• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deteksi dan Estimasi Kemunduran Mutu Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus) menggunakan Panjang Gelombang Inframerah Dekat 525 nm dan 660 nm.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Deteksi dan Estimasi Kemunduran Mutu Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus) menggunakan Panjang Gelombang Inframerah Dekat 525 nm dan 660 nm."

Copied!
122
0
0

Teks penuh

(1)

1. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Menurut Statistik Kelautan dan Perikanan Indonesia (2012), penyediaan ikan untuk konsumsi pada tahun 2007-2011 mengalami peningkatan sebesar 5,06%, dari yang semula 26 kg/kapita/tahun menjadi 31,64 kg/kapita/tahun. Konsumsi ikan dalam bentuk segar pada tahun 2009 sejumlah 43,1% kemudian meningkat menjadi 57,05% pada tahun2011, menunjukan bahwa konsumsi ikan dalam bentuk segar lebih banyak diminati dibandingkan konsumsi dalam bentuk lain. Salah satu ikan yang diminati untuk dikonsumsi dalam bentuk segar adalah baronang totol (Siganus guttatus) yang hidup di perairan mangrove hingga terumbu karang dengan kedalaman mencapai 6 meter. Namun wilayah yang jauh dari pesisir umumnya sulit memperoleh ikan baronang totol dalam bentuk segar, untuk itu diperlukan pemeriksaan mutu ikan baronang totol segar untuk

mengetahui sejauh mana tingkat kesegaran ikan tersebut.

Beberapa metode yang sering digunakan untuk mengukur mutu kesegaran ikan diantaranya organoleptik, TVB, TPC, pH. Metode pengukuran kesegaran ikan lainnya yaitu menggunakan pengukuran tahanan listrik, metode akustik, serta metode VIS/NIR (visible/near infrared). Metode VIS/NIR dilakukan dengan memancarkan gelombang cahaya tampak atau inframerah dekat pada objek berupa ikan. Pantulan dari fisik ikan kemudian dianalisis untuk dapat mengetahui sejauh mana kesegaran/kemunduran mutu ikan. Kelebihan metode ini yaitu bersifat objektif dan praktis. Salah satu instrumen pendeteksi

(2)

kesegaran/kemunduran mutu ikan adalah Infrared Fish Freshness Instrument -1 (IFFI-1).

Hasil penelitian Munandar (2012) menggunakan IFFI-1 menunjukkan bahwa panjang gelombang yang baik untuk pengukuran kesegaran ikan yaitu pada 525 nm dan 690 nm, karena kekuatan pantulan yang signifikan berada pada panjang gelombang tersebut. Namun setiap ikan memiliki karakteristik fisik yang berbeda-beda, sehingga pola yang ditampilkan dari pantulan kedua panjang gelombang tersebut akan berbeda pula. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dilakukan penelitian lanjutan dengan judul “Deteksi dan Estimasi Kemunduran Mutu Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus) Menggunakan Panjang Gelombang Inframerah Dekat 525 nm dan 660 nm” dengan mengembangkan instrumen sebelumnya (IFFI-1) menjadi IFFI-2 agar diperoleh hasil penelitian yang lebih baik.

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengamati dan membandingkan pola pendeteksian dari panjang gelombang 525 nm dan 660 nm pada ikan baronang totol (Siganus guttatus) menggunakan instrumen IFFI-2. Dengan demikian, kemunduran mutu ikan baronang totol tersebut dapat diestimasi.

(3)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Deskripsi Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus)

Ikan baronang totol (Gambar 1) termasuk filum Chordata, sub filum Vertebrata, kelas Pisces, sub kelas Teleostei, ordo Perchomorphi, sub ordo Percoidea, famili Siganidae, genus Siganus, spesies Siganus guttatus (Woodland, 1990). Ikan ini disebut juga spotted rabbit fish, rata-rata memiliki panjang 25,0 cm. Ikan ini memiliki jari-jari sirip dorsal keras sejumlah 13 buah, jari-jari sirip dorsal lunak 10 buah, jari-jari sirip anal 7 buah, dan jari-jari sirip dubur lunak 9 buah. Ikan ini berwarna hitam kebiruan di bagian punggung, keperakan di bagian bawah, memiliki titik kuning cerah dekat ujung sirip punggung, serta tubuh yang berbintik-bintik. Ikan ini memiliki duri yang kokoh dan beracun. Habitat ikan baronang totol berada di perairan pantai diantara mangrove dan terumbu karang hingga 6 m. Ikan dewasa melakukan schooling 10 hingga 15 ekor. Ikan baronang totol termasuk ikan nokturnal dan memakan alga bentik. (Woodland, 1990).

Gambar 1. Ikan baronang totol (Siganus guttatus) Sumber: fishbase.org

(4)

2.2Kesegaran dan Kemunduran Mutu Ikan

Kesegaran ikan merupakan keadaan dari saat ikan mati hingga memasuki tahap penurunan mutu ikan. Tingkatan kesegaran ikan merupakan tolak ukur untuk membedakan ikan yang bermutu baik dan buruk. Ikan dikatakan masih segar apabila perubahan-perubahan biokimia, mikrobiologi dan fisika yang terjadi belum menyebabkan perubahan sifat-sifat ikan pada waktu masih hidup. Proses ini terutama dipengaruhi oleh waktu dan suhu, serta faktor lain seperti jenis ikan, pra-panen dan penanganan stress (Olsen et al, 2008).

Komposisi kimia tubuh ikan berbeda-beda tergantung pada spesies, umur, jenis kelamin, musim penangkapan, serta ketersediaan pakan di air, habitat dan kondisi lingkungan. Tabel 1 merupakan kisaran rata-rata komposisi kimia tubuh ikan segar menurut Depkes RI (1991).

Tabel 1. Komposisi kimia tubuh ikan segar

Senyawa Kimia Jumlah

Air (g) 76,0

Protein (g) 17,0

Karbohidrat (g) 0.0

Lemak (g) 4,5

Fosfor (mg) 200,0

Kalsium (mg) 20,0

Zat besi (mg) 1,0

Vitamin A (IU) 150,0

Vitamin B1 (mg) 0,05

Salah satu penyebab kemunduran mutu ikan segar adalah proses

perombakan oleh aktivitas enzim terutama enzim proteolitik yang terdapat secara alami pada ikan. Proses kemunduran mutu dan kesegaran ikan meliputi fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk. Fase tersebut akan terus berlangsung jika tidak dihambat. Lamanya waktu perubahan yang berlangsung pada ikan tergantung pada jenis ikan, ukuran, kondisi ikan waktu hidup, cara kematian, dan

(5)

suhu penyimpanan (Saskia et al., 2011). Beberapa metode yang digunakan untuk mengukur mutu kesegaran ikan diantaranya organoleptik, Total Vibrio Count (TVB), Total Plate Count (TPC), Potensial Hidrogen (pH), pengukuran tahanan listrik, pengukuran dengan menggunakan metode akustik, dan lain-lain.

Uji organoleptik merupakan salah satu metode penentuan kesegaran ikan dengan melihat langsung bagian pada tubuh ikan seperti pada bagian mata, insang, daging dan isi perut ikan. Mata merupakan salah satu bagian tubuh ikan yang dijadikan sebagai parameter tingkat kesegaran ikan. Pada ikan segar, bola mata terlihat cembung dan cerah, sedangkan pada ikan busuk, bola mata terlihat cekung dan lebih keruh. Konsistensi merupakan tingkat kelenturan dan

kekenyalan yang menunjukan kondisi perut dan sayatan daging ikan yang sering dijadikan parameter kesegaran ikan. Insang merupakan salah satu tempat hidup bakteri yang dapat menyebabkan kerusakan pada daging ikan. Parameter utama untuk menentukan tingkat kesegaran ikan adalah daging dan isi perut. Daging ikan yang segar sayatannya masih cemerlang sedangkan ikan busuk warna

dagingnya kusam (Munandar et al, 2009). Selain sebagai sumber bakteri, di dalam isi perut ikan juga mengandung beberapa enzim yang dapat menguraikan protein. Enzim yang terdapat pada organ pencernaan ini adalah tripsin, kemotripsin, dan pepsin (Grigor 2002).

TVB merupakan salah satu metode penentuan kesegaran ikan yang dilakukan secara kimia. Prinsip penetapan TVB adalah menguapkan senyawa-senyawa basa volatile camin, metil amin, dimetil amin dan trimetil amin. Senyawa tersebut diikat oleh asam borak dan kemudian dititrasi dengan larutan HCl. Indeks kemunduran mutu ikan hasil perikanan dapat diketahui melalui kandungan TVB.

(6)

Kandungan (TVB) merupakan hasil akhir penguraian protein. Kadar TVB tersebut dapat dipakai sebagai indikator kerusakan ikan, berbagai komponen seperti basa volatile, terakumulasi pada daging sesaat setelah mati. Akumulasi ini terjadi akibat reaksi biokimia post mortem dan aktivitas mikroba pada daging. Ikan dinyatakan telah busuk ketika memiliki kadar TVB >30 mgN/100 gram,

sedangkan batas nilai TVB ikan air tawar yang masih dapat diterima ialah 18 – 25 mgN/100 g (Irianto dan Giyatmi, 2009).

Menurut Aidil (1998), tubuh ikan memiliki nilai tahanan listrik yang selalu meningkat selama penyimpanan pada suhu ruang. Sifat kelistrikan ikan dapat diukur melalui nilai konduktivitas listrik daging ikan. Menurut Jaya dan Ramadhan (2006) pengukuran kesegaran ikan dapat dilakukan dengan menggunakan sensor ultrasonik (sensor suara berfrekuensi tinggi) untuk mengetahui kondisi atau karakteristik pantulan suara terhadap target ikan yang diamati. Nilai echo yang dihasilkan dari pantulan berfluktuasi karena tekstur dan kulit ikan yang masih sangat kenyal dan juga masih dapat mempertahankan kandungan air dalam tubuhnya.

