ETOS KERJA MASYARAKAT BETAWI DALAM
MENINGKATKAN STATUS SOSIAL EKONOMI DI
KELURAHAN PONDOK CABE UDIK
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) Bidang Ilmu Pengetahuan Sosial
Oleh
Nadia Annisa
NIM 1110015000128
JURUSAN PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
ABSTRAK
NADIA ANNISA S. NIM. 1110015000128. Etos Kerja Masyarakat Betawi dalam Meningkatkan Status Sosial Ekonomi di Kelurahan Pondok Cabe Udik. Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana etos kerja masyarakat Betawi di kelurahan Pondok Cabe Udik dalam meningkatkan status sosial ekonomi demi kelangsungan hidup sehari-hari. Penelitian ini ditinjau dari teori etos kerja Max Weber. Penelitian ini dilakukan di daerah Pondok Cabe Udik Pamulang Kota Tangerang Selatan tepatnya di Jalan Kemiri RT 003/RW 003.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengambilan sampel yaitu dengan Purposive Sampling. Dari 80 kartu keluarga Betawi, peneliti mengambil 10 responden terpilih yang berada dalam usia produktif kerja yang berbeda usia, berbeda latar belakang pendidikan, dan berbeda pekerjaan. Instrumen penelitian yang digunakan adalah wawancara. Pemeriksaan dan pengecekan data dalam menguji kredibilitas dan keabsahan penelitian menggunakan triangulasi teknik, yaitu dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang berbeda-beda seperti, wawancara, observasi, dan dokumentasi untuk mendapatkan data dari sumber yang sama.
Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini adalah etos kerja masyarakat Betawi berbanding lurus dengan hasil mereka dalam meningkatkan status sosial ekonomi. Segala bentuk usaha dan kerja keras yang telah mereka capai membuahkan hasil yang baik sehingga dapat membuat mereka bertahan di daerahnya sendiri. Meskipun kesadaran dalam pendidikan masih rendah tetapi mereka bisa membuktikan semangatnya untuk terus mengembangkan potensi diri lewat keahlian dan keterampilan yang mereka miliki. Mereka pun tak luput dari sikap tekun, jujur, tepat waktu, giat, dan pantang menyerah sebagai wujud tanggung jawab mereka terhadap pekerjannya masing-masing. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah terdapat hubungan yang positif tentang etos kerja masyarakat Betawi dalam usahanya untuk meningkatkan status sosial ekonomi.
Community in Improving Socio-Economic Status in Pondok Cabe Udik Urban Village. Department of Social Sciences Education (IPS), Faculty of Tarbiyah and Teachers Training, State Islamic University Syarif Hidayatullah Jakarta. 2014.
This research is aimed to determine how the work ethic of Betawi people in Pondok Cabe Udik villages in improving the socio-economic status for daily survival. This study is based on the theory of Max Weber's work ethic. This research was conducted at Kemiri Street RT 003 / RW 003, which is located in Pondok Cabe Udik, Pamulang, South Tangerang City.
The method used in this research is descriptive method with qualitative approach. The sampling technique is the Purposive Sampling. From 80 Betawi family cards, the researcher took 10 selected respondents who are in the productive age for work from different ages, different educational backgrounds, and different jobs. The research instrument used was the interview. Inspection and checking of data in examining the credibility and validity of the research using triangulation techniques, using different data collection techniques such as, interview, observation, and documentation to get the data from the same source.
The result found in this research is the work ethic of the Betawi community is directly proportional to their results in improving the socio-economic status. All forms of effort and hard work which they have achieved made good results, so it hasmade them survive in their own areas. Although awareness in education is still low, but they could prove their spirit to develop their self-potential through the expertise and skills they possess. They were not spared from being honest, in time, and unyielding as forms of their responsibilities to each of their jobs. The conclusion of this research is that there is a positive relationship of work ethic on Betawi people in their efforts to improve the socio-economic status.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat kepada Allah SWT, yang
telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya. Sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Etos Kerja Masyarakat Betawi dalam Meningkatkan Status Sosial Ekonomi di Kelurahan Pondok Cabe Udik”. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Rasulullah SAW, keluarga dan
sahabatnya. Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses penyusunan skripsi, penulis banyak mendapatkan bantuan
dari berbagai pihak, baik berupa dorongan moril dan materil. Karena penulis
yakin tanpa bantuan dan dukungan tersebut, sulit rasanya bagi penulis untuk
menyelesaikan penulisan skripsi ini. Maka penulis mengucapkan rasa syukur dan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Allah SWT, atas segala nikmat dan karunia-Nya yang tak terhingga,
Alhamdulillahirabbilalamin.
2. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ibu Nurlena Rifa’i, M.A., Ph.D. serta para pembantu dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ketua Jurusan Pendidikan IPS, Bapak Dr. Iwan Purwanto, M.Pd. dan
Sekretaris Jurusan Pendidikan IPS, Bapak Drs. Syaripulloh, M.Si. berserta
seluruh staf Jurusan Pendidikan IPS yang telah mendukung.
4. Dosen Pembimbing Skripsi, yaitu Ibu Dr. Ulfah Fajarini, M.Si. dan Ibu Cut
Dhien Nourwahida, M.A. yang tulus ikhlas memberikan bimbingan, bantuan,
saran, pengarahan, waktu, serta motivasinya kepada penulis sehingga dapat
5. Bapak dan Ibu dosen Jurusan Pendidikan IPS yang senantiasa memberikan
ilmu serta mengajarkan arti pendidikan dalam kehidupan dunia dan akhirat,
semoga Bapak dan Ibu dosen selalu dalam rahmat dan lindungan Allah SWT.
Sehingga ilmu yang telah diajarkan dapat bermanfaat dikemudian hari.
6. Kedua orang tua tercinta, Bapak August Setiadjie dan Ibu Teti Sunarsih, yang
telah membesarkan, membimbing dengan penuh kesabaran dan kasih sayang
yang tak terhingga. Serta kakak-kakak, adik, dan keponakan-keponakan
(Bintang, Angkasa, Anjani) yang selalu menghibur, memberikan semangat, do’a dan motivasi kepada penulis.
7. Seluruh keluarga besar Slamet Riyadi dan Soedirdjo yang senantiasa memberikan do’a bagi penulis.
8. Staf Pemerintahan Kelurahan Pondok Cabe Udik, Bapak RW 003, Bapak RT
003, dan seluruh masyarakat Betawi RT/RW 003/003 yang telah bersedia
meluangkan waktunya untuk menjadi responden dalam penelitian ini.
9. Teman Seperjuangan, kelas Sosiologi-Antropologi angkatan 2010
terimakasih untuk semua kenangan manis yang kalian berikan, karena kita
bukan hanya sebatas teman atau sahabat melainkan sudah menjadi keluarga.
10. Teman satu angkatan 2010 Jurusan Pendidikan IPS dari kelas Geografi dan
Ekonomi yang selalu memberikan semangat.
11. Sahabat penulis, Ninna Aristyaningsih, Putri Chelia, M. Rizki Awaluddin,
Muhriah, Risyda Azizah yang saling memberikan semangat serta selalu ada
setiap waktu disaat suka maupun duka.
12. Ikhsan Kamil, S.E. pria yang selalu setia menemani, sabar untuk menghadapi
segala keluh kesah, dan tak pernah lelah untuk memberikan doa serta
semangat kepada penulis.
13. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang khususnya
telah membantu terwujudnya penelitian skripsi ini.
Penulis berharap semoga amal baik dari semua pihak yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini mendapatkan balasan pahala
semua urusan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak,
khususnya bagi penulis dan para pembaca pada umumnya dalam pengembangan
ilmu pengetahuan, semoga Allah SWT meridhoi dan mencatat sebagai ibadah
disisi-Nya, aamiin.
Alhamdulillahirabbilalamin
Wassalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh
Jakarta, 01 Desember 2014
SURAT PERNYATAAN KARYA ILMIAH
ABSTRAK ... i
ABSTRACT ... ii
KATA PENGANTAR ... iii
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR TABEL ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
BAB I: PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Fokus Penelitian ... 5
C. Ruang Lingkup ... 5
D. Perumusan Masalah ... 5
E. Tujuan Penelitian ... 5
F. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II: KAJIAN TEORI A. Deskripsi Teoritis Etos Kerja ... 7
1. Pengertian Etos Kerja ... 7
2. Prinsip Etos Kerja ... 9
3. Konsep Etos Kerja ... 13
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja ... 14
1. Pengertian Masyarakat ... 16
2. Masyarakat Betawi ... 18
C. Deskripsi Teoritis Status Sosial Ekonomi ... 23
1. Pengertian Status Sosial ... 23
2. Pengertian Status Sosial Ekonomi ... 25
3. Kebutuhan Manusia ... 27
D. Hasil Penelitian yang Relevan ... 29
E. Sinopsis ... 31
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 33
B. Metode Penelitian ... 33
C. Populasi dan Sampel ... 34
1. Populasi ... 34
2. Sampel ... 35
D. Teknik Penentuan Sampel ... 35
E. Teknik dan Instrumen Penelitian ... 36
F. Teknik Pengumpulan Data ... 37
G. Teknik Pengecekan Keabsahan Data ... 40
H. Teknik Analisis Data ... 41
I. Refleksi Penelitian ... 41
BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A.Deskripsi Daerah Penelitian ... 44
1. Sejarah Singkat Pondok Cabe Udik ... 44
2. Kondisi Geografis dan Demografis ... 46
3. Kondisi Ekonomi dan Sosial Budaya ... 47
2. Upaya Masyarakat Betawi dalam Meningkatkan
Status Sosial Ekonomi ... 77
BAB V: PENUTUP
A. Kesimpulan ... 88
B. Saran ... 89
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Secara menyeluruh, nilai kerja merupakan hak istimewa bagi
manusia. Kerja adalah gambaran eksistensi seseorang. Melalui kerja
martabat seseorang itu ditentukan. Setiap aktivitas kerja manusia niscaya
memberikan dukungan bagi pengarahan akal budi. Di sini posisi kerja itu
memberi sumbangan bagi tanggung jawab moral dan martabat manusia.
Selain itu pola pertumbuhan kebudayaan dalam suatu masyarakat
tidak terlepas dari kemampuan yang dimiliki setiap orang. Perbedaan
dalam bakat dan kecenderungan-kecenderungan manusia, menghantar
kepada suatu keanekaragaman profesi. Keanekaragaman ini akhirnya
memberi warna tersendiri yang membawa ke perbedaan kelas-kelas dalam
masyarakat.
Sumber daya manusia merupakan faktor terpenting dalam
meningkatkan pembangunan. Sumber daya manusia menjadi alat aktif
dalam pengelolaan sumber daya alam. Etos kerja merupakan semangat
kerja yang dimiliki manusia sebagai makhluk hidup untuk mampu bekerja
lebih baik guna memperoleh nilai hidup mereka. Etos kerja menentukan
penilaian manusia yang diwujudkan dalam suatu pekerjaan. Secara umum
etos kerja bangsa Indonesia masih tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat
dalam hal ketidaktepatan mereka terhadap waktu. Sering kali terjadi
keterlambatan memulai suatu acara, keterlambatan jam masuk kerja,
keterlambatan jadwal pemberangkaran alat transportasi atau
keterlambatan-keterlambatan lain yang disebabkan oleh tidak disiplinnya
sumber daya manusia di Indonesia terhadap waktu.
Selain itu, realitas sosial budaya orang Betawi yang kurang
menguntungkan di tanahnya sendiri, ditengah lajunya arus modernisasi.
maupun nonfisik, eksistensi orang Betawi di tempat asalnya sendiri
mengindikasikan kondisi ketidakmampuan mereka dalam mengantisipasi
serta mengakomodasi perkembangan Jakarta yang semakin pesat.
Secara faktual ada beberapa indikator yang bisa menguatkan
pendapat di atas, antara lain semakin berkurangnya lahan tanah yang
dimiliki orang Betawi baik karena dijual maupun terkena penggusuran
oleh pemerintah dan swasta. Tersingkirnya sebagian dari mereka dari
tanah asal ke daerah pinggiran kota Bodetabek (Bogor, Depok, Tangerang,
Bekasi) sebagai konsekuensi logis dari fenomena pertama, dan
tenggelamnya etnis Betawi dalam kancah kompetisi dibidang ekonomi
perdagangan dan bisnis. Dalam kompetisi dibidang tersebut secara
transparan justru banyak didominasi oleh etnis lain yang sesungguhnya
adalah pendatang di Jakarta dan sekitarnya. Mengenai profesionalisme dan
keterampilan memang orang Betawi tertinggal jauh dengan masyarakat
pendatang yang lebih struggle dalam bertarung untuk kehidupan di
perantauan mereka. Sedangkan orang Betawi cenderung santai menikmati
harta warisan yang mereka dapatkan dari nenek atau kakeknya saja dalam
bentuk sebidang tanah atau kebun-kebun.
Sementara itu di masyarakat Jakarta sendiri berkembang stereotip
tertentu tentang orang Betawi yang sering dikaitkan dengan keberadaan
orang Betawi sekarang ini. Stereotip itu antara lain, yaitu orang Betawi itu
etos kerjanya rendah, santai, dan malas. Sebaliknya, bagi etnis lain juga
ada cap-cap tertentu yang dilekatkan kepada mereka yang merupakan
kontradiksi terhadap orang Betawi. Misalnya, orang Jawa itu ulet dan
rajin; orang Padang itu perhitungan; orang Sunda itu sabar dan lain-lain.
Tetapi memang kita tidak bisa memandang sama rata bahwa semua orang
Betawi seperti itu.
Tentang pendapat bahwa sekelompok entik itu adalah pemalas
3
yang menarik. Alatas berpendapat bahwa anggapan sekelompok manusia
itu malas dan sekelompok manusia lain rajin pada dasarnya adalah suatu
mitos. Dalam kaitannya dengan bangsa Indonesia, Malaysia, dan Filipina,
yang selalu diidentifikasikan sebagai pemalas, mitos itu berasal dari
ideologi kolonial. Mengenai hal ini ia mengatakan :
Dalam perwujudan empiris historisnya, ideologi kolonial memanfaatkan tentang pribumi yang malas untuk membenarkan praktek-praktek penindasan dan ketidakadilan dalam mobilisasi tenaga kerja dikoloninya. Ia menggambarkan citra negatif tentang pribumi dan masyarakat mereka, untuk membenarkan dan mencari alasan penaklukan dan penguasaan Eropa atas wilayah tersebut.1
Jelas seperti diuraikan oleh Alatas, etos kerja bukan suatu
fenomena kebudayaan, melainkan suatu fenomena sosiologis yang
eksistensinya terbentuk oleh hubungan produksi yang timbul sebagai
akibat dari struktur ekonomi yang ada dalam masyarakat itu.2 Sebenarnya
tentang malas atau tidak malas itu tergantung dari manusia itu sendiri,
tergantung bagaimana usaha kita demi meningkatkan kualitas hidup.
Dalam konteks masyarakat pedesaan, maka tinggi rendahnya etos
kerja anggota masyarakat tersebut sangat ditentukan oleh sejumlah faktor
seperti pola pemilikan tanah dan faktor produksi lain seperti ternak, pola
hubungan produksi yang ada dalam masyarakat, serta tersedia atau
tidaknya pekerjaan di luar sektor pertanian. Etos kerja sebagai pendorong
suatu keberhasilan pembangunan juga sangat ditentukan oleh sejauh mana
proyek-proyek pembangunan yang dikembangkan oleh pemerintah atau
organisasi lain sesuai atau tidak dengan kebutuhan penduduk pedesaan.
Dengan kata lain etos kerja sebagai pendorong suatu keberhasilan
pembangunan juga tergantung pada sejauh mana proses pembangunan itu
memberi kesempatan dan kebebasan kepada msyarakat pedesaan untuk
ikut menentukan jenis proyek yang ingin dikembangkan dalam masyarakat
1
S.H. Alatas, Mitos Pribumi Malas, Citra Orang Jawa, Melayu dan Filipina dalam Kapitalisme Kolonial, (Jakarta : LP3ES, 1988), h. 2.
2
itu. Selain itu pendidikan juga menjadi salah satu faktor utama bagaimana
seseorang bisa mencapai kesuksesan. Tinggi rendahnya etos kerja suatu
masyarakat merupakan masalah ada atau tidaknya struktur ekonomi,
sosial, dan politik, yang mampu memberikan insentif bagi anggota
masyarakat untuk bekerja keras dan menikmati hasil kerja keras mereka
dengan penuh.3
Allah SWT memerintahkan kepada ummat-Nya untuk bekerja dan
menyumbangkan jiwa dan tenaganya untuk kebaikan diri, keluarga,
masyarakat, dan negara tanpa menyusahkan orang lain. Sebagaimana
dalam firman-Nya pada surah Ar Ra’d ayat 11:
ْم سفْنأب
ام
ا رِيغي
ىَت
ح
مْ قب
ام
رِيغي
ل
َّ
َنإ
“Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri”. (Q.S. Ar
Ra’d : 11)
Ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa manusia harus
berusaha dan mempunyai tujuan untuk memenuhi kebutuhan tertentu dan
di dalam mencapai tujuannya tersebut dia berupaya dengan penuh
kesungguhan untuk mewujudkan prestasi yang optimal sebagai bukti
dirinya kepada Allah SWT. Konsep etos kerja dalam Islam memiliki arti
bahwa kemuliaan seseorang manusia itu bergantung kepada apa yang
dilakukannya. Istilah kerja dalam Islam bukanlah semata-mata merujuk
kepada mencari rezeki untuk menghidupi diri dan keluarga dengan
menghabiskan waktu siang maupun malam, dari pagi hingga sore, terus
menerus tak kenal lelah, tetapi kerja mencakup segala bentuk amalan atau
pekerjaan yang mempunyai unsur kebaikan dan keberkahan bagi diri,
keluarga dan masyarakat sekelilingnya serta negara.
Dari latar belakang yang diuraikan di atas, maka penelitian ini
ditulis dalam bentuk skripsi dengan judul “Etos Kerja Masyarakat Betawi
3
5
dalam Meningkatkan Status Sosial Ekonomi di Kelurahan Pondok Cabe
Udik”.
B.
Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas, maka fokus penelitian ini
adalah etos kerja masyarakat Betawi dalam meningkatkan status sosial
ekonomi.
C.
Ruang Lingkup
Berdasarkan latar belakang dan fokus penelitian di atas, maka
ruang lingkup penelitian ini adalah etos kerja masyarakat Betawi dan
upaya masyarakat Betawi dalam meningkatkan status sosial ekonomi di
kelurahan Pondok Cabe Udik.
D.
Perumusan Masalah
Rumusan masalah dari fokus penelitian diatas ialah bagaimana etos
kerja masyarakat Betawi? Dan bagaimana upaya masyarakat Betawi dalam
meningkatkan status sosial ekonomi di kelurahan Pondok Cabe Udik?
E.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui etos kerja
masyarakat Betawi, dan upaya masyarakat Betawi di kelurahan Pondok
Cabe Udik dalam meningkatkan status sosial ekonomi demi kelangsungan
hidup sehari-hari.
F.
Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoritis
a. Manfaat bagi peneliti, menjadi sarana untuk introspeksi diri dalam
mengembangkan etos kerja demi kelangsungan kehidupan yang
b. Manfaat bagi pembaca, menjadi bahan untuk mengeksplorasi
pengetahuan tentang etos kerja.
c. Manfaat bagi peneliti lain, menjadi acuan untuk penelitian yang
selanjutnya dengan pembahasan yang serupa dengan lebih baik
lagi.
2. Manfaat Praktis
a. Manfaat bagi UIN Jakarta, dapat menumbuhkan motivasi serta
mentalitas kerja yang ulet bagi para mahasiswa dan dosen,
sehingga berdampak kesuksesan, keberhasilan, dalam belajar
maupun bekerja.
b. Manfaat bagi jurusan, khazanah pengetahuan tentang pentingnya
etos kerja sebagai pacuan untuk meraih kesuksesan khususnya
dalam bidang keguruan, sehingga para guru maupun dosen dapat
menjadi pendidik yang bertanggung jawab menjalankan
pekerjaannya dan mengabdi dengan setulus hati.
c. Manfaat bagi pemerintah pusat & daerah, sebagai masukan serta
evaluasi yang berharga tentang objek kajian yang diteliti sehingga
selanjutnya diharapkan dapat menjadi masukan agar lebih maju
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A.
Deskripsi Teoritis Etos Kerja
1.
Pengertian Etos Kerja
“Etos berasal dari bahasa Yunani, ethos yang memberikan arti sikap, kepribadian, watak, karakter, serta keyakinan atas sesuatu”.1
Sikap ini tidak saja dimiliki oleh individu, tetapi juga oleh kelompok
bahkan masyarakat. Etos dibentuk oleh berbagai kebiasaan, pengaruh
budaya, serta sistem nilai yang diyakininya. Dari kata etos ini, dikenal
pula kata etika, etiket yang hampir mendekati pada pengertian akhlak
atau nilai-nilai yang berkaitan dengan baik-buruk moral yang dimiliki
individu, sehingga dalam etos tersebut terkandung gairah atau
semangat yang amat kuat untuk mengerjakan sesuatu secara optimal,
lebih baik, dan bahkan berupaya untuk mencapai kualitas kerja yang
sesempurna mungkin.
“Dalam etos tersebut, ada semacam semangat untuk menyempurnakan segala sesuatu dan menghindari segala kerusakan
(fasad) sehingga setiap pekerjaannya diarahkan untuk mengurangi
bahkan menghilangkan sama sekali cacat dari hasil pekerjaannya (no
single defect!). Sikap seperti ini dikenal dengan ihsan”.2
Karena etos berkaitan dengan nilai kejiwaan seseorang,
hendaknya setiap pribadi muslim harus mengisinya dengan
kebiasaan-kebiasaan yang positif dan ada semacam kerinduan untuk
menunjukkan kepribadiannya sebagai seorang muslim dalam bentuk
hasil kerja serta sikap dan perilaku yang menuju atau mengarah kepada
hasil yang lebih sempurna.3 Etos juga mempunyai makna nilai moral
adalah suatu pandangan batin yang bersifat mendarah-daging. Dia
1
Toto Tasmara, Membudayakan Etos Kerja Islami, (Jakarta : Gema Insani Press, 2002), h. 15.
2
Ibid., h. 15.
3
merasakan bahwa hanya dengan menghasilkan pekerjaan yang terbaik,
bahkan sempurna, nilai-nilai Islam yang diyakininya dapat
diwujudkan. Karenanya, etos bukan sekedar kepribadian atau sikap,
melainkan lebih mendalam lagi, dia adalah martabat, harga diri, dan
jati diri seseorang.
Sedangkan kerja, di dalam makna pekerjaan terkandung dua aspek yang harus dipenuhinya secara nalar, yaitu pertama, aktivitasnya dilakukannya karena ada dorongan untuk mewujudkan sesuatu sehingga tumbuh rasa tanggung jawab yang besar untuk menghasilkan karya atau produk yang berkualitas. Bekerja bukan sekedar mencari uang, tetapi ingin mengaktualisasikannya secara optimal dan memiliki nilai transendental yang sangat luhur. Kedua, apa yang dia lakukan tersebut dilakukan karena kesengajaan, sesuatu yang di rencanakan. Karenanya, terkandung di dalamnya suatu gairah semangat untuk mengerahkan seluruh potensi yang dimilikinya sehingga apa yang dikerjakannya benar-benar memberikan kepuasan dan manfaat.4
Di sisi lain, makna bekerja bagi seorang muslim ialah suatu
upaya yang sungguh-sungguh, dengan mengerahkan seluruh aset, pikir,
dan zikirnya untuk mengaktualisasikan atau menampakkan arti dirinya
sebagai hamba Allah yang harus menundukkan dunia dan
menempatkan dirinya sebagai bagaian dari masyarakat yang terbaik.
Bekerja bagi seorang muslim merupakan ibadah, bukti pengabdian dan
rasa syukurnya untuk mengolah dan memenuhi panggilan Ilahi agar
mampu menjadi yang terbaik karena mereka sadar bahwa bumi
diciptakan sebagai ujian bagi mereka yang memiliki etos yang terbaik.
Etos kerja berkaitan erat dengan harapan serta cara dirinya
memberikan makna terhadap pekerjaan itu sendiri. Dalam etos kerja ada
semacam kandungan spirit atau semangat yang menggelegak untuk
mengubah sesuatu menjadi lebih bermakna. Etos bukan sekedar
bergerak atau bekerja, melainkan kepribadian yang bermuatan moral
4
9
dan menjadikan landasan moralnya tersebut sebagai cara dirinya
mengisi dan menggapai makna hidup yang diridhai-Nya, menggapai
kebahagiaan di dunia dan di akhirat, sehingga etos kerja berkaitan dan
bersenyawa dengan semangat, kejujuran, dan kepiawaian dalam
bidangnya (profesional).
Dalam kamus Websters, terdapat ethic bermakna “custom,
usage, caracters,...” artinya sama dengan moral, kebiasaan, adat, watak, perasaan, atau tempat tinggal. Hal ini juga dapat di definisikan sebagai
keyakinan yang berfungsi sebagai panduan tingkah laku bagi seseorang,
sekelompok, atau sebuah intuisi.5
Bekerja merupakan kebalikan dari bersenang-senang yang
berarti sesuatu yang baik dan setiap orang harus bekerja meskipun
situasi kebutuhan material tidak mendesak orang untuk bekerja. Kerja
merupakan panggilan hidup manusia, bukan hanya sekedar upaya untuk
memenuhi kebutuhan materialnya. Dapat disimpulkan bahwa etos kerja
merupakan seperangkat sikap atau pandangan mendasar yang dipegang
sekelompok manusia untuk menilai bekerja sebagai suatu hal yang
positif bagi peningkatan kualitas kehidupan sehingga mempengaruhi
perilaku kerjanya.
2.
Prinsip Etos Kerja
Etos kerja dapat dikatakan sebagai refleksi dari sikap hidup
yang mendasar dalam menghadapi kerja yang dapat dijadikan
cerminan dari pandangan hidup yang berorientasi pada nilai-nilai yang
berdimensi transenden. Sinamo merumuskan sebuah definisi etos kerja
profesional, yaitu seperangkat perilaku kerja positif yang berakar pada
kesadaran yang kental, keyakinan yang fundamental, disertai
5
komitmen yang total pada paradigma kerja yang integral.6 Selain itu
Sinamo membagi etos kerja ke dalam delapan paradigma yang terdiri
dari:
a. Kerja adalah rahmat
“Aku bekerja tulus penuh syukur”.7
Jadi, rahmat
merupakan kebaikan yang kita dapatkan dari Tuhan Yang Maha
Esa karena kasih sayang-Nya. Rahmat adalah berkah, anugerah,
serta karunia yang diberikan Tuhan untuk seluruh umatnya yang
bertaqwa.
b. Kerja adalah amanah
“Aku bekerja benar penuh tanggung jawab”.8
Jadi, amanah
melahirkan sebuah sikap tanggung jawab, jika suatu pekerjaan
dianggap sebagai amanah maka seseorang akan menyadari bahwa
dia mengambil peran dalam sebuah sistem. Kesadaran ini akan
membawa seseorang untuk memberikan lebih dalam menuntaskan
pekerjaan dengan baik dan benar.
c. Kerja adalah panggilan
“Aku bekerja tuntas penuh integritas”.9
Jadi, panggilan ini
memiliki arti bahwa apa saja yang kita kerjakan hendaknya
memenuhi tuntutan profesi. Agar panggilan dapat diselesaikan
hingga tuntas maka diperlukan integritas yang kuat karena dengan
memegang teguh integritas maka kita dapat bekerja dengan
sepenuh hati, segenap pikiran, segenap tenaga kita secara total.
d. Kerja adalah aktualisasi
“Aku bekerja keras penuh semangat”.10
Jadi, aktualisasi
adalah kekuatan yang kita pakai untuk mengubah potensi menjadi
6
Jansen H. Sinamo, 8 Etos Kerja Profesional, (Jakarta : PT. Malta Printindo, 2008), h. 17.
7
Ibid., h. 20.
8
Ibid., h. 20.
9
Ibid., h. 20.
10
11
realisasi. Tujuan dari sikap aktual ini agar kita terbiasa bekerja
keras dan selalu tuntas untuk mencapai mimpi dan keinginan kita.
e. Kerja adalah ibadah
“Aku bekerja serius penuh kecintaan”.11
Jadi, segala bentuk
pekerjaan yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa kepada kita harus
disyukuri dan dilakukan dengan sepenuh hati. Tidak ada jenis
pekerjaan yang lebih baik dan lebih rendah dari yang lain karena
semua pekerjaan halal adalah sama di mata Tuhan jika kita
mengerjakannya dengan serius dan penuh kecintaan. Menjadikan
pekerjaan yang kita jalani sebagai ibadah yang wajib dalam
memenuhi kebutuhan hidup.
f. Kerja adalah seni
“Aku bekerja cerdas penuh kreativitas”.12
Jadi, di dalam
bekerja kita perlu kreatif dalam menggunakan strategi dan taktik
pintar untuk mengembangkan diri, memanfaatkan waktu bekerja
agar tetap efektif dan efisien, melihat dan memanfaatkan peluang
kerja yang ada, melahirkan karya dan buah pikiran yang inovatif.
Dengan begitu kita dapat menghasilkan sesuatu dalam bentuk
karya seni.
g. Kerja adalah kehormatan
“Aku bekerja tekun penuh keunggulan”.13
Jadi, melalui
pekerjaan, maka kita dihormati dan dipercaya untuk memangku
suatu posisi tertentu dan menjalankan tugas yang diberikan kepada
kita termasuk segala kompetensi diri yang kita miliki. Rasa hormat
ini akan menumbuhkan kepercayaan diri yang akan meningkatkan
kinerja kita agar lebih baik lagi.
11
Jansen H. Sinamo, 8 Etos Kerja Profesional, (Jakarta : PT. Malta Printindo, 2008), h. 21.
12
Ibid., h. 21.
13
h. Kerja adalah pelayanan
“Aku bekerja sempurna penuh kerendahan hati”.14 Jadi,
hasil dari pekerjaan kita bisa menjadi masukan untuk orang lain
begitu pula sebaliknya. Sehingga dari proses tersebut kita telah
memberikan kontibusi kepada orang lain agar mereka bisa hidup
dan beraktivitas dengan mudah. Jadi, bekerja juga bisa kita
golongkan sebagai salah satu bentuk pelayanan kita terhadap orang
lain.
Ciri-ciri orang yang mempunyai dan menghayati etos kerja
akan tampak dalam sikap dan tingkah lakunya yang dilandaskan pada
suatu keyakinan yang sangat mendalam bahwa bekerja itu ibadah dan
berprestasi itu indah. Ada semacam panggilan dari hatinya untuk
terus-menerus memperbaiki diri, mencari prestasi bukan prestise, dan tampil
sebagai bagian dari umat yang terbaik (khairu ummah). Berikut ini
adalah beberapa ciri etos kerja menurut Tasmara:
a. Mereka memiliki moralitas yang bersih (ikhlas)
b. Mereka memiliki komitmen (Aqidah, Aqad, I’tiqad) c. Memiliki jiwa kepemimpinan
d. Tangguh dan pantang menyerah
e. Mereka kecanduan belajar dan haus mencari ilmu
f. Mereka memiliki semangat perubahan
g. Mereka berorientasi ke masa depan
h. Mereka tipe orang yang bertanggung jawab
i. Mereka memiliki harga diri
j. Hidup berhemat dan efisien15
14
Jansen H. Sinamo, 8 Etos Kerja Profesional, (Jakarta : PT. Malta Printindo, 2008), h. 21.
15
13
3.
Konsep Etos Kerja
Tesis Max Weber tentang apa yang disebutkan „etika protestan‟
(protestant ethic, die protestantische ethik) dan hubungannya dengan
semangat kapitalisme. Tesis ini memperlihatkan kemungkinan adanya
hubungan antara ajaran agama dengan perilaku ekonomi.16
Tesis Weber tak lepas dari fakta sosiologis yang ditemukannya
di Jerman, bahwa sebagian besar dari pemimpin-pemimpin
perusahaan, pemilik modal dan komersial tingkat atas adalah
orang-orang Protestan, bukannya Katolik. Berbagai studi dilakukan menguji
kebenaran tesis Weber bahwa ajaran agama yang dianut
mempengaruhi tingkat pencapaian dalam usaha.17
Sikap hidup keagamaan yang diinginkan kata Weber adalah
“akses duniawi” yaitu intensifikasi pengabdian agama yang dijalankan dalam kegairahan kerja sebagai gambaran dan pernyataan dari manusia
yang terpilih.18 Maka semangat kapitalisme, yang bersandarkan kepada
cita ketekunan, hemat dan berperhitungan, rasional dan sanggup
menahan diri, sukses dalam hidupnya yang dihasilkan oleh kerja keras
dapat dianggap sebagai pembenaran bahwa ia adalah orang yang
terpilih.
Jadi menurut Max Weber dalam bukunya The Protestan Ethic
and spirit of Capitalism, etos kerja merupakan sebuah fondasi dari
kesuksesan yang sejati dan autentik atau dapat dikatakan sukses di
dunia dan sukses di akhirat karena terdorong oleh ajaran agama.
Nilai-nilai transenden akan menjadi landasan bagi
berkembangnya spirilitas sebagai salah satu faktor yang membentuk
kepribadian. Etos kerja tidak terbentuk oleh kualitas pendidikan dan
kemampuan semata tetapi etos kerja dapat terbentuk sesuai suasana
16
Taufik Abdullah, Agama, Etos Kerja, dan Perkembangan Ekonomi, (Jakarta: LP3ES, 1979), cet. 1, h. 4.
17
Ibid., h. 6.
18
batin dan semangat hidup yang terpancar dari keyakinan dan keimanan
pun ikut menentukan adanya etos kerja tersebut.
Geertz sadar akan kesatuan kultural masyarakatnya, karena
Geertz menyadari adanya perbedaan dalam penghayatan agama,
seperti di Mojokuto atau status di Tabanan. Santri di Mojokuto dan
kaum bangsawan di Tabanan bukanlah kelompok sosial yang asing,
tetapi secara struktural adalah bagian dari masyarakat. Jika pada kasus
kaum santri Geertz melihat suatu paralelisme yang berfungsi dalam
etika Protestan. Secara etika dalam pengertian Weber, Geertz melihat
adanya unsur semangat kapitalisme dalam arti tekun, hemat dan
berperhitungan.19 Jadi menurut Geertz bahwa adanya hubungan yang
bermakna antara nilai-nilai yang dianut seseorang atau bangsa dan
dalam seseorang itu akan menemukan dirinya di dalam agama yang
diyakininya karena apa yang diajarkan oleh agamanya kemudian orang
tersebut dituangkannya dalam kehidupannya sendiri.
4.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja
Etos kerja dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya
adalah :
a. Agama
Pada dasarnya agama merupakan suatu sitem nilai. Sistem
nilai ini tentunya akan mempengaruhi atau menentukan pola hidup
seseorang. Seperti cara berpikir, bersikap dan bertindak seseorang
pastilah diwarnai oleh ajaran agama yang dianutnya jika ia
sungguh-sungguh dalam kehidupan beragama. Dengan demikian,
kalau ajaran agama itu mengandung nilai-nilai yang dapat memacu
pembangunan, jelaslah bahwa agama akan turut menentukan
jalannya pembangunan atau modernisasi.
19
15
b. Budaya
Kualitas etos kerja ini ditentukan oleh sistem orientasi nilai
budaya terhadap perilaku masyarakat yang bersangkutan.
Masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya terhadap perilaku
masyarakat yang bersangkutan. Masyarakat yang memiliki sistem
nilai budaya maju akan memiliki etos kerja yang tinggi begitupun
sebaliknya, masyarakat yang memiliki sistem nilai budaya yang
konservatif akan memiliki etos kerja yang rendah, bahkan bisa
sama sekali tidak memiliki etos kerja.
c. Pendidikan
Etos kerja tidak dapat dipisahkan dengan kualitas sumber
daya manusia karena dengan peningkatan sumber daya manusia
akan membuat seseorang mempunyai etos kerja yang tinggi.
Meningkatnya kualitas penduduk dapat tercapai apabila ada
pendidikan yang merata dan bermutu, disertai dengan peningkatan
dan perluasan pendidikan, keahlian dan keterampilan, sehingga
semakin meningkat pula aktivitas dan produktivitas masyarakat.
d. Likungan atau Masyarakat
Dari sisi lingkungan atau masyarakat terdapat adat-istiadat
yang ikut mempengaruhi sesorang beretos kerja tinggi.
e. Struktur Ekonomi dalam Etos Kerja
Tinggi rendahnya suatu etos kerja suatu masyarakat itu
dipengaruhi oleh ada atau tidaknya struktur ekonomi.
f. Motivasi Intrinsik Individu
Etos kerja juga dapat mempengaruhi motivasi seseorang,
dimana etos kerja ini merupakan suatu pandangan serta sikap yang
didasari oleh nilai-nilai yang diyakini seseorang dan keyakinan
inilah yang menjadi motivasi kerja terhadap seseorang.20
20
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Etos Kerja,
B.
Deskripsi Teoritis Masyarakat Betawi
1.
Pengertian Masyarakat
“Dalam bahasa Inggris masyarakat disebut society, asal katanya
socius yang berarti kawan. Adapun kata masyarakat berasal dari
bahasa Arab, yaitu syirk, artinya bergaul”.21 Karena pada masyarakat
tentu ada bentuk-bentuk aturan hidup, yang bukan disebabkan oleh
manusia sebagai perseorangan, melainkan oleh unsur-unsur kekuatan
lain dalam lingkungan sosial yang merupakan kesatuan.
Menurut Polak, masyarakat (society) adalah wadah segenap
antar hubungan sosial terdiri atas banyak sekali kolektiva-kolektiva
serta kelompok dan tiap-tiap kelompok terdiri atas
kelompok-kelompok lebih baik atau sub kelompok-kelompok.22
Seperti halnya dengan definisi sosiologi yang banyak
jumlahnya kita mendapati pula definisi-definisi tentang masyarakat
yang juga tidak sedikit. Definisi adalah sekedar alat ringkat untuk
memberikan batasan-batasan mengenai sesuatu persoalan atau
pengertian ditinjau daripada analisa. Analisa inilah yang memberikan
arti yang jernih dan kokoh dari sesuatu pengertian. Beberapa definisi
mengenai masyarakat itu, seperti misalnya ;
a. R. Linton: seorang ahli antropologi mengemukakan, bahwa
masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama
hidup dan bekerjasama, sehingga mereka itu dapat
mengorganisasikan dirinta dan berfikir tentang dirinya sebagai satu
kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu.
Organization-Based Self-Esteem Dengan Etos Kerja, 2009, diakses pada tanggal 8 September 2014.
21
Munandar Soelaeman MS., Ilmu Sosial Dasar : teori dan konsep ilmu sosial, (Bandung: PT. Eresco, 1995), cet. 8, h. 63.
22
17
b. M.J. Herskovist: menulis bahwa masyarakat adalah kelompok
individu yang diorganisasikan dan mengikuti satu cara hidup
tertentu.
c. J.L. Gillin dan J.P. Gillin: mengatakan bahwa masyarakat adalah
kelompok manusia yang terbesar dan mempunyai kebiasaan,
tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang sama. Masyarakat itu
meliputi pengelompokan-pengelompokan yang lebih kecil.
d. S.R. Steinmetz: seorang sosiologi bangsa Belanda, mengatakan
bahwa masyarakat adalah kelompok manusia yang terbesar, yang
meliputi pengelompokan-pengelompokan manusia yang lebih kecil,
yang mempunyai perhubungan yang erat dan teratur.
e. Hasan Shadily: mendefinisikan masyarakat adalah golongan besar
atau kecil dari beberapa manusia, dengan atau karena sendirinya,
bertalian secara golongan dan mempunyai pengaruh kebatinan satu
sama lain.23
Jadi, dapat dilihat bahwa masyarakat memiliki arti luas dan arti
yang sempit. Dalam arti yang luas masyarakat dimaksud keseluruhan
hubungan-hubungan dalam hidup bersama tidak dibatasi oleh aspek
tertentu atau kebulatan dari semua perhubungan dalam hidup
bermasyarakat. Dan dalam arti sempit masyarakat dimaksud
sekelompok manusia yang dibatasi oleh aspek tertentu, misalnya
bangsa, golongan, dan sebagainya.
Di dalam kehidupan masyarakat terdapat syarat utama yang
harus ada, yaitu adanya interaksi di antara anggota kelompok
masyarakat tersebut. Jika tidak ada interaksi maka antara anggota
kelompok tersebut tidak saling mempengaruhi satu sama lain. Interaksi
tersebut sangat ditentukan oleh berbagai sarana yang dimiliki oleh
warga masyarakat tersebut dan sesuai dengan tingkat kemajuan serta
kemampuan yang dimilikinya. Kehidupan bermasyarakat juga tidak
23
terlepas dari norma-norma yang diterapkan secara teratur agar
terciptanya masyarakat yang tertib, sehingga membentuk suatu adat
istiadat yang memiliki ciri khas tersendiri dan berbeda antara
masyarakat satu dengan yang lainnya. Dengan demikian, hal inilah
yang menjadi dasar pada kehidupan sosial bermasyarakat.
Selain itu, unsur lain yang dapat membentuk masyarakat pada
umumnya adalah adanya identitas yang sama yang dimiliki oleh warga
masyarakat itu sendiri, bahwa mereka memang merupakan suatu
kesatuan khusus yang berbeda dengan kesatuan masyarakat lainnya.
Kesamaan ini ditandai oleh unsur-unsur kesamaan budaya yang mereka
miliki seperti kesamaan dibidang bahasa dalam berkomunikasi,
kesamaan dalam hal cara berpakaian, dan sebagainya. Sehingga
kesatuan khusus ini dapat memudahkan untuk masyarakat lain
mengenal kebudayaan tersebut. Sebagai contoh, seperti masyarakat
Baduy Dalam yang memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Sunda untuk
berkomunikasi, dan pakaian yang berbeda dengan masyarakat lain.
2.
