• Tidak ada hasil yang ditemukan

Peran nukleotida sebagai imunostimulan terhadap respon imun nonspesifik dan resistensi udang vaname (Litopenaeus vannamei)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Peran nukleotida sebagai imunostimulan terhadap respon imun nonspesifik dan resistensi udang vaname (Litopenaeus vannamei)"

Copied!
263
0
0

Teks penuh

(1)

RESISTENSI UDANG VANAME

(Litopenaeus vannamei)

HENKY MANOPPO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2011

(3)

i

PERAN NUKLEOTIDA SEBAGAI IMUNOSTIMULAN

TERHADAP RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN

RESISTENSI UDANG VANAME

(Litopenaeus vannamei)

HENKY MANOPPO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)

iii ABSTRACT

HENKY MANOPPO. Role of Nucleotides as Immunostimulant on Non Specific Immune Response and Resistance of Whiteleg Shrimp (Litopenaeus vannamei). Supervised by SUKENDA, DANIEL DJOKOSETIYANTO, M. FATUCHRI SUKADI and ENANG HARRIS

Whiteleg shrimp (Litopenaeus vannamei) culture in Indonesia began in 2000 to partly replace the tiger prawn (Penaeus monodon) that was seriously affected by disease. However, losses due to disease still remain an important concern till now. Therefore, a series of experiments was conducted to evaluate the efficacy of nucleotides in enhancing nonspecific immune response, resistance and growth of whiteleg shrimp. In experiment 1, juveniles were fed commercial pellet previously supplemented with nucleotides at A:0, B:100, C:200, D:300, E:400, F:500 mg.kg-1 pellet, each with three replication. At the end of feeding, shrimp was challenged intramuscularly with 0.1 mlVibrio harveyi solution 1x106 cfu.shrimp-1. Mean total haemocyte count (THC) of shrimp in treatment D (300 mg nucleotides) increased up to 76% higher than control. PO activity in treatment D (300 mg nucleotides) was also significantly different (p=0.005) compared to control. Fourteen days post-challenge, shrimp in treatment E (400 mg nucleotides) had higher resistance to V. harveyi infection (p=0.005). In treatment E, shrimp growth was significantly higher (p=0.001) than control as well as other treatments.Experiment 2 evaluated the effect of administration time of nucleotides on the nonspecific immune response and growth of shrimp. Shrimps were fed pellet supplemented with nucleotides at 400 mg.kg-1 diet. Research result showed that oral administration of nucleotides for four weeks successively significantly enhanced nonspecific immune response and shrimp growth. Experiment 3 evaluated the effect of β–glucan on total haemocyte, PO activity, resistance and growth of shrimp as comparison to nucleotides. THC of shrimp fed nucleotides diet increased up to 87% higher than control. PO activity also increased significantly (p=0.01). Supplementation of β–glucan could increase THC and PO activity, but the increase was not different compared to control. Administration of nucleotides and β–glucan for four consecutive weeks significantly increased resistance of shrimp to disease (p<0.01) where the highest resistance was observed on shrimp fed nucleotides diet. Growth of shrimp fed nucleotide-diet was significantly different compared to control (p<0.01), as well as to β–glucan diet. Experiment 4 was conducted to apply nucleotide-supplemented diet directly in brackishwater pond. Survival rate of shrimp fed nucleotide diet was higher (83.24%) than shrimp fed basal diet (81.71%) but statistically not different.Growth of shrimps fed nucleotide diet was significantly different (p<0.01) compared to shrimp fed basal diet. After 4 weeks of feeding, final weight of shrimp fed nucleotide diet was 11.98±1.08 g and weight gain was 7.48±1.08 g or 35.75% and 68.85% heavier than shrimp fed basal diet and shrimp raised in pond, respectively. As conclusion, application of nucleotides at 400 mg.kg-1

(5)

iv

RINGKASAN

HENKY MANOPPO. Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Dibimbing oleh SUKENDA, DANIEL DJOKOSETIYANTO, M. FATUCHRI SUKADI dan ENANG HARRIS

Udang vaname (Litopenaeus vannamei) pertama kali diimpor ke Indonesia pada tahun 2000 untuk mengganti udang windu (Penaeus monodon) yang banyak terserang penyakit terutama bakteri dan virus. Namun dalam perjalanan usaha ini, kerugian-kerugian akibat serangan penyakit terus saja berlanjut.Sejumlah metoda telah diterapkan dalam upaya mengontrol penyakit seperti penggunaan antibiotik/bahan kimia, vaksin, probiotik, SPR, dan sistim produksi biosekuriti. Belakangan ini, penggunaan imunostimulan semakin mendapat perhatian untuk dikembangkan dalam kontrol penyakit. Nukleotida merupakan imunostimulan yang menawarkan alternatif bagi penggunaan antibiotik atau bahan-bahan kimia sebab bahan ini tidak meninggalkan residu dalam tubuh ikan serta tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, serangkaian penelitian telah dikerjakan untuk mengevaluasi potensi aplikasi nukleotida dalam meningkatkan respon imun nonspesifik, resistensi dan pertumbuhan udang vaname.

Penelitian pertama mengevaluasi pengaruh dosis nukleotida terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO, resistensi dan pertumbuhan udang vaname. Udang dipelihara dalam akuarium dan diberi pakan yang telah ditambahkan nukleotida dengan dosis 0, 100, 200, 300, 400, dan 500 mg.kg-1 pakan, masing-masing dengan 3 ulangan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa setelah diberikan selama 4 minggu, penambahan nukleotida dalam pakan berpengaruh nyata terhadap peningkatan respon imun udang (p<0.01). Total haemocyte count (THC) tertinggi teramati pada udang yang diberi suplementasi nukleotida 300 mg.kg-1 pakan, kemudian 400 mg.kg-1

Empat belas hari setelah uji tantang, resistensi udang yang diberi pakan dengan penambahan nukleotida 400 mg.kg

yang masing-masing mencapai 76% dan 73% lebih tinggi dari udang kontrol. Peningkatan ini dapat terjadi karena nukleotida merupakan nutrien semi esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbanyakan sel, termasuk sel-sel imun. Pada kedua perlakuan ini, aktivitas PO juga mencapai nilai tertinggi yakni >0.35 yang berarti memiliki aktivitas tinggi. Bagaimana kerja nukleotida dalam meningkatkan aktivitas PO belum diketahui dan perlu diteliti secara lebih detil.Diduga, nukleotida yang ditambahkan dalam pakan selain digunakan sebagai nutrien untuk proses-proses biosintesa, juga akan berfungsi dalam cellular signals. Dalam penelitian ini terlihat bahwa udang yang memiliki THC yang tinggi memiliki aktivitas PO yang tinggi pula. Kondisi ini terjadi karena hemosit berperan dalam produksi dan pelepasan proPO ke dalam hemolim. Dalam keadaan normal, jumlah hemosit yang tinggi akan diikuti pula oleh aktivitas PO yang tinggi.

-1

(6)

v Sekalipun demikian, mekanisme imun mana yang paling penting bagi resistensi penyakit belum dapat ditetapkan. Pertumbuhan udang yang diberi nukleotida 400 mg.kg-1 pakan berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol maupun dengan perlakuan lainnya (p=0.001). Udang dengan berat awal 6 g dapat tumbuh mencapai berat 11.05±0.40 g dengan perolehan 5.05±0.40 g atau mencapai 50.75% lebih berat dari perolehan berat udang kontrol. Penambahan nukleotida dalam pakan akan meningkatkan napsu makan udang sehingga efisiensi dan pengambilan pakan meningkat. Hal ini terjadi karena beberapa nukleotida seperti IMP, AMP dan guanine merupakan perangsang napsu makan ikan. Dalam penelitian ini juga teramati bahwa pada dosis yang lebih tinggi (500 mg.kg-1

Penelitian kedua mengevaluasi pengaruh protokol pemberian nukleotida terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO dan pertumbuhan udang vaname. Udang diberi pakan dengan penambahan nukleotida 400 mg.kg

pakan), penambahan nukleotida tidak akan memacu pertumbuhan tetapi sebaliknya menekan pertumbuhan.

-1

Penelitian ketiga mengevaluasi pengaruh suplementasi β–glukanterhadap total haemocyte count, aktivitas PO, resistensi dan pertumbuhan udang vaname sebagai pembanding terhadap suplementasi nukleotida. Udang diberi pakan dengan penambahan β–glukan dan nukleotida.Setelah 4 minggu pemberian pakan, THC udang yang diberi pakan bersuplemen nukleotida secara signifikan meningkat mencapai 87% lebih tinggi dari udang kontrol(p=0.02). Penambahan

β–glukan juga dapat meningkatkan THC, namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol. Aktivitas PO juga meningkat secara sangat nyata (p=0.01) dibandingkan dengan udang yang diberi pakan standar. Aktivitas PO udang yang diberi suplementasi β–glukan juga meningkat namun dibandingkan dengan kontrol namun peningkatan yang terjadi tidak berbeda nyata. Dalam penelitian ini, nilai aktivitas PO udang, baik yang diberi suplementasi nukleotida

maupun β–glukan mencapai >0.35, yang berarti memiliki aktivitas tinggi sedangkan udang yang hanya diberi pakan standar memiliki aktivitas PO normal (0.20–035).Penambahan nukleotida dan β–glukan secara nyata (p=0.003) meningkatkan resistensi udang terhadap infeksi vibrio namun secara statistik, resistensi pada kedua perlakuan ini tidak berbeda nyata. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian pertama dimana udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida 400 mg.kg

pakan dengan protokol pemberian 7 hari pakan yang ditambahkan nukleotida dan 7 hari pakan standar secara bergantian selama 49 hari. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa suplementasi nukleotida dengan protokol pemberian yang ditetapkan tidak berpengaruh terhadap peningkatan parameter imun maupun pertumbuhan udang vaname. Hal ini mungkin terjadi karena: 1) lama waktu pemberian nukleotida dalam percobaan ini mungkin belum cukup untuk dapat menghasilkan peningkatan respon imun dan pertumbuhan udang, 2) udang mungkin membutuhkan suplementasi nukleotida secara kontinyu untuk meningkatkan respon imun dan pertumbuhannya. Hal ini terlihat pada hasil penelitian pertama dimana pemberian nukleotida secara berlanjut selama 4 minggu mampu meningkatkan respon imun, resistensi dan pertumbuhan udang vaname.