2.3Pendeteksian Kemunduran Mutu Ikan dengan VIS/NIR

Cahaya tampak (visible light) merupakan radiasi gelombang

elektromagnetik yang dapat dideteksi oleh mata manusia. Panjang gelombang cahaya tampak berada pada rentang 400 nm hingga 700 nm. Radiasi inframerah dekat memiliki panjang gelombang 700 – 1.500 nm, inframerah jarak menengah memiliki panjang gelombang 150 – 1000 nm, dan inframerah jarak jauh memiliki panjang gelombang 100 – 1000 nm. Dalam pendeteksian dengan NIR, ikan

(7)

disinari dengan gelombang NIR, kemudian cahaya yang dipantulkan atau

ditransmisikan diukur. Hamburan ini bergantung pada panjang gelombang, proses penyerapan, komposisi kimia serta sifat produk itu sendiri.

Sejumlah metode spektroskopi telah digunakan dalam menentukan kesegaran ikan, terutama pada rentang gelombang tampak dan inframerah dekat. Spektroskopi dapat menampilkan perubahan yang terjadi dalam interaksi radiasi elektromagnetik dengan materi yang disebabkan oleh respon fisik dari sampel ikan. Spektroskopi VIS/NIR telah banyak dilakukan misalnya untuk memprediksi mutu dari ikan cod yang ditangkap oleh longline dan gillnet oleh Nilsen dan Esaialsen (2005), serta menentukan kesegaran fillet ikan cod dan membandingkan fillet ikan cod segar dan frozen-thawed oleh Sirversten et al. (2011). Olafsdottir et al. (2004) membandingkan beberapa sensor yang mengukur kualitas fisik ikan, salah satunya menggunakan spektroskopi VIS/NIR, serta menggunakan QIM sebagai metode acuan sehingga dapat mengukur kualitas ikan.

Koppang et al. (2005) menemukan bahwa kualitas ikan tidak hanya dinilai berdasarkan penampilan (warna dan cacat), bau dan komposisi gizi. Terdapat cacat mutu lain misalnya bintik-bintik melanin yang dapat terdeteksi cukup baik pada kisaran panjang gelombang 700 nm dan 800 nm. Selain itu terdapat pula nematoda. Nematoda ini sulit untuk dideteksi, namun pencitraan spektroskopi telah menunjukkan hasil yang cukup baik. Percobaan oleh Heia dan Sirvesten et al. (2007) telah menunjukkan bahwa bercak darah dapat dideteksi sampai 10 mm tergantung pada ukuran dan konsentrasi. Nematoda gelap dan bercak darah memiliki beberapa kesamaan karena penyerapan spektral hemoglobin. Oleh karena itu sebagian besar kesalahan pendeteksian nematoda adalah karena bercak

(8)

darah. Pengamatan mengenai spektroskopi VIS/NIR oleh Nilsen dan Esaissen (2005) mengungkapkan bahwa pada panjang gelombang 400 nm hingga 450 nm serta 525 hingga 630 nm mempresentasikan darah dalam otot ikan.

Penelitian mengenai pendeteksian kemunduran mutu ikan menggunakan NIR sebelumnya telah dilakukan oleh Munandar pada tahun 2012 dengan membuat IFFI-1, instrumen pengukuran kesegaran ikan secara real time dengan penampilan data digital dengan tampilan yang lebih sederhana dan mudah untuk dibawa. Alat yang dirancang merupakan sistem elektronik yang mengukur perubahan kesegaran ikan menggunakan sensor infrared.

Hasil uji coba alat mencakup pengukuran panjang gelombang infrared, intensitas pantulan infrared terhadap perubahan suhu lingkungan serta

pengukuran pantulan infrared pada ikan nila dan ikan lele dan pengukuran suhu pada ikan nila dan ikan lele. Hasil pengukuran panjang gelombang diperoleh panjang gelombang yang baik untuk pengukuran kesegaran ikan sekitar 525 nm dan 690 nm (Munandar, 2012).

Berdasarkan hasil pengujian pantulan infrared dengan panjang gelombang 780 nm dan sensor suhu pada ikan lele, terjadi penurunan nilai pantulan infrared selama masa pengukuran tetapi tidak terdapat penurunan yang signifikan. Ikan nila lebih mudah mengalami kemunduran mutu yaitu masa 12 jam setelah pematian ikan nila sudah mulai mengeluarkan cairan dari dalam tubuhnya sedangkan pada ikan lele belum terjadi. Ikan lele baru mengeluarkan cairan setelah melewati masa 24 jam setelah waktu ikan dimatikan (Munandar, 2012).

(9)

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November 2012. Kegiatan penelitian terdiri dari modifikasi alat IFFI-1yang dilaksanakan di Workshop Akustik dan Instrumentasi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK), IPB, Bogor. Kegiatan berikutnya adalah pengambilan data ikan dengan menggunakan IFFI-2 yang dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober 2012 di Pulau Panggang, Kepulauan Seribu, Jakarta.

3.2Alat dan Bahan

Penelitian menggunakan IFFI-2 (Infrared Fish Freshness Instrument - 2) yang merupakan hasil penelitian Munandar (2012) yang dimodifikasi sehingga memiliki panjang gelombang 525 nm dan 660 nm dari yang sebelumnya 780 nm, hal ini karena hasil penelitian Munandar (2012) menunjukkan bahwa panjang gelombang yang baik untuk pengukuran kesegaran ikan sekitar 525 nm dan 690 nm. IFFI-2 memiliki interface untuk memvisualisasikan data.

Ikan yang digunakan adalah ikan baronang totol (Siganus guttatus) yang merupakan ikan yang banyak dibutuhkan dalam keadaan segar yaitu ikan konsumsi. Ikan baronang totol yang dipilih memiliki panjang total 15-20 cm. Berikut adalah rincian alat dan bahan yang digunakan (Tabel 2 dan Tabel 3).

(10)

Tabel 2. Alat yang digunakan 5 Multimeter Digital Sanwa CD 1 buah

6 Gerinda Listrik 1 buah

7 Bor Listik 1 buah

8 Amplas 1 buah

9 Obeng 1 buah

10 CodeVisionAVR 2.04.4a 1 buah

11 EAGLE 5.10 1 buah

Tabel 3. Bahan yang digunakan

No Nama Bahan Jumlah, 8 Modul Mikrokontroller ATMega 8535 1 buah

9 Jack konektor 8 pin 1 buah

10 Kabel ( 8 in 1 ) 1.5 m 1 buah

11 Resistor 1 KΩ 4 buah

12 Ikan baronang totol 3ekor

13 Sakelar 1 buah

14 Karton hitam 1 lembar

(11)

3.3Prosedur Modifikasi Alat

Modifikasi IFFI-1 terdiri dari tahap persiapan, perumusan, kemudian perubahan elektronik, rancangan software dan rancangan penyesuaian casing. Pengujian dilakukan untuk mengetahui kesesuaian hasil pengukuran dengan program yang dibuat, mengetahui efektifitas perolehan hasil dengan casing yang dibuat, serta mengetahui kinerja instrumen itu sendiri.

Kegiatan dimulai dengan persiapan dimana dilakukan pengumpulan pustaka yang berhubungan. Kemudian dilakukan perumusan masalah apa yang ingin diteliti, yaitu modifikasi seperti apa yang ingin dilakukan. Langkah berikutnya adalah perancangan kegiatan penelitian, berupa model elektronik, software, dan casing.

Perubahan elektronik berupa perubahan rangkaian alat dikarenakan penggunaan sensor yang semula 780 nm menjadi 525 dan 660 nm, serta tidak digunakannya lagi sensor suhu, penguat tegangan, ADC, dan LCD. Perubahan software berupa interface dan program-program dalam mikrokontroler. Perubahan casing dikarenakan tidak digunakannya lagi LCD. Hasil perancangan software dan elektronik kemudian diujicoba, apabila telah berhasil mengeluarkan data yang diinginkan maka dilakukan penyesuaian sekaligus dengan hasil casing yang dibuat. Terakhir dilakukan ujicoba kembali untuk melihat konsistensi hasil yang dikeluarkan. Berikut Gambar 2 merupakan diagram alir modifikasi IFFI-1.

(12)

Gambar 2. Diagram alir modifikasi alat

12

Tidak

Uji coba Elektronik (rangkaian alat)

IFFI-1 IFFI-2 Sensor 780 nm Sensor 525 nm

dan 660 nm Sensor suhu Tanpa sensor suhu Penguat elektronik, software, dan casing

(13)

3.4Prosedur Kerja Alat

IFFI-1 mendeteksi kemunduran mutu ikan menggunakan NIR secara real time dengan penampilan data digital. Alat pengukuran kesegaran ikan ini

dirancang berdasarkan scanning system atau pemindaian (Munandar, 2012). Prinsip kerja dari IFFI-2 digambarkan pada Gambar 3.

Gambar 3. Prinsip kerja IFFI-2

Power supply memberikan tegangan (220 volt) pada laptop untuk menampilkan interface. Diberikan pula tegangan sebesar 5 volt pada

mikrokontroler sehingga mikrokontroler dapat memberikan perintah kepada transmitter untuk mendeteksi ikan target. Hasil pantulan diterima oleh receiver, kemudian masuk ke mikrokontroler untuk diolah. Hasil pantulan akan diterima

13

525 nm 660 nm

Transmitter

Receiver

Ikan baronang totol (target) Laptop

Power supply 220 volt

Mikrokontroler

(14)

oleh receiver dan masuk kembali ke dalam mikrokontroler. Kemudian hasil perolehan data divisualisasikan pada interface di laptop. Susunan pemasangan sensor terlihat seperti pada Gambar 3 dengan peletakan sensor secara horizontal serta pelatakan receiver berada di tengah-tengah transmitter.

Terdapat pengonversi sinyal analog menjadi digital dalam mikrokontroler sehingga dapat ditampilkan di interface. Program dimasukkan pada

mikrokontroler untuk menerima output tegangan, mengubah sinyal analog menjadi digital serta menampilkan hasil perolehan data di interface.

Transfer data dari instrumen ke interface dilakukan mulai dari data ke-1 hingga minimal data ke-500 disetiap jamnya. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa data yang diperoleh stabil, tidak terlihat adanya gangguan dari luar yang menyebabkan data tidak sesuai.

