commit to user
TINDAK TUTUR DIREKTIF DAN KESANTUNAN
NEGATIF DALAM REALITY SHOW MINTA TOLONG
DI RAJAWALI CITRA TELEVISI INDONESIA
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi sebagian Persyaratan
guna Melengkapi Gelar Sarjana Sastra Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa
Universitas Sebelas Maret
Disusun Oleh:
RIRIN LINDA TUNGGAL SARI
C0206046
FAKULTAS SASTRA DAN SENI RUPA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
commit to user
commit to user
iii Dekan
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Ririn Linda Tunggal Sari NIM : C0206046
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi berjudul ”Tindak Tutur Direktif dan Kesantunan Negatif dalam Reality Show Minta Tolong di Rajawali Citra Televisi Indonesia” adalah benar-benar hasil karya sendiri, bukan plagiat dan tidak dibuatkan oleh orang lain. Hal-hal yang bukan karya saya, dalam skripsi ini diberi tanda citasi (kutipan) dan ditunjukkan dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan skripsi dan gelar yang diperoleh dari skripsi tersebut.
Surakarta, April 2011 Yang membuat pernyataan,
commit to user
v
MOTTO
”Hai orang yang beriman ! Mintalah pertolongan kepada Allah dengan kesabaran dan salat, sesungguhnya Allah bersama orang yang sabar”.
(Al Quran, Surat Al-Baqarah: 153)
”Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu
commit to user
vi
PERSEMBAHAN
Karya ini penulis persembahkan kepada:
1. Kedua orang tuaku, Bapak Engkin dan ibu Sri Sudarni, terima kasih atas limpahan kasih sayang dan dukungannya yang tercurahkan kepadaku.
2. Adik-adikku yang selalu aku sayangi, Aik, Putri, dan Aniva, hidup ini tidak akan terasa bahagia tanpa kalian.
3. Teman-teman Sastra Indonesia UNS‟06. 4. Almamaterku.
commit to user
vii
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena dengan limpahan
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
”Tindak Tutur Direktif dan Kesantunan Negatif dalam Reality Show Minta Tolong
di Rajawali Citra Televisi Indonesia”. Penulis menyadari bahwa skripsi ini tidak
mungkin dapat penulis selesaikan tanpa bantuan, dorongan, maupun bimbingan
dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu,
pada kesempatan ini penulis ucapkan terima kasih kepada:
1. Drs. Sudarno, M.A., selaku Dekan Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas
Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis
untuk menyusun skripsi.
2. Drs. Ahmad Taufiq, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Sastra Indonesia
Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan kemudahan dan
kepercayaan selama penyusunan skripsi.
3. Drs. FX. Sawardi, M.Hum., selaku pembimbing skripsi, atas pengarahan,
ketulusan, dan kesabarannya selama proses penyusunan skripsi.
4. Dwi Susanto, S.S, M. Hum., selaku pembimbing akademik, yang
memberikan semangat dan nasihat selama studi di Fakultas Sastra dan Seni
Rupa.
5. Dosen-dosen di Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang telah membimbing dan
membekali ilmu pengetahuan kepada penulis.
6. Petugas perpustakaan pusat Universitas Sebelas Maret dan perpustakaan
commit to user
viii
memberikan pelayanan dan kemudahan kepada penulis untuk membaca dan
meminjam buku-buku referensi yang diperlukan untuk menyelesaikan skripsi
ini.
7. Orang tua, kakak, adik serta keluarga besarku yang telah memberikan kasih
sayangnya dan selalu mendoakanku dalam penulisan skripsi ini.
8. Teman-temanku Sasindo‟06, atas segala bentuk bantuan, kebersamaan, dan
kesediannya mendengarkan keluh kesah penulis dalam penyusunan skripsi
ini.
9. Semua pihak atas segala bentuk bantuan, dukungan, dan saran dalam proses
penulisan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari sempurna. Meskipun
demikian penulis dengan hati terbuka menerima saran dan kritik yang bersifat
membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap semoga
skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembaca.
Surakarta, April 2011
commit to user
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
HALAMAN PERNYATAAN ... iv
HALAMAN MOTTO ... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ... vi
KATA PENGANTAR ... vii
DAFTAR ISI ... ... ix
DAFTAR SINGKATAN ... xiii
DAFTAR TABEL ... xiv
ABSTRAK ... xv
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan Masalah ... 6
C. Perumusan Masalah ... 6
D. Tujuan Penulisan ... 7
E. Manfaat Penulisan ... 7
F. Sistematika Penulisan ... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR A. Tinjauan Penulisan Terdahulu... 10
B. Landasan Teori ... 13
commit to user
x
2. Komponen dan Situasi Tutur ... 14
3. Teori Tindak Tutur ... 17
4. Tindak Tutur Direktif ... 24
5. Kesantunan Berbahasa Brown dan Levinson ... 25
6. Kesantunan Negatif ... 27
7. Kesantunan Positif ... 31
C. Kerangka Pikir ... 39
BAB III METODE PENULISAN A. Jenis Penulisan dan Pendekatan ... 41
B. Data dan Sumber Data ... 42
C. Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 43
D. Klasifikasi Data ... 45
E. Teknik Analisis Data ... 46
F. Teknik Penyajian Hasil Analisis Data ... 48
BAB IV ANALISIS DATA A. Analisis Tindak Tutur Direktif digunakan oleh Peminta Tolong (A) dalam RSMT ... 50
1. Meminta ... 50
2. Menasihati ... 53
3. Menyarankan ... 56
4. Melarang ... 60
5. Memperingatkan ... 63
6. Mengingatkan ... 66
commit to user
xi
B. Analisis Strategi Kesantunan Negatif yang dilakukan oleh
Peminta Tolong (A) dalam RSMT ... 73
1. Strategi 1: Menggunakan Ungkapan secara Tidak Langsung 74
2. Strategi 2: Menggunakan Pertanyaan Berpagar... 76
3. Strategi 4: Meminimalkan Paksaan ... 77
4. Strategi 5: Memberi Penghormatan ... 80
5. Strategi 7: Menghindari Penyebutkan Penutur dan Lawan
tutur ... 82
6. Strategi 1 dan Strategi 5: Menggunakan Ungkapan secara
Tidak Langsung dan Memberi Penghomatan ... 85
7. Strategi 1 dan Strategi 7: Menggunakan Ungkapan secara
Tidak Langsung dan Menghindari Penyebutkan Penutur
Dan LawanTutur ... 86
8. Strategi 2 dan Strategi 5: Menggunakan Pertanyaan Berpagar
dan Memberi Penghomatan... 89
9. Strategi 4 dan Strategi 5: Meminimalkan Paksaan dan
Memberi Penghomatan ... 90
10.Strategi 1, Strategi 4, dan Strategi 7: Menggunakan Ungkapan
secara Tidak Langsung, Meminimalkan Paksaan dan
Menghindari Penyebutkan Penutur dan Lawan Tutur ... 92
BAB V PENUTUP
A. Simpulan ... 101
commit to user
xii
DAFTAR PUSTAKA ... 104
commit to user
xiii
DAFTAR SINGKATAN
A : Peminta Tolong
B1 : Orang yang dimintai tolong
B2, B3, B4 : Orang yang hadir dalam percakapan antara A dan B1
KBBI : Kamus Besar Bahasa Indonesia
PAM : Perusahaan Air Minum
RSMT : Reality Show Minta Tolong
commit to user
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Tindak Tutur Direktif yang Digunakan oleh Peminta Tolong dalam
RSMT ……… 95
Tabel 2: Strategi Kesantunan Negatif yang Digunakan oleh Peminta Tolong dalam
commit to user
xv
ABSTRAK
Ririn Linda Tunggal Sari. C0206046. 2011. Kesantunan Negatif dalam Reality Show Minta Tolong di Rajawali Citra Televisi Indonesia. Skripsi: Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra dan Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Permasalahan yang dibahas dalam penulisan ini, yaitu (1) Bagaimanakah realisasi tindak tutur direktif yang dilakukan oleh peminta tolong (A) dalam RSMT? (2) Bagaimanakah realisasi strategi kesantunan negatif yang dilakukan oleh peminta tolong (A) dalam RSMT?
Tujuan penulisan ini adalah (1) Mendeskripsikan realisasi tindak tutur direktif yang dilakukan oleh peminta tolong (A) dalam RSMT, (2) Mendeskripsikan realisasi strategi kesantunan negatif yang dilakukan oleh peminta tolong (A) dalam RSMT.
