• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERAN NUKLEOTIDA SEBAGAI IMUNOSTIMULAN TERHADAP RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN RESISTENSI UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) HENKY MANOPPO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PERAN NUKLEOTIDA SEBAGAI IMUNOSTIMULAN TERHADAP RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN RESISTENSI UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) HENKY MANOPPO"

Copied!
137
0
0

Teks penuh

(1)

RESISTENSI UDANG VANAME

(Litopenaeus vannamei)

HENKY MANOPPO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(2)

ii

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Februari 2011

Henky Manoppo NRP C161060071

(3)

i

PERAN NUKLEOTIDA SEBAGAI IMUNOSTIMULAN

TERHADAP RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN

RESISTENSI UDANG VANAME

(Litopenaeus vannamei)

HENKY MANOPPO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(4)

iii ABSTRACT

HENKY MANOPPO. Role of Nucleotides as Immunostimulant on Non Specific Immune Response and Resistance of Whiteleg Shrimp (Litopenaeus vannamei). Supervised by SUKENDA, DANIEL DJOKOSETIYANTO, M. FATUCHRI SUKADI and ENANG HARRIS

Whiteleg shrimp (Litopenaeus vannamei) culture in Indonesia began in 2000 to partly replace the tiger prawn (Penaeus monodon) that was seriously affected by disease. However, losses due to disease still remain an important concern till now. Therefore, a series of experiments was conducted to evaluate the efficacy of nucleotides in enhancing nonspecific immune response, resistance and growth of whiteleg shrimp. In experiment 1, juveniles were fed commercial pellet previously supplemented with nucleotides at A:0, B:100, C:200, D:300, E:400, F:500 mg.kg-1 pellet, each with three replication. At the end of feeding, shrimp was challenged intramuscularly with 0.1 mlVibrio harveyi solution 1x106 cfu.shrimp-1. Mean total haemocyte count (THC) of shrimp in treatment D (300 mg nucleotides) increased up to 76% higher than control. PO activity in treatment D (300 mg nucleotides) was also significantly different (p=0.005) compared to control. Fourteen days post-challenge, shrimp in treatment E (400 mg nucleotides) had higher resistance to V. harveyi infection (p=0.005). In treatment E, shrimp growth was significantly higher (p=0.001) than control as well as other treatments.Experiment 2 evaluated the effect of administration time of nucleotides on the nonspecific immune response and growth of shrimp. Shrimps were fed pellet supplemented with nucleotides at 400 mg.kg-1 diet. Research result showed that oral administration of nucleotides for four weeks successively significantly enhanced nonspecific immune response and shrimp growth. Experiment 3 evaluated the effect of β–glucan on total haemocyte, PO activity, resistance and growth of shrimp as comparison to nucleotides. THC of shrimp fed nucleotides diet increased up to 87% higher than control. PO activity also increased significantly (p=0.01). Supplementation of β–glucan could increase THC and PO activity, but the increase was not different compared to control. Administration of nucleotides and β–glucan for four consecutive weeks significantly increased resistance of shrimp to disease (p<0.01) where the highest resistance was observed on shrimp fed nucleotides diet. Growth of shrimp fed nucleotide-diet was significantly different compared to control (p<0.01), as well as to β–glucan diet. Experiment 4 was conducted to apply nucleotide-supplemented diet directly in brackishwater pond. Survival rate of shrimp fed nucleotide diet was higher (83.24%) than shrimp fed basal diet (81.71%) but statistically not different.Growth of shrimps fed nucleotide diet was significantly different (p<0.01) compared to shrimp fed basal diet. After 4 weeks of feeding, final weight of shrimp fed nucleotide diet was 11.98±1.08 g and weight gain was 7.48±1.08 g or 35.75% and 68.85% heavier than shrimp fed basal diet and shrimp raised in pond, respectively. As conclusion, application of nucleotides at 400 mg.kg-1

Keywords: Litopenaeus vannamei, nucleotides, PO activity, resistance, THC diet for 4 weeks in shrimp culture was potential to promote nonspecific immune response, resistance and growth of shrimp.

(5)

iv

RINGKASAN

HENKY MANOPPO. Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei). Dibimbing oleh SUKENDA, DANIEL DJOKOSETIYANTO, M. FATUCHRI SUKADI dan ENANG HARRIS

Udang vaname (Litopenaeus vannamei) pertama kali diimpor ke Indonesia pada tahun 2000 untuk mengganti udang windu (Penaeus monodon) yang banyak terserang penyakit terutama bakteri dan virus. Namun dalam perjalanan usaha ini, kerugian-kerugian akibat serangan penyakit terus saja berlanjut.Sejumlah metoda telah diterapkan dalam upaya mengontrol penyakit seperti penggunaan antibiotik/bahan kimia, vaksin, probiotik, SPR, dan sistim produksi biosekuriti. Belakangan ini, penggunaan imunostimulan semakin mendapat perhatian untuk dikembangkan dalam kontrol penyakit. Nukleotida merupakan imunostimulan yang menawarkan alternatif bagi penggunaan antibiotik atau bahan-bahan kimia sebab bahan ini tidak meninggalkan residu dalam tubuh ikan serta tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, serangkaian penelitian telah dikerjakan untuk mengevaluasi potensi aplikasi nukleotida dalam meningkatkan respon imun nonspesifik, resistensi dan pertumbuhan udang vaname.

Penelitian pertama mengevaluasi pengaruh dosis nukleotida terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO, resistensi dan pertumbuhan udang vaname. Udang dipelihara dalam akuarium dan diberi pakan yang telah ditambahkan nukleotida dengan dosis 0, 100, 200, 300, 400, dan 500 mg.kg-1 pakan, masing-masing dengan 3 ulangan. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa setelah diberikan selama 4 minggu, penambahan nukleotida dalam pakan berpengaruh nyata terhadap peningkatan respon imun udang (p<0.01). Total haemocyte count (THC) tertinggi teramati pada udang yang diberi suplementasi nukleotida 300 mg.kg-1 pakan, kemudian 400 mg.kg-1

Empat belas hari setelah uji tantang, resistensi udang yang diberi pakan dengan penambahan nukleotida 400 mg.kg

yang masing-masing mencapai 76% dan 73% lebih tinggi dari udang kontrol. Peningkatan ini dapat terjadi karena nukleotida merupakan nutrien semi esensial yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perbanyakan sel, termasuk sel-sel imun. Pada kedua perlakuan ini, aktivitas PO juga mencapai nilai tertinggi yakni >0.35 yang berarti memiliki aktivitas tinggi. Bagaimana kerja nukleotida dalam meningkatkan aktivitas PO belum diketahui dan perlu diteliti secara lebih detil.Diduga, nukleotida yang ditambahkan dalam pakan selain digunakan sebagai nutrien untuk proses-proses biosintesa, juga akan berfungsi dalam cellular signals. Dalam penelitian ini terlihat bahwa udang yang memiliki THC yang tinggi memiliki aktivitas PO yang tinggi pula. Kondisi ini terjadi karena hemosit berperan dalam produksi dan pelepasan proPO ke dalam hemolim. Dalam keadaan normal, jumlah hemosit yang tinggi akan diikuti pula oleh aktivitas PO yang tinggi.

-1

pakan berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol (p=0.005), namun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan udang yang diberi nukleotida 300 mg.kg-1 pakan. Status kesehatan yang tinggi (THC dan aktivitas PO) mungkin mendukung tercapainya resistensi yang tinggi.

(6)

v Sekalipun demikian, mekanisme imun mana yang paling penting bagi resistensi penyakit belum dapat ditetapkan. Pertumbuhan udang yang diberi nukleotida 400 mg.kg-1 pakan berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol maupun dengan perlakuan lainnya (p=0.001). Udang dengan berat awal 6 g dapat tumbuh mencapai berat 11.05±0.40 g dengan perolehan 5.05±0.40 g atau mencapai 50.75% lebih berat dari perolehan berat udang kontrol. Penambahan nukleotida dalam pakan akan meningkatkan napsu makan udang sehingga efisiensi dan pengambilan pakan meningkat. Hal ini terjadi karena beberapa nukleotida seperti IMP, AMP dan guanine merupakan perangsang napsu makan ikan. Dalam penelitian ini juga teramati bahwa pada dosis yang lebih tinggi (500 mg.kg-1

Penelitian kedua mengevaluasi pengaruh protokol pemberian nukleotida terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO dan pertumbuhan udang vaname. Udang diberi pakan dengan penambahan nukleotida 400 mg.kg

pakan), penambahan nukleotida tidak akan memacu pertumbuhan tetapi sebaliknya menekan pertumbuhan.

