• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kelayakan Usaha Pengelolaan Areal Tanaman Kehidupan pada Hutan Tanaman Industri di Provinsi Riau

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kelayakan Usaha Pengelolaan Areal Tanaman Kehidupan pada Hutan Tanaman Industri di Provinsi Riau"

Copied!
73
0
0

Teks penuh

(1)

KELAYAKAN USAHA PENGELOLAAN AREAL TANAMAN

KEHIDUPAN PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI

DI PROVINSI RIAU

AWANG IHWANUDIN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kelayakan Usaha Pengelolaan Areal Tanaman Kehidupan pada Hutan Tanaman Industri di Provinsi Riau adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

AWANG IHWANUDIN. Kelayakan Usaha Pengelolaan Areal Tanaman Kehidupan pada Hutan Tanaman Industri di Provinsi Riau. Dibimbing oleh LETI SUNDAWATI dan DODIK RIDHO NURROCHMAT.

Salah satu penyebab tidak tercapainya pengelolaan hutan produksi lestari pada hutan tanaman adalah adanya konflik sosial dalam pemanfaatan sumber daya hutan. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik sosial, sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan diantaranya melalui skema kebijakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Collaborative Forest Management/CFM). Salah satu bentuk CFM yang dilaksanakan di hutan tanaman industri adalah pengelolaan tanaman kehidupan melalui kemitraan antara pemegang izin dengan masyarakat di sekitar areal hutan.

Penelitian ini bertujuan menganalisis kelayakan dan menghitung manfaat pengelolaan areal tanaman kehidupan di hutan tanaman industri.

Penelitian dilaksanakan pada areal PT. Mitra Kembang Selaras di Desa Seko Lubuk Tigo, Kecamatan Lirik, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, yang telah mengembangkan sawit sebagai tanaman kehidupan. Penelitian ini menghitung NPV, BCR, dan IRR dari tiga jenis tanaman kehidupan yaitu sawit, karet, dan akasia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis sawit lebih layak diusahakan dibandingkan dengan jenis karet dan akasia, namun dana bagi hasil untuk masyarakat dari tanaman karet lebih besar dibandingkan dengan tanaman sawit dan akasia. Regulasi pemerintah saat ini tidak memperbolehkan pengusahaan sawit dilakukan dalam kawasan hutan, sehingga untuk pengelolaan tanaman kehidupan selanjutnya jenis karet lebih direkomendasikan.

(5)

SUMMARY

AWANG IHWANUDIN. Feasibility of The Livelihood Plant Area Management at Industrial Forest Plantation in Riau Province. Supervised by LETI SUNDAWATI and DODIK RIDHO NURROCHMAT.

The presence of social conflict in the utilization of forest resources is one of the factors that causes the failure of sustainable production forest management. The effort done by the government to avoid social conflict and to improve the walfare of forest communities is a scheme of Community˗Based Forest Management policy and Collaborative Forest Management (CFM) policy. One of CFM forms implemented in the industrial forest plantation is the management of livelihood plant through a partnership between the forest concession holder and the communities around the forest areas.

This research aimed to analyze the feasibility and the benefits of livelihood plant management in industrial forest plantation.

This research was carried out at PT. Mitra Kembang Selaras in Seko Lubuk Tigo Village, Lirik Subdistrict, Indragiri Hulu Regency, Riau Province in which oil palm plant type had been developed as livelihood plant. There were three types of livelihood plants that were analyzed, i.e. oil palm plant, rubber plant, and acacia. This research calculated the NPV, BCR and IRR.

The result showed that using oil palm plant was more feasible in management of livelihood plant than using other types, rubber plant and acacia, however, the benefit sharing for the community taken from rubber plants was bigger than that taken from oil palm plants and acacia. At present, the government regulations do not allow the oil palm cultivation around the forest area, therefore, the use of rubber plant types for livelihood plant management is more recommended.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Hutan

KELAYAKAN USAHA PENGELOLAAN AREAL TANAMAN

KEHIDUPAN PADA HUTAN TANAMAN INDUSTRI

DI PROVINSI RIAU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2014

(8)
(9)

Judul Tesis : Kelayakan Usaha Pengelolaan Areal Tanaman Kehidupan pada Hutan Tanaman Industri di Provinsi Riau

Nama : Awang Ihwanudin NIM : E151110121

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F.Trop Ketua

Dr. Ir. Dodik R. Nurrochmat, M.Sc.F.Trop Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi S2 Ilmu Pengelolaan Hutan

Dr. Tatang Tiryana, S.Hut, M.Sc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal Ujian: 29 Agustus 2014

(10)

PRAKATA

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas karunia˗Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak akhir bulan Juni sampai dengan Juli 2013 ini adalah manfaat kemitraan, dengan judul Kelayakan Usaha Pengelolaan Areal Tanaman Kehidupan pada Hutan Tanaman Industri di Provinsi Riau.

Terima kasih penulis haturkan kepada Ibu Dr. Ir. Leti Sundawati, M.Sc.F.Trop selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Dodik Ridho Nurrochmat, M.Sc.F.Trop selaku anggota pembimbing, dan Bapak Dr. Ir. Yulius Hero, M.Sc.F selaku penguji luar komisi. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Ahmad Kuswara dan Bapak Guno Widagdo dari PT. Mitra Kembang Selaras yang telah membantu penulis selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada isteri dan anak-anak penulis, ibu, dan saudara, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

1. PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Kegunaan Penelitian 3

2. TINJAUAN PUSTAKA

Kemitraan 3

Tanaman Kehidupan 5

Sawit (Elaeis guineensis Jacq) 6

Karet (Hevea brasiliensis) 6

Akasia (Acacia crassicarpa Cunn ex Benth) 7

Analisis Finansial 7

3. METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran 9

Hipotesis Penelitian 11

Lokasi dan Waktu Penelitian 11

Jenis dan Sumber Data 12

Populasi dan Contoh 12

Pengolahan dan Analisis Data 12

Ruang Lingkup, Batasan, dan Asumsi Dasar 14

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Wilayah Penelitian 14

Keadaan Sosial Masyarakat 15

Karakteristik Petani Pengelola Tanaman Kehidupan 16

Pengelolaan Tanaman Kehidupan Jenis Sawit 17

Alternatif Pengelolaan Tanaman Kehidupan dengan Jenis Karet 18 Alternatif Pengelolaan Tanaman Kehidupan dengan Jenis Akasia 19

Kesesuaian Teknis 19

Analisis Finansial 21

Analisis Sensitivitas 29

Sistem Bagi Hasil 30

Kesesuaian Sosial 31

SIMPULAN 33

SARAN 33

DAFTAR PUSTAKA 33

LAMPIRAN

(12)

DAFTAR TABEL

4.1 Keadaan umum Desa Seko Lubuk Tigo 14

4.2 Jumlah penduduk Desa Seko Lubuk Tigo berdasarkan kelompok umur 15 4.3 Jumlah penduduk Desa Seko Lubuk Tigo berdasarkan jenis pekerjaan 16

4.4 Keadaan responden berdasarkan umur 16

4.5 Keadaan responden berdasarkan tingkat pendidikan 16 4.6 Keadaan responden berdasarkan jenis pekerjaan 17 4.7 Kesesuaian lahan untuk pembangunan tanaman sawit 19 4.8 Kesesuaian lahan untuk pembangunan tanaman karet 20 4.9 Kesesuaian lahan untuk pembangunan tanaman akasia 20 4.10 Komponen biaya pengelolaan tanaman kehidupan sawit 21 4.11 Biaya rata˗rata pengelolaan tanaman sawit 22 4.12 Analisis finansial pengelolaan tanaman kehidupan sawit 24

4.13 Komponen biaya pengelolaan tanaman karet 24

4.14 Biaya rata˗rata pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis alternatif

karet 25

4.15 Analisis finansial pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis karet 27

4.16 Komponen biaya pengelolaan tanaman akasia 27

4.17 Biaya rata˗rata pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis alternatif

akasia 28

4.18 Analisis finansial pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis akasia 29 4.19 Analisis sensitivitas pengelolaan tanaman kehidupan 30 4.20 Perkiraan bagi hasil pengelolaan tanaman kehidupan 31

DAFTAR GAMBAR

3.1 Kerangka pemikiran penelitian 11

4.1 Aliran kas pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis sawit 23 4.2 Aliran kas pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis karet 26 4.3 Aliran kas pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis akasia 29

DAFTAR LAMPIRAN

1 Arus kas pengelolaan anaman kehidupan sawit PT. Mitra Kembang Selaras

2 Analisis finansial pengelolaan anaman kehidupan sawit PT. Mitra Kembang Selaras

3 Arus kas pengelolaan anaman kehidupan karet PT. Mitra Kembang Selaras

4 Analisis finansial tanaman kehidupan kawit PT. Mitra Kembang Selaras 5 Arus kas pengelolaan anaman kehidupan akasia PT. Mitra Kembang

Selaras

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pengelolaan hutan selama empat dekade terakhir telah menyebabkan buramnya potret kehutanan Indonesia. Tingginya laju deforestasi dan degradasi hutan, menurunnya kualitas lingkungan, perambahan hutan yang tinggi, penyelundupan kayu ilegal dan konlfik sosial yang terjadi, merupakan akibat dari buruknya pengelolaan hutan selama ini.

Tingginya deforestasi hutan selain disebabkan oleh kegiatan eksploitasi, juga disebabkan antara lain oleh perebutan penguasaan lahan antara perusahaan pemegang izin hak pengusahaan hutan (HPH) dan masyarakat (Awang 2003). Pendapat yang sama dikemukakan oleh Darusman (2002) bahwa ketidakpuasan sosial, ekonomi, dan politik masyarakat sekitar hutan merupakan salah satu penyebab kehancuran hutan di Indonesia.