-1

(7)

vi yang tertinggi pula. Pertumbuhan udang yang diberi pakan bersuplemen nukleotida juga berbeda nyata (p<0.01) dibandingkan dengan kontrol. Udang dengan berat rata-rata 5.39±0.56g dapat tumbuh mencapai 10.12±0.57g dengan perolehan berat 4.73±0.57g atau mencapai 65.38% lebih berat dari udang kontrol. Hasil ini dapat mengkonfirmasi hasil penelitian pertama dimana perolehan berat udang yang diberi suplementasi nukleotida mencapai 50.74% lebih berat dari kontrol. Penambahan β–glukan juga berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan udang vaname, namun bagaimana mekanisme kerja bahan ini dalam meningkatkan pertumbuhan belum diketahui dengan jelas.

Penelitian keempat bersifat demonstratif dengan maksud untuk mengaplikasikan nukleotida secara langsung dalam manajemen kesehatan budidaya udang vaname di tambak. Udang dipelihara selama 4 minggu dalam dua rangkaian 3-hapa yang ditempatkan dalam tambak dimana usaha pemeliharaan sedang berlangsung. Pada rangkaian Hapa I, udang diberi pakan bersuplemen nukleotida 400 mg.kg-1 pakan sedangkan pada rangkaian Hapa II diberi pakan standar. Masing-masing hapa berukuran 2x1x1m dengan padat tebar 175 ekor/hapa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sintasan udang yang diberi pakan bersuplemen nukleotida mencapai 83.24±9.42%, namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan sintasan udang yang diberi pakan standar (81.71±3.56%). Kematian udang selama masa pemeliharaan terjadi disebabkan oleh adanya kanibalisme terhadap udang molting dan penyakit myo (Infectious Myonecrosis Virus, IMNV). Selama masa percobaan berlangsung tidak terjadi wabah myo sehingga sulit untuk menjelaskan pengaruh nukleotida terhadap resistensi udang percobaan. Pemberian pakan dengan suplementasi nukleotida secara nyata meningkatkan pertumbuhan udang.Setelah 4 minggu pemeliharaan, udang dengan berat awal 4.5 g/ekor dapat tumbuh mencapai berat akhir 11.98±1.08 g jika diberi pakan dengan suplementasi nukleotida dan 10.01±1.36 g jika hanya diberi pakan standar. Udang yang dipelihara dalam tambak pada umur yang sama memiliki berat akhir rata-rata 8.93±0.21 g. Perolehan berat udang yang diberi suplementasi nukleotida mencapai 7.48±1.08 g atau 35.75% lebih besar dari perolehan berat udang kontrol (5.51±1.36 g) dan 68,85% lebih tinggi dari perolehan berat udang yang dipelihara di tambak (4.43±0.21 g). Perolehan berat harian rata-rata udang yang diberi pakan dengan suplementasi nukleotida mencapai 0.277±0.039 g dengan food conversion ratio (FCR) 1.35. Pada udang yang diberi pakan standar, perolehan berat harian rata-rata sebesar 0.204±0.049 g dengan FCR 2.01. Sebagai kesimpulan, penambahan nukleotida pada dosis 400 mg.kg-1

(8)

vii

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(9)

viii

PERAN NUKLEOTIDA SEBAGAI IMUNOSTIMULAN

TERHADAP RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN

RESISTENSIUDANG VANAME

(Litopenaeus vannamei)

HENKY MANOPPO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Budidaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

ix Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. drh. Retno Damayanti S, MS

Dr. Ir. Nur Bambang PU, MS

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. drh.Angela Mariana Lusiastuti, MSi

(11)

x Judul Disertasi : Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon

Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

Nama : Henky Manoppo

NRP : C161060071

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr.Ir.Sukenda, M.Sc

Ketua Anggota

Prof.Dr.Ir.Daniel Djokosetiyanto,DEA

Prof.Dr.Ir. M.Fatuchri Sukadi, M.S

Anggota Anggota

Prof.Dr.Ir. Enang Harris, M.S

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perairan

Prof.Dr.Ir. Enang Harris, M.S Prof.Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro, M.S

(12)

xi

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa karena atas kasih dan limpahan karunia-Nya sehingga penyusunan laporan Disertasi dengan judul “Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)” dapat diselesaikan. Laporan disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi mahasiswa untuk menyelesaikan studi Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dengan tersusunnya laporan ini, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Sukenda, MSc sebagai ketua komisi pembimbing,Bapak Prof. Dr.Ir. Daniel Djokosetiyanto, DEA, Bapak Prof.Dr.M.Fatuchri Sukadi, MS dan Bapak Prof.Dr.Ir. Enang Harris,MS masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk dan arahan mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai pada penulisan laporan ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga terkasih, istri dan anak-anak atas segala dukungan dan doanya. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Ranta, Bapak Aris, Ibu Esti, Ibu Rosa, dan Bapak Atna yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian.Disadari bahwa mungkin masih banyak kekurangan yang terdapat dalam tulisan ini. Oleh karena itu kritik dan saran perbaikan demi penyempurnaan laporan ini sangat diharapkan penulis.

Semoga karya ilmiahini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Bogor, Februari 2011

(13)

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manado sebagai anak ke empat dari enam bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1991, penulis diterima untuk melanjutkan ke program master di Department of Biological Science, Study Program of Aquaculture, Faculty of Science, Simon Frazer University, Canada dan lulus pada akhir tahun 1994. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Canadian Indonesian Development Agency (CIDA) Project. Tahun 2006 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staff pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado sejak tahun 1984. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah parasit dan penyakit ikan.

(14)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……… xv

DAFTAR GAMBAR ……… xvi

DAFTAR LAMPIRAN ……… xvii

PENDAHULUAN ……… 1

Latar Belakang ………. 1

Pendekatan Masalah ………. 3

Perumusan Masalah ………. 4

Tujuan Penelitian ………. 5

Manfaat Penelitian ………. 6

Hipotesis ………. 6

Kebaharuan ………. 6

TINJAUAN PUSTAKA ………. 7

JUDUL 1 RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN RESISTENSI …….. 19

UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) YANG DIBERI PAKAN BERSUPLEMENNUKLEOTIDA Abstrak ………. 19

Abstract ………. 19

Pendahuluan ………. 20

Bahan dan Metode ………. 22

Hasil dan Pembahasan ……… 27

Kesimpulan ………. 35

JUDUL 2 RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN PERTUMBUHAN … 36 UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)YANG DIBERI PAKAN YANG DITAMBAHKAN NUKLEOTIDA DENGAN LAMA PEMBERIAN BERBEDA Abstrak ……….. 36

Abstract ……….. 36

Pendahuluan ………. 37

Bahan dan Metode ………. 38

Hasil dan Pembahasan ……… 42

Kesimpulan ………. 45

JUDUL 3 KOMPARASI RESPON IMUN NONSPESIFIK, ………….. 46

RESISTENSI DANPERTUMBUHAN UDANGVANAME (Litopenaeus vannamei) YANG DIBERI

β

-

GLUKAN DAN NUKLEOTIDA Abstrak ………. 46

Abstract ………. 46

(15)

xiv

Bahan dan Metode ………. 49

Hasil dan Pembahasan ……… 54

Kesimpulan ………. 62

JUDUL 4 APLIKASI NUKLEOTIDA DALAM BUDIDAYA ………. 63

INTENSIF UDANG VANAME(Litopenaeus vannamei) DI TAMBAK Abstrak ………. 63

Abstract ………. 63

Pendahuluan ………. 64

Bahan dan Metode ………. 66

Hasil dan Pembahasan ……… 71

Kesimpulan ………. 76

PEMBAHASAN UMUM ……… 77KESIMPULAN DAN SARAN………. 86 DAFTAR PUSTAKA ……… 87

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman

1 THC rata-rata L.vannameiyang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu……… 28 2 Aktivitas PO L. vannamei yang diberi pakan yang ditambahkan

nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu………. 29 3 Resistensi L. vannamei yang diberi pakan yang ditambahkannukleotida

dengan dosis berbeda dan diuji tantang dengan bakteri Vibrio harveyi….. 31 4 Pertumbuhan L. vannamei yang diberi pakan yang

ditambahkannukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu……….

33

5 Protokol administrasi pakan dengan dan tanpa suplementasi nukleotidapadaudang

vaname……….