3.5Prosedur Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan pertama-tama dengan memperoleh ikan baronang totol sebanyak 3 ekor dengan cara basah, yaitu ikan dibungkus dengan plastik berisi air sehingga tetap hidup hingga ke tempat ikan tersebut akan dideteksi dengan alat. Ikan kemudian dibiarkan mati dengan sendirinya, hal ini dikarenakan berdasarkan hasil penelitian Munandar et al. (2009) diketahui bahwa perlakuan mematikan ikan tanpa ditusuk dan tanpa penyiangan menyebabkan perubahan fase kemunduran mutu ikan yang lebih cepat. Setelah melalui tahap mematikan ikan, dilakukan pengamatan secara organoleptik agar dapat

mengetahui fase kemunduran mutu ikan, yaitu fase pre rigor, rigor mortis, dan post rigor dari masing-masing ikan, sambil dilakukan pendeteksian dengan IFFI-2

(15)

dimulai dari ikan mati hingga mencapai fase busuk. Pada Gambar 4 ditunjukkan diagram alir dari kegiatan.

Gambar 4. Diagram alir pengambilan data

Prosedur pendeteksian dengan gelombang VIS/NIR menggunakan IFFI-2 dilakukan dengan cara meletakkan ikan pada nampan yang dialasi karton

berwarna hitam, karena warna hitam bersifat menyerap cahaya, sehingga

mengurangi kemungkinan adanya pantulan bukan berasal dari ikan yang diterima oleh receiver. Kemudian dilakukan pendeteksikan dengan mentransmisikan cahaya dari instrumen pada bagian bagian ikan dengan sisik dan bagian ikan yang sisiknya dihilangkan. Hal ini untuk mengetahui pantulan dari bagian yang

terpengaruh sisik dan tidak terpengaruh sisik.

15

Perolehan ikan

Mematikan Ikan

Pengamatan perjam

Analisis hasil

Organoleptik VIS/NIR

Perbandingan hasil

Kemunduran mutu ikan baronang totol (Siganus

(16)

Pemancaran gelombang pada bagian-bagian tubuh ikan baronang totol tersebut dilakukan setiap jam hingga mencapai fase busuk. Sampel yang diamati sebanyak 3 ekor sebagai ulangan. Hasil pendeteksian ditampilkan pada interface, kemudian dilakukan analisis dari nilai yang dihasilkan serta dibandingkan dengan hasil pengujian dengan organoleptik sehingga dapat diestimasikan kemunduran mutu ikan baronang totol dengan menggunakan gelombang VIS/NIR.

Pengamatan secara organoleptik dilakukan pada bagian mata, insang, daging, dan kulit/lendir. Pengamatan dilakukan untuk mengetahui titik-titik perubahan mutu pada ikan. Pengamatan dilakukan perjam hingga ikan baronang totol mencapai fase busuk. Hasil pengamatan dicatat untuk kemudian

dibandingkan dengan hasil perolehan data menggunakan instrumen.

3.6Metode Analisis Data

Estimasi kemunduran mutu ikan diperoleh dengan cara menganalisis pola pemantulan gelombang dari tubuh ikan. Data yang diperoleh merupakan nilai digital dari sinyal pantulan panjang gelombang 525 nm dan 660 nm. Intensitas pantulan diamati dengan persamaan (1):

Intensitas dB = 10log⁡(������� ) ………. (1)

dimana DN adalah nilai digital dari pantulan panjang gelombang dari 525 nm dan 660 nm, serta DNmax merupakan nilai digital paling tinggi yang terdeteksi dari ikan.

Intensitas rasio perbandingan antara kedua gelombang tersebut dihitung dengan menggunakan persamaan (2) dan (3):

Intensitas dB = 10log⁡ ��

525 ��660

��525 ……….…………. (2)

(17)

Intensitas dB = 10log(��

525

��660)

��660 ……….…………. (3)

Diamati pula intensitas rasio selisih antara kedua panjang gelombang tersebut dengan menggunakan persamaan (4) dan (5):

Intensitas dB = 10log|��525��−��660|

525 ……….…………. (4)

Intensitas dB = 10log|��525−��660|

��660 ……….…………. (5)

dimana DN525 adalah nilai digital dari pantulan panjang gelombang 525 nm, dan DN660 adalah nilai digital dari pantulan panjang gelombang 660 nm.

Hasil visualisasi grafik ditampilkan dalam moving average. Hal ini bertujuan untuk menghaluskan grafik sehingga terlihat lebih jelas. Moving average merata-ratakan sejumlah nilai dari data (titik) sejumlah dengan periode yang ditentukan, kemudian menggunakan nilai hasil rata-rata tersebut sebagai nilai yang digunakan. Dengan penggunaan periode senilai 2, maka nilai pada titik pertama dan titik kedua akan dirata-ratakan, kemudian hasilnya akan digunakan sebagai titik pertama. Selanjutnya titik kedua dan titik ketiga dirata-ratakan, hasilnya akan digunakan sebagai titik kedua, dan seterusnya.

(18)

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Modifikasi Alat

IFFI-2 merupakan modifikasi dari instrumen pendeteksi kesegaran atau kemunduran mutu ikan sebelumnya (IFFI-1). Kedua instrumen ini

mengaplikasikan metode spektroskopi VIS/NIR, yaitu melalui interaksi antara radiasi elektromagnetik dan materi yang diberi pancaran sinar sehingga dapat menampilkan perubahan yang terjadi yang disebabkan oleh respon fisik dari sampel, dalam hal ini ikan (Sirvesten et al., 2010). Gambar 5 menunjukkan perbedaan fisik dari IFFI 1 dan IFFI-2.

a b

Gambar 5. IFFI-1 (a), dan IFFI-2 (b) Keterangan:

1. Unit kontrol 2. Unit sensor 3. LCD 4. Konektor

Secara umum, baik IFFI-1 dan IFFI-2 memiliki unit kontrol, unit sensor, dan konektor. Menurut Munandar (2011), pada IFFI-1 pemisahan unit sensor dan unit kontrol ini dilakukan untuk mempermudah pemasangan SD card dan

1

1

2 2

3

4

(19)

pergantian baterai apabila daya yang dibutuhkan telah habis, namun tanpa mengganggu bagian-bagian lain seperti mikrokontroller dan LCD. Pada IFFI-2, pemisahan unit sensor dari unit kontrol tetap dilakukan untuk mempermudah pendeteksian ikan karena bersifat praktis.

Unit kontrol berisi mikrokontroler untuk memproses pengambilan data, penyimpanan data, serta visualisasi data. Pada bagian mikrokontroler terdapat program-program untuk perolehan, pemrosesan, serta visualisasi data. Setelah memperoleh daya, mikrokontroler yang terhubung dengan unit sensor akan mengambil data untuk kemudian diproses.

Unit sensor terdiri atas sensor 525 nm dan 660 nm (transmitter dan receiver), serta pin konektor sebagai penghubung. Bagian unit sensor berwarna hitam karena warna hitam bersifat menyerap cahaya, sehingga pemantulan akan lebih terfokus berasal dari tubuh ikan. Konektor yang digunakan menggunakan kabel pelangi yang memiliki 8 isi kabel yang berbeda warna dengan panjang 1.5 m dan menggunakan 8 pin konektor, menghubungkan unit sensor dengan unit kontrol.Selain itu, terdapat pula USB to Serial Adapter untuk menghubungkan mikrokontroller dengan laptop yang berisi interface.

Perbedaan IFFI-1 dan IFFI-2 terdapat pada bagian kontrol, dimana pada 1 bagian kontrolnya sekaligus merupakan unit display, sedangkan pada IFFI-2 unit display-nya terdapat pada laptop berupa interface, dengan visualisasi seperti yang terlihat pada Gambar 6.

(20)

Gambar 6. Tampilan interface IFFI-2 pada monitor laptop Interface IFFI-2 dibuat menggunakan software DELPHI 7. Kelebihan menggunakan interface adalah data hasil pantulan dapat langsung divisualisasikan dalam grafik secara realtime seperti yang terlihat pada Gambar 6. Hal ini juga memudahkan pengamatan pada saat pendeteksian atau pengambilan data, misalnya apabila terjadi gangguan dari luar instrumen (goncangan, dll.) yang memungkinkan perubahan nilai digital pada data, hal tersebut akan langsung terlihat pada interface, sehingga pendeteksian dapat diulang untuk memperoleh data yang lebih akurat.

Tampilan interface dapat diatur sesuai dengan kebutuhan, misalnya grafik apa yang ingin ditampilkan,tombol-tombol apa yang ingin digunakan, bahkan desain layout dari interface itu sendiri dapat diatur dengan mudah. Interface yang ditampilkan pada hasil penelitian berisi kolom untuk menampilkan nilai digital, tiga buah area untuk menampilkan grafik nilai digital secara realtime dari

(21)

pantulan panjang gelombang 525 nm, panjang gelombang 660 nm, serta intensitas rasio pantulan panjang gelombang 525 dan 660 nm. Kemudian terdapat tombol-tombol seperti Setting (untuk mengatur COM yang digunakan), Start (untuk memulai transferdata dari instrumen ke interface), Stop (untuk memberhentikan transfer data), Save (untuk menyimpan grafik maupun file hasil parsing data ke dalam format *.jpg maupun *.txt), Save All (untuk menyimpan seluruh grafik dan data sekaligus), serta Clear (untuk membersihkan tampilan).

Gambar 7 merupakan contoh hasil visualisasi grafik pendeteksian ikan pada interface. Grafik pertama merupakan nilai digital dari panjang gelombang 660 nm, grafik kedua merupakan nilai digital dari panjang gelombang 525 nm, serta grafik ketiga merupakan intensitas pantulan (dB) dari perbandingan panjang gelombang 660 nm dan 525 nm. Gambar 7 menampilkan ikan dengan sisik pada jam ke-1, sedangkan Gambar 8 menampikan ikan dengan sisik pada jam ke-2.

(22)

Gambar 7. Grafik Ikan 1 dengan sisik pada jam ke-1

ii

(23)

Gambar 8. Grafik Ikan 2 dengan sisik pada jam ke-1

(24)

Selain pada interface, IFFI-1 dan IFFI-2 memiliki perbedaan dalam beberapa komponennya. Perbedaan paling utama adalah IFFI-1 menggunakan gelombang inframerah 780 nm, sedangkan IFFI 2 menggunakan gelombang cahaya tampak 525 nm dan 660 nm. Sensor 525 nm memiliki cahaya berwarna hijau, sedangkan sensor 660 nm memiliki cahaya berwarna merah (Gambar 9).

Gambar 9. Sensor pada IFFI-2, 525 nm (hijau) dan 660 (merah)

Sensor memancarkan sinar tampak pada ikan dengan pemancaran seperti yang terlihat pada Gambar 10. Pada kondisi terang maupun gelap (Gambar 10a dan 10b), terlihat bahwa panjang gelombang hijau (525 nm) memiliki penetrasi yang lebih jauh dibandingkan merah. Pendeteksian pada kondisi gelap dapat meminimalisir cahaya lain terdeteksi oleh receiver terutama bersumber dari cahaya matahari.

a b

(25)

Selain itu, IFFI-1 juga memasang sensor suhu di dekat sensor infrared-nya, sedangkan IFFI-2 tidak. Pemasangan sensor suhu pada IFFI-1 dikarenakan sensor infrared dipengaruhi perubahan suhu, sehingga dengan pemasangan sensor suhu akan terlihat pengaruh suhu terhadap pantulan infrared, disamping adanya pengaruh dari cahaya luar (Munandar 2011). Untuk sensor cahaya sendiri, diketahui bahwa dari pembacaan data sheet sensor serta dari pengukuran suhu lapangan ketika pengambilan data di Pulau Panggang pada tanggal 19 Oktober 2012 malam hari, suhu udara berada pada kisaran 23-27oC, dimana kisaran tersebut masih berada pada kisaran sensor bekerja dengan baik. Sensor sendiri bekerja paling optimal pada suhu 25oC. Berikut perbedaan IFFI-1 dan IFFI 2 pada Tabel 4.

Tabel 4. Perbedaan IFFI-1 dan IFFI-2

No IFFI-1 IFFI-2

1 Menggunakan sensor infrared 780 nm Menggunakan sensor visible light 525 dan 660 nm

2 Tidak menggunakan metode intensitas rasio

Menggunakan metode intensitas rasio kedua panjang gelombang

3 Memakai sensor suhu Tidak memakai sensor suhu 4 LCD sebagai display Interface sebagai display

5 Penyimpanan data pada SD Card Penyimpanan data pada hardisk laptop 6 Menggunakan baterai sehingga Menggunakan power supply

7 Telah diujikan pada ikan nila dan lele Telah diujikan pada ikan baronang totol

Dari perbedaan di atas, terdapat kekurangan dan kelebihan baik dari IFFI-1 maupun IFFI-2. IFFI-2 menggunakan 2 panjang gelombang, sehingga dapat dianalisis pula perbandingan intensitas pantulan dari kedua panjang gelombang tersebut terhadap ikan (intensitas rasio). IFFI-1 memakai sensor suhu sehingga dapat menganalisis pengaruh suhu terhadap sensor infrared, sedangkan pada IFFI-2 lebih fokus kepada analisis sensor terhadap ikan. Kelebihan menggunakan display berupa LCD yaitu lebih praktis karena tidak memerlukan laptop,

(26)

sedangkan kelebihan interface yaitu dapat melihat secara langsung grafik realtime dari pantulan. Penggunaan baterai lebih mudah dalam kondisi jauh dari jangkauan listrik atau kondisi listrik yang sering padam, namun dengan power supply

memungkinkan dalam penggunaan tanpa jangka waktu selama pasokan listrik tersedia.

4.2 Hasil Pantulan Gelombang pada Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus) Ikan baronang totol diuji menggunakan IFFI-2 dalam dua kondisi, yaitu dengan sisik dan tanpa sisik. Ikan yang diujikan berjumlah tiga ekor sebagai ulangan. Masing-masing berukuran 15.5 cm, 16 cm, dan 17 cm. Gambar 11 menunjukkan ikan baronang totol yang diujikan.

Gambar 11. Ikan baronang totol (Siganus guttatus) yang diujikan Hasil pengukuran ikan baronang totol ditunjukkan pada Gambar 12, pengukuran dilakukan dengan kondisi ruangan yang gelap. Pengukuran dimulai dari jam ke-0 setelah ikan mati hingga jam ke-13. Perlakuan pematian ikan baronang totol dilakukan dengan cara dibiarkan mati dengan sendirinya. Hal ini mempercepat laju perubahan fase itu sendiri, sesuai dengan hasil penelitian Munandar et al. (2009) diketahui bahwa perlakuan mematikan ikan tanpa ditusuk

(27)

dan tanpa penyiangan menyebabkan perubahan fase kemunduran mutu ikan yang lebih cepat. Data hasil pantulan pengukuran ikan dengan IFFI-2 terdapat pada Lampiran 1. Rata-rata nilai digital ikan terdapat pada Lampiran 2. Hasil perolehan data yang telah diolah ditampilkan dalam grafik moving average, yang dilakukan dengan merata-ratakan setiap 2 titik untuk memperoleh tampilan grafik yang lebih baik.

Gambar 12. Pengujian ikan baronang totol dengan IFFI-2

Gambar 13 menunjukkan pantulan ketiga ikan dengan sisik yang telah dirata-ratakan perjamnya, serta Gambar 14 menunjukkan intensitas (dB) dari pantulan tersebut. Berdasarkan Gambar 13, terlihat bahwa nilai digital number 660 nm lebih tinggi daripada 525 nm. Kedua panjang gelombang tersebut memiliki pola yang hampir sama, namun puncak tertinggi dan puncak terendah dari nilai digital berada pada jam yang berbeda, dimana untuk ikan dengan sisik puncak tertinggi panjang gelombang 660 nm berada di jam ke-3 dan puncak terendah di jam ke-8, sedangkan pada panjang gelombang 525 nm puncak

tertingginya berada pada jam ke-4 dan puncak terendah pada jam ke-9. Perbedaan nilai puncak nilai digital atau intensitas ini menunjukkan bahwa terdapat

(28)

dan Esaiassen (2005), rentang panjang gelombang dari 400 nm sampai 450 nm dan 525 nm sampai 630 nm merepresentasikan kemungkinan besar adanya darah dalam otot ikan, yaitu Mioglobin (Mb) dan Hemoglobin (Hb). Maka dari itu perbedaan pola panjang gelombang 660 nm dan 525 nm dapat disebabkan oleh karakter panjang gelombang tersebut dalam mendeteksi Mioglobin (Mb) dan Hemoglobin (Hb).

Gambar 13. Grafik rata-rata pantulan ikan yang disertai sisik Gambar 14 menunjukkan bahwa intensitas tertinggi ikan dengan sisik menggunakan panjang gelombang 660 nm berada pada jam ke-2 sebesar -1.5 dB dan terendah pada jam ke-8 sebesar -2 dB. Intensitas tertinggi ikan dengan sisik menggunakan panjang gelombang 525 nm berada pada jam ke-4 sebesar -2 dB dan terendah pada jam ke-9 dengan intensitas -2.9 dB. Intensitas pantulan dari panjang gelombang 660 nm lebih tinggi daripada 525 nm.

(29)

Gambar 14. Grafik rata-rata intensitas pantulan ikan yang disertai sisik Fase ikan secara umum terdiri dari pre rigor, rigor mortis, dan post rigor. Gambar 13 menunjukkan bahwa pada jam ke-1 terjadi penurunan nilai digital. Penurunan intensitas ini dikarenakan menurut Abustam dan Ali (2005), otot yang menghasilkan energi mekanik dalam tubuh terdiri dari unsur-unsur kimia (C, H, O) yang menghasilkan energi kimiawi. Setelah mati maka aktifitas kontraksi otot menjadi lemah (Abustam dan Ali, 2005) dan menyebabkan intensitas pantulan menurun pada fase pre rigor. Pada fase ini, tubuh ikan masih bersifat elastis.

Kemudian pada jam ke-2 hingga ke-4 intensitas pantulan cukup tinggi. Hal ini berkaitan dengan glikogen cadangan yang terdapat pada tubuh ikan yang menyebabkan kekakuan otot ikan. Kekakuan otot ini dikarenakan adanya kontraksi-relaksasi antara aktin dan myosin yang membentuk aktomiosin (Munandar et al., 2009). Menurut Abustam dan Ali (2005), waktu yang

-3.5

2 per. Mov. Avg. (Series1)

2 per. Mov. Avg. (Series2)

(30)

dibutuhkan untuk terbentuknya rigor mortis bergantung pada jumlah ATP yang

tersedia pada saat mati, serta jumlah ATP yang tersedia terkait dengan jumlah

glikogen yang tersedia pada saat menjelang ikan mati. Semakin berkurangnya ATP, otot ikan tidak dapat mempertahankan elastisitasnya lagi sehingga menjadi kaku. Ikan (Gambar 13) mengalami fase rigor mortis cukup cepat (pada jam ke-2 hingga jam ke-7) dikarenakan oleh perlakuan cara mematikan ikan dimana ikan dibiarkan mati dengan sendirinya menyebabkan ikan mengalami stress. Sesuai dengan Abustam dan Ali (2005) bahwa kondisi stress dan kurang istirahat

menjelang mati akan menghasilkan persediaan ATP yang kurang sehingga proses

rigor mortis akan berlangsung cepat. Demikian pula suhu yang tinggi akan

mempercepat habisnya ATP akibat perombakan oleh enzim ATPase sehingga

rigor mortis akan berlangsung cepat.