-1

Penelitian ketiga mengevaluasi pengaruh suplementasi β–glukanterhadap total haemocyte count, aktivitas PO, resistensi dan pertumbuhan udang vaname sebagai pembanding terhadap suplementasi nukleotida. Udang diberi pakan dengan penambahan β–glukan dan nukleotida.Setelah 4 minggu pemberian pakan, THC udang yang diberi pakan bersuplemen nukleotida secara signifikan meningkat mencapai 87% lebih tinggi dari udang kontrol(p=0.02). Penambahan β–glukan juga dapat meningkatkan THC, namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan kontrol. Aktivitas PO juga meningkat secara sangat nyata (p=0.01) dibandingkan dengan udang yang diberi pakan standar. Aktivitas PO udang yang diberi suplementasi β–glukan juga meningkat namun dibandingkan dengan kontrol namun peningkatan yang terjadi tidak berbeda nyata. Dalam penelitian ini, nilai aktivitas PO udang, baik yang diberi suplementasi nukleotida maupun β–glukan mencapai >0.35, yang berarti memiliki aktivitas tinggi sedangkan udang yang hanya diberi pakan standar memiliki aktivitas PO normal (0.20–035).Penambahan nukleotida dan β–glukan secara nyata (p=0.003) meningkatkan resistensi udang terhadap infeksi vibrio namun secara statistik, resistensi pada kedua perlakuan ini tidak berbeda nyata. Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian pertama dimana udang yang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida 400 mg.kg

pakan dengan protokol pemberian 7 hari pakan yang ditambahkan nukleotida dan 7 hari pakan standar secara bergantian selama 49 hari. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa suplementasi nukleotida dengan protokol pemberian yang ditetapkan tidak berpengaruh terhadap peningkatan parameter imun maupun pertumbuhan udang vaname. Hal ini mungkin terjadi karena: 1) lama waktu pemberian nukleotida dalam percobaan ini mungkin belum cukup untuk dapat menghasilkan peningkatan respon imun dan pertumbuhan udang, 2) udang mungkin membutuhkan suplementasi nukleotida secara kontinyu untuk meningkatkan respon imun dan pertumbuhannya. Hal ini terlihat pada hasil penelitian pertama dimana pemberian nukleotida secara berlanjut selama 4 minggu mampu meningkatkan respon imun, resistensi dan pertumbuhan udang vaname.

-1

dan diuji tantang dengan bakteri vibrio memiliki resistensi yang tinggi. THC dan nilai aktivitas PO tertinggi yang dicapai pada udang yang diberi pakan bersuplemen nukleotida menghasilkan resistensi

(7)

vi yang tertinggi pula. Pertumbuhan udang yang diberi pakan bersuplemen nukleotida juga berbeda nyata (p<0.01) dibandingkan dengan kontrol. Udang dengan berat rata-rata 5.39±0.56g dapat tumbuh mencapai 10.12±0.57g dengan perolehan berat 4.73±0.57g atau mencapai 65.38% lebih berat dari udang kontrol. Hasil ini dapat mengkonfirmasi hasil penelitian pertama dimana perolehan berat udang yang diberi suplementasi nukleotida mencapai 50.74% lebih berat dari kontrol. Penambahan β–glukan juga berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan udang vaname, namun bagaimana mekanisme kerja bahan ini dalam meningkatkan pertumbuhan belum diketahui dengan jelas.

Penelitian keempat bersifat demonstratif dengan maksud untuk mengaplikasikan nukleotida secara langsung dalam manajemen kesehatan budidaya udang vaname di tambak. Udang dipelihara selama 4 minggu dalam dua rangkaian 3-hapa yang ditempatkan dalam tambak dimana usaha pemeliharaan sedang berlangsung. Pada rangkaian Hapa I, udang diberi pakan bersuplemen nukleotida 400 mg.kg-1 pakan sedangkan pada rangkaian Hapa II diberi pakan standar. Masing-masing hapa berukuran 2x1x1m dengan padat tebar 175 ekor/hapa. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sintasan udang yang diberi pakan bersuplemen nukleotida mencapai 83.24±9.42%, namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan sintasan udang yang diberi pakan standar (81.71±3.56%). Kematian udang selama masa pemeliharaan terjadi disebabkan oleh adanya kanibalisme terhadap udang molting dan penyakit myo (Infectious

Myonecrosis Virus, IMNV). Selama masa percobaan berlangsung tidak terjadi

wabah myo sehingga sulit untuk menjelaskan pengaruh nukleotida terhadap resistensi udang percobaan. Pemberian pakan dengan suplementasi nukleotida secara nyata meningkatkan pertumbuhan udang.Setelah 4 minggu pemeliharaan, udang dengan berat awal 4.5 g/ekor dapat tumbuh mencapai berat akhir 11.98±1.08 g jika diberi pakan dengan suplementasi nukleotida dan 10.01±1.36 g jika hanya diberi pakan standar. Udang yang dipelihara dalam tambak pada umur yang sama memiliki berat akhir rata-rata 8.93±0.21 g. Perolehan berat udang yang diberi suplementasi nukleotida mencapai 7.48±1.08 g atau 35.75% lebih besar dari perolehan berat udang kontrol (5.51±1.36 g) dan 68,85% lebih tinggi dari perolehan berat udang yang dipelihara di tambak (4.43±0.21 g). Perolehan berat harian rata-rata udang yang diberi pakan dengan suplementasi nukleotida mencapai 0.277±0.039 g dengan food conversion ratio (FCR) 1.35. Pada udang yang diberi pakan standar, perolehan berat harian rata-rata sebesar 0.204±0.049 g dengan FCR 2.01. Sebagai kesimpulan, penambahan nukleotida pada dosis 400 mg.kg-1

Kata kunci: aktivitas PO, Litopenaeus vannamei, nukleotida, resistensi, THC pakan sangat potensial meningkatkan respon imun nonspesifik, resistensi dan pertumbuhan udang vaname.

(8)

vii

©Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB

(9)

viii

PERAN NUKLEOTIDA SEBAGAI IMUNOSTIMULAN

TERHADAP RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN

RESISTENSIUDANG VANAME

(Litopenaeus vannamei)

HENKY MANOPPO

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Departemen Budidaya Perairan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2011

(10)

ix Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. drh. Retno Damayanti S, MS

Dr. Ir. Nur Bambang PU, MS

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. drh.Angela Mariana Lusiastuti, MSi Dr. Sri Nuryati, SPi, MSi

(11)

x Judul Disertasi : Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon

Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)

Nama : Henky Manoppo

NRP : C161060071 Disetujui Komisi Pembimbing Dr.Ir.Sukenda, M.Sc Ketua Anggota Prof.Dr.Ir.Daniel Djokosetiyanto,DEA

Prof.Dr.Ir. M.Fatuchri Sukadi, M.S

Anggota Anggota

Prof.Dr.Ir. Enang Harris, M.S

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Perairan

Prof.Dr.Ir. Enang Harris, M.S Prof.Dr.Ir. Khairil A.Notodiputro, M.S

(12)

xi

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah yang Maha Kuasa karena atas kasih dan limpahan karunia-Nya sehingga penyusunan laporan Disertasi dengan judul “Peran Nukleotida sebagai Imunostimulan terhadap Respon Imun Nonspesifik dan Resistensi Udang Vaname (Litopenaeus vannamei)” dapat diselesaikan. Laporan disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi mahasiswa untuk menyelesaikan studi Doktor di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Dengan tersusunnya laporan ini, penulis menghaturkan banyak terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Sukenda, MSc sebagai ketua komisi pembimbing,Bapak Prof. Dr.Ir. Daniel Djokosetiyanto, DEA, Bapak Prof.Dr.M.Fatuchri Sukadi, MS dan Bapak Prof.Dr.Ir. Enang Harris,MS masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing yang telah memberikan bimbingan, petunjuk dan arahan mulai dari penyusunan proposal, pelaksanaan penelitian sampai pada penulisan laporan ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada keluarga terkasih, istri dan anak-anak atas segala dukungan dan doanya. Terima kasih juga disampaikan kepada Bapak Ranta, Bapak Aris, Ibu Esti, Ibu Rosa, dan Bapak Atna yang telah membantu selama pelaksanaan penelitian.Disadari bahwa mungkin masih banyak kekurangan yang terdapat dalam tulisan ini. Oleh karena itu kritik dan saran perbaikan demi penyempurnaan laporan ini sangat diharapkan penulis.

Semoga karya ilmiahini dapat bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Bogor, Februari 2011

(13)

xii

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Manado sebagai anak ke empat dari enam bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Sam Ratulangi Manado, lulus pada tahun 1983. Pada tahun 1991, penulis diterima untuk melanjutkan ke program master di Department of Biological Science, Study Program of Aquaculture, Faculty of Science, Simon Frazer University, Canada dan lulus pada akhir tahun 1994. Beasiswa pendidikan diperoleh dari Canadian Indonesian Development Agency (CIDA) Project. Tahun 2006 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Penulis bekerja sebagai staff pengajar pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Sam Ratulangi Manado sejak tahun 1984. Bidang penelitian yang menjadi tanggung jawab penulis adalah parasit dan penyakit ikan.

Karya ilmiah berjudul “Nukleotida meningkatkan respon imun dan performa pertumbuhan udang vaname, Litopenaeus vannamei”, disajikan pada Konferensi Internasional Akuakultur yang diselenggarakan oleh Masyarakat Akuakultur Indonesia di Jogyakarta pada bulan Oktober 2009. Artikel tersebut telah diterbitkan pada jurnal Aquacultura Indonesiana. Artikel berjudul “Peningkatan respon imun nonspesifik, resistensi, dan pertumbuhan udang vaname (Litopenaeus vannamei) melalui pemberian pakan dengan suplementasi nukleotida”disajikan pada Simposium Nasional Bioteknologi Budidaya pada bulan Oktober 2010 di Bogor dan akan diterbitkan pada jurnal Akuakultur, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor. Artikel lain dengan judul “Nonspecific immune response and resistance of Litopenaeus vannamei fed nucleotides, β-glucan, and protagen diets” sudah diterima dan akan diterbitkan pada Indonesian Aquaculture Journal (IAJ), PRPB RI Jakarta. Karya-karya tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.