39

6 THC, aktivitas PO dan perolehan berat udang vaname setelah diberipakan yang ditambahkan nukleotida dengan lama pemberian berbeda…...

43

7 THC, aktivitas PO dan perolehan berat udang vaname setelah diberi

pakan yang ditambahkan nukleotida selama 4x7 hari berturut-turut…….. 45 8 Pertumbuhan L. vannameisetelah diberi β-glukan dan nukleotida selama

4 minggu……….. 61

9 Sintasan dan efisiensi pakan udang vaname yang diberi pakan

yangditambahkan nukleotida selama 4 minggu………...

72

10 Performa pertumbuhan udang vaname yang dipelihara dalam Hapa

(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema pendekatan masalah……… 5

2 Morfologi Litopenaeusvannamei……… 8

3 Siklus hidup Litopenaeus vannamei……… 11

4 Proses pagositosis……… 14

5 Sintasan kumulatif udang vanameyang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 4 minggu dan diuji tantang dengan Vibrio harveyi 31 6 THC rata-rata L. vannamei setelahdiberiβ–glukan dan nukleotida selama 4 minggu………... 55

7 Aktivitas PO L.vannamei setelahdiberi β–glukandan nukleotida selama 4 minggu……… 57

8 Sintasan kumulatif udang vaname setelah diberi β–glukan dannukleotidadan diuji-tantang dengan Vibrio harveyi ……… 59

9 SintasanL.vannamei setelah diberi β–glukan dan nukleotidadan dan diuji-tantang dengan bakteri V. Harveyi……… 60

10 Tata letak hapa percobaan dalam tambak udang vaname……… 68

11 Posisi dasar hapa 10-30 cm di atas dasar tambak………. 68

12 Penghitungan dan penebaran udang dalam hapa percobaan……… 69

13 Pemberian pakan pada udang percobaan………. 70

14 Berat akhir udang vaname yang dipelihara dalam Hapa I, Hapa II, dan Tambak………... 75

15 Perolehan berat udang vaname yang dipelihara dalam Hapa I, Hapa II dan Tambak……… 76

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Total haemocyte count udang vaname setelah diberi pakan yang

ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu … 95 2 Deskriptif THC udang vaname setelah diberi pakan

yangditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu…

96

3 Analisis Ragam THC udang vaname setelah diberi pakan yangditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu….

97

4 Uji Duncan untuk THC udang vaname setelah diberi pakan yang

ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu … 97 5 Aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan yang …………...

ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu

99

6 Deskriptif Aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan yangditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu….

100

7 Analisis Ragam Aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan

yang ditambahkan nukleotida dosis berbeda selama 4 minggu …... 101 8 Uji Duncan aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan yang

ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu…. 101 9 Kelangsungan hidup kumulatif (%) udang vaname 14 hari setelah

uji tantang dengan bakteri Vibrio harveyi………. 103 10 Deskriptif tingkat resistensi (%) udang vaname 14 hari setelah uji

tantang dengan bakteri Vibrio harveyi……….. 103 11 Analisis Ragam tingkat resistensi udang vaname 14 hari setelah uji

tantang dengan bakteri Vibrio harveyi……….. 104 12 Uji Duncan untuk resistensi udang vaname 14 hari setelah uji

tantang dengan bakteri Vibrio harveyi……….. 104 13 Berat akhir dan perolehan berat udang vaname setelah diberi

pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama

4 minggu ……… 105

14 Deskriptif perolehan berat udang vaname setelah diberi pakan

yang ditambahkan nukleotida dosis berbeda selama 4 minggu …... 106 15 Analisis Ragam perolehan berat udang vaname setelah diberi

(19)

xviii

4 minggu ……… 106

16 Uji Duncan untuk perolehan berat udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama

4 minggu ………... 107

17 THC, aktivitas PO, berat akhir (Wt) dan perolehan berat (WG) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen nukleotida dengan

lama pemberian berbeda ……… 108

18 THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname yang diberi pakan

bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 109 19 Deskriptif THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname vaname

yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama

4 minggu ………... 109

20 Analisis Ragam THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama

4 minggu ………... 110

21 Uji Duncan untuk THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama

4 minggu ………... 110

22 Kelangungan hidup kumulatif (%) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glucan dan nukleotida dan diuji tantang

dengan Vibrio harveyi ……….. 111 23 Pertumbuhan udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta

glucan dan nukleotida selama 4 minggu ……….. 112 24 Deskriptif berat akhir (g) udang vaname yang diberi pakan

bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 113 25 Deskriptif perolehan berat (g) udang vaname yang diberi pakan

bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 113 26 Analisis Ragam berat akhir (g) udang vaname yang diberi pakan

bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 114 27 Analisis Ragam perolehan berat (g) udang vaname yang diberi

pakan bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ... 114 28 Uji Duncan untuk berat akhir udang vanameyang diberi pakan

bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 114 29 Uji Duncan Perolehan berat (g) udang vaname yang diberi pakan

bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 114 30 Berat akhir (g) udang vaname setelah 2 minggu dipelihara dalam

Hapa I dan Hapa II ………... 116 31 Berat akhir (g) udang vaname setelah 4 minggu dipelihara dalam

Hapa I dan Hapa II ……….. 116 32 Analisis Ragam perolehan berat (g) udang vaname setelah 2

(20)

xix 33 Analisis Ragam perolehan berat (g) udang vaname setelah 4

minggu dipelihara dalam Hapa I dan Hapa II ……….. 117 34 Perolehan berat harian (g) udang vaname setelah 4 minggu

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai suatu aktivitas industri, budidaya udang mulai berkembang sejak

awal tahun 1970-an dengan spesies budidaya utama adalah udang penaeid

(Bachere 2000). Menjelang pertengahan tahun 1970-an, produksi budidaya udang

dunia mulai meningkat dengan cepat dan mencapai 22600 ton pada tahun 1975

(Briggs et al. 2004). Pada satu dekade berikutnya, produksi mencapai 200000 ton

dimana 75% dari total produksi tersebut berasal dari Asia Tenggara dan Asia

Timur. Pada tahun 1988, produksi meningkat secara cepat melebihi 560000 ton

terutama sebagai hasil peningkatan produksi dari Cina, Taiwan, Ecuador,

Indonesia, Thailand, dan Filipina (Rosenberry 2001).

Dalam perkembangan budidaya udang, masalah kegagalan produksi

pertama terjadi di Taiwan pada tahun 1987–1989 disebabkan terjadinya degradasi

lingkungan serta meningkatnya wabah penyakit infeksius terutama bakteri dan

virus. Produksi udang windu (Penaeus monodon)Taiwan menurun drastis dari

78500 ton menjadi 16600 ton (Briggs et al. 2004). Masalah kegagalan produksi

kedua terjadi di Cina sebagai akibat munculnya penyakit White Spot Syndrome

Virus (WSSV) pada tahun 1992.Produksi menurun dari 207000 ton pada tahun

1992 menjadi 64000 ton pada tahun 1993-1994.Masalah yang sama juga terjadi di

Thailand, Filipina, dan Indonesia yang disebabkan oleh penyakit Yellow Head

Virus (YHV) dan WSSV pada awal 1990-an.

Untuk meningkatkan produksi budidaya udang maka pada tahun 2000

Indonesia mengintroduksi udang vaname (Litopenaeusvannamei) sebagai

pengganti udang winduyang terserang WSSV (DKP 2007). Selanjutnya pada 11

Juni 2005, Presiden Republik Indonesia mencanangkan Program Revitalisasi

Pertanian, Perikanan dan Kehutanan secara nasional. Upaya-upaya yang

dilakukan antara lain revitalisasi tambak intensif dengan udang vaname pada

lahan tambak seluas 7000 ha dengan rata-rata produksi 30 ton/ha/tahun,

revitalisasi tambak tradisional dengan udang vaname pada lahan tambak seluas

(22)

vaname bebas patogen (Specific Pathogen Free), domestikasi udang vaname

menjadi induk yang bebas penyakit dan tahan penyakit (Specific Pathogen

Resistance) sehingga mengurangi ketergantungan dari impor, melakukan

revitalisasi teknik pembenihan udang skala rumah tangga (backyard hatchery),

penerapan sertifikasi perbenihan dan pembudidayaan udang, pengembangan

laboratorium lingkungan dan penyakit, penyediaan sarana dan prasarana

budidaya, dan membantu penguatan permodalan bagi pembudidaya udang.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, total

produksi budidaya udang nasional Indonesia yang tercatat tahun 2005 sebesar

295000 ton (DKP 2007). Tahun 2008, produksi udang meningkat mencapai

410000 ton namun pada tahun 2009, produksi menurun menjadi 350000 ton atau

turun sekitar 14.6%. T

Agar program peningkatan produksi udang dapat berkesinambungan, baik

secara ekologi maupun ekonomi, maka kontrol penyakit harus menjadi prioritas

utama. Beberapa metoda yang telah diterapkan dalam mengontrol penyakit antara

lain penggunaan antibiotik atau bahan kimia, vaksin, probiotik, penggunaan

SPF/SPR, dan biosekuriti. Penggunaan antibiotik merupakan metoda kontrol

penyakit yang telah lama dan paling banyak diterapkan dalam aktivitas budidaya.