Menurut Nurjanah (2004), post rigor ditunjukkan dengan kondisi ikan yang telah mengeluarkan cairan-cairan atau lendir dalam tubuhnya terutama pada bagian perut ikan. Semakin lama daging terpapar tanpa perlakuan maka semakin banyak kontaminan mikrobia di dalamnya. Pada fase ini daging akan kembali lunak dikarenakan peranan enzim katepsin yang membantu pemecahan protein aktomiosin menjadi protein sederhana, namun daging sudah tidak elastis. Pada Gambar 13, terlihat bahwa penurunan nilai digital yang signifikan terus terjadi hingga jam ke-8 hingga jam ke-9, kemudian terjadi lagi peningkatan nilai digital hingga jam ke-11. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Munandar (2012) dimana setelah memasuki post rigor hingga akhir pengukuran intensitas pantulan masih mengalami penurunan, akan tetapi intensitas perubahannya tidak seperti yang terjadi pada masa sebelum memasuki tahapan post rigor. Fluktuasi yang terdapat

(31)

pada fase post rigor kemungkinan disebabkan oleh tekstur daging yang melunak (Jaya dan Ramadhan, 2006), adanya lendir pada tubuh ikan, atau adanya

gangguan dari luar maupun sensor itu sendiri. Meskipun mengalami penurunan, grafik tetap mengalami fluktuasi meskipun kecil. Jam 11 hingga jam ke-13, terlihat pada panjang gelombang 660 nm nilai intensitas relatif sama. Hal ini menandakan sensor tidak sensitif lagi untuk mendeteksi fase setelah post rigor, yaitu fase busuk.

Kondisi ikan tanpa sisik digambarkan pada Gambar 15 dan. Berdasarkan Gambar 15, terlihat bahwa apabila dibandingkan dengan kondisi ikan dengan sisik, peningkatan nilai digital yang menunjukkan fase rigor mortis tidak terlalu signifikan, meskipun peningkatan nilai digital tetap ada. Begitu pula dengan penurunannya, tidak terlalu signifikan dibandingkan dengan kondisi ikan dengan sisik (Gambar 13). Namun pola yang dimiliki baik oleh pantulan ikan dengan sisik dan tanpa sisik relatif serupa, perbedaan terdapat pada nilai digital maupun intensitasnya. Dengan hal ini dapat diperkirakan bahwa untuk percobaan

pendeteksian baronang totol yang dilakukan berupa perlakuan dengan sisik dan tanpa sisik, pengukuran ikan dengan sisik menghasilkan intensitas pantulan yang lebih tinggi, karena sifat sisik relatif lebih keras dibandingkan kulit sehingga intensitas pantulannya relatif lebih kuat.

Terlihat pada kondisi ikan dengan sisik, pada panjang gelombang 660 nm, memiliki kisaran intensitas -1.5 dB hingga -2 dB serta pada panjang gelombang 525 nm memiliki kisaran-2 dB hingga -2.9 dB, sedangkan pada kondisi ikan tanpa sisik, pada panjang gelombang 660 nm, memiliki kisaran panjang gelombang -1.7

(32)

dB hingga -2.2 dB serta pada panjang gelombang 525 nm memiliki kisaran -1.8 dB hingga -2.9 dB. Pantulan kondisi ikan tanpa sisik terlihat pada Gambar 15

Gambar 15. Grafik rata-rata pantulan ikan tanpa sisik

. Gambar 16 menampilkan intensitas pantulan tanpa sisik, terlihat bahwa nilai digital ataupun intensitas tertinggi pada panjang gelombang 660 nm berada pada jam ke-1 dan terendah pada jam ke-8, sedangkan pada panjang gelombang 525 nm intensitas tertingginya berada pada jam ke-4 dan terendahnya pada jam ke-13.

Gambar 16, menunjukkan bahwa pada panjang gelombang 660 nm, grafik pada fase post rigor (jam ke-9) hingga akhir pengukuran relatif tidak berfluktuasi. Hal ini menandakan bahwa pada ikan tanpa sisik, instrumen tidak mendeteksi perbedaan fase post rigor dan fase busuk. Kondisi ikan pada kedua fase tersebut sama-sama sudah mengalami penurunan, namun ikan pada fase post rigor masih

(33)

dapat dikonsumsi. Berdasarkan Grafik ikan tanpa sisik yang telah ditampilkan, terlihat bahwa pantulan panjang gelombang 660 nm menampilkan intensitas yang lebih kuat, namun pola yang lebih representatif menunjukkan terjadinya

perubahan tingkat kesegaran ikan ditampilkan pada pantulan panjang gelombang 525 nm untuk ikan tanpa sisik.

Gambar 16. Grafik rata-rata intensitas pantulan ikan tanpa sisik Hasil visualisasi pada grafik-grafik sebelumya kurang menampikan pola yang lebih representatif dengan fase-fase kemunduran mutu ikan. Untuk lebih mempermudah dalam hal pengamatan pola tersebut dengan menggunakan instrumen IFFI-2, maka diamati pula rasio dari kedua panjang gelombang tersebut. Rasio yang dilakukan berupa pembagian kedua panjang gelombang (Gambar 17) serta pengurangan kedua panjang gelombang (Gambar 18) pada ikan dengan sisik dan tanpa sisik.

(34)

Gambar 17. Perbandingan (pembagian) intensitas panjang gelombang (dB)

(35)

Kedua grafik di atas menampilkan empat buah garis berbeda warna yang merupakan intensitas pantulan dari ketiga ikan yang dirata-ratakan. Garis biru tua dan merah menunjukkan intensitas rasio pada ikan dengan sisik, sedangkan garis hijau dan ungu menunjukkan intensitas rasio ketiga ikan tanpa sisik. Kedua grafik di atas memiliki pola yang relatif sama, perbedaannya terdapat pada intensitas dari kedua rasio tersebut. Intensitas rasio perbandingan menampilkan intensitas yang lebih kuat dibandingkan rasio selisih (Gambar 17). Pada kedua grafik tersebut juga terlihat bahwa intensitas rasio ikan tanpa sisik lebih lemah dibandingkan ikan dengan sisik.

Berdasarkan Gambar 17, terlihat bahwa rasio pada jam ke-1 secara umum mengalami peningkatan. Kemudian intensitas rasionya melemah serta pada jam ke-4 berada pada kondisi intensitas rasio yang paling lemah. Setelah jam tersebut, intensitas rasio semakin meningkat, dan pada jam ke-11 menunjukkan intensitas rasio yang mengalami penurunan. Hal ini menjelaskan bahwa pada intensitas rasio perbandingan panjang gelombang 660 nm dan 525 nm, ikan dengan sisik maupun tanpa sisik memiliki perbedaan intensitas yang kecil pada jam ke-4 dalam

mendeteksi ikan, sehingga perbedaan intensitas kedua panjang gelombang yang kecil tersebut menunjukkan fase rigor mortis dengan baik.

Jam ke-4 hingga ke-7 merupakan fase post rigor. Pada fase ini daging akan kembali lunak dikarenakan peranan enzim katepsin yang membantu pemecahan protein aktomiosin menjadi protein sederhana, sehingga kondisi daging yang kembali menjadi lunak (Abustam dan Ali, 2005). Pada jam ke-10 serta jam ke-12 terlihat adanya nilai intensitas rasio yang relatif sama, hal ini menunjukkan bahwa pada sensor tidak melihat fase busuk ikan dengan sensitif.

(36)

Hasil penelitian Nurhayati, et al. (2010) pada ikan bandeng menunjukkan bahwa enzim katepsin menyebabkan pelunakan tekstur pada kemunduran mutu ikan, peningkatan aktifitas enzim katepsin lebih cepat pada ikan yang disimpan di suhu ruang, serta mengalami peningkatan dari fase pre rigor hingga post rigor dan menurun pada fase busuk.

Gambar 18 menunjukkan rasio pengurangan kedua panjang gelombang, terlihat bahwa pola yang ditampilkan relatif sama, perbedaannya terdapat pada intensitas dari kedua rasio tersebut. Grafik ikan dengan sisik menampilkan pada jam ke-4 rasio intensitasnya kecil dibandingkan jam-jam lainnya. Kisaran intensitasnya berada pada -9 dB dan -10 dB, sedangkan untuk ikan tanpa sisik intensitas terendahnya berada pada jam ke3 dengan nilai intensitas 16 dB dan -17 dB. Terlihat bahwa dengan intensitas rasio pengurangan, penurunan mutu pada fase busuk lebih terlihat.

Apabila dibandingkan, intensitas rasio perbandingan kedua panjang gelombang dan selisih (pengurangan) kedua panjang gelombang, dari hasil yang diperoleh terlihat bahwa rasio perbandingan menampilkan hasil visualisasi yang lebih baik, sehingga memudahkan pengamatan fase-fase ikan. Hal ini terlihat dimana pola dari masing-masing fase terlihat dengan jelas dan relatif sama perjamnya dimana terlihat bagian-bagian mana yang perubahannya terlihat jelas. Selain itu, pada rasio pengurangan terjadi perbedaan pola pada jam ke-3 dan ke-4 sehingga rasio perbandingan menampilkan hasil yang lebih baik, meskipun fase busuk lebih terlihat pada rasio pengurangan.

(37)

Selama penyimpanan, ikan mengalami perubahan biokimia, kimia, fisik,

dan proses mikrobiologi yang terutama disebabkan oleh waktu dan suhu, faktor

lain seperti penanganan dan stress juga mempengaruhi kemunduran mutu ikan

(Olsen et al., 2008). Nilai intensitas-intensitas pantulan yang ditampilkan pada

grafik-grafik sebelumnya dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya konsistensi peletakan instrumen pada ikan, gangguan dari luar, dan kondisi ikan itu sendiri seperti tekstur dan warna.