(14)

xiii

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ……… xv

DAFTAR GAMBAR ……… xvi

DAFTAR LAMPIRAN ……… xvii

PENDAHULUAN ……… 1 Latar Belakang ………. 1 Pendekatan Masalah ………. 3 Perumusan Masalah ………. 4 Tujuan Penelitian ………. 5 Manfaat Penelitian ………. 6 Hipotesis ………. 6 Kebaharuan ………. 6 TINJAUAN PUSTAKA ………. 7

JUDUL 1 RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN RESISTENSI …….. 19

UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) YANG DIBERI PAKAN BERSUPLEMENNUKLEOTIDA Abstrak ………. 19

Abstract ………. 19

Pendahuluan ………. 20

Bahan dan Metode ………. 22

Hasil dan Pembahasan ……… 27

Kesimpulan ………. 35

JUDUL 2 RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN PERTUMBUHAN … 36 UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei)YANG DIBERI PAKAN YANG DITAMBAHKAN NUKLEOTIDA DENGAN LAMA PEMBERIAN BERBEDA Abstrak ……….. 36

Abstract ……….. 36

Pendahuluan ………. 37

Bahan dan Metode ………. 38

Hasil dan Pembahasan ……… 42

Kesimpulan ………. 45

JUDUL 3 KOMPARASI RESPON IMUN NONSPESIFIK, ………….. 46

RESISTENSI DANPERTUMBUHAN UDANGVANAME (Litopenaeus vannamei) YANG DIBERI

β-

GLUKAN DAN NUKLEOTIDA Abstrak ………. 46

Abstract ………. 46

(15)

xiv

Bahan dan Metode ………. 49

Hasil dan Pembahasan ……… 54

Kesimpulan ………. 62

JUDUL 4 APLIKASI NUKLEOTIDA DALAM BUDIDAYA ………. 63

INTENSIF UDANG VANAME(Litopenaeus vannamei) DI TAMBAK Abstrak ………. 63

Abstract ………. 63

Pendahuluan ………. 64

Bahan dan Metode ………. 66

Hasil dan Pembahasan ……… 71

Kesimpulan ………. 76

PEMBAHASAN UMUM ……… 77KESIMPULAN DAN SARAN………. 86 DAFTAR PUSTAKA ……… 87

(16)

xv

DAFTAR TABEL

Halaman 1 THC rata-rata L.vannameiyang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu……… 28 2 Aktivitas PO L. vannamei yang diberi pakan yang ditambahkan

nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu………. 29 3 Resistensi L. vannamei yang diberi pakan yang ditambahkannukleotida

dengan dosis berbeda dan diuji tantang dengan bakteri Vibrio harveyi….. 31

4 Pertumbuhan L. vannamei yang diberi pakan yang

ditambahkannukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu……….

33 5 Protokol administrasi pakan dengan dan tanpa suplementasi

nukleotidapadaudang

vaname……….

39 6 THC, aktivitas PO dan perolehan berat udang vaname setelah

diberipakan yang ditambahkan nukleotida dengan lama pemberian berbeda…...

43 7 THC, aktivitas PO dan perolehan berat udang vaname setelah diberi

pakan yang ditambahkan nukleotida selama 4x7 hari berturut-turut…….. 45 8 Pertumbuhan L. vannamei setelah diberi β-glukan dan nukleotida selama

4 minggu……….. 61

9 Sintasan dan efisiensi pakan udang vaname yang diberi pakan

yangditambahkan nukleotida selama 4 minggu………...

72 10 Performa pertumbuhan udang vaname yang dipelihara dalam Hapa

(17)

xvi

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Skema pendekatan masalah……… 5

2 Morfologi Litopenaeusvannamei……… 8

3 Siklus hidup Litopenaeus vannamei……… 11

4 Proses pagositosis……… 14

5 Sintasan kumulatif udang vanameyang diberi pakan yang ditambahkan nukleotida selama 4 minggu dan diuji tantang dengan Vibrio harveyi 31 6 THC rata-rata L. vannamei setelahdiberiβ–glukan dan nukleotida selama 4 minggu………... 55

7 Aktivitas PO L.vannamei setelahdiberi β–glukandan nukleotida selama 4 minggu……… 57

8 Sintasan kumulatif udang vaname setelah diberi β–glukan dannukleotidadan diuji-tantang dengan Vibrio harveyi ……… 59

9 SintasanL.vannamei setelah diberi β–glukan dan nukleotidadan dan diuji-tantang dengan bakteri V. Harveyi……… 60

10 Tata letak hapa percobaan dalam tambak udang vaname……… 68

11 Posisi dasar hapa 10-30 cm di atas dasar tambak………. 68

12 Penghitungan dan penebaran udang dalam hapa percobaan……… 69

13 Pemberian pakan pada udang percobaan………. 70

14 Berat akhir udang vaname yang dipelihara dalam Hapa I, Hapa II, dan Tambak………... 75

15 Perolehan berat udang vaname yang dipelihara dalam Hapa I, Hapa II dan Tambak……… 76

16 Perolehan berat harian rata-rata (ADG) udang vaname yang dipelihara dalam Hapa I, Hapa II dan Tambak ……….. 76

(18)

xvii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Total haemocyte count udang vaname setelah diberi pakan yang

ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu … 95 2 Deskriptif THC udang vaname setelah diberi pakan

yangditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu…

96 3 Analisis Ragam THC udang vaname setelah diberi pakan

yangditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu….

97 4 Uji Duncan untuk THC udang vaname setelah diberi pakan yang

ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu … 97 5 Aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan yang …………...

ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu

99 6 Deskriptif Aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan

yangditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu….

100 7 Analisis Ragam Aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan

yang ditambahkan nukleotida dosis berbeda selama 4 minggu …... 101 8 Uji Duncan aktivitas PO udang vaname setelah diberi pakan yang

ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama 4 minggu…. 101 9 Kelangsungan hidup kumulatif (%) udang vaname 14 hari setelah

uji tantang dengan bakteri Vibrio harveyi………. 103 10 Deskriptif tingkat resistensi (%) udang vaname 14 hari setelah uji

tantang dengan bakteri Vibrio harveyi……….. 103 11 Analisis Ragam tingkat resistensi udang vaname 14 hari setelah uji

tantang dengan bakteri Vibrio harveyi……….. 104 12 Uji Duncan untuk resistensi udang vaname 14 hari setelah uji

tantang dengan bakteri Vibrio harveyi……….. 104 13 Berat akhir dan perolehan berat udang vaname setelah diberi

pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama

4 minggu ……… 105

14 Deskriptif perolehan berat udang vaname setelah diberi pakan

yang ditambahkan nukleotida dosis berbeda selama 4 minggu …... 106 15 Analisis Ragam perolehan berat udang vaname setelah diberi

(19)

xviii

4 minggu ……… 106

16 Uji Duncan untuk perolehan berat udang vaname setelah diberi pakan yang ditambahkan nukleotida dengan dosis berbeda selama

4 minggu ………... 107

17 THC, aktivitas PO, berat akhir (Wt) dan perolehan berat (WG) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen nukleotida dengan

lama pemberian berbeda ……… 108

18 THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname yang diberi pakan

bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 109 19 Deskriptif THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname vaname

yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama

4 minggu ………... 109

20 Analisis Ragam THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama

4 minggu ………... 110

21 Uji Duncan untuk THC, aktivitas PO dan resistensi udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glukan dan nukleotida selama

4 minggu ………... 110

22 Kelangungan hidup kumulatif (%) udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta glucan dan nukleotida dan diuji tantang

dengan Vibrio harveyi ……….. 111

23 Pertumbuhan udang vaname yang diberi pakan bersuplemen beta

glucan dan nukleotida selama 4 minggu ……….. 112 24 Deskriptif berat akhir (g) udang vaname yang diberi pakan

bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 113 25 Deskriptif perolehan berat (g) udang vaname yang diberi pakan

bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 113 26 Analisis Ragam berat akhir (g) udang vaname yang diberi pakan

bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 114 27 Analisis Ragam perolehan berat (g) udang vaname yang diberi

pakan bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ... 114 28 Uji Duncan untuk berat akhir udang vanameyang diberi pakan

bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 114 29 Uji Duncan Perolehan berat (g) udang vaname yang diberi pakan

bersuplemen beta glucan dan nukleotida selama 4 minggu ………. 114 30 Berat akhir (g) udang vaname setelah 2 minggu dipelihara dalam

Hapa I dan Hapa II ………... 116

31 Berat akhir (g) udang vaname setelah 4 minggu dipelihara dalam

Hapa I dan Hapa II ……….. 116

32 Analisis Ragam perolehan berat (g) udang vaname setelah 2

(20)

xix 33 Analisis Ragam perolehan berat (g) udang vaname setelah 4

minggu dipelihara dalam Hapa I dan Hapa II ……….. 117 34 Perolehan berat harian (g) udang vaname setelah 4 minggu

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sebagai suatu aktivitas industri, budidaya udang mulai berkembang sejak awal tahun 1970-an dengan spesies budidaya utama adalah udang penaeid (Bachere 2000). Menjelang pertengahan tahun 1970-an, produksi budidaya udang dunia mulai meningkat dengan cepat dan mencapai 22600 ton pada tahun 1975 (Briggs et al. 2004). Pada satu dekade berikutnya, produksi mencapai 200000 ton dimana 75% dari total produksi tersebut berasal dari Asia Tenggara dan Asia Timur. Pada tahun 1988, produksi meningkat secara cepat melebihi 560000 ton terutama sebagai hasil peningkatan produksi dari Cina, Taiwan, Ecuador, Indonesia, Thailand, dan Filipina (Rosenberry 2001).

Dalam perkembangan budidaya udang, masalah kegagalan produksi pertama terjadi di Taiwan pada tahun 1987–1989 disebabkan terjadinya degradasi lingkungan serta meningkatnya wabah penyakit infeksius terutama bakteri dan virus. Produksi udang windu (Penaeus monodon)Taiwan menurun drastis dari 78500 ton menjadi 16600 ton (Briggs et al. 2004). Masalah kegagalan produksi kedua terjadi di Cina sebagai akibat munculnya penyakit White Spot Syndrome

Virus (WSSV) pada tahun 1992.Produksi menurun dari 207000 ton pada tahun

1992 menjadi 64000 ton pada tahun 1993-1994.Masalah yang sama juga terjadi di Thailand, Filipina, dan Indonesia yang disebabkan oleh penyakit Yellow Head

Virus (YHV) dan WSSV pada awal 1990-an.

Untuk meningkatkan produksi budidaya udang maka pada tahun 2000 Indonesia mengintroduksi udang vaname (Litopenaeusvannamei) sebagai pengganti udang winduyang terserang WSSV (DKP 2007). Selanjutnya pada 11 Juni 2005, Presiden Republik Indonesia mencanangkan Program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan secara nasional. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain revitalisasi tambak intensif dengan udang vaname pada lahan tambak seluas 7000 ha dengan rata-rata produksi 30 ton/ha/tahun, revitalisasi tambak tradisional dengan udang vaname pada lahan tambak seluas 140000 ha dengan produksi antara 600-1500 kg/ha/tahun, impor induk udang

(22)

vaname bebas patogen (Specific Pathogen Free), domestikasi udang vaname menjadi induk yang bebas penyakit dan tahan penyakit (Specific Pathogen

Resistance) sehingga mengurangi ketergantungan dari impor, melakukan

revitalisasi teknik pembenihan udang skala rumah tangga (backyard hatchery), penerapan sertifikasi perbenihan dan pembudidayaan udang, pengembangan laboratorium lingkungan dan penyakit, penyediaan sarana dan prasarana budidaya, dan membantu penguatan permodalan bagi pembudidaya udang.

Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia, total produksi budidaya udang nasional Indonesia yang tercatat tahun 2005 sebesar 295000 ton (DKP 2007). Tahun 2008, produksi udang meningkat mencapai 410000 ton namun pada tahun 2009, produksi menurun menjadi 350000 ton atau turun sekitar 14.6%. T

Agar program peningkatan produksi udang dapat berkesinambungan, baik secara ekologi maupun ekonomi, maka kontrol penyakit harus menjadi prioritas utama. Beberapa metoda yang telah diterapkan dalam mengontrol penyakit antara lain penggunaan antibiotik atau bahan kimia, vaksin, probiotik, penggunaan SPF/SPR, dan biosekuriti. Penggunaan antibiotik merupakan metoda kontrol penyakit yang telah lama dan paling banyak diterapkan dalam aktivitas budidaya. Namun demikian, telah ditemukan bahwa pemberian antibiotik dalam tambak telah mengakibatkan munculnya patogen yang tahan terhadap antibiotik (antibiotic-resistant pathogen). Selain itu, pemberian antibiotik dalam tambak membutuhkan sejumlah besar bahan yang mahal dan dapat terakumulasi dalam tubuh ikan/udang atau lingkungan budidaya dan membahayakan kesehatan konsumen. Vaksin telah digunakan pada beberapa spesies ikan dan memperlihatkan hasil positif. Pada udang, penggunaan vaksin

(formalin-inactivated WSSV, recombinant protein WSSV) telah mulai diteliti dan

memperlihatkan hasil yang menjanjikan meskipun udang tidak memiliki sistem imun spesifik (Namikoshi et al. 2004; Witteveldt et al. 2003). Namun demikian, ahun 2010 produksi berkisar 352000 ton atau turun dari target semula 400300 ton. Volume ekspor berkisar 144410 ton atau turun 4.36% dengan nilai ekspor 1.03 miliar dollar AS. Menurunnya produksi disebabkan olehadanya serangan penyakit terutama Infectious Myonecrosis Virus (IMNV).

(23)

vaksin sangat mahal dan proteksi yang dihasilkan bersifat spesifik sehingga tidak efektif melawan beberapa patogen secara simultan.

Penggunaan udang SPR dan sistem biosekuriti yang diterapkan beberapa tahun terakhir ini secara signifikan mampu meningkatkan kelangsungan hidup dan produksi. Dalam jangka panjang, kedua metoda inipun nampaknya belum mampu mencegah munculnya wabah penyakit yang terjadi secara berulang (Moss et al. 2006). Dengan adanya mutasi virus, maka udang yang awalnya resisten terhadap patogen tertentu menjadi rentan terhadap virus baru. Lebih lanjut, kini terdapat bukti bahwa udang SPR ternyata memiliki pertumbuhan yang lebih kecil dib&ingkan dengan udang bukan SPR (Henryon et al. 2002; Parenrengi 2010).

Saat ini, penggunaan imunostimulan semakin mendapat perhatian untuk dikembangkan sebagaimetoda kontrol penyakit dalam budidaya udang. Banyak bukti telah memperlihatkan bahwa imunostimulan yang ditambahkan dalam pakan dapat meningkatkan resistensi ikan dan udang terhadap infeksi penyakit melalui peningkatan respon imun nonspesifik (Pais et al. 2008; Welker et al. 2007).

Udang tidak memiliki respon imun spesifik dan sepenuhnya tergantung pada respon imun nonspesifik. Nukleotida merupakan imunostimulan yang sudah diketahui dapat meningkatkan respon imun nonspesifik ikan (Burrels et al. 2001). Pada udang, belum banyak penelitian tentang penggunaan nukleotida sebagai imunostimulan.Nukleotida dapat menawarkan alternatif bagi penggunaan antibiotik atau bahan-bahan kimia sebab bahan ini tidak meninggalkan residu dalam tubuh ikan serta tidak mengakibatkan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, penelitian terhadap penggunaan nukleotida dalam upaya mengontrol penyakit dalam aktivitas budidaya udang dirasa sangat diperlukan.

Pendekatan Masalah

Nukleotida merupakan nutrient semi esensial yang mulai mendapat perhatian serius untuk dikembangkan penggunaannya dalam budidaya ikan dan krustase dalam beberapa tahun terakhir ini. Meskipun penelitian tentang penggunaan nukleotida masih berada pada tahap awal, laporan-laporan penelitian pada ikan menunjukkan bahwa selain terlibat dalam palatabilitas pakan dan

(24)

biosintesa asam amino non esensial, eksogenous nukleotida dapat meningkatkan imunitas dan resistensi ikan terhadap infeksi virus, bakteri dan parasit. Selain itu, pemberian nukleotida juga dapat meningkatkan efikasi vaksinasi yang ditunjukkan oleh peningkatan titer antibodi setelah ikan divaksinasi (Burrells et

al. 2001); meningkatkan oxidative radical neutrofil darah dan sintasan ikan;

meningkatkan aktivitasfagositosis, respiratory burst, serum komplemen dan aktivitas lisosim serta menurunkan infeksi A. hydrophilapada ikan mas. Pemberian nukleotida juga dapat memperbaiki pertumbuhan pada fase perkembangan awal, meningkatkan kualitas larva, serta meningkatkan toleransi terhadap stres. Pada krustase, pemberian nukleotida dapat meningkatkan pertumbuhan udang vaname (Li et al. 2007). Sebaliknya, defisiensi nukleotida dapat merusak fungsi hati, usus, dan fungsi imun (Li & Galtin 2006).

Hasil-hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa penambahan nukleotida dalam pakan dapat meningkatkan imunitas dan resistensi ikan terhadap sejumlah patogen yang berbeda. Namun demikian, penelitian-penelitian menyangkut sumber dan tipe nukleotida yang tepat, dosis, dan lama waktu pemberian, masih sangat terbatas. Pada udang, laporan-laporan penelitian tentang penggunaan nukleotida masih sangat terbatas. Sehubungan dengan itu, serangkaian penelitian telah dilakukan untuk mengkaji peranan nukleotida dalam meningkatkan respon imun nonspesifik dan resistensi udang vaname. Skema pendekatan masalah disajikan pada Gambar 1.

Perumusan Masalah

Eksogenous nukleotida sangat penting untuk digunakan dalam kontrol penyakit karena selain dapat memperbaiki pertumbuhan, pemberian nukleotida dapat meningkatkan imunitas dan resistensi udang yang dibudidayakan. Namun demikian, informasi menyangkut tipe nukleotida yang tepat, dosis, serta lama waktu pemberian yang menghasilkan respon optimal pada udang vaname masih belum jelas.

(25)

Gambar 1. Skema pendekatan masalah

1. Mengevaluasi pengaruh penambahan nukleotida dengan dosis berbeda dalam pakan terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO, resistensi udang vaname terhadap infeksi Vibrio harveyidan pertumbuhan.

Tujuan Penelitian

2. Mengevaluasi pengaruh protokol pemberian nukleotida terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO dan pertumbuhan udang vaname.

3. Mengevaluasi pengaruh suplementasi β-glukan dalam pakan terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO,resistensi dan pertumbuhan udang vanamesebagai pembanding terhadap nukleotida.

4. Mengevaluasi pengaruh pemberian nukleotida terhadap resistensi dan performa pertumbuhan udang vaname yang dipelihara di tambak.

Respon humoral Respon imun nonspesifik

Respon selular (+) (-) (-) (+) (+) Produksi Resistensi (-) Pertumbuhan

Udang

Nukleotida

Toleransi stress

(26)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian diharapkan dapat dijadikan bahan aplikasi yang penting bagi manajemen kesehatan dalam industri budidaya udang vaname di Indonesia.

Hipotesis

• Pemberian nukleotida sebagai imunostimulan dalam pakan sangat potensial meningkatkan respon imun nonspesifik dan resistensi udang vaname.

• Respon imun nonspesifik udang vaname dipengaruhi oleh dosis dan lama waktu pemberian imunostimulan nukleotida.

Kebaharuan

Kebaharuan dari penelitian ini adalah pemanfaatan nukleotida sebagai sumber alternatif imunostimulan dan peranannya dalam sistem imun nonspesifik udang yaitu meningkatkan jumlahhemosit, aktivitas phenoloxidase (PO) dan resistensi terhadap infeksi patogen. Nukleotida juga berperan memacu pertumbuhan. Dengan demikian maka aplikasi nukleotida dalam pakan udang diharapkan mampu mengatasi atau meminimalisir permasalahan penyakit dan menunjang peningkatan produksi budidaya udang vaname.

(27)

TINJAUAN PUSTAKA

Udang vaname termasuk krustase dalam ordo dekapoda dimana di dalamnya juga termasuk udang, lobster dan kepiting. Klasifikasi udang vaname adalah sebagai berikut (Wyban & Sweeney 1991):

Biologi Litopenaeus vannamei (Boone 1931)

Phylum :Anthropoda Subphylum : Krustase Class : Malacostraca Subclass : Eumalacostraca Superorder : Eucarida Order : Decapoda Suborder : Dendrobranchiata Super Family : Penaeidea

Family : Penaeidae Genus : Litopenaeus Spesies : L. vannamei

Nama umum udang vaname adalah Pasific white shrimp, West Coast white

shrimp, Camaron blanco, Langostino. Nama FAO adalah whiteleg shrimp, Crevette pattes blanches, Camaron patiblanco (Elovaara 2001; Rosenberri 2006).

Ciri-ciri udang vanameadalah rostrum bergigi, biasanya 2-4 (kadang-kadang 5-8) pada bagian ventral yang cukup panjang dan pada udang muda melebihi panjang antennular peduncle (Gambar 2).Karapaks memiliki

pronounced antenal dan hepatic spines. Pada udang jantan dewasa, petasma symmetrical, semi-open, dan tidak tertutup. Spermatofora sangat kompleks yang

terdiri atas masa sperma yang dibungkus oleh suatu pembungkusyang mengandung berbagai struktur perlekatan (anterior wing, lateral flap, caudal

flange, dorsal plate) maupun bahan-bahan adhesif dan glutinous. Udang betina

dewasa memiliki open thelycumdan sternit ridges, yang merupakan pembeda utama udang vaname betina (Elovaara 2001).

(28)

Gambar 2 Morfologi Litopenaeus vannamei (Sumber: Wyban & Sweeney 1991)

Udang vaname memiliki 6 fase nauplii, 3 fase protozoea dan 3 fase mysis dalam siklus hidupnya. Fase larva (panjang karapaks 1,95 – 2,73 mm) dapat dikenal melalui kurangnya spine pada sternit ke 7, dan panjang rostrum relatif terhadap panjang mata termasuk tangkai mata.Ciri morfologi yang paling dapat dikenal adalah perkembangan supraorbital spine pada fase zoea ke 2 dan ke 3.

Tubuh berwarna putih transparan sehingga lebih umum dikenal sebagai “white shrimp”. Tubuh sering berwarna kebiruan karena lebih dominannya kromatofor biru. Panjang tubuh dapat mencapai 23 cm. Udang vaname dapat dibedakan dengan spesies lainnya berdasarkan pada eksternal genitalnya.

Distribusi

Udang vaname tersebar di bagian timur pantai Pasifik Amerika Tengah dan Selatan dari Mexico sampai Peru(Elovaara 2001; Rosenberry 2006), dimana daerah-daerah tersebut memiliki temperatur di atas 20oC sepanjang tahun (Wyban

(29)

& Sweeney 1991). Karena spesies ini relatif mudah dibudidayakan, maka udang ini telah tersebar keseluruh dunia.

Habitat

Di alam udang ini menyukai dasar berlumpur pada kedalaman dari garis pantai sampai sekitar 72 m. Hewan ini juga telah ditemukan menempati daerah mangrove yang masih belum terganggu. Udang ini nampaknya dapat beradaptasi dengan perubahan temperatur dan tekanan di alam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa udang vanamedapat beradaptasi dengan baik pada level salinitas yang sangat rendah sehingga menjadikan udang ini sebagai udang yang paling banyak dibudidayakan di kolam air tawar (salinitas sangat rendah dimana udang ini dapat beradaptasi (Elovaara 2001).

Molting dan Pertumbuhan

Pertumbuhan udang vaname, seperti halnya arthropoda lainnya, tergantung pada dua faktor yaitu frekuensi molting (waktu antara molting) dan pertumbuhan yaitu berapa besar pertumbuhan pada setiap molting baru (Wyban & Sweeney 1991). Karena tubuh udang ditutupi oleh karapaks yang keras, maka untuk tumbuh, karapaks yang lama harus dilepas dan diganti dengan yang baru dan lebih besar. Saat molting, terjadi pemisahan kulit antara karapaks dan intercalary

sclerite, dimana sepalotoraks dan appendic anterior dikeluarkan. Karapaks baru

pada awalnya lunak, tetapi akan mengeras kembali pada laju yang proporsional terhadap ukuran udang.

Molting merupakan fungsi dari ukuran udang, jika udang tumbuh maka waktu antar molting meningkat. Pada fase larva, molting terjadi setiap 30-40 jam pada temperatur 28°C. Juvenil udang ukuran 1–5 gram akan molting setiap 4-6 hari, tetapi udang berukuran 15 gram akan molting setiap 2 minggu.

Kondisi lingkungan dan faktor nutrisi juga mempengaruhi frekuensi molting. Pada temperatur yang lebih tinggi, frekuensi molting meningkat. Selama molting, absorpsi oksigen menjadi kurang efisien dan udang yang mati selama molting biasanya disebabkan olehkekurangan oksigen.Sesaat setelah

(30)

molting, karapaks masih lunak dan udang menjadi rentan terhadap predasi dari sesamanya. Udang yang baru molting dengan kulit yang masih lunak sering membenamkan diri dalam endapan detritus yang lunak.

Reproduksi dan Siklus Hidup

Karapaks udang vanameberwarna transparan sehingga memungkinkan untuk mengamati warna perkembangan ovari. Pada betina, gonad pertama-tama berwarna keputih-putihan, selanjutnya berkembang menjadi coklat emas atau coklat kebiru-biruan pada saat akan memijah (Rosenberry 2006). Udang jantan menyimpan spermatophora pada betina berkulit keras. Tingkah laku kawin dimulai pada sore hari dimana hal ini berkaitan dengan ketersediaan intensitas cahaya. Proses pemijahan dimulai dengan lompatan secara tiba-tiba dan udang betina aktif berenang. Seluruh proses pemijahan berakhir selama sekitar satu menit. Jumlah telur yang dapat dilepaskan seekor induk betina bervariasi menurut ukuran individu. Udang berukuran 30–45 gr dapat melepaskan 100000–250000 butir telur. Ukuran diameter telur sekitar 0.22 mm.

Udang betina memiliki open thelycum dan inilah yang membedakannya dengan dengan udang penaeid lainnya (Elovaara 2001). Udang jantan melekatkan spermatophora berjeli (berisi sperma) pada open thelycum pada saat kawin. Perkawinan terjadi pada saat udang betina berada pada fase intermolt pada saat ovari telah mencapai kematangan. Pelepasan telur terjadi pada malam hari beberapa jam setelah perkawinan, biasanya kurang dari tiga jam. Proses pelepasan telur berlangsung selama 1-3 menit dimana selama proses pelepasan telur, induk betina melindungi telur yang baru dilepaskan. Hal ini memungkinkan sperma untuk membuahi telur sebanyak mungkin. Segera setelah semua bahan genetik dari jantan maupun betina bersatu maka pembuahanpun selesai.

Telur akan menetas menjadi nauplii dalam waktu sekitar 16-17 jam setelah pembuahan. Jika diamati di bawah mikroskop,nauplii secara fisik nampak seperti laba-laba air. Selama beberapa hari nauplii makan dari makanan cadangan dari telur sampai nauplii bermetamorfosa menjadi zoeae sebagai tahap larva yang kedua. Zoaea makan mikroalga selama 3-5 hari sebelum berkembang menjadi

(31)

mysis. Pada fase mysis, larva sudah mulai nampak seperti bentuk udang dewasa. Selain mikro algae, mysis memakan diatom dan zooplankton, terutama di alam. Fase mysis berlangsung selama 4 hari sampai mysis bermetamorfosa kembali menjadi postlarva. Post larva telah berbentuk seperti udang dewasa, memakan zooplankton, detritus dan berbagai formula makanan buatan jika dipelihara dalam hatchery.

Di alam, udang dewasa mencapai matang gonad, kawin dan bertelur di laut terbuka sampai pada kedalaman sekitar 70 m pada temperatur 26-28oC dan salinitas sekitar 35 ppt. Setelah menetas, larva berkembang di perairan lepas pantai ini dan setelah mencapai post larva, udang bermigrasi ke perairan pantai dan menetap di dasar estuari yang dangkal. Setelah beberapa bulan di daerah estuari, udang dewasa kembali bermigrasi ke perairan laut terbuka dimana selanjutnya terjadi kematangan gonad, perkawinan, dan pemijahan (Gambar 3).

Gambar 3Siklus hidup Litopenaeus vannamei (Sumber: diadaptasikan dari Braak 2002)

postlarva Zoea mysis nauplius dewasa Udang muda Telur dibuahi juvenil

(32)

Makanan dan Kebiasaan Makan

Di alam, udang penaeid bersifat karnivor yang memangsa krustase kecil, ampipoda, polikaeta. Namun dalam tambak, udang ini makan makanan tambahan atau detritus. Udang vanamebersifat nokturnal. Udang muda tetap membenamkan diri dalam substrat selama siang hari dan tidak makan atau tidak mencari makanan. Tingkah laku makan ini dapat diubah dengan pemberian pakan ke dalam tambak. Hasil penelitian di Ocean Institute Honolulu menunjukkan bahwa udang yang diberi pakan beberapa kali sehari tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan udang yang hanya diberi pakan sekali dalam satu hari (Wyban & Sweeney 1991).

Krustase tidak memiliki respon imune spesifik (adaptive) dan nampak bergantung pada berbagai respon imun nonspesifik (innate). Meskipun dianggap tidak begitu memuaskan, respon imun nonspesifik mampu dengan cepat dan efisien mengenal dan menghancurkan material asing, termasuk patogen (Vargas-Albores & Yepiz-Plascencia 2000;Witteveldt et al. 2003). Respon imun nonspesifik terdiri atas respon selular dan respon humoral.

Respon Imun Krustase

Hemositkrustase, dan invertebrata lain, memainkan peranan penting dalam sistem pertahanan tubuh terhadap patogen seperti virus, bakteri, fungi, protozoa, dan metazoa (Johansson et al. 2000; Sindermann 1990; Rodriquez & Le Moullac 2000). Pertama, hemosit mengeluarkan partikel asing dalam hemocoel melalui fagositosis, enkapsulasi dan aggregasi nodular. Kedua, hemosit berperan dalam penyembuhan luka melalui cellular clumpingserta membawa dan melepaskan

prophenoloxidase system (proPO). Hemosit juga berperan dalam sintesa dan

pelepasan molekul penting hemolim seperti α Respon Selular

2-macroglubulin (α2

Klasifikasi tipe hemositkrustase terutama didasarkan pada keberadaan granula sitoplasma, yaitu sel hyalin, semigranular, dan granular (Johansson et al. 2000; Le Moullac & Haffner 2000). Sel hyalin merupakan tipe sel yang paling M), agglutinin, danpeptidaantibakteri(Rodriquez & Le Moullac 2000).

(33)

kecil dengan ratio nukleus sitoplasma tinggi dan tanpa atau hanya sedikit granula sitoplasma; sel granular merupakan tipe sel paling besar dengan nukleus yang lebih kecil dan terbungkus dengan granula; sel semi granular merupakan tipe sel diantara hyalin dan granular. Masing-masing tipe sel aktif dalam reaksi kekebalan tubuh, sebagai contoh, sel hyalin terlibat dalam fagositosis, sel semigranular aktif dalam enkapsulasi, sel granular aktif dalam penyimpanan dan pelepasan proPO system dan sitotoksisiti.

Jumlah hemosit dapat sangat bervariasi berdasarkan spesies, respon terhadap infeksi, stres lingkungan, aktivitas endokrin selama siklus molting (Johansson et al. 2000), seks, fase perkembangan, status reproduksi dan nutrisi (Song et al. 2003). Pada kuruma shrimp (Marsupenaeus japonicus), total hemocyte count (THC) sebanyak 1.7x107 sel ml-1, pada L. stylirostris 1.84x107 sel ml-1, P. monodon berkisar 2.10x107 sel ml-1 (flow cytometry) sampai 2.33x107 sel.ml-1 (hemacytometer). Hasil penelitian Song et al. (2003) menunjukkan bahwa setelah 3-5 hari diinfeksi dengan Taura Syndrome Virus (TSV), THC L.

vannamei berukuran 10-20 g mengalami penurunan sebesar 70% menjadi

0.345x107 sel ml-1 dibandingkan dengan kontrol 1.64x107 sel.ml-1

Pada M. japonicus dan L. stylirostris, jumlah hemosit terbesar ditemukan pada fase postmoult dan terendah pada fase intermoult. Sel granular tertinggi dilepaskan pada fase postmoult pada L. stylirostris dan S. ingentis sedangkan sel hyalinmencapai puncak selama proses ganti kulit pada S. ingentis dan M.

japonicus. Adanya sel hyalin yang tinggi selama proses ganti kulit nampaknya

penting sebab mereka mengawali koagulasi dan mungkin terlibat dalam pembentukan kulit. Konsentrasi sel granular yang tinggi dalam hemolimL.

stylirostris selama fase intermoult berhubungan dengan aktivitasphenoloxidase

(PO) yang tinggi dan resistensi terhadap vibriosis (Le Moullac et al. 1997)

, dengan mortalitas mencapai 80%. Dalam kondisi hypoxia, THC L. styloristris turun menjadi rendah serta udang menjadi lebih sensitif terhadap infeksi V.

aglinolyticus. Differential hemosit count (DHC) juga berubah (sel granular, semi

granular, dan hyalin) dengan perubahan besar terjadi pada sel hyalindan semigranular (Le Moulac et al. 1998).

(34)

Fagositosis merupakan reaksi yang paling umum dalam pertahanan selular udang. Proses fagositosis dimulai dengan perlekatan (attachment) dan penelanan (ingestion) partikel mikroba ke dalam sel fagosit. Sel fagosit kemudian membentuk vacuola pencernaan (digestive vacuola) yang disebut fagosom(Rodriquez & Le Moullac 2000). Lisosom(granula dalam sitoplasma fagosit) kemudian menyatu dengan fagosom membentuk fagolisosom. Mikroorganisme selanjutnya dihancurkan dan debris mikroba dikeluarkan dari dalam sel melalui proses egestion (Gambar 4). Pemusnahan partikel mikroba yang difagosit melibatkan pelepasan enzim ke dalam fagosom dan produksi ROI (reactive oxygen intermediate) yang kini disebut respiratory burst (Rodriquez & Le Moullac 2000; Sindermann 1990).

Gambar 4 Proses fagositosis

(Sumber:http://www.cliffsnotes.com/WileyCDA/CliffsReviewTopic/P hagocytosis.topicArticleId-8524)

Hemosit berfungsi dalam enkapsulasi. Hal ini terjadi pada organisme yang memiliki tubuh terlalu besar untuk fagositosis. Pada saat hemosit mengelilingi tubuh benda asing yang besar, bagian sel terluar dari hemosit tetap berbentuk oval atau bulat sedangkan bagian tengah sel menjadi datardan pada fase berikutnya dilisis membentuk kapsul tebal berwarna coklat dan keras. Kapsul

(35)

tersebut tidak diserap kembali dan tetap sebagai tanda enkapsulasi meskipun sudah tidak ada hemosit yang dikenal disitu. Hemosit juga berfungsi dalam formasi melanin pada fase akhir penyembuhan atau perbaikan luka. Enzim yang terlibat dalam formasi melanin adalah phenoloxidase (PO) dan telah ditemukan terdapat dalam hemolim dan kulit arthropoda (Sritunyalucksana & Söderhäll 2000).

Proses imun pertama pada krustase adalah pengenalan mikroorganisme penyerang yang dimediasi oleh hemosit dan plasma protein (Bachere 2000). Beberapa tipe modulator protein telah diketahui dapat mengenal komponen dinding sel mikroorganisme seperti β-1,3-glucan-binding protein (BGBP),

lipopolysaccharide-binding protein (LPS-BP), hemosit receptor yang mengikat plasmatic glucan-binding protein (PGBP) setelah PGBP bereaksi dengan

β-1,3-glukan; peptidoglycan recognition protein yang mampu mengaktifkan phenoloxidase.

Respon Humoral

Enzim phenoloxidase (PO) terdapat dalam hemolim sebagai inactive

pro-enzyme yang disebut proPO. Transformasi proPO menjadi PO melibatkan

beberapa reaksi dikenal sebagai proPO activating system (sistem aktivasi proPO). Sistem ini terutama diaktifkan oleh beta glukan, dinding sel bakteri dan LPS. Sistem aktivasi proPO dipertimbangkan sebagai bagian dari sistem imun yang mungkin bertanggung jawab terhadap proses pengenalan benda asing dalam sistem pertahanan krustase dan insekta. Sistem proPO dapat digunakan sebagai marker kesehatan udang dan lingkungan karena perubahan sistemproPO berkorelasi dengan tahap infeksi dan variasi lingkungan.

Enzim phenoloxidase (PO) bertanggung jawab terhadap proses melanisasi pada artropoda (Rodriquez & Le Moullac 2000). Enzim ini mengkatalis hidroksilasi monophenol dan oksidasi phenol menjadi quinones yang diperlukan untuk proses melanisasi sebagai respon terhadap penyerang asing dan selama proses penyembuhan (Sritunyalucksana & Söderhäll 2000; Vargas-Albores & Yepiz-Plascencia 2000). Quinone selanjutnya diubah melalui suatu reaksi

(36)

non-enzymatic menjadi melanin dan sering dideposit pada benda yang dienkapsulasi, dalam nodulhemosit, dan pada daerah kulit yang terinfeksi jamur. Produksi

reactive oxygen species seperti superoxide anion dan hydroxyl radical selama

pembentukan quonoid juga memainkan peranan penting sebagai antimikroba. Reaksi biologi seperti fagositosis, enkapsulasi dan nodulasi juga diaktifkan.