Namun demikian, telah ditemukan bahwa pemberian antibiotik dalam tambak

telah mengakibatkan munculnya patogen yang tahan terhadap antibiotik

(antibiotic-resistant pathogen). Selain itu, pemberian antibiotik dalam tambak

membutuhkan sejumlah besar bahan yang mahal dan dapat terakumulasi dalam

tubuh ikan/udang atau lingkungan budidaya dan membahayakan kesehatan

konsumen. Vaksin telah digunakan pada beberapa spesies ikan dan

memperlihatkan hasil positif. Pada udang, penggunaan vaksin

(formalin-inactivated WSSV, recombinant protein WSSV) telah mulai diteliti dan

memperlihatkan hasil yang menjanjikan meskipun udang tidak memiliki sistem

imun spesifik (Namikoshi et al. 2004; Witteveldt et al. 2003). Namun demikian, ahun 2010 produksi berkisar 352000 ton atau turun dari

target semula 400300 ton. Volume ekspor berkisar 144410 ton atau turun 4.36%

dengan nilai ekspor 1.03 miliar dollar AS. Menurunnya produksi disebabkan

(23)

vaksin sangat mahal dan proteksi yang dihasilkan bersifat spesifik sehingga tidak

efektif melawan beberapa patogen secara simultan.

Penggunaan udang SPR dan sistem biosekuriti yang diterapkan beberapa

tahun terakhir ini secara signifikan mampu meningkatkan kelangsungan hidup dan

produksi. Dalam jangka panjang, kedua metoda inipun nampaknya belum mampu

mencegah munculnya wabah penyakit yang terjadi secara berulang (Moss et al.

2006). Dengan adanya mutasi virus, maka udang yang awalnya resisten terhadap

patogen tertentu menjadi rentan terhadap virus baru. Lebih lanjut, kini terdapat

bukti bahwa udang SPR ternyata memiliki pertumbuhan yang lebih kecil

dib&ingkan dengan udang bukan SPR (Henryon et al. 2002; Parenrengi 2010).

Saat ini, penggunaan imunostimulan semakin mendapat perhatian untuk

dikembangkan sebagaimetoda kontrol penyakit dalam budidaya udang. Banyak

bukti telah memperlihatkan bahwa imunostimulan yang ditambahkan dalam pakan

dapat meningkatkan resistensi ikan dan udang terhadap infeksi penyakit melalui

peningkatan respon imun nonspesifik (Pais et al. 2008; Welker et al. 2007).

Udang tidak memiliki respon imun spesifik dan sepenuhnya tergantung

pada respon imun nonspesifik. Nukleotida merupakan imunostimulan yang sudah

diketahui dapat meningkatkan respon imun nonspesifik ikan (Burrels et al. 2001).

Pada udang, belum banyak penelitian tentang penggunaan nukleotida sebagai

imunostimulan.Nukleotida dapat menawarkan alternatif bagi penggunaan

antibiotik atau bahan-bahan kimia sebab bahan ini tidak meninggalkan residu

dalam tubuh ikan serta tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan. Oleh karena

itu, penelitian terhadap penggunaan nukleotida dalam upaya mengontrol penyakit

dalam aktivitas budidaya udang dirasa sangat diperlukan.

Pendekatan Masalah

Nukleotida merupakan nutrient semi esensial yang mulai mendapat

perhatian serius untuk dikembangkan penggunaannya dalam budidaya ikan dan

krustase dalam beberapa tahun terakhir ini. Meskipun penelitian tentang

penggunaan nukleotida masih berada pada tahap awal, laporan-laporan penelitian

(24)

biosintesa asam amino non esensial, eksogenous nukleotida dapat meningkatkan

imunitas dan resistensi ikan terhadap infeksi virus, bakteri dan parasit. Selain itu,

pemberian nukleotida juga dapat meningkatkan efikasi vaksinasi yang

ditunjukkan oleh peningkatan titer antibodi setelah ikan divaksinasi (Burrells et

al. 2001); meningkatkan oxidative radical neutrofil darah dan sintasan ikan;

meningkatkan aktivitasfagositosis, respiratory burst, serum komplemen dan

aktivitas lisosim serta menurunkan infeksi A. hydrophilapada ikan mas.

Pemberian nukleotida juga dapat memperbaiki pertumbuhan pada fase

perkembangan awal, meningkatkan kualitas larva, serta meningkatkan toleransi

terhadap stres. Pada krustase, pemberian nukleotida dapat meningkatkan

pertumbuhan udang vaname (Li et al. 2007). Sebaliknya, defisiensi nukleotida

dapat merusak fungsi hati, usus, dan fungsi imun (Li & Galtin 2006).

Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa penambahan nukleotida

dalam pakan dapat meningkatkan imunitas dan resistensi ikan terhadap sejumlah

patogen yang berbeda. Namun demikian, penelitian-penelitian menyangkut

sumber dan tipe nukleotida yang tepat, dosis, dan lama waktu pemberian, masih

sangat terbatas. Pada udang, laporan-laporan penelitian tentang penggunaan

nukleotida masih sangat terbatas. Sehubungan dengan itu, serangkaian penelitian

telah dilakukan untuk mengkaji peranan nukleotida dalam meningkatkan respon

imun nonspesifik dan resistensi udang vaname. Skema pendekatan masalah

disajikan pada Gambar 1.

Perumusan Masalah

Eksogenous nukleotida sangat penting untuk digunakan dalam kontrol

penyakit karena selain dapat memperbaiki pertumbuhan, pemberian nukleotida

dapat meningkatkan imunitas dan resistensi udang yang dibudidayakan. Namun

demikian, informasi menyangkut tipe nukleotida yang tepat, dosis, serta lama

waktu pemberian yang menghasilkan respon optimal pada udang vaname masih

(25)

Gambar 1. Skema pendekatan masalah

1. Mengevaluasi pengaruh penambahan nukleotida dengan dosis berbeda dalam pakan terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO, resistensi udang vaname terhadap infeksi Vibrio harveyidan pertumbuhan.

Tujuan Penelitian

2. Mengevaluasi pengaruh protokol pemberian nukleotida terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO dan pertumbuhan udang vaname.

3. Mengevaluasi pengaruh suplementasi β-glukan dalam pakan terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO,resistensi dan pertumbuhan udang vanamesebagai pembanding terhadap nukleotida.

4. Mengevaluasi pengaruh pemberian nukleotida terhadap resistensi dan performa pertumbuhan udang vaname yang dipelihara di tambak.

Respon humoral

Respon imun nonspesifik

Respon selular (+)

(-)

(-)

(+)

(+)

Produksi

Resistensi (-)

Pertumbuhan

Udang

Nukleotida

(26)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan aplikasi yang penting

bagi manajemen kesehatan dalam industri budidaya udang vaname di Indonesia.

Hipotesis

• Pemberian nukleotida sebagai imunostimulan dalam pakan sangat potensial meningkatkan respon imun nonspesifik dan resistensi udang vaname.

• Respon imun nonspesifik udang vaname dipengaruhi oleh dosis dan lama waktu pemberian imunostimulan nukleotida.

Kebaharuan

Kebaharuan dari penelitian ini adalah pemanfaatan nukleotida sebagai

sumber alternatif imunostimulan dan peranannya dalam sistem imun nonspesifik

udang yaitu meningkatkan jumlahhemosit, aktivitas phenoloxidase (PO) dan

resistensi terhadap infeksi patogen. Nukleotida juga berperan memacu

pertumbuhan. Dengan demikian maka aplikasi nukleotida dalam pakan udang

diharapkan mampu mengatasi atau meminimalisir permasalahan penyakit dan

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Udang vaname termasuk krustase dalam ordo dekapoda dimana di

dalamnya juga termasuk udang, lobster dan kepiting. Klasifikasi udang vaname

adalah sebagai berikut (Wyban & Sweeney 1991):

Biologi Litopenaeus vannamei (Boone 1931)

Phylum :Anthropoda

Subphylum : Krustase

Class : Malacostraca

Subclass : Eumalacostraca

Superorder : Eucarida

Order : Decapoda

Suborder : Dendrobranchiata

Super Family : Penaeidea

Family : Penaeidae

Genus : Litopenaeus

Spesies : L. vannamei

Nama umum udang vaname adalah Pasific white shrimp, West Coast white

shrimp, Camaron blanco, Langostino. Nama FAO adalah whiteleg shrimp,

Crevette pattes blanches, Camaron patiblanco (Elovaara 2001; Rosenberri 2006).

Ciri-ciri udang vanameadalah rostrum bergigi, biasanya 2-4

(kadang-kadang 5-8) pada bagian ventral yang cukup panjang dan pada udang muda

melebihi panjang antennular peduncle (Gambar 2).Karapaks memiliki

pronounced antenal dan hepatic spines. Pada udang jantan dewasa, petasma

symmetrical, semi-open, dan tidak tertutup. Spermatofora sangat kompleks yang

terdiri atas masa sperma yang dibungkus oleh suatu pembungkusyang

mengandung berbagai struktur perlekatan (anterior wing, lateral flap, caudal

flange, dorsal plate) maupun bahan-bahan adhesif dan glutinous. Udang betina

dewasa memiliki open thelycumdan sternit ridges, yang merupakan pembeda

(28)

Gambar 2 Morfologi Litopenaeus vannamei (Sumber: Wyban & Sweeney 1991)

Udang vaname memiliki 6 fase nauplii, 3 fase protozoea dan 3 fase mysis

dalam siklus hidupnya. Fase larva (panjang karapaks 1,95 – 2,73 mm) dapat

dikenal melalui kurangnya spine pada sternit ke 7, dan panjang rostrum relatif

terhadap panjang mata termasuk tangkai mata.Ciri morfologi yang paling dapat

dikenal adalah perkembangan supraorbital spine pada fase zoea ke 2 dan ke 3.