Penulisan ini termasuk jenis penulisan kualitatif yang bersifat deskriptif. Pendekatan yang digunakan dalam penulisan ini adalah pendekatan pragmatik. Sumber data penulisan ini adalah percakapan atau dialog dalam RSMT di RCTI. Data dalam penulisan ini adalah tuturan yang mengandung tindak tutur direktif dan menerapkan strategi kesantunan negatif beserta konteksnya dalam RSMT di RCTI, yang ditayangkan pada bulan Maret, dan April tahun 2010. Metode pengumpulan data yang digunakan untuk penulisan ini adalah metode simak, sedangkan teknik untuk pengumpulan data menggunakan teknik simak bebas libat cakap (SBLC), teknik rekam, dan teknik catat. Teknik analisis data dalam penulisan ini menggunakan teknik analisis means-end. Metode penyajian hasil analisis data dalam penulisan ini adalah penyajian secara informal dan formal.
Dari analisis data dalam RSMT ditemukan 7 jenis tindak tutur direktif yang digunakan oleh A dalam mengutarakan maksudnya. Tindak tutur direktif tersebut meliputi tindak tutur meminta, menasihati, menyarankan, melarang, memperingatkan, mengingatkan dan membujuk.
commit to user
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan manusia dalam
mengungkapkan perasaan ataupun pikirannya. Proses pengungkapan perasaan
atau pikiran oleh seseorang melalui bahasa dapat dijadikan ukuran untuk menilai
suatu kepribadian seseorang. Ungkapan kepribadian seseorang yang perlu
dikembangkan adalah ungkapan kepribadian yang baik, benar, dan santun
sehingga mencerminkan budi pekerti luhur (Pranowo, 2009:3). Setiap orang yang
berbudi perkerti baik, biasanya dia telah menerapkan kesantunan berbahasa.
Pemakaian bahasa oleh seorang penutur dikatakan santun apabila bahasa yang
digunakannya tidak menyinggung perasaan lawan bicaranya. Dalam kegiatan
berkomunikasi, seorang anggota masyarakat hendaknya selain menyampaikan
maksud dengan baik dan benar, sebaiknya juga menerapkan kesantunan berbahasa
dalam penyampaiannya. Berbahasa santun adalah penggunaan bahasa yang sesuai
dengan norma dan nilai yang dipegang oleh masyarakat pengguna bahasa.
Studi pragmatik berkaitan dengan masalah penggunaan bahasa, yaitu
masalah penggunaan bahasa dalam suatu situasi tutur atau cara pengungkapan
bahasa dalam suatu peristiwa tutur. Dalam kajian pragmatik yang menjadi unit
analisis adalah ujaran. Suatu ujaran tidak bisa dilepaskan dari konteks percakapan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pragmatik merupakan kajian bahasa
commit to user
Pembahasan mengenai kesantunan berbahasa sudah banyak dipaparkan
oleh para pakar bahasa. Beberapa pakar yang membahas kesantunan berbahasa
misalnya Leech (1983) dan Brown dan Levinson (1987). Pendapat antara pakar
yang satu dengan yang lain berbeda, tergantung pada bagaimana para pakar
tersebut melihat wujud kaidah sosial (Asim Gunarwan, 1994: 87).
Leech (1993:166-218) berpendapat bahwa prinsip berbahasa santun
merupakan susunan bahasa yang didasarkan atas: 1) maksim kearifan (tact
maxim), yaitu memperkecil kerugian pendengar; memperbesar keuntungan
pendengar, 2) maksim kedermawanan (generosity maxim), yaitu memperkecil
keuntungan sendiri; memperbesar keuntungan pendengar, 3) maksim pujian
(approbation maxim), yaitu memperkecil keluhan pendengar; memperbesar pujian
pendengar, 4) maksim kerendahan hati (modesty maxim), yaitu memperkecil
pujian diri; memperbesar perendahan diri, 5) maksim kesepakatan (agreement
maxim), yaitu memperkecil ketidak-sepakatan antara diri sendiri dengan orang
lain; memperbesar kesepakatan antara diri sendiri dengan orang lain, dan 6)
maksim simpati (sympathy maxim), yaitu memperkecil antipati antara diri sendiri
dan orang lain; memperbesar simpati antara diri sendiri dan orang lain.
Brown dan Levinson (1987) melihat realisasi tindak tutur sebagai hasil
pemilihan strategi. Strategi kesantunan itu berkisar pada nosi muka (face), yang
dibagi menjadi dua, yaitu muka negatif dan muka positif. Kesantunan yang
ditunjukkan terhadap muka positif lawan tutur disebut kesantunan positif,
sedangkan kesantunan yang ditunjukan terhadap muka negatif lawan tutur disebut
kesantunan negatif. Pada pelaksanaan konsep kesantunan berbahasa, baik
commit to user
mengurangi ancaman yang ditimbulkan dari kurang menyenangkannya tuturan
yang diucapkan oleh penutur.
Dalam penelitian ini, penulis bermaksud membahas tuturan yang terdapat
pada peristiwa tutur dalam RSMT menggunakan teori kesantunan menurut Brown
dan Levinson, khususnya mengenai kesantunan negatif. RSMT merupakan sebuah
acara yang menggambarkan suatu kondisi masyarakat ketika mengalami kesulitan,
dan menempuh jalan untuk meminta pertolongan kepada orang yang dijumpainya.
Acara realitas (reality show) adalah genre acara televisi yang
menggambarkan adegan yang seakan-akan benar-benar berlangsung tanpa
skenario, dengan pemain yang umumnya khalayak umum biasa, bukan pemeran.
Acara realitas umumnya menampilkan kenyataan yang dimodifikasi, seperti
menaruh partisipan di lokasi-lokasi eksotis atau situasi-situasi yang tidak lazim,
memancing reaksi tertentu dari partisipan, dan melalui penyuntingan dan
teknik-teknik pascaproduksi lainnya (Wikipedia, 2010).
Reality show merupakan suatu acara yang menampilkan realitas
kehidupan seseorang yang bukan selebritis (orang awam), kemudian disiarkan
melalui jaringan TV, sehingga bisa dilihat masyarakat (Widyaningrum dan
Christiastuti, April, 2010). Banyak program-program acara di televisi yang
merupakan reality show, seperti Termehek-Mehek, Bedah Rumah, Tukar Nasib,
Minta Tolong dan lain sebagainya.
Di antara banyak reality show yang ditawarkan oleh beberapa jaringan
televisi, penulis tertarik untuk meneliti RSMT. Alasannya RSMT merupakan
reality show yang memperlihatkan bagaimana reaksi warga masyarakat pada
commit to user
memberikan gambaran kepada penonton mengenai bagaimana cara seseorang
dalam merealisasikan maksud tuturan yang bertujuan untuk meminta tolong
kepada orang yang tidak penutur kenal supaya mau membantunya, dan juga
memperlihatkan bagaimana realisasi dari lawan tutur yang menolak ataupun
menyanggupi untuk menolong penutur. Pada acara tersebut, penutur dan mitra
tutur berdialog dengan menggunakan bahasa Indonesia yang nonformal dan
bahasa Jawa. Tuturan yang diucapkan oleh peminta tolong dalam RSMT
bermacam-macam bentuknya. Peminta tolong dalam mengungkapkan maksudnya
ada yang menggunakan ungkapan perintah, permintaan, saran, tawaran dan lain
sebagainya. Sedangkan orang yang dimintai tolong dalam dalam menanggapi
maksud peminta tolong ada melakukan penolakan atas maksud dari peminta
tolong. Sebagian besar ungkapan yang digunakan oleh peminta tolong dalam
RSMT merupakan jenis tindak tutur direktif.
Dalam RSMT, peminta tolong juga menggunakan suatu konsep kesantunan
tertentu untuk menjaga muka orang yang dimintai tolong. Konsep kesantunan
yang sebagian besar digunakan oleh peminta tolong yaitu strategi kesantunan
negatif. Misalnya, apabila peminta tolong yang sedang menggunakan tindak tutur
direktif dalam mengungkapkan maksudnya, apabila memilih menggunakan
konsep strategi kesantunan negatif berarti peminta tolong menjaga muka negatif
dari orang yang dimintai tolong. Maksud dari muka negatif yaitu keinginan
sesorang untuk bebas bertindak atau kebebasan dalam melakukan sesuatu tanpa
dihalangi oleh pihak lain. Gambaran mengenai penggunaan tindak tutur direktif
dan strategi kesantunan negatif oleh peminta tolong yang terdapat dalam RSMT
commit to user
direktif dan strategi kesantunan negatif yang digunakan oleh peminta tolong
dalam RSMT.