Vaksinasi mungkin dapat meningkatkan aktivitashemosit, fagositosis dan aktivitas opsonin. Pada invertebrata yang tidak memiliki antibodi, lektin berfungsi sebagai molekul pengenal (recognition molecules) untuk aktivitas pertahanan seperti agregasi dan opsonisasi (Wittevelt et al. 2003). Lektin merupakan suatu set protein yang secara spesifik mengikat pada molekul gula termasuk glikoprotein dan glikolipid. Hasil uji coba Namikoshi et al. (2004) menunjukkan bahwa penggunaan formalin-inactivatedWSSV vaksin dapat meningkatkan resistensi P. japonicus terhadap WSSV sepuluh hari setelah divaksinasi dengan metoda vaksinasi intramuskular. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Wittevelt et al. (2003) juga memperlihatkan bahwa penggunaan WSSV subunit vaksin dapat meningkatkan resistensi udang windu terhadap WSSV meskipun udang tidak memiliki respon imun spesifik.

Imunostimulan

Sejumlah substan biologi dan sintetik telah ditemukan dapat meningkatkan sistemimun nonspesifik ikan. Bahan tersebut dapat meningkatkan resistensi ikan dan udang terhadap infeksi sejumlah patogen secara simultan(Kumari et al. 2003; Raa et al. 1992). Oleh karena itu maka imunostimulan sangat penting untuk digunakan dalam kontrol penyakit karena menawarkan suatu alternatif terhadap penggunaan antibiotik yang saat ini banyak digunakan dalam budidaya ikan dan krustase (Cook et al. 2003; Yin et al. 2006), serta tanpa efek samping (Yin et al. 2006).

Secara sederhana, imunostimulan merupakan suatu substan yang merangsang atau meningkatkan sistem imun dengan berinteraksi secara langsung dengan sel-sel yang mengaktifkan sistem imun (Gannam & Schrok 2001). Mekanisme kerja imunostimulan dalam merangsang sistem imun tubuh adalah

(37)

dengan cara meningkatkan aktivitas sel-sel fagosit(Yin et al. 2006). Jadi imunostimulan meningkatkan resistensi ikan atau udang terhadap patogensecara simultan dengan cara merangsang respon imun nonspesifik (Gannam & Schrok 2001). Imunostimulan dapat berupa bakteri dan produk bakteri, yeast, kompleks karbohidrat, faktor nutrisi, ekstrak hewan, ektrak tumbuhan, dan obat-obatan sintetik (Cook et al. 2003; Sakai 1999; Sealey & Gatlin 2001).

Nukleotida merupakan nutrien semi esensial bagi ikan dan krustase. Nukleotida memiliki peranan penting dalam fisiologi dan biokimia seperti penandaan (encoding) dan penerusan informasi genetik, memediasi energi metabolisme dan cell signalling serta sebagai komponen koensim, allosteric

effectors, dan cellular agonist (Li & Galtin 2006). Nukleotida terdiri atas basa

purin atau pirimidin,ribosa atau 2’-deoksiribosa dan satu atau lebih grup fosfat. Basa purin yang utama terdiri atas adenin, guanin, hiposantin dan santin. Nukleosida purinmengandung ribosa atau 2-deoksiribosa yang berikatan dengan cicin purin melalui ikatan glikosidik (glycosidic bond) pada N-9. Nukleotida merupakan fosfat ester dari nukleosida. Basa pirimidinyang utama terdiri atas urasil, timin, dan sitosin. Urasil dan sitosin merupakan komponen pirimidin utama dari RNA.Nukleosida pirimidin atau nukleotida mengandungribosa atau 2’-deoksiribosayang berikatan dengan pirimidin melalui ikatan glikosidik pada N-1. Fosfat esterdari nukleosida pirimidin adalah UMP, CMP, dan TMP (Devlin 2002; Li & Galtin 2006).Secara alami nukleotida terdapat dalam semua makanan yang berasal dari hewan dan tumbuhan dalam bentuk nukleotida bebas dan asam nukleat.

Purin dan pirimidin disintesa dari de novo pathway atau diperoleh dari

salvage pathway.Purin disintesa dalam sitosol sel mamalia dari glycine, aspartate,

glutamine, turunan tetrahydrofolate dan CO2 dengan input energi yang besar. Pirimidin disintesa dari aspartate, glutamine, dan CO2

Kebutuhan nukleotida untuk fungsi fiosiologi hewan dapat dipenuhi dari sintesa de novo. Namun demikian, suplai nukleotida dari sintesa tersebut tidak cukup untuk menjalankan fungsi fisiologi secara optimal terutama pada

dalam sitosol dan mitokondria sel mamalia. Jalur sintesa ini mungkin juga terjadi pada ikan.

(38)

sistemimun pada saat berada dalam kondisi stres (Li et al. 2004). Dalam akuakultur, stres akibat penanganan (handling), penyortiran (grading), pengangkutan, kepadatan tinggi, penyakit, dan kualitas air yang kurang baik merupakan masalah yang umum terjadi dan karenanya penambahan nukleotida dalam pakan mungkin diperlukan (Burrells et al. 200; Li et al. 2004).

Hasil-hasil penelitian pada manusia dan hewan ternak memperlihatkan bahwa penambahan nukleotida dalam pakan dapat meningkatkan cell-mediated

immunity(CMI), proliferasi limfosit, interleukin-2, dan meningkatkan resistensi

terhadap infeksi bakteri (Li et al. 2004). Sebaliknya, hewan yang diberi pakan yang tidak mengandung nukleotida menderita gangguan pada fungsi imun selular dan humoral seperti penurunan aktivitasNK-cell dan makrofag, produksi sitokin rendah, penurunan produksi antibodi, dan suseptibilitas terhadap infeksi meningkat (Field et al. 2002). Penambahan nukleotida dalam pakan dapat memperbaiki kondisi tersebut. Pada bayi yang diberi susu ibu atau makanan yang ditambahkan nukleotida memiliki aktivitasNK-cell dan produksi IL-2 yang lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang diberi makanan tanpa suplementasi nukleotida. Makanan anak-anak yang tersedia saat ini umumnya telah ditambahkan nukleotida. Bagaimana mekanisme nukleotida dalam meningkatkan fungsi imun belum diketahui dan perlu diteliti lebih lanjut.

Perhatian terhadap suplementasi nukleotida sebagai imunostimulan pada pakan ikan mulai meningkat sejak adanya laporan Burrels et al. (2001) yang memperlihatkan bahwa pakan yang ditambahkan nukleotida dapat meningkatkan resistensi ikan terhadap infeksi virus, bakteri dan parasit. Nukleotida dapat juga meningkatkan pertumbuhan serta meningkatkan toleransi ikan terhadap stres. Pada udang, nukleotida merupakan nutrient kunci (key nutrient) bagi sistem imun udang dan pemberian nukleotida seperti yeast atau ekstrak yeast dapat meningkatkan resistensi dan pertumbuhan udang.

(39)

JUDUL 1 RESPON IMUN NONSPESIFIK DAN RESISTENSI

UDANG VANAME (Litopenaeus vannamei) YANG DIBERI

PAKAN BERSUPLEMEN NUKLEOTIDA

Abstrak

Efikasi nukleotida yang ditambahkan dalam pakan untuk meningkatkan respon imun nonspesifik, resistensi dan pertumbuhan udang vaname(Litopenaeus

vannamei) telah diteliti. Juvenil udang berukuran rata-rata 6.0±0.5 g diberi pakan

pelet komersial yang sebelumnya telah ditambahkan nukleotida dengan 6 dosis berbeda yakni A: 0, B:100, C:200, D:300, E:400, dan F:500 mg.kg-1 pelet masing-masing dengan tiga ulangan. Udang diberi pakan 3 kali per hari selama 4 minggu berturut-turut dengan tingkat pemberian 3%/bb/hari.Pada akhir periode pemberian pakan, udang diuji tantang melalui injeksi intramuskular dengan Vibrio harveyi 0.1x106 cfu.udang-1. Nukleotida yang ditambahkan dalam pakan memperlihatkan pengaruh signifikan pada udang setelah diberikan selama empat minggu. Jumlah total hemosit(THC) udang pada perlakuan D (300 mg nukleotida) meningkat 76% lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol. Aktivitas PO udang pada perlakuan D (300 mg nukleotida) juga berbeda nyata (p=0.005) dibandingkan dengan kontrol namun tidak berbeda dibandingkan dengan perlakuan E (400 mg nukleotida) dan F (500 mg nukleotida). Resistensi yang diukur berdasarkan sintasan rata-rata (83.33±7.21%) pada perlakuan E(400 mg nukleotida) empat belas hari setelah uji tantang berbeda nyata (p=0.005) dibandingkan dengan kontrol, namun tidak berbeda nyata jika dibandingkan dengan perlakuan D (300 mg nukleotida).Pertumbuhan udang yang diamati sampai akhir periode pemberian pakan pada perlakuan E (400 mg nukleotida) berbeda nyata (p=0.001) dibandingkan dengan kontrol maupun dengan perlakuan lainnya. Sebagai kesimpulan, penambahan nukleotida pada dosis300 mg.kg-1 pelet selama 4 minggu dapat meningkatkan jumlah hemosit dan aktivitas PO, sedangkan resistensi dan pertumbuhan terbaik dicapai pada dosis 400 mg.kg-1 pakan.

Kata kunci: Aktivitas PO, Litopenaeus vannamei, nukleotida, resistensi, total hemocyte count

TOPIC 1 NONSPECIFIC IMMUNE RESPONSE AND RESISTANCE OF WHITELEG SHRIMP (Litopenaeus vannamei) FED

NUCLEOTIDE- SUPPLEMENTED DIET Abstract

The efficacy of nucleotides diet in enhancing nonspecific immune response, disease resistance and growth of Litopenaeus vannamei was investigated. Shrimp juveniles (mean weight 6.0±0.5 g) were fed commercial pellet previously supplemented with nucleotides with six different doses (A:0, B:100, C:200, D:300, E:400, F:500 mg.kg-1 pellet), each with three replication. Shrimps were fed three times a day for four consecutive weeks at a feeding rate of 3%/bw.day-1. At the end of feeding, each shrimp was challenged intramuscularly

(40)

with 0.1 mlVibrio harveyi solution containing 1x106 cfu. Nucleotides diet showed significant effect on shrimp after four weeks of feeding. Mean THC per ml of hemolymph in treatment D(300 mg nucleotides) increased up to 76% higher than control. PO activity of shrimp in treatment D (300 mg nucleotides) was also significantly different (p=0.005) compared to control shrimp, but not different as compared to those of treatments E (400 mg nucleotides) and F (500 mg nucleotides). Resistancemeasured as survival rate (83.33±7.21%) of shrimp in treatment E (400 mg nucleotides) fourteen days post-challenge with V. harveyi was significantly different (p=0.005) from that of control, but not different compared to treatment D (300 mg nucleotides). Shrimp growth observed in treatment E (400 mg nucleotides) was significantly higher (p=0.001) than those of other treatments. As conclusion, oral administration of nucleotides at 300 mg.kg-1 pellet for four weeks enhanced total hemocyte count dan PO activity while the highest disease resistance and growth were obtained at 400 mg.kg-1 diet.

Keywords: resistance, Litopenaeus vannamei, nucleotides, total hemocyte count, PO activity

PENDAHULUAN

Budidaya udang mulai berkembang dengan pesat di Indonesia sejak tahun 1980 setelah pemerintah mengeluarkan larangan terhadap pengoperasian alat tangkap trawler di beberapa daerah di Indonesia, sekaligus mencanangkan Program Budidaya Udang Nasional. Namun sejak awal tahun 1990, budidaya udang menghadapi kegagalan produksi akibat munculnya serangan penyakit terutama virus (MBV) dan vibriosis. Kondisi ini lebih diperburuk lagi dengan mewabahnya WSSV di Indonesia sejak tahun 1992/1993. Sejak ditemukan pada tahun 1992, WSSV telah menyebabkan masalah penyakit yang serius dan telah menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan bagi industri budidaya udang dengan mortalitas kumulatif mencapai 100% (Wang et al. 1999; Witteveldt et al. 2003). Masalah ini terjadi bukan hanya di Indonesia tetapi juga di negara-negara produsen lain seperti di Thailand dan Filipina. Pada tahun 2006, penyakit virus yang baru, infectious myonecrosis virus (IMNV), terdeteksi menyerang budidaya udang vaname di Indonesia (Taukhid dan Nuraini 2008).

Sejumlah pendekatan telah diterapkan dalam upaya mengatasi masalah penyakit. Belakangan ini, berbagai bahan kimia, polisakarida, ekstrak tumbuhan dan beberapa nutrien semakin mendapat perhatian untuk digunakan dalam pakan

(41)

sebagai imunostimulan (Misra et al. 2006;Pais et al. 2008). Nukleotida merupakan nutrient semi esensial yang mulai mendapat perhatian serius untuk dikembangkan penggunaannya sebagai imunostimulan dalam budidaya ikan dan krustase dalam beberapa tahun terakhir ini. Nukleotida memiliki fungsi penting dalam fisiologi dan biokimia seperti penandaan (encoding) dan penerusan informasi genetik, memediasi energi metabolisme dan cell signalling maupun sebagai koensim, allosteric effectors, dan cellular agonist (Galtin& Li 2007).

Evaluasi terhadap penggunaan nukleotida sebagai suplemen pakan ikan telah mulai dilakukan sejak awal tahun 1970-an. Penelitian-penelitian pada saat itu terutama bertujuan untuk mengevaluasi kemungkinan penggunaan nukleotida sebagai atraktan pakan (Li & Galtin 2006). Pada hewan ternak, nukleotida sudah lama dimanfaatkan sebagai atraktan pakan. Beberapa produk nukleotida komersil untuk ternak telah tersedia di pasaran dengan merek dagang ascogen dan optimun (Chemoforma, Switzerland).

Beberapa laporan penelitian yang sudah ada menunjukkan bahwa selain terlibat dalam palatabilitas pakan dan biosintesa asam amino non esensial, eksogenous nukleotida dapat meningkatkan respon imun dan resistensi ikan terhadap sejumlah patogen secara simultan (Burrels et al. 2001). Selain itu, pemberian nukleotida juga dapat meningkatkan efikasi vaksinasi, meningkatkan pertumbuhan, meningkatkan kualitas larva, serta meningkatkan toleransi terhadap stres. Hasil pengamatan Leonardi et al. (2003) menunjukkan bahwa pemberian nukleotida (optimun) pada atlantik salmon menurunkan level serum cortisol dan menghasilkan peningkatan resistensi terhadap penyakit.

Pada udang, laporan-laporan penelitian tentang penggunaan nukleotida masih belum tersedia, atau jika ada, masih sangat terbatas. Disisi lain, nukleotida sangat aman digunakan dalam kontrol penyakit sebab bahan ini selain tidak meninggalkan residu dalam tubuh, juga tidak mengakibatkan terjadinya kerusakan lingkungan. Penelitian tentang penggunaan nukleotida dalam budidaya udang juga dirasa sangat diperlukan untuk menyediakan solusi praktis guna mengurangi resiko terjadinya serangan penyakit infeksius maupun kerusakan lingkungan perairan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penambahan

(42)

nukleotida dengan dosis berbeda dalam pakan terhadap jumlah hemosit, aktivitas PO, resistensi terhadap infeksi Vibrio harveyidan pertumbuhan udang vaname.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di laboratorium Kesehatan Ikan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Maret 2009.

Hewan Uji

Hewan uji adalah juvenil udang vaname yang diperoleh dari fasilitas pembesaran udang vaname di areal pertambakan Bakauheni, Lampung Selatan.Udang yang dikumpulkan dimasukkan dalam kotak styrofoam yang dilengkapi aerator baterei kemudian diangkut ke Laboratorium Kesehatan Ikan Institut Pertanian Bogor menggunakan mobil.

Nukleotida

Nukleotida yang digunakan adalah nukleotida murni (Sigma-Aldrich) yang terdiri atas adenosine monophosphate (AMP), guanosine monophosphate (GMP), cytidine monophosphate (CMP), uridinemonophosphate (UMP), dan inosinemonophosphate (IMP).

Persiapan Pakan Uji

Sebelum dicampurkan ke dalam pakan, kelima jenis nukleotida dalam jumlah yang sama (1:1:1:1:1) dicampur terlebih dahulu secara merata. Selanjutnya campuran nukleotida ditimbang sesuai dosis yang dibutuhkan (perlakuan), dilarutkan dalam sedikit air, dan dicampurkan ke dalam pakan komersilsecara merata. Pakan kemudian dikering-anginkan dalam temperatur ruang. Setelah kering, putih telur (sebagai coater) dicampurkan secara merata ke dalam campuran pakan-nukleotida, dan dikering-anginkan kembali. Pelet selanjutnya dimasukkan dalam kantong plastik kemudian disimpan dalam lemari pendingin sampai saat akan digunakan. Pakan pelet komersil yang digunakan

Gambar

Gambar 1.  Skema pendekatan masalah
Gambar 2  Morfologi Litopenaeus vannamei  (Sumber: Wyban &amp; Sweeney 1991)
Gambar 3Siklus hidup  Litopenaeus vannamei  (Sumber: diadaptasikan dari Braak  2002)
Gambar 5 Sintasan kumulatif udang vanameyang diberi pakan yang ditambahkan  nukleotida selama 4 minggu dan diuji tantang dengan Vibrio harveyi   Resistensi udang diukur berdasarkan tingkat sintasan yang dicapai sampai  pada akhir pengamatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

~lla~ll1san, kajian yang dilakukan ke atas pesakit yang dimasukkan ke hospital 'lraka Lurnpur pada tahun 1993, 48 peratus daripada yang ditanya mengaku minum Pera~Satu pertiga

Perlindungan Konsumen dan dapat pula pula dilakukan melalui Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen sebagaimana diatur di dalam Pasal 49 sampai dengan 58 undang-undang

lisärakentamisen määrä, kunnan lisärakentamista koskevat päätökset, tontin omistussuhteet, pysäköintijärjestelyt sekä alueen asuntojen myyntihinnat. Asiasanat

24.. Sementara itu, pengaruh karakteristik yang signifikan adalah usia, pendidikan, status pernikahan, dan pengaturan tempat tinggal. Empat karakteristik lainnya tidak

(ompa sentrifugal merupakan pompa kerja dinamis yang paling banyak digunakan karena mempunyai bentuk yang sederhana dan harga yang relatif murah. )euntungan pompa sentrifugal

Anggarani (2016) melakukan penelitian untuk melihat kepatuhan pengungkapan CSR pada laporan berkelanjutan dari beberapa sektor perusahaan, seperti industri semen,

12 Perencanaan teknis jalan wilayah I Pengadaan Langsung 1 Paket Kabupaten Lampung Tengah 50.000.000 APBD P 13 Perencanaan teknis jalan wilayah II Pengadaan Langsung 1

7 Penghargaan Dekan FK ULM sebagai Pembimbing Karya Tulis Ilmiah dengan Kinerja Terbaik I pada Program Studi Kesehatan Masyarakat. 8 Penghargaan Dekan FK ULM sebagai