• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Efisisensi Ekonomi Armada Perikanan Tangkap Kincang di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Pendekatan Data Envelopment Analysis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Efisisensi Ekonomi Armada Perikanan Tangkap Kincang di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Pendekatan Data Envelopment Analysis)"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EFISIENSI EKONOMI

ARMADA PERIKANAN TANGKAP KINCANG

DI PELABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

(PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS)

IRFAN NUGRAHA

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Efisiensi Ekonomi Armada Perikanan Tangkap Kincang di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Pendekatan Data Envelopment Analysis) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Hasil riset mahasiswa merupakan kolaborasi dengan dosen. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Oktober 2013

(4)
(5)

ABSTRAK

IRFAN NUGRAHA. Analisis Efisiensi Ekonomi Armada Perikanan Tangkap Kincang di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Pendekatan Data Envelopment Analysis). Dibimbing oleh AKHMAD FAUZI dan BENNY OSTA NABABAN.

Efisiensi ekonomi merupakan salah satu indikator dalam penerapan perikanan berkelanjutan. Analisis terhadap efisiensi ekonomi armada perikanan merupakan hal yang sangat penting, khususnya bagi para pengambil kebijakan dalam pengelolaan perikanan berbasis keberlanjutan. Penelitian ini dilakukan di Pelabuhanratu, Jawa Barat. Dalam penelitian ini fokus armada perikanan yang diteliti yaitu kapal kincang. Data yang digunakan merupakan data primer dan sekunder. Data Envelopment Analysis (DEA) digunakan untuk mengetahui efisiensi relatif antar waktu (Tipe I) dan antar armada perikanan (Tipe II). Untuk efisiensi relatif antar kapal digunakan juga 2 skenario yaitu maksimisasi output dan minimisasi input. Analisis DEA Tipe I menunjukan bahwa trajektori paling efisien terjadi pada tahun 2009 dan 2011 untuk output pendapatan, dan tahun 2008 untuk output produksi. Hasil DEA Tipe II dengan memasukan seluruh input dan output menghasilkan 10 DMU efisien, sedangkan DEA Tipe II dengan maksimisasi output dan minimisasi input masing-masing menghasilkan 2 DMU efisien.

Kata kunci: efisiensi ekonomi, data envelopment analysis, perikanan tangkap, kapal kincang, Pelabuhanratu, Jawa Barat

ABSTRACT

IRFAN NUGRAHA. Economic Efficiency Analysis of Fishing Fleet Kincang in Pelabuhanratu, Sukabumi District, West Java (Aproach of Data Envelopment Analysis). Supervised by AKHMAD FAUZI and BENNY OSTA NABABAN.

Economic efficiency is one of the indicators in the implementation of sustainable fisheries. Analysis of the economic efficiency of fishing fleets is of great importance, especially for policy makers in fisheries management based on sustainability. The research was conducted in Pelabuhanratu, West Java. This research examined the focus of the fishing fleet that is kincang ship. The data used are primary and secondary data. Data Envelopment Analysis (DEA) is used to determine the relative efficiency over time (Type I) and between fishing fleet (Type II). For the relative efficiency between vessels used also 2 scenarios that maximizing output and minimizing input. DEA analysis of Type I shows that the most efficient trajectory occurred in 2009 and 2011 by using revenue as output, and in 2008 with production. DEA results include Type II with all inputs and outputs produce 10 DMU efficient, while the DEA with Type II maximizing output produce 1 DMU efficient and minimizing input produce 2 DMU efficient.

(6)
(7)
(8)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKUTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

ANALISIS EFISIENSI EKONOMI

ARMADA PERIKANAN TANGKAP KINCANG

DI PELABUHANRATU, KABUPATEN SUKABUMI, JAWA BARAT

(PENDEKATAN DATA ENVELOPMENT ANALYSIS)

(9)
(10)

Judul Skripsi : Analisis Efisisensi Ekonomi Armada Perikanan Tangkap Kincang di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Pendekatan Data Envelopment Analysis)

Nama : Irfan Nugraha

NIM : H44090063

Disetujui oleh,

Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc Pembimbing I

Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si Pembimbing II

Diketahui oleh,

Dr. Ir. Aceng Hidayat, M.T Ketua Departemen

(11)
(12)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan April 2013 ini adalah efisiensi ekonomi, dengan judul Analisis Efisiensi Ekonomi Armada Perikanan Tangkap Kincang di Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat (Pendekatan Data Envelopment Analysis).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Akhmad Fauzi, M.Sc dan Bapak Benny Osta Nababan, S.Pi, M.Si selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala dan Staf Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orang tua saya H. Hidayat dan Hj. Sidi Nurhayati, adik-adik Faidil Hadi dan Hazrina Khairani, serta Rizki Budi Utami atas segala doa, cinta dan kasih sayangnya. Tak lupa kepada Hilman Firdaus, Fajar Cahya Nugraha, Galuh Mutdaman Toharmat, Siti Annisa Putri, Yulis Diana Yanthi, dan teman-teman ESL 46 lainnya serta seluruh keluarga besar Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan yang saya cintai atas pengalaman yang tak terlupakan selama tiga tahun bersama.

Bogor, Oktober 2013

(13)

DAFTAR ISI

2.3. Ekonomi Tangkap Lebih dan Kapasitas Perikanan ... 9

2.3.1. Tangkap Lebih Secara Ekonomi (Economic Overfishing) ... 9

2.3.2. Kapasitas Perikanan ... 10

2.4. Pengukuran Kinerja ... 10

2.5. Konsep Pengukuran Efisiensi ... 13

2.6. Data Envelopment Analysis ... 14

2.6.1. Keterbatasan DEA ... 15

4.3. Metode Pengambilan dan Pengumpulan Data ... 24

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data ... 24

4.4.1. Analisis Deskriptif... 24

(14)

V. GAMBARAN UMUM ... 27

5.1. Letak Geografis dan Topografi ... 27

5.2. Kondisi Oseanografis... 27

5.3. Kondisi Iklim dan Musim ... 28

5.6. Musim dan Daerah Penangkapan Ikan ... 31

5.7. Kondisi Umum Armada Perikanan Tangkap Kincang di Pelabuhanratu ... 32

VI. KARAKTERISTIK ARMADA PERIKANAN TANGKAP KINCANG 35

6.1.Karakteristik Nelayan ... 35

6.2.Karakteristik Kapal Kincang ... 37

6.3. Sistem Bagi Hasil ... 40

6.4. Sistem Penangkapan ... 40

6.5. Biaya Pemeliharaan Kapal dan Alat Tangkap ... 41

VII. ANALISIS EFISIENSI EKONOMI ARMADA PERIKANAN TANGKAP KINCANG ... 43

7.1.Data Envelopment Analysis Tipe I (Maximizing Output) ... 43

7.2.Data Envelopment Analysis Tipe II ... 48

7.2.1. Skenario 1: Maksimisasi Output (Maximizing Output) ... 51

7.2.2. Skenario 2: Minimisasi Input (Minimizing Input) ... 57

VIII. SIMPULAN DAN SARAN ... 63

8.1.Simpulan ... 63

8.2.Saran ... 63

DAFTAR PUSTAKA ... 65

LAMPIRAN ... 69

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor ... Halaman 1 Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Indonesia Tahun

2001-2011 ... 2

2 Jumlah Penduduk Kecamatan Pelabuhanratu Tahun 2011 ... 29

3 Perkembanggan Jumlah Kapal yang Menggunakan PPN Pelabuhanratu sebagai Fishing Base Periode 2002-2011 ... 29

4 Perkembangan Jumlah Alat Tangkap yang Beroperasi di Perairan Teluk Pelabuhanratu ... 30

5 Perkembangan Jumlah Nelayan di Perairan Teluk Pelabuhanratu Periode 2002-2006 ... 31

6 Perkembangan Jumlah Kapal Kincang Yang Menggunakan PPN Pelabuhanratu Periode 2002-2011 ... 32

7 Perkembangan Produksi Kapal Kincang Yang Menggunakan PPN Pelabuhanratu Periode 2007 - 2011 ... 33

8 Nilai Produksi dan Pendapatan (Aktual dan Proyeksi) ... 44

9 Skor Efisiensi Perikanan Tangkap Kincang Tahun 2007-2011 dengan Output yang Berbeda ... 48

10 Skenario Analisis DEA ... 51

11 Skor Efisiensi DMU dengan Skenario 1 ... 52

12 Aktual dan Target Rente DMU dengan Skenario I ... 55

13 Aktual dan Target Jumlah Trip DMU dengan Skenario I ... 55

14 Aktual dan Target Biaya Operasional Total DMU dengan Skenario 1 ... 56

15 Skor Efisiensi DMU dengan Skenario 2 ... 57

16 Aktual dan Target Rente dengan Skenario 2 ... 60

17 Aktual dan Target Produksi dengan Skenario 2 ... 61

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1 Grafik Jumlah Kapal/Perahu Perikanan Yang Menggunakan PPN