Konflik kepentingan dalam penguasaan sumber daya hutan merupakan salah satu penyebab tidak tercapainya pengelolaan hutan produksi lestari pada hutan alam dan hutan tanaman (Marwa et al. 2010; Nurrochmat 2005a). Konflik terjadi karena terganggunya fungsi sosial yang diemban oleh sumber daya hutan tersebut yaitu berupa fungsi tangible (lahan untuk berladang, hasil hutan kayu dan non kayu) dan fungsi intangible (jasa lingkungan, budaya, religi). Padahal, terdapat hubungan timbal balik antara hutan dengan masyarakat yang sangat kuat, yaitu hutan berperan dalam melestarikan kehidupan masyarakat dan sebaliknya masyarakat sangat berperan dalam melesarikan hutan (Nurrochmat dan Hasan 2012). Selain itu, konflik dalam penguasaan sumber daya alam terjadi karena masyarakat selama ini menjadi terasing dan hanya menjadi penonton dalam pengelolaan sumber daya alam tersebut (Kartodihardjo 2006). Pengelolaan hutan di Indonesia dari zaman penjajahan sampai dengan orde baru lebih banyak dilakukan oleh pemodal besar, sedangkan masyarakat sekitar hutan lebih banyak menjadi penonton karena keterbatasan akses untuk dapat memperoleh manfaat dari keberadaan sumber daya hutan (Nurrochmat 2005a; Nurrochmat 2005b). Keadaan ini menyebabkan masyarakat sekitar hutan tidak mampu mengentaskan kemiskinan (Awang 2003).

Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mencegah terjadinya konflik sosial, sekaligus untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan adalah melalui skema kebijakan Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM) dan Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat (Collaborative Forest Management/CFM) baik di hutan lindung, hutan konservasi, maupun hutan produksi. Pada kawasan hutan produksi yang telah dibebani izin, kegiatan CFM dilakukan melalui kemitraan antara pemegang izin dengan masyarakat di sekitar kawasan hutan.

(14)

tanaman pokok yang menghasilkan hasil hutan kayu dan atau tanaman yang menghasilkan hasil hutan bukan kayu, dan atau tanaman yang bermanfaat bagi masyarakat (food security) yang dikelola melalui pola kemitraan antara masyarakat dengan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (IUPHHKHTI) yang bersangkutan (Kemenhut 2012). Kewajiban penyediaan areal tanaman kehidupan tersebut diatur sebelumnya melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 70/Kpts˗II/1995 jis Nomor 246/Kpts˗II/1996 dan Nomor P.21/Menhut˗II/2006 tentang Tata Ruang HTI. Kewajiban tersebut dikuatkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2007 jo Nomor 3 Tahun 2008. Sebagai pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah tersebut, Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri Nomor P.62/Menhut˗II/2008 yang beberapa kali diubah, dan terakhir dengan Nomor P.19/Menhut˗II/2012 tentang Rencana Kerja Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Pada Hutan Tanaman Industri dan Hutan Tanaman Rakyat.

Berdasarkan data yang ada pada Kementerian Kehutanan, sampai dengan tahun 2012 jumlah HTI di Indonesia tercatat sebanyak 245 unit dengan total luas areal kerja mencapai 9.860.398 ha. Total luas rencana areal tanaman kehidupan untuk seluruh HTI adalah 538.769 ha, dengan realisasi kumulatif sampai dengan tahun 2012 seluas 121.738 ha (22,59%). Khusus untuk tahun 2012, dari rencana tanaman kehidupan 34.701 ha hanya terealisasi 2.299 ha. Untuk Provinsi Riau dari rencana tanaman kehidupan seluas 9.256 ha pada tahun 2012, terealisasi seluas 1.108 ha.

Yang menjadi pertanyaan adalah apakah pengelolaan tanaman kehidupan tersebut dapat memberikan manfaat kepada masyarakat sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat?

Perumusan Masalah

PT. Mitra Kembang Selaras (MKS) memperoleh IUPHHKHTI sesuai SK Bupati Indragiri Hulu Nomor 352 tahun 2002 tanggal 21 Nopember 2002 seluas 14.450 ha. Menteri Kehutanan melakukan pembaharuan izin melalui surat keputusan Nomor SK.67/Menhut˗II/2007 tanggal 23 Pebruari 2007 tanggal 23 Pebruari 2007 dengan luas menjadi 14.800 ha. Menurut wilayah administrasi pemerintahan, lokasi HTI tersebut berada di Kabupaten Indragiri Hulu.

Sesuai Rencana Kerja IUPHHKHTI jangka waktu 10 tahun periode 2008˗2017 yang telah disetujui oleh Menteri Kehutanan, penataan ruang HTI PT. MKS adalah: kawasan lindung seluas 1.656 ha (11,18%), tanaman unggulan seluas 1.664 ha (11,24%), tanaman kehidupan seluas 1.453 ha (9,82%), tanaman pokok seluas 9.012 ha (60,89%) dan areal sarana prasarana seluas 1.015 ha (6,85%).

(15)

pada areal HTI PT. MKS. Program ini antara lain bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan.

Sampai dengan tahun 2012, PT. MKS telah merealisasikan seluruh rencana tanaman kehidupan dengan jenis tanaman sawit. Pemilihan jenis tanaman sawit sebagai jenis tanaman kehidupan didasarkan pada perjanjian antara masyarakat dengan PT. MKS pada tanggal 24 Mei 2002. Namun, sawit sampai saat ini merupakan jenis yang belum diizinkan untuk diusahakan dalam kawasan hutan. Sehubungan hal itu, perlu dicari alternatif jenis tanaman lain yang secara regulasi tidak dilarang dikembangkan dalam kawasan hutan, memiliki nilai ekonomi tinggi, serta dapat diterima oleh masyarakat. Tanaman yang potensial untuk dikembangkan diantaranya adalah karet, yang bisa dimanfaatkan getah dan kayunya. Masyarakat di sekitar HTI PT. MKS sudah terbiasa membudidayakan tanaman karet sebagai mata pencaharian. Jenis tanaman lain yang dimungkinkan untuk dikembangkan adalah akasia, yang merupakan jenis tanaman pokok HTI yang saat ini dikembangkan oleh PT. MKS.

Pertanyaan dalam penelitian ini apakah pengelolaan tanaman kehidupan di PT. MKS layak secara finansial serta sesuai secara teknis dan sosial sehingga bisa mendukung tercapainya pengelolaan hutan produksi lestari di kemudian hari?

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis kelayakan usaha kegiatan pengelolaan tanaman kehidupan jenis sawit, karet, dan akasia, dalam kegiatan pengelolaan hutan bersama masyarakat berdasarkan aspek teknis, aspek finansial, dan aspek sosial.

Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan berguna sebagai:

1 Bahan masukan bagi para pengambil kebijakan, pelaksana dan pengelola kegiatan tanaman kehidupan dalam peningkatan keberhasilan dan pengembangan program tanaman kehidupan selanjutnya.

2 Bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut tentang pengelolaan tanaman kehidupan, khususnya dalam kegiatan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pengelolaan tanaman kehidupan.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kemitraan

(16)

pendapatan usaha kecil dan masyarakat, (2) meningkatkan perolehan nilai tambah bagi pelaku kemitraan, (3) meningkatkan pemerataan dan pemberdayaan masyarakat dan usaha kecil, (4) meningkatkan pertumbuhan ekonomi pedesaan, wilayah dan nasional, (5) memperluas kesempatan kerja, dan (6) meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.

Berdasarkan Pasal 1 ayat 8 Undang˗Undang Nomor 9 tahun 1995 tentang Usaha Kecil, disebutkan bahwa kemitraan merupakan kerjasama antara usaha kecil dengan menengah atau besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan. Dalam kegiatan usaha pertanian, sebagaimana tercantum dalam Keputusan Menteri Pertanian Nomor 940/Kpts/OT-210/10/97, yang dimaksud konsep kemitraan usaha pertanian adalah kerjasama usaha antara perusahaan mitra dengan kelompok mitra bidang usaha pertanian.

Dalam kegiatan usaha pertanian di Indonesia terdapat tujuh pola kemitraan (Direktorat Pengembangan Usaha, Departemen Pertanian, 2002) yaitu inti˗plasma, subkontrak, dagang umum, keagenan, kerjasama operasional agribisnis (KOA), waralaba, dan penyertaan saham.

Penelitian mengenai manfaat kemitraan telah banyak dilakukan. Hasil penelitian Ridwan et al. (2008) tentang peranan program pengelolaan hutan bersama masyarakat (PHBM) dalam meningkatkan kesejahteraan kelompok tani hutan (KTH) di wilayah kerja Bagian Kesatuan Pemangkutan Hutan Parungpanjang, Kesatuan Pemangkutan Hutan Bogor, memperlihatkan bahwa pendapatan petani yang mengikuti program PHBM tidak berbeda nyata dengan petani diluar program PHBM, meskipun produktivitas padi gogo pada lahan PHBM lebih baik bila dibandingkan dengan pada lahan non PHBM. Dengan demikian, program PHBM yang dilaksanakan Perum Perhutani belum dapat dirasakan manfaatnya oleh petani.

Penelitian yang sama mengenai dampak PHBM dilakukan oleh Purwita et al. (2009) di wilayah Pangalengan, Bandung Selatan, dengan hasil bahwa pengelolaan hutan melalui program PHBM telah mampu mengatasi masalah perambahan hutan lindung oleh masyarakat, tetapi belum dapat mengatasi masalah kemiskinan, khususnya pada kasus PHBM kopi.

Pada penelitian mengenai analisis manfaat kemitraan dalam mengelola hutan melalui program mengelola hutan bersama masyarakat (MHBM) dalam pembangunan hutan tanaman industri di Provinsi Sumatera Selatan, diperoleh hasil bahwa program MHBM tidak terbukti nyata dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. Berdasarkan nilai nominal pendapatan yang diterima masyarakat peserta MHBM memang terjadi kenaikan apabila dibandingkan dengan sebelum mengikuti program MHBM, namun berdasarkan perhitungan statistik ternyata tidak terdapat perbedaan pendapatan yang nyata (Diyah 2006).

(17)

Hasil yang berbeda diperoleh dalam penelitian yang dilakukan di DAS Konto Malang, yang menyatakan bahwa program PHBM berdampak terhadap peningkatan pendapatan petani. Pengelolaan areal Perum Perhutani melalui PHBM memberikan kontribusi yang cukup besar bagi peningkatan rata-rata pendapatan per kapita per hari masyarakat di Kecamatan Pujon (Khususiyah 2008).

Dampak positif kegiatan PHBM juga dapat dirasakan oleh masyarakat di Desa Sukorejo, Kecamatan Sumber Ringin, Kabupaten Bondowoso. Berdasarkan analisis manfaat ekonomi kegiatan PHBM yang dilakukan oleh Santosa et al. (2009), diperoleh hasil bahwa nilai NPV>0 dan BCR>1, dengan demikian kegiatan tersebut layak diteruskan karena manfaat yang diterima lebih besar dari biaya yang dikeluarkan.

Masyarakat Desa Glandang, Kecamatan Bantarbolang, Kabupaten Pemalang dapat merasakan maanfaat dari kegiatan PHBM, hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Pambudiarto (2008). Program ini telah mampu meningkatkan taraf hidup pesanggem (penggarap) yang tergabung dalam LMDH, meskipun implementasi pelaksanaan PHBM belum berjalan efektif.

Penelitian mengenai kelayakan program MHBM juga telah dilakukan oleh Martin dan Fitriyanti (2006) pada areal PT. Musi Hutan Persada di Provinsi Sumatera Selatan dengan judul Tinjauan Kelayakan Ekonomi dan Manfaat Sosial Program Sosial Forestry pada Hutan Tanaman Industri. Hasil dari penelitian tersebut antara lain menyebutkan bahwa program MHBM layak dilakukan secara ekonomi dan sosial. Berdasarkan analisis ekonomi, pembangunan HTI melalui skim MHBM menghasilkan nilai BCR>1 dan NPV>0, pada tingkat suku bunga 14% sampai 15,55%, yang berarti layak secara ekonomi. Kelayakan PHBM secara sosial adalah masyarakat mendapatkan kemanfaatan dari jasa kerja, jasa manajemen dan jasa produksi.

Kegiatan PHBM yang dilakukan di Desa Cileuya, Kecamatan Cimahi, Kabupaten Kuningan, berdasarkan analisis finansial menghasilkan nilai NPV>0 dan BCR>1, yang berarti kegiatan tersebut layak diteruskan karena manfaat yang diterima lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Format bagi hasil sebesar 20% untuk masyarakat dan 80% untuk PT. Perhutani bisa dirasakan adil dan layak, mengingat BCR PT. Perhutani sebesar 5,372 hampir sama dengan BCR masyarakat sebesar 4,481 (Noorvitastri dan Wijayanto 2003).

Kegiatan PHBM melalui program Hutan Kemasyarakatan (HKm) di Kabupaten Lombok Timur sebagaimana hasil penelitian yang dilakukan Fajari (2002), telah memberikan harapan kepada masyarakat untuk dapat mengentaskan kemiskinan. Program ini memberikan pengaruh yang nyata dalam rangka peningakatan pendapatan masyarakat. Pendapatan masyarakat peserta HKm berbeda nyata bila dibandingkan dengan masyarakat non peserta HKm.

Tanaman Kehidupan

(18)

tujuan peningkatan kesejahteraan masyarakat yang dapat berupa tanaman pokok yang menghasilkan hasil hutan kayu dan atau tanaman yang menghasilkan hasil hutan bukan kayu, dan atau tanaman yang bermanfaat bagi masyarakat (food security) yang dikelola melalui pola kemitraan antara masyarakat dengan pemegang izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan tanaman industri (IUPHHKHTI) yang bersangkutan (Kemenhut 2012). Tanaman kehidupan dapat berupa jenis pohon seperti tanaman pokok HTI, tanaman penghasil getah, buah-buahan, atau hasil hutan bukan kayu lainnya.

Sawit (Elaeis guineensis Jacq)

Sawit merupakan tanaman monokotil, batang tidak berkambium dan umumnya tidak bercabang, dengan batang berbentuk silinder. Di perkebunan, tinggi tanaman sawit dapat mencapai 15˗18 m, sedangkan sawit alam dapat mencapai tinggi 30 m. Tanaman sawit menghasilkan buah rata-rata 20˗22 tandan/tahun (Fauzi et al. 2008).

Buah sawit terdiri atas dua bagian utama yaitu perikarpium dan biji. Perikarpium meliputi epikarpium dan mesokarpium. Biji meliputi endokarpium, endasperm, dan lemabaga atau embrio. Epikaprium adalah kulit buah yang keras dan licin, sedangkan mesokarpium adalah daging yang berserabut dan mengandung minyak dengan rendemen paling tinggi. Endokarpium adalah tempurung berwarna hitam dan keras. Endosperm atau dikenal juga kernel adalah penghasil inti sawit, sedangkan lembaga atau embrio merupakan bakal tanaman (Fauzi et al. 2008).

Tanaman sawit umumnya tumbuh di sekitar 15o LU˗15o LS pada lahan yang datar, bergelombang sampai berbukit (kemiringan 0˗30%). Sawit dapat tumbuh optimal pada ketinggian antara 0˗500 m di atas permukaan laut (dpl) dengan pertumbuhan dan produksi terbaik antara 0˗100 m dpl. Curah hujan optimum untuk pertumbuhan sawit berkisar antara 2.000˗2.500 mm per tahun. Temperatur daerah tropis yang hangat dengan kisaran suhu 24o˗28oC sangat dikehendaki sawit, namun pada kisaran suhu 18o˗32oC masih dapat tumbuh dan menghasilkan buah dengan baik. Persyaratan tumbuh sawit lainnya adalah kelembaban udara 80%, penyinaran matahari 5˗7 jam/hari, tanah tidak berbatu, tekstur tanah ringan, drainase baik, dan kemasaman antara 4,0˗6,0. Untuk tanah gambut/organosol sebaiknya dilakukan pengapuran (Latif 2006).

Tanaman sawit mulai menghasilkan buah saat berumur 3 tahun. Pada lahan gambut, tanaman sawit umur 3 tahun sudah bisa menghasilkan TBS sebanyak 6,2 ton/tahun, dan apabila dikelola dengan sistem tata air yang baik, pada umur 9 tahun dapat menghasilkan TBS sebanyak 26 ton/tahun (Fadli et al. 2006).

Karet (Hevea brasiliensis)

(19)

pada umumnya kurang baik untuk perkembangan karet. Kondisi tanah yang baik untuk pertumbuhan karet adalah tanah dengan sifat fisik yang baik (bukan tanah padas), aerase dan drainase baik, kemasaman antara 5,0˗6,0 (tanah yang asam lebih baik dari pada tanah basa), permukaan air tanah<100 cm (PS 2006). Karet dapat tumbuh pada semua jenis tanah, bahkan dapat tumbuh baik pada tanah gambut dengan ketebalan 2 m dengan tinggi permukaan air tanah 1,5 m (Firmansyah et al. 2012). Produksi lateks tanaman karet pada lahan pasang surut hanya 5% lebih rendah dibandingkan lahan kering (Sihotang 1994).

Pada umunnya tanaman karet telah matang sadap (siap dipanen/sadap) setelah berumur 5 tahun, dan dapat disadap sampai tanaman berumur 30 tahun. Puncak produksi getah karet kering (lateks) tanaman karet adalah pada saat umur 15 tahun dan kemudian produksi akan menurun secara perlahan. Produksi lateks dari tanaman karet disamping ditentukan oleh keadaan tanah dan pertumbuhan tanaman, serta klon unggul, juga dipengaruhi oleh teknik dan manajemen penyadapan (Setiawan dan Andoko 2005).

Kayu karet dapat dimanfaatkan sebagai bahan untuk kayu pulp dan kertas, kayu energi, dan kayu pertukangan dengan warna kayu putih hampir menyerupai kayu ramin (Setiawan dan Andoko 2005).

Akasia (Acacia crassicarpa Cunn ex Benth)

Akasia krasikarpa merupakan jenis cepat tumbuh yang sangat toleran terhadap berbagai jenis tanah dan mempunyai daya adaptasi yang lebih baik dibanding dengan tanaman akasia lain dan tanaman cepat tumbuh lainnya lainnya, termasuk pada tanah yang miskin hara. Penyebaran jenis ini secara alamiah berada pada 8o˗20oLS, secara umum dapat tumbuh pada ketinggian 200 m dpl, bahkan pada keitnggian 700 m dpl dengan sebaran terbanyak pada daerah bebas kabut. Curah hujan optimum untuk mendukung pertumbuhan akasia berkisar 1.000˗2.500 mm/tahun. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada tanah berdrainase kurang baik/tergenang, tanah berlumpur, pada lahan˗lahan marjinal seperti tanah masam, alkalin, dan tanah dengan tingkat kesuburan rendah. Kemampuan tumbuh yang baik ini menyebabkan jenis ini banyak dipilih untuk rehabilitasi lahan kritis dan konservasi tanah (Turnbull 1968, diacu dalam Patricia 2006).

Keunggulan akasia adalah dapat tumbuh cepat pada berbagai jenis tanah, serta mampu memfiksasi nitrogen. Kayu akasia mudah digergaji dan digunakan sebagai kayu energi, bahan baku pulp, kayu untuk konstruksi bangunan, kayu pertukangan, bangunan kapal, papan dan kayu lapis (Doran dan Turnbull 1997).

Analisis Finansial

(20)

Menurut Djamin (1984), Gittinger (1986), dan Gray et al. (1992) dalam Nugraheni (2010), analisis finansial dilakukan apabila yang berkepentingan langsung dalam benefit dan biaya adalah individu/pengusaha, sedangkan analisis ekonomi yang berkepentingan dalam benefit dan biaya adalah pemerintah dalam rangka peningkatan taraf hidup masyarakat.

Yang diperhatikan dalam analisis finansial adalah hasil investasi dari suatu proyek yang akan diterima oleh petani, pengusaha, perusahaan swasta atau siapa saja yang berkepentingan dalam proyek. Hasil finansial disebut juga private returns. Lain halnya dengan analisis ekonomi, yang diperhatikan adalah hasil total, atau produktivitas atau keuntungan yang didapat dari seluruh sumber yang digunakan dalam suatu proyek untuk masyarakat atau perekonomian secara keseluruhan, tanpa melihat siapa yang menyediakan sumber˗sumber tersebut dan siapa dalam masyarakat yang menerima hasil proyek tersebut. Hasil ini disebut juga social returns atau the economic returns (Kadariah et al. 1999).

Terdapat lima hal yang membedakan dalam analisis finansial dan analisis ekonomi yaitu penggunaan harga, perhitungan pajak, subsidi, biaya investasi dan pelunasan pinjaman dalam hal bunga (Djamin 1984, Gittinger 1986, dan Gray et al. 1992, dalam Nugraheni 2010; Kadariah et al. 1999). Menurut Kadariah et al. (1999), dalam analisis finansial menggunakan harga pasar, memasukkan perhitungan pajak sebagai unsur pengurang dalam benefit, subsidi mengurangi biaya proyek atau menambah benefit proyek, serta bunga untuk pembayaran pinjaman merupakan unsur biaya dan untuk bunga modal proyek tidak dianggap sebagai biaya. Sementara itu, analisis ekonomi mengggunakan harga bayangan yang menggambarkan nilai sosial atau nilai ekonomis sesungguhya dari unsur biaya maupun hasil, pajak tidak dikurangkan dalam pengitungan benefit, subsidi tidak mengurangi biaya proyek, dan bunga untuk pembayaran pinjaman bukan merupakan unsur biaya serta bunga modal dianggap sebagai biaya.

Menurut Soekartawi (1986), perhitungan analisis finansial hampir sama dengan analisis ekonomi, hanya saja harga yang digunakan dalam analisis finansial merupakan harga riil. Penerimaan dan pengeluaran dilakukan analisis anggaran arus tunai (cash flow analysis) dan ditetapkan faktor diskonto (discount factor). Cash flow analysis adalah membandingkan penerimaan dengan penerimaan pada kondisi harga riil. Discount factor adalah bilangan yang menggambarkan weight (pembobot) pada setiap nilai discount factor. Penentuan besarnya faktor diskonto dipilih diantara variasi suku bunga bank yang berlaku di daerah tersebut. Pertimbangan pengunaan angka faktor diskonto adalah untuk menghindari pengaruh distorsi pasar dalam evaluasi proyek, dengan demikian hasil analisis diharapkan dapat menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi.

(21)

Cara menilai proyek jangka panjang yang umum digunakan adalah Discounted Cash Flow Analysis (DCF) atau analiais aliran kas yang didiskonto. Metoda yang digunakan adalah pendiskontoan yang berfungsi untuk menghitung pengaruh waktu dalam analisis, dimana seluruh biaya dan penerimaan dikurangi menjadi nilai saat ini dengan persentase tahunan tertentu (Darusman 1981).

Dalam menganalisis kelayakan suatu proyek, terdapat tiga kriteria yang sering digunakan yaitu Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR), dan Internal Rate of Return (IRR) (Darusman 1981; Soekartawi 1996; Kadariah et al. 1999).

Nilai Sekarang Bersih (Net Present Value/ NPV)

NPV merupakan perkalian antara arus tunai dengan faktor diskonto (Soekartawi 1996). Menurut Kadariah et al. (1999), NPV merupakan selisih antara present value dari benefit dan present value dari biaya. Suatu proyek dikatakan untung apabila memiliki nilai NPV positif, dan sebaliknya proyek merugi jika memiliki nilai NPV negatif (Darusman 1981; Soekartawi 1986). Rasio Manfaat Biaya (Benefit Cost Ratio/ BCR)

BCR merupakan perbandingan manfaat terhadap biaya, yaitu nilai sekarang arus manfaat dibagi dengan nilai sekarang arus biaya (B/C). Suatu proyek dikatakan bermanfaat jika nilai manfaat (B) lebih besar dari biaya (C), atau dengan kata lain nilai B/C>1 (Soekartawi 1986).

Tingkat Pengembalian Internal (Internal Rate of Return/ IRR)

IRR merupakan tingkat bunga yang menyebabkan NPV sama dengan nol. Suatu proyek dikatakan layak jika nilai IRR (r) lebih besar dari tingat i (IRR>i) (Soekartawi 1986). Apabila sebuah proyek memiliki nilai IRR sama dengan nilai i yang berlaku sebagai social discount rate, maka NPV dari proyek itu adalah 0 artinya proyek bisa dilanjutkan. Sebaliknya apabila IRR<social discount rate, berarti NPV<0, artinya proyek tidak usah dilanjutkan (Kadariah et al. 1999).

3 METODE PENELITIAN

Kerangka Pemikiran

(22)

desa sekitar hutan, memberikan harapan baru dalam upaya pelestarian dan peningkatan fungsi˗fungsi hutan.

Pembangunan masyarakat desa sekitar hutan merupakan bagian tak terpisahkan dari pembangunan kehutanan secara utuh. Pembangunan kehutanan merupakan salah satu komponen dan penunjang utama dalam proses pembangunan, karena itu selalu diusahakan agar pembagunan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan dan serasi dengan pembangunan nasional. Hal ini hanya dapat dicapai melalui peningkatan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya hutan dan sumber daya manusia di lingkungan hutan serta lingkungan biofisiknya. Untuk itu, masyarakat sekitar hutan dibina untuk menjadi mitra HTI dalam meningkatkan produktivitas hutan dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan serta kualitas lingkungan.

Pengelolaan tanaman kehidupan merupakan kegiatan yang ditujukan meningkatkan fungsi hutan secara maksimal, meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang mencakup aspek sosial ekonomi dan budaya, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan harapan agar masyarakat menjadi partner dalam pembangunan hutan, serta memperbaiki lingkungan biofisik lingkungan sekitar hutan sehingga tercapai kesinambungan yang harmonis antara masyarakat dengan hutan.

Pencapaian tujuan pengelolaan tanaman kehidupan antara lain ditentukan oleh komitmen yang positif dari pemegang izin HTI dan masyarakat sebagai mitranya, serta peran serta dari berbagai pihak terkait. Komitmen positif dari pemegang izin HTI diantaranya dengan membangun saling kepercayaan dan komitmen, dukungan teknologi, sarpras dan modal. Adapun komitmen masyarakat lebih tercermin pada partisipasi yang positif untuk mendukung program tanaman kehidupan.

Keberhasilan program kemitraan dipengaruhi oleh beberapa faktor pendorongnya seperti faktor internal, faktor eksternal, dan faktor pendukung lainnya. Faktor internal dari petani menggambarkan partisipasi petani untuk terlibat dalam kegiatan kemitraan. Partisipasi aktif petani tersebut tercermin baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi dan pengawasan dari setiap pelaksanaan kegiatan kemitraan tersebut. Faktor eksternal petani yang mempengaruhi keberhasilan kemitraan menurut hasil penelitian Febrianti (2006) dalam Rustandi et al. pada kemitraan petani jagung dengan PT. DuPont di Kecamatan Pakis, Kabupaten Malang antara lain: dukungan fasilitas, dukungan teknologi, dukungan aparat desa, dukungan tokoh mayarakat, dan dukungan kelembagaan masyarakat. Faktor-faktor lain yang mendukung keberhasilan kemitraan adalah adanya rasa saling menghargai antara inti dan plasma, kesesuaian tujuan dan pelaksanaan kegiatan, saling ketergantungan antara inti dan plasma serta adanya transparansi/keterbukaan informasi dari inti kepada plasma (Hasyim 2005 dalam Rustandi et al.).

Salah satu alat yang digunakan untuk melihat manfaat suatu kegiatan, dalam hal ini pengelolaan tanaman kehidupan, adalah dengan melihat kelayakan usaha. Kelayakan meliputi kesesuaian teknis, kelayakan finansial, dan kesesuaian sosial.

(23)

Gambar 3.1 Kerangka pemikiran penelitian

Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah pengelolaan tanaman kehidupan sawit, karet, dan akasia, layak diusahakan secara teknis, finansial, dan sosial.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada areal tanaman kehidupan HTI PT. Mitra Kembang Selaras (MKS), Desa Seko Lubuk Tigo, Kecamatan Lirik, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau. Pengumpulan data penelitian di lapangan dilaksanakan selama satu bulan yaitu pada akhir bulan Juni sampai dengan Juli 2013.

Konflik sosial pada HTI

Sarpras dan infrastruktur Karakteristik

sosial ekonomi petani

Aspek kelembagaan

Kemitraan pengelolaan areal tanaman kehidupan

Keberhasilan pengelolaan

tanaman kehidupan

Kelayakan usaha Penyediaan areal seluas 5 % sebagai

tanaman kehidupan

Aspek biofisk

Aspek pengelolaan

Kesesuaian teknis

Kesesuaian sosial Kelayakan

(24)

Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggali data primer dan skunder. Data primer diperoleh dari wawancara dengan pemegang HTI, pengurus koperasi, dan petani. Data skunder diperoleh dari instansi terkait dan studi literatur.

Populasi dan Contoh

Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat peserta pola kemitraan tanaman kehidupan sebanyak 350 orang, yang tergabung dalam Koperasi Seluti Jaya. Sampel dipilih secara purposive dengan jumlah 78 responden berdasarkan rumus Slovin yaitu

n = N/(1 + Ne2) Keterangan :

n = ukuran contoh N = ukuran populasi

e = kesalahan yang ditoleransi (10%)

Pengolahan dan Analisis Data 1 Kesesuaian Teknis

Untuk mengetahui kelayakan pengembangan jenis tanaman tanaman kehidupan dari aspek kesesuaian lahan/lokasi usaha, kesesuaian jenis tanaman untuk ditanam di kawasan hutan, dan opsi model-model pengelolaan. Analisis dilakukan untuk masing-masing jenis alternatif tanaman kehidupan.

2 Analisis Finansial

Analisis finansial dilakukan untuk melihat kelayakan dan manfaat dari pengelolaan areal tanaman kehidupan. Penelitian ini menggunakan tiga kriteria investasi (Gray et al. 1992 dalam Nugraheni 2010) yaitu

2.1 Net Present Value (NPV)

NPV adalah cara untuk menghitung selisih antara nilai sekarang investasi dengan nilai sekarang penerimaan˗penerimaan kas bersih dimasa datang. Kegiatan dinyatakan layak apabila nilai NPV lebih besar atau sama dengan nol.

n

NPV = ∑ Bt - Ct/ (1 + i)t t=0

Keterangan:

Bt = penerimaan kotor proyek pada tahun t

Ct = biaya kotor proyek pada tahun t

n = umur ekonomis proyek i = discount rate

(25)

2.2 Benefit Cost Ratio (BCR)

BCR adalah perbandingan antara nilai manfaat bersih dengan biaya bersih yang diperhtungkan nilanya saat ini. Perhitungan BCR menggunakan rumus:

n

∑ Bt/(1 + i)t

BCR= t=0 .

n

∑ Ct/ (1 + i)t t=0

Keterangan:

Bt = penerimaan kotor proyek pada tahun t

Ct = biaya kotor proyek pada tahun t

n = umur ekonomis proyek i = discount rate

t = interval waktu

Apabila bila BCR>1, maka pengelolaan tanaman kehidupan menguntungkan karena penerimaan lebih besar daripada biaya total, demikian sebaliknya jika BCR<1 maka pengelolaan tanaman kehidupan tidak menguntungkan.

2.3 Internal Rate of Retrun (IRR)

IRR adalah suatu tingkat bunga (discount rate) yang menunjukkan jumlah nilai sekarang (NPV) sama dengan jumlah seluruh ongkos investasi proyek. Dengan kata lain, IRR adalah tingkat suku bunga yang menyebabkan NPV sama dengan nol. Perhitungan IRR adalah

IRR = i’ + NPV’ (i’’ - i’) (NPV’ - NPV”) Keterangan:

i’ = nilai discount rate untuk percobaan pertama

i” = nilai discount rate untuk percobaan kedua

NPV’ = nilai NPV percobaan pertama

NPV” = nilai NPV percobaan kedua

Analisis finansial dilakukan terhadap komoditas yang dikembangkan saat ini yaitu sawit dan jenis komoditas lain sebagai alternatif pengembangan, yaitu karet dan akasia.

2.4 Analisis Sensitivitas

Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat kecenderungan suatu proyek apabila terjadi perubahan atau kesalahan dalam dasar˗dasar perhitungan biaya atau manfaat. Analisis sensitivitas dilakukan dengan menaikkan biaya input atau menurunkan harga jual produk tanaman kehidupan.

3 Analisis Kesesuaian Sosial

(26)

Ruang Lingkup, Batasan, dan Asumsi Dasar

Ruang lingkup, batasan dan beberapa asumsi dasar yang digunakan dalam perhitungan kelayakan pengelolaan tanaman kehidupan adalah

1 Suku bunga komersil yang digunakan sebesar 11,5%.

2 Biaya investasi dan produksi didasarkan pada harga konstan tahun 2009. 3 Harga tandan buah segar (TBS), harga lateks dan harga kayu akasia

ditetapkan berdasarkan harga rata˗rata selama tahun 2009. Harga jual dan faktor˗faktor produksi yang mempengaruhinya dianggap konstan selama periode analisis.

4 Perhitungan analisis finansial serta aliran kas dimulai pada saat pelaksanaan pembangunan tanaman yaitu tahun ke 1 sampai tahun ke 30.

5 Daur tanaman yang ditetapkan adalah 30 tahun untuk sawit, 30 tahun untuk karet, dan 5 tahun untuk akasia.

6 Satuan biaya yang digunakan adalah rupiah per hektar (Rp/ha). 7 Luas tanaman kehidupan yang dianalisis adalah 426,1 hektar.

8 Analisis finansial sawit dilakukan untuk tanaman tahun 2009 (87,8 ha) dan tahun 2010 (338,3 ha).

9 Analisis finansial karet dilakukan pada areal tanaman tahun 2009 (87,8 ha) dan tahun 2010 (338,3 ha).

10 Analisis finansial akasia dilakukan untuk lima daur tanaman (pemanenan akasia dilakukan pada akhir tahun ke˗lima), dengan luas tanaman 85,2 ha/tahun, tahun tanam mulai tahun 2009.

11 Penerimaan dihitung ketika tanaman menghasilkan yaitu untuk sawit mulai tahun ke˗empat, karet mulai tahun ke˗enam, dan akasia mulai akhir tahun ke˗lima.

12 Penerimaan tanaman sawit hanya berasal dari penjualan TBS. 13 Penerimaan tanaman karet berasal dari penjualan lateks dan kayu. 14 Pengeluaran dihitung sejak perencanaan.

15 Satu HOK adalah hari orang kerja dengan upah Rp 47.000/hari untuk pengelolaan sawit dan karet, serta Rp 45.000/hari untuk pengelolaan akasia.

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Wilayah Penelitian

Gambaran umum Desa Seko Lubuk Tigo, Kecamatan Lirik, Kabupaten Indragiri Hulu, Provinsi Riau, sebagai lokasi penelitian, adalah sebagai berikut:

Tabel 4.1 Keadaan Umum Desa Seko Lubuk Tigoa

Karakteristik wilayah Uraian

(27)

Tabel 4.1 (Lanjutan)

Karakteristik wilayah Uraian

Wilayah desa menurut penggunaan lahan

Permukiman: 270 ha Kuburan: 5 ha Perkebunan: 4.000 ha Pekarangan:15 ha Prasarana umum: 40 ha Hutan: 65 ha

Orbitasi, waktu tempuh dan letak desa

Jarak ke ibukota kecamatan: 3 km Jarak ke ibukota kabupaten: 35 km Jarak ke ibukota propinsi: 180 km

Waktu tempuh ke ibukota kecamatan: 10 menit

Waktu tempuh ke ibukota kabupaten: 1 jam Waktu tempuh ke ibukota propinsi: 4 jam Waktu tempuh ke pusat fasilitas terdekat (ekonomi, kesehatan, pemerintahan): 10 menit Topografi atau bentang

lahan

Dataran rendah: 1.500 ha Perbukitan: 800 ha Rawa: 1.500 ha Gambut: 3.000 ha

Kondisi geografis Tinggi tempat dari permukaan laut (dpl) 25 m

a

Sumber: Profil Desa Seko Lubuk Tigo (2013)

Keadaan Sosial Masyarakat Sumber Daya Manusia

Sebagian besar penduduk Desa Seko Lubuk Tigo adalah tenaga kerja produktif. Ketersediaan tenaga kerja produktif merupakan faktor pendukung keberhasilan pengelolaan tanaman kehidupan.

Berdasarkan laporan dalam profil desa, penduduk Desa Seko Lubuk Tigo berjumlah 1.793 orang (452 KK), terdiri dari 872 orang pria dan 921 orang wanita.

Tabel 4.2 Jumlah penduduk Desa Seko Lubuk Tigo berdasarkan kelompok umura Kelompok umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

Muda (0˗17) 311 17,30

Produktif (18˗59) 1.185 66,60

Tua (≥ 60) 297 16,60

Jumlah 1.793 100,00

aSumber: Profil Desa Seko Lubuk Tigo (2013)

(28)

kesulitan untuk mengadaptasi informasi dan perubahan tentang usaha tani. Hal tersebut merupakan dukungan yang yang sangat baik dalam pengelolaan tanaman kehidupan.

Tabel 4.3 Jumlah penduduk Desa Seko Lubuk Tigo berdasarkan jenis pekerjaana

Pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)

Petani kebun 531 76,40

Buruh tani 25 3,60

Pegawai negeri sipil 7 1,01

Peternak 10 1,44

Pedagang 2 0,29

Pegawai swasta 114 16,40

Pembantu rumah tangga 6 0,86

Jumlah 695 100.00

aSumber: Profil Desa Seko Lubuk Tigo (2013)

Karakteristik Pengelola Tanaman Kehidupan

Responden dalam penelitian ini seluruhnya berjumlah 78 orang, yang merupakan anggota koperasi. Sebagian besar responden berumur produktif.