Contohnya penerapan kasus mengenai realisasi tindak tutur direktif dan
strategi kesantunan negatif yang digunakan oleh peminta tolong dalam RSMT,
seperti terlihat pada tuturan yang diucapkan oleh seorang peminta tolong ketika
sedang membujuk orang yang dimintai tolong supaya bersedia membeli gorengan
yang dijual oleh peminta tolong. Tuturan yang dimaksud yaitu tuturan ”dibeli ya
pak! Mau pak? diborong pak kalau mau”. Tuturan tersebut menunjukkan bahwa
peminta tolong menggunakan jenis tindak tutur direktif dalam mengungkapkan
keinginannya. Tuturan yang diucapkan oleh peminta tolong tersebut menunjukkan
bahwa peminta tolong menginginkan orang yang dimintai tolong untuk
melakukan sesuatu untuknya, yaitu dengan membeli gorengan yang dijualnya.
Tuturan yang mengandung tindak tutur direktif tersebut berpotensi mengancam
muka orang yang dimintai tolong, karena peminta tolong membatasi kebebasan
orang yang dimintai tolong dalam bertindak. Untuk mengurangi potensi ancaman
terhadap muka orang yang dimintai tolong, peminta tolong memilih menggunakan
strategi kesantunan negatif. Bentuk strategi kesantunan negatif yang digunakan
seperti memberikan opsi atau pilihan kepada orang yang dimintai tolong atas
maksud dari peminta tolong, yang ditunjukkan dengan penambahan tuturan
”kalau mau”, pada tuturan ”diborong pak kalau mau”.
Fenomena pemakaian bahasa yang terdapat dalam reality show Minta
Tolong dapat dikaji dengan tinjauan pragmatik. Adapun alasan pengambilan
tinjauan pragmatik dalam dialog atau percakapan dalam RSMT, karena banyak
commit to user
ilmu pragmatik. Pragmatik mempelajari struktur bahasa eksternal, yakni
bagaimana satuan kebahasaan itu digunakan di dalam komunikasi (I Dewa Putu
Wijana, !996: 1).
Penelitian ini terfokus pada masalah bahasa dalam dialog pada acara
RSMT yang terbatas pada masalah realisasi tindak tutur direktif dan strategi
kesantunan negatif yang digunakan oleh peminta tolong dalam RSMT. Dalam
penulisan ini tidak semua tuturan diteliti, melainkan hanya tuturan yang
mencerminkan tindak tutur direktif dan strategi kesantunan negatif saja. Oleh
sebab itu, penulis memberi judul penulisan ini Tindak Tutur Direktif dan
Kesantunan Negatif dalam RSMT di Rajawali Citra Televisi Indonesia.
B. Pembatasan Masalah
Pembatasan masalah pada penulisan ini dimaksudkan agar penulisan lebih
terarah dan mempermudah penulis dalam menentukan data yang diperlukan.
Ruang lingkup penulisan ini penulis fokuskan pada masalah pemakaian bahasa
yang digunakan dalam percakapan antara penutur dan lawan tutur dalam RSMT
yang ditayangkan pada bulan Maret dan April 2010, khususnya tentang tindak
tutur direktif dan strategi kesantunan negatif.
C. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, permasalahan yang diteliti
commit to user
1. Bagaimanakah realisasai tindak tutur direktif yang dilakukan oleh peminta
tolong dalam RSMT?
2. Bagaimanakah realisasi strategi kesantunan negatif yang dilakukan oleh
peminta tolong dalam RSMT?
D. Tujuan Penulisan
Setiap penulisan pasti memiliki suatu tujuan yang biasanya berkaitan
dengan rumusan masalah. Mengacu pada rumusan masalah di atas, tujuan dalam
penulisan ini yaitu:
1. Mendeskripsikan realisasai tindak tutur direktif yang dilakukan oleh peminta
tolong dalam RSMT.
2. Mendeskripsikan realisasi strategi kesantunan negatif yang dilakukan oleh
peminta tolong dalam RSMT.
E. Manfaat Penulisan
Suatu penulisan yang baik, harus dapat memberikan manfaat bagi
perkembangan ilmu maupun masyarakat luas. Manfaat yang dapat diperoleh dari
penulisan ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu dari segi teoretis maupun praktis.
1. Manfaat Teoretis
Hasil penulisan ini diharapkan dapat mengembangkan teori tindak tutur
Searle dan teori strategi kesantunan Brown dan Levinson, khususnya tindak tutur
commit to user
memberikan sumbangan bagi perkembangan model analisis kesantunan atas salah
satu bentuk wacana dialog yang terdapat dalam media jurnalistik audio visual
khususnya pada program reality show.
2. Manfaat Praktis
Penulisan ini secara praktis diharapkan dapat memberikan konstribusi
yang berarti bagi produser dalam hal pengkoreksian tuturan yang digunakan
seseorang yang berperan sebagai peminta tolong, supaya dalam episode
selanjutnya tuturan yang digunakan oleh peminta tolong lebih baik ataupun lebih
santun. Bagi para pembaca diharapkan penulisan ini dapat dijadikan tambahan
pengetahuan tentang pemahaman percakapan, terutama dalam hal memahami teori
tindak tutur direktif dan strategi kesantunan negatif. Penulisan ini juga diharapkan
dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk pengajaran mengenai kesantunan
berbahasa dan juga landasan kajian penulisan sejenis.
F.
Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penulisan ini diperlukan untuk
mempermudah penulis dalam menjabarkan hasil penulisan agar tidak
menyimpang dari permasalahan yang diteliti. Adapun sistematika penulisan dalam
penulisan ini terdiri dari lima bab. Masing-masing bab memuat pokok pikiran
yang berbeda-beda tetapi tetap memiliki satu kesatuan yang saling berhubungan.
commit to user
Bab pertama berupa pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah,
pembatasan masalah, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan,
dan sistematika penulisan.
Bab kedua adalah landasan Teori dan kerangka pikir. Bab ini berisi
tinjauan singkat terhadap studi sejenis terdahulu dan pemaparan teori-teori yang
secara langsung berhubungan dengan penulisan sehingga dapat dijadikan landasan
dalam penulisan ini. Kerangka pikir berisi cara kerja yang dilakukan oleh penulis
untuk menyelesaikan permasalahan yang akan diteliti.
Bab ketiga merupakan metode penelitian. Bab ini berisi jenis penelitian
dan pendekatan, sumber data dan data, metode dan teknik pengumpulan data,
klasifikasi data, teknik analisis data, dan metode penyajian hasil analisis data.
Bab keempat, berisi analisis data. Dari analisis data ini akan didapatkan
hasil penulisan yang menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dalam
pendahuluan
Bab kelima, merupakan simpulan yang berisi simpulan dari hasil penulisan
dan dilanjutkan dengan saran dari penulis yang berhubungan dengan proses
commit to user
10
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Penulisan Terdahulu
Penulisan mengenai kesantunan berbahasa sudah banyak dilakukan oleh
para penulis bahasa. Sejauh penelusuran penulis tentang penulisan yang sejenis
atau yang mempunyai korelasi dengan penulisan mengenai Kesantunan Berbahasa
Brown dan Levinson ini, penulis menjumpai beberapa penulisan yang telah
dilakukan. Beberapa penulisan tersebut antara lain penulisan yang dilakukan oleh
Damis Amaroh (2010) dan Renita Tri Hesti (2010).
Damis Amaroh (2010) dalam skripsinya yang berjudul Tindakan
Pengancaman Muka dan Strategi Kesopanan dalam Rubrik ”Pembaca Menulis”
di Harian Jawa Pos (Sebuah Kajian Pragmatik), yang mendeskripsikan (1)
Tindakan pengancaman muka dan strategi kesopanan yang dilakukan oleh
pengadu dalam rubrik ”Pembaca Menulis” di harian Jawa Pos beserta tujuanya,
(2) Tindakan pengancaman muka dan strategi kesopanan yang dilakukan oleh
teradu dalam rubrik ”Pembaca Menulis” di harian Jawa Pos beserta tujuaanya.
Hasil analisis data dari penulisan tersebut menunjukkan beberapa hal, yaitu: (1)
dalam surat aduan rubrik ”Pembaca Menulis” diperoleh 8 jenis tindakan yang
mengancam muka negatif lawan tutur (memerintah, meminta, memberi saran,
memberi nasihat, bertanya, menuntut, menagih janji, dan marah) dan 4 jenis
tindakan yang mengancam muka positif lawan tutur (menuduh,
mengeluh,mengkritik, dan menghina). Pengadu menggunakan strategi on
commit to user
tanggapan dan penyelesaian dari pihak teradu. (2) dalam surat tanggapan rubrik
”Pembaca Menulis” diperoleh 3 jenis tindakan yang mengancam muka negatif
penutur (ucapan terima kasih, melakukan pembelaan,dan melakukan janji) dan 2
jenis tindakan yang mengancam muka positif penutur (tindakan meminta maaf
dan mengakui kesalahan). Teradu menggunakan strategi on record,off record,
kesopanan negatif dan positif, untuk memperoleh kesan sebagai lembaga yang
bertanggung jawab terhadap suatu persoalan yang dihadapi antara pengadu dan
teradu sehingga dapat mempertahankan citra lembaga sekaligus mempertahankan
pelangan.