Pelabuhan Ratu Periode 1993-2011 ... 3

2 Ukuran Utama Kapal ... 8

3 Kerangka Pemikiran Operasional ... 21

4 Lokasi Pengambilan Data ... 23

5 Sebaran Usia Nelayan Kapal Kincang ... 35

6 Tingkat Pendidikan Nelayan Kapal Kincang ... 36

7 Pengalaman Nelayan Kapal Kincang ... 36

8 Jumlah Trip Kapal Kincang Tahun 2012 ... 37

9 Sketsa Struktur Kapal Kincang ... 38

10 Kapal Kincang ... 39

11 Alat Tangkap Pancing Ulur... 40

12 Perbandingan Perubahan Efisiensi Tahun 2007-2011 antara Output Produksi dengan Pendapatan ... 43

13 Perbandingan Perubahan Efisiensi Tahun 2007-2011 antara Output Proyeksi Produksi dengan Proyeksi Pendapatan ... 44

14 Plot Analisis Frontier DEA Tipe I di Pelabuhanratu, 2007-2011 ... 45

15 Diagram Pie Total Potential Improvement DEA Tipe I dengan Maximizing Output di Pelabuhanratu, 2007-2011 ... 47

16 Plot Efisiensi dengan Rente Armada Perikanan Kincang di Pelabuhanratu, 2012 ... 49

17 Plot Efisiensi dengan Produksi Armada Perikanan Kincang di Pelabuhanratu, 2012 ... 49

18 Diagram Pie Total Potential Improvement Armada Perikanan Tangkap Kincang dengan Memasukan Input dan Output dalam Analisis DEA, Pelabuhanratu, 2012 ... 50

19 Distribusi Skor dari DMU Armada Perikanan Tangkap Kincang, Pelabuhanratu, 2012 ... 50

(17)

21 Diagram Pie Total Potential Improvement Skenario 1 pada Armada

Perikanan Tangkap Kincang di Pelabuhanratu, 2012... 53 22 Plot Analisis Frontier dengan Skenario 1 pada Armada Perikanan Tangkap

Kincang di Pelabuhanratu, 2012 ... 54 23 Distribusi Skor dari DMU dengan Skenario 2 di Pelabuhanratu, 2012 ... 58 24 Diagram Pie Total Potential Improvement Skenario 2 pada Armada

Perikanan Tangkap Kincang di Pelabuhanratu, 2012... 59 25 Plot Analisis Frontier dengan Skenario 2 pada Armada Perikanan Tangkap

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1 Jadwal Kegiatan Penelitian 2013 ... 71

2 Kuesionar Penelitian ... 72

3 Peta Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu ... 75

4 Data Responden ... 76

5 Spesifikasi Kapal Kincang ... 77

6 Spesifikasi Operasi Kapal Kincang ... 79

7 Rincian Biaya Kapal Kincang ... 82

8 Spesifikasi Operasional Kapal Kincang ... 84

9 Jumlah Trip Kapal Kincang Tahun 2012 ... 86

10 Jumlah Produksi per Bulan di Tahun 2012 ... 88

11 Input dan Output DEA Tipe I ... 92

12 Input dan Output DEA Tipe II ... 93

13 Hasil Analisis DEA Tipe I ... 95

14 Hasil Analisis DEA Tipe II dengan Memasukan Seluruh Output dan Input ... 97

15 Hasil Analisis DEA Tipe II dengan Skenario Maximizing Output ... 103

16 Hasil Analisis DEA Tipe II dengan Skenario Minimizing Input ... 105

(19)
(20)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Ikan merupakan salah satu komoditi yang berperan penting dalam kehidupan manusia. Di negara berkembang seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Peru, produksi dari perikanan selain bisa digunakan untuk konsumsi pemenuhan kebutuhan protein hewani, juga merupakan sumber penghasilan negara (devisa) berupa ekspor (Fauzi 2010).

Wilayah kedaulatan dan yuridiksi Indonesia terbentang dari 6o08’ LU hingga 11o15’ LS, dan dari 94o45’ BT hingga 141o05’ BT terletak di posisi geografis sangat strategis, karena menjadi penghubung dua samudera dan dua benua, Samudera Hindia dengan Samudera Pasifik, dan Benua Asia dengan Benua Australia. Kepulauan Indonesia terdiri dari 17.504 pulau besar dan pulau kecil dan memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km, serta luas laut terbesar di dunia yaitu 5,8 juta km2. Wilayah laut Indonesia terdiri dari laut teritorial dengan luas 0,8 juta km2, laut nusantara 2,3 juta km2, dan zona ekonomi eksklusif 2,7 juta km2. Luas laut Indonesia adalah tiga kali luas daratannya. Dengan kondisi tersebut dimasa yang akan datang, kontribusi dari sektor perikanan selayaknya lebih besar dibanding sektor tanaman pangan ataupun peternakan (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2009).

Potensi lestari sumber daya ikan (MSY) dari segala jenis ikan sekitar 6,4 juta ton per tahun sedangkan jumlah tangkap yang diperbolehkan perusahaan (TAC) diperkirakan mencapai 80 persen yaitu sekitar 5,12 juta ton per tahun. Selain itu, ada juga potensi yang besar untuk budidaya, perairan umum perikanan serta pengembangan bioteknologi kelautan (Kementerian Kelautan dan Perikanan & Japan International Cooperation Agency, 2011).

(21)

Tabel 1 Produksi dan Nilai Produksi Perikanan Tangkap di Indonesia Tahun 2001-2011

Tahun Produksi (Ton) Nilai (Rupiah)

2001 3.966.480 22.154.235.830

2002 4.073.506 24.741.519.513

2003 4.383.103 26.641.072.151

2004 4.320.241 29.110.268.823

2005 4.408.499 33.255.308.006

2006 4.512.191 37.162.917.780

2007 4.734.280 45.025.650.747

2008 4.701.933 46.598.552.733

2009 4.812.235 49.527.135.768

2010 5.039.446 59.580.474.171

2011 5.345.729 64.452.537.439

Sumber: Kementerian Kelautan Perikanan, 2011 (Diolah)

Salah satu masalah terbesar yang dihadapi perikanan tangkap di Indonesia adalah tangkap lebih (overfishing) dan kapasitas lebih (over dan excess capacity). Overfishing pada hakikatnya adalah penangkapan ikan yang melebihi kapasitas stok (sumber daya), sehingga stok memproduksi pada tingkat maximum sustainable yield menurun (Fauzi 2010). Overfishing sebagian besar disebabkan karena ekspansi penangkapan yang berlebihan yang dipicu oleh rezim yang bersifat open access, dimana sumber daya dapat dimanfaatkan tanpa adanya hambatan. Tidak adanya pengendalian menyebabkan terjadinya eskalasi pada penangkapan ikan dan ekstrasi yang berlebihan terhadap sumber daya ikan. Kombinasi peningkatan jumlah kapal, perbaikan dalam teknologi penangkapan dan ekspansi upaya ini kemudian menyebabkan terjadinya fenomena kapasitas lebih, baik dalam jangka pendek (excess capacity) maupun jangka panjang (over capacity) (Fauzi 2010).

(22)

Sumber: PPN Pelabuhanratu, 2012

Gambar 1 Grafik Jumlah Kapal/Perahu Perikanan Yang Menggunakan PPN Pelabuhan Ratu Periode 1993-2011

(23)

1.2. Perumusan Masalah

Salah satu subsektor penting yang dapat dimanfaatkan dan harus dikelola dengan baik dari alam Indonesia ini adalah subsektor perikanan tangkap. Perikanan tangkap merupakan salah satu bagian penting yang dapat menggerakan perekonomian Indonesia dalam skala yang besar, namun hingga kini perikanan tangkap Indonesia dengan potensi besarnya belum mampu berbicara banyak bagi pendapatan Negara.

Potensi perikanan Indonesia adalah yang terbesar di dunia. Secara keseluruhan mencapai 65 juta ton, yang terdiri dari 7.3 juta ton pada sektor perikanan tangkap dan 57.7 juta ton pada sektor perikanan budidaya. Namun, baru 9 persen atau sekitar 6 juta ton yang sudah dimanfaatkan. Hingga saat ini Indonesia menempati urutan ke 12 untuk negara pengekspor produk perikanan. Posisinya berada di bawah Vietnam dan Thailand yang sebenarnya memiliki sumber daya terbatas dan jauh di bawah Indonesia (Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2009). Potensi perikanan yang begitu besar mendorong para pelaku usaha perikanan untuk berlomba-lomba mengeruk keuntungan dari laut Indonesia. Hal ini membuat pertambahan jumlah kapal/perahu yang pesat. Di PPN Pelabuhanratu tercatat tahun 2011 merupakan tahun dimana kapal kincang memiliki jumlah unit terbanyak yaitu sebesar 366 unit. Bandingkan dengan tahun 2002 yang hanya mencapai 204 unit, artinya dalam kurun waktu 9 tahun pertumbuhan kapal kincang mencapai 79%. Tentu hal ini membuat semakin sesaknya perairan Teluk Pelabuhanratu oleh kapal kincang. Perlombaan ini membuat semakin sedikitnya ikan yang didapat bila menggunakan input normal, yang berarti perlu adanya tambahan input untuk tetap menghasilkan produksi yang sama dari sebelumnya.

Dari uraian tersebut maka diperlukan analisis mengenai efisiensi armada perikanan agar terciptanya pembangunan perekonomian berbasis perikanan yang efisien. Mengacu pada rumusan masalah diatas maka disusun pertanyaan sebagai berikut.

1. Bagaimana karakteristik armada perikanan tangkap kincang di Pelabuhanratu? 2. Bagaimana perubahan efisiensi penangkapan ikan oleh armada perikanan

(24)

3. Bagaimana tingkat efisiensi armada perikanan tangkap kincang ditinjau dari input dan output kegiatan penangkapan yang mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu pada tahun 2012 dengan menggunakan skenario minimizing input dan maximizing output?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengkaji karakteristik armada perikanan tangkap kincang di Pelabuhanratu. 2. Mengkaji perubahan efisiensi penangkapan ikan oleh armada perikanan

tangkap kincang di Pelabuhanratu dari tahun 2007-2011.

3. Menganalisis efisiensi armada perikanan tangkap kincang yang mendaratkan hasil tangkapannya di Pelabuhan Perikanan Nusantara Pelabuhanratu pada tahun 2012 dengan menggunakan skenario maximizing output dan minimizing input.

1.4. Ruang Lingkup Penelitian

(25)
(26)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Umum Perikanan

Hempel dan Pauly (2004) dalam Fauzi (2010), mendefinisikan perikanan sebagai kegiatan eksploitasi sumber daya hayati dari laut. Lebih luas lagi Lackey (2005) dalam Fauzi (2010) mendefinisikan perikanan sebagai suatu sistem yang terdiri dari tiga komponen yakni biota perairan, habitat biota, dan manusia sebagai pengguna sumber daya tersebut.

Secara umum, Merriam-Webster Dictionary dalam Fauzi (2010) mendefinisikan perikanan sebagai kegiatan, industri, atau musim pemanenan ikan atau hewan laut lainnya. Dalam artian yang luas, perikanan tidak saja diartikan aktivitas menangkap ikan (termasuk hewan invertebrata lainnya seperti finfish atau ikan bersirip) namun juga termasuk kegiatan mengumpulkan kerang-kerangan, rumput laut dan sumber daya hayati lainnya dalam suatu wilayah geografis.

Dalam konteks legal, Indonesia mengartikan perikanan melalui pengertian yang dituangkan dalam aturan perundang-undangan. Undang-Undang No 31 Tahun 2004 tentang perikanan yang diubah dalam UU No 45/2009 mendefinisikan perikanan sebagai berikut (Fauzi 2010): “semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan dan lingkungannya mulai dari praproduksi, produksi, pengolahan sampai dengan pemasaran, yang dilaksanakan dalam suatu sistem bisnis perikanan”.

2.2. Perikanan Tangkap

Perikanan tangkap adalah perikanan yang basis usahanya berupa penangkapan ikan di laut maupun di perairan umum (PPN Pelabuhanratu 2012). Diniah (2008) mendefinisikan perikanan tangkap merupakan suatu kegiatan ekonomi dalam memanfaatkan sumberdaya alam, khususnya penangkapan dan pengumpulan berbagai jenis biota yang ada di lingkungan perairan.

(27)

2.2.1. Kapal Perikanan

Kapal penangkapan ikan merupakan satu unsur yang tidak dapat terpisahkan dalam kesatuan unit penangkapan ikan dengan alat tangkap dan nelayan. Kapal penangkapan ikan memiliki ragam kontruksi dan ukurannya.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 1, kapal perikanan adalah kapal, perahu, atau alat apung lain yang dipergunakan untuk melakukan penangkapan ikan, mendukung operasi penangkapan ikan, pembudidaya ikan, pengangkutan ikan, pengolahan ikan, pelatihan perikanan, dan penelitian/eksplorasi perikanan. Ukuran utama kapal adalah panjang-L, lebar-B, tinggi-D dan draft-d (Gambar 2)

Sumber: Diniah (2008)

Gambar 2 Ukuran Utama Kapal

Berdasarkan Statistik Kelautan dan Perikanan Indonesia, kapal perikanan terdiri atas kapal penangkapan ikan dan kapal pengangkut. Kapal penangkapan ikan dikelompokkan menjadi Perahu Tanpa Motor, Perahu Motor Tempel, dan Kapal Motor.

2.2.2. Alat Penangkapan Ikan

(28)

lines), perangkap & penghadang (trap & barrier), alat penangkapan ikan dengan penggiring (drive-in net), alat pengumpul (collecting gear), dan lain-lain.

2.3. Ekonomi Tangkap Lebih dan Kapasitas Perikanan

Fauzi (2010) menjelaskan bahwa salah satu masalah terbesar yang dihadapi perikanan tangkap adalah adanya tangkap lebih (overfishing) dan kapasitas lebih (over dan excess capacity). Kedua masalah ini saling terkait satu sama lain. Overfishing sebagian besar disebabkan oleh kegiatan penangkapan yang berlebihan. Hal ini dipicu oleh sifat sumberdaya perikanan yang open access.

2.3.1. Tangkap Lebih Secara Ekonomi (Economic Overfishing)

Tangkap lebih secara ekonomi atau economic overfishing pada hakikatnya adalah situasi dimana perikanan yang semestinya mampu menghasilkan rente ekonomi yang positif, namun ternyata menghasilkan rente ekonomi yang nihil oleh karena pemanfaatan input (effort) yang berlebihan (Fauzi 2010). Dengan menggunakan pendekatan Gordon-Schaefer, overfishing secara ekonomi dapat dijelaskan melalui pendekatan Clark (1990).

Model Gordon-Schaefer memiliki persamaan dinamika stok dan persamaan rente ekonomi lestari (sustainable rent):

= 1 − /� − � (2.1)

� = � − �� (2.2)

Diketahui bahwa keseimbangan stok dan effort pada open access dapat diketahui sebagai:

∞= (2.3)

dan

�∞ = 1 − (2.4)

(29)

2.3.2. Kapasitas Perikanan

Kapasitas perikanan adalah kemampuan komponen input perikanan (stok ikan dan modal lainnya) untuk menghasilkan output atau bisa juga diartikan sebagai kemampuan dari kapal atau armada perikanan untuk menangkap ikan (FAO, 1998). Sedangkan menurut Gréboval (2003), kapasitas perikanan adalah jumlah maksimum ikan yang ditangkap dalam periode waktu tertentu oleh suatu armada perikanan dalam kondisi pemanfaatan penuh (fully utilized) dengan kondisi biomas (stok ikan) dan teknologi yang ada. Seperti yang telah dijelaskan di atas, salah satu masalah yang cukup serius dalam perikanan adalah adanya fenomena kapasitas lebih atau over capacity dan excess capacity. Menurut Fauzi (2010), fenomena ini terjadi karena investasi yang tidak terkendali dalam perikanan serta sifat dari open access dalam pengelolaan perikanan. Pascoe dan Gréboval (2003) menjelaskan beberapa pemicu terjadinya kapasitas lebih ini antara lain:

1. Harga ikan yang relatif inelastic dianggap dapat mengkompensasi penurunan sumberdaya.

2. Dampak dari penambahan wilayah laut dan kebijakan nasionalisasi perikanan serta pemberian subsidi besar-besaran pada sector perikanan.

3. Kapasitas perikanan yang relatif mobile yang menyebabkan ekses capital bisa dipindahkan dari satu armada ke armada lainnya.

4. Perubahan pola industri bersifat kompetitif dan capital intensive. 5. Kegagalan kebijakan perikanan secara umum.

2.4. Pengukuran Kinerja

Perikanan tangkap merupakan salah satu kegiatan yang dapat diukur kinerjanya berdasarkan kegiatan yang telah dilaksanakan. Saat kegiatan tersebut berlangsung sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkan, tujuan serta sasaran yang ingin dicapai maka hal ini menggambarkan strategi yang telah dibuat oleh unit kapal tersebut.

Mukesh Jain (2001) menyebutkan lima manfaat adanya pengukuran kinerja, yaitu:

(30)

c. Pengukuran kinerja meningkatkan akuntabilitas publik

d. Pengukuran kinerja mendukung perencanaan strategi dan penetapan tujuan e. Pengukuran kinerja memungkinkan suatu entitas untuk menentukan penggunaan

sumberdaya secara efektif

Efisiensi dan efektifitas merupakan kombinasi yang memadai dari suatu kinerja. Efisiensi umumnya merujuk pada penggunaan minimum sejumlah input tertentu guna menghasilkan sejumlah output tertentu. Efisiensi di bidang perikanan tangkap memiliki arti bahwa sebuah unit kapal dituntut mampu menghasilkan tangkapan pada tingkat tertentu berdasarkan standar kualitas yang membatasinya, dengan menggunakan kombinasi minimum dari sumberdayanya. Sedangkan efektivitas berguna untuk mengevaluasi dampak (outcomes) dari kegiatan penangkapan yang bisa mempengaruhi efisiensi atau dipengaruhi oleh efisiensi sehingga berdampak pada kinerja armada kapal.

Dalam melakukan analisa perbandingan kinerja, kita dapat menghitungnya dengan berbagai metode, antara lain (Wulansari 2010):

A.Metode Parametrik: 1. Analisa Rasio

Merupakan metode yang paling sederhana dalam menghitung kinerja khususnya mengenai produktivitas/efisiensi. Pendekatan ini memberikan antara satu input dengan satu output. Kelemahan dari metode ini yaitu para pengambil kebijakan perikanan sering tidak dapat menunjukkan satu patokan yang konsisten untuk menggabungkan semua input dan output dalam suatu unit perikanan tangkap. 2. Regresi Least-Square (LSR)

Pendekat LSR dapat mengakomodasi banyak input dan output serta menghitung gangguan (noise) dengan mempergunakan derajat kesalahan (error). Manfaat dari LSR lainnya adalah bisa dipergunakan untuk mengukur perubahan teknis saat kita mempergunakan data deret waktu (time-series). Namun LSR juga memiliki kelemahan yaitu:

 LSR menggunakan ukuran tendensi terpusat (teknik rata-rata) sehingga tidak bisa diketahui hubungan yang paling efisien dari data yang diolah

(31)

 LSR mensyaratkan fungsi produksi pra-spesifikasi akibat formula parametriknya

3. Total Faktor Produktivitas (TFP)

TFP dihitung berdasarkan penggunaan index angka. Index angka bisa digunakan untuk mengukur harga dan perubahan kuantitas dari waktu ke waktu dan juga mengukur perbedaan antar unit-unit perikanan tangkap. Namun TFP tidak lazim digunakan pada perikanan tangkap karena tidak bisa dipergunakan untuk membandingkan lebih dari 2 unit pada saat yang bersamaan atau dari waktu ke waktu.

4. Stochastic Frontier Analysis (SFA)

SFA merupakan salah satu metode parametric yang bisa digunakan untuk menguji hipotesis. Teknik SFA mempergunakan kemungkinan maksimum perkiraan ekonometrik sehingga mampu mengidentifikasi gangguan yang bisa mempengaruhi nilai efisiensi.

B.Petode Non-Parametrik:

1. Data Envelopment Analysis (DEA)

DEA berasumsi bahwa tidak semua unit kerja memiliki kinerja yang efisien. DEA mengakomodasi banyak input dan output dalam perhitungan model program liniernya guna menghasilkan nilai tunggal efisien bagi setiap observasi. Nilai ini bisa digunakan untuk mengukur efisiensi teknis, skala efisiensi, dan efisiensi alokatif.

2. Free Disposable Hull (FDH)

(32)

tangkapannya. Pemilihan untuk menggunakan model non parametrik dalam menganalisa suatu kelompok data tergantung pada ketertarikan analis dan tujuan penganalisaannya.

2.5. Konsep Pengukuran Efisiensi

Untuk memahami sifat dari model DEA yang akan ditampilkan, maka kita perlu untuk memahami definisi dari pengukuran efisiensi. Hal ini juga akan memberikan manfaat dalam menganalisa penelitian lain yang berada pada lingkup area efisiensi. Pengukuran variabel-variabel dalam model harus mempertimbangkan pengaruhnya terhadap hasil tangkapan. Pengertian dan pengukuran dari output yang dihasilkan oleh armada perikanan bervariasi, tergantung dari jenis alat tangkap, ukuran kapal, jumlah ABK, dan lain-lain.

Dasar efisiensi adalah rasio antara output terhadap input. Dalam skripsi Wulansari (2010) menurut Yasar A. Ozcan (2008) ada beberapa cara untuk meningkatkan efisiensi antara lain dengan:

1. Meningkatkan output, 2. Meningkatkan input,

3. Atau jika kedua output dan input ditingkatkan, maka tingkat kenaikan untuk output harus lebih besar daripada tingkat kenaikan untuk input atau,

4. Jika kedua output dan input diturunkan, laju penurunan untuk output harus lebih rendah daripada tingkat penurunan untuk input.

Cara lain yang bisa digunakan untuk mencapai efisiensi yang lebih tinggi selain keempat cara diatas adalah dengan menerapkan teknologi manajemen yang dapat mengurangi input maupun meningkatkan kemampuan dalam menghasilkan lebih banyak output. Beberapa konsep mengenai efisiensi antara lain yang dikemukakan oleh Ramesh Bhat (2001) sebagai berikut:

1. Efisiensi teknis

(33)

lebih baik daripada semua unit lain yang disampel, maka bisa dikatakan bahwa unit ini telah efisien secara teknis.

2. Efisiensi alokatif

Berkaitan dengan meminimalkan biaya produksi dengan pilihan input yang tepat untuk menghasilkan suatu tingkat output tertentu dengan mempertimbangkan tingkat harga input, dengan asumsi bahwa unit yang diuji sudah sepenuhnya efisien secara teknis. Efisiensi alokatif dinyatakan sebagai skor persentase, dimana skor 100 persen menunjukkan bahwa unit telah menggunakan inputnya dalam proporsi yang akan meminimalkan biaya. Sebuah unit yang beroperasi pada praktek terbaik secara teknis masih bisa secara alokatif dikatakan tidak efisien karena tidak menggunakan input dalam proporsi yang meminimalkan biaya, pada harga input relatif tertentu.

3. Efisiensi keseluruhan

Berkaitan dengan kombinasi efisiensi teknis dan alokatif. Sebuah unit dikatakan melakukan efisien keseluruhan jika dia bisa efisien baik secara alokatif maupun secara teknis. Efisiensi keseluruhan dihitung sebagai produk dari nilai efisiensi teknis dan efisiensi alokatif (ditunjukkan dalam persentase), sehingga unit hanya dapat mencapai 100 persen nilai efisiensi keseluruhan jika telah mencapai 100 persen efisiensi baik teknis dan alokatif.

2.6. Data Envelopment Analysis

(34)

Data Envelopment Analysis menghitung efisiensi relatif pada sebuah unit yang berada dalam kelompok terhadap kinerja unit terbaik pada kelompok yang sama. DEA biasanya digunakan untuk mengukur efisiensi pelayanan yang diberikan oleh pemerintah, organisasi non profit maupun BUMN. Namun demikian DEA juga dapat digunakan untuk menilai performa suatu unit kapal dalam perikanan tangkap. Unit individual yang dianalisa ini di dalam DEA disimbolkan sebagai DMU (Decision Making Unit) atau unit pengambilan keputusan.

Dalam menerapkan model pendekatan DEA, terdapat asumsi-asumsi yang mendasarinya (Ramanathan, 2003) yaitu:

a. DMU harus merupakan unit-unit yang homogenis, yaitu memiliki fungsi dan tujuan yang sama.

b. Jumlah ukuran DMU dari unit-unit yang disampel besarnya 2 atau 3 kali penjumlahan input dan output.

Dengan menggunakan DEA, selain digunakan untuk mengidentifikasikan unit dengan kinerja terbaik, manajemen perikanan tangkap bisa juga menggunakannya untuk menemukan cara-cara alternatif guna mendorong unit armada perikanan tangkap lainnya agar menjadi unit berkinerja baik. Selain itu DEA dapat membantu para pengambil kebijakan perikanan tangkap untuk:

a. Menilai kinerja relatif perikanan tangkap dengan mengidentifikasi unit dengan kinerja terbaik di Pelabuhan Perikanan Nusantara.

b. Mengidentifikasi cara-cara untuk meningkatkan kinerja apabila armada perikanan mereka bukan termasuk golongan armada perikanan dengan kinerja terbaik.

2.6.1. Keterbatasan DEA

Selain kegunaannya yang besar di bidang perikanan tangkap DEA pun memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam pengaplikasiannya, antara lain (Fauzi 2013):

(35)

b. DEA adalah teknik nonparametrik/deterministik maka uji hipotesis statistik tidak dapat dilakukan.

c. Hasil pengolahan data dengan memanfaatkan model DEA dapat dengan baik memperkirakan efisiensi ”relatif” dari suatu DMU dibandingkan dengan DMU lainnya namun akan sulit bila menggunakan pendekatan DEA untuk menentukan nilai efisiensi ”mutlak” suatu DMU secara teoritis.

2.6.2. Kelebihan DEA

Beberapa karakteristik yang menjadikan pendekatan DEA merupakan alat yang berguna adalah:

a DEA dapat menangani beberapa input dan beberapa output.

b Tidak memerlukan sebuah asumsi bentuk fungsional untuk menghubungkan input dengan output.

c DMU-DMU secara langsung dapat dibandingkan dengan pembanding sebaya atau kombinasi dari sekumpulan pembanding sebaya (peer).

d Input dan output dapat memiliki unit yang sangat berbeda.

e DEA memberikan peringkat efisiensi berdasarkan data numerik dan tidak menggunakan opini subyektif dari seseorang.

2.7. Penelitian Terdahulu

Fauzi dan Anna (2002) melakukan penelitian mengenai Data Envelopment Analysis (DEA) Kapasitas Perikanan di Perairan Pesisir DKI Jakarta. Analisis DEA dibedakan menjadi 2 tipe. analisis DEA Tipe I menganalisis efisiensi dari alat tangkap yang digunakan oleh nelayan dengan pendekatan BCC (Banker Carnes Cooper) dan CCR (Carnes Cooper Rhodes). Pendekatan BCC menghasilkan 5 dari 8 alat tangkap memiliki skor 100, sedangkan pendekatan CCR menghasilkan 3 dari 8 alat tangkap yang efisien. Analisis DEA Tipe II menganalisis perilaku 2 alat tangkap demersal selama periode 10 tahun untuk melihat pola efisiensi kedua alat tangkap tersebut. Penelitian tersebut memperlihatkan bahwa trajektori paling efisien terjadi pada tahun 1998 dan 2000.

(36)

(semua data input dan output dimasukkan) terdapat 8 DMU yang efisiensinya mencapai 100%. Hal tersebut menunjukkan dari 7 nelayan yang menerima kredit modal ventura terdapat 6 yang telah mencapai efisiensi 100%, artinya kredit modal ventura memberikan dampak positif pada usaha perikanan tangkap di Kabupaten Tegal. Dengan menggunakan skenario maximizing output terdapat 2 nelayan yang efisiensinya mencapai 100%. Sedangkan dengan menggunakan skenario minimizing input terdapat pula 2 nelayan yang efisiensinya mencapai 100%. Secara umum kredit modal ventura memberikan pengaruh positif pada usaha perikanan tangkap di Kabupaten Tegal.

(37)
(38)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

Indonesia merupakan Negara kepulauan dimana 2/3 wilayahnya merupakan lautan yang membentang sepanjang Sabang hingga Merauke. Luasnya lautan Indonesia tentu memberikan keuntungan bagi Indonesia dalam sektor sumberdaya perikanan yang melimpah. Aktivitas penangkapan ikan tanpa adanya kebijakan yang memperhatikan keberlanjutan sumber daya perikanan dikhawatirkan dapat mengganggu kelestarian sumber daya perikanan di perairan. Jumlah kapal/perahu penangkap ikan yang cenderung terus bertambah di setiap tahunnya akan menciptakan crowded di perairan yang akan membuat overcapacity dalam perikanan tangkap. Sehingga jumlah tangkapan/produksi nelayan tidak optimal dan cenderung terus mengalami penurunan. Hal ini membuat para pelaku kegiatan perikanan tangkap mengalami inefisiensi dalam menangkap ikan.

Menurut Fauzi (2010), sumberdaya perikanan bersifat common property karena ikan di laut atau di sungai atau media lain yang tidak menjadi subjek kepemilikan seseorang menjadi objek yang disebut ferae naturae. Ferae Naturae adalah kondisi di mana hewan atau ikan memiliki sifat alamiah (wild by nature), tidak ada yang berhak mengklaim kepemilikannya dan kepemilikannya hanya berlaku ketika seseorang menangkapnya. Fauzi (2010) menjelaskan bahwa dalam konteks sumberdaya dengan kepemilikan yang jelas, maka produsen akan memanfaatkan seluruh sumberdaya input se-efisien mungkin untuk menghasilkan output dengan biaya yang paling minimum. Kepemilikan yang jelas juga membuat orang lain tidak dapat memanfaatkan sumberdaya tersebut. Sedangkan dalam perikanan tangkap sifat ferae naturae membuat siapa saja dapat menangkap ikan dan tanpa hak kepemilikan yang bisa dikukuhkan membuat nelayan tidak bisa mencegah nelayan lain. Hal ini memicu terjadinya persaingan antar nelayan sehingga mereka berlomba-lomba untuk mengeksploitasi sumberdaya perikanan tanpa menyadari akan terjadinya eksternalitas negatif dari kegiatan tersebut.

(39)

yang digunakan dan dihasilkan dari kegiatan perikanan yang dilakukan kapal kincang. Penilaian efisiensi dengan analisis rasio yang membandingkan hubungan antara output dan input tidak mungkin dilakukan dalam kegiatan perikanan tangkap yang multiple input dan output. Karena analisis rasio hanya memberikan informasi mengenai hubungan antara satu input dengan satu output. Data Envelopment Analysis (DEA) merupakan tools yang tepat bagi kegiatan perikanan yang memiliki multiple input dan output.

(40)

KERANGKA PEMIKIRAN

Sumber: Diadopsi dan dimodifikasi dari Nababan (2003) Sumberdaya Ikan

Input

Armada Perikanan di Pelabuhanratu

Output

Efisiensi Relatif

DEA Tipe I Analisis Deskriptif

Rekomendasi kebijakan agar terciptanya kegiatan penangkapan ikan yang efisien

Gambar 3 Kerangka Pemikiran Operasional

: Mempengaruhi

: Fokus Penelitian DEA Tipe II

Maximizing Output

Minimizing Input

Analisis Efisiensi Kegiatan Perikanan Tangkap Armada Kincang Overcapacity

Efisiensi Armada Kapal Kincang

(41)
(42)

IV. METODE PENELITIAN

4.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Pengambilan data primer dan sekunder untuk keperluan penelitian ini dilakukan di Pelabuhanratu, khususnya di Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) Pelabuhanratu dan lingkungan sekitar PPN Pelabuhanratu, Kabupaten Sukabumi. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan kelengkapan data dan PPN Pelabuhanratu sebagai salah satu Pelabuhan dengan tingkat pendaratan hasil perikanan tangkap yang cukup tinggi. Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan Maret – September 2013.

Sumber: Google Maps (2012)

Gambar 4 Lokasi Pengambilan Data

4.2. Jenis dan Sumber Data

(43)

4.3. Metode Pengambilan dan Pengumpulan Data

Teknik pengambilan sampel pada penelitian ini dilakukan dengan cara simple random sampling (pengambilan contoh acak). Dimana populasi (armada kapal) terdiri dari unit-unit seragam (homogeneous) dipilih secara acak. Kemudian dicocokan dengan database guna memperoleh populasi yang terdaftar di PPN Pelabuhanratu untuk mencegah adanya unit kapal ilegal atau tidak terdaftar yang terhitung dalam penelitian.

4.4. Metode Pengolahan dan Analisis Data

4.4.1. Analisis Deskriptif

Analisis deskriptif menjelaskan mengenai armada perikanan tangkap kincang. Analisis ini dilakukan dengan menanyakan langsung kepada dinas terkait dan nelayan mengenai spesifikasi input serta output yang digunakan dan dihasilkan dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan.

4.4.2. Data Envelopment Analysis (DEA)

Data Envelopment Analysis (DEA) merupakan metode yang dapat diterapkan untuk menganalisa kapasitas perikanan. DEA merupakan salah satu bentuk pendekatan nonparametrik yang dapat diandalkan untuk aplikasi yang luas dan mudah dilakukan berkaitan dengan definisi ekonomi-teknologi yang terfokus pada kapasitas output, serta tidak memerlukan data yang mahal (Fauzi dan Anna 2005).

Pendekatan yang dilakukan metode DEA berorientasi pada output dan input. Metode ini pertama kali dikembangkan oleh Charnes, Cooper, dan Rhodes (1987) atau dikenal sebagai CCR, dan kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Färe, et. al. (1989, 1994) dan disarankan untuk perikanan oleh Kirkley dan Squires (1998).

DEA merupakan pengukuran efisiensi yang bersifat bebas nilai (value free) karena didasarkan pada data yang tersedia tanpa harus mempertimbangkan penilaian dari pengambil keputusan (Korhumen et. al., 1998). Teknik ini didasarkan pada pemrograman matematis atau mathematical programming untuk menentukan solusi optimal yang berkaitan dengan sejumlah kendala.

(44)

atau ukuran kapal, larangan menangkap pada waktu tertentu (ketika terjadi pencemaran, misalnya), dan kendala sosio-ekonomi lainnya. Keistimewaan DEA yang lain adalah kemampuan dalam mengakomodasi multiple outputs dan multiple inputs. DEA juga dapat menentukan tingkat potensial maksimum dari effort atau variabel input secara umum dan laju utilisasi optimalnya (Fauzi dan Anna 2002).

Pengukuran efisiensi pada dasarnya merupakan rasio antara output dan input (Fauzi dan Anna 2002):

� � � � � = (4.1)

Pengukuran efisiensi ini tidak tepat apabila kita berhadapan dengan data multiple inputs dan outputs yang berkaitan dengan sumber daya, faktor aktivitas dan lingkungan yang berbeda. Meskipun pengukuran efisiensi yang menyangkut multiple input dan output dapat diatasi dengan menggunakan efisiensi relatif yang dibobot, namun pengukuran tersebut tetap memiliki keterbatasan berupa sulitnya menentukan bobot yang seimbang untuk input dan output (Fauzi dan Anna 2002).

Di dalam DEA, efisiensi diartikan sebagai target untuk mencapai efisiensi maksimum, dengan kendala relatif efisiensi seluruh unit tidak boleh melebihi 100%. Secara matematis, efisiensi dalam DEA merupakan solusi dari persamaan berikut (Fauzi dan Anna 2002):

(45)

output yang dihasilkan berupa rente dan produksi. Hasil analisis DEA dapat dijabarkan dalam bentuk grafik melalui apa yang disebut Efficiency Frontier.

(46)

V. GAMBARAN UMUM

5.1. Letak Geografis dan Topografi

Pelabuhanratu merupakan salah satu kecamatan yang termasuk wilayah Kabupaten Sukabumi. Secara geografis, Kabupaten Sukabumi berada pada posisi 6057’ – 7025 LS dan 106049’ – 107000’ BT, sedangkan Pelabuhanratu berada pada

6057’ – 7007’ LS dan 106022’ – 106033’ BT. Pelabuhanratu memiliki luas wilayah sebesar 27.210,13 Ha atau sekitar 6,59% dari total luas Kabupaten Sukabumi. Kecamatan Pelabuhanratu terbagi ke dalam 13 desa yaitu, Citepus, Tanjong, Cikadu, Citarik, Pasirsuren, Cidadap, Loji, Cibuntu, Mekarasih, Kertajaya, Cihaur, Buniwangi dan Cibodas. Secara administratif, Pelabuhanratu berbatasan dengan Kecamatan Cikidang di sebelah utara, Kecamatan Ciemas di sebelah selatan, Kecamatan Warung Kiara di sebelah timur, dan Samudera Hindia disebelah barat.

Topografi wilayah pelabuhan ratu umumnya bertekstur kasar yang sebagian besar wilayahnya merupakan dataran bergelombang dan terdiri atas daerah perbukitan, daerah aliran sungai dan pantai. Topografi dasar laut dapat terlihat pada perairan hingga kedalaman 200 m dapat dijumpai pada jarak 300 m dari garis pantai dan dasar pantai menurun hingga kedalaman < 600 m di bagian tengah teluk (Pariwono et al. 1988).

5.2. Kondisi Oseanografis

Wilayah pesisir Teluk Pelabuhanratu memiliki karakteristik yang mirip dengan Samudera Hindia. Perbedaannya, wilayah pesisir Teluk Pelabuhanratu berbentuk teluk sehingga terlindungi. Karakteristik Samudera Hindia bercirikan ombak besar, bathimeter laut dalam dan tinggi gelombang dapat mencapai lebih dari 3 meter. Keadaan arus pada perairan dipengaruhi oleh pasang surut, angin, densitas serta pengaruh masukan air dari muara sungai. Arus Pantai Selatan Jawa pada bulan Februari sampai dengan Juni bergerak ke arah timur dan bulan Juli sampai dengan Januari bergerak ke arah barat (Pariwono et al 1988).

(47)

Menurut Pariwono et al. (1988) salinitas di perairan Palabuhanratu berkisar antara 32,33 – 35,96 ppt dengan tingkat tertinggi terjadi pada bulan Agustus, September dan Oktober, sedangkan terendah terjadi pada bulan Mei, Juni dan Juli. Kisaran suhu di Perairan Palabuhanratu berkisar antara 270C – 300C. Tinggi gelombang di Perairan Palabuhanratu dapat berkisar antara 1 – 3 meter (Pariwono et al. 1988).

5.3. Kondisi Iklim dan Musim

Kondisi iklim tropis di wilayah pesisir Teluk Pelabuhanratu Kabupaten Sukabumi dipengaruhi oleh musim angin barat yang bertiup dari timur ke barat, dan musim angin timur yang bertiup dari barat ke timur. Musim angin barat bertiup dari bulan Desember sampai dengan bulan Maret, sedangkan angin timur berlangsung antara bulan Juni sampai dengan bulan September. Curah hujan tahunan di pesisir Teluk Pelabuhanratu dan sekitarnya berkisar antara 2.500 – 3.500 mm per tahun dan hari hujan antara 110 – 170 hari per tahun. Suhu udara di sekitar wilayah ini berkisar antara 18o– 30o C dan memiliki kelembaban udara yang berkisar antara 70 – 90 %.

5.4. Kondisi Demografi

Ibukota Kabupaten Sukabumi terletak di Pelabuhanratu, hal ini membuat Pelabuhanratu menjadikannya konsentrasi pemukiman di Kabupaten Sukabumi. Pemilihan Pelabuhanratu sebagai ibukota kabupaten sendiri meninjau dari pertumbuhan dan aktivitas ekonomi yang ada di Pelabuhanratu. Kecamatan Pelabuhanratu merupakan salah satu kecamatan yang memiliki tingkat pendapatan yang cukup tinggi dari sisi aktivitas perekonomiannya. Mayoritas penduduk Pelabuhanratu berprofesi sebagai petani dan nelayan.

(48)

Tabel 2 Jumlah Penduduk Kecamatan Pelabuhanratu Tahun 2011

Sumber: Data Kependudukan Kecamatan Pelabuhanratu, 2011

5.5. Unit Penangkapan Ikan

Dalam satu unit penangkapan ikan terdiri atas kapal, alat tangkap dan nelayan yang mengoperasikan. Unit penangkapan ikan tersebut merupakan suatu kesatuan teknik dalam operasi penangkapan ikan.

5.5.1. Kapal

Kapal yang beroperasi di Perairan Teluk Pelabuhanratu diklasifikasikan menjadi dua, yaitu perahu motor tempel dan kapal motor (Tabel 3). Alat tangkap yang dioperasikan menggunakan kapal motor antara lain, tuna longline, gillnet, purse seine dan payang, serta digunakan juga pada kapal angkutan bagan. Perahu motor tempel merupakan perahu yang dalam pengoperasiannya, mesin diletakkan di luar badan kapal (outboard). Umumnya perahu motor tempel digunakan untuk mengoperasikan alat tangkap pancing dan jaring rampus.

Tabel 3 Perkembanggan Jumlah Kapal yang Menggunakan PPN Pelabuhanratu sebagai Fishing Base Periode 2002-2011

Tahun

Kapal/Perahu Perikanan (Kondisi Maksimum)

(49)

Tahun

Kapal/Perahu Perikanan (Kondisi Maksimum)

Jumlah Kapal/Perahu

Sumber: PPN Pelabuhanratu (2002-2011)

Berdasarkan laporan tahunan statistik PPN Pelabuhanratu, jumlah kapal yang beroperasi di Perairan Teluk Pelabuhanratu pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 30,23% atau 253 unit kapal. Adanya kenaikan jumlah kapal ini menyebabkan kenaikan terhadap kebutuhan logistik BBM sebesar 32,24%.

5.5.2 Alat Tangkap

Armada perikanan yang menggunakan PPN Pelabuhanratu sebagai fishing base memiliki beragam jenis alat tangkap untuk menangkap ikan. Jenis alat tangkap yang digunakan antara lain, pancing, gillnet, payang, bagan, rawai, purse seine, trammel net, rampus dan tuna longline.

Sejak tahun 2002 jumlah alat tangkap terus mengalami peningkatan hingga puncaknya terjadi pada tahun 2007 yaitu sebanyak 1.329 unit. Namun semenjak itu jumlah alat tangkap terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011, jumlah alat tangkap mengalami penurunan sebesar 15,27% dari tahun sebelumnya. Perkembangan jumlah alat tangkap yang beroperasi di Perairan Teluk Pelabuhanratu dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Perkembangan Jumlah Alat Tangkap yang Beroperasi di Perairan Teluk Pelabuhanratu

Tahun Jumlah Alat Tangkap (Unit)

(50)

Tahun Jumlah Alat Tangkap (Unit)

2010 491

2011 416

Sumber: PPN Pelabuhanratu (Tahun 2002-2006)

5.5.3 Nelayan

Nelayan di Pelabuhanratu dikelompokan menjadi dua, yaitu nelayan pemilik dan buruh. Nelayan pemilik adalah nelayan yang memiliki armada penangkapan dan membiayai operasi penangkapan. Nelayan buruh adalah nelayan yang langsung terlibat dalam operasi penangkapan ikan. Perkembangan jumlah nelayan di Perairan Teluk Pelabuhanratu dapat dilihat dalam Tabel 5.

Tabel 5 Perkembangan Jumlah Nelayan di Perairan Teluk Pelabuhanratu Periode 2002-2006

Tahun Nelayan (Orang) Perkembangan (%)

2002 2.519 -

Sumber: PPN Pelabuhanratu (Tahun 2002-2011)

Selama periode 2002-2011 jumlah serta perkembangan tertinggi terjadi pada tahun 2007 yaitu sebesar 5.994 orang dengan perkembangan 37,38% dari tahun sebelumnya.

5.6. Musim dan Daerah Penangkapan Ikan

(51)

Daerah operasi penangkapan ikan tergantung dari target tangkapan, jenis alat tangkap, keadaan cuaca dan pengalaman yang dimiliki. Nelayan Pelabuhanratu memiliki daerah operasi disekitar Teluk Pelabuhanratu, Cilacap dan Banten.

5.7. Kondisi Umum Armada Perikanan Tangkap Kincang di Pelabuhanratu

Armada perikanan tangkap kincang merupakan kapal kecil yang berukuran 2 GT dengan nelayan yang mengoperasikan berkisar 2-3 orang. Kapal kincang yang beroperasi di Pelabuhanratu umumnya menggunakan alat tangkap pancing ulur dan atau jaring rampus. Komoditi utama yang menjadi target dari kapal kincang yang menggunakan pancing ulur adalah ikan layur. Sedangkan target komoditi utama kapal kincang yang menggunakan jaring rampus adalah ikan tembang. Jumlah kapal kincang sejak tahun 2002 hingga 2011 mengalami peningkatan dan penurunan seperti yang terlihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Perkembangan Jumlah Kapal Kincang Yang Menggunakan PPN Pelabuhanratu Periode 2002-2011

Tahun

Perahu Motor Tempel Kincang Mengunakan

Pancing Ulur

Menggunakan

Jaring Rampus Total Unit Kapal

2002 - - 204

Sumber: PPN Pelabuhanratu (2002-2011)

Tahun 2011 jumlah kapal kincang yang menggunakan PPN Pelabuhanratu mencapai jumlah tertingginya yaitu sebanyak 366 unit. Dari 366 unit tersebut yang menggunakan alat tangkap pancing ulur sebanyak 345 unit, sedangkan yang menggunakan alat tangkap jaring rampus sebanyak 21 unit.

(52)

Faktor Eksternal yang mempengaruhi volume produksi antara lain, cuaca, musim, kondisi perikanan laut dan sebagainya. Faktor internal yang berpengaruh yaitu, jumlah nelayan, jumlah alat tangkap, trip penangkapan, dan ukuran alat tangkap Tabel 7 Perkembangan Produksi Kapal Kincang Yang Menggunakan PPN

Pelabuhanratu Periode 2007 - 2011

Tahun

Jumlah Tangkapan Kapal Kincang Pancing Ulur

(kg) Jaring Rampus (kg)

Total (kg)

2007 149.472 268.025 417.496

2008 130.917 1.059.129 1.190.046

2009 68.427 543.906 612.333

2010 39.036 5.425 44.461

2011 137.094 58.824 195.918

(53)
(54)

VI. KARAKTERISTIK ARMADA PERIKANAN TANGKAP

KINCANG

6.1. Karakteristik Nelayan

Nelayan armada perikanan tangkap kincang yang beroperasi di perairan Pelabuhanratu memiliki sebaran usia dari usia 32 tahun hingga 63 tahun. Dari rentang tersebut sebanyak 31% berada pada usia 46-50 tahun. Berdasarkan rentang usia tersebut tidak adanya nelayan yang berada pada usia dibawah 30 tahun. Hal ini disebabkan semakin berkurangnya minat pemuda terhadap profesi nelayan yang memiliki penghasilan yang tidak menentu seperti nelayan kapal kincang.

Sumber: Data Primer (2013)

Gambar 5 Sebaran Usia Nelayan Kapal Kincang

Dilihat dari tingkat pendidikannya, nelayan armada perikanan tangkap kincang telah mengenyam pendidikan minimal sekolah dasar (SD) atau 36%. Dari sebaran tingkat pendidikannya, mayoritas nelayan telah mengenyam pendidikan sekolah menengah tingkat pertama (SMP) yaitu sebesar 45% dan 19% nelayan yang mencapai pendidikan sekolah menengah atas (SMA).

31-35 Tahun 3%

36-40 Tahun 19%

41-45 Tahun 22% 46-50 Tahun

31% 51-55 Tahun

22%

(55)

Sumber: Data Primer (2013)

Gambar 6 Tingkat Pendidikan Nelayan Kapal Kincang

Karakteristik nelayan tidak lepas dari lamanya pengalaman yang dimiliki oleh nelayan tersebut. Hal ini terkadang dalam beberapa penelitian lebih penting daripada tingkat pendidikan nelayan itu sendiri. Pengalaman juga dapat menentukan hasil atau jumlah tangkapan ikan yang dihasilkan oleh seorang nelayan. Dari data lapang yang didapat sebanyak 30% nelayan memiliki pengalaman 16-20 tahun dan hanya 3% yang memiliki pengalaman lebih dari 31 tahun. Selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 4.

Sumber: Data Primer (2013)

(56)

Nelayan kapal kincang umumnya melakukan kegiatan sesuai dengan musim banyaknya ikan. Gambar 8 menjelaskan bahwa nelayan umumnya ramai beroperasi antara bulan Januari – April. Hal ini disebabkan oleh musim banyak ikan tangkapan berada pada kisaran bulan tersebut. Pada periode tersebut juga Indonesia khususnya Pelabuhanratu sedang mengalami musim angin barat atau angin muson, dimana ikan layur yang merupakan tangkapan utama nelayan sedang melimpah jumlahnya. Secara detail dapat dilihat pada Lampiran 9.

Sumber: Data Sekunder Diolah (2013)

Gambar 8 Jumlah Trip Kapal Kincang Tahun 2012

6.2. Karakteristik Kapal Kincang

Kapal kincang merupakan kapal yang memiliki ukuran isi kapal sebesar 2 GT dengan panjang 6-13 meter, lebar 0,6-1 meter dan kedalaman 0,7-1 meter. Kapal ini memiliki 2 jenis bahan dasar, kayu dan fiberglass. Kapal kincang merupakan kapal yang beroperasi sehari sekali atau dikenal dengan istilah one day trip. Kapal ini hanya beroperasi disepanjang Teluk Pelabuhanratu.

Kapal kincang memiliki umur teknis berkisar antara 4-6 tahun untuk berbahan dasar fiberglass dan bisa mencapai 10 tahun untuk berbahan dasar kayu dengan kisaran harga 10-16 juta rupiah. Perawatan kapal dilakukan 4-6 bulan sekali yang meliputi pengecatan, penambalan bagian yang bocor, penggantian kayu yang rusak (untuk berbahan dasar kayu), dan menghilangkan teritip. Perawatan tersebut bisa

(57)

memakan waktu hingga 7 hari, tergantung dari kerusakan perahu tersebut. Perbaikan kapal tidak dilakukan oleh nelayan itu sendiri, melainkan oleh tenaga ahlinya. Biaya perbaikan pun bervariasi tergantung kerusakan perahu tersebut.

Kontruksi kapal kincang tidak memiliki bangunan di atas dek, tetapi di atas bagian dek dipasang 2 buah tiang bamboo yang digunakan untuk memasang tenda. Tenda ini digunakan untuk menghindari nelayan dari panasnya terik matahari disaat siang hari atau pun sebagai tempat berteduuh dikala hujan. Bagian lambung kapal digunakan untuk menyimpan alat tangkap, perlengkapan, perbekalan, dan hasil tangkapan.

Sumber: Widi Astuti (2008)

(58)

Sumber: Dokumentasi Penelitian (2013)

Gambar 10 Kapal Kincang

Tenaga penggerak kapal merupakan mesin yang berukuran 15 PK, namun ada juga nelayan sebagian kecil yang masih menggunakan 5,5 PK. Sebanyak 86% kapal yang berbahan dasar fiberglass menggunakan mesin 15 PK, sedangkan 14% kapal yang berbahan dasar kayu menggunakan mesin 5,5 PK. Dalam satu kapal cukup menggunakan satu buah mesin saja. Mesin yang digunakan menggunakan bahan bakar bensin. Dalam sekali perjalanan nelayan bisa menghabiskan bensin 10 hingga 60 liter dalam sekali trip. Harga mesin kapal baru berikisar antara 18 – 21 juta rupiah, sedangkan untuk mesin bekas harganya mencapai 7 juta rupiah.

(59)

Sumber: Dokumentasi Penelitian (2013)

Gambar 11 Alat Tangkap Pancing Ulur

6.3. Sistem Bagi Hasil

Dalam perikanan tangkap satu kapal terdiri atas nahkoda dan beberapa anak buah kapal (ABK). Di PPN Pelabuhanratu, sistem bagi hasil antara pemilik kapal, nahkoda dan ABK ditentukan oleh pemilik kapal. Meski begitu sistem bagi hasil ini memiliki pola yang seragam antara unit kapal kincang satu dengan yang lainnya. Persentase sistem bagi hasil tersebut yaitu sebagai berikut.

Nahkoda : 1

3× Nilai jual ikan hasil tangkapan

ABK : 1

3× Upah nahkoda

Pemilik Kapal : Mendapatkan ikan hasil tangkapan

6.4. Sistem Penangkapan

(60)

dan musim lebaran. Istirahat panjang yang biasa nelayan lakukan berkisar 1 – 3 bulan dalam 1 tahun, biasanya terjadi saat musim sedikit ikan.

Lamanya trip kapal kincang bervariasi antara 8 jam hingga 24 jam. Hal ini disesuaikan dengan produksi yang ingin dicapai dan jumlah persediaan operasional yang disiapkan. Persedian operasional yang disiapkan antara lain BBM, es, konsumsi, umpan, air tawar, dan oli. BBM yang dibawa oleh kapal kincang berkisar antara 10 – 60 liter per kapal. Penggunaan es yang biasa dibawa oleh kapal kincang yaitu sebesar 1 – 2 balok es, dimana 1 balok es beratnya bisa mencapai 20 kg. Bekal konsumsi yang biasa nelayan bawa rata-rata seragam dengan jumlah Rp. 100.000. Biaya tersebut telah ditentukan oleh pemilik kapal itu sendiri. Umpan ikan yang digunakan biasanya potongan ikan layur dan ikan tembang dengan total berat 5 – 8 kg. Para nelayan juga hanya disediakan 1 galon air untuk memenuhi kebutuhan air minum selama melaut. Disamping keperluan BBM, oli merupakan bagian yang tak terpisahkan dari kapal. Oli yang digunakan berkisar 0,5 – 2 liter untuk sekali trip. Jumlah ini disesuaikan dengan jarak tempuh yang akan dicapai kapal kincang untuk mencapai lokasi penangkapan ikan.

6.5. Biaya Pemeliharaan Kapal dan Alat Tangkap

Setiap kapal kincang dan alat tangkap tentunya perlu dilakukan maintenance agar kegiatan penangkapan bisa berjalan dengan baik. Perbaikan kapal biasanya meliputi pembersihan dasar kapal, penambalan lubang, atau perbaikan kapal secara keseluruhan, sedangkan perbaikan alat tangkap antara lain penyambungan kembali tali pancing atau jaring yang putus, pemasangan kail pancing dan lainnya. Biaya perbaikan kapal bervariasi tergantung dari kerusakannya, harganya mulai dari Rp. 100.000 hingga Rp. 2.500.000. Begitu juga dengan alat tangkap yang biaya perbaikannya tergantung dari kerusakannya, biaya perbaikannya berkisar Rp. 50.000 – Rp. 750.000.

(61)
(62)

VII. ANALISIS EFISIENSI EKONOMI ARMADA PERIKANAN

TANGKAP KINCANG

7.1.Data Envelopment Analysis Tipe I (Maximizing Output)

Data Envelopment Analysis Tipe I (DEA Tipe I) menilai efisiensi armada perikanan tangkap kincang dengan membandingkan kegiatan penangkapan dari tahun 2007 hingga 2011 antara output produksi dengan output pendapatan dengan input yang sama yaitu jumlah trip dan biaya operasional. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi efisiensi keseluruhan dari kedua output tersebut.

Sumber: Data Sekunder Diolah (2013)

Gambar 12 Perbandingan Perubahan Efisiensi Tahun 2007-2011 antara Output Produksi dengan Pendapatan

Hasil DEA Tipe I menunjukkan skor yang beragam antara efisiensi yang menggunakan output produksi dengan output pendapatan (Gambar 12), namun dari kedua grafik tersebut tahun 2007 merupakan tahun yang paling tidak efisien atau sebesar 21,34 dengan output produksi dan 29,05 dengan output pendapatan. Hal ini disebabkan jumlah output yang didapat tidak sebanding dengan input yang digunakan dibandingkan dengan tahun-tahun yang lainnya. Selain itu tahun 2007 juga merupakan tahun dimana jumlah perahu motor tempel berada pada jumlah terbanyak selama kurun waktu 5 tahun. Dengan menggunakan output pendapatan tahun 2009 dan 2011 merupakan tahun yang efisien, sedangkan dengan penggunaan output produksi hanya tahun 2009 yang memiliki nilai efisiensi 100. Perbedaan

0

2007 2008 2009 2010 2011

(63)

hasil efisiensi antara output produksi dan pendapatan disebabkan oleh perbedaan jenis, jumlah dan harga ikan yang ditangkap. Rata-rata nilai efisiensi dengan menggunakan output produksi adalah 54,89 yang mengindikasikan selama periode tersebut perikanan beroperasi 54,989 dari kapasitas optimal. Artinya perikanan tersebut semestinya mampu menghasilkan produksi yang lebih tinggi.

Namun perlu dicermati kembali karena terdapat nilai maksimum dan minimum ekstrim pada data produksi tahun 2008 dan 2010 (Tabel 8), sehingga perlu dilakukan proyeksi pada kedua output tersebut untuk kembali dibandingkan karena dikhawatirkan terjadi kesalahan pencatatan oleh pihak PPN Pelabuhanratu (Fauzi 2013). Proyeksi data produksi dan pendapatan dilakukan dengan cara melakukan analisis regresi dimana response merupakan output (baik produksi maupun pendapatan) sedangkan tahun kegiatan penangkapan yang dilakukan kapal kincang sebagai predictors.

Tabel 8 Nilai Produksi dan Pendapatan (Aktual dan Proyeksi)

Tahun Produksi Pendapatan Produksi (Proyeksi) Pendapatan (Proyeksi)

2007 417.496 1.662.536.097 810.000 2.220.013.902

2008 1.190.046 3.353.627.943 651.126 2.089.419.888

2009 612.333 1.790.914.070 492.252 1.958.825.874

2010 44.461 597.346.500 333.388 1.828.231.860

2011 195.918 2.387.706.751 174.504 1.697.637.846

Sumber: Data Sekunder Diolah (2013)

Sumber: Data Sekunder Diolah (2013)

Gambar 13 Perbandingan Perubahan Efisiensi Tahun 2007-2011 antara Output Proyeksi Produksi dengan Proyeksi Pendapatan

0

2007 2008 2009 2010 2011

(64)

Produksi (Aktual)

Pendapatan (Aktual)

Produksi (Proyeksi)

Pendapatan (Proyeksi)

Sumber: Data Sekunder Diolah (2013)

(65)

Hasil DEA Tipe I dengan menggunakan output hasil proyeksi data produksi dan pendapatan (Gambar 13) menunjukan grafik perubahan efisiensi yang relatif sama. Tahun 2009 dan 2010 merupakan tahun yang paling efisien bagi kedua output. Tahun 2011 merupakan tahun paling tidak efisien dari hasil analis DEA Tipe I dengan menggunakan output proyeksi produksi yaitu sebesar 30,27, sedangkan tahun 2007 merupakan tahun paling tidak efisien dengan menggunakan output proyeksi pendapatan yaitu sebesar 35,47.

Posisi efisiensi masing-masing DMU baik aktual maupun proyeksi dapat dilihat pada frontier plot (Gambar 14). Dari frontier plot tersebut dapat terlihat perubahan posisi masing-masing DMU dimana DMU yang berada paling jauh dari garis merah merupakan DMU yg paling tidak efisien. DMU yang bersinggungan dengan garis frontier berwarna merah menunjukan tingkat efisiensi maksimum. Garis frontier juga merupakan acuan bagi DMU yang tidak efisien agar mendekati bahkan bersinggungan dengan garis tersebut.

(66)

Produksi (Aktual)

Pendapatan (Aktual)

Produksi (Proyeksi)

Pendapatan (Proyeksi)

Sumber: Data Sekunder Diolah (2013)

(67)

Tabel 9 menunjukan skor efisiensi perikanan tangkap kincang. Rata-rata dari setiap skor efisiensi menunjukan persentase kegiatan perikanan tersebut beroperasi dari kapasitas optimal. Artinya kegiatan perikanan tangkap kincang semestinya mampu menghasilkan produksi dan pendapatan yang lebih tinggi sehingga menghasilkan output yang tinggi pula.

Tabel 9 Skor Efisiensi Perikanan Tangkap Kincang Tahun 2007-2011 dengan Output yang Berbeda

Tahun Skor Efiensi

Produksi Pendapatan Proyeksi Produksi Proyeksi Pendapatan

2007 21,34 29,05 51,5 35,47

Sumber: Data Sekunder Diolah (2013)

Secara teknis perikanan mengalami excess capacity pada masing-masing skor efisiensi dengan output yang berbeda yaitu 45,11% (output produksi), 29,95% (output pendapatan), 32,91% (output proyeksi produksi) dan 33,38% (output proyeksi pendapatan). Hasil DEA Tipe I selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 13.

7.2.Data Envelopment Analysis Tipe II

Analisis DEA II pertama kali dilakukan yaitu dengan menggunakan semua data input dan output dengan tujuan maksimisasi output (maximizing output), dimana data input adalah umur kapal, jumlah ABK, investasi, lama trip, jumlah trip, dan biaya operasional total sedangkan data output adalah rente dan produksi dari hasil kegiatan penangkapan (Lampiran 10). Hasil analisis DEA dengan menggunakan semua input dan output menunjukan dari 36 Decision Making Unit (DMU) sampel terdapat 10 DMU yang memiliki nilai efisiensi 100 yaitu Lembayung Jaya, Putri Rahayu, Pribadi 3, Medal Sekarwangi, FDL 3, Mina Kebumen, Primadona, Swindu, Nagasari 4 dan Laut Pagi.

(68)

kapal DMU. Hasil analisis efficiency plot (Gambar 16 dan 17) menunjukan bahwa DMU: Lembayung Jaya, Putri Rahayu, Pribadi 3, Medal Sekarwangi, FDL 3, Mina Kebumen, Primadona, Swindu, Nagasari 4 dan Laut Pagi berada pada garis frontier efisien (berhimpitan pada garis efisiensi bernilai 100). Sedangkan yang paling tidak efisien adalah DMU: John Kenedy yang berada paling bawah dalam efficiency plot.

Sumber: Data Primer dan Sekunder Diolah (2013)

Gambar 16 Plot Efisiensi dengan Rente Armada Perikanan Kincang di Pelabuhanratu, 2012

Sumber: Data Primer dan Sekunder Diolah (2013)

Gambar 17 Plot Efisiensi dengan Produksi Armada Perikanan Kincang di Pelabuhanratu, 2012

Analisis DEA memungkinkan pembuat kebijakan mencari potensi perbaikan atas unit-unit DMU yang tidak efisien. Artinya jika suatu DMU tidak efisien maka berapa input dan output yang bisa dikurangi atau ditambah (dalam persen) untuk mencapai target level input dan output yang efisien. Hasil potential improvement (Gambar 18) menunjukan bahwa output dari sisi rente dan produksi masing-masing masih bisa meningkat sebesar 35,47% dan 31,97%. Sedangkan dari segi input secara keseluruhan memerlukan pengurangan yang beragam. Penurunan

masing-Produksi (Kg) Rente (Rp)

Ef

isien

si

Ef

isien

(69)

masing unit antara lain, umur kapal 5,13%, jumlah ABK 4,98%, investasi 9,23%, lama trip 9,14%, jumlah trip 1,49% dan biaya operasional total sebesar 2,59%.

Sumber: Data Primer dan Sekunder Diolah (2013)

Gambar 18 Diagram Pie Total Potential Improvement Armada Perikanan Tangkap Kincang dengan Memasukan Input dan Output dalam Analisis DEA, Pelabuhanratu, 2012

Sumber: Data Primer dan Sekunder Diolah (2013)

Gambar 19 Distribusi Skor dari DMU Armada Perikanan Tangkap Kincang, Pelabuhanratu, 2012

Untuk melihat sebaran distribusi dari nilai efisiensi tersebut dapat diihat pada Gambar 19. Pada grafik Distribution of scores, sebaran nilai efisiensi terbanyak berada pada nilai 71-80 dan Efisien (100) dengan masing-masing jumlah 10 DMU. Sebanyak 2 DMU yang berada pada nilai 21-30, 1 DMU berada pada nilai 31-40, 5 DMU berada pada nilai 41-50, 4 DMU berada pada nilai 51-60, 5 DMU berada

Efisiensi/Efficiency

Ju

m

lah

DMU

/

No

.

o

f

Gambar

Gambar 3 Kerangka Pemikiran Operasional
Gambar 4 Lokasi Pengambilan Data
Tabel 4 Perkembangan Jumlah Alat Tangkap yang Beroperasi di Perairan Teluk
Tabel 5 Perkembangan Jumlah Nelayan di Perairan Teluk Pelabuhanratu Periode
+7

Referensi

Dokumen terkait

Bobot jenis ekstrak cair adalah hasil yang diperoleh dengan membagi bobot ekstrak dengan bobot air, dalam piknometer pada suhu 25°C (Depkes RI, 2000). Pijarkan perlahan-lahan hingga

Untuk menentukan kelompok mahasiswa sesuai dengan kemampuan mereka, ketika ada seleksi mahasiswa baru, pada tahap pengujian kemampuan baca al-Qur’an, maka nilai

d. Kementerian BUMN melalui HIMBARA memberikan kredit pada masyarakat maupun dunia usaha. • Estimasi pendapatan: Rp 750 Miliar. • Jika bisa panen 2 kali dalam setahun dengan adanya

Keterpaduan musik modern hip hop yang secara estetis lebih menekankan kepada proses meningkatnya diferensiasi bidang-bidang kehidupan beserta fragmentasi sosial dan alienasinya,

Gambaran Pengelolaan Program dan Pembiayaan BPJS Kesehatan Rawat Inap Pasien Kanker di Rumah Sakit Umum Dr. Pelaksanaan program BPJS Kesehatan di Rumah Sakit Umum

Dimana alat yang dirancang menggunakan mikropengendali Arduino Uno digunakan untuk menghidupakan buzzer sebagai alarm pintu secara otomatis dan dapat membuka dan menutup pintu,

Penyelesaian persamaan Schrödinger untuk potensial tertentu dapat ditemukan dengan cara mengubahnya menjadi persamaan diferensial tipe hipergeometri dengan melalui

 .. Dalam upaya sinkronisasi pelaksanaan setiap program dan kegiatan baik yang  bersumber  dari  APBD  Kabupaten,  APBD  Provinsi  maupun  yang  bersumber  dari