Tabel 4.4 Keadaan responden berdasarkan umur

Umur (tahun) Jumlah (orang) Persentase (%)

18˗59 75 96,16

≥60 3 3,84

Jumlah 78 100

Lebih dari separuh responden berlatar belakang pendidikan sampai tingkat SD. Keadaan responden berdasarkan tingkat pendidikan yang pernah ditempuh disajikan pada Tabel 4.5 berikut

Tabel 4.5 Keadaan responden berdasarkan pendidikan Pendidikan Jumlah (orang) Perentase (%)

Tidak sekolah 3 3,84

SD 42 53,85

SMP 18 23,08

SMA 11 14,10

Lainnya 4 5,13

Jumlah 78 100

(29)

Tabel 4.6 Keadaan responden berdasarkan jenis pekerjaan Jenis pekerjaan Jumlah (orang) Persentase (%)

Petani 60 76,90

Buruh tani 2 3,85

Pedagang 1 1,28

Pegawai negeri sipil 1 1,28

Karyawan swasta 12 15,38

Lainnya 1 1,28

Jumlah 78 100

Pengelolaan Areal Tanaman Kehidupan Jenis Sawit Desain Pengelolaan

Pengusahaan tanaman sawit pada areal IUPHHKHTI PT. MKS didasarkan pada perjanjian antara PT. MKS dengan dua unit koperasi yaitu KUD Andalan Desa Banjar Balam dan koperasi sawit Seluti Jaya Desa Seko Lubuk Tigo, pada tanggal 27 Mei 2002. Dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa kedua belah pihak bekerjasama dalam pembangunan dan pemanfaatan IUPHHKHTI, dan PT. MKS berkewajiban membangun kebun sawit seluas 750 hektar untuk masing-masing koperasi. Areal pembangunan kebun sawit tersebut berada dalam konsesi HTI PT. MKS, namun diklaim sebagai lahan masyarakat. PT. MKS berkewajiban menanggung seluruh biaya pembangunan tanaman dan perawatan sampai tanaman sawit diserahterimakan kepada koperasi, ketika memasuki tahun ke˗empat. Pemeliharaan tanaman pada tahun ke˗empat dan seterusnya dilakukan oleh koperasi dengan biaya sepenuhnya dari koperasi. Seluruh pendapatan dari penjualan tandan buah segar (TBS) menjadi hak koperasi untuk dibagikan secara merata kepada seluruh anggota yang berjumlah 350 orang.

Sampai dengan tahun 2012 realisasi pembangunan tanaman sawit untuk KUD Seluti Jaya adalah seluas 696 hektar, dan untuk KUD Andalan seluas 752 hektar. Jarak tanam sawit adalah 9 m x 8 m sehingga terdapat 136 tanaman setiap hektar. Pengelolaan tanaman sawit mulai tahun ke˗empat pada areal KUD Andalan dilakukan melalui kerjasama dengan perusahaan perkebunan swasta yaitu PT. Jatim Jaya Perkasa. Sementara itu, pada areal KUD Seluti Jaya pengelolaan tanaman sawit sampai saat ini masih dilakukan oleh PT. MKS dan belum diserahterimakan kepada koperasi.

Dalam penelitian ini, analisis kelayakan usaha dilakukan pada areal kelola koperasi sawit Seluti Jaya, dan dilakukan pada tanaman tahun 2009 dan 2010 dengan luas total 426,1 hektar. Untuk pengelolaan sawit pada areal KUD Andalan, seluruh data pengelolaan kegiatan berada pada manajemen PT. Jatim Jaya Perkasa, sehingga tidak terdapat data pada PT. MKS.

Deskripsi kegiatan

Pola umum pembangunan kebun sawit menurut Pahan (2006) adalah 1 Pembibitan, dilakukan melalui pembelian bibit unggul bersertifikat.

(30)

3 Penanaman, meliputi kegiatan: pembuatan saluran air, pembuatan lubang tanam, pemasangan ajir, penanaman dan pemberian pupuk dasar.

4 Pengelolaan tajuk. 5 Pemupukan.

6 Perlindungan tanaman meliputi pengendalian gulma, pengendalian hama dan penyakit, serta pestisida dan pengelolaannya.

7 Pemanenan mulai dilakukan pada tahun ke˗empat sampai dengan tanaman tidak menghasilkan lagi.

8 Pengangkutan.

Alternatif Pengelolaan Areal Tanaman Kehidupan dengan Jenis Karet Desain Pengelolaan

Karet memiliki peluang yang besar untuk dikembangakan sebagai tanaman kehidupan, mengingat sebagian besar mata pencaharian penduduk desa Seko Lubuk Tigo merupakan petani karet. Klon karet unggul yang dapat dikembangkan adalah IRR 5 yang merupakan klon anjuran komersial. Klon IRR 5 adalah klon penghasil lateks dan kayu yang memiliki pola produksi awal tinggi, dan potensi volume kayu log serta percabangan yang besar.

Mengacu pada sistem pengelolaan sawit, maka pembangunan tanaman kehidupan dengan jenis karet dilakukan sepenuhnya oleh PT. MKS. Penyerahan pengelolaan tanaman kepada koperasi dilakukan pada tahun ke˗enam, ketika tanaman mulai menghasilkan. Penerimaan dari penjualan lateks dan kayu karet sepenuhnya merupakan hak koperasi.

Perhitungan analisis kelayakan usaha untuk tanaman karet dilakukan pada areal seluas 426,1 hektar. Penanaman karet diasumsikan dilakukan selama dua tahun yaitu tahun 2009 seluas 87,8 ha dan tahun 2010 seluas 338,3 ha. Jarak tanam karet adalah 7 m x 3 m sehingga dalam setiap hektar terdapat 476 tanaman. Deskripsi Kegiatan

Pola umum pembangunan kebun karet (PS 2006) adalah

1 Pembukaan lahan dan persiapan tanam yang dilakukan pada tahun pertama. 2 Penanaman, meliputi kegiatan: pembuatan lubang tanam, pemasangan ajir,

pemberian pupuk dasar, penanaman bibit, dan penanaman tanaman penutup tanah.

3 Pemeliharaan tanaman belum menghasilkan meliputi penyulaman, penyiangan, pemupukan tanaman, penjarangan, dan pemeliharaan tanaman penutup tanah. 4 Pemeliharaan tanaman menghasilkan meliputi penyiangan dan pemupukan. 5 Pemanenan, yaitu penyadapan getah karet yang dimulai pada tahun ke˗enam. 6 Peremajaan dan pemanenan kayu pada akhir daur.

Alternatif Pengelolaan Areal Tanaman Kehidupan dengan Jenis Akasia Desain Pengelolaan

(31)

Pangkalan Kerinci, Kab. Pelalawan. Pemilihan jenis ini dimungkinkan karena berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.19/Menhut˗II/2012, tanaman pada areal tanaman kehidupan dapat berjenis sama dengan tanaman pokok.

Sesuai dengan kebijakan perusahaan, jika tanaman kehidupan menggunakan jenis akasia, maka pengelolaannya akan dilakukan sepenuhnya oleh PT. MKS, sehingga terintegrasi dengan pengelolaan HTInya. Pada sistem pengelolaan ini, PT. MKS menetapkan besarnya bagi hasil sebesar 60% untuk PT. MKS dan 40% untuk petani (koperasi) dari keuntungan bersih yang diperoleh.

Perhitungan analisis kelayakan usaha tanaman akasia dilakukan untuk 5 daur tanaman pada areal seluas 426,1 hektar, dengan umur setiap daur adalah 5 tahun. Target penanaman dan penebangan per tahun adalah seperlima daur, yaitu 85,2 hektar/tahun.

Deskripsi Kegiatan

Pola umum pembangunan hutan tanaman akasia yang dilakukan oleh PT. MKS adalah:

1 Pembukaan lahan dan persiapan lahan dilakukan dengan sistem full paket, dimana areal penanaman disiapkan langsung disiapkan oleh kontraktor penebangan.

2 Penanaman, meliputi kegiatan: penyediaan bibit, pembuatan lubang tanam, pemasangan ajir, pemupukan, penanaman.

3 Pemeliharaan, dilakukan sampai tanaman berumur sembilan bulan. 4 Pemanenan, dilakukan pada akhir tahun ke˗lima.

Kesesuaian Teknis Kesesuaian Teknis Tanaman Sawit

Secara umum kondisi fisik areal PT. MKS dapat dikembangkan untuk budi daya sawit. Jenis tanah gambut dengan tingkat keasaman tanah yang tinggi dapat diatasi melalui pemberian pupuk dolomit (pengapuran). Disamping itu, menurut Krisnohadi (2011) dan Firmansyah et al. (2012), pH tanah dapat ditingkatkan melalui pengaturan drainase untuk menurunkan tinggi muka air.

Tabel 4.7 Kesesuaian lahan untuk pembangunan tanaman sawit

Parameter Persyaratana Kondisi arealb

Letak astronomis 150LU˗150LS 0009’5,77”˗ 0017’16,08”LS

Curah hujan 2.000˗2.500 mm/tahun 2.398 mm/tahun

Lama penyinaran 5˗7 jam/hari 5˗7 jam/hari

Suhu optimum 200˗300C 22,200˗31,600C

Ketinggian tempat 0˗400 m dpl 6˗40 m dpl

Jenis tanah Semua jenis tanah Gambut

pH tanah 4˗6 2,63˗4,1

a

Sumber: Latif (2006); b Sumber: MKS (2008).

(32)

bukan merupakan tanaman hutan. Dengan demikian, untuk pengelolaan areal tanaman kehidupan selanjutnya perlu dicarikan jenis tanaman bernilai ekonomi tinggi dan tidak bertentangan dengan regulasi, sehingga dapat diusahakan di dalam kawasan hutan.

Kesesuaian Teknis Tanaman Karet

Areal PT. MKS secara fisik dapat dijadikan lahan untuk pengusahaan karet. Lahan yang berupa gambut bukan merupakan penghambat untuk pengembangan tanaman karet. Menurut Firmansyah et al. (2012) karet dapat tumbuh pada semua jenis tanah, bahkan dapat tumbuh baik pada tanah gambut dengan ketebalan 2 m dengan tinggi permukaan air tanah 1,5 m. Pengaturan tata air melalui sistem kanalisasi akan memperbaiki drainase pada lahan gambut.

Tabel 4.8 Kesesuaian lahan untuk pembangunan tanaman karet

Parameter Persyaratana Kondisi arealb

Letak astronomis 150LU˗150LS 0009’5,77”˗ 0017’16,08”LS

Curah hujan 2.000˗3.000 mm/tahun 2.398 mm/tahun

Lama penyinaran 5˗7 jam/hari 5˗7 jam/hari

Suhu optimum 250˗300C 22,200˗31,600C

Ketinggian tempat 0˗600 m dpl 6˗40 m dpl

Jenis tanah Semua jenis tanah Gambut

PH tanah 5˗6 2,63˗4,1

a

Sumber: PS (2006); bSumber: MKS (2008).

Dari aspek ekonomi, karet merupakan jenis tanaman yang cocok dikembangkan sebagai tanaman kehidupan. Selain menghasilkan kayu, tanaman karet dapat memberikan hasil antara berupa getah. Berdasarkan regulasi, karet merupakan tanaman berkayu yang tidak dilarang diusahakan dalam kawasan hutan, bahkan FAO (2010) telah memasukkan karet sebagai tanaman hutan. Dengan demikian, selain untuk tanaman kehidupan, tanaman karet bisa juga dikembangkan sebagai tanaman pokok pada HTI.

Pengelolaan karet sebagai tanaman kehidupan dapat dikembangkan dengan pola agroforestry. Jenis tanaman yang dapat diusahakan pada pola agroforestry di lahan gambut diantaranya adalah nenas, jagung, dan lidah buaya.

Kesesuaian Teknis Tanaman Akasia

Secara fisik, lahan PT. MKS yang berupa gambut, merupakan areal yang cocok untuk pengembangan tanaman akasia krasikarpa. Menurut Turnbull (1968) diacu dalam Patricia (2006) jenis akasia dapat tumbuh dengan baik pada tanah berdrainase kurang baik/tergenang, tanah berlumpur, pada lahan-lahan marjinal seperti tanah masam, alkalin, dan tanah dengan tingkat kesuburan rendah.

Tabel 4.9 Kesesuaian lahan untuk pembangunan tanaman akasia

Parameter Persyaratana Kondisi arealb

Letak astronomis 200LU˗200LS 0009’5,77”˗ 0017’16,08”LS

Curah hujan 1.000˗2500 mm/tahun 2.398 mm/tahun

Lama penyinaran 5˗7 jam/hari 5˗7 jam/hari

(33)

Tabel 4.9 (Lanjutan)

Parameter Persyaratana Kondisi arealb

Ketinggian tempat 0˗700 m dpl 6˗40 m dpl

Jenis tanah Semua jenis tanah Gambut

PH tanah 4˗7 2,63˗4,1

a

Sumber: Turnbull (1968), diacu dalam Patricia (2006).; bSumber: MKS (2008).

Berbeda dengan pengelolaan sawit dan karet yang dapat menerapkan pola agroforestry, pengelolaan akasia dalam areal tanaman kehidupan tidak mungkin dikembangkan dengan pola agroforestry. Akasia merupakan jenis cepat tumbuh. Dengan jarak tanam yang cukup rapat, proses penutupan tajuk relatif cepat, sehingga lantai hutan cepat ternaungi.

Analisis Finansial Analisis Finansial Tanaman Sawit

Perhitungan analisis finansial menggunakan standar biaya pembangunan tanaman sawit pada PT. MKS. Biaya pengusahaan terdiri atas biaya perencanaan, perlindungan dan pengamanan hutan, kewajiban kepada negara, kewajiban kepada lingkungan dan sosial, pembangunan dan pemeliharaan sarana serta prasarana, umum dan administrasi, penyiapan lahan, penyediaan bibit, penanaman, pemeliharaan, dan pemanenan.

Tabel 4.10 Komponen biaya kegiatan penunjang dan teknis pengusahaan tanaman sawit

Kegiatan Satuan Harga satuan

(Rp)

Estimasi tahun pengeluaran

Perencanaan (penyusunan RKT) Ha 12.704 Tahun ke˗1,2

Kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan

Ha 52.330 Tiap tahun

Kewajiban kepada negara (PBB) Ha 10.962 Tiap tahun

Pelaksanaan kelola lingkungan, pemantauan dan pelaksanaan kelola sosial

Ha 19.227 Tiap tahun

Pemeliharaan sarana dan prasarana

Ha 327.904 Tiap tahun

Biaya umum dan administrasi Ha 245.584 Tiap tahun

Penyiapan lahan Ha 1.497.260 Tahun ke˗1,2

Pengadaan bibit Batang 27.866 Tahun ke˗1,2

Pembuatan tanaman Ha 1.216.428 Tahun ke˗1,2

Penanaman LCC Ha 810.500 Tahun ke˗1,2

Pemeliharaan TBM1 Ha 6.477.925 Tahun ke˗1,2

(34)

Tabel 4.10 (Lanjutan)

Kegiatan Satuan Harga satuan

(Rp)

Estimasi tahun pengeluaran

Pemeliharaan TBM3 Ha 5.566.409 Tahun ke˗3,4

Pemeliharaan TM Ha 6.702.165 Tahun ke˗4 s.d. 30

Pemanenan Kg 119 Tahun ke˗4 s.d. 30

RKT: Rencana Kerja Tahunan, LCC: tanaman penutup tanah., TBM: tanaman belum menghasilkan, TM: tanaman menghasilkan.

Pembuatan tanaman sawit dilakukan pada tahun pertama dan kedua pengelolaan. Dengan luas pengelolaan 426,1 ha, pemeliharaan tanaman menghasilkan merupakan kegiatan dengan biaya rata-rata tahunan tertinggi.

Tabel 4.11 Biaya rata˗rata tahunan kegiatan pengelolaan tanaman sawit 30 tahun

Uraian Biaya (Rp/ha/tahun)

Biaya investasia

Perencanaan 12.285

Perlindungan dan pengamanan hutan 7.730 Kewajiban kepada lingkungan (alat

ukur curah hujan) 376

Pembangunan sarana dan prasarana 93.967

Jumlah biaya investasi 114.359

Biaya operasional tetapa

Perencanaan 423

Perlindungan dan pengamanan hutan 32.030

Kewajiban kepada negara 10.964

Kewajiban kepada lingkungan dan sosial (pelaksanaan kelola

lingkungan, pemantauan dan

pelaksanan kelola sosial) 19.227 Pemeliharaan sarana dan prasarana 305.287 Biaya umum dan administrasi 245.584 Jumlah biaya operasional tetap 613.515 Biaya operasional variabel

Penyiapan lahana 49.909

Pengadaan bibitb 126.327

Pembuatan tanamanb 40.548

Penanaman LCCb 27.017

Pemeliharaan TBM1b 215.931

Pemeliharaan TBM2b 203.180

Pemeliharaan TBM3b 185.547

Pemeliharaan TMb 5.759.637

Pemanenanc 3.011.786

(35)

Tabel 4.11 (Lanjutan)

Uraian Biaya (Rp/ha/tahun)

Jumlah biaya 10.347.754

Pajak 2.425.069

Total 12.772.763

a

Sumber: biaya pembangunan HTI PT. MKS, diolah; bSumber:Rencana Kerja KKPA Seluti Jaya, diolah, dan standar biaya pembangunan kelapa sawit (wawancara); cSumber: wawancara; LCC: tanaman penutup tanah, TBM: tanaman belum menghasilkan., TM: tanaman menghasilkan.

Tanaman sawit mulai menghasilkan buah pada tahun ke-empat dengan proyeksi produksi awal sebesar 6,2 ton/ha, dan mencapai puncaknya pada umur sepuluh tahun dengan produksi 26 ton/ha. Harga TBS akan meningkat seiring dengan peningkatan umur tanaman dan ukuran buah yang dihasilkan, dengan harga tertinggi dihasilkan dari tanaman berumur sepuluh tahun ke atas. Harga TBS untuk tanaman umur tiga tahun adalah Rp 957,56/kg, serta untuk umur sepuluh tahun adalah Rp 1.354,54/kg. Besarnya biaya pemanenan menggunakan tarif umum yaitu Rp 119/kg.

Sampai dengan tahun ke˗lima, pengelolaan sawit masih menghasilkan arus kas negatif, ketika pendapatan dari penjualan TBS belum mampu menutupi biaya pengeluaran. Pendapatan akan bernilai positif mulai tahun ke-enam, dan cenderung meningkat seiring peningkatan jumlah produksi,

Selama jangka waktu analisis, total penerimaan diperkirakan Rp 243.531.021.437, dengan total biaya Rp 163.274.233.982. Dengan demikian, akan diperoleh pendapatan total Rp 80.256.787.451.

Gambar 4.1 Aliran kas pengelolaan tanaman kehidupan jenis sawit

Gambar 4.1 menunjukkan bahwa pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis tanaman sawit adalah rasional dan menguntungkan, hal ini ditandai dengan penerimaan yang melebihi biaya yang dikeluarkan. Berdasarkan hasil perhitungan,

0,00 5,00 10,00 15,00 20,00 25,00 30,00 35,00

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29

Penerimaan per ha Biaya per ha

(tahun ke)

(x

R

p

1

j

u

ta

(36)

diperoleh nilai NPV lebih besar dari nol, nilai B/C lebih besar dari 1 dan IRR lebih besar dari tingkat suku bunga yang digunakan. Dengan kata lain pengelolaan tanaman kehidupan layak secara finansial. NPV yang dihasilkan adalah Rp 7.949.066.052 atau Rp 18.655.400/ha, dengan nilai IRR 17,79% dan B/C 1,20. Dengan demikian, sampai dengan tingkat suku bunga sebesar 17,79%, pengelolaan tanaman kehidupan masih menguntungkan. Angka B/C sebesar 1,20 menunjukkan bahwa bahwa investasi sebesar satu rupiah akan memberikan pengembalian sebesar 1,20 rupiah.

Tabel 4.12 Analisis finansial pengelolaan tanaman kehidupan sawita

Uraian NPV IRR B/C

Hasil Rp 18.655.400b 17,79% 1,20

Justifikasi NPV>0 IRR>i B/C>1

Kesimpulan Layak Layak Layak

a

Jangka analisis 30 tahun dengan tingkat suku bunga 11,5% per tahun. bPer hektar

Analisis Finansial Tanaman Karet

Perhitungan analisis finansial pengelolaan tanaman karet menggunakan standar biaya pembangunan tanaman karet dari beberapa literatur. Biaya pengusahaan terdiri atas biaya perencanaan, perlindungan dan pengamanan hutan, kewajiban kepada negara, kewajiban kepada lingkungan dan sosial, pembangunan dan pemeliharaan sarana serta prasarana, umum dan administrasi, penyiapan lahan, penyediaan bibit, penanaman, pemeliharaan, pemanenan.

Tabel 4.13 Komponen biaya kegiatan penunjang dan teknis pengusahaan tanaman karet

Kegiatan Satuan Harga

satuan (Rp)

Estimasi tahun pengeluaran

Perencanaan (penyusunan RKT) Ha 12.704 Tahun ke˗1,2

Kegiatan perlindungan dan pengamanan hutan

Ha 52.330 Tiap tahun

Kewajiban kepada negara

PBB Ha 10.930 Tiap tahun

PSDH lateks Ton 19.500 Tahun ke˗6 s.d. 29

PSDH kayu M3 4.800 Tahun ke˗29, 30

Pelaksanaan kelola lingkungan,

pemantauan dan pelaksanaan kelola sosial

Ha 19.227 Tiap tahun

Pemeliharaan sarana dan prasarana Ha 327.904 Tiap tahun

Biaya umum dan administrasi Ha 245.584 Tiap tahun

Penyiapan lahan Ha 1.497.260 Tahun ke˗1,2

Pengadaan bibit Batang 3.569 Tahun ke˗1,2

Pembuatan tanaman Ha 2.313.438 Tahun ke˗1,2

Penanaman LCC Ha 810.500 Tahun ke˗1,2

Pemeliharaan TBM1 Ha 4.753.397 Tahun ke˗1,2

Pemeliharaan TBM2 Ha 5.188.712 Tahun ke˗2,3

(37)

Tabel 4.13 (Lanjutan)

Kegiatan Satuan Harga

satuan (Rp)

Estimasi tahun pengeluaran

Pemeliharaan TBM4 Ha 5.192.280 Tahun ke˗4,5

Pemeliharaan TBM5 Ha 5.218.460 Tahun ke˗5,6

Pemeliharaan TM3 Ha 4.331.195 Tahun ke˗6 s.d. 29

Pemanenan

Lateks Kg 2.637 Tahun ke˗6 s.d. 29

Kayu Ha 6.965.758 Tahun ke˗29, 30

RKT: Rencana Kerja Tahunan, PSDH: Provisi Sumber Daya Hutan, LCC: tanaman penutup tanah, TBM: tanaman belum menghasilkan, TM: tanaman menghasilkan.

Pembangunan tanaman karet dilakukan selama dua tahun pertama, dengan luas total 426,1 ha. Selama 30 tahun pengelolaan, pemanenan adalah kegiatan dengan biaya rata-rata tertinggi.

Tabel 4.14 Biaya rata˗rata tahunan kegiatan pengelolaan tanaman karet 30 tahun

Uraian Biaya (Rp/ha/tahun)

Biaya investasia

Perencanaan 12.285

Perlindungan dan pengamanan hutan 7.730 Kewajiban lingkungan (alat ukur curah hujan) 376 Pembangunan sarana dan prasarana 109.110

Jumlah biaya investasi 129.502

Biaya operasional tetapa

Perencanaan 423

Perlindungan dan pengamanan hutan 32.030

Kewajiban kepada negara 54.100

Kewajiban kepada lingkungan dan sosial (pelaksanaan kelola lingkungan, pemantauan

dan pelaksanan kelola sosial) 19.227 Pemeliharaan sarana dan prasarana 305.827

Biaya umum dan administrasi 245.584

Jumlah biaya operasional tetap 656.652

Biaya operasional variabel

Penyiapan lahana 49.909

Pengadaan bibitb 56.622

Pembuatan tanamanb 77.115

Penanaman LCCb 27.017

Pemeliharaan TBM1b 158.447

Pemeliharaan TBM2b 172.957

(38)

Tabel 4.14 (Lanjutan)

Penerimaan akan diperoleh koperasi mulai tahun ke˗enam ketika tanaman karet mulai bisa disadap, dengan produksi lateks sebanyak 475 kg/ha. Puncak produksi lateks adalah sebesar 2.233 kg/ha, pada saat tanaman berumur empat belas tahun.

Sampai dengan tahun ke-enam, pengelolaan karet masih menghasilkan arus kas negatif, ketika penerimaan dari penjualan latek belum mampu menutupi biaya pengeluaran. Pendapatan akan bernilai positif mulai tahun ke-tujuh, dan cenderung meningkat seiring peningkatan jumlah produksi, Pendapatan setiap tahun akan terus meningkat seiring dengan naiknya produktivitas getah. Pendapatan tertinggi akan diperoleh pada akhir daur dengan adanya kontribusi dari penjualan kayu bulat pada saat penebangan untuk peremajaan.

(39)

Gambar 4.2 memperlihatkan bahwa mulai tahun ke-tujuh, besarnya penerimaan selalu lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Berdasarkan analisis finansial, penanaman tanaman kehidupan dengan jenis karet layak diusahakan. Nilai total keuntungan bersih saat ini diperkirakan Rp 5.174.657.321 atau Rp 12.144.232/ha, dan IRR sebesar 14,89%. Dengan nilai IRR tersebut, kredit usaha pengelolaan tanaman kehidupan karet sampai dengan tingkat suku bunga 14,89% masih memberikan keuntungan. Rasio B/C diperoleh sebesar 1,14, berarti bahwa dengan investasi sebesar satu rupiah akan mendapat pengembalian sebesar 1,14 rupiah.

Tabel 4.15 Analisis finansial pengelolaan tanaman kehidupan dengan jenis alternatif kareta

Uraian NPV IRR B/C

Hasil Rp 12.144.232b 14,89% 1,14

Justifikasi NPV>0 IRR>i B/C>1

Kesimpulan Layak Layak Layak

a

Jangka analisis 30 tahun dengan tingkat suku bunga 11,5% per tahun. bPer hektar

Analisis Finansial Tanaman Akasia

Biaya pengusahaan tanaman akasia meliputi biaya perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan sarana serta prasarana, administrasi dan umum, penyiapan lahan, penyediaan bibit, penanaman, pemeliharaan, perlindungan dan pengamanan hutan, kewajiban kepada negara, kewajiban kepada lingkungan, pemanenan.

Tabel 4.16 Komponen biaya kegiatan penunjang dan teknis pengusahaan tanaman akasia

Kegiatan Satuan Harga

satuan (Rp)

Estimasi tahun pengeluaran Perencanaan (penyusunan RKT, ITSP,

penilikan)

Ha 66.198 Tiap tahun

Perlindungan dan pengamanan hutan Ha 52.330 Tiap tahun

Kewajiban kepada negara

PBB Ha 10.963 Tiap tahun

PSDH Ton 2.400 Tahun ke˗6 s.d. 30

Pelaksanaan kelola lingkungan,

pemantauan dan pelaksanan kelola sosial

Ha 19.227 Tiap tahun

Pemeliharaan sarana dan prasarana Ha 330.028 Tiap tahun

Biaya umum dan administrasi Ha 245.584 Tiap tahun

Penyiapan lahan Ha 1.497.260 Tahun ke˗1,2,3,4,5

Pengadaan bibit Batang 955 Tahun ke˗1 s.d. 25

Pembuatan tanaman Ha 315.000 Tahun ke˗1 s.d. 25

Pemeliharaan Ha 2.686.412 Tahun ke˗1s.d. 25

Pemanenan Ha 6.269.182 Tahun ke˗6 s.d. 30

Gambar

Gambar 3.1 Kerangka pemikiran penelitian
Tabel 4.1 (Lanjutan)
Tabel 4.3 Jumlah penduduk Desa Seko Lubuk Tigo berdasarkan jenis pekerjaana
Tabel 4.6 Keadaan responden berdasarkan jenis pekerjaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pembelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berbasis Issue-Issue Kontroversial di media Youtube kolaborasi Team Quiz untuk meningkatkan daya kritis siswa kelas

Selama tahun 1834 tidak ada usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan oleh pasukan Belanda untuk menaklukkan Bonjol, markas besar pasukan Padri, kecuali pertempuran

Dalam menanamkan aqidah Islam pada peserta didik, pendidik juga menggunakan metode Glenn Doman selain menggunakan metode yang lain yaitu metode bernyanyi dan metode penjelasan

Hasil yang didapat dari penelitian mengenai audit keamanan informasi pada PDAM Tirta Tarum Karawang menggunakan Indeks KAMI sebagai alat evaluasi dan Fishbone

Perubahan penggunaan lahan tanpa konservasi mempengaruhi gerak aliran air menyebabkan penggerusan tebing sungai semakin intensif, sehingga diperlukan penelitian yang bertujuan untuk

[r]

dengan demikian penelitian ini mendukung hasil penelitian dari Möllering (2005) dan Hayton (2005) yang menunjukkan bahwa berpendapat bahwa hubungan kepercayaan antara

Untuk mengukur perkembangan organ dalam, karkas dan potongan karkas, sebanyak masing-masing 15 ekor anak ayam umur 32 hari dipotong, kemudian pemotongan ayam dilakukan lagi