Renita Tri Hesti (2010) dalam skripsinya yang berjudul Kesantunan
Positif dalam Film Ayat-ayat Cinta: Studi Pragmatik. Penulisan tersebut
membahas mengenai (1) Bentuk-bentuk ujaran yang mengekspresikan
strategi-strategi kesantunan positif dalam tuturan film ”Ayat-ayat Cinta”; (2) Strategi
kesantunan positif yang digunakan oleh para pemeran dalam film ”Ayat-ayat
Cinta”. Dalam penulisan tersebut dapat diketahui bahwa (1) terdapat tiga bentuk
ujaran yang mengekspresikan strategi-strategi kesantunan positif dalam film
”Ayat-ayat Cinta”, yaitu bentuk ujaran asertif, bentuk ujaran komisif, dan bentuk
ujaran ekspresif; (2) terdapat 12 strategi kesantunan positif yang digunakan oleh
para pemeran dalam tuturan film ”Ayat-ayat Cinta”, yaitu strategi 2
(membesar-besarkan ketertarikan kepada pendengar), strategi 3 (mengintensifkan perhatian
pendengar), strategi 4 (menggunakan identitas kelompok), strategi 5 (mencari
persetujuan pendengar), strategi 7 (menunjukkan hal-hal yang mempunyai
kesamaan dengan pendengar), strategi 8 (menggunakan lelucon), strategi 9
commit to user
penawaran/janji), strategi 11 (menunjukkan keoptimisan), strategi 13
(memberikan pertanyaan/meminta alasan), strategi 14 (menunjukkan hubungan
timbal balik), dan strategi 15 (memberikan hadiah berupa barang, perhatian,
simpati, dan kerjasama kepada pendengar),
Penulisan yang penulis lakukan ini berbeda dengan penulisan-penulisan di
atas. Perbedaannya terletak pada sumber data penulisan dan fokus analisisnya.
Perbedaan penulisan ini dengan penulisan yang dilakukan oleh Damis Amaroh
(2010) dan Renita Tri Hesti (2010), pertama terletak pada sumber data
penulisannya, penulisan Damis Amaroh (2010) mengambil data dari rubrik
”Pembaca Menulis” di Harian Jawa Pos, dan Renita Tri Hesti (2010) mengambil
data dari percakapan pemeran dalam film ”Ayat-ayat Cinta”, sedangkan sumber
data penulisan ini merupakan dialog antara peminta tolong dan orang yang
dimintai tolong dalam RSMT. Kedua terletak pada fokus analisisnya, penulisan
yang dilakukan oleh Damis Amaroh (2010) difokuskan pada pendeskripsian
tindakan pengancaman muka dan strategi kesopanan secara umum yang terdapat
dalam rubrik ”Pembaca Menulis” di harian Jawa Pos dan penulisan yang
dilakukan oleh Renita Tri Hesti (2010) difokuskan pada bentuk ujaran yang
mengekspresikan strategi-strategi kesantunan positif dan strategi kesantunan
positif yang digunakan oleh para pemeran dalam film ”Ayat-ayat Cinta”,
sedangkan penulisan ini difokuskan pada pendeskrisian tindak tutur direktif dan
commit to user
B. Landasan Teori
1. Pragmatik
Definisi pragmatik sudah banyak diperkenalkan oleh para ahli bahasa.
Thomas (1995: 22) mendefinisikan pragmatik sebagai bidang ilmu yang mengkaji
makna dalam interaksi atau meaning in interpretation. Pengertian tersebut dengan
mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan
negosiasi antara pembicara dan pendengar serta konteks ujaran (fisik, sosial, dan
linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran.
Yule dalam bukunya yang berjudul Pragmatics (2006:3-4)
mengemukakan empat ruang lingkup yang terdapat dalam pragmatik, yaitu: (1)
Pragmatik adalah studi tentang maksud penutur, (2) Pragmatik adalah studi
tentang makna kontekstual, (3) Pragmatik adalah studi tentang bagaimana agar
lebih banyak yang disampaikan daripada yang dituturkan, (4) Pragmatik adalah
studi tentang ungkapan dari jarak hubungan.
I Dewa Putu Wijana (1996: 6), berpendapat bahwa pragmatik merupakan
salah satu cabang ilmu bahasa (selain sosiolinguistik) yang muncul akibat adanya
ketidakpuasan terhadap penanganan bahasa yang terlalu bersifat formal yang
dilakukan oleh kaum strukturalis. Pragmatik mengungkap maksud suatu tuturan di
dalam peristiwa komunikasi, baik secara tersurat maupun tersirat di balik tuturan.
Maksud tuturan dapat dikenali melalui penggunaan bahasa secara konkret dengan
mempertimbangkan komponen situasi tutur.
Reality show merupakan suatu bentuk komunikasi yang nyata yang
dikemas secara baik, yang kemudian ditayangkan di televisi. Suatu komunikasi
commit to user
disampaikannya. Berdasarkan atas penjelasan tersebut, maka tuturan-tuturan yang
terdapat dalam suatu reality show dapat dijadikan sebagai objek penulisan
pragmatik. Alasannya, karena suatu reality show yang ditayangkan di televisi
menyajikan peristiwa tutur secara nyata yang disertai komponen-komponen tutur
yang melatar belakangi peristiwa tutur tersebut.
2. Komponen dan Situasi Tutur
Komponen tutur dan situasi tutur dalam kajian pragmatik memiliki peran
yang penting, yakni sebagai bahan pertimbangan untuk mengungkapkan suatu
maksud tutur yang terdapat dalam peristiwa tutur. Dell Hymes (dalam Pranowo,
2009: 101) mengemukakan beberapa komponen tutur yang diakronimkan dengan
istilah SPEAKING yang perlu diperhatikan seseorang dalam berkomunikasi.
Masing-masing huruf dalam akronim merupakan inisial dari istilah-istilah berikut.
a. (S) Setting and Scene (latar) mengacu pada tempat dan waktu terjadinya
komunikasi.
b. (P) Participants (peserta) mengacu pada orang yang terlibat dalam komunikasi
(O1 dan O2).
c. (E) Ends (tujuan komunikasi) mengacu pada tujuan yang ingin dicapai dalam
berkomunikasi.
d. (A) Act Sequence (pesan yang ingin disampaikan) mengacu pada bentuk dan
pesan yang ingin disampaikan. Bentuk pesan dapat disampaikan dalam bahasa
tulis atau bahasa lisan misalnya, berupa permintaan, sedangkan isi pesan
commit to user
e. (K) Key (kunci) mengacu pada pelaksanaan percakapan. Maksudnya,
bagaimana pesan itu disampaikan kepada mitra tutur (cara penyampaian).
f. (N) Norms (norma) yaitu pranata sosial kemasyarakatan yang mengacu pada
norma perilaku partisipan dalam berkomunikasi.
g. (G) Genres (ragam, register) mengacu pada ragam bahasa yang digunakan,
misalnya ragam formal, ragam santai dan sebagainya.
Penjelasan mengenai situasi dikemukakan oleh Leech (1993:19-20), yang
membagi aspek-aspek situasi tutur menjadi lima macam yaitu: (a) penutur dan
mitra tutur, (b) konteks tuturan, (c) tujuan sebuah tuturan, (d) tuturan sebagai
bentuk tindakan atau kegiatan (tindak ujar), (e) tuturan sebagai produk tindak
verbal.
a) Penutur dan Mitra tutur
Penutur adalah orang yang bertutur, yaitu orang yang menyampaikan
fungsi pragmatis tertentu di dalam peristiwa komunikasi. Mitra tutur adalah orang
yang menjadi sasaran sekaligus kawan penutur di dalam pertuturan. Aspek-aspek
yang berkaitan dengan penutur dan mitra tutur antara lain usia, latar belakang
sosial ekonomi, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat keakraban.
b) Konteks Tuturan
Konteks merupakan suatu pengetahuan latar belakang bersama yang
dimiliki oleh penutur dan mitra tutur dan yang membantu mitra tutur menafsirkan
makna tuturan. Konteks tuturan penulisan linguistik adalah konteks dalam semua
aspek fisik atau setting sosial yang relevan dari tuturan bersangkutan. Konteks
yang bersifat fisik disebut koteks (cotext), sedangkan konteks setting sosial
commit to user
semua latar belakang pengetahuan yang dipahami bersama oleh penutur dan mitra
tutur. Konteks ini membantu mitra tutur untuk menafsirkan maksud yang ingin
dinyatakan oleh penutur.
c) Tujuan Sebuah Tuturan
Tuturan-tuturan yang diutarakan oleh penutur dilatarbelakangi oleh
maksud dan tujuan tertentu. Tujuan tuturan adalah sesuatu yang ingin dicapai oleh
penutur dengan melakukan tindakan bertutur.
d) Tuturan sebagai Bentuk Tindakan atau Kegiatan (Tindak Ujar)
Tindak tutur merupakan suatu aktivitas. Menuturkan sebuah tuturan dapat
dilihat sebagai melakukan tindakan (act). Tindak tutur sebagai suatu tindakan itu
sama dengan tindakan mencubit dan menendang. Hanya saja, bagian tubuh yang
berperan berbeda. Pada tindakan bertutur bagian tubuh yang berperan adalah alat
ucap.
e) Tuturan sebagai Produk Tindak Verbal
Pragmatik berhubungan dengan tindak verbal (verbal act) yang terjadi
dalam situasi tertentu. Tuturan tercipta melalui tindakan verbal, maka tuturan itu
merupakan hasil tindak verbal. Tindakan verbal adalah tindakan mengekspresikan
kata-kata atau bahasa.
Dalam penulisan mengenai kesantunan ini, komponen tutur dan situasi
tutur digunakan untuk memahami maksud tuturan yang diucapkan oleh para
peserta tutur dalam peristiwa tutur yag terdapat dalam RSMT, sehingga
mempermudahkan penulis dalam menganalisis data berdasarkan teori tindak tutur
commit to user
3. Teori Tindak Tutur
Di dalam pragmatik, tuturan merupakan suatu bentuk tindakan dalam
konteks situasi tutur sehingga aktivitasnya disebut tindak tutur. Setiap tindak tutur
yang diucapkan oleh seorang penutur mempunyai makna tertentu.
Austin (1962) mengemukakan dua terminologi yang berkaitan dengan
teori tindak tutur, yaitu tuturan konstatif (constative) dan tuturan performatif
(performative). Tuturan konstatif adalah tuturan yang pengutaraannya hanya
dipergunakan untuk menyatakan sesuatu (1962:4-6). Tuturan performatif adalah
tuturan yang pengutaraannya dipergunakan untuk melakukan sesuatu (1962:4-11).
Tindak tutur yang menggunakan kalimat performatif oleh Austin (1962:100-102)
digolongkan dalam tiga peristiwa tindakan, yaitu:
1) Tindak lokusi (locutionary act)
Tindak lokusi adalah tindak tutur yang dimaksudkan untuk menyatakan
sesuatu dalam arti “berkata” atau tindak tutur dalam bentuk kalimat yang
bermakna dan dapat dipahami. Tindak tutur ini disebut sebagai The Act of Saying
Something. Searle (1969) menyebut tindak tutur lokusi ini dengan istilah tindak
bahasa preposisi (prepositional act) karena tindak tutur ini hanya berkaitan
dengan makna.
2) Tindak ilokusi (illocutionary act)
Tindak ilokusi merupakan tindak melakukan sesuatu (the act of to do
something). Berbeda dari lokusi, tindak ilokusi merupakan tindak tutur yang
commit to user
3) Tindak perlokusi (perlocutionary act)
Sebuah tuturan yang diucapkan seorang penutur sering memilki efek atau
daya pengaruh (perlocutionary force). Efek yang dihasilkan dengan mengujarkan
sesuatu itulah yang oleh Austin (162:101) dinamakan tindak perlokusi. Efek atau
daya tuturan itu dapat ditimbulkan oleh penutur secara sengaja, dapat pula secara
tidak sengaja. Tindak tutur yang pengujarannya dimaksudkan untuk
mempengaruhi mitra tutur inilah yang merupakan tindak perlokusi.
Austin (1962:150-163) membagi tindak tutur ilokusi menjadi lima, yaitu:
1) Verdiktif (verdictives utterances)
Tindak tutur verdiktif dilambangkan dengan memberi keputusan misalnya
keputusan hakim, juri, dan penengah atau wasit, perkiraan, dan penilaian. Verba
tindak tutur verdiktif antara lain, menilai, menandai, memperhitungkan,
menempatkan, menguraikan, menganalisis.
2) Eksersitif (exercitives utterances)
Tindak tutur eksersitif merupakan tindak tutur yang menyatakan
perjanjian, nasihat, peringatan, dan sebagainya. Verba yang menandai antara lain,
mewariskan, menyatakan, membatalkan perintah (lampau), memperingatkan,
menurunkan pangkat.
3) Komisif (commissives utterances)
Tindak tutur komisif dilambangkan dengan harapan atau dengan kata lain
perjanjian; menjanjikan untuk melakukan sesuatu, tetapi juga termasuk
pengumuman atau pemberitahuan, yang bukan janji. Verba yang menandai antara
lain, berjanji, mengambil-alih atau tanggung jawab, mengajukan, menjamin,
commit to user
4) Behabitif (behabitives utterances)
Tindak tutur behabitif meliputi reaksi-reaksi terhadap kebiasaan dan
keberuntungan orang lain dan merupakan sikap serta ekspresi seseorang terhadap
kebiasaan orang lain, misalnya meminta maaf, berterima kasih, bersimpati,
menantang, mengucapkan salam, mengucapkan selamat.
5) Ekspositif (expositives utterances)
Tindak tutur ekspositif merupakan tindak tutur yang memberi penjelasan,
keterangan, atau perincian kepada seseorang, misalnya menyangkal, menguraikan,
menyebutkan, menginformasikan, mengabarkan, bersaksi.
Menurut Searle (1979:16), inti dari tindak tutur adalah tindak ilokusi.
Menurutnya, dalam tindak ilokusi, penutur dalam mengatakan sesuatu juga
melakukan sesuatu. Sehubungan dengan itu, Searle (1996:147-149)
mengklasifikasikan tindak tutur ilokusi menjadi lima jenis, yaitu:
1) Tindak Tutur Asertif (Assertives)
Tindak tutur asertif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya kepada
kebenaran proposisi atas hal yang dikatakannya. Termasuk ke dalam jenis tindak
tutur ini misalnya tuturan-tuturan menyatakan, melaporkan, memprediksi,
menunjukkan, dan menyebutkan.
2) Tindak Tutur Direktif (Directives)
Tindak tutur direktif adalah tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya
dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan di dalam
tuturan itu atau berharap lawan tutur melakukan sesuatu. Tuturan-tuturan,
menyuruh, memohon, menuntut, menyarankan, memerintah, meminta, dan
commit to user
3) Tindak Tutur Komisif (Commisives)
Tindak tutur komisif adalah tindak tutur untuk mengikat penuturnya pada
suatu tindakan yang dilakukannya pada masa mendatang dan melaksanakan segala
hal yang disebutkan dalam tuturan. Misalnya tuturan berjanji, bersumpah,
berkaul, menawarkan, menyatakan kesanggupan, dan mengancam.
4) Tindak Tutur Ekspresif (Expressives)
Tindak tutur ekspresif adalah tindak tutur yang dilakukan dengan maksud
agar tuturannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan dalam
tuturan untuk mengungkapkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan.
Tuturan yang termasuk tindak tutur ekspresif yaitu: tuturan memuji, mengucapkan
terima kasih, meminta maaf, mengucapkan selamat, mengkritik, dan mengeluh.
5) Tindak Tutur Deklarasi (Declarations)
Seseorang yang menggunakan tindak tutur deklarasi haruslah seseorang
yang mempunyai kekuasaan atau wewenang khusus dalam sebuah institusi
tertentu, misalnya hakim dalam institusi pengadilan yang menjatuhkan hukuman.
Tindak tutur deklarasi ialah tindak tutur yang dilakukan penutur dengan maksud
untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan sebagainya) yang baru. Misalnya
tuturan memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan, dan mengangkat.
Berbeda dengan pendapat Austin dan Searle, Leech (1993:327-329)
mengklasifikasikan tindak tutur menjadi enam macam, yaitu:
1) Tindak Tutur Asertif
Tindak tutur asertif merupakan tindak tutur yang mengikat penutur pada
kebenaran proposisi yang dituturkan, misalnya, menceritakan, melaporkan,
commit to user
2) Tindak Tutur Direktif
Tindak tutur direktif merupakan bentuk tindak tutur yang dimaksudkan
oleh penutur untuk membuat pengaruh agar mitra tutur melakukan sesuatu
tindakan, misalnya memohon, meminta, memberi perintah, menuntut, melarang.
3) Tindak Tutur Komisif
Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang menyatakan janji atau
penawaran, misalnya menawarkan, menawarkan diri, menjanjikan, berkaul,
bersumpah.
4) Tindak Tutur Ekspresif
Tindak tutur ekspresif merupakan tindak tutur yang berfungsi untuk
menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap keadaan yang sedang dialami
oleh mitra tutur, misalnya mengucapkan selamat, mengucapkan terima kasih,
merasa ikut bersimpati, meminta maaf.
5) Tindak Tutur Deklaratif
Tindak tutur deklaratif merupakan tindak tutur yang menghubungkan isi
tuturan dengan kenyataannya, misalnya memecat, membaptis, menikahkan,
mengangkat, menghukum, memutuskan.
6) Tindak Tutur Rogatif
Tindak tutur rogatif adalah tindak tutur yang dinyatakan oleh penutur
untuk menanyakan jika bermotif langsung atau mempertanyakan jika bermotif
ragu-ragu, misalnya menanyakan, mempertanyakan, dan menyangsikan.
Pandangan terbaru mengenai tindak tutur dari Kreidler (1998:183-194)
dalam bukunya Introducing English Semantics membagi tindak tutur menjadi
commit to user
1) Asertif (Assertif Utterances)
Tindak tutur asertif terjadi karena penutur menggunakan bahasa untuk
menceritakan apa yang mereka ketahui dan percayai, misalnya mengatakan,
mengumumkan, menjelaskan, menunjukkan, menyebutkan, melaporkan.
2) Performatif (Performative Utterances)
Tindak tutur performatif adalah tindak tutur yang membuat atau
menyebabkan resminya apa yang diucapkan, misalnya mengumumkan,
membaptis, menyebut, mencalonkan, menamakan, menjatuhkan hukuman.
3) Verdiktif (Verdictive Utterances)
Tindak tutur verdiktif terjadi karena penutur membuat penilaian terhadap
tindakan mitra tutur, misalnya menuduh, bertanggung jawab, berterima kasih.
4) Ekspresif (Expressive Utterances)
Tindak tutur ekspresif terjadi karena tindakan penutur, kegagalan penutur
serta akibat yang ditimbulkan kegagalan itu, misalnya mengakui, bersimpati,
memaafkan, dan sebagainya.
5) Direktif (Directive Utterances)
Tindak tutur direktif mengandung maksud bahwa penutur meminta mitra
tutur untuk melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan. Tindak tutur
direktif terbagi menjadi tiga macam, yaitu perintah (commands), permintaan
(request), dan anjuran (suggestions).
6) Komisif (Commissive Utterances)
Tindak tutur komisif merupakan tindak tutur yang mengikat seorang
penutur untuk melakukan suatu tindakan, misalnya menyetujui, bertanya,
commit to user
7) Fatis (Phatic Utterances)
Tindak tutur fatis merupakan tindak tutur yang bertujuan untuk
menciptakan hubungan antara penutur dan mitra tutur. Tindak tutur fatis meliputi
ucapan salam, ucapan salam berpisah, cara-cara yang sopan seperti thank you,
you are welcome, excuse me, yang tidak berfungsi verdiktif atau ekspresif.
Selain tindak tutur yang telah dikemukakan oleh para tokoh diatas, tindak
tutur dapat diklasifikasikan berdasarkan teknik penyampaian dan interaksi makna.
Berdasarkan teknik penyampaian tindak tutur dapat diklasifikasikan menjadi
tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Berdasarkan interaksi
makna, tindak tutur dapat diklasifikasikan menjadi tindak tutur literal dan tindak
tutur nonliteral. Bila kalimat berita difungsikan secara konvensional untuk
mengatakan sesuatu, kalimat tanya untuk bertanya, dan kalimat perintah untuk
menyuruh, maka tindak tutur yang terbentuk adalah tindak tutur langsung (I Dewa
Putu Wijana, 1996:30).
Berdasarkan pemilahan tindak tutur sebagaimana yang dikemukakan oleh
Austin, Searle, Leech, dan Kreidler di atas menunjukkan bahwa meskipun jumlah
dan bentuk pengklasifiannya berbeda, namun, ditandai oleh terdapatnya salah satu
bentuk tindak tutur yang sama, yaitu tindak tutur direktif. Hal itu menunjukkan
bahwa tindak tutur direktif merupakan tindak tutur yang penting dan dominan
commit to user
4. Tindak Tutur Direktif
Searle menjelaskan bahwa tindak tutur direktif merupakan tindak tutur
yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan
tindakan yang disebutkan di dalam tuturan itu atau berharap lawan tutur
melakukan sesuatu. Tuturan-tuturan, menyuruh, memohon, menuntut,
menyarankan, memerintah, meminta, dan menantang termasuk ke dalam jenis
tindak tutur direktif ini (Searle, 1996a:147-148).
Geoffrey Leech mendefinisikan tindak tutur direktif sebagai bentuk tindak
tutur yang dimaksudkan oleh penutur untuk membuat pengaruh agar mitra tutur
melakukan suatu tindakan. Verba yang menandai tindak tutur ini misalnya
memohon, meminta, memberi perintah, menuntut, melarang (Leech, 1993:327).
Geoge Yule (2006:93) menjelaskan bahwa tindak tutur direktif adalah
tindak tutur yang dipakai oleh penutur untuk menyuruh orang lain melakukan
sesuatu. Jenis tindak tutur ini menyatakan apa yang menjadi keinginan penutur.
Tindak tutur ini meliputi; perintah, pemesanan, permohonan, pemberian saran,
dan bentuknya dapat berupa kalimat positif dan negatif.
Kreidler menyebut tindak tutur direktif dengan sebutan directive
utterances. Menurutnya tindak tutur direktif mengandung maksud bahwa penutur
meminta mitra tutur untuk melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan.
Tindak tutur direktif terbagi menjadi tiga macam, yaitu perintah (commands),
permohonan (request), dan anjuran (suggestions) (Kreidler, 1998:189-190).
Dalam penulisan ini pembahasan tindak tutur ilokusi direktif mengacu
pada kategori tindak tutur direktif yang dikemukakan oleh Searle (1996:148). Dari
commit to user
dipilih pada penulisan ini. Pemanfaatan teori Searle ini dilakukan dengan
pertimbangan bahwa dalam RSMT terdapat banyak tuturan yang berfungsi sebagai
tindak tutur direktif berdasarkan pada teori menurut Searle.
5. Kesantunan Berbahasa Brown dan Levinson
Konsep atau prinsip kesantunan dikemukakan oleh banyak ahli. Dasar
pendapat ahli tentang konsep kesantunan itu berbeda-beda. Ada konsep
kesantunan yang dirumuskan dalam bentuk kaidah, ada pula yang diformulasi
dalam bentuk strategi. Konsep kesantunan yang dirumuskan di dalam bentuk
kaidah membentuk prinsip kesantunan, sedangkan konsep kesantunan yang
dirumuskan di dalam bentuk strategi membentuk teori kesantunan (Rustono,
1999:67-68).
Teori kesantunan berbahasa Brown dan Levinson berkisar atas nosi muka
(face) (Asim Gunarwan, 1992: 184). Brown dan Levinson (1987: 61) mengartikan
face ”muka” sebagai gambaran diri yang bersifat umum yang ingin dimiliki setiap
anggota masyarakat, terdiri dari dua aspek yaitu muka negatif dan positif. Muka
negatif merupakan keinginan setiap orang untuk bebas dari gangguan, seperti
kebebasan bertindak dan kebebasan dari perintah atau mengerjakan sesuatu. Muka
positif adalah keinginan setiap orang agar citra positif yang ia miliki dapat
diterima dan dihargai oleh orang lain.
Menurut Brown dan Levinson (1987: 65-68), konsep tentang muka
bersifat universal. Muka itu rawan terhadap ancaman yang timbul dari tindak
tutur tertentu. Tindakan yang mengancam muka penutur atau lawan tutur disebut
commit to user
dapat mengacam muka negatif maupun muka positif penutur maupun alawan
tutur. Tindakan yang berpotensi mengancam muka dikurangi dengan tindakan
penyelamatan muka (Face Saving Act, FSA). Atas dasar ini, tindakan
penyelamatan muka, dapat diartikan sebagai kesantunan. Kesantunan yang
dimaksudkan untuk menjaga muka positif disebut kesantunan positif (kesantunan
afirmatif) dan kesantunan yang dimaksud untuk menjaga muka negatif disebut
kesantunan negatif (kesantunan deferensial) (lihat. Asim Gunarwan, 2007). Sopan
santun dalam tindak tutur direktif termasuk ke dalam kesantunan negatif, dapat
ditafsirkan sebagai usaha untukmenghindari konflik antara penutur dan lawan
tutur. Brown dan Levinson (1987: 74-77) juga menjelaskan bahwa dalam
melakukan tindakan pengancaman muka seorang penutur memperhitungkan suatu
derajat keterancaman sebuah tindak tutur dengan mempertimbangkan
faktor-faktor yang mempengaruhi sebuah tuturan. Faktor-faktor-faktor tersebut menurut Brown
and Levinson yaitu: (a). jarak sosial diantara penutur dan lawan tutur, (b).
besarnya perbedaan kekuasaan atau dominasi diantara keduanya dan, (c). status
relatif jenis tindak ujaran di dalam kebudayaan yang bersangkutan. Atas dasar
perkiraan itulah penutur memilih strategi kesantunan. Bentuk strategi kesantunan
yang digunakan tergantung pada pemilihan jenis kesantunannya, yaitu kesantunan
negatif atau positif.
Menurut Brown dan Levinson, karena adanya ancaman tindak tutur
terhadap muka, maka penutur perlu memilih strategi untuk mengurangi ancaman
itu, secara umum terdapat lima strategi yang dikenalkan oleh kedua pakar itu,
yaitu: (1). bertutur secara terus-terang tanpa basa-basi (bald on record); (2).
commit to user
menggunakan kesantunan negatif; (4) bertutur dengan cara samar-samar atau tidak
transparan (off record); dan (5) bertutur “di dalam hati” dalam arti penutur tidak
mengujarkan maksud hatinya.
6. Kesantunan Negatif
Menurut Brown dan Levinson (1987: 65-68), konsep tentang muka
bersifat universal. Muka itu rawan terhadap ancaman yang timbul dari tindak
tutur tertentu. Tindakan yang mengancam muka penutur atau lawan tutur disebut
Face Threatening Acts (FTA). Tindakan pengancaman terhadap muka tersebut
dapat mengacam muka negatif maupun muka positif penutur maupun alawan
tutur. Tindakan yang berpotensi mengancam muka dikurangi dengan tindakan
penyelamatan muka (Face Saving Act, FSA). Atas dasar ini, tindakan
penyelamatan muka, dapat diartikan sebagai kesantunan. Kesantunan yang
dimaksudkan untuk menjaga muka positif disebut kesantunan positif (kesantunan
afirmatif) dan kesantunan yang dimaksud untuk menjaga muka negatif disebut
kesantunan negatif (kesantunan deferensial) (lihat. Asim Gunarwan, 2007).
Tindakan yang mengancam muka negatif dan strategi kesantunan negatif yang
berfungsi untuk mengurangi daya ancaman terhadap muka negatif, dapat
commit to user
a. Tindakan yang Mengancam Muka Negatif
Brown dan Levinson (1987: 65-66) mengelompokan tindakan yang
mengancam muka negatif penutur dalam tiga kelompok, yaitu:
1). Tindakan yang berupa paksaan kepada lawan tutur untuk melakukan suatu
tindakan, seperti yang terkandung dalam Ungkapan mengenai:
a. Order and Requests (Perintah dan Permintaan)
b. Suggestions and Advice, (Saran dan Nasihat)
c. Remindings (Peringatan)
d. threats, warnings, dares (ancaman., peringatan, tantangan).
2). Tindakan positif dari pembicara kepada pendengar, dan bersifat paksaan
terhadap pendengar untuk menerima atau menolaknya, dan mungkin dianggap
sebagai hutang, seperti ungkapan mengenai:
a. Offers, (Tawaran)
b. promises (janji)
3). Tindakan yang diinginkan oleh pembicara terhadap pendengar atau pendengar
yang baik, diberikan kepada pendengar untuk berpikir bahwa dia mungkin
memiliki tindakan pelindung terhadap keinginan dari pembicara seperti
ungkapan mengenai:
a. compliments, (pujian)
b. expressions of strong (negative) emotions toward H-e.g. hatred, anger,
(ungkapan perasaan negatif yang kuat seperti kebencian dan kemarahan
terhadap lawan tutur). Pembicara menunjukan kemungkinan motivasi
commit to user
b. Strategi kesantunan Negatif
Brown dan Levinson (1987: 130-210) mengajukan sejumlah strategi untuk
mengurangi ancaman terhadapan muka negatif lawan tutur yang dikelompokan
menjadi lima yaitu sebagai berikut:
1. Nyatakan secara Langsung
a) Strategy 1: Be conventionally indirect (“Menggunakan Ungkapkan secara tidak langsung sesuai konvensional masyarakat yang bersangkutan”)
Contoh:
(1) Can you please pass the salt? (“Tolong ambilkan garamnya”) (Brown dan
Levinson 1987: 133)
2. Jangan berasumsi mengenai apa yang dikehendaki petutur
b) Strategy 2: Question, hedge (“Gunakan bentuk pertanyaan dengan partikel tertentu”)
Contoh:
(2) Do me a favour (atau take this out), will you? (“Saya minta tolong, bisa
kan?”) (Brown dan Levinson 1987: 147).
3. Jangan memaksa penutur untuk melakukan suatu tindakan
c) Strategy 3: Be pessimistic (“Lakukan secara hati-hati dan jangan terlalu optimistik”),
Contoh:
(3) Perhaps you’d care to help me ( for a lift) (“Mungkin Anda dapat membantu
saya”) (Brown dan Levinson 1987: 175).
commit to user
Contoh:
(4) Could I have a taste of that cake? (“Bolehkah saya mencicipi kue itu sedikit
saja?”) (Brown dan Levinson 1987: 177).
e) Strategy 5: Give deference (“Beri penghormatan”) Contoh:
(5) Excuse me sir, but would you mind if I close the windaow? (“Maaf pak,
apakah Bapak keberatan kalau saya menutup jendela?”) (Brown dan Levinson
1987: 183).
Atau pada dialog di bawah ini:
(6) A: Would you (care for or like) a sandwich? (“Mau sepotong sandwich?”)
B: Yes (thank you), Sir. (“Ya, pak”) (Brown dan Levinson, 1987:
182-183).
4. Mengkomunikasikan bahwa penutur tidak menghendaki memaksa petutur
f) Strategy 6: Apologize (“Gunakan permohonan maaf”) Contoh:
(7) I am sorry to bother you but……(“Maaf mengganggu Anda, tetapi……”)
(Brown dan Levinson, 1987: 189).
g) Strategy 7: Impersonalize S and H (“Jangan menyebutkan penutur dan lawan tutur”)
Contoh:
commit to user
h) Strategy 8: State the FTA as a general rule (“Nyatakan tindakan mengancam muka sebagai suatu ketentuan sosial yang umum berlaku”)
Contoh:
(9) We don’t sit on tables, we sit on chairs, johny. (“Johnny, kita tidak duduk di
meja, kita duduk di kursi”) (Brown dan Levinson, 1987: 207).
i) Strategy 9: Nominalize (“Nominalkan pernyataan”) Contoh:
(10) Your good performance on the examinations impressed us favourably
(“Prestasi Anda dalam ujian sangat mengesankan kami”) (Brown dan Levinson,
1987: 207).
5. Memberikan kompensasi bagi keinginan lain petutur, yang berasal dari muka negatif
j) Strategy 10: Go on record as incurring a debt, or as not indebting H (“Nyatakan secara jelas bahwa penutur telah memberikan kebaikan (hutang)
atau tidak kepada lawan tutur”)
Contoh:
(11) I could easily do it for you. (“Saya dapat mengerjakan hal ini dengan mudah
untuk Anda.”) (Brown dan Levinson, 1987: 210).
7. Kesantunan Positif
Menurut Brown dan Levinson (1987: 65-68), konsep tentang muka
bersifat universal. Muka itu rawan terhadap ancaman yang timbul dari tindak
tutur tertentu. Tindakan yang mengancam muka penutur atau lawan tutur disebut
commit to user
yang telah dijelaskan sebelumnya, Brown dan Levinson (1987: 66-67) juga
mengemukakan tindakan-tindakan yang mengancam muka positif lawan tutur.
Tindakan yang berpotensi mengancam muka dikurangi dengan tindakan
penyelamatan muka (Face Saving Act, FSA) atau disebut sebagai kesantunan
positif.Kesantunan Positif mengacu pada citra diri setiap orang yang berkeinginan
agar apa yang dilakukannya, apa yang dimilikinya atau apa yang diakui orang lain
sebagai suatu hal yang baik, yang menyenangkan, yang patut dihargai, diterima
dan seterusnya. Brown dan Levinson (1987) menjabarkan 15 strategi kesantunan
positif yang digunakan oleh penutur. Tindakan yang mengancam muka positif dan
strategi kesantunan positif yang berfungsi untuk mengurangi daya ancaman
terhadap muka positif, dapat dijelaskan dibawah ini.
a. Tindakan yang Mengancam Muka Positif
Selain Tindakan yang mengancam muka negatif, Brown dan Levinson
(1987: 66-67) juga mengemukakan tindakan-tindakan yang mengancam muka
positif lawan tutur, meliputi:
1) Tindakan yang menunjukkan bahwa pembicara memiliki penilaian kurang
baik atas beberapa aspek terhadap muka positif pendengar, yaitu:
a. Ungkapan mengenai disapproval, criticism, contempt or ridicule,
complaints and reprimands, accusations, insults (“ketidaksetujuan,
kritik, tindakan merendahkan atau mempermalukan, keluhan, kemarahan,
dakwaan, penghinaan”).
b. Ungkapan mengenai contradictions or disagreements, challenges
commit to user
2) Tindakan yang menunjukkan bahwa pembicara tidak mempedulikan muka
positif pendengar, seperti:
a. Ungkapan mengenai violet (out-of-control) emotions (S gives H possible
reason to fear him or be embarrassed by him) (“emosi yang tindak
terkontrol yang membuat lawan tutur merasa dibuat takut atau
dipermalukan”).
b. Ungkapan irreverence, mention of taboo topics, including those that are
inappropriate in the context (S indicates that he doesn’t value H’s value
and doesn’t fear H’s fears) (“ungkapan yang tidak sopan, penyebutan hal
-hal yang bersifat tabu dalam suatu situasi, yaitu penutur menunjukkan
bahwa penutur tidak menghargai nilai-nilai lawan tutur dan juga tidak mau
mengindahkan hal-hal yang ditakuti oleh lawan tutur”).
c. Ungkapan mengenai bad news about H, or good news (boasting) about S
(S indicates that he is willing to cause distress to H, and/or doesn’t care
about H’s feeling) (“ungkapan kabar buruk mengenai lawan tutur, atau
menyombongkan berita baik, yaitu yang menunjukkan bahwa penutur
tidak segan-segan menunjukkan hal-hal yang kurang menyenangkan pada
lawan tutur, tidak begitu mempedulikan perasaan lawan tutur”).
d. Ungkapan mengenai dangerously emotional or divisive topics, e.g.
politics, race, religion, women’s liberation (S raises the possibility or
likelihood of face threatening acts (such as above) occurring;i.e.,S creates
a dangerous-to-face atmosphere) (“ungkapan tentang hal-hal yang
membahayakan serta topik yang bersifat memecah belah pendapat, seperti
commit to user
menciptakan suatu suasana yang berpotensi mengancam muka lawan tutur
yaitu penutur membuat suatu atmosfir yang berbahaya terhadap muka
lawan tutur”).
e. Ungkapan mengenai non-cooperation in an activity-e.g. disruptively
interruping H’s talk, making non-sequiturs or showing non-attention (S
indicates that he doesn’t care about H’s negative or positive wants)
(“ungkapan yang tidak kooperatif terhadap lawan tutur, yaitu penutur
menyela pembicaraan lawan tutur, menyatakan hal-hal yang tidak
menunjukkan kepedulian (penutur menunjukkan ketidakpedulian terhadap
keinginan muka negatif maupun muka positif lawan tuturnya)”).
f. Ungkapan mengenai address terms and other status marked identification
in initial encounters (S may misidentify H in an offensive or embarrassing
way, intentionally or accidentally) (“ungkapan mengenai sebutan ataupun
hal-hal yang menunjukkan status lawan tutur pada perjumpaan pertama.
Dalam situasi ini mungkin penutur membuat identifikasi yang keliru
mengenai lawan tuturnya yang melukai perasaannya atau
mempermalukannya baik secara sengaja ataupun tidak”).
b. Strategi Kesantunan Positif
Setiap orang pastilah ingin menghindari tindakan yang mengancam muka
lawan tutur dalam suatu komunikasi, dan akan menggunakan strategi tertentu
untuk mengurangi perasaan yang kurang senang dari lawan tuturnya. Brown dan
Levinson (1987: 103-129) menawarkan beberapa strategi untuk menyelamatkan
lawan tutur atau untuk mengurangi ancaman terhadap muka positif lawan tutur
commit to user
a) Strategy 1: Notice; attend to H (his interests, wants, deeds, goods) (“Memperhatikan minat, keinginan, kelakuan, barang-barang lawan tutur”).
Penggunaan strategi ini misalnya penutur memperhatikan kondisi lawan
tutur yang meliputi segala perubahan secara fisik, kepemilikan barang-barang
tertentu dan lain-lain. Contoh:
(12) Goodness you cut your hair! (…) By the way, I came to borrow some flour.
(“Wah, baru saja potong rambut ya… Omong-omong saya datang untuk
meminjam sedikit tepung terigu”) (Brown dan Levinson, 1987: 103).
b) Strategy 2: exaggerate (interest, approval, sympathy with H) (“Melebih -lebihkan rasa ketertarikan, persetujuan, simpati terhadap lawan tutur”).
contoh:
(13) What a fantastic garden you have! (“Kebun anda betul-betul luar biasa
bagusnya”) (Brown dan Levinson, 1987: 104).
c) Strategy 3: Intensify interest to H (”Meningkatkan rasa tertatik terhadap lawan tutur”)
Misalnya pada suatu interaksi, penutur suka menyelipkan sisipan
ungkapan dan juga pertanyaan-pertanyaan yang tujuannya hanya untuk membuat
lawan tutur lebih terlihat pada interaksi tersebut, misalnya
(14) You know (”Anda tahu kan”),
d) Strategy 4: use in group identity markers (“Menggunakan penanda yang menunjukkan kesamaan jati diri atau kelompok,”)
Contoh:
(15) “Help me with this bag, will you (son, love, mate, friend)? (“Bantu saya
commit to user
e) Strategy 5: Seek agreement (”Mencari dan mengusahakan persetujuan dengan lawan tutur”)
Contoh:
(16) A: “I had a flat tyre on the way home”
(“Dalam perjalanan pulang ban saya kempes”)
B: Oh God, a flat tyre!
(”Masya Allah, bannya kempes!”) (Brown dan Levinson, 1987: 113).
f) Strategy 6: Avoid disagreement (”Menghindari pertentangan dengan lawan tutur”)
Contoh:
(17) A: What is she, small?
(“Bagaimanakah dia, badannya kecil?”)
B: Yes, yes she’s small, smallish, um, not really small but certainly not
very big.
(“Ya, memang kecil, tapi sebenarnya tidak terlalu kecil dan tidak juga
terlalu besar”) (Brown dan Levinson, 1987: 114).
g) Strategy 7: Presuppose/raise/assert common ground (“Mempresuposisikan
atau menimbulkan persepsi sejumlah persamaan penutur dan lawan tutur”)
Contoh:
(18) A: Oh, this cut hurts awfully, Mum
(“Oh luka ini sakit sekali, ma”)
B: Yes dear, it hurts terribly, I know.
(“Ya sayang, memang sakit sekali, saya tahu”) (Brown dan Levinson,
commit to user
h) Strategy 8: Joke (“membuat lelucon”), Contoh:
(19) Ok if tackle those cookies now? (“Tidak masalah kan, kalau kue itu saya
habisi saja?”) (Brown dan Levinson, 1987: 124).
i) Strategy 9: Assert or presuppose S’s knowledge of and concern for H’s wants
(“Mempresuposisikan atau membuat persepsi bahwa penutur memahami
keinginan lawan tuturnya”)
Contoh:
(20) I know you can’t bear parties, but this one will really be good - do come!
(“Ya, saya tahu kamu tidak suka pesta, tetapi pesta ini betul-betul baik.
Datanglah!”) (Brown dan Levinson, 1987: 125).
j) Strategy 10: Offer, promise (“Membuat penawaran dan janji”) Contoh:
(21) I’ll drop sometime next week. (“Saya akan singgah kapan-kapan minggu
depan”) (Brown dan Levinson, 1987: 125).
k) Strategy 11: Be optimistic (“Menunjukkan rasa optimisme”) Contoh:
(22) You will lend me your lawnmower for the weekend. ( I hope) (“Anda pasti
dapat meminjamkan mesin pemotong rumput akhir pekan ini, saya yakin”)
(Brown dan Levinson, 1987: 126).
l) Strategy 12: Include both S and H in the activity (“Berusaha melibatkan lawan tutur dan penutur dalam suatu kegiatan tertentu. Bisa kan?”)
Contoh: