20 BAB IV
DESKRIPSI DATA
A. Gambaran Umum
1. Letak Geografis
Desa Pegayaman berada di ketinggian antara 450 sampai 1.200 meter
dari permukaan laut dengan kemiringan tanah 33% dan dengan curah hujan
normal. Luas wilayah desa yang dalam bahasa daerah bali disebut dengan
“palemahan desa” seluas 15.84 km2 atau 1.584 Ha dengan penduduk
sebanyak 1.155 KK.
Pada tahun 2010, desa ini dihuni oleh 5.600 jiwa dengan 90%
diantaranya beragama Muslim. Hubungan kerjasama anatara masyarakat
Muslim di Pegayaman dan orang-orang Hindu disekitarnya telah terjalin
sejak abad ke-17 Masehi.
Dalam sistem pengaturan desa, Pegayaman menerapkan sistem banjar
dengan membagi desa menjadi lima banjar, yaitu Dauh Margi (Barat Jalan),
Dangin Margi (Timur Jalan), Kubu Lebah, Kubu, dan Amertasari.
2. Keadaan Masyarakat
Menilik dari sejarah, Desa Pegayaman merupakan tempat
persinggahan para pelaut dari bugis, makanya di Desa Pegayaman ini
sebagian penduduknya merupakan keturunan campuran antara bali dengan
Masyarakat Pegayaman yang merupakan mayoritas penduduknya
menggeluti profesi sebagai petani cengkeh, cengkeh merupakan sumber
mata pencaharian bagi warga Desa Pegayaman. Cengkeh merupakan
tanaman yang dulunya dibawa oleh para pelaut dari Bugis, dan kemudian
dikembangkan di Desa Pegayaman, dari sinilah asal mula adanya
perkebunan cengkeh di desa Pegayaman yang merupakan mata pencaharian
bagi masyarakat Desa Pegayaman.
B. Data PrimerPelaksanaan Gadai Kebun Cengkeh di Desa Pegayaman,
Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng, Bali
Dari hasil penelitian dan pengamatan penulis dalam praktek gadai tanah
yang dilakukan oleh masyarakat Desa Pegayaman, diketahui bahwa
rukun-rukun dan syarat-syaratnya masih jauh dari kata sempurna seperti yang
dikemukakan dalam rukun dan syarat sah gadai dalam hukum Islam. Hal ini
akan penulis kupaslebih detailnya pada bab V terkait analisis penulis terhadap
gadai kebun cengkeh di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten
Buleleng, Bali.
Proses gadai di Desa Pegayaman, Kecamatan Sukasada, Kabupaten
Buleleng, Bali penulis gambarkan dimana rāhinmenggadaikan kebun cengkeh dengan teknis rāhin akan memperoleh sejumlah uang yang telah disepakati dalam akad tersebut, selain ditentukan pula beberapa lama waktu akad gadai
akan berlangsung. Selama akad gadai tersebut berlangsung, kebun cengkeh
berada dalam kekuasaan murtahin serta ia pulalah yang berhak dalam hal
manfaatnya, semua kebijakan/keputusan (dalam perawatan, pengolahan dan
pemanfaatan) atas lahan tersebut diserahkan kepadanya. Sementara rāhintidak mempunyai hak untuk memanfaatkan kebun cengkeh tersebut, bahkan ia tidak
dapat sekedar mengambil sebagian kecil manfaat dari kebun cengkeh tersebut
sampai ia dapat mengembalikan uang yang dipinjamnya dulu dari murtahin
sesuai dengan waktu yang telah disepakati.
Meskipun masih jauh dari kata sempurna, akad gadai yang terjadi di
Desa Pegayaman ini terdapat sebuah penyimpangan yaitu dalam prosesnya
rāhin harus menyerahkan barangnya(marhūn) kepada murtahin dengan
syarat-syarat yang diberikan oleh murtahin yang mana nantinya akan memberatkan
sebelah pihak yaitu penggadai(rāhin).
Pada proses transakasi ini, rāhin akan mendatangi murtahin untuk mengajukan sebuah pinjaman, dan kemudian dalam proses ini rāhin akan menjelaskan maksud kedatangannya untuk meminjam uang kepada murtahin
dengan memberikan surat kebun cengkeh sebagai jaminannya, dan kemudian
pihak penerima gadai (murtahin) akan memberikan syarat-syarat kepada
penggadai (rāhin) berupa syarat yaitu pihak penerima akan bersedia memberikan pinjaman apabila penggadai (rāhin) bersedia memberikan seluruh hasil panen kebun cengkeh (marhūn) tersebut kepada penerima gadai
(murtahin) selama waktu yang telah disepakati oleh kedua belah pihak, jika
rāhin tidak berkenan untuk memenuhi syarat-syarat tersebut maka pihak
selama masih dalam kurun waktu yang telah disepakati tanpa memberikan
bagian sepeserpun kepada pemilik kebun (rāhin) , dan selama waktu yang telah disepakati tersebut berakhir rāhintidak diperbolehkan untuk menebus barang gadai (marhūn) tersebut.
Hukum telah menetapkan bahwa pemanfaatan barang gadai adalah oleh
rāhin (pemilik barang) bukan oleh murtahin, karena akad yang terjadi bukan akad pemindahan hak milik, dimana orang yang menerima barang dapat
memiliki sepenuhnya. Akad gadai bukan akad pemanfaatan dimana barang
tersebut dapat dimanfaatkan, akad gadai hanya berkedudukan sebagai jaminan.
Murtahin baru dapat mengambil manfaat barang tersebut apabila
membutuhkan biaya perawaan dan pemeliharaan, sebatas biaya yang
dibutuhkan. Penerima gadai (murtahin) tidak boleh mengambil manfaat atau
hasil dari barang gadaian sedikitpun, kecuali dari yang bisa di tunggangi atau
diperah sesuai dengan biaya yang dikeluarkan. Nafkah yang diambil dari
barang gadaian adalah sekedar atau ongkos yang dikeluarkan untuk biaya
perawatan dan pemeliharaan. Dan tidak boleh lebih atau berlebih-lebihan,
karena hal tersebut bisa dikategorikan kepada riba yang dilarang oleh syariat
Islam.
Kebun cengkeh merupakan barang gadai yang tidak membutuhkan biaya
perawatan seperti mencangkul, memberi pupuk urea, penyemprotan, upah
buruh tani dan lain sebagainya. Untuk itu kebun cengkeh sebagai barang
gadaian tidak boleh dimanfaatkan oleh murtahin. Karena kebun cengkeh sama
sebagainya, melainkan hanya menggunakan pengairan dari air hujan saja.
Untuk menjaga agar murtahin tidak mengalami kerugian atas barang gadai itu,
maka hak murtahin harus dijaga jangan sampai menderita kerugian, tetapi
dalam hal ini hak rāhin sebagai pemilik barang tidak boleh diabaikan. Jadi solusinya adalah murtahin tidak boleh mengambil manfaat dari marhūn
(barang gadai) tersebut karena murtahin tidak dikenakan biaya untuk
perawatan atas marhūn (barang gadai) tersebut. Namun kebiasaan dalam masyarakat Desa Pegayaman tidak ada sistem bagi hasil antara rāhin dan
murtahin. Semua hasil dari marhūnmenjadi milik murtahin.
Umumnya para penggadai merasa keberatan dengan sistem gadai yang
telah berlangsung selama ini. Namun dikarenakan sistem gadai ini telah
berlangsung secara turun-temurun, masyarakat setempat beranggapan bahwa
sistem ini telah sesuai dengan ajaran Islam. Masyarakat setempat merasa
keberatan dengan sistem gadai ini karena hanya akan memberikan keuntungan
kepada pihak penerima gadai (murtahin) saja, dan tidak memerikan sedikitpun
keuntungan bagi pihak rāhin. Segala sesuatu yang berkaitan dengan marhūn,
pemilik barang (rāhin) sama sekali tidak boleh ikut campur dalam pengelolaannya dan sedangkan apabila terjadi gagal panen, maka jangka waktu
yang telah disepakati akan di perpanjang kembali sebagai ganti dari gagal
panen tersebut. Seperti halnya bapak Gus sani yang pernah menerima gadai
kebun cengkeh dari ibu siti mashitoh. Beliau mengaku telah melakukan
transaksi gadai ini sejak 25 tahun yang lalu. Menurutnya akad gadai ini telah
orang yang juga melakukan praktek sistem gadai ini, dia juga mengatakan
hanya meneruskan tradisi yang sudah turun-temurun dilakukan oleh orang
tuanya.
“Tiang sampun ngelaksanayang gade ne niki sampun uling imaluan nike, niki nak tuan tange sampun uling pida ngajain tiang care kene see gade di desa ne ne, tiang tah nerusang ki manten see nike tradisi ane ajaine jak nak tuan tiange, nak nike see ane ajaine imaluan jak tuan guru ne wenten deriki. Tiang biasane lamun wenten nak nagih nyilih pipis ketakenin dumun kudang mekelo lakar kebaang ento abian cengkehe? Biasane nike lamun wenten nak nyilih care kenten paling enggal maang telunng tiban, nike hasil cengkehne tiang sampun ane medue, ane ngelah cengkehe biane dados nike nunas hasilne, napi malih nike cengkehne biane dados tebus lamun durung telas waktu ngade ane
sampun janjiange”(Saya sudah melakukan praktek gadai ini sejak dulu, ini semua sudah dari dulu orang tua saya mengajarkan saya seperti ini, dan seperti inilah sistem gadai yang diajarkan kedua orang tua kepada saya. Saya biasanya kalau ada yang mau minjem uang pasti saya tanya dulu mau berapa lama kebun cengkehnya di gadaikan sama saya? Biasanya kalau orang minjem itu biasanya ngasi kebunnya ke saya paling sebentar tiga tahun, dan itu hasil cengkehnya sudah saya yang punya, yang punya kebun tidak boleh minta hasilnya, dan cengkehnya itu tidak boleh ditebus sebelum habis waktu yang sudah disepakati, misalnya 3 tahun).1
Sedangkan dari pihak penggadai (rāhin) merasa dirugikan dengan kebun cengkeh yang telah dijadikan jaminan kepada murtahin. Tanah yang
digadaikan tersebut tidak boleh di garap oleh pihak penggadai (rāhin). Mereka pun merasa sangat dirugikan, karena apabila kebun tersebut (marhūn) boleh di garap oleh rāhin, maka rāhin akan dapat menanam tanaman lain yang bisa mendatangkan penghasilan. Lain halnya dengan pihak penggadai, pihak
penggadai sama sekali tidak mengizinkan pihak pemberi gadai (rāhin) untuk mengelola kebun cengkeh tersebut, padahal pihak murtahin sama sekali tidak
melakukan aktivitas (menggarap) kebun cengkeh tersebut. Selain itu, selama
1
ini pihak juga rāhin merasa bahwa setelah mereka menggadaikan cengkeh tersebut, mereka merasakan sedikit manfaat dan juga merasakan beberapa
kekurangan yaitu berkurangnya pendapatan yang mereka miliki. Seperti yang
dipaparkan oleh ibu Maizum,
“Imaluan tiang taen nike megae numbas cengkeh kenang nak len,
tiang numbas cengkeh e nike ken agak maal, terus pas tiang sampun alap nike cengkeh e tiba-tiba ki manten hargan cengkeh e malah tuun nike, adanne nak megae nggih tiang inguh gati see nike wak modal pulih nyilih jak rentenir, terus nikelamun tiang durung ngadol cengkeh e ken tiang durung ngidayang mayah utang ane tiang silih jak bank e wauh? Akhirne tiang nyilah lah nike jinah kenang nake jumah, tapi tiang kekanggeang manten see nike lamun tiang lat mayahne utang jak rentenir ngedeang kii manten, kanggeang kii manten see nike tiang ngadeang abian cengkeh Tiang e nike, tapi pas tiang sampun ngadeang nike tiang malah mase biane medue penghasilan malih, wak cengkeh tiang biane dados tebus lamun durung telas waktu ane sampun sepakatine di awal. Terus tiang ken biane icene bagian akidik kii manten
biane pulih” (Dulu saya pernah kerja jual beli cengkeh, tapi baru merintis bisnis saya itu harga cengkeh tiba-tiba anjlok sedangkan saya beli cengkehnya itu dengan harga mahal. Namanya orang merintis kerja saya kan pinjam modal kan dari rentenir, terus itu kan cengkeh yang saya beli kalo belum dijual berarti saya tidak bisa bayar hutang saya ke rentenir itu. Akhirnya saya pinjam uang lah dengan orang disini dengan mengagadaikan kebun cengkeh yang saya punya,tapi stelah lama saya merasa kok penghasilan saya jadi gak ada, soalnya kan kebun cengkeh saya itu tidak boleh saya garap dan hasilnya itu kan di minta sama orang yang saya pinjami uang dan saya juga kan tidak diberi bagian dari hasil kebun cengkeh saya itu, sedangkan nanti saya masih punya kewajiban untuk mengembalikan uang yang saya pinjam itu, disnilah saya kesusahan mas, punya kewajiban mengembalikan tapi gak punya penghasilan).2
Bersadarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya dapatlah diketahui
bahwa dalam praktek gadai kebun cengkeh di masyarakat Desa Pegayaman
terdapat manfaat atau maslahat yang dirasakan oleh rāhin dan murtahin, juga terdapat mudharat atau mafsadatnya. Dengan kata lain, ada dampak positif dan
2
dampak negatif dari transaksi gadai kebun cengkeh ini bagi salah satu pihak
yaitu rāhin.
Dampak positif dari sisi rāhin antara lain :
1. Teratasinya masalah rāhin, yaitu ia memperoleh pinjaman uang untuk membayar hutang modal kepada rentenir tersebut tanpa harus
membuat hutang rāhin kepada rentenir menjadi berlipat ganda.
2. Ketenangan yang dirasakan oleh rāhin dengan adanya transaksi ini.
Rāhin tidak lagi harus merasakan kekhawatiran karena hutangnya akan menumpuk kepada rentenir.
Sementara dampak negatif yang diterima oleh rāhin sebagai konsekuensi dari diadakannya atau dilakukannya gadai kebun cengkeh itu ialah rāhin tidak dapat menggarap kebun cengkeh tersebut dan dia tidak memperoleh bagi hasil
dari kebun cengkeh gadainya karena semua hasil tersebut telah menjadi milik
murtahin selama waktu yang telah disepakati,sedangkan rāhin masih memiliki kewajiban untuk mengembalikan uang pinjaman kepada murtahin.
Sementara pada murtahin, sejauh pengamatan dan penelitian penyusun,
banyak yang mengeluh tentang dampak negatif dari adanya transaksi gadai
kebun cengkeh ini bagi mereka. Mereka selalu mencari kesepakatan bagaimana
caranya agar transaksi ini bisa menguntungkan bagi mereka. Mereka
(murtahin) juga tidak selalu mencari kesepakatan secara musyawarah dan
kekeluargaan jika pemberi gadai (rāhin) merasa dirugikan.
Warga di Desa Pegayaman lebih memilih untuk menggadaikan kebun
Pegayaman, mereka lebih menyukai tradisi ini karena di samping rāhin tidak kehilangan kepemilikan atas tanah kebunnyayang digadaikan, mereka juga
tidak dipusingkan atau diributkan dengan urusan-urusan yang lainnya. Mereka
lebih memilih menggadaikan kebun menurut tradisi yang ada dibandingkan
dengan cara lain.
Disamping itu, transaksi gadai kebun cengkeh ini menurut beberapa
warga dulunya untuk saling meyenangkan satu sama lain. Murtahin mendapat
keuntungan berupa hasil panen dari pemanfaatan gadai kebun cengkeh dan
rāhin mendapat pertolongan untuk mengatasi kesulitannya untuk menutupi hutangnya. Transaksi gadai ini dilakukan dalam rangka meneruskan tradisi