Tubuh berwarna putih transparan sehingga lebih umum dikenal sebagai

“white shrimp”. Tubuh sering berwarna kebiruan karena lebih dominannya

kromatofor biru. Panjang tubuh dapat mencapai 23 cm. Udang vaname dapat

dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan pada eksternal genitalnya.

Distribusi

Udang vaname tersebar di bagian timur pantai Pasifik Amerika Tengah

dan Selatan dari Mexico sampai Peru(Elovaara 2001; Rosenberry 2006), dimana

(29)

& Sweeney 1991). Karena spesies ini relatif mudah dibudidayakan, maka udang

ini telah tersebar keseluruh dunia.

Habitat

Di alam udang ini menyukai dasar berlumpur pada kedalaman dari garis

pantai sampai sekitar 72 m. Hewan ini juga telah ditemukan menempati daerah

mangrove yang masih belum terganggu. Udang ini nampaknya dapat beradaptasi

dengan perubahan temperatur dan tekanan di alam. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa udang vanamedapat beradaptasi dengan baik pada level salinitas yang

sangat rendah sehingga menjadikan udang ini sebagai udang yang paling banyak

dibudidayakan di kolam air tawar (salinitas sangat rendah dimana udang ini dapat

beradaptasi (Elovaara 2001).

Molting dan Pertumbuhan

Pertumbuhan udang vaname, seperti halnya arthropoda lainnya, tergantung

pada dua faktor yaitu frekuensi molting (waktu antara molting) dan pertumbuhan

yaitu berapa besar pertumbuhan pada setiap molting baru (Wyban & Sweeney

1991). Karena tubuh udang ditutupi oleh karapaks yang keras, maka untuk

tumbuh, karapaks yang lama harus dilepas dan diganti dengan yang baru dan lebih

besar. Saat molting, terjadi pemisahan kulit antara karapaks dan intercalary

sclerite, dimana sepalotoraks dan appendic anterior dikeluarkan. Karapaks baru

pada awalnya lunak, tetapi akan mengeras kembali pada laju yang proporsional

terhadap ukuran udang.

Molting merupakan fungsi dari ukuran udang, jika udang tumbuh maka

waktu antar molting meningkat. Pada fase larva, molting terjadi setiap 30-40 jam

pada temperatur 28°C. Juvenil udang ukuran 1–5 gram akan molting setiap 4-6

hari, tetapi udang berukuran 15 gram akan molting setiap 2 minggu.

Kondisi lingkungan dan faktor nutrisi juga mempengaruhi frekuensi

molting. Pada temperatur yang lebih tinggi, frekuensi molting meningkat.

Selama molting, absorpsi oksigen menjadi kurang efisien dan udang yang mati

(30)

molting, karapaks masih lunak dan udang menjadi rentan terhadap predasi dari

sesamanya. Udang yang baru molting dengan kulit yang masih lunak sering

membenamkan diri dalam endapan detritus yang lunak.

Reproduksi dan Siklus Hidup

Karapaks udang vanameberwarna transparan sehingga memungkinkan

untuk mengamati warna perkembangan ovari. Pada betina, gonad pertama-tama

berwarna keputih-putihan, selanjutnya berkembang menjadi coklat emas atau

coklat kebiru-biruan pada saat akan memijah (Rosenberry 2006). Udang jantan

menyimpan spermatophora pada betina berkulit keras. Tingkah laku kawin

dimulai pada sore hari dimana hal ini berkaitan dengan ketersediaan intensitas

cahaya. Proses pemijahan dimulai dengan lompatan secara tiba-tiba dan udang

betina aktif berenang. Seluruh proses pemijahan berakhir selama sekitar satu

menit. Jumlah telur yang dapat dilepaskan seekor induk betina bervariasi menurut

ukuran individu. Udang berukuran 30–45 gr dapat melepaskan 100000–250000

butir telur. Ukuran diameter telur sekitar 0.22 mm.

Udang betina memiliki open thelycum dan inilah yang membedakannya

dengan dengan udang penaeid lainnya (Elovaara 2001). Udang jantan melekatkan

spermatophora berjeli (berisi sperma) pada open thelycum pada saat kawin.

Perkawinan terjadi pada saat udang betina berada pada fase intermolt pada saat

ovari telah mencapai kematangan. Pelepasan telur terjadi pada malam hari

beberapa jam setelah perkawinan, biasanya kurang dari tiga jam. Proses pelepasan

telur berlangsung selama 1-3 menit dimana selama proses pelepasan telur, induk

betina melindungi telur yang baru dilepaskan. Hal ini memungkinkan sperma

untuk membuahi telur sebanyak mungkin. Segera setelah semua bahan genetik

dari jantan maupun betina bersatu maka pembuahanpun selesai.

Telur akan menetas menjadi nauplii dalam waktu sekitar 16-17 jam setelah

pembuahan. Jika diamati di bawah mikroskop,nauplii secara fisik nampak seperti

laba-laba air. Selama beberapa hari nauplii makan dari makanan cadangan dari

telur sampai nauplii bermetamorfosa menjadi zoeae sebagai tahap larva yang

(31)

mysis. Pada fase mysis, larva sudah mulai nampak seperti bentuk udang dewasa.

Selain mikro algae, mysis memakan diatom dan zooplankton, terutama di alam.

Fase mysis berlangsung selama 4 hari sampai mysis bermetamorfosa kembali

menjadi postlarva. Post larva telah berbentuk seperti udang dewasa, memakan

zooplankton, detritus dan berbagai formula makanan buatan jika dipelihara dalam

hatchery.

Di alam, udang dewasa mencapai matang gonad, kawin dan bertelur di laut

terbuka sampai pada kedalaman sekitar 70 m pada temperatur 26-28oC dan salinitas sekitar 35 ppt. Setelah menetas, larva berkembang di perairan lepas

pantai ini dan setelah mencapai post larva, udang bermigrasi ke perairan pantai

dan menetap di dasar estuari yang dangkal. Setelah beberapa bulan di daerah

estuari, udang dewasa kembali bermigrasi ke perairan laut terbuka dimana

[image:31.595.89.504.417.701.2]

selanjutnya terjadi kematangan gonad, perkawinan, dan pemijahan (Gambar 3).

Gambar 3Siklus hidup Litopenaeus vannamei (Sumber: diadaptasikan dari Braak 2002)

postlarva

Zoea

mysis

nauplius

dewasa

Udang muda Telur

dibuahi

(32)

Makanan dan Kebiasaan Makan

Di alam, udang penaeid bersifat karnivor yang memangsa krustase kecil,

ampipoda, polikaeta. Namun dalam tambak, udang ini makan makanan tambahan

atau detritus. Udang vanamebersifat nokturnal. Udang muda tetap membenamkan

diri dalam substrat selama siang hari dan tidak makan atau tidak mencari

makanan. Tingkah laku makan ini dapat diubah dengan pemberian pakan ke

dalam tambak. Hasil penelitian di Ocean Institute Honolulu menunjukkan bahwa

udang yang diberi pakan beberapa kali sehari tumbuh lebih cepat dibandingkan

dengan udang yang hanya diberi pakan sekali dalam satu hari (Wyban & Sweeney

1991).

Krustase tidak memiliki respon imune spesifik (adaptive) dan nampak

bergantung pada berbagai respon imun nonspesifik (innate). Meskipun dianggap

tidak begitu memuaskan, respon imun nonspesifik mampu dengan cepat dan

efisien mengenal dan menghancurkan material asing, termasuk patogen

(Vargas-Albores & Yepiz-Plascencia 2000;Witteveldt et al. 2003). Respon imun

nonspesifik terdiri atas respon selular dan respon humoral. Respon Imun Krustase

Hemositkrustase, dan invertebrata lain, memainkan peranan penting dalam

sistem pertahanan tubuh terhadap patogen seperti virus, bakteri, fungi, protozoa,

dan metazoa (Johansson et al. 2000; Sindermann 1990; Rodriquez & Le Moullac

2000). Pertama, hemosit mengeluarkan partikel asing dalam hemocoel melalui

fagositosis, enkapsulasi dan aggregasi nodular. Kedua, hemosit berperan dalam

penyembuhan luka melalui cellular clumpingserta membawa dan melepaskan

prophenoloxidase system (proPO). Hemosit juga berperan dalam sintesa dan

pelepasan molekul penting hemolim seperti α Respon Selular

2-macroglubulin (α2

Klasifikasi tipe hemositkrustase terutama didasarkan pada keberadaan

granula sitoplasma, yaitu sel hyalin, semigranular, dan granular (Johansson et al.

2000; Le Moullac & Haffner 2000). Sel hyalin merupakan tipe sel yang paling M), agglutinin,

(33)

kecil dengan ratio nukleus sitoplasma tinggi dan tanpa atau hanya sedikit granula

sitoplasma; sel granular merupakan tipe sel paling besar dengan nukleus yang

lebih kecil dan terbungkus dengan granula; sel semi granular merupakan tipe sel

diantara hyalin dan granular. Masing-masing tipe sel aktif dalam reaksi kekebalan

tubuh, sebagai contoh, sel hyalin terlibat dalam fagositosis, sel semigranular aktif

dalam enkapsulasi, sel granular aktif dalam penyimpanan dan pelepasan proPO

system dan sitotoksisiti.

Jumlah hemosit dapat sangat bervariasi berdasarkan spesies, respon

terhadap infeksi, stres lingkungan, aktivitas endokrin selama siklus molting

(Johansson et al. 2000), seks, fase perkembangan, status reproduksi dan nutrisi

(Song et al. 2003). Pada kuruma shrimp (Marsupenaeus japonicus), total

hemocyte count (THC) sebanyak 1.7x107 sel ml-1, pada L. stylirostris 1.84x107 sel ml-1, P. monodon berkisar 2.10x107 sel ml-1 (flow cytometry) sampai 2.33x107 sel.ml-1 (hemacytometer). Hasil penelitian Song et al. (2003) menunjukkan bahwa setelah 3-5 hari diinfeksi dengan Taura Syndrome Virus (TSV), THC L.

vannamei berukuran 10-20 g mengalami penurunan sebesar 70% menjadi

0.345x107 sel ml-1 dibandingkan dengan kontrol 1.64x107 sel.ml-1

Pada M. japonicus dan L. stylirostris, jumlah hemosit terbesar ditemukan

pada fase postmoult dan terendah pada fase intermoult. Sel granular tertinggi

dilepaskan pada fase postmoult pada L. stylirostris dan S. ingentis sedangkan sel

hyalinmencapai puncak selama proses ganti kulit pada S. ingentis dan M.

japonicus. Adanya sel hyalin yang tinggi selama proses ganti kulit nampaknya

penting sebab mereka mengawali koagulasi dan mungkin terlibat dalam

pembentukan kulit. Konsentrasi sel granular yang tinggi dalam hemolimL.

stylirostris selama fase intermoult berhubungan dengan aktivitasphenoloxidase

(PO) yang tinggi dan resistensi terhadap vibriosis (Le Moullac et al. 1997)

, dengan

mortalitas mencapai 80%. Dalam kondisi hypoxia, THC L. styloristris turun

menjadi rendah serta udang menjadi lebih sensitif terhadap infeksi V.

aglinolyticus. Differential hemosit count (DHC) juga berubah (sel granular, semi

granular, dan hyalin) dengan perubahan besar terjadi pada sel hyalindan

(34)

Fagositosis merupakan reaksi yang paling umum dalam pertahanan selular

udang. Proses fagositosis dimulai dengan perlekatan (attachment) dan penelanan

(ingestion) partikel mikroba ke dalam sel fagosit. Sel fagosit kemudian

membentuk vacuola pencernaan (digestive vacuola) yang disebut

fagosom(Rodriquez & Le Moullac 2000). Lisosom(granula dalam sitoplasma

fagosit) kemudian menyatu dengan fagosom membentuk fagolisosom.

Mikroorganisme selanjutnya dihancurkan dan debris mikroba dikeluarkan dari

dalam sel melalui proses egestion (Gambar 4). Pemusnahan partikel mikroba

yang difagosit melibatkan pelepasan enzim ke dalam fagosom dan produksi ROI

(reactive oxygen intermediate) yang kini disebut respiratory burst (Rodriquez &

Le Moullac 2000; Sindermann 1990).

Gambar 4 Proses fagositosis

(Sumber:http://www.cliffsnotes.com/WileyCDA/CliffsReviewTopic/P hagocytosis.topicArticleId-8524)

Hemosit berfungsi dalam enkapsulasi. Hal ini terjadi pada organisme

yang memiliki tubuh terlalu besar untuk fagositosis. Pada saat hemosit

mengelilingi tubuh benda asing yang besar, bagian sel terluar dari hemosit tetap

berbentuk oval atau bulat sedangkan bagian tengah sel menjadi datardan pada fase

(35)

tersebut tidak diserap kembali dan tetap sebagai tanda enkapsulasi meskipun

sudah tidak ada hemosit yang dikenal disitu. Hemosit juga berfungsi dalam

formasi melanin pada fase akhir penyembuhan atau perbaikan luka. Enzim yang

terlibat dalam formasi melanin adalah phenoloxidase (PO) dan telah ditemukan

terdapat dalam hemolim dan kulit arthropoda (Sritunyalucksana & Söderhäll

2000).

Proses imun pertama pada krustase adalah pengenalan mikroorganisme

penyerang yang dimediasi oleh hemosit dan plasma protein (Bachere 2000).

Beberapa tipe modulator protein telah diketahui dapat mengenal komponen

dinding sel mikroorganisme seperti β-1,3-glucan-binding protein (BGBP),

lipopolysaccharide-binding protein (LPS-BP), hemosit receptor yang mengikat

plasmatic glucan-binding protein (PGBP) setelah PGBP bereaksi dengan β -1,3-glukan; peptidoglycan recognition protein yang mampu mengaktifkan

phenoloxidase. Respon Humoral

Enzim phenoloxidase (PO) terdapat dalam hemolim sebagai inactive

pro-enzyme yang disebut proPO. Transformasi proPO menjadi PO melibatkan

beberapa reaksi dikenal sebagai proPO activating system (sistem aktivasi proPO).

Sistem ini terutama diaktifkan oleh beta glukan, dinding sel bakteri dan LPS.

Sistem aktivasi proPO dipertimbangkan sebagai bagian dari sistem imun yang

mungkin bertanggung jawab terhadap proses pengenalan benda asing dalam

sistem pertahanan krustase dan insekta. Sistem proPO dapat digunakan sebagai

marker kesehatan udang dan lingkungan karena perubahan sistemproPO

berkorelasi dengan tahap infeksi dan variasi lingkungan.

Enzim phenoloxidase (PO) bertanggung jawab terhadap proses melanisasi

pada artropoda (Rodriquez & Le Moullac 2000). Enzim ini mengkatalis

hidroksilasi monophenol dan oksidasi phenol menjadi quinones yang diperlukan

untuk proses melanisasi sebagai respon terhadap penyerang asing dan selama

proses penyembuhan (Sritunyalucksana & Söderhäll 2000; Vargas-Albores &

(36)

non-enzymatic menjadi melanin dan sering dideposit pada benda yang dienkapsulasi,

dalam nodulhemosit, dan pada daerah kulit yang terinfeksi jamur. Produksi

reactive oxygen species seperti superoxide anion dan hydroxyl radical selama

pembentukan quonoid juga memainkan peranan penting sebagai antimikroba.

Reaksi biologi seperti fagositosis, enkapsulasi dan nodulasi juga diaktifkan.

Vaksinasi mungkin dapat meningkatkan aktivitashemosit, fagositosis dan

aktivitas opsonin. Pada invertebrata yang tidak memiliki antibodi, lektin

berfungsi sebagai molekul pengenal (recognition molecules) untuk aktivitas

pertahanan seperti agregasi dan opsonisasi (Wittevelt et al. 2003). Lektin

merupakan suatu set protein yang secara spesifik mengikat pada molekul gula

termasuk glikoprotein dan glikolipid. Hasil uji coba Namikoshi et al. (2004)

menunjukkan bahwa penggunaan formalin-inactivatedWSSV vaksin dapat

meningkatkan resistensi P. japonicus terhadap WSSV sepuluh hari setelah

divaksinasi dengan metoda vaksinasi intramuskular. Hasil penelitian yang

dilakukan oleh Wittevelt et al. (2003) juga memperlihatkan bahwa penggunaan

WSSV subunit vaksin dapat meningkatkan resistensi udang windu terhadap

WSSV meskipun udang tidak memiliki respon imun spesifik.

Imunostimulan

Sejumlah substan biologi dan sintetik telah ditemukan dapat meningkatkan

sistemimun nonspesifik ikan. Bahan tersebut dapat meningkatkan resistensi ikan

dan udang terhadap infeksi sejumlah patogen secara simultan(Kumari et al. 2003;

Raa et al. 1992). Oleh karena itu maka imunostimulan sangat penting untuk

digunakan dalam kontrol penyakit karena menawarkan suatu alternatif terhadap

penggunaan antibiotik yang saat ini banyak digunakan dalam budidaya ikan dan

krustase (Cook et al. 2003; Yin et al. 2006), serta tanpa efek samping (Yin et al.

2006).

Secara sederhana, imunostimulan merupakan suatu substan yang

merangsang atau meningkatkan sistem imun dengan berinteraksi secara langsung

dengan sel-sel yang mengaktifkan sistem imun (Gannam & Schrok 2001).

(37)

dengan cara meningkatkan aktivitas sel-sel fagosit(Yin et al. 2006). Jadi

imunostimulan meningkatkan resistensi ikan atau udang terhadap patogensecara

simultan dengan cara merangsang respon imun nonspesifik (Gannam & Schrok

2001). Imunostimulan dapat berupa bakteri dan produk bakteri, yeast, kompleks

karbohidrat, faktor nutrisi, ekstrak hewan, ektrak tumbuhan, dan obat-obatan

sintetik (Cook et al. 2003; Sakai 1999; Sealey & Gatlin 2001).

Nukleotida merupakan nutrien semi esensial bagi ikan dan krustase.

Nukleotida memiliki peranan penting dalam fisiologi dan biokimia seperti

penandaan (encoding) dan penerusan informasi genetik, memediasi energi

metabolisme dan cell signalling serta sebagai komponen koensim, allosteric

effectors, dan cellular agonist (Li & Galtin 2006). Nukleotida terdiri atas basa

purin atau pirimidin,ribosa atau 2’-deoksiribosa dan satu atau lebih grup fosfat.

Basa purin yang utama terdiri atas adenin, guanin, hiposantin dan santin.

Nukleosida purinmengandung ribosa atau 2-deoksiribosa yang berikatan dengan

cicin purin melalui ikatan glikosidik (glycosidic bond) pada N-9. Nukleotida

merupakan fosfat ester dari nukleosida. Basa pirimidinyang utama terdiri atas

urasil, timin, dan sitosin. Urasil dan sitosin merupakan komponen pirimidin utama

dari RNA.Nukleosida pirimidin atau nukleotida mengandungribosa atau

2’-deoksiribosayang berikatan dengan pirimidin melalui ikatan glikosidik pada N-1.

Fosfat esterdari nukleosida pirimidin adalah UMP, CMP, dan TMP (Devlin 2002;

Li & Galtin 2006).Secara alami nukleotida terdapat dalam semua makanan yang

berasal dari hewan dan tumbuhan dalam bentuk nukleotida bebas dan asam

nukleat.

Purin dan pirimidin disintesa dari de novo pathway atau diperoleh dari

salvage pathway.Purin disintesa dalam sitosol sel mamalia dari glycine, aspartate,

glutamine, turunan tetrahydrofolate dan CO2 dengan input energi yang besar. Pirimidin disintesa dari aspartate, glutamine, dan CO2

Kebutuhan nukleotida untuk fungsi fiosiologi hewan dapat dipenuhi dari

sintesa de novo. Namun demikian, suplai nukleotida dari sintesa tersebut tidak

cukup untuk menjalankan fungsi fisiologi secara optimal terutama pada dalam sitosol dan

(38)

sistemimun pada saat berada dalam kondisi stres (Li et al. 2004). Dalam

akuakultur, stres akibat penanganan (handling), penyortiran (grading),

pengangkutan, kepadatan tinggi, penyakit, dan kualitas air yang kurang baik

merupakan masalah yang umum terjadi dan karenanya penambahan nukleotida

dalam pakan mungkin diperlukan (Burrells et al. 200; Li et al. 2004).

Hasil-hasil penelitian pada manusia dan hewan ternak memperlihatkan

bahwa penambahan nukleotida dalam pakan dapat meningkatkan cell-mediated

immunity(CMI), proliferasi limfosit, interleukin-2, dan meningkatkan resistensi

terhadap infeksi bakteri (Li et al. 2004). Sebaliknya, hewan yang diberi pakan

yang tidak mengandung nukleotida menderita gangguan pada fungsi imun selular

dan humoral seperti penurunan aktivitasNK-cell dan makrofag, produksi sitokin

rendah, penurunan produksi antibodi, dan suseptibilitas terhadap infeksi

meningkat (Field et al. 2002). Penambahan nukleotida dalam pakan dapat

memperbaiki kondisi tersebut. Pada bayi yang diberi susu ibu atau makanan yang

ditambahkan nukleotida memiliki aktivitasNK-cell dan produksi IL-2 yang lebih

tinggi dibandingkan dengan bayi yang diberi makanan tanpa suplementasi

nukleotida. Makanan anak-anak yang tersedia saat ini umumnya telah

ditambahkan nukleotida. Bagaimana mekanisme nukleotida dalam meningkatkan

fungsi imun belum diketahui dan perlu diteliti lebih lanjut.

Perhatian terhadap suplementasi nukleotida sebagai imunostimulan pada

pakan ikan mulai meningkat sejak adanya laporan Burrels et al. (2001) yang

memperlihatkan bahwa pakan yang ditambahkan nukleotida dapat meningkatkan

resistensi ikan terhadap infeksi virus, bakteri dan parasit. Nukleotida dapat juga

meningkatkan pertumbuhan serta meningkatkan toleransi ikan terhadap stres.

Pada udang, nukleotida merupakan nutrient kunci (key nutrient) bagi sistem imun

udang dan pemberian nukleotida seperti yeast atau ekstrak yeast dapat

(39)

JUDUL 1 RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN RESISTENSI

UDANG VANAME (

Litopenaeus vannamei

) YANG DIBERI

PAKAN BERSUPLEMEN NUKLEOTIDA

Abstrak

Efikasi nukleotida yang ditambahkan dalam pakan untuk meningkatkan respon imun nonspesifik, resistensi dan pertumbuhan udang vaname(Litopenaeus vannamei) telah diteliti. Juvenil udang berukuran rata-rata 6.0±0.5 g diberi pakan pelet komersial yang sebelumnya telah ditambahkan nukleotida dengan 6 dosis berbeda yakni A: 0, B:100, C:200, D:300, E:400, dan F:500 mg.kg-1 pelet masing-masing dengan tiga ulangan. Udang diberi pakan 3 kali per hari selama 4 minggu berturut-turut dengan tingkat pemberian 3%/bb/hari.Pada akhir periode pemberian pakan, udang diuji tantang melalui injeksi intramuskular dengan Vibrio harveyi 0.1x106 cfu.udang-1. Nukleotida yang ditambahkan dalam pakan memperlihatkan pengaruh signifikan pada udang setelah diberikan selama empat minggu. Jumlah total hemosit(THC) udang pada perlakuan D (300 mg nukleotida) meningkat 76% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Aktivitas PO udang pada perlakuan D (300 mg nukleotida) juga berbeda nyata (p=0.005) dibandingkan dengan kontrol namun tidak berbeda dibandingkan dengan perlakuan E (400 mg nukleotida) dan F (500 mg nukleotida). Resistensi yang diukur berdasarkan sintasan rata-rata (83.33±7.21%) pada perlakuan E(400 mg nukleotida) empat belas hari setelah uji tantang berbeda nyata (p=0.005) dibandingkan dengan kontrol, namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan D (300 mg nukleotida).Pertumbuhan udang yang diamati sampai akhir periode pemberian pakan pada perlakuan E (400 mg nukleotida) berbeda nyata (p=0.001) dibandingkan dengan kontrol maupun dengan perlakuan lainnya. Sebagai kesimpulan, penambahan nukleotida pada dosis300 mg.kg-1 pelet selama 4 minggu dapat meningkatkan jumlah hemosit dan aktivitas PO, sedangkan resistensi dan pertumbuhan terbaik dicapai pada dosis 400 mg.kg-1 pakan.

Kata kunci: Aktivitas PO, Litopenaeus vannamei, nukleotida, resistensi, total hemocyte count

TOPIC 1 NONSPECIFIC IMMUNE RESPONSE AND RESISTANCE OF WHITELEG SHRIMP (Litopenaeus vannamei) FED

NUCLEOTIDE- SUPPLEMENTED DIET

Abstract

(40)

with 0.1 mlVibrio harveyi solution containing 1x106 cfu. Nucleotides diet showed significant effect on shrimp after four weeks of feeding. Mean THC per ml of hemolymph in treatment D(300 mg nucleotides) increased up to 76% higher than control. PO activity of shrimp in treatment D (300 mg nucleotides) was also significantly different (p=0.005) compared to control shrimp, but not different as compared to those of treatments E (400 mg nucleotides) and F (500 mg nucleotides). Resistancemeasured as survival rate (83.33±7.21%) of shrimp in treatment E (400 mg nucleotides) fourteen days post-challenge with V. harveyi was significantly different (p=0.005) from that of control, but not different compared to treatment D (300 mg nucleotides). Shrimp growth observed in treatment E (400 mg nucleotides) was significantly higher (p=0.001) than those of other treatments. As conclusion, oral administration of nucleotides at 300 mg.kg-1 pellet for four weeks enhanced total hemocyte count dan PO activity while the highest disease resistance and growth were obtained at 400 mg.kg-1 diet.

Keywords: resistance, Litopenaeus vannamei, nucleotides, total hemocyte count, PO activity

PENDAHULUAN

Budidaya udang mulai berkembang dengan pesat di Indonesia sejak tahun

1980 setelah pemerintah mengeluarkan larangan terhadap pengoperasian alat

tangkap trawler di beberapa daerah di Indonesia, sekaligus mencanangkan

Program Budidaya Udang Nasional. Namun sejak awal tahun 1990, budidaya

udang menghadapi kegagalan produksi akibat munculnya serangan penyakit

terutama virus (MBV) dan vibriosis. Kondisi ini lebih diperburuk lagi dengan

mewabahnya WSSV di Indonesia sejak tahun 1992/1993. Sejak ditemukan pada

tahun 1992, WSSV telah menyebabkan masalah penyakit yang serius dan telah

menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi industri budidaya udang

dengan mortalitas kumulatif mencapai 100% (Wang et al. 1999; Witteveldt et al.

2003). Masalah ini terjadi bukan hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara

produsen lain seperti di Thailand dan Filipina. Pada tahun 2006, penyakit virus

yang baru, infectious myonecrosis virus (IMNV), terdeteksi menyerang budidaya

udang vaname di Indonesia (Taukhid dan Nuraini 2008).

Sejumlah pendekatan telah diterapkan dalam upaya mengatasi masalah

penyakit. Belakangan ini, berbagai bahan kimia, polisakarida, ekstrak tumbuhan

(41)

sebagai imunostimulan (Misra et al. 2006;Pais et al. 2008). Nukleotida

merupakan nutrient semi esensial yang mulai mendapat perhatian serius untuk

dikembangkan penggunaannya sebagai imunostimulan dalam budidaya ikan dan

krustase dalam beberapa tahun terakhir ini. Nukleotida memiliki fungsi penting

dalam fisiologi dan biokimia seperti penandaan (encoding) dan penerusan

informasi genetik, memediasi energi metabolisme dan cell signalling maupun

sebagai koensim, allosteric effectors, dan cellular agonist (Galtin& Li 2007).

Evaluasi terhadap penggunaan nukleotida sebagai suplemen pakan ikan

telah mulai dilakukan sejak awal tahun 1970-an. Penelitian-penelitian pada saat

itu terutama bertujuan untuk mengevaluasi kemungkinan penggunaan nukleotida

sebagai atraktan pakan (Li & Galtin 2006). Pada hewan ternak, nukleotida sudah

lama dimanfaatkan sebagai atraktan pakan. Beberapa produk nukleotida komersil

untuk ternak telah tersedia di pasaran dengan merek dagang ascogen dan optimun

(Chemoforma, Switzerland).

Beberapa laporan penelitian yang sudah ada menunjukkan bahwa selain

terlibat dalam palatabilitas pakan dan biosintesa asam amino non esensial,

eksogenous nukleotida dapat meningkatkan respon imun dan resistensi ikan

terhadap sejumlah patogen secara simultan (Burrels et al. 2001). Selain itu,

pemberian nukleotida juga dapat meningkatkan efikasi vaksinasi, meningkatkan

pertumbuhan, meningkatkan kualitas larva, serta meningkatkan toleransi terhadap

stres. Hasil pengamatan Leonardi et al. (2003) menunjukkan bahwa pemberian

nukleotida (optimun) pada atlantik salmon menurunkan level serum cortisol dan

menghasilkan peningkatan resistensi terhadap penyakit.

Pada udang, laporan-laporan penelitian tentang penggunaan nukleotida

masih belum tersedia, atau jika ada, masih sangat terbatas. Disisi lain, nukleotida

sangat aman digunakan dalam kontrol penyakit sebab bahan ini selain tidak

meninggalkan residu dalam tubuh, juga tidak mengakibatkan terjadinya kerusakan

lingkungan. Penelitian tentang penggunaan nukleotida dalam budidaya udang

juga dirasa sangat diperlukan untuk menyediakan solusi praktis guna mengurangi

resiko terjadinya serangan penyakit infeksius maupun kerusakan lingkungan

(42)

nukleotida dengan dosis berbeda dalam pakan terhadap jumlah hemosit, aktivitas

PO, resistensi terhadap infeksi Vibrio harveyidan pertumbuhan udang vaname.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen

Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian

Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Maret 2009.

Hewan Uji

Hewan uji adalah juvenil udang vaname yang diperoleh dari fasilitas

pembesaran udang vaname di areal pertambakan Bakauheni, Lampung

Selatan.Udang yang dikumpulkan dimasukkan dalam kotak styrofoam yang

dilengkapi aerator baterei kemudian diangkut ke Laboratorium Kesehatan Ikan

Institut Pertanian Bogor menggunakan mobil.

Nukleotida

Nukleotida yang digunakan adalah nukleotida murni (Sigma-Aldrich)

yang terdiri atas adenosine monophosphate (AMP), guanosine monophosphate

(GMP), cytidine monophosphate (CMP), uridinemonophosphate (UMP), dan

inosinemonophosphate (IMP).

Persiapan Pakan Uji

Sebelum dicampurkan ke dalam pakan, kelima jenis nukleotida dalam

jumlah yang sama (1:1:1:1:1) dicampur terlebih dahulu secara merata.

Selanjutnya campuran nukleotida ditimbang sesuai dosis yang dibutuhkan

(perlakuan), dilarutkan dalam sedikit air, dan dicampurkan ke dalam pakan

komersilsecara merata. Pakan kemudian dikering-anginkan dalam temperatur

ruang. Setelah kering, putih telur (sebagai coater) dicampurkan secara merata ke

dalam campuran pakan-nukleotida, dan dikering-anginkan kembali. Pelet

selanjutnya dimasukkan dalam kantong plastik kemudian disimpan dalam lemari

(43)

memiliki komposisi: protein 38%, lemak 6%, serat kasar 3%, abu 13% dan kadar

air 11%.

Sebelum pakan yang telah ditambahkan nukleotida ini digunakan dalam

percobaan maka dilakukan uji ketahanan dalam air (water stability). Uji ini

dilakukan dengan cara memasukkan 5 g pakan ke dalam sebuah kotak berukuran

10x10x10 cm. Rangka kotak terbuat dari kawat sedangkan dindingnya berupa

kain saring berdiameter 0.5 mm. Pakan yang telah ditambahkan nukleotida

dimasukkan ke dalam kotak, kemudian kotak dimasukkan dalam akuarium dalam

posisi menggantung dekat dasar. Akuarium berisi 50 l air, diberi aerasi dan

menggunakan resirkulasi air sehingga kotak akan bergerak-gerak mengikuti

gerakan air. Kondisi ini dibuat sama seperti pada akuarium percobaan. Setelah 3

jam, kotak dikeluarkan, pakan sisa dikeringkan pada 60o

Rancangan Percobaan

C selama 4 jam,

kemudian ditimbang. Water stability(Ketahanan dalam air) merupakan ratio antara

berat kering pakan sisa setelah direndam dalam air dalam waktu tertentu dan berat

kering pakan sebelum direndam di kali 100%. Water stability yang diperoleh

adalah 77.4% (3096 g/4 g x 100).

Penelitian dikerjakan dengan menggunakan rancangan acak lengkap

(RAL) dengan enam perlakuan dimana masing-masing perlakuan memiliki 3

ulangan. Penempatan perlakuan ke dalam unit-unit percobaan dilakukan secara

acak. Perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut:

A: Nukleotida 0 mg.kg-1 B:

pakan (pakan standar)

Nukleotida 100 mg.kg-1 C:

pakan

Nukleotida 200 mg.kg-1 D:

pakan

Nukleotida 300 mg.kg-1 E:

pakan

Nukleotida 400 mg.kg-1 F:

pakan

(44)

Prosedur Penelitian dan Pengambilan Data

Juvenil udang vaname sebanyak 270 ekor dipelihara selama dua minggu

dalam bak fiberglas berkapasitas 1000 l yang dilengkapi dengan aerator untuk

proses aklimatisasi. Selama periode aklimatisasi, udang diberi pakan standar

sebanyak 3%/bb/hari dan diberikan tiga kali sehari yakni pada pukul 09.00, 13.00,

dan 17.00. Kualitas air dipertahankan stabil dan penggantian air dilakukan setiap

3-4 hari sekali.

Selanjutnya udang (berat rata-rata 6.0±0.5 g) didistribusikan ke dalam 18

unit akuarium percobaan masing-masing berukuran 60x30x30 cm. Setiap

akuarium berisi 50 l air dengan 15 ekor udang, dilengkapi dengan aerasi dengan

airlift system serta menggunakan sistem resirkulasi air. Kualitas air media

pemeliharaan adalah temperatur air 28-29o

Pakan perlakuan diberikan selama 4 minggu berturut-turut dengan tingkat

pemberian 3%/bb/hari dan frekuensi pemberian 3 kali sehari yakni pukul 09.00,

13.00, dan 17.00. Selama masa percobaan, kualitas air dimonitor setiap hari

untuk menjamin agar kondisi

Gambar

Gambar 3Siklus hidup  Litopenaeus vannamei  (Sumber: diadaptasikan dari Braak  2002)
Tabel 1 THC rata-rata L.vannameiyang diberi pakan yang ditambahkan  nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu
Gambar 5 Sintasan kumulatif udang vanameyang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 4 minggu dan diuji tantang dengan Vibrio harveyi
Gambar 6 THC rata-rata L. vannameisetelahdiberiβ–glukan dan nukleotida  selama 4 minggu
+7

Referensi

Dokumen terkait

Salah satu strategi yang digunakan pembudidaya udang dalam mengendalikan penyakit pada budidaya udang adalah dengan meningkatkan sistem imun udang dengan pemberian

Pada penelitian pertama yaitu seleksi isolat bakteri probiotik yang mampu meningkatkan sistem imun menunjukkan bahwa total hemosit yang dihitung memperlihatkan perbedaan yang nyata

Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah penambahan zinc pada pakan memberikan pengaruh dalam meningkatkan LPH dan THC udang vaname.. Namun tidak

Dalam penelitian ini jelas terlihat bahwa penambahan nukleotida pada dosis 400 mg.kg -1 pakan dengan protokol pemberian 7 hari pakan yang ditambahkan nukleotida dan 7 hari

Uji in-vitro dilakukan dengan cara cakram, yaitu suatu cara penentuan kepekaan mikroba pathogen (Vibrio harveyi) terhadap bakteri hasil isolasi dengan menggunakan

Hasil penelitian Johanson dan Soderhall (1989), menunjukkan bahwa sel hemosit yang aktif memfagosit protozoa pada Callinectus sapidus adalah sel hyalin dan bakteri

Dalam penelitian ini jelas terlihat bahwa penambahan nukleotida pada dosis 400 mg.kg -1 pakan dengan protokol pemberian 7 hari pakan yang ditambahkan nukleotida dan 7 hari

Kesimpulan dari penelitian ini bahwa, pemberian k- karagenan 15 g/kg dan frekuensi pemberian 14 hari secara berulang memberikan pengaruh yang lebih baik