Masyarakat Betawi
“Betawi adalah suku bangsa yang berdiam di wilayah DKI Jakarta, dan wilayah sekitarnya yang termasuk wilayah Propinsi Jawa
Barat. Suku bangsa ini biasa pula disebut „Orang Betawi‟, Melayu
Betawi, atau „Orang Jakarta‟ (atau Jakarte menurut logat setempat)”.24 Betawi berasal dari Batavia sebagai nama kota Jakarta yang didirikan
oleh Gurbernur Jendral Jan Pieterszoon Coen. Batavia berasal dari
nama suku bangsa Belanda zaman purba. Sebelum bernama Batavia,
kota ini bernama Jayakarta. Yang sebelumnya lagi bernama Sunda
Kelapa. Jayakarta didirikan tanggal 22 Juni 1527, oleh Fatahillah
24
19
utusan kesultanan Demak yang diperintahkan menaklukkan Sunda
Kelapa.25
Dilihat dari segi kesukubangsaan, orang Betawi yang berdiam
di Jakarta memiliki latar belakang sejarah yang melewati rentang
waktu yang cukup panjang. Sejak lebih dari 400 tahun yang lalu,
masyarakat Betawi yang kemudian menjadi masyarakat seperti yang
dikenal sekarang merupakan hasil dari proses asimilasi. Masyarakat itu
dengan budayanya merupakan hasil pembaruan berbagai unsur budaya
berbagai bangsa dan suku-bangsa yang berasal dari berbagai daerah di
Indonesia.26
Jakarta sebagai satu tempat yang terletak di pinggir pantai,
dalam proses perjalanan sejarahnya, menjadi kota pelabuhan dan kota
dagang. Kota ini kemudian menjadi pusat kota administrasi, politik,
dan bahkan menjadi salah satu pusat untuk memperoleh pendidikan di
Indonesia. sifat dan ciri kota Jakarta yang demikian itu telah
memungkinkan menjadi arena pembauran berbagai etnik yang ada di
Indonesia, dan bahkan berbagai bangsa yang berasal dari berbagai
penjuru dunia. Mereka datang dengan beragam kepentingan dan
dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda pula. Pembauran itu
telah melahirkan suatu masyarakat dan kebudayaan baru bagi penghuni
kota Jakarta tadi, yang kemudian dikenal sebagai orang Betawi.27
Pihak-pihak yang datang itu antara lain orang Portugis, Cina,
Belanda, Arab, India, Inggris, dan Jerman. Sedangkan dari daerah di
Indonesia antara lain Jawa, Melayu, Bali, Bugis, Sunda. Kemudian
berpadu sebagai unsur budaya menjadi satu budaya yang disebut
kebudayaan Betawi.28 Perpaduan itu tercermin dalam bahasa,
25
Ridwan Saidi, Maman S. Mahyana, Ragam Budaya Betawi, (Jakarta : Dinas Kebudayaan dan Permuseuman, 2002), h. 9.
26
Rosyadi, Profil Budaya Betawi, (Bandung : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006), h. 212.
27
Ibid., h. 213.
28
kepercayaan, kesenian, dan teknologi (pakaian, makanan, dan
sebagainya).
Kebudayaan Cina banyak memberikan pengaruh di kalangan
penduduk Jakarta khususnya dan Indonesia umumnya. Orang-orang
Cina yang datang ke Jakarta sebenarnya berasal dari etnik yang
berbeda di daerah asalnya. Masing-masing etnik itu menggunakan
bahasa tersendiri. Di Indonesia mereka biasa di kategorikan sebagai
Cina Totok dan Cina Peranakan. Tingkat penyesuaian Cina peranakan
lebih besar dibandingkan dengan Cina Totok. Di Jakarta, unsur budaya
Cina yang banyak terserap dalam budaya Betawi adalah unsur bahasa,
kesenian, dan makanan.29
Bila kita berbicara tentang masyarakat maka tak bisa terlepas
dengan kebudayaan yang dimilikinya. Kebudayaan adalah satu cara
hidup yang dikembangkan oleh sebuah masyarakat guna memenuhi
keperluan dasarnya untuk dapat bertahan hidup, meneruskan keturunan
dan mengatur pengalaman sosialnya.30 Hal-hal tersebut adalah seperti
pengumpulan bahan-bahan kebendaan, pola organisasi sosial, cara
tingkah laku yang dipelajari, ilmu pengetahuan. Kepercayaan dan
kegiatan lain yang berkembang dalam pergaulan manusia. Oleh sebab
itu, kebudayaan adalah sumbangan manusia kepada alam
lingkungannya.
Pada kebudayaan Betawi sistem teknologi dan sistem
peralatannya berupa pakaian, rumah, alat transportasi, dan sebagainya.
Bahkan sekarang alat komunikasi pun merupakan bagian dari sistem
teknologi dan sistem peralatan. Dimana masyarakat dapat dengan
mudah berkomunikasi dengan orang lain tanpa batas jarak dan waktu.
Sedangkan pada sistem mata pencaharian hidup sangatlah beragam di
29
Rosyadi, Profil Budaya Betawi, (Bandung : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006), h. 213.
30
21
zaman modern ini mulai dari berkebun, berdagang, berternak, sampai
pada bekerja kantoran.
Setiap kehidupan masyarakat diatur oleh adat istiadat dan
turan-aturan mengenai berbagai macam kesatuan di dalam lingkungan
tempat individu hidup dan bergaul dari hari ke hari. Khususnya di
lingkungan masyarakat Betwai, kesatuan sosial yang paling dekat dan
mesra adalah kesatuan kekerabatannya, yaitu keluarga inti yang dekat
dan kaum kerabat yang lain. Kemudian ada kesatuan-kesatuan di luar
kaum kerabat, tetapi masih dalam lingkungan komunitas.
Keterkaitan antara budaya Betawi dan Melayu terlihat dari
bahasa yang digunakan masyarakat Betawi. Pada dasarnya mereka
menggunakan bahasa Melayu karena sebagaian besar orang-orang
Betawi adalah pendatang terutama dari Negara serumpun, namun di
Betawi pun tidak hanya orang-orang melayu yang hadir.31 Melalui
jalur perdagangan, kemudian bahasa-bahasa lain berkembang di
Betawi dan perkembangan tersebut diserap oleh orang-orang melayu.
Misalnya, bahasa Sunda, Jawa, Belanda, Portugis, dan Cina.
Dialek Betawi sendiri terbagi atas dua jenis, yaitu dialek Betawi tengah dan dialek Betawi pinggir. Dialek Betawi
tengah umumnya berbunyi „é‟ sedangkan dialek Betawi
pinggir adalah „a‟. Dialek Betawi pusat atau tengah seringkali dianggap sebagai dialek Betawi sejati, karena berasal dari tempat bermulanya kota Jakarta, yakni daerah perkampungan Betawi di sekitar Jakarta Kota, Sawah Besar, Tugu, Cilincing, Kemayoran, Senen, Kramat, hingga batas paling selatan di Meester (Jatinegara). Dialek Betawi pinggiran mulai dari Jatinegara ke Selatan, Condet, Jagakarsa, Depok, Rawa Belong, Ciputat hingga ke pinggir selatan hingga Jawa Barat.32
31
Sistem kekerabatan suku betawi
(http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/1238/sistem-kekerabatan-suku-betawi) diakses pada tanggal 24 Januari 2014.
32
Orang Betawi memiliki banyak jenis kesenian. Betawi menjadi
tempat berpadunya berbagai budaya sehingga setiap jenis kesenian
tidak pernah terlepas dari unsur budaya lain.
Dalam seni tari, warna dasar tari rakyat Betawi adalah Melayu. Tartan Betawi yang ciri kemelayuannya cukup kuat yaitu tari Samrah dan Zapin. Tarian Zapin sendiri adalah pengaruh dari budaya Arab-Islam. Tarian yang kena pengaruh Cina yaitu tari Cokek. Pengaruh Sunda yaitu tari Belenggu, Topeng Tanji, Topeng Gong Ajeng, Pencak silat Betawi, Ondel-Ondel.33
Cerminan dari perpaduan tadi juga terasa dalam seni musik.
Ada pengaruh Sunda dan Jawa, ada warna Cina. Gambang Kromong
merupakan orkes tradisional Betawi perpaduan gamelan dan musik
barat dengan tangga nada pentatonic bercorak Cina. Gambang Rancag
juga merupakan kesenian yang mendapat pengaruh Cina. Kesenian ini
tumbuh di kalangan masyarakat Betawi pinggiran kota. Di antara
kesenian Betawi ada yang merupakan jenis teater rakyat, misalnya
kesenian Lenong dan Topeng atau disebut Topeng Betawi. Kesenian
ini berasal dari Cirebon yang pada mulanya sebagai sarana dakwah
agama tetapi kemudian menjadi kesenian rakyat biasa. Bahkan pernah
menjadi alat untuk ngamen. Kesenian ini mengalami pasang surut
dalam perjalan waktu. Surutnya disebabkan karena kesenian ini
kurang bisa menunjang ekonomi para senimannya dan bersaing
dengan kesenian lain melalui teknologi baru.
Selanjutnya dari sistem ilmu pengetahuan dalam sebuah
kebudayaan merupakan penting adanya, bagaimana suatu kebudayaan
memiliki cara tersendiri dalam mendapatkan pengetahuannya tentang
banyak hal. Ilmu pengetahuan pada masyarakat Betawi tidak saja
didapatkan dengan cara formal melalui lembaga pendidikan, tetapi
juga bisa didapatkan melalui cara informal seperti ditanamkannya
pengetahuan yang turun menurun dari orang tua kepada anaknya
33
23
tentang bagaimana caranya bersosialisasi dan berinteraksi dengan
orang lain dengan baik.
Gambaran tentang aspek religi atau keagamaan orang Betawi
jelas diwarnai oleh ajaran Islam. Gambaran itu bisa dilihat dari sistem
keyakinan dan tindakan yang mereka wujudkan. Bahwa kebudayaan
Betawi sebagai suatu subkultur hampir tidak bisa dipisahkan dengan
Islam.34 Mulai seorang Betawi belum lahir hingga dia meninggal
dunia dan beberapa bulan sesudah itu. Pergaulan perjaka dan perawan
Betawi sudah tunduk kepada norma-norma Islam. Begitu pula
perkawinannya, hamil tujuh bulannya, hingga lahir, menginjak masa
kanak-kanak, dikhitan, menjadi tua tak pernah lepas dari norma-norma
Islam, baik hukum formal maupun tradisi yang terbangun secara
turun-temurun. Kehidupan orang Betawi berkisar antara
rumah-langgar-pasar, dengan kekecualian kecil, yaitu kantor. Mustahil bagi
seorang Betawi hidup tanpa bersentuhan dengan langgar dan mesjid.
Dia akan terkucil dalam artian yang sebenar-benarnya sebagai seorang
Muslim.
C.
Deskripsi Teoritis Status Sosial Ekonomi
1.
Pengertian Status Sosial
“Kedudukan (status) diartikan sebagai tempat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok sosial, sedangkan kedudukan sosial
(social status) adalah tempat seseorang secara umum dalam
masyarakatnya sehubungan dengan orang-orang lain”.35
Kadang-kadang dua istilah tersebut dibedakan, tetapi untuk lebih mudah
mendapatkan pengertian maka akan dipergunakan dalam arti sama dan
34
Rosyadi, Profil Budaya Betawi, (Bandung : Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2006), h. 221.
35
[image:35.595.89.516.159.583.2]digambarkan dengan istilah kedudukan (status), artinya tempat yang
dimiliki seseorang dalam pola tertentu.
Pada masyarakat secara umum seringkali kedudukan dibedakan
menjadi dua macam, yaitu: Ascribed Status dan Achieved Status.36
Perbedaan dari kedua istilah tersebut melihat dari proses yang
didapatkan seseorang dalam menempati posisi dan status yang
dimilikinya.
Dalam istilah Ascribed status, diartikan sebagai kedudukan
seseorang dalam masyarakat tanpa memerhatikan perbedaan
seseorang.37 Kedudukan tersebut diperoleh karena kelahiran. Sebagai
contoh, anak seorang bangsawan yang juga akan memperoleh
kedudukan yang sama dengan orang tuanya, selain itu misalnya orang
tua berasal dari kasta Ksatria maka anaknya berkasta Ksatria.
Sedangkan Achieved status, yaitu kedudukan yang dicapai oleh
seseorang dengan usaha-usaha yang sengaja dilakukan, bukan
diperoleh karena kelahiran.38 Kedudukan ini bisa diberikan kepada
siapa saja tergantung dari masing-masing orang dalam mengejar dan
mencapai tujuan yang ia inginkan, dibutuhkan perjuangan dan kerja
keras dalam meraih posisi atau kedudukan ini.
Sebuah kedudukan seseorang memiliki implikasi secara
sosiologis berupa peranan, karena apabila seseorang melaksanakan hak
dan kewajibannya sesuai dengan kedudukannya maka dia menjalankan
suatu peranan. Istilah peranan menunjukan bahwa setiap orang
memiliki perannya masing-masing, peranan seseorang dalam
masyarakat memiliki fungsi dan tugas yang dipegang sesuai dengan
peranannya sehingga peranan seseorang itu merupakan bagian dari
fungsi sosial. Peranan itu dilaksanakan oleh seseorang atau kelompok
36
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar & Terapan, Edisi Keempat, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004), cet. 1, h. 157.
37
J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi Teks Pengantar & Terapan, Edisi Keempat, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2004), cet. 1, h. 157.
38
25
sosial dalam masyarakat dengan sebuah harapan terciptanya tatanan
kehidupan yang baik. Peran sangat penting karena dapat mengatur
tindakan seseorang. Peranan diatur oleh norma-norma yang berlaku di
masyarakat.
Dengan demikian, status dan peran ibarat dua mata uang yang
terintegrasi dalam kehidupan masyarakat. Tanpa adanya peranan
dalam kedudukan berarti seseorang tersebut tidak menjalankan fungsi
atas kedudukannya tersebut, karena peranan memiliki fungsi mengatur
perilaku seseorang dalam mengukur keberhasilan atas kedudukan yang
dimilikinya, sementara kedudukan memberikan pengaruh pada
seseorang dalam memberikan peranannya.
2.
Pengertian Status Sosial Ekonomi
Secara definitif, status adalah posisi sosial seseorang pada
kedudukan tertentu yang mendapat pengakuan sosial.39 Status itu
misalnya bapak, ibu, dan anak adalah status di keluarga. Setiap status
menjalin hubungan relasional satu sama lain. Karena sifat
relasionalnya itulah masing-masing status dibebankan oleh harapan
dan tanggung jawab. Misalnya, harapan dan tanggung jawab orang tua
kepada anak, atau harapan dan tanggung jawab yang dibebankan orang
tua sebagai suami istri.
“Ekonomi merupakan kata serapan dari bahasa Inggris, yaitu
economy. Sementara kata economy itu sendiri berasal dari bahasa
Yunani, yaitu oikonomike yang berarti pengelolaan rumah tangga”.40
Adapun yang dimaksud dengan ekonomi sebagai pengelolaan rumah
tangga adalah suatu usaha dalam pembuatan keputusan dan
pelaksanaannya yang berhubungan dengan pengalokasian sumber daya
rumahtangga yang terbatas di antara berbagai anggotanya, dengan
39
Amin Nurdin, dan Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi, Pengantar untuk Memahami Konsep-konsep Dasar, (Jakarta : UIN Jakarta Press, 2006), cet. 1, h. 45.
40
mempertimbangkan kemampuan, usaha, dan keinginan
masing-masing. Oleh karena itu, suatu rumah tangga selalu dihadapkan pada
banyak keputusan dan pelaksanaannya. Harus diputuskan siapa
anggota keluarga yang melakukan pekerjaan apa dengan imbalan apa
dan bagaimana melaksanakannya.
Ekonomi muncul bersamaan dengan diturunkannya manusia
dibumi. Sejak itu, manusia telah dihadapkan pada persoalan bagaimana
caranya memenuhi kebutuhannya sehari-hari berupa makanan,
pakaian, tempat tinggal, dan sebagainya. Untuk memenuhi
kehidupannya, awalnya manusia bekerja sebagai individu seorang diri,
lalu bekerjasama sebagai anggota kelompok manusia yang makin lama
makin berkembang jumlahnya. Waktu pun berjalan, dan peradaban
manusia pun mengalami kemajuan yang pesat. Lalu manusia harus
bekerja keras, bersaing, dan bahkan bertikai, untuk alasan klasik yang
tak pernah usang, yakni untuk memenuhi dan mempertahankan
kehidupan ekonominya.
Tidak berbeda halnya dengan rumah tangga, masyarakat juga
selalu dihadapkan pada banyak keputusan dan pelaksanaannya. Suatu
masyarakat harus memutuskan pekerjaan-pekerjaan apa saja yang
harus dikerjakan. Suatu masyarakat membutuhkan orang-orang untuk
menghasilkan pangan, orang yang membuat sandang, orang yang
membangun rumah, orang yang membuat kendaraan, orang yang
menciptakan teknologi, dan seterusnya. Setelah masyarakat
mengalokasikan tenaga kerjanya untuk melakukan berbagai pekerjaan,
masyarakat harus mengalokasikan output, yaitu keluaran atau hasil
dari suatu proses produksi yang menggunakan tenaga kerja atau
sumber daya lainnya, barang dan jasa yang mereka hasilkan.
Dengan demikian, ekonomi merupakan suatu usaha dalam
pembuatan keputusan dan pelaksanaannya yang berhubungan dengan
pengalokasian sumber daya masyarakat yang terbatas diantara berbagai
27
keinginan masing-masing atau dengan kata lain, bagaimana
masyarakat mengelola sumber daya yang langka melalui suatu
pembuatan kebijaksanaan dan pelaksanaannya.
Samuelson, salah seorang ahli ekonomi yang terkemuka di
dunia pada tahun 1970 memberikan definisi ilmu ekonomi secara
berikut:
Ilmu ekonomi adalah suatu studi mengenai individu-individu dan masyarakat membuat pilihan, dengan atau tanpa penggunaan uang, dengan menggunakan sumber-sumber daya yang terbatas tetapi dapat digunakan dalam berbagai cara untuk menghasilkan berbagai jenis barang dan jasa dan mendistribusikannya untuk kebutuhan konsumsi, sekarang dan di masa datang, kepada berbagai individu dan golongan masyarakat.41
Dari pengertian di atas dapat dinyatakan bahwa perilaku
ekonomi yang timbul sebagai tanggapan terhadap dorongan keinginan
manusia secara individu maupun berkelompok atau bermasyarakat
dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya menggunakan sumber
daya yang terbatas dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas
sehingga dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
tidak terbatas.
3.
Kebutuhan Manusia
Kebutuhan manusia adalah keinginan masyarakat untuk
memperoleh barang dan jasa. sebagian barang dan jasa yang
dibutuhkan manusia berupa barang dan jasa tersebut bukan hanya
diproduksikan di dalam negeri, melainkan juga yang diimport dari luar
negeri. Dalam hal ini keinginan manusia dapat dibedakan menjadi dua
bentuk, yaitu keinginan yang disertai oleh kemampuan untuk membeli,
dan keinginan yang tidak disertai oleh kemampuan untuk membeli.
41
Di dalam kehidupan sehari-hari, manusia membutuhkan barang
terutama yang terdiri dari benda yang dapat dilihat secara fisik seperti
pakaian, alas kaki, makanan, minuman, dan lain-lain. Selain itu
terdapat juga kebutuhan manusia yang tidak dapat dilihat secara fisik
seperti udara. Jasa adalah termasuk kebutuhan manusia tetapi bukan
berbentuk benda yang dapat dilihat secara fisik ataupun tidak, jasa
merupakan jenis kebutuhan layanan seseorang yang akan memenuhi
kebutuhan masyarakat. Beberapa jenis jasa yang dibutuhkan
masyarakat antara lain, supir kendaraan angkutan umum, pelayan di
rumah makan, asisten rumah tangga, ataupun penyiar radio serta
pengisi acara televisi.
Setiap manusia memiliki kebutuhan hidup yang berbeda demi
kelangsungan hidupnya. Semua tidak terlepas dari pengaruh
lingkungan dan budaya manusia itu sendiri. Tetapi menurut Drs.
Lukman dan Indoyama Nasarudin terdapat empat jenis kebutuhan
manusia yang dikelompokkan secara umum, diantaranya adalah :
a) Kebutuhan pokok (basic needs)
Merupakan kebutuhan kebendaan yang sangat essensial
bagi kelangsungan hidup, yang merupakan kebutuhan dasar yang
harus terpenuhi seperti sandang, pangan, dan papan. Jadi, memang
kebutuhan pokok ini yang wajib terpenuhi paling utama. Dimana
manusia membutuhkan pakaian, makanan, dan tempat tinggal
untuk kelangsungan hidupnya.
b) Kebutuhan adat istiadat (conventional needs)
Merupakan kebutuhan manusia dalam hidup bermasyarakat
yang merupakan jati diri atau ciri khas suatu kehidupan
masyarakat, seperti pakaian adat istiadat penganten, dan
sebagainya. Jadi, di dalam kehidupan bermasyarakat pasti terdapat
adat istiadat yang secara langsung maupun tak langsung membuat
29
c) Kebutuhan pekerjaan (occupatinal needs)
Merupakan kebutuhan manusia akan pekerjaan dan alat-alat
yang diperlukan dan dipergunakan untuk menghasilkan
barang-barang dan jasa untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya,
seperti jadi pegawai atau karyawan bank. Jadi, saat seseorang
memiliki pekerjaan maka terdapat kebutuhan yang memang harus
dipenuhi dalam menunjang pekerjaan tersebut agar berjalan dengan
baik. Sebagai contoh lain bila menjadi seorang guru maka
membutuhkan seragam guru, sepatu, spidol, buku, dll.
d) Kebutuhan kepribadian (personality needs)
Merupakan jenis kebutuhan pengakuan terhadap
keberadaan diri dan kepribadian seperti status sosial, hobi, tabiat
dan pendidikan, dan sebagainya. Jadi dalam kehidupan ini setiap
manusia pasti memiliki kebutuhan untuk diri sendiri, dan setiap
orang pun berbeda kebutuhan pribadinya.42
D.
Hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian yang relevan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:
Penelitian Hamdi, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik, Universitas Indonesia 1995, dalam skripsi yang berjudul
“Etos Kewiraswastaan Pedagang Betawi (Studi Kasus Pada Tiga Pedagang
Betawi di Kampung Sawah, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa
Jakarta Selatan)” dengan tujuan untuk mengetahui gambaran yang utuh
mengenai profil pedagang Betawi dan etos kewiraswastaannya. Hasil
analisisnya adalah tiga orang pedagang Betawi di Kampung Sawah
mempunyai suatu karakteristik yang khas dalam menjalankan roda usaha
mereka. Berdasarkan hasil pengumpulan data menunjukkan dalam
perilaku dagang masing-masing kasus dimana terjadi beberapa
penyimpangan pada perilaku dagang mereka dari kebiasaan yang umum
42
berlaku dalam dunia bisnis. Faktor usia dan status sosial ekonomi masalah
unsur lain yang turut memberi corak dan nuansa tersendiri pada ketiga
kasus penelitian tersebut.43
Penelitian Siti Mumum Muhibah, Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, dalam
skripsi yang berjudul “Etos Kerja Buruh Perempuan di Pabrik (Studi
Kasus Buruh Perempuan PT. Sewu Nusantara Tangerang)” dengan tujuan
untuk mengetahui semangat kerja buruh perempuan di di PT. Sewu
Nusantara Tangerang. Hasil analisisnya adalah etos kerja yang dimiliki
buruh perempuan di PT. Sewu Nusantara pada distributor berbagai macam
buah-buahan segar ini memiliki etos kerja yang baik, karena dalam
pemaknaan etos kerja bahwa kerja adalah suatu keharusan bagi setiap
manusia untuk dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya dan
keluarganya. Dengan bekerja seseorang akan dapat menyalurkan segala
aspirasi yang ada dalam pikirannya itu ke dalam bentuk pekerjaan,
sehingga bermanfaat bagi dirinta dan orang lain.44
Penelitian Rahmawati, Jurusan Pendidikan IPS, Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013, dalam
skripsi yang berjudul “Etos Kerja Masyarakat Pendatang dalam
Peningkatan Status Sosial Ekonomi di Daerah Pesanggrahan Ciputat Kota
Tangerang Selatan” dengan tujuan untuk mengetahui etos kerja
masyarakat pendatang dalam peningkatan status sosial ekonomi di daerah
Pesanggrahan Ciputat kota Tangerang Selatan. Hasil analisisnya adalah
etos kerja masyarakat pendatang berbanding lurus dengan peningkatan
status sosial ekonomi mereka. Keberhasilan yang telah dicapai oleh
masyarakat pendatang, diyakini merupakan hasil dari kerja keras dan
semangat dalam bekerja diimbangi dengan pelayanan yang baik, kejujuran
43
Hamdi, “Etos Kewiraswastaan Pedagang Betawi (Studi Kasus Pada Tiga Pedagang
Betawi di Kampung Sawah, Kel. Srengseng Sawah, Kec. Jagakarsa Jakarta Selatan)”, Skripsi pada Universitas Indonesia, Depok, 1995, tidak dipublikasikan.
44
31
dalam bertransaksi, serta mementingkan kualitas produksi dagangannya
sebagai wujud tanggung jawab pedagang kepada pelanggannya.45
Penelitian Gudiman, Jurusan Psikologi, Fakultas Psikologi, UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta 2010, dalam skripsi yang berjudul “Etos Kerja Pelaku Puasa Daud”. Hasil analisisnya adalah secara kasuisitik subjek
yang diteliti memiliki paradigma kerja dan perilaku kerja seperti yang
terdapat dalam teori 8 etos kerja Jansen Sinamo. Para subjek memahami,
menyetujui, dan meyakini bahwa kerja adalah rahmat, kerja adalah
amanah, kerja adalah panggilan, kerja adalah aktualisasi, kerja adalah
ibadah, kerja adalah seni, kerja adalah kehormatan, dan kerja adalah
pelayanan. Semua subjek juga menyetujui, merasakan, memiliki,
berkomitmen, dan mengamalkan perilaku kerja tulus penuh kesyukuran,
bekerja benar dengan penuh tanggung jawab, bekerja tuntas dilandasi
integritas, bekerja keras penuh semangat, bekerja serius teriring cinta,
bekerja dengan kecerdasan dan kreativitas, bekerja dengan tekun untuk
sebuah keunggulan, dan bekerja sempurna namun dengan kerendahan
hati.46
E.
Sinopsis
Berdasarkan latar belakang dan landasan teori yang dikemukakan
sebelumnya, maka dapat diambil suatu kerangka berpikir sebagai berikut,
kerja merupakan sebuah gambaran dari eksistensi seseorang. Melalui kerja
martabat seseorang akan ditentukan. Etos kerja itu sendiri menentukan
penilaian manusia yang diwujudkan dalam suatu pekerjaann, karena
sumber daya manusia dapat menjadi alat aktif dalam pengelolaan sumber
daya alam. Etos kerja masyarakat Betawi cenderung rendah, salah satu
faktor yang menyebabkan