Ketidakakuratan yang disebabkan oleh peletakan instrumen dikarenakan instrumen dipindahkan dari satu ikan ke ikan-ikan berikutnya, sehingga ketika kembali ke posisi awal maka akan memungkinkan peletakan yang berubah dari semula. Selain itu, semakin meningkatnya waktu kondisi tubuh ikan mengalami penggembungan yang disebabkan oleh aktifitas enzimatis maupun mikroba Abustam dan Ali (2005). Pada saat pengambilan data, penggembungan tersebut akan mengakibatkan kemiringan-kemiringan pada peletakan instrumen sehingga memungkinkan adanya cahaya yang keluar. Gangguan dari luar misalnya adanya serangga seperti lalat yang menghinggapi instrumen ketika ikan mengalami fase busuk, sehingga menimbulkan getaran-getaran yang menimbulkan pengaruh pada nilai digital. Selain itu, kemungkinan juga disebabkan oleh sensor itu sendiri, dimana terkadang sensor tidak menangkap pantulan cahaya sehingga

menghasilkan nilai digital nol (0). Gangguan-gangguan dapat terlihat secara langsung pada interface seperti pada Gambar 19.

(38)

Gambar 19. Tampilan pada interface ketika terdapat gangguan getaran dari luar maupun dari sensor

Kondisi ikan seperti tekstur dan warna mempengaruhi intensitas pantulan. Hal ini karena tekstrur yang semakin kasar akan membaurkan pantulan. Semakin tinggi kekenyalan daging maka pantulan akan semakin tinggi. Warna

mempengaruhi intensitas dikarenakan adanya darah dalam tubuh ikan serta komponen-komponen darah seperti Mioglobin (Mb) dan Hemoglobin (Hb).

4.3 Hasil Pengamatan Organoleptik pada Ikan Baronang Totol

Selain pengambilan data pantulan cahaya yang menghasilkan nilai digital dan intensitas pantulan (dB), dilakukan juga pengamatan organoleptik setiap ikan perjamnya. Hal ini bertujuan untuk membandingkan kondisi ikan antara

pengamatan menggunakan instrumen dan pengamatan dengan menggunakan panca indera.

Uji Organoleptik merupakan salah satu metode penentuan kesegaran ikan dengan melihat langsung bagian pada tubuh ikan yang menujukan seperti pada bagian mata, insang, daging dan isi perut ikan. Pengamatan organoleptik yang

(39)

telah dilakukan pada ikan baronang totol yaitu pada kekenyalan tubuh, mata, insang, lendir, serta bau, yang ditampilkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengamatan kondisi organoleptik ikan

Jam Ikan 1 Ikan 2 Ikan 3

0

Tubuh ikan elastis, padat, mata segar, insang merah, bau segar, totol kuning cerah

Tubuh ikan elastis, padat, mata segar, insang merah, bau segar, totol kuning cerah

Tubuh ikan elastis, padat, mata segar, insang merah, bau segar, totol kuning cerah

1

Tubuh ikan elastis, padat, mata segar, insang merah, bau segar, totol kuning cerah

Tubuh ikan elastis, padat, mata segar, insang merah, bau segar, totol kuning cerah

Tubuh ikan elastis, padat, mata segar, insang merah, bau segar, totol kuning cerah

2

Badan mulai kaku, mata mulai keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup

Badan mulai kaku, mata mulai keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup

Badan mulai kaku, mata mulai keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup

3

Badan kaku, mata sedikit keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup

Badan sedikit kaku, mata sedikit keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup

Badan sedikit kaku, mata sedikit keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup

4

Badan kaku, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup

Badan kaku, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup

Badan kaku, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup

5

Badan kaku, tubuh kembung, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup

Badan kaku, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup

Badan sedikit kaku, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning meredup

6

Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata keruh, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup

Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning redup

Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata keruh, insang merah, bau segar, totol kuning redup

7

Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata keruh, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup

Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata keruh, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup

Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata keruh, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup

(40)

Tabel 5. Pengamatan kondisi organoleptik ikan (lanjutan)

Jam Ikan 1 Ikan 2 Ikan 3

8

Badan mulai melentur, tubuh kembung, mata redup, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup

Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata redup, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup

Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata redup, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup

9

Badan mulai melentur, tubuh kembung, mata redup, insang mulai pucat, bau mulai busuk, totol kuning redup

Badan mulai melentur, tubuh kembung, mata redup, insang mulai pucat, bau mulai busuk, totol kuning redup

Badan sedikit kaku, tubuh kembung, mata redup, insang mulai pucat, bau mulai busuk, totol kuning redup

10

Badan melentur, tubuh kembung, mata mulai redup, insang mulai pucat, bau mulai busuk, totol kuning redup

Badan melentur, tubuh kembung, mata redup, insang mulai pucat, bau mulai busuk, totol kuning redup

Badan mulai melentur, tubuh kembung, mata redup, insang merah, bau mulai busuk, totol kuning redup

11

Badan melentur, tubuh kembung, berlendir, mata redup, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih

Badan melentur, tubuh kembung, berlendir, mata redup, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih

Badan melentur, tubuh kembung, berlendir, mata redup, insang pucat, bau mulai busuk, totol kuning menjadi putih

12

Badan melentur, kembung, berlendir, mata memerah, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih

Badan melentur, kembung, berlendir, mata memerah, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih

Badan melentur, kembung, berlendir, mata memerah, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih

13

Badan melentur, kembung, berlendir, mata memerah, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih

Badan melentur, kembung, berlendir, mata memerah, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih

Badan melentur, kembung, berlendir, mata memerah, insang pucat, bau busuk, totol kuning menjadi putih

Berdasarkan Tabel 5, kondisi mata ikan masih terlihat segar dan bening hingga jam ke-2, kemudian mata terlihat keruh pada jam ke-4. Mata merupakan salah satu bagian tubuh ikan yang dijadikan sebagai parameter tingkat kesegaran ikan. Pada ikan segar, bola mata terlihat cembung dan cerah (Nurjanah et al., 2004). Pada ikan busuk bola mata terlihat memerah hal ini terlihat pada jam

(41)

12. Konsistensi merupakan tingkat kelenturan dan kekenyalan yang menunjukan parameter kesegaran ikan. Terlihat bahwa tubuh ikan yang semula elastis, pada jam ke-4 menjadi kaku untuk ikan 2 dan 3, sedangkan tubuh ikan 1 menjadi kaku pada jam ke-3.

Daging melentur kembali pada jam ke-10 dan jam ke-11 hingga akhir pengukuran. Insang merupakan salah satu parameter dimana ikan yang kondisinya mulai menurun akan menyebabkan warnanya semakin pucat. Pada Tabel 5, insang mulai memucat pada jam ke-9, dan pada jam ke-11 terlihat pucat. Aroma bau mulai tercium dari ikan pada jam ke-6 dan ke-7, serta bau busuk menyengat pada jam ke-11. Kondisi bau ini mendatangkan banyak lalat yang dapat mengganggu aktifitas pendeteksian dengan instrumen. Pada kondisi ikan dengan sisik, terlihat adanya salah satu ciri utama ikan baronang totol yaitu totol kuning berukuran cukup besar di dekat ujung sirip dorsal. Warna totol kuning tersebut meredup pada jam ke-2, terlihat benar-benar redup pada jam ke-6, dan memutih pada jam ke-11. Hal ini dipengaruhi oleh reaksi-reaksi biokimia yang terjadi pada tubuh ikan.

Ikan yang mengeluarkan banyak energi sebelum mati, pH- nya akan lebih cepat turun dan mengaktifkan enzim katepsin yang mampu menguraikan

senyawa-senyawa yang bersifat volatil, sehingga fase kemunduran mutunya akan berlangsung cepat (Munandar et al., 2009), sehingga terlihat bahwa terjadinya fase-fase ikan tesebut juga relatif cepat apabila dibandingkan dengan perlakuan pematian dan penyimpanan yang lain. Penanganan dan kondisi penyimpanan dapat mempengaruhi degradasi mikrobiologi. Faktor-faktor ini juga dapat mempengaruhi perekaman pantulan dan mempengaruhi hasil pengamatan.

(42)

Berdasarkan pengamatan organoleptik yang dilakukan, terlihat fase-fase kemunduran mutu ikan baronang totol yang diamati. Menurut Nurjanah et al. (2004), kondisi ikan yang mengalami pre rigor adalah mata cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang berwarna merah cemerlang tanpa lendir, sayatan daging cemerlang berwarna asli, tidak ada pemerahan sepanjang tulang belakang, perut utuh, ginjal merah terang, dinding daging perutnya utuh, dan bau isi perut segar, konsistensi otot elastis bila ditekan dengan jari, sulit menyobek daging dari tulang belakang. Hal ini sesuai dengan pengamatan pada jam 0 hingga jam ke-1, sehingga pada jam-jam tersebut terjadi fase pre rigor.

Fase berikutnya adalah rigor mortis dimana ikan menjadi kaku. Hal ini terlihat mulai jam ke-2 hingga ke-7, dan kondisi tubuh paling kaku serta pantulan paling kuat berada pada jam ke-4. Jam ke-7 hingga ke-10 merupakan fase post rigor yang menurut Nurjanah et al. (2004) ditandai dengan bola mata agak cekung, pupil keabu-abuan, kornea agak keruh, insang menampakkan

diskolorisasi merah muda dan berlendir, sayatan daging mulai pudar, banyak pemerahan pada tulang belakang, bau seperti susu asam, konsistensi agak lunak, mudah menyobek daging dari tulang belakang. Pada fase ini ikan masih dapat dikonsumsi meskipun mutunya sudah menurun. Terlihat pada Tabel 5 bahwa mata redup, tubuh ikan kembali melentur, mucul lendir, insang yang memucat, serta bau yang menusuk. Jam-jam berikutnya merupakan fase busuk ikan dimana kondisi ikan sudah tidak dapat dikonsumsi.

Pengamatan secara organoleptik menampilkan jam terjadinya fase-fase ikan yang sama dengan hasil pengamatan menggunakan instrumen yaitu pada jam ke-0 hingga jam ke-1 terjadi fase pre rigor, pada jam ke-2 dan ke-7 terjadi fase

(43)

rigor mortis, jam ke-7 hingga ke-10 terjadi fase post rigor, kemudian selanjutnya merupakan fase busuk ikan. Hal ini menunjukkan bahwa instrumen telah dapat melihat penurunan kualitas ikan dengan cukup baik, sehingga

pengembangan/modifikasi instrumen IFFI-1 menjadi IFFI-2 telah dilakukan dengan baik dan memberikan hasil yang lebih baik.

