot percobaan, yaitu plot tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii.
c. Mengetahui perbedaan kemampuan tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii
restorasi di TNGGP dalam upaya mengatasi bahaya erosi dan banjir pada
ekosistem DAS Cisadane.
d. Mengidentifikasi faktor-faktor yang menentukan kemampuan tumbuhan A.
excelsa dan S. wallichii dalam mengkonservasi air dan tanah.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai:
a. Peran dari model arsitektur pohon yang ada di lokasi lahan terdegradasi dan
restorasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) yang
mampu mengkonservasi air dan tanah sebagai upaya mengatasi bahaya erosi
dan banjir pada ekosistem DAS Cisadane.
b. Jenis tumbuhan yang mampu mengkonservasi air dan tanah secara baik
sebagai upaya mengatasi bahaya erosi dan banjir pada ekosistem DAS
Cisadane.
1.5. Asumsi
Berdasarkan perumusan masalah di atas dan diperkuat oleh kajian teori,
maka penulis berasumsi bahwa:
a. Aliran batang yang terjadi pada tumbuhan Rasamala (A. excelsa) dengan
model arsitektur Rauh merupakan faktor yang paling berpengaruh terhadap
terjadinya pengurangan erosi (Utami 2011).
b. Erosi pada arsitektur pohon model Rauh tumbuhan S. wallichii lebih besar
dibandingkan model Rauh pada tumbuhan P. merkusii (Aththorick 2000).
c. Empat faktor utama yang terlibat dalam proses erosi diantaranya adalah
iklim, sifat tanah, topografi, dan vegetasi penutup lahan (Legowo 2002
1.6. Hipotesis Penelitian
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas, maka penulis membuat hipotesis bahwa:
a. Kemampuan mengkonservasi air dan tanah dari tumbuhan A. excelsa dan
S. wallichii berkorelasi dengan pola percabangan, tipe tajuk, diameter
batang, serta infiltrasi dari tanah habitatnya.
b. Terdapat hubungan positif antara parameter curah hujan, curahan tajuk,
aliran batang, dan aliran permukaan terhadap erosi pada tumbuhan
A. excelsa dan S. wallichii yang memiliki arsitektur pohon model Rauh di
lokasi lahan terdegradasi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
c. Terdapat perbedaan kemampuan dalam mengkonservasi air dan tanah dari
tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii yang memiliki arsitektur pohon model
Rauh pada lokasi lahan terdegradasi di Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango.
d. Terdapat hubungan positif antara diameter batang dengan kemampuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Model Arsitektur Pohon
Model arsitektur pohon pada dasarnya merupakan konstruksi bangunan dari
sebuah pohon sebagai konsekuensi dari pola pertumbuhan meristematik yang
dikontrol secara morfogenik. Elemen-elemen dari suatu arsitektur pohon terdiri
atas pola pertumbuhan batang, percabangan, dan pembentukan pucuk terminal.
Pola pertumbuhan dapat bersifat ritmik atau kontinu. Pertumbuhan ritmik
memiliki suatu periodisitas dalam proses pemanjangannya yang secara morfologi
ditandai dengan adanya segmentasi pada batang atau cabang. Pertumbuhan
kontinu tidak memiliki periodisitas dan tidak ada segmentasi pada batang atau
cabang. Pola percabangan dapat dibedakan atas pola sylepsis (percabangan yang
dibentuk dari meristem lateral dengan perkembangan kontinu) dan pola
percabangan prolepsis (percabangan yang terbentuk secara diskontinu dengan
beberapa periode istirahat dari meristem lateral). Pertumbuhan tunas pada
jenis-jenis pohon dapat dibedakan menjadi dua, yaitu orthotropik dan plagiotropik.
Pertumbuhan tunas jenis orthotropik dicirikan oleh pucuk yang terbentuk
berorientasi tumbuh secara vertikal dan tidak sering berbunga, sedangkan pada
pertumbuhan tunas jenis plagiotropik yaitu pucuk yang terbentuk berorientasi
tumbuh secara horizontal dan sering menghasilkan bunga. (Halle et al. 1978).
Menurut Halle et al . (1978), model arsitektur pohon dapat dibedakan dalam
4 karakteristik utama, yaitu:
a. Pohon tidak bercabang yaitu bagian vegetatif pohon hanya terdiri dari satu
aksis dan dibangun oleh sebuah meristem soliter, contohnya model Holtum
dan Corner.
b. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang ekivalen dan orthotrofik,
contohnya model Tomlinson, Chamberlain, Leuweunberg, dan Schoute.
c. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif yang non ekivalen, contohnya
model Prevost, Rauh, Cook, Kwan-koriba, Fagerlind, Petit, Aubreville,
d. Pohon bercabang dengan aksis vegetatif campuran ada yang ekivalen dan
non ekivalen, contohnya model Troll, Champanat, dan Mangenot.
2.2. Arsitektur Pohon Model Rauh
Asal usul penamaan model arsitektur pohon ini diberikan oleh Rauh yang
telah mendeskripsikan arsitektur pohon-pohon temperate (Rauh, 1939 dalam
Halle et al. 1978). Arsitektur pohon model Rauh adalah model arsitektur pohon
memiliki ciri batang monopodial dengan pola pertumbuhan ritmik serta
membentuk pola percabangan orthotropic (Gambar 1). Pola percabangan ini
berhubungan dengan batang perbungaannya, di mana umumnya lateral.
Percabangan pada arsitektur pohon model Rauh berbentuk orthotropik. Bentuk
ini akan meningkatkan aliran batang, karena cabang-cabang yang tumbuh vertikal
berfungsi sebagai penampung air hujan, yang selanjutnya dialirkan ke batang.
Fellizar (1976) mengemukakan bahwa aliran batang merupakan bagian dari curah
hujan yang ditahan oleh tajuk vegetasi, kemudian mengalir melalui batang dan
akhirnya sampai ke permukaan tanah. Arsitektur pohon model Rauh umumnya
ditemukan pada kelompok tumbuhan berbiji. Selain itu, model ini sering
ditemukan pada tumbuhan yang tumbuh di pegunungan daerah tropis. Contoh
tumbuhan yang memiliki arsitektur pohon model Rauh adalah anggota suku
Lauraceae, Elaeocarpaceae, Theaceae, Altingiaceae, dan Hamamelidaceae.
Gambar 1 Arsitektur Pohon Model Rauh. ( ) Aliran curahan tajuk, ( ) aliran batang (Halle et al. 1978).
Altingia excelsa Noronha dan Schima wallichii (DC.) Korth merupakan
contoh tumbuhan yang memiliki arsitektur pohon model Rauh. Kedua tumbuhan
ini berasal dari famili yang berbeda, akan tetapi memiliki beberapa kesamaan
dalam pola percabangannya yaitu pola percabangan orthotropik. Berikut ini
deskripsi dari kedua tumbuhan tersebut:
2.2.1 Taksonomi Tanaman
1. Schima wallichii (DC.) Korth (Puspa)
Kingdom : Plantae (Tumbuhan)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Ordo: Theales Famili : Theaceae
Genus : Schima
Spesies : Schima wallichii (DC.) Korth
2. Altingia excelsa Noronha (Rasamala) Kerajaan : Plantae
Superdivisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida
a. Schima wallichii (DC.) Korth (Puspa)
Nama latin dari tumbuhan Puspa adalah Schima wallichii (DC.) Korth.
Tumbuhan ini termasuk dalam famili (suku) Theaceae, yang terdiri dari empat
subspesies, yaitu S. wallichii Korth. ssp. bancana Bloemb, S. wallichii Korth. ssp.
crenata Bloemb, S. wallichii Korth. ssp. noronha Bloemb, dan S. wallichii Korth.
ssp. oblata Bloemb. Penyebaran Puspa secara alami meliputi Semenanjung
Malaya, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Bengkulu,
Lampung, seluruh Jawa, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan
Tinggi pohon mencapai 40 m, dengan panjang batang bebas cabang sampai
25 m, diameter batang 150 cm, tidak berbanir, kulit luar berwarna merah muda,
merah tua sampai hitam, beralur dangkal dan mengelupas, kulit hidup tebalnya
sampai 15 mm, berwarna merah dan di dalamnya terdapat miang yang gatal.
Daunnya tunggal, tebal, permukaan hijau kebiru-biruan, berbentuk jorong,
tajuknya bulat sampai lonjong (Martawijaya et al. 1989).
Di Jawa Barat Puspa merupakan tumbuhan asli, sering terdapat pada
ketinggian 100-1500 m dpl. Pohon ini juga memiliki daya hidup (kesintasan) yang
cukup tinggi dengan kulit kayu yang tebal sehingga tahan api. Pada saat roboh
anakan akan cepat tumbuh terutama pada saat hujan turun membasahi lantai
hutan. Tegakan Puspa dari kejauhan daun berwarna hujau tua ini sangat kontras
dengan daunnya yang muda berwarna kemerahan saat musim hujan. Bunganya
yang berwarna putih berjatuhan di atas serasah dengan benang sari kuning
sehingga menarik satwa untuk menikmati. Kera ekor panjang (Macaca
fascicularis) merupakan jenis mamalia yang hidup di pohon pucuk daun puspa
merupakan santapan lezat bagi jenis primata ini.
b. Altingia excelsa Noronha ( Rasamala)
Nama latin dari tumbuhan Rasamala adalah Altingia excelsa Noronha,
anggota famili Hammalidaceae. Tumbuhan ini menyebar mulai dari Himalaya
menuju wilayah lembab di Myanmar hingga kawasan Semananjung Malaysia,
Sumatera, dan pulau Jawa. Di Pulau Jawa, jenis tumbuhan ini hanya tumbuh di
wilayah barat yang memiliki ketinggian 500-1500 m dpl atau di hutan bukit atau
pegunungan yang lembab. A. excelsa di wilayah Sumatera tersebar di daerah
Bukit Barisan. A. excelsa akan tumbuh subur pada daerah yang memiliki curah
hujan 100 mm perbulan dan jenis tanahnya vulkanik. Tinggi tanaman ini dapat
mencapai 40-60 m dengan tinggi bebas cabang 20-35 m dan diameter 80 cm
(Martawijaya et al. 1989).
Kulit luar Rasamala berwarna coklat muda atau kelabu. Kulit kayunya
halus, abu-abu, dan warna kayu merah. Pada pohon yang masih muda memiliki
tajuk yang rapat dan berbentuk piramid. Dengan bertambahnya usia tanam, maka
bentuknya lonjong, memiliki panjang 6-12 cm, lebarnya 2,5-5,5 cm, tepi daun
bergerigi halus. Bunga berkelamin satu, bunga jantan, dan betina terpisah pada
pohon yang sama. Malai betina terdiri dar 14-18 bunga, berkumpul membentuk
menyerupai kepala (Martawijaya et al. 1989). Kayunya sangat awet walaupun
diletakkan langsung bersentuhan dengan tanah. Karena batang bebas cabangnya
tinggi, maka kayunya cocok untuk kerangka jembatan, tiang, konstruksi, tiang
listrik dan telepon, serta penyangga rel kereta api. Selain itu, kayunya
dimanfaatkan untuk konstruksi berat, rangka kendaraan, perahu dan kapal, lantai,
rakit, finir, dan plywood. Daun yang masih muda berwarna merah sering untuk
sayur atau lalap. Di Jawa, daun yang telah ditumbuk halus digunakan sebagai
obat batuk. Getahnya berbau aromatik sebagai pengharum ruangan (Agus et al.
2002)
2.3 Konservasi Air dan Tanah
Air merupakan bagian terpenting dari sumber daya alam yang mempunyai
karakteristik unik dibandingkan dengan sumber daya lainnya. Air merupakan
sumber daya yang terbarukan dan bersifat dinamis, artinya sumber utama air yang
berupa hujan akan selalu datang sesuai dengan waktu atau musimnya sepanjang
tahun. Di Indonesia yang memiliki musim penghujan dan musim kemarau
sepanjang tahun, jumlah air yang berada di suatu wilayah tergantung dari kedua
musim tersebut. Pada waktu musim penghujan, jumlah air meningkat sangat
tinggi. Secara alami air mengalir dari hulu ke hilir, dari daerah yang lebih tinggi
ke daerah yang lebih rendah. Air mengalir di atas permukaan tanah akan tetapi air
juga mengalir di dalam tanah. Dalam jumlah tertentu, air juga dapat
mengakibatkan bencana. Jumlah air terlalu besar di suatu lokasi mempunyai
kekuatan yang sangat besar dan destruktif yang sering disebut dengan banjir.
Peristiwa banjir akan mengakibatkan kerugian bagi makhluk hidup. Dalam jumlah
yang terlalu sedikit di suatu lokasi, air juga menimbulkan bencana yang sering
disebut bencana kekeringan (drought) (Kodoatie 2008). Berdasarkan kedua
permasalahan ini, pengelolaan sumberdaya air terpadu memiliki peran yang
sangat penting untuk mengatasi persoalan sumberdaya air yang sangat kompleks
yang berkelanjutan, pengendalian daya rusak air serta menempatkan air dalam
dimensi-dimensi sosial, budaya, ekonomi, hukum, kelembagaan, dan lingkungan
yang harmoni.
Aliran air sangat tergantung pada kondisi tata guna lahan di permukaan
bumi. Bila tidak ada daerah yang bisa menyerap air atau menahan laju aliran air
maka pada waktu musim hujan air akan mengalir langsung ke laut. Pada musim
kemarau, keberadaan air di suatu tempat tergantung pada kuantitas dan kualitas
resapan dan penahan air yang baik. Kebutuhan air di suatu area dapat terpenuhi
pada musim kemarau jika masih ada air yang tertampung dan terhenti, misalnya:
waduk, danau, retensi, dan cekungan, serta air yang meresap di dalam tanah
sehingga membentuk air tanah, sumur, dan spring (R J Kodoatie 2008).
Tanah merupakan salah satu faktor terpenting bagi kehidupan manusia.
Banyak sekali fungsi tanah yang dimanfaatkan oleh makhluk hidup. Sebagai
sumber daya yang banyak digunakan, tanah dapat mengalami pengikisan (erosi),
dan pengikisan ini diakibatkan oleh bekerjanya gaya-gaya dari agen penyebab,
misalnya air hujan dan angin. Konservasi tanah merupakan sebuah upaya untuk
mendapatkan tingkat keberlanjutan produksi lahan dengan cara menjaga laju
kehilangan tanah tetap berada di bawah ambang batas yang diperkenankan. Secara
teoritis dapat dikatakan bahwa laju erosi harus lebih kecil atau sama dengan laju
pembentukan tanah (Suripin 2001). Sumberdaya alam utama, yaitu tanah dan air,
pada dasarnya merupakan sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, akan tetapi
mudah mengalami kerusakan atau degradasi. Kerusakan tanah dapat terjadi oleh
(1) kehilangan unsur hara dan bahan organik di daerah perakaran, (2)
terkumpulnya garam di daerah perakaran (salinisasi), terkumpulnya atau
terungkapnya unsur atau senyawa yang merupakan racun bagi tanaman, (3)
penjenuhan tanah oleh air (waterlogging), dan erosi. Kerusakan tanah oleh satu
atau lebih proses tersebut menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah untuk
mendukung pertumbuhan tanaman atau menghasilkan barang atau jasa
(Suripin 2001).
Kerusakan air dapat berupa timpangnya distribusi air secara temporal,
hilangnya atau mengeringnya sumber air, dan menurunnya kualitas air. Semua ini
oleh kandungan sedimen yang bersumber dari erosi atau kandungan bahan-bahan
atau senyawa limbah rumah tangga, limbah industri atau limbah pertanian
(Suripin 2001). Secara alami tanah mengalami pengikisan (erosi). Erosi seperti ini
sering disebut dengan erosi geologi atau geological erosion. Erosi jenis ini tidak
berbahaya karena lajunya seimbang dengan pembentukan tanah di tempat
terjadinya erosi tersebut. Kehadiran manusia sejak pertama kali di bumi ini,
menimbulkan dampak negatif, yaitu disadari atau tidak, terjadi peningkatan laju
erosi. Erosi ini terjadi akibat adanya perubahan pola penutupan, dari pola alami
menjadi pola buatan manusia. Erosi ini dikenal sebagai “erosi dipercepat”
(accelerated erosion).
Indonesia merupakan salah satu negara yang beriklim tropis, pengaruh iklim
sangat berkaitan erat dengan curah hujan dan temperatur. Curah hujan dan
intensitas hujan yang tinggi memiliki daya penghancuran yang tinggi terhadap
agregat tanah sehingga agregat tanah menjadi partikel-partikel yang mudah
terhanyutkan. Kecepatan dan arah angin kadang-kadang dapat pula memindahkan
partikel-partikel tanah.
Tanah di Indonesia umumnya berasal dari abu vulkanik, dan tanah-tanah
demikian mudah sekali terkena erosi. Selain itu, jenis tanah yang ada di Indonesia
merupakan jenis tanah podsolik atau tanah latosol yang memiliki warna yang
cukup khas, yaitu berwarna merah kekuning-kuningan sampai merah cokelat
(Kartasoeputra 2005). Tanah podsolik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. kesuburan kimiawi rendah atau miskin akan zat-zat hara tanaman.
b. reaksi tanah adalah masam.
c. solumnya dangkal atau top soilnya tipis.
d. mudah tererosi serta sifat-sifat fisiknya buruk sampai medium.
e. selalu berasosiasi dengan tanah hidromorf kelabu, tanah lateritis, dan tanah
podsol.
f. produktivitas tanahnya berkisar dari tingkatan rendah sampai sedang, dan
g. sebagian lahan pertanian sangat memerlukan pemupukan lengkap (N-P-K),
liming atau pengapuran dan pengendalian erosi.
Ditinjau dari ciri-ciri tanah tersebut tindakan konservasi perlu dilakukan,
Berikut ini beberapa data hasil penelitian mengenai konservasi tanah dalam
pencegahan erosi yang pernah dilakukan oleh Lembaga Penelitian Tanah, Bogor
(1975). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui erodibiltas tanah, vegetasi dan
cara-cara pengelolaan dan pendayagunaan tanah terhadap besarnya erosi yang
dilakukan pada 9 tempat yang meliputi tanah-tanah:
a. Jenis podsolik merah kuning di Janlapa – Jasinga
b. Jenis latosol coklat kemerahan di sekitar Bogor
c. Jenis andosol di Ciwidey, Ciparay
d. Jenis grumosol di Rembang
e. Jenis regosol di Klakah, Tengger.
Keberadaan tumbuhan sangat dibutuhkan dalam upaya mengurangi laju
erosi. Dengan kata lain bahwa keberadaan hutan mempunyai peranan penting
terhadap kepentingan dan usaha manusia, seperti halnya peranan hutan terhadap
pengawetan (konservasi) tanah dan air (Kartasapoetra et al.2005).
2.3.1 Aliran batang
Aliran batang merupakan bagian dari curah hujan yang ditahan oleh tajuk
vegetasi, kemudian mengalir melalui batang dan sampai ke permukaan tanah.
Aliran batang juga merupakan peubah yang penting dalam studi ekologi dan
kelembaban tanah berhutan (Fellizar 1976). Arsyad (2006) mengemukakan bahwa
air hujan yang mengenai tajuk sebagian akan melekat sementara pada daun dan
batang, yang disebut dengan air intersepsi, sebagian akan mengalir pada batang
sampai ke permukaan tanah. Menurut Lull (1952) aliran batang dipengaruhi oleh
bentuk batang, curah hujan, dan bentuk hujan yang telah diintersepsi atau tanpa
intersepsi oleh tajuk. Jumlah air hujan yang sampai ke tanah melalui aliran batang
tergantung pada besarnya sudut yang dibentuk oleh batang tumbuhan terhadap
tanah (Van Elewijk 1988, dalam Arsyad 2006). Sedangkan menurut Parker
(1983) bahwa jumlah aliran batang dipengaruhi oleh kehalusan kulit batang dan
sudut batang dan cabang. Air yang sampai ke permukaan tanah, melalui aliran
butir-butir tanah. Kekuatan perusak air aliran batang akan terjadi setelah berubah
menjadi aliran permukaan (Arsyad 2006).
2.3.2 Curahan tajuk
Curahan tajuk (throughfall) merupakan bagian dari air hujan yang jatuh ke
atas permukaan tanah melalui celah-celah tajuk dan atau berupa limpasan dari
daun, ranting atau cabang pohon (Lull 1952). Pada kawasan hutan, curahan tajuk
merupakan bagian dari curahan hujan yang jatuh permukaan lantai hutan setelah
melalui struktur lapisan tajuk yang rapat, mulai dari tajuk pohon yang dominan
hingga ke lapisan semak belukar dan serasah (Zinke 1967).
Menurut Zinke (1967) besarnya curahan tajuk sangat dipengaruhi oleh
beberapa faktor, yaitu tebalnya lapisan tajuk (strata), jenis-jenis pohon yang
membentuk tegakan, suhu, dan kecepatan angin. Hasil penelitian Aththorick
(2000) di daerah hutan pendidikan Gunung Walat Sukabumi, menunjukkan
bahwa persentase curahan tajuk pada model arsitektur Masart yang diwakili oleh
tumbuhan A. damara sebesar 87,23% lebih besar dari pada model arsitektur
pohon Rauh yang diwakili oleh tumbuhan S. wallichii sebesar 77,97%. Unsur
iklim yang mempengaruhi curahan tajuk yaitu suhu, kecepatan angin, selisih
waktu kejadian hujan, dan waktu terjadinya hujan (siang atau malam)
(Manokaran 1979).
2.3.3 Intersepsi
Intersepsi adalah bagian dari curahan hujan yang tertahan oleh tajuk
vegetasi sehingga tidak sampai ke permukaan tanah, kemudian diuapkan kembali
ke atmosfir (Lutz dan Chandler 1965). Secara kuantitatif intersepsi merupakan
perbedaan antara curah hujan total dengan jumlah curahan tajuk dan aliran batang.
Menurut Rutter et al.(1971). Intersepsi adalah peristiwa evaporasi sejumlah air
yang tercegat pada permukaan daun dan permukaan batang dari curah hujan yang
jatuh di atasnya. Evavorasi ini merupakan parameter dari total evaporasi areal
yang berhutan. Intersepsi terdiri dari aliran batang yang tidak mencapai
permukaan tanah, air yang dievaporasikan selama hujan, dan sejumlah air yang
Secara kuantitatif intersepsi adalah perbedaan curah hujan dengan jumlah curahan
tajuk dan aliran batang.
Menurut Zinke (1967) faktor-faktor yang mempengaruhi intersepsi
diantaranya adalah kapasitas tajuk (S), porositas tajuk (P) dan tahanan
aerodinamika (ra). Kapasitas tajuk merupakan tebalnya air pada luasan penutup
vegetasi yang dapat disimpan atau ditahan oleh tajuk vegetasi pada saat kejadian
hujan. Kapasitas hujan dapat menggambarkan jumlah air yang tertinggal pada
tajuk ketika hujan berlangsung dan sampai curahan tajuk berhenti, sedangkan
porositas hujan menggambarkan bagian dari air hujan yang jatuh ke permukaan
tanah tanpa melalui tajuk (Gash dan Morto 1978). Tahanan aerodinamika
merupakan hambatan melintang dari pertukaran uap air, panas, dan momentum
antar tajuk vegetasi dengan udara di atasnya jika mempunyai nilai gradien yang
tetap (Monteith, 1976).
Faktor iklim yang mempengaruhi intersepsi adalah keadaan musim dan
intesitas hujan, bila curah hujan sangat kecil atau intensitas curah hujan rendah,
umumnya sebagian besar air hujan yang tertahan oleh tajuk vegetasi dan langsung
diluapkan, akan tetapi apabila curah hujan besar dengan intensitas tinggi maka
kan lebih banyak air hujan yang jatuh ke permukaan tanah/lantai hutan. Dengan
demikian persentase intersepsi menjadi rendah (Wiersum et al 1979). Menurut
Manokaran (1979) faktor suhu, kelembaban udara, dan kecepatan angin
mempengaruhi air yang akan terintersepsikan untuk berevaporasi selama dan
setelah hujan.
2.3.4 Infiltrasi
Infiltrasi merupakan peristiwa masuknya air ke dalam tanah yang umumnya
melalui permukaan dan secara vertikal. Jika cukup air maka infiltrasi akan
bergerak terus ke bawah yaitu ke dalam profil tanah. Laju infiltrasi adalah
banyaknya air per satuan waktu yang masuk melalui permukaan tanah, dinyatakan
2.3.5 Aliran permukaan
Aliran permukaan merupakan bagian dari air hujan yang jatuh di atas
permukaan tanah karena tidak dapat diabsorbsi oleh tanah dan tidak mengumpul
di permukaan kemudian mengalir ke bawah melalui lereng dan akhirnya
mengumpul di saluran atau sungai (Arsyad 2006). Aliran permukaan sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya curah hujan, jenis tanah, luas
daerah aliran, jenis tanaman serta jenis pengolahan tanah (Arsyad 2006).
Kecepatan aliran permukaan akan dipengaruhi oleh kecepatan jatuhnya butir-butir
hujan, besarnya intersepsi oleh tanaman, infiltrasi, defresi, dan evaporasi.
Sedangkan banyaknya air yang terkumpul untuk membentuk aliran permukaan
ditentukan oleh luas daerah, tofografi, dan bentuk daerah (Hudson 1979). Menurut
Arsyad (2006) jumlah aliran permukaan menyatakan jumlah air yang mengalir di
permukaan tanah untuk suatu masa hujan atau masa tertentu dinyatakan dalam
tinggi kolom air (mm atau cm) atau dalam volume air (m3).
2.4 Erosi
Erosi adalah lepasnya material padat (sedimen, tanah, batuan, partikel lain)
dari batuan induknya oleh air, angin, es, gaya gravitasi, atau organisme. Erosi
pada dasarnya merupakan proses perataan kulit bumi. Proses ini terjadi dengan
penghancuran, pengakutan, dan pengendapan. Di alam ada dua komponen utama
yang aktif dalam proses ini yakni angin dan air. Akan tetapi dengan adanya
aktifitas manusia di alam, maka manusia menjadi faktor yang sangat penting
dalam mempengaruhi erosi ( Kartasapoetra et al 2005). Menurut Arsyad (2006)
erosi merupakan peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-bagian
tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami, yaitu air dan angin.
Dalam buku kamus konservasi tanah dan air, erosi dibedakan menjadi 3, yaitu
erosi geologi, erosi normal, dan erosi dipercepat. Menurut bentuknya erosi
dibedakan menjadi 6, yaitu erosi lembar, erosi alur, erosi parit, erosi tebing
sungai, longsor, dan erosi internal (Arsyad 2006).
Erosi yang terjadi saat ini umumnya bukan hanya disebabkan oleh faktor
alami tetapi sering kali disebabkan oleh aktivitas manusia yang tidak ramah
hutan menjadi lahan pemukiman, perdagangan, pertambangan, serta tempat
hiburan. Empat faktor utama yang terlibat dalam proses erosi adalah iklim, sifat
tanah, topografi dan vegetasi penutup lahan (Legowo 2002 dalam Arsyad 2006).
Menurut Arsyad (2006), di daerah beriklim tropika basah, penyebab utama erosi
tanah adalah air, sedangkan angin tidak mempunyai pengaruh yang berarti. Proses
erosi yang disebabkan oleh air merupakan kombinasi dari dua sub-proses, yaitu
(1) penghancuran struktur tanah menjadi butir-butir primer oleh energi tumbuk
butir-butir hujan yang menimpa tanah dan (2) pemindahan butir-butir primer
tersebut oleh percikan air hujan, sehingga air yang tergenang di permukaan tanah
akan mengakibatkan tanah terdispersi serta pengangkutan butir-butir tanah oleh
air yang mengalir dipermukaan tanah. Peranan tumbuhan yang hidup di atas
permukaan tanah dapat memperbaiki kemampuan tanah untuk menyerap air dan
memperkecil kekuatan perusak butir-butir hujan yang jatuh serta daya dispersi dan
BAB III
BAHAN DAN METODE
3.1 Lokasi dan Waktu Penelitian
Lokasi penelitian adalah kawasan Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol
(PPKAB) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), di Kabupaten
Sukabumi, Jawa Barat (Gambar 2). Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol
berada pada ketingian 800 dpl, merupakan salah satu zona pemanfaatan di dalam
kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Zona pengambilan sampel
dilakukan di blok Rasamala dan Puspa. Penelitian dilakukan pada musim hujan
(September 2010- Maret 2011). Peta lokasi penelitian dan denah lokasi
pengambilan sampel berturut-turut disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3.
Gambar 3 Denah lokasi pengambilan sampel di Hutan Pusat Konservasi Alam Bodogol Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (Sumber:
http://ppkab.blogspot.com).
3.2. Bahan dan Metode Penelitian
Bahan penelitian ini menggunakan Hutan Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango di kawasaan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol. Jenis
tumbuhan yang menjadi kajian (target) adalah Altingia excelsa Noronha dan
Schima wallichii (DC.) Korth. Plot penelitian ditentukan dengan metode
purposive sampling dengan memperhatikan faktor lingkungan, yaitu kemiringan
dan jenis tanah. Kemiringan tanah yang digunakan yaitu kemiringan lebih dari
50%. Kedua jenis tumbuhan diidentifikasi ciri-ciri biologi dan morfologinya.
Model arsitektur pohon ditentukan berdasarkan determinasi Halle et al
(1978) dengan memperhatikan dan mengukur parameter-parameter berikut:
1. Bentuk pertumbuhan batang
2. Bentuk dan susunan cabang pada batang
3. Bentuk dan susunan cabang pada cabang lateral
4. Posisi organ seksual (perbungaan)
3.3 Pengukuran Parameter Konservasi Air dan Tanah
Langkah berikutnya, daerah di sekitar bawah pohon dibersihkan dari segala
serasah dan vegetasi yang tumbuh di bawah, kemudian dilakukan pengukuran
terhadap parameter-parameter sebagai berikut:
3.3.1 Aliran batang
Pengukuran aliran batang dilakukan melalui cara menampung air yang
mengalir pada batang. Penampungan dilakukan dengan cara melingkarkan selang
pada sekeliling permukaan batang pohon dengan salah satu ujungnya diletakkan
lebih rendah, kemudian ditampung dengan menggunakan jerigen penampungan
(Gambar 4).
Pengukuran aliran batang dilakukan pada setiap sampling jenis tumbuhan,
dengan pengulangan dua kali untuk setiap jenis tumbuhan. Volume aliran batang
(cm3) yang tertampung dikonversi kedalam satuan tinggi kolom air (mm) dengan
persamaan:
Gambar 4 Pengukuran aliran batang di hutan PPKAB Taman Nasional Gunung Gede Pangrango.
Sfi = Vi/Li cm = Vi/Li X 10 mm (Kaimuddin 1994)
dimana: Sfi = Tinggi aliran batang ke-i (mm)
Vi = Volume aliran batang ke-i (cm3)
Tfi = Vi/Li x 10 (Kaimuddin 1994)
dimana: Tfi = Tinggi curahan tajuk ke-i (mm)
Vi = Volume curah hujan ke-i (cm3)
Li = Luas penampungan ke-i (cm2)
3.3.2 Air Curahan Tajuk
Pengukuran curahan tajuk dilakukan dengan cara menampung air hujan
dengan lembaran plastik yang diberi kerangka kayu dengan luas penampung
(1 x 1) m2, kemudian ditempatkan di bawah tajuk pohon (Gambar 5). Pengukuran
dilakukan sebanyak dua kali pengulangan untuk setiap contoh jenis tumbuhan .
Untuk volume curahan tajuk (cm3) yang tertampung dikonversi kedalam
satuan tinggi kolom air (mm) dengan persamaan:
Gambar 5 Cara pengukuran curahan tajuk di lokasi penelitian menggunakan metode Kaimuddin (1994).
3.3.3 Infiltrasi
Laju infiltrasi diukur dengan menggunakan paralon dengan ukuran diameter 8 cm dan tinggi 50 cm (Gambar 6). Laju infiltrasi diukur dengan
menghitung laju penyerapan atau habisnya air dalam pipa infiltrasi ke dalam tanah Drum
menggunakan stopwatch (Setiadi 1998). Data infiltrasi berupa laju infiltrasi air
kedalam tanah persatuan waktu (ml/mm2/sekon).
Gambar 6 Cara pengukuran laju infiltrasi di lokasi penelitian menggunakan metode Setiadi (1998).
3.3.4 Curah hujan
Curah hujan diukur dengan menggunakan penakar hujan yang terbuat dari
corong plastik dan botol jerigen plastik berukuran 20 lt (ombrometer buatan) yang
diletakkan di tempat terbuka (Gambar 7). Pengukuran curah hujan dilakukan
selama 30 kali kejadian hujan. Untuk mengukur banyaknya air yang tertampung
dalam jerigen, air tersebut dituangkan ke dalam tabung pengukur, sehingga dapat
diketahui volume (V) dalam mm3, dengan luas corong (A) adalah πr2 = 3,14 x
jari-jari corong (mm2). Untuk menghitung curah hujan harian, digunakan
persamaan: CH = V/A
dimana: CH = Curah hujan
V = Volume air hujan yang tertampung dalam
jerigen (mm3)
A = Luas permukaan corong (mm2)
.
3.3.5 Intersepsi
Pengukuran intersepsi dilakukan dengan cara menghitung selisih jumlah
curah hujan di tempat terbuka, dikurangi dengan jumlah air hujan yang mengalir
melalui curahan tajuk dan aliran batang. Berdasarkan metode Heth dan Karchon
(1963), perhitungan intersepsi dapat menggunakan persamaan:
Ic = CH – (Tfi – Sfi)
dimana: Ic = Intersepsi tajuk
CH = Curah hujan
Tfi = Curahan tajuk
Sfi = Aliran Batang
3.3.6 Pengamatan aliran permukaan dan erosi
Pengukuran aliran permukaan dilakukan plot percobaan yang terbuat dari
bahan karpet yang tidak tembus air. Plot percobaan berukuran 8 m x 4 m
memanjang dari atas ke bawah lereng. Banyaknya plot percobaan sebanyak 2
buah untuk setiap sampel jenis tumbuhan, dengan demikian jumlah seluruh plot
sebanyak 4 plot. Plot percobaan ini dibuat pada kemiringan tanah lebih dari 50 %
yang diukur dengan Clinometer Suunto. Untuk mengukur volume aliran
permukaan, maka pada bagian ujung bawah plot dibuat penampungan air dari
drum. Drum yang digunakan berukuran ± 100 liter dan ± 50 liter dengan
diameter ± 50 cm. Drum I dipasang untuk menampung aliran permukaan dan erosi
langsung dari plot percobaan dan bagian atasnya dibuat lubang pembagi sebanyak
5 buah. Lubang pembagi ini berfungsi untuk menghitung banyaknya air yang
keluar bila terjadi luapan. Masing-masing lubang berdiameter 1 cm, berkedudukan
rata dan berjarak 2 cm satu sama lain. Drum II dipasang untuk menampung
luapan yang terjadi pada salah satu lubang pembagi dari drum I dengan
menghubungkannya memakai selang plastik (Gambar 8). Sehingga jumlah total
volume luapan adalah 5 x volume drum II. Semua drum diberi penutup untuk
Banyaknya aliran permukaan yang tertampung pada setiap plot erosi dapat
dihitung menggunakan persamaan matematis di bawah ini, yaitu:
Untuk mendapatkan nilai aliran permukaan dalam satuan tinggi kolom air,
maka volume total aliran permukaan dibagi dengan luas petak percobaan, dimana
luas petak percobaanya 32 m2.
Gambar 8 Plot percobaan erosi di lokasi penelitian menggunakan metode Santosa (1985).
Penentuan berat tanah yang tererosi dapat dilakukan dengan cara mengambil
contoh air dari setiap drum, yaitu drum I dan drum II sebanyak 1 liter untuk setiap
plot erosi. Agar mendapat hasil yang baik, terlebih dahulu dilakukan pengadukan
hingga homogen. Setelah itu sampel air tersebut disaring dengan menggunakan
kertas saring, yang sudah diketahui berat keringnnya. Selanjutnya kertas saring
dan endapannnya tersebut dikeringkan dalam oven pada temperatur 1050 C sampai
beratnya konstan, kemudian dilakukan penimbangan.
Untuk menghitung berat tanah yang tererosi dapat menggunakan persamaan
matematis dibawah ini, yaitu:
Wtc = W1 + W2 (Santosa 1985)
W1 dan W2 = Vd / Vs x (Wksc– Wks)
Vap = V1+5V2 (Santosa, 1985)
dimana : Vap = Volume total aliran permukaan (mm3)
V1 = Volume aliran permukaan pada drum I (mm3)
V2 = Volume aliran permukaan pada drum II (mm3)
drum I
drum II 8 m
Nilai erosi = berat tanah/luas petak percobaan/satuan waktu (gr/m2/bulan)
Luas petak percobaan = 32 m2 = 32000 mm2.
3.4 Analisis data
Untuk menginterpretasikan hubungan hasil pengukuran dari setiap variabel
yang diukur, dilakukan analisis komponen utama (Principal Component
Analysis). Analisis komponen utama merupakan suatu teknik statistik untuk
mengubah dari sebagian besar variabel asli yang digunakan yang saling
berkorelasi satu dengan yang lainnya menjadi satu set variabel baru yang lebih
kecil dan saling bebas (tidak saling berkorelasi lagi). Jadi analisis komponen
utama berguna untuk mereduksi data, sehingga data lebih mudah untuk
diinterpretasikan (Supranto.2004).
Korelasi antar parameter dianalisis dengan menggunakan rumus koefisien
Korelasi produk moment di bawah ini:
(Budiono & Koster IW 2002) Budiono & Koster IW (2002) mengemukakan interpretasi nilai koefisien korelasi dapat mengikuti aturan sebagai berikut:
1. bila 0.90 < r < 1.00 atau -1,00 < r < - 0,90; artinya hubungan yang sangat
kuat.
2. bila 0.70 < r < 0,90 atau -0,90 < r < - 0,70; artinya hubungan yang kuat.
3. bila 0.50 < r < 0,70 atau -0,70 < r < - 0,50; artinya hubungan yang moderat.
4. bila 0.30 < r < 0,50 atau -0,50 < r < - 0,30; artinya hubungan yang lemah.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Pengukuran Parameter Konservasi Air & Tanah
Parameter konservasi air dan tanah yang diukur dalam penelitian ini,
meliputi curah hujan, aliran batang, curahan tajuk, infiltrasi, aliran permukaan,
dan erosi. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap model arsitektur pohon Rauh
pada dua jenis tumbuhan yang berbeda, yaitu Altingia excelsa Noronha dan
Schima wallichii (DC.) Korth, menunjukkan adanya perbedaan hasil pengukuran
untuk setiap parameter konservasi tanah dan air. Tabel 1 berikut menyajikan
ringkasan hasil pengukuran dari setiap parameter.
Tabel 1 Pengukuran parameter konservasi air & tanah pada tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango
Jenis Tumbuhan
Keterangan: T = Total; M = Rata-rata harian
Pengamatan dilakukan selama 3 bulan (Januari – Maret 2011), sebanyak 30
kali pengamatan pada dua tumbuhan yang berbeda, yaitu A. excelsa dan
S. wallichii dengan kemiringan lahan 70%. Pada masing-masing plot percobaan
dilakukan pengulangan sebanyak dua kali. Hasil pengukuran seluruh parameter
konservasi air dan tanah pada plot percobaan tegakan A. excels dan S. wallichii
4.2 Pembahasan dari Hasil Pengukuran Parameter Konservasi Air dan Tanah.
4.2.1 Curah Hujan
Pengamatan Curah hujan dilakukan sebanyak 30 kali kejadian hujan, yaitu
dimulai dari tanggal 6 bulan Januari 2011 hingga 5 Maret 2011. Pengamatan ini di
lakukan tiga kali pengulangan pada tempat terbuka, yang berdekatan dengan plot
sampel penelitian. Hasil pengukuran di lapangan dapat dilihat pada Tabel 1. Curah
hujan memiliki nilai yang bervariasi, dengan rata-rata curah hujan harian sebesar
9,67 mm dengan nilai tertinggi yaitu 41.4 mm dan terendah 4.3 mm. Total nilai
curah hujan selama 30 kali pengamatan yaitu 290.11 mm.
4.2.2 Aliran Batang
Tabel 1 menunjukkan bahwa hasil pengukuran aliran batang pada dua
sampel tumbuhan, yaitu A. excelsa dan S. wallichii, terdapat perbedaan. Nilai
rata-rata aliran batang pada tumbuhan A. excelsa jauh lebih rendah dibandingkan
tumbuhan S. wallichii. Nilai rata-rata aliran batang pada A. excelsa yaitu 0.03 mm,
untuk 30 pengamatan dengan total 1.02 mm, sedangkan nilai rata-rata aliran
batang pada tumbuhan S. wallichii yaitu 0.04, dengan total 1.26 mm. Tingginya
aliran batang pada arsitektur pohon model Rauh berhubungan dengan pola
percabangannya. Percabangan pada arsitektur pohon model Rauh berbentuk
orthotropik, dan bentuk ini akan meningkatkan aliran batang, karena
cabang-cabang yang tumbuh vertikal berfungsi sebagai penampungan air hujan, yang
selanjutnya dialirkan ke batang. Berdasarkan hasil pengukuran terdapat perbedaan
yang singnifikan terhadap besarnya aliran batang A. excelsa dengan S.wallichii.
Kedua tumbuhan ini memiliki pola percabangan batang yang sedikit berbeda,
walaupun bentuk percabangan pada kedua tumbuhan ini orthotropik, tetapi arah
percabangan pohon A. excelsa lebih sedikit datar daripada pohon S.wallichii,
sehingga hal mempengaruhi kemampuan penyerapan air pada batang. Air hujan
yang jatuh pada percabangan pohon A. excelsa akan lebih cepat jatuh ke
permukaan tanah tanpa melalui batang dibandingkan dengan air hujan yang jatuh
condong ke atas daripada A. excelsa. Menurut Penman (1963), aliran batang akan
lebih besar pada tumbuhan yang memiliki percabangan tegak dan batang berkulit
licin. Percabangan tumbuhan S. wallichii lebih tegak dan lebih tinggi daripada
tumbuhan A. excelsa, selain itu diameter batang tumbuhan S. wallichii berukuran
1,5 m, lebih besar daripada tumbuhan A. excelsa yang hanya 0,8 m. Menurut
Dabral dan Rao (1968) dalam Aththorick semakin besar diameter pohon yang
diteliti, semakin besar aliran batang yang terjadi. Tekstur batang A. excelsa kulit
batang beralur ke samping, sedangkan pada batang S. wallichii kulit batang
beralur lurus ke bawah membentuk kanal. Dengan demikian, air yang mengalir
pada batang S. wallichii akan lebih besar dan cepat jatuh ke tanah. sehingga
sesuai dengan hasil pengamatan bahwa aliran batang tumbuhan S.wallichii lebih
besar dari pada tumbuhan A. excelsa. Selain daripada itu, diameter batang
tumbuhan S.wallichii lebih besar daripada tumbuhan A. excelsa, serta morfologi
kulit batang S.wallichii berbeda dengan A. excelsa. Pada kulit batang S.wallichii
terbentuk kanal-kanal kecil, morfologi seperti ini akan mempermudah air turun ke
permukaan tanah melalui batang, dengan demikian aliran batang pada S.wallichii
lebih besar daripada A. excelsa.
Peristiwa hujan merupakan salah satu rangkaian yang berperan dalam
peredaran unsur hara. Unsur hara yang ada di daun akan tercuci oleh air hujan.
Peredaran unsur hara dari atmosfer akan terbawa oleh air hujan melalui aliran
batang dan curahan tajuk. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Indra
Fermanto di DAS Cipeureu Hutan Gunung Walat Sukabumi tumbuhan S.wallichii
menyumbangkan 0,014-1,327 kg/ha/th, dengan urutan terbesar hingga terkecil
yaitu unsur nitrogen, kalium, pospor, kalsium, dan magnesium.
4.2.3 Curahan Tajuk
Berdasarkan hasil pengukuran selama 30 kali pengamatan diketahui bahwa
rata-rata curahan tajuk untuk tumbuhan A. excelsa yaitu 5,43 mm dengan total
162,79mm, sedangkan rata-rata curahan tajuk pada tumbuhan S. wallichii yaitu
4,02 mm, dengan total 120,60 mm (Tabel 1). Tingginya curahan tajuk pada
tumbuhan berhubungan erat dengan tebal tipisnya lapisan tajuk (strata) yang
A. excelsa memiliki tajuk yang lebih lebar daripada S. wallichii (A. excelsa
rata-rata 4,22 meter dan S. wallichii 3,67 meter). Sedangkan tajuk S. wallichii
(rata-rata 5,97 meter) lebih tebal dibandingkan dengan tajuk A. excelsa (rata-rata 4,77
meter), selain daripada itu, susunan daun A. excelsa kurang rapat dibandingkan
dengan susunan daun S. wallichii. Tata letak daun pada tumbuhan A. excelsa dan
S. wallichii berbentuk spiral, walaupun keduanya memiliki tata letak daun yang
spiral, tetapi memiliki deret fibonasi yang berbeda. Tumbuhan A. excelsa
memiliki deret fibonasi 1/3, sedangkan S. wallichii 2/5. Besar sudut divergensi
untuk tumbuhan A. excelsa adalah 1200 dan tumbuhan S. wallichii 900. Semakin
rapat tatak letak daun dari suatu tumbuhan maka semakin kecil nilai deret
fibonasinya. Terdapat hubungan yang positif anatara tata letak daun dengan
besarnya curahan tajuk dari suatu tumbuhan. Ditinjau dari tata letak daun dan
sudut divergensinya, tumbuhan S. wallichii memiliki tata letak daun yang lebih
rapat daripada A. excelsa. Dengan demikian tumbuhan S. wallichii memiliki
curahan tajuk yang lebih kecil daripada tumbuhan A. excelsa.
Curahan tajuk tidak hanya sekedar peristiwa turunnya air hujan melalui
tajuk semata, tetapi air yang mengalir tersebut akan mencuci unsur hara yang ada
di permukaan daun, sehingga peristiwa curahan tajuk ini berperan dalam
peredaran unsur hara. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Fermanto (2000) di
DAS Cipeureu Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi terhadap tumbuhan S.
Wallichii menunjukkan peristiwa curahan tajuk menyumbangkan unsur hara
cukup tinggi, yaitu berkisar antara 0 - 7,728 kg/ha/tahun, dengan urutan terbesar
hingga terkecil yaitu, N, K, P, Ca, dan Mg.
4.2.4 Intersepsi
Berdasarkan hasil pengukuran intersepsi menunjukkan bahwa intersepsi
curah hujan dari tumbuhan A. excelsa dan S. wallichii cukup besar yaitu 30,38 %
dan 57,95 % (Tabel 2). Perbedaan besaran intersepsi pada kedua tumbuhan
tersebut di pengaruhi oleh indeks luas daun (LAI, leaf area index). Indeks luas
daun pada tumbuhan S. wallichii jauh lebih lebar daripada daun A.excelsa, dengan
demikian pada tumbuhan S. wallichii akan memiliki intersepsi lebih besar