(44)

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Infrared Fish Freshness Instrumen-2 (IFFI-2) telah menunjukkan

keberhasilan penelitian sebelumnya (IFFI-1) bahwa panjang gelombang 525 nm dan 660 nm dapat mendeteksi dan mengestimasi kemunduran mutu ikan dengan hasil yang lebih baik. Hal ini ditunjukkan dengan hasil pengujian ikan baronang totol (Siganus guttatus). Panjang gelombang 660 nm memiliki intensitas pantulan yang lebih kuat dibandingkan intensitas pantulan 525 nm. Pola intensitas

pemantulan yang lebih representatif terjadi pada hasil perbandingan dari intensitas pemantulan kedua panjang gelombang tersebut, dimana fase-fase ikan baronang totol terlihat lebih jelas yaitu fase pre rigor (pada jam ke-0 hingga jam ke-1), fase rigor mortis (pada jam ke-2 hingga jam ke-7), fase post rigor (pada jam ke-8 hingga sekitar jam ke-10). Penentuan fase-fase ini sesuai dengan pengamatan organoleptik yang dilakukan, sehingga IFFI-2 dapat melihat pola kemunduran mutu ikan baronang totol dengan baik.

5.2 Saran

Meskipun perbandingan kedua panjang gelombang menghasilkan pola yang cukup baik, sebaiknya pada modifikasi IFFI-2 diberikan jarak antara sensor panjang gelombang 525 nm dan 660 nm untuk menghindari pemancaran

gelombang yang tumpang tindih antara 525 nm dan 660 nm. Kemudian sebaiknya pada perlakuan kondisi tubuh ikan, selain kondisi dengan sisik dan tanpa sisik, diamati pula kondisi tanpa kulit (fillet), hal ini karena ikan baronang totol

memiliki kulit yang cukup tebal, sehingga karakteristik pantulannya dapat diamati

(45)

lebih dalam. Pengamatan organoleptik sebaiknya dilakukan oleh panelis yang menguasai/ahli. Sampel yang diujikan harus lebih banyak dan dengan perlakuan yang seragam serta menambahkan panjang gelombang pada instrumen, sehingga kedepannya diharapkan IFFI-2 dapat mengamati perbedaan pola pantulan berbagai ikan baik ikan air tawar maupun ikan air laut serta mengetahui indeks kesegaran ikan.

(46)

DETEKSI DAN ESTIMASI KEMUNDURAN MUTU

IKAN BARONANG TOTOL (Siganus guttatus)

MENGGUNAKAN PANJANG GELOMBANG

INFRAMERAH DEKAT 525 nm DAN 660 nm

REFFA PYTHALOKA

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(47)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :

DETEKSI DAN ESTIMASI KEMUNDURAN MUTU IKAN

BARONANG TOTOL (Siganus guttatus) MENGGUNAKAN PANJANG GELOMBANG INFRAMERAH DEKAT 525 nm DAN 660 nm

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan manapun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir skripsi.

Bogor, Januari 2013

(48)

RINGKASAN

REFFA PYTHALOKA. Deteksi dan Estimasi Kemunduran Mutu Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus) menggunakan Panjang Gelombang Inframerah Dekat 525 nm dan 660 nm. Dibimbing oleh INDRA JAYA.

Kesegaran ikan merupakan keadaan dari saat ikan mati hingga memasuki tahap penurunan mutu ikan.Tingkatan kesegaran ikan merupakan tolak ukur untuk membedakan ikan yang bermutu baik dan buruk. Metode spektroskopi telah digunakan dalam menentukan kesegaran ikan, terutama pada rentang gelombang tampak dan inframerah dekat. Spektroskopi dapat menampilkan perubahan yang terjadi dalam interaksi radiasi elektromagnetik dengan kondisi fisik dari sampel ikan.

Salah satu instrumen yang mengaplikasikan metode ini adalah IFFI-1 (Infrared Fish Freshness Instrumen -1), yang telah dimodifikasi menjadi IFFI-2 (Infrared Fish Freshness Instrumen -2). Perbedaan IFFI-1 dan IFFI-2 terdapat pada bagian kontrol dan sensor. IFFI-1 memiliki LCD pada bagian kontrolnya sekaligus merupakan unit display, sedangkan pada IFFI- 2 unit display-nya langsung pada komputer/laptop untuk proses selanjutnya. Perbedaan paling utama adalah IFFI-1 menggunakan gelombang inframerah 780 nm, sedangkan IFFI 2 menggunakan gelombang cahaya tampak 525 nm dan 660 nm. Untuk uji coba IFFI-2, ikan yang diamati adalah ikan baronang totol (Siganus guttatus) yang merupakan ikan ekonomis penting yang banyak diminati dalam kondisi segar.

IFFI-2 mendeteksi kemunduran mutu ikan dengan memancarkan panjang gelombang 525 nm dan 660 nm pada ikan target menggunakan transmitter. Hasil pantulan diterima oleh receiver dan akan diolah di mikrokontroler, kemudian hasilnya ditampilkan di interface. Intensitas rasio ditemukan dengan

menggunakan perbandingan dan pengurangan kedua panjang gelombang. Hasil pendeteksian ikan dengan sisik, pada panjang gelombang 660 nm berkisar -1.5 dB hingga -2 dB serta pada panjang gelombang 525 nm berkisar -2 dB hingga -2.9 dB. Sementara ikan tanpa sisik, pada panjang gelombang 660 nm berkisar 1.7 dB hingga 2.2 dB serta pada panjang gelombang 525 nm berkisar -1.8 dB hingga -2.9 dB. Kisaran-kisaran di atas menunjukkan bahwa panjang gelombang 660 nm memiliki pantulan yang lebih kuat dibandingkan dengan panjang gelombang 525 nm, baik untuk ikan dengan sisik maupun tanpa sisik.

Rasio kedua panjang gelombang juga diamati dengan IFFI-2. Rasio yang dilakukan berupa pembagian kedua panjang gelombang serta pengurangan kedua panjang gelombang pada ikan dengan sisik dan tanpa sisik. Rasio perbandingan menampilkan hasil visualisasi yang lebih baik, sehingga memudahkan

pengamatan fase-fase ikan.

(49)

© Hak cipta milik Reffa Pythaloka, tahun 2013

HakCiptaDilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(50)

DETEKSI DAN ESTIMASI KEMUNDURAN MUTU

IKAN BARONANG TOTOL (Siganus guttatus)

MENGGUNAKAN PANJANG GELOMBANG

INFRAMERAH DEKAT 525 nm DAN 660 nm

REFFA PYTHALOKA

SKRIPSI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN

FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(51)

SKRIPSI

Judul Skripsi : DETEKSI DAN ESTIMASI KEMUNDURAN MUTU IKAN BARONANG TOTOL (Siganus gutttatus) MENGGUNAKAN PANJANG GELOMBANG INFRAMERAH DEKAT 525 nm DAN 660 nm Nama Mahasiswa : Reffa Pythaloka

Nomor Pokok : C54080086

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Prof. Dr. Indra Jaya NIP. 1961041 198601 1 002

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

Tanggal Ujian: 22 Januari 2012

(52)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt, karena berkat rahmat, hidayah, serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat serta salam penulis sampaikan kepada Rasulullah saw, keluarganya, kerabatnya, hingga umatnya.

Penelitian dengan judul “Deteksi dan Estimasi Kemunduran Mutu Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus) Menggunakan Panjang Gelombang

Inframerah Dekat 525 nm dan 660 nm” ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Indra Jaya sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan, serta nasehat yang terbaik bagi penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan studi di Departemen ITK.

2. Ibu Dr. Ir. Tati Nurhayati, S.Pi, M.Si yang telah memberikan pengetahuan baru serta masukan-masukan yang berharga bagi penulis.

3. Bapak Dr.Ir. Henry M. Manik, S.Pi, MT yang telah memberikan pengetahuan selama kuliah di Departemen ITK serta memberikan masukan-masukan mengenai hasil penelitian.

4. Ibu Ika Dasnika dan Bapak Sadri Usin sebagai orang tua terbaik bagi penulis, serta keluarga besar penulis yang selalu memberikan doa restu dan dukungan bagi penulis untuk kuliah di Departemen ITK, terutama Mama Nia dan Bunda Liceu, dan Alm. Ayah H. Djunaedi.

(53)

5. Bapak/Ibu dosen dan staf penunjang Departemen ITK atas bantuannya selama penulis menyelesaikan studi di IPB.

6. Bang Iqbal, Bang Erik, Bang Acta, Bang Rizqi, Bang Asep, Bang Holland, Tonny, Dwi, dan teman-teman lain dari MIT yang telah membantu penulis menyelesaikan penelitian.

7. Bapak Petrus yang telah memberikan ide serta pengetahuan-pengetahuan kepada penulis untuk menyelesaikan penelitian.

8. Sri Hadianti dan Dafri Darata, sebagai sahabat yang selalu mendampingi penulis selama kuliah di Departemen ITK.

9. Marsya, Nurlaela, Hikmah, Niki, Ade, Umi, Dea, Mahendra, Arif, dan keluarga ITK 45 lain yang namanya tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, serta Ami dan Stefany, terima kasih atas segala doa, dukungan, semangat, dan

kebersamaannya.

Penulis menyadari skripsi hasil penelitian ini memiliki kekurangan-kekurangan yang perlu diperbaiki. Maka dari itu penulis memohon maaf apabila terdapat kekurangan dan kesalahan, serta penulis harapkan kritik dan sarannya sehingga kedepannya akan menjadi lebih baik lagi.

Bogor, Januari 2013

Reffa Pythaloka

(54)

DAFTAR ISI

2.1 Deskripsi Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus) . ... 3 2.2 Kesegaran dan Kemunduran Mutu Ikan ... 4 2.3 Pendeteksian Kemunduran Mutu Ikan dengan VIS/NIR ... 6 3. METODOLOGI PENELITIAN ... 9

3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian ... 9 3.2 Alat dan Bahan ... 9 3.3 Prosedur Modifikasi Alat ... 11 3.4 Prosedur Kerja Alat ... 13 3.5 Prosedur Pengambilan Data ... 14 3.6 Metode Analisis Data ... 16 4. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18 4.1 Modifikasi Alat ... 18 4.2 Hasil Pantulan Gelombang pada Ikan Baronang Totol

(55)

DAFTAR TABEL

Halaman 1. Komposisi kimia tubuh ikan ikan menurut Irianto et al. (2008) ... 4 2. Alat yang digunakan ... 10 3. Bahan yang digunakan ... 10 4. Perbedaan IFFI-1 dan IFFI-2 ... 25 5. Pengamatan kondisi organoleptik ikan ... 39

(56)

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1. Ikan baronang totol (Siganus guttatus) ... 3 2. Diagram alir modifikasi alat ... 12 3. Prinsip kerja IFFI-2 ... 13 4. Diagram alir pengambilan data ... 15 5. IFFI-1 (a), dan IFFI-2 (b) ... 18 6. Tampilan interface IFFI-2 pada monitor laptop ... 20 7. Grafik Ikan 1 dengan sisik pada jam ke-1... 22 8. Grafik Ikan 2 dengan sisik pada jam ke-1... 23 9. Sensor pada IFFI-2, 525 nm (hijau) dan 660 (merah)... 24 10. Pemancaran sinar dari sensor pada kondisi terang (a) dan gelap (b) ... 24 11. Ikan baronang totol (Siganus guttatus) yang diujikan ... 26 12. Pengujian ikan baronang totol dengan IFFI-2 ... 27 13. Grafik rata-rata pantulan ikan yang disertai sisik ... 28 14. Grafik rata-rata intensitas pantulan ikan yang disertai sisik ... 29 15. Grafik rata-rata pantulan ikan tanpa sisik ... 32 16. Grafik rata-rata intensitas pantulan ikan tanpa sisik ... 33 17. Perbandingan (pembagian) intensitas panjang gelombang (dB)... 34 18. Perbandingan (selisih) intensitas panjang gelombang (dB) ... 34 19. Tampilan pada interface ketika terdapat gangguan getaran dari luar

maupun dari sensor ... 38

(57)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1.Data pantulan ... 50 2. Rata-rata nilai digital ikan 1, 2, dan 3 ... 53

(58)

1. PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Menurut Statistik Kelautan dan Perikanan Indonesia (2012), penyediaan ikan untuk konsumsi pada tahun 2007-2011 mengalami peningkatan sebesar 5,06%, dari yang semula 26 kg/kapita/tahun menjadi 31,64 kg/kapita/tahun. Konsumsi ikan dalam bentuk segar pada tahun 2009 sejumlah 43,1% kemudian meningkat menjadi 57,05% pada tahun2011, menunjukan bahwa konsumsi ikan dalam bentuk segar lebih banyak diminati dibandingkan konsumsi dalam bentuk lain. Salah satu ikan yang diminati untuk dikonsumsi dalam bentuk segar adalah baronang totol (Siganus guttatus) yang hidup di perairan mangrove hingga terumbu karang dengan kedalaman mencapai 6 meter. Namun wilayah yang jauh dari pesisir umumnya sulit memperoleh ikan baronang totol dalam bentuk segar, untuk itu diperlukan pemeriksaan mutu ikan baronang totol segar untuk

mengetahui sejauh mana tingkat kesegaran ikan tersebut.

Beberapa metode yang sering digunakan untuk mengukur mutu kesegaran ikan diantaranya organoleptik, TVB, TPC, pH. Metode pengukuran kesegaran ikan lainnya yaitu menggunakan pengukuran tahanan listrik, metode akustik, serta metode VIS/NIR (visible/near infrared). Metode VIS/NIR dilakukan dengan memancarkan gelombang cahaya tampak atau inframerah dekat pada objek berupa ikan. Pantulan dari fisik ikan kemudian dianalisis untuk dapat mengetahui sejauh mana kesegaran/kemunduran mutu ikan. Kelebihan metode ini yaitu bersifat objektif dan praktis. Salah satu instrumen pendeteksi

(59)

kesegaran/kemunduran mutu ikan adalah Infrared Fish Freshness Instrument -1 (IFFI-1).

Hasil penelitian Munandar (2012) menggunakan IFFI-1 menunjukkan bahwa panjang gelombang yang baik untuk pengukuran kesegaran ikan yaitu pada 525 nm dan 690 nm, karena kekuatan pantulan yang signifikan berada pada panjang gelombang tersebut. Namun setiap ikan memiliki karakteristik fisik yang berbeda-beda, sehingga pola yang ditampilkan dari pantulan kedua panjang gelombang tersebut akan berbeda pula. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dilakukan penelitian lanjutan dengan judul “Deteksi dan Estimasi Kemunduran Mutu Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus) Menggunakan Panjang Gelombang Inframerah Dekat 525 nm dan 660 nm” dengan mengembangkan instrumen sebelumnya (IFFI-1) menjadi IFFI-2 agar diperoleh hasil penelitian yang lebih baik.

1.2Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mengamati dan membandingkan pola pendeteksian dari panjang gelombang 525 nm dan 660 nm pada ikan baronang totol (Siganus guttatus) menggunakan instrumen IFFI-2. Dengan demikian, kemunduran mutu ikan baronang totol tersebut dapat diestimasi.

(60)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1Deskripsi Ikan Baronang Totol (Siganus guttatus)

Ikan baronang totol (Gambar 1) termasuk filum Chordata, sub filum Vertebrata, kelas Pisces, sub kelas Teleostei, ordo Perchomorphi, sub ordo Percoidea, famili Siganidae, genus Siganus, spesies Siganus guttatus (Woodland, 1990). Ikan ini disebut juga spotted rabbit fish, rata-rata memiliki panjang 25,0 cm. Ikan ini memiliki jari-jari sirip dorsal keras sejumlah 13 buah, jari-jari sirip dorsal lunak 10 buah, jari-jari sirip anal 7 buah, dan jari-jari sirip dubur lunak 9 buah. Ikan ini berwarna hitam kebiruan di bagian punggung, keperakan di bagian bawah, memiliki titik kuning cerah dekat ujung sirip punggung, serta tubuh yang berbintik-bintik. Ikan ini memiliki duri yang kokoh dan beracun. Habitat ikan baronang totol berada di perairan pantai diantara mangrove dan terumbu karang hingga 6 m. Ikan dewasa melakukan schooling 10 hingga 15 ekor. Ikan baronang totol termasuk ikan nokturnal dan memakan alga bentik. (Woodland, 1990).

Gambar 1. Ikan baronang totol (Siganus guttatus) Sumber: fishbase.org

(61)

2.2Kesegaran dan Kemunduran Mutu Ikan

Kesegaran ikan merupakan keadaan dari saat ikan mati hingga memasuki tahap penurunan mutu ikan. Tingkatan kesegaran ikan merupakan tolak ukur untuk membedakan ikan yang bermutu baik dan buruk. Ikan dikatakan masih segar apabila perubahan-perubahan biokimia, mikrobiologi dan fisika yang terjadi belum menyebabkan perubahan sifat-sifat ikan pada waktu masih hidup. Proses ini terutama dipengaruhi oleh waktu dan suhu, serta faktor lain seperti jenis ikan, pra-panen dan penanganan stress (Olsen et al, 2008).

Komposisi kimia tubuh ikan berbeda-beda tergantung pada spesies, umur, jenis kelamin, musim penangkapan, serta ketersediaan pakan di air, habitat dan kondisi lingkungan. Tabel 1 merupakan kisaran rata-rata komposisi kimia tubuh ikan segar menurut Depkes RI (1991).

Tabel 1. Komposisi kimia tubuh ikan segar

Senyawa Kimia Jumlah

Air (g) 76,0

Protein (g) 17,0

Karbohidrat (g) 0.0

Lemak (g) 4,5

Fosfor (mg) 200,0

Kalsium (mg) 20,0

Zat besi (mg) 1,0

Vitamin A (IU) 150,0

Vitamin B1 (mg) 0,05

Salah satu penyebab kemunduran mutu ikan segar adalah proses

perombakan oleh aktivitas enzim terutama enzim proteolitik yang terdapat secara alami pada ikan. Proses kemunduran mutu dan kesegaran ikan meliputi fase pre rigor, rigor mortis, post rigor, dan busuk. Fase tersebut akan terus berlangsung jika tidak dihambat. Lamanya waktu perubahan yang berlangsung pada ikan tergantung pada jenis ikan, ukuran, kondisi ikan waktu hidup, cara kematian, dan

Gambar

Gambar 15. Grafik rata-rata pantulan ikan tanpa sisik
Gambar 16. Grafik rata-rata intensitas pantulan ikan tanpa sisik
Gambar 18. Perbandingan (selisih) intensitas panjang gelombang (dB)
Gambar 19. Tampilan pada interface ketika terdapat gangguan getaran dari luar
+7

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pada penelitian ini untuk mengetahui penilaian tingkat kesehatan bank syariah yang ditinjau dari aspek governance akan menggunakan laporan good corporate governance

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini meliputi: (1) bagaimana aktivitas guru dalam penerapan model

Lemak yang diserap dari makanan dan lipid yang di sintesis oleh hati dan jaringan adiposa harus diangkut ke berbagai jaringan dan organ untuk digunakan dan

Jabatannya sebagai Wakil Kepala SMA Negeri 8 Yogyakarta Urusan Kesiswaan yang diembannya selama 15 tahun dari tahun 1996 hingga tahun 2011 menjadikan seluruh siswa, guru, karyawan,

PROPORSI APBD PEMDA T.A. 2016  (AGREGAT) 40% 9% 1% 25% 25% Belanja Pemda Belanja Pegawai Belanja Hibah Belanja Bantuan Sosial Belanja Modal Belanja Barang dan Jasa 69,5%

Pada tindakan siklus II dari hasil nilai rata-rata keterampilan menulis halus kelas II SD Negeri Kertonatan 1 Kartasura, terjadi peningkatan persentase ketuntasan

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah SWT yang telah memberi petunjuk dan serta melancarkan jalan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul